BAB II KAJIAN PUSTAKA - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/5087/5/Bab 2.pdf · 25 Evita...

32
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Sikap Siswa dalam Belajar Matematika Sikap adalah pencerminan perilaku yang berkaitan dengan persepsi, kepribadian, dan motivasi. 1 Sikap merupakan pernyataan- pernyataan evaluatif baik yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan mengenai objek, orang atau peristiwa. Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan sesuatu. 2 Setiap aktivitas yang dilakukan oleh seseorang pasti didasarkan atas sikapnya tentang aktivitas yang akan dilaksanakannya. Umumnya, sikap tersebut akan mencerminkan bagaimana seseorang merasakan sesuatu. Misalnya, jika seorang siswa mengatakan bahwa ”Saya menyukai pelajaran matematika”, berarti dia sedang mengungkapkan sikapnya tentang mata pelajaran matematika tersebut. Slameto mendefinisikan sikap sebagai kemampuan internal dalam diri seseorang yang berperan dalam menentukan tindakan. Di mana tindakan yang akan dipilih tergantung pada sikapnya terhadap penilaian akan untung atau rugi, baik atau buruk, memuaskan atau tidak, dari suatu tindakan yang dilakukannya. 3 Sikap merupakan kesiapsiagaan mental yang diorganisasi lewat pengalaman, dan mempunyai pengaruh tertentu kepada tanggapan seseorang terhadap orang, objek, maupun situasi yang berhubungan dengannya. 4 Artinya, sikap sangat berkaitan dengan kesiagaan mental seseorang dalam menerima suatu objek atau keadaan di sekelilingnya. Dari beberapa definisi sikap di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan pernyataan seseorang tentang suatu objek yang diorganisasikan melalui pengalaman dan ditunjukkan melalui tanggapan, perasaan, maupun tindakan tertentu terhadap objek yang disikapi. 1 Winardi, Manajemen Perilaku Organisasi, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Revisi (Cet. 3), 211. 2 Robbins Stephen P., Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi, Alih Bahasa: Halida dan Dewi Sartika, ( Jakarta: Erlangga, 2002), 121. 3 Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003). Hal. 188. 4 Gibson, James L., John M. Ivancerich dan Jarnes H. Donneily, “Organisasi, Terjemahan: Djarkasih, (Jakarta: Erlangga, 1990), 68.

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/5087/5/Bab 2.pdf · 25 Evita...

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Sikap Siswa dalam Belajar Matematika

Sikap adalah pencerminan perilaku yang berkaitan dengan

persepsi, kepribadian, dan motivasi.1 Sikap merupakan pernyataan-

pernyataan evaluatif baik yang menyenangkan atau yang tidak

menyenangkan mengenai objek, orang atau peristiwa. Sikap

mencerminkan bagaimana seseorang merasakan sesuatu.2 Setiap

aktivitas yang dilakukan oleh seseorang pasti didasarkan atas

sikapnya tentang aktivitas yang akan dilaksanakannya. Umumnya,

sikap tersebut akan mencerminkan bagaimana seseorang merasakan

sesuatu. Misalnya, jika seorang siswa mengatakan bahwa ”Saya

menyukai pelajaran matematika”, berarti dia sedang mengungkapkan

sikapnya tentang mata pelajaran matematika tersebut.

Slameto mendefinisikan sikap sebagai kemampuan internal

dalam diri seseorang yang berperan dalam menentukan tindakan. Di

mana tindakan yang akan dipilih tergantung pada sikapnya terhadap

penilaian akan untung atau rugi, baik atau buruk, memuaskan atau

tidak, dari suatu tindakan yang dilakukannya.3

Sikap merupakan kesiapsiagaan mental yang diorganisasi lewat

pengalaman, dan mempunyai pengaruh tertentu kepada tanggapan

seseorang terhadap orang, objek, maupun situasi yang berhubungan

dengannya.4 Artinya, sikap sangat berkaitan dengan kesiagaan

mental seseorang dalam menerima suatu objek atau keadaan di

sekelilingnya.

Dari beberapa definisi sikap di atas, dapat disimpulkan bahwa

sikap merupakan pernyataan seseorang tentang suatu objek yang

diorganisasikan melalui pengalaman dan ditunjukkan melalui

tanggapan, perasaan, maupun tindakan tertentu terhadap objek yang

disikapi.

1 Winardi, Manajemen Perilaku Organisasi, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Revisi (Cet.

3), 211. 2 Robbins Stephen P., “Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi”, Alih Bahasa: Halida dan

Dewi Sartika, ( Jakarta: Erlangga, 2002), 121. 3 Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta,

2003). Hal. 188. 4 Gibson, James L., John M. Ivancerich dan Jarnes H. Donneily, “Organisasi”,

Terjemahan: Djarkasih, (Jakarta: Erlangga, 1990), 68.

10

Menurut Slameto, sikap terbentuk melalui berbagai cara, antara

lain:5

1. Melalui pengalaman yang berulang-ulang dan pengalaman yang

disertai perasaan yang mendalam (pengalaman traumatik).

2. Melalui imitasi, yaitu peniruan yang dapat terjadi dengan sengaja

maupun tanpa disengaja.

3. Melalui sugesti, yaitu terbentuknya sikap terhadap objek tidak

disertai alasan dan pemikiran yang jelas, tetapi disebabkan

adanya pengaruh yang datang dari seseorang atau sesuatu yang

mempunyai wibawa dalam pandangannya.

4. Melalui identifikasi, yaitu seseorang meniru orang lain atau suatu

organisasi tertentu didasari pada keterkaitan emosional sifatnya.

Meniru yang dimaksudkan adalah berusaha menyamai dan

mengikuti seorang tokoh yang dianggap paling sesuai dengan

pribadinya.

Sikap siswa terhadap matematika merupakan kecenderungan

siswa untuk memberikan respon secara positif atau negatif terhadap

matematika.6 Sikap ini dapat ditinjau melalui 3 komponen, yaitu

komponen kognitif, afektif, dan tingkah laku.7 Komponen kognitif

berhubungan dengan keyakinan evaluatif siswa terhadap suatu objek.

Keyakinan evaluatif ini dimanifestasikan dalam bentuk impresi atau

kesan baik dan buruk yang dimiliki seseorang terhadap objek

tertentu.8 Dalam belajar matematika, komponen kognitif merupakan

pikiran dan kepercayaan siswa yang dihubungkan dengan

matematika.

Komponen afektif merupakan komponen emosional atau

perasaan.9 Komponen afektif dalam belajar matematika merupakan

perasaan yang dihubungkan dengan matematika. Sedangkan

komponen tingkah laku berhubungan dengan kecenderungan

seseorang untuk bertindak terhadap hal tertentu dengan cara

5 Slameto, Op. Cit., Hal. 189-190. 6 Bassette, L. P., Doctoral Dissertation: “An assessment of the attitudes and outcomes of

students enrolled in developmental basic mathematics classes at Prince George’s

community college”, (Virginia Polytechnic Institute and State University, 2004),

diakses dari http://academia.edu/, pada tanggal 12 April 2015. 7 Slameto, Op. Cit., Hal. 188. 8 Winardi, Op. Cit., Hal. 213. 9 Winardi, Op. Cit., Hal. 212.

11

tertentu.10

Dalam belajar matematika, tingkah laku siswa merupakan

kecenderungan siswa melakukan aktivitas yang berhubungan dengan

peningkatan kemampuannya di bidang matematika, baik kemampuan

dalam menguasai konsep matematika maupun keterampilan dalam

menghitung.

B. Harapan Siswa dalam Belajar Matematika

Harapan atau ekspektasi adalah kepercayaan mengenai

kemungkinan meraih kesuksesan dalam sebuah aktivitas yang

didasarkan pada tingkat kemampuan saat ini dan kondisi eksternal

yang dapat membantu ataupun menghambat.11

Harapan juga

diartikan sebagai suatu keyakinan sementara pada diri seseorang

bahwa suatu tindakan tertentu akan diikuti oleh hasil atau tindakan

berikutnya.12

Pengertian tersebut sejalan dengan teori harapan yang

dikemukakan oleh Victor H. Vroom, bahwa harapan merupakan

kekuatan atas sesuatu untuk bertindak dengan menggunakan suatu

cara tertentu yang didasarkan atas suatu harapan bahwa tindakan

tersebut akan menghasilkan sesuatu bagi dirinya. Dalam istilah yang

lebih sederhana, teori harapan menggambarkan seorang yang diberi

dorongan (motivasi) untuk menjalankan tingkat usaha yang lebih

tinggi apabila ia meyakini bahwa usaha tersebut dapat membawanya

pada suatu penilaian kinerja yang baik.13

Artinya, seseorang yang

telah melakukan effort (usaha) dan performance (tindakan) tertentu

memiliki keyakinan akan memperoleh reward (imbalan) dari usaha

yang telah dilakukan.

