BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN … · sebagai akibat dari mekanisme strike-slip akibat...
Transcript of BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN … · sebagai akibat dari mekanisme strike-slip akibat...
16
BAB II
GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
2.1 Tinjauan Umum
Cekungan Laut Jawa Bagian Timur terletak di bagian ujung selatan Craton
Sunda dan memiliki luas sekitar 50.000 km2. Cekungan berumur Eosen ini terbentuk
sebagai cekungan busur belakang (back arc basin) yang berasosiasi dengan busur
volkanik di selatan (Mudjiono dan Pireno, 2001) (Gambar 2.1). Pada Zaman Kapur
Akhir cekungan ini merupakan cekungan laut di bagian selatan zona subduksi
(Satyana dan Purwaningsih, 2003). Cekungan Laut Jawa Bagian Timur dibatasi di
bagian barat oleh Karimunjawa Arch, di bagian timur oleh lingkungan laut dalam
Lombok, Flores, Salayar dan Cekungan Makasar Selatan. Cekungan ini memanjang
ke arah timur-laut dari lepas pantai busur volkanik Laut Jawa hingga ujung tenggara
Kalimantan dan bergabung dengan bagian selatan Selat Makasar dan dibatasi di
bagian timur-laut oleh Paternoster Platform dan Zona Sesar Adang.
Gambar 2.1. Tatanan regional Cekungan Jawa Timur (Mudjiono dan Pireno, 2001).
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi | 17
Batuan dasar Cekungan Laut Jawa Bagian Timur tersegmentasi menjadi
beberapa bentukan horst dan graben yang memiliki arah NE – SW (Satyana dan
Purwaningsih, 2003). Batuan dasar yang tersegmentasi tersebut menghasilkan tempat
akomodasi bagi pengendapan synrift dan postrift berumur Paleogen serta
perkembangan sedimen karbonat. Pre-Ngimbang silisiklastik darat, Ngimbang Bawah
berumur Eosen Awal - Tengah yang merupakan endapan darat – transisi, Ngimbang
Atas dan “CD” berumur Eosen Akhir – Oligosen Awal berupa serpih dan karbonat,
dan Kujung berumur Miosen Awal berupa silisiklastik dan karbonal merupakan
litologi yang berkembang di Cekungan Jawa Timur.
Puncak pengendapan batuan karbonat terjadi pada Miosen Awal yaitu formasi
Kujung I/Tuban. Tektonik inversi terjadi mulai dari Miosen Tengah. Transgresi dan
regresi yang terjadi hingga Pliosen dicirikan oleh pengendapan Formasi Lidah dengan
litologi serpih, batupasir, karbonat dan batubara. Pengendapan sedimen
volkanoklastik mengalami puncak pada Plio-Pleistosen.
2.2. Tatanan Tektonik Regional
Pola struktur di Cekungan Jawa Timur yang umumnya berarah NE – SW
mencerminkan pola struktur batuan dasarnya (basement) (Gambar 2.2) yang memiliki
kisaran umur Yura Awal – Kapur Akhir (Bransden and Matthews, 1992, op.cit.
Mudjiono dan Pireno, 2001). Pada Kapur Akhir, kerak samudera mulai mengalami
konvergensi (subduksi) ke arah NE dengan Paparan Sunda, bagian dari Lempeng
Eurasia. Subduksi tersebut mengikuti arah Meratus Ridge dengan arah SW (Gambar
2.1). Batuan dasar berumur Pra-Tersier menunjukan zonasi yang jelas dimulai dari
granit cratonic dan gneis di area Karimunjawa, Kalimantan Selatan, hingga mélange
di Meratus. Zonasi ini menerus hingga ke Laut Jawa, sebelah utara Madura hingga
berubah menjadi basement batuan beku basa (Gambar 2.2). Di sebelah tenggara
basement metasedimen adalah basement batuan beku asam – intermediet berpola NE
– SW yang menunjukan fragmen benua.
