Post on 11-Mar-2019
1
Pengantar
Dalam beberapa waktu terakhir, bisnis keluarga mendapat perhatian yang
cukup besar dalam perkembangan kewirausahaan secara global. Sekarang ini,
sebagian besar bisnis yang kita lihat adalah bisnis keluarga dan bisnis-bisnis
tersebut telah dicatat sebagai jumlah persentase terbesar dari jenis bisnis di banyak
negara (Kuratko & Richard, 2004). Keterlibatan dari anggota keluarga merupakan
kunci dari pembeda bisnis keluarga dengan non-bisnis keluarga. Definisi dari bisnis
keluarga sendiri terdiri dari banyak aspek seperti kepemilikan, keterlibatan dalam
manajemen, kontrol terhadap strategi, bisnis sebagai sumber pemasukan utama bagi
keluarga, dan transfer antar generasi (Collins & O’Regan, 2011).
Dalam penelitian Ayranci (2010) menyebutkan ada satu titik terang
mengenai definisi bisnis keluarga: “Keluarga” memberikan penekanan definisi dari
bisnis keluarga. Secara lebih lanjut, penekanan ini tampaknya relevan dengan peran
anggota keluarga: keluarga sebagai pemilik bisnis (Donckels & Frohlich, 1991),
manajer bisnis (Dunn, 1996), penerus (Donnely, 1964), atau pekerja (Shanker &
Astrachan, 1996). Lebih lanjut, Astrachan, Klein & Smyrnios (2002) menyatakan
bahwa beberapa penelitian menyatakan bahwa tidak perlu untuk mendefinisikan
bisnis keluarga, sebagai sebuah bisnis keluarga harus disadari bahwa “bisnis
keluarga” merujuk pada bagaimana dan seberapa besar keluarga terlibat dalam
bisnis tersebut. Davis dan Tagiuri (1991) mengidentifikasi tiga kategori dari
pemilik usaha (mereka yang berkepentingan terkait dengan keberlangsungan hidup
dalam bisnis) dalam bisnis keluarga: pemilik, karyawan, dan anggota keluarga.
Secara lebih lanjut Bird, Welsch, Astrachan, dan Pistrui (2002) menyatakan
bahwa bisnis keluarga memiliki karakter yang sama dengan perusahaan kecil
dimana bisnis keluarga memiliki fleksibilitas dan ketangkasan yang memungkinkan
mereka untuk mengontrol atau bermanuver yang dilakukan oleh pemilik-manager
yang juga menjadi anggota keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Danes dan
Olson (2003) menyebutkan bahwa seringkali karakteristik peran perempuan dalam
bisnis keluarga diumpamakan sebagai “the invisible woman” (perempuan yang
2
tidak terlihat). Beberapa penjelasan dari fenomena ini menitik beratkan pada peran
dan aturan-aturan dalam sistem keluarga (yang lebih kepada spesifikasi gender)
yang seringkali tanpa disadari terintegrasi kedalam budaya bisnis keluarga
(Hollander & Bukowitz, 1996). Gender merupakan sebuah kumpulan stereotip.
Stereotip gender setidaknya mencakup lima area: sifat kepribadian, peran dalam
keluarga, peran dalam pekerjaan, gaya personal, aktivitas diwaktu luang, dan
penampilan (Deaux, 1999; Galliano G, 2003). Gender merupakan kumpulan dari
perbedaan yang bisa diamati antara perempuan dan laki-laki (Galliano, 2003).
Penelitian tentang keaktifan dan terlihatnya peran wanita dalam literatur
bisnis keluarga masih sedikit dilakukan (Hollander & Bukowitz, 1996; Danes &
Olson, 2003). Kebanyakan penelitian yang dilakukan pada tahun sebelum 1980an
menyimpulkan bahwa perbedaan gender secara jelas ada dalam perilaku manajerial
dan strategi kewirausahaan (Powell & Ansic, 1997; Sonfield, Lussier, Corman, &
McKinney, 2001; Sonfield & Lussier, 2004). Secara lebih spesifik, mayoritas studi
menyatakan bahwa perempuan lebih berhati-hati, kurang percaya diri, kurang
agresif, gampang untuk dipengaruhi, dan memiliki kepemimpinan yang inferior dan
inferioritas tersebut muncul dalam kemampuan memecahkan masalah ketika
membuat keputusan yang beresiko (Johnson & Powell, 1994; Sonfield & Lussier,
2004).
