Post on 07-Mar-2019
PENILAIAN KUALITAS TERJEMAHAN
(Studi Kasus Terjemahan Fiqh Al Islâm Wa Adilatuh Bab Salat Pasal 1
Karya Dr. Wahbah Al-Zuhailî)
Universitas Islam Negeri
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Oleh:
Amir Hamzah
104024000829
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2011 M/1431 H
LEMBAR PERNYATAAN
Bismillahirrahmanirrohim
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Amir Hamzah NIM : 104024000829 Jurusan : Tarjamah Fakultas : Adab dan Humaniora Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana Strata 1 (S1) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, Maret 2011
Amir Hamzah
PENILAIAN KUALITAS TERJEMAHAN
( Studi Kasus Terjemahan Fiqh Al Islâm Wa Adilatuh Bab Salat Pasal 1
Karya Dr. Wahbah Al -Zuhailî)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi
Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Sastra
Oleh
Amir Hamzah
NIM: 104024000829
Di bawah Bimbingan
Dr. Akhmad Saehudin M.Ag
NIP. 19700505 20003 1003
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2011 M/1431 H
PENGESAHAN PANITA UJIAN
Skripsi yang berjudul Penilaian Kualitas Terjemahan (Studi Kasus Terjemahan Fiqh al-Islâm Wa Adillatuh Bab Salat Pasal 1 karya Dr. Wahbah Al-Zuhaili), yang telah diujikan dalam Sidang Munaqosah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada senin tanggal 14 Maret 2011, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Strata 1 (S1) pada jurusan Tarjamah.
Jakarta, Senin 14 Maret 2011
Panitia Ujian Munaqosah
Ketua Panitia (Ketua Jurusan) Sekretaris Panitia (Sekretaris Jurusan) . DR. H. Akhmad Saehudin M.Ag Moch Syarif Hidayatullah M.Hum NIP. 19700505 20003 1 003 NIP. 19791229 200501 1 004
Anggota Penguji 1 Penguji 2 Dr. Abdullah M.A Moch Syarif Hidayatullah M.Hum NIP.19610825 199303 1 002 NIP. 19791229 200501 1 004
Mengetahui Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
Dr. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag. NIP. 19560817 198603 1 006
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan ١ tidak dilambangkan b be ب t te ت ts te dan es ث j je ج h h dengan garis bawah ح kh ka dan ha خ d de د dz de dan zet ذ r er ر z zet ز s es س sy es dan ye ش s es dengan garis di bawah ص d de dengan garis di bawah ض t te dengan garis di bawah ط z zet dengan garis bawah ظ koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع gh ge dan ha غ f ef ف q ki ق k ka ك l el ل m em م n en ن w we و h ha ھ apostrof ’ ء y ye ي
vi
Vokal
a. Vokal Tunggal
Tanda Vokal Arab tanda Vokal Latin Keterangan a Fathah
i kasrah
u dammah
b. Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ai a dan i ي au a dan u و
c. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan â a dengan topi di atas ا î i dengan topi di atas ي û u dengan topi di atas و
d. Kata Sandang Kata sandang, yang dialihkan dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik dikuti huruf syamsiah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijal bukan ar-rijal.
e. Syaddah (Tasydid) Syaddah atau tasysid yang dalam system tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
f. Ta Marbutah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. hal yang sama juka berlaku jika ta marbutah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t). namun, jika huruf ta marbutah tersebut diikuti kata benda (ism) maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadu huruf /t/.
vii
ABSTRAK Amir Hamzah Penilaian Kualitas Terjemahan (Studi Kasus Terjemahan Kitab Fiqh Al-Islam Wa Adlatuh Karya Dr. Wahbah Al-Zuhaili)
Menilai terjemahan adalah kegiatan yang bertujuan melihat keakuratan,
mengukur kejelasan, serta menimbang kejelasan. Keakuratan berarti sejauh mana pesan dalam Tsu disampaikan dengan benar dalam Tsa. Kejelasan berarti sejauh mana pesan yang dikomunikasikan dalam Tsa dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca Tsa. Pesan yang ditangkap Tsu sama dengan pesan yang ditangkap oleh pembaca Tsa. Kewajaran berarti sejauh mana pesan dikomunikasikan dalam bentuk yang lazim, sehingga pembaca Tsa merasa bahwa teks yang dibacanya adalah teks asli yang ditulis dalam Bsa.
Dalam penilaian terjemahan sesuatu yang dinilai adalah produk bukan proses penerjemahan, hal ini berarti bahwa yang dinilai adalah hasil terjemahan. Sehingga penilaian di sini, bukan lagi menilai bagaimana hasil itu diproduksikan, pada tahap mana kesalahan terjadi.
Penelitian ini ingin mengetahui sejauh mana ketepatan, kejelasan dan kewajaran hasil terjemahan yang dilakukan oleh penerjemah pada setiap kata, frase, klausa dan kalimat yang terdapat pada buku Fiqh Al-Islâm Wa adilatuh. Evaluasi dan analisa yang dilakukan merujuk kepada beberapa aspek-aspek pokok penilaian. Aspek-aspek itu antara lain : penyampain pesan yang tepat dan lugas, penggunaan struktur kata yang sepadan dengan bahasa sasaran, pemilihan diksi yang berterima, keefektifan kalimat, serta penggunaan tanda baca dan ejaan yang sesuai hingga penggunaan gaya bahasa yang tepat. Hasil-hasil evaluasi tersebut akan dimasukan ke dalam tabel hitungan matematis yang akan dijumlahkan untuk mengetahui nilai dari terjemahan. Dari segi ketepatan hasil terjemahan buku ini, peneliti banyak mendapati ketidak tepatan dalam mengalihkan pesan sesuai dengan maksud dan tujuan penulis asli sehingga banyak pesan yang tidak tersampaikan secara benar. Hal ini akan berakibat pada pemahaman yang sulit bagi kalangan pembaca teks sasaran. Dari segi kejelasan peneiliti juga banyak menemukan pengalihan teks sumber yang jauh dari kelaziman pada bahasa sasaran. Hal itu terlihat dari penggunaan diksi yang banyak menggunakan kata-kata yang kurang tepat dan salah. Selanjutnya penggunaan kalimat yang tidak efektif serta penggunaan tanda baca yang tidak baku. Kesalahan-kesalahan ini mengakibatkan menurunnya kualitas dan nilai terjemahan buku ini.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Saya bersyukur kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya saya
dapat merampungkan skripsi ini. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi besar
Muhammad SAW, yang telah membawa kita sebagai umatnya mampu dalam
mengenal, mencari, dan menegakkan syariat Islam. Saya menyadari, skripsi yang
saya tulis itu bukan merupakan suatu yang instant. Itu buah dari suatu proses yang
relatif panjang, menyita segenap tenaga dan fikiran. Penulisan skripsi itu saya
lakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Sastra di Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Yang pasti tanpa segenap motivasi, kesabaran, kerja keras, dan doa –
mustahil saya sanggup untuk menjalani tahap demi tahap dalam kehidupan akademik
saya di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada
dasarnya dalam proses penulisan skripsi ini saya mengalami berbagai halangan dan
rintangan, akan tetapi dengan adanya bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak
akhirnya skripsi ini dapat saya selesaikan.
Pada Kesempatan ini Penulis menyampaikan terima kasih setulus-tulusnya atas
segala dukungan, bantuan, dan bimbingan dari beberapa pihak selama proses studi
dan juga selama proses penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Dr. H. Abd Wahid Hasyim, M.Ag Dekan Fakultas Adab dan Humaniora.
2. Dr. Akhmad Saehudin M.A Ketua Jurusan Tarjamah beserta staff.
3. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Adab dan Humaniora yang telah banyak
membimbing dan menyampaikan Ilmu pengetahuannya kepada penulis,
mudah-mudahan bermanfaat bagi penulis di dunia dan akhirat.
4. Bapak Dr. Akhmad Saehudin M.Ag. selaku Dosen Pembimbing yang telah
berkenan membimbing saya dalam penulisan skripsi. Betapa arahan, petunjuk
serta bimbingan beliau sangat membantu saya sehingga saya dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
5. Pimpinan dan staff administrasi Perpustakaan utama UIN, Perpustakaan
Fakultas Adab dan Humaniora, yang telah memberikan kesempatan kepada
saya untuk memanfaatkan dan memimjamkan buku-buku yang berhubungan
dengan skripsi.
6. Alm ayahanda H.M. Hamdani dan Ibunda Hj. Indah, orang tua saya, yang
telah membesarkan dan mendidik saya. Saya mutlak berterima kasih dan
sekaligus meminta maaf kepada beliau berdua karena hanya dengan dukungan
beliau berdualah saya dapat melanjutkan pendidikan saya hingga perguruan
tinggi. Saya menyadari, tanpa beliau berdua, mustahil saya bisa menjadi
sekarang. Begitu banyak pengorbanan yang beliau berikan kepada saya, dari
kecil hingga dewasa. Pengorbanan serta kasih sayang yang tak terhitung dan
tak terhingga banyaknya.
7. Kakak serta adikku tersayang terima kasih banyak karena telah memberikan
semangat, bantuan dan doanya, serta menjadi motivasi hidup saya untuk
selalu berkarya. Serta seseorang (Chairunnisa) yang telah banyak membantu
dan memberikan semangat kepada Penulis untuk senatiasa memberikan yang
terbaik.
8. Para guru-guruku K.H Chomim Dzazuli (Gus Miek), K.H Syamsul Maarif
Hamzah (Gus Arif), K.H Sholihin Ilyas, Ustd Arif, serta Gus Lubi, doa serta
dukungan beliau sangat membantu Penulis untuk senantiasa berbuat yang
terbaik.
9. Teman-teman seperjuangan di Dzigho yang senantiasa mengiringi dan
menemani Penulis dalam doa.
10. Sahabat-sahabat seperjuangan ( Kojek, Heri, Hafidz, Tatam, Erwan, Omen
dan teman-teman tarjamah angkatan 04) atas dorongan dan kebersamaan
yang tidak terlupakan. Kehadiran kalian membuat warna dalam hidup ini,
semangat dan keceriaan yang pernah kita lewatkan tidak akan pernah
tegantikan.
11. Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, yang tidak dapat
penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih.
Semoga Allah Yang Maha Esa senantiasa memberikan Rahmat dan Karunia-
Nya kepada semua pihak yang telah memberikan segala bantuan tersebut di atas.
Skripsi ini tentu saja masih jauh dari sempurna, sehingga penulis dengan senang hati
menerima kritik demi perbaikan. Kepada peneliti lain mungkin masih bisa
mengembangkan hasil penelitian ini pada ruang lingkup yang lebih luas dan analisis
yang lebih tajam.
Semoga skripsi ini memiliki nilai manfaat dalam memasuki dunia pendidikan
di masa yang akan datang, khususnya bagi penulis dan pembaca umumnya. Amiin…
Jakarta, Maret 2011
Penulis
DAFTAR ISI
lembar Judul ...................................................................................................... i
lembar Pernyataan ............................................................................................. ii
lembar Persetujuan Pembimbing ........................................................................ iii
Lembar Pengesahan ........................................................................................... iv
Lembar Pedoman Transliterasi ........................................................................... v
abstrak .............................................................................................................. vii
Kata Pengantar .................................................................................................. viii
Daftar Isi ........................................................................................................... xi
Daftar Tabel ...................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan masalah .................................... 7
C. Tujuan dan manfaat Penelitian .............................................. 7
D. Tinjauan pustaka ................................................................... 8
E. Metodologi penelitian ........................................................... 8
F. Sistematika penulisan ............................................................ 9
BAB II KAJIAN TEORI
A. Penilaian Terjemahan
1. Pokok-Pokok Penilaian ................................................... 11
a. Struktur (Gramatika) ................................................... 11
b. Pemakaian Ejaan......................................................... 12
c. Diksi ........................................................................... 12
d. Idiom .......................................................................... 13
e. Efektifitas Kalimat ...................................................... 14
f. Gaya Bahasa ............................................................... 15
2. Teknik Penilaian Terjemahan ......................................... 16
a. Tes Perbandingan (Komparatif) .................................. 16
b. Tes Penerjemahan Ulang ............................................ 17
c. Tes Keterpahaman ...................................................... 17
d. Tes Kewajaran ............................................................ 18
e. Tes Kekonsistenan ...................................................... 18
3. Kualitas Terjemahan ...................................................... 19
a. Tepat ......................................................................... 19
b. Jelas ............................................................................ 20
c. Wajar ......................................................................... 20
4. Pedoman Penilaian Terjemahan ...................................... 21
a. Ismail Lubis ............................................................. 21
b. Rochayah Machali .................................................... 23
c. Syarif hidayatullah ................................................... 25
5. Nilai Terjemahan ........................................................... 26
a. Terjemahan Hampir Sempurna .................................. 27
b. Terjemahan Sangat Baik……………………………..27
c. Terjemahan Baik ……………………………….……27
d. Terjemahan Cukup …………….…………………….28
e. Terjemahan Buruk ………………..………….………28
BAB III Gambaran Umum
A Teks Sumber ......................................................................... 29
a. Kitab Terjemahan Fiqh Al-Islâm Wa Adilatuh …...…29
b. Riwayat Singkat Penerjemah
(Prof. K.H. Masdar Helmy)…………………………...30
B Teks Sasaran ........................................................................ 31
BAB IV ANALISIS
1. Halaman Pertama ....................................................... 33
2. Halaman Kedua .......................................................... 48
3. Halaman ketiga ........................................................... 59
4. Halaman Keempat ...................................................... 65
5. Halaman Kelima ........................................................ 72
BAB V PENUTUP
A Kesimpulan .......................................................................... 80
B saran .................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penilaian terjemahan sangat penting disebabkan dua alasan: (1) untuk
menciptakan hubungan dialektik antara teori dan praktik penerjemahan; (2) untuk
kepentingan kriteria dan standar dalam menilai kompetensi penerjemah, terutama
apabila kita menemui beberapa versi teks bahasa sasaran (Bsa) dari teks bahasa
sumber (Bsu) yang sama.1
Menilai terjemahan juga menilai tingkat keterpahaman, yang berarti ada dan
tiadanya dua ungkapan: (a) ungkapan yang dapat menimbulkan salah paham dan (b)
ungkapan yang membuat pembaca sangat sulit memahami amanat yang
dikandungnya karena faktor kosa kata dan gramatika.2
Menilai terjemahan juga meliputi: (1) melihat keakuratan atau ketepatan ; (2)
mengukur kejelasan; (3) menimbang kewajaran. Keakuratan berarti sejauh mana
pesan dalam Tsu disampaikan dengan benar dalam Tsa. Kejelasan berarti sejauh
mana pesan yang dikomunikasikan dalam Tsa dapat dipahami dengan mudah oleh
pembaca Tsa. Pesan yang ditangkap Tsu sama dengan pesan yang ditangkap oleh
pembaca Tsa. Kewajaran berarti sejauh mana pesan dikomunikasikan dalam bentuk
yang lazim, sehingga pembaca Tsa merasa bahwa teks yang dibacanya adalah teks
asli yang ditulis dalam Bsa. Karenanya, aspek yang harus dinilai adalah: (1) pesan
terterjemahkan atau tidak; (2) kewajaran dan ketepatan pengalihan pesan; (3)
1 Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta: Grasindo,2000), h.108. 2 SyihAbûddin, Penerjemahan Arab Indonesia, (Bandung: Humaniora, 2005), h.195.
2
kesesuaian hal-hal teknis dalam kerja penerjemahan dengan tata bahasa dan ejaan
yang berlaku.3
Dalam penilaian terjemahan sesuatu yang dinilai adalah produk bukan proses
penerjemahan, dalam arti bahwa yang dinilai adalah hasil terjemahan. Kita bukan
menilai, misalnya bagaimana hasil itu diproduksikan, pada tahap mana kesalahan
terjadi, sehingga penilaian terjemahan disini lebih banyak merupakan kepentingan
remedial-pedagogik, baik untuk memeriksa terjemahan sendiri maupun hasil
terjemahan orang lain, misalnya terjemahan dari para penerjemah buku-buku maupun
terjemahan para mahasiswa.
Memang, pada akhirnya penilaian terjemahan akan memungkinkan adanya
balikan bagi si penerjemah dan bagi teori penerjemahan itu sendiri, yakni adanya
hubungan dialektik antara teori dan praktik. Pada gilirannya, memang kegiatan
penilaian akan sampai juga pada kepentingan perbaikan mutu terjemahan.
Suatu penilaian terjemahan harus mengikuti prinsip validitas dan realibitas. Akan
tetapi, karena penilaian terjemahan adalah relatif (berdasar kriteria lebih kurang),
maka validitas penilaian dapat dipandang dari aspek conten validity dan face validity.
Alasannya adalah karena menilai terjemahan berarti melihat aspek isi (content) dan
sekaligus juga aspek-aspek yang menyangkut “keterbacaan” seperti ejaan (face),
sekalipun ejaan itu sendiri juga berkaitan dengan segi makna. Dengan mendasarkan
kepada dua jenis validitas ini, diharapakan aspek realibitas akan dapat dicapai melalui
Kriteria dan cara penilaian.4
3 Hidayatullah, Syarif, Moch. Tarjim Al-An, (Tangerang: Dikara, 2010), hal.71. 4 Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta; Grasindo,2000), h.115.
3
Melalui metode penilaian terjemahan, maka akan dihasilkan terjemahan yang
baik dan berkualitas yaitu, terjemahan yang mudah dipahami oleh pembaca, yaitu
memiliki tingkat keterpahaman yang tinggi. Tingkat keterpahaman atau kualitas
terjemahan ini bersifat intristik. Kualitas intristik bertalian dengan ketepatan,
kejelasan, dan kewajaran nas. Ketepatan berkaitan dengan kesesuaian amanat
terjemahan dengan amanat nas sumber, kejelasan berkaitan dengan struktur bahasa,
pemakaian ejaan, diksi, dan panjang kalimat, dan kewajaran berkaitan dengan
kelancaran serta kealamiahan terjemahan. Kualitas intristik ini dapat diukur dengan
penerjemahan ulang, membandingkan terjemahan dengan nas sumber, tes
keterpahaman, tes rumpang, dan penilaian peninjau.5
Hasil terjemahan yang juga dapat dipandang baik apabila terjemahan itu benar-
benar mampu memotret target makna dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.
Seluruh satuan makna di dalam teks sumber ‘seolah-olah’ teralihkan secara sempurna
ke dalam bahasa sasaran. Kriteria lainnya, bahwa hasil terjemahan itu proporsional
dan wajar, Dalam arti, rajutan kata-kata, kalimat serta style terjemahan benar-benar
nyaman dan mudah dipahami ketika dibaca atau didengar pembaca teks sasaran
senyaman apabila publik teks sumber membaca atau mendengar naskah aslinya.6
Pembahasan penilaian karya terjemahan tidaklah mudah, karena karya
terjemahan biasanya sangat bergantung pada latar belakang (para) penerjemahnya
serta untuk tujuan apa penerjemahan itu dilakukan. Ini terutama berlaku pada karya
sastra.
5 Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia, (Bandung: Humaniora, 2005), h.219. 6 Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), h.49.
4
Dalam teks berbahasa Arab yang pada umumnya penerjemahan di Indonesia
terfokus pada nas-nas keagamaan, mulai dari kitab suci Alquran, Hadis, tafsir hingga
buku-buku tentang dakwah, akhlak, dan buku yang menelaah pemikiran Islam.
Sebagai penerjemah akan dihadapkan dengan berbagai kesulitan yang berkaitan
dengan aspek kebahasaan, non kebahasaaan, dan kebudayaan.
Dalam teks bidang ilmu agama seperti karya besar Dr Wahbah Al-Zuhailî, Fiqh
Al-Islâm Wa adilatuh, yang memuat berbagai macam aliran pemikiran dan
kesimpulan hukum agama Islam menurut empat mazhab ahli sunah, ditambah dengan
pendapat sebagian ulama syiah, sebagai penerjemah biasanya akan disuguhkan
konsep-konsep pemikiran serta pendapat yang mau tidak mau harus dipahami dan
diterjemahkan secara tepat. Seorang penerjemah akan dihadapi dengan tanggung
jawab serta konsistensi dalam mengalihkan pesan dalam bahasa sumber (Bsu) yang
akan dialihkan kedalam bahasa sasaran (Bsa) secara tepat dan benar, sehingga tidak
terjadi distorsi makna yang menjadikan perbedaan aliran menjadi lebih runcing.
Belum lagi bila dikaji lebih jauh, ketika bahasa adalah sue generis. Maksudnya, ia
mempunyai sistem tersendiri. Maka, setiap bahasa mempunyai karakteristik tertentu
yang berbeda dengan bahasa lainnya, misalnya dalam pembentukan pola kata, pola
urutan frase dan lain sebagainya. Maka penerjemah akan lebih dibenturkan lagi
dengan kesulitan teknis yang mau tidak mau penerjemah harus bisa memecahkan dan
menguasai hal tersbut dengan baik. 7
Kenyataan umum yang ditemui adalah hasil terjemahan cenderung unggul di satu
sisi dan tidak demikian di sisi lain. Apabila ia cukup setia dengan teks sumber, maka 7 Saifullah Kamalie, Kiat-Kiat Penerjemahan Bahasa Arab, ( Jakarta. Kesaintblank. 2004), h.6.
