Post on 18-Jan-2016
description
Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan
Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif
Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa
Kelas VIII SMP Laboratorium Undiksha Singaraja
Oleh :
Kartini Ayu Trisnawati ( 1329111006 )
Abstrak: Penulisan laporan ini bertujuan untuk membantu menangani krisis identitas yang dialami siswa kelas VIII SMP Laboratorium Undiksha Singaraja. Kegiatan eksperimen sederhana yang dilaksanakan dengan subjek terdiri dari lima kelas yang masing-masing terdiri atas 27 orang siswa sehingga total jumlahnya 140 orang. Terdapat 18 siswa yang menampakan perilaku remaja yang mengalami krisis identitas dilihat berdasarkan persentase hasil kuesionernya dan observasi langsung, dan ke-18 siswa tersebut diberikan tindakan berupa konseling kelompok dengan pendekatan kognitif perilaku dan rasional emotif. Hasil analisis menunjukkan bahwa upaya mengatasi krisis identitas yang dialami oleh siswa dengan menggunakan layanan konseling kelompok dengan pendekatan kognitif perilaku dan rasional emotif pada siswa kelas VIII SMP Laboratorium Undiksha Singaraja berhasil, karena terjadi perubahan perilaku siswa ke arah yang lebih positif secara individu maupun kelompok. Yang mana konseling kognitif perilaku dengan rata-rata persentase peningkatan sebesar 41,44% dapat dikatakan lebih efektif dalam membantu menangani krisis identitas yang dialami oleh siswa dibandingkan konseling rasional emotif yang rata-rata persentase peningkatannya hanya 38,89%.
Kata Kunci : Konseling Kelompok, Konseling Kognitif Perilaku, Konseling Rasional Emotif, Krisis Identitas
A. Pendahuluan
A.1 Identifikasi Masalah
Perkembangan jaman yang semakin modern terutama pada era
globalisasi seperti sekarang ini menuntut adanya sumber daya manusia yang
berkualitas tinggi. Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan
prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan. Salah satu wahana
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia tersebut adalah
pendidikan.
1
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi
sumber daya manusia melalui kegiatan pengajaran. UU Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 tahun 2003, menyatakan, bahwa tujuan pendidikan nasional
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Menurut Musaheri (2007 : 48), pendidikan dalam arti luas merupakan
bantuan atau pertolongan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain
untuk mengembangkan dan memfungsionalkan rohani ( pikiran, rasa, karsa,
cipta dan budi nurani ) manusia dan jasmani ( pancaindera dan keterampilan-
keterampilan ) manusia agar meningkat wawasan pengetahuannya. Jadi
pendidikan tidak cukup terfokus pada aspek kognitif semata tetapi juga aspek
non kognitif. Kedua aspek ini memberi pengaruh yang cukup besar terhadap
perkembangan peserta didik. Pendidikan kognitif mengembangkan aspek
intelektual, sedangkan aspek non kognitif membantu mengembangkan sikap
dan keterampilan.
Sebagaimana diketahui bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua
faktor besar yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal
meliputi masyarakat, keluarga dan sekolah. Masyarakat selain berperan
sebagai pemberi masukan dalam mengembangkan pendidikan, juga membantu
menyediakan sarana dan prasarana belajar. Sedangkan keluarga berperan
sebagai peletak dasar bagi anak-anak. Gunarsa (1976:9) menyatakan bahwa,
keluarga merupakan sumber pendidikan utama, karena segala pengetahuan
dan kecerdasan intelektuil manusia diperoleh pertama-tama dari orang tua dan
anggota keluarganya sendiri. Selain keluarga sebagai tempat pendidikan anak,
sekolah berperan melanjutkan pendidikan keluarga dengan memberi
pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan akademis dan non
akademis. Demikianlah pendidikan itu dilakukan dalam tiga tempat untuk
saling melengkapi. Dalam UU SPN RI No: 20/2003 Bab I Ketentuan Umum
2
ayat 2 tentang sistem Pendidikan tertera bahwa, semua proses pendidikan itu
bertujuan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Kenyataan di lapangan mengindikasikan bahwa sekolah lebih
mengutamakan nilai hasil belajar/akademik dari pada pengembangan
kepribadian. Persyaratan untuk memasuki sekolah pada jenjang pendidikan
tertentu menggunakan nilai UAN (Ujian Akhir Nasional), seleksi TPA (Tes
Potensi Akademik), dan persyaratan akademis lainnya. Jarang kita mendengar
ada sekolah yang menggunakan kepribadian sebagai persyaratan diterima
sebagai siswa baru pada sekolah tertentu. Akibatnya banyak sekolah yang
hanya menekankan pada bagaimana caranya agar nilai akademis anak dapat
ditingkatkan. Dampak lanjutannya adalah anak banyak diberikan les-les atau
bimbingan belajar, baik yang dilaksanakan di sekolah maupun di luar sekolah;
diselenggarakannya lomba-lomba peningkatan prestasi akademik seperti
olimpiade matematika, fisika, biologi, dan berbagai jenis lomba akademik
lainnya.
Akibat dari adanya ketidakseimbangan kedua aspek pendidikan
tersebut, anak terkesan menjadi anak pintar tetapi angkuh dan meninggalkan
aspek emosional. Goleman (2003 : 48) menyatakan bahwa keberhasilan
seseorang dalam hidup, dalam hal ini keberhasilan berperilaku sosial yang
positif bukan hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual semata akan tetapi
banyak dipengaruhi oleh kecerdasan emosional. Banyak bukti yang
memperlihatkan bahwa orang yang secara emosional cakap mengelola
perasaan dengan baik, dan yang mampu membaca serta menghadapi perasaan
orang lain dengan efektif memiliki keuntungan dalam bidang hidup.
Sebagaimana dikatakan oleh Kartadinata, dkk (2000 : 06) bahwa,
kebermutuan SDM tidak hanya terletak pada kecerdasan intelektual, tetapi
juga kecerdasan sosial dan emosional. Keberhasilan atau prestasi yang dicapai
manusia masyarakat global tidak semata-mata ditentukan oleh kecerdasan
3
intelektual tapi juga oleh ketekunan, komitmen, motivasi, kesungguhan,
disiplin dan etos kerja, kemampuan berempati, dan berinterelasi.
Jadi, perilaku sosial memegang peranan penting dalam kehidupan. Hal
ini merupakan salah satu aspek non kognitif yang seringkali dilupakan
peranannya. Indikasi perilaku sosial yang baik adalah seperti sopan santun,
kemampuan berempati, suka bekerjasama, membantu orang lain, tidak
memaksakan kehendak kepada orang lain akan memperoleh penyesuaian yang
baik di masyarakat dan bisa diterima masyarakat serta terciptanya
keharmonisan hubungan antar sesama. Sebaliknya, orang yang cerdas secara
intelektual akan tetapi tidak tahu bagaimana bergaul, egois, ingin menang
sendiri, tidak menghargai orang lain, tidak akan diterima baik oleh masyarakat
dalam pergaulannya.
Pada umumnya sekolah merupakan salah satu lingkungan pendidikan
yang terdiri dari berbagai macam individu dengan segala keunikan dan
perbedaan-perbedaan. Hal ini sangat memungkinkan anak untuk dapat
mengembangkan perilakunya karena anak akan berinteraksi dengan banyak
orang yang berbeda dan mereka akan belajar menerima perbedaan tersebut.
Seperti yang telah diketahui bahwa di sekolah masih banyak siswa - siswa
yang memiliki perilaku rendah, baik itu di dalam kelas maupun di luar kelas.
Untuk mengatasi perilaku tersebut guru telah melakukan usaha-usaha yang
bertujuan untuk membina siswa. Akan tetapi tampaknya pembinaan guru
terhadap siswa tersebut tidak berhasil secara optimal karena anak tetap
menampakkan perilaku yang menyimpang.
Perilaku menyimpang disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor penyebab yang berasal
dari dalam diri seseorang seperti kebutuhan yang tidak terpenuhi, motif-motif
tertentu, kecemasan, konflik batin, kemampuan belajar lamban, konsep diri
yang negatif (mudah cemas, pemalu, dan sombong). Anak-anak yang
memiliki perilaku bermasalah akibat dari gangguan dalam pribadinya.
Faktor eksternal merupakan faktor penyebab dari luar diri seseorang
seperti lingkungan geografis dan lingkungan sosial (keluarga, sekolah dan
masyarakat). Faktor luar tersebut adalah pengalaman - pengalaman yang
4
diperoleh dari alam sekitar dan pendidikan. Lingkungan sosial yang tidak
terkodisi merupakan sumber utama penyebab terbentuknya perilaku
menyimpang, seperti pergaulan anak-anak di luar rumah atau masyarakat.
Gunarsa (1979) menyatakan bahwa anak yang terlalu disayang, dilindungi dan
dimanja oleh keluarganya mengakibatkan anak menjadi malu, cemas,
ketakutan serta tingkah lakunya tidak patuh, maka disekolah akan
memperlihatkan gejala-gejala yang sama seperti di rumah, tidak patuh dengan
peraturan-peraturan dan perintah-perintah, suka menarik perhatian dan
menguasai orang lain atau alat permainan anak lainnya. Gambaran yang
didapat dari pernyataan tersebut adalah kasih sayang yang tidak wajar dari
kedua orang tuanya dapat menimbulkan perilaku menyimpang pada anak.
Ketidak harmonisan keluarga seperti perceraian keluarga yang tidak lengkap
strukturnya, ketidak hadiran orang tua dalam waktu yang lama secara
berencana atau kontinu dapat memicu terjadinya perilaku menyimpang pada
anak. Pendapat-pendapat di atas memberikan indikasi bahwa faktor internal
dan eksternal sangat memberikan warna terhadap perilaku seseorang. Konsep
diri sebagai salah satu faktor internal dan pola asuh orang tua sebagai faktor
eksternal sangat mempengaruhi terbentuknya kecenderungan perilaku
menyimpang.
Konsep diri sebagai pusat perilaku pada individu tentunya akan
menentukan pola perilaku individu dalam menghadapi lingkungan di sekitar
serta cara berinteraksi dengan orang lain. Siswa dengan konsep diri yang
negatif cenderung untuk memiliki reaksi negatif terhadap dirinya, teman, guru
dan pendidikannya di sekolah, dan begitu pula sebaliknya. Misalnya, jika
tidak tertanam dengan kuat konsep diri positif seperti tanggung jawab dalam
belajar dan mengikuti pendidikan dengan penuh semangat, maka siswa akan
mudah terpengaruh oleh lingkungan sebayanya yang berkecenderungan
menyimpang, contohnya membolos, tidak mengerjakan tuhas-tugas yang
diberikan, atau perilaku-perilaku menyimpang seperti berkelahi dan
melanggar peraturan. Hal sebaliknya akan ditunjukan oleh siswa dengan
konsep diri yang positif, yang dalam pengasuhan orang tua ditanamkan
konsep-konsep diri yang positif seperti tanggung jawab, maka siswa
5
bersangkutan akan mengikuti pelajaran dengan seksama, menuruti setiap
peraturan yang berlaku dan tidak akan mudah terpengaruh dengan lingkungan
yang berkecenderungan menyimpang. Konsep diri merupakan sebuah
pernyataan tentang “siapa saya” yang akan menentukan bagaimana seorang
individu bersikap dan berperilaku dalam kesehariannya, dan bagaimana
individu tersebut menerima atau menolak berbagai pengaruh dari
lingkungannya.
Dalam literatur berjudul Kenakalan Orang Tua Penyebab Kenakalan
Remaja, dikatakan bahwa kenakalan remaja, perilaku agresif dan perilaku
menyimpang diidentifikasi sebagai tiga bentuk problem psikososial yang
paling umum dialami oleh remaja. Menurut perspektif perkembangan yang
banyak memusatkan perhatian pada perkembangan remaja, yakni teori
perkembangan psikososial dari Erikson (1968), problem psikososial pada
remaja dapat diatribusikan dengan adanya hambatan dalam menangani isu
perkembangan psikososial pada periode remaja, yakni krisis identitas.
Maka penelitian yang dilaksanakan ini dimaksudkan untuk
memperoleh suatu model intervensi konseling yang efektif untuk menangani
krisis identitas dan problem psikososial remaja. Dalam penelitian ini akan
dicobakan program konseling kelompok untuk membantu siswa dalam
mengatasi krisis identitas mereka. Akan tetapi penyelesaian krisis identitas
tentu tidak cukup hanya melalui konseling kelompok. Selanjutnya siswa yang
belum mampu menyelesaikan krisis identitasnya dalam konseling kelompok
akan diperlakukan juga dengan konseling kognitif perilaku dan konseling
rasional emotif yang diharapkan mampu menuntaskan masalah krisis identitas
siswa.
A.2 Permasalahan Yang Akan Di Angkat
Dalam literatur, kenakalan remaja, perilaku agresif dan perilaku
menyimpang diidentifikasi sebagai tiga bentuk problem psikososial yang paling
umum dialami oleh remaja. Menurut perspektif perkembangan yang banyak
6
memusatkan perhatian pada perkembangan remaja, yakni teori perkembangan
psikososial dari Erikson (1968), problem psikososial pada remaja dapat
diatribusikan dengan adanya hambatan dalam menangani isu perkembangan
psikososial pada periode remaja, yakni krisis identitas.
