Post on 12-Mar-2019
PENGARUH KONSENTRASI NATRIUM BENZOAT
TERHADAP PERUBAHAN MUTU PIKEL JAHE
(Zingiber officinale) SELAMA PENYIMPANAN
Oleh :
NUR RAHASTI
F34102024
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PENGARUH KONSENTRASI NATRIUM BENZOAT
TERHADAP PERUBAHAN MUTU PIKEL JAHE
(Zingiber officinale) SELAMA PENYIMPANAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
NUR RAHASTI
F34102024
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH KONSENTRASI NATRIUM BENZOAT
TERHADAP PERUBAHAN MUTU PIKEL JAHE
(Zingiber officinale) SELAMA PENYIMPANAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
NUR RAHASTI
F34102024
Dilahirkan pada tanggal 26 Oktober 1983
Di Cimahi
Tanggal Lulus:
Menyetujui,
Bogor, Januari 2008
Ir. Sugiarto, MSi. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MS.
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
“Dia-lah yang telah menurunkan air hujan dari
langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman
dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-
tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu
menggembalakan ternakmu.
Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu
tanam-tanaman ; zaitun, kurma, anggur dan segala
macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang memikirkan”.
(Q. S. An-Nahl : 10-11)
Kupersembahkan karya kecil ini untuk :
Mamah dan Bapa yang tercinta
Nur Rahasti. F34102024. Effect of Sodium Benzoate Concentration on Quality Characteristics of Ginger (Zingiber officinale) Pickle during Storage. Supervised by Ir. Sugiarto, M.Si. and Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MS. 2008.
SUMMARY
Ginger (Zingiber officinale) is one of potentially spice’s export commodities in Indonesia. It is commonly used as a main component neither in traditional medicine nor food and pharmacy industries. Ginger is perishable agricultural product which easily deteriorated by various factors, from chemical, physical to microbiological factors. This research used fresh ginger, fermented in 25% of salt brine contained sodium benzoate as preservative, packed in HDPE plastic and kept on temperature controlled incubator for 10 weeks.
The main purpose of this research is to increase the self life of fresh ginger by investigating the effects of sodium benzoate concentration on the quality characteristics of ginger pickle. The concentration level of sodium benzoate used in this research is 0 ppm, 100 ppm, and 200 ppm, while temperature level of storage is 30oC, 35oC, and 40oC. The changes of its quality was monitored weekly as followed ginger texture, lightness of ginger, pH and clarity of brine solution, and total microbial count of used brine solution.
The results showed that the ginger texture was not influenced by the availability of preservative and storage condition. Initially, the texture of ginger roots hardened and then became softened after two weeks of storage. The lightness of ginger roots were decreased during storage especially in higher storage temperature (40oC), but the addition of 200 ppm of sodium benzoate significantly increased the lightness. The rate of ginger roots lightness decreased 1.032, 0.524, and 0.377 of lightness units per weeks for 0, 100, and 200 ppm of sodium benzoate, respectively.
The clarity of salt brine solution was decreased during storage, and influenced by the sodium benzoate concentration, temperature and time of storage. The rate of salt brine clarity decreased as 0.036, 0.027 and 0.100 OD units per weeks for 0, 100, and 200 ppm of sodium benzoate, respectively.
The pH of brine solution after storage ranged between pH 3.58-5.49, and influenced by the addition of sodium benzoate concentration. Higher pH of brine solution liberated from 200 ppm of sodium benzoate and 40oC with decresing rate 0.006 pH unit per week, while for 0 and 100 ppm the decreasing of brine acidity rate were 0.136 and 0.068 pH units, respectively.
At initial fermentation, high concentration of brine inhibited the microbial growth for every treatment of pickles. During storage, pickle with 200 ppm of sodium benzoate has little amount of total microbes, comparing to less concentration, and while higher temperature of storage increasing the total microbes.
Nur Rahasti. F34102024. Pengaruh Konsentrasi Natrium Benzoat Terhadap Perubahan Mutu Pikel Jahe (Zingiber officinale) Selama Penyimpanan. Di bawah bimbingan Ir. Sugiarto, MSi dan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MS. 2008.
RINGKASAN
Jahe (Zingiber officinale) merupakan salah satu komoditas ekspor rempah-rempah yang potensial dikembangkan di Indonesia. Jahe banyak digunakan sebagai bahan baku obat tradisional maupun industri pangan dan farmasi. Jahe merupakan bahan pangan yang bersifat mudah rusak oleh berbagai faktor, baik kimiawi, fisik maupun mikrobiologis, yang akan menurunkan mutu dari produk pangan tersebut. Pikel yang dibuat pada penelitian ini adalah pengolahan awal jahe gajah segar yang diawetkan dalam larutan garam 25% dan natrium benzoat serta dikemas dalam plastik HDPE yang kemudian disimpan dalam inkubator selama 10 minggu.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan umur simpan jahe gajah segar dengan mengamati pengaruh-pengaruh konsentrasi natrium benzoat pada perubahan mutu pikel jahe. Tingkatan konsentrasi natrium benzoat yang dipakai pada pembuatan pikel jahe ini adalah 0 ppm, 100 ppm dan 200 ppm, sedangkan tingkatan suhu penyimpanan adalah 30oC, 35oC dan 40oC. Pikel jahe dianalisa setiap minggu untuk mengetahui perubahan mutu pikel jahe selama penyimpanan. Perubahan mutu pikel jahe ditentukan berdasarkan lima parameter, yaitu kekerasan jahe, warna jahe (kecerahan), kejernihan larutan pikel, pH larutan dan total mikroba.
Pada parameter kekerasan, penambahan bahan pengawet dan perbedaan suhu penyimpanan kurang mempengaruhi kekerasan pikel selama penyimpanan. Kekerasan pikel jahe mengalami kenaikan terlebih dahulu hingga minggu ke-2 dan kemudian mengalami penurunan atau pelunakan setelah lebih dari 2 minggu penyimpanan. Kecerahan jahe berkurang seiring dengan lamanya penyimpanan terutama pada suhu penyimpanan paling tinggi (40oC), namun pada pikel jahe dengan konsentrasi natrium benzoat 200 ppm memiliki kecerahan yang lebih tinggi. Kecerahan jahe mengalami penurunan sebesar 1.032, 0.524 dan 0.377 unit kecerahan per minggu pada konsentrasi natrium benzoat 0, 100 dan 200 ppm.
Kejernihan larutan pikel mengalami penurunan selama penyimpanan, dan penurunan tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi natrium benzoat, suhu penyimpanan dan lamanya penyimpanan. Laju penurunan kejernihan larutan pikel adalah sebanyak 0.036, 0.027 dan 0.1 unit OD per minggu berturut-turut pada pikel jahe dengan konsentrasi natrium benzoat 0 ppm, 100 ppm dan 200 ppm yang disimpan pada suhu 40oC. Pada parameter pH larutan pikel, nilai pH yang diperoleh selama penyimpanan bervariasi antara 3.58-5.49 yang dipengaruhi oleh konsentrasi natrium benzoat. pH larutan pikel jahe dengan konsentrasi natrium benzoat 200 ppm memiliki nilai pH yang lebih tinggi dan pada penyimpanan suhu 40oC memiliki laju penurunan pH yang paling kecil yaitu 0.006 unit pH per minggu, sedangkan pikel dengan konsentrasi natrium benzoat 0 ppm dan 100 ppm memiliki laju penurunan sebesar 0.136 dan 0.068 unit pH per minggu.
Pada proses fermentasi pikel, konsentrasi natrium benzoat dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Selama penyimpanan, pikel dengan penambahan natrium benzoat 200 ppm memiliki total mikroba yang lebih sedikit dari pikel dengan penambahan natrium benzoat 100 ppm dan 0 ppm, sedangkan suhu penyimpanan yang lebih tinggi dapat meningkatkan total mikroba.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir “PENGARUH
KONSENTRASI NATRIUM BENZOAT TERHADAP PERUBAHAN
MUTU PIKEL JAHE (Zingiber officinale) SELAMA PENYIMPANAN”
adalah benar karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
tugas ini.
Bogor, Januari 2008
Nur Rahasti
F34102024
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Cimahi pada tanggal 26 Oktober 1983.
Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Atang
Sumartang dan Tini Yutini. Pada tahun 1996, penulis
menamatkan pendidikan sekolah dasar di SDN 2 Cimahi.
Penulis kemudian menempuh pendidikan menengah di
SLTPN 1 Cimahi dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun 1999, penulis
melanjutkan pendidikan di SMUN 2 Cimahi dan tamat pada tahun 2002. Pada
tahun yang sama, penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI
(Undangan Seleksi Masuk IPB).
Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis
mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Voli. Penulis pernah menjadi
anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian divisi Minat
dan Bakat pada masa periode tahun 2004-2005. Pada tahun 2005 penulis
melaksanakan Praktek Lapangan pada bulan Juli-Agustus di PT. Gizindo Prima
Nusantara dan mengambil judul “Mempelajari Aspek Teknologi Proses Produksi
Makanan Lanjutan Bayi (Follow On Cereal) di PT. Gizindo Prima Nusantara,
Padalarang-Bandung ”. Pada tahun 2006, penulis melaksanakan penelitian di
Laboratorium Pengemasan Teknologi Industri Pertanian dengan judul “Pengaruh
Konsentrasi Natrium Benzoat Terhadap Perubahan Mutu Pikel Jahe (Zingiber
officinale) Selama Penyimpanan ”.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia,
rahmat dan hidayah-Nya yang selalu senantiasa dicurahkan kepada penulis,
sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari peran
serta berbagai pihak yang telah membantu. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Mamah (Tini Yutini), Bapa (Atang Sumartang) dan almarhum adik (Dik Dik
Fuji Nugraha) serta segenap keluarga yang sangat saya cintai yang selalu
memberikan doa, dukungan, semangat, motivasi dan kasih sayang kepada
penulis, semoga Allah SWT memuliakan mereka di dunia dan akhirat.
2. Ir. Sugiarto, MSi selaku dosen pembimbing pertama yang telah memberikan
arahan, bimbingan dan saran kepada penulis selama menjalani studi hingga
menyelesaikan skripsi di Departemen Teknologi Industri Pertanian.
3. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MS. selaku pembimbing kedua yang telah
memberikan arahan, bimbingan dan saran kepada penulis selama penelitian
dan penyusunan skripsi penulis.
4. Dr. Ika Amalia K., STP., MS selaku dosen penguji yang telah memberikan
kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan skripsi penulis.
5. Bu Ega, Bu Sri, Bu Rini, Pak Gun, Pak Dicki, Mbak Yuli, Pak Sugiardi, Pak
Edi, Mbak Dina serta seluruh laboran di Departemen Teknologi Industri
Pertanian atas bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian.
6. Annisa K, Deby, Herry , Anna, Fitri, Rian, Afni , Hera, Ervina, Kurnia, Maria
U, Anto, Fifi, dan Evi sebagai rekan seperjuangan di laboratorium Teknologi
Industri Pertanian atas bantuan dan kerjasamanya.
7. Yarvan Darvianto, suami tercinta atas dukungan, bantuan, pengertian dan
perhatian yang sangat berarti bagi penulis.
8. Euis, Afni, Ervina, Weni, Indri dan keluarga As-Shaff atas persahabatan,
semangat dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis.
9. Seluruh teman-teman TIN 39 atas kebersamaan dalam suka dan duka selama
menjalani masa-masa kuliah serta dukungannya selama ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang
memerlukannya.
Bogor, Januari 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................. iii
DAFTAR TABEL.................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR................................................................................ v
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................ vi
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG................................................................... 1
B. TUJUAN........................................................................................ 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BOTANI…..................................................................................... 3
B. KANDUNGAN KIMIA................................................................. 4
C. PIKEL JAHE.................................................................................. 8
D. KERUSAKAN PIKEL................................................................... 12
E. BAHAN PENGAWET................................................................... 13
F. BAHAN KEMASAN..................................................................... 15
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. ALAT DAN BAHAN.................................................................... 16
B. METODE PENELITIAN............................................................... 16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PIKEL JAHE.................................................................................. 21
B. PARAMETER MUTU................................................................... 24
1. Kekerasan jahe............................................................................ 24
2. Warna jahe.................................................................................. 28
3. Kejernihan larutan pikel.............................................................. 36
4. pH larutan.................................................................................... 40
5. Total mikroba.............................................................................. 44
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN.............................................................................. 49
B. SARAN.......................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 51
LAMPIRAN.............................................................................................. 54
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1. Komposisi jahe gajah ( Jahe Badak) pada umur 3.5 – 5 bulan.. 5 Tabel 2. Kandungan garam dapur per 100 g bahan................................. 11 Tabel 3. Nilai koefisien korelasi (r) pada parameter kekerasan pikel
jahe............................................................................................. 24 Tabel 4. Persamaan kurva regresi linier penurunan kecerahan jahe........ 32 Tabel 5. Data nilai ln k dan 1/T dalam satuan Kelvin (K)....................... 32 Tabel 6. Perhitungan rumus laju penurunan mutu................................... 34 Tabel 7. Laju penurunan kecerahan pada berbagai suhu penyimpanan... 35 Tabel 8. Nilai koefisien korelasi (r) pada parameter kecerahan jahe....... 36 Tabel 9. Laju penurunan kejernihan larutan pikel pada berbagai suhu
penyimpanan.............................................................................. 39 Tabel 10. Nilai koefisien korelasi (r) pada parameter kecerahan jahe....... 42 Tabel 11. Laju penurunan pH larutan pikel pada berbagai suhu
penyimpanan.............................................................................. 43 Tabel 12. Perbandingan parameter mutu pikel jahe pada penelitian
dengan SNI 01-4289-1996......................................................... 48
DAFTAR GAMBAR
Hal Gambar 1. Mekanisme fermentasi
bahan.................................................
9
Gambar 2. Struktur kimia asam benzoat dan natrium benzoat................ 14 Gambar 3. Diagram alir
penelitian........................................................... 17 Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan pikel jahe............................. 19 Gambar 5. Proses reaksi hidrolisis natrium benzoat................................ 23 Gambar 6. Analisa regresi polinomial terhadap perubahan kekerasan
jahe selama penyimpanan pada suhu (a) 30oC, (b) 35oC dan (c) 40oC.................................................................................. 25
Gambar 7. Analisa regresi linier terhadap perubahan kecerahan jahe
selama penyimpanan pada suhu (a) 30oC, (b) 35oC dan (c) 40oC................................................................................... 29
Gambar 8. Hubungan antara ln k dengan 1/T berdasarkan parameter
kecerahan jahe pada pikel jahe dengan penambahan natrium benzoat (a) 0 ppm, (b) 100 ppm dan (c) 200 ppm.... 33
Gambar 9. Analisa regreasi linier terhadap perubahan kejernihan
larutan pikel selama penyimpanan pada suhu (a) 30oC, (b) 35oC dan (c) 40oC.............................................................. 37
Gambar 10. Analisa regresi linier terhadap perubahan nilai pH larutan
pikel jahe selama penyimpanan pada suhu (a) 30oC, (b) 35oC dan (c) 40oC.............................................................. 41
DAFTAR LAMPIRAN
Hal Lampiran 1. Prosedur analisis................................................................... 54 Lampiran 2. Tabel data perubahan nilai kekerasan (mm/10 detik/50 g)
cairan pikel jahe selama penyimpanan................................. 57 Lampiran 3. Tabel data perubahan nilai kecerahan (L) pikel jahe selama
penyimpanan........................................................................ 58 Lampiran 4. Tabel data perubahan nilai kejernihan (%) pikel jahe
selama penyimpanan............................................................ 59
Lampiran 5. Tabel data perubahan nilai pH cairan pikel jahe selama penyimpanan........................................................................ 60
Lampiran 6. Tabel data perubahan total hitungan lempeng (TPC) pikel
jahe selama penyimpanan.................................................... 61 Lampiran 7. Gambar contoh produk pikel jahe........................................ 62
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Jahe (Zingiber officinale) merupakan salah satu komoditas ekspor
rempah-rempah yang potensial dikembangkan di Indonesia. Hal ini didukung
oleh kondisi lingkungan geografis Indonesia yang merupakan wilayah yang
beriklim tropis yang cocok untuk pengembangan budidaya tanaman jahe.
Jahe banyak digunakan sebagai bahan baku obat tradisional maupun industri
pangan dan farmasi, yang memberikan peranan cukup berarti dalam
penyerapan tenaga kerja dan penerimaan devisa negara.
Secara ekonomis, rimpang jahe dapat digunakan untuk berbagai
kepentingan dalam bentuk jahe segar maupun jahe olahan. Jahe segar sering
digunakan sebagai rempah dan berbagai keperluan lain seperti obat
tradisional. Jahe olahan dapat berupa jahe kering (bahan baku untuk ekstraksi
minyak atsiri dan oleoresin), jahe asin (pikel jahe), jahe dalam sirup, jahe
kristal (pengolahan lanjutan dari jahe dalam sirup yaitu pencampuran dengan
kristal gula), bubuk jahe, minyak atsiri dan oleoresin (Paimin dan
Murhananto, 2005). Produk jahe tersebut untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri maupun untuk ekspor.
