Post on 20-Dec-2021
LAPORAN TAHUNAN
PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL INSTITUSI
(Tahun ke-1 dari Rencana 3 Tahun)
PENGEMBANGAN KLASTER PADI ORGANIK
DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN
DI KABUPATEN BONDOWOSO
DIBIAYAI OLEH:
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
DIREKTORAT JENDERAL PENGUATAN RISET DAN PENGEMBANGAN
DIREKTORAT RISET DAN PENGABDIAN MASYARAKAT
KONTRAK PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI
TAHUN ANGGARAN 2018
NO. E.5.c/064/DPPM-UMM/L/III/2018
TIM PENGUSUL
Dr. Ir. Sutawi, M.P. / NIDN. 0022046501
Prof. Dr. Indah Prihartini, M.P / NIDN. 0029076501
Dr. Daroe Iswatiningsih, M.Si / NIDN. 0025086502
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG November 2018
Kode/Rumpun Ilmu: 185/AGRIBISNIS
Tema : I. Kemandirian Pangan
iii
PENGEMBANGAN KLASTER PADI ORGANIK
DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN
DI KABUPATEN BONDOWOSO
Sutawi, Indah Prihartini, dan Daroe Iswatiningsih
Ringkasan
Pangan utama penduduk Indonesia adalah beras, dengan konsumsi rata-rata 97,40
kg/kapita/tahun. Beras merupakan hasil pertanian yang dikelola secara intensif dengan
teknologi Revolusi Hijau (Green Revolution), di mana budidaya padi di sawah sarat dengan
pupuk dan pestisida kimia. Seiring dengan kesadaran masyarakat tentang kesehatan,
keamanan pangan, dan kelestarian lingkungan, sebagian konsumen beras mulai beralih ke
beras organik. Beras organik merupakan pangan organik yang dihasilkan oleh sistem
pertanian organik. Strategi yang dinilai efektif untuk mengembangkan agribisnis padi organik
adalah melalui pendekatan wilayah berbasis klaster.
Penelitian Tahun Pertama bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang mendukung
keberhasilan pengembangan klaster padi organik di Kabupaten Bondowoso. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa Klaster Padi Organik Al Barokah di Desa Lombok Kulon Kec.
Wonosari Kabupaten Bondowoso telah didukung oleh 17 indikator keberhasilan klaster, yaitu
(1) Modal Sosial, (2) Kemitraan dan Jaringan, (3) Kepemimpinan dan Visi Bersama, (4)
Budaya Kewirausahaan, (5) Persaingan, (6) Spesialisasi, (7) Kompetensi dan Keahlian yang
kuat, (8) Basis Inovasi yang Kuat, (9) Akses Pasar, (10) Akses Informasi Pasar, (11) Akses
Jasa Spesialis, (12) Kedekatan dengan Pemasok, (13) Akses pada jasa pendukung bisnis, (14)
Akses pada sumber keuangan, (15) Terdapat perusahaan besar, (16) Infrastruktur yang
memadai, dan (17) Dukungan kebijakan.
Kata kunci: klaster, padi organik, kelembagaan agribisnis
iv
PRAKATA
Kami Tim Pelaksana Program PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL INSTITUSI
(PSNI) memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya laporan
akhir kegiatan dengan judul “PENGEMBANGAN KLASTER PADI ORGANIK DALAM
MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN BONDOWOSO” ini dapat
diselesaikan. Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada DRPM KEMENRISTEKDIKTI yang
telah memfasilitasi pendanaan Program PSNI, Tim Reviewer DRPM yang telah memberikan berbagai
masukan pada saat pemaparan proposal dan monitoring, DP2M Universitas Muhammadiyah Malang
yang telah memfasilitasi pengayaan proposal, dan berbagai pihak yang telah membantu pelaksanaan
program ini. Kami berharap program ini dapat memberikan manfaat khusunya bagi peningkatan
produksi beras organik di Desa Lombok Kulon Kec. Wonosari Kab. Bondowoso
Malang, 12 November 2018
Ketua Tim Pelaksana,
Dr. Ir. Sutawi, M.P
v
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
RINGKASAN iii
PRAKATA iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR LAMPIRAN vi
BAB 1. PENDAHULUAN 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 6
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 14
BAB 4. METODE PENELITIAN 15
BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI 17
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA 45
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN 46
DAFTAR PUSTAKA 47
LAMPIRAN
Naskah Artikel Ilmiah
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mengamanatkan agar
upaya pemenuhan kebutuhan pangan di dalam negeri diutamakan dari produksi
domestik. Mengacu pada amanat tersebut, NAWA CITA atau agenda prioritas Kabinet
Kerja mengarahkan pembangunan pertanian ke depan untuk mewujudkan kedaulatan
pangan, agar Indonesia sebagai bangsa dapat mengatur dan memenuhi kebutuhan
pangan rakyatnya secara berdaulat. Kedaulatan pangan diterjemahkan dalam bentuk
kemampuan bangsa dalam hal: (1) mencukupi kebutuhan pangan dari produksi dalam
negeri, (2) mengatur kebijakan pangan secara mandiri, serta (3) melindungi dan
menyejahterakan petani sebagai pelaku utama usaha pertanian pangan (Kementan,
2015). Kedaulatan pangan harus dimulai dari swasembada pangan yang secara bertahap
diikuti dengan peningkatan nilai tambah usaha pertanian secara luas untuk
meningkatkan kesejahteraan petani.
Pangan merupakan salah satu hak azasi manusia dan komoditas strategis yang
pemenuhannya dijamin oleh UUD 1945 dan UU No. 18/2012 tentang Pangan. Pangan
utama penduduk Indonesia adalah beras, dengan konsumsi rata-rata 97,40
kg/kapita/tahun (Kementan, 2015). Tingkat konsumsi tersebut jauh di atas rata-rata
konsumsi dunia sebesar 60 kg/kapita/tahun dan negara-negara tetangga seperti Malaysia
80 kg/kapita/tahun, Thailand 70 kg/kapita/tahun, dan Jepang 58 kg/kapita/tahun
(Kemenko Kesra, 2012). Beras merupakan hasil pertanian yang dikelola secara intensif
dengan teknologi Revolusi Hijau (Green Revolution), di mana budidaya padi di sawah
sarat dengan pupuk dan pestisida kimia. Penggunaan pupuk dan pestisida kimia pada
budidaya padi selama 40-an tahun terakhir diduga telah menimbulkan efek samping
pada kesehatan manusia, kelestarian lingkungan hidup, dan kesinambungan sistem
pertanian.
Seiring dengan kesadaran masyarakat tentang kesehatan, keamanan pangan,
dan kelestarian lingkungan, sebagian konsumen beras mulai beralih ke beras organik.
Beras organik merupakan pangan organik yang dihasilkan oleh sistem pertanian
organik. Sistem pertanian organik adalah sistem manajemen produksi yang holistik
untuk meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agroekosistem, termasuk
keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah (Kementan, 2013).
2
Pertanian organik mengandalkan penggunaan bahan-bahan alami dalam budidaya
tanaman dengan tujuan menghasilkan produk-produk pangan organik yang aman bagi
kesehatan produsen dan konsumen, serta tidak merusak lingkungan. Beras organik
merupakan salah satu produk pangan yang memiliki peluang untuk dikembangkan
dalam suatu sistem agribsinis padi di Indonesia. Jika 2% saja dari 250 juta penduduk
Indonesia mengonsumsi beras organik, sedikitnya diperlukan 487.000 ton beras organik
per tahun.
Strategi yang dinilai efektif untuk mengembangkan agribisnis padi organik
adalah melalui pendekatan wilayah berbasis klaster. Porter (1998) mendefinisikan
klaster sebagai kelompok usaha atau perusahaan yang saling terhubung dan berdekatan
secara geografis dengan entitas-entitas yang terkait dalam suatu bidang khusus yang
menjadi tujuan klasterisasi. Menurut BI (2006), suatu klaster dapat terdiri pemasok
bahan baku dari hulu hingga hilir berupa pemasaran ke pasar-pasar potensial, juga
termasuk lembaga pemerintah, asosiasi bisnis, penyedia jasa pelatihan/penelitian dan
lembaga-lembaga lain yang menciptakan value chain (rantai nilai) dari bidang/usaha
khusus yang di suatu klaster. Penelitian Kusnandar dkk. (2013) tentang kelembagaan
padi organik menyimpulkan bahwa pengembangan agribisnis padi organik memerlukan
kelembagaan yang lengkap dan terpadu dalam suatu klaster (gugusan) industri
(industrial cluster) yang terdiri dari lima subsistem, yaitu: subsistem agribisnis hulu
(pengadaan saprodi), subsistem usahatani, subsistem hilir (pengolahan), subsistem
pemasaran, dan subsistem penunjang.
Klaster padi organik di Kabupaten Bondowoso berlokasi di Desa Lombok
Kulon Kecamatan Wonosari. Desa Lombok Kulon dipilih sebagai pilot project, karena
daerah itu memenuhi persyaratan untuk menghasilkan padi organik, mulai dari suplai air
alami dan lahan yang betul bebas dari pestisida, serta tidak tercemar dengan bahan
kimia apapun. Pemkab Bondowoso juga mendukung mulai dari penyediaan bibit,
pupuk, sampai agensi hayati dan insektisida nabati. Uji coba penanaman padi organik di
Desa Lombok Kulon dilakukan pada April 2013 pada lahan seluas 25 ha. Kegiatan ini
merupakan rangkaian dari gerakan Bondowoso Pertanian Organik (Botanik) yang
dimulai sejak 2008. Pada 2013 lahan yang dikonversi untuk tanaman organik yakni
seluas 25 ha dan yang lolos mendapat sertifikasi seluas 10,3 ha, pada 2014 kembali
mengkonversi lahan seluas 20 ha dan yang lolos sertifikasi yakni 14,7 ha. Tahun 2015
3
konversi lahan organik seluas 20 ha, dan ditargetkan seluruhnya lolos sertifikasi.
Program konversi lahan ini direncanakan sampai 2018 dengan mengkonversi lahan
organik setiap tahun setidaknya 20 ha.
1.2. Perumusan Masalah
1. Faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan pengembangan klaster padi
organik di Kabupaten Bondowoso ?
2. Bagaimana model kelembagaan agribisnis klaster padi organik di Kabupaten
Bondowoso ?
3. Bagaimana dampak kualitatif dan kuantitatif klaster padi organik di Kabupaten
Bondowoso ?
1.3. Tujuan dan Manfaat Khusus
Tujuan Penelitian:
1. Tahun pertama: Mengidentifikasi faktor-faktor yang mendukung keberhasilan
pengembangan klaster padi organik di Kabupaten Bondowoso.
2. Tahun kedua: Menyusun model kelembagaan agribisnis klaster padi organik di
Kabupaten Bondowoso.
3. Tahun ketiga: Menganalisis dampak kualitatif dan kuantitatif klaster padi
organik di Kabupaten Bondowoso.
Manfaat Khusus:
1. Sebagai dasar penyusunan kebijakan pengembangan produksi beras organik
berbasis klaster di Kabupaten Bondowoso.
2. Sebagai dasar penyusunan strategi pengembangan klaster padi organik dari kelas
Artisinal, Active (Aktif), Dinamic (Dinamis), sampai Advanced (Maju) di
Kabupaten Bondowoso.
1.4. Urgensi (Keutamaan) Penelitian
Klaster merupakan konsentrasi geografis perusahaan yang saling berhubungan,
pemasok, penyedia jasa, perusahaan-perusahaan di industri terkait, dan lembaga-
lembaga terkait (misalnya universitas, lembaga standar, dan asosiasi perdagangan) di
bidang-bidang tertentu yang bersaing tetapi juga bekerja sama. Porter (1998)
4
mengemukakan bahwa penumbuhkembangan klaster memerlukan empat faktor penentu
atau dikenal dengan nama diamond model yang mengarah kepada daya saing industri,
yaitu (1) faktor input (input condition factor), (2) kondisi permintaan (demand
condition), (3) industri pendukung dan terkait (related and supporting industries), serta
(4) strategi perusahaan dan persaingan (context for firm and rivalry strategy)”. Dengan
penguatan klaster-klaster industri, suatu daerah semakin memiliki peluang
mengembangkan potensi terbaiknya dan bersaing secara nasional maupun global.
Kegiatan-kegiatan pengembangan klaster berbasis komoditas pertanian unggulan
sesuai karakteristik daerah berkontribusi dalam pencapaian ketahanan pangan dan
pengendalian harga pangan di daerah. Dalam pengembangan ekonomi regional, klaster
pertanian organik merupakan cara pandang yang komprehensif dalam meningkatkan
daya saing sektor pertanian dalam suatu wilayah geografis dengan melibatkan seluruh
entitas yang saling tergantung (interdependence) dalam rantai nilai seperti pelaku usaha
(hulu dan hilir), industri pendukung, lembaga pendukung, serta industri terkait.
Penelitian ini berusaha mengidentifikasi faktor-faktor yang mendukung keberhasilan
pengembangan klaster padi organik dari aspek kelembagaan, sumberdaya manusia,
prasarana bisnis, dan peran pemerintah; menyusun model kelembagaan agribisnis
klaster padi organik dari subsistem hulu sampai hilir; dan menganalisis dampak
kualitatif dan kuantitatif baik sosial maupun ekonomi klaster padi organik di Kabupaten
Bondowoso.
1.5. Rencana Target Capaian Tahunan
Luaran wajib yang ditargetkan penelitian ini adalah: (1) Merk Dagang, (2)
Teknologi Tepat Guna, dan (3) Model Kelembagaan Klaster Beras Organik, sedangkan
luaran tambahan berupa: (1) Artikel ilmiah dimuat di jurnal internasional berpeputasi,
(2) Pemakalah pada seminar internasional, dan (3) Peningkatan TKT dari Skala 4
sampai Skala 6. Target akhir penelitian ini adalah terbentuk klaster padi organik kelas
Dinamic (Dinamis) sampai Advanced (Maju) di Kabupaten Bondowoso yang
memproduksi beras organik kualitas ekspor. Penelitian ini juga diharapkan dapat
memperkaya kasanah keilmuan terutama yang berkaitan dengan pengembangan
produksi pangan fungsional berupa beras organik.
5
Tabel 1. Rencana Target Capaian Tahunan
No
Jenis Luaran Indikator Capaian
Kategori Subkategori Wajib Tamb
ahan TS TS+1 TS+2
1 Artikel ilmiah
dimuat di jurnal
Internasional
Bereputasi
Submit-
ted
reviewed accepted
Nasional Terakreditasi
2 Artikel ilmiah
dimuat di prosiding
Internasional
Terindeks
Nasional
3 Invited speaker
dalam temu ilmiah Internasional
terdaftar Sudah
dilaksana
kan
Sudah
dilaksana
kan
Nasional
4 Visiting lecturer Internasional
5
Hak kekayaan
intelektual
(HKI)
Paten
Paten sederhana
Hak cipta
Merek dagang draft terdaftar granted Rahasia dagang
Desain produk industri
Indikasi geografis
Perlindungan varietas
tanaman
Perlindungan topografi
sirkuit terpadu
6 Teknologi tepat guna Produk Penerap-
an
Penerap-
an
7 Model/Purwarupa/Desain/Karya
Seni/Rekayasa Sosial
Produk Penerap-
an
Penerap-
an
8 Buku ajar (ISBN)
9 Tingkat kesiapan teknologi (TKT) Skala 4 Skala 5 Skala 6
6
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertanian Organik
Pertanian organik didefinisikan sebagai sistem produksi pertanian yang holistik
dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem
secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yangcukup, berkualitas, dan
berkelanjutan (Nurhidayati dkk., 2008). Menurut FAO (1999) pertanian organik
merupakan keseluruhan sistem pengelolaan produksi yang mendorong dan
mengembangkan kesehatan agro ekosistem, termasuk keanekaragaman hayati, siklus
biologis dan aktivitas biologis tanah. Pertanian ini menekankan pada praktik-praktik
pengelolaan yang mengutamakan penggunaan input off-farm dan memperhitungkan
kondisi regional sistem yang disesuaikan secara lokal. Pertanian organik merupakan
salah satu metode produksi yang ramah lingkungan, sehingga dapat menjamin
keberlanjutan ekologi, sesuai dengan filosofi “kembali ke alam” atau “selaras dengan
alam”. Pertanian organik merupakan suatu sistem usahatani yang memanfaatkan
sumberdaya alam organik secara alami, bijaksana dan holistik, sebagai “input dalam”
pertanian tanpa “input luar” tinggi kimiawi untuk memenuhi kebutuhan manusia
khususnya pangan. Pertanian organik dikembangkan sesuai budaya lokal setempat,
sehingga mampu menjamin keseimbangan aspek lingkungan, ekonomi, sosial budaya,
serta mendorong terwujudnya fair trade bagi petani secara berkelanjutan. Praktik
pertanian organik terbukti berpengaruh positif terhadap keberlanjutan ekonomi petani
berdasarkan hasil analisis finansial usahatani (Widiarta dkk., 2011; Sutawi dan
Prihartini, 2015).
