KAJIAN SANAD DAN MATAN HADITS DALAM KITAB AL-
Transcript of KAJIAN SANAD DAN MATAN HADITS DALAM KITAB AL-
KAJIAN SANAD DAN MATAN HADITS DALAM KITAB AL-
TIBYȂN KARYA HASYIM ASY’ARI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Ulul Azmi
NIM: 1110034000073
PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017 M
i
ABSTRAK
Ulul Azmi
Kajian Sanad dan Matan Hadits dalam Kitab al-Tibyȃn
Karya Hasyim Asy’ari
Keberadaan sanad maupun matan didalam suatu hadits merupakan sumber
penting dalam menentukan suatu ke-sahȋhannya, seringkali penerapan hadits-
hadits yang dijadikan hujjah itu seolah tanpa sadar dan melihat apakah hadits-
hadits itu benar berasal dari Nabi saw atau hanya sebatas peribahasa saja.
Sebagian kalangan Ulama juga memakai hadits-hadits sebagai landasan dalam
menyusun karya-karyanya. Tidak jarang kita menemukan suatu hadits di dalam
karya-karya Ulama yang hanya menuliskan matannya saja, tanpa melengkapi
dengan periwat-periwayatnya.
Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji bagaimana kualitas hadits-hadits
yang terdapat di dalam kitab-kitab Ulama Nusantara, salah satunya adalah Al-
Tibyan ‘an Muqati’atil Arham wa Al-Aqarib wa al-Ikhwan, sebuah karya dari
Ulama populer di abad ke-19 Kyai Hasyim Asy’ari. Dalam pengumpulan data,
penulisan skripsi ini menggunakan teknik studi pustaka (library research),
mengacu pada sumber primer yaitu kitab al-Tibyan dan sumber sekunder yakni
kitab-kitab Rijal al-Hadits dan kitab-kitab Takhrij Hadits. Melalui metode
analisis-deskriptif yang penulis pakai, ditemukan kesimpulan bahwa hadits-hadits
yang terdapat di dalam kitab ini adalah sahih. Namun penulis hanya meneliti 6
dari 36 hadits yang terdapat didalamnya, yakni pada bagian nuktahnya saja.
Sehingga tidak heran bahwa kitab ini dijadikan sebuah pedoman bagi masyarakat
Muslim, terlebih organisasi masyarakat yang dinamakan Nahdlatul ‘Ulama.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillȃhirrahmȃnirrahȋm,.
Segala nikmat dan syukur hanya kepada Allah SWT. Atas segala karunia
dan hidayah-Nya Alhamdulillah dengan seizin-Nya, penulis dapat menyelesaikan
penelitian skripsi ini yang sudah selayaknya menjadi tanggung jawab besar bagi
penulis. Shalawat serta salam tak pernah lupa semoga selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad Saw, para keluarga, sahabat, dan para pengikut-pengikut yang
selalu setia menyebarkan nilai-nilai keislaman sampai zaman sekarang.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih
banyak kekurangan dan kesalahan. Namun berkat bantuan dan motivasi dari
semua pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, tidak ada kata
lain untuk mereka yang telah membantu dan memberikan motivasinya kepada
penulis selain ucapan terima kasih, semoga Allah Swt membalas semua jasa-jasa
mereka dengan balasan yang sangat baik. Penulis menghaturkan ucapan terima
kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.Ag., selaku ketua jurusan Ilmu al-Quran
dan Tafsir, serta Ibu Banun Binaningrum, M.Pd., selaku sekertaris
jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
iii
4. Kepada dosen-dosen pembimbing, Bapak Dr. H. Ahsin Sakho M.
Asyrofuddin, MA., Bapak Dr. Muhammad Zuhdi Zaini, M.Ag, penulis
mengucapkan banyak terima kasih atas arahan, motivasi, semangat dan
waktu yang sudah diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini, serta
kepada Bapak Eva Nugraha, MA, Bapak Muhammad Rifqi Fatkhi, MA,
yang sudah meluangkan waktu dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Ayahanda H. Abdul Majid Qomaruddin dan Ibunda tercinta Hj.
Maemunah yang terlalu sabar merawat dan mendidik serta membimbing
penulis dari kecil hingga sekarang, segala kasih sayang yang sudah
diberikan kepada penulis, senantiasa selalu mendoakan penulis agar bisa
menyelesaikan skripsi dan menjadi seorang yang lebih baik dan
bermanfaat untuk keluarga, agama, bangsa dan negara. Juga kepada
kakak kandung penulis; Roghibatul Jannah (Kang Tukhid), Fahmi Ardi,
S,Kom. (Bana Nisyatina, S,Kom.), dan Faqihaturrifqi, Lc. Serta adik-
adik kandung penulis; Ahmad Roghibi, Ilham Munni’am, Anggun
Nianantika dan M. Hirzul Haidar, yang selalu mengingatkan dan
mendoakan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang telah
mengajarkan dan memberikan ilmunya kepada penulis selama proses
perkuliahan berlangsung. Semoga Allah Swt memberikan imbalan serta
pahala yang berlipat ganda atas ilmu yang telah diberikan selama ini,
semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi diri penulis.
7. Keluarga besar Kuya Rangers Society; M. Fauzi Sabilurrasyad, M. Dedi
Sofyan, S.Ag, Andi Firman, S,Th.I, Jumadi Suherman, M. Rifki, S.Ag,
iv
yang selalu setia menemani dari mulai menginjakkan kaki di dunia
kampus sampai sekarang masih bertahan meskipun cobaan selalu datang.
Trio Riau; Nawar, Bahar, Muchtar. Dan teman-teman tongkrongan kopi;
Abdul Bari Nasrudin, S.Ag., Algifri Muqsith ghozali, S.Ag., Ali Akbar,
S.Ag., Alamuddin Syah, Farhan Mujtaba, S.Ag, yang telah menemani
dan memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Keluarga besar Tafsir Hadits Angkatan 2010, yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat dan terima kasih
penulis haturkan
9. Sahabat-sahabat PMII Komfuspertum, baik senior ataupun junior penulis
haturkan banyak terima kasih atas support dan pengalaman yang selama
ini sudah dirasakan, banyak pelajaran dan ilmu yang penulis dapatkan
disini.
Penulis sepenuhnya menyadari bahwa dengan wawasan keilmuan penulis
yang sangat sedikit serta referensi-referensi yang terbatas, menjadikan penulisan
skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Namun, penulis telah berupaya menyelesaikan
skripsi ini dengan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan. Dengan
segala kerendahan hati, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat buat
semua pembaca.
Ciputat, 10 Oktober 2017
Ulul Azmi
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................... vii
BAB 1: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 8
D. Kajian Pustaka .................................................................................. 9
E. Metodologi Penulisan ...................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 11
BAB II: HASYIM ASY’ARI DAN KITAB AL-TIBYȂN
A. Biografi Hasyim Asy’ari .................................................................. 13
1. Riwayat Hidup dan Pendidikan .................................................. 13
2. Kiprah dan Karya ....................................................................... 17
B. Latar Belakang Penyusunan dan Deskripsi Kitab Al-Tibyân ........... 26
1. Latar Belakang Penyusunan ....................................................... 26
2. Deskripsi Kitab Al-Tibyân .......................................................... 28
BAB III: TAKHRIJ HADITS KITAB AL-TIBYȂN
A. Hadits ke-1 ....................................................................................... 32
B. Hadits ke-2 ....................................................................................... 34
C. Hadits ke-3 ....................................................................................... 36
D. Hadits ke-4 ....................................................................................... 36
E. Hadits ke-5 ....................................................................................... 39
F. Hadits ke-6 ....................................................................................... 42
BAB IV: KAJIAN SANAD DAN MATAN HADITS
A. Kegiatan Kritik Sanad Hadits ........................................................... 46
B. Kegiatan Kritik Matan Hadits .......................................................... 68
BAB V: PENUTUP
vi
A. Kesimpulan ...................................................................................... 74
B. Saran-saran ....................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 76
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Penulis menggunakan pedoman transliterasi Pedoman Akademik
Program Strata 1 2010/2011 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagaimana
keterangan di bawah ini.
A. Konsonan
Huruf
Arab
Huruf
Latin
Keterangan
tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ts te dan es ث
j Je ج
h h dengan titik bawah ح
kh ka dan ha خ
d De د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
d de dengan garis bawah ض
t te dengan garis bawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas, hadap kanan ‘ ع
gh ge dan ha غ
f Ef ف
Q Ki ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
viii
n En ن
w We و
h Ha ه
Apostrop ‘ ء
y Ye ي
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri
dari vocal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong.
Untuk vocal tunggal alih aksaranya adalah sebagai berikut :
TandaVokal
Arab
TandaVokal Latin Keterangan
A Fathah ـ
I Kasrah ـ
U Dammah ـ
Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai
berikut :
TandaVokal
Arab
TandaVokal Latin Keterangan
Ai a dan i _______ي
Au a dan u _______و
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam
bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
ȃ a dengan topi di ىا
atas
ix
ȋ i dengan topi di ىي
atas
Ȗ u dengan topi di ىو
atas
Contoh:
qȃla = قال
qȋla = قيل
yaqȗlu = يقول
D. Keterangan Tambahan
1. Kata sandang ال (alif lam ma’rifah) ditransliterasikan dengan al-.
Seperti (الجزية) al-jizyah, (الاثار) al-atsȃr. Kata sandang ini
menggunakan huruf kecil, kecuali bila berada pada awal kalimat.
2. Tashdid atau shaddad dilambangkan dengan huruf ganda. Seperti
.’al-Muwatta (الموطأ)
3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis
sesuai dengan ejaan yang berlaku. Seperti al-Qur’an, hadis dan
lainnya.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadits merupakan sumber hukum Islam, sebagaimana kitab suci al-Quran.
Secara hirarkis kedudukan hadits berada pada posisi kedua di bawah al-Quran,
karena hadits merupakan penafsiran al-Quran dalam penerapan ajaran agama
Islam. Tanpa adanya hadits, umat Islam tidak akan tahu bagaimana cara
melaksanakan perintah yang ada di dalam al-Quran. Allah telah menetapkan Nabi
Muhammad Saw sebagai rasul sekaligus sebagai mubayyin (pemberi penjelasan)
tentang maksud dari ayat-ayatnya.1 Allah berfirman dalam Q.S. al-Nahl: 44
ل إنيهم ونعههم يتفكزون وأوزنىب إنيك انذكز نتبيه نهىبس م .ب وز
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan”.
Ayat di atas memerintahkan Nabi Muhammad Saw untuk menjelaskan isi
dari al-Quran. Menurut Quraish Shihab, ayat ini memiliki dua penjelasan;
Pertama, sebagai penjelas bahwa al-Quran diturunkan secara bertahap kepada
manusia dimana ma‟rifah ilâhiyah tidak dapat diperoleh manusia tanpa adanya
perantara. Kedua, agar mereka mengetahui bahwa risalah yang disampaikan oleh
Nabi Saw adalah sebuah kebenaran yang bersumber dari Allah. Selain itu, ayat
tersebut juga menegaskan bahwa tujuan turunnya al-Quran adalah sebagai
pedoman bagi umat manusia.2
1 Musṯâfâ, Al-Sibâ‟ȋ, Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam, Sebuah
Pembelaan Kaum Sunni, penerj. Nurcholis Madjid (Jakarta: Pustaka Firdaus 1991), h. 4. 2 M. Quraish, Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati: 2009), vol 6, h. 590.
2
Hadits juga merupakan dasar utama yang telah membentuk pola pikir,
sikap, perbuatan dan etika para Sahabat. Nabi Saw memerintahkan umatnya agar
selalu berpegang teguh pada hadits serta senantiasa ikut dan tunduk kepadanya
dalam segala hal.3 Perintah taat kepada hadits bersifat umum, tidak dibatasi hanya
kepada sahabat, namun juga berlaku untuk semua generasi sesudah mereka.
Karenanya, hal tersebut harus dilaksanakan sebagai dasar bahwa kita adalah para
pengikut Nabi Saw.4 Beliau menghimbau umat ini untuk mengikuti sunahnya,
karena mengikuti sunahnya dalam kondisi yang demikian akan dilipatgandakan
pahalanya.5 Beliau bersabda:
ه مه الجز مثم مه عمم بهب مه غيز أن يىقص مه أحيب سىة مه سىتي قد أميتت بعدي فإن ن
ب.مه أجىرهم شيئ
“Barangsiapa menghidupkan salah satu sunnahku yang telah ditinggalkan
sepeninggalku, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang
mengamalkannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.”(HR at-
Turmudzi).
Keberadaan hadits sebagai salah satu sumber kebenaran sangatlah penting
dan otentisitasnya mutlak dibutuhkan. Awal mula lahirnya tradisi pengecekan
(kritik) hadits telah direkam dengan baik oleh Imam Bukhârȋ. Beliau menjelaskan
sejarah kritik hadits tersebut dalam kitabnya Sahȋh al-Bukhârȋ, bermula ketika
sahabat Umar bin al-Khattâb melakukan pengecekan kebenaran suatu berita yang
bersumber dari Nabi Saw tentang keputusan beliau menceraikan istri-istrinya.6
Pengecekan hadits di masa itu (para sahabat) bukan karena mereka curiga
3 “…wajib atas kalian berpegang dengan sunahku…”. Selengkapnya lihat HR Ahmad,
Abu Daud, Tirmidzi, Dzahabi dan Hakim, disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami‟ no.
2549. 4 Musṯâfâ, Al-Sibâ‟ȋ, Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam, Sebuah
Pembelaan Kaum Sunni, h. 10. 5 Nuruddin „Itr, „Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), h. 10.
6 Kisah selengkapnya lihat pada al-Bukhari, Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari,
Sulaiman Mar‟ie, Singaapore, tth. ii/70-71. Lihat Juga, Ali, Mustafa Ya‟kub, Kritik Hadis, cet -5,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 2.
3
terhadap pembawa berita (rawȋ) bahwa ia berdusta. Melainkan semata-mata untuk
meyakinkan bahwa berita atau hadits yang berasal dari Nabi Saw itu benar-benar
ada. Bahkan pernah Abû Bakar terkait hal ini meminta didatangkan saksi bahwa
Nabi Saw pernah mengatakan sesuatu.7
Memasuki tahun ke-40 Hijriyah yang merupakan periode berkembangnya
hadits, muncul gerakan pemalsu hadits yang bertujuan sebagai alat kepentingan
politik dari beberapa kelompok. Mereka memalsukan dan mencampuradukan
antara hadits yang sahih dengan yang palsu demi menonjolkan sifat baik tokoh
politik tertentu.8 Sehingga (peristiwa politisasi hadits di masa tersebut) menjadi
penyebab perpecahan di antara kaum muslimin ke dalam berbagai kelompok
maupun golongan.
Dengan demikian, kritik hadits menjadi krusial sebagai langkah untuk
membedakan antara hadits yang benar-benar merupakan produk hukum yang
dapat dipertanggungjawabkan keotentikannya dan hadits yang bukan merupakan
hukum yang diragukan keotentikannya (da‟if)9, mengingat periwayatan suatu
hadits tidak semuanya mutawâtir10
sebagaimana al-Quran yang dijamin
kebenarannya. Hadits adakalnya Mutawâtir, bahkan kebanyakan merupakan
khabar ahad11
dimana masih memerlukan pengecekan untuk memastikan
7 Pada masa tersebut, kririk hadist sangat mudah karena keputusan tentang otentisitas
sebuah hadist berada di tangan Nabi Saw sendiri. Lihat, Ali, Mustafa Ya‟kub, Kritik Hadis, cet -5,
h. 2. 8 Musṯâfâ, Al-Sibâ‟ȋ, Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam, Sebuah
Pembelaan Kaum Sunni, h. 36. 9 Zufran, Rahman. Kajian Sunnah Nabi Saw Sebagai Sumber Hukum Islam: Jawaban
Terhadap Aliran Ingkar Sunnah (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995) cet.1, h. 109. 10
Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap tingkatan
sanadnya, yang menurut akal dan kebiasaan mereka tidak dimungkinkan untuk berdusta. 11
Khabar ahad adalah hadits yang tifak memenuhi syarat-syarat mutawatir.
4
keshahihannya.12
Sehingga tidak semua hadits dihukumi sahih, tapi ada yang
dihukumi hasan dan daʻif, terlebih sampai pada tingkatan palsu.
Sanad dan matan hadits merupakan dua objek utama dalam meneliti mutu
kualitas suatu hadits yang bersumber dari otoritas ajaran Nabi Muhammad Saw.
Antara keduanya saling berkaitan erat, dimana kekosongan salah satunya akan
berpengaruh dan bahkan merusak eksistensi dan kualitasnya.13
Kajian terhadap
sanad sangatlah diperlukan, karena tanpa adanya sanad setiap orang dapat
mengatakan apa yang dikehendakinya.14
Ke-sahȋh-an suatu sanad bisa dilihat dari
beberapa aspek yaitu: Muttasil (kebersambungan sanad), ke-‟adilan Perawi, ke-
ḏabȋṯan perawi, tidak Syadz dan terhindar dari „illat.15
Begitu juga kesahihan suatu matan, Salâh al-Dȋn al-Adzabȋ
mengemukakan bahwa tolak ukur penelitian kesahihan matan ada empat macam,
yakni: Pertama, tidak bertentangan dengan petunjuk al-Quran. Kedua, tidak
bertentangan dengan hadits yang memiliki bobot akurasi yang lebih kuat. Ketiga,
tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera, dan sejarah. Keempat, susunan
pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda Nabi Saw jika dicermati secara
redaksional.16
Menurut al-Idlibȋ, salah satu langkah dalam penetapan kritik matan
dapat dilihat dari bidang kebahasaannya, karena langkah ini termasuk kritik teks
yang mencermati keaslian dan kebenaran suatu teks, baik dari segi qaulȋ ataupun
12
Manna‟ Khalȋl al-Qaṯṯân, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, Penerjemah. Mudzakir S.A
(Bogor: Pt. Pustaka Litera Antamusa 2007). Cet. Ke-1, h. 106. 13
H. M. erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah (Jakarta: Kencana,
2003), h. 174. 14
Ali, Mustafa Ya‟kub, Kritik Hadis, cet -5, h. 4. 15
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 108. 16
Umi, Sumbulah, Kritik Hadits Pendekatan Historis Metodologis (Malang: UIN
Malang, 2008), h. 70.