Tumbuhan khas negeri tropis dari keluarga Zingiberaceae ini semakin
dibutuhkan banyak negara dan permintaan pasar dunia cukup meningkat
sejalan dengan semakin beragamnya pemanfaatan jahe untuk berbagai
kebutuhan hidup manusia. Sebagai komoditas ekspor, pada umumnya jahe
dikemas baik itu dalam bentuk jahe segar, asinan (jahe putih besar), jahe
kering (jahe putih besar, kecil dan jahe merah), maupun minyak atsiri dan
oleoresin. Beberapa tahun terakhir ini, sebagian besar wilayah Indonesia telah
berkiprah pada segala bentuk usaha yang menyangkut komoditi jahe. Pada
tahun 1998, ekspor jahe Indonesia mencapai 32807 ton dengan nilai nominal
US $ 9286161. Tahun 2003 turun menjadi 7470 ton dengan nilai US $
3930317 karena mutu yang tidak memenuhi standar. Namun permintaan jahe
mengalami peningkatan setiap tahun. Kondisi ini direspon dengan makin
berkembangnya areal penanaman dan munculnya berbagai produk jahe
(Matondang, 2006).
Jahe merupakan bahan pangan yang bersifat mudah rusak oleh
berbagai faktor, baik kimiawi, fisik maupun mikrobiologis, yang akan
menurunkan mutu dari produk pangan tersebut. Jahe memerlukan pengolahan
lebih lanjut seperti penambahan bahan pengawet yang cocok serta aman
dikonsumsi untuk dapat mempertahankan mutu produk jahe lebih lama. Untuk
mencegah kerusakan jahe segar karena penanganan dan penyimpanan yang
kurang baik, maka dilakukan pembuatan pikel jahe.
B. TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui pengaruh penambahan natrium benzoat pada perubahan mutu
pikel jahe selama penyimpanan.
2. Mengetahui laju penurunan mutu pikel jahe selama penyimpanan.
3. Mengetahui konsentrasi natrium benzoat yang optimum.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BOTANI
Jahe merupakan tanaman obat (herba) yang tumbuh tegak dengan
tinggi sekitar 30-60 cm. Batangnya diselubungi oleh pelepah daun dan
berwarna hijau. Daun jahe berbentuk lonjong dan lancip menyerupai daun
rumput-rumputan dengan panjang daun lebih kurang 20-40 cm dan lebarnya
sekitar 2-4 cm. Bunga jahe berupa bulir berbentuk kincir dengan panjang 5-7
cm dan bergaris tengah 2-2.5 cm. Daun kelopak dan daun bunga masing-
masing tiga buah yang sebagian bertautan. Akar serabut berwarna putih kotor.
Rimpangnya bercabang-cabang, tebal dan agak melebar (tidak silindris),
berwarna kuning pucat. Bagian dalam rimpang berserat agak kasar, berwarna
kuning muda dengan ujung merah muda. Rimpang berbau khas, dan rasanya
pedas menyegarkan (Matondang, 2006).
Berdasarkan taksonomi tanaman, jahe (Zingiber officinale) termasuk
dalam divisi Pteridophyta, subdivisi Angiosperma, klas Monocotyledoneae,
ordo Scitamineae, famili Zingiberaceae, dan genus Zingiber (Paimin dan
Murhananto, 2005). Menurut Risfaheri (1988), pengelompokan jahe dapat
didasarkan pada warna dan ukuran rimpangnya. Berdasarkan warna
rimpangnya dikenal jahe putih, jahe kuning, dan jahe merah. Menurut
ukurannya dibedakan menjadi jahe besar (Jahe Gajah atau Jahe Badak) dan
jahe kecil (Jahe Sunti atau Jahe Emprit). Dengan demikian dikenal jahe putih
besar, jahe putih kecil, jahe kuning dan jahe merah.
Jahe Gajah atau Jahe Badak memiliki rimpang yang besar dan gemuk.
Jenis jahe ini bisa dikonsumsi baik saat berumur muda maupun berumur tua,
baik sebagai jahe segar maupun jahe olahan, sedangkan jahe putih kecil dan
jahe merah selalu dipanen tua. Kandungan minyak atsiri dari kedua jenis jahe
ini lebih tinggi dibanding dengan jahe putih besar, maka dari itu rasanya lebih
pedas. Selain itu jenis jahe ini cocok untuk ramuan obat-obatan atau untuk
diekstrak eleoresin dan minyak atsirinya (Paimin dan Murhananto, 2005).
Di antara varietas-varietas jahe, yang banyak digunakan sebagai bahan
obat tradisional adalah jahe merah terutama bila yang diperlukan adalah
khasiat minyak atsirinya. Dalam pengobatan sehari-hari, yang lebih sering
digunakan adalah jahe kecil sebab lebih mudah diperoleh dibandingkan
dengan jahe merah. Jahe besar dianggap kurang berkhasiat sebagai obat, oleh
sebab itu lebih banyak digunakan sebagai bumbu masak. Rimpang jahe
memiliki banyak kegunaan, antara lain untuk obat sakit kepala, masuk angin,
untuk memperkuat lambung, dan menambah nafsu makan (stimulan). Juga
digunakan untuk mengobati rematik, kolera, difteria, neuropati, sebagai
penawar racun ular, dan sebagai obat luar untuk mengobati keseleo, bengkak
dan memar (Matondang, 2006).
Menurut Paimin dan Murhananto (2005), dalam percobaan yang
dilakukan pada hewan terbukti bahwa ekstrak jahe merupakan stimulan bagi
pernapasan dan jantung. Ekstrak jahe juga dapat menyembuhkan rematik
sendi, influenza, batuk, disentri bakteri dan radang. Disamping itu minyak
jahe dapat digunakan sebagai perangsang nafsu makan, melancarkan
pencernaan (digestant) dan mengurangi asam perut (antasida). Proses yang
terjadi adalah terangsangnya selaput lendir lambung dan usus oleh minyak
jahe.
Ditinjau dari bentuk olahannya, jahe yang diawetkan berbentuk asinan
jahe, jahe dalam sirup, dan kristal jahe. Bentuk asinan jahe sangat laku di
pasar Internasional. Dalam dunia perdagangan dikenal ada 2 jenis asinan jahe
yaitu jahe asin Cina dan jahe asin Australia. Pasar terbesar jahe awet (pikel)
adalah Jepang dan Timur Tengah. Jenis jahe yang cocok untuk diolah menjadi
pikel jahe adalah Jahe Gajah yang dipanen ketika berumur 3-4 bulan, karena
kandungan seratnya tidak banyak dan rasanya tidak terlalu pedas (Paimin dan
Murhananto, 2005).
B. KANDUNGAN KIMIA
Jahe Badak mengandung komposisi kimia seperti air, pati, minyak
atsiri, serat kasar dan abu. Bila dihitung berdasarkan berat keringnya Jahe
Badak umur 3.5 bulan mengandung kadar air 89.32%, kadar minyak atsiri 0.2
ml/100g, kadar abu 11.27%, kadar pati 40.18% dan kadar serat kasar 6.26%.
sedangkan pada umur 4.5 bulan kandungan kadar airnya 89.21% dengan kadar
minyak atsiri 0.4 ml/100g, kadar abu 11.31%, kadar pati 35.98% dan kadar
serat kasar 7.75% bila dihitung berdasarkan berat keringnya (Risfaheri, 1988).
Untuk lebih jelasnya komposisi kimia Jahe Gajah dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia Jahe Gajah ( Jahe Badak) pada umur 3.5 – 5 bulan *
Umur Jahe (bulan) Komponen
3.5 4.5 5.0
Kadar air (% bb) 89.32 89.21 82.79
Kadar minyak atsiri (ml/100 g) 0.2 0.4 0.4
Kadar abu (% bb) 1.20 1.22 1.11
Kadar pati (% bb) 4.29 3.88 5.40
Kadar serat kasar (% bb) 0.67 0.84 1.49
*Risfaheri (1988)
Jahe memiliki kandungan minyak yang berbeda pada setiap bagian
rimpangnya. Kandungan minyak terbanyak berada di bagian bawah jaringan
epidermis. Semakin ke dalam kandungannya semakin sedikit. Selain itu umur
jahe mempengaruhi kandungan minyaknya. Kandungan minyak meningkat
terus sampai mencapai umur optimum (12 bulan). Lewat umur tersebut
kandungannya semakin sedikit, sedangkan bau khas jahe semakin tua semakin
menyengat. Jahe mengandung komponen minyak menguap (volatile oil),
minyak tidak menguap (nonvolatile oil), dan pati. Minyak jahe mengandung 2
golongan komponen utama, yaitu minyak atsiri dan fixed oil. Minyak
menguap yang biasa disebut minyak atsiri merupakan komponen yang
memberikan bau yang khas, sedangkan minyak yang tidak menguap yang
biasa disebut oleoresin merupakan komponen pemberi rasa pedas dan pahit.
Komponen dari rimpang jahe yang banyak diambil dan telah dikembangkan
cara ekstraksinya adalah minyak atsiri dan oleoresin, sedangkan komponen
lain tidak diambil karena khasiat dari jahe lebih banyak terdapat pada minyak
atsiri dsan oleoresinnya (Paimin dan Murhananto, 2005).
Rimpang jahe mengandung minyak atsiri yang terdiri dari senyawa-
senyawa seskuiterpen, zingiberen, zingeron, oleoresin, kamfena, limonen,
borneol, sineol, sitral, zingiberal, felandren. Disamping itu terdapat juga pati,
asam-asam organik seperti asam malat dan asam oksalat, vitamin A, B, dan C,
serta senyawa- senyawa flavonoid dan polifenol (Matondang, 2006).
Minyak atsiri merupakan salah satu dari dua komponen utama minyak
jahe. Minyak atsiri terdapat pada rimpang jahe segar, jahe kering atau
oleoresin. Minyak atsiri diperoleh dengan cara mendestilasi jahe dengan
sistem destilasi air, destilasi air dan uap atau destilasi uap. Jahe kering
mengandung minyak atsiri sebanyak 1 – 3%, sedangkan jahe segar kandungan
minyak atsirinya lebih besar dari jahe kering. Minyak atsiri biasa disebut
minyak eteris, minyak menguap (minyak terbang) atau essential oil. Ciri
minyak atsiri antara lain mudah menguap pada suhu kamar tanpa mengalami
dekomposisi, mempunyai rasa getir, berbau wangi sesuai tanaman
penghasilnya dan umumnya larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam
air. Minyak atsiri berbentuk cairan berwarna kuning cokelat hingga kemerah-
merahan. Berat jenisnya lebih kecil dari pada air. Setiap rimpang jahe
mengandung 1-3% minyak atsiri. Minyak ini diperoleh melalui proses
penyulingan (Paimin dan Murhananto, 2005).
Minyak atsiri merupakan pemberi aroma khas pada jahe. Komponen
utama minyak jahe adalah Zingiberen dan Zingiberol. Sedang persenyawaan
lain adalah n-desil aldehi, n-nonil aldehid d-kamfen, d-α-felandren, metil
heptenon, sineol, d-borneol, geraniol, linalool, asetat, kaprilat, sitral, khavicol,
fenol dan limonen. Kegunaan minyak atsiri sebagai bahan baku minuman
ringan (Ginger ale), industri farmasi seperti parfum dan kosmetik yang
memancarkan kesan “Suasana timur”, serta sebagai bahan penyedap (flavour
agents) (Paimin dan Murhananto, 2005).
Oleoresin merupakan komponen yang memberi rasa pedas dan khas.
Sifat pedas ini tergantung pada umur panen, semakin tua umurnya semakin
terasa pedas dan pahit. Selain itu jenis jahe juga menentukan kandungan
oleroresin. Jahe yang rasa pedasnya tinggi seperti jenis emprit kandungan
oleoresinnya lebih tinggi (Paimin dan Murhananto, 2005). Kandungan
oleoresin pada jahe sekitar 0.4–3.1% tergantung umur panen dan tempat
tumbuhnya. Di Australia kandungan oleoresin mencapai maksimum pada
umur 8–9 bulan, sedangkan di Indonesia pada umur 11 bulan (Helmi, 1976).
Oleoresin merupakan senyawa yang terdapat pada jahe yang dapat
diambil. Bentuk olahan jahe yang berupa oleoresin ini memiliki banyak
kelebihan seperti mampu mengatasi beberapa perubahan mutu saat jahe segar
atau jahe kering diekspor, mengurangi volume kemasan jahe, atau mencegah
pemalsuan atau penambahan benda lain pada jahe. Oleoresin bersifat lebih
ringkas dibanding dengan bubuk jahe, karena 1 kg oleoresin setara dengan 28
kg bubuk jahe dengan kandungan dan citarasa yang sama. Dengan demikian
biaya pengangkutan dapat ditekan. Selain itu penggunaannya lebih praktis,
lebih mudah larut, mudah didispersikan, serta lebih mudah diolah (Paimin dan
Murhananto, 2005).
Selain komponen tersebut, jahe mengandung beberapa jenis lipida
sebanyak 6-8%, terdiri atas asam fosfatida, lesitin dan asam lemak bebas.
Penggunaan jahe sangat luas, baik dalam bentuk rimpang maupun hasil
olahannya. Dilihat dari segi nutrisi, jahe mengandung 40-60% pati, 9%
protein, beberapa jenis mineral dan vitamin khususnya niasin dan vitamin A
(Rismunandar, 1988). Adanya sekitar 2.2% enzim protease pada rimpang jahe
segar membuat jahe dapat dimanfaatkan sebagai pengempuk daging
Jahe dikenal secara tradisional sebagai pengawet karena memiliki sifat
antimikroba dan antioksidan. Bubuk jahe sebesar 2% bersifat bakterisida
terhadap pertumbuhan bakteri gram positif Leuconostoc sp. dan Bacillus
subtilis, sedangkan terhadap bakteri gram negatif bubuk jahe hanya bersifat
bakteristatik. Konsentrasi yang tinggi dan semakin lamanya waktu kontak
akan menghasilkan penghambatan yang semakin tinggi (Undriyani, 1987).
C. PIKEL JAHE
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-4289-1996), asinan jahe
adalah jahe (Zingiber officinale) yang diawetkan dengan penambahan garam
dan larutan cuka atau larutan asam sitrat atau asam lain yang sesuai. Desrosier
(1988) menambahkan bahwa sistem pengawetan pangan secara umum adalah
menghambat pertumbuhan mikroba. Meskipun demikian diantara keseluruhan
jenis mikroba tidak semuanya merugikan, Ada pula beberapa jenis mikroba
yang menguntungkan, seperti yang biasa digunakan dalam proses pengawetan
pangan, misalnya Microccus sp pada pembuatan sosis, Lactobacillus
bulgaricus pada pembuatan yogurt dan Lactobacillus plantarum pada
pembuatan pikel jahe.
Salah satu cara pengawetan pangan adalah dengan fermentasi.
Fermentasi merupakan suatu proses oksidasi karbohidrat secara anaerob yang
biasanya menghasilkan gas karbondioksida dan tidak menimbulkan bau
busuk. Pada pembuatan pikel jahe, bakteri yang berperan adalah bakteri asam
laktat. Fermentasi asam laktat pada pembuatan pikel biasanya merupakan
fermentasi alamiah yang disebut sebagai fermentasi spontan. Pada fermentasi
spontan, mikroba yang berperan akan berkembang biak secara spontan karena
lingkungan hidupnya dibuat sesuai untuk pertumbuhannya (Ludong, 1990).
Menurut Buckle et al. (1985) bakteri asam laktat umumnya menghasilkan
sejumlah besar asam laktat dari hasil fermentasi substrat karbohidrat. Bakteri
yang tumbuh secara anaerobik cenderung memfermentasikan subsrat
karbohidrat untuk menghasilkan etanol bersama sedikit produk akhir lainnya.
Pada Gambar 1 dapat dilihat skema dasar biokimia dan fermentasi.
Gambar 1. Mekanisme fermentasi bahan pangan (Winarno, 1984)
Berdasarkan proses pembuatannya, pikel dibedakan atas fermented
pickle dan unfermented fresh pasteurized pickle. Fermented pickle adalah
pikel yang pembuatannya dilakukan melalui proses fermentasi, dan asam hasil
fermentasi digunakan sebagai pengawet, sedangkan unfermented fresh pickle
merupakan pikel yang tidak mengalami fermentasi. Asam yang diperlukan
sebagai pengawet ditambahkan dari luar.
Pikel tanpa fermentasi dapat dibedakan dalam 3 jenis, yaitu:
1. Dill pickle, yaitu pikel yang diberi bumbu sebagai penambah cita rasa.
2. Sour pickle, yaitu pikel yang dibuat tanpa penambahan gula dan
diasamkan dengan penambahan cuka.
3. Sweet Pickle atau pikel manis, yaitu pikel yang rasanya asam manis, yang
dimaniskan dengan penambahan gula atau dekstrosa. (Luh dan Woodroof,
1975).
Menurut Pederson (1971), pikel yang mengalami proses fermentasi
dibedakan dalam 3 jenis, yaitu:
1. Dill Pickle, pikel yang difermentasi dalam larutan berkadar garam rendah.
Pikel ini dapat dikonsumsi secara langsung tanpa harus mengalami
pengolahan lebih lanjut.
Glukosa
Fosforgliseraldehid
Asam piruvat
Aerobik
Energi tinggi CO2 + H2O
Anaerobik (fermentasi)
Asam laktat, etanol, asam asetat
dan asam-asam lainnya
2. Salt Stock Pickle, pikel yang difermentasi dalam larutan yang berkadar
garam tinggi lebih dari 10%. Untuk dapat dikonsumsi, pikel jenis ini harus
dilakukan proses desalting terlebih dahulu agar tidak terlalu asin.