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Duller (2013) menyatakan
bahwa secara tradisional, perempuan dalam bisnis keluarga berperan sebagai
pendukung yang mengacu pada keluarga bukan pada bisnis (Ward & Sorenson,
1989), dan sekarang ini, jumlah perempuan yang secara aktif ikut berperan dalam
bisnis keluarga semakin bertambah (Cole, 1997). Beberapa dari penelitian terbaru
telah bergerak di luar isu-isu perilaku manajemen dan kinerja, dan penelitian
dilakukan terhadap pengusaha perempuan dalam berbagai perspektif teoritis (Bird
& Brush, 2002). Meskipun demikian penelitian empiris terkait perempuan dalam
manajemen dan kewirausahaan belum sepenuhnya menyediakan berbagai
penemuan dan masih saja terdapat banyak kesenjangan (Brush, 1997; Sonfield &
Lussier, 2004).
3
Bisnis keluarga dapat dilihat sebagai sistem yang komplek terdiri dari
“keluarga” dan “bisnis” (Lansberg, 1983). Subsistem “keluarga” terkait dengan
sifat-sifat yang biasa diasosiasikan dengan perempuan seperti emosi, rasa
keterlibatan, orientasi pada manusia, budaya, nilai, dan tradisi. Subsistem “bisnis”
diasosiasikan dengan sifat-sifat seperti rasionalitas, kemampuan untuk bersaing,
tujuan dan kinerja (Hammer & Hinterhuber, 1993; Duller, 2013).
Ada satu penelitian yang dilakukan oleh Danes dan Olson (2003) yang
membahas tema keterlibatan peran wanita dalam bisnis keluarga. Penelitian
tersebut mengambil sampel 391 pasangan pemilik usaha dimana suami adalah
pemilik bisnis, salah satu hasil dari penelitian tersebut adalah empat puluh dua
persen dari istri dianggap sebagai pembuat keputusan utama. Artinya istri memiliki
peran yang cukup besar sebagai pembuat keputusan dalam keberlangsungan bisnis.
Ketika anggota keluarga (dalam hal ini adalah suami & istri) bekerja bersama, pola
perilaku, nilai, keyakinan, dan harapan seringkali ditularkan (biasanya secara tidak
sengaja) terhadap lingkungan kerja dalam lingkup bisnis keluarga (Hollander &
Bukowitz, 1996). Peran perempuan dalam bisnis keluarga disadari sebagai sesuatu
yang penting, tetapi peran perempuan tersebut seringkali tidak disadari dalam
pengambilan keputusan bisnis yang mendukung domain bisnis laki-laki, hal ini
jarang sekali disadari dan dihargai (Vadnjal & Zupan, 2009).
Salah satu jenis bisnis keluarga yang melibatkan istri (perempuan) dalam
roda bisnisnya adalah industri batik. Maziyah (2007) menyebutkan tentang
penelitian yang dilakukan oleh Soedarmono (1987) yang meneliti mengenai
munculnya kelompok pengusaha batik di Laweyan pada awal abad ke-20, melihat
bahwa perempuan pengusaha batik memegang peranan yang sangat dominan dalam
keluarga dan bisnis. Sejalan dengan penelitian Soedarmono, Saptasari & Holzner
(1997) mengungkapkan bahwa perempuan di Indonesia menjadi sumber daya
manusia yang produktif dan sangat terlibat dalam kegiatan ekonomi di berbagai
sektor. Tetapi ketika perempuan cenderung tampil sebagai perempuan pengusaha,
penelitian terhadap perempuan dalam bisnis keluarga menunjukkan bahwa
mayoritas perempuan harus tetap berada di belakang layar, tetap “tak terlihat”
4
(Cole, 1997; Fitzgerald dan Muske, 2002), bertentangan dengan level feminisme
(Vadnjal & Zupan, 2009).
Industri batik merupakan industri kecil yang dilakukan rakyat dalam
lingkungan rumah tangga pemilik perusahaan (Maziyah, 2007). Mata pencaharian
pokok penduduk Pekalongan ialah pembatikan dan pertekstilan yang banyak
dilakukan oleh orang Jawa, Cina, dan Arab. Pembatikan merupakan bagian yang
terbesar, baik jumlah perusahaannya maupun produksinya. Industri batik yang
termasuk ke dalam UKM (Usaha Kecil Menengah) biasanya dilakukan dalam
lingkungan rumah. Industri ini juga dilakukan secara turun temurun dalam
keluarga. Dalam keluarga yang bergerak di industri batik, biasanya melibatkan
peran serta suami dan istri dalam pengembangan bisnis usaha batiknya. Bahkan tak
jarang yang akhirnya anak keturunan mereka juga terlibat dalam pengembangan
bisnis keluarga ini. Bisnis keluarga harus menghargai interaksi dan keterlibatan dari
para anggota keluarga dan bentuk hubungan ini dapat meningkatkan modal sosial
yang akan membantu menciptakan keunggulan kompetitif (Pearson dkk., 2008).