5
yang akan terjadi adalah bahasa yang dihasilkan terasa kaku untuk ukuran pembaca
Indonesia sebagai akibat ketidakmampuan penerjemah membebaskan terjemahannya
dari pengaruh bahasa Arab. Atau sebaliknya, hasil terjemahan cenderung berbahasa
nyaman dan enak dibaca publik Indonesia, namun pesan teks sumber tercecer bahkan
sampai tidak tersampaikan.
Pertanyaan yang kemudian muncul, “Apakah hasil terjemahan yang telah ada
sekarang ini, dapat dijadikan rujukan sebelum diadakan penelitian tentang kualitas
penilaian terjemahan yang dilakukan?” Memang pertanyaan ini lebih tepat bila
ditanyakan kepada mereka yang hendak mengeksplorasi kandungan hukum islam
secara dalam.
Namun betapapun keras kerja seorang penerjemah dalam mengalihkan bahasa
sumber (Bsu) ke dalam bahasa sasaran (Bsa), tetap saja ia memiliki titik-titik
kelemahan yang merupakan hasil distorsi dari dimensi-dimensi yang tidak mewakili
dalam bahasa penerjemah. Dan, ini akan berimbas sangat signifikan pada hasil
pemahamannya terhadap dasar-dasar utama dalam hukum Islam, terutama yang
mencakup permasalahan ibadah.
Kendala lainnya yang tidak sepele adalah bahwa mereka yang awam terhadap
penguasaan bahasa Arab, tidak akan mengerti apakah pemahaman yang diperoleh
oleh penerjemahnya itu sudah benar atau belum. Hal ini karena mereka tidak
mengetahui susunan bahasa terjemahan itu dalam teks bentuk aslinya, disamping hal-
hal yang menyangkut cakupan makna yang dimungkinkan muncul dari bentuk teks
asli yang berupa pendapat para ulama mazhab, kemudian menelan mentah-mentah
6
apa yang dipahaminya dari terjemahan itu, padahal pemahaman itu belum tentu
benar.
Penerjemah buku karya Dr. wahbah Al-Zuhailî ini, dalam pengantarnya
mendaulat bahwa buku terjemahan yang penerjmah telah selesaikan dan terbit adalah
buku yang dapat memberikan kepuasan kepada para pembacanya yang menginginkan
memahami seluk beluk ibadah secara menyeluruh dan mendalam. Dari buku ini pula
penerjemah menulis bahwa buku ini sangat berguna bagi semua peminat hukum
Islam. Bahkan menganjurkan agar buku ini menjadi rujukan bagi para mahsiswa dan
kaum terpelajar. Dan, berharap agar buku ini dapat menjadi perbedaan yang ada
dikalangan umat Islam menjadi rahmat.
Dalam tulisan pengantar yang dibuat oleh penerjemah terlihat bahwa penerjemah
sangat yakin bahwa hasil terjemahannya dapat memberikan nilai lebih dan kontribusi
yang besar bagi keilmuan Islam khusunya ilmu fiqih. Namun, yang harus diingat
bahwa tidak ada hasil dari terjemahan yang sempurna. Hasil terjemahan yang hadir
harus bisa dan dapat menjadi jembatan penghubung dari penulis buku asli dengan
para pembaca. Sehingga tidak terjadi komunikasi yang terputus yang dapat
mengakibatkan kesalahan bagi para pembaca.
Baik-buruk, benar-salah suatu terjemahan tidak akan pernah diketahui tanpa
adanya penelitian yang menyeluruh mengenai penilaian sebuah produk terjemahan.
Jadi, tidaklah salah bila seorang penerjemah mendaulat hasil karya terjemahannya
adalah baik dan dapat diakses oleh siapa saja. Namun produk sebuah terjemahan
sebaiknya terlebih dahulu harus diperiksa, ditinjau, diselidiki dan diteliti lebih dalam,
dari satu tahap ke tahap lain sebelum sampai di tangan pembaca.
7
Berdasarkan latar belakang itulah, Penulis tertarik menulis skripsi dengan judul :
“Penilaian Kualitas Terjemahan (Studi Kasus Kitab Fiqh Al-Islâm Wa Adillatuh
Karya Dr. Wahbah Al-Zuhailî).’’
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dikarenakan tebalnya halaman buku asli dan terjemahannya, Penulis membatasi
penelitian ini, hanya pada lima halaman muka Bab salat pasal 1, berupa teks Arab
beserta terjemahannya, dengan menganalisis tingkat ketepatan, kewajaran, dan
kejelasan hasil terjemahan tersebut kepada bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, Penulis dapat merumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Apakah terjemahan kitab Fiqh Al-Islâm Wa Adillatuh telah tepat, jelas dan
wajar dalam mengalihkan teks-teks pada bahasa sumber?
2. Seberapa baikkah kualitas serta nilai terjemahan kitab Fiqh Al-Islâm Wa
Adilatuh?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini bertujuan:
1. Mengevaluasi dan menilai ketepatan, kejelasan dan kewajaran pengalihan
teks-teks pada bahasa sumber kepada bahasa sasaran.
2. Mengetahui kualitas dan nilai terjemahan.
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah khasanah penelitian
penerjemahan yang telah ada dan menambah pengetahuan seputar penilaian karya
8
terjemahan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi inspirasi dan motivasi
bagi teman-teman mahasiswa terjemah untuk melakukan penelitian penilaian kualitas
terjemahan dengan objek yang lain.
D. Tinjauan Pustaka
Setelah Penulis menelaah dan meneliti karya-karya ilmiah baik dalam buku-buku
penerjemahan, internet, perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora maupun
perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sepengetahuan Penulis ada beberapa
kajian skripsi yang memiliki kesamaan subtansi dengan penelitian Penulis, Di
antaranya:
1. Tatam Wijaya yang menulis Tinjauan Keritik Terjemahan Shohih Bukhori
2. Yuyun yang menulis Tinjaun Kritk Terjemahan Kamus Gaul
Selain itu Penulis juga mendapatkan beberapa karya yang hampir sama
subtansinya dalam mengevaluasi hasil karya terjemahan yaitu antara lain:
1. Rochayah Machali yang meneliti kualitas terjemahan mahasiswa Universitas
Canbera Australia dalam teks gender
2. Syihabuddin yang meneliti kualitas terjemahan Surat Al-Imran terbitan
departemen agama
3. Benny H. Hoed yang meneliti kualitas penerjemahan The Origin Of Species
karya Charles Darwin ke dalam bahasa Indonesia .
E. Metodologi Penelitian
Metode yang Penulis gunakan dalam meneliti objek penelitian ini adalah metode
dekriptif analisis ekuivalensi (terfokus pada bahasa sasaran dalam menggunakan
9
struktur bahasa Indonesia yang baik dan benar), yaitu menganalisis objek penelitian
pada teks-teks yang ada dalam kitab Fiqh al Islâm Wa Adilatuh dengan
mengeksplorasi ketepatan, kejelasan dan kewajaran terjemahan meliputi strukur
bahasa, pemakaian ejaan, pemilihan diksi, dan keefektifan kalimat yang digunakan.
Kemudian hasil penelitian akan dimasukan kedalam hitungan matematis, yaitu
menganalisis setiap halamannya dengan memperhatikan kategori-kategori pengalihan
Bsu kepada Bsa dengan tehnik ekuivalensi (pemadanan) dalam bahasa Indonesia
yang baik dan benar serta memberikan solusi terjemahan lain.
Data yang diambil oleh penulis adalah teks-teks bahasa Arab yang terdapat pada
kitab Fiqh al Islâm Wa Adilatuh pada bab salat pasal tentang hal-hal yang
membatalkan salat serta terjemahannya.
Instrument penelitian adalah teori-teori penilaian terjemahan dari beberapa pakar
penerjemahan. Sedangkan prosedur pengolahan data dilakukan melalui melihat teks-
teks bahasa Arab dan terjemahan serta membuat catatan-catatan penting sebagai
kebutuhan data.
Dalam penulisan ini, penulis juga merujuk pada sumber-sumber sekunder berupa
buku-buku tentang penerjemahan, kamus bahasa Arab dan Indonesia, internet dan
lain-lain.
Selain itu, Penulis menggunakan kajian Pustaka (library research). Secara teknis,
penulisan ini didasarkan pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (skripsi, tesis
dan disertasi) yang berlaku di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
diterbitkan oleh Center Of Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
10
F. Sistematika Penulisan
Guna mendapat pemahaman yang terarah dan komprehensif dalam pembahasan
masalah ini, Penulis perlu merumuskan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, mencakup: latar belakang permasalahan, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian serta
sistematika penulis
BAB II Kerangka Teori, Bab ini adalah kelanjutan dari bab selanjutnya, berisi
tentang teori-teori yang penulis gunakan dalam menganalisis permasalahan yang
Penulis angkat dalam skripsi ini, yaitu berupa teori-teori penilaian terjemahan
yang mencakup : penerjemahan dan tahap penerjemah, dan penilaian Terjemahan.
BAB III Gambaran Umum meliputi gambaran teks sumber dan gambaran teks
sasaran.
BAB IV Analisis penilaian terjemahan kitab Fiqh al-Islâm Wa Adilatuh
BAB V Penutup, bab ini terdiri dari kesimpulan disertai saran-saran serta
rekomendasi bermanfaat yang Penulis berikan untuk masukan bagi penerjemah dan
penerbit untuk edisi selanjutnya.
11
11
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Penilaian Terjemahan
Hal yang perlu diingat dalam penilaian terjemahan bukanlah sekadar dari segi
benar-salah, bagus-buruk, harfiah-bebas. Namun ada beberapa segi dalam
penerjemahan yang harus dipertimbangkan dalam penilaiannya. Sebelum menentukan
kriteria penilaian, terlebih dahulu harus diingat kriteria dasar yang menjadi pembatas
antara terjemahan yang salah (tidak berterima) dan terjemahan yang berterima. Maka
kriteri pertama adalah: tidak boleh ada penyimpangan makna refrensial yang
menyangkut maksud penulis asli. Sesudah melewati saringan pertama ini, barulah
kriteria lain dapat dipertimbangkan atau diberlakukan. Kriteria penilaian lain akan di
jabarkan di bawah ini.
1. Pokok-Pokok Penilaian
a. Struktur (gramatika)
Struktur (gramatika) adalah pembahasan tentang morfologi dan sintaksis. Dua hal
tersebut merupakan pilar terpenting dalam tata bahasa. Sintaksis berbicara tentang
jalinan atau relasi satu kata dengan kata lain yang membentuk frase, klausa atau
kalimat, sedangkan morfologi membahas aspek internal kata. Sintaksis adalah ruh
yang membangun kalimat, maka morfologi adalah ruh dari sebuah kata.18
18 Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah, (Jakarta: Tiara Wacana;2004), h.75.
12
Sintaksis mempunyai perananan penting dalam sebuah penerjemahan. Kesalahan
dalam pengalihan struktur akan berimplikasi kepada makna yang dihasilkan. Ketika
bahasa memiliki sifat sue generis yaitu memiliki peraturan masing-masing. Seorang
penerjemah harus dapat mengalihkan segala apa yang ada pada Tsu sesuai dengan
maksud pengarang dengan tidak lupa mengikuti aturan dari Tsa. Penerjemah harus
dapat keluar dari keterikatan kepada struktur Tsa yang akan berimbas kepada hasil
terjemahan yang kaku.
Begitu pula dari segi morfologis, seorang penerjemah harus dapat mencari
padanan terdekat kata-kata dari Tsu yang ada kepada Tsa, sehingga penikmat
terjemahan dapat mudah memahami hasil terjemahan dengan baik karena sesuai
dengan kata-kata yang dikenal oleh sidang pembaca terjemahan. Pemilihan padanan
atau diksi ini akan dibahas di sub bab diksi.
Penilaian struktur ini mendapat posisi paling penting dalam setiap teori penilaian.
Karena sintaksis dan morfologi adalah penyusun inti dari setiap lembar teks bahasa.
b. Pemakaian Ejaan
Ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi ujaran dan
bagaiman hubungan antar lambang-lambang itu (pemisahan dan penggAbûngannya
dalam suatu bahasa).2 Secara teknis, yang dimaksud dengan ejaan adalah penulisan
huruf, penulisan kata, dan pemakaian tanda baca.
c. Diksi
2 Zaenal Arifin dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia (jakarta : Akapres, 2004), h. 30
13
Diksi ialah pilihan kata. Maksudnya, pilihan kata yang tepat untuk menyatakan
sesuatu. Kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan tepat apa
yang ingin disampaikannya, baik lisan maupun tulisan. Di samping itu, pemilihan
kata itu harus pula sesuai dengan situasi dan tempat penggunaan kata-kata itu.
Ada lima tingkat dalam memilih diksi.3 Berikut lima tingkat tersebut:
a.1 Literal (harfiah)
pemilihan kata yang tidak didasarkan semata-mata pada makna kata tersebut
di kamus.
a.2. Sintatikal (Tata bahasa)
pemilihan makna kata yang tidak didasarkan semata-mata pada susunan tata
bahasa dalam bahasa sumber.
a.3. Idiomatikal (pribahasa)
pemilihan kata yang didasarkan pada kesepadanan idiom pada bahasa sasaran.
a.4. Astetikal (kesusastraan)
pilihan kata yang sudah harus benar-benar mempertimbangkan mutu
kesastraan, seperti konotasi dan irama, tentu saja sebisa mungkin setia dengan
mutu kesusastraan naskah asli.
a.5. Etikal (Kesusilaan)
Pilihan kata yang didasarkan pada prinsip kepatuhan yang berlaku pada penutur
bahasa sasaran.
3 Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-An (Pamulang: Dikara, 2010), h. 39-40
14
d. Idiom
Merujuk kepada pendapat para pakar bahasa dan terjemahan, maka penulis dapati
beberapa definisi idiom yaitu antara lain idiom adalah adalah konstruksi yang khas
pada suatu bahasa yang salah satu unsurnya tidak dapat dihilangkan atau diganti.
Ungkapan idiomatik adalah kata-kata yang mempunyai sifat idiom yang tidak terkena
kaidah ekonomi bahasa.4
Menurut Collins English Dictionary idiom adalah “ a group of words whose
meaning cannot be predicate from the meanings of the constituent words” ( idiom
adalah sekelompok kata yang maknanya tidak dapat dicari dari makna kata-kata
unsurnya). Sedangkan menurut definisi lain dikatakan: “idiom is a linguistic usage
that is grammatical and natural to native speakers of language”,5 (idiom adalah
ungkapan kebahasaan yang bersifat gramatikal dan alami bagi penutur asli suatu
bahasa).
Seorang penerjemah harus memahami terlebih dahulu definisi dari idiom ini, agar
tidak terjadi kesalahan dalam mengalihkan ungkapan ini dari Bsu ke dalam Bsa
secara tepat. Kesulitan yang dihadapi seorang penerjemah dalam memahami konteks
idiom ini, menjadikan idiom salah satu unsur penting yang harus diuji dan dinilai,
apakah ungkapan ini tepat ataukah malah menyimpang dari maksud yang
disampaikan seorang pengarang.
4 Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah, (Jakarta, Tiara Wacana ;2004), h. 76 5 Moh. Mansyur dan Kustiawan, Pedoman Bagi Penerjemah. (Jakarta, Moyo Segoro Agung.2002), h. 56
15
e. Efektifitas kalimat
Di antara cirri terjemahan yang baik adalah terjemahan yang mempergunakan
kalimat efektif. Oleh karena itu, penggunaan kalimat efektif dalam terjemahan
menjadi salah satu unsur intristik yang harus dinilai.
Kalimat efektif ialah kalimat yang memiliki kemampuan untuk menimbulkan
kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca seperti apa yang ada
dalam pikiran pembicara atau penulis. Kalimat sangat mengutamakan informasi itu
sehingga kalimat dapat terjamin.6
Widyamartaya dalam bukunya seni menerjemahkan menyebutkan ciri-ciri kalimat
efektif sebagai berikut:7
1. Mengandung kesatuan gagasan
Sebuah kalimat dianggap memilki kesatuan gagasan apabila (1) memiliki
subjek atau predikat yang jelas ; (2) tidak rancu, mengandung pleonasme atau
tautologi, dan membenarkan apa yang sudah benar ; (3) ditandai dengan
penggunaan tanda yang tepat dan sesuai kaidah yang telah disepakati.
2. Mampu mewujudkan koherensi yang baik dan kompak
Kalimat yang mampu mewujudkan koherensi yang baik biasanya ditandai
dengan (1) penggunaan kata ganti (pronomina) yang tepat : (2) penggunaan
kata depan (preposisi) yang benar.
3. Memperhatikan asas kehematan
6 Zaenal Arifin dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia (Jakarta : Akapres, 2004), h. 89. 7 Ismail Lubis, falsifikasi Terjemahan Al-Quran (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2001), h. 34.
16
Menurut Widyamartaya, penerjemah harus memperhatikan efisiensi kata.
Sebab, dalam penerjemahan tidak setiap kata harus diterjemahkan apabila
memilki maksud dan tujuan yang sama.
f. Gaya Bahasa
Pakar teori linguistik terjemahan dari perancis G. Mounin ketika menyinggung
masalah gaya bahasa dalam terjemahan mengatakan, “bahwa adanya kata-kata yang
mengandung kesamaan makna yang inheren dalam terjemahan tidak boleh
bertentangan dengan norma-norma gaya bahasa dalam bahasa sasaran”.8 Setiap
bahasa mempunyai sistem fungsional terkait dengan gaya bahasa/stilistika (stylistics).
Tetapi, kumpulan tanda-tanda pembeda yang bercirikan sistem fungsional yang satu,
maupun yang lain dalam berbagai bahasa sering tidak sesuai.
Berkenaan dengan gaya bahasa ini Soepomo meningatkan akan adanya gaya atau
ragam bahasa seperti: (1) Ragam santai, (2) Ragam resmi, (3) Ragam indah, (4)
Ragam ringkas, (5) Ragam lengkap, (6) Ragam syair.9 Sehingga mumungkinkan
dalam suatu naskah Bsu tidak hanya terdapat satu jenis ragam atau gaya bahasa saja,
maka seorang penerjemah juga harus mengenalinya dan menggunakan gaya-gaya
bahasa yang digunakan oleh penulis aslinya.
2. Tehnik Penilaian Terjemahan
a. Tes perbandingan (komparatif)
Pada prinsipnya tes perbandingan bertujuan memeriksa kesepadanan isi informasi
antara terjemahan dan nas sumber. Pemeriksaan dilakukan untuk meyakini bahwa
8 Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan (Jakarta : Kesaint Blanc, 2006), h. 22. 9 Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: Humaniora, 2005), h. 60.
17
informasi yang ada dalam nas sumber telah terungkap di dalam terjemahan dengan
tepat. Tidak ada penambahan; tidak ada pengurangan; dan tidak ada perbedaan.10
Penilaian ini dapat dilakukan oleh penerjemah sendiri atau orang lain yang ahli. Jika
dilakukan oleh penerjemah, tes perbandingan merupakan kegiatan revisi nas
terjemahan.
Secara teknis, perbandingan sebaiknya dilakukan pada naskah terjemahan yang
diketik dua spasi sehingga pemeriksa dapat menuliskan informasi tambahan, catatan,
saran, dan kritik secara langsung pada naskah.
b. Tes penerjemahan ulang
Tes penerjemahan ulang dimaksudkan untuk mengetahui ketepatan makna antara
nas terjemahan dan nas sumber, bukan untuk mengetahui kejelasan dan kewajaran
terjemahan. Secara operasional, tehnik ini dilakukan dengan menerjemahkan kembali
terjemahan ke bahasa sumbernya. Kemudian hasil terjemahan ini dibandingkan
dengan nas yang asli. Jika makna nas sumber sesuai dengan makna terjemahan-balik,
berarti terjemahan dalam bahasa penerima itu sudah tepat.
Kelemahan tes ini ialah terlampau mahal biayanya dan memerlukan orang yang
benar-benar ahli. Jika dikerjakan oleh orang yang tidak teliti dan kurang ahli, hasil
terjemahan-baliknya kurang memuaskan.
10 Ismail Lubis, falsifikasi Terjemahan Al-Quran (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2001), h. 57.
18
c. Tes Keterpahaman
Tes keterpahaman bertujuan mengetahui kualitas terjemahan. Melalui tes ini
dapat diketahui apakah terjemahan itu dipahami dengan tepat oleh penutur bahasa
penerima yang sebelumnya tidak pernah melihat terjemahan itu. Tes ini dirancang
untuk mengetahui apakah terjemahan itu komunikatif dengan khalayak penerima
sebagai sasaran terjemahan.
Tes pemahaman dapat dilakukan dengan meminta pembaca terjemahan agar
menceritakan kembali isi nas dan menjawab pertanyaan nas itu. Hasil ini dapat
membantu penerjemahan dalam meningkatkan kualitas karyanya.