3. Dry Salting Pickle, pikel yang difermentasi dengan menggunakan kristal
garam dengan konsentrasi rendah.
Secara umum proses fermentasi pikel dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya pH, jenis mikroba, suhu, oksigen dan salinitas bahan yang
difermentasi (Winarno dan Fardiaz, 1980). Buckle et al. (1985) menyebutkan
bahwa pada fermentasi sayuran, faktor lingkungan merupakan hal yang cukup
penting. Faktor lingkungan ini meliputi kondisi anaerobik, penggunaan garam
secukupnya, pengaturan suhu yang sesuai dan tersedianya bakteri asam laktat
dalam sistem. Kondisi anaerobik juga perlu diperhatikan untuk menunjang
pertumbuhan mikroorganisme yang diinginkan. Vaughn (1985) menyebutkan
bahwa khamir oksidatif dapat tumbuh pada permukaan larutan garam pada
kondisi anaerobik yang kurang sempurna. Khamir oksidatif tersebut akan
mengoksidasi asam laktat dan merangsang pertumbuhan bakteri pembusuk
(Fleming, 1982).
Pikel jahe yang menggunakan konsentrasi garam tinggi disebut dengan
pembuatan salt stock pickle. Garam berfungsi untuk menarik gula dan nutrien
lain dari jaringan tanaman yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri asam
laktat. Penggunaan kadar garam yang terlalu tinggi juga akan menyebabkan
warna menjadi kelam dan memungkinkan pertumbuhan khamir (Buckle et at.,
1985). Bakteri asam laktat akan tumbuh secara alamiah selama proses
fermentasi pada kadar garam yang cukup. Selain kadar garam, hal lain yang
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba dan hasil fermentasi
adalah suhu, karena mikroorganisme yang berperan dalam proses fermentasi
pikel dapat menghasilkan asam laktat secara optimum pada kisaran suhu
tertentu saja. Menurut Ayres (1980), semua proses fermentasi akan
berlangsung optimum pada kisaran suhu 23.9oC sampai 26.7oC.
Menurut Lunawati (1982), pengawetan hasil pertanian dengan cara
penggaraman dapat berlangsung dengan baik, apabila penetrasi partikel-
partikel garam ke dalam sel-sel atau jaringan-jaringan bahan yang diawetkan
terjadi lebih cepat dari pada pertumbuhan mikroorganisme. Apabila penetrasi
terjadi lebih lama maka bakteri-bakteri mendapat kesempatan untuk
berkembang biak dan menimbulkan pembusukan.
Joedawinata (1976) menjelaskan bahwa kecepatan penetrasi garam
dapur ke dalam jaringan bahan yang diawetkan dipengaruhi oleh :
1. Kandungan garam dapur, yang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
2. Ukuran kristal garam
3. Suhu udara
4. Kadar lemak bahan yang diawetkan
Tabel 2. Kandungan garam dapur per 100 g bahan*
Komponen Jumlah (%)
Air 6.206
Kalsium 1.277
Magnesium 0.757
NaCl 9.620
Kotoran 0.140
*Joedawinata (1976)
Garam dalam larutan suatu substrat bahan pangan dapat menekan
kegiatan pertumbuhan mikroba tertentu, yang berperan dalam membatasi air
yang tersedia, dapat mengeringkan protoplasma dan menyebabkan
plasmolisis. Mekanisme garam sebagai pengawet pada bahan pangan adalah
dengan cara garam diionisasikan, setiap ion menarik molekul-molekul air di
sekitarnya. Proses ini disebut hidrasi ion. Makin besar kadar garam maka
makin banyak air yang ditarik oleh ion hidrat. Suatu larutan garam jenuh pada
suatu suhu ialah suatu larutan yang telah mencapai suatu titik dimana tidak
ada daya lebih lanjut yang tersedia untuk melarutkan garam. Pada titik ini
(larutan natrium klorida 26.5% pada suhu ruang) bakteri, khamir dan jamur
tidak mampu tumbuh. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya air bebas yang
tersedia bagi pertumbuhan mikroba (Desrosier, 1988).
D. KERUSAKAN PIKEL
Produk pangan bersifat mudah rusak oleh berbagai faktor, baik
kimiawi, fisik maupun mikrobiologis, yang akan menurunkan mutu dari
produk pangan tersebut. Pada saat segera setelah selesai diproduksi, usable
quality dari suatu produk adalah 100%, kemudian segera setelah itu akan
menurun selama penyimpanan, dimana laju penurunannya dapat dihitung.
Penurunan laju usable quality disebabkan oleh reaksi deteriorasi yang
berlangsung dalam produk. Deteriorasi adalah penurunan mutu suatu produk
dari mutu awalnya (Arpah, 2001).
Pikel merupakan produk yang terbuat dari bahan pangan yang
memiliki sifat mudah rusak. Kerusakan utama yang banyak ditemukan pada
produk pikel adalah pelunakan bahan (softening). Pelunakan pada pikel
umumnya disebabkan oleh aktifitas enzim (pektinase) yang berasal dari dalam
bahan maupun dari mikroba. Hal ini menyebabkan tekstur dan penampakan
pikel menjadi kurang menarik. Pelunakan yang diinduksi oleh mikroba
terutama disebabkan oleh kapang (Fleming, 1982).
Kerusakan lain yang sering terjadi pada pikel adalah kerusakan oleh
gas yang berupa penggembungan bahan (Blotter Damage). Hal ini disebabkan
karena kenaikan tekanan gas di dalam bahan selama fermentasi. Tekanan gas
ini akibat kombinasi nitrogen yang terperangkap dalam bahan ketika
penggaraman dan karbondioksida. Karbondioksida dapat berasal dari bahan
dan pembentukan gas oleh organisme aktif seperti khamir, bakteri laktat
heterofermentatif, bahkan bakteri homofermentatif Lactobacillus plantarum
(Fleming, 1982)
Jenis kerusakan pikel berlendir (Slippery Pickles) disebabkan oleh
tumbuhnya bakteri berkapsul pada permukaan dan film yang dibentuk oleh
khamir aerobik. Pada saat proses fermentasi berlangsung, pikel dapat
mengalami perubahan warna yang disebabkan oleh adanya gas H2S yang
dihasilkan oleh bakteri yang bereaksi dengan besi yang mungkin berasal dari
air sehingga membentuk senyawa ferosulfat. Disamping itu dapat pula
disebabkan oleh tumbuhnya bakteri yang membentuk warna hitam yaitu
Bacillus nigrificant (Frazier dan Westhoff, 1981). Pikel juga dapat mengalami
pengkerutan (Shriveling) yang disebabkan oleh pengaruh fisik akibat kadar
garam, gula, atau asam yang terlalu tinggi.
E. BAHAN PENGAWET
Untuk meminimalisasi resiko kerusakan pada produk pikel yang
disebabkan terutama oleh aktifitas kapang dan khamir, perlu diperhatikan
kondisinya seperti penetapan konsentrasi dan penyebaran garam yang merata,
penutupan secara aerobik dan penambahan bahan pengawet yang dapat
dilakukan sebelum maupun sesudah proses fermentasi (Winarno, 1988).
Frazier (1981) menyatakan bahwa fungsi bahan pengawet yang utama
adalah mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang mengkontaminasi
bahan. Pertumbuhan mikroorganisme tersebut dihalangi dengan cara merusak
membran sel, mempengaruhi aktivitas enzim atau merusak mekanisme
genetik. Efektivitas bahan pengawet dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya konsentrasi bahan pengawet, macam, umur dan sejarah
mikroorganisme yang dihambat, suhu, waktu serta sifat fisik dan kimia dari
substrat dimana mikroorganisme ditemukan.
Bahan pengawet yang biasa digunakan untuk makanan berasam tinggi
seperti pikel adalah beberapa bahan pengawet organik baik dalam bentuk
asam maupun garamnya sebagai contoh adalah sorbat, benzoat, propionat,
asetat, sitrat, dan epoksida. Asam benzoat biasanya merupakan bentuk dari
garam sodium yang telah lama digunakan sebagai bahan tambahan makanan
yang berfungsi sebagai antimikroba. Garam sodium lebih disukai karena
memiliki daya larut yang rendah dari asam bebas dan bersifat lebih stabil.
Pada penggunaannya, garam diubah menjadi asam yang merupakan bagian
aktifnya. Pada Gambar 2 menunjukan perbedaan struktur kimia antara asam
benzoat.dan natrium benzoat (Furia, 1972).
Asam Benzoat Natrium Benzoat
Gambar 2. Struktur kimia asam benzoat dan natrium benzoat
Asam benzoat larut dalam air dengan kelarutan maksimal 21 g/l,
sedangkan dalam bentuk garam sodium benzoat kelarutan maksimalnya
adalah 660 g/l dan dalam bentuk kalsium benzoat adalah 40 g/l. Di pasaran,
biasanya senyawa benzoat tersedia dalam bentuk sodium benzoat dan kalsium
benzoat, namun yang paling banyak dijumpai adalah sodium benzoat.
Senyawa benzoat dapat menghambat pertumbuhan kapang dan khamir, bakteri
penghasil toksin (racun), bakteri spora dan bakteri bukan pembusuk.
Efektifitas benzoat bertambah jika bahan banyak mengandung garam dapur
(NaCl) dan gula pasir (Branen dan Davidson, 1983).
Asam benzoat umumnya banyak digunakan pada bahan makanan yang
bersifat asam, seperti minuman karbonat, jus buah, pikel, sari buah apel dan
lain-lain. Oleh karena kelarutan garam lebih tinggi, maka biasa digunakan
dalam bentuk garam natrium benzoat. Dalam bahan, garam benzoat terurai
menjadi bentuk efektif yaitu asam benzoat tidak terdisosiasi (Branem dan
Davidson, 1983). Dalam tubuh manusia terdapat mekanisme detoksifikasi
terhadap asam benzoat sehingga tidak terjadi penumpukkan asam benzoat.
Asam benzoat akan bereaksi dengan glisin menjadi asam hipurat yang akan
dibuang oleh tubuh. Asam benzoat secara alami terdapat dalam rempah–
rempah seperti cengkeh dan kayu manis.
Natrium benzoat stabil berbentuk kristal putih, mempunyai rasa manis
dan kadang-kadang sepat. Asam benzoat lebih efektif pada media asam, makin
tinggi pH media makin tinggi pula tingkat disosiasinya. Oleh karena itu sari
buah yang lebih asam membutuhkan lebih sedikit asam benzoat. Asam
C OH
O
C O Na
O
benzoat digunakan untuk mencegah pertumbuhan khamir dan bakteri. Benzoat
efektif pada kisaran pH 2.5 – 4.0 (Winarno dan Fardiaz, 1980).
F. BAHAN KEMASAN
Wadah atau kemasan memiliki peranan penting dalam memperpanjang
masa simpan bahan pangan, yaitu untuk melindungi produk terhadap
kontaminasi dari luar dan melindungi bahan terhadap kerusakan yang lain.
Beberapa persyaratan bagi kemasan untuk produk pangan yang perlu
dipertimbangkan adalah harus dapat ditutup secara hermetis, yaitu tidak dapat
dimasuki oleh udara, uap air dan mikroba. Di samping itu kemasan yang
digunakan harus tidak menyebabkan penyimpangan warna produk, tidak
bereaksi dengan bahan sehingga tidak merusak bahan maupun cita rasa (bahan
kemasan tidak mudah teroksidasi atau bocor), mudah pengemasannya dan
harganya murah (Winarno dan Laksmi, 1974). Risfaheri (1988) menambahkan
bahwa kemasan yang digunakan untuk produk pikel harus memenuhi
persyaratan terutama tahan terhadap asam, kadar garam tinggi dan panas.
Kemasan yang mungkin digunakan adalah kemasan gelas dan plastik.
Kemasan yang dipakai untuk membungkus pikel jahe dalam penelitian
ini adalah plastik HDPE (High Density Polyethylene). Secara garis besar
plastik HDPE memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Menurut
Syarief (1989), plastik memiliki sifat-sifat yang menguntungkan, seperti
mudah dibentuk, mempunyai adaptasi yang cukup tinggi terhadap produk,
tidak korosif serta mudah dalam penanganan. Selain itu dibandingkan dengan
jenis etilen lainnya, Dekker (1992) menambahkan bahwa HDPE memiliki sifat
paling kuat, paling kokoh (rigid) dan memiliki berat molekul 200000 sampai
250000 dengan tingkat kejernihan yang cukup tinggi, oleh karena itu secara
fisik bersifat transparan dan memiliki sifat permeabelitas yang rendah
terhadap uap air dan gas.
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Jahe
Gajah (Jahe Badak) yang diperoleh dari pasar Cimanggu-Bogor, dengan
umur panen sekitar 10-11 bulan, garam halus (merek dagang Refina),
natrium benzoat, kantung plastik HDPE (High Density Polyethylene),
media PCA dan pelarut etanol.
2. Alat
Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah inkubator,
termometer, spektrofotometer, pH meter, sealer, penetrometer,
colorimeter, tanur, oven, timbangan analitik, cawan porselen, desikator,
pengaduk magnetis, labu ukur, pipet tetes, kertas saring, labu soxlet, pisau
dan alat gelas.
B. METODE
Penelitian ini dibagi menjadi empat tahap, tahap pertama berupa
analisa komposisi jahe, tahap kedua adalah pembuatan produk pikel jahe,
tahap ketiga analisa perubahan mutu pikel jahe selama penyimpanan dan tahap
keempat adalah pengolahan data dengan metode Arrhenius. Diagram alir
metode penelitian ini disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram alir penelitian
1. Komposisi jahe
Bahan baku berupa jahe dianalisa komposisinya. Analisa
komposisi jahe terdiri dari analisa proksimat (kadar air, kadar oleoresin
dan kadar abu) dan sifat fisik jahe (kekerasan dan warna). Tujuan dari
analisa ini adalah untuk mengetahui komposisi jahe. Prosedur analisa
disajikan pada Lampiran 1.
Jahe segar
Karakterisasi 1. Analisa kadar air dan kadar abu 2. Analisa kadar oleoresin 3. Sifat fisik (warna dan kekerasan jahe)
Pikel jahe
Perubahan Mutu Pikel Selama penyimpanan
Kondisi : suhu 30oC, 35 oC, dan 40 oC Waktu : 10 minggu Pengamatan dilakukan setiap minggu Parameter yang diamati : kekerasan jahe, warna jahe, kejernihan larutan, pH larutan, total mikroba
Analisa perubahan mutu selama penyimpanan
Pembuatan pikel jahe
2. Pembuatan Produk Pikel Jahe
Bahan baku jahe gajah segar mulanya dikupas kulitnya, kemudian
dilakukan pencucian sebanyak 2 kali yaitu pencucian kotor dan pencucian
bersih sambil dilakukan penyortiran. Pencucian kotor adalah proses
penghilangan kotoran dan tanah setelah jahe dikupas yang dilanjutkan
dengan pencucian bersih yaitu tahap kedua pencucian untuk memastikan
tidak ada lagi kotoran pada jahe. Setelah jahe dalam keadaan benar-benar
bersih, selanjutnya jahe tersebut ditimbang dengan ukuran sekitar 90-100 g
yang kemudian dimasukan ke dalam kantung plastik HDPE ukuran 250 g.
Pembuatan larutan pikel dilakukan dengan dicampurkannya garam halus
sebanyak 25% dari larutan, air dan natrium benzoat dengan konsentrasi 0
ppm, 100 ppm dan 200 ppm, kemudian dipanaskan hingga mendidih.
Dalam keadaan mendidih, larutan dimasukan ke dalam plastik
HDPE yang telah berisi jahe sehingga larutan menutupi jahe. Selanjutnya
pikel dikemas dengan menggunakan sealer. Dalam pengemasan
diupayakan tidak ada udara di dalam plastik. Setelah selesai dikemas,
kemudian didinginkan untuk selanjutnya dilakukan penyimpanan di dalam
inkubator yang bersuhu 30oC, 35oC dan 40oC. Diagram alir proses
pembuatan pikel jahe ini disajikan pada Gambar 4.
3. Perubahan Mutu Pikel Selama Penyimpanan
Pikel jahe yang telah dibuat disimpan di dalam inkubator bersuhu
30oC, 35oC, dan 40oC. Analisa dilakukan setiap minggu selama 10
minggu. Parameter yang menjadi acuan di dalam analisa perubahan mutu
meliputi kekerasan, pH, kejernihan, dan warna jahe. Prosedur analisa
disajikan pada Lampiran 1.
Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan pikel jahe
4. Penentuan Laju Perubahan Mutu
Pengolahan data dengan metode Arrhenius menggunakan
beberapa parameter dan diasumsikan tidak terjadi perubahan pada
parameter-parameter lainnya. Selain itu suhu penyimpanan tetap atau
dianggap tetap. Pada penelitian ini, penyimpanan pikel jahe dilakukan di
dalam tiga inkubator yang suhunya terkontrol pada suhu 30, 35 dan 40oC,
sehingga suhu penyimpanan tetap atau dianggap tetap. Hasil analisa akan
Penyimpanan dalam inkubator
( suhu 30oC, 35oC dan 40oC )
Pendinginan
Larutan pikel
Pengemasan
Penambahan air
Garam + Na. Benzoat
Penimbangan (90-100 g)
Penyortiran
Pencucian (cuci kotor dan cuci bersih) Pemanasan
Pengupasan
Jahe segar
Analisis
dihitung dengan pendekatan Arrhenius untuk mendapatkan laju perubahan
mutu produk. Pengulangan percobaan dilakukan sebanyak dua kali.
