Post on 25-Jun-2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu fungsi hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau konflik,
disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa
sosial . Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik
antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam
hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik
yang bersifat netral dan tidak memihak .
Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh
masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan
hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya
bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang
mengalami konflik, seri ngkali bersifat diskriminatif , memihak kepada yang kuat
dan berkuasa.
Seiring dengan runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, masyarakat yang
tertindas oleh hukum bergerak mencari keadilan yang seharusnya mereka peroleh
sejak dahulu. Namun kadang usaha mereka dilakukan tidak melalui jalur hukum.
Misalnya penyerobotan tanah di Tapos dan di daerah-daerah persengketaan tanah
yang lain, konflik perburuhan yang mengakibatkan perusakan di sejumlah pabrik,
dan sebagainya Pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai
alat penyelesaian konflik dirasakan perlunya untuk mewujudkan ketertiban
masyarakat Indonesia, yang oleh karena euphoria “reformasi” menjadi tidak
terkendali dan cenderung menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.
1
B. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberi Hukum sebagai dewa
penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka
yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari
keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, sering kali
bersifat diskriminatif , memihak kepada yang kuat dan berkuasa. penjelasan
mengenai Permasalahan yang timbul berkaitan dengan tatanan praktik penegakan
hukum di indonesia dalam mengungkap kasus yang terjadi dipengadilan atau
masyarakat. memberikan suatu pembelajaran bagi kita semua dalam penegakan
hukum.
2
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori
Penegakan hukum menjadi tugas dan tanggung jawab seluruh komponen bangsa
yg berdasarkan hukum (Rechtstaat), tugas dan tanggung jawab masyarakat,
lembaga kepolisian, kejaksaan, peradilan dan lembaga-lembaga advokasi.
Harapan seluruh masyarakat yang mendambakan keadilan terwujud di Indonesia
maka penegakan hukum yg adil dan menjamin kepastian hukum harus tidak boleh
tidak untuk diwujudkan oleh lembaga-lembaga / instansi yang berkaitan dengan
penegakan hukum agar berperan aktif dengan menjunjung tinggi keadilan
masyarakat (Kapita selekta penegakan hukum di Indonesia, Prestasi Pustaka,
2006, Cet I, hal 133).
Peningkatan kinerja lembaga peradilan dan institusi penegak hukum lainnya yang
disertai semangat untuk tetap menjaga kejujuran dan keadilan dalam
pelaksanaannya. Didalam membicarakan peradilan senantiasa berada pada domain
aturan perundangundangan, sehingga peradilan dilihat sebagai komunitas yang
tampak tertib dan teratur karena hanya menampilkan bagian depannya (Frontside).
Sedangkan bagian belakang Peradilan maupun lembaga penegak hukum lainnya
tidak diamati. Artinya apa yang terjadi dibalik proses pemeriksaan di kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan tidak terjangkau oleh pengamatan (Ibid, hal. 134).
Bagian penting dalam penegakan hukum adalah peranan dari penegak hukum
untuk mencermati kasus posisi dengan segala kaitannya termasuk juga pihak-
pihak yang terkait dengan kasus itu, membutuhkan kecermatan yang terkait
dengan perundangundangan yang dilanggar, sejauh mana pelanggaran itu. Dalam
melaksanakan itu perlu penafsiran (interpretasi) yang mendalam maka perlu
dedikasi, kejujuran dan kinerja yangtinggi. Penafsiran yang mendukung terwujud
3
keadilan masyarakat yaitu : Gramatikal, Historis, Filosofis dll. Dalam
pelaksanaannya aparatur penegak hukum lebih bertumpu pada penafsiran
gramatikal yang mengacu pada rumusan aturan perundang-undangan.Padahal
dengan penafsiran gramatikal itu saja, tidak cukup mendukung terwujud
keadilandan penegakan hukum yang proporsional serta adil, tetapi harus didukung
penafsiranyang lainnya misal penafsiran filosofis, mengapa seseorang melakukan/
tidak melakukan atau menerima sesuatu. Dengan penafsiran gramatikal dapat
dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana. Tetapi dengan penafsiran filosofis
misalnya, mengapa mengambil sesuatu mungkin karena kelaparan, sangat
terpaksa dan yang diambil nilainya kecil sekali, sehingga dengan penafsiran
filosofis tersebut mungkin akan dapat melepaskan orang tersebut dari jeratan
hukum.
4
BAB III
ISI
A. Pembahasan
Permasalahan Hukum
Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem
peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi
kekuasaan, maupun perlindungan hukum . Diantara banyaknya permasalahan
tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah
adanya inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan
hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun
lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun
inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media
elektronik maupun cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat,
orang kaya, dan sebagainya).
Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam
peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat
berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan
lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak
berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu
saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang
dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan
penumpangnya berpangkat lebih tinggi.
5
Contoh peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor
kelas kakap dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara pencuri
ayam bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata.
Tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998 ternyata tidak disertai dengan reformasi
di bidang hukum. Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa
keadilan masyarakat tetap terasakan dari hari ke hari.
Beberapa Kasus Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia
Kasus-kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa
hal. Penulis mengelompokkannya berdasarkan beberapa alasan yang banyak
ditemui oleh masyarakat awam, baik melalui pengalaman pencari keadilan itu
sendiri, maupun peristiwa lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan
elektronik.1. Tingkat Kekayaan Seseorang Salah satu keputusan kontroversial
yang terjadi pada bulan Februari ini adalah jatuhnya putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus korupsi proyek pemetaan dan
pemotretan areal hutan antara Departemen Hutan dan PT Mapindo Parama,
Mohammad “Bob” Hasan . PN Jakpus menjatuhkan hukuman dua tahun penjara
potong masa tahanan dan menetapkan terpidana tetap dalam status tahanan rumah.