Menurut data Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Kota Pekalongan menunjukkan hingga
semester II tahun 2012, jumlah industri batik di daerah itu sebanyak 634 unit usaha,
dengan 9.992 tenaga kerja. Di luar industri batik, antara lain industri tenun,
aksesori, tekstil, dan bordir (Asdhiana, 2013).
Pada tanggal 2 Oktober 2009, Batik Indonesia secara resmi diakui UNESCO
dengan dimasukkan kedalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak-Benda
Warisan Manusia (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of
Humanity) dalam sidang ke-4 Komite Antar-Pemerintah (Fourth Session of the
Intergovernmental Committee) tentang Warisan Budaya Tak-benda di Abu Dhabi
(Kutnadi, 2012). Dan pemerintah Indonesia-pun menetapkan tanggal 2 Oktober
sebagai hari batik nasional (Suryanto, 2009).
Namun Indonesia dan khususnya para pengusaha batik harus menghadapi
persaingan produk batik dari China setelah pemberlakuan perdagangan bebas antara
Asean dan China atau Asean China Free Trade Area (ACFTA), per 1 Januari 2010.
Pembukaan perdagangan bebas menuntut produksi batik dalam negeri harus
5
bersaing dengan produk batik dari negara lain terutama dari Cina dengan harga yang
jauh lebih murah, karena mereka menggunakan teknologi tinggi dalam
memproduksi batik dan pembebasan bea masuk (Sudantoko, 2011).
Demikian juga yang terjadi pada industri kecil batik Pekalongan harus
berhadapan dengan produk sandang yang relatif murah dengan corak yang menarik
dari negara China dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan
produk lokal (Sudantoko, 2011). Hal ini akan mengurangi pangsa pasar produk
batik lokal yang harganya lebih tinggi karena ongkos produksi yang tinggi akibat
proses produksi yang tidak efisien, kurangnya daya kreativitas dan imajinasi serta
teknologi perbatikan yang masih tradisional. Berdasarkan hasil survei pengrajin
batik di Pekalongan pada umumnya dalam memproduksi batik berdasarkan pada
kebiasaan sehari-hari dan mengikuti pola produksi secara turun-temurun
(Sudantoko, 2011).
Dilihat dari sisi ketersediaan bahan baku sutera, jumlahnya masih kurang
dari permintaan pasar. Selain itu, serat dan benang sutera umumnya masih impor.
Dari sisi pemasaran, adalah tantangan dari negara pesaing yang semakin meluas
antara lain, membanjirnya batik impor China yang menguasai 30% pangsa pasar
domestik. Terkait masalah Hak Kekayaan Intelektual (HKI), ditengarai bahwa
motif-motif batik tradisional, belakangan ini banyak ditiru oleh para perajin dari
negara-negara lain. Kondisi tersebut menuntut adanya peningkatan perlindungan
HKI terhadap produk batik Indonesia (Sugiarto, 2013).
Tantangan lain yang dihadapi adalah kenaikan tarif dasar listrik dan harga
BBM yang secara nyata akan berpengaruh kepada harga bahan baku batik. Dan
yang terakhir, tantangan yang dihadapi para pengusaha batik adalah ketatnya
persaingan perdagangan, sehingga para pengusaha dituntut untuk lebih kreatif dan
inovatif agar produknya tetap diminati oleh konsumen.
