Post on 04-Dec-2015
description
PENCEMARAN AIR LAUT AKIBAT TUMPAHAN MINYAK DAN DAMPAKNYA TERHADAP MANUSIA
MAKALAH ILMU LINGKUNGAN
Oleh
Nurul Mufitdhah
NIM 151820401003
PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2015
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangLaut merupakan suatu ekosistem yang kaya akan sumber daya alam termasuk
keanekaragaman sumber daya hayati yang dimanfaatkan untuk manusia.
Sebagaimana diketahui bahwa 70% permukaan bumi didominasi oleh perairan
atau lautan. Kehidupan manusia di bumi ini sangat bergantung pada lautan,
sehingga manusia harus menjaga kebersihan dan kelangsungan kehidupan
organisme yang hidup di dalamnya. Berbagai jenis sumber daya yang terdapat di
laut, seperti berbagai jenis ikan, terumbu karang, mangrove, rumput laut, mineral,
minyak bumi, dan berbagai jenis bahan tambang yang terdapat di dalamnya.
Kekayaan sumber daya alam serta keanekaragaman hayati yang sebagin besar
ada di perairan dimanfaatkan untuk kesejahteraan hidup manusia. Hal ini
menyebabkan banyaknya aktivitas disekitar perairan laut Indonesia. Salah satu
akibat yang dapat terjadi dari aktivitas tersebut adalah terjadinya tumpahan
minyak hingga proses pencemaran minyak yang secara kompleks mengakibatkan
perubahan sifat fisik, kimiawi dan biologis yang dapat merusak kehidupan.
Minyak adalah pencemar utama di lautan.
Lautan juga menerima bahan-bahan yang terbawa oleh air yang
mengakibatkan pencemaran itu terjadi, diantaranya dari limbah rumah tangga,
sampah, buangan dari kapal. Limbah tersebut yang mengandung polutan
kemudian masuk ke dalam ekosistem perairan pantai dan laut. Sebagian larut
dalam air, sebagian tenggelam ke dasar dan terkonsentrasi ke sedimen, dan
sebagian masuk ke dalam jaringan tubuh organisme laut. Polutan tersebut
mengikuti rantai makanan mulai dari fitoplankton sampai ikan predator dan pada
akhirnya sampai ke manusia. Hal inilah yang menyebabkan adanya dampak secara
langsung maupun tidak langsung antara pencemaran laut dengan kehidupan
manusia (Alamsyah, 1999).
Makalah ini akan membahas tentang pemasalahan pencemaran laut akibat
tumpahan minyak, sehingga dapat dikaji untuk menemukan solusi serta
pengembangan untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan lingkungan yag lebih
parah. Dalam penanganan tumpahan minyak ini memerlukan pendekatan yang
sesuai karena terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dalam proses
pencemaran minyak di laut yaitu pada tipe minyak, sifat minyak, nasib (fate) dan
pelapukan minyak (wheathering), jalur pergerakan minyak (pathways), dan
keterpaparan (exposure).
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan yang dirumuskan dan dibahas dalam makalah ini adalah :
Apa saja penyebab tumpahan minyak di laut?
Permasalahan apa saja yang timbul akibat tumpahan minyak di laut?
Apa solusi yang dapat dilakukan dalam penanggulangan tumpahan minyak di
laut?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui permasalahan apa saja
yang timbul akibat tumpahnya minyak di laut, serta mengetahui solusi dan
pengembangan untuk mencegah terjadinya dampak yang lebih buruk.
1.4 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan gambaran atas permasalahan
dampak tumpahan minyak terhadap ekosistem mangrove dan biota laut.dan
penanggulangan yang tepat atas permasalahan yang terjadi.
Makalah ini dapat memberikan literatur mengenai permasalahan tumpahan
minyak dan penanggulangan yang tepat bagi kalangan akademisi dan peneliti.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Minyak dan Limbah minyak
Minyak adalah istilah umum yang digunakan untuk menyatakan produk
petroleum yang penyusun utamanya terdiri dari hidrokarbon. Minyak mentah
dibuat dari hidrokarbon berspektrum lebar yang berkisar dari sangat mudah
menguap, material ringan seperti propana dan benzena sampai pada komposisi
berat seperti bitumen, aspalten, resin dan wax. Produk pengilangan seperti petrol
atau bahan bakar terdiri dari komposisi hidrokarbon yang lebih kecil dan
kisarannya lebih spesifik (Charade dan Subandri, 1983)..
Struktur kimia petroleum terdiri atas rantai hidrokarbon dalam ukuran
panjang yang berbeda. Perbedaan kimia hidrokarbon ini dipisahkan oleh distilasi
pada penyulingan minyak untuk menghasilkan gasoline, bahan bakat jet, kerosin,
dan hidrokarbon lainnya. Formula umum untuk hidrokarbon ini adalah CnH2n+2.
Pembakaran tidak sempurna pada petroleum atau gasoline menghasilkan emisi gas
beracun seperti karbon monooksida dan/atau nitrit oksida. Formasi petroleum
kebanyakan terjadi dalam bermacam reaksi endotermik pada tekanan dan/atau
suhu tinggi (Charade dan Subandri, 1983)..