Putusan ini menimbulkan rasa ketidakadilan masyarakat, karena untuk kasus
korupsi yang merugikan negara puluhan milyar rupiah, Bob Hasan yang sudah
berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan rumah. Proses pengadilan
pun relatif berjalan dengan cepat. Demikian pula yang terjadi dengan kasus Bank
Bali, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus Texmaco, dan kasus-
kasus korupsi milyaran rupiah lainnya. Dibandingkan dengan kasus pencurian
kecil, perampokan bersenjata, korupsi yang merugikan negara “hanya” sekian
puluh juta rupiah, putusan kasus Bob Hasan sama sekali tidak sebanding.
Masyarakat dengan mudah melihat bahwa kekayaanlah yang menyebabkan Bob
Hasan lolos dari hukuman penjara. Kemampuannya menyewa pengacara tangguh
dengan tarif mahal yang dapat mementahkan dakwaan kejaksaan, hanya dimiliki
oleh orang-orang dengan tingkat kekayaan tinggi. Kita bisa membandingkan
dengan kasus Tasiran yang memperjuangkan tanah garapannya sejak tahun 1985 .
6
Tasiran, seorang petani sederhana, yang terlibat konflik tanah seluas 1000 meter
persegi warisan ayahnya, dijatuhi hukuman kurungan tiga bulan dengan masa
percobaan enam bulan pada tanggal 2 April 1986, karena terbukti mencangkuli
tanah sengketa. Karena mengulang perbuatannya pada masa percobaan, Tasiran
kembali masuk penjara pada bulan Agustus 1986. Sekeluarnya dari penjara,
Tasiran berkelana mencari keadilan dengan mondar-mandir Bojonegoro-Jakarta
lebih dari 100 kali dengan mendatangi Mahkamah Agung, Mabes Polri,
Kejaksaan Agung, Mabes Polri, DPR/MPR, Bina Graha, Istana Merdeka, dan
sebagainya. Pada tahun 1996 ia kembali memperoleh keputusan yang
mengalahkan dirinya.
2. Tingkat Jabatan Seseorang
Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding ke luar negeri (Australia,
Jepang, dan Afrika Selatan) yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD
DKI Komisi D. Dalam studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat
memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari
anggaran DPRD DKI sebesar 5.2 milyar rupiah dan uang saku dari PT
Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah. Dalam kasus ini,
sembilan orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai tindakan administratif,
semenara Kepala Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota
DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun.Dalam kasus ini, terlihat
penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media cetak dan elektronik
menemukan ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding tersebut.
Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah
tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat
terusik tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan. Pihak
kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus ini sampai ke
pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai komisaris PT
Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab. Sampai makalah ini dibuat,
janji untuk menyidik pejabat-pejabat DKI ini belum terlaksana.
7
3. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok, anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat
(KASAD), Jendral (TNI) Subagyo HS, diperingan hukumannya oleh mahkamah
militer dari empat tahun penjara menjadi dua tahun penjara . Disamping itu,
terdakwa juga dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil
menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah militer tinggi. Putusan ini
terasa tidak adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang
terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika.
Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum
militer yang diterapkan pada kasus narkoba.
Tommy Soeharto, anak mantan presiden Soeharto, yang dihukum 18 bulan
penjara karena kasus manipulasi tukar gling tanah Bulog di Kelapa Gading dan
merugikan negara sebesar 96 milyar rupiah, sampai saat ini tidak berhasil
ditangkap dan dimasukkan ke LP Cipinang sesuai perintah pengadilan setelah
permohonan grasinya ditolak oleh presiden. Masyarakat melihat bagaimana pihak
pengacara, kejaksaan, dan kepolisian saling berkomentar melalui media cetak dan
elektronik, namun sampai saat makalah ini dibuat Tommy Soeharto masih
berkeliaran di udara bebas. Dua kasus ini mengesankan adanya diskriminasi
hukum bagi keluarga bekas pejabat.
4. Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi pada tanggal 6 September
2000, yang menewaskan tiga orang staf UNHCR mendapatkan perhatian
internasional dengan cepat. Dimulai dengan keluarnya Resolusi No. 1319 dari
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB), surat dari Direktur
Bank Dunia kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk segera menyelesaikan
permasalahan tersebut, permintaan DK PBB untuk mengirim misi penyelidik
kasus Atambua ke Indonesia, desakan CGI (Consultatif Group on Indonesia),
sampai dengan ancaman embargo oleh Amerika Serikat. Tekanan internasional ini
8
mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak, dengan segera melucuti
persenjataan milisi
Timor Timur dan mengadili beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang
dianggap bertanggung jawab.
Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di bagian lain di
Indonesia, misalnya : Ambon, Aceh,
Sambas, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus yang mengalami penyelesaian
secara cepat dan tanggap dari aparat.