Akibat kompresi yang terus berlanjut, Cekungan Jawa Timur mengalami
pengangkatan dan pembentukan peneplain pada Awal Tersier. Punggungan dan
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi | 18
graben berpola NE – SW terbentuk sebagai respon pembentukan busur belakang
(Mudjiono dan Pireno, 2001). Pola utama yang terbentuk dari barat ke timur adalah
Karimunjawa Arch, Muriah Trough, Bawean Arch, Tuban Trough dan North Madura
High (Gambar 2.1).
Gambar 2.2. Persebaran litologi utama basement berumur Pra-Tersier, Cekungan
Jawa Timur (Mudjiono dan Pireno, 2001).
2.3. Evolusi Tektonik
Supaya pemahaman mengenai evolusi tektonik lebih baik maka pengetahuan
mengenai tipe-tipe interaksi lempeng dan penggunaan prinsip dan sifat pergerakan
lempeng wajib dimiliki. Evolusi tektonik di Cekungan Laut Jawa Bagian Timur dapat
dibagi menjadi 3 periode utama (Sribudiyani, dkk., 2003) berdasarkan interaksi antar
lempeng dan karakteristik bagian-bagiannya, yaitu: Periode Akhir Kapur – Tersier
Awal (70 – 35 Ma), Periode Oligosen – Miosen Awal (35 – 20 Ma), dan Periode
Miosen Tengah – Miosen Akhir (20 – 5 Ma).
Bentuk kerangka tektonik Indonesia Barat sebelum periode pertama adalah
seperti ditunjukan oleh Gambar 2.3 dimana kontrol utamanya adalah pergerakan
Lempeng Australia ke arah timur-laut yang menyebabkan subduksi mengikuti pola
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi | 19
Jawa – Meratus Sribudiyani, dkk., 2003). Aktivitas magmatik berumur Kapur Akhir
dapat ditelusuri dari Sumatera Utara hingga Jawa dan Kalimantan Tenggara (Gambar
2.3).
Gambar 2.3. Kerangka tektonik Asia Tenggara sebelum 70 Ma (Sribudiyani, dkk.,
2003).
2.3.1. Periode Akhir Kapur – Tersier Awal (70 – 35 Ma)
Pada periode ini cekungan-cekungan fore-arc berkembang dengan pola utara-
selatan mengakomodasi busur magmatik yang terangkat akibat pergerakan Lempeng
Australia, contohny: cekungan di selatan Jawa Barat dan Pegunungan Serayu Selatan
di Jawa Tengah (Sribudiyani, dkk., 2003). Endapan-endapan turbidit sangat umum
dijumpai pada periode ini (Martodjojo, 1998).
Di Cekungan Laut Jawa Bagian Timur sendiri perkembangan cekungan
memiliki dua pola utama, yaitu: NE – SW (mengikuti pola Meratus) dan E – W
(mengikuti pola Sakala) (Sribudiyani, dkk., 2003). Endapan cekungan berpola NE –
SW umumnya memiliki litologi utama yaitu batupasir kuarsa yang diendapkan tidak
selaras di atas cekungan berpola E – W. Cekungan berpola barat-timur diperkirakan
memiliki batuan dasar yang berasal dari pecahan Gondwana yang bertumbukan
dengan Lempeng Mikro Sunda bagian tenggara pada Zaman Kapur – Eosen Awal
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi | 20
(Gambar 2.4). Tumbukan yang terjadi mengakibatkan aktivitas magmatik di daerah
tersebut berhenti dan pengangkatan zona subduksi menghasilkan Kompleks Meratus
(Gambar 2.4).
Gambar 2.4. Kerangka tektonik Asia Tenggara pada periode 70 – 35 Ma
(Sribudiyani, dkk., 2003).
