Post on 16-Jul-2019
1
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Polemik terkait kewenangan perhitungan kerugian keuangan negara dalam
penanganan kasus korupsi masih terus bergulir, meskipun telah diterbitkannya
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25
Januari 2017 yang menyatakan, frasa kata "dapat" dalam rumusan Pasal 2 dan
Pasal 3 Undang-undang No 31/1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana
Korupsi juncto UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan konstitusi sehingga
"tidak mengikatnya" kata "dapat" menjadikan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor
menjadi delik materiil.
Terlepas dari polemik di atas, putusan-putusan MK terkait pembaruan hukum
pidana yang salah satunya membahas kewenangan perhitungan kerugian
keuangan negara dalam kasus korupsi memang menimbulkan pro dan kontra.
Namun, dibalik semua perdebatan tersebut, upaya pemberantasan korupsi tetap
harus didukung oleh semua elemen masyarakat.
B. MAKSUD & TUJUAN
Maksud:
Diskusi ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif
terkait dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya
menyangkut efektivitas dan efisiensi kewenangan lembaga audit dalam
perhitungan dan penetapan kerugian keuangan negara. Selain itu, diskusi ini juga
bertujuan untuk mendalami landasan filosofis dan yuridis atas Putusan MK serta
arah kebijakan politik parlemen dalam menyikapi polemik Putusan MK tersebut.
Tujuan:
• Memberikan pemahaman yang komprehensif terkait dengan upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya menyangkut efektivitas
dan efisiensi kewenangan lembaga audit dalam perhitungan dan
penetapan kerugian keuangan negara.
2
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
Dengan adanya putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 yang menyatakan
diperlukannya perhitungan kerugian negara oleh BPK terlebih dahulu
sebelum KPK dapat menangkap dan menetapkan seseorang sebagai
tersangka. Maka kemudian muncul pertanyaan manakah yang lebih
efisien dalam pengoptimalan pengembalian keuangan negara. Apakah
lebih efektif ketika KPK dapat menangkap seseorang dan menyatakan
sebagai tersangka tanpa harus menunggu hasil perhitungan kerugian
negara dari BPK/BPKP ataukah KPK harus menunggu hasil perhitungan
kerugian negara dari BPK/BPKP.
• Mendalami landasan filosofis dan yuridis atas Putusan MK.
• Sebagai bahan pertimbangan arah kebijakan politik parlemen dalam
menyikapi polemik Putusan MK tersebut.
C. TEMPAT, WAKTU DAN NARA SUMBER
Kegiatan workshop yang dimaksud akan dilaksanakan pada:
Hari/Tanggal : Kamis, 16 Februari 2017
Waktu : Pukul 09.00 – selesai
Tempat : Ruang MKD, Gedung DPR RI
Peserta : (daftar peserta terlampir)
Moderator : Drs. Helmizar
(Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara)
Narasumber :
- K. Johnson Rajagukguk, S.H., M.Hum. (Kepala Badan
Keahlian DPR RI)
- Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si (Anggota Komisi III DPR RI)
“Arah Kebijakan Politik Parlemen Dalam Menyikapi Polemik
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016”
- Supriyono Hadi, S.H., M.Si.(Kasubdit. Kepaniteraan Kerugian
Negara Daerah, BPK RI) dan Tri Heriadi, S.H., M.M. (Kadit.
Konsultasi Hukum Keuangan Negara, BPK RI) “Efektivitas dan
Efisiensi Kewenangan BPK Dalam Perhitungan dan Penetapan
Kerugian Keuangan Negara”.
3
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
PROSES KEGIATAN
4
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
A. RINGKASAN DAN PROSES KEGIATAN
Diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016
tanggal 25 Januari 2017 memunculkan polemik terkait siapa yang memiliki
kewenangan perhitungan kerugian keuangan negara dalam penanganan kasus
korupsi.
• Pada dasarnya, berdasarkan amanat UUD 1945 Pasal 23E dan Undang –
Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK, menyatakan bahwa
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara
diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri,
yakni BPK.
• Lebih lanjut, pasal 6 Undang – Undang No. 30 Tahun 2002 tentang
KPK dan Keppres No. 103 tahun 2001 menyebutkan bahwa BPKP
diperbolehkan menghitung dan mengaudit kerugian negara.