Dalam enam bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi
berhasil dilucuti, dan situasi kembali aman dan normal. Meskipun ada perhatian
internasional dalam kasus-kasus kekerasan lain di Indonesia, namun tekanan yang
terjadi tidak sebesar pada kasus Atambua. Dalam pandangan masyarakat, derajat
tekanan internasional menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum
dalam mengatasi kasus kekerasan.Beberapa Akibat Inkonsistensi Penegakan
Hukum di Indonesia Inkonsistensi penegakan hukum di atas berlangsung terus
menerus selama puluhan tahun. Masyarakat sudah terbiasa melihat bagaimana law
in action berbeda dengan law in the book. Masyarakat bersikap apatis bila mereka
tidak tersangkut paut dengan satu masalah yang terjadi. Apabila melihat
penodongan di jalan umum, jarang terjadi masyarakat membantu korban atau
melaporkan pelaku kepada aparat. Namun bila mereka sendiri tersangkut dalam
suatu masalah, tidak jarang mereka memanfaatkan inkonsistensi penegakan
hukum ini. Beberapa contoh kasus berikut ini menunjukkan bagaimana perilaku
masyarakat menyesuaikan diri dengan pola inkonsistensi penegakan hukum di
Indonesia.
1. Ketidakpercayaan Masyarakat pada Hukum
Masyarakat meyakini bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka,dan sedapat
mungkin dihindari. Bila seseorang melanggar peraturan lalu lintas misalnya, maka
9
sudah jamak dilakukan upaya “damai” dengan petugas polisi yang bersangkutan
agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan . Memang dalam hukum perdata,
dikenal pilihan penyelesaian masalah dengan arbitrase atau mediasi di luar jalur
pengadilan untuk menghemat waktu dan biaya. Namun tidak demikian hal nya
dengan hukum pidana yang hanya menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di
Indonesia, bahkan persoalan pidana pun masyarakat mempunyai pilihan diluar
pengadilan. Pendapat umum menempatkan hakim pada posisi “tertuduh” dalam
lemahnya penegakan hukum di Indonesia, namun demikian peranan pengacara,
jaksa penuntut dan polisi sebagai penyidik dalam hal ini juga penting. Suatu
dakwaan yang sangat lemah dan tidak cermat, didukung dengan argumentasi asal-
asalan, yang berasal dari hasil penyelidikan yang tidak akurat dari pihak
kepolisian, tentu saja akan mempersulit hakim dalam memutuskan suatu perkara.
Kelemahan penyidikan dan penyusunan dakwaan ini kadang bukan disebabkan
rendahnya kemampuan aparat maupun ketiadaan sarana pendukung, tapi lebih
banyak disebabkan oleh lemahnya mental aparat itu sendiri. Beberapa kasus
menunjukkan aparat memang tidak berniat untuk melanjutkan perkara yang
bersangkutan ke pengadilan atas persetujuan dengan pihak pengacara dan
terdakwa, oleh karena itu dakwaan disusun secara sembarangan dan sengaja untuk
mudah dipatahkan. Beberapa kasus pengadilan yang memutus bebas terdakwa
kasus korupsi yang menyangkut pengusaha besar dan kroni mantan presiden
Soeharto menunjukkan hal ini. Terdakwa terbukti bebas karena dakwaan yang
lemah.
2. Penyelesaian Konflik dengan Kekerasan
Penyelesaian konflik dengan kekerasan terjadi secara sporadis di beberapa tempat
di Indonesia. Suatu persoalan pelanggaran hukum kecil kadang membawa akibat
hukuman yang sangat berat bagi pelakunya yang diterima tanpa melalui proses
pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan pencuri sepeda motor, perampok,
penodong yang dilakukan massa beberapa waktu yang lalu merupakan contoh.
Menurut Durkheim masyarakat ini menerapkan hukum yang bersifat menekan
(repressive). Masyarakat menerapkan sanksi tersebut tidak atas pertimbangan
10
rasional mengenai jumlah kerugian obyektif yang menimpa masyarakat itu,
melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang muncul karena tindakan yang
menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran kepada pelaku dan
juga pada memberi peringatan anggota masyarakat yang lain agar tidak
melakukan tindakan pelanggaran yang sama. Pada beberapa kasus yang lain,
masyarakat menggunakan kelompoknya untuk menyelesaikan konflik yang
terjadi. Mulai dari skala “kecil” seperti kasus Matraman yang melibatkan warga
Palmeriam dan Berland, kasus tawuran pelajar, sampai dengan kasus-kasus besar
seperti Ambon, Sambas, Sampit, dan sebagainya. Pada kasus Sampit, misalnya,
konflik antara etnis Dayak dan Madura yang terjadi karena ketidakadilan ekonomi
tidak dibawa dalam jalur hukum, melainkan
diselesaikan melalui tindakan kelompok. Dalam hal ini, kebenaran menurut
hukum tidak dianut sama sekali, masing-masing kelompok menggunakan norma
dan hukumnya dalam menentukan kebenaran serta sanksi bagi pelaku yang
melanggar hukum menurut versinya tersebut. Tidak diperlukan adanya
argumentasi dan pembelaan bagi si terdakwa. Suatu kesalahan yang berdasarkan
keputusan kelompok tertentu, segera divonis menurut aturan kelompok tersebut.
3. Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi
Dalam beberapa kasus yang berhasil ditemukan oleh media cetak, terbukti adanya
kasus korupsi dan kolusi yang melibatkan baik polisi, kejaksaan, maupun hakim
dalam suatu perkara. Kasus ini biasanya melibatkan pengacara yang menjadi
perantara antara terdakwa dan aparat penegak hukum. Fungsi pengacara yang
seharusnya berada di kutub memperjuangkan keadilan bagi terdakwa , berubah
menjadi pencari kebebasan dan keputusan seringan mungkin dengan segala cara
bagi kliennya. Sementara posisi polisi dan jaksa yang seharusnya berada di kutub
yang menjaga adanya kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa.