5
dari segi fi'lȋ.17
Target analisis proses kebahasaan matan hadits ini tertuju pada
upaya penyelamatan dari pemalsuan hadits, karena ada kekhawatiran dalam
menyatakan sesuatu yang bukan hadits padahal hadits atau justru sebaliknya.18
Jika mengulas kembali tentang periodesasi dan perkembangan hadits,
tepatnya sebelum abad ke-17 M, kajian hadits kurang mendapatkan perhatian di
kalangan ulama Nusantara. Baru pada masa Nur al-Dȋn al-Raniri (w.1658 M)19
hingga abad ke-20 M20
bersama kompatriotnya Abd al-Ra‟uf al-Sinkili, al-Raniri
menulis sebuah karya Hidȃyat al-Habȋb fȋ al-Targhȋb wa al-Tarhȋb,21
sebuah
syarḫ (penjelasan) kitab Arba‟ȋn al-Nawâwȋ, serta karya berupa kumpulan hadits
qudsi berjudul al-Mawâʻiz al-Badȋʻah.22
Setelah begitu lama mengalami stagnasi pasca masa al-Raniri, kajian
hadits bergeliat kembali dengan munculnya Syaikh Mahfudz al-Tirmasi (w.1920
M) dengan menulis karya di bidang ilmu hadits Manhȃj Dâwi al-Nazâr.23
Selain
al-Tirmasi, muncul salah seorang pioneer hadits Nusantara, Syaikh Nawawi al-
Bantani (w.1897 M)24
dengan karya Tanqȋh al-Qawl.25
17
Salâhuddȋn, Al-Idlibȋ, Manhaj Naqd Matan Hadist (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah,
1983), h. 34. 18
Salâhuddȋn, Al-Idlibȋ, Manhaj Naqd Matan Hadist, h. 20. 19
Seorang ulama dari bumi “Serambi Makkah” muncul untuk menggebrak kelesuan
ulama Nusantara di bidang kajian hadits pada abad tersebut. Lihat, M. Solihin, Melacak Pemikiran
Tasawuf di Nusantara (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 42. 20
Ketika ulama Nusantara mulai bersemangat mengkaji hadits untuk merespon diktum
“kembali kepada al-Quran dan hadits” yang sedang “ngetrend” di dunia Islam. Lihat, Muh. Tasrif,
“Pengembangan Model Studi Hadis: Telaah Epstimolois terhadap Studi Hadis di IAIN Sunan
Ampel Surabaya”, Jurnal PDII LIPI, Edisi 7, IV, (2008): h. 189. 21
Muh. Tasrif, “Pengembangan Model Studi Hadis: Telaah Epstimolois terhadap Studi
Hadis di IAIN Sunan Ampel Surabaya”, h. 31-32. 22
Kitab ini dalam berbahasa Melayu berjudul Sharḫ Lathȋf alâ Arba‟ȋn Nawâwȋ. Lihat,
Musrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grasindo Persada, 2005), h. 299. 23
Kitab karya al-Tirmasi ini merupakan penjelasan karya al-Suyûṯȋ yang berjudul
Manzûmah „Ilm al-Aṯâr. Lihat,Muhammad Mahfudz ibn „Abdullah al-Tirmasi, Manhaj Dhawi al-
Nadzar (Singapura: al-Haramain, 1974), cet. III. 24
Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syeikh Nawawi Al-Bantani Indonesia (Jakarta:
Sarana Utama, 1978), h. 4. 25
Musrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, h. 301.
6
Kemudian pada masa selanjutnya, muncullah Hasyim Asy‟ari (w.1947
M)26
dengan beberapa karya di bidang hadits, antara lain: al-Tibyân fȋ al-Nahyȋ
„an Muqâṭi‟at al-Arḥâm wa al-Aqârȋb wa al-Ikhwân, Nur al-Mubȋn Hadits-hadits
Cinta Rasul, Risâlah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâʻah.27
Al-Tibyân fȋ al-Nahyȋ „an Muqâṭi‟at al-Arḥâm wa al-Aqârȋb wa al-Ikhwân
(kemudian penulis menyebut al-Tibyân) merupakan judul kitab yang digubah oleh
Hasyim Asy‟ari. Kitab ini, secara umum “menghidangkan” sajian “ujaran”
Rasulullah Saw tentang Silaturahmi. Dimana dalam kitab ini sumber-sumber yang
diambil oleh Hasyim Asy‟ari adalah berangkat dari hadits-hadits Nabi saw.
Hadits-hadits yang terdapat dalam kitab al-Tibyān kurang lebih berjumlah 34
buah, tersebar pada bagian pendahuluan, tanbȋh, farʻ, dan nuktah. Hadits-hadits
tersebut menjelaskan tentang larangan memutus silaturahmi serta permasalahan
yang terkait dengannya.28
Kitab ini semakin menarik diteliti karena ada beberapa faktor. Pertama,
sosok Hasyim Asy‟ari merupakan tumpah darah Indonesia yang pernah
menyelami konstelasi trend politik dan sosial yang menghangat pada masanya.
Kedua, kitab al-Tibyān merupakan hasil ijtihad dari seorang Ulama besar yang
pernah ada dan sebagai salah satu pedoman dalam merenungi geliat kehidupan
sosial-kemasyarakatan yang dinamis dan rentan perpecahan. Kitab ini juga
dijadikan sebagai rujukan Qanun Asasi (AD/ART) PBNU (Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama) sampai saat ini. Ketiga, tentang permasalahan posisi kitab al-
Tibyân itu sendiri, apakah termasuk karya hadits atau karya bidang keilmuan
26
Solahuddin, Wahid, Biografi 7Rais Am PBNU (Kediri: Nous Pustaka, 2012), h.47. 27
Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia (Jakarta: Badan
Litbang dan Pusdiklat Lektur Keagamaan Kementerian Agama Republik Indonesia, 2010), h. 95. 28
Hasyim Asy‟ari, Al-Tibyān fī al-Nahyi „an Muqāṭa‟at al-„Arḥām wa al-„Aqārib wa al-
Ikhwān.
7
agama Islam yang lain. Dan menurut penulis kajian ini menarik untuk dibahas
dari sisi kualitas sanad dan matannya. Maka dari itu penulis meneliti kajian ini
sebagai materi bahasan skripsi dengan judul “Kajian Sanad dan Matan Hadits
dalam Kitab Al-Tibyân Karya M. Hasyim Asy’ari”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang di atas dapat diidentifikasi beberapa
permasalahan sebagai berikut:
a. Apa latar belakang penulisan kitab al-Tibyân fȋ al-Nahyȋ „an Muqâṭi‟at
al-Arḥâm wa al-Aqârȋb wa al-Ikhwân?
b. Bagaimana posisi dan peran hadits-hadits sebagai penjelasan ayat yang
tercantum dalam Kitab al-Tibyân?
c. Bagaimana kualitas sanad dalam kitab al-Tibyân?
d. Bagaimana kualitas matan dalam kitab al-Tibyân?
2. Pembatasan Masalah
Dalam kajian dan penelitian skripsi ini, Penulis memberikan batasan
sebagai berikut:
a. Di dalam kitab al-Tibyān terdapat nuktah, yang terdiri dari 6 hadits
Nabi Saw. Sebagai bagian dari rangkaian penulisan kitab ini, penulis
hanya mengkaji hadits-hadits yang terdapat di dalamnya.
b. Penulis juga membatasi penelitian skripsi ini pada kajian analisis
kualitas Sanad dan Matan hadits dalam kitab al-Tibyān yang hanya
terdapat dalam al-Kutub al-Sittah (Sahȋh al-Bukhȃrȋ, Sahȋh Muslim,
Sunan Abȋ Dawȗd, Sunan al-Tirmidzȋ, Sunan al-Nasȃʻȋ dan Sunan Ibn
8
Mȃjah), namun penulis juga tidak mengkaji hadits-hadits yang terdapat
di dalam Sahȋh al-Bukhȃrȋ dan Sahȋh Muslim.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
skripsi ini, yaitu: Bagaimana “Kualitas Sanad dan Matan Hadits Dalam Kitab
Al-Tibyān Karya M. Hasyim Asy’ari”?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini menggali kualitas sanad dan matan terdapat dalam
kitab al-Tibyān karya M. Hasyim Asy‟ari. Adapun manfaat penelitian ini terdapat
dua hal. Pertama, memberikan kontribusi pemikiran dan dapat dijadikan pedoman
pada pengembangan keilmuan Islam. Kedua, bagi pembaca dapat memperdalam
pengetahuan mengenai pentingnya memahami hadits secara proporsional dan
komprehensif untuk dijadikan pedoman hidup. Lebih lanjut, sebagai wahana
untuk menambah khasanah keilmuan di bidang kajian hadits Nusantara melalui
kitab al-Tibyân fȋ al-Nahyȋ „an Muqâṭi‟at al-Arḥâm wa al-Aqârȋb wa al-Ikhwân
Karya M. Hasyim Asy‟ari.
D. Kajian Pustaka
Terdapat beberapa skripsi yang berhubungan dengan tema yang penulis
angkat. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Penelitian Skripsi yang dilakukan oleh Jamilah yang berjudul
“Kualitas Sanad Hadis Larangan Memutuskan Tali Silaturahmi (Kritik
Sanad dan Matan)”. Pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
9
2. Skripsi Pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang ditulis Bahriyadi tentang “Pandangan
Tashawuf K.H. Hasyim Asy‟ari Dalam Kitab Risalah Jami‟ al-
Maqashid”.
3. Skripsi Churiah tentang “Penolakan KH. Hasyim Asy‟ari Terhadap
Praktek Para Mursyid Tarekat tentang Perwalian di Jombang”.
4. Skripsi tentang “Takhrij Hadis Kitab Risalah Ahlu Sunnah wal
Jamaah: Sebuah Kajian Analisi Sanad dan Matan Hadis-Hadis Tanpa
Riwayat” yang ditulis oleh Syaid Lukman Hakim pada Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dari beberapa penelitian tersebut di atas, terdapat persamaan dan
perbedaan dengan penelitian yang akan diangkat penulis. Persamaannya adalah
beberapa penelitian fokus terhadap tokoh Hasyim Asy‟ari dan kajian sanad dan
matan hadits Risȃlah Ahlu Sunnah Wal Jamȃʻah. Adapun perbedaannya adalah
peneliti mengangkat tema kajian sanad dan matan hadits dalam kitab al-Tibyân fȋ
al-Nahyȋ „an Muqâṭi‟at al-Arḥâm wa al-Aqârȋb wa al-Ikhwân karya M. Hasyim
Asy‟ari. Dengan demikian, penelitian yang diangkat oleh penulis adalah benar-
benar baru dan orisinal.
E. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang penulis terapkan terbagi dalam empat poin, yaitu:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) atau
kualitatif dengan menggunakan metode analitis-deskriptif, yang akan mencoba
10
menjawab pertanyaan di dalam rumusan masalah berdasarkan pembacaan dan
interpretasi terhadap data-data yang berhubungan dengan tema yang akan diteliti.
a. Tahap Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi terhadap data
primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah kitab Al-Tibyân Fȋ
Al-Nahyȋ „An Muqâṭi‟at Al-Arḥâm wa Al-Aqârȋb wa Al-Ikhwân karya M. Hasyim
Asy‟ari. Sedangkan sumber sekunder dalam penelitian ini adalah karya-karya
yang membahas tentang Hasyim Asy‟ari dan kitab-kitab hadits, diantaranya: al-
Kutub al-Sittah (Sahȋh al-Bukhȃrȋ, Sahȋh Muslim, Sunan Abȋ Dawȗd, Sunan al-
Tirmidzȋ, Sunan al-Nasȃʻȋ dan Sunan Ibn Mȃjah).
2. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
Pedoman penulisan skripsi ini berdasarkan Pedoman Akademik Tahun
2010/2011 Program Strata Satu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan
oleh Biro Administrasi dan Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun
mengenai transliterasi dalam penulisan skripsi ini mengacu pada Pedoman
Akademik Tahun 2010/2011 Program Strata Satu UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Bab pertama, pendahuluan merupakan landasan umum penelitian dari
skripsi ini. Bagian ini terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan
dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
11
Bab kedua, biografi Hasyim Asy‟ari dan seputar kitab al-Tibyân. Bab ini
menguraikan riwayat hidup, pendidikan, karya-karya Hasyim Asy'ari serta sumber
rujukan, sistematika, dan metodologi penulisan kitab al-Tibyân.
Bab ketiga, melakukan penelitian takhrij hadits yang terdapat di dalam
kitab al-Tibyân fȋ al-Nahyȋ „an Muqâṭi‟at al-Arḥâm wa al-Aqârȋb wa al-Ikhwân,
meliputi Takhrij, dan kegiatan I‟tibar.
Bab keempat, kajian terhadap kualitas sanad dan matan hadits yang
terdapat di dalam kitab al-Tibyân fȋ al-Nahyȋ „an Muqâṭi‟at al-Arḥâm wa al-
Aqârȋb wa al-Ikhwân.
Bab kelima, penutup yakni penulis menyimpulkan isi skripsi secara
keseluruhan sebagai penegasan jawaban atas permasalahan yang dikemukakan
sebelumnya.
12
BAB II
HASYIM ASY’ARI DAN KITAB AL-TIBYȂN
A. Biografi Hasyim Asy’ari
1. Riwayat Hidup dan Pendidikan
Muhammad Hasyim adalah nama kecil pemberian dari orang tuanya,
beliau dilahirkan dari pasangan kyai Asy‟ari dan Halimah pada hari Selasa
Kliwon tepatnya tanggal 14 Februari tahun 1871 M dan bertepatan dengan 12
Dzulqa‟dah tahun 1287 H. Nama Lengkap Hasyim Asy‟ari adalah Muhammad
Hasyim bin Asy‟ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim (Pangeran Benawa) bin
Abdurrahman/Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin
Abdul Fatah bin Maulana Ishak bin Ainul Yaqin (Sunan Giri).1 Beliau lahir di
lingkungan Pesantren Gedang desa Tambakrejo, Jombang. Tepatnya sekitar 2
kilometer ke arah utara dari kota Jombang.2
Beliau terlahir dari kalangan keluarga besar pesantren, bahkan merupakan
para pendiri pesantren-pesantren yang masih cukup populer hingga saat ini.
Tercatat Kyai Asy‟ari yang merupakan ayah dari Hasyim Asy‟ari adalah seorang
pendiri dan pengasuh Pesantren Keras, Jombang. Sedangkan Nyai Halimah adalah
anak pertama dari lima bersaudara yaitu: Muhammad, Leler, Fadil dan nyonya
Arif,3 yang merupakan keturunan dari Kyai Ustman selaku pendiri dan pengasuh
Pesantren Gedang, Jombang. Sementara buyutnya (kakek dari ibu) yang bernama
1 Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran Hasyim Asy’ari Tentang Ahlu Sunah wal Jamaah
(Surabaya: Khalista, 2010), h. 67. 2 Ishomudin Hadziq, KH. Hasyim Asy’ari: Figur Ulama & Pejuang Sejati (Jombang:
Pustaka Warisan Islam Tebuireng, 2007), Cet. I, h. 12. 3 Latihful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari (Yogyakarta:
LkiS, 2000), h. 16.
13
Kyai Sihah adalah salah satu kyai kondang pendiri dan pengasuh Pesantren
Tambak Beras, Jombang.4
Selama empat belas bulan di dalam kandungan ibunya, terdapat tanda-
tanda bahwa beliau akan menjadi orang yang besar di kemudian hari.
Sebagaimana diceritakan bahwa Nyai Halimah (Ibu M. Hasyim Asy‟ari) pernah
bermimpi perutnya kejatuhan bulan purnama. Ishomudin Hadziq, penulis buku “KH.
Hasyim Asy‟ari: Figur Ulama & Pejuang Sejati” mencatat peristiwa ini, dan
mensinyalir hal ini disebabkan Nyai Halimah pernah melakukan tirakat batin
dengan cara berpuasa tiga tahun berturut-turut.5
Ishomuddin juga mencatat bahwa di masa kecil sampai mudanya, Hasyim
Asy‟ari sudah terbiasa mencari nafkah sendiri dengan cara bertani dan berdagang,
kemudian hasilnya beliau gunakan sebagai bekal menuntut ilmu. Saat usia lima
tahun beliau berpindah dari Pesantren Gedang ke Desa Keras, sebuah desa di
sebelah selatan kota Jombang, untuk mengikuti ayah dan ibunya yang pada waktu
itu sedang membangun pesantren baru dan menghabiskan masa kecilnya di sini
hingga berusia lima belas tahun.6
Meskipun sudah ditunjuk sebagai pengajar pesantren di usia muda, beliau
tidak pernah sedikitpun mengurungkan niat untuk berhenti menuntut ilmu.
Keinginannya yang sangat kuat dalam menimba dan menambah ilmu agama,
membuat Hasyim Asy‟ari berpetualang dari satu pesantren ke pesantren lain.
4 Lathiful Khuluq: Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H. Hasyim Asy’ari, h. 16.
5 Dimana salah satu isi tirakat beliau pada tahun pertama diniatkan untuk dirinya sendiri,
tahun kedua untuk anak cucunya dan pada tahun ketiga untuk seluruh santrinya. Lihat, Ishomudin
Hadziq, KH. Hasyim Asy’ari: Figur Ulama & Pejuang Sejati, h. 12. 6 Ishomudin Hadziq, KH. Hasyim Asy’ari: Figur Ulama & Pejuang Sejati, h. 21.
14
Sebelum pada akhirnya beliau meninggalkan Keras dan menjelajahi berbagai
pesantren ternama saat itu hingga ke Kota Mekkah7.
Zuhairi Miswari menjelaskan bahwa setalah keluar dari Keras, Hasyim
Asy‟ari selanjutnya berguru di Pesantren Wonorejo, Jombang. Kemudian
melanjutkan perjalanan keilmuannya ke Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, lalu
meneruskan pengembaraannya ke Pesantren Langitan di Tuban, hingga akhirnya
beliau mendalami ilmu keagamaan di Pesantren Kademangan, Bangkalan,
Madura, yang didirikan oleh Kyai Cholil bin Abdul Latif.8 Kemudian beliau
kembali melanjutkan petualangan belajarnya di pulau Jawa setelah 3 tahun
menempa di pulau Madura, kini pilihannya adalah Pesantren Siwalan, Sidoarjo, di
bawah asuhan Kyai Ya‟qub. Di sini beliau diminta oleh Kyai Ya‟qub untuk
menjadi menantunya, dan sampai pada akhirnya beliau menikah dengan putri dari
pengasuh pesantren ini yang bernama Khodijah.
Setelah beberapa bulan pernikahan, beliau memutuskan untuk berangkat
menunaikan ibadah haji berserta istri dan mertuanya dalam rangka memenuhi
rukun Islam yang kelima dan mencari ilmu. Setelah selesai melaksanakan ibadah
haji, beliau memutuskan untuk menetap beberapa bulan di Kota Mekkah.9 Selama
kurang lebih tujuh bulan berada di kota tersebut, beliau belajar berbagai macam
ilmu pengetahuan tentang agama, terutama ilmu hadits yang merupakan salah satu
bidang ilmu yang digemarinya dan berguru pada tokoh-tokoh yang cukup terkenal
yaitu: Syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin Hasyim, Sayyid Ahmad
bin Hasan al-Attas, Syaikh Sayyid al-Yamani, Sayyid „Alawi bin Ahmad al-
7 Ishomudin Hadziq, KH. Hasyim Asy’ari: Figur Ulama & Pejuang Sejati, h. 21.
8 Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderas Keutamaan dan
Kebangsaan (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010), h. 41. 9 Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderas Keutamaan dan
Kebangsaan, h. 44.
15
Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdul al-Zawawi, Syaikh Salih Bafadal,
Syaikh Sultan Hasyim Dagastani, Syaikh Shuayb bin Abd al-Rahman, Syaikh
Ibrahim Arab, Syaikh Rahmatullah, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati dan
Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Selain itu, beliau
menimba ilmu pengetahuan kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh
Nawawi al-Bantani dan Syaikh Mahfudz al-Tirmasi (w. 1920). Tiga nama ulama
yang disebut terakhir adalah guru besar di Makkah yang saat itu memberikan
pengaruh terhadap pembentukan intelektual beliau.10
Kemudian di masa itu, beliau dikaruniai seorang putra yang diberi nama
Abdullah. Namun selang waktu yang tidak lama, kegembiraan beliau berubah
menjadi kesedihan karena istri beliau (Khadijah) wafat. Dan tidak lama kemudian
sekitar 40 hari setelahnya, Abdullah putra kebanggannya juga berpulang
kehadiratNya. Hingga akhirnya beliau memutuskan untuk pulang ke Tanah Air
bersama mertuanya11
.