Pada Miosen Tengah – Akhir terjadi pergeseran posisi lempeng-lempeng di
Asia Tenggara termasuk kolisi antara India dan Asia. Kolisi tersebut mengakibatkan
terbentuknya zona strike-slip dan block-faulting di sepanjang tepian Lempeng Mikro
Sunda serta berkembangnya cekungan-cekungan transtensional seperti Cekungan
Thai, Malay, Natuna Barat, Sumatera dan Jawa. Pergerakan strike-slip tersebut juga
memicu perputaran Lempeng Mikro Sunda berlawanan arah jarum jam (Tapponnier,
dkk., 1986 op.cit. Sribudiyani, dkk., 2003).
2.3.2. Periode Oligosen – Miosen Awal (35 – 20 Ma)
Pada Oligosen Awal terjadi penurunan laju pergerakan lempeng-lempeng
(Hall, 2002). Penurunan kecepatan memicu pembesaran sudut penunjaman pada
zona-zona subduksi dan pengangkatan di seluruh area Sundaland.
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi | 21
Pada periode ini juga terjadi proses divergen, yaitu aktifnya Laut Cina Selatan
sebagai sea-floor spreading center (Gambar 2.5) (Sribudiyani, dkk., 2003).
Pergerakan konvergen Lempeng India yang terus berlanjut menyebabkan rejim
tektonik kompresi di Sumatera dan Jawa sehingga menyebabkan struktur-struktur
inversi pada cekungan, meskipun pola cekungan yang berkembang tetap mengikuti
arah utara-selatan.
Gambar 2.5. Kerangka tektonik Asia Tenggara pada periode 35 – 20 Ma
(Sribudiyani, dkk., 2003).
2.3.3. Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir (20 – 5 Ma)
Pada periode ini terjadi perubahan arah gerak Lempeng India-Australia lebih
ke selatan, diikuti aktivitas magmatik yang terus menerus di seluruh bagian Pulau
Jawa (Sribudiyani, dkk., 2003). Di bagian utara Jawa terbentuk subcekungan-
subcekungan back-arc yang dipisahkan oleh tinggian dan block faulting, serta masih
mencerminkan pola struktur dan cekungan sebelumnya, yaitu: utara-selatan di Jawa
Barat dan timurlaut – baratdaya dan baratlaut – tenggara di Jawa Tengah (Gambar
2.5). Pola NE – SW dan NW – SE di Jawa Tengah ini menunjukan pola berpasangan
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi | 22
sebagai akibat dari mekanisme strike-slip akibat subduksi ke arah utara sepanjang
Jawa selatan.
Gambar 2.6. Kerangka tektonik Asia Tenggara pada periode 20 – 5 Ma
(Sribudiyani, dkk., 2003).
Pola-pola cekungan yang berkembang pada periode ini sangat mencerminkan
kontrol bentuk dan struktur yang terdapat pada batuan dasarnya. Di Cekungan Laut
Jawa Timur sendiri berkembang dua pola utama yaitu pola NE – SW yang mengikuti
pola Meratus dan kemungkinan besar merupakan cekungan fore-arc, dapat ditelusuri
hingga Subcekungan Kendal dan Subcekungan Kebumen (Sribudiyani, dkk., 2003),
dan pola E – W yang lebih dominan (Kendeng dan Madura Trough). Pola timur-barat
tersebut mencerminkan pola struktur batuan dasarnya yang berasal dari pecahan
Gondwana dan teraktivasi menjadi sesar geser (strike-slip) pada periode ini (Manur
dan Barraclough, 1994 op.cit. Sribudiyani, dkk., 2003).
