Post on 06-Feb-2018
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori penunjang yang digunakan
dalam penelitian sistem pengenalan karakter plat kendaraan pada citra uji kendaraan,
ringkasan dari hasil penelitian yang sudah dilakukan terkait dengan topik penelitian
ini, dan perbedaan sistem yang akan dibahas dalam penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya.
2.1 Tinjauan Mutakhir
Penelitian “Analisis Sistem Pengenalan Karakter Plat Kendaraan dari Citra
Kendaraan” disusun menggunakan acuan beberapa referensi yang membahas topik
berkaitan dengan pengenalan karakter plat kendaraan. Beberapa referensi yang akan
digunakan sebagai acuan pengembangan penelitian ditentukan berdasarkan topik
terkait penelitian, metode yang digunakan, dan algoritma simulasi yang diterapkan
dalam penelitian tersebut. Hal ini bertujuan untuk menentukan batasan-batasan
masalah yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini. Dalam hal ini penulis
memilih beberapa referensi sebagai acuan penelitian serupa yang menggunakan
arsitektur sistem, metode, dan alur pengembangan yang berbeda satu sama lain.
Uraian singkat referensi tersebut adalah sebagai berikut.
1. PENGENALAN PLAT NOMOR POLISI KENDARAAN BERMOTOR
(Tugas akhir Ottopianus Mellolo, Program Studi Teknik Elektro Politeknik
Manado Jurnal Ilmiah Sains Vol. 12. No. 1, April 2012). Dalam
penelitiannya, ottopianus menggunakan merujuk pada penelitian yang
dilakukan oleh Martinsky dengan judul Algoritmic and Mathematical
Principle of Automatic Number Plate Recognition Systems dengan
JavaANPR perangkat lunak yang digunakan untuk mengenali plat nomor
polisi yang terdapat dalam citra kendaraan (plat dasar putih/terang tulisan
hitam/gelap) untuk mendeksi karakter plat kendaraan. Ottorpianus
7
menggunakan Hough transform untuk mendeteksi plat dari kendaraan dan
juga thresholding untuk membuat input citra tersebut menjadi hitam dan putih
2. Segmentasi Plat Nomor Kendaraan Dengan Menggunakan Metode Run-
Length Smearing Algorithm (RLSA) (Tugas Akhir Liliana, Universitas
Kristen Petra)
Dalam penelitian Liana, membahas tentang pengembangan aplikasi
menggunakan metode run-lengths mearing untuk mencari lokasi plat nomor
kendaraaan. Pada penelitian ini menggunakan warna biru pada citra uji sebagai
pengganti grayscale untuk memudahkan pengenalanan pada plat nomor
kendaraan di Indonesia yang cenderung berwarna gelap yang menyebabkan
proses pencarian posisi tidak bisa dilakukan dengan mengenali warna plat.
Penerapan proses smearing dalam penelitian Liana dilakukan sebanyak tiga kali
dengan melakukan scan line secara vertikal dan horizontal secara bergantian
hingga mendapatkan hasil yang maksimal. Dari penelitian yang dilakukan
dengan citra uji plat kendaraan dengan jarak pengambilan gambar sejauh 2
sampai 2,5 meter , posisi plat kendaraan dapat dikenali dengan baik. Namun
hasil pengenalan posisi plat nomor dalam penelitian ini dipengaruhi oleh
intensitas cahaya dan warna kendaraan saat pengambilan citra uji.
3. Analisis Sistem Pendeteksi Posisi Plat Kendaraan Dari Citra Kendaraan
(IDewa Gede Aditya Pemayun , Jurnal Teknik Elektro Universitas Udayana)
Dalam jurnal Aditya, memaparkan pendeteksian posisi plat kendaraan bermotor
menggunakan teknik pengolahan citra digital dengan menggunakan metode
Transformasi Hough dimana sistem akan mendeteksi garis vertikal maupun
garis horizontal sebagai kandidat sisi plat, kemudian membandingkan masing
masing garis dalam tahap threshoding untuk menemukan pasangan tinggi plat
secara vertikal dan lebar plat secara horizontal. Sistem diharapkan mampu
mendeteksi posisi plat kendaraan dan dapat membedakan objek area plat
dengan objek lainnya dalam citra kendaraan. Untuk hasil simulasi deteksi
8
horizontal menunjukkan keberhasilan 90% dengan 10% tingkat kegagalan.
Simulasi skenario kedua deteksi vertikal mendapatkan tingkat keberhasilan
35% dengan persentase kegagalan yang lebih tinggi sebesar 65%. Skenario
gabungan mendapatkan keberhasilan sistem dalam mendeteksi 20 citra sampel
adalah 95% dengan persentase kegagalan 5%.