Demikian pula hakim yang seharusnya berada ditengah-tengah dua kutub tersebut,
kutub keadilan dan kepastian hukum, bisa jadi condong membebaskan atau
memberikan putusan seringan-ringannya bagi terdakwa setelah melalui
11
kesepakatan tertentu. Dengan skenario diatas, lengkaplah sandiwara pengadilan
yang seharusnya mencari kebenaran dan penyelesaian masalah menjadi suatu
pertunjukan yang telah diatur untuk membebaskan terdakwa. Dan karena
menyangkut uang, hanya orang kaya lah yang dapat menikmati keadaan
inkonsistensi penegakan hukum ini. Sementara orang miskin (atau yang relatif
lebih miskin) akan putusan pengadilan yang lebih tinggi.
4. Penggunaan Tekanan Asing dalam Proses Peradilan
Campur tangan asing bagaikan pisau bermata dua. Disatu pihak tekanan asing
dapat membawa berkah bagi pencari keadilan dengan dipercepatnya penyidikan
dan penegakan hukum oleh aparat. Lembaga asing non pemerintah biasanya aktif
melakukan tekanan-tekanan semaam ini, misalnya dalam pengusutan kasus
pembunuhan di Aceh, tragedi Ambon, Sambas, dan sebagainyaNamun di lain
pihak tekanan asing kadang juga memberi mimpi buruk pula bagi masyarakat.
Beberapa perusahaan asing yang terkena kasus pencemaran lingkungan, gugatan
tanah oleh masyarakat adat setempat, serta sengketa perburuhan, kadang
menggunakan negara induknya untuk melakukan pendekatan dan tekanan
terhadap pemerintah Indonesia agar tercapai kesepakatan yang menguntungkan
kepentingan mereka, tanpa membiarkan hukum untuk menyelesaikannnya secara
mandiri. Tekanan tersebut dapat berupa ancaman embargo, penggagalan
penanaman modal, penghentian dukungan politik, dan sebagainya. Kesemuanya
untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam proses hukum yang sedang atau
akan dijalaninya.
Prioritas Penegakan Hukum
Inkonsistensi penegakan hukum merupakan masalah penting yang harus segera
ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa
dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat
yang buruk mengenai penegakan hukum, menggiring masyarakat pada pola
kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian
konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka di luar
12
jalur. Cara ini membawa akibat buruk bagi masyarakat itu sendiri.Pemanfaatan
inkonsistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya
sendiri, selalu berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai kemampuan
yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di
masyarakat Indonesia.Penegakan hukum yang konsisten harus terus diupayakan
untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.
Melihat penyebab inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia, maka prioritas
perbaikan harus dilakukan pada aparat, baik polisi, jaksa, hakim, maupun
pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan.
Tanpa perbaikan kinerja dan moral aparat, maka segala bentuk kolusi, korupsi,
dan nepotisme akan terus berpengaruh dalam
proses penegakan hukum di Indonesia.Selain perbaikan kinerja aparat, materi
hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki. Kasus tidak adanya
perundangan yang dapat menjerat para terdakwa kasus korupsi, diharapkan tidak
akan muncul lagi dengan adanya undang-undang yang lebih tegas. Selain
mengharapkan peran DPR sebagai lembaga legistatif untuk lebih aktif dalam
memperbaiki dan menciptakan perundang-undang yang lebih sesuai dengan
perkembangan jaman, diharapkan pula peran dan kontrol publik baik melalui
perorangan, media massa, maupun lembaga swadaya masyarakat. Peningkatan
kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam penegakan hukum
secara konsisten.
Reformasi yang telah berlangsung sejak tahun 1998 harus diakui telah melahirkan
sejumlah perubahan instrumental, meski diakui juga bahwa perubahan tersebut
masih banyak kelemahannya. Banyaknya kelemahan tersebut karena reformasi
tidak punya paradigma dan visi yang jelas alias hanya tambal sulam, contohnya
reformasi peradilan yang terwadahi dalam empat paket undang-undang yang
berkaitan dengan peradilan hanya lebih banyak memfokuskan pada peradilan satu
atap (Beny K. Harman).
13
Gambaran yang disampaikan oleh Beny K.Harman dan Satjipto tersebut bisa
menjadi gambaran bagi kita semua dalam melihat wajah reformasi hukum
Indonesia. Benar bahwa saat ini telah banyak aturan hukum yang mendorong
kearah reformasi sebagaimana tuntutan masyarakat. Benar bahwa sudah banyak
lembaga yang memiliki peran untuk memperbaiki sistem peradilan kita, sebut saja
misalnya lahirnya KPK, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian,
dan Timtastipikor.
Ekspektasi masyarakat terhadap lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan
baru dan lembaga baru tersebut sangat tinggi. Tetapi ekspektasi masyarakat
seringkali tidak sejalan dengan realitas yang ada. Kita sering mendengar banyak
tersangka koruptor tetapi akhirnya masyarakat juga kurang puas dengan putusan
akhirnya. Mengapa sering terjadi hakim membebaskan terdakwa atau setidak-
tidaknya hukumannya sangat ringan. Apakah sedemikian tajam perbedaan
pemahaman fakta hukum di persidangan antara hakim dan Jaksa. Argumentasi
hukum apa yang mereka pergunakan, adakah paradigma legalistik-posifistik
semata yang dipergunakan ataukah ada unsur lain yang ikut mempengaruhi -
adalah deretan pertanyaan publik yang belum ada akhirnya.