Limbah minyak adalah buangan yang berasal dari hasil eksplorasi produksi
minyak, pemeliharaan fasilitas produksi, fasilitas penyimpanan, pemrosesan, dan
tangki penyimpanan minyak pada kapal laut. Limbah minyak bersifat mudah
meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, dan
bersifat korosif. Limbah minyak merupakan bahan berbahaya dan beracun (B3),
karena sifatnya, konsentrasi maupun jumlahnya dapat mencemarkan dan
membahayakan lingkungan hidup, serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk
hidup lainnya (Charade dan Subandri, 1983).
Limbah minyak yang berasal dari minyak mentah (crude oil) terdiri dari
ribuan konstituen pembentuk (Charade dan Subandri, 1983), yang secara struktur
kimia dapat dibagi menjadi lima family :
a. Hidrokarbon jenuh (saturated hydrocarbons), yang termasuk dalam
kelompok ini adalah golongan alkana (paraffin), yang mewakili 10-40 %
komposisi minyak mentah. Senyawa alkana bercabang (branched alkanes)
biasanya terdiri dari alkana bercabang satu ataupun bercabang banyak
(isoprenoid), contoh dari senyawa ini adalah pristana, phytana yang
terbentuk dari sisa-sisa pigment chlorofil dari tumbuhan. Kelompok
terakhir dari famili ini adalah napthana (Napthenes) atau disebut juga
cycloalkanes atau cycloparaffin. Kelompok ini secara umum disusun oleh
siklopentana dan siklohexana yang masanya mewakili 30-50% dari massa
total minyak mentah.
b. Aromatik (Aromatics). Famili minyak ini adalah kelas hidrokarbon
dengan karakteritik cincin yang tersusun dari enam atom karbon.
Kelompok ini terdiri dari benzene beserta turunannya. Aromatik ini
merupakan komponen minyak mentah yang paling beracun, dan bisa
memberi dampak kronik (menahun, berjangka lama) dan karsinogenik
(menyebabkan kanker). Hampir kebanyakan aromatik bermassa rendah
(low-weight aromatics), dapat larut dalam air sehingga meningkatkan
bioavaibilitas yang dapat menyebabkan terpaparnya organisma didalam
matrik tanah ataupun pada badan air. Jumlah relative hidrokarbon aromatic
didalam mnyak mentah bervariasi dari 10-30 %.
c. Asphalten dan Resin. Selain komponen utama penyusun minyak tersebut
di atas, minyak juga dikarakterisasikan oleh adanya komponen-komponen
lain seperti aspal (asphalt) dan resin (5-20 %) yang merupakan komponen
berat dengan struktur kimia yang kompleks berupa siklik aromatic
terkondensasi dengan lebih dari lima ring aromatic dan napthenoaromatik
dengan gugus-gugus fungsional sehingga senyawa-senyawa tersebut
memiliki polaritas yang tinggi.
d. Komponen non-hidrokarbon. Kelompok senyawa non-hidrokarbon
terdapat dalam jumlah yang relative kecil, kecuali untuk jenis petrol berat
(heavy crude). Komponen non-hidrokarbon adalah nitrogen, sulfur, dan
oksigen, yang biasanya disingkat sebagai NSO. Biasanya sulphur lebih
dominant disbanding nitrogen dan oxygen, sebaga contoh, minyak mentah
dari Erika tanker mengandung kadar S, N dn O berturut-turut sebesar 2.5,
1.7, dan 0.4 % (Baars, 2002).
e. Porphyrine. Senyawa ini berasal dari degradasi klorofil yang berbentuk
komplek Vanadium (V) dan Nikel (Ni).
2.2 Pencemaran Minyak di Laut
Pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi,
dan komponen lain ke dalam suatu sistem, dan atau berubahnya tatanan suatu
sistem oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas dari sistem
tersebut menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan
peruntukkannya.
Berdasarkan PP No.19/1999, pencemaran laut diartikan sebagai masuknya/
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku
mutu dan/atau fungsinya. Sedangkan Konvensi Hukum Laut III mengartikan
bahwa pencemaran laut adalah perubahan dalam lingkungan laut termasuk muara
sungai (estuaries) yang menimbulkan akibat yang buruk sehingga dapat merusak
sumber daya hayati laut (marine living resources), bahaya terhadap kesehatan
manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan penggunaan
laut secara wajar, menurunkan kualitas air laut dan mutu kegunaan serta
manfaatnya.
Polusi dari tumpahan minyak di laut merupakan sumber pencemaran laut
yang selalu menjadi fokus perhatian masyarakat luas, karena akibatnya sangat
cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan sangat signifikan merusak
makhluk hidup di sekitar pantai tersebut. Pencemaran minyak semakin banyak
terjadi sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan minyak untuk dunia
industri yang harus diangkut dari sumbernya yang cukup jauh, meningkatnya
jumlah anjungan–anjungan pengeboran minyak lepas pantai. dan juga karena
semakin meningkatnya transportasi laut
Menurut Pramudianto (1999), pencemaran minyak di laut berasal dari:
1. Operasi Kapal Tanker
2. Docking (Perbaikan/Perawatan Kapal)
3. Terminal Bongkar Muat Tengah Laut
4. Tanki Ballast dan Tanki Bahan Bakar
5. Scrapping Kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua)
6. Kecelakaan Tanker (kebocoran lambung, kandas, ledakan, kebakaran dan
tabrakan)
7. Sumber di Darat (minyak pelumas bekas, atau cairan yang mengandung
hydrocarbon (perkantoran & industri)
8. Tempat Pembersihan (dari limbah pembuangan Refinery )
2.3 Wathering/ Pelapukan pada Tumpahan Minyak Bumi
Proses transformasi oil spill di laut yaitu ketika oil spill terjadi di lingkungan
laut, minyak akan mengalami serangkaian perubahan/pelapukan (weathering) atas
sifat fisik dan kimiawi. Sebagian perubahan tersebut mengarah pada hilangnya
beberapa fraksi minyak dari permukaan laut, sementara perubahan lainnya
berlangung dengan masih terdapatnya bagian material minyak di permukaan laut.