Untuk bertahan di tengah tantangan yang semakin menghadang, para
pengusaha batik harus bisa benar-benar selalu melakukan inovasi baik dari segi
hasil batik yang diproduksi, seperti corak, pewarnaan, ataupun barang jadi yang
dihasilkan seperti mengikuti trend pakaian yang sedang diminati. Dalam hal
promosi tak jarang para pengusaha ini mengeluarkan modal lebih untuk mengikuti
6
beberapa ajang pameran yang sering diadakan untuk menampilkan hasil karyanya,
seperti acara Inacraft, Icra, Crafina, Katumbiri, Indonesia Fashion Week dan masih
banyak lagi ajang pameran yang masih bisa diikuti dan dilaksanakan secara rutin di
Jakarta, maupun beberapa pameran di luar kota Pekalongan selain Jakarta
Peran seorang istri (perempuan) dalam mengembangkan bisnis batik dalam
sebuah keluarga pengusaha batik dirasa cukup besar. Keterlibatan dalam bisnis
keluarga berarti menjadi bagian dari pembentukan inti bisnis keluarga: peran
anggota keluarga dalam bisnis, bagaimana anggota keluarga terlibat dan bagaimana
bisnis mengartikan bisnis itu sendiri dalam hubungannya dengan dunia luar
(Doherty dkk. 1991, dalam Vadnjal & Zupan, 2009). Menurut Paullay dkk. (1994)
keterlibatan kerja adalah tingkatan sejauh mana seseorang secara kognitif
mengasyikkan diri, mengikutsertakan diri, dan memperhatikan pekerjaan yang
dikerjakannya saat sekarang. Keterlibatan kerja memiliki 2 buah komponen, yaitu
:
a. Role, yang menunjukkan sejauh mana seseorang terlibat dalam tugas-tugas
khusus yang membentuk pekerjaan individu tersebut.
b. Settting, menunjukkan tingkat sejauh mana seseorang mampu melakukan
tugas-tugas pekerjaannya dalam lingkungan pekerjaan yang sedang
ditanganinya.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian Wicker dan Burley (1991) yang menemukan
bahwa pengaruh para istri dalam bisnis meningkat ketika mereka bekerja dalam
bisnis keluarga.
Kanungo (1982), menyatakan bahwa keterlibatan kerja menunjukkan
identifikasi psikologis seseorang dengan pekerjaan. Identifikasi seseorang terhadap
pekerjaan terjadi melalui proses sosialisasi sehingga menghasilkan suatu
kepercayaan normatif terhadap nilai-nilai kerja yang ada di dalam organisasi.Ye
dan Lirong (1999) menyatakan bahwa keterlibatan kerja sebagai tingkat yang
menunjukkan sejauh mana individu mengidentifikasikan dirinya secara emosional
maupun mental dengan pekerjaannya. Keterlibatan kerja dapat dielaborasikan
merujuk pada keterikatan dalam menginternalisasi nilai-nilai mengenai kebenaran
dari pekerjaannya atau secara signifikan mempengaruhi nilai-nilai dalam diri
7
individu (Lodhal & Kejner, 1965). Keterlibatan kerja terkait dengan kepentingan
rutinitas pekerjaan individu atau kegiatan sehari-hari. Artinya jika seseorang
mementingkan pekerjaannya, maka dengan sendirinya dia akan loyal terhadap
pekerjaannya begitu juga dengan perusahaannya (Reitz & Jewell, 1979).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Khan dan kawan-kawan (2011)
menyebutkan bahwa individu yang terlibat dalam pekerjannya jika dia secara
antusias terlibat dengan segala yang terkait dengan pekerjaannya, mereka melihat
pekerjaannya sebagai sesuatu yang sangat penting yang menjadi bagian dari
kehidupannya (Dubin, 1966), dan menyadari kinerjanya sebagai sesuatu yang
utama bagi harga dirinya (Gurin dkk., 1960). Artinya bahwa keterlibatan kerja
mempunyai dampak utama dalam produktivitas dan efisiensi individu dan
pekerjaan memiliki peran penting dalam meningkatkan keterlibatan kerja dari
individu jika pekerjaan tersebut mempunyai peran yang cukup signifikan dalam
kehidupan seorang individu (Probts & Tahira, 2000). Sebuah studi yang dilakukan
oleh Saleh & Hosek (1971) mengemukakan konsep keterlibatan kerja oleh beberapa
tokoh yang terlebih dahulu melakukan penelitian tentang keterlibatan kerja, berikut
adalah rangkuman dari beberapa konsep keterlibatan kerja :
1. Pekerjaan bagi seorang individu merupakan pusat dari ketertarikan
kehidupan (Dubin, 1956, 1968)
2. Seorang individu secara aktif berpartisipasi dalam pekerjaannya (Allport,
1943; Gurin, Veroff, dan Feld,1960)
3. Seorang Individu merasa kinerjanya sebagai pusat dari harga dirinya
(French & Khan, 1962; Siegel, 1969)
4. Seorang individu merasa kinerjanya sejalan dengan konsep diri (Vroom,
1962, 1964)
Dukungan dan keterlibatan istri dalam menjalankan roda bisnis batik di
tengah persaingan dan tantangan dalam dunia batik pastinya sangat membantu para
suami atau para pelaku bisnis batik untuk tetap bertahan dalam bisnis tersebut.