2.2 Tanda Nomor Kendaraan Bermotor
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) merupakan salah satu bentuk
identitas kendaraan yang resmi dikeluarkan oleh Kantor Bersama Samsat. Secara fisik
bentuk identitas kendaraaan ini berupa potongan plat aluminium yang memiliki
nomor seri yakni susunan huruf dan angka berbeda pada setiap kendaraan. Identitas
ini dapat pula disebut plat nomor atau nomor polisi (nopol) yang terpasang pada
bagian depan dan belakang kendaraan bermotor. Nomor ini di Indonesia dipadukan
dengan informasi lain mengenai kendaraan bersangkutan, seperti warna, merk, model,
tahun pembuatan, nomor identifikasi kendaraan atau VIN dan tentu saja nama dan
alamat pemilikinya. Semua data ini juga tertera dalam Surat Tanda Nomor Kendaraan
Bermotor (STNK) yang merupakan surat bukti bahwa nomor polisi itu memang
ditetapkan bagi kendaraan tersebut. Selain itu, plat nomor juga diakui secara sah
sebagai bukti bahwa kendaraan tersebut sudah memiliki izin untuk beroperasi di jalan
raya umum, atau juga sebagai bukti pembayaran pajak kendaraan bermotor.
2.2.1 Spesifikasi Teknis Tanda Nomor Kendaraan Bermotor
Tanda nomor kendaraan bermotor di Indonesia berbentuk plat aluminium
dengan cetakan tulisan dua baris. Baris pertama menunjukkan: kode wilayah (huruf),
nomor polisi (angka), dan kode akhir wilayah (huruf) baris kedua menunjukkan bulan
dan tahun masa berlaku.
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) terbuat dari aluminium
denganketebalan satu milimeter dan ukuran untuk kendaraan bermotor roda 2 dan
roda 3 adalah 275 x110 mm,sedangkan untuk kendaraan bermotor roda 4 atau lebih
9
adalah 430 x135 mm. Terdapat lis putih di sekeliling plat yang guna memperjelas
area plat kendaraan. Pada sudut kanan atas dan sudut kiri bawah terdapat tanda
khusus (security mark) cetakan lambang Polisi Lalu Lintas; sedangkan pada sisi
sebelah kanan dan sisi sebelah kiri ada tanda khusus cetakan "DITLANTAS
POLRI"(Direktorat Lalu Lintas Kepolisian RI) yang merupakan hak paten
pembuatanTNKB oleh Polri dan TNI.
Gambar 2.1Penomoran Plat kendaraan Bermotor(Sumber :Anonim. 2013)
2.2.2 Warna Tanda Nomor Kendaraan Bermotor
Warna tanda nomor kendaraan bermotor yang berlaku di Indonesia ditetapkan
sebagai berikut:
1. Kendaraan bermotor bukan umum dan kendaraan bermotor sewa: warna dasar
hitam dengan tulisan berwarna putih.
2. Kendaraan bermotor umum: warna dasar kuning dengan tulisan berwarna
hitam.
3. Kendaraan bermotor milik pemerintah: warna dasar merah dengan tulisan
berwarna putih.
4. Kendaraan bermotor korps diplomatik negara asing: warna dasar putih dengan
tulisan berwarna hitam.
10
5. Kendaraan bermotor staf operasional korps diplomatik negara asing: warna
dasar hitam dengan tulisan berwarna putih dan terdiri dari lima angka dankode
angka negara dicetak lebih kecil dengan format sub-bagian.
6. Kendaraan bermotor untuk transportasi dealer (pengiriman dari perakitan ke
dealer, atau dealer ke dealer): warna dasar putih dengan tulisan berwarna
merah.
2.3 Konsep Dasar Citra
Citra (image) adalah suatu representasi (gambaran), kemiripan, atau imitasi dari
suatu objek. Citra sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik
berupa foto, bersifat analog berupa sinyal-sinyal video seperti gambar pada monitor
televisi, atau bersifat digital yang dapat langsung disimpanpada suatu media
penyimpan (Sutuyo dkk, 2009).
2.3.1 Citra Analog
Citra analog adalah citra yang bersifat kontinu, seperti gambar pada layar
televisi, foto sinar-X, foto yang tercetak di kertas foto, lukisan, pemandangan alam,
hasil CT scan, gambar-gambar yang terekam pada pita kaset, dan lain sebagainya.