Meskipun minyak yang tumpah pada akhirnya akan terurai/terasimilisi oleh
lingkungan laut, namun waktu yang dibutuhkan untuk itu tergantung pada
karakteristik awal fisik dan kimiawi minyak dan proses peluruhan (weathering)
minyak secara alamiah (Pramudianto, 1999).
Weathering atau pelapukan minyak adalah proses penghamburan minyak
yang tumpah hasil dari sejumlah proses kimia dan fisik yang mengubah
komposisi. Minyak akan mengalami pelapukan dalam cara-cara yang berbeda.
Beberapa prosesnya, seperti pada pendispersian alami minyak ke dalam air,
mengakibatkan bagian dari minyak meninggalkan permukaan air laut, dan
sisanya, seperti pada proses evaporasi atau formasi air pada emulsi minyak,
mengakibatkan minyak yang tersisa pada permukaan dan tinggal dalam waktu
lama (persisten).
Beberapa faktor utama yang mempengaruhi perubahan sifat minyak adalah:
a. Karaterisik fisika minyak, khususnya gravitasi spesifik, viskositas dan rentang
didih;
b. Komposisi dan karakteristik kimiawi minyak;
c. Kondisi meteorologi (sinar matahari (fotooksidasi), kondisi oseanograpi dan
temperatur udara); dan
d. Karakteristik air laut (pH, gravitasi spesifik, arus, temperatur, keberadaan
bakteri, nutrien, dan oksigen terlaut serta padatan tersuspensi).
Cara dimana lapisan minyak pecah dan menyebar sangat tergantung pada
ketahanan (tingkat persisten) minyak tersebut. Produk ringan seperti kerosin
cenderung terevaporasi, tersebar dengan cepat, dan tidak perlu pembersihan sebab
akan hilang secara alami. Ini dinamakan minyak non-persisten. Sebaliknya,
minyak persisten seperti pada kebanyakan minyak mentah, pecah dan menyebar
lebih lambat dan biasanya memerlukan tindakan pembersihan. Sifat fisika seperti
densitas, viskositas, dan titik alir minyak, semuanya mempengaruhi sifat
penyebarannya.
Penyebaran tidak terjadi tiba-tiba. Waktu penyebarannya tergantung sejumlah
faktor, termasuk jumlah dan tipe tumpahan minyak, kondisi cuaca, dan jika
minyak tertinggal di laut atau terbawa ke darat. Kadang-kadang, prosesnya cepat
dan pada waktu lain terjadi dengan lambat, terutama di perairan tertutup dan
tenang. Proses pelapukan (Wathering) tumpahan minyak di laut terjadi ke dalam
beberapa mekanisme diantaranya : melalui pembentukan lapisan (slick formation),
penyebaran (dissolution), pergeseran, penguapan (evaporation), polimerasi
(polymerization), emulsifikasi (emulsification), emulsi air dalam minyak (water in
oil emulsions), emulsi minyak dalam air (oil in water emulsions), fotooksida,
biodegradasi mikorba, sedimentasi, dicerna oleh planton dan bentukan gumpalan.
Hampir semua tumpahan minyak di lingkungan laut dapat dengan segera
membentuk sebuah lapisan tipis di permukaan. Hal ini dikarenakan minyak
tersebut digerakkan oleh pergerakan angin, gelombang dan arus, selain gaya
gravitasi dan tegangan permukaan. Beberapa hidrokarbon minyak bersifat mudah
menguap, dan cepat menguap. Proses penyebaran minyak akan menyebarkan
lapisan menjadi tipis serta tingkat penguapan meningkat.
Hilangnya sebagian material yang mudah menguap tersebut membuat minyak
lebih padat/ berat dan membuatnya tenggelam. Komponen hidrokarbon yang
terlarut dalam air laut, akan membuat lapisan lebih tebal dan melekat, dan
turbulensi air akan menyebabkan emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air.
Ketika semua terjadi, reaksi fotokimia dapat mengubah karakter minyak dan akan
terjadi biodegradasi oleh mikroba yang akan mengurangi jumlah minyak.
Proses pembentukan lapisan minyak yang begitu cepat, ditambah dengan
penguapan komponen dan penyebaran komponen hidrokarbon akan mengurangi
volume tumpahan sebanyak 50% selama beberapa hari sejak pertama kali minyak
tersebut tumpah. Produk kilang minyak, seperti gasoline atau kerosin hamper
semua lenyap, sebaliknya minyak mentah dengan viskositas yang tinggi hanya
mengalami pengurangan kurang dari 25%.