Pendugaan umur simpan Arrhenius ini berdasarkan persamaan
berikut.
k = ko e-E/(RT)
dimana :
k : konstanta penurunan mutu
ko : konstanta (tidak tergantung pada suhu)
E : energi aktivasi
T : suhu mutlak (oC + 273)
R : konstanta gas, 1.986 kal/mol
Konstanta penurunan mutu (k) dicari dengan cara membuat grafik
pada setiap parameter selama pengamatan, dan dari data dan grafik
tersebut akan didapatkan suatu persamaan regresi, dimana nilai slope dari
tiap garis pada masing-masing suhu penyimpanan akan diplotkan pada
grafik hubungan nilai konstanta penurunan mutu (k) dengan nilai 1/T.
Selanjutnya dari grafik tersebut akan didapatkan pula suatu persamaan
regresi untuk mendapatkan nilai konstanta penurunan mutu tersebut.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PIKEL JAHE
Jahe merupakan bahan pangan yang bersifat mudah rusak. Oleh karena
itu, untuk mempertahankan mutu jahe dalam jangka waktu yang lebih lama
maka dilakukan pengawetan. Proses pengawetan yang dilakukan adalah
dengan cara pembuatan pikel jahe melalui proses fermentasi. Menurut Buckle
et al. (1985) fermentasi adalah perubahan kimia dalam bahan pangan yang
disebabkan enzim. Enzim yang berperan dapat dihasilkan oleh
mikroorganisme atau telah ada dalam bahan pangan (jahe) itu sendiri. Dasar
dari pembuatan pikel jahe adalah fermentasi asam laktat. Gula yang terdapat
di dalam bahan pangan (jahe) dikonversi menjadi asam laktat yang
menyebabkan penurunan nilai pH dari lingkungan pertumbuhannya dan
menimbulkan rasa asam. Asam laktat yang dihasilkan selama proses
fermentasi dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis mikroorganisme
dan mencegah pelunakan jaringan yang disebabkan aktivitas enzim. Menurut
Winarno dan Fardiaz (1980), fermentasi pikel dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya pH, jenis mikroba, suhu dan oksigen. Buckle et al. (1985)
menambahkan faktor yang mempengaruhi fermentasi adalah penggunaan
garam dan tersedianya bakteri asam laktat dalam sistem. Menurut Winarno
(1988) untuk meminimalisasi resiko kerusakan pada produk pikel yang
disebabkan terutama oleh aktivitas mikroba, maka perlu dilakukan
penambahan bahan pengawet.
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan larutan pikel pada
penelitian ini adalah garam halus 25%, natrium benzoat (0 ppm, 100 ppm dan
200 ppm) dan air. Proses penggaraman merupakan tahap awal pembuatan
pikel dengan cara fermentasi. Menurut Pederson (1971) garam yang
ditambahkan akan membantu pengeluaran beberapa subtansi atau senyawa
dari jaringan tanaman diantaranya gula dan beberapa nutrien lain yang
diperlukan untuk pertumbuhan bakteri asam laktat, serta subtansi inhibitor
yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan sebagian besar bakteri gram
negatif (Pederson, 1971). Buckle et al. (1985) menambahkan bahwa selain
menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan, garam dan
asam yang dihasilkan selama proses fermentasi juga dapat mencegah
pelunakan jaringan yang disebabkan aktivitas enzim.
Efek dari garam sebagai pengawet adalah dapat memecahkan
(plasmolisa) membran sel mikroba karena sifat osmotiknya yang tinggi dan
bersifat higroskopis yaitu dapat menyerap air. Larutan garam juga dapat
mengurangi kelarutan oksigen di dalam air, menghambat aktifitas enzim
proteolitik dan juga adanya ion Cl- yang terdisosiasi dari NaCl dapat meracuni
mikroba. Dalam penggunaanya, efektifitas NaCl tergantung pada konsentrasi
dan suhunya (Frazier, 1981). Mekanisme penghambatan mikroba dengan cara
pengasinan adalah dengan cara plasmolisis yaitu sel akan mengalami dehidrasi
sehingga tidak dapat bermetabolisme atau tumbuh sehingga akan
mengakibatkan sel tersebut akan mati atau dapat tetap hidup namun dalam
keadaan dorman (tidak aktif).
Natrium benzoat merupakan bahan pengawet yang diduga efektif
menghambat pertumbuhan mikroba dalam pikel, mudah dijumpai, harganya
murah dan dikenal aman serta penggunaannya tidak perlu dalam jumlah besar.
Konsentrasi natrium benzoat yang digunakan dalam penelitian ini (0 ppm, 100
ppm dan 200 ppm) tidak melebihi ambang batas penggunaan yang dianjurkan
yaitu 1000 ppm (Branen dan Davidson, 1983). Menurut Winarno dan Laksmi
(1974) mekanisme kerja asam benzoat sebagai bahan pengawet yaitu dengan
mengganggu permeabilitas sel membran mikroba. Membran sitoplasma
bersifat mempertahankan bahan-bahan yang dibutuhkan di dalam sel serta
mengatur aliran keluar masuknya bahan-bahan lain. Membran memelihara
integritas komponen-komponen tersebut. kerusakan pada membran ini akan
mengakibatkan penghambatan aktivitas sel atau matinya sel.
Kemasan yang digunakan dalam pembuatan pikel jahe pada penelitian
ini adalah kemasan plastik jenis HDPE (High Density Polyethylene). Plastik
ini memiliki sifat-sifat yang menguntungkan, seperti mudah dibentuk,
mempunyai adaptasi yang cukup tinggi terhadap produk, tidak korosif dan
mudah dalam penanganan serta memiliki sifat permeabelitas yang rendah
terhadap uap air dan gas. Selama penyimpanan, kemasan ini mengalami
penggembungan terutama pada penyimpanan suhu 40oC namun tidak
menyebabkan kebocoran. Blanko (larutan garam dan natrium benzoat tanpa
jahe) juga disimpan pada suhu penyimpanan yang sama dan pada blanko pun
terjadi penggembungan. Terjadinya penggembungan ini mengindikasikan
adanya reaksi kimia yang sedang berlangsung. Reaksi kimia yang terjadi
adalah reaksi hidrolisis, yaitu antara natrium benzoat dan air. Menurut Gaman
dan Sherrington (1992) setiap garam yang berasal dari gabungan asam kuat
dan basa lemah, basa kuat dan asam lemah, basa kuat dan asam kuat serta
asam lemah dan basa lemah bila bertemu dengan air akan terjadi reaksi
hidrolisis.
Natrium benzoat merupakan garam yang berasal dari gabungan basa
kuat dan asam lemah. Bila bertemu dengan air akan terjadi reaksi seperti yang
terlihat pada Gambar 5 berikut :
Gambar 5. Proses reaksi hidrolisis natrium benzoat
Namun reaksi ini tidak sempurna karena pada natrium benzoat terdapat
siklus benzen yang bersifat sulit terurai. Reaksi hidrolisis ini dapat terjadi
karena adanya katalis yaitu suhu yang dapat mempercepat proses reaksi tanpa
mengubah proses reaksi yang berlangsung. Pada suhu yang lebih tinggi
mempermudah proses pelepasan ion-ion sehingga proses reaksi lebih cepat.
Selain karena kandungan natrium benzoat, penggembungan dapat juga terjadi
karena adanya kontaminasi mikroba.
Suhu penyimpanan pikel jahe pada penelitian ini adalah 30oC, 35oC
dan 40oC. Ketiga tingkatan suhu penyimpanan tersebut digunakan berdasarkan
metode ASS (Accelerated Storage Studies) yang menggunakan suatu kondisi
C
O
Na O + H2O C
O
OH + NaOH
lingkungan yang dapat mempercepat (Accelerated) reaksi deteriorasi
(penurunan mutu) produk pangan. Dengan demikin kerusakan yang
berlangsung dapat diamati dengan cermat dan diukur. Hal ini dapat dilakukan
dengan mengontrol semua lingkungan produk dan mengamati parameter
perubahan yang berlangsung (Arpah, 2001). Parameter mutu yang dianalisa
adalah kejernihan larutan pikel, kekerasan jahe, pH larutan, warna jahe
(kecerahan) dan mikrobiologi.
B. PARAMETER MUTU
1. Kekerasan Jahe
Parameter mutu kekerasan pikel jahe diukur berdasarkan
kedalaman jarum penetrometer mampu menembus bahan (jahe) dalam
waktu sepuluh detik dengan berat beban pada jarum sebesar 50 g. Semakin
tinggi nilai yang ditunjukkan oleh penetrometer maka semakin dalam pula
jarum menembus jahe, yang berarti jahe semakin lunak. Selang
pengukuran nilai kekerasan ini cukup tinggi berkisar antara 3.78-7.3
mm/10 detik/50 g. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 2.
berdasarkan sebaran data tersebut dapat dianalisa dengan menggunakan
regresi polinomial.
Berdasarkan hasil regresi polinomial terhadap perubahan kekerasan
jahe yang dapat dilihat pada Gambar 5 diperoleh nilai koefisien korelasi
(r) yang relatif rendah. Nilai koefisien korelasi diperoleh dari hasil akar
kuadrat dari nilai R pada Gambar 6. Data nilai koefisien korelasi
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai koefisien korelasi (r) pada parameter kekerasan pikel jahe
Suhu [Na-B] 0 ppm [Na-B] 100 ppm [Na-B] 200 ppm
30oC 0.7353 0.7158 0.6346
35oC 0.6611 0.6356 0.2676
40oC 0.8028 0.5621 0.5158
(a) y(1) = -0.0112x3 + 0.1877x2 - 0.6606x + 5.8394
R2 = 0.5406
y(2) = -0.0232x3 + 0.3537x2
- 1.3037x + 5.5811R2 = 0.5123
y(3) = -0.0122x3 + 0.1931x2
- 0.7606x + 5.7706R2 = 0.40273
4
5
6
7
8
0 2 4 6 8 10minggu ke
mm
/10
detik
/50g
(b)y(1) = -0.0147x3 + 0.2164x2
- 0.6689x + 5.9649R2 = 0.4371
y(2) = -0.0135x3 + 0.2262x2
- 0.9013x + 5.6543R2 = 0.404
y(3) = -0.0043x3 + 0.0627x2
- 0.2279x + 5.4398R2 = 0.0716
3
4
5
6
7
8
0 2 4 6 8 10
minggu ke
mm
/10d
etik
/50g
(c) y(1) = -0.0211x3 + 0.3465x2
- 1.279x + 5.8306R2 = 0.6445
y(2) = -0.0081x3 + 0.1245x2
- 0.5152x + 5.711R2 = 0.316
y(3) = -0.0068x3 + 0.1146x2
- 0.5545x + 5.811R2 = 0.26613
4
5
6
7
8
0 2 4 6 8 10minggu ke
mm
/10d
etik
/50g
0 100 200
Gambar 6. Analisa regresi polinomial terhadap perubahan kekerasan jahe selama penyimpanan pada suhu (a) 30oC, (b) 35oC dan (c) 40oC.
1
23
3
32
2
1
1
Rendahnya nilai koefisien korelasi yang disajikan pada Tabel 3
menunjukkan pada umumnya penambahan bahan pengawet dan perbedaan
suhu penyimpanan kurang mempengaruhi kekerasan pikel selama
penyimpanan. Hal ini diperkuat pada penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Wibowotomo (1992) yang menyatakan kekerasan pikel
jahe tidak dipengaruhi oleh suhu, lama penyimpanan, bentuk potongan
jahe dan jenis wadah.
Pada Gambar 6 memperlihatkan bahwa kekerasan pikel jahe
mengalami kenaikan terlebih dahulu dan kemudian mengalami penurunan.
Nilai koefiesien korelasi yang paling tinggi yaitu 0.8028 dimiliki oleh
pikel jahe tanpa penambahan natrium benzoat (0 ppm) yang disimpan pada
suhu 40oC yang menunjukan slope menurun hingga minggu ke-2, yang
berarti kekerasan pikel jahe meningkat. Meningkatnya kekerasan jahe
hingga minggu ke-2 mungkin disebabkan karena masih berlangsungnya
proses fermentasi yang menghasilkan asam laktat dan juga mungkin
karena adanya perubahan karbohidrat melalui reaksi biokimia. Menurut
Haditjaroko et al. (1982), bahwa tekstur berubah disebabkan pemutusan
rantai panjang karbohidrat menjadi senyawa gula yang bersifat larut.
Kadar gula ini selama penyimpanan akan mengalami peningkatan dan
kemudian turun kembali.
Hal lain yang menyebabkan peningkatan nilai kekerasan pikel jahe
mungkin juga dapat disebabkan oleh kandungan garam yang tinggi.
Menurut Buckle et al. (1985), garam menarik air dan zat-zat gizi dari
jaringan bahan pangan. Zat-zat gizi tersebut melengkapi substrat untuk
pertumbuhan bakteri asam laktat yang telah terdapat dalam permukaan
bahan (jahe). Garam dan asam yang dihasilkan dari proses fermentasi
menghambat pertumbuhan organisme yang tidak diinginkan dan menunda
pelunakan jaringan yang disebabkan oleh kerja enzim.
Setelah minggu ke-2 kekerasan pikel mengalami penurunan, yang
berarti pikel semakin lunak. Pelunakan ini mungkin disebabkan kadar gula
yang menurun. Turunnya kadar gula disebabkan gula dikonversi menjadi
asam laktat melalui proses fermentasi. Menurut Pederson (1982) bahwa
kerusakan pelunakan buah dan sayuran bisa merupakan akibat dari
perubahan kimia yang terjadi secara lambat dari bahan pangan yang
diolah. Menurut Apriyantono (1985), faktor utama pembentukan tekstur
pada awetan buah adalah kadar gula. Molekul-molekul gula dapat
membentuk ikatan hidrogen dengan dinding sel buah. Gula dapat
meningkatkan kekerasan pikel karena kemampuannya menarik molekul air
dari dalam bahan pangan. Apabila kadar gula berkurang maka akan
menyebabkan kekerasan pikel menurun.
Menurunnya kekerasan jahe dapat pula disebabkan adanya
degradasi senyawa pektin (yang bersifat tidak larut) dari dinding sel bahan
(jahe) menjadi asam pektat dan pektinat yang bersifat larut. Menurut
Winarno (1988), senyawa pektin dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu
asam pektat dan asam pektinat yang bersifat larut dan protopektin yang
bersifat tidak larut. Pektin terdapat pada dinding sel primer tanaman,
khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa. Senyawa pektin
berfungsi sebagai bahan perekat antara dinding sel yang satu dengan yang
lainnya. Senyawa pektin merupakan polimer dari asam D-galakturonat
yang dihubungkan dengan ikatan β-1,4-glukosida. Asam galakturonat
merupakan turunan dari galaktosa. Dengan demikian apabila ikatan antara
dinding-dinding sel terlepas maka komponen penyusun tekstur jahe
menjadi kurang kokoh sehingga akan ada komponen dinding sel yang
terlepas dan menyebabkan tekstur jahe menjadi lunak.
Menurut Winarno (1988), terjadinya pelunakan disebabkan
perubahan sifat pektin dari tidak larut menjadi larut air. Perubahan ini
disebabkan enzim pektinolitik yang berasal dari jahe itu sendiri atau
disebabkan oleh beberapa bakteri, kapang dan khamir. Enzim pektinolitik
diantaranya enzim polimetilgalakturonase dan poligalakturonase
memotong ikatan glukosida dengan pertolongan air. Enzim bekerja pada
pH optimal untuk hidrolisa ester galakturonat, yaitu 4.4 (Winarno, 1986).
Pada pikel jahe tanpa penambahan natrium benzoat (0 ppm) yang
disimpan pada suhu 40oC lebih banyak bakteri yang tumbuh sehingga
enzim galakturonase yang dihasilkan akan banyak pula yang menyebabkan
pektin terhidrolisis. Pada suhu yang lebih tinggi, reaksi hidrolisis lebih
cepat terjadi dan pektin semakin mudah terurai dan larut dalam air. Selain
itu pelunakan juga dapat disebabkan bakteri heterofermentatif yang
biasanya menghasilkan gas yang bisa menyebabkan pembengkakan yang
akan mempercepat pikel menjadi lunak (Rahayu dan Nurwitri, 1993).
Menurut Branen dan Davidson (1983) natrium benzoat juga dapat
menghambat sistem enzim yang spesifik dalam sel sehingga mikroba
pembusuk terhambat aktifitasnya dalam proses pelunakan jaringan. Oleh
karena itu pikel dengan penambahan natrium benzoat relatif lebih keras
dari pikel tanpa penambahan natrium benzoat.
Semakin lama bahan pangan disimpan, proses pelunakan akan
semakin cepat terjadi. Menurut Desrosier (1998) bahwa pelunakan
merupakan tahap sebelum terjadi pembusukan bahan pangan yang
disebabkan oleh bertambahnya jumlah organisme pembusuk dan
pektolitis. Buckle et al. (1985) menambahkan pertumbuhan
mikroorganisme pada produk bahan pangan dapat merusak bagian-bagian
struktur bahan pangan menjadi lebih lunak dan berair.