Sesampainya di Tanah Air, beberapa waktu kemudian beliau menikah lagi
dengan Nafiqah putri dari Kyai Ilyas, pengasuh pesantren Sewulan Madiun. Dari
hasil pernikahannya dengan Nafiqah, beliau dikaruniai sepuluh orang anak yaitu:
Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim (Abdul Kholik),
Abdul Karim, Ubaidillah, Mashuroh, dan Muhammad Yusuf. Kemudian pada
tahun 1920 M Nafiqah juga meninggal dunia. Sepeninggalan Nafiqah, beliau
menikah lagi dengan Masruroh putri Kyai Hasan yang juga pengasuh pesantren
Kapungrejo, Pagu, Kediri. Dari hasil pernikahan keempatnya ini, Hasyim Asy‟ari
memiliki empat orang anak yaitu: Abdul Qadir, Fatimah, Khodijah dan
10
Lathiful Khuluq: Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H. Hasyim Asy’ari, h. 34. 11
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderas Keutamaan dan
Kebangsaan, h. 45.
16
Muhammad Ya‟qub. Pernikahannya dengan Masruroh ini merupakan pernikahan
terakhir bagi beliau.12
Hasyim Asy‟ari kemudian melanjutkan kehidupannya dengan
pengembaraan mencari ilmu dan ikhtiar melanggengkan tradisi intelektual dengan
mengajarkan berbagai bidang ilmu kepada para murid-muridnya. Humaidy
menyebutkan, bahwa di sela-sela waktu mengajar, beliau selalu meluangkan
waktu khusus yakni menjelang datangnya waktu dzuhur untuk membaca dan
menulis dan membuatnya masuk dalam jajaran Ulama Nusantara yang cukup
produktif.13
Hasyim Asy‟ari wafat pada tanggal 25 juli 1947 M, bertepatan dengan 7
Ramadhan 1366 H pada pukul 03.45 pada usia 72 tahun.14
Kepergian Hasyim
Asy‟ari merupakan pukulan kesedihan yang mendalam, khusunya bagi
masyarakat Muslim di Indonesia. Pasalnya, saat itu Indonesia sedang
menggalakkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda dan laskar-laskar yang
beliau bentuk sedang dalam pertempuran melawan kolonialisme.15
2. Kiprah Dan Karya
a. Kiprah di bidang pendidikan
Hasyim Asy‟ari merupakan sosok guru yang mempunyai kharisma tinggi
yang selalu berpegang teguh pada pendirian. Dengan ilmu yang dimilikinya,
beliau mampu mendirikan sebuah Pondok Pesantren yang terletak di Tebuireng,
Jombang. Pon-Pes Tebuireng merupakan salah satu pesantren yang masih sangat
12
Muhammad Rifa‟I, KH. Hasyim Asy’ari: Biografi Singkat 1871-1942 (Jakarta: Garasi,
2009), h. 38. 13
Humaidy dan Ridwan Falka AS (Ed.), Biografi Lima Ra’is ‘Am NU (Yogyakarta: LTN-
NU dan Pustaka Pelajar, 1995), h. 1. 14
Solahuddin Wahid, Biografi 7 Rois Am PBNU (Kediri: Nous Pustaka Utama, 2012), h.
47. 15
Ishomudin Hadziq, KH. Hasyim Asy’ari: Figur Ulama & Pejuang Sejati, h. 37.
17
berpengaruh terhadap pendidikan-pendidikan Islam di Indonesia saat ini khusunya
di pulau Jawa. Salah satu karomah yang dimiliki Hasyim Asy‟ari adalah mampu
mendidik santri-santrinya hingga mencapai tataran ilmu yang mumpuni, sehingga
banyak dari sebagian santrinya telah mendirikan pondok pesantren di Indonesia.
Dalam mendidik siswanya, Hasyim Asy‟ari selalu berpegang kepada al-
Qur‟an dan Hadits. Adapun langkah-langkah beliau dalam mendidik santrinya
adalah sebagai berikut:16
a. Dengan metode Iqro’ (bacalah) merupakan cara belajar yang paling
dominan digunakan, karena dengan membaca maka akan didapat dari
seluruh sumber ilmu.
b. Dengan metode Iftifadhoh (latihan-latihan) yang intinya akan
menghasilkan kepandaian, karena dengan latihan santri akan mengerti
arti pendidikan.
Dari beberapa tulisan atau karya yang ada, terdapat satu hal menarik yang
selalu melekat dalam pribadi beliau, yaitu pesantren. Abdurrahman Mas‟ud
menyebut Hasyim Asy‟ari merupakan Master Plan Pesantren.17
Beliau merupakan
tokoh dari sekian banyak ulama‟ besar yang pernah dimiliki oleh bangsa ini, bukti
dari peninggalan atas perjuangan beliau sebagai pendidik dalam bidang Agama
Islam sangatlah besar dan masih bisa dirasakan sampai sekarang. Selain dari
kalangan santri, masyarakat, pemerintah, maupun para cendekiawan, keilmuan
beliau juga merupakan panutan di antara sesama kyai yang lain.18
Sebagai ilustrasi
16
Syamsul A‟dlom, “Kiprah KH Hasyim Asy‟ari Dalam Mengembangkan Pendidikan
Agama Islam”, Jurnal Pusaka (Juli: 2014): h. 26. 17
Abdurrahman Mas‟ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi
(Yogyakarta: LkiS, 2004), h. 207. 18
Bahkan pada masa kolonial Belanda, rasa hormat dan segan terhadap beliau juga
ditunjukan oleh Charles Olke Van Derplas sebagai Gubernur Belanda di masa itu (1940M), hal ini
18
gambaran tentang pengakuan keilmuan gurunya, Kyai Kholil Bangkalan juga
menunjukkan rasa hormat kepada beliau dengan mengikuti pengajian-pengajian
yang dilakukan Hasyim Asy‟ari. Sehingga beliau dianggap sebagai guru dan
dijuluki Hadratus Syeikh yang berarti Maha Guru.19
Di samping berjuang sebagai penerang bagi semua umat, Hasyim Asy‟ari
juga salah satu pendiri organisasi massa yang sampai saat ini tercatat sebagai
organisasi terbesar di dunia. Yakni Jam’iyyah Nahdlatul Ulama‟, Suatu organisasi
tradisionalis yang didirikan dengan tujuan mempersatukan para ulama dan
mengubah pandangan hidup mereka tentang zaman baru.20
Beliau mendirikan
ormas ini bersama mantan muridnya KH. Abdul Wahab Hasbullah pada tanggal
31 Januari 1926.21
Lahirnya Nahdlatul Ulama menjadikan Hasyim Asy‟ari dikenal oleh
berbagai macam golongan baik di dalam maupun di luar Indonesia, khusunya
dalam mengenalkan tentang Islam Indonesia. James J. Fox (1999), seorang
antropolog dari Australia National University, mengemukakan bahwa Hasyim
Asy‟ari merupakan salah satu wali yang sangat berpengaruh di Jawa, karena
beliau mempunyai kedalaman ilmu dan diyakini membawa berkah bagi para
pengikutnya.22
b. Kiprah sebagai Muhaddist
ditandai saat dia datang ke Tebuireng. Dari sikap kejujurannya pula, beliau tidak mau menerima
sumbangan dalam mendirikan pondok pesantren apabila sumbangan itu akan mempengaruhi
pendiriannya. Lihat juga, Syamsul A‟dlom, Kiprah KH Hasyim Asy’ari, h. 20 19
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996),
h. 249-250. 20
Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlotul Ulama (Solo: Jatayu,
1985), h. 15. 21
Latihful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari, h. 6. 22
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderas Keutamaan dan
Kebangsaan, h. 27.
19
Perjalanan Hasyim Asy‟ari menempa pengetahuan dalam kajian hadis
berguru di bawah bimbingan Syaikh Mahfudz al-Tirmasi, seorang intelektual
Muslim Indonesia yang menetap di Makkah. Beliau belajar dan mendapatkan
ijazah Sahih Bukhari yang kemudian mendapatkan izin untuk mengajarkan Kitab
Sahih Bukhari.23
Beliau merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima
(isnad) hadis dari 23 generasi penerima karya ini. Syaikh Mahfudz juga membuat
Hasyim Asy‟ari sangat tertarik dengan ilmu hadits, sehingga setelah kembali ke
Indonesia beliau mendirikan pesantren yang terkenal dalam pengajaran
haditsnya.24
Keseriuasan Hasyim Asy‟ari dalam menuntut ilmu membuahkan hasil
yang manis, ia ditunjuk sebagai salah satu guru di Masjidil Haram bersama para
ulama di Indonesia seperti, Syaikh Nawawi al-Bantani, dan Syekh Minangkabawi.
Selama mengajar di Masjidil Haram, kyai Hasyim mempunyai sejumlah murid,
diantaranya Syeikh Sa‟dullah Maimani (Mufti India), Syeikh Umar Hamdan (Ahli
hadist di Makkah), al-Syihab Ahmad bin Abdullah (Suriyah), KH. Wahab
Khasbullah (Jombang) KH.R Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (kudus) KH. Bisri
Syamsuri (Jombang), KH. Shaleh (Tayu). Hal ini menunjukan bahwa ulama asala
Indonesai pada masa lalu bukan hanya sekedar murid para ulama di Timur tengah
dan dunia Islam lainnya, melainkan mereka juga sebagai guru, yang karena
kedalaman ilmunya mendapatkan reputasi yang baik.25
23
Latihful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari
(Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 7. 24
Afriadi Putra, “Pemikiran Hadis KH. M. Hasyim Asy‟ari dan Kontribusinya Terhadap
Kajian Hadis Di Indonesia”, Wawasan: Jurna Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 (Januari:
2016): h. 48. 25
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderas Keutamaan dan
Kebangsaan, h. 49.
20
Al-Qur‟an dan al-Hadits sebagai acuan dua bidang keilmuan yang
diterapkan pada pesantren yang didirikannya (selain juga muatan lain, seperti:
Adab, Akhlak, Tauhid dan Tasawuf), menjadikan Hasyim Asy‟ari sebagai seorang
tokoh pembaharu di kalangan ulama tradisionalis.26
Pasalnya, pesantren-pesantren
lain belum memiliki acuan dua bidang keilmuan sebagaimana yang diterapkan di
pesantren ini, sehingga banyak dari berbagai kalangan berduyun-duyun belajar
(nyantri) di pesantrennya, baik dari kalangan kyai maupun santri pada umumnya
yang dari luar daerah. Terbukti orang-orang yang pernah mengikuti dan melihat
sendiri cara beliau membaca al-Bukhari mengatakan bahwa hasyim asy‟ari
sebenarnya telah hafal seluruh kitab yang terkenal itu, seolah-olah membaca kitab
karangannya sendiri.27
Selain ilmu hadits, Hasyim Asy‟ari juga belajar tarekat Qadariyah dan
Naqsabandiyah, ilmu yang diterima dari Syaikh Mahfudz dan Nawawi. Beliau
juga belajar fikih mazhab Syafi‟i di bawah bimbingan Ahmad Khatib yang juga
ahli dalam bidang astronomi dan ilmu falak.28
c. Kiprah di bidang politik
Kiprah Hasyim Asy‟ari tidak hanya di dunia pesantren, beliau juga ikut
berjuang dalam membela Negara. Semangat kepahlawanan yang dimiliki beliau
tidak pernah kendor. Perjuangannya dalam rangka merebut kemerdekaan
melawan Belanda dibuktikan beliau dengan kegigihan dan semangat pantang
menyerah. Beliau merupakan tokoh yang memiliki pengaruh politik yang sangat
besar bagi kenerdekaan Indonesia. Keberhasilannya mendirikan organisasi
26
Latihful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari, h. 40. 27
Saefudin Zuhri, Guruku Orang-Orang Pesantren (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. 151. 28
Afriadi Putra, “Pemikiran Hadis KH. M. Hasyim Asy‟ari dan Kontribusinya Terhadap
Kajian Hadis Di Indonesia”, 48.
21
treadisonal (NU) dengan dibantu oleh murid dan koleganya telah membuktikan
bahwa Hasyim Asy‟ari salah satu ulama tradisonal yang paling berpengaruh pada
saat itu.29
Beliau juga dianggap sebagai pemimpin spiritual bagi sejumlah tokoh
politik diantaranya: Ir. Sokekarno, Jendral Sudirman, Bung Tomo dan lain-lain.
Bahkan menjelang akhir hidupnya, Bung Tomo dan panglima besar Jendral
Soedirman kerap kali berkunjung ke Tebuireng meminta nasehat beliau perihal
perjuangan mengusir penjajah.30
Pada masa kolonial Belanda, Hasyim Asy‟ari memerintahkan para santri
untuk terlibat dalam mengajar dan menyebarkan agama Islam kepada masyarakat.
Beliau melakukan perlawanan budaya dengan aksi melarang umat Islam untuk
meniru kebiasaan-kebiasaan orang Belanda. Langkah selanjutnya yang dilakukan
adalah pada akhir tahun 1930an, beliau menjabat sebagai Ketua Federasi
organisasi-organisasi Islam seperti MIAI (Majlis Islam A‟la Indonesia). Beliau
juga berperan dalam penggabungan antara MIAI dengan nasionalis-nasionalis
lain, sehingga menghasilkan Federasi politik GAPI (Gabungan Politik Indonesia)
dan menuntut Belanda agar membentuk perwakilan rakyat yang representatif
terhadap rakyat pribumi. Perlawanan seperti ini kemudian menjalar ke berbagai
pelosok daerah agar bisa menjaga independensi dari kekuasaan Belanda yang
berpusat di Kota.31
Sampai akhirnya kemerdekaan pun bisa di capai dengan
tumpah darah dan perjuangan bangsa Indonesia
Selanjutnya pasca kemerdekaan 1945, Hasyim asy‟ari bersama santri dan
koleganya membuat keputusan tentang Jihad melawan penjajah atau biasa dikenal
29
Zamakhsyari Dofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai
(Jakarta: LP3ES, 1982), h. 149. 30
Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlotul Ulama, h. 57. 31
Lathiful Khuluq: Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H. Hasyim Asy’ari, h. 91.
22
Resolusi Jihad32
. Seruan ini berisikan tentang kesadaran akan mempertahankan
NKRI dari serangan sekutu dan NICA. Resolusi ini pun memberikan semangat
kepada seluruh kalangan untuk melawan imperialisme, dimana setiap bentuk
penjajahan adalah suatu kedhaliman dan haram menurut Islam dan wajib bagi
setiap muslim untuk berjuang dengan jiwa raganya membasmi imperialisme
tersebut guna kemerdekaan agama, bangsa, dan Negara.33
Pada Masa Jepang, Panglima besar tentara Jepang di Jakarta, Saikoo
Sikikan, mengharuskan masyarakat Indonesaia untuk melakukan Saikere. Hal ini
menimbulkan kegemparan di kalangan ulama dan dunia pesantren di seluruh
tanah air, yang kemudian para Ulama mengharamkan saikere tersebut karena
menyerupai ruku dalam shalat orang Islam, yang harus diperuntukan menyembah
Allah swt.34
Hasyim Asy‟ari dengan memimpin Masyumi, suatu federasi
organisasi Islam, ketika perang kemerdekaan meletus di Surabaya pada 10
November 1945, beliau mengeluarkan fatwa yang menyatakan adalah kewajiban
bagi setiap Muslim untuk berjihad. Sehingga atas perlawanan tersebut, Hasyim
Asy‟ari di tangkap dan dimasukkan ke penjara selama empat bulan oleh tentara
Jepang. Beliau dituduh mengadakan aksi menentang kekuasaan Jepang di
Indonesia.35
Atas jasa-jasa Hasyim Asy‟ari yang begitu besar dalam melawan penjajah
terhadap negara Republik Indonesia, beliau dianugerahi sebuah gelar “Pahlawan
Nasional” dengan surat keputusan Presiden RI No.284/TK/Tahun 1964, tanggal
17 November 1964, karena beliau juga merupakan mata rantai gerbang tradisi
32
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderas Keutamaan dan
Kebangsaan, h. xiv. 33
Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlotul Ulama, h. 131. 34
Saefudin Zuhri, Guruku Orang-Orang Pesantren h. 264. 35
Muhammad Rifa‟I, KH. Hasyim Asy’ari: Biografi Singkat 1871-1942, h. 82.
23
intelektual para ulama Indonesia yang geneologi keilmuannya bersumber kepada
Syaikh Nawawi.36
Di Hijaz, Hasyim Asy‟ari juga mendapat pengaruh dan perkembangan
politik lokal seperti sentimen anti-kolonial, nasionalisme Arab dan pan-Islamisme
sebagai reaksi terhadap invasi Barat pada abad ke-19 oleh Kristen Eropa. Anjuran
pan-Islamisme adalah agar umat Islam bersatu dalam menghadapi ekspansi Eropa.
Seruan persatuan ini nampaknya sangat berpengaruh pada Hasyim Asy‟ari dan
mengilhaminya untuk mewujudkan persatuan umat Islam dengan membebaskan
tanah air dari kolonialisme. Selain itu, pada akhir abad ke-19 M. perkembangan
Islam di Timur Tengah menimbulkan adanya gerakan menuju kebangkitan dunia
Islam di bawah komando Jamaluddin al-Afgani dan Mohammad Abduh yang
bertujuan mewujudkan semangat pembaharuan, menanamkan jiwa anti
imperialisme dan kolonialisme serta reformasi menentang kezaliman penjajah
serta mengharapkan kebebasan Islam di masa yang akan datang.37
d. Karya-karyanya
Sebagai seorang intelektual, KH Hasyim Asy‟ari telah menyumbangkan
banyak hal yang berharga bagi pengembangan peradaban, di antaranya adalah
sejumlah literatur keagamaan dan sosial. Karya-karya tulis KH. Hasyim Asy‟ari
yang terkenal adalah sebagai berikut38
:
36
Syamsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawai al-Bantani
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009), h. 94. 37
Afriadi Putra, “Pemikiran Hadis KH. M. Hasyim Asy‟ari dan Kontribusinya Terhadap
Kajian Hadis Di Indonesia”, h. 49. Lihat Juga, Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam:
Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), h. 43. 38
Syamsul A‟dlom, “Kiprah KH Hasyim Asy‟ari Dalam Mengembangkan Pendidikan
Agama Islam”, Jurnal Pusaka (Juli: 2014): h. 18
24
1. Adāb al-‘Ālim wa al-Muta’allim, yang menjelaskan tentang pelbagai
hal yang berkaitan dengan etika orang yang menuntut ilmu dan
seorang guru.
2. Ziyādāt Ta’liqāt, sebuah tanggapan atas pendapat Syaikh Abdullah bin
Yasin Pasuruan yang berbeda pendapat tentang NU.
3. Al-Tanbīhāt al-Wājibāt Liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarāt,
yang menjelaskan tentang orangorang yang mengadakan perayaan
maulid nabi dengan kemungkaran.