2.4 Dampak dari Pencemaran Minyak di Laut
Komponen minyak yang tidak dapat larut di dalam air akan mengapung yang
menyebabkan air laut berwarna hitam. Beberapa komponen minyak tenggelam
dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-
batuan di pantai. Komponen hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh pada
reproduksi, perkembangan, pertumbuhan, dan perilaku biota laut, terutama pada
plankton, bahkan dapat mematikan ikan, dengan sendirinya dapat menurunkan
produksi ikan. Proses emulsifikasi merupakan sumber mortalitas bagi organisme,
terutama pada telur, larva, dan perkembangan embrio karena pada tahap ini sangat
rentan pada lingkungan tercemar (Subchan, 2005). Bahwa dampak-dampak yang
disebabkan oleh pencemaran minyak di laut adalah akibat jangka pendek dan
akibat jangka panjang.
Akibat jangka pendek molekul hidrokarbon minyak dapat merusak membran
sel biota laut, mengakibatkan keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan
tersebut ke dalam sel. Berbagai jenis udang dan ikan akan beraroma dan berbau
minyak, sehingga menurun mutunya. Secara langsung minyak menyebabkan
kematian pada ikan karena kekurangan oksigen, keracunan karbon dioksida, dan
keracunan langsung oleh bahan berbahaya.
Akibat jangka panjang lebih banyak mengancam biota muda. Minyak di
dalam laut dapat termakan oleh biota laut. Sebagian senyawa minyak dapat
dikeluarkan bersama-sama makanan, sedang sebagian lagi dapat terakumulasi
dalam senyawa lemak dan protein. Sifat akumulasi ini dapat dipindahkan dari
organisma satu ke organisma lain melalui rantai makanan. Jadi, akumulasi minyak
di dalam zooplankton dapat berpindah ke ikan pemangsanya. Demikian
seterusnya bila ikan tersebut dimakan ikan yang lebih besar, hewan-hewan laut
lainnya, dan bahkan manusia. Secara tidak langsung, pencemaran laut akibat
minyak mentah dengan susunannya yang kompleks dapat membinasakan
kekayaan laut dan mengganggu kesuburan lumpur di dasar laut. Ikan yang hidup
di sekeliling laut akan tercemar atau mati dan banyak pula yang bermigrasi ke
daerah lain.
Minyak yang tergenang di atas permukaan laut akan menghalangi masuknya
sinar matahari sampai ke lapisan air dimana ikan berkembang biak. Lapisan
minyak juga akan menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi
kelarutan oksigen yang akhirnya sampai pada tingkat tidak cukup untuk
mendukung bentuk kehidupan laut yang aerob. Lapisan minyak yang tergenang
tersebut juga akan mempengarungi pertumbuhan rumput laut , lamun dan
tumbuhan laut lainnya jika menempel pada permukaan daunnya, karena dapat
mengganggu proses metabolisme pada tumbuhan tersebut seperti respirasi, selain
itu juga akan menghambat terjadinya proses fotosintesis karena lapisan minyak di
permukaan laut akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam zona
euphotik, sehingga rantai makanan yang berawal pada phytoplankton akan
terputus. Jika lapisan minyak tersebut tenggelam dan menutupi substrat, selain
akan mematikan organisme benthos juga akan terjadi perbusukan akar pada
tumbuhan laut yang ada (Subchan, 2005).
Pencemaran minyak di laut juga merusak ekosistem mangrove. Minyak
tersebut berpengaruh terhadap sistem perakaran mangrove yang berfungsi dalam
pertukaran CO2 dan O2, dimana akar tersebut akan tertutup minyak sehingga
kadar oksigen dalam akar berkurang. Jika minyak mengendap dalam waktu yang
cukup lama akan menyebabkan pembusukan pada akar mangrove yang
mengakibatkan kematian pada tumbuhan mangrove tersebut. Tumpahan minyak
juga akan menyebabkan kematian fauna-fauna yang hidup berasosiasi dengan
hutan mangrove seperti moluska, kepiting, ikan, udang, dan biota lainnya.
2.5 Metode Penanggulangan Tumpahan Minyak di Laut
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam penanganan tumpahan minyak
(oil spill) di laut adalah dengan cara melokalisasi tumpahan minyak menggunakan
pelampung pembatas (oil booms), yang kemudian akan ditransfer dengan
perangkat pemompa (oil skimmers) ke sebuah fasilitas penerima "reservoar" baik
dalam bentuk tangki ataupun balon. Langkah penanggulangan ini akan sangat
efektif apabila dilakukan di perairan yang memiliki hidrodinamika air yang
rendah (arus, pasang-surut, ombak, dll) dan cuaca yang tidak ekstrem.