2. Warna Jahe
Warna bahan pangan dapat disebabkan oleh beberapa sumber dan
salah satu yang terpenting adalah pigmen di dalam tanaman. Karoten
adalah pigmen warna yang terdapat pada jahe (Muchtadi, 1998). Warna
jahe dianalisa dengan menggunakan alat colorimeter. Alat ini
menginterpretasikan warna bahan (jahe) ke dalam tiga nilai, yaitu nilai L,
a dan b. Nilai yang digunakan untuk menganalisa perubahan warna jahe
selama penyimpanan hanya menggunakan nilai L untuk mengukur tingkat
kecerahan jahe. Nilai Lightness memiliki kisaran nilai antara 0-100.
Semakin tinggi nilai L, maka warna jahe semakin cerah. Hasil pengukuran
warna jahe berdasarkan tingkat kecerahannya (Lightness) selama
penyimpanan 10 minggu disajikan pada Gambar 7. Data selengkapnya
mengenai pengukuran nilai Lightness disajikan pada Lampiran 3.
(a)y(1) = -0.5298x + 70.015
R2 = 0.5555
y(2) = -0.3325x + 71.241R2 = 0.2554
y(3) = -0.2598x + 71.972R2 = 0.41
58
60
62
64
66
68
70
72
74
0 2 4 6 8 10minggu ke
kece
raha
n ja
he
(b)y(1) = -0.6629x + 69.226
R2 = 0.8142
y(2) = -0.3211x + 70.549R2 = 0.4602
y(3) = -0.356x + 71.512R2 = 0.5789
586062646668707274
0 2 4 6 8 10
minggu ke
kece
raha
n ja
he
(c)y(1) = -1.0782x + 71.159
R2 = 0.7196
y(2) = -0.5838x + 71.132R2 = 0.6655
y(3) = -0.3579x + 71.378R2 = 0.7342
58
60
62
64
66
68
70
72
74
0 2 4 6 8 10minggu ke
kece
raha
n ja
he
0 100 200
Gambar 7. Analisa regresi linier terhadap perubahan kecerahan jahe selama penyimpanan pada suhu (a) 30oC, (b) 35oC dan (c) 40oC
32
1
32
1
1
2
3
Pada Gambar 7 terlihat bahwa pikel jahe dengan penambahan
natrium benzoat 200 ppm memiliki kecerahan yang lebih tinggi. Hal ini
mungkin dikarenakan natrium benzoat dapat menghambat proses reaksi
pencoklatan (Browning). Reaksi pencoklatan nonenzimatis atau reaksi
Maillard dikenal sebagai reaksi kompleks yang menghasilkan pigmen
coklat melanoidin pada akhir reaksinya (Arpah, 2001). Menurut Rahayu
dan Nurwitri (1993), bahwa reaksi Maillard merupakan penyebab utama
pencoklatan pada bahan pangan selama pemanasan dan penyimpanan
jangka panjang.
Tahap pertama dari reaksi Maillard adalah kondensasi gula
terhadap asam amino membentuk glikosamin melalui reaksi basa Schiff’s.
Glikosamin selanjutnya mengalami Amadori rearrangement sehingga
menghasilkan turunan amadori seperti 1-amino-1-deoxy-2-ketose.
Pembentukan komponen amadori menyebabkan turunnya kandungan asam
amino produk sehingga menyebabkan perubahan nilai gizi.
Komponen amadori yang terbentuk belum menyebabkan
perubahan warna sehingga secara fisik penampakan produk masih
memiliki warna seperti produk mula-mula. Tahap berikutnya dari reaksi
Maillard ditandai dengan berlangsungnya beberapa jalur, antara lain:
a. Perubahan bentuk 1-2 enol atau 2-3 enol dari komponen amadori
menjadi komponen flavor.
b. Degradasi oksidatif asam amino oleh dikarbonil yang terbentuk akibat
pathway yang pertama, reaksi ini disebut juga Strecker degradation.
c. Transaminasi basa Schiff’s.
d. Substitusi tahap kedua pada komponen amino-deoksi-ketosa.
Tahap ketiga atau terakhir dari reaksi browning nonenzimatis ini
kemudian ditandai oleh pembentukan komponen-komponen heterosiklik
seperti pyrazines dan pyroles serta polimerisasi beberapa produk reaksi
membentuk pigmen coklat melanoidin (Arpah, 2001).
Kecerahan (lightness) jahe pada pikel tanpa penambahan natrium
benzoat (0 ppm) yang memiliki niai korelasi paling tinggi yaitu 0.90233
yang dapat dilihat pada Tabel 4 menunjukan bahwa selama penyimpanan
semakin lama semakin kecerahan jahe semakin berkurang. Menurut
Muchtadi (1988), penurunan kecerahan jahe ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya:
1. Pigmen-pigmen alami biasanya mengalami perubahan kimia,
sebagimana yang terjadi pada proses pematangan buah-buahan.
Pigmen juga sangat sensitif terhadap perubahan kimia dan fisika
selama pengolahan, terutama panas yang sangat berpengaruh terhadap
pigmen bahan pangan.
2. Warna disebabkan oleh reaksi kimia antara gula dan asam amino dari
protein yang dikenal sebagai reaksi pencoklatan (browning) atau reaksi
Maillard.
Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa hubungan antara
lama penyimpanan dengan nilai kecerahan jahe tanpa penambahan natrium
benzoat (0 ppm) pada suhu 35oC adalah
y = -0.6629x + 69.226
dengan kemiringan garis regresi (k) = -0.6629 dan koefisien korelasi (r) =
0.90233.
Nilai negatif (-) pada slope atau kemiringan garis regresi
menunjukkan bahwa parameter kecerahan berbanding terbalik dengan
parameter lama penyimpanan atau dapat dikatakan bahwa kecerahan jahe
akan semakin menurun sejalan dengan bertambahnya waktu penyimpanan.
Penurunan kecerahan jahe pada setiap tingkatan konsentrasi natrium
benzoat pada masing-masing suhu penyimpanan mengikuti persamaan
kurva regresi linier seperti yang terdapat di dalam Tabel 4.
Nilai kemiringan garis pada masing-masing suhu dapat digunakan
pada perhitungan laju perubahan mutu dengan metode Arrhenius, yaitu :
k = ko.e-E/RT atau ln k = ln ko - E/RT
apabila setiap nilai ln k dan 1/T dalam satuan Kelvin (K) diplotkan, maka
akan diperoleh grafik seperti pada Gambar 8 dengan menggunakan data
yang terdapat di dalam Tabel 5.
Tabel 4. Persamaan kurva regresi linier penurunan kecerahan jahe
[Na-benzoat] Suhu Persamaan Nilai k r
0 ppm 30oC 35oC 40oC
y = -0.5298x + 70.015 y = -0.6629x + 69.226 y = -1.0782x + 71.159
-0.5298 -0.6629 -1.0782
0.74532 0.90233 0.84829
100 ppm 30oC 35oC 40oC
y = -0.3325x + 71.241 y = -0.3211x + 70.549 y = -0.5838x + 71.132
-0.3325 -0.3211 -0.5838
0.50537 0.67838 0.81578
200 ppm 30oC 35oC 40oC
y = -0.2598x + 71.972 y = -0.356x + 71.512 y = -0.3579x + 71.378
-0.2598 -0.3560 -0.3579
0.6403120.7608550.856855
Tabel 5. Data nilai ln k dan 1/T dalam satuan Kelvin (K)
[Na-benzoat] Suhu Nilai k ln |k| 1/T
0 ppm
30oC 35oC 40oC
0.5298 0.6629 1.0782
-0.64 -0.41 0.08
3.30 x10-3/K 3.25 x10-3/K 3.19 x10-3/K
100 ppm
30oC 35oC 40oC
0.3325 0.3211 0.5838
-1.10 -1.14 -0.54
3.30 x10-3/K 3.25 x10-3/K 3.19 x10-3/K
200 ppm 30oC 35oC 40oC
0.2598 0.3560 0.3579
-1.35 -1.03 -1.03
3.30 x10-3/K 3.25 x10-3/K 3.19 x10-3/K
y = -6724.7x + 21.514R2 = 0.9526
-0.80-0.70-0.60-0.50-0.40-0.30-0.20-0.100.000.100.20
3.15 3.20 3.25 3.30 3.35
1/T X 1/1000
ln k
(a)
y = -5305.7x + 16.304R2 = 0.6951
-1.40
-1.20
-1.00
-0.80
-0.60
-0.40
-0.20
0.003.15 3.20 3.25 3.30 3.35
1/T x 1/1000
ln k
(b)
y = -3053.7x + 8.7803R2 = 0.7704
-1.60
-1.40
-1.20
-1.00
-0.80
-0.60
-0.40
-0.20
0.003.15 3.20 3.25 3.30 3.35
1/T x 1/1000
ln k
(c)
Gambar 8. Hubungan antara ln k dengan 1/T berdasarkan parameter kecerahan
jahe pada pikel jahe dengan penambahan natrium benzoat (a) 0 ppm, (b) 100 ppm dan (c) 200 ppm.
Karena ln ko dan -E/R merupakan bilangan konstanta, maka
persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :
ln k = A + B(1/T)
Nilai perpotongan merupakan nilai ln ko dari persamaan Arrhenius
sehingga dapat diperoleh nilai ko (konstanta tidak tergantung suhu) dengan
persamaan sebagai berikut :
ln ko = A
Setelah diperoleh nilai -E/R dan ko, maka dapat diperoleh model
atau persamaan Arrhenius untuk laju penurunan kecerahan jahe pada
ketiga tingkatan konsentrasi dengan persamaan sebagai berikut :
k = ko.e-E/RT
Tabel 6. Perhitungan rumus laju penurunan mutu
Nilai 0 ppm 100 ppm 200 ppm
-E/R -6724.70K -5305.70K -3053.70K
E 13355.25 kal/mol 10537.12 kal/mol 6064.65 kal/mol ln ko 21.51 16.30 8.78
ko 2.21x109 1.2x107 6504.83
k
(2.21x109)x e-6724.7 (1/T)
(1.2x107)x e-5305.7 (1/T)
6504.83x e-3053.7 (1/T)
Berdasarkan persamaan Arrhenius di atas, dapat ditentukan laju
penurunan kecerahan jahe pada berbagai suhu penyimpanan seperti
disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Laju penurunan kecerahan pada berbagai suhu penyimpanan
[Na-benzoat] Suhu Persamaan k (/minggu)
0 ppm 30oC 35oC 40oC
k = (2.21x109)x e-6724.7 (1/303)
k = (2.21x109)x e-6724.7 (1/308)
k = (2.21x109)x e-6724.7 (1/313)
0.508 0.728 1.032
100 ppm 30oC 35oC 40oC
k = (1.2x107)x e-5305.7 (1/303)
k = (1.2x107)x e-5305.7 (1/308)
k = (1.2x107)x e-5305.7 (1/313)
0.300 0.398 0.524
200 ppm 30oC 35oC 40oC
k = 6504.83x e-3053.7 (1/303)
k = 6504.83x e-3053.7 (1/308)
k = 6504.83x e-3053.7 (1/313)
0.273 0.322 0.377
Hasil penghitungan laju penurunan mutu pada parameter kecerahan
jahe yang dapat dilihat pada Tabel 7 menunjukan bahwa pada suhu
penyimpanan 40oC untuk ketiga tingkatan konsentrasi natrium benzoat
memiliki laju penurunan kecerahan yang lebih cepat. Pikel dengan
konsentrasi natrium benzoat 0 ppm, 100 ppm dan 200 ppm berturut-turut
memiliki laju penurunan kecerahan sebesar 1.032, 0.524 dan 0.377 per
minggu. Hal ini mungkin disebabkan pada suhu tersebut lebih mendukung
terjadinya reaksi Maillard. Menurut Winarno (1997), perlakuan
pemanasan juga akan mengurangi warna, karena pigmen karotenoid tidak
stabil pada suhu tinggi. Selain itu pada grafik terlihat penurunan yang
berarti semakin gelap. Terjadinya perubahan warna pada jahe mungkin
disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Buckle et al. (1985),
menjelaskan bahwa terdapat beberapa mikroorganisme yang mampu
menghasilkan koloni-koloni yang berwarna atau mempunyai pigmen (zat
warna) yang memberi warna pada bahan pangan tersebut.
3. Kejernihan Larutan Pikel Jahe
Kejernihan turut menentukan mutu produk pikel karena produk
yang diinginkan adalah produk yang memiliki penampakan visual yang
baik, yaitu yang larutannya jernih. Kejernihan diukur dengan nilai optical
density (OD) yang menunjukkan kemampuan larutan pikel dalam
menyerap cahaya, yang berarti banyaknya sinar yang mampu diserap oleh
larutan tersebut. Semakin banyak sinar yang diserap oleh partikel larutan
menunjukkan larutan tersebut semakin keruh dan begitu pula sebaliknya.
Dengan demikian nilai pengukuran berbanding terbalik dengan kejernihan
cairan pikel. Pada penelitian ini, kejernihan pikel jahe diukur dengan
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang sinar ultra violet
373 nm dimana terjadi penyerapan cahaya (absorbansi) maksimum. Data
selengkapnya disajikan pada Lampiran 4, dan data tersebut diplotkan
dalam grafik pada Gambar 9.
Penurunan kecerahan jahe pada setiap tingkatan konsentrasi
natrium benzoat pada masing-masing suhu penyimpanan mengikuti
persamaan kurva regresi linier seperti yang terdapat di dalam Tabel 8.
Pada Tabel 8 memperlihatkan nilai koefisien korelasi yang tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa konsentrasi natrium benzoat, suhu penyimpanan dan
lamanya penyimpanan mempengaruhi perubahan kejernihan larutan pikel
jahe.
Tabel 8. Nilai koefisien korelasi (r) pada parameter kecerahan jahe
Suhu [Na-B] 0 ppm [Na-B] 100 ppm [Na-B] 200 ppm
30oC 0.98944 0.98884 0.99333 35oC 0.98742 0.98783 0.98924 40oC 0.96845 0.96265 0.98575
(a)
y(1) = 0.0283x + 0.152R2 = 0.979
y(2) = 0.0238x + 0.1351R2 = 0.9778
y(3) = 0.0252x + 0.1242R2 = 0.9867
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0 2 4 6 8 10minggu ke
OD
(b)y(1) = 0.0325x + 0.1607
R2 = 0.975
y(2) = 0.0262x + 0.1459R2 = 0.9758
y(3) = 0.0247x + 0.1359R2 = 0.9786
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0 2 4 6 8 10
minggu ke
OD
(c)y(1) = 0.0363x + 0.189
R2 = 0.9379
y(2) = 0.0268x + 0.1744R2 = 0.9267
y(3) = 0.0278x + 0.1434R2 = 0.9717
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0 2 4 6 8 10minggu ke
OD
0 100 200
Gambar 9. Analisa regreasi linier terhadap perubahan kejernihan larutan pikel selama penyimpanan pada suhu (a) 30oC, (b) 35oC dan (c) 40oC
3
2
1
32
1
3
2
1
Dari Gambar 9 dapat diketahui bahwa pikel tanpa penambahan
natrium benzoat (0 ppm) memiliki nilai absorbansi yang lebih tinggi, yang
berarti paling keruh dibandingkan pikel dengan penambahan natrium
benzoat (100 ppm dan 200 ppm). Nilai terendah diperoleh pikel dengan
penambahan natrium benzoat 200 ppm, yang berarti paling jernih. Hal ini
mungkin disebabkan natrium benzoat mampu menghambat pertumbuhan
mikroorganisme. Mikroba yang merugikan ini mampu memecah
protopektin karena memiliki enzim poligalakturonase yang akan
menghidrolisa ikatan glikosida pada protopektin. Enzim pektineterase
akan menguraikan ikatan ester pektin dan menghasilkan metanol dan asam
pektat (Vaughn, 1982). Terhambatnya aktivitas enzim pengurai selulosa
pada dinding sel jaringan karena natrium benzoat dapat mengikat ko-
enzim, sehingga tidak dapat berikatan dengan enzim (Rahayu dan
Nurwitri, 1993). Dengan demikian terurainya selulosa ke dalam cairan
dapat dicegah.
Pikel jahe semakin lama disimpan maka larutannya akan semakin
keruh. Hal ini mungkin karena selama penyimpanan bakteri pektolitik
yang memecah substansi protopektin yang tidak larut menjadi pektin yang
larut lebih dominan, sehingga lebih banyak selulosa yang terurai. Terjadi
pelepasan komponen yang tidak larut menjadi semakin banyak, sehingga
nilai absorbansi naik yang berarti cairan semakin keruh. Gaman dan
Sherrington (1992) menambahkan bahwa dalam beberapa keadaan, adanya
pektin tidak dikehendaki seperti pada sari buah dan anggur minuman,
pektin menyebabkan kekeruhan yang tidak disukai.
Berdasarkan perhitungan laju penurunan mutu yang dilakukan
dengan cara yang sama seperti pada parameter warna (kecerahan) jahe
maka diperoleh laju penurunan mutu pada parameter kejernihan yang
diperlihatkan pada Tabel 9.
Tabel 9. Laju penurunan kejernihan larutan pikel pada berbagai suhu penyimpanan.