Hasil pertanian organik adalah pangan organik. Colborn (2006) mengatakan
bahwa pangan organik adalah pangan yang berkaitan dengan cara-cara produksi organik
hanya apabila pangan tersebut berasal dari suatu lahan pertanian organik yang
menerapkan praktek-praktek pengelolaan yang bertujuan untuk memelihara ekosistem
untuk mencapai produktivitas yang berkelanjutan, dan melakukan pengendalian gulma,
hama dan penyakit, melalui berbagai cara seperti daur ulang residu tumbuhan dan
ternak, seleksi dan pergiliran tanaman, pengelolaan pengairan, pengolahan lahan dan
penanaman serta penggunaan bahan-bahan hayati. Trend keamanan pangan (food safety)
7
menjadi isu sensitif dalam industri pangan, dan berimbas pada perkembangan pangan
organik yang bersumber pada potensi lokal, sekaligus aman untuk dikonsumsi.
Beras organik merupakan salah satu produk pangan yang memiliki peluang
untuk dikembangkan dalam suatu sistem agribsinis padi di Indonesia. Namun demikian,
semakin terbukanya pasar beras organik ternyata masih belum banyak menarik petani
untuk menjalankan praktik pertanian organik. Hal ini dibuktikan oleh luas lahan dan
jumlah petani pertanian organik yang masih sedikit. Luas area pertanian organik
Indonesia tahun 2007 adalah 40.970 ha (Mayrowani, 2012), meningkat menjadi
62.127,82 ha pada 2012 dan 76.013,20 ha pada 2014, dengan komoditas utama antara
lain beras (industri.bisnis.com, 2015). Luas area pertanian organik tersebut hanya 0,19%
jika dibandingkan lahan pertanian Indonesia seluas 39.594.536,91 ha (Pusdatin, 2013).
Jika setiap petani memiliki lahan 0,25 ha, berarti jumlah petani organik di Indonesia
hanya 304.053 orang. Realitas tersebut sangat ironis dan bertolak belakang dengan teori
pertanian organik yang dikemukakan oleh para ahli bahwa pertanian organik
berpengaruh positif terhadap ekonomi petani dan keberlanjutan ekologi.
2.2. Klaster
Strategi yang dinilai efektif untuk mengembangkan agribisnis padi organik
adalah melalui pendekatan wilayah berbasis klaster. Dalam pengembangan ekonomi,
klaster industri (industrial clusters) merupakan cara pandang yang komprehensif dalam
meningkatkan daya saing sektor tertentu dalam suatu wilayah geografis dengan
melibatkan seluruh entitas yang saling tergantung (interdependence) dalam rantai nilai
seperti pelaku usaha (hulu dan hilir), industri pendukung, lembaga pendukung, serta
industri terkait. Klaster didefinisikan sebagai “konsentrasi geografis perusahaan yang
saling berhubungan, pemasok, penyedia jasa, perusahaan-perusahaan di industri terkait,
dan lembaga-lembaga terkait (misalnya universitas, lembaga standar, dan asosiasi
perdagangan) di bidang-bidang tertentu yang bersaing tetapi juga bekerja sama (Porter
1998). Penumbuhkembangan klaster mengandung empat faktor penentu atau dikenal
dengan nama diamond model yang mengarah kepada daya saing industri, yaitu (1)
faktor input (input condition factor), (2) kondisi permintaan (demand condition), (3)
industri pendukung dan terkait (related and supporting industries), serta (4) strategi
perusahaan dan persaingan (context for firm and rivalry strategy)”. Dengan penguatan
8
klaster-klaster industri, suatu daerah semakin memiliki peluang mengembangkan
potensi terbaiknya dan bersaing secara nasional maupun global.Keunggulan daya saing
(competitive advantage) dengan pemahaman yang kini berkembang disadari bukan saja
semakin menentukan dalam peningkatan kesejahteraan/kemakmuran masyarakat, tetapi
juga bahwa upaya/proses tersebut semakin ditentukan pada konteks lokalitas.
Seperti halnya produk, klaster industri juga mengikuti siklus tahapan
pengembangan. Tambunan (2005) mengklasifikasikan taraf perkembangannya klaster di
Indonesia menjadi empat jenis. Pertama, Artisinal. Pelaku di dalamnya merupakan
usaha mikro, produktivitas dan upah yang rendah; kondisi usaha stagnan (pasar,
investasi dan produksi, metode produksi dan manajemen, organisasi dan pengembangan
produksi), orientasi pasar lokal (konsumen berpenghasilan rendah), peralatan dan
perlengkapan usaha masih primitif, banyak produsen yang buta huruf dan pasif dalam
pemasaran produsen (tidak tahu tentang pasar mereka), peran tengkulak/pedagang yang
dominan (produsen sepenuhnya tergantung pada tengkulak atau pedagang untuk
pemasaran), rendahnya kerjasama antar perusahaan dan spesialisasi (tidak ada
kerjasama vertikal antara perusahaan), tidak ada jaringan eksternal dengan organisasi-
organisasi yang mendukung. Sebagian besar klaster di Indonesia masih dalam tahap ini.
Kedua, Active. Telah menggunakan pekerja dengan keterampilan tinggi dan teknologi
yang lebih baik, pasar nasional dan ekspor, aktif dalam pemasaran, tingkat jaringan
internal maupun eksternal tinggi (contoh: klaster industri sepatu). Ketiga, Dynamic.
Telah terdapat jaringan perdagangan luar negeri yang luas, heterogenitas dalam
kelompok terkait ukuran, teknologi dan pasar yang dilayani semakin tinggi, perusahaan
besar/perintis memainkan peran yang menentukan (contoh: klaster mebel Jepara).
Keempat, Advanced. Tingkat spesialisasi dan kerjasama antar perusahaan tinggi,
jaringan bisnis antara perusahaan dengan pemasok bahan baku, komponen, peralatan
dan komponen pendukung lainnya, penyedia layanan bisnis, pedagang, distributor dan
bank sangat baik, terbangun kerjasama yang baik dengan lokal, regional atau
pemerintah nasional, serta dengan lembaga pelatihan dan penelitian (perguruan tinggi,
perusahaan yang berorientasi ekspor (klaster pariwisata Bali).
Sejumlah kegiatan terkait program pengembangan klaster komoditas pertanian
unggulan memberikan dan dampak positif. Kegiatan-kegiatan pengembangan klaster
berbasis komoditas pertanian unggulan sesuai karakteristik daerah berkontribusi dalam
9
pencapaian ketahanan pangan dan pengendalian harga pangan di daerah. Secara umum,
kunci keberhasilan pengembangan klaster mencakup tiga aspek, yaitu penguatan
produksi, penguatan distribusi dan tata niaga, serta penguatan kelembagaan petani (BI.
2014). Ketiga aspek tersebut secara umum memberikan dampak berupa perubahan
positif, antara lain terjadinya peningkatan produksi komoditas bahan pangan unggulan
di tiap daerah, peningkatan pendapatan petani karena membaiknya harga dan stabilnya
jumlah panen, munculnya kemauan petani untuk beralih ke sistem pertanian modern
berkonsep bisnis, serta optimalisasi pemanfaatan lahan guna memenuhi kebutuhan
individu atas pangan.
2.3. Kelembagaan Agribisnis
Organisasi adalah kesatuan yang memungkinkan orang-orang (para petani)
mencapai satu atau beberapa tujuan yang tidak dapat dicapai individu secara
perorangan. Kelompok para petani yang berada di suatu kawasan dapat dipandang
sebagai suatu sistem organisasi ekonomi petani. Pakpahan (1991) menyatakan bahwa
sistem organisasi ekonomi petani terdiri dari beberapa unsur (subsistem): (1)
kelembagaan (aturan main), (2) partisipan (sumberdaya manusia), (3) teknologi, (4)
tujuan, dan (5) lingkungan (alam, politik, sosial, dan ekonomi). Kelembagaan dapat
diartikan sebagai aturan main dan sebagai organisasi (Sucihatiningsih dan Waridin,
2010). Sebagai aturan main, kelembagaan merupakan perangkat aturan yang membatasi
aktivitas anggota dan pengurus dalam mencapai tujuan organisasi. Kelembagaan dalam
arti organisasi biasanya menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan
oleh mekanisme pasar tetapi melalui mekanisme administrasi atau komando. Keputusan
tentang produksi dan alokasi penggunaan sumberdaya ditentukan oleh organisasi.
Aspek kelembagaan merupakan syarat pokok agar struktur pertanian
pedesaan maju. Saleh dkk. (2007) mengatakan bahwa kelembagaan merupakan
faktor penting dalam mengatur hubungan antarindividu untuk penguasaan faktor
produksi yang langka, namun menurut Soekartawi (2002) aspek kelembagaan baik
kelembagaan formal maupun kelembagaan non formal justru merupakan aspek
menonjol yang dapat menghambat jalannya pembangunan pertanian di negara-
negara yang sedang berkembang. Hal ini terjadi karena masih banyak kelembagaan
yang belum optimal yang ada di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.
10
Model kelembagaan pertanian umumnya didesain dengan mengacu pada sistem
agribisnis. Suatu sistem agribisnis yang lengkap merupakan suatu klaster (gugusan)
industri (industrial cluster) yang terdiri dari lima subsistem (Kusnandar dkk., 2013),
yaitu: (1) subsistem agribisnis hulu (upstream agribusiness) yakni seluruh industri yang
menghasilkan dan memperdagangkan sarana produksi pertanian primer, seperti industri
pembibitan/pembenihan, industri agrokimia, industri agro-otomotif, dan lain-lain; (2)
Subsistem usahatani (on farm agribusiness), yakni kegiatan yang menggunakan sarana
produksi untuk menghasilkan komoditas pertanian primer (farm product); (3) Subsistem
hilir (downstream agribusiness) yakni industri yang mengolah industri primer menjadi
produk olahan beserta kegiatan perdagangannya; dan (4) Subsistem penunjang
(supporting system agribusiness) yakni kegiatan yang menyediakan jasa bagi ketiga
subsistem diatas, seperti infrastruktur, transportasi, perkreditan, penyuluhan, pelatihan,
penelitian dan pengembangan; serta (5) Subsistem pemasaran yang akan memasarkan
produk yang dihasilkan dari keempat subsistem tersebut.
2.4. Studi Pendahuluan dan Peta Jalan Penelitian
Usulan kegiatan Penelitian Strategis Nasional ini merupakan bagian tak
terpisahkan dari Renstra Penelitian UMM 2016-2020 dan tindak lanjut dari
serangkaian Tridharma PT tahunan berorientasi produk melalui Program Hi-Link yang
dikerjakan tahun 2013-2015. Salah satu bidang unggulan pada Renstra Penelitian
UMM 2016-2020 adalah “Ketahanan dan Keamanan Pangan Berbasis Ekonomi
Tempatan” dan tema unggulan “Bioindustri Tanaman Pangan” (Gambar 1).
11
Gambar 1. Bidang dan Tema Unggulan Renstra Penelitian UMM
Program Hi-Link 2013-2015 berjudul “Pengembangan Padi Organik Lombok
Kulon Dalam Upaya Kemandirian Pangan Kabupaten Bondowoso” merupakan
kegiatan pendukung Gerakan Botanik (Bondowoso Pertanian Organik) yang
dicanangkan Pemkab Bondowoso tahun 2009, yang bertujuan mengatasi kelangkaan
pupuk, meningkatkan kandungan bahan organik tanah, memperbaiki sifat fisik, kimia
dan biologi tanah, meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik, meningkatkan
kualitas dan daya saing produk, meningkatkan produksi pertanian dan pendapatan
petani, serta melestarikan ekosistem dan meningkatkan kesehatan konsumen. Program
Hi-Link dilaksanakan bekerjasama berbagai pihak, antara lain UMM, Pemkab
Bondowoso, Kementan, Distan Jatim, Kemristek Dikti, Bank Indonesia Jember, Bank
Jatim, dan Industri Mitra (Kelompok Tani Mandiri I).
Pada program Hi-Link 2013-2015 Tim Peneliti telah melakukan empat kegiatan
pokok, yaitu (1) Sosialisasi pembuatan dan penggunaan pupuk organik, (2) Gerakan
pembuatan dan penggunaan pupuk organik, penggunaan pestisida nabati, agensia hayati
dan musuh alami, (3) Produksi, pengolahan, dan pemasaran beras organik, dan (4)
Inisiasi pembentukan klaster pertanian organik. Program Hi-Link terpadu dan
berkelanjutan berhasil mencapai target berupa: (1) Perluasan sebaran teknologi SOF
(sustainable organic farming) pada budidaya padi organik, dan (2) Peningkatan
produksi dan pemasaran produk industri mitra berupa beras organik tersertifikasi.
12
Pada 2015 Tim Peneliti melakukan penelitian berjudul “Penelitian Dampak
Pembentukan Klaster Studi Kasus di Klaster Padi Organik Kabupaten
Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
menjalankan sistem yang dibangun, klaster berorientasi pada tiga dimensi pembangunan
berkelanjutan, yaitu dimensi ekonomi (profit), dimensi sosial (masyarakat), dan dimensi
lingkungan. Dimensi ekonomi dapat dicapai melalui nilai tambah yang tumbuh dalam
klaster, yang terjadi karena bertambahnya entitas-entitas bisnis dalam klaster,
meningkatnya produktivitas dan kualitas barang/jasa, terjadinya diversifikasi, dan
meningkatnya kualitas produk. Pengembangan klaster harus mencerminkan kehidupan
sosial yang harmonis, mampu mengurangi kesenjangan dan perilaku penyimpangan
sosial. Adanya peluang kegiatan produktif bagi masyarakat tertentu akan
menggeser/mengalihkan dan mengantisipasi kegiatan masyarakat yang mengarah pada
tindakan kejahatan sosial. Nilai tambah berupa profit yang dicapai klaster akan memacu
perhatian bagaimana membayar pekerja dengan baik dan meningkatkan kesetaraan
pekerja. Pembangunan atau pengembangan klaster tidak mendegradasi sumberdaya-
sumberdaya lingkungan atau tidak mengkonsumsi sumber daya lingkungan dalam cara-
cara yang tidak dapat diperbaharui atau berkelanjutan. Degradasi lingkungan akan
menghambat perkembangan klaster. Sebaliknya, klaster yang mengusung tema/isu
lingkungan akan mempercepat proses pencapaian tujuan. Klaster padi organik di
Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso telah membuktikan pengembalian kesuburan
tanah melalui perlakuan organik dan meningkatkan produktivitas hasil panen padi
mereka.
Sebagai tindak lanjut dari program Hi-Link 2013 dan Penelitian 2015 tersebut,
Penelitian Strategis Nasional Institusi berjudul “Pengembangan Klaster Padi Organik
Dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Kabupaten Bondowoso” direncanakan
dilaksanakan selama 3 (tiga) tahun (2018-2020) dengan peta jalan (roadmap) disajikan
pada Gambar 2.
13
Indikator Keberhasilan
Perluasan sebaran teknologi SOF
(sustainable organic farming) pada
budidaya padi organik.
Produksi dan pemasaran produk beras
organik tersertifikasi.
Terbentuk klaster padi organik kelas
Dinamic (Dinamis) sampai Advance
(Maju) di Kabupaten Bondowoso.
Peningkatan produksi dan perluasan
pasar beras organik tersertifikasi.
2009 2013 2014 2015 2016 2018 2019 2020
Pen
canan
gan
Pro
gra
m B
ota
nik
Sosi
alis
asi
pem
buat
an d
an
pen
ggunaa
n p
upuk o
rgan
ik.
Ger
akan
pem
buat
an d
an
pen
ggunaa
n p
upuk o
rgan
ik,
pen
ggunaa
n p
esti
sida
nab
ati,
agen
sia
hay
ati
dan
musu
h a
lam
i.
Pro
duksi
, pen
gola
han
, dan
pem
asar
an b
eras
org
anik
.