4. Al-Risālah al-Jāmi’ah, menjelaskan tentang keadaan orang yang
meninggal dunia, tanda-tanda kiamat, serta ulasan tentang sunnah dan
bid‟ah.
5. Al-Nūr al-Mubīn fī Mahabbah Sayyid al-Mursalīn, menjelaskan
tentang cinta kepada Rasul dan hal-hal yang berhubungan dengannya,
menjadi pengikutnya dan menghidupkan tradisinya.
6. Al-Durar al-Muntasyirah fī alMasāil al-Tis’a ’Asyarah, menjelaskan
tentang persoalan tarekat, wali, dan hal-hal penting lainnya yang
terkait dengan keduanya atau pengikut tarekat.
B. Latar Belakang Penyusunan dan Deskripsi Kitab Al-Tibyân
1. Latar Belakang Penyusunan
Berdasarkan penelusuran penulis, Hasyim Asy‟ari tidak menyebutkan
secara spesifik latar belakang penulisan kitab ini. Namun jika dikaitkan dengan
konteks yang pernah dialami oleh beliau pada saat itu bahwasanya beliau
menyebutkan di dalam kitab ini suatu peristiwa dimana ada seorang ahli ibadah
yang tidak pernah meninggalkan perintah Allah seperti shalat malam, puasa, tidak
25
pernah berbicara kotor, melaksanakan ibadah haji dan lain-lain. Suatu ketika ia
(ahli ibadah) tidak mau menegur dan menyapa sesama muslim lainnya, hal ini
bermula ketika ia datang ke Masjid, kemudian ada perkataan yang tidak baik dari
beberapa orang yang hadir pada saat itu, sehingga menimbulkan rasa benci yang
dirasakan oleh ahli ibadah tersebut. Semenjak peristiwa itu ia tidak pernah terlihat
dan bersosialisasi dengan masyarkat lainnya hingga beberapa hari.
Melihat peristiwa ini, hasyim asy‟ari mencoba mencari tau dan berkunjung
ke kediaman ahli ibadah tersebut dengan harapan dapat memberikan pencerahan
terhadap sikap yang salah yang telah dimunculkan oleh ahli ibadah itu. Namun
ketika beliau (Hasyim Asy‟ari) berkunjung, beliau juga tidak di izinkan untuk
bertemu dengan seorang ahli ibadah tersebut. Setelah beberapa kali memanggil
kemudian Hasyim Asy‟ari akhirnya bertemu dengan ahli ibadah itu, lalu beliau
bertanya alasan ahli ibadah tersebut tidak mau bersosialisasi kepada masyarakat.
Kemudian ahli ibadah tersebut menyebutkan alasannya, bahwa ia melihat
masyarakat bagaikan segerombolan monyet.
Kemudian Hasyim Asy‟ari menjawab sang ahli ibadah tersebut, bahwa
boleh jadi syaitan telah mensikhir mata anda dan menjadikan hatinya was-was,
lalu sang ibadah tadi menanggapi beliau dengan berkata: “berdiam dirilah di
rumah anda dan jangan pernah sekali-kali keluar sampai pada satu ketika
masyarakat meyakini bahwa anda adalah seorang kekasih Allah, kemudian
mereka mengunjungi anda dan bertabaruk kepada anda, sertameminta petunjuk
dari anda”, mendengar jawaban tersebut Hasyim Asy‟ari memperingatkan sang
ahli ibadah untuk insyaf, kemudian melanjutkan peringatannya dengan mengutip
sabda Nabi saw yang diungkapkan kepada „Amru bin „Ash, sesungguhnya ada
26
hak bagi setiap tamu anda, dan Nabi melanjutkan sabdanya: barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia memuliakan tamunya.
Dari kisah diatas, penulis menyimpulkan bahwa bahaya larangan memutus
silaturrahim bagi seorang muslim dengan muslim yang lainnya. Hal ini juga
disampaikan oleh Ishamuddin Hadziq selaku penyusun kitab al-Tibyân di dalam
Muqaddimahnya, Bahwa beliau memberikan dua poin penting tentang tujuan
ditulisnya kitab ini. Pertama, untuk menjelaskan betapa pentingnya silaturahim
dalam hubungan kemasyarakatan dan kekerabatan yang harmonis demi
terwujudnya masyarakat yang Islami. Kedua, untuk menjelaskan tentang
bahayanya memutus silaturahim serta kehidupan masyarakat yang disharmoni
yang dapat menyebabkan kebencian, hasut dan perpecahan.
2. Deskripsi Kitab al-Tibyân
a. Sistematika Kitab al-Tibyân
Hasbi ash-Shiddiqie menyebutkan dalam bukunya “Sejarah dan pengantar
Ilmu Hadits” bahwa setidaknya ada empat macam sistematika penyusunan kitab
hadits, yaitu: Pertama, sistematika kitab shahih dan sunan disusun dengan dasar
membagi kitab itu dalam beberapa bab. Kedua, sistematika kitab musnad, yaitu
kitab yang disusun menurut nama perawi pertama yakni perawi yang menerima
dari Rasul. Ketiga, penyusunan kitab dengan membagi kedalam lima bagian yaitu:
perintah, larangan, khabar, ibadat dan af’al (pekerjaan) secara menyeluruh.
Keempat, sistematika melalui penyusunan kamus, yaitu dengan ditulis
27
menggunakan abjad hijaiyyah, seperti penyusunan kitab al-Jami‟ ash-Shaghir
karya as-Sayuthi.39
Kitab al-Tibyân karya Hasyim Asy‟ari ini menurut hemat penulis,
memiliki cukup banyak tahapan dalam menjelaskan tema yang diusung yakni
Larangan Memutus Silaturahim. Pada tahap awal misalnya, Hasyim Asy‟ari
menyebutkan beberapa ayat yang terkait dengan tema tersebut. Kemudian
mengemukakan beberapa penjelasan dari ayat yang dicantumkan dengan beberapa
hadits yang menjelaskan ayat-ayat diatas sebagai penguat atas persoalan atau
masalah yang terkait. Tahapan selanjutnya, beliau memberikan beberapa tanbih
(penjelasan) dari perspektif Hasyim Asy‟ari sendiri tentang ayat dan hadits-hadits
yang termuat sebelumnya melalui hadits-hadits yang lain sebagi penguat dari
penjelasan yang disebutkannya.
Hasyim Asy‟ari juga menampilkan beberapa kutipan dari tokoh-tokoh lain
diantranya Ibnu Hajar yang tercantum pada bagian faidah, Far’ (cabang) dan juga
catatan pribadi (nuqtah) yang terkait dengan bebrapa uraian yang telah disebutkan
sebelumnya.
b. Metode penulisan Kitab al-Tibyân
Metode penulisan kitab al-Tibyân ini hampir sama dengan penulisan kitab
karya Hasyim Asy‟ari yang lain, yaitu kitab Risȃlah ahlu sunah wal jamaah.
Metode penulisan kitab al-Tibyân menggunakan metode syarh, yaitu mengutip
suatu hadis kemudian menjelaskannya secara panjang lebar. Lebih rinci, dalam
metode ini biasanya pengarang akan menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, mengutip hadis dengan menyebutkan rawi pertama dan mukharrij-nya.
39
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009), edisi 3, h. 81.
28
Kedua, mengutip hadis dengan menuliskan matannya saja. Ketiga, mengutip hadis
dengan menyebutkan perawi pertama saja.
29
BAB III
TAKHRIJ HADITS KITAB AL-TIBYȂN
Di dalam Kitab al-Tibyân fȋ al-Nahyȋ „an Muqâṭi‟at al-Arḥâm wa al-
Aqârȋb wa al-Ikhwân karya Hasyim Asy’ari secara keselurahan terdapat 36 hadits
yang tersebar diberbagai sub-subnya, yakni: tanbȋh, furu‟ dan nuktah. Dalam
penelitian ini, hadits-hadits yang diteliti hanya hadits yang terdapat di dalam
nuktah yang berjumlah enam buah hadits. Berikut adalah hadits-hadits yang
terkait:
1. ػ اث ػجبط سعيػ صىالل الل ػ ع رشفغلصلسلبي قصلر ف
شجشاسءع سج بأ ل شأح وبس ا بثبرذ ج ص ب عبخظ ػ
ا أخ ب زصبس .
2. الص جخ اةا شحرفزحأث ش أث لششنػ ػجذ ى ظفغفش خ ا
حب حزىصط ز ظشا شحبءفمبيأ أخ ث سجلوبذث ئبإل ش .ثبلل
دأثلبي .3 جشحوبذإرادا ا ظلل ف زا اج فئ ء صىثش الل ػ ع
ثؼضجش غبئ بأسثؼ اث ش إىاثبجشسضاللهػػ بدأ .
سعيفمذلبي .4 اللهصىالل ػ ع اؼبصسضغذبػجذاللهثػشث
إ فهاللهػب هض .حمبػ
ف .5 ض ىش خشف ا ا ثبلل ؤ وب ع ػ .لبيصىالل
لذ .6 جبئؼب برئجب ع ػ صىالل لبيسعيالل ب ثأفغذ أسعلفغ
ذ اششف بي شءػىا .حشصا
Metode yang akan digunakan dalam menelusuri keberadaan hadits-hadits
diatas adalah dengan menggunakan metode takhrȋj al-hadȋts. Takhrij diperlukan
dengan maksud untuk menemukan sumber asli dari berbagai kitab hadits yang
30
saling berkaitan, dimana didalamnya terdapat penjelasan lebih lanjut terhadap
keberadaan sanad maupun matannya.1
Diantara metode yang digunakan dalam kegiatan takhrij adalah:2
1) Mengetahui sahabat yang meriwayatkan hadits.
2) Mengetahui lafadz matan hadits yang jarang digunakan.
3) Mengetahui pokok bahasan atau tema hadits.
4) Mengetahui lafadz pertama dari matan hadits.
5) Meneliti keadaan hadits baik di dalam sanad ataupun matan.
Dalam penelitian ini, penulis hanya menggunakan dua metode, yakni
dengan mengetahui melalui lafadz-lafadz matan hadits yang jarang digunakan,
dengan merujuk kepada kitab Muʻjam al-Mufahras li alfȃz al-Hadȋts al-Nabȃwȋ
karya A.J. Wensinck. Dan dengan mengetahui melalui lafadz awal dari matan
hadits dengan merujuk kepada kitab Mausȗʻah al-Atrȃf al-Hadȋts al-Nabȃwȋ al-
Syarȋf karya Muhammad Saʻȋd Ibn Basyȗni.
Setelah mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitan keberadaan
hadits, kemudian penulis akan melakukan I‟tibar yang bertujuan untuk
memperlihatkan dengan jelas seluruh sanad hadits yang diteliti termasuk
didalamnya adalah para periwayat hadits dengan membuat skema atau bagan
perjalanan haditsnya.
1 Syuhudi Isma’il, Metode Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), h.40.
2 Mahmud al-Tahhan, Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits, terj, Ridwan Nasir,
(Surabaya: Bina Ilmu, 1995), cet.1, h.25.
31
A. Hadits ke-1
a. Teks dan takhrij hadits
ػ اث ػجبط سعيػ صىالل الل ػ ع رشفغلصلسلبي قصلر ف سءع
شجشا سج بأ ل شأح وبس ا بثبرذ ج ص ب عبخظ ػ ا أخ ب زصبس
Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau
bersabda: "Tiga golongan yang shalatnya tidak akan di angkat meski satu jengkal
dari kepalanya; seseorang yang mengimami suatu kaum sementara mereka tidak
menyukainya, seorang perempuan yang bermalam sementara suaminya marah
kepadanya, dan dua bersaudara yang saling bermusuhan. "(HR. Ibnu Mȃjah)
Setelah ditelusuri melalui kitab Mausȗ‟ah al-Atrȃf al-Hadȋts al-Nabȃwȋ al-
Syarȋf, hadits diatas tidak ditemukan dalam Al-Kutub al-Sittah, sedangkan melalui
kitab Mu‟jam al-Mufahras li Alfȃz al-Hadȋts al-Nabȃwȋ3, hadits diatas hanya
diriwayatkan oleh Ibnu Mȃjah, 43ج.إلبخ .
Jalur Ibnu Mȃjah
ذحذصب ح شث ػ حىحذصب:لبيبطث ػجذث ح اش حذصب:لبيالسحج ذح ػج ث
د، الع ػ مبع ا ذ،ث ا بيػ ا ،ث ش ػ عؼذػ ،ث ش جج ػ ،اث ػجبط
سعيػ اللهصىالل ػ ع رشفغلصلصخ :"لبي قصلر ف :شجشاسءع سج
بأ ل ، شأح وبس ا بثبرذ ج ص ب عبخظ ،ػ ا أخ ب زصبس
b. Kegiatan I‟tibar
Kegiatan I’tibar adalah memperlihatkan dengan jelas seluruh sanad hadits
yang diteliti, termasuk nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang
digunakan oleh masing-pasing periwayat, maka dari itu diperlukan pembuatan
skema untuk seluruh sanad yang diteliti.
3 Dengan menggunakan kata شجشا , Lihat,. A.J.Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras li Alfȃz al-
Hadȋts al-Nabȃwȋ, Juz 3, (Leden: Maktabah Barȋl, 1926), h.58.
32
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mȃjah menjelaskan bahwa hadits
tersebut me
Ibnu Mȃjah (w. 273 H), menerima hadits dari Muhammad bin ‘Umar bin
Hayyȃj (w. 255 H) dengan redaksi hadits Haddatsanȃ, Muhammad bin ‘Umar bin
Hayyȃj (w. 255 H) menerima riwayat hadits dari Yahyȃ bin Abd al-Rahmȃn al-
Arhabȋ dengan menggunakan redaksi hadits haddatsanȃ, Yahyȃ bin ‘Abd al-
Rahmȃn al-Arhabȋ menyatakan bahwa dia menerima riwayat hadits dari ‘Ubaidah
bin al-Aswad dengan redaksi hadits haddatsanȃ, ‘Ubaidah bin al-Aswad
menerima riwayat hadits dari Qȃsim bin al-Walȋd menggunakan redaksi hadits ʻan
dalam periwayatan itu.
Qȃsim bin al-Walȋd (w.141 H) menerima riwayat hadits dari Al-Minhȃl
bin ‘Amr dengan menggunakan redaksi hadits ʻan, Al-Minhȃl bin ‘Amr menerima
riwayat hadits dari Saʻȋd bin Jabȋr (w. 95 H) dengan redaksi ʻan dalam
periwayatannya. Saʻȋd bin Jabȋr (w. 95 H) menerima riwayat hadits dari Ibnu
‘Abbȃs (w. 68 H) dengan menggunakan redaksi ʻan, Ibnu ‘Abbȃs (w. 68 H)
menerima hadits dari Rasulullah menggunakan redaksi ʻan Para ulama menilai
positif (ta‟dil) dan dimungkiankan mereka pernah bertemu, sehingga sanadnya
bersambung dan dapat diterima.
33
Skema hadits ke-1
ه صيهى الله عي رطىه الله
عبهاص اب
ههاج ز ب ع ذ ب ه ح
الرحب ح عبذ اىزه حى ب
ز جب طعذ ب
الطىد ذة ب عب
و ز ع هاه ب اى
اىىىذ ب اىقاط
ع
ع
ع
ع
ع
ثا حذه
ثا حذه
إب اجه
ثا حذه
34
B. Hadits ke-2
a. Teks dan takhrij hadits
لش ػجذ ى ظفغفش خ ا الص جخ اةا شحرفزحأث ش أث ئبػ ش شنثبلل
حز ز ظشا شحبءفمبيأ أخ ث سجلوبذث حبإل ىصط
Dari Abu Hurairah bahwa "Sesungguhnya pintu-pintu surga dibuka pada
hari Senin dan kamis. Semua dosa hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan
sesuatu akan diampuni, kecuali bagi orang yang antara dia dan saudaranya
terdapat kebencian dan perpecahan." Lalu dikatakan: 'Tangguhkanlah dua orang
ini hingga mereka berdamai!(HR. Muslim)
Setelah ditelusuri melalui kitab Mausȗʻah Atraf al-Hadȋts al-Nabawȋ al-
Syarȋf4, hadits diatas tidak ditemukan dalam Al-Kutub al-Sittah, sedangkan
melalui kitab Mu‟jam al-Mufahras li Alfȃz al-Hadȋts al-Nabȃwȋ,5 hadits diatas
hanya diriwayatkan oleh Sahȋh Muslim 35اجشاصخ.
Jalur Muslim
جخحذصب لز ،ث عؼذ هػ ب ،ث بأظ ،لشاف ػ ،ػ ع ،ػ أث أثػ
شح، ش اللهصىاللهسعيأ ،ػ ع لبي " اةرفزح: جخأث ا ، ص ال
ظ، خ فغفشا ئب،ثبللششنلػجذ ى ش وبذسجلإل ث ث :فمبيشحبء،أخ
ظشا أ حب،حزىز ظشاصط أ حب،حزىز ظشاصط أ حبحزىز صط
b. Kegiatan I‟tibar
Kegiatan I’tibar adalah memperlihatkan dengan jelas seluruh sanad hadits
yang diteliti, termasuk nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang
digunakan oleh masing-pasing periwayat, maka dari itu diperlukan pembuatan
skema untuk seluruh sanad yang diteliti.
4 Abȗ Hȃjir Muhammad al-Saʻȋd bin Basyȗnȋ Zaghlȗl, Mausuʻah al-Atrȃf al-Hadȋts al-
Nabawwȋ al-Syarȋf, Juz 4 (Beirut: Dȃr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t) h.397 5 Dengan kata شجشا. Lihat,. A.J.Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras li Alfȃz al-Hadȋts al-
Nabȃwȋ, Juz 3, h.58.
35
Imam Muslim menerima hadits dari Qutaibah bin Saʻȋd dengan redaksi
hadits Haddatsanȃ, Qutaibah bin Saʻȋd menerima riwayat hadits dari Mȃlik bin
Anas dengan menggunakan redaksi hadits „An, Mȃlik bin Anas menyatakan
bahwa dia menerima riwayat hadits dari Suhail dengan redaksi hadits „An.
Suhail menerima riwayat hadits dari Abȋhi dengan menggunakan redaksi
hadits ‟An, Abȋhi menerima hadits dari Abȋ Hurairah dengan menggunakan
redaksi „An, Abȋ Hurairah menerima hadits langsung dari Rasulullah dengan
menggunakan redaksi Anna.
Berdasarkan dari riwayat hadits Muslim, penulis menyimpulkan bahwa
jalur sanad diatas menjelaskan adanya kebersambungan sanad dari perawi-
perawinya, karena mereka saling bertemu dan tahun hidup dan wafat mereka
saling berdekatan. Berikut adalah skema jalur periwayatan hadits diatas.
36
Skema hadits ke-2
ه صيهى الله عي رطىه الله
زة أب هز
ظي
أبه
بت قت طعذ ب
و طه
اىل أض ب
ه أ
ع
ع
ع
ع
ثا حذه
37
C. Hadits ke-3
a. Teks dan takhrij hadits
دأثلبي جشحوبذإرادا ا ظلل ف زا اج فئ ء صىثش الل ػ ع جش
ثؼض غبئ بأسثؼ اث ش إىاثبجشسضاللهػػ بدأ
Abu Dawud menyebutkan, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah
mendiamkan sebagian isteri-isterinya selama empat puluh hari, Ibnu Umar juga
pernah mendiamkan anaknya hingga ia meninggal." Abu Dawud berkata, "Jika
mendiamkan itu karena Allah, maka (ancaman) hadits ini tidak berlaku.