[Na-benzoat] Suhu Persamaan k (/minggu)
0 ppm 30oC 35oC 40oC
k = 69.08x e-2362.3 (1/303)
k = 69.08x e-2362.3 (1/308)
k = 69.08x e-2362.3 (1/313)
0.028 0.032 0.036
100 ppm 30oC 35oC 40oC
k = 1.00x e-1129.6 (1/303)
k = 1.00x e-1129.6 (1/308)
k = 1.00x e-1129.6 (1/313)
0.024 0.026 0.027
200 ppm 30oC 35oC 40oC
k = 1.92x e-924.07 (1/303)
k = 1.92x e-924.07 (1/308)
k = 1.92x e-924.07 (1/313)
0.091 0.096 0.100
Pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa pada suhu yang lebih tinggi
(40oC) memiliki laju penurunan kejernihan yang paling tinggi pada ketiga
tingkatan konsentrasi natrium benzoat. Pikel jahe tanpa penambahan
natrium benzoat (0 ppm) memiliki laju penurunan kejernihan larutan
sebesar 0.036 per minggu, laju penurunan kejernihan larutan pikel dengan
natrium benzoat 100 ppm adalah sebesar 0.027 per minggu dan 0.1 per
minggu untuk pikel dengan natrium benzoat 200 ppm. Hal ini mungkin
disebabkan pada suhu yang lebih tinggi penguraian jaringan melalui
proses reaksi secara kimiawi maupun enzimatis terjadi lebih cepat,
sehingga lebih banyak nutrien yang keluar dan lebih banyak selulosa yang
dilepas dari jahe ke dalam cairan yang menyebabkan cairan semakin
keruh. Selain itu mungkin dapat disebabkan oleh aktivitas mikroba jenis
mesofilik, yaitu mikroba yang pertumbuhan optimalnya pada suhu antara
35oC-37 oC yang dapat menyebabkan pembusukan pada bahan pangan
(Winarno, 1994).
Kejernihan larutan menurun dapat dikarenakan dua hal, yaitu
meningkatnya total padatan terlarut akibat larutnya pektin menjadi
pektinat oleh kegiatan enzim dan keluarnya nutrien-nutrien dalam jaringan
oleh peristiwa difusi osmosis (Rahayu dan Nurwitri, 1993). Jika pektin
berubah menjadi pektinat yang bersifat larut dalam air akan menyebabkan
selulosa-selulosa kehilangan ikatannya sehingga terurai ke dalam larutan.
Adanya nutrien ini dapat meningkatkan total padatan terlarut dalam cairan,
sehingga cairan semakin tidak jernih.
4. pH Larutan Pikel Jahe
Menurut Muchtadi (1988) pH merupakan ion hidrogen yang aktif.
Nilai pH larutan pikel jahe menyatakan banyaknya ion hidrogen di dalam
larutan tersebut. Nilai pH yang diperoleh selama penyimpanan bervariasi
antara 3.58-5.49. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.
Menurut Luh dan Woodroof (1975), pada fermentasi salt stock pickle pH
dapat dicapai pada kisaran 3.6 – 3.8 dengan fermentasi selama seminggu
pada konsentrasi garam rendah dan suhu yang sesuai. Tingginya rata-rata
pH pada produk pikel ini mungkin disebabkan penggunaan kadar garam
yang tinggi yaitu 25 %.
Menurut Etchells et al. (1975) di dalam Wibowotomo (1992),
penggunaan konsentrasi garam yang tinggi menyebabkan bakteri asam
laktat kurang dapat mengkonversi gula sehingga fermentasi terhambat dan
produksi asam berkurang. Hal ini mengakibatkan penurunan pH menjadi
lambat. Di samping itu dalam pembuatan pikel pada penelitian ini tidak
ada penambahan gula, karena dengan adanya gula akan lebih banyak
tersedia nutrien bagi bakteri asam laktat untuk diuraikan menjadi asam-
asam organik sehingga produksi asam akan meningkat dan penurunan pH
dapat lebih cepat tercapai. Namun meskipun tidak ditambahkan gula, di
dalam jahe itu sendiri mengandung pati yang dapat dihidrolisis menjadi
glukosa. Pada Gambar 10 menunjukan hubungan antara nilai pH dan lama
penyimpanan untuk tiga jenis perlakuan pada pembuatan pikel jahe pada
tiga tingkatan suhu penyimpanan.
(a)y(1) = -0.1197x + 4.9832
R2 = 0.8179
y(2) = -0.0141x + 5.166R2 = 0.4091
y(3) = -0.0228x + 5.4151R2 = 0.5875
3
3.5
4
4.5
5
5.5
6
0 2 4 6 8 10minggu ke
pH
(b)
y(3) = -0.0147x + 5.3372R2 = 0.1656
y(2) = -0.0363x + 5.2357R2 = 0.7494
y(1) = -0.1183x + 4.9449R2 = 0.7032
3
3.5
4
4.5
5
5.5
6
0 2 4 6 8 10minggu ke
pH
(c)y(1) = -0.1402x + 4.9338
R2 = 0.7745
y(2) = -0.0635x + 5.2259R2 = 0.8791
y(3) = -0.0053x + 5.2672R2 = 0.023
3
3.5
4
4.5
5
5.5
6
0 2 4 6 8 10minggu ke
pH
0 100 200
Gambar 10. Analisa regresi linier terhadap perubahan nilai pH larutan pikel jahe
selama penyimpanan pada suhu (a) 30oC, (b) 35oC dan (c) 40oC.
32
1
32
1
3
2
1
Pikel tanpa penambahan natrium benzoat (0 ppm) memiliki nilai
koefisien korelasi relatif tinggi yang selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 10. Hal ini menunjukkan semakin lama penyimpanan menyebabkan
nilai pH semakin turun yang diperlihatkan oleh slope yang menurun. Hal
ini disebabkan semakin banyak asam organik yang terbentuk karena
ativitas bakteri asam laktat dan mungkin terjadi pelepasan asam-asam dari
bahan ke dalam larutan akibat proses osmosis, sehingga dapat menurunkan
pH.
Tabel 10. Nilai koefisien korelasi (r) pada parameter kecerahan jahe
Suhu [Na-B] 0 ppm [Na-B] 100 ppm [Na-B] 200 ppm
30oC 0.9044 0.6396 0.7665 35oC 0.8386 0.8657 0.4069 40oC 0.8801 0.9376 0.1517
Gambar 10 hasil analisa regresi linier terhadap perubahan nilai pH
larutan pikel jahe dapat diketahui bahwa perlakuan dengan penambahan
natrium benzoat 200 ppm memiliki nilai pH yang lebih tinggi
dibandingkan perlakuan dengan penambahan natrium benzoat 100 ppm
dan 0 ppm. Hal ini mungkin disebabkan oleh terurainya bahan pengawet
natrium benzoat yang berbentuk garam dari asam lemah dan basa kuat
menghasilkan ion-ionnya. Dengan adanya ion Na+ dalam air menyebabkan
kenaikan pH.
Tingginya nilai pH mungkin juga dapat disebabkan oleh
kontaminasi mikroba yang mengoksidasi asam-asam yang dihasilkan dan
merangsang pertumbuhan mikroba pembusuk sehingga dapat
meningkatkan pH (Fleming,1982). Tingkat keasaman dari pikel sangat
mempengaruhi tingkat keefektifan dari natrium benzoat. Benzoat kurang
efektif dalam bahan yang memiliki pH mendekati 7 dibandingkan dengan
bahan pangan yang asam yang mempunyai pH mendekati 3.0. Pada
umumnya aktivitas benzoat meningkat menjadi sepuluh kali dalam
substrat yang mempunyai pH rendah dari pada substrat yang mempunyai
pH tinggi (Muljohardjo, 1988). Maka dari itu mikroba pembusuk mungkin
saja tumbuh.
Berdasarkan perhitungan laju penurunan mutu yang dilakukan
dengan cara yang sama seperti pada parameter warna (kecerahan) jahe,
maka diperoleh laju penurunan mutu pada parameter pH larutan yang
diperlihatkan pada Tabel 11.
Tabel 11. Laju penurunan pH larutan pikel pada berbagai suhu penyimpanan.
[Na-benzoat] Suhu Persamaan k (/minggu)
0 ppm 30oC 35oC 40oC
k = 15.86x e-1489.8 (1/303)
k = 15.86x e-1489.8 (1/308)
k = 15.86x e-1489.8 (1/313)
0.116 0.126 0.136
100 ppm 30oC 35oC 40oC
k = (4.54x1018)x e-14291 (1/303)
k = (4.54x1018)x e-14291 (1/308)
k = (4.54x1018)x e-14291 (1/313)
0.015 0.032 0.068
200 ppm 30oC 35oC 40oC
k = (4.09x10-22)x e13806 (1/303)
k = (4.09x10-22)x e13806 (1/308)
k = (4.09x10-22)x e13806 (1/313)
0.025 0.012 0.006
Berdasarkan perhitungan laju penurunan pH yang diperlihatkan
pada Tabel 11, menunjukkan bahwa larutan pikel dengan penambahan
natrium benzoat 0 ppm dan 100 ppm memiliki laju penurunan yang paling
besar pada suhu penyimpanan 40oC. Hal yang berpengaruh besar terhadap
pertumbuhan mikroba dan hasil fermentasi adalah suhu. Hal ini
dikarenakan mikroorganisme yang berperan dalam proses fermentasi pikel
dapat menghasilkan asam laktat secara optimum pada kisaran suhu
tertentu saja. Menurut Ayres (1980), proses fermentasi akan berlangsung
optimum pada kisaran suhu 23.9-26.7oC, dan menurut Vaughn (1985),
fermentasi yang dilakukan pada suhu yang lebih tinggi dari suhu ruang
menyebabkan produksi asam akan meningkat sehingga fermentasi
berlangsung lebih cepat, sedangkan suhu penyimpanan pikel dalam
penelitian ini adalah lebih tinggi dari suhu ruang. Dengan demikian asam
yang terbentuk dapat menurunkan pH. Winarno (1994) menambahkan
bahwa pada suhu 35-37oC merupakan suhu yang optimum untuk
pertumbuhan mikroba perusak jenis mesofilik.
Laju penurunan pH larutan pada pikel dengan penambahan natrium
benzoat 200 ppm yang disimpan pada suhu 40oC memiliki laju penurunan
pH yang paling kecil yaitu 0.006 per minggu. Hal ini mungkin
dikarenakan natrium benzoat yang semakin banyak dan pada suhu yang
lebih tinggi semakin banyak ion-ion Na+ yang terlepas yang dapat
menaikan pH, sehingga menyebabkan penurunan pH menjadi lebih lambat
pada suhu penyimpanan 40oC.
Lunawati (1982) menyatakan bahwa dalam molekul pati cenderung
menarik partikel dengan muatan negatif. Sifat pati ini juga dimiliki oleh
gula karena sifat tersebut terutama disebabkan sifat-sifat gugus
hidroksinya. Penarikan ion OH- ke sekitar molekul gula (pati) akan
mengakibatkan konsentrasi efektif ion H+ dalam larutan akan meningkat
sehingga pH akan turun.
5. Total Mikroba
Mikroba mampu hidup di hampir semua tempat dan keadaan, serta
mampu bertahan dalam berbagai keadaan lingkungan, baik pada suhu,
tekanan, pH, tingkat osmosis (larutan gula dan garam) serta kadar air yang
ekstrim (Winarno, 1994). Data total bakteri yang dihasilkan selama
fermentasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.
Pada awal fermentasi pikel, uji TPC (Total plate count)
menunjukan tidak ada bakteri yang tumbuh pada semua perlakuan pikel.
Hal ini disebabkan pada saat pembuatan pikel, larutan perendam dituang
dalam keadaan mendidih dan mikroba dapat mati dengan cepat, juga
larutan memiliki kadar garam yang tinggi yaitu 25%, sehingga dalam
keadaan lingkungan tersebut mikroba akan sulit bertahan dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan ekstrim tersebut. Selain itu,
kandungan jahe itu sendiri memiliki sifat anti mikrobial yang dapat
mencegah tumbuhnya mikroba (Mazza dan Oomah, 2000).
Selama penyimpanan pikel dengan penambahan natrium benzoat
200 ppm memiliki total mikroba yang lebih sedikit dari pikel dengan
penambahan natrium benzoat 100 ppm dan tanpa penambahan natrium
benzoat. Hal ini di karenakan natrium benzoat merupakan bahan pengawet
yang dapat mencegah pertumbuhan mikroba. Menurut Winarno dan
Laksmi (1974) mekanisme kerja asam benzoat sebagai bahan pengawet
berdasarkan pada permeabilitas dari membran sel mikroba terhadap
molekul-molekul asam yang tidak terdisosiasi. Oleh karena itu dalam sel
pHnya netral, maka asam benzoat akan terdisosiasi sehingga di dalam sel
mikroba banyak terdapat ion-ion hidrogen. Hal ini akan menyebabkan pH
sel menjadi rendah, sehingga dapat merusak organ-organ sel mikroba.
Pada akhir penyimpanan, jumlah mikroba semakin banyak hal ini mungkin
dikarenakan jenis mikroba tertentu ada yang mampu bertahan dan
beradaptasi. Menurut Voughn (1982), Lactobacillus plantarum merupakan
bakteri yang hidup pada tahap akhir fermentasi pikel.
Winarno (1994) menjelaskan bahwa daya tahan mikroba sangat
tergantung pada banyak faktor, yaitu faktor intrinsik seperti pH, Aw
(Water activity), tekanan oksigen, kandungan zat gizi, dan senyawa
penghambat, juga faktor ekstrinsik seperti suhu, kelengasan udara,
konsentrasi gas dalam lingkungannya serta radiasi.
Diduga bakteri yang tumbuh disini adalah bakteri yang tahan
garam, termasuk bakteri asam laktat mengingat kadar garam 25% yang
digunakan cukup tinggi. Dalam hubungannya dengan aktivitas air, adanya
garam dapat mengakibatkan tekanan osmotik pada sel mikroorganisme
dengan menyerap keluar air dalam sel sehingga menyebabkan sel
kekurangan air dan mati. Beberapa jenis mikroba dapat menyesuaikan diri
dengan keadaan tersebut. Golongan bakteri yang tahan dalam lingkungan
yang berkadar garam tinggi disebut holofilik. Bakteri tersebut diantaranya
dari jenis Holobacterium, Sarcina, Micrococcus, Pseudomonas, Vibrio,
Pedicoccus dan Alcaligenes.
Penyimpanan pikel pada suhu 40oC memiliki total mikroba yang
lebih banyak dibandingkan penyimpanan pada suhu 35oC dan 30oC. Hal
ini dikarenakan suhu tersebut merupakan suhu optimum untuk
pertumbuhan mikroba. Menurut Buckle et al. (1985), suhu merupakan
salah satu faktor lingkungan terpenting yang mempengaruhi kehidupan
dan pertumbuhan organisme. Apabila suhu naik, maka kecepatan
metabolisme naik pula dan pertumbuhan dipercepat. Demikian sebaliknya,
apabila suhu rendah kecepatan metabolisme juga turun dan pertumbuhan
diperlambat.
Menurut Winarno (1994) mikroba memiliki kemampuan tumbuh
dan berkembang biak dalam lingkungan dengan kisaran yang sangat luas.
Mereka dapat dikelompokkan berdasarkan pada suhu pertumbuhan
optimalnya.
a. Mikroba psikrofilik. Mikroba dapat tumbuh dengan baik pada kisaran
suhu antara -7oC-10oC. Mereka dapat tumbuh lambat pada suhu lemari
es. Karena itu, mikroba-mikroba tersebut menyebabkan pembusukan
makanan yang disimpan pada suhu rendah atau yang disimpan dalam
lemari es, misalnya, daging segar, unggas, ikan, dan produk suhu. Dari
species C. botulinum hanya ada satu yang tergolong psychrophiles atau
psychotrophis yaitu Clostridium botulinum tipe E yang biasa terdapat
dalam air dingin dan banyak kaitannya dengan komoditi ikan.
b. Mikroba mesofilik tumbuh dengan baik pada kisaran suhu antara 25oC
dan 40oC. Suhu pertumbuhan optimalnya antara 35oC-37oC. Banyak
mikroba yang terdapat pada makanan termasuk dalam kategori
mesophiles.
c. Mikroba termofilik tumbuh baik pada suhu 45oC atau lebih tinggi,
dengan suhu pertumbuhan optimal antara 55oC dan 65oC. Mikroba
tersebut biasanya merupakan penyebab kerusakan dan pembusukan
makanan dalam kaleng, yang menyebabkan terjadinya flat sour yaitu
isi kaleng menjadi asam tanpa terbentuknya gas. Laju pertumbuhan
atau pembelahan sel mikroba meningkat dengan meningkatnya suhu.
Mikroba thermophiles dapat berkembang biak dengan membelah diri
hanya dalam waktu 2 menit saja pada suhu 55oC, sedangkan mikroba
psikrofilik memerlukan waktu 100 menit pada suhu 2oC.
Bermacam-macam mikroba seperti kapang, bakteri dan ragi
mempunyai daya perusak terhadap bahan hasil pertanian. Cara
perusakannya adalah dengan cara menghidrolisis atau mendegradasi
makromolekul-makromolekul yang menyusun bahan tersebut menjadi
fraksi-fraksi yang lebih kecil. Misalnya karbohidrat menjadi gula
sederhana atau pemecah lebih lanjut dari gula menjadi asam-asam yang
mempunyai atom karbon yang rendah. Protein dapat dipecahkan menjadi
gugusan peptida dan senyawa amida serta gas amoniak, sedangkan lemak
dapat pecah menjadi gliserol dan asam-asam lemak. Dengan terpecahnya
karbohidrat (pati, pektin, atau selulosa), maka bahan dapat mengalami
pelunakan. Terjadinya asam dapat menurunkan pH, dan terbentuknya gas-
gas hasil pemecahan dapat mempengaruhi bau dan cita rasa bahan
(Muchtadi, 1988).