Teori harapan (expectancy) yang dikemukakan oleh Vroom ini

mengandung empat asumsi pokok, yaitu:14

1. Seseorang ikut serta dalam sebuah aktivitas dengan harapan

dapat memenuhi kebutuhannya, motivasinya, dan pengalaman

sebelumnya. Hal ini mempengaruhi bagaimana reaksi seseorang

dalam sebuah aktivitas.

10 Winardi, Op. Cit., Hal. 213. 11 Jeanne Ellis, Psikologi Pendidikan Jilid 2, (Jakarta: Erlangga, 2009), 106. 12 Ridwan, 2005, 265. 13 Robbins Stephen P, Perilaku Organisasi, (Jakarta: Indeks, 2003), 229. 14 Fred C. Lunenburg, “Expectancy Theory of Motivation: Motivating by Altering

Expectations”, International Journal of Management, Busines, and Administration,

Volume 15, (2011), No 1, Hal. 2.

12

2. Perilaku seseorang merupakan hasil dari pilihannya secara sadar.

Oleh karena itu, setiap orang memiliki kebebasan untuk

menentukan perilakunya sesuai dengan perhitungan harapannya.

3. Seseorang menginginkan sesuatu yang berbeda dalam sebuah

aktivitas. Misalnya: peningkatan kemampuan, kemajuan belajar,

dan tantangan.

4. Seseorang akan memilih beberapa alternatif perilaku yang dapat

mengoptimalkan hasil dari perilakunya sendiri.

Berdasarkan empat asumsi teori harapan di atas, terdapat tiga

kata kunci dalam teori harapan, yaitu expectancy, instrumentality,

dan valence. Expectancy, kecenderungan seseorang memilih perilaku

tertentu jika dia yakin bahwa pilihan itu akan memberikan hasil yang

dia harapkan (effort-performance). Instrumentality, yaitu tingkat

keyakinan seseorang bahwa perilaku yang dipilih tidak hanya

menghasilkan kinerja yang diharapkan, tetapi juga imbalan (reward)

yang diinginkan (performance-reward). Valence adalah nilai (value)

dan arti yang diberikan oleh seseorang atas imbalan yang diterima.15

Harapan seseorang untuk meraih kesuksesan sangat

dipengaruhi oleh self-efficacy mereka. Self-efficacy adalah penilaian

seseorang tentang kemampuannya sendiri.16

Perasaan self-efficacy

siswa ini mempengaruhi pilihan aktivitas mereka, tujuan mereka,

usaha dan persistensi mereka dalam aktivitas-aktivitas belajar di

kelas yang pada akhirnya mempengaruhi pembelajaran dan prestasi

mereka.17

Selain self-efficacy, harapan seseorang untuk meraih

kesuksesan belajar juga dipengaruhi oleh kesulitan tugas yang

dirasakan, ketersediaan sumber daya dan dukungan, kualitas

pengajaran, serta usaha yang dilakukan.18

Inti dari sebuah pengharapan adalah bagaimana seseorang dapat

mencapai atau melampaui harapan tersebut. Terdapat tiga komponen

penting yang menjadi penggerak sebuah harapan, yaitu effort

(usaha), performance (tindakan), dan reward (imbalan) yang akan

diperoleh.

Kaitannya dengan proses belajar matematika, harapan siswa

dalam belajar matematika merupakan keinginan atau tindakan yang

15 Loc. Cit., Fred C. Lunenburg. 16 Jeanne Ellis, Op. Cit., Hal. 20. 17 Jeanne Ellis, Op. Cit., Hal. 21. 18 Jeanne Ellis, Op. Cit., Hal. 105.

13

diinginkan oleh siswa terhadap proses belajar yang berlangsung

untuk dapat menumbuhkan minat dan ketertarikan siswa terhadap

matematika sehingga nantinya dapat memperoleh prestasi belajar

matematika yang sesuai dengan keinginannya.

Harapan positif siswa terhadap kemampuannya dalam meraih

prestasi belajar matematika merupakan hal yang sangat penting

dalam kegiatan belajar. Dalam hal ini, guru merupakan agen

pendidikan yang memiliki peran penting untuk menumbuhkan

harapan positif dalam diri siswanya. Ada beberapa tindakan guru

yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan harapan positif tersebut,

di antaranya adalah dengan memberikan sumber daya, dukungan,

dan strategi pembelajaran yang sesuai.19

Di samping itu, guru juga

harus membantu siswa menemukan nilai dalam berbagai aktivitas

belajarnya di kelas. Nilai ini berhubungan dengan kepercayaan siswa

terhadap manfaat langsung ataupun tidak langsung dari sebuah

aktivitas belajar atau pembelajaran.

C. Persepsi Siswa terhadap Matematika

Setiap orang mempunyai kecenderungan dalam melihat benda

yang sama dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat

dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antaranya adalah pengetahuan,

pengalaman dan sudut pandang atau persepsi.

Persepsi merupakan sebuah proses kognitif,20

karena persepsi

merupakan tahap paling awal dalam pemrosesan informasi. Persepsi

juga merupakan proses penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki

(yang tersimpan dalam otak) untuk memperoleh dan

menginterpretasikan stimulus (rangsangan) yang diterima oleh alat

indera seperti mata, telinga, dan hidung.21

Singkatnya, persepsi

merupakan proses seseorang dalam menginterpretasi atau

menafsirkan informasi yang diperoleh melalui sistem alat indera.

Chaplin mengartikan persepsi sebagai proses mengetahui objek

dan kejadian objek dengan bantuan indera. Atkinson mengartikan

persepsi sebagai proses seseorang dalam mengorganisasikan dan

menafsirkan pola stimulus dalam lingkungan.22

Jadi, persepsi

19 Jeanne Ellis, Op. Cit., Hal. 107. 20 Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 108. 21 Definisi persepsi menurut Maltin (1989) dan Solso (1988). Dalam: Suharnan, Psikologi

Kognitif, (Surabaya: Srikandi, 2005), 23. 22 Desmita, Op Cit, hal 108.

14

berkaitan erat dengan penerimaan indera terhadap stimulus tertentu

pada kondisi lingkungan tertentu.

Young mendefinisikan persepsi sebagai aktivitas mengindera,

mengintegrasikan, dan memberikan penilaian pada objek-objek fisik

maupun objek sosial. Pengindraan tersebut tergantung pada stimulus

fisik dan stimulus sosial yang ada di lingkungannya.23

Menurut

Robbins, persepsi merupakan kesan yang diperoleh oleh individu

melalui panca indera kemudian dianalisa (diorganisir), diintepretasi

dan dievaluasi, sehingga individu tersebut memperoleh makna.24

Jadi, persepsi merupakan proses ketika seseorang mengatur dan

menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka untuk memberikan

arti atau makna terhadap stimulus tersebut.

Dari beberapa definisi persepsi di atas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa persepsi merupakan proses seseorang menginterpretasikan

serta memaknai stimulus-stimulus yang diperoleh melalui alat indera

pada lingkungan tertentu yang kemudian mempengaruhi pola

perilakunya. Perilaku individu sering kali didasarkan pada persepsi

mereka tentang kenyataan, bukan pada kenyataan itu sendiri. Selain

itu, persepsi merupakan proses penilaian seseorang terhadap objek

tertentu.

Persepsi juga bertautan dengan cara pandang seseorang

terhadap suatu objek tertentu dengan cara yang berbeda-beda dengan

menggunakan alat indera yang dimiliki, kemudian berusaha untuk

menafsirkannya. Persepsi positif maupun negatif ibarat file yang

sudah tersimpan rapi di dalam alam pikiran bawah sadar seseorang.

File itu akan segera muncul ketika ada stimulus yang memicunya

dan ada kejadian yang membukanya. Persepsi negatif merupakan

persepsi atau pandangan terhadap suatu objek yang merujuk pada

kondisi dimana subjek yang mempersepsi cenderung menolak objek

yang ditangkap karena tidak sesuai dengan pribadinya.25

Sedangkan

persepsi positif dapat dipahami sebagai pandangan individu terhadap

objek tertentu yang dapat diterimanya karena sesuai dengan

23 Wowo Sunaryo Kuswono, Taksonomi Berpikir, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011),

Cet.1, 220. 24 Robbins, Op. Cit., Hal. 46. 25 Evita Laili, Skripsi: “Bimbingan dan Konseling Islam dengan Rational Emotif Teraphy

dalam mengurangi Persepsi Negatif Siswa Terhadap Konselor Sekolah di SMA NU 1

Model Karanggeneng Lamongan”, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2013), 7.

15

pribadinya. Jadi, persepsi merupakan hasil kerja otak dalam

memahami atau menilai suatu hal yang terjadi di sekitarnya.26

Pada ranah kognitif, persepsi terhadap pengetahuan merupakan

dasar untuk belajar yang dibangun melalui pengumpulan data

(mengamati dan mengingat).27

Ketersediaan data merupakan

prasyarat untuk mengembangkan seluruh pengetahuan. Mereka juga

menyatakan bahwa kategori dari proses intelektual, keterampilan,

sikap, dan nilai-nilai adalah dimensi independen tetapi berinteraksi

dengan prinsip yang berbeda (kompleksitas, tingkat kemandirian

pebelajar dan tingkat komitmen masing-masing).