Krisis identitas yang dialami oleh siswa kelas VIII SMP Laboratorium
Undiksha Singaraja berdasarkan hasil observasi merupakan bentuk kenakalan
remaja tingkat sedang. Permasalahan yang mereka alami berpusat pada masalah
adaptasi siswa dengan lingkungan sekitarnya, seperti siswa yang suka main tangan
dan berbicara dengan bahasa yang kasar karena teman di sekitar rumahnya adalah
orang dewasa yang tidak baik (preman). Permasalahan lainnya adalah
kecemburuan yang terjadi di rumahnya terbawa ke sekolah sehingga siswa
berusaha mencari perhatian disekolah dengan cara yang salah, siswa yang suka
korupsi uang SPP, siswa yang suka mengganggu siswa lain dengan kejahilan yang
agak diluar batas dan banyak masalah lainnya.
Maka penelitian yang dilaksanakan ini dimaksudkan untuk memperoleh
suatu model intervensi konseling yang efektif untuk menangani krisis identitas
dan problem psikososial remaja. Keterkaitan antara keduanya adalah dimana
diberikan program konseling kelompok dengan dua pendekatan yaitu konseling
kognitif perilaku dan konseling rasional emotif untuk membantu siswa dalam
mengatasi krisis identitas mereka. Dari dua pendekatan ini mana yang bisa
menuntaskan permasalahan krisis identias siswa kelas VIII SMP Laboratorium
Undiksha Singaraja ini.
B. Kajian Teori
B.1 Jenis Layanan
Menurut Depdiknas, ”program bimbingan dan konseling mengandung empat
komponen pelayanan, yaitu: (1) pelayanan dasar bimbingan; (2) pelayanan
responsif, (3) perencanaan individual, dan (4) dukungan sistem”. Adapun
pengertian tiap-tiap komponen pelayanan tersebut sebagai berikut:
7
1. Pelayanan Dasar
Pelayanan dasar diartikan sebagai proses pemberian bantuan kepada
seluruh konseli melalui kegiatan penyiapan pengalaman terstruktur secara
klasikal atau kelompok yang disajikan secara sistematis dalam rangka
mengembangkan perilaku jangka panjang sesuai dengan tahap dan tugas-tugas
perkembangan (yang dituangkan sebagai standar kompetensi kemandirian)
yang diperlukan dalam pengembangan kemampuan memilih dan mengambil
keputusan dalam menjalani kehidupannya. Kurikulum bimbingan ini
diperuntukan kepada seluruh peserta didik yang diharapkan dapat
memfasilitasi peningkatan keterampilan sesuai dengan tahap perkembangan
peserta didik. Penggunaan instrumen asesmen perkembangan dan kegiatan
tatap muka terjadwal di kelas sangat diperlukan untuk mendukung
implementasi komponen ini. Asesmen kebutuhan diperlukan untuk dijadikan
landasan pengembang; pengalaman terstruktur yang disebutkan.
2. Pelayanan Responsif
Pelayanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada konseli
yang menghadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan
dengan segera, sebab jika tidak segera dibantu dapat menimbulkan gangguan
dalam proses pencapaian tugas-tugas perkembangan. Hal tersebut sejalan
dengan pendapat yang di ungkapkan oleh Gysbers & Henderson (American
School Counselor Association, 2005: 22), tujuan pelayanan ini adalah
memberikan bantuan khusus bagi konseli yang menghadapi kebutuhan dan
masalah yang memerlukan pertolongan degan segera.
3. Perencanaan Individual
Perencanaan individual diartikan sebagai bantuan kepada peserta didik
agar mampu merumuskan dan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan
perencanaan masa depan berdasarkan pemahaman akan kelebihan dan
kekurangan dirinya, serta pemahaman akan peluang dan kesempatan yang
8
tersedia di lingkungannya. Pemahaman konseli secara mendalam dengan
segala karakteristiknya, penafsiran hasil asesmen, dan penyediaan informasi
yang akurat sesuai dengan peluang dan potensi yang dimiliki konseli amat
diperlukan sehingga konseli mampu memilih dan mengambil keputusan yang
tepat di dalam mengem-bangkan potensinya secara optimal, termasuk
keberbakatan dan kebutuhan khusus konseli. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat yang di ungkapkan oleh Gysbers & Henderson (American School
Counselor Association, 2005: 22), perencanaan individual merupakan
kegiatan yang sistematis yang dirancang untuk membantu peserta didik
memahami dan mengambil tindakan untuk mengembangkan rencana masa
depan.
4. Dukungan Sistem
Ketiga komponen di atas, merupakan pemberian bimbingan dan
konseling kepada konseli secara langsung. Menurut Gysber & Henderson
(2006: 81), dukungan sistem merupakan komponen pelayanan dan kegiatan
manajemen, tata kerja infra struktur (misalnya Teknologi Informasi dan
Komunikasi), dan pengembangan kemampuan profesional konselor secara
berkelanjutan, yang secara tidak langsung memberikan bantuan kepada
konseli atau memfasilitasi kelancaran perkembangan konseli.
Program ini memberikan dukungan kepada konselor dalam
memperlancar penyelenggaraan pelayanan di atas. Sedangkan bagi personel
pendidik lainnya adalah untuk memperlancar penyelenggaraan program
pendidikan di sekolah/madrasah. Dukungan sistem ini meliputi aspek-aspek:
(a) pengembangan jejaring (networking), (b) kegiatan manajemen, (c) riset dan
pengembangan.
Berdasarkan pembahasan diatas dapat diketahui bahwa jenis pelayanan
yang akan dilaksanakan adalah pelayanan responsif karena permasalahan-
permasalahan yang dialami oleh para siswa ini bila tidak segera dituntaskan
dapat menimbulkan gangguan dalam proses pencapaian tugas-tugas
9
perkembangannya sebagai remaja yang sedang dalam perjalanan menemukan
jati dirinya.
1. Konseling Kelompok
1.1. Pengertian Konseling
Proses konseling pada dasarnya dilakukan secara indifidual
(between two persons). Yaitu antara seorang konseli dan konselor,
walaupun dalam perkembangan kemudian ada konseling kelompok (group
counseling). Pemecahan masalah dalam proses konseling itu dijalankan
dengan wawancara atau diskusi antara seorang konseli dan konselor dan
wawancara itu dijalankan secara face to face. (tatap muka). Dengan urayan
tersebut dapat disimpulkan bahwa konseling merupakan bantuan yang
diberikan kepada peserta didik untuk memecahkan masalah kehidupanya
dengan cara wawancara dan dengan cara yang sesuai dengan keadaan yang
dihadapi induvidu untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Dalam hal ini
perlu diketahui bahwa individu pada akhirnya dapat memecahkan masalah
dengan kemampuanya sendiri, dengan demikian konseli konseli tetap
dalam keadaan aktif memupuk kesanggupanya sendiri didalam
memecahkan setiap masalah yang mungkin akan dihadapi dalam
kehidupanya. Dari penjelasan diatas dapat dikemukakan bahwa konseling
lebih bersifat kuratif atau korektif. (Walgito, 2010:8)
1.2. Pengertian Kelompok
Pada dasarnya manusia merupakan mahluk sosial yang hidup
berkelompok, yang tidak bisa hidup dari bantuan orang lain. Menurut
Brodbeek dan Lewin (dalam Hartinah, 2009:20). Mengemukakan bahwa
kelompok dengan menggambarkanya sebagai kumpulan individu-individu
yang mempunyai hubungan-hubungan tertentu, yang membuat mereka
saling ketergantungan satu sama lain dalam ukuran-ukuran yang bermakna.
Menurutnya kelompok adalah untuk melangsungkan hidupnya karena
10
dengan kelompok manusia dapat memenuhi kebutuhan, mengembangkan
diri, mengembangkan potensi, serta aktualisasi diri.
1.3 Konseling Kelompok (Counseling Group)
Istilah kelompok konseling sebenarnya tidak hanya digunakan di
institusi pendidikan sekolah, tetapi di Indonesia hanya digunakan oleh
jajaran tenaga bimbingan pada jenjang pendidikan menengah dan
perguruan tinggi. Dapat disimpulkan bahwa dalam konseling kelompok
yaitu membantu mengembangkan hubungan antar pribadi melalui orang-
orang berketerampilan sosial. Dan kelompok berfungsi sebagai
laboratorium atau lokakarya keterampilan kelompok yang efektif.
Layanan konseling kelompok pada hakekatnya adalah suatu proses
antar pribadi yang dinamis, terpusat pada pikiran dan perilaku yang
disadari, dibina dalam suatu kelompok kecil mengungkapkan diri kepada
sesama anggota dan konselor, dimana komunikasi antar pribadi tersebut
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman dan penerimaan diri
terhadap nilai-nilai kehidupan dan segala tujuan hidup serta untuk belajar
perilaku tertentu ke arah yang lebih baik dari sebelumnya (Winkel, 2004).
Konseling kelompok bersifat memberikan kemudahan dalam
pertumbuhan dan perkembangan individu, dalam arti bahwa konseling
kelompok memberikan dorongan dan motivasi kepada individu untuk
membuat perubahan-perubahan dengan memanfaatkan potensi secara
maksimal sehingga dapat mewujudkan diri.
Pendekatan ini menitik beratkan pada interaksi antar anggota,
anggota dengan pemimipin kelompok dan sebaliknya. Interaksi ini selain
berusaha bersama untuk dapat memecahkan masalah juga anggota
kelompok dapat belajar untuk mendengarkan secara aktif, melakukan
konfrontasi dengan tepat, memperlihatkan perhatian dengan sungguh-
sungguh terhadap anggota lain.
11
Kesempatan memberi dan menerima dalam kelompok akan
menimbulkan rasa saling menolong, menerima, dan berempathi dengan
tulus. Keadaan ini membutuhkan suasana yang positif antar anggota,
sehingga mereka akan merasa diterima, dimengerti, dan menambah rasa
positif dalam diri mereka.
Dalam konseling kelompok, dengan memanfaatkan dinamika
kelompok para anggota kelompok dapat mengembangkan diri dan
memperoleh keuntungan-keuntungan lainnya. Arah pengembangan diri
yang dimaksud terutama adalah dikembangkannya kemampuan-
kemampuan sosial secara umum yang selayaknya dikuasai oleh individu
individu yang berkepribadian mantap. Keterampilan berkomunikasi secara
efektif, sikap tenggang rasa, memberi dan menerima, toleran,
mementingkan musyawarah untuk mencapai mufakat seiring dengan sikap
demokratis, memiliki rasa tanggung jawab sosial seiring dengan
kemandirian yang kuat merupakan arah pengembang pribadi yang dapat
dijangkau melalui diaktifkannya dinamika kelompok itu.
Layanan konseling kelompok memberikan kesempatan kepada
anggota kelompok berinteraksi antar pribadi yang khas, yang tidak
mungkin terjadi pada layanan konseling individual. Interaksi sosial yang
intensif dan dinamis selama pelaksanaan layanan, diharapkan tujuantujuan
layanan yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan individu anggota
kelompok dapat tercapai secara mantap. Pada kegiatan konseling
kelompok setiap individu mendapatkan kesempatan untuk menggali tiap
masalah yang dialami anggota. Kelompok dapat juga dipakai untuk belajar
mengekspresikan perasaan, menunjukan perhatian terhadap orang lain, dan
berbagi pengalaman.
Pendekatan interaksional merupakan pendekatan yang digunakan
dalam layanan konseling kelompok. Pendekatan ini menitikberatkan pada
interaksi antar anggota, anggota dengan pemimpin kelompok dan
sebaliknya. Interaksi ini selain berusaha bersama untuk dapat memecahkan
12
masalah juga anggota kelompok dapat belajar untuk mendengarkan secara
aktif, melakukan konfrontasi dengan tepat, memperlihatkan perhatian
dengan sungguh-sungguh terhadap anggota lain.
Kesempatan memberi dan menerima dalam kelompok akan
menimbulkan rasa saling menolong, menerima, dan berempathi dengan
tulus. Keadaan ini membutuhkan suasana yang positif antar anggota,
sehingga mereka akan merasa diterima, dimengerti, dan menambah rasa
positif dalam diri mereka.
Konseling kelompok merupakan wahana untuk menambah
penerimaan diri dan orang lain, menemukan alternatif cara penyelesaian
masalah dan mengambil keputusan yang tepat dari konflik yang
dialamimya dan untuk meningkatkan tujuan diri, otonomi dan rasa
tanggung jawab pada diri sendiri dan orang lain. Dengan demikian
konseling kelompok memberikan kontribusi yang penting dalam
meningkatkan penyesuaian diri, apalagi masalah penyesuaian diri
merupakan masalah yang banyak dialami oleh siswa yang menyebabkan
banyak siswa mengalami krisis identitas sehingga mudah terjerumus ke
hal-hal yang negatif seperti tawuran dan penyalahgunaan narkoba,
sehingga untuk mengefisiensikan waktu konseling kelompok
dimungkinkan lebih efektif dibandingkan layanan konseling individual.
2. Konseling Kognitif Perilaku
2.1 Pengertian Konseling Kognitif Perilaku
Pendekatan Konseling Kognitif-Perilaku merupakan pendekatan
konseling yang memadukan pendekatan kognitif dan perilaku untuk
memecahkan masalah. Bush (2003) mengungkapkan bahwa Cognitive
Behavior Therapy ( CBT ) atau Konseling Kognitif Perilaku ( KKP )
merupakan perpaduan dari dua pendekatan dalam psikoterapi yaitu
13
cognitive therapy dan behavior therapy. Terapi kognitif memfokuskan
pada pikiran, asumsi dan kepercayaan. Terapi kognitif memfasilitasi
individu belajar mengenali dan mengubah kesalahan dalam berpikir atau
pikiran yang irasional menjadi rasional. Sedangkan terapi tingkah laku
membantu individu untuk membentuk perilaku baru dalam memecahkan
masalahnya.