Lembaga peradilan sebagai institusi yang memiliki kekuasaan yang besar dalam
menentukan arah penegakan hukum berada dalam posisi yang sentral dan selalu
menjadi pusat perhatian masyarakat. Sayangnya kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga peradilan belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Bagaimana
seharusnya agenda reformasi hukum khususnya pemberantasan korupsi
dilakukan?
Seorang tokoh reformis China yang hidup sekitar abad 11 mengemukakan, ada
dua unsur yang selalu muncul dalam pembicaraan masalah korupsi yaitu hukum
yang lemah dan manusia yang tidak benar. Tidak mungkin menciptakan aparat
yang bersih hanya semata-mata mendasarkan rule of law sebagai kekuatan
pengontrol (social control). Ia berkesimpulan dalam memberantas korupsi
14
dibutuhkan penguasa yang punya moral tinggi dan hukum yang rasional serta
efisien (Mujahid:2000)
Dalam sejarahnya "upaya" pemberantasan korupsi sudah berlangsung sejak tahun
1958, yakni dengan lahirnya berbagai institusi dan peraturan perundang-undangan
yang ditujukan untuk memberantas korupsi, akan tetapi korupsi di Indonesia
selalu saja menempati urutan yang tinggi .
Seiring dengan tuntutan reformasi yang tuntutan paling penting adalah reformasi
dibidang hukum, yang bermuara pada tuntutan agar pemberantasan korupsi,
kolusi dan nepotisme yang sudah mewabah di Indonesia dapat dilakukan. Puncak
dari tuntutan tersebut melahirkan instrumen hukum dalam rangka memberantas
korupsi yang terlihat pada Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara
Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tap MPR
tersebut telah dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada
dibawahnya dan terakhir adalah lahirnya UU No.30/2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan berbagai instrumen hukum lain yang
diarahkan untuk penegakan hukum. Harus diakui kenyataannya sampai saat ini
berbagai instrumen hukum yang ada belum menunjukkan hasil yang maksimal
dalam pemberantasan korupsi. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan Negara
semata, akan tetapi telah melanggar hak asasi manusia dalam bidang sosial dan
ekonomi. Kejahatan korupsi yang dikategorikan sebagai suatu kejahatan yang luar
biasa (Extra Ordinary Crime) - penanganannya harus dilakukan dengan cara yang
luar biasa dalam bingkai due process of law, tidak dilakukan dengan cara
konvensional. Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan hanya mendasarkan
instrumen hukum yang ada, akan tetapi harus didukung oleh kemauan politik yang
kuat dari semua cabang kekuasaan Negara (eksekeutif, legislatife dan yudikatif).
Tidak dapat dipungkiri korupsi terjadi berkaitan erat dengan penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power) oleh kekuatan politik seperti ungkapan Lord Acton
power tend to corrupt and absolutely power tends to corrupt absolutely. Dengan
adanya intstrumen hukum yang sudah memadai saat ini, mestinya pemberantasaan
KKN relatif lebih mudah. Hanya saja penyelesaiannya sangat tergantung pada
15
political will. Pemberantasan korupsi hanya akan tercapai manakala kekuasaan
politik dan penegak hukum dipegang oleh orang yang punya integritas dan
keberanian. Berbagai kasus yang melibatkan pejabat publik yang tidak jelas
ujungnya tidak saja melecehkan hukum akan tetapi menghina rasa keadilan
masyarakat. Karena itu setiap aparat penegak hukum harus memiliki komitmen
yang sama untuk memberantas korupsi, meminjam intilah Satjipto ketika seorang
aparat penegak hukum menangani kasus korupsi dia tidak boleh datang dengan
netral tetapi harus datang predesposisi tertentu dengan semangat untuk
memberantas korupsi. Dengan demikian penegakan hukum akan menyentuh
kepastian dan keadilan bagi masyarakat.
Menurut Satjipto rahardjo, sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi
bentuk yang menjadikannya formal dan procedural, maka sejak itu pula muncul
perbedaan antara keadilan formal atau keadilan menurut hukum disatu pihak dan
keadilan sejati atau keadilan substansial di pihak lain. Dengan adanya dua macam
dimensi keadilan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya
hukum itu ternyata dapat digunakan untuk menyimpangi keadilan subsatansial.
Penggunaan hukum yang demikian itu tidak berarti melakukan pelanggaran
hukum, melainkan semata-mata menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan
untuk tujuan lain selain mencapai keadilan. Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto
Raharjo, SH., progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa
manusia dasarnya adalah baik, memiliki kasih saying serta kepedulian terhadap
sesama sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam
masyarakat. Namun apabila dramaturgi hukum menjadi buruk seperti selam ini
terjadi di Negara kita, yang menjadi sasaran adalah para aparat penegak
hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan advokat. Meskipun, apabila kita berfikir
jernih dan berkesinambungan, tidak sepenuhnya mereka dipersalahkan dan
didudukan sebagai satu-satunya terdakwa atas rusaknya wibawa hukum di
Indonesia.
Berfikir secara progresif, menurut Satjipto Raharjo berarti harus berani keluar dari
mainstream pemikiran absolutisme hukum, kemudianmenempatkan hukum dalam
16
posisi yang relative. Dalam hal ini, hukum harus diletakkan dalam keseluruhan
persoalan kemanusian. Bekerja berdasarkan pola pikir yang determinan hukum
memang per;uj. Namun itu bukanlah suatu yang mutlak dilakukan manakala para
ahli hukum berhadapan dengan suatu masalah yang jika menggunakan logika
hukum modern akan menciderai posisi kemanusiaan dan kebenaran. Bekerja
berdasarkan pola pikir hukum yang progresif (paradigma hukum progresif),
barang tentu berbeda dengan paradigma hukum positivistis-praktis yang selama
ini diajarkan di perguruan tinggi. Paradigma hukum progresif melihat faktor
utama dalam hukum adalah manusua itu sendiri. Sebaliknya paradigma hukum
peositivistis meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh
dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif
berfikir bahwa justru hukum bolehlah dimarjinalkan untuk mencdukung
eksistensialitas kemanusian, kebenaran dan keadilan.
Hukum progresif mengingatkan, bahwa dinamika hukum tidak kunjung berhenti,
oleh karena hukum terus menerus berada pada status membangun diri, dengan
demikian terjadinya perubahan social dengan didukung oleh social engineering by
law yang terencana akan mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum progresif
yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Untuk itu, perlu mendapatkan
kehidupan hukum yang berada.
Rumah Tahanan atau Lembaga Permasyarakatan seharusnya menjadi momok
yang menakutkan bagi seseorang untuk atau yang akan melakukan tindak
kejahatan. Rumah tahanan atau Lembaga Permasyarakatan memliki andil yang
besar bagi terwujudnya perdamaian dan ketentraman bagi rakyat dimana
seseorang yang melakukan tindak kejahatan diharapkan jera dan sadar akan
kesalahannya dan tidak akan melakukan tindakan tersebut. Namun yang terjadi
justru sebaliknya, temuan Satgas pada Rumah Tahanan Pondok Bambu tersebut
membuktikan semua yang dituduhkan selama ini kepada Lembaga
Permasyarakatan kita. Dimana penjara yang identik dengan kengerian berubah
menjadi tempat hunian eksklusif sekelas hotel berbintang 5. Mengapa demikian?
17
Apa yang terjadi dengan penegak hukum kita? Dimana moral mereka sebagai
penegak hukum?
Dalam kacamata hukum, penegakan hukum itu melandaskan pada prinsip-prinsip
The Rule of Law, yaitu menempatkan semua orang/ tersangka/ terdakwa sama
sederajat di depan hukum (Equal Before the Law), menempatkan semua orang
memiliki perlindungan yang sama di depan hukum (Equal Protection On the
Law), dan menempatkan semua orang memiliki keadilan yang sama di bawah
hukum (Equal Justice Under the Law). Prinsip-prinsip tersebut nampaknya belum
berjalan dengan baik di negara kita. Apabila dihubungkan dengan kasus
ditemukannya ruangan super mewah untuk sekelas Lembaga Permasyarakatan
atau rumah Tahanan, hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip The
Rule of Law. Seorang artalita yang notabene seorang terpidana seharusnya
diperlakukan sama derajatnya dengan terpidana yang lain sesuai pinsip Equal
Before the Law. Penegak hukum kita dalam hal ini Kepala LP/ Rumah Tahanan,
seharusnya tahu akan hal itu. Lagi-lagi sepertinya masalah uanglah yang
menjadikan gelap mata dan gelap hati para penegak hukum kita. Kemudian kita
lihat bahwa prinsip Equal Protection On the Law tidak berjalan dalam penegakan
hukum kita. Diberikannya ruangan super mewah menjadikan perlindungan hukum
yang semua orang seharusnya mendapatkan perlindungan yang sama menjadi
timpang dimana uang dan kekuasaan masih menjadi kekuatan utama dalam
melemahkan penegakan hukum kita. Kemudian yang terakhir adalah sesuai
prinsip Equal Justice Under the Law, dimana semua orang memiliki keadilan yang
sama di bawah hukum. Namun, dengan adanya kasus tersebut artinya tidak semua
orang diberikan keadilan yang sama di depan hukum. Artinya selama penegak
hukum kita masih kalah dengan kekuatan politik yang kotor, uang dan kekuasaan
maka cita-cita negara Indonesia tidak akan tercapai. Perlu dipertanyakan kembali
bagaimana komitmen dan integritas penegak hukum kita sebagai ujung tombak
penegakan hukum di IndonesiaSecara konsepsional, maka inti dan arti penegakan
hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan
18
di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai
rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1979).
Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga
dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan
esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas
penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas
lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan
masyarakat Indonesia.
1. Undang-undang
Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum
dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah (Purbacaraka &
Soerjono Soekanto, 1979).
Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang
tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif.
Asas-asas tersebut antara lain (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979):
1. Undang-undang tidak berlaku surut.
2. Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,
3. mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
19
4. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang
bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
5. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yan
berlaku terdahulu.
6. Undang-undang tidak dapat diganggu guat.
7. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan
spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun
pembaharuan (inovasi).
2. Penegak Hukum
penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya
mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan
sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat
diterima oleh mereka.
Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang
seharusnya dari golngan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan
tersebut, adalah:
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain
dengan siapa dia berinteraksi.
2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit
sekali untuk membuat proyeksi.
4. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu,
terutama kebutuhan material.
5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap-
sikap, sebagai berikut:
1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.
2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang
ada pada saat itu.
3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.
20
4. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai
pendiriannya.
5. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu
urutan.
6. Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.
7. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.8. Percaya pada
kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan
kesejahteraan umat manusia.
9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri
dan ihak lain.
10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran
dan perhitingan yang mantap.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan
hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain,
mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik,
peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.Sarana atau
fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa
adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum
menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya
untuk sarana atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut
(Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983):
1. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul.
2. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan.
3. Yang kurang-ditambah.
4. Yang macet-dilancarkan.
5. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu,
21
maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat
Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan
bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum
sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum
senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan(system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari
hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa
yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga
dihindari). Pasanagn nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut
( Purbacaraka & Soerjono soekantu):
1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.
Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan hukum
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Penegakan hukum yang bertanggungjawab (akuntabel) dapat diartikan sebagai
suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan
kepada publik, bangsa dan negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian
hukum dalam sistem hukum yang berlaku, juga berkaitan dengan kemanfaatan
hukum dan keadilan bagi masyarakat. Proses penegakan hukum memang tidak
dapat dipisahkan dengan sistem hukum itu sendiri. Sedang sistem hukum dapat
diartikan merupakan bagian-bagian proses / tahapan yang saling bergantung yang
harus dijalankan serta dipatuhi oleh Penegak Hukum dan Masyarakat yang
menuju pada tegaknya kepastian hukum.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat
memprihatinkan, di samping itu anehnya masyarakatpun tidak pernah jera untuk
terus melanggar hukum, sehingga masyarakat sudah sangat terlatih bagaimana
mengatasinya jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya,
apakah itu bentuk pelanggaran lalu-lintas, atau melakukan delik-delik umum, atau
melakukan tindak pidana korupsi, tidak menjadi masalah. Sebagian besar
22
masyarakat kita telah terlatih benar bagaimana mempengaruhi proses hukum yang
berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukumannya. Kenyataan ini merupakan
salah satu indikator buruknya law enforcement di negeri ini.
Sekalipun tidak komprehensif perlu ada angkah-langkah untuk membangun
sistem penegakan hukum yang akuntabel, antara lain : 1). Perlunya
penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan
perundang-undangan yang ada, sebagai contoh, perlunya ditindaklanjuti dengan
mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dari UU No.4 tahun 2004 terutama yang
mengatur tentang pemberian sanksi pidana bagi pelanggar KUHAP, khususnya
bagi mereka, yang ditangkap, ditahan,dituntut, atau diadili tanpa berdasarkan
hukum yang jelas, atau karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan
sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 9 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman ; 2) Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Penegak Hukum baik dari segi moralitas dan intelektualitasnya, karena tidak
sedikit Penegak Hukum yang ada saat ini, tidak paham betul idealisme hukum
yang sedang ditegakkannya ;
3). Dibentuknya suatu lembaga yang independen oleh Pemerintah dimana para
anggotanya terdiri dari unsur-unsur masyarakat luas yang cerdas (non Hakim
aktif, Jaksa aktif dan Polisi aktif) yang bertujuan mengawasi proses penegakan
hukum ( law enforcemen’ ) dimana lembaga tersebut nantinya berwenang
merekomendasikan agar diberikannya sanksi bagi para penegak hukum yang
melanggar moralitas hukum dan / atau melanggar proses penegakan hukum
[ vide : pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman , Jo. pasal 17 Jo psl. 3 ayat (2 ) dan (3) Jo. Psl.18 ayat (1) dan (4) UU
No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) ] ; 4) Perlu dilakukannya
standarisasi dan pemberian tambahan kesejahteraan yang memadai khususnya
bagi Penegak Hukum yang digaji yaitu : Hakim, Jaksa dan Polisi ( Non Advokat )
agar profesionalisme mereka sebagai bagian terbesar penegak hukum di Indonesia
dalam kerjanya lebih fokus menegakkan hukum sesuai dari tujuan hukum itu
sendiri ;.
23
5) Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif
kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi asas hukum yang mengatakan bahwa
; “ setiap masyarakat dianggap tahu hukum ”, sekalipun produk hukum tersebut
baru saja disahkan dan diundangkan serta diumumkan dalam Berita Negara.
Disini peran Lembaga Bantuan Hukum atau LBH-LBH dan LSM-LSM atau
lembaga yang sejenis sangat diperlukan terutama dalam melakukan “advokasi”
agar hukum dan peraturan perundang-undangan dapat benar-benar
disosialisasikan dan dipatuhi oleh semua komponen yang ada di negeri ini demi
tercapainya tujuan hukum itu sendiri ;.
6). Membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang
konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan
diprakarsai oleh “Catur Wangsa” atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim,
Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut dapat dicontoh dan
diikuti pula oleh seluruh lapisan masyarakat ;
Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum
yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari
Pemerintahan yang bersih (‘clean government’), karena penegakan hukum (‘law
enforcement’) adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Pemerintahan
negara ( ‘lapuissance de executrice’) harus menjamin kemandirian institusi
penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi “Kejaksaan” dan
“Kepolisian” karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum
merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi
tata-prilaku masyarakat indonesia yang sadar dan patuh pada hukum dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegakan hukum yang akuntabel
merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum (
‘rechtsstaat’ ). Di samping itu rakyat harus diberitahu kriteria / ukuran yang
dijadikan dasar untuk menilai suatu penegakan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik guna menciptakan budaya kontrol dari
masyarakat, tanpa itu penegakan hukum yang baik di Indonesia hanya ada di
Republik Mimpi
Krisis Penegakan Hukum di Indonesia
24
Orang dapat menganggap lain atas istilah krisis penegakan hukum itu dan
memberi tekanan pada faktor-faktor yang telah menentukan isi sesungguhnya dari
hukum. Namun untuk mencapai supremasi hukum yang kita harapkan bukan
faktor hukumnya saja, namun faktor aparat penegak hukum juga sangat
berpengaruh dalam mewujudkan supremasi hukum walaupun tidak itu saja. Orang
mulai tidak percaya terhadap hukum dan proses hukum ketika hukum itu sendiri
masih belum dapat memberikan keadilan dan perlindungan bagi masyarakat.