Beberapa teknik penanggulangan tumpahan minyak diantaranya in-situ
burning, penyisihan secara mekanis, bioremediasi, penggunaan sorbent dan
penggunaan bahan kimia dispersan. Setiap teknik ini memiliki laju penyisihan
minyak berbeda dan hanya efektif pada kondisi tertentu (Charade dan Subandri,
1983).
a. In-situ burning adalah pembakaran minyak pada permukaan air sehingga
mampu mengatasi kesulitan pemompaan minyak dari permukaan laut,
penyimpanan dan pewadahan minyak serta air laut yang terasosiasi, yang
dijumpai dalam teknik penyisihan secara fisik. Cara ini membutuhkan
ketersediaan booms (pembatas untuk mencegah penyebaran minyak) atau barrier
yang tahan api. Beberapa kendala dari cara ini adalah pada peristiwa tumpahan
besar yang memunculkan kesulitan untuk mengumpulkan minyak dan
mempertahankan pada ketebalan yang cukup untuk dibakar serta evaporasi pada
komponen minyak yang mudah terbakar. Sisi lain, residu pembakara yang
tenggelam di dasar laut akan memberikan efek buruk bagi ekologi. Juga,
kemungkinan penyebaran api yang tidak terkontrol.
b. Penyisihan minyak secara mekanis melalui dua tahap yaitu melokalisir
tumpahan dengan menggunakan booms dan melakukan pemindahan minyak ke
dalam wadah dengan menggunakan peralatan mekanis yang disebut skimmer.
Upaya ini terhitung sulit dan mahal meskipun disebut sebagai pemecahan ideal
terutama untuk mereduksi minyak pada area sensitif, seperti pantai dan daerah
yang sulit dibersihkan dan pada jam-jam awal tumpahan. Sayangnya, keberadaan
angin, arus dan gelombang mengakibatkan cara ini menemui banyak kendala.
c. Bioremediasi yaitu mempercepat proses yang terjadi secara alami, misalkan
dengan menambahkan nutrien, sehingga terjadi konversi sejumlah komponen
menjadi produk yang kurang berbahaya seperti CO2 , air dan biomass (Zhu,
2004). Selain memiliki dampak lingkunga kecil, cara ini bisa mengurangi dampak
tumpahan secara signifikan. Sayangnya, cara ini hanya bisa diterapkan pada
pantai jenis tertentu, seperti pantai berpasir dan berkerikil, dan tidak efektif untuk
diterapkan di lautan.
d. Pemggunaan sorbent yang bisa menyisihkan minyak melalui mekanisme
adsorpsi (penempelan minyak pada permukaan sorbent) dan absorpsi (penyerapan
minyak ke dalam sorbent). Sorbent ini berfungsi mengubah fasa minyak dari cair
menjadi padat sehingga mudah dikumpulkan dan disisihkan. Sorbent harus
memiliki karakteristik hidrofobik,oleofobik dan mudah disebarkan di permukaan
minyak, diambil kembali dan digunakan ulang. Ada 3 jenis sorbent yaitu organik
alami (kapas, jerami, rumput kering, serbuk gergaji), anorganik alami (lempung,
vermiculite, pasir) dan sintetis (busa poliuretan, polietilen, polipropilen dan serat
nilon)
e. Penggunaan dispersan kimiawi yaitu dengan memecah lapisan minyak menjadi
tetesan kecil (droplet) sehingga mengurangi kemungkinan terperangkapnya hewan
ke dalam tumpahan. Dispersan kimiawi adalah bahan kimia dengan zat aktif yang
disebut surfaktan (berasal dari kata : surfactants = surface-active agents atau zat
aktif permukaan).
BAB 3. PEMBAHASAN
Pencemaran laut diartikan sebagai adanya kotoran atau hasil buangan aktivitas
makhluk hidup yang masuk ke daerah laut. Pencemaran lingkungan laut
merupakan masalah yang dihadapi oleh masyarakat bangsa-bangsa. Pengaruhnya
dapat menjangkau seluruh aktifitas manusia di laut dan karena sifat laut yang
berbeda dengan darat, maka masalah pencemaran laut dapat mempengaruhi semua
negara pantai, baik yang sedang berkembang maupun negara-negara maju,
sehingga perlu disadari bahwa semua negara pantai mempunyai kepentingan
terhadap masalah pencemaran laut.
Sumber dari pencemaran laut antara lain adalah tumpahan minyak, sisa
damparan amunisi perang, buangan sampah dari transportasi darat melalui sungai,
emisi trasportasi laut dan buangan pestisida dari pertanian. Namun, sumber utama
pencemaran lebih sering terjadi pada tumpahnya minyak dari kapal tanker. Hasil
ekspoitasi minyak bumi diangkut oleh kapal tanker ke tempat pengolahan minyak
bumi (crude oil). Pencemaran minyak bumi dilepas pantai bisa diakibatkan oleh
sistem penampungan yang bocor, atau kapal yang tenggelam yang menyebabkan
lepasnya crude oil ke badan perairan (laut lepas) (Ramadhany, 2009).
Dampak dari lepasnya crude oil di perairan lepas pantai mengakibatkan
limbah tersebut dapat tersebar tergantung kepada gelombang air laut. Penyebaran
limbah tersebut dapat berdampak pada beberapa negara. Dampak yang terjadi
akibat dari pencemaran tersebut adalah tertutupnya lapisan permukaan laut yang
dapat menyebabkan penetrasi matahari berkurang, menyebabkan proses
fotosintesis terganggu, pengikatan oksigen terganggu, dan dapat menyebabkan
kematian.