Tes ini dilakukan oleh penerjemah sendiri atau oleh orang lain yang terlatih untuk
melakukan tes ini. Jika penerjemah sendiri yang melakukan tes, dia mesti teliti dan
hati-hati jangan sampai terlampau mempertahankan karyanya, tetapi dia harus jujur
dan benar-benar ingin mengetahui hasil tes. Disamping itu, penerjemah akan sulit
untuk bersikap objektif terhadap karyanya. Idealnya, tes ini dilakukan oleh orang lain,
karena dia memiliki pandangan yang baru terhadap nas itu.
d. Tes kewajaran
Tes kewajaran terjemahan bertujuan melihat apakah bentuk dan gaya bahasa
terjemahan itu wajar dan alamiah. Tes ini dilakukan oleh penilai ahli. Tugas penilai
ialah memeriksa kejelasan terjemahan, kelancaran bahasa yang digunakan, dan
pengaruh emotif nas terhadap pembaca. Selanjutnya penilai membuat catatan tentang
ketepatan, pengurangan makna yang berlebihan, penambahan makna yang kurang,
dan hal-hal lain yang berkaitan dengan perubahan makna. Di samping itu, peninjau
19
pun memberikan kritik, saran, dan perbaikan kepada penerjemah sehingga diharapkan
dia dapat meningkatkan kualitas terjemahannya di kemudian hari.
e. Tes Kekonsitenan
Tes kekonsistenan sangat diperlukan dalam hal-hal yang bersifat teknis. Doff
menegaskan bahwa tidak ada aturan baku mengenai bagaimana cara yang terbaik
menyatakan ungkapan Bsu.11 Namun, dapat dicatat bahwa ada beberapa kelemahan
yang harus dihindari. Salah satu kelemahan itu adalah kekonsistenan.
Tsu biasanya memiliki istilah kunci yang digunakan secara berulang-ulang. Jika
Tsu panjang atau proses penyelesaian terjemahan memakan waktu lama, maka ada
kemungkinan terjadinya ketidakkonsistenan penggunaan padanan kata untuk istilah
kunci.
3. Kualitas Terjemahan
Terjemahan yang berkualitas adalah terjemahan yang memiliki tiga ciri, yaitu
tepat, jelas, dan wajar. Untuk memahami ketiga karakter ini, berikut ini akan
dideskripsikan satu persatu ciri-ciri tersebut:
a. Tepat
Ketepatan di sini bermakna bahwa terjemahan yang berkualitas adalah terjemahan
yang menyampaikan informasi atau pesan dari Tsu secara benar, tepat, dan jujur
sesuai dengan maksud dari pengarang Tsu. Informasi yang disampaikan tidak ada
yang tertinggal, tidak ada yang bertambah, dan tidak ada yang berbeda. Sehingga
pembaca dapat , memahami hasil karya terjemahan itu dengan mudah serta sesuai
dengan pesan yang terkandung di dalamya. 11 Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan (Jakarta : Kesaint Blanc, 2006), h.40.
20
Sesuai dengan tujuan penerjemahan adalah mengkomunikasikan makna secara
akurat. Seorang penerjemah bila ingin mendapatkan kualitas terjemahan yang baik
dan berkualitas tidak boleh mengabaikan, menambah, atau mengurangi makna yang
terkandung dalam Tsu, hanya karena terpengaruh oleh bentuk formal Bsa. Nida dan
Taber mengaskan “…makna harus diutamakan karena isi pesanlah yang
terpenting”.12
Penerjemahan bukan bertujuan menciptakan karya baru atau tulisan baru, tetapi
penerjemahan bertujuan menjadi jembatan penghubung antara penulis Bsu dengan
pembaca Bsa. Dengan kata lain, seorang penerjemah bukan meringkas sebuah teks
menjadi sebuah tulisan baru tetapi penerjemah harus mampu menjadi fasilitator
komunikasi penyampai pesan yang terkandung pada Bsu ke dalam Bsa dengan tepat.
b. Jelas
Indikator kejelasan suatu terjemahan sangat dipengaruhi oleh ketidaktepatan
dalam menyusun kalimat (struktur), pemakaian ejaan, pemilihan kata (diksi), dan
menggunakan kalimat efektif. Seorang penerjemah yang baik harus bisa
menyampaikan ide atau pesan pada Tsu secara jelas dan lengkap. Jelas susunan
kalimatnya, jelas pemakaian ejaan, jelas pemilihan katanya, dan jelas kalimatnya
(efektifitas kalimat) menurut tata bahasa yang baku dan berlaku pada Bsa.
c. Wajar
Indikator ketiga ini dari beberapa indikator terjemahan yang berkualitas
merupakan yang paling sulit dipenuhi karena terkait dengan unsur subjektifitas. Bagi
12 Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: Humaniora, 2005), h. 78.
21
sesorang, suatu terjemahan mungkin sudah wajar, tetapi bagi yang lain mungkin
tidak. Namun, hal itu bukan berarti terjemahan yang wajar itu sulit diraih.
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan seorang penerjemah apabila ingin
mendapatkan kewajaran dalam terjemahan,13 antara lain dengan cara:
1. Penerjemah harus memahami hakikat penerjemahan. Penerjemahan bukanlah
mengubah kata dan struktur bahasa asing menjadi bahasa penerima, tetapi
memahami makna pesan bahasa itu, lalu mengungkapkannya dalam struktur
bahasa penerima. Pembaca akan merasa janggal jika terjemahan itu tampil
dalam bentuk yang berbeda dari bahasa yang dikuasainya. Adanya perbedaan
atau penyimpangan inilah yang menimbulkan ketidakwajaran.
2. Penerjemah dituntut untuk senantiasa mendiskusikan hasil pekerjaannya
dengan para ahli di bidang penerjemahan dan dengan para pembaca dari
berbagai kalangan. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh masukan tentang
berbagai kekurangan pada karyanya, sehingga dia memiliki bahan dan
masukan yang sangat berharga untuk memperbaiki dan merevisi pekerjaanya.
3. Penerjemah senantiasa belajar. Setiap nas baru harus dihadapinya menurut
perlakuan, pengetahuan, dan tehnik penerjemahan yang relatif baru pula.
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa terjemahan yang wajar adalah terjemahan
yang menggunakan bahasa selaras dan sesuai dengan kaidah yang berlaku.
Terjemahan yang ditulis dalam bahasa Indonesia dikatakan wajar jika selaras dengan
kaidah yang berlaku dan disepakati oleh penutur bahasa Indonesia. Sebaliknya,
ketidawajaran itu muncul jika bahasa yang digunakan menyimpang dari kaidah. 13 Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: Humaniora, 2005), h. 215.
22
4. Pedoman Penilaian Terjemahan
Mengingat cukup banyaknya tokoh yang mengemukakan cara-cara penilaian
terjemahan, pembahasan ini Penulis batasi pada tokoh-tokoh tertentu saja, di
antaranya Ismail Lubis, Rochayah Machali dan Moch. Syarif Hidayatullah.
a. Ismail Lubis
Lubis menegaskan bahwa penerjemah hendaknya dapat menyampaikan pesan-
pesan yang terdapat dalam bahasa sumber secara efektif. Oleh karena itu, penerjemah
harus mampu menyusun kalimat yang efektif dalam bahasa penerima.14
Pendapat ini diperkuatnya dengan menilai terjemahan Alquran versi Departeman
Agama terbitan 1990. Lubis mengatakan bahwa terjemahan itu terdapat banyak
kesalahan nmenurut tata bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena cara menerjemahkan
adakalanya sebatas mendatangkan sinonim dan makna leksikal. Tidak dengan
memakai kalimat efektif atau ungkapan yang lazim dan baku dalam bahasa penerima.
Tehnik yang dilakukan lubis dalam penilaian yaitu dengan metode linguistik yang
mengangkat tataran sintaksis dan kalimat efektif sebagai ‘pisau’ analisisnya.
Lubis menyebutkan sejumlah kesalahan yang terdapat dalam terjemahan Alquran
tersebut di antaranya:
1. Penggunaan kata yang berlebihan;
2. Penggunaan frasa yang tidak lazim dalam bahasa Indonesia;
3. Penggunaan bentuk superlative yang berlebihan dalam kalimat terjemahan;
4. Ketidaktepatan penggunaan preposisi, seperti preposisi daripada;
5. Banyak kalimat yang taksa dan ambigu ; 14 Ismail Lubis, falsifikasi Terjemahan Al-Quran (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2001), h.24.
23
Kesalahan-kesalahan di atas dikelompokan dengan cara menjaringnya menjadi
beberapa jaringan: (1) jaringan pleonasme; (2) jaringan gramatika; (3) jaringan diksi ;
(4) jaringan idiom. Kemudian keempat jaringan itu dianalisis dengan cara di bawah
ini :
1. Jaringan pleonasme (pemakaian kata-kata yang berlebihan dalam
terjemahan.
2. Jaringan gramatik (pemakaian kata yang tidak sesuai dengan gramatika
bahasa Indonesia).
3. Jaringan diksi (pilihan kata yang tepat dalam terjemahan).
4. Jaringan idiom atau ungkapan idiomatik (bentuk bahasa berupa gAbûngan
kata yang maknanya tidak dijabarkan dari unsur pembentuknya).
Namun, dalam menilai dan mengkritik hasil terjemahan, lubis tidak memberikan
penilaian secara matematis atau persentase. Artinya lubis hanya menunjukan
kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam terjemahan sekaligus memberikan alternatif
pembenarannya yang didasarkan pada kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
b. Rochayah Machali
Menurut Rohayah Machali penilaian dapat dilakukan melalui tiga tahap : 15
Tahap pertama : Penilaian fungsional, yakni kesan umum untuk melihat apakah
tujuan umum penulisan menyimpang. Bila tidak, penilaian dapat berlanjut ke tahap
ke dua.
15 Rochayah Machali, pedoman bagi penerjemah (Jakarta: Grasindo, 2000), h.118 .
24
Tahap kedua : penilaian terinci berdasarkan segi-segi dan kriteria pada tabel
berikut.
Segi dan Aspek Kriteria
A. Ketepatan reproduksi makna 1. Aspek Linguistis
a. Transposisi b. Modulasi c. Leksikon (kosakata) d. Idiom
2. Aspek semantik a. Makna refrensial b. Makna interpersonal
(i) Gaya bahasa (ii) Aspek interpersonal- lain,
misalnya, konotatif-denotatif 3. Aspek pragmatis
a. Pemadanan jenis teks (termasuk maksud/tujuan Penulis)
b. Keruntutan makna pada tataran kalimat dengan tataran teks
}benar, jelas, wajar Menyimpang ?(lokal/total) Berubah ?(lokal/total) Menyimpang ?(lokal/total) Tidak runtut ?(lokal/total)
B. Kewajaran ungkapan (dalam artri baku) Wajar dan/atau harfiah?
C. Peristilahan Benar, baku, jelas
D. Ejaan Benar, baku Benar, baku
Tahap ketiga: penilaian terinci pada tahap kedua tersebut digolong-golongkan
dalam suatu skala/kontinum dan dapat diubah kedalam nilai.
25
Untuk memudahkan penempatan golongan atau kategori, kriteria rinci pada tahap
ke dua diwujudkan dalam indikator umum dalam tabel berikut.16
Kategori Nilai Indikator
Terjemahan hampir sempurna
86-90
(A)
Penyampaian wajar; hampir tidak terasa seperti terjemahan; tidak ada kesalahan ejaan; tidak ada kesalahan/ penyimpangan tata bahasa; tidak ada kekeliruan penggunaan istilah.
Terjemahan sangat bagus
76-85
(B)
Tidak ada distorsi makna; tidak ada terjemahan harfiah yang kaku; tidak ada kekeliruan penggunaan istilah; ada satu-dua kesalahan tata bahasa/ejaan (untuk bahasa Arab tidak boleh ada kesalahan ejaan)
Terjemahan baik 61-75
( C )
Tidak ada distorsi makna; ada terjemahan harfiah yang kaku, tetapi relative tidak lebih dari 15 % dari keseluruhan teks, sehingga terlalu terasa sebagai terjemahan; kesalahan tata bahasa dan idiom relative tidak lebih dari 15 % dari keseluruhan teks. Ada satu dua-dua kesalahan tata ejaan (untuk Bahasa Arab tidak boleh ada kesalahan ejaan).
Terjemahan
cukup
46-60
(D)
Terasa sebagai terjemahan; ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku, tetapi relative tidak lebih dari 25 % ada beberapa kesalahan idiom dan/ tata bahasa, tetapi relative tidak lebih dari 25 % keseluruhan teks. Ada satu-dua penggunaan istilah yang tidak baku/ tidak umum dan/ atau kurang jelas.
Terjemahan
buruk
20-45
(E)
Sangat terasa sebagai terjemahan; terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku (relative lebih dari 25 % dari keseluruhan teks). Distorsi makna dan kekeliruan penggunaan istilah lebih dari 25 % keseluruhan teks.
16 Rochayah Machali, pedoman bagi penerjemah (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 119-120.
26
c. Moch. Syarif Hidayatullah
Pedoman penilaian yang ditawarkan oleh syarif hidayatullah adalah sebagai
berikut :17
1. Klausa atau kalimat yang tidak diterjemahkan, berakibat pada pengurangan
skor sebanyak 10 poin.
2. Terjemahan yang salah pesan, berakibat pada pengurangan skor sebanyak 5
poin.
3. Frasa, diksi, kolokasi, kontruksi atau komposisi, dan tata bahasa yang tidak
dialihkan secara tepat sesuai kaidah dalam Bsa, berakibat pada pengurangan
skor sebanyak 2 poin.
4. Kesalahan ejaan dan tanda baca, berakibat pada pengurangan skor sebanyak 1
poin.
Untuk menggunakan model penilaian tersebut, penilai harus memperhatikan
beberapa hal di bawah ini:
a. Penilaian pada hasil terjemahan yang berbentuk buku dapat dilakukan dengan
cara mengambil beberapa halaman.
b. Setiap lembar halaman terjemahan diberi skor awal 100 poin.
c. Setelah itu, hitunglah skor kesalahan sesuai dengan pedoman di atas.
d. Lalu jumlahkan semua skor kesalahan dalam setiap halaman yang dinilai.
e. Skor awal setiap halaman kemudian dikurangi skor kesalahan.
f. Skor setiap halaman dijumlahkan, lalu dibagi dengan jumlah halaman.
g. Hasil skor rata-rata menjadinilai akhir dari terjemahan yang dinilai. 17 Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-An (Pamulang: Dikara,2010), h. 71-72
27
h. Setelah itu, nilai akhir itu dipergunakan untuk menilai apakah nilai terjemahan
tersebut termasuk terjemahan istimewa (90-100); sangat baik (80-89); baik
(70-79); sedang (60-69); kurang (50-59); buruk (0-49).
Dari beberapa tehnik yang dikemukakan para tokoh, Penulis menggunakan tehnik
yang dikemukakan oleh Rochayah Machali sebagai pijakan dalam menganalisis nilai
dan kualitas terjemahan pada objek yang Penulis angkat sebagai objek skripsi
Penulis.
5. Nilai Terjemahan
Penialaian terjemahan disamping dapat dilakukan secara langsung mengamati dan
membacanya secara cermat, juga dapat dilakukan dengan cara memberi penilaian
secara matematis. Meski hasil terjemahan itu bersifat relatif, tetapi penilaian secara
matematis perlu dilakukan untuk member penilaian kepada hasil terjemahan.
Di bawah ini beberapa kategori penilaian matematis dari sebuah terjemahan:
a. Terjemahan Hampir Sempurna
Penyampaian wajar, hampir tidak terasa seperti tejemahan, tidak ada kesalahan
ejaan, tidak ada kesalahan atau penyimpangan tata bahasa, tidak ada kekeliruan
penggunaan istilah. Nilai yang dimiliki terjemahan ini berkisar antara 90-100.
b. Terjemahan Sangat Bagus
Tidak ada distorsi makna, tidak ada terjemahan harfiah yang kaku, tidak ada
kekeliruan penggunaan istilah, ada satu-dua kesalahan tata bahasa atau ejaan (untuk
bahasa Arab tidak boleh ada kesalahan ejaan). Nilai yang dimiliki terjemahan ini
berkisar antara 80-89.
28
c. Terjemahan Baik
Tidak ada distorsi makna, ada terjemahan harfiah yang kaku, tetapi relatif tidak
lebih dari 15 % dari keseluruhan teks, ada satu dua penggunaan istilah yang tidak
baku atau umum. Ada satu dua kesalahan tata ejaan (untuk bahasa Arab tidak boleh
ada kesalahan ejaan). Nilai yang dimiliki terjemahan ini berkisar antara 70-79.
d. Terjemahan Cukup
Terasa sebagai terjemahan, ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku, tetapi
relatif tidak lebih dari 25 % dari keseluruhan teks. Ada satu dua penggunaan istilah
yang tidak baku atau tidak umum dan kurang jelas. Nilai yang dimiliki terjemahan ini
berkisar antara 60-69.
e. Terjemahan Kurang
Sangat terasa sebagai terjemahan, terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku
(relatif lebih dari 25 % dari keseluruhan teks) distorsi makna dan kekeliruan
penggunaan istilah lebih dari 25 % dari keseluruhan teks. Nilai yang dimiliki
terjemahan ini berkisar antara 50-59.
f. Terjemahan Buruk
Sangat terasa sebagai terjemahan, terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku
(relatif lebih dari 40 % dari keseluruhan teks) distorsi makna dan kekeliruan
penggunaan istilah dan ejaan lebih dari 40 % dari keseluruhan teks. Nilai yang
dimiliki terjemahan ini berkisar antara 0-49.
29
28
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Teks Sumber
1. Kitab Terjemahan Fiqh Al Islâm Wa Adilatuh
Teks sasaran (selanjutnya disingkat TSa) berapa buku tertulis dalam bahasa
Indonesia dalam versi terjemahan. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Pustaka Media
Utama di Bandung pada April tahun 2004 dan menjadi cetakan pertama. Sebagai
bentuk terjemahan buku Fiqh Al-Islâm Wa Adilatuh dengan alih bahasa (penerjemah)
Prof. Drs. KH. Masdar Helmy diberi judul Fikih Shalat kajian berbagai mazhab
dengan ISBN No. 979-98017-1-2.
Buku yang memiliki halaman sebanyak Sembilan ratus tujul puluh delapan
ini, di dalamnya terdapat kata pengantar penerbit, kata pengantar penerjemah, daftar
isi, catatan-catatan serta riwayat singkat dari penerjemah. Namun Penulis tidak
mendapati terjemahan kata pengantar baik dari penerbit maupun penulis aslinya, serta
juga tidak mendapati riwayat singkat penulis buku aslinya.
Buku terjemahan yang digadang-gadang akan memberikan kepuasan pada
para pembaca yang menginginkan memahami permasalahan salat oleh penerbitnya
ini, memiliki sepuluh bab yang masing-masing bab diterjemahkan sesuai dengan
urutan pada buku aslinya. Namun sebelum memasuki pembahasan pada bab-babnya
penerjemah memberikan diawal muka halaman buku ini berupa terjemahan dari
daftar isi pada bab dua buku aslinya dan pengantar berupa terjemahan mengenai salat
Rasulullah Saw. Selanjutnya penerjemah menerjemahkan bab per bab sesuai dengan
urutan aslinya yaitu berupa pengertian salat, waktu-waktu salat, adzan dan iqomah,
29
rukun-rukun salat, sunah-sunah salat, hal-hal yang membatalkan salat, salat-salat
sunah, jenis-jenis sujud, serta ditutup dengan pembahasan mengenai macam-macam
salat. Sebagai catatan buku ini memiliki menggunakan endnote dalam catatan kaki
yang dipakainya.
2. Riwayat Singkat Penerjemah
Nama lengkapnya adalah Masdar Helmy. Beliau lahir di sebuah desa yang
bernama Kandangan, yang terletak di salah satu pelosok Samarinda Kalimantan
Selatan pada tiga Juli tahun 1929. Masdar Helmy memulai jenjang pendidikan
Ibtida'iyah di kampungnya, Tsanawiyah di Kalimantan, dan melanjutkan ke
perguruan tinggi di IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.
Setelah menyelesaikan kuliah, beliau bekerja sebagai pegawai di jajaran
Departemen Agama sebagai Panitera Kepala Pengadilan Agama Bandung pada 1953-
1957 dan pada tahun 1963 beliau dipindahkan tugas ke Jakarta untuk menjabat
sebagai Kepala Bagian Penyuluhan Direktorat Pena Depag Jakarta. Pada tahun 1965
Masdar Helmy diberi kepecayaan untuk menjabat sebagai kepala Kantor Penerangan
Agama Propinsi Jawa Tengah, ketika pindah ke Jawa Tengah inilah beliau mulai
berkecimpung di dunia pendidikan kampus di mulai pada tahun 1963 sebagi dosen
luar biasa tafsir pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 1966 sebagai dosen
luar biasa agama Islam pada IKIP Negeri Jakarta. Pada tahu 1970 beliau dipercaya
untuk menjabat sebagai ketua 1 Panitia berdirinya IAIN Walisongo Semarang dan
dosen serta diangkat menjadi dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo pada tahun
1974.
30
Pada tahun 1989 Masdar Helmy pindah ke Bandung dan mengabdikan dirinya
menjadi dosen pada IAIN Sunan Gunung Jati serta diangkat menjadi Guru Besar di
sana pada tahun 1991. Pada tahun 2001 beliau pun diangkat menjadi Guru Besar
Emiritus IAIN Sunan Gunung Jati dan masih tetap mengabdi pada IAIN Sunan
Gunung Jati hingga seakarang.
B. Teks Sumber
Teks sumber (selanjutnya disingkat Tsu) berupa buku tertulis dalam bahasa Arab
yakni yang berjudul Fiqh Al-Islâm Wa Adillatuh karya Dr. Wahbah Al-Zuhailî. Kitab
ini adalah kitab yang berisi pemikiran dan pendapat para imam ulama mazhab fiqih
yang masyhur diantaranya Maliki, Hambali, Hanafi dan Syafei. Wahbah al-Zuhaili
dalam buku ini membahas secara jelas aturan-aturan Sariah Islam yang disandarkan
kepada kami dalil-dalil yang shahih baik dari Alquran, Sunah, maupun akal. Oleh
sebab itu, kitab ini tidak hanya membahas fiqih yang sunnah saja atau membahas
fiqih berasaskan logika semata. Selain itu, karya ini juga mempunyai keistimewaan
dalam hal mencakup materi-materi dalam fiqih dari semua madzhab, dengan disertai
proses penyimpulan hukum (istinbât al-ahkâm) dari sumber-sumber hukum Islam
baik yang naqli maupun aqli (Alquran, Sunah, dan juga ijtihad akal yang didasarkan
kepada prinsip umum dan semangat tasyri‘ yang otentik).
Pada setiap halaman kitab ini, disajikan pembahasan mengenai seluk-beluk fiqih
antara lain arti fiqih dan keistimewaannya, sejarah ringkas tokoh-tokoh madzhab
fiqih, peringkat-peringkat tokoh ahli fiqih, seluk-beluk tentang niat belum dari sudut
pandang fiqih, juga pembahasan utama mengenai toharah dan salat.
31
31
BAB IV
ANALISIS PENILAIAN KUALITAS TERJEMAHAN
KITAB FIQH AL ISLÂM WA ADILLATUH
Pada bab ini peneliti akan memberikan evaluasi serta nilai dari hasil terjemahan
halaman per halaman. Analisa dan penilaian akan peneliti lakukan dengan mengamati
hasil terjemahan kitab Fiqh Al-Islâm Wa Adillatuh baik dari segi ketepatan ( yaitu
dengan melihat sejauh mana pesan itu tersampaikan), segi kejelasan ( yaitu melihat
struktur kalimat, pemilihan diksi, pemakaian ejaan serta efektifitas kalimat yang
sesuai dengan padanan pada bahasa sasaran), serta segi kewajaran dengan
memberikan solusi terjemahan yang tepat menurut peneliti. Berikut ini analisa
peneliti mengenai hasil terjemahan kitab Fiqh Al-Islam Wa Adillatuh:
1.
:صفة صالة النبي صلى اهللا علیھ وسلم
SIFAT SHALAT NABI MUHAMMAD SAW.
Pada terjemahan di atas, peneliti mendapati adanya kekurang tepatan dalam
pemilihan diksi kata صفة yang diterjemahkan seperti bahasa aslinya yaitu sifat.
Peneliti melihat konteks pada Tsu adalah membicarakan tata cara salat nabi, bukan
menggambarkan sifatnya. Hal ini dapat tersirat dari hadis yang dikutip pada Tsu yang
menjelaskan gerakan salat nabi. Seharusnya kata sifat dalam klausa ini akan lebih
tepat diterjemahkan menjadi tata cara. Seandainya kata tersebut tetap dialihkan
menjadi kata sifat maka akan terjadi ketidak paralelan antara judul subbab dengan isi,
sehingga akan berakibat pada pemahaman yang sulit bagi pembacanya.
32
Uraian peneliti di atas didasarkan tinjauan dari pengertian kata sifat menurut
kamus besar bahasa Indonesia yang memiliki arti rupa dan keadaan yang tampak
pada suatu benda.1 Maka akan lebih tepat bila kata ini dialihkan menjadi tata cara
salat Nabi Muhammad Saw. Namun dikarenakan klausa ini adalah berkedudukan
sebagai judul, akan lebih baik apabila klausa ini diberikan padanan yang lebih tepat.
Posisi judul dalam setiap karya ilmiah menjadi poin penting yang harus diperhatikan,
dengan judul yang menarik akan menimbulkan keinginan yang tinggi pada diri
pembaca untuk mengambil keputusan membaca sebuah buku.
2.
رواھا ھذه صفة واضحة لصالة النبي صلى اهللا علیھ وسلم ،أثبتھا ھنا قبل تفصیل الكالم عن الصالة، كما المحدثون الثقات،
Sebelum diuraikan lebih lanjut secara rinci pembahasan tentang berbagai hal yang berkenaan dengan shalat, perlu dikemukakan di sini tata cara shalat Rasulullah saw. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh para muhadditsin, supaya dapat kita jadikan satu-satunya sebagai peringatan dan teladan yang baik untuk selamanya.
Penilaian yang dapat peneliti berikan untuk terjemahan di atas, peneliti
menemukan adanya kesalahan yaitu penerjemah melakukan penafsiran bukan
melakukan penerjemahan. Hal ini terlihat dimana penerjemah menggunakan kata
perlu dikemukan. Sedangkan dalam teks aslinya tidak mencerminkan keinginan
penulis buku asli untuk merasa perlu mengemukan hal tersebut. Tetapi yang
diinginkan penulis adalah penukilan hadis tersebut adalah sebagai pendukung untuk
memasuki pemahaman pembaca tentang isi buku yang ditulisnya. Sebaiknya
terjemahan ini dialihkan menjadi, “ sebelum memasuki pembahasan tentang salat, di
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id
33
bawah ini akan dikemukan secara jelas tata cara salat sebagaimana yang
disampaikan oleh para ahli hadis”.
Kesalahan yang lain yaitu pengalihan kata muhadistsin menjadi para
muhaditsin. Kata muhaditisin adalah bentuk jamak dari muhadis. Bila kata ini ingin
dialihkan sesuai dengan padanan jamak yang lazim digunakan dalam bahasa
Indonesia, seharusnya kata ini hanya ditambahkan kata para yang diletakan di depan
arti bentuk tunggalnya menjadi para ahli hadis atau para muhadis.2
Pada terjemahan di atas juga terdapat klausa tambahan yaitu, ‘supaya dapat
kita jadikan satu-satunya sebagai peringatan dan teladan yang baik untuk selama-
lamanya’. Disini peneliti menemukan adanya penambahan kalimat yang tidak perlu.
Untuk menjaga teks sumber tersampaikan dan terjaga pesan dari penulis aslinya,
seyogyanya penerjemah tidak melakukan penambahan ini. sehingga karya yang ada
tetap menjadi karya asli penulis dan bukan menjadi hasil tulisan baru atau tafsiran
dari penerjemah.
3.
سمعت أبا حمید الساعدي في عشرة : أخرج البخاري وأبو داود والترمذي عن محمد بن عمرو بن عطاء قال
صلى اهللا علیھ وسلم ـ منھم أبو قتادة ـمن أصحاب رسول اهللا
Al-Bukhori, Abû Dawud, dan Al-Turmudzi meriwayatkan dari Muhammad bin Amr bin Atha’, ia berkata: Saya mendengar Abû Hamid Al-Sa’idi berkata tentang sepuluh orang sahabat Rasulullah saw., di antaranya Qotadah:
Penilaian terjemahan di atas yang dapat peneliti kemukakan di sini yaitu
peneliti menemukan adanya kesalahan dalam menuliskan kompilator sebagai
2 Syarif hidayatullah, Tarjim Al-An Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia (Pamulang: Dikara,2010), h.90
34
periwayat hadis. Seharusnya penulisan nama kompilator dituliskan pada akhir matan.
Penerjemahan nama kompilator seharusnya dituliskan sesuai dengan kelaziman yang
dipakai pada bahasa sasaran. Bila diperhatikan dalam susunan hadis di atas bahwa
periwayat hadis yang dicantumkan hanyalah salah satu periwayat hadis ini yaitu
Muhammad bin ‘Amr bin Ata, sehingga pengalihan penerjemahan di atas sebaiknya
dapat dialihkan menjadi ‘Muhammad bin ‘Amr bin Ata meriwayatkan dari Abû
Humayd al-Sâ ‘idî’ saja, sedangkan nama-nama kompilator yaitu Al-Bukhori, Abû
Dawud, dan Al-Tirmudzi dituliskan pada akhir matan. Kesalahan fatal yang peneliti
dapat temukan adalah ketika penerjemah menuliskan kesalahan nama periwayat hadis
yang seharusnya dituliskan Abû Humayd al-Sâ‘idî’ namun penerjemah
menuliskannya menjadi Abû Hamid al-Saidi3.
Dari hasil pengalihan ini juga, peneliti melihat adanya kesalahan pesan yang
dilakukan dalam mengalihkan klausa tersebut. Konteks yang ada dalam klausa
tersebut adalah Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atâ -sebagai periwayat hadis-
menjelaskan bahwasanya dirinya mendengar seseorang yang sedang berbicara di
sekumpulan sahabat Rasulullah yaitu Abû Humayd dan bukan bermaksud
membicarakan tentang sepuluh orang sahabat Rasulullah hal ini dapat terlihat adanya
partikel في, sehingga klausa ini seharusnya dialihkan menjadi Muhammad bin ‘Amr
bin Ata meriwayatkan hadis dari Abû Humayd al-Sâ‘idî’. Sebagai catatan Abû
3 Abû Dawud Sulaiman bin al-Asyas al-sajastani, Sunan Abû Dawud (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), h. 276
35
Humayd al-Sâ‘idî’ adalah salah seorang sahabat Nabi yang banyak meriwayatkan
hadis-hadis salat.4
Untuk hal lainnya sebaiknya penulisan nama orang yang berasal dari bahasa
sumber dituilskan keseluruhannya. Hal ini dikarenakan nama pada bangsa Arab
sangat penting dikarenakan banyak memiliki kemiripan. Oleh karena itu kata Abû
yang merangkai kata Qotadah agar tidak dilesapkan, namun dituliskan lengkap sesuai
yang tertulis pada tek sumber.
Kekurangan lainnya yang dapat peneliti temukan adalah tidak
dicantumkannya penulisan r.a ( radiyallâh ‘anh ) dibelakang nama sahabat atau
periwayat hadis. Penulisan r.a pada setiap nama belakang para sahabat menjadi tehnik
umum dalam menerjemahkan teks hadis, meskipun pada teks sumber tidak
ditemukan.5
4.
أنا أعلمكم بصالة رسول اهللا صلى اهللا علیھ وسلم ، :قال أبو حمید
Saya adalah orang yang paling tahu di antara kamu sekalian tentang shalat Rasulullah saw.
Berdasarkan uraian di atas maka kata قال dalam hadis tersebut akan lebih
tepat dialihkan menjadi berujar daripada berkata, hal ini merujuk kepada konteks
yang ada. Dengan mengalihkan kata ini menjadi berujar maka bahasa dan suasana
yang ditimbulkan akan mengalir dan pembaca akan merasa berada dalam suasana
yang sama dalam teks tersebut. Suasana yang terjadi pada konteks di hadis di atas
4 Abû Dawud Sulaiman bin al-Asyas al-sajastani, Sunan Abû Dawud (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), h. 500 5 Syarif hidayatullah, Tarjim Al-An cara mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia (Pamulang: Dikara,2019), h. 40
36
adalah ketika Abû Humayd berada dalam perkumpulan sahabat Nabi, Abû Humayd
mengeluarkan kata-kata yang membuat sahabat bertanya-tanya mengapa bisa dirinya
mengucapkan kata tersebut. Dengan demikian maka akan tepat bila kata berujar ini
digunakan untuk menjadi padanan pengalihan kata قال.
Sedangkan pengalihan klausa بصالة رسول اهللا صلى اهللا علیھ وسلم أنا أعلمكم menjadi
‘saya adalah orang yang paling tahu di antara kamu sekalian tentang shalat Rasulullah
saw. Dalam terjemahan di atas peneliti berpendapat memiliki kekurang tepatan dalam
mengalihkan ism tafdil. Pengalihan ism tafdil yang memiliki kontruksi berupa ism
tafdhil + min + majrur biasanya akan dialihkan menggunakan kata lebih + daripada
dan bukan menggunakan paling. Penggunaan paling dapat dilakukan apabila
kontruksi kalimat itu berbentuk ism tafdhil + mudhof ilaih. tepat penggunaan kata
adalah orang Peneliti mendapati adanya pemborosan dalam menggunakan kata.
Pemborosan itu terdapat pada frase paling tahu di antara kamu sekalian. Penggunaan
kata kamu sekalian sebaiknya di persingkat menjadi kalian saja, dengan membuang
kata kamu dan imbuhan se yang terdapat pada frase tersebut. Dengan demikian maka
akan lebih tepat bila frase ini dialihkan menjadi di antara kalian.
5.
فلم؟ فواهللا ما كنت بأكثرنا لھ تبعا، وال أقدمنا لھ صحبة،: قالوا
: “Mengapa begitu? Padahal kamu bukanlah orang yang paling banyak mengikuti Rasulullah saw. dan bukan orang yang paling dahulu menjadi shahabat diantara kami”,
kata فلم؟ sebagai bentuk frase pertanyaan, akan lebih tepat bila dialihkan
menjadi mengapa demikian?, pilihan diksi ini peneliti ambil dikarenakan peneliti
melihat dari konteks yang ada. Kata ini hadir dikarenakan kebingungan sahabat nabi
37
atas ucapan Abû Humaidi yang menyatakan dirinya sebagi orang yang paling tahu
mengenai tata cara salat Rasul. Diksi yang peneliti ambil diperkuat dengan klausa
yang hadir setelahnya yaitu فواهللا ما كنت بأكثرنا لھ تبعا، وال أقدمنا لھ صحبة . pada terjemahan
kalimat ini juga terjadi kekurang tepatan dalam pemilihan diksi. Hal ini terlihat pada
pemilihan diksi untuk frase رنا لھ تبعابأكث yang dialihkan menjadi banyak mengikuti
Rasulullah Saw. Kata banyak mengikuti akan lebih dipahami apabila dialihkan
menjadi seringkali mengikuti.
Hal lainnya juga peneliti temukan kekurang tepatan dalam pemilihan diksi
frase صحبةوال أقدمنا لھ yang dialihkan menjadi orang yang paling dahulu menjadi
sahabat. Peneliti melihat diksi yang dipilih oleh penerjemah kurang tepat. Kata ini
akan lebih tepat dan akan lebih mudah dipahami apabila dialihkan menjadi orang
yang pertama-tama masuk Islam. Karena frase “lebih dahulu menjadi sahabat”,
sebelum Islam hadir Rasulullah pun banyak memiliki sahabat yang juga belum tentu
memeluk Islam sebagai agamanya, namun yang dimaksudkan oleh kalimat ini adalah
orang-orang yang membantu dan mendukung Rasulullah di awal kemunculan Islam.
6. بلى،: قال
ia menjawab: Benar.
Selanjutnya peneliti juga menemukan kekurang tepatan dalam pemilihan diksi
kata قال yang dialihkan menjadi berkata. Bila diperhatikan kata ini muncul dalam
kerangka komunikasi. Seharusnya kata ini lebih tepat apabila dialihkan menjadi
‘menjawab’ sebagai bentuk balasan dalam kontruksi konteks percakapan.
Berdasarkan hal itu maka pengalihan yang tepat dalam menerjemahkan frase ini
38
adalah ‘Abû Humayd pun menjawab: benar, aku bukanlah orang yang seperti kalian
katakan’.
7. فاعرض،: قالوا
Mereka berkata: kemukakanlah!
Dari hasil terjemahan di atas peneiliti berpendapat sebaiknya klausa mereka
berkata lebih dicarikan diksi yang mendekati kepada struktur komunikasi. Walaupun
penerjemah telah dapat menerjemahkan pesan yang dikandung secara tepat, namun
peneliti merasa penggunaan kata ‘berkata’ kurang tepat. Kata قالوا sebagai bentuk
jawaban dari apa yang diucapkan Abû Humayd tidak tepat apabila dialihkan menjadi
‘berkata’ akan lebih tepat apa bila kata ini dimodifikasi dan diberikan padanan yang
sesuai dengan telinga pembaca sasaran, sehingga konteks serta konstruksi percakapan
yang ada tetap dipertahankan. Bila melihat konteks di atas, maka peneliti lebih
condong agar kata ini dialihkan menjadi ‘ para sahabat meminta Abû Humayd
menjelaskan perkataannya, dengan berkata “jelaskanlah alasan ucapanmu!”.
8. یحاذي بھما منكبیھ، كان رسول اهللا صلى اهللا علیھ وسلم إذا قام إلى الصالة، یرفع یدیھ حتى: قال
Ia berkata: Apabila Rasulullah saw. berdiri untuk melaksanakan salat, maka beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua bahunya,
Pada pengalaihan di atas peneliti melihat adanya ketidak tepatan pada
pemilihan diksi kata ‘berkata’, seharusnya pengalihan ini dialihkan dengan
menyesuaikan konteks dan komposisi komunikasi yang tepat mengikuti alur
percakapan di awal kalimat penyusun hadis ini. Dengan begitu maka tidak semua
kata قال akan di alihkan menjadi berkata, namun akan dialihkan mengikuti konteks
39
yang dibangun pada situasi komuniksai terjadi. Untuk itu penggunaan kata ‘berkata’
terasa kurang tepat bila dipadankan untuk mengalihkan frase قال. Peneliti berpendapat
agar klausa ini diubah total, namun tetap menyesuaikan dengan padanan pada bahasa
sasaran serta pesan yang tetap tersampaikan. Peneliti menyarankan apabila klausa ini
dialihkan menjadi ‘mendengar permintaan para sahabat Abû Humaydi pun
menjelaskan:’.
Analisa penilaian lainnya yang dapat peneliti kemukakan yaitu kurang
tepatnya penggunaan kalimat ‘apabila Rasulullah Saw. berdiri untuk melaksanakan
shalat’. Bila melihat struktur kalimat ‘berdiri untuk melaksanakan shalat’ bermakna
salat itu baru akan dilakukan Rasulullah, namun konteks pembicaraan pada kalimat
itu adalah salat itu sedang dilaksanakan Rasulullah. Untuk itu pengalihan yang tepat
menurut peneliti adalah apabila Rasullullah salat.
9. ثم یكبر حتى یقر كل عظم في موضعھ معتدال،
lalu membaca takbir sehingga seluruh tulang beliau berposisi sempurna pada tempatnya masing-masing,
Penggunaan frase ‘membaca takbir’ pada pengalihan di atas megindikasikan
frase ini kurang tepat dalam pemilihan diksi. Sebaiknya kata ini dialihkan menjadi
bertakbir saja. Diksi yang kurang tepat juga peneliti dapati pada klausa sehingga
tulang-tulang beliau berposisi sempurna. Penggunaan klausa tulang-tulang berposisi
sempurna tidaklah lazim digunakan (arkais) pada bahasa sasaran dan akan sulit
dipahami bagi kalangan pembaca sasaran. Sebaiknya klausa ini dipadankan dengan
kata berdiri tegak. Ketidak tepatan dalam pemilihan diksi ini berakibat kepada
penggunaan bahasa yang kaku dikarenakan pengalihan TSu yang harfiah.
40
10.
ثم یقرأ،
kemudian membaca (Al-Fatihah),
Analisa lainnya yang dapat peneliti kemukakan adalah ketidak tepatan dalam
mengalihkan pesan. Hal itu terdapat pada frase kemudian beliau membaca (Al-
Fatihah). Kesalahan itu terdapat pada penulisan kata Al-fatihah yang diberikan tanda
kurung yang berfungsi sebagai keterangan atau menjelaskan kata membaca. Namun
dalam posisi salat seperti ini, bukan hanya surat Al-Fatihah saja yang Rasulullah baca
namun surat lain yang beliau kehendaki pun dibacanya sebagai bentuk sunah dalam
salat. Pendapat ini peneliti ambil dari hadis lain yang diriwayatkan oleh rifa’ah bin
Rafi’.6 Untuk menghindari kesalahpahaman bagi pembaca teks sasaran sebaiknya
keterangan ini ditambahkan menjadi ( surat Al-Fatihah dan ayat lain dari Alquran
yang beliau kehendaki).
Menurut pendapat peneliti klausa pada sisi ini sebaiknya dapat dibentuk
menjadi kalimat baru. Dengan membentuk klausa ini menjadi kalimat baru maka
efektifitas kalimat dapat terjaga dan pesan akan lebih mudah dipahami oleh para
pembaca.
11.
ثم یكبر ویرفع یدیھ حتى یحاذي بھما منكبیھ معتدال،
kemudian membaca takbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya,
6 Abû Dawud Sulaiman bin al-Asyas al-Sajastani, Sunan Abû Dawud (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003), h.256.
41
Hal lainnya yang dapat peneliti kemukakan adalah pemilihan diksi kata
hubung yang kurang tepat yaitu dengan menggunakan kata hubung kemudian yang
terlalu sering digunakan dalam menghubungkan setiap klausa pada terjemahan di
atas. Sebaiknya kata-kata hubung di dalam terjemahan ini diberikan varian yang lain.
Penggunaan frase membaca takbir megindikasikan frase ini kurang tepat
dalam pemilihan diksi. Sebaiknya kata ini dialihkan menjadi bertakbir saja. Diksi
yang kurang tepat juga peneliti dapati pada klausa sehingga tulang-tulang beliau
berposisi sempurna. Penggunaan klausa tulang-tulang berposisi sempurna tidaklah
lazim digunakan (arkais) pada bahasa sasaran dan akan sulit dipahami bagi kalangan
pembaca sasaran. Sebaiknya klausa ini dipadankan dengan kata berdiri tegak. Ketidak
tepatan dalam pemilihan diksi ini berakibat kepada penggunaan bahasa yang kaku
dikarenakan pengalihan TSu yang harfiah.
12.
ھ،ثم یركع ویضع راحتیھ على ركبتی
kemudian ruku’ dan meletakan kedua telapak tangannya di lututnya,
pada pengalihan di atas peneliti hanya menemukan ketidak tepatan penggunaan
kata hubung. Sebaiknya kata hubung yang digunakan diberikian varian lain sehingga
pembaca tidak bosan ketika membaca karna selalu menamuka kata kemudian.
13. ،) 1(ثم یعتدل وال ینصب رأسھ وال یقنع
kemudian ber-i’tidal dengan tidak menegakan dan mengangkat kepalanya, Pada pengalihan di atas peneliti menemukan kembali penggunaan kata
hubung yang kurang tepat. Peneliti berpendapat sebaiknya kata hubung ini diberikan
42
varian yang lain agar hasil terjemahan tidak kaku karna penggunan kata hubung
kemudian yang terus menerus muncul. Di sisi lain peneliti juga melihat penggunaan
frase tidak meneggakan dan mengangkat kepala berindikasi kepada kepada ketidak
tepatan pemilihan diksi.
14. سمع اهللا لمن حمده، : ثم یرفع رأسھ فیقول
kemudian mengangkat kepalanya seraya membaca “sami’a Allahu liman hamidah”,
Bila ditinjau Kata iktidal yang bermakna berdiri di waktu salat setelah
melakukan rukuk,7 maka pengalihan di atas memiliki ketidak tepatan dalam
mengalihkan pesan. Bila dirujuk susunan kalimat pada hasil pengalihan di atas kata
iktidal dan rukuk adalah dua kegiatan yang terpisah, namun dalam praktek salat
pekerjaan ini adalah satu bangunan, dengan demikian kalimat ini ingin menerangkan
bahwa setelah melakukan rukuk Nabi selanjutnya akan melakukan iktidal yang tata
caranya dijelaskan oleh klausa selanjutnya yaitu ثم یرفع رأسھ ) 1(وال ینصب رأسھ وال یقنع ،
سمع اهللا لمن حمده، ثم یرفع یدیھ حتى یحاذي بھما منكبیھ معتدال: قولفی . Peneliti melihat penerjemah
terlalu kaku dalam menerjemahkan klausa-klausa ini sehingga pesan pun menjadi
tercecer dan tidak tersampaikan dengan baik.
15.
بیھ معتدال،ثم یرفع یدیھ حتى یحاذي بھما منك
kemudian mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya, pada pengalihan di atas peneliti hanya melihat ketidak tepatan dalam
penggunaan kata hubung. Sebaiknya kata hubung pada klausa ini dapat diberikan
7 M. Abdul Mujib, dkk., Kamus Istilah Fiqih (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 131.
43
varian sehingga pembaca tidak jemu ketika membaca tulisan ini, dikarenakan
munculnya kata hubung yang hampir seluruhnya menggunakan kata kemudian.
16. إلى األرض، فیجافي یدیھ عن جنبیھ،) 2(اهللا أكبر، ثم یھوي : ثم یقول
lalu membaca “Allahu akbar”, kemudian turun ke tanah, lalu merenggangkan kedua tangannya dari kedua lambungnya, pada pengalihan di atas peneliti melihat penerjemah berkali-kali
menggunakan Klausa membaca takbir. Peneliti berpendapat bahwa klausa ini kurang
lazim digunakan pada kalangan bahasa sasaran. Sebaiknya klausa ini di alihkan
menjadi bertakibir saja. Selanjutnya kekurang tepatan juga terdapat pada penggunaan
klausa turun ke tanah. Penggunaan klausa ini kurang lazim sebaiknya klausa ini
dialihkan menjadi bersujud.
17. اهللا أكبر،: ویسجد، ثم یقول
sujud, lalu membaca “Allahu akbar”,
pada pengalihan di atas peneliti melihat ketidak tepatan dimana
penerjemahkan mengalihkan frase kata kerja یسجد menjadi nomina. Ktidaktepatan ini
terjadi dikarenakan penerjemah melesapkan kata hubung و yang merangkai frase ini.
Sebaiknya pengalihan pada sisi ini dilakukan dengan tetap memunculkan kata hubung
. Peneliti memberikan solusi pengalihan ‘selanjutnya beliau pun sujud seraya
bertakbir’.
18. ، ویرفع، ویثني رجلھ الیسرى فیقعد علیھا، حتى یرجع كل عظم إلى موضعھ
mengangkat kepala, dan mendatarkan kaki kirinya lalu didudukinya, sehingga setiap tulang kembali ke posisi semula,
44
19.
.8ثم یصنع في اآلخر مثل ذلك
kemudian dalam raka’at beliau melakukan hal yang sama.9
Bila dilihat dari struktur bahasa yang menyusun paragraf di atas, kalimat ini
adalah bentuk kalimat baru. Dikarenakan klausa ini adalah kalimat baru maka
penulisannya pun sebaiknya mengikuti kelaziman pada bahasa sasaran dengan
menggunakan huruf kapital pada huruf yang mengawali klausa ini. Pada klausa ini
peneliti pun menemukan adanya pesan yang tidak tersampaikan. Terputusnya pesan
itu terjadi karena penerjemah hanya mengalihkan kata فی اآلخر menjadi ‘kemudian
dalam rakaat beliau melakukan hal yang sama’. Sedangkan maksud kata اآلخر dari
pesan yang tedapat pada klausa itu adalah rakaat lainnya selain rakaat yang menjadi
pokok pembicaraan, namun penerjemah hanya menuliskan rakaat saja.
Untuk penerjemahan isi hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Amr
bin ‘Atâ, peneliti banyak menemui kesalahan-kesalahan terjemahan dalam
mengalihkan teks sumber ke teks sasaran. Diantaranya dari segi efektivitas kalimat,
pemilihan diksi kata yang kurang tepat, pemakaian tanda baca yang tidak sesuai
dengan kelaziman pada bahasa sasaran serta terjemahan yang kaku. Untuk
keefektifan kalimat peneliti menemukan pada hasil terjemahan isi hadis di atas sangat
panjang dan menjemukan untuk dibaca, sehingga akan menimbulkan pemahaman
yang sulit bagi pembaca dalam memahami maksud dan pesan yang terkandung.
8 Dr. Wahbah Al-Zuhaili, Fiqh Al-Islam Wa Adilatuh, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2004) h. 571. 9 Dr. Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Shalat Kajian Berbagai Mazhab, penerjemah K.H. Masdar Helmy, (Bandung:2004), h. 3
45
Sebaiknya struktur kalimat pada hadis ini dibentuk menjadi beberapa kalimat, namun
tetap mengutamakan tersampaikannya pesan yang ada.
Menurut Sakri kalimat terpanjang untuk buku ajar perguruan tinggi maksimal
30 kata.10 Kiranya jumlah kata terjemahan yang akan dibaca oleh masyarakat umum
pun tidak lebih banyak dari itu. Karena itu kalimat pada terjemahan di atas
seyogyanya dapat dijadikan menjadi beberapa kalimat, agar dapat mudah dipahami.
Seyogyanya penerjemah dapat memodifikasi kalimatnya menjadi beberapa kalimat,
tanpa mengurangi pesan yang menjadi pesan Tsu.
Selanjutnya analisa kesalahan dan penilaian yang dapat peneliti berikan pada
halaman ini, yaitu peneliti menemukan ketidak tepatan dalam mengalihkan struktur
yang tepat pada pengalihan struktur kalimat percakapan. Konteks dalam hadis di atas
adalah situasi percakapan antara dua orang atau lebih. Sebagai konteks percakapan
yang memiliki definisi sebagai satu kegiatan atau peristiwa berbahasa lisan antara dua
orang atau lebih yang saling memberikan informasi dan mempertahankan hubungan
yang baik,11 maka diperlukan komponen-komponen yang tepat untuk menghasilkan
tujuan bahasa yang baik. Dengan melihat definisi percakapan di atas akan lebih baik
apabila konteks percakapan yang terdapat pada hadis di atas dapat juga dipertahankan
baik dari segi kalimat, klausa, frase, kata dan tanda baca mengikuti kelaziman yang
biasa digunakan dalam bahasa sasaran.
Untuk penerjemahannya selanjutnya yaitu penerjemahan isi hadis yang
diriwayatkan oleh Muhammad bin Amr bin Atha, peneliti banyak menemui
10 Sakri A., Bangun Kalimat dan Pembentukan Kata, (Jakarta: ITB, 1995), h.138. 11 J.D. Parera, Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga, 2004), h.235.
46
kesalahan-kesalahan terjemahan dalam mengalihkan teks sumber ke teks sasaran.
Diantaranya dari segi efektivitas kalimat, pemilihan diksi kata yang kurang tepat,
pemakaian tanda baca yang tidak sesuai dengan kelaziman pada bahasa sasaran serta
terjemahan yang kaku. Untuk keefektifan kalimat peneliti menemukan pada hasil
terjemahan isi hadis di atas sangat panjang dan menjemukan untuk dibaca, sehingga
akan menimbulkan pemahaman yang sulit bagi pembaca dalam memahami maksud
dan pesan yang terkandung. Sebaiknya struktur kalimat pada hadis ini dibentuk
menjadi beberapa kalimat, namun tetap mengutamakan tersampaikannya pesan yang
ada.
Menurut Sakri kalimat terpanjang untuk buku ajar perguruan tinggi maksimal
30 kata.12 Kiranya jumlah kata terjemahan yang akan dibaca oleh masyarakat umum
pun tidak lebih banyak dari itu. Karena itu kalimat pada terjemahan di atas
seyogyanya dapat dijadikan menjadi beberapa kalimat, agar dapat mudah dipahami.
Seyogyanya penerjemah dapat memodifikasi kalimatnya menjadi beberapa kalimat,
tanpa mengurangi pesan yang menjadi pesan Tsu.
Analisa lainnya yang dapat peneliti kemukakan yaitu pemilihan diksi yang
kurang tepat dalam pengalihan frase menjadi كل عظم في موضعھ معتدال ثم یكبر حتى یقر
menjadi lalu membaca takbir sehingga seluruh tulang beliau berposisi sempurna pada
tempatnya masing-masing’. Frase membaca takbir megindikasikan frase ini kurang
tepat pada diksi yang dipilihkan. Sebaiknya kata ini dialihkan menjadi bertakbir saja.
Diksi yang kurang tepat juga peneliti dapati pada klausa sehingga tulang-tulang
beliau berposisi sempurna. Penggunaan klausa tulang-tulang berposisi sempurna 12 Sakri A., Bangun Kalimat dan Pembentukan Kata, (Jakarta: ITB, 1995), h.138.
47
tidaklah lazim digunakan (arkais) pada bahasa sasaran dan akan sulit dipahami bagi
kalangan pembaca sasaran. Sebaiknya klausa ini dipadankan dengan kata berdiri
tegak.
Hal lain yang dapat peneliti kemukakan adalah berkaitan dengan
permasalahan terjemahan isi hadis di atas. Peneliti menememuka hasil terjemahan
yang harfiah yang akhirnya menyebabkan hasil terjemahan yang kaku. Kekakuan
terjemahan akan berakibat pada pemahaman yang sulit bagi pembaca untuk
memahamipesan yang ingin disampaikan. Sedangkan dalam metode penerjemahan,
hasil terjemahan harfiah ini disajikan hanya sebatas coret-coretan hanya untuk
diberikan modifikasi lain sehingga terjemahan menjadi baku sebagai hasil
terjemahan.
20.
اح د افتت ر عن ا كب ھ، كم ا منكبی اذي بھم ى یح ھ حت ع یدی ر ورف ركعتین، كب ن ال ام م م إذا ق ث
الصالة،
Kemudian ketika beliau bangun dari ruku’ membaca takbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya, sebagaimana takbir yang beliau baca ketika memulai shalat, kemudian dalam raka’at lainnya beliau melakukan hal yang sama.
Pada penerjemahan di atas peneliti melihat adanya kekurang tepatan dalam
pemilihan diksi kata hubung. Penggunaan kata hubung kemudian untuk mengawali
kalimat ini kurang tepat, akan lebih tepat apabila digunakan kata selanjutnya. Hal ini
dikarenakan kata ini berfungsi untuk mengawali paragraf dan berfungsi pula menjadi
penyambung pikiran pokok pada paragraf sebelumnya. Namun bila ditinjau dari
panjangnnya isi hadis di atas, peneliti berpendapat agar kalimat ini masuk kepada
48
paragraf sebelumnya dengan membagi hadis ini kepada beberapa kalimat saja dengan
tidak menghilangkan pesan yang terkandung di dalamnya.
Tinjaun penilaian selanjutnya yang peneliti dapat kemukakan yaitu peneliti
menemukan kesalahan dalam mengalihkan pesan. Frase ،إذا قام من الركعتین
diterjemahkan menjadi “ ketika beliau bangun dari ruku’”. Sedangkan pesan yang
terkandung dalam frase ini adalah berdiri setelah melakukan rakaat yang kedua bukan
berdiri setelah rukuk.
Analisa lainnya yang dapat peneliti kemukakan adalah kesalahan pengalihan
dalam mengalihkan kalimat syarat. Hal ini terlihat dalam penerjemahan kalimat
‘Kemudian ketika beliau bangun dari ruku’ membaca takbir dan mengangkat kedua
tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya’. Dalam struktur bahasa sumber
terdapat kata syarat إذا. Apabila salah satu kalimat didahului kata syarat, maka dalam
menerjemahkannya perlu ditambahkan kata ‘maka’ atau ‘niscaya’ pada kalimat
lainnya.13 Dari terjemahan di atas peneliti tidak melihat penerjemah memunculkan
kata maka untuk mengawali kalimat selanjutnya sebagai kalimat jawab dari kalimat
syarat ini. seharusnya pengalihan yang tepat untuk terjemahan di atas adalah apabila
Rasulullah Saw. Bangun dari rakaat kedua, maka beliau bertakbir.
Hal lain yang peneliti lihat sebagai kekurang tepatan yaitu pemilihan diksi
dimana kata yang diterjemahkan menjadi ketika yang seharusnya akan lebih tepat
dialihkan menjadei apabila. Terjemahan di atas juga terdapat pemborosan dalam
penggunaan kata, kata menjadi ‘membaca takbir’. Peneliti melihat kata akan cukup
13 Syarif Hidayatullah, Tarjim al-An Cara Mudah Menerjemahkan Arab Indonesia, (Pamulang: Dikara,2010), h.139.
49
dipahami apabila hanya dialihkan menjadi bertakbir saja, dengan analogi kata takbir
yang dimulai dengan preposisi ber adalah kata kerja yang pekerjaannya dilakukakan
dengan mengucapkan kata takbir.14
Hal lainnya peneliti juga menemukan kekeliruan dalam penggunaan kata
hubung. Kata ‘dan’ sebagai kata hubung memiliki fungsi sebagai penghubung dua
buah klausa dalam sebuah kalimat majemuk,15 maka kata ini tidaklah tepat bila
digunakan untuk menyusun kalimat ini. Menurut pandangan peneliti kata yang tepat
adalah digunakan kata ‘dengan’ yang memiliki fungsi menyatakan cara atau sifat
perbuatan.16
21.
.ثم یصنع ذلك في بقیة صالتھ
kemudian dalam raka’at lainnya beliau melakukan hal yang sama. Pada pengalihan di atas peneliti melihat pengalihan yang baik, namun ada
sekit kekurangan saja yaitu dalam pengalihan kata hubung yang tetap menggunakan
kata kemudin. Sebaiknya kata hubung ini digunakan kata selanjutnya untuk
menghindari penggunaan kata kemudia yang selalu berkali-kali digunakan.
22.
األیسر، على شقھ) 4(حتى إذا كانت السجدة التي فیھا التسلیم أخر رجلھ، وقعد متوركا
Sehingga pada sujud yang diiringi dengan salam beliau mengakhirkan kedua telapak kakinya dan beliau duduk tawarruk (dengan menyentuhkan pantatnya ke tempat duduk) pada pantat sebelah kiri. 14 15 16
50
Selanjutnya penilaian yang peneliti dapat berikan yaitu peneliti menemukan
adanya ketidak tepatan dalam pemilihan diksi terjemahan. Kekurang tepatan ini
terdapat pada pengalihan klausa حتى إذا كانت السجدة التي فیھا التسلیم yang dialihkan
menjadi “Sehingga pada sujud yang diiringi dengan salam”. Klausa ini diterjemahkan
secara harfiah sehingga terasa sekali kekakuan dalam struktur penyusunnya. Akan
lebih tepat bila klausa ini dialihkan dengan padanan yang lebih tepat dan lebih
dipahami bagi pembaca bahasa sasaran. frase sujud yang diiringi dengan salam akan
membuat pembaca berpikir keras dan terbelenggu dengan kata-kata yang sulit
dipahami. Terlebih lagi tidak mustahil apabila pengalihan frase ini akan membuat
pemahaman yang salah pada diri pembacanya. Peneliti memandang akan lebih tepat
apabila frase ini dialihkan menjadi ‘tahiyat akhir’
23.
.صدقت، ھكذا كان یصلي صلى اهللا علیھ وسلم : قالوا
Mereka berkata: Kamu benar. Begitulah Rasulullah saw. Shalat. Pada pengalihan di atas peneliti melihat penerjemah dapat memberiak
pengalaihhan yang tepat. Sehingga bahasa yang digunakan tidak lagi kaku serta
dapat menyampaikan pesan yang terkandung.
24.
كنت في مجلس من أصحاب رسول اهللا صلى اهللا علیھ وسلم ،«: وفي روایة قال Dalam satu riwayat Abû Hamid berkata: saya pernah berada dalam majlis bersama para sahabat Rasulullah saw. la berkata: terangkanlah Shalat Rasulullah saw.
Pengalihan kurang tepat yang peneliti temukan pada pengaliihan frase dalam
satu riwayat. Kata روایة yang terdapat pada teks sumber adalah kata yang masuk
51
kedalam golongan kata tak takrif. Dalam bahasa sasaran kata ini biasanya akan
dialihkan menjadi seseorang, sebuah atau suatu di depan makna dasarnya mengikuti
konteks yang ada, atau dengan tidak menambahkan dengan kata apapun.17 Namun
dalam pengalihan kata ini dijadikan kata yang berjenis takrif yaitu ‘satu riwayat’,
untuk itu peneliti berpendapat sebaiknya kata ini dialihkan menjadi ‘dalam sebuah
riwayat’ saja.
Penilaian selanjutnya yang dapat peneliti kemukakan adalah penilaian
berkenaan dengan pengalihan صلى اهللا علیھ وسلم ، كنت في مجلس من أصحاب رسول اهللا
menjadi ‘Abû Hamid berkata: Saya pernah berada dalam majlis bersama para sahabat
Rasulullah saw.’. Pengalihan tersebut peneliti pandang terindikasi adanya kekeliruan
dalam mengalihkan pembicara yang meriwayatkan hadis di atas. Pengalihan Abû
Humayd berkata mengesankan bahwa Abû Humayd lah yang menceritakan bahwa
dirinya yang berada dalam majlis. Namun, apabila melihat konteks dan teks asli hadis
ini pada kitab Sunan Abû Dawud sangat jelas bahwa menyampaikan hal itu bukanlah
Abû Humayd tetapi Muhammad bin ‘Amr bin Ata.18 Dengan landasan ini maka
penerjemahan Abû Humayd berkata’ memiliki ketidak tepatan dalam menyampaikan
pesan yang ada. Bila meninjau keutuhan teks, peneliti melihat penulis mengawali
kalimat ini dengan struktur kata tak takrif bertujuan untuk memunculkan hadis yang
sebangun isinya tanpa mencantumkan periwayat hadis. hal ini dimaksudkan agar
pembaca memahami bahwa hadis ini adalah hadis lain yang bukan lagi diriwayatkan
17 18 Abû Dâwud Sulaiman bin al-Asyas as-Sajastani, Abû Dawud. Sunan Abû Dâwud, (Beirut: Dâr al-Fikr.2003).h. 279
52
oleh Abû Humayd. Untuk itu pengalihan yang tepat menurut peneliti adalah ‘dalam
suatu riwayat dijelaskan : aku pernah berada di dalam sebuah majlis sahabat Rasul’.
Berkenaan dengan permasalahan di atas, disebabkan dalam teks asli tidak
dicantumkannya periwat hadis, maka sebaiknya pengalihan frase ini dicarikan
padanan yang tepat tanpa mencantumkan periwayat hadis untuk menghindari
kesalahan dalam penyampaian pesan.
Hal lainnya yang peneliti dapat kemukakan yaitu ketidak tepatan dalam
menyampaikan pesan. Kesalahan penyampain pesan itu terdapat ketika penerjemah
memasukan kata bersama dalam menyusun kalimat aku pernah berada dalam majlis
bersama para sahabat Rasulullah Saw. Namun pesan yang terdapat pada kalimat itu
adalah pembicara ingin menyampaikan bahwa dirinya berada di sebuah perkumpulan
yang di dalamnya terdapat para sahabat Rasulullah Saw. Namun tidak di munculkan
secara jelas apakah benar dirinya berada bersama ataukah dirinya hanya mendengar.
25.
اذكروا صالتھ،: قال
la berkata: terangkanlah Shalat Rasulullah saw.
Pada pengalihan di atas peneliti melihat adanya ketidak jelasan penggunaan
kata ganti orang ketiga tunggal ‘ia’ yang disandarkan kepada subjek yang tidak jelas.
Ketidak jelasan penggunaan kata ganti ini mengakibatkan kesulitan bagi pembaca
untuk memahaminya. Peneliti berpendapat sebaiknya kata ini dialihkan menggunakan
kalimat tak langsung yang dilesapkan subjeknya serta merubah total struktur yang
53
ada. Untuk itu peneliti merasa akan lebih baik apabila klausa ini dialihkan menjadi
‘maka mereka pun diminta untuk menjelaskan salat Rasulullah Saw.
26.
ذكر دیث ـ فت ذا الح ض ھ ذكر بع د ـ ف و حمی ال أب رج : فق ھ، وف ن ركبتی ھ م ن كفی ع أمك إذا رك ف ، ) 6(وال صافح بخده ظھره، غیر مقنع رأسھ، ) 5(بین أصابعھ، وھصر
Lalu Abû Hamid berkata: (lalu ia menyebutkan sebagian hadits ini). riwayat tersebut menyebutkan: ketika Rasulullah saw. ruku’, maka beliau merengangkan kedua telapak tangannya pada kedua lututnya, merenggangkan jari-jarinnya, mencondongkan punggungnya dengan tidak menundukan kepalanya dan tidak menampakan permukaan pipinya.
Penialaian lainnya yang peneliti dapat kemukakan adalah ketidak akuratan
dalam mengalihkan kalimat ‘lalu Abû Humyd berkata : (lalu ia menyebutkan
sebagian hadis ini). Riwayat itu menyebutkan’. Ketidak akuratan itu antara lain
ketidak tepatan diksi pada pengalihan lalu Abû Hamid berkata:. Peneliti memandang
klausa ini muncul sebagai bentuk klausa jawaban atas permintaan seseorang yang
meminta agar di jelaskan tentang salat Rasulullah yang ditujukan kepada para sahabat
Rasul. Sebagai bentuk jawaban dari sebuah permintaan, maka klausa yang di
munculkan seharusnya dapat mengakomodir suasana konteks yang ada dengan
menggunakan bahasa yang mengalir sehingga mudah dipahami. Dari konteks ini
terlihat Abû Humayd menjadi perwakilan dari para sahabat Rasulullah untuk
menerangkan salat Rasul. Peneliti berpendapat sebaiknya klausa ini dialihkan
menggunakan tehnik jiyadah yaitu menambahkan kata yang tidak ada dalam klausa
pada teks sumber agar pesan yang ada dapat tersampaikan dengan baik. Peneliti
memnerikan opsi agar klausa ini dialihkan menjadi ‘mendengar permintaan itu Abû
Humayd pun menjelaskan’.
54
Hal lainnya yang peneliti juga rasa sebagai suatu hal yang kurang tepat yaitu
pada pengalihan jumlah mutaridhoh ( kalimat sampiran atau jeda) yaitu ‘lalu ia
menyebutkan sebagian hadis ini’. Didasarkan bahwa teks sumber adalah teks modern
maka kalimat jeda ini tidaklah sulit untuk ditentukan. Menurut kelaziman yang ada
pada bahasa sasaran kalimat ini dialihkan dengan menggunakan tanda pisah. Namun
penerjemah menggunakan tanda kurung untuk mengalihkannya, Sehingga klausa ini
berfungsi sebagai klausa penjelas. Hal ini berakibat pada pemahaman yang salah di
kalangan pembaca teks sasaran. Ketidak tepan juga terdapat pemilihan diksi kalimat
sampiran ini. Penggunaan kata lalu ia menyebutkan sebagian hadis ini, peneliti lihat
27.
رى ة أخ ي روای ال: وف رش إذ«: ق ر مفت ھ غی ع یدی جد وض تقبل ) 1(ا س ھما، واس وال قابض .» بأطراف أصابعھ القبلة
Dalam riwayat yang lain lagi Abû Humaidi menyatakan: ketika beliau sujud, maka beliau meletakan kedua tangannya, tidak meletakan kedua hastanya, tidak menggegamkannya, dan menghadapkan ujung-ujung jarinya kearah kiblat.
Pengalihan yang kurang tepat juga penliti temukan pada pengalihan frase وفي
adalah kata tak takrif yang dalam bahasa روایة menjadi dalam satu riwayat. Kata روایة
Indonesia biasanya akan dialihkan menjadi seseorang, sebuah atau suatu di depan
makna dasarnya, atau tanpa penambahan apapun19. Bila kata tak takrif ini dialihkan
menjadi satu, maka kata ini adalah masuk kedalam kategori takrif. Sehingga peneliti
melihat sebaiknya kata ini akan lebih tepat bila dialihkan menjadi dalam sebuah
riwayat.
19 Syarif Hidayatullah, Tarjim al-An Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia, (Pamulang: Dikara, 2010), h. 111.
55
Selanjutnya peneliti juga menemukan pengalihan yang salah pesan dalam
mengalihkan frase قال: وفي روایة أخرى menjadi dalam riwayat yang lain Abû Humaidi
menyatakan:. Pengalihan Abû Hamid menyatakan mengesankan bahwa hadis ini
diriwayatkan oleh Abû Hamid. Namun peneliti menganalisa bahwa periwayat hadis
yang menyampaikan hadis ini bukanlah Abû Hamid tetapi Muhammad bin Amr bin
Ata20 dan tidak ada nama Abû Hamid tercantum dalam periwayatan hadis tersebut.
Dengan mengalihkan seperti ini menjadikan pengalihan hadis ini menjadi salah pesan
dan berpengaruh kepada pemahaman yang salah bagi kalangan pembaca.
Dikarenakan pada teks asli kitab Fiqh al-Islâm wa Adilatuh juga tidak dicantumkan
periwayat hadis secara utuh dan hanya mengutip matannya saja, maka pengalihan
yang harus dilakukan penerjemah sebaiknya tanpa mencantumkan apapun serta hanya
menerjemahkan matan hadisnya saja. Untuk itu pengalihan yang tepat untuk
mengalihkan kalimat pembuka sebelum menerjemahkan matan hadis di atas
sebaiknya menggunakan pola kata tak takrif seperti teks aslinya. Peneliti menganggap
pengalihan yang tepat adalah ‘dalam sebuah riwayat lain dijelaskan’.
28.
ال ة ق ي روای ال «: وف وع ـ فق ن الرك ي م ھ ـ یعن ع رأس م رف ا : ث م ربن ده، اللھ ن حم مع اهللا لم س
21.» لك الحمد، ورفع یدیھ
Dalam riwayat yang lain lagi ia berkata: kemudian beliau mengangkat kepalanya, yakni dari ruku’, maka beliau membaca: sami’a Allahu liman hamidah, Allahumma Rabbana laka al-hamdu dan mengangkat kedua tanganya.22
20 Sulaiman bin al-Asyas as-Sajastani, Abû Dawud. Sunan Abû Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr.2003). h. 280 21 Dr. Wahbah Al-Zuahaili, Fiqh Al-Islâm Wa Adilatuh (Beirut: Dâr Al-Fikr, 2004).h.572
56
Pengalihan yang kurang tepat juga penliti temukan pada pengalihan frase وفي
adalah kata tak takrif yang dalam bahasa روایة menjadi dalam satu riwayat. Kata روایة
Indonesia biasanya akan dialihkan menjadi seseorang, sebuah atau suatu di depan
makna dasarnya, atau tanpa penambahan apapun23. Bila kata tak takrif ini dialihkan
menjadi satu, maka kata ini adalah masuk kedalam kategori takrif. Sehingga peneliti
melihat sebaiknya kata ini akan lebih tepat bila dialihkan menjadi dalam suatu
riwayat. Hal lain yang peneliti dapat kemukakan adalah kesalahan pesan ketika
mengalihkan frase menjadi dalam riwayat yang lain ia berkata:. Kesalahan juga
berkenaan dengan kesalahan menuliskan periwayat hadis. kesalahan itu terdapat pada
frase ia berkata, berindikasi bahwa hadis ini diriwayatkan juga oleh Abû Hamid.
Namun bila diteliti pada kitab Sunan Abû Dawud, hadis ini bukanlah diriwayatkan
oleh Abû Huamidi namun oleh Abas bin Ayas bin Sahl. Oleh karena itu, untuk
menghindari kesalahan dalam menuliskan periwayat hadis ini sebaiknya farse ini
dialihkan tanpa menggunakan atau mencantumkan kata ganti orang ketiga tunggal.
Peneliti berpendapat akan lebih tepat apabila frase ini dialihkan menjadi dalam
sebuah hadis dijelaskan.
Kekurang tepatan yang lain yang peneliti dapati yaitu dalam mengalihkan
kalimat jeda atau sampiran. Bila berpegang pada teori penulisan kalimat ini pada
bahasa sasaran, seharusnya kalimat ini tetap seperti apa adanya saja tanpa
menggunakan tanda koma. Bila menggunakan tanda koma mengindikasikan bahwa
22 Dr. Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Shalat Kajian Berbagai Mazhab, penerjemah Prof. K.H. Masdar Helmy, (Bandung:2004), h. 4 23 Syarif Hidayatullah, Tarjim al-An Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia, (Pamulang: Dikara, 2010), h. 111.
57
kalimat sampiran ini menjadi satu kesatuan dengan kalimat sebelumnya. Sedangkan
kalimat sampiran ini tidak memiliki tugas selain hanya menjadi bantuan penjelas saja.
Untuk itu, maka peneliti berpendapat kalimat ini di alihkan menjadi ‘-dari ruku-‘ saja.
Hal lain yang peneliti lihat sebagai kekurang tepatan yaitu pemilihan diksi
dimana kata إذا yang diterjemahkan menjadi ketika yang seharusnya akan lebih tepat
dialihkan menjadi apabila. Terjemahan di atas juga terdapat pemborosan dalam
penggunaan kata, kata كبر menjadi ‘membaca takbir’. Peneliti melihat kata كبر akan
cukup dipahami apabila hanya di alihkan menjadi bertakbir saja, dengan analogi kata
takbir yang dimulai dengan preposisi ber adalah kata kerja yang pekerjaannya
dilakukan dengan cara mengucapkan kata takbir.24
Selanjutnya peneliti juga menemukakan kekeliruan dalam penggunaan kata
hubung. Kata ‘dan’ sebagai kata hubung memiliki fungsi sebagai penghubung dua
buah klausa dalam sebuah kalimat majemuk25, maka kata ini tidaklah tepat bila
digunakan untuk menyusun kalimat ini. kata yang tepat menurut peneliti adalah kata
‘dengan’ yang memiliki fungsi menyatakan cara atau sifat perbuatan.26 Hal ini
diindikasikan bahwa tata cara bertakbir dalam salat adalah dengan mengucapkan
kalimat takbir yang diikuti mengangkat kedua belah tangan.
Hal lainnya yang peneliti anggap sebagai sebuah ketidak tepatan yaitu
pengalihan frase maka beliau membaca. Kata membaca memiliki pengertian yaitu
kata kerja yang dilakukan dengan menggunakan alat bantu tulisan seperti membaca
buku, membaca Koran atau lainnya. Dengan alasan itu maka kata membaca di sini
24 Redaksi TrasnMedia, Panduan EYD dan Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: TransMedia, 2010), h 45. 25 Ibid, h.71. 26 Redaksi TrasnMedia, Panduan EYD dan Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: TransMedia, 2010), h.72.
58
kurang tepat untuk dijadikan diksi pengalihan. Peneliti memandang akan lebih tepat
apabila digunakan kata ‘mengucap’ sebagai pilihan diksi. Kemudian ketidak tepatan
yang lainnya adanya kata hubung yang tidak diterjemahkan sehingga akan berakibat
kepada pemahaman yang salah. Peneliti melihat kata hubung yang mengapit frase
sami’a Allahu liman hamidah dan Allahumma Rabbana laka al-hamdu, seharusnya
tetap dipertahankan atau setidak-tidaknya dicarikan kata yang sepadan. Hal ini untuk
dapat membedakan antara ucapan iktidal dan doanya. Peneliti berpendapat sebaiknya
frase ini dialihkan menjadi sami’a Allahu liman hamidah seraya berdoa Allahumma
Rabbana laka al-hamdu.
Berhubungan dengan paragraf ini peneliti berpendapat paragraf pertama dan
kedua pada halaman ini akan lebih tepat bila dijadikan satu dengan membentuknya
menjadi beberapa kalimat saja. Hal ini dikarenakan peneliti memandang antara
paragraf pertama dan kedua pada halaman ini memiliki korelasi. Seandainya
dipaksakan untuk dipisahkan, maka yang akan terjadi adalah sulitnya membuat
hubungan yang baik antar paragraf dan akan menimbulkan pesan yang sulit dipahami
oleh pembaca. Pendapat ini peneliti ambil mengingat buku ini adalah sebuah karya
tulis. Sebagai bentuk karya tulis, maka persyaratan keparalelan antar paragraf harus
diposisikan sebagai syarat mutlak.
Selanjutnya kesalahan yang dapat peneliti kemukakan yaitu pada pengalihan
menjadi ketika pada rakaat keempat, maka beliau meneruskan pantatnya yang kiri ke
tanah dan mengeluarkan telapak kaki kirinya dari satu arah. Kesalahan itu terdapat
pada pengalihan ketika pada rakaat ke empat yang peneliti anggap kurang tepat dalam
59
menggunakan varian kata hubung. Bila dicermati penggunaan kata ‘ketika’ terlalu
sering digunakan penerjemah dalam menyusun konstruksi kalimat terjemahanya.
Selanjutnya peneliti juga menemukan kekurang tepatan dalam menggunakan
kata hubung pada frase ‘dan mengangkat kedua tanganya’. Penggunaan kata dan
disini tidaklah tepat dikarenakan kata hubung dan, maka sebaiknya kata ini akan lebih
tepat apabila digunakan kata serta.
Kesalahan yang lainnnya peneliti menemukan adanya beberapa kesalahan
dalam penulisan ejaan yang tepat. Kesalahan-kesalahan itu antara lain peneliti
temukan penulisan kata rukuk27 dituliskan ruku’, penulisan kata salat28 dituliskan
shalat. Kesalahan yang lain yaitu pada penulisan kata rakaat29 dituliskan raka’at,
penulisan kata hadis30 dituliskan hadist. Kesalahan yang lain juga terdapat pada
penulisan kata tawaruk31 yang dituliskan miring dan menggunakan double w
menjadi tawwaruk. terakhir kesalahan ejaan ini penulisan Saw.32 Sebagai singkatan
yang dituliskan menggunakan huruf kecil sluruhnya menjadi saw, samia 33sami’a
Allahu liman hamidah, Allahumma Rabbana laka al-hamdu
29.
وأخرج أبو داود والترمذي والنسائي عن رفاعة بن رافع رضي اهللا عنھ حدیثا علم فیھ النبي صلى اهللا علیھ وسلم رجال بدویا كیفیة الصالة،
27 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id 28 Ibid 29 ibid 30 ibid 31 ibid 32 Redaksi TransMedia, Panduan EYD dan Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: Transmedia, 2010), h.11. 33 Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, (Jakarta: Ceqda, 2006), h.50.
60
Abû Dawud, Al-Turmudzi, dan Al-Nasa’i meriwayatkan dari Rifa’ah bin Rafi’ r.a. bahwa Rasulullah saw. mengajari tata cara shalat kepada seorang badui,
Dari hasil pengalihan teks terjemahan di atas, peneliti menemukan adanya
kekurang tepatan dalam menuliskan kompilator yaitu Abû Dawud, al-Tirmidzi, dan
al-Nasa’i sebagai periwayat hadis. Seharusnya penulisan nama kompilator dituliskan
pada akhir matan34. Bila diperhatikan dalam susunan hadis di atas bahwa periwayat
hadis tersebut hanya memiliki satu periwayat hadis saja yaitu Rifa’ah bin Rafi’,
sehingga pengalihan penerjemahan di atas dapat dialihkan menjadi Rifa’ah bin Rafi’
r.a meriwayatkan. sedangkan penerjemahan nama kompilator dituliskan sesuai
dengan kelaziman yang dipakai pada bahasa sasaran yaitu HR Abû Dawud, al-
Tirmidzi, dan al-Nasai.35
Selanjutnya peneliti juga menemukan adanya kekurang akuratan dalam
mengalihkan klausa عن رفاعة بن رافع رضي اهللا عنھ حدیثا علم فیھ النبي صلى اهللا علیھ وسلم رجال
.yang dialihkan menjadi dari Rifa’ah bin Rafi’ bahwa Rasulullah saw بدویا كیفیة الصالة
mengajari tata cara shalat kepada seorang badui. Penerjemahan ini memiliki ketidak
tepatan dalam mengalihkan pesan yang ada dalam bahasa sumber kepada bahasa
sasaran. Kalimat di atas adalah kalimat pengantar yang dihadirkan sebelum
memasuki pembahasan mengenai matan hadis. kesalahan yang terjadi ketika
penerjemah tidak menerjemahkan kata yang menjadi pokok pembicaraan dalam
kalimat tersebut. Dengan tidak menerjemahkan kata ini maka ada ada pesan yang tak
tersampaikan. Bila melihat struktur kalimat yang ada bahwa pesan yang ingin
34 Syarif Hidayatullah, Tajim al-An Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia (Pamulang: Dikara, 2010), h.53. 35Syarif Hidayatullah, Tajim al-An Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia (Pamulang: Dikara, 2010), h.54.
61
disampaikan penulis buku asli dengan mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Rifa’ah bin Rafi’ bukan tentang tata pengajaran Rasul walaupun isi hadis
membicarakan hal tersebut.
30.
إنھ ال تتم صالة أحد من الناس حتى یتوضأ، فیضع الوضوء ـ یعني مواضعھ «: صلى اهللا علیھ وسلم فقال النبي ـ
Lalu Rasulullah saw. Bersabda: “sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang hingga ia berwudhu”.
Penilaian selanjutnya yang dapat peneliti kemukakan adalah pengalihan
kalimat ‘sesungguhnya tidak sempurna salat seseorang hingga ia berwudhu’. Peneliti
menemukan adanya kekurang akuratan dalam memilih diksi sehingga terjemahan
yang ada terasa kaku karna dihasilkan dari terjemahan yang sangat harfiah.
Penggunaan kata tidak sempurna sebagai pengalihan seharusnya dapat dicarikan
padanan yang lebih tepat dan lebih dapat dipahami. Sebaiknya kata ini diganti dengan
kata sah saja.
31.
ثم یكبر، ویحمد اهللا عز وجل، ویثني علیھ، ثم یقرأ بما شاء من القرآن،
kemudian membaca takbir dan memuja kepada Allah, lalu mebaca Al-Quran yang beliau kehendaki,
Kesalahan lainnya yang peneliti dapat kemukakan yaitu pengalihan frase
menjadi kemudian membaca takbir dan memuja Allah, lalu membaca Al-Quran yang
beliau kehendaki. Hasil penerjemahan di atas terasa sekali sebagai hasil terjemahan.
62
Hal itu terlihat pada pemilihan diksi dan kolokasi kata yang kurang tepat. Dari segi
ketidak tepatan kolokasi kata peneliti mendapati penggunaan kata hubung yang
kurang tepat. Kata hubung kemudian yang berfungsi sebagai kata hubung yang
menyatakan waktu36 tidak lah tepat apabila digunakan untuk mengalihkan frase
kemudian beliau bertakbir. Sebaiknya kata hubung yang digunakan pada frase ini
adalah kata selanjutnya yang berfungsi menunjukan adanya sebuah aktifitas baru.
Sedangkan dari segi diksi ketidak tepatan terlihat dimana penerjemah
menerjemahkan kata یكبر menjadi membaca takbir. Kesalahan penggunaan diksi ini
terdapat pada lima kali pengalihan kata یكبر menjadi membaca takbir. Peneliti
berpendapat sebaiknya penerjemah agar dapat lebih memilih diksi yang cukup
dipahami oleh para pembaca sasaran. Penggunaan kata yang kurang lazim akan
menyulitkan pembaca untuk memamahi pesan dari sebuah tulisan. Untuk itu frase
membaca takbir akan lebih tepat bila dipadankan dengan kata bertakbir saja.
Disamping menggunakan diksi yang lebih tepat dan juga lebih efektif dalam
membentuk kalimat yang akan lebih mudah dipahami oleh kalangan pembaca bahasa
sasaran.
Ketidak tepatan lainnya adanya kesalahan pesan pada hasil terjemahan yang
lagi-lagi terjadi akibat penerjemahan yang dilakukan secara harfiah. Kesalahan itu
terdapat pada frase memuja kepada Allah, sedangkan maksud dari teks asli adalah
membaca surat al-Fatihah. Pendapat peneliti ini berdasarkan kebiasaan yang ada
dalam bahasa sasaran bahwa memuja Allah lebih cenderung menggunakan kata
36 Redaksi TransMedia, Panduan EYD dan Tata Bahasa Indonesia. (Jakarta: TransMedia: 2010). h.71
63
tahmid yaitu hamdalah. Namun di dalam praktek salat yang diucapkan bukan hanya
terbatas pada kalimat tahmid saja, namun keseluruhan ayat dalam surat al-fatihah
harus dibaca karena menjadi rukun syarat sah salat
32.
اهللا أكبر، ثم یركع حتى تطمئن مفاصلھ،: ثم یقول
lalu membaca takbir, lalu ruku’ hingga seluruh ruas tulangnya tenang.
Penilaian pada pengalihan di atas penelit menemukan adanya ketidak tepatan
dalam penggunaan kata hubung yang hampir berkali-kali digunakan kata lalu.
Peneliti memandang agar kata hubung ini agar diberikan varian yang tepat agar setiap
frase yang dibentuk menjadi mengalir seperti tulisan sehingga enak dibaca dan
pembaca pun tidak jenuh karena penggunaan bahasa yang terlalu kaku. Kesalahan
lainnya yaitu adanya kesalahan pesan dalam mengalihkan frase menjadi lalu ruku’
hingga seluruh tulangnya tenang. Sedangkan maksud dari kata disini adalah
bermakna tuma’ninah yang dalam kamus istilah fiqh adalah berhenti sebentar dengan
tenang37. Namun dalam terjemahan di alihkan menjadi ruas tulang yang tenang.
Dalam praktek salat bukan hanya sebatas tulang saja yang harus tenang, namun sisi
rohani maupun jasmani pun dianjurkan agar tetap tenang. Dalam fiqih berhenti
sebentar (tuma’ninah) ini dijadikan rukun syarat sahnya salat.
33.
سمع اهللا لمن حمده، حتى یستوي قائما، : ثم یرفع، ثم یقول
Lalu mengangkat kepalanya, lalu membaca sami’a Allahu liman hamidah, hingga berdiri tegak 37M. Abdul Mujib, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1994), h. 389
64
Selanjutnya ketidak tepatan terjemahan juga peneliti temukan pada
penggunaan varian kata hubung. Penerjemah acap kali menggunakan kata lalu untuk
menghubungkan antar klausa pada hadis di atas. Terlihat sebanyak tujuh kali
penggunaan kata ini untuk pengalihan setiap kata hubung yang ditemui. Seharusnya
penerjemah dapat menggunakan varian yang berbeda ketika menggunakan kata
hubung.
34.
اهللا أكبر، ویرفع رأسھ حتى یستوي قاعدا،: اهللا أكبر، ثم یسجد، حتى تطمئن مفاصلھ، ثم یقول: ویقول
lalu membaca takbir dan mengangkat kepalanya hingga duduk tegak,
pada pengalihan di atas peneliti ingin memberikan koreksi terhadap ketidak
tepatan penggunaan diksi kata. Klausa membaca takbir peneliti anggap sebagai
klausa yang kurang lazim apabila digunakan untuk kalangan pembaca bahasa sasaran
hal ini dikarenakan hasil terjemahan harfiah sehingga terlihat sekali kekakuannya,
sebaiknya klausa ini dialihkan menjadi bertakbir saja.
Kesalahan lainnya yaitu adanya kesalahan pesan dalam mengalihkan frase
menjadi lalu sujud hingga seluruh tulangnya tenang. Sedangkan maksud dari kata
disini adalah bermakna tuma’ninah yang dalam kamus istilah fiqh adalah berhenti
sebentar dengan tenang.38 Namun dalam terjemahan di alihkan menjadi ruas tulang
yang tenang. Dalam praktek salat bukan hanya sebatas tulang saja yang harus tenang,
namun sisi rohani maupun jasmani pun dianjurkan agar tetap tenang. Dalam fiqih
berhenti sebentar (tuma’ninah) ini dijadikan rukun syarat sahnya salat.
38M. Abdul Mujib, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1994), h. 389
65
35.
اهللا أكبر، ثم یسجد حتى تطمئن مفاصلھ، : ثم یقول
lalu membaca takbir, lalu sujud hingga ruas–ruas tulangnya tenang
pada pengalihan di atas peneliti menemukan kembali ketidak tepatan
penggunaan diksi kata. Hal itu terlihat ketika penerjemah selalu mengalihkan Klausa
membaca takbir. Dalam hal ini peneliti menganggap klausa yang kurang lazim ini
digunakan dikarenakanb penerjemah masih tidak dapat keluar dari struktur bahasa
sumber. Sebaiknya untuk kalangan pembaca bahasa sasaran ini dialihkan menjadi
bertakbir saja menghindari penggunaan bahasa yang kaku.
36.
ویرفع ثانیة لیكبر،
dan mengangkat kepala untuk kedua kalinya untuk membaca takbir.
pada pengalihan di atas peneliti hanya ingin memberikan koreksi terhadap
ketidak tepatan penggunaan diksi kata. Klausa membaca takbir peneliti anggap
sebagai klausa yang kurang lazim apabila digunakan untuk kalangan pembaca bahasa
sasaran sebaiknya klausa ini dialihkan menjadi bertakbir saja.
37.
:الفصل األول
PASAL 1
Penerjemahan kata الفصل األول yang dialihkan menjadi pasal 1, peneliti melihat
pengalihan frase ini kurang tepat. Kelaziman yang ada dalam bahasa Indonesia tidak
66
mengenal kata pasal dalam komposisi penulisan bagian-bagian buku. Peneliti
berpendapat bahwa terjemahan ini terjadi karena penerjemahan melakukan
terjemahan yang harfiah yang tidak dapat keluar dari struktur bahasa sumber.
Seharusnya akan lebih tepat frase ini dapat dialihkan menjadi bab I saja.
38.
تعریف الصالة، ومشروعیتھا وحكمة تشریعھا فرضیتھا وفرائضھا، حكم تارك الصالة
PENGERTIAN SHALAT, DISYARI’ATKAN DAN HIKMAHNYA, KEFARDHUAN DAN FARDHU-FARDHUNYA, SERTA HUKUM ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT
Penilaian lainnya yang dapat peneliti berikan adalah penerjemahan judul pada
bab ini seharusnya dapat diberi judul yang lugas, sehingga mudah dipahami.
Penerjemahan judul bab di atas sangat panjang sehingga tidak efektif dalam struktur
kalimatnya dan kurang menarik. Penerjemah dalam hal ini memiliki kekuasaan penuh
untuk membuat terobosan penting dalam rangka menghasilkan keterpahaman bacaan
bagi pembacanya. Terlebih lagi judul memaikan peran yang sangat penting bagi
pemahaman awal atas uraian selanjutnya.39 Untuk itu penerjemah harus memiliki
kreatifitas dalam memodifikasi judul yang menarik dalam setiap judul bab yang
ingin diterjemahkan.
39.
:حقیقة الصالة
39 Benny H. Hoed, “Tinjauan Atas Penerjemahan The Origin Of Species Karya Charles Darwin Ke Dalam Bahasa Indonesia,” Diktat Teori Dan permasalah Penerjemahan, 2007.
67
1.1 HAKEKAT SHALAT
Pengalihan judul subbab hakikat salat hasil dari terjemahan frase الةالص حقیقة ,
dalam pandangan peneliti kurang tepat. Dalam hal ini seharusnya padanan yang
diambil untuk mengalihkan frase tersebut seyogyanya dapat mewakili seluruh pesan
yang ingin disampaikan sehingga memudahkan pembaca untuk mencapai
pemahaman awal bagi urai selanjutnya. Bila merujuk kepada makna hakikat yang
berarti intisari, dasar, dan kenyataan yang sebenarnya.40 Maka penggunaan kata ini
tidak dapat mewakili isi pesan yang ingin disampaikan dalam paragrafh
penyusunnnya. Dengan dasar itu maka pemilihan kata yang tepat untuk pengalihan
frase ini harus lugas dan berkaitan dengan isi pesan pada paragrapnya. Peneliti
berpendapat akan lebih tepat bila frase ini dialihkan menjadi pengertian salat.
40.
الدعاء أو الدعاء بخیر،: الصالة لغة
Shalat menurut bahasa adalah do’a atau berdo’a untuk kebaikan,
Penerjemahan di atas penulis melihat adanya gejala tautologi dalam berbahasa
yaitu,. Penggunaan kata “doa” dan atau “berdoa untuk kebaikan”, tautologi
merupakan satu perumusan kembali kata atau konsep dengan pengulangan makna
yang sudah dikandung oleh kata yang hendak di uraikan atau dijelaskan.41
Seyogyanya kata dan klausa ini diterjemahkan salah satunya saja dan melesapkan
yang lainnya, dikarenakan kata ini memiliki makna yang sama. Penggunaan
40 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id 41 J.D. Parera, Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga, 2004), h.196.
68
konjungsi ‘atau’ yang memisahkan “doa” dan “doa untuk kebaikan, juga dapat
berakibat pada pemilihan pada salah satunya. Sedangkan maksud dari kata doa dan
doa kebaikan adalah sama. Seharusnya kalimat ini diterjemahkan menjadi “Salat
menurut bahasa adalah doa untuk kebaikan.”
41.
.أي ادعو لھم] 9/301:التوبة[} وصل علیھم إن صالتك سكن لھم{: قال تعالى
.:….dan mendoalah untuk mereka, sesungguhnya do’a kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. (QS.9:103)
Penerjemahan yang kurang tepat juga peneliti temukan pada pengalihan frase
yang dialihkan menjadi seperti dalam firman Allah swt. Peneliti memandang قال تعالى
ketidak tepatan terjadi ketika penerjemah menggunakan kata ‘seperti’ untuk menjadi
padanan frase ini. Sedangkan kemunculan frase ini adalah ingin memunculkan ayat
sebagai dasar hukum pengambilan makna salat secara bahasa. Sehingga pengalihan
yang tepat untuk menerjemahkan kata ini adalah berdasarkan firman Allah Swt.
Ayat وصل علیھم إن صالتك سكن لھم adalah penggalan ayat 103 dari surat al-
Taubah dari yang dikutip oleh penulis sebagai penjelas pengertian kata salat yang
bermakna doa. Namun dalan kontruksi ayat keseluruhan frase ini berkedudukan
sebagai bentuk perintah Allah untuk Rasulullah setelah perintah pertama yaitu
mengambil sedekah dari harta orang mukmin untuk membersihkan dan menyucikan
dosa mereka.42 Peneliti berpendapat penerjemahan ayat ini sebaiknya huruf و yang
42 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i. Taisiru al-Aliyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir (Riyadh: Maktabah Ma’arif, 1989)
69
mengawali frase ini agar tetap diterjemahkan agar tidak terjadi pesan yang terputus.
Walaupun ayat ini hanya menjadi rujukan dalil pengertian salat sebagai doa.
Selanjutnya peneliti juga mendapati pemilihan diksi yang kurang tepat terjadi
pada kata صل yang dialihkan menjadi mendoalah. Kata صل adalah فعل االمر yang
memiliki fungsi sebagai pembentuk kalimat perintah, sehingga kata ini seharusnya
dapat dialihkan sesuai dengan fungsinya. Meskipun penerjemah telah penggunakan
partikel lah yang berfungsi sebagai pembentuk kalimat perintah yang digunakan di
belakang kata kerja43 mendoa, namun hal ini belum dapat memunculkan fungsi yang
seharusnya. Hal ini dikarenakan kata kerja yang digunakan menggunakan sufiks me.
Pengalihan akan tepat bila partikel ini digAbûngkan dengan kata kerja yang
berimbuhan ber, sehingga lebih tepat apabila kalimat ini dialihkan menjadi berdoalah.
Di sisi lain pengalihan di atas juga terdapat kekurang tepatan dalam
penggunaan tanda baca. Penggunaan tanda koma untuk memisahkan frase
‘mendoalah untuk mereka’ dengan ‘sesungguhnya doa kamu’ berakibat pada
ketidakjelasan struktural. Klausa ‘sesungguhnya doa kamu’ merupakan kalimat baru
yang muncul sebagai jawaban tujuan Allah memerintakan Rasulullah berdoa untuk
orang-rang yang mengeluarkan sedekah.44 Berlandaskan hal itu, sebaiknya klausa ini
dipisahkan dengan menggunakan tanda titik.
Analisa lainnya peneliti melihat pemilihan diksi kata سكن yang dialihkan
menjadi ketentraman menurut peneliti diksi yang dipilihkan kurang tepat, sebaiknya
43 Redaksi TransMedia, Panduan EYD dan Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: Transmedia,2010), h.50. 44 Ar-Rifai’I, Muhammad Nasib. Taisiru al-Aliyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir (Riyadh: Maktabah Ma’arif, 1989)
70
kata سكن akan lebih tepat diterjemahkan menjadi penyejuk sehingga klausa ini
seharusnya dapat dialihkan menjadi penyejuk hati bagi mereka. Sedangkan frase doa
kamu seharusnya dapat dituliskan hanya menjadi doamu saja agar keefektifan dalam
pemakain kata dapat terjaga.
42.
.ھي أقوال وأفعال مخصوصة، مفتتحة بالتكبیر، مختتمة بالتسلیم: وشرعا
menurut pengertian syara’ adalah ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan tertentu yang diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam
Ketidak tepatan terjemahan juga terdapat pada pengalihan kata شرعا yang
dialihkan menjadi syara’. Peneliti melihat penerjemah kurang tepat menggunakan
kata syara sebagai bentuk pengalihan untuk kata شرعا , walaupun kata ini dikenal bagi
orang yang mendalami ilmu agama terutama ilmu fiqih. Namun kata ini akan asing
bila dihadapkan kepada pembaca awam. Untuk lebih tepatnya kata ini seharusnya
dapat dialihkan mengikuti kelaziman yang ada dalam bahasa Indonesia. Kelaziman
yang ada pada bahasa sasaran apabila ada pengertian secara bahasa maka akan diikuti
pula pengertian secara istilahnya. Maka akan lebih tepat kata ini dapat dialihkan
menjadi sedangkan menurut istilah salat adalah.
Kesalahan yang lain yang peneliti temukan juga masih berkaitan dengan diksi
yang tidak lazim. Kesalahan itu terjadi pada pengalihan klausa ھي أقوال وأفعال
yang dialihkan menjadi ucapan-ucapan dan مخصوصة، مفتتحة بالتكبیر، مختتمة بالتسلي
tindakan-tindakan tertentu yang diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam.
Pemilihan diksi yang kurang tepat terdapat pada kata أفعال menjadi tindakan-tindakan,
peneliti melihat pemilihan diksi ini tidak tepat untuk mengalihkan kata أفعال . Akan
71
lebih tepat apabila kata ini dialihkan menjadi perbuatan saja tanpa menjamakkan.
Begitu pula pengalihan kata ucapan juga dialihkan tanpa menjamakan. Selanjutnya
ketidak tepatan pengalihan terjadi pada pengalihan klausa مفتتحة بالتكبیر، مختتمة بالتسل
ketidak tepatan terjadi ketika penerjemah mengalihkan kata diawali dan ditutup.
Peneliti melihat seharusnya ada kombinasi yang sesuai dalam menggAbûngkan dua
kata yang berlawanan. Seandainya penerjemah memilih kata ‘awal’ maka kata
tersebut berpasangan dengan kata ‘akhir’, bila yang dipilih kata buka maka akan
berpasangan dengan kata tutup. Namun dalam kasus ini peneliti lebih condong
penggunaan kata diawali serta diakhiri yang lebih tepat dalam menyusun klausa ini.
43.
:مشروعیتھا 1.2 DISYARI’ATKANNYA SHALAT
Peneliti menemukan adanya kekurang tepatan dalam pemilihan diksi pada
pengalihan sub judul 1.2, pengalihan klausa ƓnjƙǒƵǍƧƬdž menjadi disyariatkannya salat
kurang tepat. Hal ini dikarenakan penggunaan kata syariat yang berkategorini nomina
dan bermakna hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan
manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan alquran dan hadis,45 maka
akan lebih tepat bila klausa ini dialihkan menjadi ‘dasar kewajiban salat’. Pemilihan
frase ini peneliti ambil karena disyariatkan merupakan kata yang kurang lazim
digunakan dalam tutur bahasa sasaran.
45 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id
72
44.
:الصالة واجبة بالكتاب والسنة واإلجماع
Shalat adalah wajib berdasarkan Al-Quran, Sunnah, dan ijma’: Pada pengalihan di atas peneliti mendapati pengalihan yang cukup nyaman
dan baik dalam penggunaan diksi dan struktur kalimat. Oleh karena itu tidak ada
analisa yang peneliti berikan pada terjemahana ini.
45.
وما أمروا إال لیعبدوا اهللا مخلصین لھ الدین حنفاء،ویقیموا الصالة ویؤتوا الزكاة، {: فقولھ تعالى: أما الكتاب 46]5/89:البینة[} وذلك دین القیمة
Landasaan dalam Al-Quran adalah firman Allah: “Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS. 98:5).47 46.
NJLjƓơƕƪ NJǃǍƿǍ :}Ǎ ÜƖƓǂƨǃƒ ƒǍƙƈǍ ƖǚƮǃƒ ƒǍdžǒƿƋƼƧǒƮLjǃƒ DžƶLjǍ ǏǃǍdžǃƒ DžƶLjƼ ÜDžǂǙǍdž ǍNj ŸƓƕ ƒǍdžƮƙƵƒ {
]Ɲơǃƒ:22/87[Ü “….maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu
kepada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baiknya Pelindung dan sebaik-baiknya Penolong.” (QS. 22:78)
Penerjemahan ayat 78 surat al-Hajj yang terdapat pada halaman ini, peneliti
menemukan hasil terjemahan yang harfiah sehingga tidak dapat keluar dari struktur
teks bahasa sumber dan terasa kaku, sehingga berakibat pada tingkat keterpahaman
bacaan. Ayat ini merupakan penggalan ayat 78 surat al-Hajj, namun penggalan ayat
46 Dr. Wahbah Al-Zuahaili, Fiqh Al-Islâm Wa Adilatuh (Beirut: Dâr Al-Fikr, 2004). h. 574 47 Dr. Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Shalat Kajian Berbagai Mazhab, penerjemah Prof. K.H. Masdar Helmy, (Bandung:2004), h. 6
73
adalah sebuah kalimat baru yang muncul sebagai فأقیموا الصالة وآتوا الزكاة، واعتصموا باهللا
jawaban atas gambaran nikmat-nikmat yang Allah berikaan pada kalimat
sebelumnya. Dengan gambaran nikmat tersebut Allah memerintahkan manusia
beberapa kewajiban berupa salat, zakat, dan berpegang kepada tali Allah.
Berdasarkan bahwa kalimat ini adalah kalimat baru, maka menurut kelaziman yang
ada dalam bahasa Indonesia permulaan dalam sebuah kalimat harus menggunakan
huruf kapital pada awal huruf yang mengawalinya.
Kesalahan yang lain adalah penggunaan kata yang berlebihan dalam
mengalihkan kalimat فنعم المولى ونعم النصیر menjadi ‘Dialah sebaik-baiknya Pelindung
dan sebaik-baiknya Penolong’. Penggunaan kata hubung ‘dan’ dalam klausa ini
berfungsi sebagai kata hubung yang menggabungkan dua sifat yang tidak
bertentangan. Dengan dasar itu maka penggunaan frase sebaik-baiknya pada kata
Pelindung dan Penolong akan lebih tepat dituliskan hanya pada awal saja dan
melesapkan yang lainnya.
47.
ýƛdž ƖƧǒƛǂ ǐƈ ƴdž :}ŹƓƙǍƿǍdž ŹƓƕƓƙǂ LJǒLjdžƌdžǃƒ ǏDŽƵ ƘLjƓǂ ƖǚƮǃƒ LJƍ {]ƇƓƪLjǃƒ:4/301.[ `“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman.” (QS. 4:103)
Pada pengalihan cdi atas peneliti menemukan adanya klausa yang tidak
diterjemahkan. Peneliti berpendapat sebaiknya klausa ýƛdž ƖƧǒƛǂ ǐƈ ƴdž ini tetap
diterjemahkan mengingat klausa ini adalah klausa pembuka yang ditujukan untuk
menyambung pikiran pokok kalimat sebelumnya.
74
48.
بني اإلسالم على «: حدیث ابن عمر عن النبي صلى اهللا علیھ وسلم أنھ قال: فأحادیث متعددة، منھا: وأما السنةخمس، شھادة أن ال إلھ إال اهللا، وأن محمدا رسول اهللا، وإقام الصالة، وإیتاء الزكاة، وصوم رمضان، وحج البیت
)1(» ھ سبیالمن استطاع إلی
Landasan dalam sunnah sangat banyak, di antaranya hadits Ibnu Umar dari Rasulullah saw. Beliau bersabda:
“Islam dibangun atas lima landasan, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah , mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji ke baitullah bagi orang yang mampu menempuh jalannya.”
Dalam penerjemahan hadis kedua yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar peneliti
melihat hasil terjemahan memiliki kekurang tepatan dalam menggunakan tanda baca.