Citra analog tidak dapat direpresentasikan dalam komputer sehingga tidak bisa
diproses di komputer secara langsung. Oleh sebab itu, agar citra ini dapat diproses di
komputer, proses konversi analog ke digital harus dilakukan terlebih dahulu. Citra
analog dihasilkan dari alat-alat analog, seperti : video kamera analog, kamera foto
analog, WebCam, CT scan, sensor rontgen untuk foto thorax, sensor gelombang
pendek pada sistem radar, sensor ultrasound pada sistem USG, dan lain-lain.
2.3.2 Citra Digital
Citra digital adalah gambar dua dimensi yang dapat ditampilkan pada layar
monitor komputer sebagai himpunan berhingga (diskrit) nilai digital yang disebut
pixel (picture elements). Pixel adalah elemen citra yang memiliki nilai yang
menunjukkan intensitas warna. Citra digital (diskrit) dihasilkan dari citra analog
11
(kontinu) melalui digitalisasi. Digitalisasi citra analog terdiri atas penerokan
(sampling) dan kuantisasi (quantization). Penerokan adalah pembagian citra ke dalam
elemen-elemen diskrit (pixel), sedangkan kuantisasi adalah pemberian nilai intensitas
warna pada setiap pixel dengan nilai yang berupabilangan bulat (Awcock, 1996).
Banyaknya nilai yang dapat digunakandalam kuantisasi citra bergantung pada
kedalaman pixel, yaitu banyaknya bit yang digunakan untuk merepresentasikan
intensitas warna pixel. Kedalaman pixel sering disebut juga kedalaman warna. Citra
digital yang memiliki kedalaman pixeln-bit disebut juga citra n-bit. Berdasarkan
jenisnya, citra digital dapat dibagi menjadi 3 sebagai berikut (T. Sutuyo dkk, 2009).
1. Citra Biner (Monokrom)Jenis citra yang paling sederhana yang biasa digunakan dalam digital image
processing adalah binaryimage atau citra biner. Binaryimage merupakan citra yang
hanya dapat menampung 2 buah nilai (1 bit) untuk mewakili warna hitam dan putih
dalam setiap pixel-nya.
Gambar 2.2Citra Biner(Sumber :http://digilib.ittelkom.ac.id,2015)
Tiap-tiap pixel dalam citra biner hanya bernilai 0 atau 1 sehingga citra jenis
biner hanya mempunyai 2 warna yaitu hitam dan putih. Jenis citra ini biasanya
digunakan untuk gambar grafik, proses encoding, transmisi fax dan biasa digunakan
dalam beberapa jenis printer.
12
2. Citra Grayscale (skala keabuan)Citra grayscale merupakan citra 1 channel yang nilai setiap pikselnya
merepresentasikan derajat keabuan , intensitas warna putih atau tingkat intensitas
cahaya pada citra tersebut. Nilai intensitas paling rendah merepresentasikan warna
hitam dan nilai intensitas paling tinggi merepresentasikan warna putih. Oleh karena
itu, citra grayscale juga dikenal dengan istilah intensity image. Nilai pixel pada citra
grayscale umumnya memiliki kedalaman pixel 1byte atau 8 bit yang berada pada
rentang nilai 0-255 (256 derajat keabuan) untuk mewakili intensitas cahaya. Citra
grayscale mempunyai beberapa rentang bit yang dijelaskan pada tabel berikut.
Tabel 2.1Rentang bit citra grayscale
Jumlah
ChannelJumlah Bit atau Pixel Range
1 1 0…1
1 8 0…255
1 12 0…4095
1 14 0…16383
1 16 0…65535
(Sumber : http://digilib.ittelkom.ac.id,2015)
3. Citra Berwarna (color image)Citra berwarna merupakan jenis citra yang digunakan untuk gambar berwarna.
Jenis gambar berwarna yang biasa digunakan adalah jenis citra RGB yang terdiri dari
3 warna yaitu (red, green, blue) yang dikombinasikan dengan masing-masing
intensitas berbeda untuk mengisi 1 warna pada setiap pixel-nya. Setiap warna pada
citra RGB adalah warna dasar yang akan menghasilkan warna putih jika ketiga warna
13
tersebut dicampur dengan intensitas maksimum. Citra berwarna direpresentasikan
dalam beberapa kanal (channel) yang menyatakan komponen-komponen warna
penyusunnya. Banyaknya kanal yang digunakan bergantung pada model warna yang
digunakan pada citra tersebut. Umumnya sebuah pixel pada citra RGB terdiri dari 3
channel dimana masing-masing channel akan berisi sebuah warna dengan
intensitasnya masing-masing. Untuk memetakan 1 buah channel atau warna pada
suatu pixel, biasanya diperlukan minimal 8 bit. Oleh karena itu sebuah citra RGB
akan memerlukan minimal 24 bit untuk setiap pixel yang digunakan.