Inis
iasi
pem
ben
tukan
kla
ster
per
tania
n o
rgan
ik.
P
endam
pin
gan
pet
ani
pad
i
org
anik
.
P
erlu
asan
lah
an p
erta
nia
n o
rgan
ik.
Id
enti
fikas
i fa
kto
r-fa
kto
r y
ang
men
dukung k
eber
has
ilan
pen
gem
ban
gan
kla
ster
pad
i
org
anik
M
odel
kel
embag
aan a
gri
bis
nis
kla
ster
pad
i org
anik
A
nal
isis
dam
pak
kual
itat
if d
an
kuan
tita
tif
kla
ster
pad
i org
anik
Tahapan Kegiatam
Gambar 2. Peta Jalan Pengembangan Klaster Padi Organik Bondowoso
Klaster padi organik kelas advance
Produksi beras organik kualitas ekspor
2025
14
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian:
4. Tahun pertama: Mengidentifikasi faktor-faktor yang mendukung keberhasilan
pengembangan klaster padi organik di Kabupaten Bondowoso.
5. Tahun kedua: Menyusun model kelembagaan agribisnis klaster padi organik di
Kabupaten Bondowoso.
6. Tahun ketiga: Menganalisis dampak kualitatif dan kuantitatif klaster padi
organik di Kabupaten Bondowoso.
3.2. Manfaat Khusus:
3. Sebagai dasar penyusunan kebijakan pengembangan produksi beras organik
berbasis klaster di Kabupaten Bondowoso.
4. Sebagai dasar penyusunan strategi pengembangan klaster padi organik dari kelas
Artisinal, Active (Aktif), Dinamic (Dinamis), sampai Advanced (Maju) di
Kabupaten Bondowoso.
15
BAB 4. METODE PENELITIAN
Penelitian ini direncanakan dilakukan 3 (tiga) tahun dengan metode penelitian
survei di Kelompok Tani Mandiri I Desa Lombok Kulon Kecamatan Wonosari
Kabupaten Bondowoso. Pengambilan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara
mendalam, dan FGD, sedangkan analisis data dilakukan secara deskriptif analitis.
Penelitian Tahun Pertama bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang
mendukung keberhasilan pengembangan klaster padi organik di Kabupaten Bondowoso.
Secara agregat terdapat 4 aspek sebagai pilar keberhasilan dalam pengembangan klaster
yaitu (1) Kelembagaan, (2) Sumberdaya Manusia, (3) Prasarana Bisnis, dan (4) Peran
Pemerintah. Keempat aspek tersebut kemudian diuraikan menjadi 17 indikator, yaitu
Kelembagaan (6 indikator), Sumberdaya Manusia (2 indikator), Prasarana Bisnis (7
indikator), dan Peran Pemerintah (2 indikator) (Tabel 3). Berdasarkan hasil observasi
lapang, masing-masing indikator kemudian dinilai dengan penilaian 1 (Sangat Kurang
Baik), 2 (Kurang Baik), 3 (Cukup Baik), 4 (Baik), dan 5 (Sangat Baik). Rata-rata nilai
setiap aspek kemudian dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu nilai < 1,25
(Kurang Mendukung), 1,26 - 2,50 (Cukup Mendukung) 2,51 - 3,75 (Mendukung), dan
3,76 - 5,0 (Sangat Mendukung).
Tabel 3. Aspek dan Indikator Faktor Keberhasilan Klaster
No Aspek Indikator
1 Kelembagaan
1. Modal sosial
2. Kemitraan dan networking
3. Kepemimpinan dan visi bersama
7. Budaya kewirausahaan
8. Persaingan
9. Spesialisasi
2 Sumberdaya Manusia 7. Kompetensi dan keahlian yang kuat
8. Basis inovasi yang kuat
3 Prasarana Bisnis
9. Akses Pasar
10. Akses Informasi Pasar
11. Akses Jasa Spesialis
12. Kedekatan dengan pemasok
13. Akses pada jasa pendukung bisnis
14. Akses pada sumber keuangan
15. Terdapat perusahaan besar
4 Peran Pemerintah 16. Infrastruktur yang memadai
17. Dukungan kebijakan
16
Penelitian Tahun Kedua bertujuan menyusun model kelembagaan agribisnis
klaster padi organik di Kabupaten Bondowoso. Analisis kelembagaan dalam bidang
pertanian ditujukan untuk memperoleh deskripsi mengenai suatu fenomena sosial
ekonomi pertanian, yang berkaitan dengan hubungan antara dua atau lebih pelaku
interaksi sosial ekonomi, mencakup dinamika aturan-aturan yang berlaku dan
disepakati bersama oleh para pelaku interaksi, disertai dengan analisis mengenai
hasil akhir yang diperoleh dari interaksi yang terjadi. Rancang bangun model
kelembagaan agribisnis padi organik yang bisa diterapkan dalam pengembangan
agribisnis padi organik dilakukan dengan metode Focus Group Discussion (FGD), yang
melibatkan semua stakeholder dalam agri bisnis padi organik di Kabupaten Bondowoso.
Penelitian Tahun Ketiga bertujuan menganalisis dampak kualitatif dan
kuantitatif klaster padi organik di Kabupaten Bondowoso. Dampak kualitatif dan
kuantitatif masing-masing diukur dengan 7 indikator (Tabel 4). Berdasarkan hasil
observasi lapang, masing-masing indikator kemudian dinilai dengan penilaian 1 (Sangat
Kurang Baik), 2 (Kurang Baik), 3 (Cukup Baik), 4 (Baik), dan 5 (Sangat Baik). Rata-
rata nilai dampak kualitatif dan kuantitatif kemudian dikelompokkan menjadi empat
kategori, yaitu nilai < 1,25 (Kecil), 1,26 - 2,50 (Sedang), 2,51 - 3,75 (Besar), dan 3,76 -
5,0 (Sangat Besar).
Tabel 4. Indikator Dampak Kualitatif dan Kuantitatif
No Dampak Kualitatif Dampak Kuantitatif
1 Meningkatkan pendapatan masyarakat dan
berkurangnya kesenjangan sosial Peningkatan jumlah anggota
2 Mempermudah terjadinya branding produk
maupun daerah Peningkatan kapasitas produksi
3 Menumbuhkan spesialisasi di dalam klaster Peningkatan nilai transaksi
4
Menumbuhkan peran/fungsi bisnis baru atau
inovasi baru di bidang produk dan jasa
terkait dalam klaster
Peningkatan jumlah tenaga kerja
5 Menumbuhkan teknologi baru dalam klaster Peningkatan jumlah pengusaha
baru yang muncul
6 Meningkatkan akses pada lembaga
keuangan/permodalan Peningkatan investasi
7
Mendukung upaya stabilisasi harga pada
komoditas ketahanan pangan yang
dikembangkan dalam klaster
Penerapan teknologi baru
17
BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
5.1. Pembentukan Klaster
Klaster pertanian organik di Kabupaten Bondowoso berdiri atas dasar
keprihatinan Bapak Amin Said Husni ketika baru dilantik sebagai Bupati Bondowoso
terhadap kelangkaan pupuk kimia yang dialami petani pada tahun 2008, tahun pertama
kepemimpinannya. Pada saat itu petani di Kabupaten Bondowoso sangat
bergantung pada pupuk kimia, terutama urea. Selain itu, penggunaan pupuk kimia
selama berpuluh-puluh tahun tersebut telah mengakibatkan turunnya tingkat kesuburan
tanah sawah di kawasan Bondowoso. Bupati Amin kemudian mengumpulkan sejumlah
kelompok tani untuk berdialog. Pertemuan itu menghasilkan Gerakan Bondowoso
Pertanian Organik (Botanik). Langkah pertama adalah memperbaiki struktur tanah
dengan cara memberikan pupuk organik di area persawahan. Bondowoso memiliki
populasi ternak sapi sekitar 205.000 ekor, yang kotorannya dapat diolah warga menjadi
pupuk organik. Untuk memberikan dasar hukum, dikeluarkan Peraturan Bupati
(Perbup) Nomor 27 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Gerakan Botanik.
Target pertama Bupati Amin sudah beridiri klaster padi organik di Bondowoso pada
2013.
Desa Lombok Kulon Kecamatan Wonosari dipilih sebagai pilot project
pertanian organik, karena daerah itu memenuhi persyaratan untuk menghasilkan padi
organik, mulai dari suplai air alami dan lahan yang betul-betul bebas pestisida, serta
tidak tercemar bahan kimia apapun. Pemkab Bondowoso menyediakan fasilitas mulai
dari penyediaan bibit, pupuk, sampai agensi hayati dan insektisida nabati. Uji coba
penanaman padi organik di Desa Lombok Kulon dilakukan pada April 2013 pada lahan
seluas 25 ha. Pada 2013 lahan yang dikonversi untuk tanaman organik seluas 25 ha dan
yang lolos mendapat sertifikasi seluas 10,3 ha, pada 2014 kembali mengkonversi lahan
seluas 21 ha di Desa Taal dan yang lolos sertifikasi yakni 19,7 ha yaitu 14,7 ha di Desa
Lombok Kulon dan 5 ha di Desa Taal. Tahun 2015 konversi lahan organik seluas 20 ha,
dan lolos sertifikasi total 70 ha yaitu 45 ha di Desa Lombok Kulon dan 25 ha di Desa
Taal sehingga total lahan lolos sertifikasi di Desa Lombok Kulon Kecamatan Wonosari
Kabupaten Bondowoso menjadi 45 Ha. Program konversi lahan ini direncanakan
sampai 2018 dengan mengkonversi lahan organik setiap tahun setidaknya 20 ha.
18
5.2. Faktor-faktor Pendukung Keberhasilan Klaster
5.2.1. Modal Sosial
Prinsip klaster adalah kebersamaan dalam hubungan saling menguntungkan.
Modal sosial menjadi komponen penggerak dalam mewujudkan prinsip klaster tersebut,
dimana esensinya adalah membangun jaringan dan kepercayaan berdasarkan norma-
norma yang berlaku dalam masyarakat. Beberapa indikator pada aspek modal sosial
yang dapat diaplikasikan di antaranya:
Manajemen Klaster
Manajemen klaster merupakan tata kelola klaster dalam melaksanakan,
mengembangkan dan mencapai tujuan klaster. Untuk melihat keefektifan kinerja
manajemen klaster beberapa tolok ukur yang dapat digunakan adalah:
Pengelola klaster. Tak ubahnya sebagai organisasi yang hidup, klaster harus
memiliki institusi pengelola yang bertanggung jawab terhadap berjalannya sistem hidup
tersebut dalam mencapai tujuannya. Pengelola klaster dapat berupa koperasi, gapoktan,
asosiasi, perguruan tinggi, dan badan usaha/perusahaan/local Champion. Adanya
manajemen klaster menunjukkan klaster telah dikelola secara baik.
Lembaga yang mengelola klaster padi organik di Kabupaten Bondowoso adalah
Gapoktan Al-Barokah yang beralamat di Desa Lombok Kulon, Kec. Wonosari, Kab.
Bondowoso. Gapoktan Al-Barokah dipimpin oleh Mulyono dengan jumlah Poktan 16
dengan rata-rata jumlah anggota 40 orang petani. Kelompok Tani yang memproduksi
beras adalah Kelompok Tani Mandiri I yang dipimpin juga oleh Mulyono dan anggota
sebagai petani budidaya padi organik dengan jumlah anggota 44 orang. Selain
Kelompok Tani Tani Mandiri I, petani budidaya padi organik juga dari Kelompok Tani
Mandiri I-B dengan jumlah anggota 38 orang.
Visi jangka panjang. Visi jangka panjang yang ditetapkan dan didukung oleh
anggota bisa membawa klaster kepada kemajuan yang lebih cepat. Visi ini mencakup
visi terhadap stakeholders, pasar, operasi, operasi, dan kinerja. Pada umumnya setiap
klaster menetapkan tujuan jangka panjang. Namun demikian, sasaran target tersebut
akan berbeda untuk setiap klaster yang dikembangkan. Target kinerja dan pasar hampir
menjadi target jangka panjang seluruh klaster. Jaminan pasar dan jaminan kinerja
klaster yang baik merupakan faktor penting keberlanjutan klaster. Rumusan visi klaster
19
idealnya tertuang dalam sebuah dokumen, artinya ada sebuah komitmen komunitas
dalam klaster untuk bersama-sama menjalankan ketetapannya.
Hasil survei menunjukkan visi jangka panjang Gapoktan Al-Barokah adalah
“Meningkatkan Perekonomian Petani Padi Organik Anggota Klaster”. Rumusan
visi tersebut masih belum terdokumentasi dan terjabarkan dalam Rencana Kerja Jangka
Panjang Klaster.
Tujuan jangka pendek. Seperti halnya visi klaster, tujuan jangka pendek
penting ditetapkan karena dengan ditetapkannya tujuan jangka pendek menunjukkan
klaster memiliki skala prioritas. Dari berbagai isu-isu prioritas, peningkatan produksi
padi organik merupakan prioritas tujuan jangka pendek yang ditetapkan oleh klaster
Al-Barokah. Peningkatan produksi merupakan ukuran dasar bagi peningkatan
pendapatan dan perekonomian petani padi organik.
Strategi pengembangan. Strategi pengembangan dibutuhkan untuk
keberlanjutan sistem nilai yang telah diinisiasi, sehingga proses bisnis dalam klaster
akan terus bergulir. Diakui oleh manajemen klaster bahwa penguatan keanggotaan dan
kelembagaan klaster merupakan strategi yang diterapkan oleh untuk pengembangan
klaster. Hal ini disadari bahwa keanggotaan dan kelembagaan adalah merupakan elemen
modal sosial, di mana modal sosial adalah komponen dasar dalam klaster.
Alokasi Dana Inisiasi. Alokasi dana inisiasi akan dilihat dari seberapa banyak
pihak-pihak yang terlibat, yang berarti mengindikasikan keberpihakan mareka. Selain
itu juga menunjukkan bahwa manajemen klaster telah memiliki pengaruh yang kuat
untuk menarik sumber dana dari pihak lain. Semakin banyak pihak yang berkontribusi
menunjukkan klaster memiliki potensi berkembang kuat. Alokasi dana ini dapat berasal
dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan swasta, anggota klaster, dan
lembaga donor. Kontribusi dana ini tidak hanya dilihat dari jumlah yang
dikontribusikan, tetapi juga dilihat dari berapa dampak yang ditimbulkan, dan efisiensi
yang didapatkan.
Alokasi dana inisiasi yang diterima oleh Gapoktan Al-Barokah antara lain: (1)
pengadaan sarana dan prasarana, dan pelatihan budidaya padi organik dari Pemerintah
Daerah; (2) pengadaan kendaraan angkut Tossa, genset, dan mesin vakum dan plastik
kemasan dari Bank Indonesia Kanwil Jember; (3) sertifikasi organik dari Dinas
20
Pertanian Propinsi Jawa Timur; (4) mesin drying, RMU, rumah genset, kamar mandi
dari Kementerian Pertanian.
Alokasi Dana Manajemen. Alokasi dana manajemen menunjukkan bahwa
sistem kelembagaan klaster sudah kuat dan memiliki tata kelola yang baik karena telah
menyisihkan sebagian pendapatan klaster. Klaster Al-Barokah mengalokasikan dana
manajemen antara 10%-20% per tahun untuk pembiayaan karyawan dan perawatan alat
produksi.
Sistem Pengelolaan Manajemen. Pengelola/manajer yang profesional sudah
selayaknya memiliki kelengkapan yang cukup untuk mengelola organisasi, maupun
program-program pengembangan klaster yang dikembangkan. Kelengkapan organisasi
merupakan indikator kekuatan organisasi, yang dapat diukur dengan beberapa
parameter, yaitu terdapat kantor/sekretariat, struktur organisasi, adanya kepercayaan
anggota dan pengurus, ada kegiatan rutin (rapat anggota, kunjungan ke anggota), adanya
SOP dan kenyamanan yang dirasakan oleh anggota klaster.