1. Macam Persepsi

Ditinjau dari objek yang dipersepsi, persepsi yang diberikan

oleh individu terbagi dalam tiga kategori, yaitu persepsi terhadap

dirinya sendiri (self-perception), persepsi terhadap objek

(lingkungan fisik), dan persepsi terhadap manusia (persepsi

sosial).28

Self-perception atau persepsi diri merupakan proses

terbentuknya persepsi dimana seorang individu menjadikan

dirinya sendiri sebagai objek yang dipersepsi. Persepsi terhadap

objek (lingkungan fisik) adalah persepsi yang diberikan oleh

individu terhadap objek tertentu (dapat berupa benda dan selain

manusia). Persepsi terhadap objek oleh masing-masing individu

seringkali berbeda. Hal ini dikarenakan masing-masing individu

memiliki latar belakang pengalaman, budaya, psikologis, nilai

keyakinan serta harapan yang berbeda. Perbedaan persepsi

terhadap objek juga disebabkan oleh kondisi faktual alat-alat

panca indera sebagai alat penerima informasi atau data.

Sementara itu, persepsi terhadap manusia atau persepsi sosial

adalah proses penangkapan dan pemberian arti bagi objek-objek

sosial serta kejadian-kejadian yang dialami individu dalam

lingkungannya.

26 Walidi, Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Pustaka

Publisher, 2006), 118. 27 Menurut Hannah dan Michaelis dalam buku: Wowo Sunaryo Kuswana, Taksonomi

Kognitif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), Cet 2. 87. 28 Bimo Walgito, Op. Cit., hal 76.

16

2. Sifat-sifat Persepsi

Persepsi yang diberikan oleh setiap individu terhadap suatu

objek memiliki 3 sifat, yaitu bersifat dugaan, evaluatif, dan

kontekstual.29

Dikatakan bersifat dugaan karena memungkinkan

individu menafsirkan suatu objek dengan makna yang lebih

lengkap dari sudut pandang manapun. Namun informasi yang

lengkap tidak pernah tersedia, sehingga memerlukan dugaan

untuk membuat kesimpulan berdasarkan informasi yang tidak

lengkap tersebut melalui pengindraan.

Bersifat evaluatif karena merupakan sebuah proses kognitif

psikologis dalam diri individu yang mencerminkan sikap,

kepercayaan, nilai, dan pengharapan yang digunakan untuk

memaknai serta menilai objek. Penilaian individu terhadap benda

yang dipersepsikan bersifat pribadi dan subjektif.

Persepsi bersifat kontekstual, karena dalam

pengorganisasian objek-objek (dalam konteks tertentu) dilakukan

berdasarkan prinsip kemiripan atau kedekatan dan prinsip

kelengkapannya. Persepsi juga melibatkan hubungan antara

pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam

kehidupan sehari-hari.

Selain tiga sifat tersebut, Slameto menyebutkan bahwa

persepsi memiliki 2 sifat lain, yaitu bersifat relatif dan selektif.30

Persepsi bersifat relatif karena seseorang tidak dapat

mempersepsikan suatu objek secara pasti atau persis dengan

kondisi sebenarnya, tetapi menjadikan objek lain sebagai

patokannya. Misalnya, ketika siswa SD menemui materi

penjumlahan dan perkalian. Siswa yang belum menguasai

perkalian cenderung menganggap materi perkalian lebih sulit

dibandingkan materi penumlahan. Di sini, materi penjumlahan

digunakan sebagai dasar penilaian terhadap materi perkalian.

Sedangkan makna selektif merujuk pada proses terbentuknya

persepsi yang selalu dipengaruhi oleh psikologis perseptor.

Artinya, banyaknya informasi dalam waktu yang bersamaan dan

keterbatasan kemampuan perseptor dalam mengelola dan

29 Dini Komala Sari, “Persepsi”, diakses dari https://dinikomalasari.wordpress.com/, pada

tanggal 26 Juni 2015. 30 Slameto. Op. Cit., hal 103.

17

menyerap informasi menyebabkan perseptor hanya dapat

menerima informasi tertentu saja untuk dipersepsi.

3. Bentuk-bentuk Persepsi

Sesuai dengan alat indera yang dimiliki oleh setiap individu,

maka terdapat 5 bentuk persepsi.31

Di antaranya adalah:

a. Persepsi Visual

Persepsi ini berasal dari indera penglihatan. Umumnya,

persepsi ini merupakan persepsi paling awal yang

berkembang pada bayi dan sangat mempengaruhi bayi dalam

memahami dunianya.

b. Persepsi Auditori

Merupakan persepsi yang diperoleh dari indera

pendengaran yaitu telinga. Ini terjadi ketika individu

menerima rangsangan berupa suara yang ditangkap oleh

gendang telinga kemudian dipersepsikan untuk memperolah

penilaian keras atau lemahnya nada, bahkan mempengaruhi

perasaan seseorang bagi yang mampu menghayati musik.

c. Persepsi Perabaan

Persepsi ini diperoleh melalui indera peraba yaitu kulit.

Melalui kulit ini seseorang dapat merasakan panas atau dingin

dari objek-objek yang mereka sentuh.

d. Persepsi Penciuman

Persepsi ini diperoleh dari indera penciuman, yaitu

hidung. Stimulus yang diterima oleh hidung selanjutnya

disalurkan ke otak melalui sistem saraf untuk memperoleh

penilaian terhadap stimulus (biasanya berupa aroma). Melalui

proses tersebut individu dapat memberikan penilaian aroma

yang diterima tersebut harum atau tidak harum.

e. Persepsi Pengecapan

Persepsi ini didapatkan dari indera pengecapan atau

lidah. Melalui indera pengecapan, individu dapat memberikan

penilaian rasa manis, asin, asam, dan pahit dari makanan yang

mereka konsumsi.

31 Dini Komala Sari, Loc. Cit.

18

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Miftah Toha mengelompokkan faktor-raktor yang

mempengaruhi persepsi seseorang dalam dua kelompok besar,

yaitu faktor internal (dalam diri individu) dan faktor eksternal

(selain dari dalam diri individu). Secara lebih detailnya berikut

beberapa faktor tersebut:32

a. Faktor internal meliputi: perasaan, sikap dan kepribadian

individu, prasangka, keinginan atau harapan, perhatian

(fokus), proses belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan,

nilai dan kebutuhan serta minat dan motivasi.

b. Faktor eksternal meliputi: latar belakang keluarga, informasi

yang diperoleh, pengetahuan dan kebutuhan sekitar,

intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan gerak, hal-hal

baru dan familiar atau ketidak asingan suatu objek.

Berikut ini penjelasan faktor-faktor yang memungkinkan

terjadinya perbedaan persepsi masing-masing individu terhadap

objek tertentu, yaitu:

a. Perhatian yang Selektif

Biasanya individu tidak menangkap seluruh rangsangan

yang ada di sekitarnya sekaligus, tetapi memfokuskan

perhatian pada satu atau dua objek saja. Misalnya dalam

proses pembelajaran di kelas, seorang siswa cenderung

memberikan perhatian lebih pada matapelajaran yang

dianggapnya mudah dan menyenangkan sehingga seringkali

mengabaikan matapelajaran lainnya.

b. Harapan

Harapan merupakan keinginan individu terhadap

rangsangan yang akan timbul. Misalnya pada siswa ketika

mempelajari suatu mata pelajaran yang hanya dilakukannya

ketika akan menghadapi ujian dengan harapan dapat

mengerjakan soal-soal ujian dengan tepat.

c. Kebutuhan Individu

Kebutuhan-kebutuhan sesaat maupun yang menetap

dalam diri individu akan mempengaruhi persepsinya.

Kebutuhan-kebutuhan yang berbeda akan menyebabkan

perbedaan persepsi.

32 Miftah Toha, Perilaku Organisasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), 154.

19

d. Sistem nilai

Sistem nilai yang berlaku di masyarakat dapat

mempengaruhi persepsi individu. Misalnya, siswa yang

berasal dari jurusan IPA mempersepsi pelajaran sejarah lebih

sulit daripada matematika, sebaliknya siswa dari jurusan IPS

mempersepsi pelajaran matematika lebih sulit daripada

sejarah

e. Ciri kepribadian

Ciri kepribadian individu sedikit banyak akan

mempengaruhi persepsinya terhadap suatu objek. Ciri

kepribadian ini merupakan salah satu faktor internal. Artinya

sangat dipengaruhi oleh kondisi kepribadian individu itu

sendiri. Ciri kepribadian ini sangat beragam dan dapat

ditinjau dari tipe kepribadian individu.

f. Pengalaman Terdahulu

Pengalaman-pengalaman terdahulu sangat

mempengaruhi individu dalam mempersepsi dunianya.33

Misalnya A dan B adalah siswa SMP kelas VII. Pada

matapelajaran matematika dengan materi himpunan, siswa A

menganggap materi ini sulit karena hanya sedikit dibahas di

SD. Sedangkan si B berpendapat bahwa materi himpunan

cukup mudah, karena dia telah mempelajari materi tersebut

ketika di SD.