Beck (1964) mendefinisikan KKP sebagai pendekatan
konseling yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada
saat ini dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang
menyimpang. Pedekatan KKP didasarkan pada formulasi kognitif,
keyakinan dan strategi perilaku yang mengganggu. Proses konseling
didasarkan pada konseptualisasi atau pemahaman konseli atas keyakinan
khusus dan pola perilaku konseli. Harapan dari KKP yaitu munculnya
restrukturisasi kognitif yang menyimpang dan sistem kepercayaan
untuk membawa perubahan emosi dan perilaku ke arah yang lebih baik.
Matson & Ollendick (1988: 44) mengungkapkan definisi cognitive-
behavior therapy yaitu pendekatan dengan sejumlah prosedur yang secara
spesifik menggunakan kognisi sebagai bagian utama konseling. Fokus
konseling yaitu persepsi, kepercayaan dan pikiran. Para ahli yang
tergabung dalam National Association of Cognitive-Behavioral Therapists
(NAKKP), mengungkapkan bahwa definisi dari cognitive-behavior therapy
yaitu suatu pendekatan psikoterapi yang menekankan peran yang
penting berpikir bagaimana kita merasakan dan apa yang kita lakukan.
(NAKKP, 2007).
2.2 Proses Konseling Kognitif Perilaku
Pendekatan kognitif perilaku tidak berfokus pada kehidupan masa
lalu dari individu akan tetapi memfokuskan pada masalah saat ini dengan
tidak mengabaikan masa lalu. Secara umum, proses Konseling Kognitif-
Perilaku adalah pembukaan, tahapan inti dan terminasi (pengakhiran).
Menurut Oemarjadi (2003) bahwasanya sesi terapi dalam pendekatan
terapi kognitif perilaku bisa berlangsung sekitar 5 sampai 12 sesi
14
pertemuan. Adapun yang Cormier dan Cormier (dalam Yuliati, 2004)
mengemukakan beberapa elemen penting dalam proses konseling
kelompok kognitif-perilaku yaitu: rasional, pemodelan, gladi perilaku, dan
pemberian tugas rumah. Berikut akan disajikan tahapan terapi yang
diungkapkan oleh Oemarjoedi (2003: 24-26):
Tabel 1: Proses Konseling Kognitif-Perilaku yang Telah Disesuaikan
Dengan Kultur di Indonesia
No. Proses Sesi
1. Assesmen dan Diagnosa 12. Mencari Pikiran Negatif, Pikiran Otomatis dan
Keyakinan Utama Yang Berhubungan Dengan Gangguan
2
3. Menyusun Rencana Intervensi Dengan Memberikan Konsekwensi positif-negatif Kepada Siswa
3
4. Formulasi Status, Fokus Terapi, Intervensi Tingkah Laku
4
5. Pencegahan 5
Konseling Kognitif-Perilaku terbukti efektif dalam menangani
masalah yang berkenaan dengan gangguan-gangguan yang bersifat
emosional dan perilaku. Untuk itu, Konseling Kognitif Perilaku
merupakan pendekatan yang digunakan dalam melakukan intervensi untuk
mengatasi krisis identitas siswa. Dengan kata lain, banyak teknik yang
digunakan dalam kegiatan konseling dengan mengambil teknik-teknik
Konseling Kognitif Perilaku. Tujuan dari Konseling Kognitif Perilaku
(Oemarjoedi, 2003: 9) yaitu mengajak siswa untuk menentang pikiran-
pikiran yang salah dan menampilkan perilaku yang baru. Untuk itu,
program yang dirancang bertujuan untuk menangani krisis identitas pada
siswa, yatu agar menghentikan atau meminimalisasi hal-hal negatif yang
telah terlanjur dilakukan dalam rangka siswa tersebut menemukan jati
dirinya.
Teori Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003: 6) pada dasarnya
meyakini pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses Stimulus-
15
Kognisi-Respon (SKR), yang saling berkaitan dan membentuk semacam
jaringan SKR dalam otak manusia, di mana proses kognitif menjadi faktor
penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan
bertindak. Sementara dengan adanya keyakinan bahwa manusia memiliki
potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irasional, di mana
pemikiran yang irasional dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah
laku yang menyimpang, maka KKP diarahkan pada modifikasi fungsi
berfikir, merasa, dan bertindak dengan menekankan peran otak dalam
menganalisa, memutuskan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali.
Dengan mengubah status pikiran dan perasaannya, konseli diharapkan
dapat mengubah tingkah lakunya, dari negatif menjadi
positif. Berdasarkan paparan definisi mengenai KKP, maka KKP adalah
pendekatan konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau
pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan
dirinya baik secara fisik maupun psikis. KKP merupakan konseling yang
dilakukan untuk meningkatkan dan merawat kesehatan mental. Konseling
ini akan diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan
bertindak, dengan menekankan otak sebagai penganalisa,
pengambil keputusan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali.
Sedangkan, pendekatan pada aspek behavior diarahkan untuk membangun
hubungan yang baik antara situasi permasalahan dengan kebiasaan
mereaksi permasalahan. Tujuan dari KKP yaitu mengajak individu untuk
belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga
merasa lebih baik, berpikir lebih jelas dan membantu membuat
keputusan yang tepat. Hingga pada akhirnya dengan KKP diharapkan
dapat membantu konseli dalam menyelaraskan berpikir, merasa dan
bertindak.
2.3 Tujuan Konseling Kognitif Perilaku
Tujuan dari konseling Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003: 9)
yaitu mengajak konseli untuk menentang pikiran dan emosi yang salah
dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan
16
mereka tentang masalah yang dihadapi. Konselor diharapkan mampu
menolong konseli untuk mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam
diri konseli dan secara kuat mencoba menguranginya.
Dalam proses konseling, beberapa ahli KKP (NAKKP, 2007;
Oemarjoedi,2003) berasumsi bahwa masa lalu tidak perlu menjadi fokus
penting dalamkonseling. Oleh sebab itu KKP dalam pelaksanaan
konseling lebih menekankan kepada masa kini dari pada masa lalu, akan
tetapi bukan berarti mengabaikan masa lalu. KKP tetap menghargai masa
lalu sebagai bagian dari hidup konseli dan mencoba membuat konseli
menerima masa lalunya, untuk tetap melakukan perubahan pada pola pikir
masa kini untuk mencapai perubahan di waktu yang akan datang. Oleh
sebab itu, KKP lebih banyak bekerja pada status kognitif saat ini
untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi status kognitif positif.
2.4 Fokus Konseling Kognitif Perilaku
KKP merupakan konseling yang menitik beratkan pada
restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat
kejadian yang merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis dan lebih
melihat ke masa depan dibanding masa lalu. Aspek kognitif dalam KKP
antara lain mengubah cara berpikir, kepercayaan, sikap, asumsi, imajinasi
dan memfasilitasi konseli belajar mengenali dan mengubah kesalahan
dalam aspek kognitif. Sedangkan aspek behavioral dalam KKP
yaitu mengubah hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan
kebiasaan mereaksi permasalahan, belajar mengubah perilaku,
menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, serta berpikir
lebih jelas.
2.5 Teknik Konseling Kognitif Perilaku
Konselor biasanya menggunakan berbagai teknik intervensi untuk
mendapatkan kesepakatan perilaku sasaran dengan konseli. Teknik yang
biasa dipergunakan oleh para ahli dalam Konseling Kognitif Perilaku
(McLeod, 2006: 157-158) yaitu:
17
a. Menata keyakinan irasional.
b. Bibliotherapy, menerima kondisi emosional internal sebagai
sesuatu yang menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan.
c. Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri
dalam role play dengan konselor.
d. Mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda
dalam situasi riil.
e. Mengukur perasaan, misalnya dengan mengukur perasaan cemas
yang dialami pada saat ini dengan skala 0-100.
f. Menghentikan pikiran. Konseli belajar untuk menghentikan pikiran
negatif dan mengubahnya menjadi pikiran positif.
g. Desensitization systematic. Digantinya respons takut dan cemas
dengan respon relaksasi dengan cara mengemukakan permasalahan
secara berulang-ulang dan berurutan dari respon takut terberat
sampai yang teringan untuk mengurangi intensitas emosional
konseli.
h. Pelatihan keterampilan sosial. Melatih konseli untuk dapat
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya.
i. Assertiveness skill training atau pelatihan keterampilan supaya bisa
bertindak tegas.
j. In vivo exposure. Mengatasi situasi yang menyebabkan masalah
dengan memasuki situasi tersebut.
k. Covert conditioning, upaya pengkondisian tersembunyi dengan
menekankan kepada proses psikologis yang terjadi di dalam diri
individu. Peranannya di dalam mengontrol perilaku berdasarkan
kepada imajinasi, perasaan dan persepsi.
2.6 Prinsip – Prinsip Konseling Kognitf Perilaku
Walaupun konseling harus disesuaikan dengan karakteristik atau
permasalahan konseli, tentunya konselor harus memahami prinsip-prinsip
yang mendasari KKP. Pemahaman terhadap prinsip-prinsip ini diharapkan
dapat mempermudah konselor dalam memahami konsep, strategi dalam
18
merencanakan proses konseling dari setiap sesi, serta penerapan teknik-
teknik KKP. Berikut adalah prinsip-prinsip dasar dari KKP berdasarkan
kajian yang diungkapkan oleh Beck (2011):
Prinsip 1: Konseling Kognitf Perilaku didasarkan pada
formulasi yang terus berkembang dari permasalahan konseli dan
konseptualisasi kognitif konseli. Formulasi konseling terus diperbaiki
seiring dengan perkembangan evaluasi dari setiap sesi konseling. Pada
momen yang strategis, konselor mengkoordinasikan penemuan-penemuan
konseptualisasi kognitif konseli yang menyimpang dan meluruskannya
sehingga dapat membantu konseli dalam penyesuaian antara
berfikir, merasa dan bertindak.
Prinsip 2: Konseling Kognitf Perilaku didasarkan pada pemahaman
yang sama antara konselor dan konseli terhadap permasalahan yang
dihadapi konseli. Melalui situasi konseling yang penuh dengan
kehangatan, empati, peduli, dan orisinilitas respon terhadap permasalahan
konseli akan membuat pemahaman yang sama terhadap permasalahan
yang dihadapi konseli. Kondisi tersebut akan menunjukan sebuah
keberhasilan dari konseling.
Prinsip 3: Konseling Kognitf Perilaku memerlukan kolaborasi dan
partisipasi aktif. Menempatkan konseli sebagai tim dalam konseling
maka keputusan konseling merupakan keputusan yang disepakati dengan
konseli. Konseli akan lebih aktif dalam mengikuti setiap sesi konseling,
karena konseli mengetahui apa yang harus dilakukan dari setiap sesi
konseling.
Prinsip 4: Konseling Kognitf Perilaku berorientasi pada tujuan dan
berfokus pada permasalahan. Setiap sesi konseling selalu dilakukan
evaluasi untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. Melalui evaluasi ini
diharapkan adanya respon konseli terhadap pikiran-pikiran yang
19
mengganggu tujuannya, dengan kata lain tetap berfokus pada
permasalahan konseli.
Prinsip 5: Konseling Kognitf Perilaku berfokus pada kejadiansaat ini.
Konseling dimulai dari menganalisis permasalahan konseli pada saat
ini dan di sini (here and now). Perhatian konseling beralih pada dua
keadaan. Pertama, ketika konseli mengungkapkan sumber kekuatan dalam
melakukan kesalahannya. Kedua, ketika konseli terjebak pada proses
berfikir yang menyimpang dan keyakinan konseli dimasa lalunya yang
berpotensi merubah kepercayaan dan tingkahlaku ke arah yang lebih baik.
Prinsip 6: Konseling Kognitf Perilaku merupakan edukasi, bertujuan
mengajarkan konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri,
dan menekankan pada pencegahan. Sesi pertama KKP mengarahkan
konseli untuk mempelajari sifat dan permasalahan yang dihadapinya
termasuk proses konseling cognitive-behavior serta model kognitifnya
karena KKP meyakini bahwa pikiran mempengaruhi emosi dan perilaku.
Konselor membantu menetapkan tujuan konseli, mengidentifikasi dan
mengevaluasi proses berfikir serta keyakinan konseli. Kemudian
merencanakan rancangan pelatihan untuk perubahan tingkah lakunya.
Prinsip 7: Konseling Kognitf Perilaku berlangsung pada waktu yang
terbatas. Pada kasus-kasus tertentu, konseling membutuhkan pertemuan
antara 6 sampai 14 sesi. Agar proses konseling tidak membutuhkan waktu
yang panjang, diharapkan secara kontinyu konselor dapat membantu dan
melatih konseli untuk melakukan self-help.
Prinsip 8: Sesi Konseling Kognitf Perilaku yang terstruktur.Struktur
ini terdiri dari tiga bagian konseling. Bagian awal, menganalisis
perasaan dan emosi konseli, menganalisis kejadian yang terjadi dalam satu
minggu kebelakang, kemudian menetapkan agenda untuk setiap sesi
konseling. Bagian tengah, meninjau pelaksanaan tugas rumah (homework
20
asigment), membahas permasalahan yang muncul dari setiap sesi yang
telah berlangsung, serta merancang pekerjaan rumah baru yang akan
dilakukan. Bagian akhir, melakukan umpan balik terhadap perkembangan
dari setiap sesi konseling. Sesi konseling yang terstruktur ini membuat
proses konseling lebih dipahami oleh konseli dan
meningkatkan kemungkinan mereka mampu melakukan self-help di akhir
sesi konseling.
Prinsip 9: Konseling Kognitf Perilaku mengajarkan konseli untuk
mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggapi
pemikiran disfungsional dan keyakinan mereka. Setiap hari konseli
memiliki kesempatan dalam pikiran-pikiran otomatisnya yang akan
mempengaruhi suasana hati, emosi dan tingkah laku mereka. Konselor
membantu konseli dalam mengidentifikasi pikirannya serta menyesuaikan
dengan kondisi realita serta perspektif adaptif yang mengarahkan konseli
untuk merasa lebih baik secara emosional, tingkahlaku dan
mengurangi kondisi psikologis negatif. Konselor juga menciptakan
pengalaman baru yang disebut dengan eksperimen perilaku. Konseli
dilatih untuk menciptakan pengalaman barunya dengan cara menguji
pemikiran mereka (misalnya: jika saya melihat gambar laba-laba, maka
akan saya merasa sangat cemas, namun saya pasti bisa
menghilangkan perasaan cemas tersebut dan dapat melaluinya dengan
baik). Dengan cara ini, konselor terlibat dalam eksperimen kolaboratif.
Konselor dan konseli bersama-sama menguji pemikiran konseli untuk
mengembangkan respon yang lebih bermanfaat dan akurat.
Prinsip 10: Konseling Kognitf Perilaku menggunakan berbagai teknik
untuk merubah pemikiran, perasaan, dan tingkah laku.
Pertanyaanpertanyaan yang berbentuk sokratik memudahkan konselor
dalam melakukan konseling cognitive-behavior. Pertanyaan dalam bentuk
sokratik merupakan inti atau kunci dari proses evaluasi konseling. Dalam
proses konseling, KKP tidak mempermasalahkan konselor menggunakan
21
teknik-teknik dalam konseling lain seperti teknik Gestalt, Psikodinamik,
Psikoanalisis, selama teknik tersebut membantu proses konseling yang
lebih saingkat dan memudahkan konelor dalam membantu konseli. Jenis
teknik yang dipilih akan dipengaruhi oleh konseptualisasi
konselor tehadap konseli, masalah yang sedang ditangani, dan tujuan
konselor dalam sesi konseling tersebut.
3. Konseling Rasional Emotif
3.1 Pengertian Konseling Rasional Emotif
Pendekatan Konseling Rasional Emotif atau dikenal sebagai
Rational Emotive Therapy (RET) adalah sistem psikoterapi yang mengajari
individu bagaimana sistem keyakinannya menentukan yang dirasakan dan
dilakukannya pada berbagai peristiwa dalam kehidupan. Penekanan terapi
ini pada cara berpikir mempengaruhi perasaan, sehingga termasuk dalam
terapi kognitif. Pandangan pendekatan rasional emotif tentang
kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis : ada
tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event
(A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang
kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.
a. Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami
atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta,
kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu
keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon
karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
b. Belief (B) yaitukeyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri
individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua
macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan
keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB).
Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system
keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu
22
menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan
keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk
akal, emosional, dan keran itu tidak produktif.
c. emotional Consequence (C) merupakan konsekuensi emosional
sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang
atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent
event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari
A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk
keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.
3.2 Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Dalam perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah
laku bermasalah adalah merupakan tingkah laku yang didasarkan pada
cara berpikir yang irrasional.
Ciri-ciri berpikir irasional : (a) tidak dapat dibuktikan; (b)
menimbulkan perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka)
yang sebenarnya tidak perlu; (c) menghalangi individu untuk berkembang
dalam kehidupan sehari-hari yang efektif.
Sebab-sebab individu tidak mampu berpikir secara rasional : (a)
individu tidak berpikir jelas tentangg saat ini dan yang akan dating, antara
kenyatan dan imajinasi; (b) individu tergantung pada perencanaan dan
pemikiran orang lain; (c) orang tua atau masyarakat memiliki
kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan kepada individu melalui
berbagai media.
Indikator keyakinan irasional : (a) manusia hidup dalam
masyarakat adalah untuk diterima dan dicintai oleh orang lain dari segala
sesuatu yang dikerjakan; (b) banyak orang dalam kehidupan masyarakat
yang tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga mereka patut
dicurigai, disalahkan, dan dihukum; (c) kehidupan manusia senantiasa
dihadapkan kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat,
23
mengerikan, menakutkan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh
manusia dalam hidupnya; (d) lebih mudah untuk menjauhi kesulitan-
kesulitan hidup tertentu dari pada berusaha untuk mengahadapi dan
menanganinya; (e) penderitaan emosional dari seseorang muncul dari
tekanan eksternal dan bahwa individu hanya mempunyai kemampuan
sedikit sekali untuk menghilangkan penderitaan emosional tersebut; (f)
pengalaman masa lalu memberikan pengaruh sangat kuat terhadap
kehidupan individu dan menentukan perasaan dan tingkah laku individu
pada saat sekarang; (g) untuk mencapai derajat yang tinggi dalam
hidupnya dan untuk merasakan sesuatu yang menyenangkan memerlukan
kekuatan supranatural; dan (h) nilai diri sebagai manusia dan penerimaan
orang lain terhadap diri tergantung dari kebaikan penampilan individu dan
tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap individu.
3.3 Proses Konseling Rasional Emotif
Konseling rasional emotif dilakukan dengan menggunakan
prosedur yang bervariasi dan sistematis yang secara khusus dimaksudkan
untuk mengubah tingkah laku dalam batas-batas tujuan yang disusun
secara bersama-sama oleh konselor dan klien. Tugas konselor
menunjukkan bahwa masalahnya disebabkan oleh persepsi yang terganggu
dan pikiran-pikiran yang tidak rasional dan klien perlu berusaha untuk
mengatasi masalah adalah dengan harus kembali kepada sebab-sebab
permulaan.
Operasionalisasi tugas konselor : (a) lebih edukatif-direktif kepada
klien, dengan cara banyak memberikan cerita dan penjelasan, khususnya
pada tahap awal mengkonfrontasikan masalah klien secara langsung; (b)
menggunakan pendekatan yang dapat memberi semangat dan memperbaiki
cara berpikir klien, kemudian memperbaiki mereka untuk dapat mendidik
dirinya sendiri dengan gigih dan berulang-ulang menekankan bahwa ide
irrasional itulah yang menyebabkan hambatan emosional pada klien; (c)
mendorong klien menggunakan kemampuan rasional dari pada emosinya;
24
(d) menggunakan pendekatan didaktif dan filosofis menggunakan humor
dan “menekan” sebagai jalan mengkonfrontasikan berpikir secara
irasional.
3.4 Karakteristik Proses Konseling Rasional-Emotif
1. Aktif-direktif, artinya bahwa dalam hubungan konseling konselor
lebih aktif membantu mengarahkan klien dalam menghadapi dan
memecahkan masalahnya.
2. Kognitif-eksperiensial, artinya bahwa hubungan yang dibentuk
berfokus pada aspek kognitif dari klien dan berintikan pemecahan
masalah yang rasional.
3. Emotif-ekspreriensial, artinya bahwa hubungan konseling yang
dikembangkan juga memfokuskan pada aspek emosi klien dengan
mempelajari sumber-sumber gangguan emosional, sekaligus
membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari
gangguan tersebut.
4. Behavioristik, artinya bahwa hubungan konseling yang
dikembangkan hendaknya menyentuh dan mendorong terjadinya
perubahan tingkah laku klien.
3.5 Teknik Konseling Rasional Emotif
Pendekatan konseling rasional emotif menggunakan berbagai
teknik yang bersifat kogntif, afektif, dan behavioral yang disesuaikan
dengan kondisi klien. Beberapa teknik dimaksud antara lain adalah sebagai
berikut.
1. Teknik-Teknik Emotif (Afektif)
Assertive adaptive. Teknik yang digunakan untuk melatih,
mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus
menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan. Latihan-
latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.
25
Bermain peran. Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis
perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu
suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat
secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.
Imitasi. Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model
tingkah laku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan
tingkah lakunya sendiri yang negatif.
2. Teknik-teknik Behavioristik
Reinforcement. Teknik untuk mendorong klien ke arah tingkah laku
yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal
(reward) ataupun hukuman (punishment). eknik ini dimaksudkan untuk
membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irrasional pada klien dan
menggantinya dengan sistem nilai yang positif. Dengan memberikan
reward ataupun punishment, maka klien akan menginternalisasikan
sistem nilai yang diharapkan kepadanya.
Social modeling. Teknik untuk membentuk tingkah laku-tingkah laku
baru pada klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam
suatu model sosial yang diharapkan dengan cara meniru,
mengobservasi, dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan
norma-norma dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang
telah disiapkan oleh konselor.
3. Teknik-teknik Kognitif
Home work assigments, Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk
tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan
menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola tingkah
laku yang diharapkan. Dengan tugas rumah yang diberikan, klien
diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan
perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari
bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek
kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu
26
berdasarkan tugas yang diberikan. Pelaksanaan home work assigment
yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan
tatap muka dengan konselor. Teknik ini dimaksudkan untuk membina
dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada
diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri
klien dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.
Assertive Training, Teknik untuk melatih keberanian klien dalam
mengekspresikan tingkah laku-tingkah laku tertentu yang diharapkan
melalui bermain peran, latihan, atau meniru model-model sosial.
Maksud utama teknik latihan asertif adalah : (a) mendorong
kemampuan klien mengekspresikan berbagai hal yang berhubungan
dengan emosinya; (b) membangkitkan kemampuan klien dalam
mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi
hak asasi orang lain; (c) mendorong klien untuk meningkatkan
kepercayaan dan kemampuan diri; dan (d) meningkatkan kemampuan
untuk memilih tingkah laku-tingkah laku asertif yang cocok untuk diri
sendiri.
3.6 Tujuan Konseling Rasional Emotif
Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan
serta pandangan-pandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi
pandangan yang rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan diri,
meningkatkan sel-actualizationnya seoptimal mungkin melalui tingkah
laku kognitif dan afektif yang positif. Menghilangkan gangguan-gangguan
emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa marah, takut, rasa
bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, rasa iri.
Tiga tingkatan insight yang perlu dicapai klien dalam konseling
dengan pendekatan rasional-emotif :
a. Insight dicapai ketika klien memahami tentang tingkah laku
penolakan diri yang dihubungkan dengan penyebab sebelumnya
27
yang sebagian besar sesuai dengan keyakinannya tentang
peristiwa-peristiwa yang diterima (antecedent event) pada saat
yang lalu.
b. Insight terjadi ketika konselor membantu klien untuk memahami
bahwa apa yang menganggu klien pada saat ini adalah karena
berkeyakinan yang irasional terus dipelajari dari yang diperoleh
sebelumnya.
c. Insight dicapai pada saat konselor membantu klien untuk mencapai
pemahaman ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari
hembatan emosional kecuali dengan mendeteksi dan melawan
keyakinan yang irasional.
Klien yang telah memiliki keyakinan rasional terjadi peningkatan
dalam hal : (1) minat kepada diri sendiri, (2) minat sosial, (3) pengarahan
diri, (4) toleransi terhadap pihak lain, (5) fleksibel, (6) menerima
ketidakpastian, (7) komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya, (8)
penerimaan diri, (9) berani mengambil risiko, dan (10) menerima
kenyataan.
4. Krisis Identitas
4.1 Pengertian identitas
Berdasarkan sebuah teori psikologi, pelajar yang berada pada masa
remaja dikatakan sedang membentuk identitas dirinya. Proses pencarian
identitas diri disebut dengan krisis identitas. Menurut Erikson, krisis
identitas adalah tahap untuk membuat keputusan terhadap permasalahan-
permasalahan penting yang berkaitan dengan pertanyaan tentang identitas
dirinya (Marheni:2004). Krisis identitas yang dialami remaja ada yang
berjalan baik, ada yang kurang baik. Definisi identitas menurut para ahli :
28
a. Menurut Adams dan Gullota (1983)
“Identity is a complex psychologycal phenomenon it might be thought
of as the person in personality. It includes our own interpretation of
early childhood identification with important individual in our lives.It
includes a sense of direction, commitment, and trust in a personal
ideal. A sense of identity integrates sex-role identfication, individual
ideology, accepted group norms and standards, and much more.”
Identitas merupakan suatu fenomena psikologis yang komplek
yang mungkin dikira sebagai “orang” dalam suatu kepribadian.
Didalamnya termasuk juga interpretasi kita sendiri tentang
identifikasi masa kanak-kanak awal dengan orang-orang yang penting
dalam hidup kita. Termasuk didalamnya yaitu kemampuan untuk
mengarahkan diri sendiri, komitmen, dan kepercayaan terhadap
seseorang yang diidealkan. Kemampuan mengidentifikasi
kemampuan sesuai peran gender, ideologi pribadi, penerimaan
terhadap norma kelompok dan standar kelompok serta yang lainnya.
b. Menurut Erikson (1988) teori psikososial
“Selama masa-masa sulit yang dialami remaja, ternyata ia
berusaha merumuskan dan mengambangkan nilai kesetiaan
(komitmen), yaitu kemampuan untuk mempertahankan loyalitas yang
diikrarkan dengan bebas meskipun terdapat kontradiksi-kontradiksi
yang terelakkan diantara sistem-sistem nilai.”
Jadi, krisis identitas adalah suatu masa dimana seorang individu yang
berada pada tahap perkembangan remaja. Ketika itu, remaja memiliki
sikap untuk mencari identitas dirinya. Siapa dirinya saat sekarang dan di
masa depan.
29
4.2 Pembentukan Identitas
Proses pencarian identitas adalah proses dimana seorang remaja
mengembangan suatu identitas personal atau sense of self yang unik yang
berbeda dari orang lain (individuation).
Dalam psikologi perkembangan pembentukan identitas merupakan
tugas utama dalam perkembangan kepribadian yang diharapkan tercapai
pada akhir masa remaja. Pembentukan identitas sebenarnya sudah dimulai
dari masa anak-anak, tetapi pada masa remaja ia menerima dimensi-
dimensi baru karena berhadapan dengan perubahan-perubahan fisik,
kognitif, dan relasional (Grotevant dan Cooper, 1998).
Pada masa remaja mereka para remaja mulai menyadari tentang
kepastian identitas dirinya sehingga pada remaja awal mereka mulai
melakukan eksplorasi terhadap kepribadian dirinya. Pencarian identitas
pada masa remaja menjadi lebih kuat sehingga ia berusaha untuk mencari
identitas dan mendefinisikan kembali siapakah ia saat ini dan akan
menjadi siapakah ia di masa depan. Perkembangan identitas selama masa
remaja ini dianggap sangat penting karena identitas tersebut dapat
memberikan suatu dasar unuk perkembangan psikososial dan relasi
interpersoanal pada masa dewasa (Jones dan Hartmann, 1988).
Tabel 2 : Tahapan Perkembangan Identitas
Tahap Usia KarakteristikDiferentiation
Practice
Rapprochment
12-14 tahun
14-15 tahun
15-18tahun
Remaja menyadari bahwa ia berbeda secara psikologis dari orang tuanya. Kesadaran ini sering membuatnya mempertanyakan dan menolak nilai-nilai dan nasihat-nasihat orang tuanya, sekalipun nilai-nilai dan nasihat tersebut masuk akal.
Remaja percaya bahwa ia mengetahui segala-galanya dan dapat melakukan sesuatu tanpa salah. Ia menyangkal kebutuhan akan peringatan atau nasihat dan menantang orang tuanya pada setiap kesempatan. Komitmennya terhadap teman-teman juga bertambah.
Karena kesedihan dan kekhawatiran yang dialaminya, telah mendorong remaja untuk
30
Consolidation 18-21 tahun
menerima kembali sebagian otoritas orang tuanya, tetapi dengan bersyarat. Tingkah lakunya sering silih berganti antara eksperimentasi dan penyesuaian, kadang mereka menantang dan kadang berdamai dan bekerjasama dengan orang tua mereka. Di satu sisi ia menerima tanggung jawab di sekitar rumah, namun di sisi lain ia akan mendongkol ketika orang tuanya selalu mengontrol membatasi gerak-gerik dan akitvitasnya diluar rumah.
Remaja mengembangkan kesadaran akan identitas personal, yang menjadi dasar bagi pemahaman dirinya dan diri orang lain, serta untuk mempertahankan perasaan otonomi, independen dan individualitas.
Dalam teori psikososial (Erikson) ada beberapa tahap yang harus
ditempuh untuk memenuhi tugas-tugas perkembangannya. Akan
dipaparkan dibawah ini:
Tabel 3 : Tugas-Tugas Perkembangan Erikson
Tahap psikososial Perkiraan usia1. Kepercayaan vs
ketidakpercayaan
(trust vs mistrust)
2. Otonomi vs rasa malu & ragu
(autonomy vs shame & doubt)
3. Inisiatif vs rasa bersalah
(Intiative vs guilt)
4. Ketekunan vs rasa rendah diri
(industry vs inferiority)
5. Identitas vs kebingungan peran
(ego identity vs role-confution)
6. keintiman vs isolasi
Lahir- 1 tahun (masa bayi)
1-3 tahun (masa kanak-kanak)
4-5 tahun (masa prasekolah)
6-11 tahun (masa sekolah dasar)
12-20 tahun (masa remaja)
20-24 tahun (masa awal dewasa)
31
(intimacy vs isolation)
7. generatifitas vs stagnasi
(generativity vs stagnation)
8. integritas ego vs keputuasan
(ego integrity vs despair)
25-65 tahun (masa pertengahan dewasa)
65-mati (masa akhir dewasa)
Erik Erikson (1902-1994) mengatakan bahwa terdapat delapan tahap
perkembangan terbentang ketika kita melampaui siklus kehidupan. Masing-
masing tahap terdiri dari tugas perkembangan yang khas dan mengedepankan
individu dengan suatu krisis yang harus dihadapi. Bagi Erikson, krisis ini
bukanlah suatu bencana, tetapi suatu titik balik peningkatan kerentanan dan
peningkatan potensi. Semakin berhasil individu mengatasi krisis, akan
semakin sehat perkembangan mereka. Berikut adalah beberapa penjelasan
mengenai tahap krisis perkembangan menurut Erikson dalam buku Life Span
Development oleh Santrock (2002).
1. Kepercayaan dan ketidakpercayaan (trust versus mistrust), adalah
suatu tahap psikososial pertama yang dialami dalam tahun pertama
kehidupan. Suatu rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara fisik
dan sejumlah kecil ketakutan serta kekuatiran akan masa depan.
Kepercayaan pada masa bayi menentukan harapan bahwa dunia akan
menjadi tempat tinggal yang baik dan menyenangkan.
2. Otonomi dengan rasa malu dan keragu-raguan (autonomy versus
shame and doubt) adalah tahap perkembangan kedua yang berlangsung
pada masa bayi dan baru mulai berjalan (1-3 tahun). Setelah
memperoleh rasa percaya kepada pengasuh mereka, bayi mulai
menemukan bahwa perilaku mereka adalah atas kehendaknya. Mereka
menyadari kemauan mereka dengan rasa mandiri dan otonomi mereka.
Bila bayi cenderung dibatasi maka mereka akan cenderung
mengembangkan rasa malu dan keragu-raguan.
3. Prakarsa dan rasa bersalah (initiative versus guilt), merupakan tahap
ketiga yang berlangsung selama tahun-tahun sekolah. Ketika mereka
32
masuk dunia sekolah mereka lebih tertantang dibanding ketika masih
bayi. Anak-anak diharapkan aktif untuk menghadapi tantangan ini
dengan rasa tanggung jawab atas perilaku mereka, mainan mereka, dan
hewan peliharaan mereka. Anak-anak bertanggung jawab meningkatkan
prakarsa. Namun, perasaan bersalah dapat muncul, bila anak tidak
diberi kepercayaan dan dibuat mereka sangat cemas.
4. Tekun dan rendah diri (industry versus inferiority), berlangsung
selama tahun-tahun sekolah dasar. Tidak ada masalah lain yang lebih
antusias dari pada akhir periode masa awal anak-anak yang penuh
imajinasi. Ketika anak-anak memasuki tahun sekolah dasar, mereka
mengarahkan energi mereka pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan intelektual. Yang berbahaya pada tahap ini adalah
perasaan tidak kompeten dan tidak produktif.
5. Identitas dan Kebingungan Peran (ego identity versus role-
confution), adalah tahap kelima yang dialami individu selama tahun-
tahun masa remaja. Pada tahap ini mereka dihadapkan oleh pencarian
siapa mereka, bagaimana mereka nanti, dan ke mana mereka akan
menuju masa depannya. Satu dimensi yang penting adalah penjajakan
pilihan-pilihan alternatif terhadap peran. Penjajakan karir merupakan
hal penting. Orangtua harus mengijinkan anak remaja menjajaki banyak
peran dan berbagai jalan. Jika anak menjajaki berbagai peran dan
menemukan peran positif maka ia akan mencapai identitas yang positif.
Jika orangtua menolak identitas remaja sedangkan remaja tidak
mengetahui banyak peran dan juga tidak dijelaskan tentang jalan masa
depan yang positif maka ia akan mengalami kebingungan identitas.
6. Keintiman dan keterkucilan (intimacy versus isolation), tahap
keenam yang dialami pada masa-masa awal dewasa. Pada masa ini
individu dihadapi tugas perkembangan pembentukan relasi intim
dengan orang lain. Saat anak muda membentuk persahabatan yang sehat
dan relasi akrab yang intim dengan orang lain, keintiman akan dicapai,
kalau tidak, isolasi akan terjadi.
33
7. Bangkit dan berhenti (generality versus stagnation), tahap ketujuh
perkembangan yang dialami pada masa pertengahan dewasa. Persoalan
utama adalah membantu generasi muda mengembangkan dan
mengarahkan kehidupan yang berguna (generality). Perasaan belum
melakukan sesuatu untuk menolong generasi berikutnya adalah
stagnation.
8. Integritas dan kekecewaan (integrity versus despair), tahap kedelapan
yang dialami pada masa dewasa akhir. Pada tahun terakhir kehidupan,
kita menoleh ke belakang dan mengevaluasi apa yang telah kita lakukan
selama hidup. Jika ia telah melakukan sesuatu yang baik dalam
kehidupan lalu maka integritas tercapai. Sebaliknya, jika ia
menganggap selama kehidupan lalu dengan cara negatif maka akan
cenderung merasa bersalah dan kecewa.
Dalam teori psikososial terdapat salah satu tahapan yang akan
dialami oleh semua individu yaitu identitas vs kebingungan peran (ego
identity vs role-confution) dan berlangsung sekitar 12-20 tahun dimana
pada masa itu sedang berlangsung masa remaja yang berarti mereka
sedang mencari identitas dirinya, yang kelak akan menjadi identitas
dirinya dimasa itu dan masa yang akan datang.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dikemukakan bahwa remaja
dapat dipandang telah memiliki identitas yang matang (sehat), apabila
sudah memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan diri sendiri, peran-perannya dalam kehidupan sosial (di lingkungan
keluarga, sekolah, atau masyarakat), dunia kerja, dan nilai-nilai agama.
Dalam pembentukan identitas diri, ada pelajar yang cepat melewati
krisis identitasnya dan ada pula yang lambat, bahkan ada kemungkinan
mengalami kegagalan. Maka, tidaklah heran apabila ada pelajar yang
berperilaku mulia dan pelajar yang “menyalahi norma” dalam usia tak jauh
berbeda. Ditinjau dari status pembentukan identitas, pelajar yang
melakukan kekerasan mungkin berada dalam diffussion status berdasarkan
teori Erikson. Maksud status ini adalah suatu keadaan di mana remaja
kehilangan arah, tidak melakukan eksplorasi, dan tidak memiliki
34
komitmen terhadap peran-peran tertentu, sehingga tak dapat menemukan
identitas dirinya. Mereka akan mudah menghindari persoalan dan
cenderung mencari pemuasan dengan segera. Diffussion status kerap
dialami oleh remaja yang ditolak dan tak mendapatkan perhatian. Mereka
cenderung akan melakukan hal-hal yang tak dapat diterima masyarakat,
seperti mabuk-mabukan dan penyalahgunaan obat sebagai cara
menghindari tanggung jawab (Marheni:2004). Pelajar yang melakukan
kekerasaan dimungkinkan berada dalam status tersebut.
4.3 Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Identitas
Perkembangan identitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
Iklim keluarga (pola asuh orang tua) Keluarga merupakan awal
pembentukan identitas seorang individu, terutama orangtua.
Artinya gaya pengasuhan dari orangtua merupakan dasar
pembentukan identitas individu. Beberapa dibawah ini contoh gaya
pengasuhan orangtua, seperti :
1. Pengasuhan demokratis. Gaya pengasuhan ini mendorong
remaja untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
keluarga akan mempercepat “pencapaian identitas”.
2. Pengasuhan otokratis. Mengendalikan perilaku remaja tanpa
memberi remaja suatu peluang unutk mengemukakan pendapat
akan “menghambat pencapaian identitas”.
3. Pengasuhan permisif. Memberi bimbingan terbatas kepada
remaja dan mengizinkan mereka mengambil keputusan-
keputusan sendiri akan meningkatkan “kebingungan identitas”.
tokoh idola
peluang pengembangan diri
Dalam upaya membantu remaja atau siswa baik dalam jenjang
pendidikan SMP maupun SMA untuk menemukan identitas dirinya,
Woolfolk (1995 : 73) menyarankan sebagai berikut :
35
1. Memberi para siswa informasi tentang pilihan-pilihan karier dan peran-
peran orang dewasa.
2. membantu siswa untuk menemukan sumber-sumber untuk memecahkan
masalah pribadinya.
3. bersikap toleran terhadap tingkah laku remaja yang dipandang aneh,
seperti dalam berpakaian.
4. memberi umpan balik yang realistik terhadap siswa tentang dirinya.
4.4 Ciri-ciri Kepribadian Remaja Yang Sudah Memperoleh Identitasnya
Ketika remaja tersebut sudah memperoleh identitas dirinya maka ia akan
menyadari ciri-ciri kepribadian dirinya, diantaranya :
a. Kesukaan atau ketidaksukaannya akan suatu hal.
b. Aspirasi, mulai berani menyatakan aspirasi, bisa mengatakan pendapat-
pendapat yang diinginkan dengan bebas namun sesuai dengan
kapasitasnya.
c. Bertanggung jawab akan apapun yang sudah menjadi pilihannya maupun
pilihan apapun yang sudah ditolaknya.
d. Tujuan masa depan yang diantisipasi. Sudah bisa menentukan atau
menggambarkan masa depan seperti apa yang diinginkan dalam hidupnya.
e. Perasaan bahwa ia sudah dapat dan harus bisa mengatur orientasi
hidupnya.
B.2 Kerangka Berpikir
Kenakalan remaja, perilaku agresif dan perilaku menyimpang
diidentifikasi sebagai tiga bentuk problem psikososial yang paling umum dialami
oleh remaja. Menurut perspektif perkembangan yang banyak memusatkan
perhatian pada perkembangan remaja, yakni teori perkembangan psikososial dari
Erikson (1968), problem psikososial pada remaja dapat diatribusikan dengan
adanya hambatan dalam menangani isu perkembangan psikososial pada periode
remaja, yakni krisis identitas.
36
Krisis identitas yang dialami oleh siswa kelas VIII SMP Laboratorium
Undiksha Singaraja berdasarkan hasil observasi merupakan bentuk kenakalan
remaja tingkat sedang. Permasalahan yang mereka alami berpusat pada masalah
adaptasi siswa dengan lingkungan sekitarnya, seperti siswa yang suka main tangan
dan berbicara dengan bahasa yang kasar karena teman di sekitar rumahnya adalah
orang dewasa yang tidak baik (preman). Permasalahan lainnya adalah
kecemburuan yang terjadi di rumahnya terbawa ke sekolah sehingga siswa
berusaha mencari perhatian disekolah dengan cara yang salah, siswa yang suka
korupsi uang SPP, siswa yang suka mengganggu siswa lain dengan kejahilan yang
agak diluar batas dan banyak masalah lainnya.
Maka penelitian yang dilaksanakan ini dimaksudkan untuk memperoleh
suatu model intervensi konseling yang efektif untuk menangani krisis identitas
dan problem psikososial remaja. Keterkaitan antara keduanya adalah dimana
diberikan program konseling kelompok dengan dua pendekatan yaitu konseling
kognitif perilaku dan konseling rasional emotif untuk membantu siswa dalam
mengatasi krisis identitas mereka. Dari dua pendekatan ini mana yang bisa
menuntaskan permasalahan krisis identias siswa kelas VIII SMP Laboratorium
Undiksha Singaraja ini.
Konseling kelompok adalah membahas masalah individu. Setiap anggota
menyampaikan permasalahannya, namun tidak harus semua anggota kelompok.
Jika telah terkemukakan masalah, maka perlu dibahas dan dimusyawarahkan
masalah siapa yang terlebih dahulu masalahnya dibahas. Dalam konseling
kelompok ini nantinya siswa dapat mencobakan sikap dan ide-ide. Penerimaan
dan pengalaman-pengalaman dan perubahan sikap yang dicoba akan memperkuat
motivasi untuk mengadakan perubahan pada dirinya. Selanjutnya pengalaman
berkelompok akan meningkatkan keterampilan berkomunikasi dengan orang lain
dan akan berkembang hubungan antar pribadi yang secara genuine. Penerimaan
dan pengertian dari teman dalam kelompok menghasilkan rasa aman dan rasa
bersatu yang akan mendukung proses intropeksi dan ekspresi perasaan-perasaan
mendalam. Dimana diharapkan akan memperkembangkan keberanian untuk
mencoba memecahkan masalah-masalah pribadi dan konflik emosional di dalam
dan di luar diri dalam membantu menyelesaikan krisis identitas.
37
Akan tetapi tentu tidak cukup melalui konseling kelompok saja,
selanjutnya siswa yang belum mampu menyelesaikan krisis identitasnya dalam
konseling kelompok biasa maka akan dibantu dengan konseling kelompok dengan
pendekatan konseling kognitif perilaku dan konseling rasional emotif yang
diharapkan mampu menuntaskan masalah krisis identitas siswa.
B.3 Hipotesis
Sehubungan dengan adanya keterkaitan antara konseling kelompok
dengan pendekatan konseling kognitif perilaku dan konseling rasional emotif
serta krisis identitas, maka hipotesis penelitian yang diuji dalam penelitian ini
adalah penerapan konseling kelompok dengan pendekatan konseling kognitif
perilaku dan konseling rasional emotif dapat membantu menangani krisis identitas
pada siswa kelas VIII di SMP Laboratorium Undiksha Singaraja.
Hipotesis Mayor :
Ada pengaruh yang signifikan antara penerapan konseling kelompok dengan
pendekatan konseling kognitif perilaku dan konseling rasional emotif dalam
membantu menangani krisis identitas pada siswa kelas VIII di SMP Laboratorium
Undiksha Singaraja.
Hipotesis Minor :
Ada pengaruh yang signifikan penerapan konseling kelompok dengan
pendekatan konseling kognitif perilaku dalam membantu menangani krisis
identitas pada siswa kelas VIII di SMP Laboratorium Undiksha Singaraja.
Ada pengaruh yang signifikan antara penerapan konseling kelompok
dengan pendekatan konseling kognitif perilaku dan konseling rasional
emotif dapat membantu menangani krisis identitas pada siswa kelas VIII
di SMP Laboratorium Undiksha Singaraja.
38
C. Metodologi Pelayanan
Dalam penelitian ilmiah, penelitian harus menggunakan metode ilmiah
yang jelas untuk mencapai kebenaran. Metode ilmiah sangat diperlukan dalam
kegiatan penelitian agar pengetahuan yang diperoleh dipercaya kebenarannya.
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui apakah penerapan konseling
kelompok dengan pendekatan konseling kognitif perilaku dan konseling rasional
emotif efektif dalam membantu menangani krisis identitas pada siswa kelas VIII
di SMP Laboratorium Undiksha Singaraja. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan penelitian eksperimental, penelitian eksperimental merupakan
penelitian yang dilakukan dengan memberikan perlakuan (treatment) tertentu
terhadap subjek penelitian yang bersangkutan. Dengan menggunakan desain
gabungan antara One – Shoot Case Study dan One Group Pretest-Posttest Control
Group Design. One – Shoot Case Study merupakan desain penelitian yang
terdapat suatu kelompok diberi treatment dan selanjutnya diobservasi hasilnya,
treatment adalah sebagai variabel independen dan hasil adalah sebagai variabel
dependen. Dalam eksperimen ini subjek penelitian akan diberikan beberapa
treatment lalu diukur hasilnya. Untuk kemudahan membandingkan hasil antar dua
pendekatan ini maka akan dilaksanakan juga dengan One Group Pretest-Posttest
Control Group Design yang telah dikembangkan dalam rangka menemukan
perbandingan yang mana antara dua treatment yang diberikan yang lebih efektif
dalam membantu menangani krisis identitas, yakni dalam penelitian ini terdapat
dua kelompok yang digunakan sebagai kelompok eksperimen (KE) yang
diberikan dua treatment yang berbeda tanpa adanya kelompok kontrol.
Tabel 4. Rancangan Penelitian
39
KE 1O1 X1 O2
KE 2O1 X2 O2
Keterangan :
KE 1 : Kelompok eksperimen dengan konseling kognitif perilaku
KE 2 : Kelompok eksperimen dengan konseling rasional emotif
X1 : Treatment I (konseling kognitif perilaku)
X2 : Treatment II (konseling rasional emotif)
O1 : Pretest
O2 : Posttest
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Laboratorium Undiksha
Singaraja. Sebagai subjek penelitian jumlah siswa kelas VIII adalah 5 kelas
masing-masing kelas terdiri atas 27 siswa. Dari seluruh populasi siswa tersebut
pada saat penelitian ini diambil beberapa orang siswa yang mengalami krisis
identitas untuk dibagi menjadi dua kelompok dan satu kelompok diberikan
konseling kognitif perilaku dan satu kelompok lagi akan diberikan konseling
rasional emotif untuk membantu menangani krisis identitas yang dialami siswa
tersebut.
Objek penelitian yang dilaksanakan ini adalah bagaimana cara untuk
menangani krisis identitas yang dialami oleh siswa kelas VIII SMP Laboratorium
Undiksha Singaraja.
Adapun tahapan-tahapan yang akan dilaksanakan selama proses pemberian
treatment sebagai berikut :
Tahap perencanaan. Tahap dilaksanakan di awal penelitian.
Perencanaan yang dilakukan pada tahap ini adalah:
a. Meminta ijin dan berkonsultasi kepada kepala sekolah, guru BK, guru
wali kelas untuk melakukan eksperimen dengan subjek siswa kelas
VIII untuk mengetahui siswa yang kemungkinan mengalami krisis
identitas.
40
b. Menyusun jadwal kegiatan eksperimen.
c. Mempersiapkan tempat untuk melakukan kegiatan konseling.
d. Menyusun dan mempersiapkan pedoman observasi yang akan
digunakan untuk memantau pelaksanaan dan hasil tindakan.
e. Menyebarkan kuesioner tentang kenakalan remaja, perilaku agresif,
dan perilaku menyimpang tahap I (pretest) kepada siswa kelas VIII
SMP Laboratorium Undiksha Singaraja untuk mendapatkan data
siswa yang mengalami krisis identitas.
Tahap Pelaksanaan. Adapun kegiatan-kegiatan yang ditempuh dalam
pelaksanaan tindakan ini adalah:
a. Langkah pertama, memahami masalah klien, dan menganalisis secara
rasional hal apa yang menyebabkan klien berperilaku negatif dalam
rangka mencari jati dirinya sebagai remaja. Hasil pengkajian terhadap
masalah tersebut disampaikan kepada kasus yang dikaji, sehingga
klien menyadari bahwa banyak cara lain untuk menemukan identitas
dirinya tanpa terjerumus ke hal-hal yang negatif.
b. Langkah kedua, mengajak klien membahas masalahnya, hingga klien
mengetahui bahwa krisis identitas yang sedang dialami wajar namun
perlu untuk dihadapi dengan baik oleh klien karena nantinya identitas
yang baik akan menentukan masa depannya.
c. Langkah ketiga, mengarahkan klien sesuai dengan treatment untuk
berperilaku yang logis serta rasional dengan mengajak siswa untuk
menentang pikiran-pikiran yang salah dan menampilkan perilaku yang
baru.
d. Langkah keempat, mengajak klien untuk mengembangkan rasa
percaya diri yang klien miliki, agar menghentikan atau meminimalisasi
hal-hal negatif yang telah terlanjur dilakukan dalam rangka siswa
tersebut menemukan jati dirinya
41
Tahap Observasi dan Evaluasi. Observasi adalah pengamatan atas
hasil atau dampak dari tindakan yang dilaksanakan terhadap subjek
yang dikenai tindakan. Yang dilakukan untuk mengamati perubahan
yang terjadi pada siswa terkait dengan berkurangnya perilaku-perilaku
negatif yang dialami dalam rangka mencari jati dirinya adalah dengan
menggunakan pedoman observasi berdasarkan indikator yang terdapat
pada variabel penyebab krisis identitas. Selain mengunakan indikator
tersebut, pada tahap ini akan dilakukan penyebaran kuesioner tahap II
(posttest) dimana ini bertujuan untuk mengetahui apakah klien
mengalami perubahan sebelum dan sesudah dilakukannya kegiatan
konseling dengan harapan mencapai persentase hingga 80% agar dapat
dikatakan berhasil atau sudah mengalami peningkatan. Adapun
pedoman yang digunakan adalah sebagai berikut.
Tabel 5. Pedoman Observasi Siswa
Aspek Indikator TampakTidak
Tampak
Kenakalan Remaja
1. Kenakalan biasa
2. Kenakalan yang mengarah pada pelanggaran serta kejahatan
3. Kenakalan khusus
Pergaulan teman sebaya
1. Membentuk kelompok-kelompok persahabatan
2. Adanya penerimaan dan penolakan berdasarkan keserasian dan kesamaan pola tingkah laku, minat/kesenangan, kepribadian dan nilai-nilai yang dianut
Perilaku menyimpang dan perilaku gresif
1. Perilaku menyerang.
2. Perilaku menyakiti atau merusak diri sendiri, orang lain, atau objek-objek penggantinya.
3. Perilaku yang tidak diinginkan
42
orang yang menjadi sasarannya.
4. Perilaku yang melanggar norma sosial.
5. Sikap bermusuhan terhadap orang lain.
Konsep Diri 1. Konsep diri fisik
2. Konsep diri akademik
3. Konsep diri sosial
Kriteria Keberhasilan
Kriteria keberhasilan pemberian treatment ini disesuaikan dengan adanya
perubahan perilaku dari siswa yang mengalami krisis identitas dan disesuaikan
dengan persentase pencapaian skor minimal yaitu 80%. Subjek yang diberikan
treatment, bila menunjukkan peningkatan minimal 25% dari skor awalnya maka
dikategorikan berhasil/tepat guna atau sesuai dengan perubahan perilakunya.
Makin banyak perubahan yang positif dari siswa tersebut maka makin berhasil
treatment yang diberikan.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ilmiah, ada beberapa teknik pengumpulan data beserta
masing-masing perangkat pengumpulan datanya, yaitu: (1) Observasi, (2)
Dokumentasi, (3) Wawancara, (4) Angket (kuesioner) (Umar, 2004:40). Dalam
penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yaitu kuesioner. Selain
menggunakan teknik kuesioner penelitian ini juga menggunakan metode observasi
dan wawancara untuk mendapatkan hasil yang lebih relevan.
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data dengan memberikan atau
menyebarkan daftar pertanyaan atau pernyataan kepada respon siswa dengan
43
harapan, responden memberikan respon atas daftar pertanyaan atau pernyataan
tersebut. Daftar pertanyaan atau pernyataan dapat bersifat terbuka jika jawaban
tidak ditentukan sebelumnya dan dapat bersifat tertutup jika alternatif-alternatif
jawaban telah disediakan (Umar, 2004:49). Untuk penelitian ini menggunakan
daftar pernyataan yang bersifat tertutup.
Walaupun metode kuesioner ini memiliki kelemahan, bahwa kita hanya
dapat mengukur sikap seseorang dalam taraf normatif saja dan belum dapat
dipastikan apkah sikap yang diambil dalam taraf normatif itu, sungguh-sungguh
dilaksanakan dalam tindakan yang nyata (Nurkancana, 1990). Penelitian ini tetap
menggunakan metode kuesioner karena kuesioner sangat cocok untuk
mengumpulkan data tentang aspek-aspek kepribadian, seperti: karakter,
tempramen, penyesuaian sikap dan minat. Selain itu ada asumsi bahwa keadaan
diri yang sebenar-benarnya hanya diketahui oleh responden itu sendiri. Untuk
penelitian ini, data yang dikumpulkan adalah data tentang kecenderungan siswa
berbuat kenakalan remaja, perilaku agresif maupun penyimpangan perilaku dalam
rangka mencari identitas dirinya. Untuk memperoleh data tersebut, dalam
penelitian ini digunakan instrument kuesioner kenakalan remaja, perilaku agresif
serta penyimpangan perilaku yang dikembangkan berdasarkan teori yang relevan.
Pengembangan Instrumen
Secara operasional, pengembangan kuesioner mengenai krisis identitas
yang terdiri dari kuesioner tentang kenakalan remaja, pergaulan teman sebaya,
perilaku agresif serta penyimpangan perilaku dan konsep diri, melalui langkah-
langkah sebagai berikut: (1) Menyusun kisi-kisi instrument, (2) Merumuskan butir
pernyataan, (3) Melakukan uji validitas dan reliabilitas (keterandalan) perangkat.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data tentang perilaku-
perilaku siswa yang mengindikasikan siswa mengalami krisis identitas.. Untuk
memperoleh data yang akurat dari masing-masing variabel yang diteliti, maka
digunakan kuesioner tentang krisis identitas. Dalam penelitian ini kuesioner
percaya diri dikembangkan menjadi tiga aspek, yaitu: (1) kenakalan remaja, (2)
perilaku agresif, (3) penyimpangan perilaku. Masing-masing butir pernyataan
disediakan lima alternatif jawaban yang di klarifikasikan sesuai dengan skala pola
44
likert, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), netral (N), tidak setuju (TS), sangan
tidak setuju (STS). Untuk pernyataan positif pilihan sangat setuju skornya 5,
setuju skornya 4, netral skornya 3, tidak setuju skornya 2, dan sangat tidak setuju
skornya 1. Untuk pernyataan yang negatif sangat setuju skornya 1, setuju skornya
2, netral skornya 3, tidak setuju skornya 4 dan sangat tidak setuju skornya 5.
Dalam penelitian ini, kuesioner tentang krisis identitas disusun sesuai dengan
aspek yang bersangkutan dengan perilaku-perilaku siswa yang mengindikasikan
siswa tersebut mengalami krisis identitas dan kuesioner ini rencananya akan
dikembangkan sendiri. (kuesioner Krisis Identitas terlampir)
Tabel 6. Kisi- Kisi Instrumen Krisis Identitas
Aspek IndikatorNomor Butir
Positif Negatif
Kenakalan Remaja
1. Kenakalan biasa
2. Kenakalan yang mengarah pada pelanggaran serta kejahatan
3. Kenakalan khusus
1,2,3,4,5,6,7,9,12
8,10,11,13,15,17,2122,27,313429
Pergaulan teman sebaya
1. Membentuk kelompok-kelompok persahabatan
2. Adanya penerimaan dan penolakan berdasarkan keserasian dan kesamaan pola tingkah laku, minat/kesenangan, kepribadian dan nilai-nilai yang dianut
12
42
14,35
38,39
Perilaku menyimpang dan perilaku gresif
1. Perilaku menyerang.
2. Perilaku menyakiti atau merusak diri sendiri, orang lain, atau objek-objek penggantinya.
3. Perilaku yang tidak diinginkan orang yang menjadi sasarannya.
43 28
32,33
45
4. Perilaku yang melanggar norma sosial.
5. Sikap bermusuhan terhadap orang lain.
Konsep Diri 1. Konsep diri fisik
2. Konsep diri akademik
3. Konsep diri sosial
16,21
18,19,20,26,30,36,45
25,37,40,44
41
Jumlah 16 29
Metode Analisis Data
Hasil perubahan prilaku berupa pengurangan perilaku negatif
dipantau dengan kuesioner tentang krisis identitas, untuk melihat seberapa besar
manfaat konseling kognitif perilaku dan konseling rasional emotif untuk
meningkatkan perilaku positif maka skor hasil penyebaran kuesioner setelah
treatment dilaksanakan, akan di analisis secara deskriptif dengan mengikuti aturan
menurut Nurkancana, (1990: 170) untuk mengetahui persentase telah teratasinya
krisis identitas siswa maka digunakan rumus sebagai berikut:
P =
Keterangan : P = Persentase Pencapaian
X = Skor Aktual
SMI = Skor Maksimal Ideal
Kriteria :
90 % - 100% = Sangat Tinggi
80% - 89% = Tinggi
65% - 79 % = Cukup
55 % - 64% = Rendah
0% - 54 % = Sangat Rendah
46
Sebagai langkah lebih lanjut dalam penelitian ini, dilakukan suatu
prosedur analisis terhadap data-data yang diperoleh peneliti. Tujuan dari analisis
data ini adalah mengungkapkan apa yang ingin diketahui dari penelitian ini.
Dalam menganalisis data yang diperoleh selama melakukan eksperimen
terjadi peningkatan poin yang berarti semakin terentaskannya sebagian masalah
siswa, peningkatan tersebut dapat dihitung melalui skor “Post Rate dan Base
Rate” masing-masing individu dengan menggunakan rumus peningkatan seperti di
atas. Perhitungannya sebagai berikut:
Keterangan :
Pp : Persentase Peningkatan
Base rate : Sebelum Tindakan
Post rate : Setelah Tindakan
Metode Pelayanan
Treatment diberikan sesuai dengan teknik yang ada kepada KE agar apa
yang ingin dicapai dalam eksperimen ini akan tercapai, yaitu terentaskannya
masalah krisis identitas siswa dengan menggunakan treatment dibawah ini:
1. Konseling Kelompok dengan pendekatan Konseling Kognitif Perilaku
2. Konseling Kelompok dengan pendekatan Konseling Rasional Emotif
Tabel 7. Perbandingan Pendekatan Kognitif Perilaku dan Rasional Emotif
No.Perbandingan
Konseling Kognitif Perilaku Konseling Rasional Emotif1. Teknik Konseling
Teknik yang digunakan bebas dan tidak mengikat serta boleh mengadaptasi teknik konseling manapun selama pemberian
Teknik KonselingTeknik yang digunakan terbagi menjadi tiga yaitu teknik konseling kognitif, emotif dan perilaku.
47
konsekuensi positif-negatif tercapai2. Tujuan Terapi
Tujuannya adalah untuk mengubah pola berpikir atau perilaku yang berada di balik kesulitan seseorang, dan mengubah cara mereka merasa melalui pemberian konsekuensi positif-negatif
Tujuan TerapiBertujuan memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi, cara berfikir, keyakinan serta pandangan klien yang irasional menjadi rational, sehingga ia dapat mengembangkan diri dan mencapai realisasi yang optimal.
3. Peranan Konselora. lebih ke arah edukatif-direktifb. konselor diharapkan mampu
menolong konseli untuk mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri konseli dan secara kuat mencoba menguranginya.
c.lebih banyak bekerja pada status kognitif saat ini untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi status kognitif positif
d. menggunakan pendekatan kognitif dan hipnosis dalam rangka mengkonstruk kognitif baru
Peranan Konselor a. lebih emotif-direktif kepada klienb. menggunakan pendekatan yang
dapat memberi semangat dan memperbaiki cara berpikir klien, kemudian memperbaiki mereka untuk dapat mendidik dirinya sendiri dengan gigih dan berulang-ulang menekankan bahwa ide irasional itulah yang menyebabkan hambatan emosional pada klien
c. mendorong klien menggunakan kemampuan rasional dari pada emosinya
d. menggunakan pendekatan didaktif dan filosofis menggunakan humor dan “menekan” sebagai jalan mengkonfrontasikan berpikir secara irasional
4. Jangka Waktu PelaksanaanSesi konseling ini terbilang singkat minimal 5 sesi dan maksimal 14 sesi.
Jangka Waktu PelaksanaanSesi ini sangat panjang dan lama karena diperlukan pengulangan-pengulangan dalam membentuk perilaku baru sesuai dengan tekniknya.
D. Pembahasan
D.1 Hasil Implementasi Pelayanan BK
Dalam eksperimen yang dilaksanakan dalam kurun waktu kurang dari
empat minggu ini didapatkan hasil pretest dan posttest yang dapat menunjukkan
48
peningkatan skor yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari paparan hasil
penyebaran kuesioner yang telah dianalisis berikut ini.
Tabel 8. Hasil Penyebaran Kuesioner Krisis Identitas Pada PreTest
Kelompok Eksperimen 1 dengan Pendekatan Konseling Kognitif
Perilaku
NoNama Siswa( Sampel )
KelasSkor Pretest
Krisis Identitas
Persentase(%)
Kategori
1 ARIS SETIAWAN KETUT VIII - 1 142 63,11 Rendah2 BAGUS SANG AJI VIII - 1 145 64,44 Rendah3 ERY TRESNAJAYA I
WAYAN VIII - 2 142 63,11 Rendah
4 KURNIA ARTHA GD VIII - 2 141 62,67 Rendah5 IMMAS MARCHANTY
DEVI VIII - 3 131 58,22 Rendah
6 JESIKA ANGELINA RORONG VIII - 3 133 59,11 Rendah
7 JOLIANO JON LEONAD VIII - 3 141 62,67 Rendah8 VERENT KURNIAWAN
EMMANUEL T. VIII - 4 143 63,56 Rendah
9 YUDHI ADRITAMA GEDE VIII - 5 138 61,33 Rendah
Tabel 9. Hasil Penyebaran Kuesioner Krisis Identitas Pada PreTest
Kelompok Eksperimen 2 dengan Pendekatan Konseling Rasional
Emotif
NoNama Siswa( Sampel )
KelasSkor Pretest
Krisis Identitas
Persentase (%)
Kategori
1 KRISNA ARI WIBAWA PUTU VIII - 1 134 59,56 Rendah
2 REZA NOVENDRA KOMANG VIII - 1 141 62,67 Rendah
3 SURYA SAPUTRA GEDE VIII - 2 137 60,89 Rendah4 TEGUH SADEWA
ARISANDI NYOMAN VIII - 2 134 59,56 Rendah
5 JOLIANO JON LEONAD VIII - 3 135 60 Rendah6 JORDAN SURYA LOKA
WIBAWA PUTU VIII - 3 135 60 Rendah
7 BAGUS RAHMAN ARDIYANTO PUTRA P. VIII - 4 141 62,67 Rendah
8 MANGGALA DWI WARENDRA MD VIII - 4 145 64,44 Rendah
9 DARMA YASA GEDE VIII - 5 135 60 Rendah
49
Tabel 10. Hasil Penyebaran Kuesioner Krisis Identitas Pada PostTest
Kelompok Eksperimen 1 dengan Pendekatan Konseling Kognitif
Perilaku setelah 5 Sesi Konseling Kelompok
NoNama Siswa( Sampel )
KelasSkor PostTest
Krisis Identitas
Persentase (%)
Kategori
1 ARIS SETIAWAN KETUT VIII - 1 193 85,78 Tinggi2 BAGUS SANG AJI VIII - 1 197 87,56 Tinggi3 ERY TRESNAJAYA I
WAYAN VIII - 2 199 88,44 Tinggi
4 KURNIA ARTHA GD VIII - 2 199 88,44 Tinggi5 IMMAS MARCHANTY
DEVI VIII - 3 201 89,33Sangat Tinggi
6 JESIKA ANGELINA RORONG VIII - 3 203 90,22
Sangat Tinggi
7 JOLIANO JON LEONAD VIII - 3 194 86,22 Tinggi8 VERENT KURNIAWAN
EMMANUEL T. VIII - 4 192 85,33 Tinggi
9 YUDHI ADRITAMA GEDE VIII - 5 196 87,11 Tinggi
Tabel 11. Hasil Penyebaran Kuesioner Krisis Identitas Pada PostTest
Kelompok Eksperimen 2 dengan Pendekatan Konseling Rasional
Emotif setelah 7 Sesi Konseling Kelompok
NoNama Siswa( Sampel )
KelasSkor PostTest
Krisis Identitas
Persentase (%)
Kategori
1 KRISNA ARI WIBAWA PUTU VIII - 1 181 80,44 Tinggi
2 REZA NOVENDRA KOMANG VIII - 1 187 83,11 Tinggi
3 SURYA SAPUTRA GEDE VIII - 2 189 84 Tinggi4 TEGUH SADEWA
ARISANDI NYOMAN VIII - 2 190 84,44 Tinggi
5 JOLIANO JON LEONAD VIII - 3 198 88 Tinggi6 JORDAN SURYA LOKA
WIBAWA PUTU VIII - 3 200 88,89 Tinggi
7 BAGUS RAHMAN ARDIYANTO PUTRA P. VIII - 4 194 86,22 Tinggi
8 MANGGALA DWI WARENDRA MD VIII - 4 192 85,33 Tinggi
9 DARMA YASA GEDE VIII - 5 186 82,67 Tinggi
50
D.2 Penyelesaian Masalah
Berdasarkan hasil eksperimen diketahui bahwa krisis identitas siswa
setelah diberikan layanan konseling kelompok dengan pendekatan konseling
kognitif perilaku sebanyak 5 sesi konseling ternyata dapat terentaskan. Dari
perbandingan hasil pretest - posttest, dapat dilihat adanya perubahan yang tinggi
dalam cara siswa mengatasi permasalahan yang sedang dialami. Ini menunjukkan
bahwa konseling kelompok dengan pendekatan konseling kognitif perilaku efektif
digunakan untuk membantu dalam mengatasi krisis identitas siswa. Hal ini telah
terlihat bahwa konseling kelompok dengan pendekatan kognitif perilaku bila
digunakan secara tepat dalam membantu siswa untuk memecahkan masalahnya,
dengan perlahan hasilnya akan nampak. Karena konselor bukan untuk
memberikan saran tapi memberikan pilihan-pilihan yang mungkin akan dihadapi
oleh siswa, dengan menjabarkan konsep positif dan negatif dari suatu pilihan.
Meski sebagian permasalahan belum dapat diselesaikan seutuhnya, namun siswa
merasa lebih nyaman. Proses konseling dalam kegiatan konseling ini membantu
siswa untuk mengubah perilaku yang kurang baik, kebiasaan belajar yang kurang
baik, kebiasaan siswa yang negatif, serta kebiasaan kabur atau mencari jalan
pintas dalam mengatasi masalahnya bisa dikurangi hal ini sesuai dengan
perubahan tingkah laku yang diinginkan, siswa mulai bisa menentukan pola
pikirnya dengan penanaman prinsip menerima konsekuensi positif ataukah
konsekuensi negatif.
Dari hasil analisis data secara deskriptif menunjukkan terjadi peningkatan
pemahaman siswa akan masalahnya yang menyebabkan siswa menjadi
51
mengambil keputusan yang tepat akan masalahnya yaitu berkisar antara 34,27%
sampai 53,44%. Kisaran angka ini terbilang tinggi dan bila diambil rata-rata
persentase peningkatannya maka akan mendapatkan angka sebesar 41,44%.
Tabel 12. Persentase Peningkatan Kelompok Eksperimen 1 dengan
Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku
No. Nama Siswa KelasPretest Posttest Presentase
Peningkatan (%)
Skor % Skor %
1 ARIS SETIAWAN KETUT VIII - 1 142 63,11 193 85,78 35,92
2 BAGUS SANG AJI VIII - 1 145 64,44 197 87,56 35,86
3ERY TRESNAJAYA I WAYAN VIII - 2 142 63,11 199 88,44 40,14
4 KURNIA ARTHA GD VIII - 2 141 62,67 199 88,44 41,13
5IMMAS MARCHANTY DEVI VIII - 3 131 58,22 201 89,33 53,44
6JESIKA ANGELINA RORONG VIII - 3 133 59,11 203 90,22 52,63
7 JOLIANO JON LEONAD VIII - 3 141 62,67 194 86,22 37,59
8VERENT KURNIAWAN EMMANUEL T. VIII - 4 143 63,56 192 85,33 34,27
9YUDHI ADRITAMA GEDE VIII - 5 138 61,33 196 87,11 42,03
Rata-Rata Persentase Peningkatan 41,44
Berdasarkan hasil eksperimen diketahui bahwa krisis identitas siswa
setelah diberikan layanan konseling kelompok dengan pendekatan konseling
rasional emotif selama 7 sesi konseling terbilang berhasil. Dari perbandingan
hasil pretest - posttest, dapat dilihat adanya perubahan yang tinggi dalam cara
siswa mengatasi permasalahan yang sedang dialami, para siswa tetap
menunjukkan gejala positif dalam bertindak, bergaul sehari-hari serta dalam
belajar. Pada umumnya siswa sudah menunjukkan sikap kearah yang lebih
baik.mereka sudah berusaha untuk bertutur kata dengan sopan, mulai menjaga
emosi, tidak membuat keributan didalam kelas serta tidak lagi membolos
52
sekolah. Hal ini telah terlihat bahwa konseling kelompok dengan pendekatan
rasional emotif bila digunakan secara tepat dalam membantu siswa untuk
memecahkan masalahnya, dengan perlahan hasilnya akan nampak. Proses
konseling dalam kegiatan konseling ini membantu siswa untuk mengubah
perilaku yang kurang baik, kebiasaan belajar yang kurang baik, serta kebiasaan
kabur atau mencari jalan pintas dalam mengatasi masalahnya bisa dikurangi hal
ini sesuai dengan perubahan tingkah laku yang diinginkan.
Dari hasil analisis data secara deskriptif menunjukkan terjadi
peningkatan pemahaman siswa akan masalahnya yang menyebabkan siswa
menjadi mengambil keputusan yang tepat akan masalahnya yaitu berkisar
antara 32,41% sampai 48,15%. Kisaran angka ini terbilang cukup tinggi dan
bila diambil rata-rata persentase peningkatannya maka akan mendapatkan
angka sebesar 38,89%.
Tabel 13. Persentase Peningkatan Kelompok Eksperimen 2 dengan
Pendekatan Konseling Rasional Emotif
No. Nama Siswa KelasPretest Posttest Presentase
Peningkatan (%)
Skor % Skor %
1KRISNA ARI WIBAWA
PUTU VIII - 1 134 59,56 181 80,44 35,07
2REZA NOVENDRA
KOMANG VIII - 1 141 62,67 187 83,11 32,62
3 SURYA SAPUTRA GEDE VIII - 2 137 60,89 189 84 37,96
4TEGUH SADEWA ARISANDI NYOMAN VIII - 2 134 59,56 190 84,44 41,79
5 JOLIANO JON LEONAD VIII - 3 135 60 198 88 46,67
6JORDAN SURYA LOKA WIBAWA PUTU VIII - 3 135 60 200 88,89 48,15
7BAGUS RAHMAN ARDIYANTO PUTRA P. VIII - 4 141 62,67 194 86,22 37,59
8MANGGALA DWI WARENDRA MD VIII - 4 145 64,44 192 85,33 32,41
9 DARMA YASA GEDE VIII - 5 135 60 186 82,67 37,78Rata-Rata Persentase Peningkatan 38,89
53
D.3 Kesimpulan
1. Penggunaan konseling kelompok dengan pendekatan kognitif perilaku
dapat membantu siswa untuk mengatasi permasalahan penyebab krisis
identitas siswa. Dari sembilan siswa yang menampakkan tanda-tanda
mengalami krisis identitas ternyata secara berangsur berkurang dan
mulai terentaskan setelah diberikan konseling dengan baik. Ini berarti
semakin baik penggunaan konseling kelompok dengan pendekatan
kognitif perilaku, maka akan dapat mengentaskan permasalahan siswa
sehingga siswa mampu berinteraksi dengan baik dengan lingkungan
sekolah serta keluarga dan mampu fokus dalam studinya. Hanya
dengan waktu yang relatif singkat pada siswa yang mengalami krisis
identitas telah terjadi rata-rata peningkatan sebesar 41,44%.
2. Penggunaan konseling kelompok dengan pendekatan rasional emotif
dapat membantu siswa untuk mengatasi permasalahan penyebab krisis
identitas siswa. Dari sembilan siswa yang menampakkan tanda-tanda
mengalami krisis identitas ternyata secara berangsur berkurang dan
mulai terentaskan setelah diberikan konseling dengan baik. Ini berarti
semakin baik penggunaan konseling kelompok dengan pendekatan
rasional emotif, maka akan dapat mengentaskan permasalahan siswa
sehingga siswa mampu berinteraksi dengan baik dengan lingkungan
sekolah serta keluarga dan mampu fokus dalam studinya. Pada siswa
yang mengalami krisis identitas telah terjadi rata-rata peningkatan
54
sebesar 38,89%. Hanya saja, pencapaian hal ini menggunakan alokasi
waktu yang cukup lama sehingga dirasa kurang efektif dan efisien.
3. Kesimpulan akhir yang didapatkan adalah, meskipun kedua
pendekatan konseling ini serumpun, namun untuk membantu
menangani krisis identitas pada siswa akan lebih baik, efisien dan
efektif bila menggunakan konseling kelompok pendekatan konseling
kognitif perilaku daripada menggunakan konseling kelompok dengan
pendekatan konseling rasional emotif. Hal ini dikarenakan konseling
kognitif perilaku lebih tepat sasaran dalam waktu yang singkat.
D.4 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, dapat dikemukakan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Bagi siswa
Siswa perlu belajar untuk lebih terbuka saat mengalami
permasalahan tertentu. Bilamana tidak bisa meminta bantuan atau
saran dari teman, guru pembimbing maupun wali kelas tentu akan
dengan senang hati untuk membantu. Juga diharapkan siswa mulai
membiasakan diri untuk selalu mempertimbangkan baik dan buruk
suatu keputusan sebelum dilaksanakan sehingga tidak salah
langkah dan berujung pada krisis identitas. Dengan demikian siswa
mampu belajar dari suatu kesalahan yang dilakukan sebelumnya
untuk membuat dirinya lebih berusaha lagi dan berhati-hati dalam
membuat keputusan.
55
2. Bagi Konselor Sekolah
Diharapkan untuk dapat menerapkan konseling secara
berkelanjutan dengan tujuan mengetahui perkembangan siswa baik
yang bermasalah maupun yang tidak bermasalah. Dan konselor
agar dapat pula memilih pendekatan mana yang dirasa tepat untuk
diberikan kepada siswa asuhnya agar masalah siswa terentaskan
dengan baik dan tidak mengganggu tugas perkembangannya.
3. Bagi Sekolah
Terkait dengan prestasi siswa di sekolah kemampuan mengatasi
masalah bagi siswa merupakan hal yang menentukan kenyamanan
dan keamanan bagi siswa untuk belajar dengan baik tanpa
terbebani masalah yang akan berujung pada tindakan yang negatif.
Jadi, penting bagi sekolah menjaga dan membentuk keharmonisan
serta rasa kekeluargaan dilingkungan sekolah supaya terus
ditingkatkan dan selalu mengadakan pantauan terhadap
perkembangan siswa.
4. Bagi Keluarga
Hubungan yang harmonis dan nyaman baiknya ditingkatkan.
Sehingga dengan demikian akan menjadi cerminan bagi
perkembangan perilaku anak. Bagaimanapun juga dari keluargalah
pribadi utama seorang anak terbentuk, umumnya anak banyak
56
mengimitasi perilaku orang-orang yang ada dikeluarganya, jadi
bila menginginkan anak-anaknya untuk menjadi orang dengan
pribadi yang baik hendaknya keluarga selalu memantau dirinya
sendiri dan anaknya.
E. Referensi
Adhiputra, A.A. Ngurah. 2010. Konseling Lintas Budaya. Denpasar : IKAPI.
Ali, Mohammad.2011. PSIKOLOGI REMAJA : Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik.Jakarta: PT. RinekaCipta.
Corey, Gerald, (E.Koeswara. Penerjemah). 2010.Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : PT.Refika Aditama.
Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Hartono, Soedarmadji. 2012. Psikologi Konseling. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/ diakses pada September 2012.
http://belajarpsikologi.com/ diakses pada Februari 2013.
http://ewintri.co.cc/index.php/bimbingan-konseling/1-bimbingan-konseling/13-teknik-konseling-behavorial.html diakses pada Mei 2012
http://wawasanbk.blogspot.com/ diakses pada Mei 2013
http://www.e-psikologi.com/remaja/101106.htm. diakses pada tanggal 26 Maret 2012.
Iskandaryah, Aulia.2005. Remaja dan Masalahnya, Makalah, Universitas Pajajaran, Bandung diunduh dari http://www.digilib.unpad.ac.id diakses pada Oktober 2012.
57
McLeod, John. (2006). Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Alih Bahasa oleh A.K. Anwar. Jakarta: Kenca
Nurihsan, Ahmad Juntika. 2009. Bimbingan dan Konseling Dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung : PT. Refika Aditama.
Nurkancana. 1990. Pemahaman Individu. Surabaya : PT Usaha Nasional.Oemarjoedi, A. Kasandra. (2003). Pendekatan Cognitive Behavior dalam Psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media.
Prayitno dan Erman Amti. 1994. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Rineka Cipta.
Rahman, Fathur. 2009. Modul Ajar Pengembangan dan Program Evaluasi BK. Yogyakarta : Penerbit Universitas Negeri Yogyakarta.
Roger – Daniel. 2009. Teknik-Teknik Mengatasi Emosi. Yogyakarta : GaraIlmu.
Sedanayasa. 2007. Teknik dan Keterampilan Konseling. Singaraja. Universitas Pendidikan Ganesha.
Sedanayasa dan Suranata. 2009. Buku Ajar Dasar-Dasar Bimbingan Konseling. Singaraja. Universitas Pendidikan Ganesha.
Sukardi, Dewa Ketut. 2008. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling Di Sekolah. Jakarta : Rineka Cipta.
Supriatna, Mamat. 2011. Bimbingan dan Konseling Berbasis Kompetensi. Jakarta : Rajawali Pers.
Suranata, Kadek. 2010. Mikro Konseling. Singaraja : Penerbitan Undiksha.
Uno, Mien R. 2009. Etiket Untuk Remaja. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
58