Struktur Organisasi Gapoktan Al-Barokah
Sistem pengelolaan manajemen yang baik dapat dilihat dari tingkat kepercayaan
anggota. Kepercayaan anggota kepada pengelola merupakan hal yang sangat penting
dalam mengelola klaster, tanpa adanya kepercayaan dari anggota atau pelaku dalam
Ketua
Sekretaris Bendahara
Poktan Produksi Poktan Budidaya
1. POP
2. POC
3. Pesnab dan
Agensi Hayati
1. Tani Mandiri
2. Tani Mandiri 1
3. Tani Mandiri 1a
4. Tani Mandiri II
5. Karya Tani
21
klaster, maka klaster sulit bisa berkembang. Dilain pihak pengelola klaster juga harus
terbuka kepada anggota, sehingga kepercayaan anggota menjadi semakin meningkat dan
terjaga terus. Klaster bisa ditinggal oleh anggota jika pengelola klaster tidak bisa
dipercaya. Kepercayaan dan keterbukaan bisa terlihat dari adanya perasaan nyaman dari
anggota klaster maupun masyarakat di luar. Kenyamanan dalam klaster juga dapat
dipicu oleh adanya kemitraan yang lebih solid dan transparan, dan adanya saluran
keterwakilan dalam menyuarakan kepentingan usaha anggota. Kedua parameter terakhir
ini menunjukkan intensitas kegiatan manajemen yang dilakukan dalam pengembangan
klaster juga sangat tinggi, sehingga mendorong kenyamanan anggota yang cukup tinggi
juga.
Kerja sama antar klaster. Kerja sama antar klaster akan memberikan dukungan
operasional sistem dalam klaster. Semakin banyak membangun jaringan antar klaster
akan mendorong posisi tawar dan kekuatan kelembagaan klaster. Kerjasama antar
klaster dapat dilakukan pada bidang pemasaran, produksi, teknologi, dan pengembangan
sumberdaya manusia.
Kegiatan manajemen. Kegiatan manajemen sebagai faktor penting dilihat dari
seberapa jenis, dan intensitas kegiatan memberikan dampak pada kestabilan operasional
klaster, dan dampak lainnya terhadap kepuasan anggota klaster. Paramater dari kegiatan
manajemen dapat dinilai antara lain dari jumlah aktivitas, keterlibatan anggota,
hubungan dengan pemerintah, jumlah layanan, kegiatan R&D, dan sebagainya
Anggota Klaster
Anggota klaster merupakan kekuatan untuk membangun jaringan, baik antar
anggota dalam klaster maupun anggota klaster dengan entitas di luar klaster, antar
klaster dengan entitas di luar klaster, bahkan antara klaster dengan klaster. Jumlah
anggota semakin banyak kekuatan klaster semakin tinggi. Anggota klaster juga
menunjukkan kekuatan posisi tawar klaster terhadap pihak di luar klaster. Anggota
klaster padi organik Al-Barokah sebanyak 82 orang, terdiri 44 petani dari Kelompok
Tani Mandiri I yang dipimpin juga oleh Mulyono dan 38 petani dari Kelompok Tani
Mandiri I-B.
Meningkatnya jumlah anggota klaster disebabkan oleh dampak kualitatif dan
kuantitatif yang dirasakan oleh masyarakat dan anggota klaster itu sendiri, seperti
perasaan nyaman bergabung dengan klaster, memiliki pengetahuan dan keahlian yang
22
terspesialisasi, kemudahan memasarkan produk, peningkatan produksi dan penjualan,
kemitraan yang lebih solid dan transparan, adanya saluran keterwakilan dalam
menyalurkan kepentingan usaha, produk lebih inovatif, permasalahan yang dihadapi
lebih cepat teratasi, penambahan jumlah aset usaha, kemudahan akses terhadap lembaga
keuangan, dan kemudahan untuk memperoleh sarana produksi.
Sarana Sosial yang Tumbuh.
Sarana ini tumbuh berkaitan dengan layanan klaster tidak hanya sebatas layanan
kepada anggota. Klaster yang tumbuh dan berkembang akan mampu berkontribusi dan
berpartisipasi dalam menyediakan sarana-sarana sosial dan dimanfaatkan oleh
masyarakat umum, sekalipun tidak sebagai entitas (pelaku) dalam sistem klaster.
Adanya partisipasi dan kontribusi menunjukkan bahwa klaster telah berada pada fase
matang, karena telah menyisihkan sebagian pendapatannya untuk memperbaiki kondisi
lingkungan di sekitar klaster. Kontribusi klaster telah diakui oleh masyarakat umum
antara lain: menyerap tenaga kerja masyarakat sekitar, memberi manfaat bagi
perekonomian masyarakat sekitar, sarana dan prasarana perekonomian (jalan, listrik, air,
dan layanan publik) menjadi lebih baik, dan iklim usaha lebih kondusif.
Keterlibatan Stakeholder Daerah
Keterlibatan stakeholders dalam pengembangan klaster sangat penting, karena
bukan hanya sekedar menginisiasi terbentuknya klaster, tetapi juga mengawal,
memfasilitasi dan memberikan bimbingan teknis kepada klaster serta melakukan
pendampingan sesuai dengan kebutuhan klaster. Secara umum berdasarkan hasil survei
jenis stakeholders yang terlibat dalam pengembangan klaster antara lain: Pemerintah
Daerah (Pemda), Pemerintah Propinsi, Pemerintah Pusat, Bank Indonesia, Perguruan
Tinggi, Perusahaan Swasta, dan lainnya.
Keterlibatan stakeholders dalam klaster cukup beragam. Jika dilihat dari jenis
peranan yang paling banyak dilakukan oleh stakeholders adalah pendampingan, disusul
dengan peningkatan kapasitas pelaku usaha (training, studi banding dan lain lain),
bantuan peralatan, penguatan kelembagaan, pembuatan demplot, akses pada sarana
produksi, bantuan pendanaan, kompetisi inovasi dan teknologi, dan lainnya. Peranan
stakeholders tersebut dilakukan secara terprogram dan atau secara insiden.
23
5.2.2. Kemitraan dan Jaringan
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, Pasal
1 angka 1, “Kemitraan adalah kerja sama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha
Menengah dan/atau Usaha Besar disertai pembinaan oleh Usaha Menengah dan/atau
Usaha Besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat
dan saling menguntungkan. Di bidang pertanian kemitraan diatur dalam Keputusan
Menteri Pertanian No. 940/Kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha
Pertanian. Pada Pasal 1 huruf (a) disebutkan, ”Kemitraan Usaha Pertanian adalah usaha
kerjasama antara Perusahaan Mitra dengan Kelompok Mitra di bidang Usaha
Pertanian”. Bertindak sebagai kelompok mitra antara lain petani-nelayan, kelompok
tani-nelayan, gabungan kelompok tani-nelayan, koperasi, dan usaha kecil, sedangkan
perusahaan mitra terdiri perusahaan menengah dan besar pertanian, dan perusahaan
menengah dan besar di bidang pertanian. Kemitraan usaha pertanian ini bertujuan untuk
meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia kelompok mitra, peningkatan skala usaha, dalam rangka menumbuhkan dan
meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra yang mandiri.
Kemitraan usaha pertanian dapat dilakukan dengan lima pola, yaitu pola inti-
plasma, sub kontrak, dagang umum, keagenan, dan kerjasama operasional agribisnis
(KOA). Pola inti-plasma merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan
perusahaan mitra, yang di dalamnya perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan
kelompok mitra sebagai plasma. Pada pola sub kontrak, kelompok mitra memproduksi
komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Pada
pola dagang umum, perusahaan mitra memasarkan hasil produksi kelompok mitra atau
kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra. Pada pola
keagenan, kelompok mitra diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa usaha
perusahaan mitra. Pada pola KOA, kelompok mitra menyediakan lahan, sarana dan
tenaga, sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya atau modal dan/atau sarana
untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas pertanian.
Kemitraan dapat dimaknai sebagai suatu bentuk persekutuan antar dua pihak
atau lebih yang membentuk satu ikatan kerjasama di suatu bidang usaha tertentu atau
tujuan tertentu, sehingga dapat memperoleh manfaat hasil yang lebih baik. Jaringan
24
(networking) adalah proses kebersamaan. Networking juga diartikan sebagai jalinan
hubungan yang bermanfaat dan saling menguntungkan.
Klaster padi organik Bondowoso belum melakukan kemitraan secara formal
baik di tingkat penyediaan sarana produksi maupun pemasaran. Kontrak secara formal
dilakukan antara anggota dan poktan untuk persyaratan sertifikasi namun dalam
pelaksanaannya yang berkembang adalah kemitraan informal. Kemitraan usaha
pemasaran beras organik Gapoktan Al Barokah masih bersifat informal untuk
pemesanan dalam jumlah tertentu dengan Koperasi BI KPW Jember, Koperasi Pegawai
Pemerintah Kabupaten Bondowoso dan Serambi Botanik Dinas Pertanian Kabupaten
Bondowoso. Serambi Botanik adalah outlet yang disiapkan Dinas Pertanian untuk
pemasaran produk organik di Kabupaten Bondowoso.
Kemitraan dan jaringan menjadi sangat penting di dalam masyarakat karena di
dunia ini bisa dikatakan bahwa tidak ada manusia yang tidak menjadi bagian dari
jaringan-jaringan hubungan sosial dari manusia lainnya. Lembaga penelitian termasuk
universitas, lembaga litbang nirlaba, lembaga penelitian pemerintah, lembaga penelitian
swasta dapat memainkan peran penting sebagai katalis untuk penelitian dan inovasi.
Mereka dapat menjadi pelaku penelitian dan pengembangan ide-ide dan aplikasi-
aplikasi baru, pemberi jasa konsultasi kepada anggota klaster berdasarkan hasil
penelitian dan pengembangan dan juga dapat memainkan peran penting dalam
memelihara kewirausahaan teknologi. Dalam hal ini fasilitas penelitian pemerintah dan
swasta dapat menjadi pendorong atau penggerak utama inovasi dalam klaster.
Faktor keberhasilan networking dapat dilihat dari beberapa indikator:
Pasar/Pembeli (Buyer)
Setiap klaster memiliki pasar utama yang membeli produk/jasa klaster baik yang
sudah menjadi langganan maupun tidak. Pembeli yang sudah menjadi pelanggan dan
sudah berhubungan lama akan menjadi prioritas klaster untuk menjual produknya.
Buyer yang sudah lama (lebih dari 1 tahun) umumnya sudah dipercaya dan memiliki
rekam jejak yang baik. Tidak semua hubungan jual beli dalam bentuk formal/terikat.
Namun, ikatan bisnis dalam bentuk formal akan menjamin terjadinya hubungan bisnis
dalam jangka panjang. Semakin banyak dan bervariasinya pasar, maka klaster dapat
menghindari ketergantungan pada salah satu pembeli tertentu, yang memiliki potensi
risiko menekan harga sehingga klaster tidak mempunyai daya tawar yang cukup.
25
Entitas Pemasok (Supplier)
Setiap klaster memiliki pemasok atau supplier tersendiri terutama terkait sarana
produksi. Jumlah supplier klaster umumnya lebih dari satu, hal ini dapat dimengerti
karena untuk memenuhi kebutuhan anggota klaster yang memiliki karakter yang
berbeda-beda serta untuk kontinyuitas sarana produksi utama, klaster menjalin
hubungan dengan beberapa pemasok selama kurun waktu tertentu. Kemudahan dalam
mendapatkan pemasok, akan mempermudah dalam mendapatkan sarana produksi.
Gapoktan Al-Barokah memiliki pemasok sarana produksi dan gabah organik dari petani
yang tergabung dalam Kelompok Tani Mandiri 1 dan Tani Mandiri 1-b
Rekanan Produksi
Seperti halnya pemasok klaster memiliki kerjasama atau rekanan dalam
memproduksi produk/jasa tertentu, baik produk/jasa yang sama, atau produk/jasa yang
bersifat melengkapi/komplementer dari produk/jasa yang ada. Kerjasama rekanan
produksi akan mempercepat pemenuhan kapasitas produksi yang diminta oleh pasar.
Selain itu, akan terjadi efisiensi biaya dengan mengalihkan sebagian proses produksi
kepada pihak lain. Penyedia jasa sebagai rekanan menunjukkan terjadinya spesialisasi
dalam klaster. Spesialisasi akan mendorong terjadinya akumulasi pengetahuan dan
menciptakan sumber daya orang yang kompeten. Hubungan yang terjalin antara klaster
dengan rekanan produksi merupakan hubungan yang sifatnya bebas atau tidak terikat
dengan kontrak.
Rekanan Peneliti & Riset
Peran lembaga penelitian & riset atau litbang bukan sekedar melaksanakan riset
atau penelitian, tetapi untuk menghasilkan teknologi yang sesuai kebutuhan atau dapat
menjadi solusi bagi persoalan nyata atau memberikan kontribusi signifikan terhadap
perkembangan bisnis. Klaster Al-Barokah memiliki rekanan untuk keperluan penelitian
dengan Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Muhammadiyah
Malang (DPPM UMM).
Rekanan Jasa Penyalur/Distributor
Jasa penyalur merupakan channel yang akan mempercepat barang sampai
kepada konsumen. Klaster padi organik Bondowoso memiliki hubungan tidak terikat
dengan distributor. Hubungan tidak terikat memberikan keleluasaan dalam menentukan
mitra sehingga dalam waktu bersamaan dapat menjalin kerja sama dengan banyak pihak
26
sekaligus. Akan tetapi, hubungan bebas ini akan mendorong terjadinya persaingan yang
tidak sehat, yang pada gilirannya mengancam keberlanjutan usaha. Pada umumnya
klaster membangun kerja sama dengan penyalur setelah satu tahun berdiri. Meskipun
demikian, apabila klaster memiliki mekanisme berhubungan bersifat terikat dengan dua
penyalur sekaligus akan menjadi lebih baik dan kuat.
Lembaga Keuangan
Adanya hubungan dengan lembaga keuangan formal (bank dan non bank), baik
sebagai debitur/peminjam maupun kreditur/penyimpan, menunjukkan klaster telah
dipercaya oleh lembaga keuangan untuk mengembangkan usahanya. Pada saat klaster
membutuhkan peningkatan produksi karena adanya permintaan yang meningkat dan
membutuhkan pendanaan, lembaga keuangan formal telah menjadi solusi sebagai
sumber pendanaan bagi klaster.
Pembiayaan perbankan diperoleh Gapoktan Al-Barokah dari Bank Jatim. Gapoktan
Al-Barokah mendapat pinjaman KKPE sebesar Rp 225.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
pada tahun 2013. KKPE (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi) adalah Kredit investasi
dan/atau modal kerja yang diberikan dalam rangka mendukung pelaksanaan Program
Ketahanan Pangan dan Program Pengembangan Tanaman Bahan Baku Bahan Bakar
Nabati. Kredit digunakan oleh Gapoktan Al-Barokah untuk membeli gabah petani, biaya
produksi pengolahan, dan pemasaran beras organik.
Akses petani terhadap pembiayaan perbankan belum berkembang dengan baik.
Fenomena tersebut dapat terlihat dari banyaknya petani yang menggunakan modal
sendiri untuk melakukan usahatani padi. Hanya sebagian kecil petani padi di wilayah
Bondowoso yang dapat melakukan akses pembiayaan perbankan. Alasan utama petani
tidak dapat melakukan akses pembiayaan perbankan adalah adanya keterbatasan
jaminan kredit yang dimiliki petani. Secara umum pemanfaatan pembiayaan yang
diperoleh petani digunakan untuk modal usahatani padi, khususnya dalam pengadaan
sarana produksi. Petani yang memperoleh pembiayaan dari perbankan pada umumnya
membayar pelunasan kredit secara bulanan dalam jangka waktu tertentu dengan bunga
yang telah ditetapkan sesuai plafon pinjaman yang diperoleh.
27
5.2.3. Kepemimpinan dan Visi Bersama
Keberhasilan klaster seringkali diasosiasikan dengan kepemimpinan yang kuat,
baik kepemimpinan individual ataupun secara lembaga. Para pemimpin ini bisa jadi
sangat penting dan berpengaruh dalam menghilangkan hambatan, mendorong
kolaborasi, membangun visi dan bertindak sebagai Champion untuk strategi masa depan
klaster. Para pemimpin ini seringkali adalah orang- orang yang berkomitmen terhadap
wilayah lokal, dianggap memiliki pengaruh yang besar dan mampu menumbuhkan
interaksiinteraksi antara para stakeholders klaster. Di klaster Bondowoso terdapat tokoh
yang dianggap memiliki kepemimpinan yang kuat dan mampu menggalang hubungan
dan bernegosiasi dengan beragam stakeholders yaitu Mulyono (Ketua Kelompok Tani
Mandiri).