Pengadilan sebagai institusi pencari keadilan sampai saat ini belum dapat
memberikan rasa puas bagi masyaralat bawah. Buktinya para koruptor milyaran
bahkan triliunan rupiah masih berkeliaran dialam bebas, bolak-balik keluar negeri,
hiburan kemana saja bisa dilakukan. Padahal mereka jelas-jelas korup uang
negara. Bahkan ada yang sudah di putus dengan hukuman penjara pun masih bisa
melakukan aktivitas sehari-harinya. Sedangkan kalau kita lihat ke bawah pencuri,
jambret, perampok kecil-kecilan yang terpaksa mereka lakukan untuk memenuhi
kebutuhan dan mempertahankan hidupnya harus dihajar dan dianiaya dalam
proses penyidikan dikepolisian. Dan memang ini adalah merupakan kejahatan dan
melanggar hukum, tetapi kalau dibandingkan dengan para koruptor (penjahat kera
putih) yang hanya dapat dilakukan orang diatas dapat begitu saja lepas dari jeratan
hukum. Dan ini adalah faktor aparat penegak hukumnya yang belum mampu
menegakan supremasi hukum. Kepolisian sebagai aparat yang berhubungan
langsung dengan masyarakat dan mempunyai tugas sebagai pelindung dan
pengayom, menjadi tugas yang disampingkannya. Polisi ditingkat sektor terutama,
dengan uang tebusan dari keluarga seorang penjahat atau yang sudah mempunyai
status tersangka bisa keluar dan tidak diproses sesuai dengan hukum yang berlaku,
padahal sebenarnya sudah sangat jalas didalam KUHAP, yang nota bene hukum
produk manusia ini menekankan bahwa perkara pidana adalah perkara yang tidak
mengenal Winwin solution , seperti dalam perkara perdata. Dalam contoh di atas
membuktikan ketidak profesional atau polisi yang hanya mencari duit lewat
pemerasan saja. Bukti tersebut banyak sekali penulis dapat memberikan fakta.
Kasus serupa tidak hanya dilakukan oleh pihak kepolisian saja tetapi di tingkat
pengadilan pun ada, seperti dalam kasus asuransi jiwa manulaif, ketidak
25
profesionalan polisi dan hakim ini disebabkan karena moral dan pendidikannya
yang tidak baik. Kesalahan moral tidak seperti kesalahan seperti salah tendang
dalam permainan sepak bola atau salah tamplek dalam bulu tangkis tetapi
kesalahan moral adalah kesalahan dari hati yang paling dalam/luhur dan di
pertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Memanglah sulit untuk
mencari orang yang mempunyai moral yang baik sekarang ini, mungkin
disebabkan kerena keadaan ekonominya. tetapi penulis mempunyai gagasan
bahwa moral akan terbentuk dengan berdasarkan Agama sebagi keyakinan bukan
Ilmu, jadi berprilaku secara agama dan berfikir secara ilmu, dari segi pendidikan
para aparat penegak hukum sekarang ini juga belum menunjukkan kepintarannya,
penulis mempunyai gagasan bahwa untuk memperbaiki aparat penegak hukum di
Indonesia khususnya hakin dan jaksa, perlulah bangsa ini mempunyai lembaga/
konstitusi yang jelas berdasarkan aturan yang jelas pula. Kekecewaan atau ketidak
puasan pencari keadilan dapat kita lihat dalam setiap kasus yang masuk dan
diproses didalam pengadilan (kasus Perdata) atau banyaknya para pihak yang
berperkara di pengadilan yang setelah diputus oleh hakim pengadilan tingkat
pertama, melakukan upaya hukum, (banding, kasasi, peninjauan kembali) ini
membuktikan bahwa setiap keputusan di pengadilan belum dapat memberikan
rasa adil dan puas. Dan walaupun memang setiap orang berhak untuk melakukan
upaya hukum sesuai peraturan yang berlaku.
26
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi, Kesimpulannya, pertanggungjawaban penegakan hukum di indonesia
ditentukan berdasarkan pada asas keadilan dan manfaat. Penegakan hukum
menjadi tugas dan tanggung jawab seluruh komponen bangsa yg berdasarkan
hukum (Rechtstaat), tugas dan tanggung jawab masyarakat, lembaga kepolisian,
kejaksaan, peradilan dan lembaga-lembaga advokasi. peranan dari penegak
hukum untuk mencermati kasus posisi dengan segala kaitannya termasuk juga
pihak-pihak yang terkait dengan kasus itu, membutuhkan kecermatan yang terkait
dengan perundangundangan yang dilanggar, sejauh mana pelanggaran itu
B. Saran
Harapan penulis adalah mendambakan keadilan terwujud di Indonesia maka
penegakan hukum yg adil dan menjamin kepastian hukum harus tidak boleh tidak
untuk diwujudkan oleh lembaga-lembaga / instansi yang berkaitan dengan
penegakan hukum agar berperan aktif dengan menjunjung tinggi keadilan
27
masyarakat Peningkatan kinerja lembaga peradilan dan institusi penegak hukum
lainnya yang disertai semangat untuk tetap menjaga kejujuran dan keadilan dalam
pelaksanaannya
28