Gambar 2.3 Citra RGB(Sumber : https://www.cs.cmu.edu)
2.4 Pra Pemrosesan Citra Digital
2.4.1 Grayscale
Mengubah citra berwarna menjadi citra grayscale adalah proses awal yang
banyak dilakukan dalam image processing, hal ini dilakukan bertujuan untuk
menyederhanakan model citra. Pada awalnya citra RGB umumnya terdiri dari 3 layer
14
matrik yaitu R-layer, G-layer dan B-layer. Tiga layer ini akan tetap diperhatikan
disetiap proses-proses selanjutnya pada citra tersebut. Bila setiap proses perhitungan
dilakukan menggunakan tiga layer, berarti dilakukan tiga perhitungan yang sama.
Sehingga konsep itu diubah dengan mengubah 3 layer di atas menjadi 1 layer matrik
grayscale dan hasilnya adalah citra grayscale. Citra ini tidak mempunyai elemen
warna seperti citra sebelum diubah, melainkan mempunyai derajat keabuan.
Gambar 2.4 Citra Grayscale(Sumber : http://www.ece.rice.edu)
Untuk mengubah citra berwarna yang mempunyai nilai matrik masing-masing
r, g dan b menjadi citra grayscale dengan nilai s, maka konversi dapat dilakukan
dengan mengambil rata-rata dari nilai r, g dan b sehingga dapat dituliskan menjadi:= + +3Dimana :
s = Nilai derajat keabuan
r = Nilai Red pada suatu nilai RGB
g = Nilai Green pada suatu nilai RGB
14
matrik yaitu R-layer, G-layer dan B-layer. Tiga layer ini akan tetap diperhatikan
disetiap proses-proses selanjutnya pada citra tersebut. Bila setiap proses perhitungan
dilakukan menggunakan tiga layer, berarti dilakukan tiga perhitungan yang sama.
Sehingga konsep itu diubah dengan mengubah 3 layer di atas menjadi 1 layer matrik
grayscale dan hasilnya adalah citra grayscale. Citra ini tidak mempunyai elemen
warna seperti citra sebelum diubah, melainkan mempunyai derajat keabuan.
Gambar 2.4 Citra Grayscale(Sumber : http://www.ece.rice.edu)
Untuk mengubah citra berwarna yang mempunyai nilai matrik masing-masing
r, g dan b menjadi citra grayscale dengan nilai s, maka konversi dapat dilakukan
dengan mengambil rata-rata dari nilai r, g dan b sehingga dapat dituliskan menjadi:= + +3Dimana :
s = Nilai derajat keabuan
r = Nilai Red pada suatu nilai RGB
g = Nilai Green pada suatu nilai RGB
14
matrik yaitu R-layer, G-layer dan B-layer. Tiga layer ini akan tetap diperhatikan
disetiap proses-proses selanjutnya pada citra tersebut. Bila setiap proses perhitungan
dilakukan menggunakan tiga layer, berarti dilakukan tiga perhitungan yang sama.
Sehingga konsep itu diubah dengan mengubah 3 layer di atas menjadi 1 layer matrik
grayscale dan hasilnya adalah citra grayscale. Citra ini tidak mempunyai elemen
warna seperti citra sebelum diubah, melainkan mempunyai derajat keabuan.
Gambar 2.4 Citra Grayscale(Sumber : http://www.ece.rice.edu)
Untuk mengubah citra berwarna yang mempunyai nilai matrik masing-masing
r, g dan b menjadi citra grayscale dengan nilai s, maka konversi dapat dilakukan
dengan mengambil rata-rata dari nilai r, g dan b sehingga dapat dituliskan menjadi:= + +3Dimana :
s = Nilai derajat keabuan
r = Nilai Red pada suatu nilai RGB
g = Nilai Green pada suatu nilai RGB
15
b = Nilai Blue pada suatu nilai RGB
Sesuai dengan paparan diatas, pengubahan citra berwarna menjadi grayscale
dilakukan dengan menggunakan rata-rata nilai grayscale dari setiap layer R, G, dan
B. Dalam penggunaan rata-rata nilai setiap layer dinilai masih belum optimal untuk
menunujukkan citra grayscale sehingga dilakukan pengubahan komposisi sebagai
berikut:
= + ++ +Dengan nilai =0.35, =0.25 dan =0.4 sehingga nilai + + = 1 Fungsi
dari format warna gray ini adalah untuk memudahkan proses selanjutnya. Dengan
format warna gray ini maka dihasilkan nilai R=G=B. ( Sutoyo, T. )
2.4.2 Low Pass Filter
Low pass filter merupakan metode dasar yang banyak digunakan dalam
pengolahan citra digital. Low pass filter digunakan dalam pengolahan citra digital
untuk menghaluskan citra. Suatu citra umumnya mengandung gangguan (derau
/noise) yang mengganggu kualitas citra. Derau dapat ditimbulkan dari proses
pengolahan yang tidak sesuai maupun dari gangguan fisis (optik) pada alat yang
memberikan konribusi derau pada citra. Derau dapat dikurangi dengan menggunakan
low pass filter sehingga citra menjadi lebih halus. ( Pitas, Loannis )
Low pass filter juga biasa disebut dengan filter blurring atau
filtersmoothingdengan menghitung nilai rata-rata perubahan yang mencolok pada
suatu piksel dengan 8 piksel tetangganya. Nilai rata-rata yang didapatkan akan
menggantikan nilai piksel sebelumnya. Citra yang telah melewati low pass filter akan
terlihat lebih blur dibandingkan sebelum low pass filter.
16
2.4.3 Edge Detection
Tepian sebuah citra memuat informasi penting dari citra dan dapat
merepresentasikan objek-objek yang terdapat dalam citra, baik informasi bentuk
objek, ukuran objek, bahkan dapat merepresntasikan tekstur objek dalam citra. Tepian
citra adalah posisi dimana intensitas piksel dari citra berubah dari nilai rendah ke nilai
tinggi atau sebaliknya (Putra, 2010). Deteksi tepi (Edge detection) adalah operasi
yang dijalankan untuk mendeteksi garistepi (edges) yang membatasi dua wilayah
citra homogen yang memiliki tingkat kecerahan yang berbeda (Pitas, 1993). Deteksi
tepi digunakan untuk mendeteksi seluruh edge atau garis-garis dalam citra yang
membentuk objek gambar. Deteksi tepi dapat mendeteksi bagian bagian garis tersebut
sehingga garis akan terlihat lebih jelas. Pengenalanan tepi penting digunakan dalam
pengolahan citra digital guna meningkatkan garis batas suatu daerah atau obyek atau
menghasilkan tepi-tepi dari obyek-obyek citra yang bertujuan untuk menandai bagian
tertentu pada citra dan untuk memperbaiki detail dari citra yang kabur, yang terjadi
karena error atau adanya efek dariproses akuisisi citra. Pelacakan tepi merupakan
operasi untuk menemukan perubahan intensitas lokal yang berbeda dalam sebuah
citra (Prasetyo, 2011, Gonzales, 2002). Gradien adalah hasil pengukuran perubahan
dalam sebuah fungsi intensitas, dan sebuah citra dapat dipandang sebagai kumpulan
beberapa fungsi intensitas kontinyu sebuah citra. Perubahan mendadak pada nilai
intensitas dalam suatu citra dapat dilacak menggunakan perkiraan diskrit pada
gradien. Gradien disini adalah kesamaan dua dimensi dari turunan pertama dan
didefinisikan sebagai vektor (Gonzales, 2002). Seperti yang di tunjukan pada gambar
2.5 berikut :
17
Gambar 2.5 Proses Deteksi Tepi
Suatu titik (x,y) dikatakan sebagai tepi (edge) dari suatu citra bila titik tersebut
mempunyai perbedaan yang tinggi dengan tetangganya. Tepi merupakan perubahan
nilai intensitas derajat keabuan yang tinggi dalam jarak yang singkat. Ada beberapa
operator deteksi tepi yang umum digunakan yaitu:
1. Operator Robert
Operator Roberts merupakan operator deteksi tepi awal yang sederhana dan
memiliki tingkat komputasi yang cepat. Operator Roberts menggunakan turunan
order pertama yang umumnya digunakan untuk citra grayscale. Operator ini dapat
digambarkan dengan dua bentuk matriks ukuran 2x2 yang memiliki nilai
berkebalikan sepanjang arah sumbu seperti berikut ini. (Darma Putra, 2010)
DifferensialArah Vertikal
DifferensialArah Horizontal
Citra Awal
+
/ /
18
= 1 00 −1= 0 1−1 0
Gambar 2.6 Deteksi tepi Roberts(a) Citra asli, (b) Operator Roberts Gx T=0.05, (c) Operator Roberts GyT=0.05
(Sumber: Darma Putra, 2010)
2. Operator Prewitt
Operator Prewitt diperkenalkan oleh Prewitt pada tahun 1970. Operator ini
merupakan operator yang dikembangkan guna mendapatkan nilai yang lebih stabil,
dilakukan dengan cara mengkondisikan nilai rata-rata dalam operator Roberts.