Seharusnya pada terjemahan hadis ini menggunakan tanda baca titik dua ( : ) yang
berfungsi untuk menjelaskan sebuah pernyataan.48 Sehingga pengalihan yang tepat
pada terjemahan ini adalah ‘Islam dibangun atas lima landasan, yaitu:’.
Selanjutnya penilaian lain yang dapat peneliti berikan untuk terjemahan di
atas adalah adanya kekurang tepatan dalam mengalihkan klausa حدیث ابن عمر عن النبي
menjadi ‘hadis Ibnu Umar dari Rasulullah saw.’. pengalihan klausa صلى اهللا علیھ وسلم
tersebut akan berakibat kepada kesalahan dalam memahami kata hadis, sehingga akan
menjadikan makna yang dipahami hadis yang dimaksud di sini adalah hadis milik
Ibnu Umar. Sedangkan yang ingin disampaikan pada klausa tersebut adalah hadis
yang diriwayatkan oleh ibnu Umar dari Rasulullah Saw. Dengan demikian, maka
pengalihan yang tepat adalah dengan menambahkan kata diriwayatkan dan
Rasulullah Saw., sehingga pengalihan yang tepat adalah hadis yang diriwayatkan
48 Redaksi TransMedia, Panduan EYD dan Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: Transmedia,2010), h.28.
75
Ibnu Umar dari Rasulullah Saw. Kekurangan yang lain dalam terjemahan ini yaitu
tidak dituliskannya frase radiyallahu anhu atau disingkat r.a, yang menjadi kelaziman
dalam menuliskan periwayat hadis pada bahasa sasaran.
Kesalahan yang lain yang peneliti temukan adalah penggunaan kalimat yang
kurang efektif dalam mengalihkan klausa و حج البیت من استطاع إلیھ سبیال menjadi dan
menunaikan haji ke baitullah bagi orang yang mampu menempuh jalannya.
Penerjemahan kalimat ini seyogyanya dapat lebih diefektifkan dengan syarat pesan
yang ingin disampaikan dapat tersampaikan dan tidak menyalahi kaidah tata bahasa
yang ada pada bahasa sasaran. Dengan hanya mengalihkan klausa ini menjadi ‘dan
berhaji bagi yang mampu’, peneliti rasa lebih tepat dan telah mengakomodir pesan
yang ingin disampaikan oleh teks sumber.
49. أن تشھد أن ال إلھ إال اهللا، وأن محمدا رسول : اإلسالم«: ، وفي معناه حدیث عمر بن الخطاب رضي اهللا عنھ
) .2(» اهللا، وتقیم الصالة، وتؤتي الزكاة، وتصوم رمضان، وتحج البیت إن استطعت إلیھ سبیالHadits lain yang semakna diriwayatkan juga dari Umar bin al-Khaththab r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda:
“ Islam adalah kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan ramadhan, dan menunaikan haji ke baitullah apabila kamu mampu menempuh jalannya.”
Selanjutnya kekurang tepatan juga peneliti temukan pada pengalihan klausa و
menjadi ‘Hadits lain yang semakna ,في معناه حدیث عمر بن الخطاب رضي اهللا عنھ
diriwayatkan juga dari Umar bin al-Khaththab r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda:’
. Penggunaan frase ‘hadis lain yang semakna’ untuk pengalihan frase وفي معناه
kurang tepat, frase ini ingin menggambarkan bahwa poin atau topik yang ingin
disampaikan dalam hadis ini sama dengan hadis sebelumya. Dengan kata lain hadis
76
ini bermaksud menjadi pendukung hadis sebelumnya yang menyatakan salat adalah
sebuah ibadah yang wajib, dan bukan ingin menggambarkan makna dari hadis
tersebut. Sebaiknya frase ini dapat dialihkan dengan mencari padanan yang lebih
mudah dipahami oleh pembaca.
Ketidak efektifan kalimat juga peneliti temukan dalam pengalihan klausa
yang dialihkan menjadi ‘dan menunaikan haji ke baitullah وتحج البیت إن استطعت إلیھ سبیال
apabila kamu mampu menempuh jalannya’. Peneliti melihat kalimat ini kurang
efektif dan terlalu panjang. Kalimat ini seharusnya dapat diperpendek dengan tetap
mempertahankan pesan yang tersampaikan dan struktur kalimat yang baik dan sesuai
dengan bahasa sasaran. Peneliti memandang apabila kalimat ini di alihkan menjadi
‘dan berhaji jika mampu’, akan lebih tepat dan lebih efektif dalam penggunaan kata
dan kalimatnya.
Penerjemahan yang dilakukan penerjemah di atas juga memiliki pemborosan
dalam penggunaan kata. Hal ini terlihat ketika penerjemah menggunakan kembali
kata kamu dalam mengalihkan klausa terakhir. Sedangkan kata kamu telah terdapat
dalam klausa pertama yang telah mewakili keseluruhan klausa yang menyusun
kalimat ini, terlebih lagi pengunaan kata ‘dan’ sebagai kata hubung di klausa
terakhirnya.
Kesalahan yang lain yang peneliti temukan adalah minimnya penggunaan
kata ganti sebagai varian pembentukan kalimat dan pemborosan dalam penggunaan
kata. Hal ini terlihat dalam pengalihan klausa أن تشھد أن ال إلھ إال اهللا، وأن محمدا رسول اهللا
yang dialihkan menjadi kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah. Pada terjemahan ini terlihat adanya pengulangan
77
kata ‘bahwa’ dan belum maksimalnya penggunaan kata ganti. Penerjemah seharusnya
dapat lebih efektif menggunakan kata dalam membentuk kalimat serta lebih bisa
memberikan varian kata ganti dalam terjemahannya. penggunaan kata yang
berlebihan akan membuat kalimat menjadi panjang dan sulit dipahami. Seharusnya
klausa tersebut dapat dialihkan menjadi kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Sedangkan penulisan matan sebaiknya
tidak dituliskan miring dan penulisan nama kompilator juga sebaiknya dituliskan
mengikuti kelaziman yang ada dalam bahasa Indonesia.
50.
49.فقد أجمعت األمة على وجوب خمس صلوات في الیوم واللیلة: جماعوأما اإل Adapun landasan dalam ijma’ adalah seluruh umat Islam telah sepakat atas wajibnya shalat lima kali dalam sehari semalam.50
Kesalahan yang lain yang peneliti temukan adalah kesalahan pesan dalam
mengalihkan frase فقد أجمعت األمة yang dialihkan menjadi seluruh umat Islam telah
sepakat. Penggunaan kata umat islam ini mengesankan seolah-olah ijma ini dapat
dilakukan oleh seluruh orang islam tanpa ada batas. Sedangkan maksud yang
diinginkan dalam kata األمة di sini adalah para sahabat, mujtahid dan ulama. Pendapat
peneliti didasarkan pengertian ijma yang memiliki definisi kesepakatan bulat yang
dilakukan oleh ulama mujtahidin dalam suatu perkara berkenaan dengan hukum
Islam dan berlaku sepanjang masa.51 Bila kata ini dialihkan menjadi seluruh umat
Islam, maka hal ini akan bertentangan terhadap pendapat ulama. Bila hal ini dibaca
49 Dr. Wahbah Al-Zuhaili, Fiqh Al-Islâm Wa Adilatuh (Beirut: Dar al-Fikr, 2004). h. 574 50 Dr. Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Shalat Berbagai Kajian Mazhab. Penerjemah K.H Masdar Helmy (Bandung: 2004), h. 7 51 M. Abdul Mujib dan dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1994), h.115.
78
oleh orang awam maka akan terjadi distorsi makna yang akan berakibat kesalah
pahaman.
Penerjemahan lain yang dapat peneliti kemukakan yaitu peneliti melihat diksi
yang digunakan dalam mengalihkan frase خمس صلوات yang dialihkan menjadi ‘salat
lima kali’ kurang tepat karena menggunakan ketidaklaziman kata yang dipilih
(arkais). Peneliti berpendapat sebaiknya menggunakan kata yang lazim pada bahasa
sasaran, sehingga teks atau kata tidak terasa asing di kalangan pembacanya. Oleh
karena itu, sebaiknya frase dialihkan menjadi salat lima waktu.
Mengenai kesalahan ejaan, di bawah ini adalah beberapa terjemahan yang
memperlihatkan gejala-gejala kekeliruan yang berkenaan dengan pemakain ejaan.
Kesalahan penulisan kata yaitu Abû Humaidi al-Sâ’idi 52 dituliskan Abû Hamid Al-
Saidi, al-Bukhori dituliskan Al-Bukhôri, al-Tirmidzi dituliskan Al-Turmudzi, Abû
Dâwud dituliskan Abû Dawud, Muhammad53 bin ‘Amr bin ‘Ata seharusnya
dituliskan mengikuti pedoman trasliterasi sehingga tidak terjadi kesalahan dalam
membaca, “sami’a54 Allahu liman hamidah”, salat55 yang terdapat pada lima tempat
dituliskan shalat dan kata Saw56 dituliskan tanpa menggunakan huruf kapital
mengawali singkatan. Di samping itu kata rukuk57 dituliskan ruku’, beriktidal58
dituliskan beri’tidal, serta takbir yang dituliskan miring (italic) seharusnya
52 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id 53 ibid 54 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id 55 ibid 56 ibid 57 ibid 58 ibid
79
dituliskan tetap saja, karena kata ini sudah masuk kedalam pembendaharaan kata
Indonesia dan bukan lagi menjadi kata asing.59 Kata yang lain juga memiliki
kesalahan dalam penulisan ejaan yaitu sahabat yang dituliskan menjadi shahabat.
penulisan samiallahu liman hamidah, kata al-Tirmidzi60 dituliskan Al-Turmudzi, al-
Nasai61 dituliskan dan Al-Nasai, Rifa’ah bin Rafi’, alquran62 dituliskan Al-Quran.
penulisan kata hakikat63 yang dituliskan hakekat , salat64 yang dituliskan shalat,
fardu65 yang dituliskan fardhu, syariat66 yang dituliskan syaria’t, doa67 yang
dituliskan do’a, syara’68 yang dituliskan syara’ mengingat kata ini adalah kata asing
yang seharusnya dituliskan miring (italic), alquran69 dituliskan Al-Quran, sunah
dituliskan sunnah70, serta ijma71 dituliskan ijma’ (kata ini merupakan kata asing yang
juga belum terdapat pada pembendaharaan kata Indonesia). Kesalahan penulisan
lainnya adalah penulisan kutipan langsung dari arti ayat. Seharusnya penulisan
.:….dan mendoalah untuk mereka, sesungguhnya do’a kamu itu menjadi
ketenteraman jiwa bagi mereka. (QS.9:103) dituliskan dengan tanda kutip ganda (“)
59 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id 60 Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, (Jakarta: Ceqda,2006), h.50. 61 Ibid, h.. 62 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id 63 ibid 64 ibid 65 ibid 66 ibid 67 ibid 68 Redaksi TransMedia, Panduan EYD dan Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: Transmedia,2010), h.10. 69 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id 70 ibid 71 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id
80
pada awal dan akhir kutipan serta ditulis menjorok (tabbing) dalam satu spasi72. Bila
memungkinkan akan lebih baik apabila kutipan itu ditulis terlebih dahulu dalam
bahasa aslinya. Penulisan fardu73 yang dituliskan fardhu, , sunah74 yang dituliskan
sunnah, hadis75 yang dituliskan hadist, Saw.76, yang dituliskan saw., Ramadan77 yang
dituliskan ramadhan, serta ijma78 yang dituliskan ijma’.
Dari hasil analisa lima halaman buku terjemahan Fiqh Al-Islâm Wa Adilatuh
bab salat pada pasal 1 yang penulis jadikan objek penilaian yaitu beruapa 50 korpus
data, maka peneliti dapat memberikan penilaian baik dari segi kualitas maupun nilai
yang sekaligus menjawab perumusan pembatasan masalah yang peneliti ajukan. Dari
segi kualitas di dapati dari hasil evaluasi yang peneliti lakukan adalah sebagai
berikut:
Dari segi ketepatan hasil terjemahan buku ini, peneliti mendapati beberapa
terjemahan yang tidak tepat dalam mengalihkan pesan sesuai dengan maksud dan
tujuan penulis asli yaitu sebanyak 10 data atau 20 %. Sedangkan 40 data lainnya atau
80 % data peneliti mendapati penerjemah telah menyampaikan pesan sesuai dengan
pesan penulis. sehingga banyak pesan yang tidak tersampaikan secara benar. Namun
Hal ini akan berakibat pada pemahaman yang sulit dan salah bagi kalangan pembaca
teks sasaran dan juga akan menurunkan kualitas dan nilai terjemahan terjemahan
yang ada. 72 Redaksi TransMedia, Panduan EYD dan Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: Transmedia,2010), h.33. 73 ibid 74 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, di akses pada 2 januari 2011 dari http.www.pusatbahasa.depdiknas.go.id 75 ibid 76 ibid 77 ibid 78 ibid
81
Sedangkan dari sisi segi kejelasan peneiliti juga banyak menemukan
pengalihan teks sumber yang jauh dari kelaziman pada bahasa sasaran. Hal itu terlihat
dari penggunaan diksi yang banyak menggunakan kata-kata yang kurang tepat dan
salah. Selanjutnya penggunaan kalimat yang tidak efektif serta penggunaan tanda
baca yang tidak baku. Kesalahan-kesalahan ini, juga akan berakibat kepada
menurunnya kualitas dan nilai dari terjemahan.
Dari segi kewajaran peneliti menemukan bahwa terjemahan buku ini tidak
dapat memenuhi tingkat kewajaran dalam kualitas terejmahan. Hal ini dikarenakan
fase-fase kualitas sebelumnya tidak dapat dilewati sehingga peneliti dapat
menentukan bahwa terjemahan ini adalah tejemahan buruk.
Setelah kualitas terjemahan dapat peneliti berikan, maka di bawah ini peneliti
akan memberikan penilaian matematis berupa persentase kesalahan dari keseluruhan
untuk terjemahan kitab Fiqh Al-Islam Wa Adillatuh pada bab salat pasal 1 yaitu
sebagai berikut:
Dari 50 korpus data yang peneliti ambil peneliti mendapatkan 32 data atau 64
% data menggunakan kalimat yang kaku serta tidak sesuai dengan kelaziman
penggunaan bahasa sasaran. Dari hasil tersebut maka peneliti dapat menentukan
Terjemahan kitab Fiqh Al-Islam Wa Adillatuh pada bab salat pasal 1 berkategori
buruk dan sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan yang lebih dalam. Namun disisi
lain 36 persen terjemahan buku ini sudah baik dan telah menggunakan bahasa yang
mengalir.
82
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil analisa lima halaman buku terjemahan Fiqh Al-Islâm Wa Adilatuh
bab salat pada pasal 1 yang penulis jadikan objek penilaian yaitu beruapa 50 korpus
data, maka peneliti dapat memberikan baik dari segi kualitas maupun nilai yang
sekaligus menjawab perumusan pembatasan masalah yang peneliti ajukan. Dari segi
kualitas di dapati dari hasil evaluasi yang peneliti lakukan adalah sebagai berikut:
Dari segi ketepatan hasil terjemahan buku ini, peneliti mendapati beberapa
terjemahan yang tidak tepat dalam mengalihkan pesan sesuai dengan maksud dan
tujuan penulis asli yaitu sebanyak 10 data atau 20 %. Sedangkan 40 data lainnya atau
80 % data peneliti mendapati penerjemah telah menyampaikan pesan sesuai dengan
pesan penulis. sehingga banyak pesan yang tidak tersampaikan secara benar. Namun
Hal ini akan berakibat pada pemahaman yang sulit dan salah bagi kalangan pembaca
teks sasaran dan juga akan menurunkan kualitas dan nilai terjemahan terjemahan
yang ada.
Sedangkan dari sisi segi kejelasan peneiliti juga banyak menemukan
pengalihan teks sumber yang jauh dari kelaziman pada bahasa sasaran. Hal itu terlihat
dari penggunaan diksi yang banyak menggunakan kata-kata yang kurang tepat dan
salah. Selanjutnya penggunaan kalimat yang tidak efektif serta penggunaan tanda
baca yang tidak baku. Kesalahan-kesalahan ini, juga akan berakibat kepada
menurunnya kualitas dan nilai dari terjemahan.
83
Dari segi kewajaran peneliti menemukan bahwa terjemahan buku ini tidak
dapat memenuhi tingkat kewajaran dalam kualitas terejmahan. Hal ini dikarenakan
fase-fase kualitas sebelumnya tidak dapat dilewati sehingga peneliti dapat
menentukan bahwa terjemahan ini adalah tejemahan buruk.
Setelah kualitas terjemahan dapat peneliti berikan, maka di bawah ini peneliti
akan memberikan penilaian matematis berupa persentase kesalahan dari keseluruhan
untuk terjemahan kitab Fiqh Al-Islam Wa Adillatuh pada bab salat pasal 1 adalah
dari 50 korpus data yang peneliti ambil peneliti mendapatkan 32 data atau 64 %
data menggunakan kalimat yang kaku serta tidak sesuai dengan kelaziman
penggunaan bahasa sasaran. Dari hasil tersebut maka peneliti dapat menentukan
Terjemahan kitab Fiqh Al-Islam Wa Adillatuh pada bab salat pasal 1 berkategori
buruk dan sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan yang lebih dalam. Namun disisi
lain 36 persen terjemahan buku ini sudah baik dan telah menggunakan bahasa yang
baku dan lazim pada bahasa sasaran.
Setelah meganalisa terjemahan yang terdapat pada buku terjemahan Fiqh al-
Islam wa Adillatuh, maka peneliti dapat menyimpulkan hasil terjemahan buku
tersebut memiliki beberapa kekurangan dan dibutuhkan tinjauan-tinjaun lanjutan
untuk memperbaiki dan menutupi sisi-sisi terjemahan yang kurang itu, guna
menghasilkan terjemahan yang baik namun tidak keseluruhan terjemahnbuku ini
buruk ada juga hasil terjemahan yang sudah baik dan dapat menyampaikan pesan
secara tepat. Hal itu terlihat tidak ada satu pun dari hasil terjemahan pada buku itu
yang memiliki kesalahan yang fatal dalam pengalihan struktur gramatikal maupun
morfologi dari bahasa sumber (Arab) kepada bahasa sasaran (Indonesia),dengan kata
84
lain penerjemah sangat memahami seluk beluk bahasa sumber namun kurang
memahami seluk beluk bahasa sasaran.
B. Saran
Ada beberapa saran yang dapat peneliti berikan di sini, antara lain yaitu:
1. seandainya nanti buku ini diterbitkan untuk kedua kalinya, disarankan untuk
meneliti kembali terjemahan di dalamnya agar memenuhi syarat keterbacaan dan
sifat komunikatif yang baik.
2. Disarankan agar diadakannya tim penyunting yang dapat mengurangi kesalahan-
kesalahan demi tercapainya sisi keterbacaan yang baik pada hasil terjemahan.
3. Agar setiap para penerjemah untuk dapat lebih menguasai bahasa sasaran yang
baik sehingga pemadanan teks yang sesuai bagi kalangan pembaca teks sasaran
dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Rifai’i, Muhammad Nasib. Taisiru al-Aliyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir.
Riyadh: Maktabah Ma’arif, 1989.
Al-Zuhaili, Wahbah Fiqih Salat Kajian Berbagai Mazhab penerjemah, Masdar
Helmy. (Bandung: Pustaka Media Utama, 2004
Al-Zuhaili, Wahbah. Fiqh Al-Islâm Wa Adilatuh Beirut: Dar al-Fikr,2004
Arifin, Zaenal, dkk. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo,
2004.
Burdah, Ibnu. Menjadi Penerjemah. Yogyakarta: Tiara Wacana.2004.
Chaer, Abdul. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Fahrurozi, Drs. Teknik Praktis Terjemah. Yogyakarta: Teknomedia.2003.
Hidayatullah, Moch Syarif. Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia. Pamulang:
Dikara, 2010.
Kamalie, Saefullah, Kiat-Kiat Penerjemahan Bahasa Arab, Jakarta:
Kesaintblank,2004.
Lubis, Ismail. falsifikasi Terjemahan Al-Quran. Yogyakarta : Tiara Wacana. 2001.
Machali, Rochaya. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo. 2000.
Mansyur, Moh dan Kustiawan. Pedoman Bagi Penerjemah Arab-Indonesia Indonesia
Arab. Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2002.
Moentaha, Salihen. Bahasa dan Terjemahan. Jakarta: Kesaint Blanc. 2006.
Sulaiman bin al-Asyas as-Sajastani, Abu Dawud. Sunan Abu Dawud, Beirut: Dâr
al-Fikr.2003.
Syihabuddin,. Penerjemahan Arab Indonesia. Bandung: Humaniora.2005.
Mujib, M. Abdul, dkk. Kamus istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus.1994.
Parera, J.D. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga. 2004.
Redaksi Transmedia, Panduan EYD dan Tata Bahasa Indonesia, Jakarta:
Transmedia, 2010.
Nasuhi, Hamid. dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Ciputat: Ceqda, 2006.
Sakri A., Bangun Kalimat dan Pembentukan Kata, (Jakarta: ITB, 1995)