Ada tiga indikator pada faktor kepemimpinan dan visi bersama ini. Pertama,
adanya champion klaster. Champion klaster merupakan pelaku penting dalam
mendorong keberhasilan klaster. Entitas Champion di Bondowoso adalah Gapoktan Al-
Barokah. Selain menggerakkan dan mendorong berkembangnya klaster, Champion
klaster juga mampu memberikan inspirasi serta motivasi untuk pengembangan klaster
yang lebih baik. Klaster yang baru berkembang sangat membutuhkan adanya Champion
klaster yang umumnya selangkah lebih maju dibandingkan pelaku klaster lainnya.
Kedua, adanya penggerak klaster lainnya. Seperti halnya Champion klaster, penggerak
klaster di luar Champion klaster juga merupakan pelaku dalam mendorong keberhasilan
klaster. Namun keberadaanya tidak sepenting Champion klaster karena tidak secara
aktif berperan dalam klaster. Jenis penggerak klaster antara lain seperti tokoh
masyarakat, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan lainnya seperti
Kementerian/Dinas, LSM Assosiasi, BI, dan PPL. Ketiga, adanya visi-misi bersama.
Keberadaan pernyataan visi atau target jangka panjang (baik secara lisan ataupun
terdokumentasi) menunjukkan bahwa pengelola klaster setidaknya sudah mulai
menyusun strategi dan rencana untuk mencapainya, atau sudah mulai melaksanakan hal-
hal yang mengawali proses pencapaian. Visi/target jangka panjang dapat menunjukkan
bagaimana pengelola klaster mendefinisikan nilai yang ditawarkannya, baik itu yang
istimewa, berbeda dengan yang ditawarkan oleh pelaku usaha penghasil produk/jasa
yang sejenis ataupun potensi daya saing. Visi akan menjadi acuan pengelolaan klaster,
apabila disusun dan disepakati bersama, tidak hanya dipahami tetapi juga dilaksanakan
28
oleh seluruh anggota klaster. Acuan ini akan melekat pada pola pikir anggota klaster
jika mengangkat nilai-nilai positif dalam masyarakat yang akan dikembangkan, serta
terdokumentasi secara formal, sehingga mudah untuk dimonitor dan dievaluasi
pelaksanaannya. Gapoktak Al-Barokah bervisi, “Meningkatkan Perekonomian Petani
Padi Organik Anggota Klaster”
5.2.4. Budaya Kewirausahaan
Keberadaan budaya dan jiwa kewirausahaan memberikan pengaruh penting pada
perkembangan klaster. Mereka mungkin menangkap peluang-peluang baru atau
teknologi-teknologi baru yang membawa inovasi ke pasar atau mengambil risiko-risiko
terkalkulasi yang signifikan. Tingkat kewirausahaan seringkali digunakan sebagai
indikator yang merefleksikan keseluruhan kesehatan klaster.
Budaya kewirausahaan diukur dengan dua indikator. Pertama, jumlah pelaku
usaha baru dalam klaster. Klaster yang berkembang dengan baik akan semakin menarik
bagi pelaku usaha sejenis yang berada di wilayah sekitar untuk bergabung dengan
klaster. Klaster yang berkembang juga memungkinkan adanya pelaku klaster baru yang
berasal dari pekerja klaster yang ingin menjadi pelaku usaha. Hal ini disebabkan oleh
dinamika klaster dalam memunculkan inovasi dan juga menangkap peluang usaha baru.
Pada klaster padi organik di Bondowoso muncul entitas usaha penghasil POP, POC, dan
distributor beras. Unit-unit usaha baru berdampak pada perluasan kompetensi karena
terjadinya spesialisasi kerja, dan sekaligus menghasilkan produk dan jasa yang inovatif.
Namun demikian, biasanya sampai dengan batas tertentu jumlah anggota klaster tidak
lagi berkembang di wilayah setempat karena potensi yang terbatas, akan tetapi dapat
mengembangkan usahanya di wilayah lain dengan melakukan replikasi.
Kedua, disiplin pembukuan keuangan. Salah satu budaya kewirausahaan adalah
menerapkan perilaku disiplin, khususnya dalam menerapkan pengelolaan keuangan
usaha dan keuangan keluarga. Oleh karena itu berapa jumlah anggota klaster yang
menerapkan pembukuan usaha dengan baik cukup menjadi kriteria untuk melihat
kinerjanya. Disiplin juga dapat dilihat dari komitmen dan ketaatan dalam pengembalian
pinjaman kepada lembaga keuangan. Gapoktan Al-Barokah belum menerapkan perilaku
pembukuan keuangan yang tercatat.
29
5.2.5. Persaingan
Memasuki era globalisasi, persaingan tidak hanya terjadi di tingkat lokal,
melainkan pada tingkat regional, nasional, sampai global. Globalisasi dapat mengancam
kekuatan klaster karena persaingan pasar yang muncul dari sumber atau tempat yang
tidak terduga sebelumnya seperti sertifikasi atas barang dan jasa sebagai persyaratan
yang ditetapkan oleh konsumen internasional. Namun demikian, globalisasi dapat
menciptakan pelanggan baru, menyuntikkan teknologi baru yang meningkatkan daya
saing dan mencegah keterkuncian lokal. Artinya, klaster bisa menjadi simpul jaringan di
lokasi-lokasi tertentu, dimana sumberdaya dari luar (misalnya investor, pergerakan
SDM) mudah untuk memasuki wilayah tersebut karena adanya daya tarik sebagai
potensi ekonomi.
Suksesnya pengembangan bisnis dipengaruhi oleh lingkungan usaha yang
menciptakan persaingan yang sehat. Persaingann yang sehat akan memicu motivasi
bisnis pada masyarakat semakin kuat. Kondisi persaingan akan tercipta dalam klaster
yang kuat. Persaingan sehat akan mendorong beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai
penilaian peran klaster, diantaranya adalah standardisasi, kompetisi inovatif, dan
investasi. Parameter penilaian kemampuan bersaing adalah meningkatnya jumlah
investasi anggota. Dengan meningkatnya produksi dan penjualan, serta adanya akses
pasar yang semakin terbuka, anggota klaster maupun manajemen akan berupaya
meningkatkan produksi dengan menambah investasi berupa aset maupun modal kerja.
Dengan demikian aset yang semakin meningkat dalam klaster dapat menunjukkan
klaster berkembang dengan baik. Kemampuan bersaing pada klaster Bondowoso
tampak pada peningkatan jumlah dan investasi anggota yang ditunjukkan pada
perluasan areal penanaman padi organik.
5.2.6. Spesialisasi
Klaster dengan pertumbuhan yang baik akan terdiri dari entitas-entitas bisnis
terspesialisasi dan saling terhubung satu entitas dengan entitas yang lainnya. Kebutuhan
akan jasa spesialis menjadi tidak terelakkan untuk menyelesaikan permasalahan dengan
hasil yang maksimal. Karena tenaga spesialis menguasai suatu bidang tertentu secara
mendalam didukung oleh kemampuan dalam pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki pada bidang tertentu tersebut. Akses pada jasa ini di sebuah klaster dapat diukur
30
dengan seberapa jenis jasa spesialis dan intensitas pemanfaatan jasa tersebut. Bentuk
hubungan (formal/terikat–bebas) dapat digunakan sebagai ukuran kualitatif. Hubungan
yang baik akan dilanggengkan secara formal dan terdokumentasi dengan baik. Dalam
kajian ini tidak ditemukan jasa spesialis dalam klaster.
5.2.7. Sumberdaya Manusia
Kompetensi dan Keahlian
Pengembangan sumberdaya manusia di Gapoktan Al-Barokah untuk penguasaan
dan transfer teknologi dilakukan bertahap dengan beberapa metode: (1) Pelatihan baik
teori maupun praktek teknologi pertanian organik; (2) Kunjungan lapang ke lokasi
pertanian organik ; (3) Demo plot, implementasi dan pengamatan hasil lapang; dan (4)
Evaluasi berkala kegiatan yang berjalan.
Pelatihan bagi petani dilakukan secara secara simultan baik oleh Dinas Pertanian
Propinsi maupun Dinas Pertanian Kabupaten. Pelatihan pertanian organik telah
dilakukan sejak tahun 2008 dengan mengirim PPl dan Poktan setiap tahunnya untuk
mengikuti pelatihan pertanian organik yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian
Propinsi. Pelatihan oleh Dinas Pertanian kabupaten dilakukan berjenjang.
Pertama,tenaga penyuluh pertanian. Pelatihan dilakukan pada seluruh tenaga PPL yang
bertugas di wilayah kerja Kabupaten Bondowoso dan BPP Gunung anyar. Pelatihan
pertama dilaksanakan oleh Dinas Pertanian dengan nara sumber pendamping dari UMM
dan dihadiri 150 PPL baik tetap, kontrak, maupun tenaga honorer. Pelatihan
selanjutnya dilaksanakan oleh Dinas Pertanian kerjasama dengan Tim Pendamping dan
dihadiri PPL BPP Gunung Anyar dan perwakilan BPP Kabupaten Bondowoso. Materi
pelatihan meliputi SOP pertanian organik, sistem manajemen dan administrasi serta
produk yang digunakan untuk pertanian organik.
Kedua, tenaga ICS (internal control system) dan Ketua Blok. Pelatihan
dilakukan secara periodik dengan model diskusi dan sekolah lapang dengan pemecahan
masalah yang ada di lahan demplot. Materi pelatihan mulai sosialisasi pertanian
organik, SOP pertanian padi organik, perakitan teknologi untuk pembuatan input
produksi dan perlakuan benih, pengolahan lahan dengan bioremediasi, budidaya dengan
sistem SRI dan pasca panen. ICS dan Ketua Blok mempunyai peran sangat strategis
pada pengembangan padi organik sebagai pengawas internal dan pendamping petani
anggota kelompok pertanian padi organik. Ketrampilan ICS dan Ketua Blok tidak hanya
31
pada budidaya namun lebih pada sistem mutu dari pertanian padi organik, sehingga ICS
dan Ketua Blok diberikan pelatihan tambahan yaitu sistem pengawasan mutu untuk
pertanian padi organik. Selain itu, ICS dan Ketua Blok juga dilatih untuk mengisi
catatan proses budidaya dan proses produksi sehingga bisa mendampingi, mengawasi
dan mengingatkan anggota kelompok.
Ketiga, anggota kelompok tani demplot. Pelatihan pertanian organik anggota
kelompok tani dilakukan baik dalam ruang maupun di lahan sawah. Pelatihan diberikan
secara menyeluruh mulai teori dan praktek dan implementasi di lahan. Peningkatan
pengetahuan petani dilakukan sebelum pelaksanaan kegiatan SLPPO didahului dengan
sosialisasi pertanian organik dan pengenalan teknologi SOF (sustainable organic
farming). Materi pelatihan selanjutnya disesuaikan dengan SOP proses budidaya
pertanian organik, mulai perlakuan benih, pembuatan input produksi organik yaitu
pupuk organik padat dan cair, pestisida nabati dan agensia hayati, bioremediasi lahan,
pengolahan lahan, penanaman dengan sistem SRI jajar legowo, pengelolaan air,
pengamatan dan pengendalian OPT dan proses pemanenan. Pengembangan SDM masih
ada kendala pada anggota kelompok petani demplot yaitu menyesuaikan waktu yang
tepat untuk mengumpulkan petani sehingga transfer teknologi dan pengetahuan
dilakukan personal dengan pendekatan dan diskusi di lokasi atau lahan petani yang
bersangkutan. Target penguasaan pertanian padi organik baru pada kelompok kecil
petani yaitu ICS dan ketua blok serta petani aktif yang selanjutnya akan dijadikan petani
pelopor padi organik.
5.2.8. Basis Inovasi Kuat
Produksi Saprodi
Demplot padi organik yang dilaksanakan di Kelompok Tani Bina Usaha I A
Desa Lombok Kulon menggunaan benih dan input produksi murni organik. Benih
organik diperoleh dari benih organik yang telah dikembangkan kelompok tani di
Lombok Kulon. Input produksi baik pupuk organik padat (POP) diproduksi sendiri oleh
gapoktan di Lombok Kulon dan Lombok Wetan. Kebutuhan POP semula 4 ton per ha
menjadi 7 ton per ha. Perubahan penggunaan POP karena kondisi lahan di lokasi
demplot yang sangat rendah kandungan BO, hasil analisis Laboratorium UMM, BO
32
tanah hanya 2,4% akibat pencucian air irigasi dengan debit yang tinggi, sehingga
menggerus cadangan BO dan hara lahan.
Produksi pupuk yang dihasilkan sesuai SOP yang sudah ditetapkan dimana
Gapoktan/Patra diberi pelatihan, bimbingan dan pendampingan dalam proses produksi
pupuk dan hasil produksi pupuk dianalisis laboratorium di Laboratorium UMM sebelum
diterima untuk program. Produksi POC dan pestisida nabati (Pesnab) dipusatkan di
Gapoktan Al-Barokah Lombok Kulon. Sebagaimana POP, POC dan pesnab sebelum
diaplikasikan ke demplot juga dianalisis laboratorium UMM terlebih dahulu. Hasil
analisis laboratorium baik POP, POC maupun pesnab sesuai dengan SNI. Khusus
agensia hayati pada awalnya didapatkan dari gapoktan di wilayah kerja lain di
Kabupaten Bondowoso yang direkomendasikan oleh Dinas Pertanian dan BPP Gunung
Anyar. Mulai tahun 2014 dikembangkan unit baru yaitu produksi POC, Pesnab dan
Agensia hayati yang di produksi oleh Poktan PPAH Karya Tani anggota Gapoktan Al
Barokah yang berdomisi juga di Desa Lombok Kulon.
Petani anggota Kelompok Tani Bina Usaha I A Desa Lombok Kulon
diberdayakan melalui SLPPO (Sekolah Lapang Pengembangan Pupuk Organik).
SLPPO dilaksanakan oleh Dinas Pertanian Tanaman Kabupaten Bondowoso sebagai
upaya untuk meningkatkan kemampuan teknis masyarakat tani dalam budidaya tanaman
padi yang intensif dan efisien dengan memanfaatkan bahan organik yang melimpah di
sekitar lingkungan rumah untuk mengusahakan perbaikan kondisi tanah baik fisik,
kimia, dan biologis tanah, serta teknik budidaya dengan proses manajemen sistem
perakaran dengan berbasis pada pengelolaan tanaman, tanah dan air. SLPPO bertujuan:
(a) Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan petani tentang pengembangan
pupuk organik pada usahatani tanaman pangan terutama padi sawah metode SRI; (b)
Meningkatkan kerjasama, aktivitas, dan kinerja kelompok tani dalam pembelajaran
pengembangan pupuk organik; (c) Meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani
serta kesejahteraan petani; dan (d) Memasyarakatkan penggunaan pupuk organik dalam
upaya peningkatan kesuburan tanah dan tanaman yang ramah lingkungan. Luaran dari
SLPPO adalah petani dapat membuat pupuk organik.
33
SOP Padi Organik
Klaster Al-Barokah telah mengembangkan SOP budidaya padi organik dari hulu
sampai hilir yang telah teruji, pembedanya adalah teknologi yang dikembangkan dan
manajemen pelaksanaannya. Pelaksanaan demplot padi organik pada klaster padi
organik Lombok Kulon sesuai dengan SOP berbasis teknologi SOF yang telah
dirumuskan bersama antara tim DPPM UMM, BPP Gunung Anyar, Dinas Pertanian,
Gapoktan, PPL dan ICS (Internal Control System) yang sudah mendapatkan pelatihan
organik dari Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur serta tim dari PT. Sukses Bersama
Organik (SBO). SOP yang dirumuskan meliputi SOP pembuatan POP, SOP pembuatan
POC, SOP pembibitan, SOP budidaya padi organik, SOP Pasca panen. SOP masih
terus dikembangkan sesuai dengan kondisi dan potensi lahan di Lombok Kulon yang
pada akhirnya akan didapatkan SOP yang tepat sebagai panduan budidaya padi organik,
sehingga produktivitas padi yang dihasilkan menggambarkan potensi bibit dan lahan
yang sesungguhnya.