Di Indonesia kasus pencemaran laut akibat tumpahan minyak terjadi di
beberapa daerah antara lain di pantai Selatan (Cilacap), dan pantai Sakera Tanjung
Uban, Bintan. Tumpahnya minyak mentah di pantai Selatan terjadi akibat
kebocoran saluran pipa bawah laut milik Pertamina RU IV Cilacap. Genangan
minyak mentah yang awalnya hanya menggenangi kawasan lepas pantai Pulau
Nusakambangan, menyebar hingga beberapa lokasi di pantai selatan Cilacap dan
Kebumen. Dari pemantauan di berbagai kawasan pantai wilayah Cilacap, minyak
mentah menggenangi perairan obyek wisata pantai Teluk Penyu dan menyebar
hingga ke beberapa titik lokasi pantai yang cukup jauh, seperti Pantai Widara
Payung di wilayah Kecamatan Kroya Cilacap hingga pantai Karangbolong
Kabupaten Kebumen (Republika Online. 2015).
Kebocoran minyak mentah terjadi saat salah satu kapal tangker yang
melakukan pembongkaran muatan minyak melalui Single Point Mooring (SPM)
di lepas pantai Pulau Nusakambangan. Namun saat proses pembongkaran muatan
terjadi kerusakan pada sambungan pipa karet di bagian hulu pipa bawah laut. Hal
inilah yang menyebabkan terjadinya kebocoran, sehingga minyak mentah
tertumpah ke laut. Upaya yang dilakukan oleh pihak Pertamina untuk mengatasi
hal ini adalah dengan meminta bantuan para nelayan untuk ikut mengambil dan
menampung minyak mentah yang mencapai kawasan pantai. Pengambilan minyak
tersebut dengan menggunakan jiregan, drum dan ember. Minyak yang diperoleh
selanjutnya ditampung oleh pihak Pertamina (Republika Online. 2015).
Tumpahnya minyak mentah di pantai Sakera Tanjung Uban terjadi akibat
tubrukan antara Motor Tanker Alyarmouk (dalam pelayaran dari Tanjung Pelepas
Malaysia ke China) dan Kapal Motor Sinar Kapuas (pelayaran dari Hongkong ke
Singapore) pada posisi 7 mil timur laut batu puteh (horsborgh) masih dalam
wilayah Negara Singapore (Kompasaiana. 2015). Tubrukan kedua kapal tersebut
telah menumpahkan Madura crude oil (minyak mentah) sebanyak 4,500 Ton
(setara dengan 32,400 barel) ke laut. Berdasarkan hasil simulasi tumpahan minyak
dengan perkiraan angin dan arus yang dibuat oleh OSCT Indonesia, tumpahan
minyak berpotensi mencemari bagian utara pulau Bintan yang sangat dekat
dengan Selat Singapore (Kompasaiana. 2015).
Dengan pergerakan angin dan arus bolak balik Utara ke Selatan dan
sebaliknya, maka peran penanggulangan pencemaran harus selalu dalam kondisi
siaga. Namun pemerintah daerah tidak mempunyai peralatan yang memadai untuk
penanggulangan pencemaran, seperti Oil Boom, senyawa kimia Oil Dispersant,
Obserbant ataupun serbuk gergaji. sehingga usaha swadaya masyarakat pesisirlah
yang berinisiatif membersihkannya menggunakan peralatan seadanya karena tim
penanggulangan pencemaran juga belum terbentuk. Selain diakibatkan dari
tubrukan kapal, sumber pencemaran juga berasal dari pembuangan sisa tank
cleaning (pembersihan tangki) kapal-kapal tanker yang melintas. Kegiatan
tersebut sering dilihat oleh beberapa warga , bahkan beberapa dari mereka pernah
tertangkap. Namun hal tersebut tidak membuat mereka jera dan terus melakukan
pencemaran.
Akibat pencemaran yang sangat dirasakan adalah aktifitas nelayan untuk
mencari ikan dilaut menjadi lebih sulit, ikan tidak mau datang sebab lautnya
kotor. Sektor pariwisata terganggu akibat pantai yang kotor dengan limbah
minyak yang tersebar hampir diseluruh pantai. Wisatawan lokal dan asing tidak
bisa berenang dilaut karena jika terkena kulit akan menimbulkan gatal-gatal dan
rasa perih jika terkena mata. Namun sampai saat in belum ada solusi baik dari
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat (Kompasaiana. 2015).
Berdasarkan beberapa kasus di atas telah banyak kerugian yang dialami dan
akibat yang ditimbulkan dari terjadinya pencemaran minyak bumi di laut, seperti
menurut Pramudianto, (1999):
1. Rusaknya estetika pantai akibat bau dari material minyak. Residu berwarna
gelap yang terdampar di pantai akan menutupi batuan, pasir, tumbuhan dan
hewan. Kontaminasi terhadap udara yang perlu diperhatikan akan bahaya
penguapan benzene karena mempunyai efek karsinogenik kepada manusia.
Keadaan ini semakin penting untuk diantisipasi apabila kejadian tumpahan
minyak berada dekat dengan lokasi penduduk yang padat. Dan benda purbakala,
cagar alam dan harta karun di dasar laut yang terkena minyak dapat rusak atau
berkurang nilai estetikanya. Oleh sebab itu nilai jualnya akan berkurang.