• Sebelumnya, MK dalam putusan No. 31/PUU-X/2012 tanggal 23
Oktober 2012, menegaskan bahwa dalam rangka pembuktian suatu
tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bukan
hanya dapat berkoordinasi dengan BPK dan BPKP, melainkan dapat
juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan
sendiri diluar temuan BPK dan BPKP. Artinya, ada tidaknya
perhitungan kerugian negara oleh auditor tidak menjadi tolak ukur (KPK
dapat membuktikan sendiri), atau serta merta dapat
menggugurkan/membatalkan kasus tipikor yang telah diputus oleh
pengadilan.
• Kemudian, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-
XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 mengabulkan gugatan pemohon
untuk menghapus kata “dapat” rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-
undang No 31/1999 jo. UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, berbunyi :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
...........”
5
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
Setelah Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016, menjadi :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
...........”
• Pemohon beranggapan bahwa frasa kata “dapat” menimbulkan
ketidakpastian penegakan hukum karena dalam praktiknya, penegak
hukum dapat menjerat siapa saja dengan UU Tipikor tanpa adanya
perhitungan kerugian negara yang nyata.
• Secara yuridis, implikasi dari keputusan tersebut adalah bahwa setiap
upaya penegakan hukum tipikor sudah harus memiliki perhitungan
kerugian negara oleh BPK sebelum dilakukan penetapan tersangka.
Notulensi:
Kepala Badan Keahlian DPR RI
• Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bertujuan bukan semata mata
untuk memenjarakan pelaku korupsi tetapi bagaimana mengembalikan
kerugian negara sehingga tujuan penyelenggaraan negara guna
mensejahterakan rakyat dapat tercapai.
• Perdebatan ini muncul setelah ketetapan MK No. 25/PUU-VI/2016 dimana
frase “dapat” dalam pasal 2 dan 3 UU 31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun 2001
dinyatakan bertentangan dengan konsesi yang kemudian menjadikan pasal 2
dan 3 delik materil dan dalam pembuktiannya, maka BPK menjadi pihak
yang ditetapkan untuk menghitung kerugian negara.
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 terhadap
Politik Hukum Penegakan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
oleh Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si (Anggota Komisi III DPR RI)
• Rezim putusan MK tahun 2006 memandang ketentuan Pasal 2 dan 3 UU
Tipikor sebagai delik pidana yang bersifat formil, bahwa perbuatan yang
6
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
akan dituntut di pengadilan bukan hanya perbuatan yang telah
mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara secara
nyata (actual loss), tetapi sekalipun hanya sifat perbuatan tersebut berpotensi
mengakibatkan kerugian negara, maka seseorang dapat dituntut di Pengadilan
asalkan unsur lain dalam Pasal 2 dan 3 dapat dibuktikan di Pengadilan.
• Hal ini jelas berbeda dengan rezim putusan MK tahun 2017 yang memaknai
frasa “dapat” merugikan keuangan negara sebagai suatu unsur yang harus
dibuktikan nyata terjadi (actual loss) untuk dapat naik ke tahap penyidikan.
Hal ini tentunya memiliki implikasi hukum dalam hal pembuktian, dimana
perhitungan jumlah kerugian negara menjadi unsur yang harus dibuktikan
sejak tahap penyelidikan.
• Dengan dikeluarkannya putusan MK rezim 2017, maka menimbulkan
dualisme penafsiran. Hal ini dikarenakan putusan MK bersifat akhir dan
mengikat (final dan binding) sehingga putusan MK rezim 2017 tidak dapat
membatalkan atau menganulir putusan MK sebelumnya selama belum
dilakukannya revisi atas UU Tipikor
• Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi para penegak hukum, polisi,
jaksa, KPK untuk membuktikan semua unsur yang ada dalam Pasal 2 an 3
UU tipikor.
• Langkah awal kebijakan parlemen harus konsisten dengan TAP MPR No.
VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi dan Arah Kebijakan Pemberantasan
dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
• Menurut Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si (2017), jika dibandingkan dengan arah
kebijakan dalam TAP MPR No. VIII Tahun 2001 maka putusan MK rezim
2006 lebih memudahkan dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi
di Indonesia. Tetapi yang perlu diperhatikan bukanlah perihal mudah atau
sulit, melainkan bagaimana konsep pemberantasan korupsi itu berjalan
konstitusional dan tidak melanggar hukum. Hal ini merupakan tantangan
yang perlu diatur dalam merumuskan revisi UU Tipikor ke depan.