Perbedaan persepsi disebabkan adanya perbedaan-

perbedaan individu, yaitu perbedaan dalam kepribadiannya,

perbedaan dalam sikap atau perbedaan dalam motivasi. Pada

dasarnya proses terbentuknya persepsi memang terjadi dalam diri

seseorang. Namun, persepsi juga dipengaruhi oleh pengalaman,

proses belajar, dan pengetahuannya.

5. Proses Terbentuknya Persepsi

Seorang individu dapat memberikan persepsi jika ada objek

yang dipersepsi serta komponen yang mendukung proses

pemersepsian. Sunaryo menyebutkan bahwa terdapat beberapa

syarat dalam membangun sebuah persepsi, antara lain: adanya

objek yang dipersepsi; adanya perhatian yang merupakan langkah

pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan persepsi;

33 Abdul Muhid, dkk, Psikologi Umum, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013), 103.

20

adanya alat indera/reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus;

saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak

yang kemudian menjadi alat untuk memberikan respon

(pemaknaan).

Menurut Miftah Toha, proses terbentuknya persepsi didasari

pada beberapa tahapan, yaitu:34

a. Stimulus atau Rangsangan

Terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan

pada suatu stimulus/rangsangan yang hadir dari

lingkungannya.

b. Registrasi

Dalam proses registrasi, suatu gejala yang nampak

adalah mekanisme fisik berupa penginderaan. Saraf seseorang

sangat mempengaruhi alat indera yang dimilikinya. Seseorang

dapat mendengarkan atau melihat informasi yang terkirim

kepadanya, kemudian mendaftar semua informasi yang

terkirim ke otaknya.

c. Interpretasi

Interpretasi merupakan suatu aspek kognitif dari

persepsi yang sangat penting, yaitu proses memberikan arti

kepada stimulus yang diterimanya. Artinya, ketika stimulus

berhasil dikirim ke otak, maka selanjutnya proses

penginterpretasian ini terjadi dalam otak. Proses interpretasi

tersebut tergantung dari cara pendalaman, motivasi, dan

kepribadian seseorang serta pengalaman maupun informasi

yang telah tersimpan dalam otak.

Berdasarkan proses kognisinya, persepsi seseorang

mencakup tiga proses, yaitu pencatatan indera, pengenalan pola,

dan perhatian.35

a. Pencatatan indera, yaitu sebuah proses perolehan informasi

melalui alat-alat indera dalam bentuk yang masih kasar

karena belum memiliki makna dan masih merupakan proses

fisiologis.

b. Pengenalan pola, merupakan proses lanjutan dari pencatatan

indera dimana dalam proses ini terjadi transformasi dan

34 Miftah Toha, Op. Cit., hal 145. 35 Desmita, Op. Cit., hal 24.

21

Objek yang menjadi pusat perhatian

Evaluasi dan Interpretasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi

- Kepribadian - Kebutuhan

- Kemampuan - Emosi

- Perasaan, sikap,

prasangka

Stimulus

Tanggapan berupa perilaku Pembentukan Sikap

pengorganisasian informasi sehingga memiliki makna

tertentu.

c. Perhatian, yakni proses pemusatan pikiran terhadap suatu

objek tertentu. Menurut Maltin, perhatian merujuk pada

proses pengamatan beberapa pesan sekaligus kemudian

mengabaikannya kecuali hanya satu pesan.36

Jadi, kondisi

sekitar individu memungkinkannya memperoleh beberapa

stimulus. Namun tidak semua stimulus tersebut mendapat

respon individu untuk dipersepsi. Stimulus mana yang akan

dipersepsi atau mendapat respon dari individu tergantung

pada perhatian individu tersebut.

Secara umum, proses terbentuknya persepsi dapat dilihat

pada Bagan 2.1 berikut:

Bagan 2.1

Proses Terbentuknya Persepsi37

36 Desmita, Op. Cit., hal 40. 37 Diadaptasi dari bagan proses perseptual dalam buku Winardi, Op. Cit., hal. 205.

22

Jadi, secara garis besar proses persepsi melalui empat

tahapan, yaitu: deteksi (pengenalan objek), transduksi (perubahan

energi dari satu bentuk ke bentuk yang lain), transmisi

(penerusan), dan pengolahan informasi.38

Prosesnya diawali

dengan penerimaan stimulus oleh alat indera, kemudian diubah

dalam bentuk impuls saraf dan disalurkan ke saraf sensori

menuju otak. Selanjutnya dalam otak terjadi proses

penginterpretasian. Dalam penginterpretasian inilah terjadi

sebuah proses kognitif dimana individu berusaha memberikan

makna terhadap objek. Pemaknaan ini dapat dipengaruhi oleh

perhatian, pengalaman, pengetahuan, motivasinya, kepribadian

individu, serta beberapa informasi atau data yang telah tersimpan

dalam otaknya. Hasil dari penginterpretasian inilah yang

kemudian disebut persepsi yang dapat ditunjukkan oleh individu

melalui perilaku, sikap, maupun pandangan terhadap sesuatu

yang dipersepsikan.

6. Persepsi Siswa terhadap Matematika

Dalam sebuah proses belajar, anggapan dasar tentang mata

pelajaran yang akan dipelajari merupakan hal utama yang

dipikirkan oleh siswa. Tidak sedikit siswa yang menganggap dan

mempercayai bahwa matematika adalah disiplin ilmu yang terdiri

dari bagian-bagian informasi berupa rumus dan prosedur

pemecahan masalah yang terstruktur. Hal inilah yang

mengharuskan mereka menghafal rumus dan mengingatnya

ketika menemui masalah matematika.39

Kondisi tersebut

menyebabkan kegiatan belajar matematika yang dilakukan di

rumah maupun di kelas memungkinkan siswa untuk beranggapan

bahwa konsep matematika tidak berhubungan dengan kehidupan

sehari-hari dan pembelajaran di kelas tidak memiliki kontribusi

pada prestasi matematikanya. Pandangan atau persepsi siswa

terhadap matematika ini sedikit banyak akan mempengaruhi

proses belajar matematikanya.

38 Linda L Davidoff, “Psikologi-Suatu Pengantar”, Alih Bahasa Mari Juniati, (Jakarta:

Erlangga, 1988), Jilid 1, 237 39 Mason and Scrivani, 2004.

23

Persepsi siswa dalam belajar matematika menitikberatkan

pada pandangan siswa terhadap pelajaran matematika. Yaitu

bagaimana siswa memberikan interpretasi terhadap matematika

yang mencakup rumus-rumus matematika, proses logika

matematika, penguasaan konsep matematika, serta keterampilan

matematika. Lebih detailnya, persepsi siswa terhadap matematika

mencakup penginterpretasian siswa terhadap tujuan belajar

matematika, materi pelajaran matematika, perhitungan dalam

matematika, serta persepsi siswa terhadap guru yang mengajar

matematika.40

Persepsi siswa terhadap guru matematika dapat memberikan

sumbangsih pada persepsi siswa terhadap matematika. Misalnya,

ketika siswa menemui guru matematika yang gaya mengajarnya

galak, tempramen, suka mencela, sering menghukum, memberi

penjelasan terlalu cepat, metode mengajarnya monoton dan

membosankan. Hal tersebut menyebabkan matematika tidak

hanya dianggap sulit, tetapi juga menakutkan bagi siswa sehingga

siswa tidak memiliki ketertarikan untuk mempelajari

matematika.41

Sebaliknya, ketika siswa menemui guru matematika yang

dapat memberikan lingkungan belajar yang menyenangkan,

penjelasan yang baik, serta metode mengajar yang bervariasi

akan membuat siswa lebih senang dalam belajar matematika. Hal

ini akan membuat matematika menjadi pelajaran yang selalu

dinantikan siswa di sekolah karena matematika tidak lagi menjadi

pelajaran yang menakutkan dan membosankan.