Setelah ditelusuri melalui kitab Mausȗ‟ah al-Atrȃf al-Hadits al-Nabȃwȋ al-
Syarȋf,6 hadits diatas tidak ditemukan dalam Al-Kutub al-Sittah, sedangkan
melalui kitab Mu‟jam al-Mufahras li Alfȃz al-Hadȋts al-Nabȃwȋ,7 juga tidak
ditemukan ditemukan dari beberapa kata kuci yang dicari.
D. Hadits ke-4
a. Teks dan takhrij hadits
سعي اللهصىالل ػ ع إ غذبػجذاللهثػشثاؼبصسضاللهػب
فه هض حمبػ
“Rasulullah saw kapada sayyidina „Abdullah bin „Amr bin „Ȃs, dan
sesungguhnya terhadap tamumu mempunyai hak terhadapmu.”
Setelah ditelusuri melalui kitab Mausȗ‟ah al-Atrȃf al-Hadits al-Nabȃwȋ
al-Syarȋf,8 hadits diatas hanya diriwayatkan oleh Sunan al-Nasȃʻȋ, .4 :211.
sedangkan melalui kitab Mu‟jam al-Mufahras li Alfȃz al-Hadȋts al-Nabȃwȋ,9
6 Abȗ Hȃjir Muhammad al-Saʻȋd bin Basyȗnȋ Zaghlȗl, Mausuʻah al-Atrȃf al-Hadȋts al-
Nabawwȋ al-Syarȋf, Juz 4, h.397. 7 Dengan kata شجشا. Lihat,. A.J.Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras li Alfȃz al-Hadȋts al-
Nabȃwȋ, Juz 3, h. 58 8 Abȗ Hȃjir Muhammad al-Saʻȋd bin Basyȗnȋ Zaghlȗl, Mausuʻah al-Atrȃf al-Hadȋts al-
Nabawwȋ al-Syarȋf, juz 3, h. 381. 9 A.J.Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras li Alfȃz al-Hadȋts al-Nabȃwȋ, Juz 3, h. 528.
38
hadits diatas diriwayatkan Abȗ Dawȗd, Tirmidzȋ, dan Sunan al-Nasȃʻȋ 27د.رطع,,
.76,,.صب64د.صذ
Jalur al-Nasȃ’ȋ
حىأخجشب ،أثحذصب:لبيدسعذ،ث ؼ حىحذصب:لبيإع ،أثث وضش خ،أثبأ ع
حذص ،ػجذأ :لبيالل سعيدخ اللهصىالل ػ ع :»فمبيحجشر، أهأخجشأ
رم ا رص بس لبي،«ا »لبيثى،: ،فل: رفؼ ، ل ص أفطش، هفئ ؼ
ه حمب،ػ إ هجغذن حمب،ػ إ جزه هض حمب،ػ إ فه هض إحمب،ػ
هصذمه حمب،ػ إ ػغى ،ثهطيأ ش ػ إ حغجه أ رص ش و صلصب،ش
ه فز شصب ،اذ حغخو ا بثؼشش ضب ذ،«أ ح،أجذإ:ل دفشذدد،ل ،فشذ :لبيػ
ص» ؼخ و صلصخج ذ،«أب ل أوضشأطكإ: ه، دفشذدد،ر ،فشذ :لبيػ
ص» ص ج دالل دا ػ ذ،«اغل ب:ل وب د،ص شصف:»لبيدا «اذ
Jalur Abu Dawud
ذحذصب ػج الل ،ث ،حذصبعؼذ أث،حذصبػ ػ إعحبق،اث ػ شب ح،ث ػش ػ
، أث ػبئشخ،ػ أ اللهصىاج ػ ع ىثؼش إ ب ػض ،ث ظؼ :فمبيفجبء،
،ب» ب أسغجذػض ل:لبي،«عزػ الل ،سعيب الل ى فئ:»لبيأطت،عزه
أص،أب أص أفطش، ىح أ فبركاغبء، ،بالل ب ػض هفئ هل حمب،ػ إ
فه هض حمب،ػ إ فغه ه حمب،ػ أفطش،فص ص »
39
b. Kegiatan I‟tibar
Kegiatan I’tibar adalah memperlihatkan dengan jelas seluruh sanad hadits
yang diteliti, termasuk nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang
digunakan oleh masing-pasing periwayat, maka dari itu diperlukan pembuatan
skema untuk seluruh sanad yang diteliti.
Al-Nasȃ’ȋ (w. 303 H), menerima hadits dari Yahyȃ bin Durusta dengan
redaksi hadits akhbarnȃ, Muhammad bin Yahyȃ bin Durusta menerima riwayat
hadits dari Abȗ Ismȃʻȋl dengan menggunakan redaksi hadits haddatsanȃ, Abȗ
Ismȃʻȋl menyatakan bahwa dia menerima riwayat hadits dari Yahyȃ bin Abȋ Katsȋr
dengan redaksi hadits haddatsanȃ.
Yahyȃ bin Abȋ Katsȋr (w. 129 H) menerima riwayat hadits dari Abȗ
Salamah (w. 104 H), Abȗ Salamah (w. 104 H) menerima riwayat hadits dari
‘Abdullah (w. 63 H) dengan menggunakan redaksi hadits haddatsahȗ, ‘Abdullah
(w. 63 H) menerima hadits dari Rasulullah menggunakan redaksi ʻan.
Berdasarkan dari riwayat hadits al-Nasȃʻȋ, penulis menyimpulkan bahwa
jalur sanad diatas menjelaskan adanya kebersambungan sanad dari perawi-
perawinya, karena mereka saling bertemu dan tahun hidup dan wafat mereka
saling berdekatan. Berikut adalah skema jalur periwayatn hadits diatas.
40
Skema hadits ke-4
ه صيهى الله عي رطىه الله
عبذ الله
اىظائ
ت أبا طي
حى درطت ب
حى مثز أب ب
عو أبى إط
ع
ثه حذه
ثا حذه
ثا حذه
ثا حذه
أخبزا
عائشت
ذ عب الله طعذ ب
ع
أبه
أب
هشا عزوة ب
إطحاق اب
ه أ
ع
أبى داود
ع
ع
ع
ثا حذه
ثا حذه
ثا حذه
41
E. Hadits ke-5
a. Teks dan takhrij hadits
ىش خشف ا ا ثبلل ؤ وب ع ػ فلبيصىالل ض
Dan berkata Nabi saw, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari
akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya."(HR. Bukhȃrȋ)
Setelah ditelusuri melalui kitab Mausȗ‟ah al-Atrȃf al-Hadits al-Nabȃwȋ al-
Syarȋf,10
hadits diatas hanya diriwayatkan oleh Sunan al-Bukhȃri, Sunan Muslim,
Abȗ Dawȗd dan Tirmidzȋ .د.3748,,د.73,7576,77,,.الب8:13,39,125خ,,
1967 ,2522. sedangkan melalui kitab Mu‟jam al-Mufahras li Alfȃz al-Hadȋts al-
Nabȃwȋ,11
hadits diatas diriwayatkan Sunan al-Bukhȃrȋ, Sunan Muslim, Abȗ
Dawȗd, Tirmidzȋ dan Ibnu Mȃjah د.أطؼخ74,75,77,أب14,,.مطخ31,85خ.أدة,,
5,,ج.أدة52,لبخ43,,د.ثش5
Jalur al-Bukhȃrȋ
ػجذحذصب الل ،أخجشبعف،ث ه ب عؼذػ مجشي،عؼذ أثث ا ح أثػ شش
اىؼج : سعيأ اللهصىالل ػ ع »لبي : وب ؤ ثبلل ا اخش ىش ف
ف، جبئضرض خ ، بفخ اض ،صلصخ بأب هثؼذف ر لصذلخ ،ف ح يأ ض
ذ ،حذصب،«حشجحزىػ بػ لبيإع ه حذص: ب ض،: صاد « : وب ؤ ثبلل
ا اخش م شاف خ ذأ «ص
Jalur Muslim
جخذصبح لز ،ث ،حذصبعؼذ ش عؼذػ ،أثث عؼذ ح أثػ ي،شش ؼذ ا :لبيأ
ؼذ أثصشدأربي،ع بي، ػ ح اللهصىاللهسعيرى ،ػ ع :»فمبي وب
10
Abȗ Hȃjir Muhammad al-Saʻȋd bin Basyȗnȋ Zaghlȗl, Mausuʻah al-Atrȃf al-Hadȋts al-
Nabawwȋ al-Syarȋf, juz 8, h. 506. 11
A.J.Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras li Alfȃz al-Hadȋts al-Nabȃwȋ , juz 3 h. 528.
42
ثبللؤ ا خش ا ىش فف ب:لبا،«جبئضرض :»لبيالله؟سعيبجبئضر
ز بفخ. اض ،صلصخ بأب ف ساءوب ه ر «ػصذلخ ف
Jalur Abȗ Dawud
جخذصبح لز ،ث ،حذصبعؼذ ش عؼذػ ،أثث عؼذ ح أثػ ي،شش ؼذ ا :لبيأ
ؼذ أثصشدأربي،ع بي، ػ ح اللهصىاللهسعيرى ،ػ ع :»فمبي وب
ثبللؤ ا خش ا ىش فف ب:لبا،«جبئضرض :»لبيالله؟سعيبجبئضر
ز بفخ. اض ،صلصخ بأب ف ساءوب ه ر لخ صذف «ػ
Jalur Tirmidzȋ
ػجذحذصب الل ،أخجشبعف،ث ه ب عؼذػ مجشي،عؼذ أثث ا ح أثػ شش
اىؼج : سعيأ اللهصىالل ػ ع »لبي : وب ؤ ثبلل ا اخش ىش ف
ف، جبئضرض خ ، بفخ اض ،صلصخ بأب هثؼذف ر لصذلخ ،ف ح يأ ض
ذ ،حذصب،«حشجحزىػ بػ لبيإع ه حذص: ب ض،: صاد « : وب ؤ ثبلل
ا اخش م شاف خ ذأ «ص
Jalur Ibnu Mȃjah
ثىشأثحذصب جخأثث حذصب:لبيش عفب خ،ث ػ ػ ،اث ػجل عؼذػ أثث
، عؼذ ح أثػ ،شش خضاػ ا ػ اللهصىاج ػ ع »لبي : وب ؤ ثبلل
ا خش، ا ىش فف جبئضرض خ ، ل ح يأ ذض ػ حزىصبحج
بفخحشج، ،صلصخاض بأب فك أ صلصخثؼذػ أب «صذلخ ف
b. Kegiatan I‟tibar
Kegiatan I’tibar adalah memperlihatkan dengan jelas seluruh sanad hadits
yang diteliti, termasuk nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang
43
digunakan oleh masing-pasing periwayat, maka dari itu diperlukan pembuatan
skema untuk seluruh sanad yang diteliti.
44
ه صيهى الله عي رطىه الله
ح أب شز اىنعب
طعذ قبزي طعذ أب ب اى
اىل
عبذ الله ىطف ب
أ
ع
أخبزا
ثا حذه
البخاري
ع
أهه
ح أب اىعذوي شز
طعذ طعذ أب ب
ث ى
بت قت طعذ ب
ظي
ع
ع
ثا حذه
ثا حذه
ح أب اىعذوي شز
طعذ طعذ أب ب
ث ى
بت قت طعذ ب
أبى داود
ع
ع
ثا حذه
ثا حذه
أهه
ح أب اىعذوي شز
طعذ قبزي طعذ أب ب اى
اىل
عبذ الله ىطف ب
اىتزذي
ع
ع
أخبزا
ثا حذه
أ
ح أب شز اىخشاع
طعذ طعذ أب ب
اب عجل
طفا ت ب ع
بنز أبى بت أب ب ش
إب اجه
ثا حذه
ثا حذه
ع
ع
ع
ع
45
F. Hadits ke-6
a. Teks dan Takhrij Hadits
ب ثأفغذ فغ أسعل جبئؼب رئجب ب ع ػ صىالل الل سعي حشص لبي
اششف بي شءػىا ا ذ
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Dua serigala lapar
yang dilepas menyerang sekawanan kambing, pengrusakannya tidak melebihi
ambisi seseorang untuk memperoleh harta dan kemuliaan yang merusak
agamanya. (HR. Tirmidzȋ)
Setelah ditelusuri melalui kitab Mausȗ‟ah al-Atrȃf al-Hadits al-Nabȃwȋ
al-Syarȋf,12
, hadits diatas hanya diriwayatkan oleh Tirmidzȋ .2376 sedangkan د.
melalui kitab Mu‟jam al-Mufahras li Alfȃz al-Hadȋts al-Nabȃwȋ,13
hadits diatas
hanya diriwayatkan Tirmidzȋ .43د.صذ.
Jalur Tirmidzi
ذحذصب ع ػجذأخجشب:لبيصش ث الل جبسن،ث ا صوشبػ صائذح،أثث ذػ ح
ػجذث ح اش عؼذث صساسح،ث ػ وؼتاث ه ث ب صبسي، ال ،ػ لبي:لبيأث
سعي صىالل الل ػ ع ب:» رئجب فأسعلجبئؼب بثأفغذغ شءحشص ا
بيػى اششفا «ذ
b. Kegiatan I‟tibar
Kegiatan I’tibar adalah memperlihatkan dengan jelas seluruh sanad hadits
yang diteliti, termasuk nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang
digunakan oleh masing-pasing periwayat, maka dari itu diperlukan pembuatan
skema untuk seluruh sanad yang diteliti.
12
Abȗ Hȃjir Muhammad al-Saʻȋd bin Basyȗnȋ Zaghlȗl, Mausuʻah al-Atrȃf al-Hadȋts al-
Nabawwȋ al-Syarȋf, Juz 9, h. 128. 13
Dengan menggunakan kata رئت . Lihat,. A.J.Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras li Alfȃz
al-Hadȋts al-Nabȃwȋ, Juz, 2, h. 170.
46
Al-Tirmidzȋ (w. 279 H), menerima hadits dari Suwaid bin Nasr (w. 240 H)
dengan redaksi hadits Haddatsanȃ, Suwaid bin Nasr (w. 240 H) menerima
riwayat hadits dari ‘Abdullȃh bin al-Mubȃrak (w. 181 H) dengan menggunakan
redaksi hadits akhbarnȃ, ‘Abdullȃh bin al-Mubȃrak (w. 181 H) menyatakan
bahwa dia menerima riwayat hadits dari Zakariyȃ bin Abȋ Zȃidah (w. 147 H)
dengan redaksi hadits „an „anah. Zakariyȃ bin Abȋ Zȃidah (w. 147 H) menerima
riwayat hadits dari Muhammad bin ‘Abd al-Rahmȃn bin Saʻd bin Zurȃrah (w. 124
H), meskipun ia menggunakan redaksi hadits ʻan „anah.
Muhammad bin ‘Abd al-Rahmȃn bin Saʻd bin Zurȃrah (w. 124 H). Ia
menerima riwayat hadits dari Ibn Ka’b bin Mȃlik al-Ansarȋ (w. 98 H) dengan
menggunakan redaksi hadits ʻan „anah. Ibn Ka’ab bin Mȃlik al-Ansarȋ (w. 98 H)
menerima riwayat hadits dari Abȋhi, Kaʻb bin Mȃlik bin Abȋ Kaʻb (w. 50 H)
dengan redaksi ʻan „anah. Kaʻb bin Mȃlik bin Abȋ Kaʻb (w. 50 H) menerima
hadits dari Rasulullah saw.
Berdasarkan dari riwayat hadits Tirmidzȋ, penulis menyimpulkan bahwa
jalur sanad diatas menjelaskan adanya kebersambungan sanad dari perawi-
perawinya, karena mereka saling bertemu dan tahun hidup dan wafat mereka
saling berdekatan. Berikut adalah skema jalur periwayatn hadits diatas.
47
Skema hadits ke-6
ه صيهى الله عي رطىه الله
أبه )معب ب اىل ب اب معب(
صاري اىل ال معب ب اب
بارك اى ب عبذ الله
سرارة طعذ ب ب ح عبذ اىزه ذ ب ه ح
أب سائذة سمزها ب
قاه
ع
صز ذ ب طى
اىتزذي
أخبزا
ثا حذه
ع
ع
ع
48
BAB IV
KRITIK SANAD DAN MATAN HADITS KITAB AL-TIBYȂN
A. Kegiatan Kritik Sanad Hadits
Dalam kegiatan kritik sanad ini, hadits-hadits yang akan diteliti oleh
penulis adalah hadits yang termaktub dalam al-Kutub al-Sittah diluar (selain)
hadits-hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhȃrȋ dan Imam Muslim (Sahȋh
Bukhȃrȋ dan Sahȋh Muslim). Penulis beralasan tidak dilibatkannya hadits yang
diriwayatkan dalam kitab tersebut karena sebagian besar ulama hadits
menyimpulkan bahwa dua kitab tersebut memiliki validitas dan akurasi sanad
yang baik (Sahȋh).1 Berikut ini adalah hadits-hadits yang akan penulis jadikan
bahan penelitian dalam bab ini:
Hadits ke-1
الزحب ح عبد اس هاج لاي: حدثا حى ب س ب ع د ب ح حدثا دة ب لاي: حدثا عب
عباض اب س، ع جب سعد ب سو، ع ع هاي ب ا د، ع ى ا ب ماس ا ، السىد، ع
لاي: " ثلثت ل حسفع صلحه ه وس صى الله ع زسىي الل ع شبسا: زج فىق زءوسه
ا خصاز ها ساخظ، وأخىا سأة باحج وشوجها ع ، وا ه وازهى ا وه لى أ
Jalur Ibnu Mȃjah
1. Ibnu Mȃjah
1 Hal ini berdasarkan penilaian mayoritas Ulama Hadits, diantaranya: Ibn Salȃh, Subhi,
al-Sȃlih, Abȗ ‘Alȋ al-Naisabȗrȋ, Abȗ Muhammad Ibn Hazm al-Zahȋrȋ.
49
a. Nama Lengkapnya: Abȗ ‘Abdullȃh Muhammad Ibnu Yazȋd Ibnu
Mȃjah al-Rubayʻȋ al-Qazwinȋ. Lahir pada tahun 209 H, dan wafat pada
hari senin tanggal 20 Ramadan (w. 273 H).2
b. Guru-guru:
‘Abas bin ‘Usmȃn, ‘Ali bin Muhammad, al-Tanafasȋ, Jubarah Ibnu al-
Mughlis, Abȗ Marwan Muhammad bin ʻUsmȃn al-‘Usmȃnȋ, Musʻab
bin ‘Abdullah al-Zabirȋ, Abȗ Bakr Ibnȋ Abȋ Syaibah, Muhammad bin
‘Umar bin Hayyȃj, dll.
c. Murid-muridnya:
Ishȃq bin Muhammad al-Qazwinȋ, Jaʻfar bin Idrȋs, al-Husain bin ‘Alȋ
bin Yazdaniyȃr, Sulaimȃn bin Yazȋd al-Qazwinȋ, Abȗ Hasan ‘Alȋ bin
Ibrȃhȋm bin Salamah al-Qazwinȋ al-Qattȃn.
d. Pendapat Ulama:
Menurut al-Mizȋ ia adalah sosok yang alim, Abu Yaʻla Khalȋlȋ bin
‘Abdullȃh al-Khalȋlȋ menilai bahwa ia dapat dipercaya, dapat dijadikan
hujjah banyak mengetahui hadits dan menghafalnya semua kritikus
hadits menilainya positif terhadap kapasitas Ibnu Mȃjah dan hadits-
hadits yang diriwayatkan Ibnu Mȃjah banyak dinilai Sahȋh.3
2. Muhammad bin ‘Umar bin Hayyȃj4
a. Nama lengkapnya: Muhammad bin ‘Umar bin Hayyȃj al-Hamadȃnȋ.
wafat pada bulan Syawwȃl (w. 255 H).
b. Guru-gurunya:
2 Abdullȃh, Ibn ‘Abdullȃh, Sembilan Pendekar Hadits. (Bogor: Pustaka Tariqul Izzah,
2007), h.171. 3 Al-Dzahabȋ, Syiar „Alam wa Nubala‟, Juz.17, (Beirut: Al-Risalah, 1990), h.278.
4 Jamal al-Dȋn Abȋ al-Hajjȃj Yȗsuf, Tahdzȋb al-Kamal fȋ Asmȃ al-Rijȃl. Juz. 26, (Beirut:
Mu’ssasah al-Risȃlah, 1983), h.180-178
50
Ismȃʻȋl bin Sabȋh bin al-Yasykurȋ, Talȃq bin Ghunȃm al-Nakha’ȋ,
‘Ubaidullȃh bin Mȗsȃ, Qabisah bin ‘Uqbah, Yahyȃ bin Abd al-
Rahmȃn al-Arhabȋ.
c. Murid-muridnya:
Al-Tirmidzȋ, al-Nasȃ’ȋ, Ibn Mȃjah, Abȗ Bakr Ahmad bin ‘Amr bin al-
Khȃliq al-Bazzȃr, Ahmad bin Muhammad bin Ayyȗb al-Wasȋtȋ, Ishȃq
bin Ibrȃhȋm bin Jamȋl, Husain bin Ahmad bin Ibrȃhȋm bin Fȋl, Husain
bin Ishȃq al-Tastȗrȋ, Husain bin Muhammad bin Mas’ab.
d. Pendapat ulama:
a) Al-Nasȃ’ȋ: Lȃ ba‟sa bih
b) Ibn Hibbȃn: Tsiqah
c) Muhammad bin ‘Abdullȃh al-Hadramȋ: Tsiqah.
3. Yahyȃ bin ‘Abd al-Rahmȃn al-Arhabȋ5
a. Nama lengkapnya: Yahyȃ bin ‘Abd al-Rahmȃn bin Mȃlik bin al-Harȋts
al-Arhabȋ al-Kȗfȋ.
b. Guru-gurunya:
Ibrȃhȋm bin Yȗsuf bin Abȋ Ishȃq, Ismȃʻȋl bin Ibrȃhȋm al-Taimȋ, ‘Abd
al-Rahmȃn bin ‘Abd al-Mȃlik bin Abjar, ‘Ubaidah bin al-Aswad,
Mathlab bin Ziyȃd, Yȗnus bin Abȋ Ya’fur al-‘Abdȋ.
c. Murid-muridnya:
Ishȃq bin Mansȗr al-Salȗlȋ, Muhammad bin al-Sakan al-Ablȃ,
Muhammad bin ‘Umar bin Hayyȃj al-Hamadanȋ, Abu Kuraib
Muhammad bin al-‘Alȃ’
5 Jamal al-Dȋn Abȋ al-Hajjȃj Yȗsuf, Tahdzȋb al-Kamal fȋ Asmȃ al-Rijȃl, Juz.31, h.438-
439.
51
d. Pendapat ulama:
a) ‘Alȋ bin al-Husain bin al-Junaid al-Rȃzȋ: dari Muhammad bin
‘Abdillȃh bin Numair: Lȃ ba‟sa bih.
b) Abȗ Hȃtim: syaikh yang tidak ingkar di dalam haditsnya,
meriwayatkan hadits-hadits gharȋb dari ‘Ubaidah bin al-Aswad
c) Al-Dȃruqutnȋ: Sȃlih yuʻtabar bih.
d) Ibn Hibbȃn: Rubbamȃ Khȃlif.
4. ‘Ubaidah bin al-Aswad6
a. Nama Lengkapny: ‘Ubaidah bin al-Aswad bin Saʻȋd al-Hamadanȋ al-
Kȗfȋ.
b. Guru-gurunya:
Saʻȋd bin Abȋ ‘Urbah, al-Qȃsim bin al-Walȋd al-Hamadanȋ, Majȃlid
bin Saʻȋd, Abȗ Ishȃq al-Hamadanȋ.
c. Murid-muridnya:
Salmah bin Hafs, ‘Abdullȃh bin ‘Umar bin Abbȃn al-Ja’fȋ, ‘Abdullȃh
bin Muhammad bin Sȃlim al-Maflȗjȋ, ‘Usmȃn bin Abȋ Syaibah.
d. Pendapat Ulama:
a) Abȗ Hȃtim: Mȃ bihadȋtsihi ba‟sun.
b) Ibnu Hibban: Tsiqah
5. Qȃsim bin al-Walȋd7
a. Nama lengkapnya: al- Qȃsim bin al-Walȋd al-Hamadanȋ, wafat pada
(w. 141 H).
b. Guru-gurunya:
6 Jamal al-Dȋn Abȋ al-Hajjȃj Yȗsuf, Tahdzȋb al-Kamal fȋ Asmȃ al-Rijȃl, Juz.19, h.272.
7 Jamal al-Dȋn Abȋ al-Hajjȃj Yȗsuf, Tahdzȋb al-Kamal fȋ Asmȃ al-Rijȃl, Juz. 23, h.456-
458.
52
Ja’far bin Muhammad bin ‘Alȋ bin Husain, al-Hȃrits Ibn Fadȋl, al-Hȃris
al-‘Akȋlȋ, al-Harr bin al-Sabah, Husayyin bin ‘Abd al-Rahmȃn, Zubaid
bin al-Harits al-Yȃmȋ, al-Minhȃl bin ‘Amr.
c. Murid-muridnya:
Asbȃt bin Muhammad al-Qurasyȋ, Abȗ Waqȋʻ al-Jarh bin Malȋh al-
Ruȃsȋ, Husain bin ‘Alȋ al-Ja’farȋ, Hamzah bin Habȋb al-Ziyȃt,
Sulaimȃn bin al-Hakam bin ‘Awȃnah al-Kalabȋ, ‘Ubaidah bin al-
Aswad, ‘Utsmȃn bin Zȃidah.
d. Pendapat Ulama:
a) Ishȃq bin Mansȗr: dari Yahyȃ bin Maʻȋn: Tsiqah.
b) Al-‘Ajlȋ: Tsiqah.
c) Ibnu Hibbȃn: Yakhta‟u wa yukhȃlif.
6. Al-Minhȃl bin ‘Amr8
a. Nama lengkapnya: Al-Minhȃl bin ‘Amr al-Asadȋ
b. Guru-gurunya:
Anas bin Mȃlik, Zȃdzȃn al-Kindȋ, Saʻȋd bin Jubair, Suwaid bin
Ghaflah, Amȋr bin Sa’d bin Abȋ Waqqas, ‘Ibȃd Ibn ‘Abdullȃh al-
Asadȋ, ‘Abdullȃh bin al-Harȋts al-Basrȋ, ‘Abd al-Rahmȃn bin Abȋ
Lailȃ, ‘Alȋ bin Rabȋʻah al-Wȃlabȋ, Muhammad bin ‘Alȋ Ibn Hanafiyah.
c. Murid-muridnya:
Ayȗb Abȗ al-Muʻalȃ al-Kȗfȋ, Al-Hajjȃj bin Artah, Al-Hasan bin al-
Zubair, Husain bin ‘Abd al-Rahmȃn, Rabȋah bin ‘Utbah al-Kinȃnȋ.
d. Pendapat ulama:
8 Jamal al-Dȋn Abȋ al-Hajjȃj Yȗsuf, Tahdzȋb al-Kamal fȋ Asmȃ al-Rijȃl, Juz.28, h.568-
570.
53
a) Ibrȃhȋm bin Ya’qȗb: Sai‟u al-Madzhȃb, Waqad Jarȋ Hadȋtsuhȗ.
b) Al-‘Ajulȋ: Tsiqah.
c) Al-Dȃruqutnȋ: Sudȗq.
d) Ibnu Hibban: Tsiqah
7. Saʻȋd bin Jubair9
a. Nama lengkapnya: Saʻȋd bin Jabȋr bin Hisyȃm al-Asadȋ al-Wȃlabȋ,
maulȃhum, Abȗ Muhammad, Abȗ ‘Abdullȃh al-Kȗfȋ. Beliau wafat
pada usia 49 tahun bulan Syaʻbȃn (w. 95 H).
b. Guru-gurunya:
Anas bin Mȃlik, al-Dahȃk bin Qais al-Fahrȋ, ‘Abdullȃh bin al-Zabȋr,
‘Abdullȃh bin ‘Abbȃs, ‘Abdullȃh bin ‘Umar bin al-Khattȃb,
‘Abdullȃh bin Mughfal, ‘Adȋ bin Hȃtim, ‘Amr bin Maimȗn al-Awadȋ,
Abȋ Saʻȋd al-Khudrȋ, Abȋ ‘Abd al-Rahmȃn al-Salamȋ, Abȋ Masʻȗd al-
Ansarȋ, Abȋ Mȗsȃ al-Asyʻȃrȋ, Abȗ Hurairah, ‘Aisyah.
c. Murid-muridnya:
Ȃdam bin Sulaimȃn anak dari Yahyȃ bin Ȃdam, Aslam al-Munqarȋ,
Asy’at bin Abȋ al-Syuʻtȃ’i, Ayȗb al-Sukhtayȃnȋ, Bakȋr bin Syihȃb,
Tsȃbit bin ‘Ujlȃn, Abȗ al-Muqdȃm Tsȃbit bin Hurmaz al-Haddȃd,
Jaʻfar bin Abȋ al-Mughȋrȃh, Abȗ Bisyr Jaʻfar bin Abȋ wahsyiyah,
Habȋb bin Abȋ Tsȃbit, Habȋb bin Abȋ ‘Amrah, Hasȃn bin Abȋ al-
Asyras, Hasȋn bin ‘Abd al-Rahmȃn, al-Hakam bin ‘Utaibah, Hamȃd
bin Abȋ Sulaimȃn, Hunzalah bin Abȋ Hamzah, Khushaif bin ‘Abd al-
Rahmȃn al-Juzȃrȋ.
9 Jamal al-Dȋn Abȋ al-Hajjȃj Yȗsuf, Tahdzȋb al-Kamal fȋ Asmȃ al-Rijȃl, Juz.10, h.358-
371.
54
d. Pendapat ulama:
Abȗ al-Qȃsim Hibatullȃh bin al-Hasan al-Tabȃrȋ: Tsiqah.
8. Ibnu ‘Abbȃs10
a. Nama lengkap: ‘Abdullȃh bin ‘Abbȃs bin ‘Abd al-Mutallib al-Qurȃsyi
al-Hȃsyimȋ, Abȗ al-‘Abbȃs al-Madȃnȋ, Ibn ‘Ammi Rasulullah saw (w.
68 H).
b. Guru-gurunya:
Nabi saw, Abȋ Bakr al-Siddȋq, ‘Alȋ bin Abȋ Tȃlib, Abȋ Dzȃr al-Ghifȃrȋ,
Muʻawwiyah bin Abȋ Sufyȃn, ‘Utsmȃn bin ‘Affȃn, ‘Umar bin al-
Khattȃb, Ka’ab bin al-Ahbar.
c. Murid-muridnya:
‘Ikrȋmah bin Khȃlid al-Makhzȗmȋ, ‘Ikrȋmah Maulȃ ibn ‘Abbȃs,
‘Alqȃmah bin Wȃqas al-Laitsȋ, ‘Alȋ bin al-Husain bin ‘Alȋ bin Abȋ
Tȃlib, ‘Ubaid bin al-Sabȃq.
d. Pendapat ulama:
Ibnu ‘Abbȃs adalah seorang sahabat dan sudah tidak diragukan lagi
keadilannya.
Penilaian hadits
Setelah melakukan penelitian sanad melalui jalur hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Mȃjah, dapat disimpulkan bahwa periwayat yang diteliti tidak ada yang
dinilai negatif, semuanya berkualitas tsiqah.
Ibnu Mȃjah (w. 273 H), menerima hadits dari Muhammad bin ‘Umar bin
Hayyȃj (w. 255 H) dengan redaksi hadits Haddatsanȃ dan dapat dipercaya
10
Jamal al-Dȋn Abȋ al-Hajjȃj Yȗsuf, Tahdzȋb al-Kamal fȋ Asmȃ al-Rijȃl, Juz.15, h.154-
162.
55
kebenarannya, para ulama menilai positif (ta‟dil) dan dimungkinkan pernah saling
bertemu karena pada masa hidup dan wafat mereka masih berdekatan, sehingga
sanadnya bersambung dan dapat diterima.
Muhammad bin ‘Umar bin Hayyȃj (w. 255 H) adalah seorang tsiqah.
Beliau menerima riwayat hadits dari Yahyȃ bin Abd al-Rahmȃn al-Arhabȋ dengan
menggunakan redaksi hadits haddatsanȃ, kata tersebut menyatakan adanya proses
al-Samʻu. Para ulama menilai positif (ta‟dil) dan dimungkiankan mereka pernah
bertemu. Sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima.
Yahyȃ bin ‘Abd al-Rahmȃn al-Arhabȋ menyatakan bahwa dia menerima
riwayat hadits dari ‘Ubaidah bin al-Aswad dengan redaksi hadits haddatsanȃ.
Para ulama menilai positif (ta‟dil) dan dimungkinkan mereka juga pernah
bertemu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sanadnya bersambung dan dapat
diterima.
‘Ubaidah bin al-Aswad adalah orang yang tsiqah. Pernyataan ‘Ubaidah
bahwa dia menerima riwayat hadits dari Qȃsim bin al-Walȋd, meskipun ia
menggunakan redaksi hadits ʻan dalam periwayatan itu, tidak merubah penilaian
positif (ta‟dil) para ulama bahwa sanad dari keduanya bersambung dan dapat
diterima.
Qȃsim bin al-Walȋd (w.141 H) adalah orang yang tsiqah. Ia menerima
riwayat hadits dari Al-Minhȃl bin ‘Amr dengan menggunakan redaksi hadits ʻan
dalam periwayatan itu. Para ulama menilai positif (ta‟dil) dan dimungkiankan
mereka pernah bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima.
Al-Minhȃl bin ‘Amr menerima riwayat hadits dari Saʻȋd bin Jabȋr (w. 95
H) dengan redaksi ʻan dalam periwayatannya. Para ulama menilai positif (ta‟dil)
56
dan dimungkiankan mereka pernah bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan
dapat diterima.
Saʻȋd bin Jabȋr (w. 95 H) menerima riwayat hadits dari Ibnu ‘Abbȃs (w. 68
H) dengan menggunakan redaksi ʻan dalam periwayatan itu. Para ulama menilai
positif (ta‟dil) dan dimungkiankan mereka pernah bertemu, sehingga sanadnya
bersambung dan dapat diterima.
Ibnu ‘Abbȃs (w. 68 H) menerima hadits dari Rasulullah menggunakan
redaksi ʻan Para ulama menilai positif (ta‟dil) dan dimungkiankan mereka pernah
bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima.
Berdasarkan penelitian dan pendapat para ulama diatas, sanad yang diteliti
semuanya bersambung, tsiqah, tidak syadz dan tidak„illat, tidak ada ulama hadits
yang mencelanya, sehingga penulis menyimpulkan bahwa sanad hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Mȃjah berkualitas Sahȋh. Oleh karena itu, kualitas hadits
diatas dilihat dari segi sanadnya adalah Sahȋh.
Hadits ke-2
حى أخبسا ، أبى حدثا: لاي دزسج، ب ع حى حدثا: لاي إس وثس، أب ب ت، أبا أ س
حدثه ، عبد أ : لاي الل زسىي دخ ه الله صى الل ع : »فماي حجسح، وس أه أخبس أ
حمى ا ، فل : »لاي بى،: لاي ،«اهاز وحصى حفع ، ول وأفطس، وص ه فإ ع
ه حما، ع ه جسدن وإ حما، ع ه صوجخه وإ حما، ع فه وإ ه ض حما، ع وإ
ه صدمه عسى وإه حما، ع س، به طىي أ حسبه وإه ع أ حصى ثلثا، شهس و
ه فر حست وه، ادهس صا ها بعشس وا ثا ج ،«أ ة، أجد إ: ل د فشددث، لى ، فشد : لاي ع
57
ص » عت و ثلثت ج ج ،«أا أوثس أطك إ: ل ه، د فشددث، ذ ، فشد : لاي ع
ص » صى ب ه داود الل ع ج ،«اسل ا: ل و وا «ادهس صف : »لاي داود، صى
Jalur al-Nasȃ’ȋ
1. Al-Nasȃʻȋ
a. Nama legkapnya: Abȗ ‘Abd al-Rahmȃn Ahmad bin Syuʻaib bin ‘Alȋ
bin Sinan bin Bahr al-Khurasanȋ al-Qadi al-Nasȃ’ȋ. (w. 303 H)
b. Guru-gurunya:
Muhammad bin Khȃlid, Jaʻfar bin Muhammad,
2. Yahyȃ bin Durusta11
a. Nama lengkapnya: Yahyȃ bin Durusta bin Ziyȃd al-Qurasyȋ al-
Hȃsyimȋ, dikatakan al-Bukrȃwȋ, Abȗ Zakariyȃ al-Basrȋ.
b. Guru-gurunya:
Abȋ Ismȃʻȋl Ibrȃhȋm bin ‘Abd al-Malik al-Qannȃd, Hammȃd bin
Zaid, ‘Alȋ bin al-Rabȋʻ.
c. Murid-muridnya:
Al-Tirmidzȋ, al-Nasȃ’ȋ, Ibn Mȃjah, Ibrȃhȋm bin al-Husain bin Ibrȃhȋm
bin Qais al-Saffȃr al-Basrȋ, Ibrȃhȋm bin Muhammad Ibn al-Hȃrits bin
Nȃilah, Ibrȃhȋm bin Muhammad bin al-Hasan bin Matwiyah.
d. Pendapat ulama:
Al-Nasȃ’ȋ: Tsiqah.12
3. Abȗ Ismȃʻȋl13
a. Nama lengkapnya:
11
Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf, Tahdzib al-Kamal fi Asma al-Rijal, Juz.31, h.296-
297. 12
Tahdzib al-Tahdzib, Juz 11, h.206 13
Jamal al-Dȋn Abȋ al-Hajjȃj Yȗsuf, Tahdzȋb al-Kamal fȋ Asmȃ al-Rijȃl, Juz. 2, h.140.
58
Ibrȃhȋm bin ‘Abd al-Malik al-Basrȋ
b. Guru-gurunya:
Qatȃdah bin Daʻȃmah, Yahyȃ bin Abȋ Katsȋr
c. Murid-muridnya
Ishȃq bin Abȋ Isrȃ’ȋl, Abȗ ‘Umar Hafs bin Hafs al-Haudȋ, ‘Abd al-
Samad bin ‘Abd al-Wȃrits, Abȗ Kȃmil Fudail bin Husain al-Jahdarȋ,
Muhammad bin Sulaimȃn Luwain, Yahyȃ bin Durusta Ziyȃd.
d. Pendapat ulama:
a) Al-Nasȃ’ȋ: Lȃ ba‟sa bihi.
b) Abȗ Jaʻfar al-‘Uqailȋ: Yahummu fȋ al-hadȋts
4. Yahyȃ bin Abȋ Katsȋr14
a. Nama lengkapnya: Yahyȃ bin Abȋ Katsȋr al-Tȃ’ȋ (w. 129 H).
b. Guru-gurunya:
Ibrȃhȋm bin ‘Abdullȃh bin Qȃrid, Ishȃq bin ‘Abdullȃh bin Abȋ Talhah,
Anas bin Mȃlik, Wabȃb bin ‘Umair al-Hanaffȋ, Abȗ Salamah bin
‘Abd al-Rahmȃn bin ‘Auf.
c. Murid-muridnya:
Abȃn bin Basyȋr al-Muaʻallim, Abȃn bin Yazȋd al-‘Attȃr, Ayyȗb bin
‘Utbah Qȃdȋ al-Yamȃmah, Ayyȗb bin al-Najjȃr, Ayyȗb al-Sakhtayȃnȋ,
Jarȋr bin Hȃzim, Jahdam bin ‘Abdullȃh bin Abȋ al-Tufail al-Yamȃmȋ,
Harb bin Syidȃd.
d. Pendapat ulama:
a) Al-‘Ijlȋ: Tsiqah.
14
Jamal al-Dȋn Abȋ al-Hajjȃj Yȗsuf, Tahdzȋb al-Kamal fȋ Asmȃ al-Rijȃl, Juz.31, h.504-
510.
59
b) Abȗ Hȃtim: Tsiqah.
c) Ibn Hibbȃn: Tsiqah.
5. Abȗ Salamah15
a. Nama lengkapnya: Abȗ Salamah bin ‘Abd al-Rahmȃn bin ‘Auf al-
Qurasyi al-Zuhriy al-Madanȋ. Beliau wafat pada usia 72 (w. 104 H).
b. Guru-gurunya:
Usȃmah bin Zaid, Anas bin Mȃlik, Basyr bin Saʻȋd, Tsaubȃn pembantu
Nabi saw, Jȃbir bin ‘Abdullȃh al-Ansȃrȋ, Jaʻfar bin ‘Amr bin Umayyah
al-Damirȋ, Hasȃn bin Tsȃbit al-Ansarȋ, Zaid bin Tsȃbit, ‘Abdullȃh bin
‘Abbȃs, ‘Abdullȃh bin ‘Amr bin al-‘ȃs, ‘Abdullȃh bin ‘Umar bin al-
Khattȃb.
c. Murid-muridnya:
Ismȃʻȋl bin Umayyah, Aswad bin al-ʻala’ bin Jȃriyah al-Tsaqafȋ, Bakȋr
bin ‘Abdullȃh bin al-Asyaj, Tamȃmah bin Kalȃb, Jaʻfar bin Rabiʻah,
al-Jallah Abȗ Katsȋr, Hȃrits bin ‘Abd al-Rahmȃn al-Qurasyȋ.
d. Pendapat ulama:
a) Muhammad bin Saʻad: Tsiqah.
b) Abu Zurʻah: Tsiqah.
6. ‘Abdullah16
a. Nama lengkapnya: ‘Abdullȃh bin ‘Amr bin al-ʻȃs bin Wȃil bin Hȃsyim
bin Saʻȋd bin Saʻd bin Sahm bin ‘Amr bin Husais bin Ka’b bin Lu’y
15
Jamal al-Dȋn Abȋ al-Hajjȃj Yȗsuf, Tahdzȋb al-Kamal fȋ Asmȃ al-Rijȃl, Juz.33, h.370-
376. 16
Jamal al-Dȋn Abȋ al-Hajjȃj Yȗsuf, Tahdzȋb al-Kamal fȋ Asmȃ al-Rijȃl, Juz.15, h.357-
362.
60
bin Ghȃlib al-Qurasyȋ, Abu Muhammad. Beliau meninggal pada usia
72 tahun bertepatan pada bulan Dzulhijjah (w. 63 H).
b. Guru-gurunya:
Nabi saw, Sarȃqah bin Mȃlik bin Juʻsyam, ‘abd al-Rahmȃn bin ‘Auf,
‘Umar bin al-Khattȃb.
c. Murid-muridnya:
Ibrȃhȋm bin Muhammad bin Talhah bin ‘Ubaidillȃh, Abȗ Imȃmah
Asʻad bin Sahl bin Hanȋf, Anas bin Mȃlik, Bakr bin Sawȃdah al-
Jadzȃmȋ, al-Hasan bin Abȋ al-Hasan al-Basrȋ, Khȃlid bin al-Huwairits
al-Makhzȗmȋ, Hanzalah bin Khuwailid, Janȃdah bin Aȋ Umayyah.
Penilaian hadits
Setelah melakukan penelitian sanad melalui jalur hadits yang diriwayatkan
oleh Al-Nasȃ’ȋ, dapat disimpulkan bahwa periwayat yang diteliti tidak ada yang
dinilai negatif, semuanya berkualitas tsiqah.
Al-Nasȃ’ȋ (w. 303 H), menerima hadits dari Yahyȃ bin Durusta dengan
redaksi hadits akhbarnȃ dan dapat dipercaya kebenarannya, para ulama menilai
positif (ta‟dil) dan dimungkinkan pernah saling bertemu karena pada masa hidup
dan wafat mereka masih berdekatan, sehingga sanadnya bersambung dan dapat
diterima.
Muhammad bin Yahyȃ bin Durusta adalah seorang tsiqah. Beliau
menerima riwayat hadits dari Abȗ Ismȃʻȋl dengan menggunakan redaksi hadits
haddatsanȃ, kata tersebut menyatakan adanya proses al-Samʻu. Para ulama
menilai positif (ta‟dil) dan dimungkiankan mereka pernah bertemu. Sehingga
sanadnya bersambung dan dapat diterima.
61
Abȗ Ismȃʻȋl menyatakan bahwa dia menerima riwayat hadits dari Yahyȃ
bin Abȋ Katsȋr dengan redaksi hadits haddatsanȃ. Para ulama menilai positif
(ta‟dil) dan dimungkinkan mereka juga pernah bertemu. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa sanadnya bersambung dan dapat diterima.
Yahyȃ bin Abȋ Katsȋr (w. 129 H) adalah orang yang tsiqah. Pernyataan
‘Ubaidah bahwa dia menerima riwayat hadits dari Abȗ Salamah (w. 104 H),
meskipun ia menggunakan redaksi hadits anna dalam periwayatan itu, tidak
merubah penilaian positif (ta‟dil) para ulama bahwa sanad dari keduanya
bersambung dan dapat diterima.
Abȗ Salamah (w. 104 H) adalah orang yang tsiqah. Ia menerima riwayat
hadits dari ‘Abdullah (w. 63 H) dengan menggunakan redaksi hadits haddatsahȗ
dalam periwayatan itu. Para ulama menilai positif (ta‟dil) dan dimungkiankan
mereka pernah bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima.
‘Abdullah (w. 63 H) menerima hadits dari Rasulullah menggunakan
redaksi ʻan Para ulama menilai positif (ta‟dil) dan dimungkiankan mereka pernah
bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima.
Berdasarkan penelitian dan pendapat para ulama diatas, sanad yang diteliti
semuanya bersambung, tsiqah, tidak syadz dan tidak„illat, sehingga penulis
menyimpulkan bahwa sanad hadits yang diriwayatkan oleh Al-Nasȃ’ȋ berkualitas
Sahȋh. Oleh karena itu, kualitas hadits diatas dilihat dari segi sanadnya adalah
Sahȋh.
Hadits ke-3
د حدثا سى عبد أخبسا: لاي صس ب الل بازن، ب ا شوسا ع شائدة، أب ب د ع ح
عبد ب ح اس سعد ب شزازة، ب ع وعب اب ه ب ا صازي، ال لاي : لاي أبه، ع
62
زسىي صى الل ه الل ع ا» :وس ذئبا ف أزسل جائعا ها بأفسد غ سء حسص ا
اي عى «ده واشسف ا
Jalur Tirmidzȋ
1. Imam al-Tirmȋdzȋ17
a. Nama lengkapnya: Muhammad bin ‘Ȋsȃ bin Saurah bin Mȗsȃ bin al-
Dahhȃk, Muhammad bin ‘Ȋsȃ bin Yazȋd bin Saurah bin al-Sakan al-
Sulȃmȋ, Abȗ ‘Ȋsȃ al-Darȋr al-Hafȋz. Wafat di Tirmiz pada bulan Rajab
(w. 279 H).
b. Guru-gurunya:
Qutaibah, Hannȃd, Mahmȗd bin Ghaylȃn, Muhammad bin Basyȃr,
Sufyȃn bin Waqȋʻ, Suwaid bin Nasr.
c. Murid-muridnya:
Abȗ Bakr Ahmad bin Ismȃʻȋl bin ‘Ȃmir al-Samarqandȋ, Abȗ Hamȋd
bin ‘Abdillȃh bin Dȃwud al-Marwazȋ al-Tȃjir, Ahmad bin Yȗsuf al-
Nasafȋ dan Mahmȗd bin ‘Anbar al-Nasafȋ.
d. Pandangan ulama:
a) Al-Dzahabȋ: Al-Hafidz
b) Ibn Hȃjar: Ahad al-Aimmah
2. Suwaid bin Nasr18
a. Nama lengkapnya: Suwaid bin Nasr bin Suwaid al-Marȗzȋ (w. 240
H)19
17
Jamal al-Dȋn Abȋ al-Hajjȃj Yȗsuf, Tahdzȋb al-Kamal fȋ Asmȃ al-Rijȃl, Juz.26, h.250-
252. 18
Jamal al-Dȋn Abȋ al-Hajjȃj Yȗsuf, Tahdzȋb al-Kamal fȋ Asmȃ al-Rijȃl, Juz. 12, h. 272-
274. 19
Menurut al-Bukhȃrȋ dalam kitab Tahdzib al-Kamal fi Asma al-Rijal, Juz. 12, h. 274
63
b. Guru-gurunya:
Sufyȃn bin ‘Uyainah al-Makȋ, ‘Abdullȃh bin al-Mubȃrak, ‘Abd al-
Kabȋr bin Dȋnȃr al-Sȃigh, ‘Alȋ bin al-Husain bin Wȃqad, Abȋ ‘Asmah
Nȗh bin Abȋ Maryam al-Marȗzȋ.
c. Murid-muridnya:
Al-Tirmidzȋ, al-Nasȃʻȋ, Abȗ Ishȃq Ibrȃhȋm bin Sulaimȃn al-Khawwȃs,
Ahmad bin Jaʻfar al-Marȗzȋ, Abȗ Wahab Ahmad bin Rȃfȋʻ, Rȃqa
Suwaid bin Nasr, Abȗ Bakr Ahmad bin Muhammad bin ‘Ȃsim bin
Yazȋd bin Muslim al-Rȃzȋ, Abȗ Bakr Ahmad bin Muhammad bin
‘Anbas bin Laqȋt al-Dabbȋ al-Marȗzȋ.
d. Pendapat ulama:
a) Al-Nasȃ’ȋ: Tsiqah.
b) Ibnu Hibban: Tsiqah.
3. ‘Abdullȃh bin al-Mubȃrak20
a. Nama lengkapnya: ‘Abdullȃh bin al-Mubȃrak bin Wȃdȋkh al-Handalȋ,
Maulȃhum: Abȗ ‘Abd al-Rahmȃn al-Marwazȋ. (w. 130 H)
b. Guru-gurunya:
Abȃn bin Taghlib, Abȃn bin ‘Abdullȃh al-Bijalȋ, Abȃn bin Yazȋd al-
‘Atȃr, Ibrȃhȋm bin Saʻd, Ibrȃhȋm bin Tahmȃn, Ibrȃhȋm bin Abȋ
‘Ubalah, Ibrȃhȋm bin ‘Uqbah, Abȋ Ishȃq Ibrȃhȋm bin Muhammad bin
al-Farȃzȋ, Zakariyȃ bin Abȋ Zȃidah.
c. Murid-muridnya:
20
Jamal al-Dȋn Abȋ al-Hajjȃj Yȗsuf, Tahdzȋb al-Kamal fȋ Asmȃ al-Rijȃl, Juz.16, h.5-20.
64
Abȗ Ishȃq Ibrȃhȋm bin Ishȃq bin ‘Ȋsȃ al-Tȃliqȃnȋ, Ibrȃhȋm bin Syamȃs
al-Samarqandȋ, Ibrȃhȋm bin ‘Abdullȃh al-Halȃl, Abȗ Ishȃq Ibrȃhȋm bin
Muhammad al-Fazȃrȋ, Baqȋh bin al-Walȋd, Ismȃʻȋl bin Abȃn al-Warȃq.
d. Pendapat ulama:
a) Ahmad bin Hanbal: Kȃna Rajulan Sahibu Hadȋts.
b) Abȗ Hȃtim al-Rȃzȋ: Kȃna Faqȋhan ʻȂliman ʻȂbidan Zȃhidan
Sakhiyyan Syajȃʻan Syȃʻiran.
4. Zakȃriyȃ bin Abȋ Zȃidah
a. Nama lengkapnya: Zakȃriyȃ bin Abȋ Zȃidah, Khȃlid bin Maimȗn bin
Fairȗz, menurut Bahsyal namanya Hubairah, al-Hamadȃnȋ, al-wȃdiʻȋ,
Abȗ Yahyȃ al-Kȗfȋ. (w. 147 H)
b. Guru-gurunya:
Khȃlid bin Salamah, Saʻd bin Ibrȃhȋm, Saʻȋd bin Abȋ Burdah bin Abȋ
Mȗsȃ, Saʻȋd bin ‘Amr bin Asywa’, Simȃk bin Harb, Sȃlih, bin Abȋ
Sȃlih al-Asadȋ, ‘Amȋr al-Syuʻȃbȋ, Muhammad bin ‘Abd al-Rahmȃn
bin Saʻd bin Zurȃrah, Musʻab bin Syaibah.
c. Murid-muridnya:
Asbȃt bin Muhammad al-Qurasyȋ, Ishȃq bin Yȗsuf al-Azrȃq, Hasan
bin Habȋb bin Nudbah, Abu Usȃmah Hamȃd bin Usȃmah, Saʻȋd bin
Yahyȃ al-Lukhamȋ, Sufyȃn al-Tsaurȋ, Sufyȃn bin ‘Uyainah, ‘Abdullȃh
bin al-Mubȃrak, ‘Abdullȃh bin Namȋr, ‘Abd al-Rahȋm bin Sulaimȃn.
d. Pendapat ulama:
a) Al-Nasȃ’ȋ: Tsiqah
b) ‘Abdullȃh bin Ahmad bin Hanbal: Tsiqahu Hulwa al-Hadits
65
c) Ahmad bin ‘Abdullȃh al-‘Ajalȋ: Kaana Tsiqaahu illaa anna
Samaa‟ah.
5. Muhammad bin ‘Abd al-Rahmȃn bin Saʻd bin Zurȃrah21
a. Nama lengkapnya: Muhammad bin ‘Abd al-Rahmȃn bin Saʻd bin
Zurȃrah al-Ansȃrȋ al-Madanȋ, Ibn Akhȋ ‘Umrah bintun ‘Abd al-
Rahmȃn, yakni Muhammad Ibn ‘Abd al-Rahmȃn bin ‘Abdullȃh bin
‘Abd al-Rahmȃn bin Saʻd bin Zurȃrah. (w. 124 H).
b. Guru-gurunya:
Sȃlim ‘Abdullȃh bin ‘Umar, ‘Abdullȃh bin ‘Ȃmir bin Rubaiʻah, ‘Abd
al-Rahmȃn bin Hurmaz al-Aʻraj, ‘Amr bin Syurahbȋl, Yahyȃ bin Asʻad
bin Zurȃrah, Ibnu Kaʻab bin Mȃlik.
c. Murid-muridnya:
Usamȃh bin Zaid al-Laitsȋ, Zakariyȃ bin Abȋ Zȃidah, Sufyȃn bin
‘Uyainah, Suhail bin Abȋ Sȃlih, Syu’bah bin al-Hajȃj, Abȗ Uwais
‘Abdullȃh bin ‘Abdullȃh al-Madanȋ, ‘Ubaidullȃh ‘Abd al-Rahmȃn bin
Mȗhib, ‘Umȃrah bin Ghuzyah, Muhammad bin ‘Abd al-Rahmȃn bin
Abȋ Lailȃ.
d. Pendapat ulama:
a) Muhammad bin Saʻad: Tsiqah.
b) Al-Nasȃ’ȋ: Tsiqah.
c) Ibn Hibbȃn: Tsiqah.
6. Ibn Ka’b bin Mȃlik al-Ansarȋ22
21
Jamal al-Dȋn Abȋ al-Hajjȃj Yȗsuf, Tahdzȋb al-Kamal fȋ Asmȃ al-Rijȃl, Juz.25, h.609-
611. 22
Jamal al-Dȋn Abȋ al-Hajjȃj Yȗsuf, Tahdzȋb al-Kamal fȋ Asmȃ al-Rijȃl, Juz.15, h.473-
476.
66
a. Nama lengkapnya: ‘Abdullȃh bin Kaʻb bin Mȃlik al-Ansȃrȋ al-Salamȋ
al-Madanȋ, Saudara ‘Abd al-Rahmȃn, ‘Ubaidillȃh, Muhammad,
Muʻbad banȋ Kaʻb bin Mȃlik. (w. 97/98 H).
b. Guru-gurunya:
Jȃbir bin ‘Abdullȃh, Salamah bin al-Akwaʻ, ‘Abdullȃh bin Anȋs al-
Juhanȋ, ‘Abdullȃh bin ‘Abbȃs, ‘Utsmȃn bin ‘Affȃn, Abȋhi Kaʻb bin
Mȃlik, Abȋ Umȃmah bin Tsuʻlabah al-Bulawȋ, Abȋ Ayȗb al-Ansȃrȋ,
Abȋ Lubȃbah bin ‘Abd al-Mundzȋr.
c. Murid-muridnya:
Saʻd bin Ibrȃhȋm, Tȃriq bin ‘Abd al-Rahmȃn al-Qurasyȋ, ‘Abdullȃh bin
Abȋ Umȃmah bin Tsuʻlabah al-Bulawȋ, ‘Abd al-Rahmȃn bin Saʻd al-
Madanȋ.
d. Pendapat ulama:
a) Abȗ al-Zubair al-Makȋ: Lam yasmuh.
b) Abȗ Zurʻah: Tsiqah.
c) Muhammad bin Saʻad: Tsiqah.
7. Abȋhi23
a. Nama lengkapnya: Kaʻb bin Mȃlik bin Abȋ Kaʻb, ‘Amr Ibn al-Qayyin
bin Kaʻb bin Suwȃd bin Ghunam bin Kaʻb bin Salamah al-Ansȃrȋ al-
Salamȋ. Beliau wafat pada usia 77 (w. 50 H).
b. Guru-gurunya:
Nabi Saw, Usaid bin Hudair.
c. Murid-muridnya:
23
Jamal al-Dȋn Abȋ al-Hajjȃj Yȗsuf, Tahdzȋb al-Kamal fȋ Asmȃ al-Rijȃl, Juz.24, h.193-
196.
67
Jȃbir bin ‘Abdullȃh, ‘Abdullȃh bin ‘Abbȃs, anak-anaknya: ‘Abdullȃh
bin Kaʻb bin Mȃlik, ‘Abd al-Rahmȃn bin ‘Abdullȃh bin Kaʻb bin
Mȃlik, ‘Abd al-Rahmȃn bin Kaʻb bin Mȃlik,’Ubaidillȃh bin Kaʻb bin
Mȃlik, ‘Alȋ bin Abȋ Talhah, Abȗ Jaʻfar Muhammad bin ‘Alȋ bin al-
Husain.
d. Pendapat ulama:
Kaʻb bin Mȃlik bin Abȋ Kaʻb adalah seorang sahabat dan sudah tidak
diragukan lagi keadilannya.
Penilaian hadits
Setelah melakukan penelitian sanad melalui jalur hadits yang diriwayatkan
oleh al-Tirmidzȋ, dapat disimpulkan bahwa periwayat yang diteliti tidak ada yang
dinilai negatif, semuanya berkualitas tsiqah.
Al-Tirmidzȋ (w. 279 H), menerima hadits dari Suwaid bin Nasr (w. 240 H)
dengan redaksi hadits Haddatsanȃ dan dapat dipercaya kebenarannya, para ulama
menilai positif (ta‟dil) dan dimungkinkan pernah saling bertemu karena pada
masa hidup dan wafat mereka masih berdekatan, sehingga sanadnya bersambung
dan dapat diterima.
Suwaid bin Nasr (w. 240 H) adalah seorang tsiqah. Beliau menerima
riwayat hadits dari ‘Abdullȃh bin al-Mubȃrak (w. 181 H) dengan menggunakan
redaksi hadits akhbarnȃ. Para ulama menilai positif (ta‟dil) dan dimungkinkan
mereka pernah bertemu. sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima.
‘Abdullȃh bin al-Mubȃrak (w. 181 H) menyatakan bahwa dia menerima
riwayat hadits dari Zakariyȃ bin Abȋ Zȃidah (w. 147 H) dengan redaksi hadits „an
68
„anah. Para ulama menilai positif (ta‟dil) dan dimungkinkan mereka juga pernah
bertemu. Sehingga dapat disimpulkan sanadnya bersambung dan dapat diterima.
Zakariyȃ bin Abȋ Zȃidah (w. 147 H) adalah orang yang tsiqah. Pernyataan
bahwa dia menerima riwayat hadits dari Muhammad bin ‘Abd al-Rahmȃn bin
Saʻd bin Zurȃrah (w. 124 H), meskipun ia menggunakan redaksi hadits ʻan „anah
dalam periwayatan itu, tidak merubah penilaian positif (ta‟dil) para ulama bahwa
sanad dari keduanya bersambung dan dapat diterima.
Muhammad bin ‘Abd al-Rahmȃn bin Saʻd bin Zurȃrah (w. 124 H). Ia
menerima riwayat hadits dari Ibn Ka’b bin Mȃlik al-Ansarȋ (w. 98 H) dengan
menggunakan redaksi hadits ʻan „anah dalam periwayatan itu. Para ulama menilai
positif (ta‟dil) dan dimungkiankan mereka pernah bertemu, sehingga sanadnya
bersambung dan dapat diterima.
Ibn Ka’ab bin Mȃlik al-Ansarȋ (w. 98 H) menerima riwayat hadits dari
Abȋhi, Kaʻb bin Mȃlik bin Abȋ Kaʻb (w. 50 H) dengan redaksi ʻan „anah dalam
periwayatannya. Para ulama menilai positif (ta‟dil) dan dimungkiankan mereka
pernah bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima.
Kaʻb bin Mȃlik bin Abȋ Kaʻb (w. 50 H) menerima hadits dari Rasulullah
saw. Para ulama menilai positif (ta‟dil) dan dimungkiankan mereka pernah
bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima.
Berdasarkan penelitian dan pendapat para ulama diatas, sanad yang diteliti
semuanya bersambung, tsiqah, tidak syadz dan tidak„illat, sehingga penulis
menyimpulkan bahwa sanad hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzȋ
berkualitas Sahȋh. Oleh karena itu, kualitas hadits diatas dilihat dari segi sanadnya
adalah Sahȋh.
69
B. Kegiatan Kritik Matan Hadits
Beberapa kriteria diterimanya matan hadits menurut Al-Khȃtȋb al-
Baghdȃdȋ (w. 463 H) tentang kriteria matan hadits yang dapat diterima adalah
sebagai berikut:24
1. Tidak bertentangan dengan akal sehat
2. Tidak bertentangan dengan dengan hukum al-Quran yang muhkam
3. Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir
4. Tidak bertentangan dengan amalan ulama salaf
5. Tidak bertentangan dengan dalil qatʻȋ
6. Tidak bertentangan dengan hadits ahad yang ke-sahȋh-annya lebih kuat
Ibnu Jauzi (w. 459 H) mengatakan ada dua kriteria ke-sahih-an hadits,
yaitu jika satu matan hadits tidak bertentangan dengan dengan akal sehat, dan
tidak bertentangan dengan pokok-pokok kaidah agama maka sudah dapat dinilai
sahȋh.25
Menurut uraian Bustamin dan M. Isa. H. A. Salam kriterianya adalah
melalui pendekatan bahasa dan sejarah.26
Syuhudi Ismail menyebutkan metodologi dalam melakukan penelitian
matan adalah:27
1. Analisis melalui kualitas sanad hadits
2. Analisis melalui susunan matan yang semakna
24
Abȗ Bakar Ahmad Ibnu ‘Alȋ Tsȃbit al-Khȃtȋb al-Baghdȃdȋ, al-Kifȃyah fȋ „Ilmi al-
Riwȃyah (Mesir: Matba’ah al-Sa’adah, 1972), h. 206-207. 25
‘Abd al-Rahmȃn Ibnu Jauzȋ, al-maudȗʻat (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadȋdah, 1983), h. 25. 26
Bustamin, M. Isa. H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadits (Jakarta: PT. Rajat Grapindo
Persada), h. 76.
`27
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi (Jakarta: Bulan Bintang,
2002), h. 121-122.
70
3. Analisis melalui kandungan matan.
Dari ketiga langkah diatas mempunyai relevansi dengan penelitian yang
dilakukan oleh penulis, karena langkah tersebut merupakan langkah yang sering
sekali digunakan oleh ulama-ulama penentuan kualitas sebuah hadits.
Hadits pertama
1. Meneliti Matan Melalui Kualitas Sanad Hadits
Dari hasil penelitaian sanad yang sudah diteliti, bahwa hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Mȃjah mempunyai kualitas Tsiqah. Dengan demikian,
informasi yang diberikan bahwa sanad hadits tersebut sudah memenuhi salah satu
kriteria ke-sahȋh-an suatu sanad hadits. Adapun kriterinya adalah sanadnya harus
Tsiqah, yakni „Adil dan Dabit.
2. Meneliti Matan Melalui Susunan Lafadz Matan Hadits yang Semakna
Tidak ada perbedaan lafadz pada matan Ibnu Mȃjah, karena tidak ada
hadits dari perawi mana pun yang meriwayatkan hadits ini, hanya dalam kitab
Sunan Ibnu Mȃjah saja.
Matan hadits ini menjelaskan tentang tiga golongan yang tidak akan
diterima dan diangkat shalatnya, penulis tidak menemukan perbedaan lafaz
dengan perawi hadits lain, maka hadits ini adalah Ahad, karena matan hadits
hanya diriwayatkan satu perawi saja.
3. Meneliti Matan Melalui Kandungan Matan
Hadits ini tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran dan juga tidak
bertentangan dengan hadits yang lebih kuat, penulis berpendapat bahwa hadits
71
tersebut menjelaskan tentang larangan memutus silaturahim, karena terputusnya
silaturahim dapat menyebabkan kebencian antar sesama, sehingga mengakibatkan
tidak diterimanya shalat seseorang yang saling bermusuhan diantara dua saudara.
Allah berfirman dalam surat Muhammad ayat 22:
فه خ عس إ خ حى وحمطعىا الزض ف حفسدوا أ ى أزحا
“Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat
kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan.”
Dengan demikian, berdasarkan hasil penelitian matan hadits diatas, penulis
menyimpulkan bahwa hadits pertama ini bisa diterima. Hadits diatas tidak
bertentangan dengan prinsip pokok agama, yakni tidak bertentangan dengan al-
Quran maupun hadits manapun, dan tidak bertentangan dilihat dari lafadz dan
sanadnya.
Hadits Kedua
1. Meneliti Matan Melalui Kualitas Sanad Hadits
Dari hasil penelitaian sanad yang sudah diteliti, bahwa hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Nasȃ’ȋ mempunyai kualitas Tsiqah. Dengan demikian,
informasi yang diberikan bahwa sanad hadits tersebut sudah memenuhi salah satu
kriteria ke-sahȋh-an suatu sanad hadits. Adapun kriterinya adalah sanadnya harus
Tsiqah, yakni „Adil dan Dabit.
2. Meneliti Matan Melalui Kandungan Matan
Hadits ini tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran dan juga tidak
bertentangan dengan hadits yang lebih kuat, penulis berpendapat bahwa hadits
72
tersebut menjelaskan tentang hak-hak seorang tamu terhadap tuan rumah. Allah
berfirman dalam surat Al-Dzȃriyȃt ayat 24-27:
ف حدث أحىه ه ه ض إبس ىس ه دخىا إذ . ٱ ا فماىا ع لاي س س لى ىسو .
هۦ إى فساغ فجا ء أه بعج به ۥ . س فمس ه أل لاي إ حأوى
Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu
Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan?. (Ingatlah) ketika
mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaamun". Ibrahim
menjawab: "Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal".
Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian
dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu dihidangkannya kepada mereka.
Ibrahim lalu berkata: "Silahkan anda makan".
Dengan demikian, berdasarkan hasil penelitian matan hadits diatas, penulis
menyimpulkan bahwa hadits kedua ini bisa diterima. Hadits diatas tidak
bertentangan dengan prinsip pokok agama, yakni tidak bertentangan dengan al-
Quran maupun hadits manapun, dan tidak bertentangan dilihat dari lafadz dan
sanadnya.
Hadits ketiga
1. Meneliti Matan Melalui Kualitas Sanad Hadits
Dari hasil penelitaian sanad yang sudah diteliti, bahwa hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Tirmidzȋ mempunyai kualitas Tsiqah. Dengan demikian,
informasi yang diberikan bahwa sanad hadits tersebut sudah memenuhi salah satu
kriteria ke-sahȋh-an suatu sanad hadits. Adapun kriterinya adalah sanad hadits
harus Tsiqah, yakni „Adil dan Dabit.
2. Meneliti Matan Melalui Susunan Lafadz Matan Hadits yang Semakna
73
Matan hadits ini menjelaskan tentang ambisi seseorang untuk memperoleh
harta dan kemuliaan sehingga merusak agamanya, penulis tidak menemukan
perbedaan lafadz dengan perawi hadits lain, tidak ditemukan adanya perbedaan
lafadz pada matan Al-Tirmidzȋ, karena tidak ada hadits dari perawi mana pun
yang meriwayatkan hadits ini, hanya dalam kitab Sunan Al-Tirmidzȋ saja.maka
hadits ini adalah Ahad, karena matan hadits hanya diriwayatkan satu perawi saja.
3. Meneliti Matan Melalui Kandungan Matan
Hadits ini tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran dan juga tidak
bertentangan dengan hadits yang lebih kuat, penulis berpendapat bahwa hadits
tersebut menjelaskan tentang kerusakan pada agama seorang muslim yang
disebabkan oleh ambisi terhadap harta dan kehormatan tidak akan selamat dari
keutuhan keislamannya. Allah berfirman dalam surat al-Qasas ayat 16:
ه جعها اخسة اداز ح ر ل ا سدو عالبت فسادا ول الزض ف عى وا م خ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak
menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Dan
kesudahan (yang baik) itu bagi orang-orang yang bertakwa.”
Dengan demikian, berdasarkan hasil penelitian matan hadits diatas, penulis
menyimpulkan bahwa hadits ketiga ini bisa diterima. Hadits diatas tidak
bertentangan dengan prinsip pokok agama, yakni tidak bertentangan dengan al-
Quran maupun hadits manapun, dan tidak bertentangan dilihat dari lafadz dan
sanadnya.
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari enam hadits yang diteliti penulis di dalam nuktah-nya Kitab al-
Tibyȃn karya M. Hasyim Asy’ari, hanya tiga hadits yang dikaji kualitas Sanad dan
Matannya, dimana ketiga hadits tersebut hanya ada di dalam kutub al-Sittah dan
tidak melibatkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhȃrȋ dan Muslim,
adapun hasil dari kajian kualitas sanad dan matan hadits dalam Kitab al-Tibyȃn
adalah sebagai berikut:
1. Sanad hadits pertama yang diriwayatkan oleh Ibnu Majȃh adalah
sahȋh, hal ini bisa dilihat karena tidak ditemukannya perawi-perawi
yang ingkar dan pendapat para ulama hadits yang menyatakan
semuanya adalah Tsiqah.
2. Sanad hadits kedua yang diriwayatkan oleh Al-Nasȃ’ȋ adalah sahȋh, hal
ini bisa dilihat karena tidak ditemukannya perawi-perawi yang ingkar
dan pendapat para ulama hadits yang menyatakan semuanya adalah
Tsiqah.
3. Sanad hadits ketiga yang diriwayatkan oleh Tirmidzȋ adalah sahȋh, hal
ini bisa dilihat karena tidak ditemukannya perawi-perawi yang ingkar
dan pendapat para ulama hadits yang menyatakan semuanya adalah
Tsiqah.
75
4. Matan semua hadits, baik hadits pertama, hadits kedua dan hadits
ketiga dinilai sahȋh. Karena semua matan hadits tersebut tidak
bertentangan dengan al-Qur’an maupun hadits yang sahȋh, lafaz
ataupun sanadnya.
Namun dengan demikian, bukan berarti kesimpulan yang penulis hasilkan
adalah hasil akhir dari penelitian yang sudah dilakukan. Hal ini dimaksudkan
penulis hanya membatasi hadits- hadits terkait hanya dengan beberapa metode
saja dan masih bersifat subjektif.
B. Saran-saran
Penulis berharap agar pembaca bisa meneruskan kekurangan penelitian
skripsi ini jikalau masih ditemukan kesalahan dan kekeliruan yaitu dengan
meneliti kualitas-kualitas hadits yang lain, selain hadits-hadits yang sudah diteliti
oleh penulis.
Penulis juga berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya, dan umumnya bagi pembaca.
76
DAFTAR PUSTAKA
„Abdullȃh, Ibn „Abdullȃh, Sembilan Pendekar Hadits. Bogor: Pustaka Tariqul
Izzah, 2007.
Asy‟ari, Hasyim. Al-Tibyān fī al-Nahyi ‘an Muqāṭa’at al-‘Arḥām wa al-‘Aqārib
wa al-Ikhwān. Jombang: Maktabah al-Turâts al-Islâmî, t.t.
Al-Baghdȃdȋ, Abȗ Bakar Ahmad Ibn „Alȋ Tsȃbit al-Khȃtȋb, al-Kifȃyah fȋ ‘Ilmi al-
Riwȃyah. Mesir: Matbȃʻah al-Sa‟ȃdah, 1972.
Basyȗnȋ, Abȗ Hȃjir Muhammad al-Saʻȋd bin, Mausȗʻah al-Atrȃf al-Hadȋts al-
Nabawwȋ al-Syarȋf. Beirut: Dȃr al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.t.
Bustamin, M. Isa. H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadits. Jakarta: PT. Rajat
Grapindo Persada.
Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syekh Nawawi Al-Bantani Indonesia. Jakarta:
Sarana Utama, 1978.
Al-Dzahabȋ, Syiar ‘Alam wa Nubala’. Beirut: Al-Risalah, 1990.
Al-Idlibi, Shalahuddin, Manhaj Naqd Matan Hadist. Beirut: Dar al-Afaq al-
Jadidah, 1983.
Isma‟il, Syuhudi, Metode Penelitian Hadits Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 2007.
„Itr, Nuruddin, ‘Ulumul Hadis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012.
Jauzȋ, Abd al-Rahmȃn Ibn, al-maudȗʻat. Beirut: Dȃr al-Afaq al-Jadȋdah, 1983.
Mas‟ud, Abdurr‟ahman. Khazanah Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan
Tradisi. Yogyakarta: Lkis, 2004.
Misrawi, Zuhairi. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi Keutamaan dan
Kebangsaan. Jakarta: Kompas Gramedia, 2010.
Munip, Abdul. Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia. Jakarta:
Badan Litbang dan Pusdiklat Lektur Keagamaan Kementerian Agama
Republik Indonesia, 2010.
Al-Qaṯṯân, Manna‟ Khalȋl, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Penerjemah. Mudzakir
S.A. Bogor: PT. Pustaka Litera Antamusa 2007. Cet. Ke-1.
77
Rahman, Zufran. Kajian Sunnah Nabi Saw Sebagai Sumber Hukum Islam:
Jawaban Terhadap Aliran Ingkar Sunnah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1995 cet.1.
Shihab, M Quraish, Tafsir Al-Misbah. vol 6, Jakarta: Lentera Hati: 2009.
Al-Sibâ‟ȋ, Musṯâfâ, Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam,
Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, penerj. Nurcholis Madjid. Jakarta:
Pustaka Firdaus 1991.
Soebahar, M. Erfan. Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah. Jakarta: Kencana,
2003.
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Solahuddin, Wahid, Biografi 7Rais Am PBNU. Kediri: Nous Pustaka, 2012.
Solihin, M, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grasindo Persada,
2005.
Al-Tahhan, Mahmud, Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits, terj, Ridwan
Nasir, cet.1. Surabaya: Bina Ilmu, 1995.
Tasrif, Muh. “Pengembangan Model Studi Hadis: Telaah Epstimolois terhadap
Studi Hadis di IAIN Sunan Ampel Surabaya”, Jurnal PDII LIPI, Edisi 7,
Vol. IV, 2008.
Al-Tirmasi, Muhammad Mahfudz ibn „Abdullah. Manhaj Dhawi al-Nadzar, 3th.
Singapura: al-Haramain, 1974, cet. III.
Ya‟kub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, cet-5. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Yusuf, Jamal al-Dȋn Abȋ al-Hajjȃj, Tahdzȋb al-Kamal fȋ Asmȃ al-Rijal. Beirut:
Muassasah al-Risȃlah, 1983.
Wensinck, A.J., Mu’jam al-Mufahras li Alfȃz al-Hadȋts al-Nabȃwȋ. Leden:
Maktabah Barȋl, 1926.