Efektivitas dan Efisiensi Kewenangan BPK dalam Perhitungan dan
Penetapan Kerugian Negara
Oleh Tri Heriadi (Kadit. Konsultasi Hukum Keuangan Negara, BPK RI)
&Supriyono Hadi (Kasubdit. Kepanitraan Kerugian Negara Daerah, BPK RI)
7
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
• Distribusi LHP tersebut kepada K/L terbagi menjadi tiga tergantung pada
sifat dari informasi yang diberikan. Bila ada temuan, maka LHP tersebut
terbuka untuk umum dan bisa diakses.
• Bila ada unsur pidana, maka Informasi tersebut dilimpahkan kepada pihak
yang berwenang (Kepolisian, Kejaksaan, KPK) untuk dilakukan
penyelidikan dan BPK dihadirkan sebagai saksi ahli. Lalu, apabila
mengandung rahasia negara informasi tersebut hanya disampaikan terbatas.
• Kewenangan BPK terkait kerugian negara terbatas pada pemberian
keterangan ahli di persidangan, penetapan kerugian, pemantauan
penyelesaian kerugian dan melakukan pemeriksaan investigatif.
• Keterangan ahli yang dapat diberikan BPK harus berdasarkan LHP atau
hasil penilaian kerugian negara yang sudah dihitung.
• Peran strategis BPK dalam pemberantasan korupsi melalui pemeriksaan
atas laporan keuangan tersebut merupakan salah satu bentuk tindakan
preventif.
• Setelah adanya putusan MK No.25/PUU-XIV/2016 yang mengubah
pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 menjadi delik materiil dan Surat Edaran
Mahkamah Agung No.4 Tahun 2016, menjadi tantangan tersendiri bagi
BPK dimana BPK menjadi instansi yang berwenang dalam melakukan
penghitungan kerugian negara atas permintaan Aparat Penegak
Hukum (APH) sebelum APH menetapkan seseorang sebagai tersangka
dalam kasus Tipikor (putusan MK No.25/PUU-XIV/2016) dan juga
sebagai instansi yang berwenang dalam mendeklarasikan kerugian
negara yang telah dihitung oleh BPKP, Inspektorat dan SKPD (SEMA
No. 4 tahun 2016).
• BPK kemudian melakukan laporan investigatif berdasarkan laporan
masyarakat atau penegak hukum untuk dijadikan bahan dalam melakukan
penyidikan dan sebagai bahan bukti penuntutan di pengadilan. Total ada
446 temuan dengan kerugian 44,62 triliun yang sudah diserahkan kepada
penegak hukum dan 420 diantaranya sudah ditindaklanjuti.
8
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
B. KESIMPULAN
Semua keputusan MK bersifat final, tidak bisa saling menganulir antar
putusan. Untuk itu kedepannya, bisa jadi aparat penegak hukum akan
menggunakan semua putusan MK baik putusan rezim 2006 ataupun
putusan MK rezim 2017, meskipun akan menjadi kompleks pada
prakteknya. Untuk masalah penegakan hukum, masalah kembali atau
tidaknya uang negara merupakan masalah strategis, dan hal ini merupakan
domainnya kejaksaan dan KPK. Dalam rapat dengan kejaksaan dan KPK,
DPR juga selalu mempertanyakan bagaimana persoalan pengembalian
uang negara tersebut, karena banyak kritik yang ditujukan kepada KPK
yang mengeluarkan biaya sangat tinggi yaitu senilai Rp 400.000.000,- per
kasus, sementara pengembalian uang negara tidak terlalu besar. Berbeda
dengan kasus yang diselesaikan oleh Kejaksaan, di Kejaksaan
penanganannya lebih efektif dengan anggaran yang lebih rendah.
Sesuai dengan keputusan MK tahun 2017, sudah seharusnya kita lebih
berhati-hati dan mempersiapkan diri dengan tingkat komplikasinya yang
akan datang. Adapun DPR berpendapat bahwa hal ini bukan masuk ke
persoalan politik. Kita seharusnya berpegang kepada putusan MK yang
terakhir sesuai dengan konstitusi kita, karena ini merupakan masalah
penegakan hukum.