Tetapi ketika istri melibatkan diri dalam bisnis keluarga akan memunculkan
keberadaan lebih dari seorang pembuat keputusan dalam bisnis keluarga, lama
kelamaan, menciptakan suatu pertentangan dan ketegangan (Kaye, 1996; Vadnjal
8
& Zupan, 2004). Hal ini secara nyata tergantung pada situasi dimana: (1) pasangan
(suami, istri) merupakan partner sehingga mereka harus mengemukakan pendapat
dalam keputusan terkait bisnis keluarga; atau (2) suami merupakan pemegang
kontrol dalam bisnis keluarga dan tidak terlalu serius menganggap istri (Rosenblatt
dkk, 1985; Vadnjal & Zupan, 2004 ). Dalam penelitian ini, peneliti menempatkan
peran istri dalam bisnis keluarga sebagai orang kedua yang membantu suami dalam
menjalankan bisnisnya yang hanya mempunyai kekuatan akses terhadap sumber
daya. Suami sebagai pemilik bisnis batik keluarga bersama-sama dengan istri
menjalankan bisnis keluarga. Artinya suami sebagai pemilik usaha batik dan istri
masuk menjadi orang yang berperan sebagai partner kerja suami dalam bisnis
keluarga. Peranan istri hanya dalam akses terhadap sumber daya tetapi tidak pada
kontrol keuntungan dalam menjalankan bisnisnya.
Keller dkk. (1997) keterlibatan kerja adalah tingkatan keikutsertaan
seseorang dalam melakukan tugas-tugasnya yang spesifik, yang bergantung pada
tingkat kepentingan pekerjaan tersebut bagi kehidupannya. Hampir sama dengan
pengertian diatas, Diefendorff dkk. (2002) mengatakan keterlibatan kerja adalah
tingkat keterlibatan dan perhatian seseorang secara kognitif dengan pekerjaan yang
dilakukannya sekarang. Keterlibatan dan perhatian yang diberikan individu kepada
pekerjaannya dan organisasi merupakan determinan utama bagi keefektifan
organisasi dan motivasi intrinsik individu.
Kanungo (1982) mendefinisikan keterlibatan kerja sebagai suatu peryataan
kognitif atau pernyataan kepercaayaan dari identifikasi psikologis seseorang,
dengan pekerjaan atau jabatan tertentu. Keterlibatan ini meliputi keterlibatan
emosional dengan pekerjaan yang dilakukan, kebanggaan terhadap pekerjaan, dan
kesiapan menghadapi tugas. Model teoritis tersebut diakui sebagai konsep yang
lebih jelas dan tepat dalam konteks pekerjaan (Mauno & Kinnunen, 2000).
Dalam keterlibatan kerja sendiri dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor internal dan eksternal yang diduga
berpengaruh terhadap keterlibatan kerja adalah resiliensi dan dukungan sosial
keluarga. Resiliensi sebagai hasil positif dari proses adaptasi individu terhadap
tekanan dan lingkungan yang tidak kondusif (Everall, Altrows, & Paulson, 2006).
9
Richardson (2004) menjelaskan resiliensi adalah istilah psikologi untuk mengacu
pada kemampuan seseorang untuk mengatasi dan mencari makna dalam peristiwa
seperti tekanan yang berat yang dialaminya, dimana individu meresponnya dengan
fungsi intelektual yang sehat dan dukungan sosial.
Untuk menghadapi persaingan dan tantangan dalam perkembangan industri
batik, agar bisa bertahan dalam industri ini dibutuhkan suatu usaha untuk bisa terus
bertahan bahkan harus mampu untuk lebih bisa meningkatkan produktivitas dan
pemasaran. Menurut hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, hampir semua
pengusaha batik di kota Pekalongan pernah mangalami situasi yang mengancam
kelangsungan usaha mereka seperti tantangan yang telah diuraikan diatas. Untuk
bisa bertahan para pengusaha ini harus memiliki kemampuan untuk bisa mengatasi
ancaman tersebut.
American Psychological Association (2008) menyebutkan bahwa resiliensi
adalah proses adaptasi yang baik ketika menghadapi kesusahan (adversity), trauma,
tragedi, ancaman, atau sumber-sumber stress yang signifikan seperti masalah
keluarga dan hubungan, masalah kesehatan yang serius, atau stresor keuangan dan
tempat kerja. Menurut Connor & Davidson (2003) resiliensi dapat dipandang
sebagai suatu ukuran kemampuan koping terhadap stress yang berhasil. Dengan
demikian resiliensi merupakan perwujudan kualitas-kualitas personal yang
memampukan seseorang bertahan menghadapi kesulitan.
Masten (2001) mengemukakan bahwa resiliensi lebih tepat dipandang
sebagai pola-pola adaptasi positif dalam menghadapi resiko atau kemalangan yang
signifikan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh APA (2008) yang
mencatat bahwa berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa resiliensi
merupakan hal yang umum terjadi, dan manusia pada umumnya dapat
menunjukkan resiliensi yang dimilikinya. Orang yang resilien tidak berarti bahwa
orang yang bersangkutan tidak mengalami kesulitan atau tekanan, namun orang
yang resilien mampu menunjukkan pola-pola adaptasi positif terhadap kesulitan
atau tekanan tersebut. Resiliensi juga bukanlah trait (sifat) yang dimiliki atau tidak
dimiliki oleh seseorang, Resiliensi meliputi berbagai perilaku, pemikiran, dan
tindakan yang dapat dipelajari dan dikembangkan oleh setiap orang.
10
Resiliensi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor internal yang berada dalam
diri individu. Gambaran diri yang positif, keterampilan sosial yang baik,
keterampilan pemecahan masalah dan berhubungan sosial, pandangan positif
terhadap hidup, dan rasa humor yang baik merupakan faktor-faktor internal yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan resiliensi individu (Compton,
2005).
Kemampuan penyesuaian diri seseorang tergantung pada perkembangan
kepribadian (personality) individu, status, serta perannya dalam kehidupan
(Schneiders, 1964). Inti dari konsep resiliensi yaitu memiliki unsur atau
pengalaman yang merugikan atau kesusahan atau keadaan menekan (APA, 2008;
Frederickson dkk., 2003; Yu & Zang, 2007) dan unsur manifestasi kemampuan
dalam mempertahankan pemfungsian diri secara optimal (Fiborg dkk., 2003; Linley
& Joseph, 2004; Todd & Worell, 2000).
Saptoto (2009) mengemukakan bahwa menurut Masten (2001) resiliensi
mempunyai dua komponen. Norman, Luthans, dan Luthans (2005) selanjutnya
mengatakan bahwa komponen pertama berkaitan dengan dimensi-dimensi ancaman
dari resiliensi. Hal ini berarti bahwa dalam resiliensi harus terdapat sebuah ancaman
yang signifikan terhadap individu, jika individu tersebut mampu bertahan maka
invidu tersebut sebagai orang yang resilien. Implikasi nyata dari hal ini yaitu bahwa
jika tidak ada ancaman, maka tidak ada resiliensi. Ancaman tersebut merupakan
ancaman nyata yang kemungkinan besar akan terwujud. Resiliensi oleh karena itu
harus mengandung resiko terhadap individu atau organisasi, dan resiko tersebut
bersifat realistik.
Ancaman yang merupakan tantangan dalam industri batik adalah suatu hal
yang nyata yang dihadapi oleh pengusaha batik seperti persaingan produk batik dari
China setelah pemberlakuan perdagangan bebas antara Asean dan China atau Asean
China Free Trade Area (ACFTA), per 1 Januari 2010. Tantangan berat dalam
pengembangan UKM dalam era perdagangan bebas dan persaingan global saat
ini adalah persaingan bisnis yang semakin ketat. Ketatnya kompetisi di dunia
usaha juga dirasakan oleh UKM batik di tanah air.
11
Menurut Connor & Davidson (2003) resiliensi dapat dipandang sebagai
suatu ukuran kemampuan koping terhadap stres yang berhasil. Dengan demikian
resiliensi merupakan perwujudan kualitas-kualitas personal yang memampukan
seseorang bertahan menghadapi kesusahan. Connor & Davidson (2003) menilai ada
lima aspek resiliensi yaitu :
1. Kompetensi pribadi, standar yang tinggi dalam ketahanan menyokong
kekuatan seseorang untuk kuat dan setia pada satu tujuan ketika dihadapkan
pada situasi yang traumatik.
2. Kepercayaan seseorang pada naluri, toleransi pada pengaruh negatif,
memiliki kekuatan dari pengaruh stress. Aspek ini memfokuskan seseorang
pada ketenangan, keputusan, dan ketepatan waktu ketika menyesuaikan diri
dengan stress.
3. Penerimaan diri, positif terhadap perubahan dan hubungan yang aman
dengan orang lain
4. Kontrol diri, termasuk kontrol seseorang untuk mengarah pada tujuan dan
usaha untuk memperoleh dukungan orang lain.
5. Spiritual seseorang dan kepercayaan seseorang pada Tuhan.
Lee dkk. (2005, 2006, 2007, 2010) mengembangkan penelitian tentang
resiliensi dalam cakupan bisnis keluarga. Resiliensi bisnis keluarga merupakan
model dasar yang sangat kuat. Hal tersebut berdasar pada identifikasi karakteristik
kesuksesan individu dan sistem sosial mereka. Resiliensi dalam individu
diasosiasikan dengan kompetensi sosial, kemampuan penyelesaian masalah,
otonomi, sifat optimis, dan kemampuan untuk mendapatkan dukungan sosial
(Cicchetti & Garmezy, 1993).
Dukungan sosial keluarga merupakan salah satu faktor eksternal yang
diduga berpengaruh terhadap keterlibatan kerja istri. Penelitian yang dilakukan
Adams dkk. (1996) memperoleh hasil bahwa hubungan antara pekerjaan dan
keluarga memiliki dampak yang penting dalam pekerjaan maupun kepuasan hidup,
dan bahwa tingkat keterlibatan dari individu menempatkan diri dalam pekerjaan
dan berperan dalam keluarga diasosiakan dalam sebuah hubungan atau saling
12
terkait. Semakin tinggi dukungan keluarga secara emosional maupun instrumental
maka akan semakin rendah pertentangan keluarga terhadap pekerjaan.
Dukungan sosial dapat diberikan oleh orang yang berarti bagi individu
(significant others) antara lain dari keluarga sendiri (Fitri, 2010). Sumber dukungan
keluarga menurut Taylor (1995) adalah pasangan (suami atau istri), anak atau
anggota keluarga lain, teman, kaum professional, komunitas, dan masyarakat.
Beberapa penelitian (Cohen & Wills, 1985; King dkk, 1995) menyatakan
bahwa tidak ada ketetapan mengenai pengertian dari dukungan sosial dalam
bebagai literatur dan terkadang saling bertentangan, tetapi dua aspek penting dari
kontsruk secara global dapat digunakan yaitu berdasarkan tipe dukungan dan
sumber dari dukungan. Dua tipe dari dukungan sosial yang dapat diterima secara
validasi empiris , terutama oleh para peneliti bidang industri dan organisasi adalah:
a) emosional atau sosioemotional, dan b) instrumental atau tangible (nyata).
Dukungan sosial emosional dicontohkan dengan simpati dan perilaku kepedulian,
dan dukungan sosial instrumental (nyata) dikarakteristikan dengan memberikan
perhatian yang nyata, seperti secara aktif berkontribusi terhadap penyelesaian tugas
(Beehr 1985 dalam King dkk, 1995). Tiga sumber utama dari dukungan sosial telah
dibuktikan dari beberapa penelitian oleh (Caplan, Cobb, French, Harrison and
Pinneau, 1975; Kaufmann & Beehr, 1986; King dkk, 1995) yaitu: a) supervisor, b)
rekan kerja, dan c) bersumber dari luar organisasi yaitu keluarga ataupun teman.
Dua aspek dari dukungan sosial keluarga menurut King dkk. (1995):
1. Emotional sustenance, meliputi perilaku anggota keluarga atau sikap
terhadap individu yang berisi dorongan, pengertian, perhatian, dan
pandangan positif, dan memberikan petunjuk tentang pemecahan masalah.
Hal tersebut meliputi perilaku dan sikap yang merefleksikan ketertarikan
keluarga terhadap pekerjaan individu, keinginan untuk mendengarkan,
berbicara, dan memberikan nasehat kepada individu mengenai
pekerjaannya, dan secara umum mengindikasikan perhatian kepada
individu tersebut.
2. Instrumental assistance, meliputi perilaku dan sikap anggota keluarga yang
bertujuan untuk memfasilitasi kegiatan harian keluarga. Hal tersebut
13
meliputi perilaku dan sikap yang merefleksikan keinginan untuk berbagi
tugas rumah tangga, secara aktif meringankan tanggung jawab anggota
keluarga terkait dengan kewajiban dan tugas-tugasnya, dan terhadap
kehidupan struktur keluarga agar supaya menyesuaikan jadwal kerja
individu atau keperluan pekerjaan.
Gambar 1. Kerangka Penelitian
Seperti yang dapat dilihat dari kerangka penelitian dalam Gambar 1,
penelitian ini membahas secara lebih lanjut tentang keterkaitan antara resiliensi,
dukungan sosial keluarga, dan keterlibatan kerja. Resiliensi dapat dipandang
sebagai suatu ukuran kemampuan koping terhadap stress yang berhasil (Connor &
Davidson, 2003). Dengan demikian resiliensi merupakan perwujudan kualitas-
kualitas personal yang memampukan seseorang bertahan menghadapi kesulitan.