2.4. Tatanan Tektonostratigrafi
Ada tiga fase megasekuen tektonostratigrafi yang berkembang di Cekungan
Jawa Timur akibat pengaruh pergerakan lempeng sejak Kapur Akhir (Bransden dan
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi | 23
Matthews, 1992), yaitu: Fase Pre-rift, Fase Syn-rift (Megasekuen Paleogen), dan Fase
Post-rift (Megasekuen Neogen). Fase Pre-rift dicirikan oleh basement yang
terstrukturkan secara intensif dan zona perlipatan yang tererosi secara intensif yang
diperkirakan berkembang pada Zaman Kapur. Fase syn-rift (Megasekuen Paleogen)
dicirikan oleh pelamparan sedimen pada rift kompleks berpola E – W disepanjang
cekungan, dibatasi oleh area-area dengan tempat akomodasi yang lebih tipis. Fase
post-rift (Megasekuen Neogen) dicirikan oleh onset dan inversi berkelanjutan yang
menyebabkan perubahan arsitektur cekungan.
2.4.1. Fase Pre-rift (Kapur Akhir)
Fase pre-rift merupakan zona akresi yang disebabkan oleh kolisi antara
Lempeng Mikro Laut Jawa Timur dengan Lempeng Eurasia bagian tenggara pada
Kapur Akhir (postulat Hamilton, 1979 op.cit. Bransden dan Matthews, 1992). Kolisi
yang terjadi mengakibatkan zona tektonostratigrafi, yaitu busur depan dan busur
magmatik, mengalami pergeseran beberapa kilometer ke arah selatan antara Kapur
Akhir dan Kenozoik (Gambar 2.3).
Unit tektonostratigrafi (Gambar 2.4) pada fase pre-rift ini dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu:
1. Basement Akresi
Umumnya dicirikan oleh kuarsit, rijang, konglomerat, metavolkanik, sabak,
sepertinit amfibolit, dan ofiolit yang membentuk batuan prisma akresi.
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi | 24
Gambar 2.7. Tektonostratigrafi Pra-Tersier dan Tersier Awal (Bransden dan
Matthews, 1992).
2. Sedimen Kapur Akhir (Formasi Pre-Ngimbang)
Diendapkan secara tidak selaras di atas basement akresi, dicirikan oleh
struktur yang kompleks dan membentuk pola flower structure yang besar,
litologi umumnya mud-dominated, sejumlah kecil perselingan batulanau dan
batupasir litik – sublitik. Geometri kompresi pada unit ini diperkirakan akibat
kolisi pada Zaman Kapur. Pembentukan pola struktur di Cekungan Jawa
Timur diperkirakan berkembang pada fase ini.
2.4.2. Fase Syn-rift (Eosen - Miosen)
Fase ini terbentuk akibat aktivitas subduksi di tepi Lempeng Eurasian yang
telah mengalami perubahan (Gambar 2.5). Pada Paleosen hingga Eosen Awal,
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi | 25
pergerakan Lempeng Samudera Hindia ke arah utara diakomodasi oleh subduksi
kerak Samudera Hindia disepanjang Palung Sunda (Bransden dan Matthews, 1992).
Di sebelah timur, subduksi aktif Lempeng Pasifik juga sedang terjadi berarah W –
NW menuju Eurasia.
Gambar 2.8. Rekonstruksi pergerakan lempeng selama Kapur Akhir dan Tersier
(modifikasi dari Daly dkk, 1991 op.cit. Bransden dan Matthews, 1992)
Berikut rangkuman formasi-formasi yang diendapkan pada fase syn-rift:
1. Formasi Ngimbang
Komposisi umum formasi ngimbang adalah batuan sedimen klastik berbutir
halus (batulempung dengan alternatif batulanau) dan batugamping yang
berkembang secara lokal (KNOC, 2006). BATULEMPUNG: abu terang
kehijauan, kenampakan seperti lilin, tekstur halus, sedikit – sedang kandungan
pecahan karbonan berbutir sangat halus dan glaukonit, kandungan euhedral
pirit melimpah, kandungan kristal kalsit sedang. Di bawah kedalam 2600 m
warna menjadi abu gelap - abu sedang. BATULANAU: abu terang berangsur
abu sedang, sebagian abu kehijauan, platy, kandungan pecahan karbonanan
dan fragmen tanaman sedang - melimpah, terkadang dijumpai kandungan
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi | 26
foram dan glaukonit berwarna hijau keabuan, micromicaceous, dolomitic
sedang, semen buruk, porositas buruk – sedang. BATUGAMPING: warna
cokelat sangat muda – muda, halus, kilap translucent di beberapa tempat,
kandungan foram melimpah, tekstur wackestone - packstone, kandungan
karbonan dan pyrite jarang, porositas tidak ada – buruk.