Mungkin saja kedua putusan tersebut benar, dan kita harus siap
menghadapinya. Hal yang dapat kita lakukan adalah melakukan evaluasi
lebih lanjut atas putusan terakhir MK, apakah kita akan melakukan revisi
atau amandemen terhadap pasal tersebut. Dalam hal ini, DPR berpendapat
bahwa KPK tidak akan mengindahkan putusan MK yang terakhir, dan kita
akan melihat bagaimana jika KPK tidak mau mengindahkan dan diputuskan
berdasarkan pasal ini, dimana KPK boleh melakukan penyidikan dan
penyelidikan berdasarkan dengan tetap ada frasa “dapat” nya.
9
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
C. JADWAL ACARA DAN PESERTA
Workshop dilaksanakan selama 1 hari dengan susunan acara sebagai berikut:
Hari/
Tanggal Waktu Materi Keterangan
Kamis,
16 Feb 2017
09.00-
09.30
Pembukaan K. Johnson Rajagukguk, S.H.,
M.Hum. (Kepala Badan
Keahlian DPR RI)
09.30-
10.15
Pemaparan
“Arah Kebijakan Politik
Parlemen Dalam
Menyikapi Polemik
Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 25/PUU-
XIV/2016”
Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si
(Anggota Komisi III DPR RI)
10.15-
11.00
“Efektivitas dan Efisiensi
Kewenangan BPK Dalam
Perhitungan dan Penetapan
Kerugian Keuangan
Negara”.
Supriyono Hadi, S.H., M.Si.
(Kasubdit. Kepaniteraan
Kerugian Negara Daerah,
BPK RI)
Tri Heriadi, S.H., M.M.
(Kadit. Konsultasi Hukum
Keuangan Negara, BPK RI)
11.00-
13.00
Diskusi dan Tanya Jawab
Sesi 1
Sesi 2
Peserta workshop berasal dari dalam lingkungan DPR RI, yaitu para Analis,
Tenaga Ahli, Assisten, Staf dan para Pegawai Setjen dan Badan Keahlian
DPR RI.
10
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
D. DOKUMENTASI KEGIATAN
Pembicara dalam workshop BKD kiri ke kanan: Tri Heriadi dan Supriyono Hadi
(BPK); Taufiqulhadi (Anggota DPR RI); K. Johnson Rajagukguk (Kepala
BKD); Helmizar (Kelapa Pusat AKN)
11
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
Forum diskusi Perhitungan dan Penetapan Kerugian Negara
Forum diskusi Perhitungan dan Penetapan Kerugian Negara
12
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
MAKALAH DAN MATERI
NARASUMBER
13
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
IMPLIKASI PUTUSAN MK NO 25/PUU-XIV/2016
TERHADAP POLITIK HUKUM
PENEGAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
Oleh :
Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si. (Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai
Nasdem)
A. Pendahuluan
1. Pada 25 Januari 2017 Pada 25 Januari 2017 MK telah memutuskan
perkara tentang pengujian terhadap UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Tindak Pidana Korupsi (UU TPK) sebagaimana diubah dalam UU No.
20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999
tentang Tindak Pidana Korupsi.
2. Dalam pengujian tersebut, MK diminta oleh para pemohon untuk
menguji konsitusionalitas serta menafsirkan ketentuan Pasal 2 ayat
(1)1 dan Pasal 32 UU TPK, khususnya mengenai frasa “dapat”, dan
frasa “orang lain atau suatu korporasi”.
3. Sebenarnya, secara historis MK juga telah memutus perkara
1 Pasal 2 ayat (1) UU TPK menyebutkan bahwa, Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
2 Pasal 3 UU TPK menyebutkan bahwa, Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
14
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
pengujian yang sama, yaitu terkait dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU
TPK dalam putusannya No. 003/PUU-IV/2006 yang putusannya
dibacakan tanggal 25 Juli 2006.
4. Namun, perbedaan antara putusan MK tahun 2017 dengan putusan
MK tahun 2006 tentang Pengujian Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU
TPK hanyalah perbedaan tentang dasar uji konstitusionalitasnya.