Operator Prewitt dikembangkan dengan nilai matriks baru dalam tiga bentuk baris
atau kolom seperti berikut. (Darma Putra, 2010)
= −1 −1 −10 0 01 1 1= −1 0 11 0 1−1 0 1
19
3. Operator Sobel
Operator Sobel merupakan operator yang lebih sensitif dengan tepian diagonal.
Operator ini merupakan pengembangan dari metode Robert dengan menggunakan
filter HPF yang diberi satu angka nol penyangga. Kelebihan dari metode ini dapat
mengurangi noise sebelum melakukan perhitungan deteksi tepi. Operator ini
terbentuk dari matriks 3x3 seperti matriks (Darma Putra, 2010)
= −1 −2 −10 0 01 2 1= −1 0 12 0 2−1 0 1
Gambar 2.7Deteksi tepi Sobel(a) Citra asli, (b) Operator Sobel horizontal T=0.05, (c) Operator Sobel vertikal T=0.05
(Sumber: Darma Putra, 2010)
4. Operator Canny
Deteksi tepi canny merupakan salah satu deteksi tepi yang populer, kuat, dan
efektif dalam rangka menghasilkan citra tepian (Marquest, 2011). Menurut Putra
(2010), dalam buku Pengolahan Citra Digital ada beberapa langkah yang harus
dilakukan untuk menggunakan deteksi tepi canny adalah sebagai berikut.
20
a. Langkah pertama diawali dengan menerapkan tapis Gaussian untuk
menghilangkan derau yang terkandung pada citra. Proses Gaussian filter ini
akan menghasilkan citra yang lebih halus dan tampak kabur dibandingkan
dengan citra sebelum ditapis. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan citra
yang sebenarnya. Bila tidak dilakukan maka garis-garis halus juga akan
terdeteksi sebagai tepian.
b. Melakukan pengenalanan tepi dengan salah satu operator deteksi tepi seperti
Roberts, Prewitt, atau Sobel dengan melakukan pencarian secara horizontal
(Gx) dan secara vertikal (Gy). (Darma Putra, 2010) Berikut ini salah satu
contoh operator deteksi tepi (Operator Sobel):−1 0 1−2 0 2−1 0 1 1 2 10 0 0−1 −2 −1Hasil dari kedua operator digabungkan untuk mendapatkan hasil gabungan tepi
vertikal dan horizontal dengan rumus:| | = | | +c. Menentukan Arah tepian yang ditemukan dengan menggunakan rumus:
=selanjutnya membagi ke dalam 4 warna sehingga garis dengan arah yang
berbeda memiliki warna yang berbeda. Pembagiannya adalah derajat 0 – 22,5
dan 157,5 – 180 berwarna kuning, derajat 22,5 – 67,5 berwarna hijau, dan
derajat67,5 – 157,5 berwarna merah.Berikut ini adalah bagan pembagian warna
berdasarkan arah tepian yang dilakukan oleh Canny:
21
Gambar 2.8 Derajat arah tepian warna Canny(Sumber: http://dasl.mem.drexel.edu)
d. Setelah mendapatkan derajat warna arah tepian citra, dilanjutkan dengan
menerapkan nonmaximum suppression untuk memperkecil garis tepi yang
muncul sehingga dapat menghasilkan garis tepian yang lebih tipis pada citra
keluaran.
e. Langkah terakhir yang wajib dilakukan dalam penerapan deteksi tepi canny
adalah binerisasi dengan menerapkan dua buah thresholding
Berikut ini salah satu contoh citra yang diproses menggunakan operator deteksi
tepi Canny.
Gambar 2.9 Deteksi tepi Canny(a) Citra asli, (b) Citra HasilT=0.05
(Sumber: Darma Putra, 2010)
22
2.5 Transformasi Hough
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, transformasi merupakan perubahan
struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain baik dari bentuk sifat maupun
fungsinya dengan cara menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya.
Dalam hal ini transformasi menyangkut proses pengolahan citra sehingga sebuah citra
yang ditransformasikan merupakan suatu proses perubahan citra. Transformasi citra
bertujuan untuk mendapatkan informasi (feature extration) yang lebih jelas yang
terkandung dalam suatu citra. Ada berbagai metode transformasi yang telah
ditemukan dalam ilmu pengolahan citra salah satunya adalah transformasi hough.
Transformasi hough awalnya diperkenalkan oleh Paul Hough pada tahun 1962.