2. Formasi “CD” Karbonat
Tersusun atas batuan karbonat dolomitic limestone dan dolomite yang
memiliki porositas/permeabilitas sekunder (KNOC, 2006). DOLOMITIC
LIMESTONE: warna putih – cokelat muda dengan bintik-bintik warna abu
gelap, halus, mudah hancur, terkadang berwarna abu pucat kehijauan – abu
terang kehijauan, kenampakan seperti butiran tanah, brittle, mengandung
mikrokristalin dolomite yang terkristalisasi (berbutir sedang) dengan matriks
karbo-lempungan warna abu terang - sedang, kandungan pirit masif sedang
hingga melimpah, porositas secara umum tidak ada. DOLOMITE: warna
cokelat pucat - terang, terkadang cokelat sedang, halus, mudah hancur, tekstur
mikrokristalin dolomit berbutir sedang – halus berwarna putih susu, matriks
kriptokristalin – mikrokristalin berwarna cokelat gelap, kristal dolomit
euhedral umum dijumpai pada urat dan vuggy, porositas berkisar dari tidak
ada – baik.
3. Formasi Kujung Unit II (Lower Kujung dan Kujung Shale)
Tersusun oleh perselingan batugamping dan batulempung dengan sisipan
batulanau (KNOC, 2006). BATUGAMPING (LIMESTONE): umumnya
berwarna cokelat muda atau cokelat kehijauan, lunak, mudah hancur,
terkadang ditemukan bintik-bintik berwarna abu gelap
(lempungan/karbonan/pirit), tekstur mikrokristalin wackestone – packstone,
foram, terkadang bertekstur granular, porositas tidak ada – buruk.
BATULEMPUNG: warna abu gelap - abu kehijauan, plastis – mudah hancur,
kandungan bintik-bintik halus karbonan rendah, umumnya bersifat non calc-
dolomitic. BATULANAU: warna abu gelap – sedang, getas sedang – getas,
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi | 27
platy, kandungan fragmen tumbuhan jarang – sedang, kandungan pirit rendah,
tersemenkan sedang, non calc-dolomitic.
4. Formasi Kujung Build Up
Tersusun oleh batugamping (limestone) masif dengan dolomitisasi secara
lokal dan lempungan/napalan pada kedalaman tertentu, ditemukan juga
dolomit, napal, dan rijang pada kedalaman tertentu (KNOC, 2006).
BATUGAMPING (LIMESTONE): warna cokelat sangat pucat, kompak,
brittle, mikrokristalin – kriptokristalin wackestone bergradasi menjadi
mudstone, kandungan foram dan koral tinggi, sebagian mengalami
dolomitisasi, porositas terduga tidak ada. DOLOMIT: cokelat terang –
sedang, sebagian translusen, kompak – kompak sedang, brittle, masif kristalin
bergradasi mikrosukrosik, terkadang mengandung microvug, porositas sedang
– baik di beberapa tempat. NAPAL: cokelat gelap – sedang, terkadang
ditemukan laminasi warna abu-abu, kompak sedang, kandungan pirit rendah.
RIJANG: tidak berwarna – cokelat atau abu pucat, sangat kompak, terdapat
rekahan-rekahan konkoidal, bersifat karbonatan di beberapa bagian.
5. Formasi Kujung Unit I (Upper Kujung/Prupuh)
Litologi yang dominan adalah perselingan batulempung dan batugamping
sisipan batupasir, batulanau dan nodul dolomit (KNOC, 2006).