D. Kemampuan Regulasi Diri Siswa dalam Belajar Matematika

Self Regulated Learning atau disingkat SRL diartikan dalam

banyak istilah, yaitu kemandirian belajar, pembelajaran yang diatur

sendiri, maupun pembelajaran regulasi diri. Namun pada dasarnya

mencakup tiga karakteristik serupa, yaitu merancang tujuan, memilih

strategi, dan memantau proses kognitif dan afektif yang berlangsung

40 Widayani, Skripsi: “Hubungan Antara Persepsi Peserta Didik Pada Mata Pelajaran

Matematika dengan Hasil BelajarMatematika Kelas X MA NU Nurul Huda

Mangkang”, (Semarang: IAIN Wali Songo, 2011), 27. 41 Sriyanto, “Momok Itu Bernama Matematika”, diakses dari

http://p4mriusd.blogspot.com/2010/03/momok-itu-bernama-matematika/, pada tanggal

27 Juli 2015.

24

ketika seseorang menyelesaikan suatu tugas akademik.42

Penentuan

dan kepatuhan terhadap standar-standar internal merupakan salah

satu proses pada tahap-tahap belajar berdasar regulasi diri yaitu

tahap refleksi diri. Pada tahap ini, seorang siswa akan mulai

melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri.43

Menurut Bandura, siswa yang memiliki kemampuan self

regulated learning adalah siswa yang aktif dalam mengoptimalkan

fungsi personal, fungsi perilaku dan lingkungannya.44

Fungsi

personal berarti siswa merencanakan, mengolah, dan mengevaluasi

berbagai informasi yang dipelajari dalam proses belajarnya dan

menentukan konsekuensi akan keberhasilan dan kegagalannya.

Sedangkan fungsi lingkungan dapat dipahami ketika siswa mampu

menyeleksi, mengatur, bahkan membuat lingkungan fisik dan

sosialnya dapat mendukung proses belajarnya.

Zimmerman juga mengatakan bahwa siswa yang memiliki

regulasi diri dalam belajar merupakan siswa yang aktif secara

metakognitif, motivasi dan perilakunya dalam proses belajar.45

Regulasi diri dalam belajar menunjukkan kemampuan individu yang

aktif secara metakognitif, sehingga mendorongnya untuk belajar dan

berpartisipasi aktif dalam proses belajar. Zimmerman juga

menjelaskan bahwa regulasi diri dalam belajar merupakan usaha

yang dilakukan individu untuk mencapai tujuan belajar dengan

mengaktifkan dan mempertahankan pikiran, perilaku dan emosi.

Self regulated learning merupakan kombinasi keterampilan

belajar akademik dan pengendalian diri yang membuat pembelajaran

terasa lebih mudah, sehingga para siswa lebih termotivasi.46

Mereka

memiliki skill (keterampilan) dan will (kemauan) untuk belajar.47

Siswa yang belajar dengan regulasi diri mentransformasikan

42 Utari Sumarmo, “Kemandirian Belajar”, diakses dari http://math.sps.upi.edu/, pada 9

April 2015. 43 Schunk, Teori-teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2012). 44 Zimmerman dan Mortinez Pons, “Construck validation Of Strategy Model Of Student

Self Regulated Learning”, Journal Of Education Psychology, (1988), 284. 45 Zimmerman, B. J, “A Social Cognitive View of Self Regulated Learning”, Journal of

Educational Psychology, 81 (3), (1989), 1-23. 46 Glynn, S.M., Aultman, L.P., & Owens, A.M., “Motivation to Learn in general education

programs, The Journals of General of Education”, 54 (2), (2005), 150‐170. 47 McCombs, B.L., & Marzano, R. J. “Putting the self in self regulated learning: The self

as agent in integrating skill and will”, Educational Psychologist, 25, (1990), 51‐70.

25

kemampuan‐kemampuan mentalnya menjadi

keterampilan‐keterampilan dan strategi akademik.48

Self regulated learning mengintegrasikan banyak hal tentang

belajar efektif. Pengetahuan, motivasi, dan disiplin diri atau volition

(kemauan-diri) merupakan faktor-faktor penting yang dapat

mempengaruhi self regulated learning.49

Pengetahuan yang

dimaksudkan adalah pengetahuan tentang dirinya sendiri, materinya,

tugasnya, strategi untuk belajar, dan konteks-konteks pembelajaran

yang akan digunakannya.

Siswa yang belajar dengan self-regulated dapat diistilahkan

sebagai siswa ’ahli’. Siswa ahli dalam mengenali dirinya sendiri dan

bagaimana dia belajar dengan sebaik-baiknya. Mereka mengetahui

gaya pembelajaran yang disukainya, apa yang mudah dan sulit bagi

dirinya, bagaimana cara mengatasi bagian-bagian sulit, apa minat

dan bakatnya, dan bagaimana cara memanfaatkan

kekuatan/kelebihannya.50

Mereka juga mengetahui materi yang

sedang dipelajarinya. Semakin banyak materi yang dipelajari

semakin banyak pula yang diketahui, serta semakin mudah untuk

belajar lebih banyak.51

Mereka mungkin mengerti bahwa tugas

belajar yang berbeda memerlukan pendekatan yang berbeda pula.

Merekapun menyadari bahwa belajar seringkali terasa sulit dan

pengetahuan jarang yang bersifat mutlak. Biasanya ada banyak cara

yang berbeda untuk melihat sebuah permasalahan dan ada banyak

macam solusi atau pemecahan masalahnya.52

Menurut Wine, karakteristik pelajar regulasi diri antara lain: (1)

Bertujuan memperluas pengetahuan dan menjaga motivasi; (2)

Menyadari keadaan emosi mereka dan punya strategi untuk

mengelola emosinya; (3) Secara periodik memonitor kemajuan ke

arah tujuannya; (4) Menyesuaikan atau memperbaiki strategi

berdasarkan kemajuan yang mereka buat; dan (5) Mengevaluasi

48 Zimmerman, B.J, “Becoming a self regulated learner: An overview”, Theory into

Practice, 41, (2002), 64‐70. 49 Woolfolk, “Educational Psycholog, Active Learning Edition Tenth Edition”. Boston:

Allyn & Bacon, (2008). 50 Wolfolk, 2008. 51 Alexander, “Psychology in Learning and Instruction”, Upper Saddle River, N.J:

Merrill/Prentice Hall, (2006). 52 Pressley, M, “More about the development of self regulation complex, long term, and

throughly social”, Educational Psychologist, 30, (1995), 207‐212.

26

halangan yang mungkin muncul dan melakukan adaptasi yang

diperlukan.53

1. Aspek-aspek Regulasi Diri

Kemampuan regulasi diri pada siswa dapat dilatihkan

melalui pembelajaran di kelas dengan memfokuskan pada

beberapa aktivitas siswa. Di antaranya adalah guru harus dapat

memfasilitasi siswa untuk mengatur sendiri tujuan belajarnya,

menggambarkan permasalahan situasional, menentukan strategi

pemecahan masalah yang efektif, memonitor strategi yang

mereka pilih dan menggantinya jika dibutuhkan, dan bertanggung

jawab terhadap proses belajarnya. Aktivitas ini memungkinkan

siswa dapat menggunakan strategi regulasi diri mereka sehingga

menjadi pemecah masalah yang mandiri dan mengurangi

ketergantungan pada orang lain. Dalam proses ini, model

pemecahan masalah yang dibangun oleh siswa lebih fokus pada

aspek pentingnya permasalahan daripada menonjolkan

kedangkalan dalam analisis dan transformasi permasalahan

situasional.54

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa menurut

Zimmerman siswa yang memiliki regulasi diri dalam belajar

merupakan siswa yang aktif secara metakognisi, motivasi dan

perilakunya dalam proses belajar.55

Oleh karena itu, dapat

dikatakan bahwa ketiga komponen tersebut merupakan aspek-

aspek dari regulasi diri.

a. Metakognisi

Mohamad Nur mengemukakan bahwa metakognisi

berhubungan dengan proses berpikir siswa tentang

berpikirnya sendiri dan kemampuan mereka menggunakan

strategi-strategi belajar tertentu dengan tepat. Metakognisi

memiliki dua komponen, yaitu (a) pengetahuan tentang

kognisi, dan (b) mekanisme pengendalian diri dan monitoring

kognitif.56

53 Santrock, 2008, Op. Cit., hal 296. 54 Pape and Wang, 2003. 55 Zimmerman, B. J. “A Social Cognitive View of Self Regulated Learning”, Journal of

Educational Psychology, 81 (3), (1989),1-23. 56 Muhammad Romli, “Strategi Membangun Metakognisi Siswa SMA dalam Pemecahan

Masalah Matematika”, Jurnal Pendidikan Matematika, FKIP Universitas Madura, 2.

27

Menurut Schunk dan Zimmerman, metakognisi adalah

kemampuan individu dalam merencanakan,

mengorganisasikan atau mengatur, menginstruksikan diri,

memonitor dan melakukan evaluasi dalam aktivitas belajar.57

Metakognisi merupakan kemampuan di mana individu berdiri

di luar kepalanya dan mencoba untuk memahami cara dia

berpikir atau memahami proses kognitif yang dilakukan

dengan melibatkan komponen-komponen perencanaan

(functional planning), pengontrolan (self-monitoring), dan

evaluasi (self-evaluation).58

b. Motivasi

Dalam proses belajar, siswa dapat menggunakan

beragam strategi motivasi untuk mempertahankan

perhatiannya pada tugas belajar, meningkatkan

kedisiplinanya, dan untuk menyelesaikan tugas belajar.