Pada awal diperkenalkan, transformasi hough digunakan untuk mendeteksi garis lurus
pada citra. Transformasi hough merupakan teknik transformasi citra yang dapat
digunakan untuk mengisolasi suatu objek pada citra dengan menemukan batas-
batasnya (boundarydetection)(Putra, 2010).Gagasan dari transformasi hough adalah
membuat persamaan dari suatu piksel dan mempertimbangkan semua pasangan yang
memenuhi persamaan ini. Semua pasangan ditempatkan pada suatu larik akumulator,
yang disebut larik transformasi (McAndrew, 2004).
Suatu proses transformasi dilakukan untuk mendapatkan suatu fitur yang lebih
spesifik. Sehingga teknik yang paling umum digunakan untuk mendeteksi objek
yang berbentuk kurva seperti garis, lingkaran, elips, dan parabola salah satunya
adalah classical hough transform. Konsep dasar dari transformasi hough adalah
menemukan garis dan kurva pada suatu citra yang tak terhitung jumlahnya melewati
banyak titik dalam berbagai ukuran dan orientasi dalam citra tersebut. Keuntungan
utama dari Transformasi Hough adalah dapat mendeteksi sebuah tepian dengan celah
pada batas fitur dan secara relatif tidak dipengaruhi oleh derau atau noise
(Putra,2010). Transformasi hough menggunakan bentuk parametrik dan
mengestimasi nilai parameter dengan menggunakan mekanisme pemungutan suara
terbanyak atau voting dalam menentukan nilai parameter yang tepat. Dalam
23
transformasi hough, beberapa garis yang berpotongan pada suatu titik dalam sebuah
citra bila ditransformasikan ke ruang parameter − , akan mendapatkan sebuah
garis lurus yang dapat dinyatakan sebagai berikut.= +Sebaliknya jika garis lurus dalam cebuah citra ditransformasikan ke ruang
parameter − , akan diperoleh beberapa garis yang berpotongan dalam suatu titik
dalam ruang parameter − . Namun, seiring dengan berkembangnya pengolahan
citra dengan menggunakan transformasi hough, apabila ditemui sebuah garis vertikal,
maka akan terjadi masalah dalam penghitungannya dikarenakan garis vertikal
mempunyai nilai gradien kemiringan yang besarnya tak berhingga ∞. Sehingga
digunakan beberapa rumus yang dapat diterapkan dalam Transformasi Hough sesuai
dengan bentuk objek yang di analisis seperti objek garis, lingkaran, elips, dan lain
sebagainya.
Gambar 2.10Transformasi domain citra ke domain hough(Sumber:http://northstar-www.dartmouth.edu)
Penerapan transformasi hough untuk mencari objek garis dapat didefinisikan
untuk fungsi A(x,y) dengan A(x,y), setiap titik (x,y) dalam gambar asli, A, dapat di
rumuskan menjadi: = cos + sin
24
dimana adalah jarak tegak lurus dari asal garis pada sudut yang akan dibatasi
untuk 0< <π yang dapat menghasilkan nilai negatif.
Dalam transformasi hough titik-titik yang terletak pada satu baris atau garis
yang sama dalam citra akan menghasilkan garis sinusoid yang berpotongan di satu
titik pada domain hough. Begitu juga sebaliknya untuk invers transformasi (back
projection) setiap titik dalam domain hough akan berubah menjadi garis lurus pada
domain citra.
2.6 Metode Histogram
Histogram citra merupakan salah satu bentuk representasi grafis karakteristik
spektral citra yang bersangkutan. Dengan histogram analisis citra dapat memahami
citra yang dipelajari misalnya aspek kecerahan dan ketajamannya. Dari histogram
juga kadang-kadang dapat diduga jenis saluran spektral citra yang digunakan.
Perubahan atas distribusi nilai pada citra secara langsung berakibat pada perubahan
tampilan histogram. Sebaliknya, dengan memainkan bentuk histogramnya banyak
program pengolah citra secara interaktif mampu mengubah tampilan citranya.
Dengan kata lain, perangkat lunak pengolah citra kadang-kadang menggunakan
histogram sebagai jembatan komunikasi antara pengguna dengan data citra. (Projo,
2002).
Histogram citra dipresentasikan dengan dua bentuk: pertama tabel yang
memuat kolom-kolom nilai piksel jumlah absolut setiap nilai piksel, jumlah komulatif
piksel, presentase absolut setiap nilai, dan presentase komulatifnya; kedua, gambaran
grafis yang menunjukkan nilai piksel pada sumbu x dan frekuensi kemunculan pada
sumbu y. Melalui gambaran grafis histogram ini, secara umum dapat diketahui sifat-
sifat citra yang diwakilinya. Misalnya citra yang direkam dengan spectrum
gelombang relatif pendek akan menghasilkan “ bukit tunggal “ histogram yang
sempit (unimodal) wilayah yang memuat tubuh air agak luas akan menghasilkan
kenampakan histogram dengan dua puncak, apabila direkam pada spektrum
25
inframerah dekat (bi-modal). Histogram unimodal yang sempit biasanya kurang
mampu menyajikan kenampakan obyek secara tajam, sedangkan histogram yang
gemuk (lebar) relatif lebih tajam dibandingkan yang sempit.