5.2.9. Akses Pasar
Adanya klaster telah diakui stakeholders dan masyarakat umum memberikan
dampak adanya manfaat positif bagi perekonomian. Manfaat tersebut muncul salah
satunya merupakan implikasi dari kemudahan akses pasar. Kemudahan akses pasar
dapat dilihat dari indikator jumlah penjualan (transaksi) serta pertumbuhan penjualan
(pertumbuhan transaksi) per tahun. Pertumbuhan penjualan merupakan akibat dari
kinerja klaster lainnya yang meningkat dan saling mempengaruhi. Meningkatnya
penjualan dapat diakibatkan karena meningkatnya volume produksi sebagai akibat dari
meningkatnya produktivitas maupun kapasitas produksi, serta diakibatkan oleh
meningkatnya harga jual. Meningkatnya produksi dan penjualan menjadi bukti bahwa
akses pasar merupakan kontributor dalam pencapaian penjualan yang diakui oleh pelaku
inti klaster. Meningkatnya penjualan juga dapat disebabkan oleh bertambahnya entitas
bisnis dalam klaster. Pertumbuhan penjualan menjadi indikator yang sangat penting
untuk mengukur kinerja klaster, selain karena data ini merupakan turunan atau akibat
langsung dan tidak langsung dari sejumlah indikator kinerja klaster lain, data ini juga
relatif mudah diakses.
Produk utama Gapoktan Al-Barokah adalah beras organik putih dan merah yang
dijual dengan menggunakan kemasan plastik yang berkapasitas 5 kg untuk beras putih,
34
dan 1 kg untuk beras merah dengan merk “Botanik”. Varietas beras yang diproduksi
oleh Gapoktan Al-Barokah adalah Sinta Nur (Mentik Wangi) dan Ciherang. Kapasitas
produksi beras organik Gapoktan Al-Barokah sekitar 50 ton per tahun, di mana 90%
berupa beras organik putih, dan 10% sisanya berupa beras organik merah, beras organik
hitam, dan beras organik pecah kulit.
Keterbatasan luas lahan, dana pembelian gabah, dan manajemen tradisional
menyebabkan volume penjualan dan wilayah pemasaran beras organik Gapoktan Al-
Barokah juga terbatas. Pada tahun 2013 dan 2014 gapoktan ini membeli gabah masing-
masing sebanyak 169.881 kg dan 596.025 kg, dan menjual beras sebanyak 11.952 kg
(2013) dan 136.174 kg (2014), serta membukukan omzet Rp 144.840.000 (2013) dan
Rp 1.820.075.000 (2014). Grafik pembelian gabah dan penjualan beras organik tahun
2013-2015 disajikan pada Gambar 4.2, sedangkan grafik pembelian gabah dan
penjualan beras organik per bulan disajikan pada Gambar 4.3 dan 4.4.
Gambar 4.2 Grafik pembelian gabah dan penjualan tahun 2013-2015
Gapoktan Al Barokah
35
Gambar 4.3 Grafik pembelian gabah per bulan Gapoktan Al Barokah
Gambar 4.4 Grafik penjualan beras organik Gapoktan Al barokah
Penjualan beras dari unit RMU klaster padi organik Bondowoso tahun 2014
meningkat sangat nyata dibandingkan tahun 2013 dan relatif stabil pada tahun 2015.
Hasil ini menunjukkan dampak dari promosi baik media maupun pameran serta
pendampingan dan bantuan alat untuk prosesing dan pengemasan sangat signifikan pada
produksi dan penjualan beras organik. Namun jika diamati lebih jauh, penjualan beras
baru mencapai 30% dari potensi beras yang dihasilkan dari proses pengolahan gabah.
Hasil tersebut menunjukkan serapan pasar dan wilayah pemasaran beras organik dari
klaster padi organik Kabupaten Bondowoso masih perlu dikembangkan sehingga tidak
36
terjadi penumpukan gabah atau penjualan gabah karena nilai tambah terbesar adalah
pada prosesing.
5.2.10. Akses Informasi Pasar dan Teknologi
Informasi merupakan sumber daya berharga yang merupakan dasar dalam
pengambilan keputusan usaha. Sejauh mana informasi dimanfaatkan oleh masyarakat
klaster dapat dilihat dari berapa jumlah dan jenis media informasi yang diakses. Indikasi
terbukanya sarana informasi bagi masyarakat dan intensitas penggunaannya juga dapat
dilihat dari pertumbuhan jasa penyedia media informasi yang tumbuh, seperti internet
atau layanan informasi yang disediakan oleh pemerintah dan lainnya. Data base
informasi baik informasi teknologi, pasar, produk dan sebagainya dapat digunakan
sebagai parameter kemudahan dalam mengakses teknologi. Database yang dibuat oleh
pengguna informasi/masyarakat klaster membuktikan bahwa telah terjadi edukasi yang
baik dalam klaster untuk penggunaan media informasi secara efektif dan efisien. Hasil
dari kajian menunjukkan bahwa akses pada informasi pasar dan teknologi menggunakan
sarana komunikasi handphone dan internet.
5.2.11. Akses Jasa Spesialis
Klaster dengan pertumbuhan yang baik akan terdiri dari entitas-entitas bisnis
terspesialisasi dan saling terhubung satu entitas dengan entitas yang lainnya. Kebutuhan
akan jasa spesialis menjadi tidak terelakkan untuk menyelesaikan permasalahan dengan
hasil yang maksimal. Karena tenaga spesialis menguasai suatu bidang tertentu secara
mendalam didukung oleh kemampuan dalam pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki pada bidang tertentu tersebut. Akses pada jasa ini di sebuah klaster dapat diukur
dengan seberapa jenis jasa spesialis dan intensitas pemanfaatan jasa tersebut. Bentuk
hubungan (formal/terikat – bebas) dapat digunakan sebagai ukuran kualitatif.
Hubungan yang baik akan dilanggengkan secara formal dan terdokumentasi dengan
baik. Walaupun dalam kajian ini tidak banyak menemukan jasa spesialis dalam klaster-
klaster yang dikaji, pengembangan padi organik di Bondowoso telah menunjukkan
bahwa jasa ini sangat diperlukan ketika klaster mengusung tema tertentu, dan
merupakan isu yang relatif baru di wilayah klaster tersebut.
37
5.2.12. Kedekatan dengan Pemasok
Klaster yang kuat dicirikan oleh tersedianya pemasok-pemasok di tingkat lokal.
Kedekatan jarak dengan pemasok akan mendorong terjadi efisiensi terutama
berkurangnya biaya distribusi barang, selain kemudahan akses itu sendiri. Oleh karena
itu jumlah pemasok yang tumbuh di tingkat lokal akan menjadi parameter kinerja
klaster. Pada kasus pemasok di luar lokasi, akses akan mudah dilakukan apabila klaster
memiliki jaringan yang kuat. Dari hasil kajian ketersediaan pemasok lokal bisa terjadi
untuk total pasokan, sebagian pasokan, atau sama sekali tidak tersedia di lokal. Proporsi
pasokan lokal menjadi parameter penting untuk mengukur kinerja klaster.
Parameter lainnya adalah kualitas bahan pasokan yang diakses. Input berkualitas
akan meningkatkan daya saing produk, bukan input murah. Kedekatan dengan pemasok
setara tingkat pentingnya dengan basis inovasi, dimana berdasarkan penilaian berada
pada peringkat 5 dengan skor 5,1 pada kategori sebagai faktor yang sangat penting.
Parameter untuk indikator ini adalah pertumbuhan jumlah pasokan lokal dan proporsi
jumlah pemasok lokal dan non lokal.
5.2.13. Akses Pada Jasa Pendukung Bisnis
Jasa penunjang bisnis merupakan mitra dalam menjalankan aktifitas usaha
klaster, beberapa jasa penunjang bisnis dapat berupa berupa entitas peneliti/riset, jasa
persewaan peratan, jasa penyalur, jasa transportasi, jasa konsultasi, jasa pelatihan, jasa
perbengkelan, jasa fotokopi, jasa pengurusan dokumen, jasa pemrosesan lanjutan, dan
lain-lain. Tersedianya jasa-jasa penunjang bisnis telah membantu percepatan
perkembangan klaster beras organik Lombok Kulon. Jasa-jasa tersebut berupa entitas-
entitas baru yang tumbuh karena dorongan klaster, maupun entitas-entitas yang
sebelumnya sudah ada. UPJA (usaha pelayanan jasa alsintan), instalasi POC, pupuk
organik padat, penggilingan padi, dan pemasaran beras merupakan contoh entitas baru
yang tumbuh.
5.2.14. Akses pada sumber keuangan
Terkait dengan faktor keberhasilan akses pada sumber keuangan, terdapat dua
indikator yang dapat diukur, yaitu : (1) produk lembaga keuangan yang diakses, (2)
anggota klaster yang mengakses jasa keuangan dan (3) kualitas pinjaman. Semakin
banyak produk lembaga keuangan yang diakses dan semakin banyak anggota klaster
38
yang mengakses, menunjukkann klaster dalam kondisi yang kondusif. Kualitas kredit
yang lancar juga menunjukkan usaha dan karakter klaster baik. Lembaga keuangan yang
mendukung klaster beras organik Lombok Kulon adalah Bank Jatim.
5.2.15. Infrastruktur yang Memadai
Infrastruktur klaster yang memadai adalah infrastruktur yang mendukung
perkembangan klaster. Infrastruktur fisik terkait dengan jumlah dana yang dialokasikan
untuk penyediaannya, yang menunjukkan kepedulian pemerintah daerah untuk
mendorong perkembangan klaster. Adanya infrastruktur jalan yang memadai, atau
adanya alokasi anggaran dari pemerintah untuk jalan. Adanya infrastruktur jaringan
komunikasi yang memadai atau adanya alokasi anggaran dari pemerintah untuk jaringan
komunikasi. Klaster beras organik Lombok Kulon didukung oleh infrastruktur jalan
yang memadai untuk transportasi antardesa, antarkecamatan, dan antardaerah. Demikian
juga dengan infrastruktur komunikasi, terutama jaringan internet.
5.2.16. Dukungan Pemerintah
Kebijakan pemerintah merupakan keputusan yang dibuat secara sistematik oleh
pemerintah dengan maksud dan tujuan tertentu yang menyangkut kepentingan umum.
Kebijakan pemerintah Kabupaten Bondowoso dalam pembentukan dan pengembangan
klaster Lombok Kulon sangat intensif. Dukungan tersebut diwujudkan dalam bentuk
Program Bondowoso Pertanian Organik (Botanik) yang dimulai sejak 2008 sebagai
program unggulan Pemkab Bondowoso. Hal ini ditunjukan dengan beberapa aktivitas
yang diinisiasi oleh pemerintah untuk pembentukan klaster, pelatihan-pelatihan untuk
peningkatan kapasitas pelaku usaha, pameran-pameran dalam rangka mempromosikan
produk unggulan daerah, dan sebagainya.
Selain infrastruktur fisik, infrastruktur administrasi (kebijakan) menurut hasil
survei juga merupakan faktor yang sangat dibutuhkan dalam pengembangan
klaster. Beberapa klaster terganggu perkembangannya jika kebijakan terkait
pengembangan klaster tidak mendukung. Beberapa bukti telah menunjukkan, bahwa
pemilihan kebijakan yang tepat dapat membawa manfaat signifikan terhadap perubahan
kehidupan. Kebijakan-kebijakan dibuat melalui tahapan-tahapan tertentu dan untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat. Sebagai salah satu
39
acuan, termasuk adanya unsur-unsur yang mengikat baik pada sisi pembuat dan
pelaksana kebijakan, maka kebijakan perlu dirumuskan secara tertulis. RPJMD adalah
salah satu contoh media yang secara eksplisit menuangkan kebijakan-kebijakan
pemerintah, yang kemudian akan diturunkan pada kebijakan
operasi yang lebih spesifik. Dengan dituangkannya isu-isu yang menjadi masalah
masyarakat dalam sebuah dokumen formal, maka isu-isu tersebut telah mendapatkan
legitimasi, dan berhak memperoleh alokasi sumber daya publik (pengalokasian
anggaran) untuk mencapai tujuan kebijakan tersebut.
40
5.3. Luaran Yang Dihasilkan
5.3.1. Seminar Internasional
1. 9th
International Conference Rural Research and Planning Group 2018 in
Bali, which will be conducted on July 5-7, 2018 at Mahasaraswati Denpasar University,
dengan makalah berjudul, “DEVELOPMENT STRATEGY OF ORGANIC RICE
AGRICULTURE IN BONDOWOSO REGENCY EAST JAVA PROVINCE”.
4. 5th
International Conference on Applied Sciences, Arts and Social, and
Community Development in the ASEAN 2018 at University of the Philippines
Diliman, Quezon City 1101, Metro Manila, dengan makalah berjudul, “
FARMERS’ UNDERSTANDING OF ORGANIC AGRICULTURE
PRACTICES”
41
5.3.2. Produk Beras Organik
42
5.3.3. Pendaftaran Merk Dagang
43
5.3.4. Teknologi Tepat Guna
44
5.3.5. Hak Cipta
Hak Cipta Buku Manual Budidaya Padi Organik Berbasis Teknologi SOF
(Sustainable Organik Farming) oleh Prof. Dr. Indah Prihartini, M.P
45
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Penelitian Tahun Kedua bertujuan menyusun model kelembagaan agribisnis
klaster padi organik di Kabupaten Bondowoso. Analisis kelembagaan dalam bidang
pertanian ditujukan untuk memperoleh deskripsi mengenai suatu fenomena sosial
ekonomi pertanian, yang berkaitan dengan hubungan antara dua atau lebih pelaku
interaksi sosial ekonomi, mencakup dinamika aturan-aturan yang berlaku dan
disepakati bersama oleh para pelaku interaksi, disertai dengan analisis mengenai
hasil akhir yang diperoleh dari interaksi yang terjadi. Rancang bangun model
kelembagaan agribisnis padi organik yang bisa diterapkan dalam pengembangan
agribisnis padi organik dilakukan dengan metode Focus Group Discussion (FGD), yang
melibatkan semua stakeholder dalam agri bisnis padi organik di Kabupaten Bondowoso.
46
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Klaster Padi Organik Al Barokah di Desa Lombok Kulon Kec. Wonosari
Kabupaten Bondowoso telah didukung oleh 17 indikator keberhasilan klaster, yaitu (1)
Modal Sosial, (2) Kemitraan dan Jaringan, (3) Kepemimpinan dan Visi Bersama, (4)
Budaya Kewirausahaan, (5) Persaingan, (6) Spesialisasi, (7) Kompetensi dan Keahlian
yang kuat, (8) Basis Inovasi yang Kuat, (9) Akses Pasar, (10) Akses Informasi Pasar,
(11) Akses Jasa Spesialis, (12) Kedekatan dengan Pemasok, (13) Akses pada jasa
pendukung bisnis, (14) Akses pada sumber keuangan, (15) Terdapat perusahaan besar,
(16) Infrastruktur yang memadai, dan (17) Dukungan kebijakan.
7.2. Saran
Dalam rangka meningkatkan kapasitas Klaster Padi Organik Al Barokah di Desa
Lombok Kulon Kec. Wonosari Kabupaten Bondowoso masih diperlukan dukungan
kebijakan pemerintah dan stakehorder terkait.
47
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia. 2006. Kajian Pembiayaan dalam Rangka Pengembangan Klaster.
Jakarta: Biro Kredit Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2014. Kajian Identifikasi Indikator Sukses Klaster. Jakarta:
Departemen Pengembangan UMKM Bank Indonesia.
Colborn. T. 2006. A Case for Revisiting the Safety of Pesticides: A Closer Look at
Neurodevelopment. Environment Health Perspect. Vol 114 No 1 Hal. 10–17.
FAO. 1999. Organic Agriculture. Rome: Agriculture and Consumer Protection
Department. http://www.fao.org/docrep/meeting/X0075e.htm (31 April 2016)
industri.bisnis.com. 2015. Kementan: Pertanian Organik Berkembang Pesat.
http://industri.bisnis.com/read/20150130/99/397019/kementan-pertanian-
organik-berkembang-pesat (31 Desember 2015).
Kemenko Kesra. 2012. Pedoman Umum Penyaluran Raskin, Subsidi Beras untuk
Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat RI.
Kementan. 2013. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64/Permentan/OT.140/5/2013
Tentang Sistem Pertanian Organik.
Kementan. 2015. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2015-2019. Jakarta:
Kementerian Pertanian RI.
Kusnandar, Dwiningtyas Padmaningrum, Wiwit Rahayu, dan Agung Wibowo. 2013.
Rancang Bangun Model Kelembagaan Agribisnis Padi Organik Dalam
Mendukung Ketahanan Pangan. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 14,
Nomor 1, Juni 2013, hlm. 92-101.