Resiliensi merupakan kumpulan dari sifat individu dan keluarga yang telah
ditemukan untuk mengatasi (a) bangkit dari stress (b) berkembang dalam stress
(Walsh, 2003). Resiliensi yang dimaksudkan dalam penelitian adalah kemampuan
koping yang ditunjukkan oleh istri pengusaha batik ketika menghadapi tantangan
dan ancaman dalam menjalankan bisnis keluarga. Ketika seorang individu resilien
terhadap permasalahan yang dihadapi dalam pekerjaannya, dia akan mampu
beradaptasi dengan dengan kondisi yang menekan tersebut sehingga akan semakin
terlibat dalam pekerjaannya untuk mengatasi ancaman atau permasalahan dalam
Resiliensi
(var. independen I)
Dukungan sosial keluarga
(var. independen II)
Keterlibatan kerja
(var. dependen)
14
bisnis. Masten (2001) mengemukakan salah satu komponen dari resiliensi adalah
reaksi, adaptasi, atau keluaran yang harus bersifat positif. Sebuah reaksi yang
positif adalah sebuah reaksi dimana individu (atau organisasi) meraih kesuksesan
atau keberhasilan sesuai situasi menekan yang dihadapi. Salah satu reaksi positif
yang muncul adalah semakin terlibatnya istri dalam pekerjaanya di dalam bisnis
keluarga, bersikap gigih dan terus berjuang ketika menghadapi saat-saat yang sulit
atau bahkan juga kegagalan.
Dukungan sosial keluarga merupakan bentuk dukungan yang diberikan oleh
lingkungan kerja individu yaitu keluarga terutama pasangan (suami/istri) dalam
bentuk dukungan perlindungan, perhatian, kepercayaam, dan sebagainya.
Dukungan sosial keluarga menurut Adams dkk. (1996) adalah dukungan sosial
yang didapat dari keluarga terutama pasangan dan anak-anak. Ganster dkk. (1986)
menambahkan bahwa dukungan sosial keluarga dapat mempengaruhi keadaan
kesehatan daripada yang lain dan keduanya menunjukkan adanya korelasi yang
kuat. Fitri (2000) menyimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga memainkan
peran penting pada proses stress dalam pekerjaan. Dukungan sosial keluarga
mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keadaan kesehatan dan keadaan
psikis individu. Sehingga ketika istri mendapat dukungan dari orang terdekatnya
untuk ikut bekerja, maka dia akan lebih merasa nyaman terlibat dalam pekerjaan di
bisnis keluarga.
Ketika seorang individu resilien dalam mengadapi permasalahan yang
mengancam pekerjaannya/keberlangsungan bisnis keluarga kemudian dia
mendapat dukungan sosial dari orang-orang terdekatnya seperti suami dan anak-
anak, maka individu (istri) tersebut akan lebih bisa melibatkan diri dalam
pekerjaannya membantu suami dalam menjalankan bisnis keluarga. Keterlibatan
kerja memperlihatkan bagaimana seseorang melihat pekerjaan mereka memiliki
hubungan dengan lingkungan pekerjaan, pekerjaan itu sendiri dan bagaimana
kehidupan kerja dan keseharian mereka bercampur menjadi satu (Hafer & Martin,
2006).
Oleh karena itu, peneliti merasa perlu dilakukaan telaah secara ilmiah
tentang hubungan resiliensi dan dukungan sosial keluarga dengan keterlibatan kerja
15
yang memiliki setting penelitian yang spesifik yaitu bisnis keluarga dan industri
batik dimana istri ikut terlibat dalam bekerja di bisnis keluarga tersebut. Peneliti
menduga bahwa resiliensi dan dukungan sosial keluarga sebagai variabel
independen akan memprediksi keterlibatan kerja istri sebagai variabel dependen.
Peran istri sebagai orang kedua dalam kepemilikan usaha dimana sang suami
merupakan pemilik utama bisnis batik. Selain itu dari penelitian ini dapat
mengungkap seberapa besar resiliensi dan dukungan sosial keluarga dalam
memprediksi keterlibatan kerja istri. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah resiliensi dan dukungan sosial keluarga secara bersama-sama merupakan
prediktor terhadap keterlibatan kerja istri (perempuan) dalam bisnis keluarga, jika
resiliensi dan dukungan sosial keluarga meningkat maka keterlibatan kerja istri juga
ikut meningkat.