Penajaman kontras citra melalui histogram dapat dilakukan dengan dua
macam cara yaitu perentangan kontras dan ekualisasi histogram. Perentangan kontras
merupakan upaya mempertajam kenampakan citra dengan merentang nilai
maksimmum dan nilai minimum citra. Kompresi citra justru sebaliknya dilakukan
dengan memampatkan histogram yaitu menggeser nilai minimum ke nilai minimum
baru yang lebih tinggi dan menggeser nilai maksimum ke nilai maksimum baru yang
lebih rendah sehingga histogramnya menjadi lebih “langsing”. Berbeda halnya
dengan perentangan kontras yang bersifat linier, ekualisasi histogram merupakan
upaya penajaman secara non- linier yang menata kembali distribusi nilai piksel citra
dalam bentuk histogram ke bentuk histogram yang baru, dimana dapat terjadi
penggabungan beberapa nilai menjadi nilai baru dengan frekuensi kemunculan yang
baru pula. Untuk penajaman citra sendiri meliputi semua operasi yang menghasilkan
citra baru dengan kenampakan visual dan karakteristik visual yang berbeda (Projo,
1996). Citra baru disini maksudnya adalah citra dengan kenampakan yang lebih
bagus dibanding dengan citra aslinya.
2.7 Metode Euclidean Distance
Euclidean distance adalah perhitungan jarak dari 2 buah titik dalam Euclidean
space. Euclidean space diperkenalkan oleh Euclid, seorang matematikawan dari
Yunani sekitar tahun 300 B.C.E. untuk mempelajari hubungan antara sudut dan jarak.
Euclidean ini berkaitan dengan Teorema Phytagoras dan biasanya diterapkan pada 1,
2 dan 3 dimensi. Tapi juga sederhana jika diterapkan pada dimensi yang lebih tinggi.
( anugraha, 2013 )
26
Semisal ingin menghitung jarak Euclidean 1 dimensi. Titik pertama adalah 4,
titik kedua adalah -10. Caranya adalah kurangkan -10 dengan 4. sehingga
menghasilkan -14. Cari nilai absolut dari nilai -14 dengan cara mempangkatkannya
sehingga mendapat nilai 196. Kemudian diakarkan sehingga mendapatkan nilai 14.
Sehingga jarak euclidean dari 2 titik tersebut adalah 14. ( Anugraha, 2013 )
Gambar 2.11 Koordinat jarak euclidean 2 dimensi
Pada 2 dimensi caranya hampir sama. Misalkan titik pertama mempunyai
kordinat (1,2). Titik kedua ada di kordinat (5,5). Caranya adalah kurangkan setiap
kordinat titik kedua dengan titik yang pertama. Yaitu, (5-1,5-2) sehingga menjadi
(4,3). Kemudian pangkatkan masing-masing sehingga memperoleh (16,9). Kemudian
tambahkan semuanya sehingga memperoleh nilai 16+9 = 25. Hasil ini kemudian
diakarkan menjadi 5. Sehingga jarak euclideannya adalah 5. Berikut rumus dasar dari
euclidean :
27
2.8 Principal Component Analysis ( PCA )
PCA adalah sebuah transformasi linier yang biasa digunakan pada kompresi
data. PCA juga merupakan teknik yang umum digunakan untuk menarik fitur-fitur
dari data pada sebuah skala berdimensi tinggi. PCA memproyeksikan data ke dalam
subspace. PCA adalah transformasi linear untuk menentukan sistem koordinat yang
baru dari data. Teknik PCA dapat mengurangi dimensi dari data tanpa menghilangkan
informasi penting dari data tersebut.
Tujuan dari PCA adalah mencari basis yang baru untuk merepresentasikan
ulang data tersebut ke dalam m variable hasil proyeksi data ke m-dimensi. Dimana m
lebih kecil dari n. Dengan berkurangnya jumlah dimensi dari data input, maka proses
pencocokan data akan berkurang dari n kali setiap pencocokan menjadi m kali.
Banyaknya dimensi data ditentukan oleh besarnya resolusi image. Hal ini
menyebabkan dimensi data menjadi sangat besar. Semakin besarnya dimensi data
menyebabkan waktu pencocokan per data semakin besar juga.