Mayrowani, H. 2012. Pengembangan Pertanian Organik di Indonesia (The Development
of Organic Agriculture In Indonesia). Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume
30 No. 2, Desember 2012 : 91 – 108.
Nurhidayati, Istirochah Pujiwati, Anis Solichah, Djuhari, dan Abd. Basit. 2008.
Pertanian Organik, Suatu Kajian Sistem Pertanian Terpadu dan Berkelanjutan.
Malang: Fakultas Pertanian Universitas Islam Malang.
Pakpahan, A. 1991. Perspektif Ekonomi Institusi dalam Pengelolaan Sumber Daya
Alam. Ekonomi dan Keuangan Indonesia: Vol. No.: 445-464.
Porter, Michael E. 1998. Clusters and The New Economics of Competition. Boston:
Harvard Business Review.
Pusdatin. 2013. Statistik Lahan Pertanian Tahun 2008-2012. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi Pertanian.
Saleh, R. Gozali dan Zaini. 2007. Analisis Kelembagaan Sistem Integrasi Padi Ternak.
http://www.bp2tp.litbang.deptan.go.id/file/wp04_01analisiskelembagaan.
(12 Mei 2014).
Soekartawi. 2002. Prinsip Ekonomi Pertanian: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
48
Sucihatiningsih, DWP. dan Waridin. 2010. Model Penguatan Kapasitas Kelembagaan
Penyuluh Pertanian dalam Meningkatkan Kinerja Usahatani Melalui Transaction
Cost: Studi Empiris di Provinsi Jawa Tengah., Jurnal Ekonomi Pembangunan,
Vol. 11, No 1 Juni 2010 Hal. 13-29. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Sutawi dan Indah Prihartini. 2015. Penelitian Dampak Pembentukan Klaster (Studi
Kasus di Klaster Padi Organik Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten
Bondowoso). Laporan Penelitian, Kerjasama UMM dengan Bank Indonesia
KPW Jember.
Tambunan, T. 2005. Promoting Small and Medium Enterprises with a Clustering
Approach: A Policy Experience from Indonesia. Journal of Small Business
Management 2005 43(2), pp. 138–154
Widiarta, A., Soeryo Adiwibowo, dan Widodo. 2011. Analisis Keberlanjutan Prakti
Pertanian Organik di Kalangan Petani. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi,
Komunikasi, dan Ekologi Manusia April 2011, hlm. 71-89
FARMERS’ UNDERSTANDING OF ORGANIC AGRICULTURE PRACTICES
Sutawia, Indah Prihartini
a, Daroe Iswatiningsih
b
aFaculty of Agriculture and Animal Science, Muhammadiyah University of Malang
bFaculty of Education and Teacher Training, Muhammadiyah University of Malang
Jl. Raya Tlogomas 246 Malang 65144, East Java, Indonesia,
Telp.: +62-813-3452-8390, email: sutawi@umm.ac.id
Abstract - Organic farming is a new
way to increase agricultural production,
food security, human and environment
health, and empower farmers. This study
aims to: (1) Analyze farmers' knowledge
of organic farming systems, and (2)
Analyze farmer's assessment of organic
farming practices. The research was
conducted by survey method on 70 farmer
members of Mandiri Farmers Group in
Lombok Kulon Village, the location of
organic rice farming pilot project in
Bondowoso Regency.
Farmers' knowledge of organic
farming systems shows: (1) 88.57% of
farmers know that agricultural land must
be converted from non-organic to organic
without contamination of synthetic
chemicals for 2-3 years; (2) 98.57% of
farmers know that organic farming uses
organic fertilizer; (3) 72.86% farmers
know that organic farming uses natural
variety seeds, not genetically modified
seeds; (4) 92.86% of farmers know that
pest and disease control using organic
pesticides; and (5) 87.14% of farmers
know that irrigated water and land for
organic farming should be separated from
conventional farming.
Farmers' assessment of the
complexity of organic farming practices
shows: (1) Agricultural land should be
converted from non-organic soil to organic
without polluted synthetic chemicals for 2-
3 years is considered long time by 44.29%
and very long by 24.29% farmers; (2) The
use of organic fertilizer is considered easy
by 50% of farmers; (3) As many as 50% of
farmers stated that the price of organic
seeds is not different from the seeds used
by conventional farmers; (4) Control of
plant pests and diseases by using organic
pesticides is considered more difficult than
the control of plant pests and diseases by
using synthetic chemical pesticides by
47.14% of farmers; and (5) A total of
55.71% of farmers find it difficult and
very difficult to separate land and
irrigation sources from conventional
farming.
The results conclude that although
most farmers already have knowledge of
organic farming systems, there is still
difficulty in organic farming practices.
This is one of the strong reasons why
organic farming practices are not widely
adopted by farmers.
Key words: organic farming system,
organic farming knowledge, organic
farming practices.
I. INTRODUCTION
Food production in Indonesia over
the last four decades is the result of
intensification of food crop cultivation that
relies on green revolution technology,
where crop cultivation is laden with
chemical fertilizers and pesticides. The
application of green revolution technology
to the cultivation of food crops is indeed
able to boost, even multiply the production
of food crops. On the other hand, green
technology is suspected to have side
effects on human health, environmental
sustainability, and sustainability of
agricultural systems. Pollution of chemical
fertilizers, pesticides, medicines, and other
factory-made materials due to excessive
use, have an impact on the deterioration of
environmental quality and human health.
Understanding of the dangers of artificial
chemicals in the long term began to
realize, so some farmers re-cultivate
naturally called organic farming.
Organic farming is defined as a
holistic and integrated agricultural
production system, by optimizing the
health and productivity of agro-ecosystems
naturally, resulting in sufficient, quality,
and sustainable food and fiber [1].
According to the CODEX Alimentarius
Commission [2], organic farming is the
whole production management system that
encourages and develops agro-ecosystem
health, including biodiversity, biological
cycles and soil biological activities. SNI
6729:2016 on Organic Farming System
states that Organic Farming System is a
holistic production management system to
improve and develop agro-ecosystem
health, including biodiversity, biological
cycle, and soil biological activity [3].
The practice of organic farming
according to Sutanto [4] is highly
dependent on local knowledge of farmers
and local agricultural conditions. In
general, the most easily measured organic
farming practices among farmers include
five indicators: (1) conversion of land
from inorganic to organic, (2) use of
organic fertilizer, (3) use of local natural
varieties, (4) pest and disease control
plants using organic pesticides, and (5)
separation of land and irrigation water
sources of organic farming from
conventional farming. The practice of
organic agriculture, is a minimum
requirement that must be fulfilled by
farmers if they want to be recognized as
organic farmers. This is due to organic
farming, not only seen from the use of
organic fertilizer alone, but many aspects
are assessed, including the attitude of
farmers themselves against nature. In
addition, an organic farm will be
completely free of synthetic chemical
residues and able to produce stable or
optimal if it has undergone a period of
conversion from non organic soil to
organic without contamination of synthetic
chemicals for at least one year or more.
II. METHODS
This study aims to: (1) Analyze
farmers' knowledge about organic farming
systems, and (2) Analyze farmer's
assessment of organic farming practices.
The research was conducted by survey
method on 70 farmer members of Mandiri
Farmer Group in Lombok Kulon Village,
the location of the pilot project of organic
rice farming in Bondowoso Regency.
Farmers were asked to answer
questionnaires about the knowledge and
experience of organic farming practices on
five indicators based on SNI 6729: 2016,
namely: (1) conversion of land from
inorganic to organic, (2) use of organic
fertilizer, (3) use of natural varieties (local)
(4) control of pests and diseases of plants
using organic pesticides, and (5)
separation of irrigated agricultural land
and irrigation resources from conventional
farming.
III. RESULT
3.1. Farmer's Understanding of Organic
Farming System
Most of the farmers members of the
organic agricultural area program already
understand about organic farming SNI
6729: 2016. As presented in Table 1 where
more than 70% of farmers know the
procedures and requirements of organic
farming ie agricultural land must be
converted from non-organic to organic
without contaminated by synthetic
chemicals for 2-3 years, using organic
fertilizers, using seeds / seed varieties
natural, not genetically engineered /
modified, pest and disease control using
organic and land pesticides and irrigation
water sources for organic farming should
be separated from conventional farming.
Even more than 90% of farmers have
understood that pest control uses organic
pesticides or is free of chemical drugs.
Farmers have realized that using chemical
pesticides not only poison the soil, cattle
and human plants. The average farmer has
removed chemical pesticides and replaced
them with organic pesticides.
Understanding of farmers is also high
where the awareness to use organic
fertilizer is more than 90% and understand
the good use of organic fertilizers not only
fertilize the plant but the main thing is the
improvement of soil fertility.
Table 1. Farmers' Knowledge of 5 Main Indicators of Organic Farming
Main Indicators Answer Amount Percent
1
Farmland must be converted from
non-organic to organic without
contaminated by synthetic
chemicals for 2-3 years
a. Know
b. Do not know
62
8
89
11
2 Using organic fertilizer a. Know
b. Do not know
69
1
99
1
3
Using the seeds of natural
varieties, not the result of genetic
engineering / modification.
a. Know
b. Do not know
51
19
73
27
4 Control of pests and diseases
using organic pesticides
a. Know
b. Do not know
65
5
93
7
5
Land and irrigation water sources
for organic farming should be
separated from conventional
farming
a. Know
b. Do not know
61
9
87
13
The use of organic fertilizer will
increase soil organic matter and will
further increase soil microbial populations
that play an important role in the
biodegradation of chemical residues and
organic compound of land and soil
microbial activity will improve the balance
of the land ecosystem and improve the
physical and chemical balance of the land.
Prior to the implementation of the organic
farming program, the soil organic matter in
Bondowoso Regency is very low, on
average only 2% but after the program
runs on the demo plot locations (Lombok
Kulon, Sulek and Wringin) the content of
organic materials, especially in the area
and the affected areas organic matter
showed a significant increase with
indicated on soil fertility and organic
farming. Farmers in the affected plot area
recognize and understand that adding
organic fertilizer to the soil will improve
soil fertility and further improve
agricultural production. Land after
incorporating organic fertilizer an average
of 10 tons per ha will increase soil organic
matter, neutralize pH, increase soil
ecosystem activity and reduce chemical
residues and heavy metal poisoning due to
the use of pesticide [5].
3.2. Farmers' Assessment of Organic
Farming Practices
Farmers' assessment of the
complexity of organic farming practices is
also important because it can be one of the
reasons why organic farming practices are
not widely adopted by farmers in a region.
Nevertheless, there are still other possible
reasons why organic farming practices
have not developed among farmers, such
as the socio-economic characteristics of
farmers, such as education level, farmer
status, and livestock ownership. The
assessment of Bondowoso Regency
farmers on organic farming practices is
presented in Table 2.
Table 2. Farmers' Assessment of Organic Farming Practices
Main Indicators Answer Amount Percent
1 Organic farming practices
1. Very easy
2. Easy
3. Ordinary course
4. Difficult
5. Very difficult
1
20
29
18
2
1
29
41
26
3
2
Farmland must be converted
from non-organic to organic
without contaminated by
synthetic chemicals for 2-3
years
1. Very easy
2. Easy
3. Ordinary course
4. Difficult
5. Very difficult
0
4
18
31
17
0
6
26
44
24
3
The process of obtaining and
transporting organic fertilizer
to the fields / gardens / rice
fields regularly every season
1. Very easy
2. Easy
3. Ordinary course
4. Difficult
5. Very difficult
3
35
19
11
2
4
50
27
16
3
4
The price of purchasing seeds
of natural varieties, not the
result of engineering /
modification of genetics.
1. Very easy
2. Easy
3. Ordinary course
4. Difficult
5. Very difficult
2
15
35
14
4
3
21
50
20
6
5 Control of pests and diseases
using organic pesticides
1. Very easy
2. Easy
3. Ordinary course
4. Difficult
5. Very difficult
1
14
17
33
5
1
20
24
47
7
6
Land and irrigation water
sources for organic farming
should be separated from
conventional farming
1. Very easy
2. Easy
3. Ordinary course
4. Difficult
5. Very difficult
0
25
6
25
14
0
36
9
36
20
Agricultural land must be converted
from non-organic soil to organic without
polluted synthetic chemicals for 2-3 years
is considered to require a long time by 31
(44%) farmers and very long by 17 (24%)
farmers. In this case, organic farming is
considered to be more difficult to do than
land-use practices on conventional
farming. So, farmers must be patient to
wait until farmland and the harvest can be
called organic.
The use of organic fertilizer is
considered easy by 35 (50%) organic
farmers because they are already
accustomed to making their own organic
fertilizer and the availability of organic
fertilizer is also very abundant in the
environment around them. Organic
fertilizers commonly used in organic
farming are: manure, liquid fertilizer,
compost fertilizer and green manure. The
most important thing for organic farmers is
tenacious and patient because organic
fertilizers are different from synthetic
chemical fertilizers that are ready to use.
Organic farmers consider that the practice
of using organic fertilizers is no more
difficult than the practice of using
synthetic chemical fertilizers, although the
use of organic fertilizers in quantity more
than synthetic fertilizers.
The use of native (local) varieties of
seeds is considered normal or there is no
difference in the level of complexity when
compared to the practice of using hybrid
varieties of seeds on conventional farming.
A total of 35 (50%) of farmers declared
the price of organic seeds the price is
normal (not different) with the seeds
commonly used by conventional farmers.
This is because the price of local seeds
used almost the same as hybrid seeds.
Even if the price is different, the price
difference between the seeds of local
varieties and hybrids is not large. In
addition, technically the seedling of local
varieties is the same as hybrid varieties.
Control of plant pests and diseases
using organic pesticides is considered
more difficult than controlling plant pests
and diseases by using synthetic chemical
pesticides by 33 (47%) farmers. According
to farmers, the use of organic pesticides
should be more often done, both for
prevention and eradication of pests and
diseases, especially if there is a pest attack.
Organic pesticides are considered less
effective farmers than manufactured
chemical pesticides. Synthetic chemical
pesticides are ready for use, more
practical, and the amount of use is not
much in a season. In addition, how to
make organic pesticides was considered
quite complicated, although the raw
material is available in the environment.
Irrigation land and irrigation sources
for organic farming should be separated
from conventional farming is considered
more difficult than land and irrigation
water sources for conventional farming
that should not be separated with other
farming systems. A total of 39 (56%) of
farmers found it difficult and very difficult
to separate land and irrigation sources
from conventional farming. Farmers claim
to have difficulty avoiding pollution of
synthetic chemicals from the land and
irrigation water sources around them, due
to too much agricultural land and irrigation
water sources for conventional farming.
Thus, organic farming requires very
careful treatment and must be isolated
from contamination of synthetic
chemicals.
In general, 29 (41%) of farmers and
20 (29%) of farmers stated that organic
farming practices are common and easy to
implement, while 18 (26%) of farmers
stated difficult. The results of the research
content in accordance with the findings
Widiarta et al. [6] that there is a significant
difference between the level of complexity
of organic and conventional farming
practices according to farmers'
perceptions. Three indicators that are still
difficult for farmers are land conversion,
organic fertilizer and pesticide use, and
irrigation sources.
IV. CONCLUSION
The results conclude that although
most farmers already have knowledge of
organic farming systems, there is still
difficulty in organic farming practices.
This is one of the strong reasons why
organic farming practices are not widely
adopted by farmers.
V. ACKNOWLEDGEMENTS
The research was funded by the
Ministry of Research,Technology, and
Higher Education at the Institutions
National Strategic Research Scheme in
Fiscal Year 2018.
VI. REFERENCES
[1] Nurhidayati, Istirochah Pujiwati, Anis
Solichah, Djuhari, and Abd. Basit.
2008. Organic Farming, An Integrated
and Sustainable Agricultural Systems
Study. Malang: Faculty of Agriculture
Islamic University of Malang.
[2] FAO. 1999. Organic Agriculture.
Rome: Agriculture and Consumer
Protection Department.
http://www.fao.org/docrep/meeting/X
0075e.htm (cited 31 April 2018).
[3] National Standardization Bureau.
2016. SNI 6729: 2016 on the Organic
Farming System
[4] Sutanto, R. 2002. Application of
Organic Agriculture Penitentiary and
Development. Kanisius. Jakarta.
[5] Indah Prihartini and Sutawi. 2015.
Research on the Impact of Cluster
Formation (Case Study in Organic
Rice Cluster of Banyuwangi Regency
and Bondowoso Regency). Research
Report, Cooperation between UMM
and Bank Indonesia KPW Jember.