BATULEMPUNG: warna abu gelap kecokelatan, tekstur platy, terkadang
bersifat lanauan dengan laminasi lanau berwarna abu terang, kandungan
fragmen tumbuhan melimpah – sangat melimpah, kandungan pirit jarang –
sedang, karbonatan sedikit – sedang, terkadang ditemukan bintik-bintik
karbonan, kandungan mika jarang. BATUGAMPING (LIMESTONE):
warna putih – abu pucat, abu kehijauan, bintik-bintik berwarna abu gelap –
hitam, sedikit translusen, kompak sedang, blocky, tekstur mikrokristalin
mudstone – wackestone, terdapat kandungan pecahan fosil (foram, bivalve,
koral, echinoid, dan gastropod), kandungan glaukonit melimpah – sangat
melimpah, bintik-bintik berukuran butir pasir dan karbonan, porositas buruk –
tidak ada. BATUPASIR: bersifat lepas-lepas, tidak berwarna, umumnya
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi | 28
berbutir halus – sedang, kebundaran subangular – angular, sorting sedang,
sedikit matriks lempungan warna keabuan, sedikit ditemukan bintik-bintik
karbonan berukuran lanau. BATULANAU: abu sedang, abu kehijauan –
kecokelatan, crumbly – subplaty, matriks lempungan – berbutir lanau
bergradasi pasir sangat halus, ditemukan kandungan fosil pecahan cangkang
(bivalve, foram, dll) sedang – melimpah, kandungan pirit sedang, bersifat
calc-dolomitic sedang. DOLOMITE: cokelat keabuan, kilap porselen,
kompak, brittle, rekahan konkoidal, tekstur kriptokristalin mudstone, bersifat
karbonatan di beberapa bagian (proses diagenesis?).
6. Formasi Tuban Shale
Litologi yang dominan adalah campuran antaran sedimen klastik berbutir
halus dan karbonat (KNOC, 2006). BATULEMPUNG: warna abu tua
kehijaun, kompak sedang, halus, ditemukan sedikit – sedang kandungan
mineral mika berstruktur flake (abu gelap kehijauan), kandungan bintik-bintik
karbonan dan glaukonit jarang – sedang, bersifat karbonatan sedang dan
bergradasi menjadi napalan di beberapa bagian, kandungan fragmen
tumbuhan yang ter-coalified melimpah – sangat melimpah (berbutir lanau
sangat halus – kasar), kandungan pirit sedang. BATUPASIR: kenampakan
sedimen lepas, tidak berwarna, berbutir pasir halus - sedang, angular -
subangular (masih menampakan tekstur kristalin mineral batuan beku),
kandungan glaukonit sedang – melimpah berwarna abu sangat gelap kehijauan
- hitam, kandungan mineral mika melimpah (umumnya berbentuk pipih akibat
proses kompaksi), kandungan pecahan fosil cangkang (foram, bivalve)
sedang, berasosiasi dengan sedikit kandungan Amber (cokelat pucat
kekuningan – cokelat tua, transparan - translusen, kompak sedang - kompak,
rekahan konkoidal, biasanya ditemukan bersama dengan laminasi karbonat
atau batupasir lempungan), perkiraan porositas baik. LIMESTONE: warna
cokelat muda, terkadang bergradasi menjadi warna cokelat terang, kompak
sedang, tekstur wackestone bergradasi menjadi mudstone, mengandung
pecahan fosil cangkang (foram, bivalve, koral), matriks amorphous - chalky
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi | 29
lime-mud terkadang bergradasi menjadi kriptokristalin, terdapat microvug
dalam jumlah jarang – sedang yang dilingkari oleh mineral kalsit euhedral.
7. Formasi Tuban Karbonat
Terutama tersusun oleh batugamping dengan interkalasi batugamping argilik.