5. Jika pada tahun 2006, MK menguji Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK
berdasarkan 28 D ayat (1) UUD 1945, sedangkan dalam putusan MK
tahun 2017, Para pemohon ingin menguji konstitusionalitas Pasal 2
dan Pasal 3 UU TPK dengan menggunakan Pasal 27 ayat (1), Pasal
28 G ayat (1), 28 I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945.
6. Sekalipun batu uji konstitusionalitasnya berbeda atau norma dalam
UUD 1945 yang digunakan untuk mengujinya berbeda, tetapi secara
substansi maksud yang hendak diuji sama yaitu Pasal 2 dan Pasal 3
dan berimplikasi sama, yaitu keberlakuan dan penafsiran terhadap
keberlakuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK dalam penegakan hukum.
7. Jika pada putusannya pada tahun 2006, MK menyatakan dalam
putusannya, Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK dinyatakan konstitusional
bersyarat, sepanjang ditafsirkan bahwa, unsur kerugian negara
harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun digunakan
sebagai perkiraan (potential loss) ataupun belum terjadi.
8. Dengan perkataan lain, rezim putusan MK Tahun 2006 memahami
dan memaknai frasa dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara dengan pemahaman bahwa, perbuatan yang
akan dituntut di Pengadilan bukan hanya perbuatan tersebut telah
mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara secara nyata (actual loss), tetapi sekalipun hanya sifat
perbutan tersebut berpontensi atau kemungkinan mengakibatkan
kerugian negara (potential loss), maka seseorang dapat dituntut di
Pengadilan asalkan unsur lain dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dapat
dibuktikan di Pengadilan.
9. Artinya bahwa, rezim putusan MK Tahun 2006 memandang
ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK sebagai suatu delik pidana
yang bersifat formil bukan delik materiil.
15
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
10. Hal ini jelas berbeda dengan rezim putusan MK tahun 2017 yang
memaknai frasa dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara sebagai sesuatu unsur yang harus dibuktikan
ada secara nyata (actual loss) sejak proses penyelidikan untuk dapat
naik ke tahap penyidikan. Sehingga dengan demikian, potential loss
(kemungkinan kerugian negara) tidak dapat lagi dijadikan acuan
dalam penegakan hukum tipikor.
11. Oleh karena harus ada kerugian keuangan negara secara nyata sejak
tahap penyelidikan, maka aparat penegak hukum sudah harus
punya bukti perbuatan tersebut telah merugikan keuangan negara
berdasarkan hasil audit investigatif lembaga yang berwenang.
12. Dengan cara pandang yang demikian, maka sebenarnya rezim
putusan MK Tahun 2017, mencoba untuk merubah paradigma
kualifikasi delik formil dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK menjadi
ketentuan delik materiil. Pilihan tersebut tentu mempunya implikasi
hukum yang jelas khususnya dalam pembuktian.
B. Implikasi Putusan MK Tahun 2017
1. Dengan adanya putusan MK Tahun 2017, sesungguhnya menjadikan
aspek kepastian hukum dari Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK semakin
tidak jelas dan mengakibatkan dualisme penafsiran, mengingat pada
tahun 2006 MK juga telah menafsirkan ketentuan tersebut.
2. Mengapa disebut terjadi dualisme penafsiran? Sebab sifat dari putusan
MK adalah tidak dapat membatalkan atau menganulir putusan
sebelumnya, sehingga putusan MK harus dimaknai sama, yaitu
terakhir dan mengikat (final dan binding).
3. Bahayanya, selama tidak ada revisi UU TPK tersebut, para penegak
hukum dapat memilih tafsir rezim putusan MK Tahun 2006 ataukah
rezim putusan MK Tahun 2017.
4. Dengan kata lain, penegak hukum boleh saja memahami Pasal 2 dan
Pasal 3 UU TPK sebagai suatu delik formil dan tidak memerlukan atau
membuktikan kerugian yang nyata (actual loss) dalam proses
penyelidikan dari lembaga yang berwenang selama ada keyakinan
berpotensi merugikan keuangan negara sebagaimana rezim putusan
16
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
MK Tahun 2006.
5. Di lain pihak, penegakan hukum juga boleh saja menerapkan putusan
MK Tahun 2017 dengan pemahaman terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UU
TPK sebagai suatu delik materiil dan mengangap penting dan
menjadikannya syarat adanya kerugian negara secara nyata sejak
tahap penyelidikan kasus tindak pidana korupsi.