[6] Widiarta, A., Soeryo Adiwibowo, and
Widodo. 2011. Sustainability Analysis
of Organic Farm Practices among
Farmers. Sodality: Transdisciplinary
Journal of Sociology, Communication,
and Human Ecology April 2011, p.
71-89
Development Strategy of Organic Rice Agriculture
in Bondowoso Regency East Java Province
Sutawia, Indah Prihartini
a, Daroe Iswatiningsih
b *
aFaculty of Agriculture and Animal Science, Muhammadiyah University of Malang
bFaculty of Education and Teacher Training, Muhammadiyah University of Malang
Jl. Raya Tlogomas 246 Malang 65144, East Java, Indonesia
Abstract
The use of chemical fertilizers and pesticides in rice cultivation is considered
to be detrimental to food security, human health and the environment, so organic
farming methods need to be applied. This study aims to (1) identify internal (strengths
and weaknesses) and external (opportunities and threats) factors of organic rice
agriculture in Bondowoso Regency; and (2) formulate the development strategy of
organic rice farming using SWOT analysis.
Internal factor assessment shows that the greatest weakness of organic rice
farming in Bondowoso Regency is the availability of chemical fertilizers and
pesticides is easier to find and more practical to use, while its strength on price of
organic paddy and rice is more expensive than inorganic products. The assessment of
external factors shows that the greatest opportunity of organic farming in Bondowoso
Regency is the demand for organic rice continues to increase, while its greatest threat
to conversion of agricultural land causes less organic rice farming cultivation.
The development strategy of organic rice farming in Bondowoso Regency is
WO strategy, which is a strategy formulation that minimizes weakness to exploit
opportunities. Policies and programs that can be carried out include (1) training of
farmers on manufacture organic fertilizers and pesticides to increase farmers' skills in
utilizing agricultural and livestock waste, and other vegetable resources to produce
organic fertilizers and pesticides; (2) provision of organic fertilizer and pesticides
production equipment; (3) certification of organic agricultural products to convince
consumers; and (4) promotion and expansion of the market of organic products.
Key words: development strategy; organic rice; SWOT
* Sutawi; Telp.: +62-813-3452-8390; email address: sutawi@umm.ac.id
Sub-Theme:
1. Smart Village Sustainable Development
1. Introduction
Penggunaan pupuk dan pestisida kimia dalam budidaya padi disadari telah
merugikan terhadap keamanan pangan, kesehatan manusia dan lingkungan, sehingga
perlu diterapkan cara pertanian organik. Strategi yang dinilai efektif untuk
mengembangkan pertanian padi organik adalah melalui pendekatan wilayah berbasis
klaster. Dalam pengembangan ekonomi, klaster industri (industrial clusters)
merupakan cara pandang yang komprehensif dalam meningkatkan daya saing sektor
tertentu dalam suatu wilayah geografis dengan melibatkan seluruh entitas yang saling
tergantung (interdependence) dalam rantai nilai seperti pelaku usaha (hulu dan hilir),
industri pendukung, lembaga pendukung, serta industri terkait.
Klaster didefinisikan sebagai “konsentrasi geografis perusahaan yang saling
berhubungan, pemasok, penyedia jasa, perusahaan-perusahaan di industri terkait, dan
lembaga-lembaga terkait (misalnya universitas, lembaga standar, dan asosiasi
perdagangan) di bidang-bidang tertentu yang bersaing tetapi juga bekerja sama
(Porter, 1998). Menurut BI (2006), suatu klaster dapat terdiri pemasok bahan baku
dari hulu hingga hilir berupa pemasaran ke pasar-pasar potensial, juga termasuk
lembaga pemerintah, asosiasi bisnis, penyedia jasa pelatihan/penelitian dan lembaga-
lembaga lain yang menciptakan value chain (rantai nilai) dari bidang/usaha khusus
yang di suatu klaster. Penelitian Kusnandar dkk. (2013) tentang kelembagaan padi
organik menyimpulkan bahwa pengembangan agribisnis padi organik memerlukan
kelembagaan yang lengkap dan terpadu dalam suatu klaster (gugusan) industri
(industrial cluster) yang terdiri dari lima subsistem, yaitu: subsistem agribisnis hulu
(pengadaan saprodi), subsistem usahatani, subsistem hilir (pengolahan), subsistem
pemasaran, dan subsistem penunjang.
Penelitian ini bertujuan (1) mengidentifikasi faktor-faktor internal (kekuatan
dan kelemahan) dan eksernal (peluang dan ancaman) pertanian padi organik; dan (2)
merumuskan strategi pengembangan pertanian padi organik.
2. Material and Methods
Penelitian dilakukan dengan metode survei di Desa Lombok Kulon, lokasi pilot
proyek pertanian padi organik di Kabupaten Bondowoso. Perumusan strategi
pengembangan dilakukan dengan analisis SWOT (Rangkuti, 2005). Tahap pertama
analisis SWOT adalah mengidentifikasi faktor-faktor internal (kekuatan dan
kelemahan) dan faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman). Identifikasi analisis
SWOT secara kuantitatif dilakukan dengan penilaian (scoring) dan pembobotan
(weighting) pada masing-masing faktor internal (Internal Factors Analysis Summary,
IFAS) dan eksternal (External Factors Analysis Summary, EFAS). Skoring pada IFAS
dan EFAS menggunakan skala Likert, yaitu: 5 (Sangat Setuju), 4 (Setuju), 3 (Cukup
Setuju), 2 (Tidak Setuju), dan 1 (Sangat Tidak Setuju). Penilaian dilakukan oleh para
pemangku kepentingan (stakeholder) yang berkaitan dengan pengembangan
pertanian organik di Kabupaten Bondowoso, terutama petani, pengurus poktan dan
gapoktan, serta aparat Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bondowoso. Hasil
perhitungan nilai dan bobot IFAS dan EFAS selanjutnya dimasukkan ke dalam
diagram (kuadran) SWOT, di mana selisih antara kekuatan dengan kelemahan
sebagai ordinat di sumbu X, sedangkan selisih antara peluang dengan ancaman
sebagai ordinat di sumbu Y.
3. Results and Discussion
3.1. Identifikasi Faktor-faktor Internal dan Eksternal
Hasil analisis faktor-faktor internal (Internal Factors Analysis Summary, IFAS)
dan faktor-faktor eksternal (External Factors Analysis Summary, EFAS) pertanian
organik Kabupaten Bondowoso disajikan pada Tabel 1. Pada IFAS, kekuatan
merupakan faktor internal positif yang akan digunakan, sedangkan kelemahan
merupakan faktor internal negatif yang akan diperbaiki. Pada EFAS, peluang
merupakan faktor eksternal positif yang dapat dimanfaatkan, sedangkan faktor
ancaman merupakan faktor eksternal negatif yang perlu dihindari.
Tabel 1. Faktor-faktor Internal (IFAS) dan Eksternal (EFAS) Pertanian Organik
Kabupaten Bondowoso
Faktor Internal (IFAS)
Kekuatan (Strenght) Kelemahan (Weakness)
1. Petani telah berpengalaman dalam
berusahatani organik (penyiapan lahan,
pengairan, penanaman, pemberantasan
hama dan penyakit, pemanenan)
2. Petani/Poktan telah menguasai
teknologi pertanian organik (pembuatan
benih, POP, POC, dan Pesnab)
3. Kondisi lahan pertanian dan pengairan
cocok untuk budidaya pertanian organik
4. Bahan baku untuk pembuatan POP, POC,
dan pesnab cukup tersedia
5. Sarana produksi pertanian organik
(benih, POP, POC, Pesnab) tersedia di
toko pertanian atau Poktan
6. Harga produk pertanian organik
umumnya lebih mahal daripada produk
pertanian anorganik
1. Ketersediaan sarana produksi anorganik
(pupuk dan pestisida kimia) yang lebih
mudah dan praktis
2. Produktivitas pertanian organik lebih
rendah daripada pertanian anorganik
3. Tingkat serangan hama dan penyakit
yang tinggi
4. Produk organik belum tersertifikasi
5. Harga produk organik disamakan dengan
produk anorganik karena belum berlabel
organik.
6. Dukungan sarana pengolahan dan
pemasaran masih kurang
7. Petani tidak melakukan pencatatan
produksi dan pemasaran
Faktor Eksternal (EFAS)
Peluang (Opportunity) Ancaman (Treath)
1. Ada dukungan dari Kabupaten
Bondowoso berupa Program Botanik
2. Ada pembinaan intensif dari Dinas
Pertanian tentang budidaya pertanian
organik
3. Terdapat banyak wisatawan berkunjung
atau melintas ke Kabupaten Bondowoso,
termasuk ke kawasan agrowisata,
sehingga terbuka peluang pasar bagi
produk pertanian organik.
4. Perubahan gaya hidup dan kesadaran
masyarakat untuk mengonsumsi produk
pertanian organik yang lebih sehat
daripada produk pertanian anorganik
5. Permintaan produk pertanian organik
terus meningkat
1. Konversi lahan pertanian menyebabkan
lahan budidaya pertanian organik
semakin berkurang
2. Persaingan dengan produk pertanian
organik dari daerah lain
3. Ada isu bahwa kebanyakan produk
pertanian organik yang beredar di
pasaran tidak 100% organik
4. Kondisi pasar yang belum siap menerima
produk organik (produk organik
dianggap sama dengan anorganik)
Penilaian faktor internal (kekuatan dan kelemahan)
Penilaian faktor internal (kekuatan dan kelemahan) menunjukkan bahwa
kelemahan lebih besar daripada kekuatan dengan selisih -0,52. Kelemahan terbesar
pertanian organik di Kabupaten Bondowoso adalah ketersediaan sarana produksi
anorganik (pupuk dan pestisida kimia) yang lebih mudah dan praktis, sedangkan
kekuatannya pada faktor harga produk pertanian organik umumnya lebih mahal
daripada produk pertanian anorganik. Ketersediaan sarana produksi kimia yang lebih
mudah dan praktis, tidak mendorong petani untuk bertani organik yang memerlukan
tenaga kerja yang lebih banyak untuk menyiapkan dan menggunakan sarana
produksi organik, seperti pupuk organik dan pestisida nabati. Harga jual produk
pertanian organik yang lebih mahal daripada produk anorganik merupakan faktor
penarik bagi petani untuk bertani organik.
Tabel 2. Penilaian dan Pembobotan Faktor Internal
Kekuatan (Pendukung Internal) Bobot Skor Nilai
1
Petani telah berpengalaman dalam
berusahatani organik (penyiapan lahan,
pengairan, penanaman, pemberantasan hama
dan penyakit, pemanenan)
0,08 3,41 0,27
2
Petani/Poktan telah menguasai teknologi
pertanian organik (pembuatan benih, POP,
POC, dan Pesnab)
0,08 3,27 0,26
3 Kondisi lahan pertanian dan pengairan cocok
untuk budidaya pertanian organik 0,03 3,33 0,10
4 Bahan baku untuk pembuatan POP, POC, dan
pesnab cukup tersedia 0,04 3,07 0,12
5
Sarana produksi pertanian organik (benih,
POP, POC, Pesnab) tersedia di toko pertanian
atau Poktan
0,03 2,91 0,09
6
Harga produk pertanian organik umumnya
lebih mahal daripada produk pertanian
anorganik
0,13 3,76 0,49
Jumlah Nilai Kekuatan 1,33
Kelemahan (Penghambat Internal) Bobot Skor Nilai
1
Ketersediaan sarana produksi anorganik
(pupuk dan pestisida kimia) yang lebih mudah
dan praktis
0,15 3,99 0,60
2 Produktivitas pertanian organik lebih rendah
daripada pertanian anorganik 0,09 3,54 0,32
3 Tingkat serangan hama dan penyakit yang
tinggi 0,08 3,70 0,30
4 Produk organik belum tersertifikasi 0,13 3,86 0,50
5
Harga produk organik disamakan dengan
produk anorganik karena belum berlabel
organik.
0,13 3,64 0,47
6 Dukungan sarana pengolahan dan pemasaran
masih kurang 0,04 3,94 0,16
7 Petani tidak melakukan pencatatan produksi
dan pemasaran 0,01 3,49 0,04
Jumlah Nilai Kelemahan 1,85
Selisih Nilai Faktor Internal (Kekuatan-Kelemahan) -0,52
Penilaian faktor eksternal (peluang dan ancaman)
Penilaian faktor eksternal (peluang dan ancaman) menunjukkan bahwa peluang lebih
besar daripada ancaman dengan selisih +0,46. Peluang terbesar pertanian organik di
Kabupaten Bondowoso adalah permintaan produk pertanian organik terus
meningkat, sedangkan ancaman terbesarnya pada konversi lahan pertanian
menyebabkan lahan budidaya pertanian organik semakin berkurang. Permintaan
produk pertanian organik semakin meningkat seiring dengan kesadaran gizi
masyarakat dalam mengonsumsi pangan yang bebas residu kimia, sementara lahan
pertanian cenderung berkurang karena beralih fungsi menjadi perkantoran, tempat
wisata, perhotelan dan perumahan.
Tabel 3. Penilaian dan Pembobotan Faktor Eksternal
Peluang (Pendukung Eksternal) Bobot Skor Nilai
1 Ada dukungan dari Kabupaten Bondowoso
berupa Program Botanik 0,11 4,11 0,45
2 Ada pembinaan intensif dari Dinas Pertanian
tentang budidaya pertanian organik 0,11 3,97 0,44
3
Terdapat banyak wisatawan berkunjung ke
Kabupaten Bondowoso, termasuk ke kawasan
agrowisata, sehingga terbuka peluang pasar bagi
produk pertanian organik.
0,11 3,63 0,40
4
Perubahan gaya hidup dan kesadaran masyarakat
untuk mengonsumsi produk pertanian organik
yang lebih sehat daripada produk pertanian
anorganik
0,04 3,84 0,15
5 Permintaan produk pertanian organik terus
meningkat 0,17 3,79 0,64
Jumlah Nilai Peluang 2,08
Ancaman (Penghambat Eksternal) Bobot Skor Nilai
1 Konversi lahan pertanian menyebabkan lahan
budidaya pertanian organik semakin berkurang 0,22 3,51 0,77
2 Persaingan dengan produk pertanian organik dari
daerah lain 0,03 3,07 0,09
3
Ada isu bahwa kebanyakan produk pertanian
organik yang beredar di pasaran tidak 100%
organik
0,06 3,53 0,21
4
Kondisi pasar yang belum siap menerima produk
organik (produk organik dianggap sama dengan
anorganik)
0,14 3,96 0,55
Jumlah Nilai Ancaman 1,62
Selisih Nilai Faktor Eksternal (Peluang-Ancaman) +0,46
Strategi Pengembangan
Berdasarkan perbandingan faktor internal dan eksternal, maka strategi
pengembangan pertanian organik di Kabupaten Bondowoso adalah strategi WO,
yaitu rumusan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan
peluang. Kebijakan dan program yang dapat dilakukan antara lain (1) Pelatihan bagi
petani tentang pembuatan pupuk dan pestisida organik untuk meningkat
ketrampilan petani dalam memanfaatkan limbah peternakan dan pertanian, serta
sumberdaya nabati lain untuk memproduksi pupuk dan pestisida organik; (2)
Pemberian bantuan peralatan produksi pupuk dan pestisida organik; (3) Sertifikasi
produk pertanian organik untuk meyakinkan konsumen; dan (4) Promosi dan
perluasan pasar produk organik. Dengan strategi tersebut diharapkan pertanian organik dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani padi organik di Bondowoso. Harapan ini sejalan dengan penelitian Widiarta et al. (2011) bahwa praktik pertanian organik terbukti berpengaruh positif terhadap keberlanjutan ekonomi petani Conclusion
Kelemahan terbesar pertanian organik di Kabupaten Bondowoso adalah
ketersediaan sarana produksi anorganik (pupuk dan pestisida kimia) yang lebih
mudah dan praktis, sedangkan kekuatannya pada faktor harga produk pertanian
organik umumnya lebih mahal daripada produk pertanian anorganik.
Peluang terbesar pertanian organik di Kabupaten Bondowoso adalah permintaan
produk pertanian organik terus meningkat, sedangkan ancaman terbesarnya pada
konversi lahan pertanian menyebabkan lahan budidaya pertanian organik semakin
berkurang.
Strategi pengembangan pertanian organik di Kabupaten Bondowoso adalah strategi
WO (strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang), yaitu
(1) meningkatkan ketrampilan petani, (2) pemberian bantuan peralatan produksi, (3)
sertifikasi produk, dan (4) perluasan pasar.
Acknowledgement