Post on 28-Dec-2020
PERBEDAAN ZONA HAMBAT
PERTUMBUHAN Propionibacterium acnes
PADA BERBAGAI KONSENTRASI CUKA APEL
(APPLE CIDER VINEGAR) SECARA IN VITRO
Oleh :
NI MADE DWI ADNYANI
NIM.P07134016041
KEMENTRIAN KESEHATAN R.I.
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
DENPASAR
2019
i
PERBEDAAN ZONA HAMBAT
PERTUMBUHAN Propionibacterium acnes
PADA BERBAGAI KONSENTRASI CUKA APEL
(APPLE CIDER VINEGAR) SECARA IN VITRO
Oleh :
NI MADE DWI ADNYANI
NIM.P07134016041
KEMENTRIAN KESEHATAN R.I.
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
DENPASAR
2019
ii
PERBEDAAN ZONA HAMBAT
PERTUMBUHAN Propionibacterium acnes
PADA BERBAGAI KONSENTRASI CUKA APEL
(APPLE CIDER VINEGAR) SECARA IN VITRO
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Menyelesaikan Pendidikan Diploma III
Politeknik Kesehatan Denpasar
Jurusan Analis Kesehatan
Program Reguler
Oleh :
NI MADE DWI ADNYANI
NIM.P07134016041
KEMENTRIAN KESEHATAN R. I.
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
DENPASAR
2019
iii
LEMBAR PERSETUJUAN
KARYA TULIS ILMIAH
PERBEDAAN ZONA HAMBAT
PERTUMBUHAN Propionibacterium acnes
PADA BERBAGAI KONSENTRASI CUKA APEL
(APPLE CIDER VINEGAR) SECARA IN VITRO
TELAH MENDAPAT PERSETUJUAN
iv
KARYA TULIS ILMIAH DENGAN JUDUL :
PERBEDAAN ZONA HAMBAT
PERTUMBUHAN Propionibacterium acnes
PADA BERBAGAI KONSENTRASI CUKA APEL
(APPLE CIDER VINEGAR) SECARA IN VITRO
TELAH DIUJI DI HADAPAN TIM PENGUJI
PADA HARI : SENIN
TANGGAL : 27 MEI 2019
v
LEMBAR PERSEMBAHAN
Om Swastyastu,
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa
karena berkat-Nya KTI ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Terimakasih kepada keluarga atas segala doa, nasihat, serta dukungan
baik moril maupun materil. Semoga segala sesuatunya bisa menjadi tuntunan
dalam menjalani hidup ini.
Tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada adik dan kakak serta teman-
teman yang sudah meluangkan waktu untuk menghibur dan memberi warna
setiap harinya setelah pulang, menemani membuat tugas,dan masa-masa sulit
yang saya hadapi saat menjalani perkuliahan.
Terima kasih bagi dosen dan staf pegawai di jurusan Analis Kesehatan
Poltekkes Denpasar terima kasih atas bimbinganya selama menempuh
pendidikan di kampus ini.
Teruntuk teman-teman Analis Kesehatan Angkatan 8 terima kasih atas
canda tawa duka yang telah kita lewati bersama, senang menjadi bagian dari
kalian selama 3 tahun ini. Adik-adik tingkat serta semua pihak yang tidak saya
sebutkan satu persatu terima kasih telah memberi doa,bantuan, serta inspirasi.
Teruntuk spesial ketiga temanku , Manda Sari, Ayu Andrena dan Agus
Juliantara , senang mengenal kalian yang selalu memahami segala kelebihan
dan kekurangan yang saya miliki maka banyak kata terima kasih yang tidak
bisa saya ucapkan langsung kepada kalian.
Karya Tulis Ilmiah ini penulis persembahkan kepada semua orang yang
membutuhkan, semoga bermanfaat.
vi
Om Santih, Santih, Santih Om
RIWAYAT PENULIS
Penulis bernama lengkap Ni Made Dwi Adnyani,
berasal dari Br. Lebah , Ds.Bukian, Payangan , Gianyar.
Lahir di Denpasar pada tanggal 26 Agustus 1998 . Penulis
merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan
I Made Subaga dan Ni Putu Marini.
Penulis memulai Pendidikan di Taman Kanak-kanak Mataram (Yayasan
P.R.U) pada tahun 2003, kemudian melanjutkan ke tingkat pendidikan Sekolah
Dasar (SD) di SD Negeri 19 Cakranegara pada tahun 2004. Tahun 2010, penulis
melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 6 Mataram
(Sekolah Bertaraf International) . Dan pada tahun 2012 penulis melanjutkan
pendidikan di SMP Negeri 2 Payangan sampai tahun 2013 . Selanjutnya penulis
menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Payangan
sampai pada tahun 2016. Tahun 2016 penulis melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi dan diterima sebagai salah satu mahasiswa di Program Studi
Diploma III Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Denpasar.
vii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ni Made Dwi Adnyani
Jenis Kelamin : Perempuan
NIM : P07134016041
Tempat/tanggal lahir : Denpasar , 26 Agustus 1998
Alamat Rumah : Br.Lebah , Ds. Bukian , Payangan, Gianyar
No.Telp : 085858858821
Dengan ini menyatakan bahwa :
1. Tugas Akhir dengan judul “Perbedaan Zona Hambat Pertumbuhan
Propionibacterium acnes Pada Berbagai Konsentrasi Cuka Apel (Apple Cider
Vinegar) Secara In Vitro” adalah benar karya sendiri atau bukan plagiat
hasil karya orang lain.
2. Apabila dikemudian hari terbukti Tugas Akhir ini bukan karya saya sendiri
atau plagiat hasil karya orang lain, maka saya sendiri bersedia menerima
sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No.17 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi dan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
viii
THE DIFFERENCES IN GROWTH INHIBITION ZONE OF
Propionibacterium acnes AT DIFFERENT CONCENTRATION OF
APPLE CIDER VINEGAR STUDY IN VITRO PROCESS
ABSTRACT
Background : Acne is skin disease that occurs because of sebaceous follicles
blockage caused by Propionibacterium acnes. Some studies show that apple cider
vinegar had antibacterial effect to Propionibacterium acnes. Objective : This
study aimed differences in growth inhibition zone of Propionibacterium acnes at
different concentration of apple cider vinegar study in vitro process. Method :
This research used an experimental post-test only control design with disk
diffusion method. This experiment using four concentration that is 12,5%, 25%,
50%,and 100% and using sterile aquadest as negative control and chloramfenicol
30 µg as positive control. Inhibition zone was determined by clear zone around
the disk. Statistic analysis was done using Kolmogorov-Smirnov test, One Way
Anova test, and Least Significant Deference test. Result: The result showed that
the average diameter of inhibition zone in concentration 12,5%, 25%, 50%, and
100% is 8,1 mm, 12,1 mm, 14, 9 mm, 18,9 mm. Based on One Way Anova and
Least Significant Deference test, there is difference of growth inhibition zone of
Propionibacterium acnes at various concentrations of apple cider vinegar.
Concentration of effective is concentration 100% significantly inhibited bacterial
growth. Conclusion: Apple cider vinegar can inhibit the growth of
Propionibacterium acne, and there are differences in growth inhibition zone of
Propionibacterium acnes at various concentrations of apple cider vinegar.
Concentration of effective is concentration 100% significantly inhibited bacterial
growth.
Keyword : apple cider vinegar, Propionibacterium acnes, inhibition zone
ix
PERBEDAAN ZONA HAMBAT PERTUMBUHAN Propionibacterium
acnes PADA BERBAGAI KONSENTRASI CUKA APEL
(APPLE CIDER VINEGAR) SECARA IN VITRO
ABSTRAK
Latar belakang : Jerawat merupakan penyakit kulit yang terjadi karena adanya
penyumbatan folikel sebasea oleh bakteri Propionibacterium acnes. Beberapa
penelitian menunjukkan cuka apel memiliki efek antibakteri terhadap
Propionibacterium acnes. Tujuan : Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
perbedaan zona hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes pada berbagai
konsentrasi cuka apel secara in vitro. Metode : Penelitian ini menggunakan
design penelitian experimental post-test only control design dengan metode difusi
cakram. Penelitian ini menggunakan empat konsentrasi yaitu 12,5%, 25%, 50%,
100%, dan menggunakan aquadest steril sebagai kontrol negatif dan
kloramfenikol 30 µg sebagai kontrol positif. Zona hambat ditentukan dengan
melihat zona bening di sekeliling cakram. Analisis statistik yang digunakan
adalah uji Kolmogorov-Smirnov, One Way Anova, dan uji Least Significant
Deference. Hasil : Hasil menunjukkan rata-rata diameter zona hambat yang
dihasilkan cuka apel dengan konsentrasi 12,5%, 25%, 50%, dan 100% yaitu 9,1
mm, 12,1 mm, 14,9 mm, dan 18,9 mm. Berdasarkan uji One Way Anova dan Least
Significant Deference diketahui terdapat perbedaan zona hambat pertumbuhan
bakteri pada berbagai konsentrasi cuka apel . Cuka apel dengan konsentrasi
100% efektif dalam menghambat pertumbuhan Propionibacterium acnes.
Simpulan: Cuka apel dapat menghambat pertumbuhan Propionibacterium acnes
dan terdapat perbedaan zona hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes
yang signifikan pada berbagai konsentrasi cuka apel. Cuka apel dengan
konsentrasi 100% efektif dalam menghambat pertumbuhan Propionibacterium
acnes.
Kata kunci : cuka apel, Propionibacterium acnes , zona hambat
x
RINGKASAN PENELITIAN
PERBEDAAN ZONA HAMBAT PERTUMBUHAN
Propionibacterium acnes PADA BERBAGAI KONSENTRASI
CUKA APEL(APPLE CIDER VINEGAR) SECARA IN VITRO
Oleh : NI MADE DWI ADNYANI ( NIM P07134016041 )
Jerawat adalah penyakit peradangan kelenjar sebasea yang sering dijumpai
dan berkaitan dengan folikel rambut (disebut unit Pilosebasea) yang ditandai
dengan munculnya komedo, papula, pustul, dan nodul. Mekanisme terjadinya
jerawat salah satunya yaitu infeksi dari bakteri Propionibacterium acnes.
Propionibacterium acnes merupakan organisme yang termasuk dalam
kelompok bakteri gram positif, pleomorfik, dan bersifat anaerob aerotoleran.
Propionibacterium acnes memiliki lebar 0,5 – 0,8 µm dan panjang 3-4 µm bakteri
ini berbentuk batang dengan ujung meruncing atau kokoid (bulat).
Propionibacterium acnes menyebabkan jerawat dengan menghasilkan lipase yang
memecah asam lemak bebas dari lipid kulit.
Pengobatan jerawat akibat bakteri Propionibacterium acnes dapat
diturunkan dengan memberikan antibiotik seperti eritromisin, klindamisin, dan
benzoil peroksida. Meskipun penggunaan antibiotik cukup efektif mengatasi
jerawat, namun perlu ditinjau kembali untuk membatasi perkembangan resistensi
bakteri terhadap antibiotik. Oleh sebab itu perlu dikembangkan penelitian dalam
penemuan obat baru yang berasal dari alam.
Cuka apel (apple cider vinegar) adalah cairan fermentasi buah apel yang
difermentasi oleh khamir dan bakteri asam asetat. Beberapa zat yang terkandung
dalam cuka apel diantaranya asam asetat, vitamin B1, B2, asam amino, flavonoid,
tannin, pectin, potassium, dan magnesium dimana flavonoid, tanin dan asam
asetat memiliki aktivitas antibakteri.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana perbedaan zona
hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes pada berbagai konsentrasi cuka
apel secara in vitro. Penelitian ini menggunakan design penelitian post-test only
control design dengan menggunakan difusi cakram. Penelitian ini menggunakan
empat konsentrasi yaitu 12,5%, 25%, 50%, dan 100%. Penelitian ini
xi
menggunakan aquadest steril sebagai kontrol negatif, dan antibiotik kloramfenikol
30 µg sebagai kontrol positif.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan rata-rata diameter zona hambat yang
dihasilkan cuka apel dengan konsentrasi 12,5%, 25%, 50%, dan 100% yaitu 9,1
mm, 12,1 mm, 14,9 mm, dan 18,9 mm. Berdasarkan daya hambat sebagai bahan
alam, konsentrasi 12,5% termasuk kriteria sedang serta konsentrasi 25%, 50%,
dan 100% termasuk kriteria kuat dalam menghambat pertumbuhan
Propionibacterium acnes. Berdasarkan uji statistik menggunakan One Way Anova
dan Least Significant Deference diketahui asymp sig (0,000) < α (0,05), sehingga
dapat dikatakan terdapat perbedaan zona hambat pertumbuhan Propionibacterium
acnes yang signifikan pada berbagai konsentrasi cuka apel . Cuka apel dengan
konsentrasi 100% paling efektif dalam menghambat pertumbuhan
Propionibacterium acnes karena termasuk kriteria sensitif jika dibandingkan
dengan antibiotik kloramfenikol 30 µg.
Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa cuka apel dapat
menghambat pertumbuhan Propionibacterium acnes dan terdapat perbedaan zona
hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes pada berbagai konsentrasi cuka
apel dimana konsentrasi 100% paling efektif dalam menghambat pertumbuhan
Propionibacterium acnes. Maka dari itu penulis mengharapkan bagi peneliti
selanjutnya, diharapkan penelitian terhadap cuka apel sebagai antibakteri dapat
dilanjutkan dan lebih diperluas dengan mengujinya pada jenis bakteri lain.
Daftar bacaan : 41 (2003 – 2018)
xii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nyalah Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Perbedaan Zona
Hambat Pertumbuhan Propionibacterium acnes Pada Berbagai Konsentrasi Cuka
Apel (Apple Cider Vinegar) Secara In Vitro” dapat diselesaikan tepat pada
waktunya.
Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah
satu syarat menyelesaikan Program Studi Diploma III Jurusan Analis Kesehatan
Politeknik Kesehatan Denpasar. Dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini
penulis mendapatkan bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak yang
terkait di dalamnya, untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak A.A. Ngurah Kusumajaya, S.P., M.PH. , selaku Direktur Poltekkes
Kemenkes Denpasar yang telah memberi kesempatan untuk mengikuti
pendidikan di program studi Diploma III Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes
Denpasar.
2. Ibu Cok Dewi Widhya Hana Sundari, S.KM., M.Si. , selaku Ketua Jurusan
Analis Kesehatan Poltekkes Denpasar yang telah bersedia memberikan
dukungan dan bimbingannya selama tiga tahun dalam perkuliahan hingga
penyusunan Karya Tulis Ilmiah.
3. Bapak I Wayan Merta, S.KM., M.Si selaku Pembimbing Utama yang
senantiasa memberikan bimbingan, arahan, dan masukan kepada penulis
sehingga Karya Tulis Ilmiah ini dapat diselesaikan.
xiii
4. Bapak I Wayan Karta, S.Pd., M.Si. selaku Pembimbing Pendamping yang
senantiasa mendampingi dalam sistem penulisan sehingga Karya Tulis Ilmiah
ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
5. Bapak dan Ibu Penguji yang telah memberikan masukan dan bimbingan untuk
kesempurnaan usulan penelitian ini.
6. Teman-teman serta semua pihak yang telah banyak membantu dan
mendukung sehingga Karya Tulis Ilmiah ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya.
Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari
kesempurnaan mengingat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis
miliki . Karena itu penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang
membangun dari semua pihak demi penyempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini. Besar
harapan penulis agar Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat dan digunakan
sebagai pedoman dalam melaksanakan penelitian selanjutnya.
Denpasar, Mei 2019
Penulis
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ………………………………………………………..…..i
HALAMAN JUDUL ………………………………………….…………………ii
LEMBAR PERSETUJUAN …………………………….…………….…………iii
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………….……..iv
LEMBAR PERSEMBAHAN…………………………………………………..…v
RIWAYAT PENULIS………………………………………………………....…vi
SURAT BEBAS PLAGIAT……………………………………………………..vii
ABSTRACT ……………………………………………………………………viii
ABSTRAK ……………………………………………………………………….ix
RINGKASAN PENELITIAN ………………………………………………..…..x
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….….xii
DAFTAR ISI ………………………………………………..…………….….....xiv
DAFTAR GAMBAR …………………………………………...........................xvi
DAFTAR TABEL…………………………………………………………........xvii
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………...……….....xviii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………...…....…….xix
BAB I PENDAHULUAN………………………………...…………………….…1
A. Latar Belakang ……………………………...…………………………….….1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………….…5
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………………….….5
D. Manfaat Penelitian ………………………………..……………………….….5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………….…...7
A. Cuka Apel ………………………………………………………………….…7
xv
B. Senyawa Metabolit Sekunder ………………………………………..………13
C. Jerawat (Acne Vulgaris)……………………………………………..…….....17
D. Propionibacterium acnes ……………………………...………………….....26
E. Antimikroba ……………………………………………………………..…..29
F. Pengukuran Aktivitas Antibakteri………………………………….………...34
BAB III KERANGKA KONSEP ………………………………………….….....43
A. Kerangka Konsep …………………………………………………….……...43
B. Variabel dan Definisi Operasional Variabel ………………………………...44
C. Hipotesis…...................................................................................................... 50
BAB IV METODE PENELITIAN ……………………………………………...51
A. Jenis Penelitian ……………………………………………………………...51
B. Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………………….…51
C. Populasi dan Sampel Penelitian ………………………………………….….52
D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data ……………………………………….…53
E. Alat, Prosedur, dan Prosedur Kerja …………………………………….…...53
F. Unit Analisis Data ……………………………………………………….….58
G. Pengolahan dan Analisis Data ……………………………………….……...59
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………60
A. Hasil ……………………………………………………………………...….60
B. Pembahasan …………………………………………………………………67
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………......….78
A. Simpulan …………………………………………………………………….78
B. Saran …………………………………………………………………….…..78
DAFTAR PUSTAKA …………………….………………….………………….79
LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………………………..…………………….84
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Cuka Apel (Apple Cider Vinegar) ………………………………..7
Gambar 2 Tipe Dari Lesi Akne ……………………………….…………….21
Gambar 3 Patogenesis Jerawat ……………………………………………...24
Gambar 4 Propionibacterium acnes …………………………………….….26
Gambar 5 Rumus Bangun Kloramfenikol ……………………………….…33
Gambar 6 Perhitungan Diameter Zona Hambat Antibakteri …………….…41
Gambar 7 Kerangka konsep ………………………………………………..43
Gambar 8 Hubungan antar variabel ………………………………………..47
Gambar 9 Skema kerja ………………………………………………….…55
Gambar 10 Grafik Perbandingan Diameter Zona Hambat Pada Berbagai
Konsentrasi Cuka Apel …………………………………………73
xvii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Kandungan Cuka Apel ……………………………………………9
Tabel 2 Klasifikasi Derajat Jerawat ………………………………….…...21
Tabel 3 Klasifikasi Hambatan Pertumbuhan Bakteri ………………….…42
Tabel 4 Definisi Operasional ………………………………………….….48
Tabel 5 Rancangan Posttet Only Control Group Design ………….……..51
Tabel 6 Tabel Pengenceran Konsentrasi Cuka Apel ………………….….56
Tabel 7 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Kontrol Positif Terhadap
Propionibacterium acnes……………….…………………….….62
Tabel 8 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Cuka Apel Pada
Konsentrasi 12,5% Terhadap Propionibacterium acnes…….…...63
Tabel 9 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Cuka Apel Pada
Konsentrasi 25% Terhadap Propionibacterium acnes…….……..63
Tabel 10 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Cuka Apel Pada
Konsentrasi 50% Terhadap Propionibacterium .acnes…………..64
Tabel 11 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Cuka Apel Pada
Konsentrasi 100% Terhadap Propionibacterium acnes………….65
Tabel 12 Rekapitulasi Rata-rata Diameter Zona Hambat Pertumbuhan
Propionibacterium acnes pada Berbagai Konsentrasi Cuka Apel.66
xviii
DAFTAR SINGKATAN
ATCC : America Tipe Culture Collection
cm : centimeter
DNA : Deoxyribose Nucleic Acid
KBM : Kadar Bunuh Minimal
KHM : Kadar Hambat Minimum
KS : Kolmogorov Smirnov
KW : Kruskal Wallis
LSD : Least Significant Differences
MHA : Mueller Hinton Agar
µg : microgram
mL : mililiter
mm : milimeter
µl : microliter
µg : microgram
µm : mikrometer
PABA : Asam Para Amino Benzoat
RNA : Ribonucleic Acid
UV : Ultraviolet
ºC : derajat celcius
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Pada Berbagai
Konsentrasi Cuka Apel Terhadap Pertumbuhan Propionibacterium
acnes ……………………………………………………………..84
Lampiran 2 Hasil Uji Normalitas Data dengan Kolmogorov Smirnov ………87
Lampiran 3 Hasil Uji Beda …………………………………………………...87
Lampiran 4 Tabel Disk Zone (Zone Size Interpretative Chart (National For
Clinical Laboratory Standar, 1984) Second Part óf Bench Level
Procedure Manual on Basic Bacterilogy…………………………89
Lampiran 5 Lembar Persetujuan Etik ………………………………………...91
Lampiran 6 Alat dan Bahan Penelitian ……………………………………….92
Lampiran 7 Dokumentasi Kegiatan Penelitian ……………………………….95
Lampiran 8 Zona Hambat Cuka Apel dengan Berbagai Konsentrasi terhadap
Propionibacterium acnes Pada Media MHA………………….99
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jerawat adalah penyakit peradangan kelenjar sebasea yang sering dijumpai
dan berkaitan dengan folikel rambut (disebut unit Pilosebasea) yang ditandai
dengan munculnya komedo, papula, pustul, dan nodul . Jerawat terjadi pada kulit
yang banyak mengandung kelenjar sebasea seperti muka, dada, dan punggung
(Aida dan Suswati, 2016). Terdapat dua jenis jerawat, meradang dan tidak
meradang. Kedua jenis jerawat tersebut tertimbun di folikel sehingga folikel
membengkak. Penyebab munculnya jerawat disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya sekresi kelenjar sebasea yang aktif, hiperkeratois pada infundibulum
rambut dan efek dari bakteri (Miratunnisa, 2015). Tampilan fisik jerawat
berdampak secara psikologis seperti mengubah perasaan sejahtera seseorang serta
mempengaruhi interaksi dengan lingkungan sosial (khususnya remaja) yang
mensyaratkan “norma penampilan” (Nugraha dkk., 2017).
Prevalensi jerawat di Indonesia juga cukup tinggi, yaitu berkisar antara 85-
100% orang, sedangkan menurut catatan kelompok studi dermatologi kosmetika
Indonesia, menunjukkan terdapat 60% penderita jerawat pada tahun 2006 dan
80% pada tahun 2007 (Aida dan Suswati, 2016). Berdasarkan penelitian profil
jerawat (acne vulgaris) di poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof Dr R. D.
Kandou Manado pada tahun 2009–2011, menunjukkan bahwa dari total 10.003
kunjungan pada tahun 2009–2011 terdapat 121 pasien (3,59%) merupakan
penderita baru jerawat , pasien jerawat di dominasi pasien perempuan sebanyak
75 pasien (61,9%), kelompok usia terbanyak pada usia 15 – 24 tahun yaitu 76
2
pasien (62,8%), status pendidikan terbanyak pada kelompok pelajar yaitu 73
pasien (60,3%), lokasi lesi terbanyak yaitu di bagian wajah, jenis jerawat
terbanyak yaitu papulopustuler (Mizwar, Kapantow, dan Suling, 2011).
Mekanisme terjadinya jerawat adalah bakteri Propionibacterium acnes
yang merusak stratum korneum dan stratum germinativum dengan cara
menyekresikan bahan kimia yang menghancurkan dinding pori (Arrizqiyani,
2018). Propionibacterium acnes merupakan organisme yang termasuk dalam
kelompok bakteri gram positif yang berbentuk batang dan tidak berspora (Aida
dan Suswati, 2016). Propionibacterium acnes merupakan flora normal dari
kelenjar pilosebaseus kulit manusia, bakteri ini menyebabkan jerawat dengan
menghasilkan lipase yang memecah asam lemak bebas dari lipid kulit. Asam
lemak ini dapat mengakibatkan inflamasi jaringan ketika berhubungan dengan
sistem imun dan mendukung terjadinya jerawat (Miratunnisa, 2015).
Pengobatan jerawat dilakukan dengan cara memperbaiki abnormalitas
folikel, menurunkan produksi sebum, menurunkan jumlah koloni
Propionibacterium acnes, dan menurunkan inflamasi pada kulit. Populasi bakteri
Propionibacterium acnes dapat diturunkan dengan memberikan antibiotik seperti
eritromisin, klindamisin, dan benzoil peroksida. Meskipun penggunaan antibiotik
cukup efektif mengatasi jerawat, namun penggunaan antibiotik sebagai pilihan
utama penyembuhan jerawat harus ditinjau kembali untuk membatasi
perkembangan resistensi bakteri terhadap antibiotik (Arrizqiyani, 2018).
Resistensi bakteri terhadap antibakteri merupakan salah satu masalah global baik
negara maju maupun negara berkembang. Berkembangnya resistensi terhadap
obat-obatan hanyalah salah satu contoh proses alamiah yang tidak pernah ada
3
akhirnya yang dilakukan oleh organisme untuk mengembangkan toleransi
terhadap keadaan lingkungan yang baru (Hafsari, 2016).
Antibiotik klindamisin paling efektif dalam pengobatan jerawat atau acne
vulgaris jika dibandingkan dengan eritromisin dan tetrasiklin , tetapi penggunaan
obat ini secara luas memunculkan strain Propionibacterium acnes yang resistan
terhadap klindamisin. Akibatnya penggunaan klindamisin sebagai anti acne
topikal jangka panjang mulai diragukan dan penelitian terhadap alternatif terapi
jerawat menjadi berkembang lebih luar (Nugroho, 2013). Lood (2011)
membuktikan 50% isolat Propionibacterium acnes berbagai strain dari pasien
berjerawat resisten terhadap antibiotik klindamisin dan eritromisin, dan 20% dari
isolat resisten terhadap tetrasiklin sehingga dibutuhkan beberapa tindakan untuk
mengurangi masalah ini. Oleh sebab itu untuk mencegah terjadinya resistensi
bakteri terhadap antibakteri perlu dikembangkan penelitian dalam penemuan obat
baru yang berasal dari alam (Hafsari, 2016).
Seiring berjalannya waktu pengetahuan tentang tumbuhan obat makin
berkembang, kini tanaman obat telah digali manfaatnya. Masyarakat kini lebih
cenderung untuk menggunakan obat dari alam. Hal ini karena banyaknya kendala
yang ditimbulkan oleh penggunaan obat sintesis, seperti harganya mahal dan
menimbulkan resistensi bakteri (Hafsari, 2016). Berdasarkan artikel yang dikutip
dalam Liputan6.com (2018), jerawat atau acne vulgaris dapat diatasi dengan cuka
apel. Ini dikarenakan cuka apel memiliki kemampuan antibakteri yang mampu
menjaga kulit tetap bersih dari bakteri penyebab jerawat. Dalam artikel yang
dikutip dalam Tribunnews.com (2018), cuka apel juga dipercaya mampu
mengatasi masalah kulit yang banyak dialami wanita salah satunya jerawat dan
4
membuktikan jika cuka apel dapat membantu mengurangi bekas jerawat dan
bekas luka.
Cuka apel (apple cider vinegar) adalah cairan fermentasi buah apel yang
difermentasi oleh khamir dan bakteri asam asetat. Konsentrasi alkohol yang paling
baik berkisar antara 10–13%, dimana bakteri asam asetat yang mendominasi
tumbuh dan bereproduksi (Ma’sum, 2006). Cuka apel memiliki berbagai manfaat
seperti penambah rasa, pengawet bahan makanan bahkan untuk pengobatan
seharihari dalam rumah tangga sudah dikenal sejak beberapa kurun waktu.
Manfaat kesehatan yang khasiatnya untuk mencegah dan mengatasi gangguan
kesehatan juga sudah dikenal dibeberapa Negara (Caturryanti, Luwihana, dan
Tamaroh, 2008).
Reza, Abdullah, dan Anissa (2005) dalam penelitiannya yang berjudul
Efek Antibakteri Cuka Sari Apel Terhadap Salmonella thypi menggunakan cuka
apel dengan konsentrasi 12,5%, 25% 50%, dan 100%. Dalam penelitian tersebut
didapatkan hasil yang menunjukkan adanya zona hambat pada konsentrasi cuka
apel 12,5%, dan semakin meningkat seiring peningkatan konsentrasinya.
Beberapa zat yang terkandung dalam cuka apel diantaranya asam asetat, vitamin
B1, B2, asam amino, flavonoid, tannin, saponin, pectin, potassium, dan
magnesium. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ricke SC (2003) menunjukkan
bahwa asam asetat memiliki aktivitas antibakteri melalui mekanisme
mempengaruhi lingkungan sekitar pertumbuhan bakteri tersebut menjadi asam.
Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai perbedaan zona hambat pertumbuhan Propionibacterium
acnes pada berbagai konsentrasi cuka apel (apple cider vinegar) secara in vitro.
5
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah perbedaan zona hambat pertumbuhan Propionibacterium
acnes pada berbagai konsentrasi cuka apel (apple cider vinegar) secara in vitro?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui perbedaan zona hambat pertumbuhan Propionibacterium
acnes pada berbagai konsentrasi cuka apel (apple cider vinegar) secara in vitro.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengukur diameter zona hambat pertumbuhan Propionibacterium
acnes pada cuka apel (apple cider vinegar) dengan konsentrasi 12,5%, 25%,
50%, dan 100% secara in vitro.
b. Untuk menganalisis perbedaan zona hambat pertumbuhan Propionibacterium
acnes pada berbagai konsentrasi cuka apel (apple cider vinegar) secara in
vitro.
c. Untuk menentukan konsentrasi cuka apel (apple cider vinegar) yang paling
efektif dalam menghambat pertumbuhan Propionibacterium acnes secara in
vitro.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoristis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam
pengembangan ilmu pengetahuan, sebagai salah satu bahan pustaka dan dijadikan
dasar penelitian lebih lanjut tentang pemanfaatan cuka apel.
6
2. Manfaat praktis
a. Bagi masyarakat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai formulasi cuka apel (apple cider vinegar) yang baik
digunakan sebagai pengobatan alternatif dalam infeksi Propionibacterium acnes
sebagai penyebab jerawat.
b. Bagi penulis
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan laboratorium mengenai uji
aktivitas antibakteri dan penerapan keilmuan yang telah peneliti pelajari dalam
masa perkuliahan.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Cuka Apel
1. Deskripsi
Cuka apel (apple cider vinegar) adalah cairan fermentasi buah apel yang
difermentasi oleh khamir dan bakteri asam asetat. Cuka apel diproses melalui
pengekstrakan sari buah apel sebagai substrat fermentasi alkohol. Dalam proses
fermentasi tahap awal (alkohol), mikroorganisme yang digunakan adalah khamir,
dimana khamir merombak gula menjadi alkohol dan karbondioksida dan lamanya
fermentasi tergantung pada jenis khamir, kadar gula awal dan kadar alkohol akhir
yang diinginkan. Kadar alkohol mempengaruhi jalannya proses selanjutnya
(fermentasi asam asetat). Konsentrasi alkohol yang paling baik berkisar antara 10–
13%, dimana bakteri asam asetat yang mendominasi tumbuh dan bereproduksi
(Atro dan Nurmiati, 2015).
Gambar 1. Cuka Apel (Apple Cider Vinegar)
Sumber : Dokumen Pribadi
8
Secara garis besar proses fermentasi dilihat sebagai berikut (Ma’sum, 2006) :
a. Tahap pertama
C6H12O6 enzim XC6H12O6 + YC12H22O11
Pada tahap pertama pati dirubah menjadi glukosa
b. Tahap kedua
C6H12O6 mikroba 2C2H5OH + 2CO2
Pada tahap kedua glukosa dirubah menjadi alkohol
c. Tahap ketiga
C2H5OH mikroba CH3COOH + H2O
Pada tahap ketiga alkohol dirubah menjadi asam asetat (6 – 10%) dan air.
Karakteristik cuka apel yang melewati proses fermentasi sempurna dan dapat
digunakan yaitu memiliki karakteristik sebagai berikut (Ma’sum, 2006):
a. Berwarna keruh kecoklatan, menunjukkan bahwa cuka apel benar-benar dari
apel murni yang matang dan kematangan apel yang digunakan berpengaruh
terhadap kandungan dan manfaat cuka apel.
b. Memiliki aroma khas apel dan berbau seperti tape, menunjukkan proses
fermentasi secara alami dan sempurna yakni kurang lebih 35 hari.
c. Adanya endapan, endapan ini sering disebut “mother of vinegar” dimana
endapan merupakan biang cuka apel yang mengandung kandungan-kandungan
dari cuka apel.
9
2. Kandungan cuka apel
Kandungan cuka apel dapat dilihat dari tabel berikut :
Tabel 1
Kandungan Cuka Apel
Komposisi Jumlah
Total asam (%) 4,53
Alkohol (%) 0,13
pH 3,21
TPT (Brix) 3,67
Aktivitas Antioksidan (%) 58,93
Fenol (mg/L) 132,55
Pektin (%) 0,75
Sumber : ( Maulida, P. Aktifitas Hepatoprotektor Cuka Apel ANNA Terhadap Kadar SGOT dan
SGPT Serum Tikus Wistar yang Diinduksi Parasetamol Dosis Toksik. 2015)
a. Fenol berfungsi sebagai antioksidan dengan menaikkan kadar GSH hepar,
menurunkan lipid peroksidasi sehingga encegah kerusakan sel hepar.
b. Asam asetat berperan dalam aktivitas antioksidan berupa perbaikan kadar
enzim hepar.
c. Pektin, beta karoten, potassium, enzim, dan asama amino yang terbentuk
selama proses fermentasi.
d. Kadungan potassium yang tinggi mendorong pembentukan sel, jaringan dan
organ tubuh, sementara enzim membantu meningkatkan reaksi kimia dalam
tubuh.
e. Kalsium yang menjaga tulang, membantu mengalirkan gerak syaraf, dan
mengatur kontraksi otot sedangkan zat besi yang penting bagi kesehatan
darah.
10
f. Magnesium adalah komponen lain yang banyak bermanfaat bagi tubuh
terutama jantung.
g. Cuka apel juga mengandung vitamin C yang juga berfungsi sebagai
antioksidan. Kandungan vitamin C pada cuka apel sebesar 13,71 mg dalam
300 mL cuka apel.
3. Asam asetat dalam cuka apel
Asam asetat memiliki beberapa nama antara lain seperti asam etanoat, atau
asam cuka. Asam asetat merupakan senyawa organik yang mengandung gugus
asam karboksilat. Asam asetat secara alami masuk ke dalam metabolisme dalam
tubuh, diserap dari saluran pencernaan dan hampir sepenuhnya teroksidasi oleh
jaringan melalui jalur metabolisme yang melibatkan pembentukan keton tubuh
(Karim, 2011).
Asam asetat memiliki sifat antara lain (Karim, 2011):
a. Berat molekul 60,05
b. Berupa cairan jernih (tidak berwarna)
c. Berbau khas
d. Mudah larut dalam air, alkohol, dan eter
e. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah (korosif)
f. Asam asetat bebas-air membentuk kristal mirip es pada 16,7°C, sedikit di
bawah suhu ruang
g. Mempunyai titik didih 118,1oC
h. Mempunyai titik beku 16,7 oC
i. Spesific grafity 1,049
11
4. Khasiat
Asam asetat atau asam cuka yang dihasilkan dalam fermentasi menggunakan
bakteri asam asetat dari bahan dasar apel disebut juga cider atau lebih dikenal
dengan nama cuka apel. Cuka apel memiliki berbagai manfaat seperti penambah
rasa, pengawet bahan makanan bahkan untuk pengobatan sehari-hari dalam rumah
tangga sudah dikenal sejak beberapa kurun waktu. Manfaat kesehatan yang
khasiatnya untuk mencegah dan mengatasi gangguan kesehatan juga sudah
dikenal di beberapa Negara (Caturryanti, Luwihana, dan Tamaroh, 2008).
5. Pembuatan cuka apel produksi industri
Ada beberapa metode yang biasa digunakan di industri yaitu (Karim, 2011):
a. Metode lambat (slow methods)
1) Bahan baku yang digunakan adalah buah-buahan
2) Langkah pertama, masukkan jus buah, yeast, dan bakteri cuka ke dalam
tangki. Setelah beberapa hari, sebagian jus buah tersebut akan terfermentasi
menjadi etanol (11-13% alkohol).
3) Selanjutnya, pada permukaan tangki terjadi fermentasi etanol menjadi asam
asetat. Bakteri cuka di permukaan larutan akan membentuk lapisan agar- agar
tipis. Bakteri inilah yang akan mengubah etanol menjadi asam asetat (disebut
juga proses asetifikasi). Proses asetifikasi ini memerlukan temperatur 21- 29oC
4) Lapisan tipis agar-agar yang jatuh dari bakteri cuka akan memperlambat
proses asetifikasi. Hal ini dapat dicegah dengan memasang lapisan yang dapat
mengapungkan lapisan tipis agar-agar dari bakteri cuka.
b. Metode cepat (quick methods) atau german process
1) Bahan baku yang biasa digunakan berupa etanol cair.
12
2) Pertama-tama, campuran etanol cair (10,5%), vinegar (1%), dan nutrisi
dicampurkan pada bagian atas tangki dengan alat sparger.
3) Campuran ini akan mengalir turun melalui bahan isian dengan sangat lambat.
4) Selanjutnya, udara akan dialirkan secara countercurrent melalui bagian bawah
tangki
5) Panas yang timbul akibat reaksi oksidasi akan diambil oleh pendingin yang
dipasang pada aliran daur ulang cairan campuran (yang mengandung
vinegar,taenol, dan air) dari bagian bawah tangki. Temperatur operasi
dipertahankan pada rentang suhu 30-35 oC
6) Produk yang terkumpul di bagian bawah tangki mengandung asam asetat
optimum sebesar 10- 10,5%. Sebagian produk didaur ulang dan sebagian yang
lain dikeluarkan dari tangki
7) Bakteri asetat akan berhenti memproduksi asam asetat jika kadar asam asetat
telah mencapai 12-14%
c. Metode perendaman (submerged method)
1) Umpan yang mengandung 8-12% etanol diinokulasi dengan Acetobacter
acetigenum dengan temperatur yang dipertahankan pada rentang suhu 24- 29
oC.
2) Setelah itu, umpan dimasukkan melewati bagian atas tangki
3) Udara didistribusikan dalam cairan yang difermentasi sehingga membentuk
gelembung-gelembung gas.
4) Bakteri akan tumbuh di dalam suspensi antara gelembung udara dan cairan
yang difermentasi.
5) Temperatur proses dipertahankan dengan menggunakan koil pendingin
stainless steel yang terpasang di dalam tangki
13
6) Defoamer yang terpasang di bagian atas tangki membersihkan busa yang
terbentuk dengan sistem mekanik
Ketiga metode di atas memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing. Namun, perlu diperhatikan tentang lama waktu ferementasi yang
dilakukan. Semakin lama waktu fermentasi memungkinkan akumulasi dari lendir
bukan racun (nontoxic slime) yang komposisinya yeast dan bakteri asam asetat,
dikenal sebagai “ibu cuka” (“mother of vinegar”) (Karim, 2011).
Ibu cuka adalah selulosa (karbohidrat alami yang merupakan serat dalam
makanan seperti seledri dan selada) yang terproduksi oleh bakteri cuka tidak
berbahaya. Kebanyakan industri saat ini telah menyaring dan mempasteruisasi
produk mereka sebelum pembotolan untuk mencegah zat ini terbawa dalam
produk mereka. Sampai saat ini belum ada bukti ilmiah jelas apa efek yang
diakibatkan zat ini bagi tubuh (Karim, 2011).
B. Senyawa Metabolit Sekunder
1. Alkaloid
Alkaloid merupakan kelompok terbesar dari metabolit sekunder dan sebagian
besar bersumber pada tumbuhan, namun sebagian juga dapat ditemui pada bakteri.
Senyawa alkaloid terdapat gugus basa yang mengandung nitrogen akan bereaksi
dengan senyawa asam amino yang menyusun dinding sel bakteri dan DNA
bakteri. Reaksi ini mengakibatkan terjadinya perubahan struktur dan susunan
asam amino. Sehingga akan menimbulkan perubahan keseimbangan genetik pada
rantai DNA sehingga akan mengalami kerusakan dan mendorong terjadinya lisis
sel bakteri yang akan menyebabkan kematian pada sel bakteri. Alkaloid mampu
menembus dinding sel atau DNA bakteri kemudian merusaknya (Qomar,2018).
14
Uji senyawa golongan alkaloid dapat dilakukan dengan menggunakan
pereaksi warna Dragendorff. Hasil uji alkaloid yang telah dilakukan menghasilkan
larutan dengan warna oranye yang apabila dibiarkan beberapa saat akan
menghasilkan endapan berwarna oranye kecoklatan pada dasar tabung. Hal ini
menunjukkan hasil positif untuk golongan alkaloid. Adanya senyawa golongan
alkaloid ditunjukkan dengan adanya endapan berwarna oranye dengan pereaksi
Dragendorff (Riana, Zusfahair, dan Kartika, 2016).
2. Flavonoid
Flavonoid merupakan golongan fenol terbesar yang senyawa yang terdiri
dari C6-C3-C6 dan sering ditemukan diberbagai macam tumbuhan dalam bentuk
glikosida atau gugusan gula bersenyawa pada satu atau lebih grup
hidroksil fenolik. Flavonoid merupakan golongan metabolit sekunder yang
disintesis dari asam piruvat melalui metabolisme asam amino. Flavonoid adalah
senyawa fenol, sehingga warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak.
Terdapat sekitar 10 jenis flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin,
flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon, dan isoflavon
(Ergina, Nuryanti, dan Pursitasari, 2014).
Uji flavonoid dilakukan dengan menggunakan serbuk Mg dan HCl pekat.
Hasil uji flavonoid dengan menggunakan uji warna menghasilkan larutan warna
hijau, yang menandakan hasil negatif (Riana, Zusfahair, dan Kartika, 2016).
Mekanisme kerja flavonoid sebagai antimikroba diantaranya adalah dengan
mengikat protein ekstraseluler dan protein terlarut sehingga kehilangan fungsi
normalnya, menonaktifkan enzim, serta merusak dinding sel dan membran sel
15
bakteri. Beberapa flavonoid bersifat bakterisidal, bakteriostatik, fungisida, serta
menonaktifkan virus lipofilik (Qomar,2018).
3. Saponin
Saponin merupakan senyawa metabolik sekunder yang berfungsi sebagai
antiseptik sehingga memiliki kemampuan antibakteri. Hasil uji saponin
menghasilkan larutan dengan terbentuknya busa yang stabil setinggi ±1,5 cm,
yang menandakan hasil positif. Mekanisme kerja saponin sebagai antibakteri yaitu
dapat menyebabkan kebocoran protein dan enzim dari dalam sel. Saponin dapat
menjadi antibakteri karena zat aktif permukaannya mirip detergen, akibatnya
saponin akan menurunkan tegangan permukaan dinding sel bakteri dan merusak
permebialitas membrane. Rusaknya membran sel ini sangat mengganggu
kelangsungan hidup bakteri. Saponin berdifusi melalui membran luar dan dinding
sel yang rentan kemudian mengikat membran sitoplasma sehingga mengganggu
dan mengurangi kestabilan membran sel. Hal ini menyebabkan sitoplasma bocor
keluar dari sel yang mengakibatkan kematian sel. Agen antimikroba yang
mengganggu membran sitoplasma bersifat bakterisida (Riana, Zusfahair, dan
Kartika, 2016).
4. Tanin
Tanin merupakan senyawa umum yang terdapat dalam tumbuhan berpembuluh,
memiliki gugus fenol, memilki rasa sepat dan mampu menyamak kulit karena
kemampuannya menyambung silang protein. Tanin secara kimia dikelompokkan
menjadi dua golongan yaitu taninterkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin
terkondensasi atau flavolan secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan
cara kondensasi katekin tunggal yang membentuk senyawa dimer dan kemudian
oligomer yang lebih tinggi. Tanin terhidrolisis mengandung ikatan ester yang
16
dapat terhidrolisis jika dididihkan dalam asam klorida encer (Ergina, Nuryanti,
dan Pursitasari, 2014).
Tanin merupakan senyawa organik komplek yang berperan sebagai
antimikrobial. Adanya tanin sebagai antibakteri akan mengganggu sintesa
peptidoglikan sehingga pembentukan dinding sel menjadi kurang sempurna.
Keadaan yang menyebabkan sel bakteri menjadi lisis karena tekanan osmotik
maupun fisik sehingga sel bakteri menjadi mati. Selain itu senyawa tanin bekerja
dengan cara mengikat dinding protein sehingga pembentukan dinding sel bakteri
terhambat (Qomar,2018).
5. Steroid dan terpenoid
Steroid banyak terdapat di alam sebagai fraksi lipid dari tanaman atau
hewan. Zat ini penting sebagai pengatur aktivitas biologis dalam organisme hidup.
Steroid dibentuk oleh bahan alam yang disebut sterol. Sterol merupakan senyawa
yang terdapat pada lapisan malam (lilin) daun dan buah yang berfungsi sebagai
pelindung untuk menolak serangga dan serangan mikroba. Terpen adalah suatu
senyawa yang tersusun atas isoprene CH2=C(CH3)- CH=CH2 dan kerangka
karbonnya dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C5 ini. Terpenoid
terdiri atas beberapa macam senyawa seperti monoterpen dan seskuiterpen yang
mudah menguap, diterpen yang sukar menguap, dan triterpen dan sterol yang
tidak menguap. Secara umum senyawa ini larut dalam lemak dan terdapat dalam
sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya senyawa ini diekstrak Terpen adalah suatu
senyawa yang tersusun atas isoprene CH2=C(CH3)- CH=CH2 dan kerangka
karbonnya dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C5 ini. Terpenoid
terdiri atas beberapa macam senyawa seperti monoterpen dan seskuiterpen yang
17
mudah menguap, diterpen yang sukar menguap, dan triterpen dan sterol yang
tidak menguap. Secara umum senyawa ini larut dalam lemak dan terdapat dalam
sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya senyawa ini diekstraksi dengan menggunakan
petroleum eter, eter, atau kloroform. Steroid merupakan senyawa triterpen yang
terdapat dalam bentuk glikosida (Ergina, Nuryanti, dan Pursitasari, 2014).
C. Jerawat (Acne Vulgaris)
1. Definisi
Acne vulgaris atau jerawat adalah suatu kondisi dimana kulit mengalami
proses peradangan kronik pada kelenjar-kelenjar sebasea. Kelenjar sebasea
memiliki sel-sel yang berisi lemak yang kemudian menghasilkan sebum yang
merupakan substansi berminyak yang terdiri dari trigliserida, kolesterol, dan asam
lemak bebas yang berpotensi memicu inflamasi. Sebum berfungsi memberi
minyak pada rambut dan lapisan kulit bagian luar (Reza, Abdullah, dan Annisa,
2005).
Jerawat terjadi apabila saluran ke permukaan kulit untuk mengeluarkan sebum
yang diproduksi oleh kelenjar minyak rambut pada lapisan sermis tersumbat.
Dalam keadaan normal, sel-sel folikel rambut dapat keluar. Akan tetapi, jika
terjadi jerawat, sel-sel folikel rambut bersama dengan sebum akan menggumpal
dan menyumbat saluran folikel rambut pada lapisan epidermis kulit sehingga
membentukkomedo yang menonjol di permukaan kulit. Komeddo ini berkembang
menjadi inflamasi apabila terinfeksi oleh bakteri, terutama bakteri
Propionibacterium acnes. Bakteri ini akan menggunakan gliserol dalam sebum
sebagai sumber nutrisi (Radji,2010). Lesi dan jerawat biasanya terdapat pada
18
daerah yang memiliki kelenjar sebasea, yaitu pada daerah wajah, leher, punggung,
dan bahu (Reza, Abdullah, dan Annisa, 2005).
2. Epidemiologi
Jerawat paling banyak terjadi di wajah, tetapi dapat terjadi pada punggung,
dada, dan bahu. Di badan, jerawat cenderung terkonsentrasi dekat garis tengah
tubuh. Penyakit ini ditandai oleh lesi yang bervariasi, meskipun satu jenis lesi
biasanya lebih mendominasi. Lesi noninflamasi, yaitu komedo, dapat berupa
komedo terbuka (blackhead) yang terjadi akibat oksidasi melanin, atau komedo
tertutup (whitehead). Lesi inflamasi berupa papul, pustul, hingga nodus dan kista.
Scar atau jaringan parut dapat menjadi komplikasi jerawat noninflamasi maupun
jerawat inflamasi (Movita, 2013).
Acne vulgaris atau jerawat adalah penyakit kulit obstruktif dan infl amatif
kronik pada unit pilosebasea yang sering terjadi pada masa remaja. Jerawat sering
menjadi tanda pertama pubertas dan dapat terjadi satu tahun sebelum menarkhe
atau haid pertama. Onset jerawat pada perempuan lebih awal daripada laki-laki
karena masa pubertas perempuan umumnya lebih dulu daripada laki-laki.
Prevalensi jerawat pada masa remaja cukup tinggi, yaitu berkisar antara 47-90%
selama masa remaja. Perempuan ras Afrika Amerika dan Hispanik memiliki
prevalensi jerawat tinggi, yaitu 37% dan 32%, sedangkan perempuan ras Asia
30%, Kaukasia 24%, dan India 23%. Pada ras Asia, lesi inflamasi lebih sering
dibandingkan lesi komedonal, yaitu 20% lesi inflamasi dan 10% lesi komedonal.
Tetapi pada ras Kaukasia, jerawat komedonal lebih sering dibandingkan jerawat
inflamasi, yaitu 14% jerawat komedonal, 10% jerawat inflamasi (Movita, 2013).
19
3. Klasifikasi
Klasifikasi acne vulgaris atau jerawat dibagi berdasarkan bentuk efloresensi,
penyebab, dan berat ringannya jerawat, yaitu :
a. Berdasarkan bentuk efloresensi terbanyak (Siregar,2004) :
1) Akne sistika : Efloresensi terutama berbentuk kista
2) Akne papulose : Efloresensi terutama berbentuk papula
3) Akne pustulosa : Efloresensi terutama berbentuk pustula
4) Akne konglobata : Efloresensi terutama berupa nodus yang mengalami infeksi
5) Akne sikatrisial : Banyak sikatriks atrofis
b. Berdasarkan penyebab (Siregar,2004):
1) Akne tropika
2) Akne mekanik
3) Akne neonatorum
4) Akne kosmetika
5) Akne klor
6) Akne jabatan
7) Akne minyak
8) Akne senilis
9) Akne radiasi
c. Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit terbagi menjadi 3 skala, yaitu
(Hidayah, 2016):
1) Ringan, meliputi komedonal :
a) Whitehead (komedo tertutup) merupakan kelainan berupa bintil kecil dengan
lubang kecil atau tanpa lubang karena sebum yang biasanya disertai bakteri
menumpuk di folikel kulit dan tidak bisa keluar.
20
b) Blackhead (komedo terbuka) merupakan perkembangan lebih lanjut dari
komedo tertutup, terjadi ketika folikel terbuka di permukaan kulit sehingga
sebum, yang mengandung pigmen kulit melanin, teroksidasi dan berubah
menjadi coklat/hitam. Blackhead dapat berlangsung lama karena proses
pengeringan komedo di permukaan kulit berlangsung lambat.
2) Sedang, meliputi:
a) Papule terjadi ketika dinding folikel rambut mengalami kerusakan atau pecah
sehingga sel darah putih keluar dan terjadi inflamasi di lapisan dalam kulit.
Papel berbentuk benjolan-benjolan lunak kemerahaan di kulit tanpa memiliki
kepala.
b) Pustule terjadi beberapa hari kemudian ketika sel darah putih keluar ke
permukaan kulit. Pustel berbentuk benjolan merah dengan titik putih atau
kuning di tengahnya yang mengandung sel darah putih.
c) Nodule terjadi bila folikel pecah di dasarnya maka terjadi benjolan radang
yang besaryang sakit bila disentuh. Nodus biasanya terjadi akibat rangsang
peradangan oleh fragmen rambut yang berlangsung lama.
3) Berat, meliputi :
a) Abses . Kadang beberapa papel atau pustel mengalami pengelompokan
dengan membentuk abses yang berwarna kemerahan, nyeri dan cenderung
mengeluarkanbahan berupa campuran darah, nanah dan sebum. Pada proses
penyembuhan kelainan ini meninggalkan jaring parut yang luas .
b) Jenis jerawat paling berat (acne konglobata). Sering terdapat di lekukan
samping hidung, hidung, rahang dan leher. Kelainan berupa garis linear
dengan ukuran panjang bisa mencapai 10 cm dan mengandung beberapa
saluran sinus atau fistel yang menghubungkan sinus dengan permukaan kulit.
21
Penyembuhan jerawat ini memakan waktu berbulan-bulan, bahkan tahun dan
dapat kambuh lagi bila mengalami proses inflamasi. Sinus harus ditangani
dengan pembedahan.
Tabel 2
Klasifikasi Derajat Jerawat Berdasarkan Jumlah dan Tipe Lesi
Derajat Komedo Papul/pustul Nodul,kista,sinus Inflamasi Jaringan parut
Ringan <10 <10 - - -
Sedang <20 >10-50 - + ±
Berat >20-50 >50-100 ≤5 ++ ++
Sangat
berat >50 >100 >5 +++ +++
Sumber : ( Movita, T. Acne Vulgaris. 2013)
Gambar 2. Tipe Dari Lesi Akne
Sumber: (Damayanti, 2014)
4. Penyebab
Proses terjadinya jerawat diawali dengan tertutupnya folikel sebaseus oleh sel
kulit mati sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi sebum. Sebum yang
22
terakumulasi ini menghasilkan metabolit yang memicu terjadinya inflamasi
(Miratunnisa, 2015).
Ada tiga penyebab terjadinya jerawat , diantaranya (Miratunnisa, 2015) :
a. Sekresi kelenjar sebaseus yang hiperaktif
Pada kulit bagian dermis terdapat kelenjar sebaseus yang memproduksi lipida.
Lipida yang dihasilkan disalurkan ke permukaan kulit lewat pembuluh sebaseus
dan bermuara pada pori kulit. Kelenjar sebaseus yang hiperaktif menyebabkan
produksi lipida berlebihan sehingga kadar lipida pada kulit tinggi, sehingga
mengakibatkan kulit berminyak. Jika produksi lipida tidak diimbangi oleh
pengeluaran yang sepadan makaakan terjadi penimbunan dan menyebabkan pori
tersumbat. Sebum yang mampat akan memicu terjadinya inflamasi dan terbentuk
jerawat.
Aktivitas kelenjar sebaseus dipicu oleh hormone testeron, sehingga pada
usia pubersitas (10-16 tahun) akan banyak timbul jerawat pada muka, dada,
punggung, sedangkan pada wanita produksi lipida dari kelenjar sebaseus dipicu
oleh hormon luteinizing yang meningkat saat terjadi menstruasi.
b. Hiperkeratosis pada infundibulum rambut
Hiperkeratosis mudah terjadi pada infundibulum folikel rambut yang
menyebabkan sel tanduk menjadi tebal dan menyumbat folikel rambut, serta
membentuk komedo.Jika folikel rambut pori tersumbat atau menyempit maka
sebum tidak bias keluar secara normal, akibatnya akan merangsang pertumbuhan
bakteri jerawat yang menyebabkan peradangan. Selain itu adanya pengaruh sinar
UV dapat menyebabkan jerawat bertambah parah, karena adanya sinar matahari
merangsang terjadinya keratinisasi. Jerawat juga bias disebabkan oleh muka yang
kotor yang mengakibatkan pori-pori tersumbat.
23
c. Efek dari bakteri
Kelebihan sekresi dan hyperkeratosis pada infundibulum rambut yang
menyebabkan terakumulasinya sebum. Sebum ini yang mengandung banyak
timbulnya bakteri jerawat. Enzim lipase yang dihasilkan bakteri menguraikan
trigliserida pada sebum menjadi asam lemak bebas, yang menyebabkan inflamasi
dan akhirnya terbentuk jerawat.
Penyebab lain timbulnya acne vulgaris secara umum yang bersifat
multifactorial yaitu (Dumasari, 2009):
1) Genetika
Acne vulgaris sering dinyatakan sebagai penyakit yang diwariskan tetapi
belum ada bukti terperinci dan meyakinkan.
2) Diet/ makanan
Adapun jenis makanan yang sering diwaspadai seperti coklat, kacang-
kacangan, dan karbohidrat.
3) Obat-obatan
Kortikosteroid dapat menimbulkan steroid acne.
4) Endokrin
Peningkatan kadar hormone androgen, mempunyai pengaruh penting pada
aktifitas kelenjar sebaseous dan selanjutnya mempengaruhi terjadinya acne
vulgaris.
5) Kosmetik
Kosmetik yang bersifat komedogenik ringan dapat mencetuskan timbulnya
acne vulgaris.
24
5. Patogenesis
Patogenesis terjadinya jerawat data dilihat dari gambar berikut:
Gambar 3. Patogenesis Jerawat
Sumber: (Damayanti, 2014)
Faktor-faktor yang memegang peranan pada patogenesis acne vulgaris yaitu
(Damayanti, 2014):
a. Peningkatan produksi sebum
Pada penderita acne vulgaris terjadinya peningkatan produksi sebum oleh
kelenjar sabasea diakibatkan oleh peningkatan hormone androgen yang biasanya
terjadi saat masa pubertas, umumnya dimulai pada usia 8-9 tahun.
b. Keratinisasi folikel abnormal
Ketika sebum disekresikan, terjadi juga peningkatan jumlah sel epitel yang
melapisi folikel dan keratinisasi dalam folikel. Sehingga terjadi penumpukan dari
sebum, sel-sel epitel, dan keratin hal ini menyebabkan pembengkakan pada
folikel, dan gambaran klinis yang terlihat berupa lesi yang paling dini terjadi yaitu
mikrokomedo.
c. Proliferasi Propionibacterium acnes
Dengan adanya peningkatan produksi sebum, maka akan menfasilitasi
Propionibacterium acnes untuk berkoloni dan mulai menginfeksi. Salah satu
25
kandungan dari sebum yaitu trigliseridadan diubah oleh enzim lipaseyang
dihasilkan oleh Propionibacerium acnes menjadi digliserida, monogliserida, dan
asam mak bebas yang akan digunakan untuk membantu metabolism
Propionibacerium acnes . Di dalam folikel, Propionibacerium acnes
berproliferasi dan menyebabkan infiltrasi dari sel-sel imun seperti limfosit CD4
dan neutrophil.
d. Reaksi inflamasi
Propionibacerium acnes dapat merusak dinding folikel dan menyebar
ke lapisan dermis disekitarnya sehingga menimbulkan reaksi inflamasi. Reaksi
inflamasi yang terjadi pada acne vulgaris menyebabkan timbulnya respon
kekebalan tubuh, Propionibacerium acnes yang melepaskan faktor kemotraktan
kemudian menarik sel-sel kekebalan tubuh seperti neutrophil, monosi, dan
limfosit. Proses inflamasi diawali dengan infiltrasi limfosit CD4 pada unit
pilosebasea. Propionibacerium acnes yang berada pada folikel akan difagosit
oleh neutrophil. Produksi sitokin dalam reaksi inflamasi ini melibatkan toll like
receptor, terutama toll like receptor 2. Propionibacerium acnes juga menstimulasi
produksi sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-8, IL-12, dan TNF-α (Damayanti,
2014).
6. Pengobatan
Ada tiga hal yang penting pada pengobatan jerawat (Harahap dan Marwali,2000) :
a. Mencegah timbulnya komedo, biasanya dipakai bahan-bahan pengelupasan
kulit.
b. Mencegah pecahnya mikrokomedo atau meringankan reaksi peradangan yaitu
menggunakan antibiotika.
26
c. Mempercepat resolusi lesi yang meradang.
Pengobatan jerawat dilakukan dengan cara memperbaiki abnormalitas folikel,
menurunkan produksi sebum, menurunkan jumlah koloni Propionibacterium
acnes atau hasil metabolismenya dan menurunkan inflamasi pada kulit. Populasi
bakteri Propionibacterium acnes dapat diturunkan dengan memberikan suatu zat
antibakteri seperti eritromisin, klindamisin dan tetrasiklin. Meningkatnya
penggunaan antibiotik, memacu meningkatnya resistensi bakteri terhadap
antibiotik tersebut (Hafsari, 2016).
Salah satu antibiotik yang biasa digunakan untuk pengobat jerawat adalah
klindamisin. Klindamisin dapat digunakan untuk obat jerawat karena dapat
menghambat dan membunuh bakteri Propionibacterium acne yang dapat
menyebabkan jerawat. Topikal klindamisin juga sama efektifnya dengan benzoil
peroksida (Rusli, Arinia, dan Asa, 2016).
D. Propionibacterium acnes
1. Klasifikasi
Propionibacterium acnes merupakan flora normal kulit yang ikut berperan
dalam pembentukan jerawat. Berikut gambar bakteri Propionibacterium acnes:
Gambar 4. Propionibacterium acnes
Sumber: (Damayanti, 2014)
27
Berikut ini klasifikasi dari bakteri Propionibacterium acnes sebagai berikut
(Miratunnisa, 2015) :
Kingdom : Bakteria
Pylum : Actinobacteria
Class : Actinobacteria
Order : Actinomycetales
Family : Propionibacteriaceae
Genus : Propionibacterium
Spesies : Propionibacterium acnes
2. Morfologi
Propionibacterium acnes termasuk bakteri Gram positif, pleomorfik, dan
bersifat anaerob aerotoleran. Propionibacterium acnes memiliki lebar 0,5 – 0,8
µm dan panjang 3-4 µm bakteri ini berbentuk batang dengan ujung meruncing
atau kokoid (bulat) (Damayanti, 2014). Pertumbuhan optimum pada suhu 30-
37ºC. Koloni bakteri pada media agar berwarna kuning muda sampai merah muda
dan memiliki bentuk yang khas (Miratunnisa, 2015).
Propionibacterium acnes merupakan flora normal kulit yang ikut berperan
dalam pembentukan jerawat. Propionibacterium acnes mengeluarkan enzim
hidrolitik yang menyebabkan kerusakan folikel polisebasea dan menghasilkan
lipase, hialuronidase, protease, lesitinase, dan neurimidase yang memegang
peranan penting pada proses peradangan. Propionibacterium acnes mengubah
asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh yang menyebabkan sebum
menjadi padat. Jika produksi sebum bertambah, Propionibacterium acnes juga
akan bertambah banyak yang keluar dari kelenjar sebasea, karena
Propionibacterium acnes merupakan pemakan lemak (Hafsari, 2016).
28
Tidak hanya itu Propionibacterium acnes juga dapat ditemukan pada jaringan
manusia, paru-paru, dan jaringan prostat. Kulit merupakan habitat utama
Propionibacterium acnes, namun dapat juga diisolasi dari rongga mulut, saluran
pernafasan bagian atas, saluran telinga eksternal, konjungtiva, usus besar, uretra,
dan vagina (Damayanti, 2014).
3. Patogenitas
Pada acne vulgaris, ketika terjadi akumulasi sebum pada unit pilosebasea,
maka akan memfasilitasi Propionibacterium acnes untuk berproliferasi, karena
trigliserida yang terdapat pada sebum akan diubah dengan bantuan enzim lipase
yang dihasilkan oleh Propionibatrerium acnes menjadi digliserida, monogliserida,
dan asam lemak bebas, kemudian ketiga zat tersebut diubah menjadi gliserol yang
akan digunakan untuk metabolisme Propionibacterium acnes. Unit pilosebasea
yang terinfeksi oleh Propionibacterium acnes akan menyebabkan timbulnya
respon inflamasi, sehingga gambaran klinis yang timbul berupa papula, pustula,
nodul, dan kista (Damayanti, 2014).
Selain acne vulgaris, Propionibacterium acnes juga terlibat dalam beberapa
penyakit seperti osteomielitis, peritonitis, infeksi gigi, reumatoid artritis, abses
otak, empiema subdural, keratitis, ulkus kornea, endoftalmitis, sarkoidosis, dan
radang prostat. Sedangkan penyakit yang melibatkan infeksi Propionibacterium
acnes dan terkait alat-alat medis (kateter, prosthetic joints, implants, dan lain-lain)
yaitu konjungtivitis akibat lensa kontak, shunt nephritis, shunt-associated central
nervous system infections, dan anaerobic arthritis (Damayanti, 2014).
29
E. Antimikroba
1. Definisi
Antimikroba merupakan obat-obat atau bahan yang digunakan untuk
memberantas infeksi mikroba pada manusia termasuk diantaranya antibiotika,
antiseptik, disenfektasia, dan preservatif. Obat-obatan yang digunakan untuk
memberantas infeksi mikroorganisme yang penyebab infeksi pada manusia,
hewan maupun tumbuhan harus bersifat toksisitas selektif artinya obat atau zat
tersebut harus bersifat toksik terhadap mikroorganisme penyebab penyakit tetapi
tidak toksik terhadap jasad inang atau hospes (Hidayah, 2016).
2. Sifat dan prinsip
Antimikroba memiliki sifat sebagai berikut (Hidayah, 2016) :
a. Bakteriostatik, yaitu menghambat atau menghentikan pertumbuhan
mikroorganisme seperti menghentikan pertumbuhan fungi, sitostatika terhadap
kanker. Dalam keadaan seperti ini jumlah mikroorganisme menjadi stasioner,
contoh sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol, dan eritromisin.
b. Bakteriosid, bersifat membunuh mikroorganisme. Dalam hal ini jumlah
mikroorganisme akan berkurang bahkan habis, tidak dapat melakukan
multifikasi atau berkembang biak, contohnya penisilin, sefalosporin, dan
neomisin.
Prinsip kerja antimikroba yakni sebagai berikut (Hidayah, 2016) :
Suatu antimikroba memperlihatkan toksisitas yang selektif, dimana obatnya
lebih toksik terhadap mikroorganismenya dibandingkan pada sel hospes. Hal ini
dapat terjadi karena pengaruh obat yang selektif terhadap mikroorganisme atau
karena obat pada reaksi-reaksi biokimia yang penting dalam sel parasit lebih
30
unggul dari pada pengaruhnya terhadap hospes. Disamping itu struktur
selmikroorganisme berbeda dengan struktur sel manusia (hospes, inang) .
3. Mekanisme kerja antimikroba
Antimikroba memiliki beberapa mekanisme kerja, yaitu sebagai berikut
(Hidayah, 2016) :
a. Mengganggu metabolisme sel mikroba
Pada umumnya mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan
hidupnya yang disintesis dari asam amino para benzoat (PABA) . Antimikroba
bersifat sebagai antimetabolit dimana antimikroba bekerja memblok terhadap
metabolit spesifik mikroba, seperti sulfonamida. Sulfonamida menghambat
pertumbuhan sel dengan menghambat sintesis asam folat oleh bakteri.
Sulfanamida secara struktur mirip dengan asam folat, asam amino para benzoat
(PABA), dan bekerja secara kompetitif untuk enzim-enzim yang langsung
mempersatukan PABA dan sebagian petidin menjadi asam dihidrofolat.
b. Penghambatan terhadap sintesis dinding sel
Dinding sel bakteri terdiri dari peptidoglikan yaitu suatu kompleks polimer
mukopeptida (mukopeptida). Beberapa antibiotik seperti sikloserin menghambat
reaksi paling dini dari proses sintesis dinding sel diikuti oleh basitrasin,
vankomisin dan diakhiri oleh penisilin dan sefalosposrin yang menghambat reaksi
terakhir (transpeptidasi).
c. Penghambatan tehadap fungsi membran sel.
Antimikroba bekerja secara langsung pada membran sel yang mempengaruhi
permeabilitas dan menyebabkan keluarnya senyawa intraseluler mikroorganisme.
Membran sel adalah lapisan dibawah dinding sel yang mempunyai sifat
permeabilitas selektif dan berfungsi mengontrol keluar masuknya substansi dari
31
dalam dan luar sel, serta memelihara tekanan osmotik internal dan ekskresi.
Beberapa antibiotik bersatu dengan membran yang berfungi berfungsi sebagai
iondphores yaitu senyawa yang memberi jalan masuknya ion abnormal. Proses ini
dapat mengganggu biokimia sel, misalnya gramicidin. Antibiotik polimiksin dapat
merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel.
Polimiksin lebih aktif terhadap bakteri gram negatif .
d. Penghambatan terhadap sintesis protein
Hidupnya suatu sel tergantung pada terpeliharanya molekul-molekul dalam
keadaan alamiah. Suatu kondisi atau substansi mengubah keadaan ini yaitu
mendenaturasi protein dengan merusak sel tanpa dapat diperbaiki kembali. Suhu
tinggi atau konsentrasi beberapa zat dapat mengakibatkan koagulasi irreversible
komponen seluler yang vital. Antimikroba mempunyai fungsi ribosom pada
mikroorgenisgme yang menyebabkan sintesis protein terlambat. Dimana dapat
berikatan dengan ribosom 30S yang dapat menyebabkan akumulasi sintesis
protein awal yang kompleks, sehingga salah dalam menerjemahkan tanda m-RNA
dan menghasilkan polipeptida yang abnormal. Selain itu juga dapat berikatan
dengan ribosom 50S yang dapat menghambat ikatan asam amino baru pada
rantai peptida memanjang. Contohnya aminoglikosida, kloramfenikol, tetrasiklin,
eritromisin dan linkomisin.
e. Penghambatan terhadap sintesis asam nukleat.
Asam nukleat merupakan bagian yang sangat vital bagi perkembangbiakan
sel. Untuk pertumbuhannya, kebanyakan sel tergantung pada sintesi DNA,
sedangkan RNA diperlukan untuk transkipsi dan penentuan informasi sintesis
protein dan enzim. Begitu pentingnya DNA dan RNA dalam proses kehidupan sel.
Hal ini berarti bahwa gangguan apapun yang terjadi pada pembentukan atau pada
32
fungsi zat-zat tersebut dapat mengakibatkan kerusakan total pada sel. Dalam hal
ini mempengaruhi metabolisme asam nukleat, seperti berikatan dengan enzim
DNA dependen RNA polymerase bakteri, memblokir helix DNA. Contohnya
seperti antibiotik quinolon, pyrimethamin, sulfonamida, trimethoprim, dan
trimetrexat, sedangkan metronidazole menghambat sintesis DNA.
4. Resistensi
Resistensi bakteri terhadap antibiotik membuat masalah yang dapat
menggagalkan terapi dengan antibiotik. Resistensi dapat merupakan masalah
individual epidemiologi. Resistensi adalah ketahanan mikroba terhadap antibiotik
tertentu yang dapat berupa resistensi alamiah, resistensi karena adanya mutasi
spontan (resistensi kromosomal) dan resistensi karena adanya faktor R pada
sitoplasma (resistensi ekstrakromosomal) atau resistensi karena pemindahan gen
yang resisten atau faktor R atau plasmid (resistensi silang) (Fadila, 2010).
Penyebab terjadi resistensi mikroba adalah penggunaan antibiotik yang tidak
tepat, misalnya penggunaan dengan dosis yang tidak memadai, pemakaian yang
tidak teratur atau tidak kontinyu, demikian juga waktu pengobatan yang tidak
cukup lama. Maka untuk mencegah atau memperlambat timbulnya resistensi
mikroba, harus diperhatikan cara-cara penggunaan antibiotik yang tepat (Fadila,
2010).
a. Resistensi alamiah
Beberapa mikroba secara alamiah tidak peka terhadap antibiotik tertentu. Hal
ini disebabkan oleh tidak adanya reseptor yang cocok atau dinding sel mikroba
tidak dapat ditembus oleh antibiotik. Oleh sebab itu antibiotik tersebut
mempunyai kekosongan dalam spektrum kerjanya.
33
b. Resistensi kromosomal
Resistensi kromosom terjadi karena mutasi spontan pada gen kromosom.
Kromosom yang telah termutasi ini dapat dipindahkan sehingga terjadi populasi
yang resisten. Pemindahan kromosom ini mengakibatkan terjadi resistensi silang.
Pada mutasi spontan terjadi seleksi oleh antibiotik dimana bibit yang peka akan
musnah dan bibit yang resisten akan tetap dan berkembang biak.
c. Resistensi ekstrakromosomal
Dalam resistensi ekstrakromosomal, yang berperan adalah faktor R yaitu
kelompok plasmid yang membawa gen resistensi terhadap satu atau beberapa
obat antimikroba. Faktor R dipindahkan dari bakteri yang satu ke bakteri yang lain
sehingga terjadi resistensi silang. Dengan cara ini bakteri dapat memperoleh
sekaligus gen yang resisten terhadap enam sampai tujuh antibiotik. Perpindahan
resistensi dapat terjadi dengan cara transformasi, transduksi, dan konjugasi
(Fadila, 2010).
5. Antibiotik kloramfenikol
Kloramfenikol digunakan sebagai kontrol positif pada pengujian antibakteri.
Kloramfenikol merupakan antibakteri yang bersifat bakteriostatik dan
berspektrum luas memiliki karakteristik sebagai berikut (Rahmawati, 2015) :
a. Rumus bangun :
Gambar 5. Rumus Bangun Kloramfenikol
Sumber: (Rahmawati, 2015)
34
b. Rumus molekul : C11H12Cl2N2O5
c. Bobot molekul : 323,13
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri. Obat ini
terikat pada ribosom subunit 50S dan menghambat wnzim peptidil transferase
sehingga ikatan peptide tidak terbentuk pada proses sintesis protein bakteri.
Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik , pada konsenrasi tinggi
kloramfenikol bersifat bakterisid untuk bakteri-bakteri tertentu (Rahmawati,
2015).
F. Pengukuran Aktivitas Antibakteri
1. Media
Media adalah suatu bahan yang terdiri atas campuran nutrisi/nutrien/zat
makanan yang dipakai untuk menumbuhkan mikroba. Susunan dan kadar nutrien
dalam suatu media untuk mikroba harus seimbang agar pertumbuhan mikroba
dapat sebaik mungkin. Hal ini perlu dikemukakan mengingat banyak senyawa
senyawa yang menjadi penghambat atau menjadi racun bagi mikroba kalau
kadarnya terlalu tinggi (misalnya garam-garam dari asam lemak, gula, dan lain
lain) (Fadila, 2010).
Supaya mikroba dapat tumbuh dengan baik dalam suatu media, perlu
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Fadila, 2010):
a. Media harus mengandung semua nutrien yang mudah digunakan oleh
mikroba.
b. Media harus mempunyai tekanan osmose, tegangan permukaan dan pH yang
sesuai.
c. Media tidak mengandung zat-zat penghambat.
35
d. Media harus steril.
2. Metode sterilisasi
Sterilisasi dapat dilakukan secara fisik, kimia dan mekanik (Hidayah, 2016) :
a. Secara fisik
1) Pemanasan basah
Beberapa pemanasan basah dapat menyebabkan denaturasi protein, termasuk
enzim–enzim di dalam sel mikroorganisme. Beberapa cara pemanasan basah yaitu
(Hidayah, 2016):
a) Perebusan, air mendidih atau uap air pada suhu 100o C dapat membunuh
bentuk vegetatif dari mikroorganisme dan virus dalam waktu 5 menit,
beberapa spora juga dapat terbunuh pada suhu tersebut selama beberapa menit,
tetapi banyak spora bakteri yang tahan terhadap panas dan masih tetap hidup
setelah dilakukan perebusan selama beberapa jam.
b) Pemanasan dengan tekanan dapat dilakukan dengan menggunakan alat berupa
autoklaf untuk membunuh spora bakteri yang paling tahan asam, spora yang
paling tahan panas akan mati pada suhu 121oC selama 15 menit.
c) Tindalisasi, proses sterilisasi dengan cara menggunakan pemanasan suhu
100oC selama 30 menit dan dilakukan setiap hari berturut–turut selama tiga
hari.
d) Pasteurisasi, proses pemanasan pada suhu rendah yaitu 63–70oC selama 30
menit dan dilakukan setiap hari selama 3 hari berturut–turut. Proses
pasteurisasi ini biasanya dilakukan terhadap bahan atau zat–zat yang tidak
tahan terhadap pemanasan tinggi seperti susu.
36
2) Pemanasan kering
Pemanasan kering seharusnya kurang efektif untuk membunuh
mikroorganisme dibandingkan dengan pemanasan basah, pada pemanasan kering
menyebabkan dehidrasi sel dan juga dapat menyebabkan oksidasi komponen–
komponen dalam sel.
3) Radiasi
Sinar matahari yang dipancarkan langsung kepada sel vegetative
mikroorganisme dapat menyebabkan kematian pada sel tersebut, sedangkan
sporanya biasanya lebih tahan. Radiasi ionisasi adalah radiasi yang mengandung
energi jauh lebih tinggi daripada sinar ultra violet (UV), oleh karena itu
mempunyai daya mematikan yang lebih kuat.
b. Cara mekanik
Penyaringan telah banyak dilakukan untuk mensterilkan medium laboratorium
dan larutan–larutan yang dapat menyebabkan kerusakan jika dipanaskan.
Penyaring yang banyak digunakan tersebut dibuat dari gelas sinter serat yang
pori–porinya berukuran 0,22–10 mikron.
c. Cara kimia
Cara kimia sering disebut desinfeksi dan antiseptik. Bahan kimia ini
menimbulkan pengaruh yang lebih selektif terhadap mikroorganisme
dibandingkan dengan perlakuan fisik seperti panas dan radiasi. Untuk memilih
bahan kimia sebagai bahan untuk desinfektansia dan antiseptika perlu
diperhatikan yaitu sifat mikrosidalnya, sifat mikrostatik, kecepatan penghambatan,
dan sifat–sifat lainnya seperti harga, aktivitasnya tetap stabil dalam jangka waktu
lama, larut dalam air dan stabil dalam larutan.
37
3. Penentuan aktivitas antibakteri
Potensi dari suatu antimikroba diperkirakan dengan membandingkan zona
hambat pertumbuhan terhadap mikroorganisme yang sensitif dari hasil
penghambatan suatu konsentrasi larutan uji dibandingkan dengan antibiotik.
Penentuan aktivitas antimikroba dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode
difusi dan metode dilusi sebagai berikut (Saraswati, 2015):
a. Metode difusi
1) Metode disk diffusion (tes Kirby & Baur) menggunakan piringan yang berisi
agen antimikroba, kemudian diletakkan pada media agar yang sebelumnya
telah ditanami mikroorganisme sehingga antimikroba dapat berdifusi pada
media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan
pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media
agar.
Pembacaan hasil dilakukan dengan cara (Fadila, 2010) :
a) Zona radikal yaitu suatu daerah di sekitar disk dimana sama sekali tidak
ditemukan adanya pertumbuhan bakteri. Potensi antibakteri diukur dengan
mengukur diameter dari zona radikal.
b) Zona irradikal yaitu suatu daerah di sekitar disk dimana pertumbuhan bakteri
dihambat oleh antibakteri tetapi tidak dimatikan.
2) Metode E-test digunakan untuk mengestimasi Kadar Hambat Minimum
(KHM), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip
plastic yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah sampai
tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanami
mikroorganisme sebelumnya. Pengamatan dilakukan pada area jernih yang
38
ditimbulkan yang menunjukkan kadar agen antimikroba yang menghambat
pertumbuhan mikroorganisme pada media agar.
3) Ditch-plate technique . Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba
yang diletakkan pada parit yang sibuat dengan cara memotong media gar
dalam cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan mikroba uji
(maksimum 6 macan) digoreskan kea rah parit yang berisi agen antimikroba
tersebut.
4) Cup-plate technique . Metode ini serupa dengan disk diffusion, dimana dibuat
sumur pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme da nada
sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji.
b. Metode dilusi
1) Metode dilusi cair / broth dilution test (seral dilution). Metode ini digunakan
untuk mengukur Konsentrasi Haambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh
Minimum (KBM) . Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri
pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan
mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat
jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM.
Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang
pada media cair tanpa penanaman mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan
diinkubasi umumnya selama 18-24 jam. Media cair yang telihat jernih setelah
diinkubasi ditetapkan sebagai KBM.
2) Metode dilusi padat (solid dilution test). Metode ini serupa dengan metode
dilusi cair namun menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini
adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk
menguji beberapa mikroba uji.
39
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba
Diantara banyak faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba , hal-hal
berikut harus dipertimbangkan karena mempengaruhi hasil pemeriksaan secara
bermakna (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2012) :
a. pH lingkungan
Beberapa obat lebih aktif pada ph asam (misalnya, nitro-furantoin) dan
lain-lain, pada pH basa (misalnya aminoglikosida, sulfonamida).
b. Komponen medium
Sodium polyanetholsulfonate (dalam medium kultur darah) dan detergen
anionic lainnya menghambat aminoglikosida. PABA dalam ekstrak jaringan
mengantagonis sulfonamida. Protein serum mengikat penisilin dalam derajat yang
berbeda-beda, berkisar dari 40% untuk metisilin hingga 98% untuk diklosasilin.
Penambahan NaCl ke medium mempertinggi deteksi resistensi metisilin pada
S.aureus.
c. Kestabilan obat
Pada suhu inkubator, beberapa agen antimikroba kehilangan aktivitas
mereka. Penisilin mengalami inaktivasi secara lambat, sedangkan aminoglikosida
dan siprofloksasin cukup stabil untuk periode yang lama.
d. Besar inokulum
Secara umum, semakin besar inokulum bakteri, semakin rendah
kerentanan yang tampak pada organisme itu. Populasi besar bakteri lebih lambat
dan lebih jarang mengalami inhibisi total dibandingkan populasi kecil. Selain itu,
suatu mutan resisten jauh lebih mungkin muncul pada populasi yang lebih besar.
40
e. Lama inkubasi
Pada banyak kondisi, mikroorganisme tidak dimatikan, tetapi hanya
dihambat pada pajanan singkat terhadap agen antimikroba. Semakin lama masa
inkubasi berlangsung, semakin besar kesempatan mutan resisten untuk muncul,
atau semakin besar kesempatan bagi anggota yang paling tidak sensitif terhadap
antimikroba untuk mulai memperbanyak diri seiring berkurangnya obat.
f. Sterilisasi alat, media, dan ruangan
Alat wajib disterilkan dalam oven sebelum digunakan. Media disterilkan
menggunakan autoclave, serta ruangan dapat disterilkan menggunakan sinar UV
dan blower yang ada di dalam biosafety cabinet .
g. Kepekatan inokulum
Jika inokulum terlalu encer, zona hambatan akan menjadi lebih lebar
walaupun kepekaan organismenya tidak berubah. Sebaliknya jika inokulum terlalu
pekat, ukuran zona hambat akan menyempit (Vandepitte dkk.,2010).
h. Waktu pemasangan cakram
Jika sudah ditanami dengan galur uji lempeng agar, dibiarkan pada suhu ruang
lebih lama dari waktu baku, perkembangan inokulum dapat terjadi dapat terjadi
sebelum cakram dipasang (Vandepitte dkk.,2010).
i. Suhu inkubasi
Uji kepekaan biasanya diinkubasi pada suhu 35ºC untuk pertumbuhan yang
optimal. Jika suhu diturunkan, waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan efektif
akan memanjang dan dihasilkan zona yang lebih lebar (Vandepitte dkk.,2010).
41
j. Ukuran lempeng, ketebalan media agar, dan pengaturan jarak cakram
antimikroba
Uji kepekaan biasanya dikerjakan menggunakan cakram menggunakan
cakram petri ukuran 9-10 cm dan tidak lebih dari 6-7 cakram antimikroba pada
tiap lempeng agar. Zona hambatan yang sangat besar mungkin terbentuk pada
media yang sangat tipis dan sebaliknya (Vandepitte dkk., 2010).
5. Pengukuran aktivitas antibakteri
Aktivitas antibakteri dinyatakan positif apabila terbentuk zona hambat berupa
zona bening disekeliling kertas cakram. Bagian yang dihitung dengan jangka
sorong adalah diameter dari zona hambat yang terbentuk. Diameter zona hambat
dideskripsikan dengan gambar dibawah ini .
Gambar 6. Perhitungan Diameter Zona Hambat Antibakteri
Sumber: (Saraswati, 2015)
Keterangan :
a : Diameter kertas cakram (6 mm)
b : Diameter zona hambat yang terbentuk (mm)
c : Daerah yang ditumbuhi bakteri
a
b
c
42
Tabel 3
Klasifikasi Hambatan Pertumbuhan Bakteri
Sumber : (Suryanto D., N. Irawati dan E. Munir. Isolation and Characterization of Chitinolytic
Bacteria and Their Potential to Inhibit Plant Pathogenic Fungi. 2011)
Diameter Zona Hambat Respon Hambatan Pertumbuhan
>20 mm Sangat Kuat
11-20 mm Kuat
5-10 mm Sedang
<5 mm Lemah
43
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Konsep
Keterangan :
: dianalisis
: tidak dianalisis
Jerawat
Bakteri
Propiobacterium
acnes
Stapylococcus
aureus
Pengobatan
Medis Bahan Alami
Terapi Antibiotik
Klindamisin
Cuka Apel
Uji Daya Hambat
Difusi Dilusi
Gambar 7. Kerangka Konsep
Stapylococcus
epidermidis
Diameter Zona Hambat
44
Keterangan :
Berdasarkan kerangka konsep, pada gambar diketahui bahwa pengobatan
jerawat akibat Propionibacterium acnes dapat dilakukan dengan cara medis
maupun secara alami. Pengobatan secara medis dilakukan dengan pemberian
antibiotik, sedangkan pengobatan dengan alami dapat dilakukan dengan
memanfaatkan cuka apel . Cuka apel diuji antibakteri dengan metode difusi Kirby
Bauer untuk mengetahui adanya zona hambat Propionibacterium acnes .
Pengukuran zona aktivitas antibakteri pada cuka apel berbagai konsentrasi dapat
dilakukan dengan mengukur diameter zona hambat yang terbentuk di sekitar
cakram yang telah berisi cuka apel berbagai konsentrasi dengan menggunakan
jangka sorong. Zona hambat tersebut ditandai dengan adanya zona bening yang
terbentuk di sekitar kertas cakram.
B. Variabel dan Definisi Operasional Variabel
1. Variabel
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, subjek
atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Menurut hubungan antara satu
variabel dengan variabel yang lain maka macam-macam variabel dalam penelitian
dibedakan menjadi (Sugiyono,2012):
a. Variabel bebas (independen)
Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi
sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat) (Sugiyono,2012).
45
Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah konsentrasi cuka apel
(apple cider vinegar) sebesar 12,5%, 25%, 50% dan 100%.
b. Variabel terikat (dependen)
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi
akibat (Sugiyono,2012).Pada penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah
zona hambat cuka apel (apple cider vinegar) terhadap Propionibacterium acnes.
c. Variabel kontrol
Variabel kontrol merupakan variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan
sehingga pengaruh variabel bebas dan variabel terikat tidak dipengaruhi oleh
factor luar yang tidak diteliti (Sugiyono,2012). Dalam penelitian ini yang menjadi
variabel kontrol adalah pH lingkungan, komponen medium, kestabilan obat, besar
dan kepekatan inokulum, suhu dan lama inkubasi, sterilisasi alat, media, dan
ruangan, waktu pemasangan cakram, ketebalan media, dan pengaturan jarak
cakram antimikroba.
Untuk mengendalikan variabel kontrol dapat dilakukan dengan berbagai cara
sebagai berikut :
1) pH lingkungan, yang dapat diperhatikan dengan memperhatikan jenis
antibiotik yang digunakan apakah bersifat asam atau basa.
2) Komponen medium. Beberapa medium mengandung bahan-bahan yang dapat
menghambat aminoglikosida serta mengikat penisilin.
3) Kestabilan obat. Pada suhu inkubator, beberapa agen antimikroba akan
kehilangan aktivitasnya.
4) Besar dan kepekatan inokulum. Jika inokulum yang digunakan terlalu encer,
zona hambat yang terbentuk akan menjadi lebih lebar walaupun kepekaan
46
organisme tidak berubah demikian pula sebaliknya. Untuk mengontrol
kepekatan suspensi diperlukan penggunaan Mc. Farland densitometer agar
mendapatkan kekeruhan suspense yang tepat yaitu 0,5 Mc.Farland.
5) Suhu dan lama inkubasi. Untuk mengontrol pertumbuhan yang maksimal
diperlukan waktu inkubasi maksimum yaitu 24 jam dengan suhu inkubasi
37ºC.
6) Sterilisasi alat, media, dan ruangan . Alat wajib disterilkan dalam oven
sebelum digunakan. Media disterilkan menggunakan autoclave, serta ruangan
dapat disterilkan menggunakan sinar UV dan blower yang ada di dalam
biosafety cabinet .
7) Waktu pemasangan cakram. Sebaiknya setelah cakram sudah jenuh terhadap
antibiotik agar segera ditanam pada media agar perkembangan inokulum tidak
terjadi sebelum cakram terpasang.
8) Ketebalan media. Perbedaan ketebalan media dapat berpengaruh pada hasil
pengukuran diameter zona hambat. Untuk mendapatkan ketebalan media yang
baik, media dituang sebanyak 15-20 mL.
9) Jarak cakram disk. Pengaturan jarak cakram yang tepatsangat penting untuk
mencegah terjadinya tumpang tindihnya zona hambat. Pada satu cawan petri
dapat diisi tidak lebih dari 6 atau 7 cakram disk.
47
Adapun hubungan antar variabel bebas, variabel terikat, dan variabel kontrol
tersebut adalah seperti gambar di bawah ini :
Variabel Bebas
Cuka apel dengan konsentrasi
12,5%, 25%, 50% dan 100% .
Keterangan :
Gambar 8. Hubungan Antar Variabel
Variabel Terikat
Zona hambat pertumbuhan
Propionibacterium acnes
Variabel Kontrol
pH lingkungan
Komponen medium
Kestabilan obat
Besar dan kepekatan inokulum
Suhu dan lama inkubasi
Sterilisasi alat, media, dan ruangan
Waktu pemasangan cakram
Ketebalan media
Pengaturan jarak cakram antimikroba.
: dianalisis
: tidak dianalisis
48
2. Definisi operasional variabel
Tabel 4
Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Cara
Pengukuran Skala
1 2 3 4
Cuka apel (apple
cider vinegar)
Cuka apel yang digunakan
merupakan cuka apel yang
memenuhi kriteria inklusi
sebagai berikut :
- Berwarna kecoklatan
- Terdapat endapan
- Beraroma khas apel
atau berbau seperti tape
Observasi Nominal
Konsentrasi Cuka
Apel
Cuka yang digunakan
merupakan cuka apel asli
dan dalam penelitian ini
digunakan sebagai
konsentrasi 100% yang
kemudian diencerkan
dengan aquadest steril
untuk mendapatkan
konsentrasi 12,5%, 25%,
50%.
Pengukuran
menggunakan
pipet ukur (mL)
dan mikropipet
(µL)
Ordinal
Zona hambat
pertumbuhan
Propionibacterium
acnes
Diameter zona hambat
pertumbuhan
Propionibacterium acnes
berupa zona bening yang
terdapat dalam media
Mueller Hinton Agar di
daerah sekitar cakram disk.
Jangka sorong
mistar (mm)
Rasio
49
Variabel Definisi Operasional Cara
Pengukuran Skala
1 2 3 4
Daya Hambat Kemampuan cuka apel
dalam menghambat
pertumbuhan
Propionibacterium acnes.
Berdasarkan penggolongan
bahan alam :
- Lemah : < 5 mm
- Sedang : 5 – 10 mm
- Kuat : 11 – 20 mm
- Sangat kuat : > 20 mm
Berdasarkan penggolongan
NCCLS :
- Resisten : ≤ 12 mm
- Intermediate:13–17mm
- Sensitif : ≥ 18 mm
- Ordinal
Efektif Efektif adalah konsentrasi
yang paling tepat untuk
menghambat pertumbuhan
Propionibacterium acnes
berdasarkan diameter zona
hambat yang bersifat
sensitif setelah
dibandingkan dengan
kontrol positif
Observasi Nominal
50
C. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah : “Terdapat perbedaan zona hambat
pertumbuhan Propionibacterium acnes pada berbagai konsentrasi cuka apel
(apple cider vinegar) secara in vitro”.
51
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah true experimental
design . Design yang digunakan dalam penelitian ini adalah Posttest Only Control
Group Design dimana konsentrasi cuka apel 12,5%, 25%, 50% dan 100%
merupakan kelompok eksperimen sedangkan kelompok yang tidak diberi
perlakuan disebut dengan kelompok kontrol (Noor dan Juliansyah, 2011) .
Tabel 5
Rancangan Posttest Only Control Design
Kelompok Uji Perlakuan Posttest
R1 X O2
R2 O2
Keterangan ;
R1 : Kelompok eksperimen merupakan cuka apel dengan konsentrasi 12,5%,
25%, 50% dan 100%.
R2 : Kelompok kontrol kerja yang digunakan adalah aquadest steril sebagai
kontrol negatif dan kloramfenikol 30 µg sebagai kontrol positif.
X : Perlakuan atau eksperimen
O2 : Pengukuran kedua (posttest)
B. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2019 sampai April 2019.
52
2. Tempat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Jurusan Analis
Kesehatan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Denpasar, Jalan Sanitasi No.1
Sidakarya.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi penelitian
Populasi dari penelitian ini adalah cuka apel jenis “mother of vinegar”
kemasan yang beredar di pasaran.
2. Sampel penelitian
Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah cuka apel jenis
“mother of vinegar”. Kriteria inklusi dari sampel adalah berwarna keruh
kecoklatan, beraroma khas apel dan berbau seperti tape dan terdapat endapan di
dalam cairan cuka apel. Sementara kriteria eksklusi yaitu berwarna bening, dan
berbau busuk. Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah sampel yang
memenuhi kriteria inklusi.
3. Besar sampel penelitian
Konsentrasi sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12,5%, 25%,
50%, dan 100% dan kontrol negatif yang digunakan berupa cakram yang
direndam aquades steril dan kontrol positif yang digunakan berupa cakram
antibiotik kloramfenikol 30 µg. Pengulangan masing-masing seri konsentrasi
dalam penelitian ini adalah sebanyak 4 kali dengan replikasi 2 kali, sehingga
didapat besar sampel sebanyak 32 sampel.
53
D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
1. Jenis data yang dikumpulkan
Jenis data yang didapatkan dari penelitian ini adalah data primer dimana data
yang diperoleh berasal dari hasil pengukuran zona daya hambat yang dihasilkan
cuka apel dengan berbagai konsentrasi terhadap bakteri Propionibacterium acnes
melalui eksperimen laboratorium.
2. Cara pengumpulan data
Cara pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan
melakukan pengukuran dengan alat ukur melalui eksperimen. Pengukuran
dilakukan pada diameter zona hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes
pada berbagai konsentrasi cuka apel. Hasil pengukuran diameter zona hambat
tersebut menunjukkan adanya aktivitas penghambatan yang dinyatakan dalam
millimeter (mm).
3. Instrumen pengumpulan data
Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai instrument pengumpul data
adalah jangka sorong, kamera, alat tulis.
E. Alat, Bahan, dan Prosedur Kerja
1. Alat
Alat yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu : Erlenmeyer, pipet ukur, ball
pipet, tabung reaksi, rak tabung reaksi, mikropipet (SOCOREX) , dan tip, gelas
ukur, beaker glass, spiritus, petri disk steril, autoklaf ( TOMY SX-500 ), inkubator
54
( ESCO Isotherm ), neraca analitik (RADWAG AS220.R2), Mc Farland
densitometer , Bio Safety Cabinet ( BSC-1800 II B2-X ), dan jangka sorong.
2. Bahan
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu : Cuka apel, aquadest steril,
bakteri Propionibacterium acne ATCC 11827 , media Mueller Hinton Agar
(MHA), standar Mc Farland 0,5%, media Nutrient Agar (NA), larutan NaCl
fisiologis 0,85%, cakram disk kosong, cakram disk Kloramfenikol (OXOID) ,
alkohol 70%, swab kapas steril, aluminium foil.
55
3. Skema kerja
Gambar 9. Skema Kerja
Suspensi bakteri Propionibacterium acnes
0,5 Mc Farland
Media Mueller Hinton Agar (MHA)
Cakram disk yang telah dijenuhkan
pada cuka apel (apple cider vinegar)
konsentrasi 12,5%, 25%, 50% dan
100%.
1. Kontrol kerja negatif : cakram
disk dengan aquadest steril.
2. Kontrol kerja positif : cakram disk
dengan antibiotik kloramfenikol.
Inkubasi pada suhu 37º C selama
24 jam
Diameter zona hambat
pertumbuhan Propionibacterium
acnes
Analisis hasil
Cuka apel
Uji daya hambat cuka apel
terhadap Propionibacterium acnes
56
4. Prosedur kerja
a. Pengenceran cuka apel dari konsentrasi 100%
1) Konsentrasi cuka apel yang akan dibuat yaitu 12,5%, 25%, 50% dan 100%.
Konsentrasi ini dibuat dengan mencampurkan cuka apel dengan larutan
pengencer aquadest steril.
2) Rumus Pengenceran yang digunakan :
Rumus : V1 × C1 = V2 × C2
Keterangan rumus :
V1 : Volume cuka apel yang akan diencerkan dari konsentrasi 100%
V2 : Volume cuka apel yang akan dibuat yaitu 1 mL
C1 : Konsentrasi cuka apel yang akan diencerkan, yaitu 100%
C2 : Konsentrasi cuka apel yang akan dibuat
Tabel 6
Tabel Pengenceran Konsentrasi Cuka Apel
No. V1
(mL) C1
V2
(mL) C2 Aquadest Steril (mL)
1. 0,125 100% 1 12,5% 0,875
2. 0,25 100% 1 25% 0,75
3. 0,5 100% 1 50% 0,5
b. Pembuatan suspensi bakteri Propionibacterium acnes
1) Satu sampai tiga ose koloni Propionibacterium acnes dari biakan murni
diambil dan disuspensikan ke dalam tabung yang berisi 5 mL larutan NaCl
fisiologis 0,85%.
2) Suspensi dibandingkan dengan kekeruhan standar Mc Farland 0,5%.
57
3) Suspensi diukur dengan Mc Farland densitometer.
c. Tahap pemeriksaan
1) Cakram disk kosong disiapkan dan cakram disk ini direndam dalam cuka apel
pada setiap konsentrasi hingga seluruh cairan meresap ke dalam cakram disk.
2) Untuk kontrol kerja negatif, cakram disk kosong direndam ke dalam aquadest
steril.
3) Untuk kontrol kerja positif, digunakan cakram disk antibiotik kloramfenikol
30 µg.
4) Suspensi Propionibacterium acnes disiapkan.
5) Swab kapas steril disiapkan dan dicelupkan ke dalam suspensi bakteri. Setelah
suspensi bakteri meresap, swab kapas steril diangkat dan diperas dengan cara
menekannya pada dinding tabung bagian dalam.
6) Swab kapas yang telah berisi suspensi diinokulasikan pada media Mueller
Hinton Agar (MHA). Goresan dilakukan secara merata hingga menutupi
seluruh permukaan media.
7) Media didiamkan selama 5 hingga 15 menit agar suspensi meresap ke dalam
media.
8) Masing-masing cakram disk yang telah jenuh dengan cuka apel ditempelkan
pada media Mueller Hinton Agar (MHA) yang sudah diinokulasikan dan
sedikit ditekan dengan pinset hingga melekat sempurna.
9) Kontrol kerja positif dan negatif ditempelkan pada media Mueller Hinton
Agar (MHA) yang berbeda.
58
10) Jarak antara satu cakram dengan cakram yang lain minimal 15 mm dan
cakram yang telah ditempelkan pada permukaan media tidak boleh
dipindahkan atau digeser.
11) Media Mueller Hinton Agar (MHA) yang telah ditanami cakram disk
diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam dalam posisi terbalik.
d. Pelaporan hasil
1) Adanya zona hambat dilihat dan diukur diameternya menggunakan jangka
sorong (dalam satuan mm).
2) Diameter zona hambat yang diukur yaitu daerah jernih sekitar cakram disk
(tidak ada pertumbuhan bakteri) diukur dari ujung satu keujung yang lain
melalui tengah-tengah cakram disk.
F. Unit Analisis Data
Unit analisis dalam penelitian ini adalah aktivitas antimikroba cuka apel
terhadap Propionibacterium acnes dengan perlakuan empat jenis konsentrasi yaitu
12,5%, 25%, 50% dan 100% . Penelitian ini dilakukan dengan metode Kirby
Bauer dengan cara mengukur diameter zona hambat dari keempat konsentrasi.
Hasil pengukuran yang diameter zona hambat masing-masing konsentrasi yang
menujukkan aktivitas penghambatan dinyatakan dalam millimeter (mm).
59
G. Pengolahan dan Analisis Data
1. Teknik pengolahan data
Data yang terkumpul dari hasil eksperimen daya hambat cuka apel terhadap
Propionibacterium acnes , yaitu berupa diameter zona hambat yang dinyatakan
dalam millimeter (mm) dan ditabulasikan ke dalam bentuk tabel dan naratif.
2. Analisis data
Data yang telah diperoleh dan disajikan dianalisis dengan uji statistik dengan
bantuan aplikasi komputer. Data diuji dengan menggunakan uji sebagai berikut :
a. Uji Kolmogorov-Smirnov (KS) untuk menguji apakah data berdistribusi
normal atau tidak.
b. Uji One Way Anova terhadap variabel yang ada untuk mengetahui adanya
perbedaan dari berbagai konsentrasi cuka apel terhadap zona hambat
pertumbuhan Propionibacterium acnes.
c. Kemudian dilanjutkan dengan uji Least Significant Deference (LSD), uji ini
digunakan untuk mengetahui perbedaan yang signifikan zona hambat antara
masing-masing konsentrasi yang dapat menghambat pertumbuhan
Propionibacterium acnes.
60
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Karakteristik cuka apel
Objek dalam penelitian ini adalah cuka apel (apple cider vinegar) yang
berwarna keruh kecoklatan, beraroma khas apel dan berbau seperti tape dan
terdapat endapan di dalam cairan cuka apel. Cuka apel berwarna keruh
kecoklatan, menunjukkan bahwa cuka apel benar-benar dari apel murni yang
matang dan kematangan apel yang digunakan berpengaruh terhadap kandungan
dan manfaat cuka apel. Cuka apel memiliki aroma khas apel dan berbau seperti
tape, menunjukkan proses fermentasi secara alami dan sempurna yakni kurang
lebih 35 hari. Adanya endapan, endapan ini sering disebut “mother of vinegar”
dimana endapan merupakan biang cuka apel yang mengandung kandungan-
kandungan dari cuka apel (Ma’sum, 2006).
Dalam penelitian ini, digunakan beberapa konsentrasi yang dibuat dengan
cara melakukan pengenceran dari cuka apel konsentrasi 100% dengan
penambahan aquadest steril sehingga didapatkan konsentrasi 12,5%, 25%, dan
50%. Sedangkan bakteri uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah biakan
murni Propionibacterium acnes ATCC 11827 yang dibiakkan dalam media NA
(Nutrient Agar). Hal yang diamati dalam penelitian ini adalah diameter zona
hambat yang terbentuk pada pertumbuhan Propionibacterium acnes karena
adanya pengaruh dari berbagai konsentrasi cuka apel.
61
2. Hasil pengamatan diameter zona hambat
Cuka apel dengan berbagai konsentrasi yaitu konsentrasi 12,5%, 25%, 50%,
dan 100% diuji untuk mengetahui daya hambat senyawa aktif dengan sifat
antibakteri yang terkandung terhadap pertumbuhan bakteri uji Propionibacterium
acnes. Penelitian dilakukan dengan dua kali replikasi pada hari yang berbeda.
Pada dua kali replikasi dilakukan sebanyak empat kali pengulangan sehingga
didapatkan hasil sebagai berikut :
a. Kelompok kontrol kerja
1) Kontrol negatif
Kontrol negatif yang digunakan dalam penelitian ini yaitu aquadest steril.
Pada kontrol negatif diharapkan tidak terbentuk zona hambat. Pengukuran
terhadap kontrol negatif dengan dua kali replikasi dan empat kali pengulangan
diperoleh hasil tidak membentuk zona hambat sehingga rata-rata diameter pada
kontrol negatif dinyatakan dalam 0 mm.
2) Kontrol positif
Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kloramfenikol 30
µg. Berdasarkan hasil pengukuran diameter zona hambat kontrol positif terhadap
Propionibacterium acnes dapat diamati pada tabel berikut :
62
Tabel 7
Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Kontrol Positif Terhadap
Propionibacterium acnes
Pengulangan
Diameter zona hambat (mm)
Rata-rata Replikasi
I
Replikasi
II
I 29,4 29,6 29,5
II 29,6 29,8 29,7
III 29,7 29,7 29,7
IV 29,6 29,6 29,6
Rata-rata ± SD 29,6 ± 0,1 29,7 ± 0,9 29,6 ± 0,9
Rata-rata keseluruhan diameter zona hambat kontrol positif terhadap
Propionibacterium acnes sebesar 29,6 mm dengan diameter terbesar sebesar 29,8
mm dan diameter terkecil sebesar 29,4 mm.
b. Kelompok perlakuan
1) Konsentrasi 12,5%
Berdasarkan hasil pengukuran diameter zona hambat cuka apel pada
konsentrasi 12,5% yang dilakukan sebanyak dua kali replikasi dan empat kali
pengulangan dapat diamati pada tabel berikut :
63
Tabel 8
Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Cuka Apel pada Konsentrasi 12,5%
Terhadap Propionibacterium acnes
Pengulangan
Diameter zona hambat (mm)
Rata-rata Replikasi
I
Replikasi
II
I 9,2 9,4 9,3
II 9,3 8,9 9,1
III 8,9 9,2 9,05
IV 9,2 8,8 9
Rata-rata ±SD 9,2 ± 0,1 9,1 ± 0,3 9,1 ± 0,1
Rata-rata keseluruhan diameter zona hambat cuka apel pada konsentrasi
12,5% terhadap Propionibacterium acnes yaitu 9,1 mm dengan diameter terbesar
sebesar 9,4 mm dan diameter terkecil sebesar 8,8 mm.
2) Konsentrasi 25%
Berdasarkan hasil pengukuran diameter zona hambat cuka apel pada
konsentrasi 25% yang dilakukan sebanyak dua kali replikasi dan empat kali
pengulangan dapat diamati pada tabel berikut :
Tabel 9
Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Cuka Apel pada Konsentrasi 25%
Terhadap Propionibacterium acnes
Pengulangan
Diameter zona hambat (mm)
Rata-rata Replikasi
I
Replikasi
II
I 11,8 12,2 12
II 11,8 12,3 12,05
III 11,9 11,9 11,9
IV 12,2 13 12,6
Rata-rata±SD 11,9 ± 0,1 12,4 ± 0,4 12,1 ± 0,3
64
Rata-rata keseluruhan diameter zona hambat cuka apel pada konsentrasi 25%
terhadap Propionibacterium acnes yaitu 12,1 mm dengan diameter terbesar
sebesar 13 mm dan diameter terkecil sebesar 11,8 mm.
3) Konsentrasi 50%
Berdasarkan hasil pengukuran diameter zona hambat cuka apel pada
konsentrasi 50% yang dilakukan sebanyak dua kali replikasi dan empat kali
pengulangan dapat diamati pada tabel berikut :
Tabel 10
Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Cuka Apel pada Konsentrasi 50%
Terhadap Propionibacterium acnes
Pengulangan
Diameter zona hambat (mm)
Rata-rata Replikasi
I
Replikasi
II
I 14,8 14,7 14,75
II 14,9 14,6 14,75
III 15,2 14,9 15,05
IV 14,9 14,8 14,85
Rata-rata±SD 15 ± 0,1 14,8 ± 0,1 14,9 ± 0,1
Rata-rata keseluruhan diameter zona hambat cuka apel pada konsentrasi 50%
terhadap Propionibacterium acnes yaitu 14,9 mm dengan diameter terbesar
sebesar 15,2 mm dan diameter terkecil sebesar 14,6 mm.
65
4) Konsentrasi 100%
Berdasarkan hasil pengukuran diameter zona hambat cuka apel pada
konsentrasi 100% yang dilakukan sebanyak dua kali replikasi dan empat kali
pengulangan dapat diamati pada tabel berikut :
Tabel 11
Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Cuka Apel pada Konsentrasi 100%
Terhadap Propionibacterium acnes
Pengulangan
Diameter zona hambat (mm)
Rata-rata Replikasi
I
Replikasi
II
I 18,7 19,2 18,95
II 18,6 19,2 18,9
III 18,9 19 18,95
IV 19,1 18,8 18,95
Rata-rata±SD 18,8 ± 0,2 19,1 ± 0,1 18,9 ± 0,1
Rata-rata keseluruhan diameter zona hambat cuka apel pada konsentrasi 100
% terhadap Propionibacterium acnes yaitu 18,9 mm dengan diameter terbesar
sebesar 19,2 mm dan diameter terkecil sebesar 18,6 mm.
Data berupa diameter zona hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes
pada berbagai konsentrasi cuka apel yang didapatkan melalui eksperimen dengan
metode difusi dengan empat kali pengulangan dan dua kali replikasi. Berikut
adalah rekapitulasi rata-rata diameter zona hambat pertumbuhan bakteri
Propionibacterium acnes pada berbagai konsentrasi cuka apel yang dapat dilihat
pada tabel berikut :
66
Tabel 12
Rekapitulasi Rata-rata Diameter Zona Hambat Pertumbuhan Propionibacterium
acnes pada Berbagai Konsentrasi Cuka Apel
Perlakuan
Konsentrasi
Rata-rata Diameter Zona Hambat
(mm) Rata-rata (mm)
Replikasi
I
Replikasi
II
Kontrol negatif 0 0 0
12,5% 9,2 9,1 9,1
25% 11,9 12,4 12,1
50% 15 14,8 14,9
100% 18,8 19,1 18,9
Kontrol positif 29,6 29,7 29,6
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa rata-rata diameter zona hambat
terbesar dalam penelitian ini diperoleh pada cuka apel dengan konsentrasi 100%
yaitu sebesar 18,9 mm, sedangkan rata-rata diameter zona hambat terkecil dalam
penelitian ini diperoleh dari cuka apel dengan konsentrasi 12,5% yaitu sebesar 9,1
mm.
3. Hasil analisis data
Hasil pengukuran diameter zona hambat yang telah diperoleh dari penelitian
ini kemudian dianalisa menggunakan uji statistik dengan bantuan perangkat lunak
komputer. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan menguji distribusi
data menggunakan uji Kolmogorov Smirnov (KS). Hasil uji KS yang diperoleh
dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 2 dimana nilai asymp sig yaitu
0,313. Jika nilai ini dibandingkan dengan nilai signifikan α (0,05) maka nilai
asymp sig yang diperoleh > (0,05) yang menandakan data berdistribusi normal.
67
Setelah diperoleh data berdistribusi normal kemudian dilanjutkan dengan uji
One Way Anova untuk mengetahui adanya perbedaan diameter zona hambat
pertumbuhan Propionibacterium acnes pada berbagai konsentrasi cuka apel
secara in vitro. Setelah dianalisa pada tingkat kepercayaan 95% (0,05) pada
lampiran 3 diperoleh hasil nilai sig (0,00) < α (0,05) sehingga disimpulkan bahwa
ada perbedaan zona hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes pada berbagai
konsentrasi cuka apel secara in vitro.
Perbedaan pada masing-masing konsentrasi cuka apel dalam menghambat
pertumbuhan Propionibacterium acnes dapat diuji dengan uji LSD (Least
Significant Difference). Pada lampiran 3, uji LSD menunjukkan adanya perbedaan
yang signifikan antara masing-masing konsentrasi terhadap seluruh konsentrasi
lainnya dengan nilai asymp sig (0,000) < 0,05.
4. Konsentrasi yang paling efektif
Konsentrasi yang paling efektif merupakan konsentrasi terkecil yang memiliki
zona hambatnya berada pada kategori sensitif atau sama jika dibandingkan
dengan kontrol positifnya, dan dalam penelitian ini konsentrasi yang zona
hambatnya memiliki kategori sensitif adalah cuka apel dengan konsentrasi 100%.
B. Pembahasan
1. Diameter zona hambat kelompok kontrol kerja
a. Diameter zona hambat kontrol negatif
Penggunaan kontrol negatif dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
apakah pelarut yang digunakan memiliki pengaruh dalam pembentukan diameter
zona hambat pada masing-masing konsentrasi cuka apel terhadap pertumbuhan
68
bakteri Propionibacterium acnes. Pada penelitian ini digunakan aquadest steril
sebagai kontrol negatif. Hasil dari pengukuran diameter zona hambat pada kontrol
negatif adalah 0 mm. Hasil tersebut menandakan bahwa aquadest steril tidak
memiliki zat aktif yang mampu menghambat aktivitas pertumbuhan bakteri
Propionibacterium acnes.
Penggunaan aquadest steril dalam penelitian ini didasarkan penelitian serupa
yang menggunakan aquadest steril sebagai kontrol negatif dalam penelitian daya
hambat terhadap pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes yaitu penelitian
yang dilakukan oleh Aida, dan E. Suswati (2016) dengan judulnya Uji In Vitro
Efek Ekstrak Etanol Biji Kakao (Theobroma cacao) sebagai Antibakteri terhadap
Propionibacterium acnes dan penelitian Damayanti (2014) dengan judulnya Uji
Efektifitas Bawang Putih Allium sativum Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Propionibacterium acnes Secara In Vitro. Dimana dari kedua penelitian tersebut
didapatkan kesimpulan aquadest steril tidak memiliki pengaruh dalam
pembentukan diameter zona hambat pada masing-masing konsentrasi cuka apel
terhadap pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes dengan hasil zona hambat
sebesar 0 mm.
b. Diameter zona hambat kontrol positif
Pada penelitian ini digunakan kontrol positif yaitu kloramfenikol 30 µg yang
berfungsi sebagai kontrol proses kerja dalam penelitian. Kontrol positif berupa
antibiotik kloramfenikol digunakan untuk mengkonfirmasi beberapa hal
diantaranya, mengetahui bahwa isolat bakteri uji layak digunakan, daya difusi zat,
ketepatan konsentrasi suspense bakteri, validasi zona hambat yang terbentuk serta
untuk mengetahui kondisi media pertumbuhan bakteri yang digunakan. Hal ini
69
dinilai dengan melihat kemampuan antibiotik kloramfenikol berdifusi ke dalam
media dan menimbulkan penghambatan terhadap bakteri uji. Hasil dari pengujian
daya hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes pada kontrol positif
didapatkan rata-rata diameter zona hambat sebesar 29,6 mm. Jika dibandingkan
dengan tabel NCCLS , rata-rata diameter kontrol positif terhadap pertumbuhan
bakteri Propionibacterium acnes digolongkan dalam kategori sensitif (≥ 18 mm).
Pemilihan kloramfenikol 30 µg sebagai kontrol positif didasari karena bakteri
Propionibacterium acnes telah banyak mengalami resistensi terhadap beberapa
antibiotik selain itu antibiotik ini bersifat bakteriostatik pada bakteri gram positif
maupun gram negatif, pada konsenrasi tinggi kloramfenikol bersifat bakterisid
untuk bakteri-bakteri tertentu. kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis
protein bakteri. Obat ini terikat pada ribosom subunit 50S dan menghambat enzim
peptidil transferase sehingga ikatan peptide tidak terbentuk pada proses sintesis
protein bakteri (Rahmawati, 2015).
Penggunaan kloramfenikol 30 µg sebagai kontrol positif terhadap daya
hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes juga dilakukan pada penelitian
yang dilakukan oleh Kurnia, Wahyuni, dan Murdiyah (2016) yang berjudul
Pengaruh Ekstrak Daun Kemangi (Ocimum americanum L.) Terhadap
Pertumbuhan Bakteri Propionibacterium acnes dimana dari penelitian tersebut,
didapatkan kesimpulan bahwa antibiotik kloramfenikol 30 µg yang digunakan
sebagai kontrol positif dikategorikan sensitif terhadap pertumbuhan
Propionibacterium acnes.
70
2. Diameter zona hambat kelompok perlakuan
a. Diameter zona hambat cuka apel konsentrasi 12,5%
Konsentrasi 12,5% pada penelitian ini menunjukkan rata-rata diameter zona
hambat sebesar 9,1 mm. Diameter zona hambat terbesar dari kelompok
konsentrasi 12,5% adalah 9,4 mm sedangkan diameter zona hambat terkecil pada
konsentrasi ini adalah 8,8 mm. Berdasarkan penggolongan kekekuatan daya
hambat bahan alam sebagai antibakteri, nilai rata-rata diameter menunjukkan
bahwa konsentrasi 12,5% termasuk dalam kategori sedang. Jika dibandingkan
dengan kloramfenikol 30 µg sebagai kontrol positif maka nilai rata-rata diameter
pada konsentrasi 12,5% masuk ke dalam kategori resisten.
b. Diameter zona hambat cuka apel konsentrasi 25%
Konsentrasi 25% pada penelitian ini menunjukkan rata-rata diameter zona
hambat sebesar 12,1 mm. Rata-rata diameter zona hambat konsentrasi 25% ini
lebih besar apabila dibandingkan dengan konsentrasi cuka apel 12,5%. Diameter
zona hambat terbesar dari kelompok konsentrasi 25% adalah 13 mm sedangkan
diameter zona hambat terkecil pada konsentrasi ini adalah 11,8 mm. Berdasarkan
penggolongan kekekuatan daya hambat bahan alam sebagai antibakteri, nilai rata-
rata diameter menunjukkan bahwa konsentrasi 25% termasuk dalam kategori
kuat. Jika dibandingkan dengan kloramfenikol 30 µg sebagai kontrol positif maka
nilai rata-rata diameter pada konsentrasi 25% masuk ke dalam kategori resisten.
c. Diameter zona hambat cuka apel konsentrasi 50%
Konsentrasi 50% pada penelitian ini menunjukkan rata-rata diameter zona
hambat sebesar 14,9 mm. Rata-rata diameter zona hambat konsentrasi 50% ini
lebih besar apabila dibandingkan dengan konsentrasi cuka apel 12,5% maupun
71
25%. Diameter zona hambat terbesar dari kelompok konsentrasi 50% adalah 15,2
mm sedangkan diameter zona hambat terkecil pada konsentrasi ini adalah 14,6
mm. Berdasarkan penggolongan kekekuatan daya hambat bahan alam sebagai
antibakteri, nilai rata-rata diameter menunjukkan bahwa konsentrasi 50%
termasuk dalam kategori kuat. Jika dibandingkan dengan kloramfenikol 30 µg
sebagai kontrol positif maka nilai rata-rata diameter pada konsentrasi 50% masuk
ke dalam kategori intermediet.
d. Diameter zona hambat cuka apel konsentrasi 100%
Konsentrasi 100% pada penelitian ini menunjukkan rata-rata diameter zona
hambat sebesar 18,9 mm. Rata-rata diameter zona hambat konsentrasi 100% ini
lebih besar apabila dibandingkan dengan semua konsentrasi cuka apel lainnya.
Diameter zona hambat terbesar dari kelompok konsentrasi 25% adalah 19,2 mm
sedangkan diameter zona hambat terkecil pada konsentrasi ini adalah 18,6 mm.
Berdasarkan penggolongan kekekuatan daya hambat bahan alam sebagai
antibakteri, nilai rata-rata diameter menunjukkan bahwa konsentrasi 100%
termasuk dalam kategori kuat. Jika dibandingkan dengan kloramfenikol 30 µg
sebagai kontrol positif maka nilai rata-rata diameter pada konsentrasi 100%
masuk ke dalam kategori sensitif.
Hasil penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian cuka apel sebelumnya
yang dilakukan oleh Reza, Abdullah, dan Anissa (2005) dalam penelitiannya yang
berjudul Efek Antibakteri Cuka Sari Apel Terhadap Salmonella thypi
menggunakan cuka apel dengan konsentrasi 12,5%, 25% 50%, dan 100%. Dalam
penelitian tersebut didapatkan hasil rata-rata diameter zona hambat berurut-turut
72
yaitu 14 mm, 24 mm, 31 mm, dan 35,25 mm, dimana konsentrasi 12,5% sebagai
kriteria kuat dan konsentrasi 25%, 50%, serta 100% dalam kriteria sangat kuat.
Jika dibandingkan dengan tabel NCCLS, dari keempat konsentrasi tersebut,
konsentrasi 25%, 50%, dan 100% menunjukkan hasil yang sensitif terhadap
pertumbuhan Salmonella thypi. Dari keempat konsentrasi yang digunakan Reza,
Abdullah, dan Anissa menunjukkan konsentrasi 25% merupakan konsentrasi yang
paling efektif karena tidak memiliki perbedaan dengan diameter zona hambat
yang terbentuk pada kontrol kerja.
Bila dibandingkan dengan penelitian ini dapat dilihat bahwa nilai rata-rata
diameter zona hambat pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes lebih kecil
daripada keempat konsentrasi yang sama dengan penelitian Reza, Abdullah, dan
Anissa (2005) terhadap Salmonella typhi . Hal ini dapat terjadi karena
kemampuan antibakteri dari cuka apel juga tergantung pada jenis bakteri uji yang
digunakan. Dimana bakteri yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
bakteri gram positif dan bakteri Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif
dimana terdapat perbedaan sifat dan sel penyusun bakteri. Sehingga hal ini dapat
mempengaruhi penghambatan pertumbuhan dari kedua bakteri tersebut (Suciari,
Mastra, dan Widhya , 2017).
Perbedaan hasil rata-rata penelitian ini dengan penelitian Reza, Abdullah, dan
Anissa (2005) terhadap Salmonella typhi juga dapat terjadi karena cuka apel yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan cuka apel kemasan yang dijual di
pasaran berbeda dengan cuka apel yang digunakan dalam penelitian Reza,
Abdullah, dan Anissa (2005) terhadap Salmonella typhi dimana penelitian
tersebut menggunakan cuka apel yang dibuat sendiri sehingga memungkinkan
73
hilangnya zat-zat aktif yang bersifat antibakteri akibat lamanya proses produksi,
pengemasan, maupun saat transportasi.
3. Perbedaan diameter zona hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes
pada berbagai konsentrasi cuka apel
Perbedaan rata-rata diameter zona hambat masing-masing konsentrasi cuka
apel terhadap pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes dapat dilihat pada
gambar berikut :
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Konsentrasi 12,5% Konsentrasi 25% Konsentrasi 50% Konsentrai 100%
9.1
12.1
14.9
18.9
Dia
met
er Z
on
a H
ambat
(m
m)
Perlakuan Cuka Apel
Rata-rata Diameter Zona Hambat Cuka Apel Pada Berbagai
Konsentrasi Terhadap Pertumbuhan Propionibacterium acnes
Gambar 10. Grafik Perbandingan Diameter Zona Hambat Pada Berbagai
Konsentrasi Cuka Apel
Gambar (10) menunjukkan adanya aktivitas antibakteri cuka apel terhadap
pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes berupa peningkatan zona hambat
yang berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi cuka apel dari konsentrasi
12,5% sampai 100%. Peningkatan diameter zona hambat dari konsentrasi 12,5%
ke 25% yaitu sebesar 3 mm, dari konsentrasi 25% ke 50% yaitu sebesar 2,8 mm,
74
dari konsentrasi 50% ke 100% yaitu sebesar 4 mm. Peningkatan diameter zona
hambat terbesar terjadi pada penelitian yaitu dari konsentrasi 50% ke 100%.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa keempat konsentrasi cuka apel
yaitu 12,5%, 25%, 50%, dan 100% dalam penelitian ini dapat menghambat
pertumbuhan Propionibacterium acnes, dimana ditandai dengan terbentuknya
diameter zona hambat pada cakram disk. Konsentrasi terendah yang mampu
menghambat pertumbuhan Propionibacterium acnes adalah konsentrasi 12,5%
sedangkan konsentrasi tertinggi yang mampu menghambat pertumbuhan
Propionibacterium acnes adalah konsentrasi 100%. Diameter zona hambat yang
terbentuk pada berbagai konsentrasi cuka apel dipengaruhi oleh adanya
kandungan zat aktif. Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka semakin
besar diameter zona hambat yang dihasilkan. Pengaruh dari pengenceran
menyebabkan adanya perbedaan diameter zona hambat yang terbentuk.
Menurut Reza, Abdullah, dan Anissa (2005) dalam penelitiannya yang
berjudul Efek Antibakteri Cuka Sari Apel Terhadap Salmonella thypi
menggunakan cuka apel dengan konsentrasi 12,5%, 25% 50%, dan 100%. Dalam
penelitian tersebut didapatkan hasil yang menunjukkan adanya beberapa zat yang
terkandung dalam cuka apel diantaranya asam asetat, vitamin B1, B2, asam
amino, flavonoid, tanin, saponin, pectin, potassium, dan magnesium. Kandungan
zak aktif yang bersifat sebagai antibakteri dalam cuka apel yaitu flavonoid,
saponin, tannin, dan asam asetat.
Secara umum terdapat dua macam efek yang ditimbukan antibakteri yaitu
bakteriostatik dan bakteriosid. Bakteriostatik memiliki efek menghambat atau
menghentikan pertumbuhan mikroorganisme seperti menghentikan pertumbuhan
75
fungi, sitostatika terhadap kanker. Dalam keadaan seperti ini jumlah
mikroorganisme menjadi stasioner, contoh sulfonamida, tetrasiklin,
kloramfenikol, dan eritromisin. Sedangkan bakteriosid, bersifat membunuh
mikroorganisme. Dalam hal ini jumlah mikroorganisme akan berkurang bahkan
habis, tidak dapat melakukan multifikasi atau berkembang biak, contohnya
penisilin, sefalosporin, dan neomisin (Hidayah, 2016).
Flavonoid merupakan golongan metabolit sekunder yang disintesis dari
asam piruvat melalui metabolisme asam amino. Flavonoid sebagai antibakteri
memiliki mekanisme kerja diantaranya adalah dengan mengikat protein
ekstraseluler dan protein terlarut sehingga kehilangan fungsi normalnya,
menonaktifkan enzim, serta merusak dinding sel dan membran sel bakteri.
Beberapa flavonoid bersifat bakterisidal, bakteriostatik, fungisida, serta
menonaktifkan virus lipofilik (Qomar,2018).
Saponin merupakan senyawa metabolik sekunder yang berfungsi sebagai
antiseptik sehingga memiliki kemampuan antibakteri. Mekanisme kerja saponin
sebagai antibakteri yaitu dapat menyebabkan kebocoran protein dan enzim dari
dalam sel. Saponin dapat menjadi antibakteri karena zat aktif permukaannya mirip
detergen, akibatnya saponin akan menurunkan tegangan permukaan dinding sel
bakteri dan merusak permebialitas membrane. Rusaknya membran sel ini sangat
mengganggu kelangsungan hidup bakteri. Saponin mengganggu membran
sitoplasma bersifat bakterisida (Riana, Zusfahair, dan Kartika, 2016).
Adanya tanin sebagai antibakteri akan mengganggu sintesa peptidoglikan
sehingga pembentukan dinding sel menjadi kurang sempurna. Keadaan yang
menyebabkan sel bakteri menjadi lisis karena tekanan osmotik maupun fisik
76
sehingga sel bakteri menjadi mati. Selain itu senyawa tanin bekerja dengan cara
mengikat dinding protein sehingga pembentukan dinding sel bakteri terhambat
(Qomar,2018).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ricke SC (2003) menunjukkan bahwa
asam asetat memiliki aktivitas antibakteri melalui mekanisme mempengaruhi
lingkungan sekitar pertumbuhan bakteri tersebut menjadi asam. Menurut Heryanti
(2014), mekanisme penghambatan antimikroba pada asam asetat disebabkan oleh
kerusakan membrane, penghambatan reaksi metabolisme yang esensial,
hemostasis pH internal sel, akumulasi anion sisa asam pada sitoplasma yang
bersifat toksik, mengganggu sistem sintesis protein atau genetik (sintesis
DNA/RNA), dan kematian mikroba karena kehabisan ATP.
Perbedaan diameter zona hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes
pada berbagai konsentrasi cuka apel diketahui dengan cara melakukan uji statistik
One Way Anova untuk mengetahui adanya perbedaan diameter zona hambat
pertumbuhan Propionibacterium acnes pada berbagai konsentrasi cuka apel
secara in vitro. Setelah dianalisa pada tingkat kepercayaan 95% (0,05) diperoleh
hasil nilai sig (0,00) < α (0,05). Hasil tersebut menandakan bahwa ada perbedaan
zona hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes pada berbagai konsentrasi
cuka apel secara in vitro.
Perbedaan pada masing-masing konsentrasi cuka apel dalam menghambat
pertumbuhan Propionibacterium acnes kemudian diuji dengan uji LSD (Least
Significant Difference). Uji LSD menunjukkan nilai asymp sig (0,000) < 0,05
dimulai dari konsentrasi 12,5% dengan 25%, 12,5% dengan 50%, 12,5% dengan
100%, 25% dengan 50%, 25% dengan 100%, dan 50% dengan 100 sehingga
77
dapat disimpulkan adanya perbedaan yang signifikan antara masing-masing
konsentrasi terhadap seluruh konsentrasi lainnya.
4. Konsentrasi yang paling efektif
Diameter zona hambat yang dibentuk oleh keempat konsentrasi cuka apel
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa cuka apel dengan konsentrasi 12,5%,
25% termasuk kategori resisten, konsentrasi 50% termasuk konsentrasi
intermediate, dan konsentrasi 100% termasuk kategori sensitif jika dibandingkan
pada tabel NCCLS. Kategori resisten adalah dimana suatu zat bersifat
menghambat pertumbuhan bakteri tetapi dalam skala kecil dan tidak tuntas.
Kategori intermediate adalah suatu keadaan dimana terjadi pergeseran dari
keadaan sensitif ke keadaan yang resisten tetapi tidak resisten sepenuhnya.
Kategori sensitif merupakan suatu keadaan dimana mikroba sangat peka terhadap
antibiotik (Rohmandhani,2016).
Menurut Lestari (2014), konsentrasi yang paling efektif adalah konsentrasi
terkecil yang memiliki zona hambatnya berada pada kategori sensitif atau sama
jika dibandingkan dengan kontrol positifnya (kloramfenikol), dan dalam
penelitian ini konsentrasi yang zona hambatnya memiliki kategori sensitif adalah
cuka apel dengan konsentrasi 100%. Hal ini juga didukung bahwa cuka apel
dengan konsentrasi 100% memiliki daya hambat yang kuat serta memiliki
diameter zona hambat yang paling besar yang menandakan konsentrasi ini lebih
efektif dari konsentrasi 12,5%, 25%, dan 50%.
78
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Rata-rata diameter zona hambat untuk masing-masing konsentrasi cuka apel
yaitu, pada konsentrasi 12,5% sebesar 9,1 mm, konsentrasi 25% sebesar 12,1
mm, konsentrasi 50% sebesar 14,9 mm, dan konsentrasi 100% sebesar 18,9
mm.
2. Ada perbedaan zona hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes pada
berbagai konsentrasi cuka apel (apple cider vinegar) secara in vitro.
3. Konsentrasi cuka apel yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan
Propionibacterium acnes adalah konsentrasi 100%.
B. Saran
1. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan penelitian terhadap cuka apel sebagai
antibakteri dapat dilanjutkan dan lebih diperluas dengan mengujinya pada
jenis bakteri lain.
2. Bagi masyarakat disarankan untuk menggunakan cuka apel (apple cider
vinegar) sebagai obat alternatif terhadap infeksi yang disebabkan oleh
Propionibacterium acnes dengan cara mengaplikasikannya ke area kulit yang
terinfeksi.
3. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan kepustakaan dan
informasi untuk mahasiswa di bidang kesehatan.
79
DAFTAR PUSTAKA
Aida, dan E. Suswati. 2016. Uji In Vitro Efek Ekstrak Etanol Biji Kakao (
Theobroma cacao ) sebagai Antibakteri terhadap Propionibacterium acnes.
Journal Pustaka Kesehatan, 4(1), 127–131. Tersedia pada:
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/JPK/article/view/2558. Diakses pada
tanggal 2 November 2018.
Arrizqiyani, T. 2018. Uji Anti Bakteri Ekstrak Daun Jambu Biji ( Psidium
Guajava L ) Terhadap Zona Hambat Bakteri Jerawat Propionibacterium
Acnes Secara In Vitro. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada. Tersedia pada
: ejurnal.stikes-bth.ac.id/index.php/P3M_JKBTH/article/view/259. Diakses
pada tanggal 1 November 2018.
Atro, dan P. Nurmiati. 2015. Keberadaan Mikroflora Alami Dalam Fermentasi
Cuka Apel Hijau ( Malus Sylvestris Mill .) Kultivar Granny Smith. Jurnal
Biologi Universitas Andalas, 4(3), 158–161. Tersedia pada:
jbioua.fmipa.unand.ac.id/index.php/jbioua/article/view/163. Diakses pada 2
November 2018.
Caturryanti, D., S. Luwihana, dan S. Tamaroh. 2008. Pengaruh Varietas Apel dan
Campuran Bakteri Asam Asetat Terhadap Proses Fermentasi. Journal
AGRITECH, 28(2), 70–75. Tersedia pada:
https://jurnal.ugm.ac.id/agritech/article/view/9865. Diakses pada 31 Oktober
2018.
Damayanti, M. 2014. ( Allium sativum ) Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Propionibacterium acnes Secara In Vitro. Skripsi. Tersedia pada:
repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/.../1/MAYA%20DAMAYANTI-
FKIK.pdf. Diakses pada 2 November 2018.
Dumasari, R. 2009. Perbedaan Siringoma, Milium, Akne Vulgaris. USU
Repository, 1–12. Tersedia pada:
repository.usu.ac.id/handle/123456789/3403. Diakses pada 2 November
2018.
Ergina, S. Nuryanti, dan I. D. Pursitasari. 2014. Uji Kualitatif Senyawa Metabolit
Sekunder Pada Daun Palado Yang Diekstraksi Dengan Pelarut Air dan
Etanol. Journal Akad Kim. Tersedia pada :
https://media.neliti.com/media/publications/224213-uji-kualitatif-senyawa-
metabolit-sekunde.pdf . Diakses pada 5 April 2019.
Fadila, Z. 2010. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Sirih ( Piper betle
L .) Terhadap Propionibacterium acne Dan Staphylococcus aureus. Skripsi.
Tersedia pada: eprints.ums.ac.id/10092/1/K100060127.pdf. Diakses pada 2
November 2018.
80
Hafsari, A. R. 2016. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Beluntas ( Pluchea
indica ( L .) Less . ) Terhadap Propionibacterium acnes Penyebab Jerawat.
ISSN, (February). Tersedia pada:
https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/istek/article/view/174. Diakses pada 2
November 2018.
Harahap, dan Marwali. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates.
Heryanti, Tety. 2014. Pengaruh Anti Mikroba Terhadap Pertumbuhan Mikroba.
Academia Journal. Tersedia pada:
https://academia/Pengaruh_Anti_Mikroba_Terhadap_Pertumbuhan_Mikrob
a.pdf. Diakses pada 10 Mei 2019.
Hidayah, N. 2016. Uji Aktivitas Ekstrak Metanol Klika Anak Dara (Croton
oblongus burm F.) Terhadap Bakteri Penyebab Jerawat. Skripsi. Tersedia
pada: repositori.uin-alauddin.ac.id/1611/1/Ninin%20Didayah.%20D.pdf.
Diakses pada tanggal 2 November 2018.
Jawetz, Melnick, dan Adelberg. 2012. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
Karim, N. U. R. M. 2011. Perbandingan Efektivitas Cuka Apel Dan Dietilpropion
Terhadap Penurunan Berat Badan Tikus ( Rattus novergicus ).Journal UI.
Tersedia pada : lib.ui.ac.id/file?file=digital/20320319-S-
Nur%20Muhammad%20Karim.pdf. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2018.
Kurnia, D. Wahyuni, dan S. Murdiyah. 2016. Pengaruh Ekstrak Daun Kemangi
(Ocimum americanum L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Propionibacterium
acnes. Jurnal Prosiding Biologi. Tersedia pada :
http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/80433/F.%20KIP_Pr
osiding_Siti%20Murdiyah_Pengaruh%20Ekstrak%20Daun%20Kemangi_1.p
df?sequence=1. Diakses pada 31 Oktober 2018.
Lestari, Suasih. 2014. Perbedaan Zona Hambat Pertumbuhan Staphylococcus
aureus Pada Berbagai Konsentrasi Air Rebusan Daun Sirih (Piper betle L.)
Secara In Vitro. Denpasar: Tidak diterbitkan.
Liputan6. 2018. 5 Kebaikan Cuka Apel untuk Kecantikan. Liputan
6.https://liputan6.com/fashion-beauty/read/3538903/5-kebaikan-cuka-apel-
untuk-kecantikan-simak-di-sini.
Lood, Rolf. 2011. Propionibacterium acnes and its Phages. Department of
clinicukal sciences, Faculty of Medicine, Lund University: Sweden.
Tersedia pada: https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/istek/article/view/174.
Diakses pada 2 November 2018.
81
Ma’sum, Z. 2006. Pengaruh Suhu Penyimpanan Dan Waktu Fermentasi Terhadap
Kualitas Cuka Apel Manalagi. Buana Sains, 6(2), 195–198. Tersedia pada :
https://jurnal.unitri.ac.id/index.php/buanasains/article/view/111. Diakses
pada tanggal 31 Oktober 2018.
Maulida, P. 2015. Aktifitas Hepatoprotektor Cuka Apel ANNA Terhadap Kadar
SGOT dan SGPT Serum Tikus Wistar yang Diinduksi Parasetamol Dosis
Toksik. Repository UJ. Tersedia pada :
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/JPK/article/view/7663/5434. Diakses pada
tanggal 1 November 2018.
Miratunnisa, L. M. 2015. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Kulit Kentang.
Sivitas Akademika Unisba , 510–516. Tersedia pada :
unisba.ac.id/index.php/farmasi/article/download/2063/pdf. Diakses pada
tanggal 2 November 2018.
Mizwar, M., G. Kapantow, dan P. L. Suling. 2011. Profil Akne Vulgaris Di Rsup
Prof . Dr . R . D . Kandou. EJournal Unsrat. Tersedia pada:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/3276. Diakses
pada tanggal 2 November 2018.
Movita, T. 2013. Acne Vulgaris. KalbeMed, 40(3), 269–272. Tersedia pada:
www.kalbemed.com/Portals/6/203_CME-Acne%20Vulgaris.pdf. Diakses
pada tanggal 2 November 2018.
Nugraha, A., W. Pratama, M. H. Pradipta, dan A. Machlaurin. 2017. Survei
Pengetahuan dan Pilihan Pengobatan Jerawat di Kalangan Mahasiswa
Kesehatan Universitas Jember. Jurnal Pustaka Kesehatan. Tersedia pada:
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/JPK/article/view/5871. Diakses pada
tanggal 2 November 2018.
Nugroho, R. A. 2013. Terapi Topikal Clindamycin Dibandingkan Dengan
Niacinamide + Zinc Pada Akne Vulgaris. Jurnal Pustaka Kesehatan.
Tersedia pada:
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico/article/view/4976 . Diakses
pada tanggal 2 November 2018.
Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian Skripsi, Tesis, Disertasi, dan
Karya Ilmiah. Jakarta : KENCANA.
Qomar,S. 2018. Efektivitas Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Kayu Manis
(Cinnamomum burmannii) Terhadap Diameter Zona Hambat Pertumbuhan
Bakteri Stapylococcus epidermidis. Jurnal Biota. Tersedia pada:
https://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/biota/article/download/1454.pdf .
Diakses pada 5 April 2019.
Radji, Makjum. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi : Panduan Mahasiswa Farmasi
dan Kedokteran / Penulis. Jakarta: EGC.
82
Rahmawati, M. 2015. Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol Dan Air
Rimpang Pacing (Costus Spiralis) Terhadap Bakteri Eschericia coli, Shigella
dysenteriae, Salmonella typhimurium, Bacillus subtilis, Stapylococcus
aureus Serta Fungi Candida Albicans. Tersedia pada:
repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/.../38025/.../MERI%20RAHMAWA
TI-FKIK.pdf. Diakses pada tanggal 2 Desember 2018.
Reza, I., U. Abdullah, dan S. Anissa. 2005. Efek Antibakteri Cuka Sari Apel
Terhadap Salmonella Typhi. Sivitas Akademika Unisba, 601–606. Tersedia
pada: repository.unisba.ac.id/handle/123456789/2992. Diakses pada tanggal
1 November 2018.
Riana, D.,Zusfahair, dan D. Kartika. 2016. Identifikasi Senyawa Metabolit
Sekunder Serta Uji Aktivitas Ekstrak Daun Sirsak Sebagai Antibakteri.
Molekul Journal. Tersedia pada :
https://ojs.jmolekul.com/ojs/index.php/jm/article/download/199/2016.pdf.
Diakses pada 5 April 2019.
Ricke SC. 2003. Perspectives on the use of organic acids and short chain fatty
acids as antimicrobials ; 82: 632-29 . New York: Pult Sci
Rohmandhani, Roby. 2016. Uji Kepekaan Bakteri Terhadap Antibiotika.
Academia Journal. Tersedia pada:
https://academia/Uji_Kepekaan_Bakteri_Terhadap_Antibiotika.pdf. Diakses
pada 6 Mei 2019.
Rusli, D., A. Arinia, dan P. Asa. 2016. Formulasi Krim Clindamycin Sebagai Anti
Jerawat Dan Uji Efektivitas Terhadap Bakteri Propionibacterium acne.
Jurnal Ilmiah Bakti Farmasi, (2), 5–14.Tersedia pada :
https://ejournal.jibf.ac.id/index.php/baktifarmasi/article/download/PDF/13/.
Diakses pada tanggal 2 November 2018.
Saraswati, F. (2015). Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol 96% Limbah Kulit
Pisang Kepok Kuning ( Musa balbisiana ) Terhadap Bakteri Penyebab
Jerawat ( Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan
Propionibacterium acne). Tersedia pada: repository. uinjkt. ac.id/dspace/...
/1/FARADHILA%20NUR%20SARASWATI-FKIK.pdf. Diakses pada
tanggal 2 November 2018.
Siregar. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta : EGC.
Suciari, L. K., N. Mastra, dan C. D. Widhya. Perbedaan Zona Hambat
Pertumbuhan Stapylococcus aureus Pada Berbagai Konsentrasi Rebusan
Daun Salam (Syzygium polyanthum) Secara In Vitro. Jurnal Meditory.
Tersedia pada : http://ejournal.poltekkes-denpasar.ac.id. Diakses pada 1 Juni
2019.
83
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suryanto D., N. Irawati dan E. Munir. 2011. Isolation and Characterization of
Chitinolytic Bacteria and Their Potential to Inhibit Plant Pathogenic Fungi.
Jurnal Microbiology Indonesia. 5(3): 144 – 148.
Tribunnews. (2018). 5 Cara Mudah Mengatasi Masalah Jerawat Dengan
Menggunakan Cuka Apel. Tribunnews.
https://m.tribunnews.com/amp/lifestyle/2018/11/17/5-cara-mudahmengatasi-
masalah-jerawat-dengan-menggunakan-cuka-apel
Vandepitte, Verhaegen, Engbaek, P.Rohner, P.Piot,C.C.H. 2010. Prosedur
Laboratorium Dasar Untuk Bakteriologi Klinis. Jakarta :EGC.
84
Lampiran 1 : Data Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Pada Berbagai
Konsentrasi Cuka Apel Terhadap Pertumbuhan Propionibacterium acnes
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI JURUSAN ANALIS KESEHATAN
DATA HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH
Perihal : Uji Daya Hambat
Nama Peneliti : Ni Made Dwi Adnyani
Judul Penelitian : Perbedaan Zona Hambat Pertumbuhan
Propionibacterium acnes Pada Berbagai Konsentrasi
Cuka Apel (Apple Cider Vinegar) Secara In Vitro
Hasil :
Tabel 1
Diameter Zona Hambat Pertumbuhan Cuka Apel pada Kontrol Kerja
(Kloramfenikol 30 µg) Terhadap Bakteri Propionibacterium acnes Setelah
Inkubasi 24 jam.
Pengulangan
Diameter zona hambat (mm)
Rata-rata Replikasi
I
Replikasi
II
I 29,4 29,6 29,5
II 29,6 29,8 29,7
III 29,7 29,7 29,7
IV 29,6 29,6 29,6
Rata-rata 29,6 29,7 29,6
Tabel 2
Diameter Zona Hambat Pertumbuhan pada Kontrol Negatif (Aquadest Steril)
Terhadap Bakteri Propionibacterium acnes Setelah Inkubasi 24 jam.
Pengulangan
Diameter zona hambat (mm)
Rata-rata Replikasi
I
Replikasi
II
I 0 0 0
II 0 0 0
III 0 0 0
IV 0 0 0
Rata-rata 0 0 0
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN
SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN ANALIS KESEHATAN Alamat : Jl. Sanitasi No 1 Sidakarya Denpasar Selatan
Telp : (0361) 710447 FAX : (0361) 710448 Website: www.poltekkes-denpasar.ac.id
85
Tabel 3
Diameter Zona Hambat Pertumbuhan pada Cuka Apel Konsentrasi 12,5%
Terhadap Bakteri Propionibacterium acnes Setelah Inkubasi 24 jam.
Pengulangan
Diameter zona hambat (mm)
Rata-rata Replikasi
I
Replikasi
II
I 9,2 9,4 9,3
II 9,3 8,9 9,1
III 8,9 9,2 9,05
IV 9,2 8,8 9
Rata-rata 9,2 9,1 9,1
Tabel 4
Diameter Zona Hambat Pertumbuhan pada Cuka Apel Konsentrasi 25%
Terhadap Bakteri Propionibacterium acnes Setelah Inkubasi 24 jam.
Pengulangan
Diameter zona hambat (mm)
Rata-rata Replikasi
I
Replikasi
II
I 11,8 12,2 12
II 11,8 12,3 12,05
III 11,9 11,9 11,9
IV 12,2 13 12,6
Rata-rata 11,9 12,4 12,1
86
Tabel 5
Diameter Zona Hambat Pertumbuhan pada Cuka Apel Konsentrasi 50%
Terhadap Bakteri Propionibacterium acnes Setelah Inkubasi 24 jam.
Pengulangan
Diameter zona hambat (mm)
Rata-rata Replikasi
I
Replikasi
II
I 14,8 14,7 14,75
II 14,9 14,6 14,75
III 15,2 14,9 15,05
IV 14,9 14,8 14,85
Rata-rata 15 14,8 14,9
Tabel 6
Diameter Zona Hambat Pertumbuhan pada Cuka Apel Konsentrasi 100%
Terhadap Bakteri Propionibacterium acnes Setelah Inkubasi 24 jam.
Pengulangan
Diameter zona hambat (mm)
Rata-rata Replikasi
I
Replikasi
II
I 18,7 19,2 18,95
II 18,6 19,2 18,9
III 18,9 19 18,95
IV 19,1 18,8 18,95
Rata-rata 18,8 19,1 18,9
87
Lampiran 2 : Hasil Uji Normalitas Data dengan Kolmogorov Smirnov
Lampiran 3 : Hasil Uji Beda
A. Hasil Uji Beda Data Diameter Zona Hambat Pertumbuhan Bakteri
Propionibacterium acnes dengan One Way Anova
ANOVA
Zona Hambat
Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Between Groups 417.811 3 139.270 1924.525 .000
Within Groups 2.026 28 .072
Total 419.837 31
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Zona
Hambat
Konsentrasi
N 32 32
Normal Parametersa,b
Mean 13.7594 2.5000
Std. Deviation 3.68010 1.13592
Most Extreme
Differences
Absolute .156 .170
Positive .132 .170
Negative -.156 -.170
Kolmogorov-Smirnov Z .881 .962
Asymp. Sig. (2-tailed) .419 .313
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
88
B. Hasil Uji LSD (Least Significant Difference) Diameter Zona Hambat
Pertumbuhan Bakteri Propionibacterium acnes
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Zona Hambat
LSD
(I)
Konsentras
i
(J)
Konsentras
i
Mean
Difference
(I-J)
Std.
Error
Sig. 95% Confidence Interval
Lower
Bound
Upper Bound
12,5%
25% -3.02500* .13450 .000 -3.3005 -2.7495
50% -5.73750* .13450 .000 -6.0130 -5.4620
100% -9.82500* .13450 .000 -10.1005 -9.5495
25%
12,5% 3.02500* .13450 .000 2.7495 3.3005
50% -2.71250* .13450 .000 -2.9880 -2.4370
100% -6.80000* .13450 .000 -7.0755 -6.5245
50%
12,5% 5.73750* .13450 .000 5.4620 6.0130
25% 2.71250* .13450 .000 2.4370 2.9880
100% -4.08750* .13450 .000 -4.3630 -3.8120
100%
12,5% 9.82500* .13450 .000 9.5495 10.1005
25% 6.80000* .13450 .000 6.5245 7.0755
50% 4.08750* .13450 .000 3.8120 4.3630
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
89
Lampiran 4 : Tabel Disk Zone (Zone Size Interpretative Chart (National For
Clinical Laboratory Standar, 1984) Second Part óf Bench Level Procedure
Manual on Basic Bacterilogy.
No. ANTIBIOTIK DISC
CONTENT
DIAMETER ZONE INHIBISI
R
(Resisten)
I
(Intermediate)
S
(Sensitif)
1 Amikasin 30 µg <14 15-16 >17
2 Amoksiklav 20/10 µg <13 14-17 >18
3
Ampisilin
- Enterobacteriaceae
- Enterococcus
10 µg
10 µg
<13
<16
14-16
-
>17
>17
4
Benzilpinisilin
- Stapylococcus
- Enterococcus
10 IU
10 IU
<28
<14
-
-
>29
>15
5 Sefalotin 30 µg <14 15-17 >18
6 Sefazolin 30 µg <14 15-17 >18
7 Sefotaksim 30 µg <14 15-22 >23
8 Seftazidim 30 µg <14 15-17 >18
9 Seftriakson 30 µg <13 14-20 >21
10 Sefuroksim sodium,
sefamandol 30 µg <14 15-17 >18
11 Kloramfenikol 30 µg ≤12 13-17 ≥18
12 Siprofloksasin 5 µg <15 16-20 >21
13 Klindamisin 2 µg <14 15-20 ≥21
14 Kotrimoksazol 25 µg <10 11-15 ≥16
15 Eritromisin 15 µg <13 14-22 >23
16 Gentamisin 10 µg <12 13-14 >15
17 Asam nalidiksat 30 µg <13 14-18 ≥19
18 Nitrofurantion 300 µg <14 15-16 >17
19 Norfloksasin 10 µg <12 13-16 >17
20 Oksasilin 1 µg <10 10-12 >13
21
Pieperasilin
- P.aeruginosa
- Batang Gram neg
100 µg
100 µg
<17
<17
-
18-20
>18
>21
90
No. ANTIBIOTIK DISC
CONTENT
DIAMETER ZONE INHIBISI
R
(Resisten)
I
(Intermediate)
S
(Sensitif)
22 Sulfonamida 300 µg <12 13-16 >17
23 Tetrasiklin 30 µg <14 15-18 >19
24 Tobramisin 10 µg <12 13-14 >15
25 Tripmetoprim 5 µg <10 11-15 ≥16
26
Vankomisin
- Stapylococcus
- Enterococcus
30 µg
30 µg
-
<14
-
15-16
>15
>17
Sumber : (Vandepitte,2010)
91
Lampiran 5 : Lembar Persetujuan Etik
92
Lampiran 6 : Alat dan Bahan Penelitian
A. Alat
Erlenmeyer Pipet ukur Ball pipet
Tabung reaksi Rak tabung reaksi Mikropipet (SOCOREX)
Blue tip dan yellow tip Gelas ukur Beaker glass
Spiritus Petri disk steril Autoklaf (TOMY SX-
500)
93
Inkubator
(ESCO Isotherm)
Neraca analitik
(RADWAGAS220.R2) Mc Farland densitometer
Bio Safety Cabinet (BSC-
1800 II B2-X)
Jangka sorong
B. Bahan
Cuka apel Aquadest steril Media Nutrient Agar
(NA)
Bakteri
Propionibacterium acne
ATCC 11827
Media Mueller Hinton
Agar (MHA)
Standar Mc Farland
0,5%
94
Larutan NaCl fisiologis
0,85%
Cakram disk kosong Cakram disk
Kloramfenikol
(OXOID)
Alkohol 70% Swab kapas steril Aluminium foil
95
Lampiran 7 : Dokumentasi Kegiatan Penelitian
Pembuatan Media MHA (Mueller Hinton Agar)
Penimbangan serbuk MHA (Mueller
Hinton Agar) sebanyak 38 gram
untuk membuat 1 Liter media MHA.
Serbuk MHA dilarutkan menggunakan
aquadest yang kemudian disterilkan di
dalam autoklaf.
Media MHA yang sudah diautoklaf
dan siap dituangkan pada petri disk
steril.
Media MHA yang sudah dituangkan
pada petri disk.
Pengenceran Cuka Apel
Cuka apel dengan konsentrasi 100%
yang akan diencerkan dengan
aquadest steril menjadi 12,5%, 25%,
dan 50%.
Pemipetan cuka apel dengan volume
yang ditentukan secara aseptis di
dalam alat Bio Safety Cabinet.
96
Pemipetan aquadest steril dengan
volume yang ditentukan secara aseptis
di dalam alat Bio Safety Cabinet.
Berbagai konsentrasi cuka apel setelah
dilakukan pengenceran
Pembuatan Suspensi Bakteri Propionibacterium acnes
Satu sampai tiga ose koloni P. acnes
diambil dari biakan murni.
Koloni bakteri disuspensikan ke dalam
tabung yang berisi 5 mL larutan NaCl
fisiologis 0,85%.
Suspensi diukur dengan Mc Farland
densitometer.
Suspensi bakteri P.acnes 0,5 %
97
Uji Daya Hambat Pada Media MHA (Mueller Hinton Agar)
Cakram disk kosong direndam
dalam cuka apel pada setiap
konsentrasi hingga meresap ke
dalam cakram disk.
Cakram disk kosong direndam ke dalam
aquadest steril sebagai kontrol negatif
Cakram disk antibiotik
Kloramfenikol 30 µg sebagai
kontrol positif
Swab kapas steril dicelupkan ke dalam
suspensi bakteri kemudian diperas
dengan cara menekannya pada dinding
tabung bagian dalam.
Swab kapas yang telah berisi
suspensi diinokulasikan pada media
Mueller Hinton Agar (MHA)
hingga menutupi seluruh
permukaan media.
Masing-masing cakram disk yang telah
jenuh dengan cuka apel ditempelkan
pada media Mueller Hinton Agar
(MHA).
98
Kontrol positif dan negatif
ditempelkan pada media Mueller
Hinton Agar (MHA) yang berbeda.
Media MHA yang telah ditanami
cakram disk diinkubasi pada suhu 37ºC
selama 24 jam dalam posisi terbalik.
Zona hambat dilihat dan diukur
diameternya menggunakan jangka
sorong (dalam satuan mm).
99
Lampiran 8 : Zona Hambat Cuka Apel dengan Berbagai Konsentrasi
terhadap Propionibacterium acnes Pada Media MHA
Replikasi I
Konsentrasi 12,5% Konsentrasi 25%
Konsentrasi 50% Konsentrasi 100%
Kontrol positif Kontrol negatif
100
Replikasi II
Konsentrasi 12,5% Konsentrasi 25%
Konsentrasi 50% Konsentrasi 100%
Kontrol positif Kontrol negatif