Secara keseluruhan keadaan isi rimpang jahe baik itu dari segi
bentuk, bau dan warna memenuhi standar yang ditetapkan di dalam SNI
No. 01-4289-1996. untuk parameter pH larutan pikel, pada pikel jahe hasil
penelitian memiliki nilai yang lebih tinggi dari standar. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya tingginya konsebtrasi garam
yang digunakan, adanya kontaminasi mikroba pembusuk dan tidak adanya
penambahan asam pada pikel hasil penelitian sedangkan pikel pada
prosedur (SNI) No. 01-4289-1996 dilakukan penambahan asam. Parameter
angka lempeng total (total mikroba) pada pikel jahe hasil penelitian pada
umumnya melebihi standar yang ditetapkan oleh (SNI) No. 01-4289-1996.
hal ini dapat dikarenakan tumbuhnya mikroba yang tahan terhadap
konsentrasi garam tinggi atau dapat disebabkan kondisi yang kurang
aseptis saat pengujiaan. Pada Tabel 12 dapat dilihat perbandingan seluruh
parameter yang diujikan pada penelitian ini dengan Standar Nasional
Indonesia (SNI) No. 01-4289-1996.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Pada parameter kekerasan, penambahan bahan pengawet dan
perbedaan suhu penyimpanan kurang mempengaruhi kekerasan pikel selama
penyimpanan. Kekerasan pikel jahe mengalami kenaikan terlebih dahulu
hingga minggu ke-2 dan kemudian mengalami penurunan atau pelunakan
setelah lebih dari 2 minggu penyimpanan.
Kecerahan (lightness) jahe pada pikel tanpa penambahan natrium
benzoat (0 ppm) yang memiliki niai korelasi paling tinggi menunjukkan
bahwa semakin lama penyimpanan kecerahan jahe semakin berkurang. Pikel
jahe dengan penambahan natrium benzoat 200 ppm memiliki kecerahan yang
lebih tinggi. Pada suhu penyimpanan 40oC untuk ketiga tingkatan konsentrasi
natrium benzoat memiliki laju penurunan kecerahan yang lebih cepat. Pikel
dengan konsentrasi natrium benzoat 0 ppm, 100 ppm dan 200 ppm berturut-
turut memiliki laju penurunan kecerahan sebesar 1.032, 0.524 dan 0.377 unit
lightness per minggu.
Pada parameter kejernihan larutan menunjukkan bahwa konsentrasi
natrium benzoat, suhu penyimpanan dan lamanya penyimpanan
mempengaruhi perubahan kejernihan larutan pikel jahe. Pikel dengan
konsentrasi natrium benzoat 0 ppm memiliki kejernihan yang paling rendah
dan pikel dengan konsentrasi natrium benzoat 200 ppm larutannya paling
jernih. Pada suhu yang lebih tinggi (40oC) memiliki laju penurunan kejernihan
yang paling tinggi pada ketiga tingkatan konsentrasi natrium benzoat. Pikel
jahe dengan konsentrasi natrium benzoat 0 ppm, 100 ppm dan 200 ppm
berturut-turut memiliki laju penurunan kejernihan larutan sebesar 0.036, 0.027
dan 0.1 unit OD per minggu.
Pada parameter pH larutan pikel, nilai pH yang diperoleh selama
penyimpanan bervariasi antara 3.58-5.49. pH larutan pikel mengalami
penurunan selama penyimpanan. pH larutan pikel jahe dengan konsentrasi
natrium benzoat 200 ppm memiliki nilai pH yang lebih tinggi dibandingkan
perlakuan dengan penambahan natrium benzoat 100 ppm dan 0 ppm. Pikel
dengan konsentrasi natrium benzoat 0 ppm dan 100 ppm memiliki laju
penurunan yang paling besar pada suhu penyimpanan 40oC, yaitu 0.136 dan
0.068 unit pH per minggu, sedangkan pada konsentrasi natrium benzoat 200
ppm yang disimpan pada suhu 40oC memiliki laju penurunan pH yang paling
kecil yaitu 0.006 unit pH per minggu
Pada awal fermentasi pikel (minggu ke 0), uji TPC (Total plate
count) menunjukkan tidak ada bakteri yang tumbuh pada semua perlakuan
pikel. Selama penyimpanan pikel dengan penambahan natrium benzoat 200
ppm memiliki total mikroba yang lebih sedikit dari pikel dengan penambahan
natrium benzoat 100 ppm dan 0 ppm. Penyimpanan pikel pada suhu 40oC
memiliki total mikroba yang lebih banyak dibandingkan penyimpanan pada
suhu 35oC dan 30oC.
B. SARAN
1. Dari segi kemasan sebaiknya menggunakan kemasan yang lebih kuat dari
plastik seperti wadah gelas (botol jar). Hal ini dikarenakan kemasan
plastik yang digunakan pada penelitian ini mengalami penggembungan
terutama pada penyimpanan suhu 40oC.
2. Pada proses fermentasi, gula merupakan komponen penting. Dengan
demikian sebaiknya pada pembuatan pikel jahe ditambahkan gula untuk
mempercepat proses fermentasi.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono, A. 1985. Pendidikan dan Latihan Tenaga Penyuluh Lapangan
Spesialis Industri Kecil Pengolahan Pangan. Dirjen Industri Kecil Departemen Pertanian kerjasama dengan Fateta-IPB, Bogor.
AOAC, 1984. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical
Chemist Inc, Maryland. Arpah, M. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk Pangan.
Program Studi Ilmu Pangan, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ayres, J.C, J. O. Mundf dan W. T. Sandine. 1980. Microbiology of Food. W. H.
Freeman and Co., USA. Branen, A. L. dan P. M. Davidson. 1983. Antimicrobials in Food. Marcell Dekker
Inc, New York. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan Wootton. 1985. Ilmu Pangan
Terjemahan. UI-Press, Jakarta. Desrosier, M. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Edisi ketiga. Terjemahan.
UI-Press, Jakarta. Fleming, H. P. 1982. Fermented Vegetable. Di dalam A. H. Rose (ed.). Economic
Microbiology. Vol. 7, Fermented Food, p228. Academic press, London. Frazier, W. C. dan D. C. Westhof. 1981. Food Microbiology 3rd ed. The AVI
Publ. Co., Ltd. Westport, Connecticut. Furia, T. E. 1972. CRC Handbook of Food Additives 2nd ed Vol. 1. CRC Press,
Inc. Boca Raton, Florida. Gaman. P. M. dan K. B. Sherrington. 1992. Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan
Mikrobiologi. Gajah Mada Press. Yogyakarta, Indonesia. Haditjaroko, L., F. G. Winarno dan M. Marcoes. 1982. Mempelajari Pengaruh
Pendinginan dan Pengemasan Terhadap Daya Simpan Jambu Bol. Laporan Penelitian. Jurusan Teknologi Industri, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Helmi, S. 1976. Pengaruh Umur Panen, Kondisi dan Lama Penyimpanan Jahe
Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Jahe. Tesis Minat Utama. Fatemeta, IPB, Bogor.
Ludong, M. M. 1990. Studi Fermentasi Dalam Pembuatan Pikel Labu Siam. Tesis. KPK IPB-UNSRAT Manado, Manado.
Luh, B. S. dan J. G. Woodroof. 1975. Commercial Vegetable Processing. AVI
Publ. Co., Inc. Westport, Connecticut. Lunawati. 1982. Pengaruh Konsentrasi Gula dan Jenis Potongan Pada Mutu Acar
Jahe Selama Penyimpanan. Skripsi. Fateta-IPB, Bogor. Matondang, I. 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tumbuhan Obat
http://iptek. apjii. or. id/ artikel/ tentang_tanaman_obat /unas /Jahe. pdf. Diakses tanggal 20 September 2006.
Mazza, G. dan B. D. Oomah. 2000. Herbs, Botanicals and Teas. Technomic
Publishing Co., Inc, Canada. Muchtadi, T.R. 1988. Petunjuk Laboratorium Teknologi Proses Pengolahan
Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Paimin, B. P. dan Murhananto. 2005. Budidaya, Pengolahan dan Perdagangan
Jahe. Penebar Swadaya, Jakarta. Pederson, C. S. 1971. Microbiology of Food Fermentation. The AVI Publ. Co.,
Ltd. Westport, Connecticut. Pomeranz, Y. dan C. E. Meloan. 1978. Food Analysis, Theory and Practice. The
AVI Publ. Co., Westport, Connecticut. Rahayu, W. P. dan Nurwitri, A. 1993. Studi Peningkatan Mutu Dan Daya Simpan
Jahe. Laporan Penelitian. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Risfaheri. 1988. Pembuatan Pikel Jahe. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat, Bogor. Rismunandar. 1988. Rempah-rempah Komoditi Ekspor Indonesia. Sinar Baru,
Bandung. Sistrunk, W. A. dan J. Kozup. 1982. Influence of Processing Methodology on
Quality of Cucumber Pickles. Di dalam Rahayu, W. P. dan Nurwitri, A. 1993. Studi Peningkatan Mutu Dan Daya Simpan Jahe. Laporan Penelitian. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
SNI 01-4289-1996. Asinan Jahe. Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta.
Undriyani, K. 1987. Pengaruh Bubuk Jahe terhadap Aktivitas Pertumbuhan Beberapa Mikroba Penyebab Kerusakan Pangan. Makalah Khusus. Fateta-IPB, Bogor.
Vaughn, R. H. 1982. Lactic Acid Fermentation of Cabbage, Cucumbers, Olives,
and Other Product. Di dalam Rahayu, W. P. dan Nurwitri, A. 1993. Studi Peningkatan Mutu Dan Daya Simpan Jahe. Laporan Penelitian. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wibowotomo, B. 1992. Pembuatan Pikel (Zingiber officinale) dan Perubahan
Mutunya Selama Penyimpanan. Skripsi. Fateta-IPB, Bogor. Winarno, F.G. dan B. S. Laksmi. 1974. Dasar Pengawetan, Sanitasi Dan
Keracunan. Departemen THP, Fatemeta, IPB, Bogor. Winarno, F.G. dan Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia,
Jakarta. Winarno, F.G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
. 1988. Kimia Pangan. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
. 1994. Sterilisasi Komersial Produk Pangan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Lampiran 1. Prosedur analisis
1. Pengukuran pH (Fardiaz, 1986)
Pengukuran pH dilakukan terhadap cairan secara lansung dengan
menggunakan pH meter. Pengukuran dilakukan secara duplo kemudian
dihitung rata-ratanya.
2. Kekerasan jahe dengan penetrometer
Pengukuran kekerasan asinan jahe dilakukan dengan menggunakan
penetrometer selama 10 detik dengan menggunakan beban 50 g. Pengukuran
dilakukan pada lima bagian yang berbeda dari tiap sampel dan hasilnya dirata-
ratakan.
3. Kejernihan (Pomeranz, 1987)
Pengamatan kejernihan larutan asinan jahe dilakukan dengan
menggunakan alat spektrofotometer. Prinsip pengukurannya adalah semakin
banyak sinar yang diserap oleh partikel suatu larutan menunjukkan larutan
tersebut semakin keruh demikian pula sebaliknya. Salah satu sampel cairan
diukur panjang gelombang maksimumnya, yaitu panjang gelombang pada
nilai absorbansi tertinggi. Selanjutnya blangko yang berupa larutan asinan
tanpa jahe dimasukkan dan absorbansinya diatur sehingga menunjukkan angka
nol. Sampel dimasukkan dalam kuvet kemudian diukur absorbansinya.
Pengukuran dilakukan secara duplo dan hasilnya dirata-ratakan. Jika sampel
terlalu pekat dilakukan pengenceran menggunakan air destilata. Nilai yang
terukur adalah OD (optical density) yaitu besarnya absorbansi dikalikan
pengenceran.
4. Warna
Analisa warna dilakukan dengan menggunakan alat Colorimeter.
Alat ini akan mengukur nilai L, a dan b dari jahe. Nilai L menunjukkan tingkat
kecerahan, dimana semakin tinggi nilai L maka warna produk semakin cerah.
Nilai a menunjukkan kecenderungan warna merah bila bertanda positif dan
akan menunjukkan kecenderungan warna hijau bila bertanda negatif.
Kecenderungan warna kuning akan ditunjukkan oleh nilai b yang bertanda
positif dan warna biru bila bertanda negatif. Pengukuran hanya pada nilai L
(kecerahan) yang dilakukan secara duplo dan hasilnya dirata-ratakan.
5. Kadar Air (AOAC, 1984)
Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode
oven. Wadah dikeringkan dan ditimbang terlebih dahulu kemudian sampel
dimasukkan dan ditimbang dengan berat sekitar 3-5 g. Pengeringan dilakukan
pada suhu 100-102oC selama 6 jam dan kemudian ditimbang kembali atau
sampai tercapai berat konstan. Kadar air dihitung dalam basis basah dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
kadar air (%) = kehilangan berat (g) X 100
berat sampel (g)
6. Kadar Abu (AOAC, 1984)
Cawan pengabuan dibakar dalam tanur, didinginkan dan ditimbang.
Sebanyak 3 – 5 g sampel dimasukkan dalam cawan kemudian dibakar di atas
pemanas sampai asapnya habis. Setelah itu cawan tersebut dibakar dalam
tanur pengabuan sampai diperoleh abu atau sampai berat cawan dan isinya
konstan. Pengabuan dilakukan pada suhu 550oC. Kemudian sampel
didinginkan dan ditimbang. Pengukuran kadar abu dapat dilakukan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
bobot abu (g) X 100% Kadar Abu (%) = bobot sampel (g)
7. Kadar Oleoresin (Metode Soxhlet)
Sampel sebanyak 10-50 g dikeringkan kemudian dibungkus
dengan kertas saring dan dimasukan ke dalam soxlet apparatus. Labu soxlet
diisi dengan pelarut sebanyak 2/3 dari isi labu kemudian dipanaskan di atas
penangas listrik ekstraksi dilakukan sampai sampel tidak dapat diekstrak lagi.
selanjutnya ampas dikeluarkan dan pelarut diuapkan di dalam labu soxlet.
Kadar oleoresin dihitung dengan menggunakan rumus :
Kadar oleoresin (%) = bobot oleoresin (g) X 100
Bobot sampel (g)
8. Total Mikroba (Fardiaz, 1987)
• Sebanyak 1 ml larutan pikel jahe dipipet ke dalam cawan petri steril secara
simplo dan duplo.
• Ke dalam cawan petri tersebut kemudian dituangkan sebanyak 12 – 15 ml
media PCA yang telah dicairkan yang bersuhu 45 + 1oC.
• Cawan petri digoyangkan dengan hati-hati (diputar dan digoyangkan ke
depan dan ke belakang serta ke kanan dan ke kiri) hingga contoh
tercampur rata dengan pembenihan.
• Campuran dalam cawan petri dibiarkan hingga membeku.
• Semua cawan petri dimasukkan dengan posisi terbalik ke dalam lemari
pengeram (inkubator) dan diinkubasikan pada suhu 27 - 30oC selama 24 –
48 jam.
• Pertumbuhan koloni dicatat pada setiap cawan setelah 48 jam.
• TPC dihitung dalam 1 g atau 1 ml contoh dengan mengalikan jumlah rata-
rata koloni pada cawan dengan faktor pengenceran yang digunakan.
• Total mikroba ditetapkan dengan SPC (Standard Plate Count).
Lampiran 2. Tabel data perubahan nilai kekerasan (mm/10 detik/50 g) cairan pikel jahe selama penyimpanan.