6. Di sisi lain, putusan MK Tahun 2017 juga akan lebih rumit dalam
proses penegakan hukum tipikor, sebab harus ada kerugian negara
yang nyata dan pernyataan tersebut harus bersumber pada lembaga
yang berwenang. Permasalahannya adalah lembaga yang berwenang
untuk melakukan audit investigatif ada dua, yaitu BPK dan BPKP.
Bagaimana jika kedua lembaga tersebut berbeda penafsiran? Maka
jelas dugaan tindak pidana korupsi tidak boleh diteruskan ke tahap
penyidikan.
7. Selain itu, implikasi putusan MK tahun 2017 yang menafsirkan Pasal 2
dan Pasal 3 UU TPK sebagai suatu delik materiil, maka penegakan
kasus tindak pidana korupsi tidak lagi ditekankan pada aspek
perbuatannnya, melainkan juga menganggap penting dan lebih
menekankan terhadap adanya akibat yang ditimbulkan. Sehingga
dalam praktik dan berdasarkan beberapa pandangan pakar hukum
pidana, misalnya Prof Moeljatno mengatakan delik-delik pidana yang
bersifat materiil jauh lebih sulit dalam proses pembuktian
dibandingkan dengan jenis kualifikasi delik pidana yang bersifat
formil.
8. Mengapa demikian, karena kualifikasi delik materiil membebankan
kepada penegak hukum, Polisi, Jaksa, KPK untuk membuktikan semua
unsur yang ada dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK.
9. Berbeda halnya dengan pemahaman delik formil dalam rezim putusan
MK tahun 2006 yang menekankan pada perbuatan, sehingga penegak
hukum cukup hanya membuktikan unsur-unsur perbuatan yang
dilarang tanpa membuktikan akibat yang ditimbulkan.
17
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
C. Ideal arah Politik Kebijakan Parlemen Terhadap Polemik Putusan
MK Tahun 2017.
1. Langkah awal kebijakan parlemen harus konsisten dengan TAP MPR
No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi dan Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme.
2. Sebagaimana salah satu poin arah kebijakan pemberantasan KKN yang
harus dijadikan politik hukum pemberantasan KKN adalah,
“mencabut, mengubah, atau mengganti semua peraturan perundang-
undangan serta keputusan- keputusan penyelenggara negara yang
berindikasi melindungi atau memungkinkan terjadinya KKN”. Lantas
pertanyaannya adalah rezim putusan MK yang manakah yang lebih
mengarah pada arah kebijakan TAP MPR tersebut? Apakah putusan
MK Tahun 2006 ataukah putusan MK Tahun 2017?
3. Menurut pandangan saya, jelas putusan MK tahun 2006 lebih
memudahkan dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia. Tetapi yang perlu diperhatikan bukan masalah mudah
ataupun sulit, melainkan bagaimana konsep pemberantasan korupsi
itu berjalan konstitusional dan tidak melanggar hukum yang perlu
diatur dalam revisi UU TPK kedepan.
4. Di sisi lain, penting kiranya kebijakan parlemen kedepan merumuskan
dan menentukan lembaga manakah yang paling berwenang untuk
melakukan audit investigatif terhadap adanya kerugian negara,
sehingga tidak terjadi konflik antar lembaga negara, seperti yang
terjadi saat ini antara BPK dan BPKP yang sering berbeda pendapat
tentang adanya kerugian negara ataukah tidak.
5. Dengan adanya kejelasan lembaga yang berwenang dalam melakukan
audit investigatif sangat menentukan suksesnya dan tidaknya
pemberatasan korupsi pasca putusan MK Tahun 2017 yang lebih
menekankan pada aspek akibat yang dilarang, yaitu adanya unsur
kerugian negara yang nyata.
18
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
MATERI BPK RI
19
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
Oleh:
1. Supriyono Hadi, S.H., M.Si.
Kasudit Kepaniteraan Kerugian Negara
Daerah, BPK RI
2. Tri Heriadi, S.H., M.M.
Kadit Konsultasi Hukum Keuangan Negara,
BPK RI
20
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
21
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
22
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
23
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
24
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
25
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
26
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
27
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
28
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
29
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
30
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
31
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
32
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
33
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |
34
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |