Post on 13-Jun-2019
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH PERBANKAN
PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG
AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN
PERPAJAKAN
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Andrea Sukmadilaga
NIM. 11140480000052
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2018 M
ii
ii
iii
iv
ABSTRAK
Andrea Sukmadilaga. NIM 11140480000052. PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP NASABAH PERBANKAN PASCA UNDANG-
UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI
KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN. Program Studi Ilmu
Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta, 1439 H/ 2018 M. xi + 74 halaman +25
halaman lampiran.
Penelitian ini dilakukan karena adanya Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2017 Tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi
Keuangan Untuk Kepentingan Menjadi Undang-Undang yang memberikan
kewenangan penuh kepada Dirjen Pajak untuk memaksa setiap Bank memberikan
data Nasabah yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Rahasia Bank agar
Aparatur/Fiskus Pajak dapat mengakses dan menyimpan data nasabah. namun,
jaminan keamanan dan kepastian hukum tidak jelas terhadap data Nasabah
tersebut jika terjadi kebocoran atau menyalahgunakan data oleh Fiskus/Aparatur
Pajak, mengingat saat ini banyak terjadinya kebocoran data nasabah dan beberapa
kasus yang melibatkan aparatur/fiskus pajak.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library
research dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,
buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan (Konsideran) pada
Undang-Undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
karena substansi pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 memaksa Bank
untuk memberikan data nasabahnya tanpa memperhatikan hak-hak nasabah
sebagai konsumen yang menyatakan bahwa Konsumen berhak atas perlindungan
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan diri dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Kata Kunci: Nasabah, Perlindungan, Data Pribadi Nasabah, Pajak
Pembimbing: Dr. Muhammad Maksum, S.H., M.A., MDC.
Daftar Pustaka: Tahun 1987 s.d. Tahun 2016
v
KATA PENGANTAR
رلا ن ح ي ب م س للا م رلا ه ح م
Puji syukur kehadirat Allah Swt yang maha melihat lagi maha mendengar,
atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada
baginda Muhammad Saw.
Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
baik materiil dan immaterial, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. dan Drs. Abu Thamrin, S.H.,
M.Hum., Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.
3. Dr. Muhammad Maksum, S.H., M.A., MDC., Dosen Pembimbing yang
telah bersedia pembimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh
kesabaran, perhatian dan ketelitian dalam memberikan masukan dan
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada peneliti
hingga skripsi ini selesai.
4. Pimpinan beserta jajaran staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
dan pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna
menyelesaikan skripsi ini..
5. Kedua Orang tua yang sangat dicintai peneliti, Almarhum Bapak Maskana
Ariefin dan Ibu Lilis Sukmini serta kakak peneliti, khususnya kepada Ibu
yang tidak pernah lelah untuk memberikan dukungan baik moril maupun
materiil kepada Penulis serta menjadi motivasi Peneliti sekaligus menjadi
inspirasi dalam kehidupan Peneliti. Tidak lupa juga nasihat-nasihat yang
vi
pernah Almarhum Bapak berikan untuk selalu bekerja keras dan pantang
menyerah sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
6. Seluruh keluarga besar Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis 2014
yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan
baik moril maupun materiil.
7. Seluruh Anggota Kelompok KKN 24 Circle, khususnya kepada Fellasufah
Diniyah yang telah memberikan kenangan baik dan semangat dalam
penyelesaian skripsi.
8. Khusus kepada Sahabat penulis, Zahid Ahsan, Dian Bahtiar, Muhzen
Muzadi, Abdul Muadz Kurniawan, Muslimah dan Nauval Fathu Dzulfikar
yang telah memberikan masukan dan semangat dalam penyelesaian skripsi.
9. Pihak-pihak lain yang telah memberikan kontribusi berupa materiil dan
immaterial kepada peneliti dalam penyelesaian skripsi yang tidak bisa
disebutkan.
Akhir kata peneliti berharap kepada semua pihak untuk memberikan masukan
yang bermanfaat untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat menjadi
referensi untuk setiap pembaca.
Jakarta, 11 April 2018
Andrea Sukmadilaga
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ..................................iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................ vi
DAFTAR ISI.........................................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ................................ 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 8
D. Metode Penelitian ................................................................................... 9
E. Sistematika Penelitian ........................................................................... 13
BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
KERAHASIAAN DATA NASABAH PERBANKAN ....................................... 15
A. Pengertian Perlindungan Hukum......................................................... 15
B. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen ............................ 19
1. Latar Belakang Perlindungan Konsumen ...................................... 19
2. Pengertian Perlindungan Konsumen, Konsumen, dan Pelaku
Usaha ............................................................................................. 21
3. Asas-Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen .......................... 24
C. Tinjauan Umum Tentang Rahasia Bank.............................................. 25
1. Pengertian Bank............................................................................. 25
viii
2. Hubungan Bank dan Nasabah ....................................................... 26
3. Pengertian dan Ruang Lingkup Rahasia Bank .............................. 29
4. Macam-Macam Rahasia Bank....................................................... 31
5. Ruang Lingkup Perlindungan Hukum Nasabah Perbankan .......... 34
6. Pengaturan Rahasia Bank dalam Undang-Undang Perbankan...... 35
7. Pengaturan Rahasia Bank dalam Peraturan Perundang-Undangan
Lainnya .......................................................................................... 39
D. Tinjauan (Review) Kajian Studi Terdahulu .............................................
BAB III KEWENANGAN FISKUS PAJAK TERHADAP LEMBAGA
KEUANGAN PERBANKAN ...................................................................................
A. Hubungan Antara Perbankan dengan Perpajakan .............................. 42
B. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 Tentang
Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan ............. 43
C. Syarat-Syarat dan Mekanisme Fiskus/Aparatur Pajak dalam
Mengakses Data Nasabah Perbankan ................................................ 48
D. Sanksi Terhadap Lembaga Jasa Keuangan yang Tidak Mengikuti
Aturan Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan
Perpajakan ............................................................................................ 4
BAB IV ANALISIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN
2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK
KEPENTINGAN PERPAJAKAN PERSPEKTIF PERLINDUNGAN
KONSUMEN ...........................................................................................................
A. Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 ......................... 56
B. Bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen ........................................... 57
ix
C. Lemahnya Pertimbangan (Konsideran) dalam Pengesahan Perppu
Menjadi Undang-Undang ................................................................. 58
D. Tidak Menjalankan Asas Keseimbangan ......................................... 61
E. Sanksi dan Upaya Hukum Terhadap Aparatur/Fiksus Pajak Jika
Menyalahgunakan Data Nasabah ..................................................... 62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................... 69
B. Rekomendasi ....................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 72
x
DAFTAR LAMPIRAN
1. Undang-Undang Nomor 9 Tentang Penetapan PERPPU Nomor 1 Tahun
2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
Menjadi Undang-Undang
2. PERPPU Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan
3. Formulir Pendaftaran Lembaga Keuangan dan Daftar Jenis Rekening
Keuangan yang Dikecualikan
4. Daftar LJK, LJK Lainnya dan/ atau Entitas Lain Serta Rincian Informasi
Keuangan yang Wajib Disampaikan Lembaga Jasa Keuangan, Lembaga
Jasa Keuangan Lainnya, dan/ Atau Entitas Lain
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lembaga keuangan di sektor perbankan di Indonesia kini
mengalami kemajuan yang pesat dalam memberikan jasa kepada para
konsumen/nasabah. Perkembangan pesat itu didorong akibat adanya
teknologi informasi yang semakin hari semakin canggih sehingga
memudahkan masyarakat untuk bisa melakukan transaksi keuangannya.
Dengan adanya dukungan fitur-fitur yang merupakan hasil dari
perkembangan teknologi informasi pada sistem perbankan, maka harapan
yang diperoleh dari bank sebagai lembaga keuangan yakni memudahkan
dan memanjakan konsumennya dalam melakukan segala bentuk transaksi
keuangan. Namun, keberhasilan suatu bank tidak hanya memberikan
layanan-layanan yang memudahkan para konsumen, akan tetapi juga dapat
menjaga kepercayaan masyarakat sehingga eksistensi suatu bank akan
tetap dipandang baik bagi masyarakat yang menggunakan jasa keuangan
perbankan.
Bank tidak hanya bertugas menghimpun dana masyarakat dalam
bentuk simpanan secara langsung untuk kemudian menyalurkannya
kembali kepada masyarakat melalui pranata hukum perkreditan,1 namun
wajib menjaga kerahasiaan data nasabahya selaku konsumen. Apabila data
nasabah tidak terjaga maka dampak yang sangat krusial yaitu masyarakat
kehilangan kepercayaan karena landasan pertama mengapa masyarakat
menyimpan uangnya di bank yaitu atas dasar kepercayaan. Ketika bank
sebagai lembaga keuangan tidak lagi memperoleh kepercayaan kepada
masyarakat, dapat membuat roda perekonomian akan terganggu karena
masyarakat menarik uang mereka secara bersama-sama (Rush Money),
sehingga mengakibatkan banyak bank yang kolaps akibat adanya bentuk
1 Sentosa Sembiring. Hukum Perbankan. (Bandung: CV Mandar Maju, 2012), h., 2.
2
rasa ketidakpercayaan yang ada pada masyarakat. Tidak hanya itu, data
nasabah yang tidak terjaga akan berdampak pula pada kenyamanan dan
keamanan nasabah sebagai konsumen jasa keuangan. Jika data nasabah
bocor dan jatuh pada oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, dapat
memicu kejahatan-kejahatan yang tidak diinginkan, maka hal ini
bertentangan dengan hak konsumen untuk mendapatkan kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau/ jasa.
Pasca dikeluarkannya PERPPU No. 1 Tahun 2017 tentang Akses
Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan yang kini sudah
ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 9 tahun 2017, kini
fiskus/petugas pajak tanpa harus mendapatkan izin dari pimpinan Bank
Indonesia melalui permintaan terlebih dahulu dari menteri keuangan,
sudah dapat mengetahui data nasabah dengan mudah. Data tersebut
diantaranya memuat:
a. identitas pemegang rekening keuangan;
b. nomor rekening keuangan;
c. identitas lembaga jasa keuangan;
d. saldo atau nilai rekening keuangan; dan
e. penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
Peraturan ini merupakan bentuk komitmen Indonesia setelah
meratifikasi skema pertukaran informasi keuangan atau Automatic
Exchange of Information (AEOI) bersama anggota G-20 dan Organisasi
untuk Kerja Sama Pembangunan Ekonomi atau Organization for
Economic Co-operation and Development (OECD).2 AEOI adalah
pengiriman informasi tertentu mengenai wajib pajak pada waktu tertentu,
2http://nasional.kompas.com/read/2017/05/17/18044751/jokowi.perppu.no.1.2017.agar.in
donesia.tak.masuk.negara.ecek-ecek (diakses pada tanggal 20 Mei 2017)
3
secara periodik, sistematis dan berkesinambungan dari negara sumber
penghasilan atau tempat menyimpan kekayaan, kepada negara residen
wajib pajak. Adanya undang-undang ini juga diharapkan dapat
meningkatkan penerimaan pajak bagi keuangan negara.Juga
meminimalisir wajib pajak yang hendak melakukan penghindaran pajak
(tax avoidance).
Ditjen (Direktorat Jendral) pajak menggunakan aplikasi yang bernama
“akasia” untuk membuka data nasabah yang merupakan bagian dari
rahasia bank untuk keperluan perpajakan, yang dimana nantinya data
nasabah ini digunakan sebagai tolak ukur fiskus pajak untuk menghitung
besaran jumlah pajak terutang yang harus dibayarkan oleh wajib pajak.
Akasia merupakan perangkat lunak sistem informasi pengelolaan usulan
pembukaan rahasia bank yang berbasis jaringan untuk merekam,
mengunggah dokumen pendukung, memberikan persetujuan, dan
mencetak surat permintaan pembukaan rahasia bank, serta sebagai sarana
informasi dan pemantauan permintaan pembukaan rahasia bank.3 Adanya
keterbukaan data nasabah ini yang paling utama untuk sebagai
pertimbangan dan penghitungan PPh (Pajak Penghasilan) yang terkait
dengan rekening simpanan keuangan yang mencakup bunga atas deposito
milik nasabah. Deposito yang dimaksud adalah deposito dengan nama dan
dalam bentuk apapun termasuk deposito berjangka, sertifikat deposito, dan
deposit on call, baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing yang
ditempatkan pada atau diterbitkan oleh bank. Termasuk bunga yang
diterima dari deposito dan tabungan yang ditempatkan diluar negeri
melalui bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau
cabang Bank luar negeri di Indonesia.4
3http://www.pajak.go.id/content/news/buka-kerahasiaan-bank-26-kantor-pajak-terapkan-
akasia (diakses pada tanggal 21 Mei 2017)
4 Abdul Halim, d.k.k. Perpajakan ( Konsep, Aplikasi, Contoh, dan Studi Kasus). (Jakarta:
Salemba Empat, 2014), h., 304.
4
Keterbukaan data nasabah ini menimbulkan kerentanan bagi petugas
pajak untuk menyalahgunakan data tersebut sebagai alat untuk melakukan
upaya pemerasan melalui negosiasi kepada nasabah pada suatu bank
selaku Wajib Pajak, penggelapan, pemalsuan semakin tinggi, mengingat
selama ini sudah banyak oknum fiskus pajak yang sudah tertangkap akibat
memberikan laporan pajak terutang fiktif. Dengan adanya regulasi yang
memudahkan fiskus pajak ini, data nasabah pun sudah tidak bersifat
rahasia. Nasabah sebagai konsumen jasa keuangan seharusnya berhak
mendapatkan keamanan dan kerahasiaan data sebagaimana sesuai dengan
pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
jo. Pasal 41 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
Permasalahan juga akan timbul mengingat zaman yang semakin
modern ini dengan terbukanya data nasabah, semakin rentan data tersebut
akan bocor atau tersebar akibat ulah oknum yang tidak bertanggung jawab,
sehingga dapat memicu cyber crime yang dilakukan oleh para Hacker
untuk memperkaya dirinya. Bahkan data nasabah ini dijadikan alat untuk
fiskus pajak memeras wajib pajak yang dikenakan PPh atas Bunga
Deposito. Hal ini jelas sangat merugikan nasabah sebagai konsumen
perbankan.Mekanisme dalam penyimpanan dan penggunaan data tersebut
harus jelas untuk menghindari kekhawatiran nasabah selaku wajib pajak
pada sektor PPh Bunga Deposito.
Jika terjadi penyelewengan, maka sudah seharusnya nasabah
melakukan upaya hukum untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, jika
kemungkinan-kemungkinan terjadi tindakan pemerasan, penipuan, dan
sebagainya dengan menggunakan data nasabah sebagai senjata oleh fiskus
pajak. Berikut dibawah ini berbagai kasus yang melibatkan fiskus pajak:5
5 http://nasional.kontan.co.id/news/ (diakses tanggal 21 Mei 2017)
5
1. 13 Juli 2012. Kepala Kantor Pajak Pratama Bogor Anggrah Pratama
diciduk saat menerima uang suap sebesar Rp 300 juta dari karyawan
perusahaan tambang PT Gunung Emas Abadi Endang Dyah Lestari di
Perumahan Legenda Wisata dan Kota Wisata Cibubur, Jakarta Timur.
Anggrah divonis bersalah dengan hukuman selama 6 tahun penjara dan
denda Rp 200 juta.
2. 15 Mei 2013, dua orang pemeriksa pajak di DJP Jakarta Timur
Muhammad Dian Indra dan Eko Darmayanto ditangkap di terminal 3
Bandara Soekarno Hatta. Keduanya ditangkap bersama seorang kurir
bernama Tedy ketika hendak mengambil uang sebesar Sin$ 300.000
yang sudah diletakkan dalam mobil di parkiran bandara. Pada
Desember 2013, Mereka terbukti menerima suap Sin$600 ribu untuk
pengurusan pajak PT The Master Steel, Rp 3,25 miliar terkait
pengurusan pajak PT Delta Internusa, dan sebesar US$ 150.000 untuk
pengurusan kasus pajak PT Nusa Raya Cipta. Keduanya divonis
sembilan tahun penjara.
3. Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, PNS golongan IIIA DJP
dinyakan bersalah karena menerima suap senilai Rp925 juta dari
Roberto Santonius, konsultan PT Metropolitan Retailmart untuk
pengurusan keberatan pajak. Gayus juga Gayus terbukti menerima
gratifikasi di kasus lain sebesar US$659.800 dan Sin$9,6 juta.
Penelitian ini dilakukan untuk kepentingan masyarakat selaku nasabah
yang dikenakan wajib pajak yang mungkin belum terlalu mengetahui
aturan ini karena aturan ini tergolong baru, juga dalam hal upaya serta
penyelesaian hukum terhadap fiskus pajak jika melakukan tindakan
pemerasan, penipuan dan tindakan yang tidak benar dimata hukum dengan
menggunakan data nasabah tersebut sebagai alat, mengingat banyaknya
oknum fiskus pajak yang terjerat kasus hukum hingga menerima hukuman
pidana penjara.
6
Berdasarkan latar belakang tersebut mucul pertanyaan, bagaimana
pengawasan terhadap fiskus pajak yang mempunyai wewenang mengakses
data informasi nasabah pada bank.Apakah ada batasan-batasan bagi fiskus
pajak untuk menggunakan data nasabah tersebut? Serta Bagaimana
penyelesaian hukum terhadap perkara tersebut jika dihadapi oleh
masyarakat selaku nasabah yang dikenai wajib pajak akan dipaparkan
dalam penelitian oleh penulis berupa skripsi yang berjudul:
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH
PERBANKAN PASCA UNDANG-UNDANG NO. 9 TAHUN 2017
TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK
KEPENTINGAN PERPAJAKAN”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang disampaikan diatas, terdapat
beberapa persoalan yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi
konsumen perbankan pasca adanya regulasi yang memudahkan fiskus
pajak membuka data nasabah yang diatur oleh Undang-Undang No. 9
Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan
Perpajakan.
Dari latar belakang tersebut terdapat berbagai masalah yang
muncul yaitu:
a. Peraturan perundang-undangan mengatur tentang perlindungan
konsumen perbankan dalam kerahasiaan data nasabah.
b. Kepastian hukum Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017
Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan
Perpajakan dalam Ketentuan Rahasia Bank dan Perlindungan
Konsumen
7
c. Mekanisme yang dilakukan oleh fiskus pajak sebelum bebas
mengakses Informasi data keuangan nasabah menurut undang-
undang.
d. Bentuk pengawasan untuk memberikan batasan-batasan kepada
fiskus pajak oleh pemerintah dengan adanya kebebasan
mengakses data nasabah menurut Undang-Undang.
e. Upaya dan penyelesaian hukum yang dapat dilakukan oleh
Nasabah selaku konsumen jasa keuangan jika petugas/fiskus
pajak melakukan penyalahgunaan data nasabah.
f. Sanksi terhadap fiskus pajak dalam menyalahgunakan mengakses
informasi data nasabah.
2. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah berguna untuk memberikan suatu gambaran
yang jelas masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian dalam
penelitian hukum ini dan untuk menghindari adanya perluasan masalah
yang dikaji serta agar penelitian ini bisa lebih terarah dari apa yang
telah menjadi dasar permasalahan dan tujuan yang akan dicapai, maka
ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini penulis batasi hanya
pada Nasabah Deposito yang ada di Negara Republik Indonesia pasca
adanya regulasi yang memudahkan fiskus pajak membuka data
Nasabah Deposito selaku konsumen perbankan melalui Undang-
Undang No. 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan
sebelumnya, permasalahan penelitian yang akan diangkat oleh peneliti
8
yakni perlindungan hukum nasabah perbankan yang memiliki
tabungan deposito pasca Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017
tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana kepastian hukum Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan
Perpajakan terhadap Nasabah Deposito menurut ketentuan
Rahasia Bank dan Perlindungan Konsumen?
b. Apa bentuk pengawasan dan sanksi terhadap Aparatur/Fiskus
Pajak jika terjadi penyalahgunaan informasi data Nasabah
Deposito?
c. Bagaimana upaya dan penyelesaian hukum bagi nasabah bank
selaku konsumen jika aparatur/fiskus pajak melakukan
penyalahgunaan data Nasabah Deposito?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh
mengenai kewenangan fiskus pajak terhadap adanya keterbukaan data
nasabah untuk kepentingan perpajakan pasca adanya Undang-Undang
No. 9 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk
Kepentingan Perpajakan, bagaimana mekanisme fiskus pajak dapat
bebas membuka data nasabah serta penyelesaian yang dapat dilakukan
oleh masyarakat apabila terjadi peyalahgunaan data nasabah bank.
Secara khusus tujuan yang ingin dicapai oleh penulis berkaitan dengan
penelitian ini adalah:
a. Untuk menjelaskan kepastian hukum Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk
9
Kepentingan Perpajakan dalam Ketentuan Rahasia Bank dan
Perlindungan Konsumen.
b. Untuk menjelaskan bentuk pengawasan dan sanksi terhadap Fiskus
Pajak jika terjadi penyalahgunaan data dalam mengakses informasi
data Nasabah.
c. Untuk menjelaskan upaya dan penyelesaian hukum bagi nasabah
bank selaku konsumen jika fiskus pajak melakukan
penyalahgunaan data.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai pembelajaran
penulis, dan pengaplikasian teori-teori ilmu hukum yang telah
dipelajari selama ini.
b. Secara Praktis, penelitian ini dapat menambah wawasan penulis
tentang kepastian dan perlindungan hukum terhadap nasabah bank
pasca adanya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 Tentang
Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan dan
dapat dijadikan bahan masukan terhadap pemerintah agar lebih
diperjelas mengenai pelaksaan teknis daripada undang-undang
tersebut serta mensosialisasikan peraturan tersebut kepada seluruh
elemen masyarakat agar tidak menimbulkan kekhawatiran pasca
adanya peraturan tersebut.
D. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;
10
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti
tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.6
1. Tipe Penelitian
Pada penelitian ini, metode yang digunakan penulis dalam
penelitian ini adalah penelitian normatif. Tipe penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis normatif.
Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan
mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-
undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di
masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di
masyarakat.7
2. Pendekatan Masalah
Mengingat pada penelitian ini menggunakan tipe penelitian
normatif dengan menggunakan pendekatan Yuridis Normatif, maka
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (Statue Approach) dan pendekatan konseptual
(Conceptual Approach). Pendekatan perundang-undangan ini
digunakan untuk menelaah aturan-aturan yang berkaitan dengan
pengaturan perlindungan nasabah selaku konsumen pasca adanya
Undang-Undang No. 9 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi
Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.
3. Sumber Bahan Hukum
Sumber pada penelitian ini antara lain mencakup bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, bahan non hukum/tersier.
6 I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori
Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016), h., 30
7 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji. Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di
Dalam Penelitian Hukum. (Jakarta: Pusat Dokumen Universitas Indonesia, 1979), h., 18.
11
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritati artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan
hakim.8 Dalam penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum
primer adalah:
1.) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Akses
Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.
2.) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
3.) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
4.) Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009
5.) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik
6.) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 Tentang
Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data
Pribadi Nasabah
7.) POJK No. 1 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Konsumen Jasa
Keuangan
8.) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 Tentang
Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan
b. Bahan hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi
8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana, cet-IV 2010), h., 35.
12
tentang hukum dalam bidang perbankan dan perlindungan
konsumen jasa keuangan meliputi buku-buku teks, kamus
hukum,jurnal hukum, dan komentar-komentar atas norma hukum
c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan
bahanhukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum
dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Ekonomi, Sosiologi,
Filsafat atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang
mempunyai relevansi dengmantopik penelitian. Bahan-bahan non-
hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas
wawasan peneliti.
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan ini,
maka penulis menggunakan prosedur pengumpulan bahan hukum
dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari
dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat
kabar, peraturan perundang- undangan dan bahan-bahan lain yang
berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi
kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel dimaksud
penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan
dalam penulisan lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang
telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan
secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan
yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
Selanjutnya bahan hukum yang ada dianalisis untuk melihat pokok-
pokok penting dalam perlindungan nasabah selaku konsumen
perbankan terutama dalam hal pentingnya kerahasiaan data nasabah
13
serta batasan-batasan bagi fiskus pajak dalam membuka dan
menyimpan data nasabah pasca adanya regulasi yang memudahkan
fiskus pajak dengan mudah mendapatkan data nasabah tersebut
sehingga dapat membantu sebagai dasar acuan dan pertimbangan
hukum yang berguna dalam menangani masalah perlindungan terhadap
para konsumen jika dirugikan oleh para oknum fiskus pajak yang tidak
dapat menjaga data nasabah.
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun sesuai dengan “Petunjuk Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 2017”. Masing-masing bab terdiri atas beberapa
subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti, adapaun perincian
sebagai berikut:
BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang
permasalahan, identifikasi masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Merupakan bab kajian pustaka mengenai teori-teori
perlindungan hukum terhadap kerahasiaan data nasabah
perbankan yang membahas beberapa aspek, diantaranya
pengertian perlindungan hukum, tinjauan umum tentang
perlindungan konsumen dan tinjauan umum tentang rahasia
bank. Pada bab ini juga dibahas review studi terdahulu yang
relevan yang fokus pembahasannya mendeskripsikan
persamaan dan perbedaan studi-studi dengan rencana studi
yang akan dilakukan.
BAB III : Merupakan bab penyajian data penelitian secara deskriptif
yang menyajikan kewenangan fiskus pajak terhadap
14
lembaga keuangan perbankan, dimana data-data yang
dimaksud bukanlah dari opini peneliti, melainkan data yang
sesungguhnya sesuai dengan fakta yang ada. Seperti
pembahasan mengenai hubungan perpajakan dan
perbankan, latar belakang Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan, Syarat-Syarat dan Mekanisme
Fiskus/Aparatur Pajak dalam Mengakses Data Nasabah
Perbankan, Sanksi Terhadap Lembaga Jasa Keuangan yang
Tidak Mengikuti Aturan Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan.
BAB IV : Merupakan bab analisis permasalahan yang membahas dan
menjawab permasalahan pada penelitian ini diantaranya
dijelaskan bahwa dalam perspektif perlindungan konsumen,
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Akses
Informasi Keuangan dianggap bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan tidak
menjalankan asas keseimbangan serta lemahnya
pertimbangan (konsideran) dalam pengesahan PERPPU
menjadi Undang-Undang.
BAB V : Merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan
dan rekomendasi. Bab ini merupakan bab terakhir dari
sistematika penulisan skripsi yang pada akhirnya penelitian
ini menarik beberapa kesimpulan dari penelitian untuk
menjawab rumusan masalah serta memberikan rekomendasi
yang dianggap perlu.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
KERAHASIAAN DATA NASABAH PERBANKAN
A. Pengertian Perlindungan Hukum
Pengertian perlindungan adalah tempat untuk berlindung, hal
(perbuatan dan sebagainya) memperlindungi.1 Perlindungan yaitu suatu
hal atau keadaan dimana seseorang dan/atau subjek hukum dapat
memberikan suatu perhatian khusus baik berbentuk simpati atau empati
yang dapat diberikan kepada seseorang yang lain dan/ atau subjek hukum
yang lainnya. Subjek hukum yaitu pembawa hak dan kewajiban untuk
melakukan tindakan hukum.2
Secara etimologis, kata “hukum” dalam bahasa inggris mempunyai
dua pengertian. Pertama, kata “hukum” diartikan sebagai serangkaian
pedoman untuk mencapai keadilan. Yang kedua, kata “hukum” merujuk
kepada seperangkat aturan tingkah laku untuk mengatur ketertiban
masyarakat.3
Hukum menurut Leopold J. Pospisil, Law is conceived as rules or
modes of conduct made obligatory by some sanction which is imposed and
enforced for their violation by a controlling authority.4.
Menurut Mochtar Kusumatmadja, pengertian hukum yang memadai
harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-V, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2010), h., 751.
2 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h., 227.
3 Cf. Roscue Pound, Law Finding Through Experience and Reason, Three Lectures,
University of Georgia Press, Athens, 1960, h., 1-3.
4 Laura Nader, Law in Culture and Society, University of California Press, 1997, h., 130.
16
dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat tetapi
harus pula mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk
mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.5
Dapat disimpulkan bahwa Hukum merupakan aturan-aturan yang yang
dibuat oleh pejabat yang berwenang baik dalam bentuk tertulis maupun
tidak tertulis yang bersifat mengatur, mengikat dan memaksa untuk
kepentingan umum dan bersama, sehingga kedamaian dan keadilan dapat
terdekati.
Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan
pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau
korban, perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari
perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk,
seperti melalui pemberian restitusi, kompensasi, pelayanan medis, dan
bantuan hukum.6
Pengertian Perlindungan hukum menurut Undang-Undang nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yaitu adalah segala daya upaya
yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga
pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan,
penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak
asasi yang ada.
Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa Perlindungan Hukum
adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap
hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan
ketentuan hukum dari kesewenangan.7
5 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h., 120
6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), h., 133.
7 Setiono. Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2004. h., 3
17
Dapat dilihat secara keseluruhan, bahwa perlindungan hukum
adalah segala upaya perlindungan yang dilakukan oleh seseorang/
pemerintah/ swasta terhadap korban/ saksi/ pihak yang merasa dirugikan
berdasarkan aturan dan prosedur hukum yang berlaku baik secara tertulis
maupun tidak tertulis dalam rangka memenuhi hak-hak korban yang
dirugikan oleh oknum sehingga tercipta rasa aman bagi korban.
Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan Hukum
ada dua macam, yaitu :8
1. Sarana Perlindungan Hukum Preventif
Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan
kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum
suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.
Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa.
2. Sarana Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum
dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori
perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap
tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena
menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban
masyarakat dan pemerintah.
B. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen
8 Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. (Surabaya: PT Bina
Ilmu, 1987), h., 29-30.
18
1. Latar Belakang Perlindungan Konsumen di Indonesia
Timbulnya kesadaran konsumen, telah melahirkan salah satu
cabang baru dalam ilmu hukum yaitu hukum Perlindungan Konsumen
yang dikenal juga dengan hukum konsumen (consumers law). Hukum
Perlindungan Konsumen merupakan cabang hukum yang bercorak
Universal. Sebagian besar perangkatnya diwarnai hukum asing, namun
kalau dilihat dari hukum positif yang sudah ada di Indonesia ternyata
dasar-dasar yang menopang sudah ada sejak dulu termasuk hukum
adat.9
Fokus gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme)10 dewasa
ini sebenarnya masih pararel dengan gerakan-gerakan pertengahan
abad ke-20. Gerakan perlindungan konsumen di Indonesia mulai
dikenal dari gerakan serupa di Amerika Serikat. Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI) yang secara populer dipandang sebagai
perintis advokasi konsumen di Indonesia berdiri pada kurun waktu itu,
yakni 11 Mei 1973. Gerakan di Indonesia ini cukup responsif terhadap
keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial
PBB (ECOSOC) No. 2111 Tahun 1978 Tentang Perlindungan
Konsumen.
Setelah YLKI kemudian muncul organisasi-organisasi serupa,
antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K)
di Semarang tahun 1985, Yayasan Bina Lembaga Konsumen Indonesia
(YBLKI) di Bandung dan beberapa perwakilan di berbagai propinsi
tanah air. Keberadaan YLKI sangat membantu dalam upaya
9 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2001), h., 11-12.
10 Istilah “Konsumerisme” bukan paham yang mengajarkan orang berlaku “konsumtif”.
Konsumerisme adalah gerakan yang memperjuangkan ditegakkannya hak-hak konsumen
(Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004, h.,
29.)
19
peningkatan kesadaran akan hak-hak konsumen karena lembaga ini
tidak hanya sekedar melakukan penelitian atau pengujian, penerbitan
dan menerima pengaduan, tapi juga sekaligus mengadakan upaya
advokasi langsung melalui jalur pengadilan.
YLKI bersama dengan BPHN (Badan Pembinaan Hukum
Nasional) membentuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen. Namun Rancangan Undang-Undang ini ternyata belum
dapat memberi hasil, sebab pemerintah mengkhawatirkan bahwa
dengan lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan
menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Pada awal tahun 1990-an, kembali diusahakan lahirnya Undang-
Undang yang mengatur mengenai perlindungan konsumen. Salah satu
ciri pada masa ini adalah pemerintah dalam hal ini Departemen
Perdagangan sudah memiliki kesadaran tentang arti penting adanya
Undang-undang Perlindungan Konsumen. Hal ini diwujudkan dalam
dua naskah Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu
yang pertama adalah hasil kerjasama dengan fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada dan yang kedua adalah hasil kerjasama
dengan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.Tetapi hasilnya
sama saja, kedua naskah Rancangan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tersebut tidak dibahas di DPR.
Pada akhir tahun 1990-an, Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tidak hanya diperjuangkan oleh lembaga konsumen dan
Departemen Perdagangan, tetapi adanya tekanan di lembaga keuangan
internasional (IMF/International Monetary Fund). Berdasarkan
desakan dari IMF itulah akhirnya Undang-Undang Perlindungan
Konsumen dapat dibentuk.11 Keberadaan Undang-undang
Perlindungan Konsumen merupakan simbol kebangkitan hak-hak sipil
11 Sudaryatmo, Memahami Hak Anda Sebagai Konsumen, (Jakarta: PIRAC, 2001), h., 23.
20
masyarakat, sebab hak konsumen pada dasarnya juga adalah hak-hak
sipil masyarakat. Undang-undang Perlindungan Konsumen juga
merupakan penjabaran lebih detail dari hak asasi manusia, khususnya
hak ekonomi.
2. Pengertian Perlindungan Konsumen, Konsumen, dan Pelaku
Usaha
a. Pengertian Perlindungan Konsumen
Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil
maupun formal makin terasa sangat penting mengingat kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai motor penggerak
produsen barang dan jasa yang dihasilkan dalam rangka mencapai
sasaran usaha yang dalam prakteknya tidak lepas dari keterkaitan
dengan konsumen. Jadi secara langsung atau tidak langsung
konsumenlah yang merasakan dampaknya.12
Pengertian perlindungan konsumen berdasarkan Pasal 1
angka 1 UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
yakni segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen.
b. Pengertian Konsumen13
Konsumen berasal dari bahasa Inggris-Amerika yaitu
consumers, atau dalam bahasa Belanda disebut consument atau
konsumen. Terdapat beberapa pengertian dan batasan mengenai
konsumen, yaitu menurut:
12 Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, (Bandung: Mandar Maju, 2000),
h., 78.
13 Az Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada
Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h., 87.
21
1) Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsumen diartikan sebagai:
pemakai barang-barang hasil industri (bahan pakaian, makanan,
dan sebagainya). Didefinisikan juga sebagai penerima pesan
iklan.
2) Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 Angka
2, konsumen didefinisikan sebagai orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain untuk diperdagangkan.
Pengertian konsumen meliputi unsur-unsur yaitu:
1) Orang yang memakai barang atau jasa.
2) Memakai barang dan/atau jasa untuk keperluan sehari-hari.
3) Tidak untuk diperdagangkan atau sebagai pemakai akhir (end
user).
Batasan dari konsumen dapat dibagi menjadi:
1) Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang
dan/atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu.
2) Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan
barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat
barang dan/atau jasa lain atau untuk diperdagangkan.
3) Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan
dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi
kebutuhan kehidupan pribadinya, keluarga dan/atau rumah
tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non-
komersial).
22
c. Pengertian Pelaku Usaha
Pasal 1 butir 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen
menyatakan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
secara bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Kalangan ekonomi (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia),
menetapkan bahwa pelaku ekonomi bersama dengan pelaku usaha,
terdiri dari tiga kelompok besar, yaitu:14
1) Kelompok penyedia dana (investor).
2) Kelompok pembuat barang atau jasa (produsen).
3) Kelompok pengedar barang atau jasa (distributor).
Pengertian pelaku usaha sebagaimana yang telah disebutkan di
atas bisa meliputi perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi,
importir, pedagang, distributor.
3. Asas-Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama
seluruh pihak yang terkait, masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah
berdasarkan lima asas, yaitu menurut Pasal 2 UUPK adalah:
a. Asas Manfaat
14 Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, (Bandung: Mandar Maju, 2000),
h., 95.
23
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa
segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen
harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b. Asas Keadilan
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat
dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
c. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.
d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan
untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen.
Tujuan daripada adanya perlindungan konsumen, yakni:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/ atau
jasa.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-hak sebagai konsumen
24
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
f. Meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
C. Tinjauan Umum Tentang Rahasia Bank
1. Pengertian Bank
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan/ atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak sebagaimana telah diatur
dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998.
Asas perbankan yang dianut di Indonesia dapat kita ketahui dari
ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan yang mengemukakan bahwa “perbankan indonesia dalam
melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi, dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian”. Menurut penjelasan resminya
yang dimaksud dengan demokrasi ekonomi adalah demokrasi ekonomi
berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar 1945.
Mengenai apa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian
sebagaimana disebutkan dalam ketentuan pasal 2 Undang-Undang
25
Perbankan di atas tidak ada penjelasannya secara resmi, tetapi kita
dapat mengemukakan bahwa bank dan orang-orang yang terlibat
didalamnya, terutama dalam membuat kebijaksanaan dan menjalankan
tugas dan wewenangnya masing-masing secara cermat, teliti, dan
profesional sehingga memperoleh kepercayaan masyarakat.15
Tujuan daripada perbankan di Indonesia yakni menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan
pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah
peningkatan kesejahteraan rakyat banyak sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 4 pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perbankan
Berdasarkan uraian-uraian diatas, dapat dipahami bahwa Bank
merupakan wadah yang dianggap oleh masyarakat sebagai lembaga
keuangan yang terpercaya, sehingga atas kepercayaan masyarakat
Bank dapat menjalankan usahanya di bidang perbankan.
2. Hubungan Bank dan Nasabah
Hubungan bank dan nasabah adalah hubungan yang lahir karena
perjanjian. Hubungan ini melahirkan hak dan kewajiban dari bank dan
nasabah adalah sebagai berikut:16
a. Kewajiban Bank
1) Menjamin Kerahasiaan, identitas bank beserta dengan dana
yang disimpan pada bank kecuali kalau peraturan
perundang-undangan menentukan lain.
2) Menyerahkan dana kepada nasabah sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati.
15 Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h., 19.
16 Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung: CV Mandar Maju, 2012), h., 176
26
3) Membayar bunga simpanan sesuai dengan perjanjian yang
telah disepakati.
4) Mengganti kedudukan debitur dalam hal nasabah tidak
mampu melaksanakan kewajiban kepada pihak ketiga.
5) Melakukan pembayaran kepada eksportir dalam hal
digunakan fasilitas Letter of Credit (L/C), sepanjang
persyaratan untuk itu telah dipenuhi.
Letter of Credit adalah janji dari bank penerbit untuk
melakukan pembayaran atau memberi kuasa kepada bank
lain untuk melakukan pembayaran kepada penerima atas
penyerahan dokumen.17
6) Memberikan laporan kepada nasabah terhadap
perkembangan simpanan dananya di Bank.
7) Mengembalikan agunan dalam hal kredit telah lunas.
b. Hak Bank
1) Mendapatkan provisi terhadap layanan jasa yang diberikan
kepada nasabah.
2) Menolak pembayaran apabila tidak memenuhi persyaratan
yang telah disepakati bersama.
3) Melelang agunan dalam nasabah tidak mampu melunasi
kredit yang diberikannya sesuai dengan akad kredit yang
telah ditandatangani oleh kedua belah pihak.
17 Ramlan Ginting, Transaksi Bisnis dan Perbankan Internasional, (Jakarta: Salemba
Empat, 2007), h., 13.
27
4) Pemutusan rekening nasional (klausul ini hanya cukup
ditemui dalam praktek).
5) Mendapatkan buku cek, Bilyer giro, Buku Tabungan,
Credit Card, dalam hal upaya penutupan rekening.
c. Kewajiban Nasabah
1) Mengisi dan menandatangani formulir yang telah
disediakan oleh bank sesuai dengan layanan jasa yang
diinginkan oleh calon nasabah.
2) Melengkapi persyaratan yang ditentukan oleh pihak bank
3) Menyetor dana awal yang ditentukan oleh bank. Dalam hal
ini dana awal tersebut cukup bervariasi tergantung dari
jenis layanan jasa yang diinginkan.
4) Membayar provisi yang telah ditentukan oleh bank.
5) Menyerahkan buku atau bilyet giro tabungan.
d. Hak Nasabah
1) Mendapatkan layanan jasa yang diberikan oleh bank seperti
fasilitas.
2) Mendapatkan laporan atas transaksi yang dilakukan melalui
bank.
3) Menuntut bank dalam hal terjadi pembocoran rahasia
nasabah.
4) Mendapatkan sisa uang pelelangan dalam hal agunan dijual
untuk melunasi kredit yang tidak berbayar.
28
Dengan memperhatikan hak dan kewajiban bank dan nasabah
secara singkat hubungan bank dan nasabah dapat digambarkan sebagai
berikut:
a. Dengan disetorkannya uang nasabah kepada bank maka
berakhirlah nama kepemilikan uang tersebut sebagai uang nasabah,
uang tersebut beralih kepemilikannya kepada pihak bank.
b. Bank diwajibkan untuk membayarkan kembali uang tersebut dalam
jumlah yang sama apabila diminta oleh nasabah, baik untuk jumlah
yang pokok saja atau ditambah dengan bunga sebagaimana
ditetapkan oleh bank tersebut.
c. Bank berhak untuk menggunakan uang tersebut untuk keperluan
apapun.
d. Bank bukanlah kuasa dari nasabah tetapi debitur dari nasabah.
Bahwa kedudukan antara bank dan nasabah adalah sejajar.18
3. Pengertian dan Ruang Lingkup Rahasia Bank
Bank merupakan lembaga keuangan yang menjamin keamanan
simpanan tiap-tiap nasabah karena awal mula dari terselenggaranya
bisnis perbankan yaitu kepercayaan masyarakat untuk menyimpan
uangnya pada lembaga keuangan yang disebut bank. Atas dasar itu,
maka diwajibkan bank untuk menjaga kepercayaan tersebut. Dengan
kata lain, nasabah berhubungan dengan bank, sebab nasabah percaya
bank akan memegang teguh norma-norma dalam dunia usaha
perbankan. Satu diantara norma yang dimaksud adalah rahasia bank.
Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya,
18 Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung: CV Mandar Maju, 2012), h., 46
29
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 28 pada Undang-Undang
Nomor Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
Berdasarkan ketentuan diatas, dapat dikemukakan bahwa makna
yang terkandung dalam pengertian rahasia bank adalah larangan-
larangan bagi perbankan untuk memberi keterangan atau informasi
kepada siapa pun juga mengenai keadaan keuangan dan hal-hal lain
yang patut dirahasiakan dari nasabahnya, untuk kepentingan nasabah
maupun untuk kepentingan dari bank itu sendiri.
Adanya, ketentuan rahasia bank ditujukan untuk kepentingan
nasabah agar terlindungi kerahasiaan yang menyangkut keadaan
keuangannya. Disamping itu, ketentuan rahasia bank diperuntukkan
juga bagi kepentingan bank, agar bank dapat dipercaya dan
kelangsungan hidupnya terjaga. Di negara-negara, baik yang menganut
sistem common law maupun civil law mengatur rahasia bank dengan
titik tolak untuk melindungi rahasia keuangan (financial privacy) dari
nasabah agar tidak mudah diakses oleh pihak yang tidak berhak.19
Salah satu faktor untuk dapat memelihara dan meningkatkan kadar
kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank pada khususnya dan
perbankan pada umumnya adalah kepatuhan bank terhadap kewajiban
rahasia bank. Maksudnya ialah menyangkut “dapat atau tidaknya bank
dipercaya oleh nasabah yang menyimpan dananya dan atau
menggunakan jasa-jasa lain dari bank tersebut untuk tidak
mengungkapkan keadaan keuangan dan transaksi nasabah serta
keadaan lain dari nasabah yang bersangkutan kepada pihak lain”.20
19 Yunus Husein, Rahasia Bank Privasi Versus Kepentingan Umum, (Jakarta: Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), h., 133.
20 Adrian Sutedi, Hukum Perbankan “Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger,
Likuidasi, dan Kepailitan:, (Jakarta: SInar Grafika, 2007), h., 2
30
Dengan kata lain tergantung kepada kemampuan bank itu untuk
menjunjung tinggi dan mematuhi dengan teguh rahasia bank,
sementara filosofi adanya kewajiban bank memegang rahasia
keuangan nasabah didasari oleh beberapa alasan, yaitu:
a. Hak setiap orang atau badan untuk tidak ikut campur atas masalah
yang bersifat pribadi (personal privacy). Hak yang timbul dari
hubungan perikatan antara bank dengan nasabahnya. Atas dasar
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah.
b. Kebiasaan dan kelaziman dunia perbankan.
c. Karakteristik kegiatan usaha bank.
4. Macam-Macam Rahasia Bank
Dalam kerahasiaan bank, terdapat pula 2 (dua) teori yakni yang
pertama, teori rahasia bank yang bersifat mutlak (absolutely theory)
dan yang kedua, teori rahasia bank yang bersifat nisbi (relative theory).
a. Teori Rahasia Bank yang Bersifat Mutlak (Absolutely Theory)21
Menurut teori rahasia bank yang bersifat mutlak, bank
mempunyai kewajiban untuk menyimpan rahasia atau keterangan-
keterangan mengenai nasabahnya yang diketahui bank karena
kegiatan usahanya dalam keadaan apa pun juga, dalam keadaan
biasa atau dalam keadaan luar biasa. Dengan kata lain, kerahasiaan
21 Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), h., 332.
31
data nasabah dilarang untuk dibukakan kepada pihak-pihak selain
bank dan nasabah yang bersangkutan termasuk pemerintah.
Apabila terjadi pelanggaran dalam kerahasiaan nasabah maka bank
yang bersangkutan harus bertanggung jawab secara penuh atas
segala akibat yang ditimbulkannya.
Kelemahan terhadap teori mutlak adalah terlalu
individualis, artinya hanya mementingkan hak individu tanpa
kepentingan umum.
Teori mutlak ini dahulu banyak dianut oleh bank yang ada
di Negara Swiss sejak tahun 1934. Sifat rahasia bank tidak dapat
diterobos dengan alasan apapun. Hal ini dapat dilihat di undang-
undang Pemerintah Swiss No. 47 mengenai “Perbankan dan bank
Tabungan” November 1934.
Namun, saat ini hampir tidak ada lagi Negara yang
menganut teori mutlak ini. Bahkan negara-negara yang menganut
perlindungan nasabah secara ketat seperti Swiss atau Negara-
Negara tax heaven seperti kepulauan Bahama atau Cayman Islan
juga membenarkan membuka rahasia bank untuk hal-hal khusus.22
b. Teori Rahasia Bank yang Bersifat Nisbi (Relative Theory)23
Mengenai teori ini bank bersifat relatif ( terbatas). Semua
keterangan tentang nasabah dan keuangannya yang tercatat dibank
wajib dirahasiakan. Namun bila ada alasan yang dapat dibenarkan
oleh undang-undang,rahasia bank mengenai keuangan nasabah
yang bersangkutan boleh dibuka ( diungkapkan ) kepada pejabat
22 Bayu Pratomo, Analisis Yuridis Terhadap Pembukaan Rahasia Bank Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, tesis (Jakarta: UI Press, 2011), h., 32
23 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005) h., 132-
133.
32
yang berwenang,misalnya pejabat perpajakan,pejabat penyidik
tindak pidana ekonomi.
Keberatan terhadap teori relatif adalah rahasia bank masih
dapat dijadikan perlindungan bagi pemilik dana yang tidak halal,
yang kebetulan tidak terjangkau oleh aparat penegak hukum ( law
enforcer ) karena tidak terkena penyidik. Dengan demikian dana
tetap aman, tetapi teori relatif sesuai dengan rasa keadilan (sense of
justice), artinya dalam kepentingan negara atau kepentingan
masyarakat tidak dikesampingkan begitu saja. Apabila ada alasan
sesuai dengan prosedur hukum maka rahasia keuangan nasabah
boleh dibuka (diungkapkan). Dengan demikian, teori relative
melindungi kepentingan semua pihak baik individu,
masyarakat,maupun negara. Teori relatif dianut oleh negara-negara
pada umumnya antara lain Amerika Serikat, Belanda, Malaysia,
Singapura, Indonesia. Rahasia bank berdasarkan teori relatif diatur
undang-undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah
oleh undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan.
5. Ruang Lingkup Perlindungan Hukum Nasabah Perbankan
Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap nasabah, Marulak
Pardede mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia,
mengenai lingkup perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana,
dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu:
a. Perlindungan secara Implisit (Implicit Deposit Protection), yaitu
perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan
bank yang efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya
kebangkrutan bank. Perlindungan ini yang diperoleh melalui: (1)
peraturan perundang-undangan di bidang perbankan, (2)
perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan
33
yang efektif yang dilakukan oleh Bank Indonesia, (3) upaya
menjaga kelangsungan usaha bank sebagai lembaga pada
khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada
umumnya, (4) memelihara tingkat kesehatan bank, (5) melakukan
usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian, (6) cara pemberian
kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah, dan
(7) menyediakan informasi resiko terhadap nasabah.
b. Perlindungan secara eksplisit (Explicit Deposit Protection), yaitu
perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin
simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami
kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana
masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut.
Perlindungan ini diperoleh melalui pembentukan lembaga yang
menjamin simpanan masyarakat, sebagaimana yang telah diatur
dalam Keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun 1998 Tentang
Jaminan Terhadap Kewajiban Bank Umum j.o. Undang-Undang.
Nomor 24 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Lembaga Penjamin
Simpanan.
UU Perlindungan Konsumen merupakan payung hukum yang
mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum dibidang
perlindungan konsumen (nasabah/debitur), khususnya dalam
perlindungan kerahasiaan data Nasabah Perbankan diatur secara
khusus didalam POJK Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perlindungan
Konsumen Jasa Keuangan
6. Pengaturan Rahasia Bank dalam Undang-Undang Perbankan
Menurut pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perbankan yang dimaksud dengan rahasia bank adalah segala
34
sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya. Isi dari pasal tersebut adalah sebuah
revisi dari Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 yang bertujuan untuk mempertegas dan mempersempit
pengertian dari rahasia bank dibanding ketentuan dalam pasal-pasal
dari undang-undang sebelumnya.
Berdasarkan pemaparan yang dijelaskan oleh Pasal 1 angka 28
serta pasal-pasal lainnya mengenai rahasia bank, maka dapat ditarik
kesimpulan mengenai apa-apa saja unsur didalam sebuah rahasia bank
itu sendiri, yaitu sebagai berikut:
a. Rahasia bank tersebut berhubungan dengan keterangan mengenai
nasabah penyimpan dan simpanannya.
b. Hal tersebut wajib dirahasiakan oleh bank, kecuali termasuk dalam
kategori pengecualian berdasarkan prosedur dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
c. Pihak yang dilarang membuka rahasia bank adalah pihak bank
sendiri dan/ atau pihak terafiliasi. Yang dimaksud dengan pihak
terafiliasi adalah sebagai berikut:
1) Anggota dewan komisaris, pengawas,, direksi atau kuasanya,
pejabat atau karyawan bank yang bersangkutan.
2) Anggota pengurus , pengawas, pengelola, atau kuasanya,
pejabat atau karyawan bank, khusus bagi bank berbentuk badan
hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3) Pihak pemberi jasa kepada bank yang bersangkutan, termasuk
tetapi tidak terbatas pada akuntan publik, penilai konstitusi
hukum, dan konsultan lainnya.
35
4) Pihak yang menurut penilian Bank Indonesia turut serta
mempengaruhi pengelolaan bank, tetapi tidak terbatas pada
pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris,
keluarga pengawas, keluarga direksi, dan keluarga pengurus.24
d. Rahasia bank dalam hal-hal tertentu dapat dibuka, sebagaimana
yang dijabarkan dalam Pasal 41, 41 A, 42, 42 A, 43, 44, 44 A, 45
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
sebagai berikut:
1) Untuk kepentingan Perpajakan
Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri
Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada
bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-
bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan
nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.
2) Untuk Kepentingan Penyelesaian Pituang Bank yang telah
diserahkan kepada Badan Urusan Piutan dan Lelang Negara
Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan
kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara / Panitia
Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan
izin yang diberikan secara tertulis dari Kepala Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara kepada pejabat Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara / Panitia Urusan Piutang Negara
untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan
Nasabah Debitur.
3) Untuk Kepentingan Peradilan dalam Perkara Pidana
24 Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung: CV Mandar Maju, 2012), h., 58.
36
Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana,
Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi,
jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank
mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.
4) Untuk Kepentingan Peradilan Perkara Perdata
Dalam perkara perdata antar bank dengan nasabahnya,
Direksi bank yang bersangkutan dapat menginformasikan
kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang
bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan
dengan perkara tersebut.
5) Untuk Kepentingan Kegiatan Perbankan dalam Rangka
Menukar Informasi Antar Bank..
Hal ini berkaitan dengan kelancaran kegiatan bank dalam
hal tukar-menukar informasi antar bank. Tukar menukar
informasi ini dimaksudkan untuk memperlancar dan
mengamankan kegiatan usaha bank, antara lain untuk
mencegah kredit rangkap maupun mengetahui keadaan dan
status seseorang nasabah debitur dari suatu bank ke bank
laiapabila ia memiliki rekening lebih dari satu bank sehingga
mencegah kredit macet. Sehingga hal ini mengurangi resiko
yang dihadapi bank.
6) Untuk Kepentingan Pemegang Rekening
Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah
Penyimpan yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan
keterangan mengenai simpanan Nasabah Penyimpan pada bank
yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah
Penyimpan tersebut.
37
Jika nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris
yang sah dari Nasabah penyimpan berhak memperoleh
keterangan mengenai simpanan Nasabah Penyimpan Tersebut.
Berdasarkan pemaparan diatas terlihat bahwa sudah jelas ada
aturan yang mengatur lingkup apa sajakah mengenai rahasia bank. Dan
pengecualian seperti apa yang diperbolehkan untuk memberikan data
pribadi nasabah kepada pihak lain atau pihak berwajib. Maka dari itu
jelas diperlukannya sanksi yang tegas bagi pihak yang melanggar
ketentuan-ketentuan mengenai rahasia bank. Hal ini tercantum dalam
pasal 47 Ayat (1) dan (2) pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perbankan, yang berbunyi:
(1) “Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari
Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41, Pasal 41 A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa Bank
atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan
pidana sekurang-kurangnya 2 (dua) Tahun dan paling lama 4
(empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
10.000.000.000,00 (Sepuluh Miliar Rupiah) dan paling banyak
Rp. 200.000.000.000,00 (Dua Ratus Miliar Rupiah).”
(2) “Anggota Dewan Komisaris, Direksi, Pegawai Bank atau
Pihak Terafiliasi lainnya dengan sengaja memberikan
keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00
(Empat Miliar Rupiah) dan paling banyak Rp.
8.000.000.000,00 (Delapan Miliar Rupiah).”
7. Pengaturan Rahasia Bank dalam Peraturan Perundang-Undangan
Lainnya
38
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)25
Berdasarkan prinsip hubungan kerahasiaan, hubungan
kontraktual antara Bank dengan Nasabah Debitur mengandung
syarat yang tersirat (implied term) bahwa Bank dianggap
mempunyai kewajiban untuk merahasiakan keterangan mengenai
Nasabah Debitur. Dalam hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan
Pasal 1339 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa:
“Persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang.”
Adanya kemungkinan Bank digugat melakukan perbuatan
melanggar hukum oleh Nasabah Debitur, bilamana dengan
pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur dipandang
oleh Nasabah Debitur merugikan dirinya. Hal ini dimungkinkan
berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, yang secara tegas mengatur:
“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Di samping dapat digugat melakukan perbuatan melanggar
hukum, Bank juga dimungkinkan diancam pidana dengan
menggunakan delik lain, yakni pengungkapan keterangan
mengenai nasabah Debitur dapat dipersangkakan sebagai kejahatan
rahasia jabatan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 322 KUHP.
c. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Bank
Indonesia
25 Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.,
12
39
Selain istilah kerahasiaan bank ,dikenal juga istilah Rahasia
jabatan (profesional secrecy) dalam hal ini adalah rahasia jabatan
yang harus dipegang teguh Gubernur, Deputi Gubernur Senior,
Deputi Gubernur, dan Pegawai Bank Indonesia sebagaimana diatur
dalam Pasal 71 ayat (1) pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia, yang berbunyi:
“Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur,
dan pegawai Bank Indonesia, atau pihak lain yang ditunjuk atau
disetujui oleh Bank Indonesia, untuk melakukan suatu tugas
tertentu yang memberikan keterangan dan data lainnya yang
bersifat rahasia yang diperoleh karena jabatannya secara
melawan hukum ,diancam dengan pidana penjara sekurang-
kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun ,serta
denda sekurangkurangnya Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga milyar
rupiah).”
d. POJK Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Konsumen
Jasa Keuangan
Setiap pelaku usaha yang ada di Indonesia dilarang untuk
memberikan data atau informasi mengenai konsumennya kepada
pihak ketiga sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 31 ayat (1)
namun dikecualikan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 31
Ayat (2) ketika: 1) Konsumen memberikan persetujuan tertulis dan
2) diwajibkan oleh Peraturan Perundang-Undangan.
D. Tinjauan (Review) Kajian Studi Terdahulu
Untuk menghindari kesamaan pada penulisan skripsi ini dengan
penelitian tentang hukum perbankan lainnya, maka penulis melakukan
40
penelusuran terhadap beberapa penelitian terlebih dahulu, diantaranya
penelitian-penelitian tersebut yakni:
1. Skripsi yang disusun oleh Arief Hannany, dari Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2013, dengan judul
“Perlindungan Konsumen Perbankan Oleh Otoritas Jasa Keuangan.”
Penelitian ini membahas adanya perpindahan pengaturan dan
pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan
sehingga dapat mengetahui perbedaan kewenangan BI dan OJK dalam
perlindungan nasabah perbankan.
Perbedaan antara penelitian diatas dengan penelitian peneliti yakni
terletak pada permasalahan yang dibahas. Penelitian diatas membahas
adanya perpindahan pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank
Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan sehingga dapat mengetahui
perbedaan kewenangan BI dan OJK dalam perlindungan nasabah
perbankan secara umum, sedangkan peneliti terfokus pembahasannya
pada kepastian dan perlindungan hukum terhadap Nasabah Perbankan
dengan Tabungan berjenis Deposito/ Deposan pasca adanya Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan
Untuk Kepentingan Perpajakan yang memberikan kewenangan Dirjen
Pajak untuk mengakses data pribadi Nasabah.
2. Buku yang berjudul “Hukum Perlindungan Nasabah Bank”, yang
disusun oleh Mahesa Jati Kusuma, yang telah diterbitkan oleh
Nusamedia, Tahun 2012. Buku ini terfokuskan pada pembahasan
perlindungan hukum terhadap nasabah atas berbagai macam tindak
pidana perbankan terutama pada nasabah yang menjadi korban
kejahatan ITE di Indonesia secara umum.
Perbedaan antara buku diatas dengan penelitian peneliti yakni terletak
pada fokus objek dan subjek serta permasalahan yang dibahas. Buku
diatas membahas perlindungan hukum terhadap nasabah perbankan
41
yang menjadi korban kejahatan ITE secara umum dan tindak pidana
perbankan yang dilakukan oleh pihak internal dan eksternal Bank di
Indonesia, sedangkan peneliti terfokus pembahasannya pada
perlindungan hukum terhadap Nasabah Perbankan dengan Tabungan
berjenis Deposito/ Deposan terhadap tindak pidana perbankan atau ITE
yang dilakukan oleh pihak eksternal Bank khususnya apabila
Aparatur/Fiskus Pajak sebagai salah satu pihak eksternal Bank yang
diberikan wewenang penuh oleh pemerintah melakukan
penyalahgunaan data pribadi nasabah.
3. Jurnal dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam
Likuidasi Bank,” yang disusun oleh M. Shidqon Prabowo, yang telah
diterbitkan oleh Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI, tahun 2010. Jurnal
ini difokuskan terhadap penyelesaian dan upaya hukum yang dapat
dilakukan oleh nasabah jika terjadinya likuidasi bank menurut
peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.
Perbedaan antara jurnal diatas dengan penelitian peneliti yakni terletak
pada fokus objek dan subjek serta permasalahan yang dibahas. Jurnal
diatas membahas, sedangkan peneliti terfokus pembahasannya pada
perlindungan hukum terhadap Nasabah Perbankan dengan Tabungan
berjenis Deposito/ Deposan terhadap tindak pidana perbankan atau ITE
yang dilakukan oleh pihak eksternal Bank khususnya apabila
Aparatur/Fiskus Pajak sebagai salah satu pihak eksternal Bank yang
diberikan wewenang penuh oleh pemerintah melakukan
penyalahgunaan data pribadi nasabah.
42
BAB III
KEWENANGAN FISKUS PAJAK TERHADAP LEMBAGA KEUANGAN
PERBANKAN
A. Hubungan Antara Perbankan dengan Perpajakan
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tentang Perbankan 1998 Pada
Pasal 41, dikatakan bahwa untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank
Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan melalui surat permintaan
tertulis kepada bank agar memberikan keterangan-keterangan terkait
informasi data dan keuangan nasabah kepada pejabat/fiskus pajak.
Keterangan tersebut berguna untuk dasar penghitungan Pajak Penghasilan.
Pengertian Pajak Penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan
adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apapun.
Wajib Pajak dan Nasabah Bank merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan melihat pengertian tentang pajak penghasilan. Selain
karena atas dasar kepercayaan, Nasabah Bank menyimpan uangnya
disertai dengan motif Investasi. Investasi adalah suatu tindakan
menanamkan sumber daya atau modal pada saat ini, dengan harapan bisa
mendapatkan manfaat yang lebih di masa yang akan datang.1 Timbulnya
motif investasi ini disebabkan oleh adanya tawaran produk yang
menguntungkan dari setiap Bank terutama Bank dengan sistem
konvensional. Produk tersebut yakni berupa “deposito” yang umumnya
dikenal oleh masyarakat.
1 Prathama Rahardja & Mandala Manuring, Pengantar Ilmu Ekonomi, (Jakarta: UI Press,
2008), h., 120.
43
Deposito adalah sebuah produk perbankan sejenis simpanan yang
memiliki jangka waktu tertentu dan menjanjikan suku bunga yang tetap
sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.2 Artinya, Masyarakat percaya
dengan menginvestasikan uangnya akan mendapatkan keuntungan dari
produk deposito yang ditawarkan oleh Bank. Nasabah deposito akan
diberikan sertifikat Deposito oleh Bank tempat dimana nasabah
menginvenstasikan uangnya dengan mengacu pada nilai suku bunga
minimum yang diberikan oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dan
kesepakatan yang berlaku didalamnya. Hal ini sebagai bukti bahwa
nasabah tersebut mempunyai simpanan deposito pada bank tersebut. Uang
yang didapatkan dari suku bunga deposito inilah yang kemudian
dikenakan Pajak Penghasilan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pemungut/Fiskus pajak sesuai dengan ketentuan pajak penghasilan
yang berlaku akan menghitung besaran jumlah pajak dari simpanan
deposito milik nasabah sebagai salah satu sumber penerimaan kas negara
Republik Indonesia dengan diberikannya izin terlebih dahulu oleh
gubernur Bank Indonesia melalui Surat Permintaan Tertulis dari Menteri
Keuangan sebagaimana amanat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 Tentang Perbankan pada pasal 41, sehingga fiskus dapat mengakses
data-data setiap nasabah bank.
B. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Akses
Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
Otoritas Fiskus pajak dirasa kurang kuat bagi pemerintah Indonesia
dalam mengakses data nasabah bank dikarenakan fiskus pajak harus
menghadapi beberapa mekanisme (sebagaimana yang tercantum dalam
pasal 41 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan)
untuk mengakses data tersebut sehingga sedikit menghambat fiskus pajak
2 Marihot Pahala Siaahan, Hukum Pajak Formal, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h., 93.
44
melakukan penghitungan terhadap besaran jumlah pemungutan pajak.
Pemerintah pun melakukan terobosan dengan mengeluarkan PERPPU
Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan yang sudah disahkan menjadi Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2017, sehingga memberikan wewenang dan otoritas
penuh terhadap fiskus pajak dalam mengakses data setiap nasabah-nasabah
perbankan. Berikut dibawah beberapa latar belakang yang menjadi
pertimbangan lahirnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 Tentang
Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.
1. Sebagai Bentuk Komitmen Dalam Perjanjian Pertukaran
Informasi Keuangan (Automatic Exchange Of Information)
Bersama Anggota G-20
Undang-undang ini lahir berawal dari pemerintah yang ikut serta
meratifikasi perjanjian pertukaran informasi keuangan AEOI
(Automatic Exchange Of Information) bersama anggota G-20 dan
Organisasi untuk Kerja Sama Pembangunan Ekonomi atau
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).
Hal ini dilakukan sebagai upaya penekanan kepada wajib pajak baik
asing maupun pribumi yang menetap dan mendapatkan penghasilan di
Indonesia yang berusaha menghindari pajak dengan menyembunyikan
hartanya di luar negara Indonesia.
AEOI adalah sistem yang mendukung adanya pertukaran informasi
rekening wajib pajak antar negara pada waktu tertentu secara periodik,
sistematis, dan berkesinambungan dari negara sumber penghasilan atau
tempat menyimpan kekayaan, kepada negara residen wajib pajak.
Dalam standar AEOI terjadi kesepakatan bersama untuk membuka dan
memberikan akses ke informasi keuangan di dalam negeri kepada
otoritas pajak negara lain dan memperoleh akses ke informasi
keuangan di luar negeri secara otomatis. Dengan adanya sistem ini,
45
wajib pajak yang telah membuka rekening di negara lain akan bisa
terlacak secara langsung oleh otoritas pajak negara asalnya.
Sebagai bentuk komitmen, pemerintah Indonesia mengeluarkan
PERPPU Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan
Untuk Kepentingan Perpajakan yang kemudian telah disahkan menjadi
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 untuk memberikan otoritas
penuh kepada fiskus pajak serta bukti komitmen Negara Indonesia
dalam perjanjian kerja sama internasional mengenai pertukaran
informasi keuangan.
2. Meminimalisir Praktek Penghindaran Pembayaran Pajak Oleh
Wajib Pajak
Salah satu definisi Penghindaran Pajak (tax avoidance) adalah
arrangement of a transaction in order to obtain a tax advantage,
benefit, or reduction in a manner unintended by the tax law (Brown,
2012). Dalam praktek penghindaran pajak, dikenal dua istilah
diantaranya tax planning (perencanaan pajak) dan tax fraud
(penggelapan pajak).
Tax planning is the analysis of a financial situation or plan from a
tax perspective. The purpose of tax planning is to ensure tax efficiency,
with the elements of the financial plan working together in the most
tax-efficient manner possible..3
Dari pengertian diatas, bahwa praktek penghindaran pajak dengan
tax planning adalah diperbolehkan, karena setiap orang berhak
melakukan transaksi keuangan yang memberikan kemungkinan
berkurangnya jumlah nominal pajak yang dibebankan otoritas pajak
selama tidak terindikasi melanggar hukum dan masih dalam batas
wajar.
3 Camilla E. Watson, Tax Procedure and Tax Fraud, (Miami: West Academic Press,
2011), h., 86
46
Sedangkan Tax fraud (Penggelapan Pajak) occurs when an
individual or business entity willfully and intentionally falsifies
information on a tax return in order to limit the amount of tax
liability.4
Berdasarkan pengertian diatas, tindakan Tax Fraud (Penggelapan
Pajak) dilarang karena melakukan tindakan pemalsuan untuk
meminimalisir beban pajak yang terutang secara ilegal dan
bertentangan dengan aturan hukum
Tindakan untuk meminimalisir beban pajak yang terutang tidak
hanya sebatas dua tindakan yang telah disebutkan tetapi telah sampai
kepada tahap ‘suap-menyuap’. Contoh salah satu kasus suap di
Indonesia yaitu Kasus suap yang menjerat Fiskus Pajak yang bernama
sdr. Gayus Tambunan karena terbukti menerima suap uang sebesar Rp
925 juta rupiah dari Roberto Santonius terkait kepengurusan gugatan
keberatan pajak PT Metropolitan Retailmart dan menerima 3,5 juta
dollar Amerika dari Alif Kuncoro terkait kepengurusan pajak tiga
perusahaan Grup Bakrie, yakni PT Arutmin, PT Kaltim Prima Coal,
dan PT Bumi Resource.5 Tindakan ilegal ini tentu menyebabkan
kerugian negara, Hadirnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017
Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
sebagai regulasi yang dapat meminimalisir hal-hal diatas sehingga
wajib pajak yang melakukan tindakan tax avoidance (Praktek
Penghindaran Pajak) yang melawan hukum dapat diminimalisir.
3. Meningkatkan Kepercayaan Investor dalam Rangka Menjaga
Stabilitas Perekonomian Nasional
4 Camilla E. Watson, Tax Procedure and Tax Fraud, (Miami: West Academic Press,
2011), h., 89
5 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20161122162351-12-174492/rentetan-kasus-
korupsi-yang-menjerat-pegawai-pajak (diakses pada tanggal 2 Maret 2018)
47
Investor adalah suatu pihak baik perorangan ataupun lembaga yang
berasal dari dalam negeri atau dari luar negeri yang melakukan suatu
kegiatan investasi yang bersifat jangka panjang maupun jangka
pendek.6
Lahirnya undang-undang ini dalam perspektif ekonomi makro
sangat menguntungkan, sebab memberikan keterbukaan informasi
keuangan kepada para investor terutama investor asing sebagai bahan
analisis keuntungan yang diraup dari investasi yang dilakukan
sehingga dapat menaikkan kepercayaan investor dalam melakukan
investasi kepada Negara Republik Indonesia. Dapat disimpulkan
bahwa Undang-Undang ini lahir sebagai daya tarik terhadap investor
demi kelancaran roda perekonomian Negara sehingga terhindar dari
terganggunya stabilitas perekonomian Nasional.
4. Menghindari Penempatan Dana Ilegal
Aturan Keterbukaan Informasi Keuangan ini tidak hanya untuk
mengurangi praktek penghindaran pajak dan menjaga stabilitas
perekenomian nasional, tetapi juga sebagai upaya yang dilakukan
pemerintah agar negara Republik Indonesia tidak menjadi wadah
penempatan dana yang diperoleh atau untuk kegiatan-kegiatan yang
ilegal atau dilarang oleh hukum.
Contoh negara yang pernah menjadi penempatan dana yang
diperoleh atau untuk kegiatan-kegiatan yang illegal atau dilarang oleh
hukum, yakni Negara Swiss. Banyak para koruptor, Pedagang
Narkotika Kelas Kakap di dunia merasa aman menyimpan hasil uang
kejahatannya di bank-bank Swiss. Salah satu contoh pelaku yang
melakukan hal tersebut adalah mantan Presiden Ferdinand Marcos dari
Filipina, dan gembong narkotika Dennis Levine. Ketatnya rahasia bank
6 N. Gregory Mankiw d.l.l., Pengantar Ekonomi Makro, (Jakarta: Salemba Empat, 2012),
h., 115.
48
yang dilaksanakan di Swiss, mengakibatkan beberapa Negara tidak
dapat menjangkau uang hasil kejahatan warga negaranya yang
merugikan negara dan masyarakat banyak, yang disimpan di bank-
bank swiss.7
Di Indonesia sendiri, sudah diatur pula Undang-Undang yang
berkaitan dengan penempatan dana ilegal tersebut, diantaranya
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Hadirnya
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi
Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan sebagai regulasi
pendamping dan penguat sehingga pelaksanaan dari Undang-Undang
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
dapat dijalankan dengan baik dalam menganalisa transaksi keuangan
yang mempunyai kemungkinan-kemungkinan adanya transaksi yang
mencurigakan yang berhubungan dengan pendanaan terorisme yang
dapat merugikan Negara.
C. Syarat-Syarat dan Mekanisme Fiskus/Pemungut Pajak dalam
Mengakses Data Nasabah Perbankan
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan PMK No.
70/PMK.03/2017 Tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi
Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan, fiskus pajak dapat mengakses
data nasabah dengan melalui beberapa persyaratan dan mekanisme terlebih
dahulu, diantaranya:
1. Lembaga Jasa Keuangan (LJK) Telah Terdaftar Dalam
Direktorat Jenderal Pajak
7 Bayu Pratomo, Analisis Yuridis Terhadap Pembukaan Rahasia Bank Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, tesis (Jakarta: UI Press, 2011), h., 32
49
Sebagaimana yang tercantum pada Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pendaftaran Bagi
Lembaga Keuangan dan Penyampaian Laporan yang Berisi Informasi
Keuangan Secara Otomatis, Keuangan baik Pelapor maupun Non-
Pelapor wajib mendaftarkan diri pada Direktorat Jenderal Pajak.
Lembaga Keuangan Pelapor adalah LJK (Perbankan,
Perasuransian, dan Pasar Modal), LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain
yang melaksanakan kegiatan usaha sebagai lembaga kustodian,
lembaga simpanan, perusahaan asuransi tertentu, dan/atau entitas
investasi yang wajib menyampaikan laporan yang berisi informasi
keuangan secara otomatis ke Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri dan telah terdaftar pada Direktorat
Jenderal Pajak.
Lembaga Keuangan non Pelapor adalah Lembaga Keuangan LJK,
LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain yang memenuhi kriteria beresiko
rendah dalam tindak penghindaran pajak (Tax Avoidance), adapun
LJK, LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain yang memenuhi kriteria
tersebut, diantaranya:
a. Entitas pemerintah, Organisasi internasional, atau Bank sentral
b. Dana pensiun tertentu
c. Kontrak investasi kolektif yang dikecualikan
d. Trust tertentu.
e. Entitas lain yang berisiko rendah untuk digunakan dalam
penghindaran pajak
Lembaga Keuangan non-pelapor tetap diwajibkan seperti halnya
Lembaga Keuangan Pelapor untuk mendaftarkan kepada Direktorat
Jenderal Pajak dalam penyampaian Informasi sebagaimana dalam
50
Pasal 1 Peraturan Dirjen Pajak Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Pendaftaran Bagi Lembaga Keuangan dan Penyampaian Laporan yang
Berisi Informasi Keuangan Secara Otomatis, Mekanisme dalam
pendaftaran tersebut, diantaranya:
a. LJK, LJK lainnya, dan/ atau Entitas Lain wajib mendaftarkan diri
pada Direktorat Jenderal Pajak terlebih dahulu.
1.) Secara langsung;
2.) Secara elektronik melalui sistem administrasi yang terintegrasi
dengan sistem di Direktorat Jenderal Pajak;
3.) Atau melalui pos, perusahaan Jasa ekspedisi, atau perusahaan
jasa kurir, dengan bukti pengiriman surat
Pendaftaran secara langsung dan pendaftaran melalui pos,
perusahaan jasa ekspedisi, atau perusahaan jasa kurir dilaksanakan
dengan mengisi formulir Pendaftaran secara lengkap,
menandatanganinya, dan menyampaikannya ke KPP (Kantor
Pelayanan Pajak) atau KP2KP (Kantor Kantor Pelayanan,
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan).
Pendaftaran secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) huruf b oleh Lembaga Keuangan Pelapor atau Lembaga
Keuangan Nonpelapor dilakukan dengan mengisi Formulir
Pendaftaran secara lengkap dan meminta Kode Verifikasi pada
laman Direktorat Jenderal Pajak.
b. Pendaftaran dilakukan paling lama akhir bulan kedua setelah tahun
kalender pelaporan informasi keuangan pertama kali berakhir.
c. Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
51
1.) Ditandatangani oleh pimpinan LJK, LJK lainnya, dan/ atau
entitas lain atau kuasa khusus yang ditunjuk oleh pimpinan
LJK, LJK Lainnya, dan/ atau Entitas lain; dan
2.) Menggunakan formulir pendaftaran sesuai dengan format yang
sesuai dengan ketentuan Dirjen Pajak.
d. Direktur Jenderal Pajak dapat mencabut status terdaftar Lembaga
Keuangan Pelapor atau Lembaga Keuangan Nonpelapor, apabila:
1) Tidak lagi melakukan kegiatan usaha, namun belum dilakukan
pencabutan izin usaha, pembubaran badan hukum, dan/atau
likuidasi; atau
2) Telah melakukan perubahan kegiatan usaha sehingga tidak lagi
dikategorikan sebagai Lembaga Keuangan Pelapor dan
Lembaga Keuangan Nonpelapor.
2. Verifikasi Penyampaian Informasi Rekening Keuangan Lembaga
Jasa Keuangan kepada Direktorat Jenderal Pajak
a. Laporan informasi keuangan yang wajib disampaikan oleh LJK,
LJK Lainnya, dan/ atau Entitas Lain dalam satu tahun kalender,
paling sedikit memuat:
1) Identitas Pemegang Rekening Keuangan;
2) Nomor Rekening Keuangan;
3) Identitas LJK, LJK Lainnya, dan/ atau Entitas Lain;
4) Saldo atau Nilai Rekening Keuangan; dan
5) Penghasilan yang terkait dengan Rekening Keuangan.
b. Rekening Keuangan merupakan Rekening Keuangan yang dimiliki
oleh:
52
1) Orang pribadi warga negara Indonesia yang bertempat tinggal
di Indonesia;
2) Orang pribadi warga negara asing yang bertempat tinggal di
Indonesia, selain yang telah disampaikan dalam rangka
penyampaian laporan yang berisi informasi keuangan dalam
rangka pelaksanaan perjanjian internasional.
3) Entitas yang berkedudukan di Indonesia.
c. Saldo atau nilai Rekening Keuangan merupakan agregat saldo atau
nilai dari satu Rekening Keuangan atau lebih yang dimiliki oleh
satu Pemegang Rekening Keuangan dalam suatu LJK, LJK
Lainnya, dan/ atau Entitas Lain per 31 Desember pada tahun
kalender pelaporan.
Saldo atau nilai Rekening Keuangan yang disampaikan berlaku
ketentuan sebagai berikut:
1) Untuk LJK pada sektor perbankan merupakan:
a) Rekening Keuangan yang dimiliki orang pribadi, saldo atau
nilai dari satu Rekening Keuangan atau lebih dengan
jumlah paling sedikit Rp200.000.000,00 (Dua Ratus Juta
Rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara;
b) Rekening Keuangan yang dimiliki entitas, tidak terdapat
batasan saldo atau nilai Rekening
2) Untuk LJK pada sektor perasuransian merupakan Rekening
Keuangan yang dimiliki orang pribadi atau entitas dengan tidak
terdapat batasan saldo atau nilai Rekening Keuangan, namun
terbatas untuk polis asuransi dengan nilai pertanggungan paling
sedikit Rp200.000.000,00 (Dua Ratus Juta Rupiah) atau dengan
mata uang asing yang nilainya setara.
53
3) Untuk Entitas Lain pada sektor perkoperasian merupakan
Rekening Keuangan yang dimiliki orang pribadi atau entitas
dengan nilai saldo paling sedikit Rp200.000.000,00 (Dua Ratus
Juta Rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara.
4) Untuk LJK pada sektor pasar modal serta Entitas Lain pada
sektor perdagangan berjangka komoditi8 merupakan Rekening
Keuangan yang dimiliki orang pribadi atau entitas dengan tidak
terdapat batasan saldo atau nilai Rekening Keuangan.
d. Kewajiban penyampaian laporan dilakukan dalam bentuk
dokumen elektronik yang disampaikan dengan:
1) Mekanisme elektronik yang dilakukan secara online;
Penyampaian laporan secara online sebagaimana dimaksud
dilakukan melalui aplikasi yang dikembangkan dan disediakan
oleh Direktorat Jenderal Pajak secara mandiri atau secara
bersama-sama dengan LJK, LJK Lainnya, dan/ atau Entitas
Lain. Terhadap penyampaian laporan ini, Direktorat Jenderal
Pajak akan memberikan bukti penerimaan.
2) Mekanisme nonelektronik yang dilakukan secara langsung.
Penyampaian laporan secara langsung dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a) Penyampaian melalui metode pengamanan atau enkripsi
yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak; dan
b) Disampaikan dengan menggunakan compact disc, flash
disc, atau media penyimpanan elektronik lain ke KPDE
8 Perdagangan berjangka komoditi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan jual / beli
dengan penyerahan kemudian atau tanpa penyerahan kemudian, berdasarkan Kontrak Berjangka
dan Opsi atas Kontrak Berjangka. (Ibrahim Fahmi, Pengantar Pasar Modal, (Bandung: Alfabeta,
2013), h., 57.)
54
(Kantor Pengolahan Data Eksternal) Ditjen Pajak atau
melalui KPP tempat LJK, LJK Lainnya, dan/ atau Entitas
Lain terdaftar sebagai Wajib Pajak.
3. Tahap Penghitungan Pajak oleh Fiskus Pajak terhadap Wajib
Pajak atas Bunga Deposito
Setelah seluruh data informasi rekening keuangan telah masuk
pada Ditjen Pajak, maka fiskus pajak berwenang membuka data
informasi tersebut untuk melakukan penghitungan pajak penghasilan
untuk penerimaan negara. Sebagaimana yang tercantum pada Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan j.o.
Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 j.o. Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 51/KMK.04 /2001, Besarnya Pajak Penghasilan atas
Bunga Deposito dan Tabungan Lainnya yakni dikenakan 20% dari
jumlah bruto dari Wajib Pajak, dikecualikan jika simpanan kurang dari
Rp. 7.500.000 (Tujuh Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) tidak dikenakan
PPh atas Bunga Deposito sebagaimana yang tercantum dalam pasal 4
ayat (2) UU PPh.
D. Sanksi Terhadap Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang Tidak
Mengikuti Aturan Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan
Perpajakan
Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7 pada Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan, LJK akan dikenakan sanksi apabila:
1. Pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan, pimpinan dan/atau
pegawai lembaga jasa keuangan lainnya, dan pimpinan dan/atau
pegawai entitas lain, yang:
a. Tidak menyampaikan laporan , yang berisi:
55
1) Laporan yang berisi informasi keuangan sesuai standar
pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian
internasional di bidang perpajakan untuk setiap rekening
keuangan yang diidentifikasikan sebagai rekening keuangan
yang wajib dilaporkan; dan
2) Laporan yang berisi informasi keuangan untuk kepentingan
perpajakan,
b. Tidak melaksanakan prosedur identifikasi rekening keuangan
secara benar
c. Tidak memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2. Lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan entitas
lain, yang:
a. Tidak menyampaikan laporan.
b. Tidak melaksanakan prosedur identifikasi rekening keuangan
secara benar.
c. Tidak memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan.
dipidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
3. Setiap orang yang membuat pernyataan palsu atau menyembunyikan
atau mengurangkan informasi yang sebenarnya dari informasi yang
wajib disampaikan dalam laporan dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
56
BAB IV
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG
AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN
PERPAJAKAN DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
Lahirnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Akses
Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan membawa era baru
terhadap sistem perbankan dan perpajakan di Indonesia. Kerahasiaan data
nasabah perbankan ditiadakan secara totalitas untuk mempermudah
Fiskus/Aparatur Pajak mengakses data nasabah perbankan demi
kelancaran proses penghitungan pajak. Alasan utama terhadap kebijakan
keterbukaan informasi keuangan tersebut yakni sebagai bentuk komitmen
Indonesia dalam perjanjian Internasional AEOI (Automatic Exchange Of
Information), dan menjaga stabilitas perekonomian Nasional.
Substansi dalam undang-undang tersebut memaksa setiap Bank
memberikan setiap data pribadi para nasabahnya yang memuat informasi
keuangan untuk diakses oleh otoritas tanpa ada jaminan keamanan yang
jelas terhadap keamanan data pribadi tersebut mengingat banyaknya
kejahatan perbankan yang berawal dari bocornya data nasabah. artinya,
secara jelas bahwa Undang-Undang tersebut melanggar ketentuan pada
pasal 28 G ayat (1) yang menyatakan:
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan diri dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi
Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan tidak mengindahkan amanat
yang ada pada ketentuan pasal 28 G ayat (1) karena substansi daripada
undang-undang tersebut sangat mementingkan otoritas pajak semata tanpa
memperhatikan hak-hak nasabah selaku konsumen jasa keuangan
57
mengingat bahwa uang yang disimpan pada bank juga merupakan harta
benda dibawah kekuasaannya, sehingga berhak atas rasa aman terhadap
harta tersebut dan Bank sebagai pelaku usaha jasa keuangan.
B. Bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen
Kebijakan ini juga menjadi salah satu fokus untuk mengejar target
penerimaan pajak dalam rangka pembangunan nasional sebagaimana yang
tercantum dalam Naskah Akademik RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan yang merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari
lahirnya Undang-Undang tersebut tanpa memperhatikan hak-hak
masyarakat selaku konsumen jasa keuangan. Undang-undang tersebut
memaksa setiap Bank untuk memberikan informasi keuangan setiap
nasabahnya kepada Dirjen Pajak dan memberikan otoritas penuh kepada
Aparatur/ Fiskus Pajak untuk mengakses data Nasabah Perbankan yang
telah diperoleh tersebut. data nasabah tersebut juga akan digunakan dalam
rangka pelaksanaan perjanjian pertukaran informasi keuangan secara
otomatis (Automatic Exchange Of Information).
Undang-Undang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan
Perpajakan tersebut tidak sejalan dan sesuai dengan peraturan
perlindungan konsumen di Indonesia. Keterbukaan informasi data nasabah
ini secara jelas bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 4 pada UUPK.
Pasal 4 UUPK menyebutkan bahwa Konsumen berhak mendapatkan
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau Jasa. Undang-Undang Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan telah memberikan ruang bagi fiskus pajak untuk
mengakses data nasabah yang telah diperoleh untuk kepentingan
perpajakan. Setiap Bank diwajibkan memberikan data nasabah kepada
Dirjen Pajak.
58
Namun, tidak ada kepastian jaminan keamanan terhadap data tersebut.
Bentuk tanggung jawab Dirjen Pajak serta Bank sebagai pelaku usaha
yang telah menyerahkan data yang menjadi Rahasia Bank kepada Dirjen
Pajak yang dalam hal ini berarti sebagai Pihak Ketiga tidak disebutkan
dalam peraturan jika data tersebut bocor. Hal ini membuat Nasabah
sebagai konsumen khawatir jika data tersebut bocor dan jatuh kepada
oknum yang tidak bertanggung jawab, mengingat banyaknya kasus yang
melibatkan oknum Aparatur/Fiskus Pajak di Indonesia dan kasus kejahatan
perbankan. Jelas hal tersebut bertentangan dengan Hak nasabah sebagai
konsumen mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan.
C. Lemahnya Pertimbangan dalam Pengesahan Perppu Menjadi
Undang-Undang
Beberapa Pertimbangan (Konsideran) yang dianggap lemah pada
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Penetapan Perppu Nomor
1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan
Perpajakan Menjadi Undang-Undang diantaranya, yaitu:
1. Bahwa dalam melaksanakan pembangunan nasional Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang mempunyai tujuan untuk menyejahterakan
dan memakmurkan seluruh rakyat Indonesia secara merata dan
berkeadilan, dibutuhkan pendanaan yang bersumber dari penerimaan
negara terutama yang berasal dari pajak, sehingga untuk memenuhi
kebutuhan penerimaan pajak tersebut diperlukan pemberian akses yang
luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh
informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan;
2. Bahwa saat ini masih terdapat keterbatasan akses bagi otoritas
perpajakan Indonesia untuk menerima dan memperoleh informasi
keuangan yang diatur dalam undang-undang di bidang perpajakan,
perbankan, perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan
perundang-undangan lainnya, yang dapat mengakibatkan kendala bagi
otoritas perpajakan dalam penguatan basis data perpajakan untuk
59
memenuhi kebutuhan penerimaan pajak dan menjaga keberlanjutan
efektivitas kebijakan pengampunan pajak;
3. Bahwa Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional
di bidang perpajakan yang berkewajiban untuk memenuhi komitmen
keikutsertaan dalam mengimplementasikan pertukaran informasi
keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account
Information) dan harus segera membentuk peraturan perundang-
undangan setingkat undang-undang mengenai akses informasi
keuangan untuk kepentingan perpajakan sebelum tanggal 30 Juni
2017.
Jika dianalisis secara mendalam, terdapat kelemahan dalam pertimbangan-
pertimbangan pemerintah dalam melakukan pengesahan Perppu Nomor 1
Tahun 2017 menjadi Undang-Undang, kelemahan-kelemahan tersebut
diantaranya:
1. Perppu itu sendiri lahir dikarenakan adanya kegentingan yang
memaksa sehingga pemerintah menyusun peraturan secara cepat untuk
dapat menyelesaikan kegentingan tersebut.1 Alasan kegentingan yang
memaksa menurut Putusan MK No. 138/PUUVII/2009, itu salah
satunya, “terjadinya kekosongan hukum”, yang terjadi karena menurut
pandangan pembuat undang-undang sebagai akibat persetujuan Negara
Republik Indonesia terhadap “Convention on Mutual Administrative
Assistance in Tax Matters as amended by the Protocol amending the
Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters”,
suatu konvensi yang dipromosikan oleh Organisation for Economic
Co-operation and Development (OECD).
Namun, dalam Pertimbangan dalam Pengesahan Perppu Nomor 1
Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan
Perpajakan menjadi undang-undang terdapat kekeliruan, karena soal
1 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, (Bandung:
CV Mandar Maju, 1998), h., 93.
60
pembukaan rekening bank di dalam negeri berkaitan dengan urusan
pajak itu telah diatur melalui;
a. Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan dalam
Pasal 41 Ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
1) Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas
Permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan
perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan
memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai
keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat
pajak.
2) Perintah tertulis sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah
wajib pajak yang dikehendaki keterangannya.
b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 25/POJK.03/2015 tentang
Penyampaian Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan kepada
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra
c. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 125/PMK.010/2015
tentang Perubahan atas PMK No. 60/PMK.03/2014 tentang Tata
Cara Pertukaran Informasi.
2. Pertimbangan dalam Pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2017
Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
menjadi undang-undang ini juga diantaranya untuk memenuhi
komitmen keikutsertaan dalam mengimplementasikan pertukaran
informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial
Account) antar negara yang tergabung dalam konvensi internasional
tersebut sehingga berdasarkan konvensi internasional tersebut
pemerintah Negara Republik Indonesia dapat meminta pemerintah
negara asing tersebut untuk membuka rekening WNI (Warga Negara
Indonesia) yang disimpan di negara asing tersebut.
61
Namun, Isi Perppu tidak mengatur secara tegas apakah penerapan
perppu ini diperuntukkan untuk WNI yang mempunyai rekening
keuangan lintas negara atau hanya dalam negara saja. Perppu malah
memberikan kewenangan tambahan kepada otoritas perpajakan untuk
membuka seluruh rekening keuangan yang ada di dalam negeri.
D. Tidak Menjalankan Asas Keseimbangan
Undang-Undang Akses Informasi Keuangan tidak sesuai dengan
Asas Perlindungan Konsumen yang tercantum dalam pasal 2 UUPK, yang
diantaranya melanggar asas Keseimbangan dan Asas Keamanan &
Keselamatan Konsumen.
Asas Keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. Asas keamanan dan
keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen.2
Undang-Undang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan
Perpajakan hanya mementingkan kepentingan pemerintah tanpa
memperhatikan kepentingan nasabah sebagai konsumen jasa keuangan dan
Bank sebagai lembaga jasa keuangan. Keseluruhan teks pada Undang-
Undang tersebut tidak menyebutkan bagaimana kepastian hukum terhadap
keamanan data keuangan nasabah.
Jaminan atau bentuk Tanggung Jawab Dirjen Pajak terhadap
Keamanan dan keselamatan data nasabah juga tidak dipehatikan dalam
undang-undang tersebut jika terjadi kebocoran data nasabah dan
pembobolan akibat data nasabah yang bocor sehingga berhasil diakses
2 Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Surakarta:
Citra Aditya Bakti, 2008), h., 78.
62
oleh para Hacker atau oknum yang tidak bertanggung jawab sehingga
simpanan uang Nasabah bisa dicuri dengan mudah melalui jaringan
internet (cyber crime). Adanya Undang-Undang Akses Informasi
Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan membuat ketidakseimbangan
antara kepentingan Konsumen dan Pelaku Usaha sebagaimana pula yang
dimanatkan dalam Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945, yaitu setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
E. Sanksi dan Upaya Hukum Terhadap Aparatur/Fiksus Pajak Jika
Menyalahgunakan Data Nasabah
Dalam amanat Undang-Undang No. 9 Tahun 2017 Tentang Akses
Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan j.o. Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 70 Tahun 2017 Tentang Teknis Pelaksanaan Akses
Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan, dikatakan bahwa
Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun pihak yang melakukan tugas di
bidang perpajakan, dan tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/ atau
memberitahukan informasi keuangan dan/ atau informasi dan/ atau bukti
atau keterangan yang berkaitan dengan informasi keuangan kepada pihak
yang tidak berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan.
Jika fiskus/pemungut pajak membocorkan data keuangan nasabah
yang dapat mengakibatkan kerugian atau menggunakan data tersebut
sebagai alat untuk melakukan pemerasan, penggelapan atau bahkan
melakukan pencucian uang karena mengingat beberapa oknum fiskus
pajak yang menjadi terpidana akibat melakukan tindak pidana tersebut.
63
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang, Pencucian uang merupakan suatu upaya
perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana
atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi
keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah
berasal dari kegiatan yang sah/legal.3
Beberapa contoh kasus yang melibatkan Aparatur/ fiskus pajak di
Indonesia, diantaranya:
Berikut dibawah ini berbagai kasus yang melibatkan fiskus pajak:4
1. 13 Juli 2012. Kepala Kantor Pajak Pratama Bogor Anggrah
Pratama diciduk saat menerima uang suap sebesar Rp 300 juta
dari karyawan perusahaan tambang PT Gunung Emas Abadi
Endang Dyah Lestari di Perumahan Legenda Wisata dan Kota
Wisata Cibubur, Jakarta Timur. Anggrah divonis bersalah
dengan hukuman selama 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.
2. 15 Mei 2013, dua orang pemeriksa pajak di DJP Jakarta Timur
Muhammad Dian Indra dan Eko Darmayanto ditangkap di
terminal 3 Bandara Soekarno Hatta. Keduanya ditangkap
bersama seorang kurir bernama Tedy ketika hendak mengambil
uang sebesar Sin$ 300.000 yang sudah diletakkan dalam mobil
di parkiran bandara. Pada Desember 2013, Mereka terbukti
menerima suap Sin$600 ribu untuk pengurusan pajak PT The
Master Steel, Rp 3,25 miliar terkait pengurusan pajak PT Delta
Internusa, dan sebesar US$ 150.000 untuk pengurusan kasus
pajak PT Nusa Raya Cipta. Keduanya divonis sembilan tahun
penjara.
3 Yudi Kristiana, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Perspektif Hukum
Progresif, (Jakarta : Thafa Media, 2011), h., 78.
4 http://nasional.kontan.co.id/news/ (diakses tanggal 21 Mei 2017)
64
3. Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, PNS golongan IIIA
DJP dinyakan bersalah karena menerima suap senilai Rp925
juta dari Roberto Santonius, konsultan PT Metropolitan
Retailmart untuk pengurusan keberatan pajak. Gayus juga
Gayus terbukti menerima gratifikasi di kasus lain sebesar
US$659.800 dan Sin$9,6 juta.
Dengan sudah adanya beberapa oknum fiskus atau aparatur pajak
yang berhasil tertangkap, maka pengawasan yang sangat ketat sangat
diperlukan mengingat saat ini fiskus pajak diberikan wewenang penuh
mengakses informasi data nasabah pada bank. Pengawasan ekstra harus
dilakukan mengingat sudah banyak pegawai pajak yang tertangkap tangan
menerima suap dan memalsukan pembukuan laporan terutang wajib pajak.
Bagaimana mekanisme data nasabah tersebut disimpan sekiranya
masyarakat harus mengetahui, artinya aspek transparansi harus dijunjung
tinggi untuk menghindari praktek-praktek yang merugikan banyak pihak
oleh fiskus pajak, terutama nasabah pada suatu bank yang terkena wajib
pajak.
Berikut beberapa sanksi dan upaya hukum yang dapat mejerat
fiskus/pemungut pajak jika terjadi penyalahgunaan data tersebut:
1. Sanksi Terhadap Aparatur/ Fiskus Pajak
Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Akses
Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan telah memberikan
amanat bahwa fiskus/aparatur pajak wajib menjaga dan dilarang
membocorkan kepada pihak manapun yang tidak berwenang atas
kerahasiaan informasi keuangan nasabah sebagai wajib pajak yang
telah diperoleh dari Lembaga Keuangan khususnya pada Perbankan
sebagai Pihak Ketiga serta wajib melaksanakan tugasnya sesuai
prosedur. Tetapi, dalam undang-undang tersebut tidak ada ketentuan
65
yang memuat sanksi terhadap fiskus pajak jika melanggar amanat
tersebut.
Dalam Pasal 41 ayat (1) dan (2) pada Undang-Undang Nomor 16
Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
telah memuat sanksi tersebut, diantaranya:
a. Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban
merahasiakan masalah perpajakan Wajib Pajak antara lain:
Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang
dilaporkan oleh Wajib Pajak, data yang diperoleh dalam rangka
pelaksanaan pemeriksaan, dokumen dan/atau data yang
diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia, dan dokumen
dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkenaan, dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
b. Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya
atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya
kewajiban merahasiakan masalah perpajakan Wajib Pajak,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Lebih lanjut, jika fiskus pajak melakukan upaya pemerasan atau
permintaan yang merugikan terhadap wajib Pajak maka dapat
dijerat dengan Pasal 45 Ayat (4) pada Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik, menyebutkan bahwa Setiap Orang yang dengan sengaja
dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
66
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau
pengancaman dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
2. Upaya Hukum Terhadap Aparatur/ Fiskus Pajak
a. Melalui Gugatan Perdata
Secara umum gugatan perdata terbagi atas gugatan wanprestasi
dan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH).5
Suatu gugatan wanprestasi diajukan karena adanya
pelanggaran kontrak (wanprestasi) dari salah satu pihak.
Seandainya si A tidak membayar harga mobil yang telah
disepakatinya dalam perjanjian jual beli mobil, sementara
mobilnya sendiri telah digunakan olehnya, maka hal itu
menimbulkan kerugian bagi si B. artinya dalam gugatan
wanprestasi, para tergugat dan penggugat dan phak-pihak yang
yang terkait dalam perjanjian saja yang ada dalam gugatan ini.6
Selain gugatan wanprestasi dalam hukum acara dikenal pula
gugatan perbuatan melawan hukum (gugatan PMH), yaitu gugatan
ganti rugi karena adanya suatu perbuatan melawan hukum (PMH)
yang mengakibatkan kerugian terhadap orang lain. Mengacu pada
Pasal 1365 KUHPerdata, yang secara tegas mengatur bahwa setiap
perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
5 Bambang Sugeng, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2012), h., 89
6 P.N.H. Simanjuntak, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2015), h., 97.
67
Melawan hukum secara sempit dapat diartikan sebagai
melanggar undang-undang. pengertian itu merupakan pengertian
klasik yang telah lama ditinggalkan, karena sebenarnya perbuatan
yang tidak melanggar undang-undang pun terkadang merugikan.
Saat ini istilah melawan hukum telah diartikan secara luas, yaitu
tidak hanya melanggar peraturan perundang-undangan tapi juga
dapat berupa:
1) Melanggar hak orang lain
2) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
3) Bertentangan dengan kesusilaan
4) Bertentangan dengan kepentingan umum.7
Dalam kaitannya dengan permasalahan jika aparatur atau fiskus
pajak melakukan penyalahgunaan data nasabah, maka nasabah
melakukan gugatan dengan klasifikasi perbuatan melawan hukum
karena dengan alasan:
1) Tidak adanya kontrak atau perjanjian sebelumnya antara
nasabah dengan aparatur atau fiskus pajak. Tidak seperti halnya
gugatan wanprestasi yang sebelumnya masing-masing pihak
telah mengadakan perjanjian atau kontrak sebelumnya.
2) Bertentangan dengan Undang-Undang. Penyalahgunaan data
nasabah oleh aparatur atau fiskus pajak jelas melanggar
Undang-Undang yang ada Indonesia, diantaranya Undang-
Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan.
7 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pemblokiran dan Putusan Pengadilan), (Jakarta: SInar Grafika, 2013), h., 89.
68
3) Bertentangan dengan kepentingan umum. Akibat dari
penyalahgunaan atau bocornya data nasabah dapat
mengakibatkan kerugian umum diantaranya stabilitas
perekenomian terganggu.
b. Melalui Tuntutan Pidana
Dalam Pasal 41 ayat (1) pada Undang-Undang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, Penuntutan terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh fiskus pajak yakni karena kelapaannya
tidak memenuhi kewajiban merahasiakan masalah perpajakan
Wajib Pajak yang diantaranya: Surat Pemberitahuan, laporan
keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak, data
yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan, dokumen
dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat
rahasia, dan dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan, hanya
dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
Pengungkapan kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada
ayat 41 ayat (1) dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai, tidak
hati-hati, atau kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk
merahasiakan keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib
Pajak yang dilindungi oleh Undang-Undang Perpajakan dilanggar.
Atas kealpaan tersebut, pelaku dihukum dengan hukuman yang
setimpal.8
8 Mariot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Formal, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h., 130.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian-uraian bab terdahulu peneliti dapat
menyimpulkan bahwa:
1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi
Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan tidak bertentangan dengan
ketentuan Rahasia Bank yang ada pada Undang-Undang Perbankan.
Dalam substansi Undang-Undang tersebut, tidak ada bunyi teks pada
yang mengatakan pihak manakah yang akan bertanggung jawab jika
terjadi kebocoran data nasabah pada saat proses pemindahan data
nasabah ke Dirjen Pajak. Dalam hal ini, tidak hanya nasabah sebagai
konsumen yang dirugikan, tetapi juga kedudukan Bank bisa menjadi
dirugikan jika si Nasabah justru menggugat untuk ganti-rugi atau
melakukan tuntutan pidana pada petugas Bank yang diberi wewenang
oleh Bank untuk melakukan pengiriman data kepada Dirjen Pajak. Hal
ini berimbas terhadap reputasi Bank yang terancam turun dalam
melakukan kegiatan perbankan serta berakibat fatal pada stabilitas
perekonomian Nasional. Asas keseimbangan dan kepastian hukum
antara Otoritas Pajak, Pelaku Usaha, dan Nasabah selaku Konsumen
tidak ditemukan dalam Undang-Undang tersebut.
2. Belum dibentuknya regulasi untuk memberikan legalitas kepada pihak
ketiga atau lembaga khusus sebagai bentuk pengawasan yang masif
dari pemerintah disaat pemindahan data nasabah dari Bank ke
Direktorat Jenderal Pajak dan Internal Direktorat Jenderal Pajak itu
sendiri saat proses Fiskus Pajak membuka atau mengakses data
nasabah. Sanksi pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan data
oleh Aparatur atau Fiskus Pajak melanggar Undang-Undang telah
70
diatur diantaranya yakni ada di Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik
3. Upaya yang dapat dilakukan oleh nasabah terhadap Aparatur atau
Fiskus Pajak yang melakukan penyalahgunaan data dapat melalui
instrumen perdata dengan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
untuk meminta ganti rugi atau melalui instrumen pidana dengan syarat
bahwa pelapor yaitu nasabah yang dirugikan oleh Aparatur atau Fiskus
Pajak.
B. Rekomendasi
Dari kesimpulan yang telah dipaparkan oleh peneliti maka
dikemukakan saran sebagai berikut:
1. Perlu adanya evaluasi kembali secara masif oleh pemerintah terhadap
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi
Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan agar memperhatikan
kembali hak-hak, kepastian, dan bagaimana bentuk tanggung jawab
dan perlindungan terhadap data nasabah selaku konsumen jasa
keuangan dan Bank sebagai Pelaku Usaha jasa keuangan oleh Dirjen
Pajak.
2. Dibentuknya aturan untuk memberikan legalitas pada lembaga khusus
untuk mengawasi atau mengawal proses pemindahan data nasabah dari
Bank ke Direktorat Jenderal Pajak dan saat proses Aparatur/Fiskus
Pajak mengakses data nasabah oleh Pemerintah agar dapat
meminimalisir atau menekan kebocoran data nasabah.
3. Dibentuknya lembaga khusus dengan SDM yang sudah teruji oleh
pemerintah untuk untuk mengawasi atau mengawal proses pemindahan
71
data nasabah dari Bank ke Direktorat Jenderal Pajak dan saat proses
Aparatur/Fiskus Pajak mengakses data nasabah oleh Pemerintah agar
dapat meminimalisir atau menekan kebocoran data nasabah.
72
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Djafar Saidi, Muhammad, Kejahatan di Bidang Perpajakan, (Depok: Rajawali
Press. 2011).
E. Watson, Camilla, Tax Procedure and Tax Fraud, (Miami: West Academic
Press, 2011).
Fahmi, Ibrahim, Pengantar Pasar Modal, (Bandung: Alfabeta, 2013).
Ginting, Ramlan, Transaksi Bisnis dan Perbankan Internasional, (Jakarta:
Salemba Empat, 2007).
Gregory Mankiw, N. d.k.k.., Pengantar Ekonomi Makro, (Jakarta: Salemba
Empat, 2012).
Halim, Abdul d.k.k., Perpajakan ( Konsep, Aplikasi, Contoh, dan Studi Kasus)
(Jakarta: Salemba Empat, 2014).
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005).
Kristiana, Yudi. Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Perspektif
Hukum Progresif, (Jakarta : Thafa Media, 2011).
M. Hadjon, Philipus. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. (Surabaya: PT
Bina Ilmu, 1987).
Made Pasek Diantha, I, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi
Teori Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016)
Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana, cet-IV 2010).
Miru, Ahmadi & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004).
Muljono, Djoko, Hukum Pajak: Konsep, Aplikasi, dan Penuntun Praktis,
(Yogyakarta: ANDI, 2010).
Nader, Laura, Law in Culture and Society, University of California Press, 1997.
Nasution, A.Z., Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum
pada Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1995).
73
Pahala Siaahan, Marihot, Hukum Pajak Formal, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010).
Pudyatmoko, Sri. Pengantar Hukum Pajak. (Yogyakarta: ANDI, 2002).
Rahardja, Prathama & Mandala Manuring, Pengantar Ilmu Ekonomi, (Jakarta: UI
Press, 2008).
Rahardjo. Ilmu Hukum. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000).
Redjeki Hartono, Sri, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, (Bandung: Mandar Maju,
2000).
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011).
Sembiring, Sentosa. Hukum Perbankan. (Bandung: CV Mandar Maju, 2012).
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2004).
Shofie, Yusuf, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,
(Surakarta: Citra Aditya Bakti, 2008).
Simanjuntak, P.N.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2015).
Soeroso, R., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013).
Sugeng, Bambang, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2012).
Usman, Rachmadi, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012).
Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001).
Yahya Harahap, M., Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pemblokiran dan Putusan Pengadilan), (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013).
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan.
74
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perlindungan
Konsumen Jasa Keuangan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 Tentang Petunjuk Teknis
Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Pendaftaran Bagi Lembaga Keuangan dan Penyampaian Laporan yang
Berisi Informasi Keuangan Secara Otomatis
Skripsi
Novianto, Galih. Analisis Perlindungan Data Pribadi Nasabah Berdasarkan PBI
No. 7/6/PBI/2005 Tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan
Penggunaan Data Pribadi Nasabah. (Skripsi, Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014).
Website:
http://nasional.kompas.com/read/2017/05/17/18044751/jokowi.perppu.no.1.2017.
agar.indonesia.tak.masuk.negara.ecek-ecek (diakses pada tanggal 20 Mei 2017).
http://www.pajak.go.id/content/news/buka-kerahasiaan-bank-26-kantor-pajak-
terapkan-akasia (diakses pada tanggal 21 Mei 2017).
http://nasional.kontan.co.id/news/ (diakses tanggal 21 Mei 2017)
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20161122162351-12-174492/rentetan-
kasus-korupsi-yang-menjerat-pegawai-pajak (diakses pada tanggal 2 Maret 2018)
www.hukumonline.com/pusatdata
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2017
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2017TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN MENJADI
UNDANG-UNDANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam melaksanakan pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mempunyai tujuan untuk menyejahterakan dan memakmurkan seluruh rakyat Indonesia secara merata dan berkeadilan, dibutuhkan pendanaan yang bersumber dari penerimaan negara terutama yang berasal dari pajak, sehingga untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak tersebut diperlukan pemberian akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan;
b. bahwa saat ini masih terdapat keterbatasan akses bagi otoritas perpajakan Indonesia untuk menerimadan memperoleh informasi keuangan yang diatur dalam undang-undang di bidang perpajakan, perbankan, perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan perundang-undangan lainnya, yang dapat mengakibatkan kendala bagi otoritas perpajakan dalam penguatan basis data perpajakan untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak dan menjaga keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan pajak;
c. bahwa Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di bidang perpajakan yang berkewajiban untuk memenuhi komitmen keikutsertaan dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information) dan harus segera membentuk peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan sebelum tanggal 30 Juni 2017;
d. bahwa Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan pada tanggal 8 Mei 2017;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
1 / 4
www.hukumonline.com/pusatdata
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN MENJADI UNDANG-UNDANG
Pasal 1
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6051) ditetapkan menjadi Undang-Undang dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 23 Agustus 2017
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 23 Agustus 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 190
2 / 4
www.hukumonline.com/pusatdata
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2017
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2017TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN MENJADI
UNDANG-UNDANG
I. UMUM
Dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertujuan untuk menyejahterakan dan memakmurkan seluruh rakyat Indonesia secara merata dan berkeadilan, sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dibutuhkan pendanaan yang bersumber dari penerimaan negara terutama yang berasal dari pajak, yang pemungutannya diatur dengan undang-undang sebagai perwujudan ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Upaya pemungutan pajak untuk kepentingan pembangunan nasional masih mengalami kendala baik yang berasal dari faktor internal maupun dari faktor eksternal. Dalam mengatasi kendala dari faktor internal, saat ini Pemerintah telah dan sedang melakukan reformasi perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak dengan tujuan antara lain untuk memperbaiki organisasi, proses kerja, pengelolaan data dan informasi dari perbankan, serta sumber daya manusia. Sedangkan dari faktor eksternal, selain terjadinya pelemahan ekonomi dan perdagangan global, juga masih banyak ditemukannya Wajib Pajak yang melakukan penghindaran pajak ke luar Indonesia. Dengan adanya pusat-pusat pelarian pajak/perlindungan dari pengenaan pajak (tax haven), dan belum adanya mekanisme serta aturan yang mengharuskan pertukaran informasi antar negara dan yurisdiksi, semakin mempersulit upaya pengumpulan pajak di Indonesia yang berdasarkan pada sistem self-assesment.
Sementara itu, pengawasan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya secara self-assessment tersebut merupakan hal yang esensial untuk meningkatkan penerimaan pajak. Pengawasan tersebut dapat dilaksanakan dengan optimal sepanjang telah tersedianya akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan dalam pembentukan basis data perpajakan yang lebih kuat dan akurat.
Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, perbankan, perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku saat ini telah membatasi akses otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan, baik dari sisi prosedur maupun persyaratan. Kondisi keterbatasan akses tersebut dimanfaatkan Wajib Pajak untuk tidak patuh melaporkan penghasilan dan harta sesungguhnya. Hal ini dapat menghambat terwujudnyakeberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan pajak dan penguatan basis data perpajakan, serta Indonesia berpotensi menjadi negara tujuan penempatan dana ilegal.
Di samping itu, Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di bidang perpajakan dengan banyak negara/yurisdiksi, yang di dalamnya juga mengatur mengenai pertukaran informasi termasuk pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information) sesuai dengan standar internasional yang disepakati. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh Indonesia untuk mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis adalah membentuk aturan domestik yang mengatur mengenai kewenangan otoritas perpajakan untuk mengakses informasi keuangan, kewajiban bagi lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain untuk melaporkan informasi keuangan secara otomatis kepada otoritas perpajakan, melakukan prosedur identifikasi rekening keuangan untuk kepentingan pelaporan dimaksud, serta adanya penerapan sanksi bagi ketidakpatuhan atas kewajiban-kewajiban tersebut.
Untuk mengatasi hal tersebut di atas, Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan pada tanggal 8 Mei 2017, guna memberikan kepastian hukum mengenai pemberian akses
3 / 4
www.hukumonline.com/pusatdata
yang luas bagi otoritas perpajakan dalam menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan dan memenuhi komitmen Indonesia dalam perjanjian internasional terkait dengan pertukaran informasi keuangan secara otomatis.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk kemudian disahkan menjadi Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi Undang-Undang berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6112
4 / 4
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA No.95, 2017 KEUANGAN. Perpajakan. Informasi. Akses. (Penjelasan
dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6051)
PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2017
TENTANG
AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan pembangunan nasional
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mempunyai
tujuan untuk menyejahterakan dan memakmurkan
seluruh rakyat Indonesia secara merata dan berkeadilan,
dibutuhkan pendanaan yang bersumber dari penerimaan
negara terutama yang berasal dari pajak, sehingga untuk
memenuhi kebutuhan penerimaan pajak tersebut
diperlukan pemberian akses yang luas bagi otoritas
perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi
keuangan bagi kepentingan perpajakan;
b. bahwa saat ini masih terdapat keterbatasan akses bagi
otoritas perpajakan Indonesia untuk menerima dan
memperoleh informasi keuangan yang diatur dalam
undang-undang di bidang perpajakan, perbankan,
perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan
perundang-undangan lainnya, yang dapat
mengakibatkan kendala bagi otoritas perpajakan dalam
penguatan basis data perpajakan untuk memenuhi
www.peraturan.go.id
2017, No.95 -2-
kebutuhan penerimaan pajak dan menjaga keberlanjutan
efektivitas kebijakan pengampunan pajak;
c. bahwa Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian
internasional di bidang perpajakan yang berkewajiban
untuk memenuhi komitmen keikutsertaan dalam
mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan
secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account
Information) dan harus segera membentuk peraturan
perundang-undangan setingkat undang-undang
mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan
perpajakan sebelum tanggal 30 Juni 2017;
d. bahwa apabila Indonesia tidak segera memenuhi
kewajiban sesuai batas waktu yang ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Indonesia
dinyatakan sebagai negara yang gagal untuk memenuhi
komitmen pertukaran informasi keuangan secara
otomatis (fail to meet its commitment), yang akan
mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi Indonesia,
antara lain menurunnya kredibilitas Indonesia sebagai
anggota G20, menurunnya kepercayaan investor, dan
berpotensi terganggunya stabilitas ekonomi nasional,
serta dapat menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan
penempatan dana ilegal;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, dan
mengingat adanya kebutuhan yang sangat mendesak
untuk segera memberikan akses yang luas bagi otoritas
perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi
keuangan bagi kepentingan perpajakan, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang tentang Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan;
Mengingat : Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
www.peraturan.go.id
2017, No.95 -3-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK
KEPENTINGAN PERPAJAKAN.
Pasal 1
Akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan
meliputi akses untuk menerima dan memperoleh informasi
keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan
perjanjian internasional di bidang perpajakan.
Pasal 2
(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang mendapatkan akses
informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dari lembaga jasa
keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor
perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa
keuangan lainnya, dan/atau entitas lain yang
dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar
pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian
internasional di bidang perpajakan.
(2) Lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya,
dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib menyampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak:
a. laporan yang berisi informasi keuangan sesuai
standar pertukaran informasi keuangan
berdasarkan perjanjian internasional di bidang
perpajakan untuk setiap rekening keuangan yang
diidentifikasikan sebagai rekening keuangan yang
wajib dilaporkan; dan
b. laporan yang berisi informasi keuangan untuk
kepentingan perpajakan,
yang dikelola oleh lembaga jasa keuangan, lembaga jasa
keuangan lainnya, dan/atau entitas lain dimaksud
selama satu tahun kalender.
www.peraturan.go.id
2017, No.95 -4-
(3) Laporan yang berisi informasi keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. identitas pemegang rekening keuangan;
b. nomor rekening keuangan;
c. identitas lembaga jasa keuangan;
d. saldo atau nilai rekening keuangan; dan
e. penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
(4) Dalam rangka penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, lembaga jasa keuangan,
lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan
prosedur identifikasi rekening keuangan sesuai standar
pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian
internasional di bidang perpajakan.
(5) Prosedur identifikasi rekening keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) paling sedikit meliputi kegiatan:
a. melakukan verifikasi untuk menentukan negara
domisili untuk kepentingan perpajakan bagi
pemegang rekening keuangan, baik orang pribadi
maupun entitas;
b. melakukan verifikasi untuk menentukan pemegang
rekening keuangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a merupakan pemegang rekening keuangan
yang wajib dilaporkan;
c. melakukan verifikasi untuk menentukan rekening
keuangan yang dimiliki oleh pemegang rekening
keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
merupakan rekening keuangan yang wajib
dilaporkan;
d. melakukan verifikasi terhadap entitas pemegang
rekening keuangan untuk menentukan pengendali
entitas dimaksud merupakan orang pribadi yang
wajib dilaporkan; dan
e. melakukan dokumentasi atas kegiatan yang
dilakukan dalam rangka prosedur identifikasi
rekening keuangan, termasuk menyimpan dokumen
yang diperoleh atau digunakan.
www.peraturan.go.id
2017, No.95 -5-
(6) Lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya,
dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), tidak diperbolehkan melayani:
a. pembukaan rekening keuangan baru bagi nasabah
baru; atau
b. transaksi baru terkait rekening keuangan bagi
nasabah lama,
yang menolak untuk mematuhi ketentuan identifikasi
rekening keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Dalam hal diminta oleh Direktur Jenderal Pajak, lembaga
jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya,
dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang memperoleh atau menyelenggarakan
dokumentasi dalam bahasa lain selain Bahasa Indonesia,
harus memberikan terjemahan dokumentasi dimaksud
ke dalam Bahasa Indonesia.
(8) Dalam hal lembaga jasa keuangan, lembaga jasa
keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban
merahasiakan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kewajiban merahasiakan tersebut
tidak berlaku dalam melaksanakan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.
Pasal 3
(1) Kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan dengan:
a. mekanisme elektronik melalui Otoritas Jasa Keuangan
bagi lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), untuk laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a;
b. mekanisme non-elektronik sepanjang mekanisme
elektronik belum tersedia, kepada Direktur Jenderal
Pajak, bagi lembaga jasa keuangan lainnya dan
entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1), untuk laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a; dan
www.peraturan.go.id
2017, No.95 -6-
c. mekanisme non-elektronik sepanjang mekanisme
elektronik belum tersedia, kepada Direktur Jenderal
Pajak, untuk laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf b.
(2) Dalam hal terdapat perubahan mekanisme sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan dapat
menentukan mekanisme lain setelah mendapat
pertimbangan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Terhadap penyampaian laporan melalui mekanisme
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) wajib menyampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lama 60 (enam
puluh) hari sebelum batas waktu berakhirnya
periode pertukaran informasi keuangan antara
Indonesia dengan negara atau yurisdiksi lain
berdasarkan perjanjian internasional di bidang
perpajakan; dan
b. Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan kepada
Direktorat Jenderal Pajak paling lama 30 (tiga puluh)
hari sebelum batas waktu berakhirnya periode
pertukaran informasi keuangan antara Indonesia
dengan negara atau yurisdiksi lain berdasarkan
perjanjian internasional di bidang perpajakan.
(4) Penyampaian laporan melalui mekanisme sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilakukan
oleh lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan
lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak
paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun
kalender.
Pasal 4
(1) Selain menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak berwenang
www.peraturan.go.id
2017, No.95 -7-
untuk meminta informasi dan/atau bukti atau
keterangan dari lembaga jasa keuangan, lembaga jasa
keuangan lainnya, dan/atau entitas lain.
(2) Lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya,
dan/atau entitas lain wajib memberikan informasi
dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Informasi keuangan yang tercantum dalam laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan
informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai basis data
perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.
Pasal 5
Berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan,
Menteri Keuangan berwenang melaksanakan pertukaran
informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) dan/atau informasi dan/atau bukti atau keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan otoritas
yang berwenang di negara atau yurisdiksi lain.
Pasal 6
(1) Menteri Keuangan dan/atau pegawai Kementerian
Keuangan dalam melaksanakan tugas yang berkaitan
dengan pelaksanaan akses dan pertukaran informasi
keuangan untuk kepentingan perpajakan, tidak dapat
dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
(2) Pimpinan dan/atau pegawai Otoritas Jasa Keuangan
yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a,
tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat
secara perdata.
(3) Pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan,
pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan
lainnya, dan pimpinan dan/atau pegawai entitas lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang
memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana
www.peraturan.go.id
2017, No.95 -8-
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dan/atau pemberian
informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), tidak dapat dituntut
secara pidana dan/atau digugat secara perdata.
Pasal 7
(1) Pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan,
pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan
lainnya, dan pimpinan dan/atau pegawai entitas lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), yang:
a. tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2);
b. tidak melaksanakan prosedur identifikasi rekening
keuangan secara benar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (4); dan/atau
c. tidak memberikan informasi dan/atau bukti atau
keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2),
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
(2) Lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya,
dan entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1), yang:
a. tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2);
b. tidak melaksanakan prosedur identifikasi rekening
keuangan secara benar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (4); dan/atau
c. tidak memberikan informasi dan/atau bukti atau
keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2),
dipidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(3) Setiap orang yang membuat pernyataan palsu atau
menyembunyikan atau mengurangkan informasi yang
sebenarnya dari informasi yang wajib disampaikan dalam
www.peraturan.go.id
2017, No.95 -9-
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2),
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pasal 8
Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
ini mulai berlaku:
1. Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 35A Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun
1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik lndonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Pasal 40 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
3. Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3608);
4. Pasal 17, Pasal 27, dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
www.peraturan.go.id
2017, No.95 -10-
Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3720) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997
tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 79,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5232); dan
5. Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867),
dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan
pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan
perpajakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ini.
Pasal 9
Dalam hal diperlukan petunjuk teknis mengenai akses dan
pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan
perpajakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ini, Menteri Keuangan dapat menerbitkan
Peraturan Menteri.
Pasal 10
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
www.peraturan.go.id
2017, No.95 -11-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Mei 2017
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Mei 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
www.peraturan.go.id