0 ppm 100 ppm 200 ppm Minggu ke
Ulangan
30oC 35oC 40oC 30oC 35oC 40oC 30oC 35oC 40oC6.38 6.38 6.38 5.9 5.9 5.9 6 6 61
4.94 4.94 4.94 5.98 5.98 5.98 5.18 5.18 5.187.08 7.08 7.08 6.16 6.16 6.16 5.32 5.32 5.322
6.84 6.84 6.84 6.14 6.14 6.14 5.8 5.8 5.8
0 Rataan 6.31 6.31 6.31 6.045 6.045 6.05 5.58 5.58 5.58
6.18 5 4.3 3.4 3.8 5.06 4.9 4.8 5.341 5.36 4.94 4.08 3.58 4.56 4.96 6.74 5.68 5.68
3.68 4.56 4.02 4.36 4.54 4.04 5.1 4.76 6.182 4.66 4.84 4.14 3.76 3.86 5.02 6.12 4.96 5.36
1 Rataan 4.97 4.835 4.135 3.775 4.19 4.77 5.72 5.05 5.64
4.64 5.18 4.32 4.14 3.68 5.16 4.48 5.3 5.481 3.44 6.64 3.92 4.22 4.66 4.78 4.86 5.56 5.68
4.22 4.34 5.48 4.02 4.86 4.84 4.66 5 6.222 4.08 5.22 5.26 3.22 4.6 5.7 4.86 5.18 5.4
2 Rataan 4.095 5.345 4.745 3.9 4.45 5.12 4.72 5.26 5.7
5 5.52 4.08 4.26 5.34 4.98 3.96 4.54 3.781 5.18 5.7 4.5 4.86 6.06 5.88 3.76 5.5 4.12
6.94 5.3 3.66 5.9 5.58 5.18 5.14 5.16 4.782 6.94 5.56 3.84 5.96 5.92 4.46 5.04 4.18 4.22
3 Rataan 6.015 5.52 4.02 5.245 5.725 5.13 4.48 4.85 4.23
6.86 6.8 5.06 4.86 4.56 4.62 4.68 4.62 4.821 5.54 4.96 4.96 3.26 4.84 5.56 4.1 7.54 4.6
5.52 6.78 4.64 5 3.66 5.56 5.9 5.6 4.622 5.7 8.88 5.62 4.94 5.42 5.04 5.76 5.26 4.6
4 Rataan 5.905 6.855 5.07 4.515 4.62 5.2 5.11 5.76 4.66
6.9 5.9 5.9 4.6 3.98 4.06 5.92 5.86 5.521 6.58 5.76 5.96 4.22 4.6 5.62 4.68 4.88 5.86
5.86 4.62 5.34 4.3 3.88 6.44 6.5 6.48 5.642 4.88 7.54 6.06 5.04 4.86 5.3 6.58 5.72 5.8
5 Rataan 6.055 5.955 5.815 4.54 4.33 5.36 5.92 5.74 5.71
6.48 6.86 7 6.54 6.22 5.52 5.3 3.66 4.541 5.72 5.44 6.36 5.12 5.4 5.7 5.56 4.42 5.02
5.52 6.04 6.16 5.48 6.86 5.3 4.56 4.92 52 5.86 5.1 6.74 5.68 5.54 5.56 4.8 6.02 5.18
6 Rataan 5.895 5.86 6.565 5.705 6.005 5.52 5.06 4.76 4.94
7.86 7.92 5.18 5.18 5.18 4.54 6.06 4.98 5.961 6.32 5.98 6.94 5.96 6.94 5.02 6.04 4.96 4.04
5.9 7.1 4.92 5.6 4.92 4.82 5.86 6.34 5.222 5.76 8 6.02 4.82 6.02 4.62 5.26 5.82 5.62
9 Rataan 6.46 7.25 5.765 5.39 5.765 4.75 5.81 5.53 5.21
5.96 6.22 8.3 4.4 6.86 5.84 5.18 3.66 4.861 6.98 5.4 6.36 4.24 5.44 5.32 6.64 5.42 4.6
10
2 7.6 6.86 6.74 4.7 6.04 5.82 3.94 5.5 5.16
7.78 5.54 6.2 5.1 4.12 5.22 5.56 Rataan 6.847 6.565 6.735 4.885 5.86 5.28 5.25 4.95 5.05
Lampiran 3. Tabel data perubahan nilai kecerahan (L) pikel jahe selama penyimpanan.
0 ppm 100ppm 200 ppm Minggu ke
Ulangan 30oC 35oC 40oC 30oC 35oC 40oC 30oC 35oC 40oC
74.7 74.7 74.7 74.15 74.15 74.15 69.25 69.25 69.251 69.21 69.21 69.21 76.84 76.84 76.84 72.54 72.54 72.54
73.99 73.99 73.99 69.28 69.28 69.28 69.07 69.07 69.072 59.9 59.9 59.9 69.14 69.14 69.14 74.07 74.07 74.07
0 Rataan 69.45 69.45 69.45 72.35 72.35 72.35 71.23 71.23 71.23
73.12 67.85 67.19 69.31 65.9 67.02 72.94 71.94 68.871 73.63 68.95 64.87 68.61 69.72 71.1 74.13 72.52 71.46
67.25 67.78 66.98 64.69 73.21 70.19 68.95 69.95 70.112 74.06 65.83 68.98 70.42 69.2 70.03 73.88 71.65 72.11
1 Rataan 72.02 67.6 67 68.26 69.5 69.58 72.48 71.52 70.64
67.68 69.86 69.72 72.1 67.39 64.68 67.22 72.5 72.431 68.11 69.56 70.4 73.37 67.17 66.33 70.63 72.34 72.02
68.18 68.64 69.52 72.62 65.54 69.42 72.67 73.93 65.9 2 61.47 69.93 70.18 73.54 71.12 71.58 72.75 69.4 69.72
2 Rataan 66.36 69.5 69.95 72.9 67.8 68 70.82 72.04 70.02
53.25 66.85 66.73 68.37 69.5 67.83 73.09 67.53 68.411 68.41 66.64 51.88 70.97 71.15 71.36 70.35 71.63 74.13
60.24 70.44 50.37 71.43 66.44 69.55 71.2 70.19 67.662 68.74 68.64 70.8 66.9 70.17 72.11 72.36 70.03 70.45
3 Rataan 62.66 68.14 59.94 69.42 69.31 70.21 71.75 69.84 70.16
50.62 71.84 72.05 67.22 69.11 64.82 70 65.73 71.661 73.27 68.85 70.99 70.63 69.74 65.11 70.68 62.37 63.02
68.75 58.98 66.52 69.5 67.19 72.71 71.43 71.27 74.972 58.85 58.81 69.58 70.5 69.03 69.2 66.9 74.07 70.45
4 Rataan 62.87 64.62 69.78 69.46 68.77 67.96 69.75 68.36 70.03
65.86 61.91 65.54 70.86 71.74 68.76 69.73 71.13 68.241 70.86 69.7 71.12 72.36 69.69 69.89 71.67 74.28 72.38
62.89 67.41 66.44 63.39 72.27 70.75 75.91 69.9 72.782 65.6 63.65 70.17 66.1 68.01 73.37 74.69 68.54 71.1
5 Rataan 66.3 65.67 68.31 68.18 70.43 70.69 73 70.96 71.12
68.89 57.34 65.28 72.02 71.07 71.4 69.89 68.89 70.751 70.25 66.09 68.85 73.52 69.93 68.79 70.75 70.26 73.37
67.74 69.16 65.33 68.72 67.01 62.85 68.01 68.51 71.142 69.98 67.73 68.48 74.46 69.48 68.01 70.48 68.98 65.05
6 Rataan 69.21 65.08 66.98 72.18 69.37 67.76 69.78 69.16 70.08
65.91 59.68 53.93 68.11 65.03 62.67 71.43 68.37 66.771 63.76 65.87 62.99 66.76 69.07 67.05 66.9 69.79 70.11
65.13 66.76 55.9 64.82 65.69 66.07 67.93 68.84 65.032 64.21 64.82 63.85 65.11 70.42 62.04 71.28 62.22 69.08
9 Rataan 64.75 64.28 59.17 66.2 67.55 64.45 69.38 67.3 67.75
10 1 56.43 64.78 54.78 65.53 68.79 65.28 67.43 66.93 65.65
68.99 66.68 66.98 69.58 67.34 68.18 69.89 69.55 68.8565.89 59.26 57.36 69.89 68.37 67.33 70.14 70.14 65.332
66.85 58.07 55.82 70.75 63.6 62.57 69.25 69.25 68.48Rataan 64.54 62.2 58.73 68.93 67.02 65.84 69.18 68.96 67.08
Lampiran 4. Tabel data perubahan nilai kejernihan (%) pikel jahe selama penyimpanan.
0 ppm 100 ppm 200 ppm Minggu
ke Ulangan
30oC 35oC 40oC 30oC 35oC 40oC 30oC 35oC 40oC13.7 13.7 13.7 12.5 12.5 12.5 10.15 10.15 10.151
13.45 13.45 13.45 12.85 12.85 12.85 10.45 10.45 10.4511.85 11.85 11.85 11.15 11.15 11.15 11.8 11.8 11.8 2
12.2 12.2 12.2 11.5 11.5 11.5 12.05 12.05 12.050 Rataan 12.8 12.8 12.8 12 12 12 11.11 11.11 11.11
18.8 21.3 28.5 19.7 21.4 19.5 16.3 18.15 17.351 18.9 21 28.4 19.8 21 19.4 16.6 18.45 16.7
19.2 21.3 24.7 17.35 17.65 24.4 15.5 16.45 19.7 2 19 21.2 24.8 16.7 19.25 24.7 15.75 16.85 19.8
1 Rataan 18.98 21.2 26.6 18.39 19.83 22 16.04 17.48 18.39
19.5 22.35 29.3 20.2 20.45 23.6 17.55 19.75 16.9 1 19 22.6 29 20.6 20.5 24.3 17.8 21 17.25
21.6 23.8 25.7 16.8 21.35 21.3 16.35 19.5 22.4 2 21.35 24.2 26.5 16.85 21 21.2 16.75 19.4 22.85
2 Rataan 20.36 23.24 27.63 18.61 20.83 22.6 17.11 19.91 19.85
25.2 23.6 28.9 20.45 22.45 26.6 19.5 23.9 21.8 1 25.55 24.3 30.5 21.4 21.8 23.1 20 20.7 20.7
28.7 28.6 28 19 20.7 31.75 19 21.3 25.4 2 27.05 28.9 29.7 19 20.8 32.6 19 21.1 24.3
3 Rataan 26.63 26.35 29.28 19.96 21.44 28.51 19.38 21.75 23.05
26.25 27.4 38 21.3 26.25 31.25 23.6 21.3 23.6 1 26.7 25.6 37.7 21.9 26.7 31.6 24.3 21 24.3
26 30.9 36.2 23.8 24.1 27.2 21.3 24.7 28.6 2 25.8 30.8 38 24.2 25.7 26.6 21.2 24.8 28.9
4 Rataan 26.19 28.68 37.48 22.8 25.69 29.16 22.6 22.95 26.35
28.6 35.35 37.4 24.55 25.7 28.6 26 23.6 28.6 1 29.4 35.7 37.75 24.8 24.2 29.1 25.8 24.3 28.9
29.7 34.7 36.3 26.3 29.6 33.5 25.2 26.25 30.9 2 30 34.7 36.5 27.05 30.6 37.15 25.55 26.7 30.8
5 Rataan 29.43 35.11 36.99 25.68 27.53 32.09 25.64 25.21 29.8
31.35 33 39.2 27.55 28.5 35.35 28.7 28.2 32.5 1 32.25 33.4 39.55 28.05 28.4 35.7 27.05 29 31.4
33.65 35.25 37.15 25.25 31.35 34.7 31.5 29.7 33.652 32.7 35.6 37.65 25.7 32.25 34.7 30.1 30 33.3
6 Rataan 32.49 34.31 38.39 26.64 30.13 35.11 29.34 29.23 32.71
41.55 45.6 56.25 35.25 39.2 41.55 33 35.35 39.2 1 42.1 46.15 56.55 35.6 39.55 42.1 33.4 35.7 39.3
39.2 44.8 48.4 33 37.15 39.2 35.25 34.65 38.2
9 2
39.3 44.55 49.15 33.4 37.65 39.3 35.6 34.8 37.7
Rataan 40.54 45.28 52.59 34.31 38.39 40.54 34.31 35.13 38.6 42.25 44.75 52.2 39.2 41.55 40.45 37.4 39.2 42.251
41.9 44.3 53.15 39.55 42.1 40.95 37.75 39.55 41.9 43.1 50.15 54.45 37.15 39.2 43.2 36.3 37.15 39.8 2
43.85 51.1 53.9 37.65 39.3 43.55 36.5 37.65 38.3 10 Rataan 42.78 47.58 53.43 38.39 40.54 42.04 36.99 38.39 40.56
Lampiran 5. Tabel data perubahan nilai pH cairan pikel jahe selama penyimpanan.
0 ppm 100 ppm 200 ppm minggu ke
Ulangan 30oC 35oC 40oC 30oC 35oC 40oC 30oC 35oC 40oC
5.21 5.21 5.21 5.2 5.2 5.2 5.44 5.44 5.44 1 5.22 5.22 5.22 5.22 5.22 5.22 5.49 5.49 5.49
4.98 4.98 4.98 5.2 5.2 5.2 5.52 5.52 5.52 2 4.98 4.98 4.98 5.19 5.19 5.19 5.5 5.5 5.5
0 Rataan 5.1 5.1 5.1 5.2 5.2 5.2 5.49 5.49 5.49
5.1 5.2 5.15 5.11 5.17 5.15 5.45 5.37 5.19 1 5.11 5.19 5.14 5.1 5.17 5.14 5.46 5.38 5.2
5.16 5.22 5.2 4.98 5.06 5.06 5.47 5.41 5.29 2 5.16 5.22 5.2 5.02 5.06 5.06 5.48 5.42 5.29
1 Rataan 5.13 5.21 5.17 5.05 5.11 5.1 5.46 5.39 5.24
4.76 4.4 4.33 5.26 5.21 5.12 5.44 5.22 5.16 1 4.78 4.41 4.32 5.33 5.21 5.12 5.43 5.22 5.16
4.46 4.39 4.36 5.16 5.07 5.06 5.33 5.35 5.24 2 4.47 4.38 4.36 5.17 5.07 5.07 5.34 5.36 5.2
2 Rataan 4.61 4.39 4.34 5.23 5.14 5.09 5.38 5.29 5.19
4.39 4.34 4.22 5.06 5.22 5.05 5.21 5.25 5.11 1 4.4 4.34 4.23 5.06 5.22 5.05 5.23 5.25 5.11
4.31 4.32 4.21 5.19 5.08 5.08 5.27 5.25 5.19 2 4.32 4.32 4.22 5.19 5.08 5.08 5.28 5.26 5.19
3 Rataan 4.35 4.33 4.22 5.12 5.15 5.06 5.25 5.25 5.15
4.3 4.38 4.23 5 5.19 4.84 5.23 5.05 5.1 1 4.32 4.37 4.2 5.1 5.21 4.85 5.24 5.06 5.11
4.38 4.29 4.23 5.06 5.27 5.08 5.25 5.23 5.2 2 4.38 4.3 4.21 5.07 5.28 5.09 5.26 5.14 5.21
4 Rataan 4.34 4.33 4.22 5.06 5.24 4.96 5.24 5.12 5.15
4.2 4.25 4.23 4.95 5.03 4.95 5.25 5.21 5.34 1 4.22 4.24 4.16 5 5.03 4.95 5.26 5.21 5.34
4.28 4.22 4.11 5.19 5.16 5.08 5.31 5.17 5.21 2 4.29 4.22 4.1 5.2 5.18 5.09 5.32 5.17 5.21
5 Rataan 4.25 4.23 4.15 5.08 5.1 5.02 5.28 5.19 5.27
4.11 4.2 4 5.17 5 4.87 5.21 5.19 4.96 1 4.13 4.21 4.02 5.18 5 4.87 5.22 5.19 5.1
4.4 4.26 4.19 5.11 6.07 4.99 5.23 5.07 5.19 2 4.41 4.25 4.18 5.11 6.07 5 5.24 5.07 5.2
6 rataan 4.26 4.23 4.1 5.14 5.53 4.93 5.22 5.13 5.11
3.83 3.67 3.51 5.07 4.76 4.37 5.24 5.65 5.7 1 3.83 3.68 3.52 5.13 4.76 4.37 5.26 5.65 5.72
9
2 4 3.81 3.64 4.95 5.06 4.61 5.28 5.08 5.05
4 3.8 3.65 4.95 5.07 4.62 5.27 5.1 5.05 Rataan 3.91 3.74 3.58 5.02 4.91 4.49 5.26 5.37 5.38
4 4.1 3.78 5.11 4.46 4.57 5.22 5.33 5.28 1 4.15 4.05 3.79 5.11 4.46 4.58 5.24 5.33 5.28
3.92 4.15 3.9 4.94 5.12 4.71 5.24 5.13 5.15 2 3.92 4.16 3.9 4.95 5.12 4.71 5.25 5.13 5.14
10 Rataan 4 4.12 3.84 5.02 4.79 4.64 5.24 5.23 5.21
Lampiran 6. Tabel data perubahan total hitungan lempeng (TPC) pikel jahe selama penyimpanan.
a. Pikel dengan penambahan natrium benzoat 0 ppm
Minggu ke 0 Minggu ke 5 Minggu ke 10 Suhu (oC) Ulangan
10-2 10-3 Rata-rata 10-2 10-3 Rata-
rata 10-2 10-3 Rata-rata
1 0 0 0 0 6 4 30 2 0 0
0 5 2
625 3 1
1475
1 0 0 0 0 5 2 35 2 0 0
0 0 0
0
1250
1 0 0 1 0 36 11 40 2 0 0
0 0 0
25 7 2
4325
b. Pikel dengan penambahan natrium benzoat 100 ppm
Minggu ke 0 Minggu ke 5 Minggu ke 10 Suhu (oC) Ulangan
10-2 10-3 Rata-rata 10-2 10-3 Rata-
rata 10-2 10-3 Rata-rata
1 0 0 0 2 0 30 2 0 0
0 4 1
350 0 0
50
1 0 0 2 1 6 2 35 2 0 0
0
300 2 0
700
1 0 0 0 0 15 1 40 2 0 0
0 1 0
25 2 0
1300
c. Pikel dengan penambahan natrium benzoat 200 ppm
Minggu ke 0 Minggu ke 5 Minggu ke 10 Suhu (oC) Ulangan
10-2 10-3 Rata-rata 10-2 10-3 Rata-
rata 10-2 10-3 Rata-rata
1 0 0 2 0 0 0 30 2 0 0
0 0 0
50 0 0
0
1 0 0 0 0 0 0 35 2 0 0
0 1 0
25 0 0
0
1 0 0 1 2 0 40 2 0 0
0 0 0
33 0 0
50
a. Pikel jahe dengan konsentrasi natrium benzoat 100 ppm dan 200 ppm selama penyimpanan 10 minggu pada suhu 40oC
b. Pikel jahe dengan konsentrasi natrium benzoat 0 ppm selama penyimpanan 0 minggu dan 10 minggu pada suhu 40oC