BATUGAMPING: cokelat pucat, terkadang bergradasi menjadi warna
cokelat terang, kompak sedang, tekstur wackestone bergradasi menjadi
mudstone, mengandung pecahan fosil cangkang (foram, bivalve, koral)
matriks amorphous - chalky lime-mud terkadang bergradasi menjadi
kriptokristalin, terdapat microvug dalam jumlah jarang – sedang yang
dilingkari oleh mineral kalsit euhedral. Terkadang berwarna cokelat muda
keabuan, kilap porselen, kompak sedang - kompak, brittle, blocky, tekstur
mudstone kripstokristalin, kandungan mikrofosil (foram) sedang dan sedikit
dolomitik di beberapa bagian.
8. Formasi Paciran
Formasi ini didominasi oleh litologi batulempung dan batulanau dengan
sisipan batupasir dan batugamping (KNOC, 2006). BATULEMPUNG:
warna abu gelap, plastis – mudah hancur, halus, kenampakan sedikit waxy,
kandungan glaukonit melimpah – sangat melimpah (abu sangat gelap
kehijauan - hitam, berbutir halus – sedang, terkadang kasar – sangat kasar,
kebundaran pelloidal/rounded), terdapat sedikit – sedang bintik-bintik
karbonan dan fragmen lignitik, umumnya bersifat karbonanatan sedang –
tinggi. BATULANAU: abu sedang - gelap, sedikit abu kehijauan, kompak
sedang - kompak, lepas-lepas – blocky, ukuran butir lanau – pasir sangat
halus, matriks argilik, kandungan glaukonit melimpah – sangat melimpah
(abu sangat gelap kehijauan - hitam, ukuran butir lanau – pasir sangat halus,
pelloidal), ditemukan juga siderit (reworked?) berwarna cokelat sedang –
gelap kehijauan, karbonatan sedang – tinggi. BATUPASIR: lepas-lepas,
jernih dan tidak berwarna, ukuran butir pasir halus – sedang terkadang kasar –
sangat kasar, angular bergradasi menjadi subangular (menunjukan tekstur
kristalin mineral asal: batuan beku), sorting sedang, matriks argilik.
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi | 30
BATUGAMPING: abu pucat – abu kecokelatan, mudah hancur, tekstur
mudstone amorf - chalky di beberapa bagian, sedikit bintik-bintik karbonan,
mengandung fragmen fosil cangkang (bivalve, foram) dalam jumlah sedang,
sedikit kandungan glaukonit berbutir lanau – pasir sangat halus (abu sangat
gelap kehijauan - hitam).
2.4.3. Fase Post-rift (Miosen – Resen)
Fragmen benua Banggai-Sula bertabrakan dengan Sulawesi pada Miosen
Akhir (Davis, 1990 op.cit. Bransden dan Matthews, 1992). Pergerakan Benua
Australia terus terjadi ke arah utara menuju Palung Sunda dan Busur Banda
mengakibatkan thrust dan inversi di sepanjang busur. Struktur thrust mayor
diinterpretasikan terjadi di utara Flores, Lombok, dan Bali (Silver dkk, 1983 op.cit.
Bransden dan Matthews, 1992). Aktivitas inversi ini yang dianggap sebagai pemicu
mekanisme inversi di Laut Jawa bagian Timur. Alternatif penyebab lain adalah
terhalangnya pergerakan Laut Jawa bagian Timur sebagai bagian dari Lempeng
Eurasia oleh Palung Kalimantan berarah NW pada akhir Miosen Awal dan kolisi
Sulawesi pada Miosen Akhir. Formasi yang terendapkan pada fase ini adalah Formasi
Lidah.
1. Formasi Lidah
Ciri Formasi Lidah adalah adanya sekuen batulempung endapan darat yang
terkonsolidasi secara buruk dan sisipan batubara (KNOC, 2006).
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi | 31
Gambar 2.9. Stratigrafi Regional Cekungan Jawa Timur (modifikasi dari KNOC,
2006)