2. Kerusakan biologis, bisa merupakan efek letal dan efek subletal. Efek letal
yaitu reaksi yang terjadi saat zat-zat fisika dan kimia mengganggu proses sel
ataupun subsel pada makhluk hidup hingga kemungkinan terjadinya kematian.
Efek subletal yaitu mepengaruhi kerusakan fisiologis dan perilaku namun tidak
mengakibatkan kematian secara langsung. Terumbu karang akan mengalami efek
letal dan subletal dimana pemulihannya memakan waktu lama dikarenakan
kompleksitas dari komunitasnya. Minyak dapat mempengaruhi kehidupan
mangrove dan organisme lain yang berasosiasi pada mangrove. Minyak dapat
menutupi daun, menyumbat akar nafas, mencegah difusi garam dan menghambat
proses respirasi pada mangrove. Dan vegetasi bawah air sangat sensitif terhadap
kontaminasi minyak, karena vegetasi bawah air mimiliki produktivitas yang
tinggi, berperan dalam siklus nutrien, berfungsi sebagai kawasan asuhan, mencari
makan, dan berlindung berbagai spesies penting dan komersial tinggi dari jenis-
jenis ikan.
3. Pertumbuhan fitoplankton laut akan terhambat akibat keberadaan senyawa
beracun dalam komponen minyak bumi, juga senyawa beracun yang terbentuk
dari proses biodegradasi. Jika jumlah fitoplankton menurun,
maka populasi ikan, udang, dan kerang juga akan menurun. Padahal hewan-hewan
tersebut dibutuhkan manusia karena memiliki nilai ekonomi dan
kandungan protein yang tinggi.
4. Penurunan populasi alga dan protozoa akibat kontak dengan racun slick
(lapisan minyak di permukaan air). Selain itu, terjadi kematian burung-burung
laut. Hal ini dikarenakan slick membuat permukaan laut lebih tenang dan menarik
burung untuk hinggap di atasnya ataupun menyelam mencari makanan. Saat
kontak dengan minyak, terjadi peresapan minyak ke dalam bulu dan merusak
sistem kekedapan air dan isolasi, sehingga burung akan kedinginan yang pada
akhirnya mati.
Permasalahan pencemaran minyak dan kerusakan lingkungan pesisir dan laut
merupakan masalah yang penting untuk ditangani mengingat besarnya
ketergantungan terhadap sumber daya pesisir dan laut serta luasnya dampak yang
diakibatkan pencemaran tersebut. Untuk itu perlu dilakukan langah-langkah
pencegahan dan penanggulangan terhadap berbagai kegiatan yang dapat memacu
terjadinya pencemaran minyak dan kerusakan lingkungan laut. Semua ini menjadi
kewajiban kita untuk melakukan usaha-usaha yang lebih konservatif demi
kelangsungan hidup yang lebih baik.
Upaya pencegahan maupun penanggulangan pemcemaran laut telah diatur
oleh pemerintah dalam “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut”.
Pencegahan terjadinya pencemaran laut dapat dilakukan dengan beberapa cara,
antara lain:
1. Tidak membuang sampah ke laut
2. Penggunaan pestisida secukupnya
3. Yang paling sering di temukan pada saat pembersihan pantai dan laut
adalah puntung rokok. Selalu biasakan untuk tidak membuang puntung
rokok di sekitar laut.
4. Kurangi penggunaan plastik
5. Jangan tinggalkan tali pancing, jala atau sisa sampah dari kegiatan
memancing di laut.
6. Setiap industri atau pabrik menyediakan Instalasi Pengelolaan Air Limbah
(IPAL)
7. Pendaurulangan sampah organik
8. Tidak menggunakan deterjen fosfat, karena senyawa fosfat merupakan
makanan bagi tanaman air seperti enceng gondok yang dapat
menyebabkan terjadinya pencemaran air.
Jika pencemaran minyak di laut tidak dapat dihindari maka dapat dilakukan
upaya pembersihan yaitu dengan melakukan pemantauan dan juga
penanggulangan terhadap pencemaran minyak tersebut. Sebelum upaya
penanggulangan tumpahan minyak dilakukan, maka tindakan pertama yang
diambil adalah melakukan pemantauan tumpahan yang terjadi guna mengetahui
secara pasti jumlah minyak yang lepas ke lautan serta kondisi tumpahan, misalnya
terbentuknya emulsi.
Ada dua jenis upaya yang dilakukan yaitu dengan pengamatan secara
visual dan penginderaan jauh (remote sensing). Karena ada keterbatasan pada
masing-masing teknik tersebut, seringkali digunakan kombinasi beberapa teknik
(Alamsyah, 1999).
1. Pengamatan visual melalui pesawat merupakan teknik yang reliable, namun
sering terjadi pada peristiwa tumpahan minyak yang besar dengan melibatkan
banyak pengamat, laporan yang diberikan sangat bervariasi. Ada beberapa faktor
yang membuat pemantauan dengan teknik ini menjadi kurang dapat dipercaya
seperti pada tumpahan jenis minyak yang sangat ringan akan segera mengalami
penyebaran (spreading) dan menjadi lapisan sangat tipis. Pada kondisi
pencahayaan ideal akan terlihat warna terang atau pelangi. Namun, seringkali
penampakan lapisan ini sangat bervariasi tergantung jumlah cahaya matahari,
sudut pengamatan dan permukaan laut. Karenanya, pengamatan ketebalan minyak
berdasarkan warna slick kurang bisa dipercaya. Faktor lainnya adalah kondisi
lingkungan setempat dan prediksi coverage area.
2. Cara kedua dengan menggunakan metode penginderaan jarak jauh yang
dilakukan dengan berbagai macam teknik seperti Side-looking Airborne Radar
(SLAR) yang telah digunakan secara luas. SLAR memiliki keuntungan yaitu bisa
dioperasikan segala waktu dan segala cuaca, menjangkau wilayah yang lebih luas
dengan hasil pengindraan lebih detail dengan kekintrasan tinggi dan bisa
ditransmisikan. Sayangnya teknik ini hanya bisa mendeteksi lapisan minyak yang
tebal dan tidak bisa mendeteksi minyak yang berada dibawah air dan kondisi laut
sangat tenang. Selain SLAR digunakan pula teknik Micowave Radiometer,
Infrared-ultraviolet Line Scanner dan LANDSAT Satellite System. Berbagai
teknik ini digunakan besama guna menghasilkan informasi yang akurat dan cepat.
Setelah melakukan pemantauan dan mengetahui keadan secara pasti,
selanjutnya dilakukan penanggulangannya. Beberapa teknik penanggulangan
tumpahan minyak diantaranya dengan pembakaran minyak pada permukaan air
(in-situ burning), penyisihan secara mekanis melalui dua tahap yaitu melokalisir
tumpahan dengan menggunakan booms dan melakukan pemindahan minyak ke
dalam wadah dengan menggunakan peralatan mekanis yang disebut skimmer,
bioremediasi yaitu mempercepat proses yang terjadi secara alami, misalkan
dengan menambahkan nutrien, penggunaan sorbent melalui mekanisme adsorpsi
(penempelan minyak pada permukaan sorbent) dan absorpsi (penyerapan minyak
ke dalam sorbent), dan penggunaan bahan kimia dispersan yaitu dengan memecah
lapisan minyak menjadi tetesan kecil (droplet) (Charade dan Subandri, 1983).
KESIMPULAN
Menyadari akan besarnya bahaya pencemaran minyak di laut, maka
timbullah upaya-upaya untuk pencegahan dan penanggulangan bahaya dari
pencemaran laut tersebut oleh negara-negara di dunia. Mengingat bahwa
tumpahan minyak mentah membawa akibat yang amat luas pada lingkungan laut
maka penanganannya tidak bisa diserahkan hanya pada satu institusi pemerintah
saja dan perlu melibatkan kerja sama berbagai institusi.
Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa penanggulangan tumpahan
minyak bukan hanya meliputi cara pemantauan yang menuntut teknologi yang
canggih, cara menghilangkan minyak yang menuntut penggunaan teknologi yang
bisa dipertanggungjawabkan dan ramah lingkungan, namun meliputi pula
penelitian dampak tumpahan minyak tersebut dan upaya rehabilitasi lingkungan
yang tercemar baik hewan, tumbuhan, maupun estetika laut dan pantai.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Subchan, Drs. Wachju, M.S,Ph.D. 2005. Ilmu Pengetahuan Lingkungan.
Laboratorium Sumber Belajar Biologi. Jember: Universitas Jember.
Internet
Kompasaiana. 2015. Laut Indonesia Tercemar Lagi oleh 4500 Tons
MinyakMentah. http://m.kompasiana.com [8 September 2015].
Ramadhany, Dedy. 2009. Bioremediasi. Syakti, Agung Damar. 2008. Multi-
Proses Remediasi di Dalam Penanganan Tumpahan Minyak (Oil Spill) di
Perairan Laut dan Pesisir. http://pksplipb.or.id. [5 September 2015].
Republika Online. 2015. Tumpahnya Minyak Mentah Cemari Pantai Selatan.
http://m.republika.co.id [8 September 2015].
Zhu, Xueqing. 2004. Pedoman Untuk Bioremediasi of Garam Terkontaminasi
Minyak Rawa. www.google.com. [5 September 2015]
Terbitan Berkala
Alamsyah, Rachmat Benny, 1999, Kebijaksanaan, Strategi, dan Program
Pengendalian Pencemaran dalam Pengelolaan Pesisir dan Laut, Prosiding
Seminar Sehari Teknologi dan Pengelolaan Kualitas Lingkungan Pesisir dan
Laut, Bandung: Jurusan Teknologi Lingkungan ITB.
Charade, Titi Heri Subandri, 1983, Sekali Lagi Tentang Penanggulangannya :
Pencemaran Air Akibat Industri Minyak, dalam Harian Pikiran Rakyat, edisi
15 Mei 1983. Eckenfelder Jr., W.Wesley, 1989, Industrial Water Pollution
Control, 2ndedition, Singapore: McGraw Hill International Editions.
Pramudianto, Bambang, 1999, Sosialisasi PP No.19/1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan atau Perusakan Laut, Prosiding Seminar Sehari Teknologi
dan Pengelolaan Kualitas Lingkungan Pesisir dan Laut, Bandung: Jurusan
Teknologi Lingkungan ITB