Orientasi pada tujuan, self-efficacy, nilai tugas, dan minat

seseorang mempengaruhi strateginya untuk meregulasi

motivasinya sebaik kognisi dan tingkah lakunya.59

Regulasi motivasi terdiri dari cara-cara atau strategi

untuk memastikan keterlibatan secara aktif dengan tugas.

Penghargaan terhadap diri sendiri, termasuk di dalamnya

pengetahuan tentang faktor yang mempengaruhi motivasi

seseorang, pentingnya menentukan apakah seseorang harus

memusatkan perhatiannya pada tugas.60

Ini berbeda dengan

regulasi kognisi atau metakognisi, karena regulasi motivasi

cenderung pada mengapa seseorang menyelesaikan sebuah

aktivitas, atau untuk apa seseorang membuat komitmen untuk

menyelesaikan tugas belajarnya. Proses motivasi ini penting

untuk membuat keputusan menyelesaikan tugas. Ketika

seseorang terikat pada tugas, kemauan menyelesaikan tugas

mendorongnya untuk memusatkan perhatiannya dan segera

mencapai tujuannya.61

57 Fazrian Faldi, “Regulasi Diri”, diakses dari

http://fazrianfadli.blogspot.com/2013/02/regulasi-diri.html/), pada tanggal 7 Juli 2015. 58 Desmita, Op. Cit., hal 133. 59 Pintrich, 2000. 60 Pintrich, 2000, 2004. 61 Eccles & Wigfield, 2002

28

Motivasi dalam diri seseorang dibedakan menjadi 2,

yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik.62

Motivasi

instrinsik adalah motivasi internal untuk melakukan sesuatu

demi sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri). Artinya dalam

motivasi instrinsik ini terdapat dorongan dalam diri seseorang

untuk melakukan sebuah aktifitas. Sedangkan motivasi

ektrinsik mendorong seseorang melakukan suatu aktivitas

untuk mendapatkan sesuatu yang lain (cara untuk mencapai

tujuan), misalnya untuk memperoleh imbalan atau hukuman.

c. Perilaku

Perilaku manusia adalah refleksi dari berbagai gejala

kejiwaan seperti pengetahuan, persepsi, minat, keinginan dan

sikap.63

Sebagian besar perilaku seseorang dipengaruhi oleh

diri individu itu sendiri atau disebut faktor internal dan

sebagian lagi dipengaruhi oleh keadaan di luar dirinya atau

disebut dengan faktor eksternal.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Regulasi Diri

Bandura mengatakan bahwa perilaku (behavior),

lingkungan (environment), dan personal/faktor kognitif

(person/cognitive factor) dapat saling berinteraksi secara timbal

balik.64

Jadi, baik faktor perilaku, lingkungan, maupun personal

dapat mempengaruhi satu sama lain. Faktor personal sendiri

meliputi self efficacy (kepercayaan bahwa seseorang dapat

menguasai situasi dan menghasilkan hal yang positif),

perencanaan dan kemampuan berpikir. Hubungan tersebut dapat

digambarkan melalui Bagan 2.2.

62 J W Santrock, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2007), 514. 63 Notoatmodjo, Pendidikan Perilaku Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003). 64 Santrock. 2005.

29

Bagan 2.2 Hubungan Perilaku, Lingkungan, dan Personal dalam Regulasi

Diri65

Bagan 2.2 menunjukkan bahwa kemampuan regulasi

diri tidak hanya dipengaruhi oleh perilaku maupun faktor

personal saja, tetapi juga faktor lingkungannya. Di antara

ketiga faktor utama tersebut, yaitu perilaku, person/kognitif,

dan lingkungan saling mempengaruhi pembelajaran siswa.

Faktor lingkungan mempengaruhi perilaku, perilaku

mempengaruhi lingkungan, faktor person/kognitif

mempengaruhi perilaku, dan seterusnya. Faktor kognitif dalam

konteks ini berupa ekspektasi siswa untuk meraih keberhasilan.

Sedangkan faktor sosial mencakup pengamatan siswa terhadap

hubungan sosialnya.66

Misalnya, ketika seorang siswa rajin

belajar dan mendapatkan nilai yang memuaskan, maka dia akan

menghasilkan pemikiran yang positif tentang kemampuannya

dalam belajar. Dia akan berusaha untuk merencanakan dan

mengembangkan berbagai strategi agar belajarnya lebih efisien

untuk memperoleh nilai yang baik.

65 John W Santrock, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2008), 285. 66 Ibid. John W Santrock, Psikologi Pendidikan, 285.

Lingkungan

- Stimulus dari

lingkungan fisik dan

lingkungan sosial

- Penguatan

Perilaku

- Tipe

- Frekuensi

- Intensitas

Personal

- Karakteristik individu

- Proses kognitif

- Kemampuan regulasi

diri

30

3. Proses Regulasi Diri Self-regulated learning tidak hanya mengharuskan siswa

mengatur perilakunya sendiri, tetapi juga harus mengatur proses-

proses mental mereka sendiri. Secara khusus, self-regulated

learning mencakup proses-proses berikut.67

1) Penetapan tujuan (goal setting). Pembelajaran dengan self-

regulated mendorong siswa untuk menentukan dan

mengetahui tujuan yang akan dicapai dalam belajarnya.

Mereka dapat mengaitkan tujuan-tujuan mereka mengerjakan

suatu aktivitas belajar dengan tujuan dan cita-cita jangka

panjang.

2) Perencanaan (planning). Sebelum pembelajaran, siswa

dengan self-regulated sudah menentukan bagaimana strategi

pengaturan waktu dan sumber daya yang tersedia untuk

melaksanakan tugas-tugas belajar.

3) Motivasi diri (self-motivation). Siswa yang mampu mengolah

self-regulated biasanya juga memiliki self-efficacy yang

tinggi terkait kemampuan mereka menyelesaikan suatu tugas

dengan sukses. Mereka menggunakan banyak strategi agar

tetap terarah pada tugas belajarnya. Hal inilah yang

meningkatkan motivasi dalam diri siswa.

4) Kontrol atensi (attention control). Siswa berusaha

memfokuskan perhatian mereka pada pembelajaran yang

sedang berlangsung dan menghilangkan pikiran yang

mengganggu konsentrasinya.

5) Penggunaan strategi belajar yang fleksibel. Siswa yang

memiliki self-regulated dalam belajarnya cenderung memilih

strategi belajar yang berbeda tergantung tujuan-tujuan

spesifik yang ingin dicapai.

6) Monitor diri (self-monitoring). Self-regulated mendorong

siswa untuk terus memonitor kemauan mereka dalam

mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan mereka dapat

mengubah strategi belajar atau memodifikasi tujuan jika

dibutuhkan.

7) Mencari bantuan yang tepat (appropriate help seeking). Siswa

yang menerapkan self-regulated learning tidak selalu dapat

menyelesaikan masalahnya sendiri. Ketika dia menyadari

67 Jeane Ellis, Op. Cit., hal 38.

31

keterbatasan kemampuan, maka mereka cenderung mencari

bantuan orang lain (guru atau teman sebaya) yang dipandang

memiliki kemampuan lebih. Hal ini dilakukan untuk

memudahkan mereka bekerja secara mandiri dikemudian hari.

8) Evaluasi diri (self-evaluation). Siswa menentukan apakah

yang mereka pelajari telah memenuhi tujuan awal. Mereka

juga menggunakan evaluasi diri untuk menyesuaikan berbagai

strategi belajar.

Berikut gambaran proses regulasi diri J W Santrock.

Bagan 2.3

Proses Regulasi Diri68

Bagan proses regulasi diri oleh J W Santrock di atas

menunjukkan proses yang siklis pada aspek-aspek regulasi diri.

Bagan ini menjelaskan proses belajar dengan regulasi diri yang

diawali dengan perumusan tujuan dan perencanaan strategi

belajar, kemudian dilanjutkan pada proses melaksanakan rencana

dan memonitornya. Setelah melaksanakan rencana dan

memonitor pelaksanaan tersebut, langkah selanjutnya adalah

memonitor hasil yang diperoleh serta melakukan perbaikan.

Langkah selanjutnya adalah mengevaluasi pelaksanaan

pembelajaran dan memonitor diri. Proses ini dilanjutkan dengan

perumusan tujuan baru sesuai dengan evaluasi dari pembelajaran

yang telah dilakukan sebelumnya dan dilanjutkan dengan proses

regulasi diri selanjutnya.

68 J W Santrock, 2008, Op. Cit., hal 297.

Monitoring hasil

dan perbaikan

strategi

Evaluasi dan

Monitoring diri

Melaksanakan

rencana dan

memonitoringnya

Menentukan tujuan

dan perencanaan

strategi

32

Menurut Miller & Brown69

terdapat enam tahapan untuk

membangun regulasi diri dalam diri individu, antara lain:

1) Receiving atau menerima informasi yang relevan

Merupakan langkah awal individu dalam mengelola

sebuah informasi dari berbagai sumber berkaitan dengan diri

ataupun masalah yang sedang dihadapinya. Dari informasi

tersebut dapat diketahui adakah hubungan antara penyebab

kegagalan yang dialami dengan aspek – aspek lain dalam

hidup.

2) Evaluating atau mengevaluasi informasi yang diperoleh

Individu menganalisis dan mencari penyebab dari

masalah kegagalan tersebut dengan membandingkan antara

pendapat orang lain (ekstern) dan pendapatnya sendiri

(intern) untuk memperoleh pendapat yang obyektif tentang

suatu permasalahan. Melalui proses ini diharapkan seorang

individu tidak menyalahkan orang lain atas kegagalan yang

menimpanya.

3) Searching atau mencari solusi

Setelah masalah tersebut dievaluasi penyebab–

penyebabnya, selanjutnya individu tersebut akan terpancing

untuk mencari jalan keluar dan menyelesaikan masalah yang

dihadapi, serta mencari solusi agar tidak mengalami

kegagalan lagi.

4) Formulating atau menyusun suatu rencana

Menentukan langkah–langkah yang harus dilakukan

dalam meraih suatu tujuan dan menyiapkan berbagai

alternatif untuk meminimalkan kegagalan.

5) Implementing atau perealisasian rencana

Menjalankan rencana–rencana yang telah disusun agar

semakin dekat dengan tujuan yang ingin dicapai.

6) Assesing atau mengukur keberhasilan dari rencana yang

dibuat

Penilaian terhadap rencana yang telah dibuat, dengan

melihat bagian mana yang telah dicapai dan mana yang

belum. Serta menganalisis apakah bagian yang telah dicapai

tersebut telah sesuai dengan yang diharapkan.

69 Dalam Neal dan Cary. 2005.

33

Elemen terpenting regulasi diri adalah adanya kontrol diri

dalam menjalankan tugas dan mencapai tujuan yang diinginkan

serta kontrol diri ketika individu mengalami kegagalan, yaitu

dengan tidak menjustifikasi orang lain atau lingkunganlah yang

membuatnya gagal. Orang yang mempunyai regulasi diri yang

baik diharapkan lebih cepat meraih tujuan hidupnya dengan

meminimalkan kegagalan yang mungkin dialami.

Kebiasaan individu dalam kontrol diri dapat dilakukan

dengan cara melatih disiplin diri dan menahan diri, seperti: (1)

membiasakan diri menulis kontrak antardiri sendiri untuk

berkomitmen melakukan sebuah kegiatan positif; (2)

membayangkan hasil yang mungkin dapat diperoleh jika dirinya

dapat menahan diri, terutama menahan diri dari kegiatan yang

negatif; (c) berkarya, merupakan kegiatan yang dapat dilakukan

dalam berbagai bentuk terutama berkarya sebaik-baiknya dalam

mencapai prestasi belajar yang gemilang; (d) mengendalikan

suasana hati, karena hati merupakan pusat kekuatan psikis yang

menentukan sikap dan/atau perilaku seseorang. Mengendalikan

suasana hati berarti membersihkan kalbu sehingga senantiasa

memancarkan rasa syukur, rendah hati, kasih sayang, dan sikap

optimis; (e) mengendalikan pikiran. Dimensi berpikir merupakan

faktor penentu sikap dan perilaku individu. Individu yang

memiliki persepsi/pikiran yang benar (positif) akan menunjukkan

sikap yang benar (positif). Sebaliknya, jika individu memiliki

persepsi yang keliru (negatif) akan cenderung menunjukkan sikap

yang keliru (negatif) dalam menghadapi sesuatu

(permasalahan).70

70 Syamsul Bachri Thalib, Op. Cit., hal 112-114.

34

E. Hubungan antara Sikap, Harapan, dan Persepsi Siswa dengan

Kemampuan Regulasi Diri dalam Belajar Matematika

Sikap, harapan, dan persepsi merupakan komponen intrinsik

yang bergejolak dalam diri setiap individu. Dengan kata lain, ketiga

komponen tersebut merupakan aspek internal yang mempengaruhi

segala aktivitas seseorang. Sedangkan regulasi diri dalam belajar

merupakan bagian dari sebuah aktivitas belajar yang

mengombinasikan antara kemampuan internal (perencanaan,

motivasi, evaluasi) dengan perilaku dalam belajar yang berhubungan

dengan lingkungan belajar. Berikut ini akan dipaparkan penjelasan

terkait hubungan antara sikap, harapan, dan persepsi siswa dengan

kemampuan regulasi diri dalam belajar matematika.

1. Hubungan Sikap Siswa dengan Kemampuan Regulasi Diri

Sikap merupakan kecenderungan untuk memberikan respon

secara positif atau negatif.71

Sikap tersebut ditinjau melalui 3

komponen, yaitu komponen kognitif, afektif, dan tingkah laku.72

Komponen kognitif berhubungan dengan keyakinan evaluatif

siswa terhadap suatu objek.73

Komponen afektif merupakan

komponen emosional atau perasaan.74

Sedangkan komponen

tingkah laku berhubungan dengan kecenderungan seseorang

untuk bertindak terhadap hal tertentu dengan cara tertentu.75

Jadi,

sikap dalam belajar matematika merupakan kecenderungan untuk

memberikan respon baik secara kognitif, afektif, maupun

ditunjukkan dengan tingkah laku yang berhubungan dengan

kemampuannya di bidang matematika, baik kemampuan dalam

menguasai konsep matematika maupun keterampilan dalam

menghitung.

Sikap terbagi menjadi dua, yaitu sikap yang mendukung dan

menolak. Regulasi diri merupakan salah satu upaya untuk

mereliasasikan sikap yang mendukung untuk meningkatkan

aktivitas dalam belajar matematika. Sebagaimana diungkapkan

71 Bassette, L. P., Doctoral Dissertation: “An assessment of the attitudes and outcomes of

students enrolled in developmental basic mathematics classes at Prince George’s community college”, (Virginia Polytechnic Institute and State University, 2004),

diunduh dari http://academia.edu/, pada tanggal 12 April 2015. 72 Slameto, Op. Cit., Hal. 188. 73 Winardi, Op. Cit., Hal. 213. 74 Winardi, Op. Cit., Hal. 212. 75 Winardi, Op. Cit., Hal. 213.

35

oleh Zimmerman bahwa siswa yang memiliki regulasi diri dalam

belajar merupakan siswa yang aktif secara metakognitif, motivasi

dan perilakunya dalam proses belajar.76

Siswa yang belajar

dengan regulasi diri dapat mentransformasikan kemampuan

mentalnya menjadi keterampilan‐keterampilan dan strategi

akademik.77

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa siswa yang

memiliki regulasi diri dalam belajar merupakan siswa yang aktif

secara metakognitif, motivasi, dan perilaku dalam belajar.78

Perilaku merupakan perwujudan dari sikap seseorang, sehingga

sikap merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi

pada perilaku pengaturan diri. Oleh karena itu, di antara sikap

dengan regulasi diri memiliki hubungan dalam hal

penginterpretasian dalam bentuk aktivitas atau perilaku belajar.

2. Hubungan Harapan Siswa dengan Kemampuan Regulasi

Diri

Zimmerman telah menjelaskan bahwa regulasi diri dalam

belajar merupakan usaha yang dilakukan individu untuk

mencapai tujuan belajar dengan mengaktifkan dan

mempertahankan pikiran, perilaku dan emosi.79

Tujuan belajar ini

jelas berkaitan dengan harapan siswa dalam sebuah proses

pembelajaran. Pendapat Zimmerman tersebut mendukung

hipotesis yang diajukan oleh peneliti.

Selain itu, Pintrich juga menyatakan bahwa orientasi pada

tujuan, self-efficacy, nilai tugas, dan minat seseorang

mempengaruhi strateginya untuk meregulasi motivasinya sebaik

kognisi dan tingkah lakunya. Bandura menyebutkan bahwa

regulasi diri dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling

mempengaruhi satu sama lain, yaitu faktor perilaku, lingkungan,

maupun personal atau faktor kognitif.80

Proses regulasi diri dalam

belajar pada konteks ini berupa ekspektasi siswa untuk meraih

76 Zimmerman, B. J, “A Social Cognitive View of Self Regulated Learning, Journal of

Educational Psychology”, 81 (3), (1989), 1-23. 77 Zimmerman, B.J, “Becoming a self regulated learner: An overview”, Theory into

Practice, 41, (2002), 64‐70. 78 Zimmerman, B. J., Loc. Cit, 1-23. 79 Zimmerman, B. J, 1989, Loc. Cit., 1-23. 80 J W Santrock, Op. Cit., hal. 284.

36

keberhasilan.81

Ekspektasi merupakan bentuk lain dari harapan

siswa dalam sebuah proses pembelajaran. Oleh karena itu, dapat

disimpulkan bahwa harapan memiliki hubungan dengan

kemampuan regulasi diri.

3. Hubungan Persepsi Siswa dengan Kemampuan Regulasi Diri

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa salah satu

faktor yang mempengaruhi persepsi individu adalah kondisi

kepribadian individu itu sendiri. Kondisi kepribadian sangat

dipengaruhi oleh sikap emosional individu. Emosi merupakan

salah satu aspek psikologis manusia dalam ranah afektif.

Sebagaimana penjelasan Syamsul Bachri Thalib, bahwa

perkembangan afektif yang berpengaruh terhadap emosi setiap

individu ditandai dengan dua faktor utama, yaitu (a)

perkembangan idealisme, dan (b) perkembangan kepribadian.82

Umumnya, emosi pada setiap individu terbagi menjadi dua,

yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif cenderung

memberikan perasaan bahagia pada individu tersebut dalam

menghadapi situasi. Artinya, seseorang akan merasa bahagia

ketika dirinya dapat menyesuaikan diri dengan situasi baru.

Emosi yang positif juga mendorong individu memiliki rasa ingin

tahu yang lebih dan rasa kasih sayang. Di samping itu,

keberhasilan seseorang dalam menjalankan aktivitas akan

mendatangkan perasaan bangga atau puas yang pada akhirnya

dapat menghilangkan perasaan tidak aman, ragu-ragu, dan

perasaan negatif lainnya yang mungkin menghambat

perilakunya.83

Sedangkan emosi negatif dapat mempengaruhi

sikap negatif individu terhadap situasi yang ditemuinya. Di antara

emosi negatif yang sering dirasakan oleh individu tersebut antara

lain: perasaan khawatir, cemas, jengkel, frustasi, cemburu, iri,

perasaan tidak aman atau takut, ragu-ragu.84

Pada dasarnya pembelajaran regulasi diri merupakan upaya

melatih siswa memunculkan dan memonitor sendiri pikiran,

perasaan, dan perilaku untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan ini

81 J W Santrock, Op. Cit., Hal. 285. 82 Syamsul Bachri Thalib, Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif,

(Jakarta: Kencana, 2010), Cet 1, 51. 83 Ibid, halaman 53-54. 84 Ibid, halaman 52-54.

37

dapat berupa tujuan akademik (meningkatkan pemahaman dalam

membaca, menjadi penulis yang baik, belajar perkalian,

mengajukan pertanyaan yang relevan) maupun tujuan

sosioemosional (mengontrol kemarahan, belajar akrab dengan

teman sebaya).

Kontrol diri merupakan bagian terpenting dalam regulasi

diri. Kontrol diri adalah kemampuan individu untuk

mengendalikan dorongan-dorongan, baik dalam diri maupun dari

luar diri individu. Individu yang memiliki kemampuan kontrol

diri akan membuat keputusan dan mengambil langkah tindakan

yang efektif untuk menghasilkan sesuatu yang diinginkan dan

menghindari akibat yang tidak diinginkan.85

Kontrol diri

berkaitan erat dengan keterampilan emosional. Bahkan kontrol

diri merupakan salah satu komponen keterampilan emosional.

Sebagaimana dikemukakan oleh Goleman, bahwa keterampilan

emosional mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan,

kemampuan memotivasi diri sendiri, ketahaman menghadapi

frustasi, kesanggupan mengendalikan dorongan hati dan emosi,

tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan

menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan

berpikir, memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya,

kemampuan menyelesaikan konflik, memimpin diri dan

lingkungan sekitarnya.86

Keterampilan emosional adalah kemampuan lebih yang

dimiliki individu dalam memotivasi diri, ketahanan dalam

menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda

kepuasan, serta mengatur keadaan perasaan.87

Melalui

keterampilan emosional inilah seorang individu dapat

menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah

kepuasan, dan mengatur suasana hati.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa emosi merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi sekaligus regulasi

diri seseorang. Pada pemersepsian, emosi merupakan bagian dari

aspek kepribadian individu yang menyebabkan perbedaan

pemersepsian pada setiap individu. Sedangkan dalam proses

85 Syamsul Bachri Thalib, Op. Cit., 107. 86 Syamsul Bachri Thalib, Op. Cit., hal 107. 87 Syamsul Bachri Thalib, Op. Cit., hal 108.

38

regulasi diri, emosi merupakan bagian dari kontrol diri. Kontrol

diri merupakan bagian terpenting yang menunjukkan kemampuan

regulasi diri seseorang. Adapun faktor lain dari persepsi yang

berkontribusi pada kemampuan regulasi diri berkaitan dengan

emosi individu adalah suasana hati, keadaan sosial, serta

lingkungan.

4. Hubungan Harapan Siswa dengan Persepsi Siswa

Robbins yang menyatakan bahwa karakteristik pribadi yang

mempengaruhi persepsi meliputi sikap, kepribadian, motif,

kepentingan, pengalaman masa lalu, dan harapan.88

Dalam hal

ini, penerimaan informasi dan penerjemahan informasi dalam

proses pemersepsian didukung oleh kepentingan dan harapan-

harapannya pada objek yang dipersepsi.89

Lunenburg menyatakan bahwa dalam teori pengharapan

mengandung tiga kata kunci, yaitu expectancy, instrumentality,

dan valence.90

Dalam hal ini, persepsi memiliki peran yang

sangat penting untuk memberikan penilaian (valence) terhadap

aktivitas yang akan dilakukan sehingga memperoleh imbalan

seperti yang diharapakan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa

persepsi siswa merupakan salah satu faktor penentu siswa dalam

menciptakan sebuah harapan.

5. Hubungan Harapan Siswa dengan Sikap Siswa

Slameto mendefiniskan sikap sebagai kemampuan internal

dalam diri seseorang yang berperan dalam menentukan tindakan.

Di mana tindakan yang akan dipilih tergantung pada sikapnya

terhadap penilaian akan untung atau rugi, baik atau buruk,

memuaskan atau tidak, dari suatu tindakan yang dilakukannya.91

Penilaian untung atau rugi, baik atau buruk, memuaskan atau

tidak memuaskan merupakan bagian dari teori pengharapan yaitu

value (penilaian terhadap sesuatu objek). Selain itu, harapan

merupakan keyakinan sementara pada diri seseorang bahwa suatu

tindakan tertentu akan diikuti oleh hasil atau tindakan

berikutnya.92

Ketika siswa memiliki harapan yang tinggi terhadap

88 Robbins, Op. Cit., hal. 46. 89 Robbins, Op. Cit., hal. 155. 90 Loc. Cit, Fred C. Lunenburg. 91 Slameto, Op. Cit., hal 188. 92 Ridwan, 2005, 265.

39

pencapaiannya dalam belajar matematika, mereka juga berusaha

menunjukkan sikap-sikap yang positif dalam belajar matematika.

6. Hubungan Sikap Siswa dengan Persepsi Siswa

Sikap merupakan determinan perilaku, karena berkaitan

dengan persepsi, kepribadian, dan motivasi.93

Artinya, sikap

merupakan perwujudan tingkah laku yang dipengaruhi oleh

persepsi, kondisi kepribadian, serta motivasi. Mac Guire,

Fishbein, dan Ajzen meyakini bahwa sikap individu ditentukan

oleh keyakinan (beliefs) yang sudah dimilikinnya. Sebagaimana

diketahui bahwa keyakinan adalah penilaian subjektif yang

dimiliki individu. Penilaian subjektif berkaitan erat dengan

persepsi individu terhadap suatu objek.

Miftah Toha juga menyebutkan bahwa persepsi dipengaruhi

oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal yang mempengaruhi persepsi antara lain:

perasaan, sikap dan kepribadian individu, prasangka, keinginan

atau harapan, perhatian (fokus), proses belajar, keadaan fisik,

gangguan kejiwaan, nilai dan kebutuhan serta minat dan

motivasi. Sedangkan faktor eksternalnya antara lain: latar

belakang keluarga, informasi yang diperoleh, pengetahuan dan

kebutuhan sekitar, intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan

gerak, hal-hal baru dan familiar atau ketidak asingan suatu

objek.94

Penjelasan ini menunjukkan bahwa sikap merupakan

salah satu faktor penentu dalam proses pemersepsian seseorang.

Sikap ini berpengaruh secara langsung yang berasal dari dalam

diri individu sebagai pemersepsi. Pendapat ini juga diperkuat

oleh Robbins yang menyatakan bahwa karakteristik pribadi yang

mempengaruhi persepsi meliputi sikap, kepribadian, motif,

kepentingan, pengalaman masa lalu, dan harapan.

93 Winardi, Op. Cit., hal 211. 94 Miftah Toha, Op. Cit., hal 154.

40