Post on 27-Dec-2015
description
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya, karena berkat
kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan. Dalam makalah ini kami membahas “Penanaman Modal Asing dan
Penanaman Modal Dalam Negeri”.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman materi Hukum
Penanaman Modal, yang sangat diperlukan dalam suatu harapan untuk mendapatkan
pengetahuan dan pemahaman, dan juga sekaligus melakukan apa yang menjadi tugas
mahasiswa yang mengikuti mata kuliah “Hukum Penanaman Modal”
Dalam proses pendalaman materi ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan, arahan,
koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-dalamnya kami sampaikan
kepada Bapak Nurrohim SH,. MH, selaku dosen mata kuliah “Hukum Penanaman
Modal”
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini, baik dari materi
maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman
penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan
Demikian makalah ini kamu buat semoga bermanfaat.
Pekanbaru, 13 Mei 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
…………………………………………………………………………………………….. 1
DAFTAR ISI
………………………………………………………………………………………………………
…. 2
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
…………………………………………………………………………………………….. 3
2. Rumusan Masalah
………………………………………………………………………………………… 3
3. Tujuan dan Manfaat
……………………………………………………………………………………… 3
BAB II PEMBAHASAN
1. Penanaman Modal Asing
……………………………………………………………………………… 4
2. Penanaman Modal Dalam Negeri
…………………………………………………………………. 15
3. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal
…………………………………………………….. 18
4. Kasus
………………………………………………………………………………………………………
…. 27
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan
…………………………………………………………………………………………………. 32
2. Saran
………………………………………………………………………………………………………
….. 33
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………………………………………………………….. 34
BAB I
PENDAHULUAN
1. A. Latar Belakang
Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
menjadi salah satu sumber pembiayaan yang penting bagi wilayah yang sedang
berkembang dan mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pembangunan.
Sebagai salah satu komponen aliran modal, PMA dianggap sebagai aliran modal yang
relatif stabil dibandingkan dengan aliran modal lainnya, misalnya investasi portofolio
maupun utang luar negeri. Berbagai kebijakan telah di lakukan oleh pemerintah
Indonesia guna untuk mencapai suatu tujuan yaitu menjadikan masyarakat Indonesia
sejahtera dengan perekonomian yang ada saat ini, salah satu caranya yaitu dengan
investasi (penanaman modal) baik yang dilakukan oleh investor Domestik maupun
investor Asing.
Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran penanaman modal asing dan
penanaman modal dalam negeri di Indonesia.
1. B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Penanaman Modal Asing?
2. Apa yang dimaksud dengan Penanaman Modal Dalam Negeri?
3. Bagaimana Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal?
4. Kasus PT.Indosat
1. C. Tujuan dan Manfaat
1. Agar mahasiswa mengetahui Penanaman Modal Asing
2. Agar mahasiswa mengetahui Penanaman Modal Dalam Negeri
3. Agar mahasiswa mengetahui bentuk Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal
4. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami contoh kasus penanaman modal yang
pernah terjadi di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
1. A. PENANAMAN MODAL ASING
1. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia
Penanaman modal asing merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh pihak asing
dalam rangka menanamkan modalnya disuatu negara dengan tujuan untuk
mendapatkan laba melalui penciptaan suatu produksi atau jasa.
Undang – undang nomor 11 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing
menyebutkan bahwa :“pengertian penanaman modal dalam undang – undang ini
hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut
atau berdasarkan ketentuan – ketentuan undang – undang ini dan yang digunakan
untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam artian bahwa pemilik modal
secara langsung menanggung risiko dari penanaman modal tersebut”.
Sedangkan pengertian modal asing dalam undang - undang tersebut adalah:
a) Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan
devisa Indonesia, yang dengan persetujuan pemerintah digunakan untuk pembiayaan
perusahaan di Indonesia.
b) Alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan baru milik orang
asing dan bahan-bahan, yang dimasukkan dari luar ke dalam wilayah Indonesia,
selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari kekayaan devisa Indonesia.
c) Bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan undang - undang ini
keuntungan yang diperkenankan ditransfer, tetapi dipergunakan untuk membiayai
perusahaan di Indonesia.
Aliran modal dari suatu negara ke negara lainnya bertujuan untuk memperoleh
pendapatan yang lebih tinggi, yang lebih produktif dan juga sebagai diversifikasi usaha.
Hasil yang diharapkan dari aliran modal internasional adalah meningkatnya output dan
kesejahteraan dunia. Disamping peningkatan income dan output, keuntungan bagi
negara tujuan dari aliran modal asing adalah :
a) Investasi asing membawa teknologi yang lebih mutakhir. Besar kecilnya
keuntungan bagi negara tujuan tergantung pada kemungkinan penyebaran teknologi
yang bebas bagi perusahaan.
b) Investasi asing meningkatkan kompetisi di negara tujuan. Masuknya
perusahaan baru dalam sektor yang tidak diperdagangkan (non tradable sector)
meningkatkan output industri dan menurunkan harga domestik, sehingga pada akhirnya
akan meningkatkan kesejahteraan.
c) Investasi asing dapat berperan dalam mengatasi kesenjangan nilai tukar
dengan negara tujuan (investment gap).
Investasi asing di Indonesia dapat dilakukan dalam dua bentuk investasi, yaitu (Pandji
Anoraga, 1995: 46) :
1) Investasi Portofolio
Investasi portofolio dilakukan melalui pasar modal dengan instrumen surat berharga
seperti saham dan obligasi. Dalam investasi portofolio, dana yang masuk ke
perusahaan yang menerbitkan surat berharga (emiten), belum tentu membuka
lapangan kerja baru. Sekalipun ada emiten yang setelah mendapat dana dari pasar
modal untuk memperluas usahanya atau membuka usaha baru, hal ini berarti pula
membuka lapangan kerja. Tidak sedikit pula dana yang masuk ke emiten hanya untuk
memperkuat struktur modal atau mungkin malah untuk membayar hutang bank. Selain
itu, dalam proses ini tidak terjadi alih teknologi atau alih keterampilan manajemen
2) Investasi Langsung
Investasi langsung atau disebut juga dengan penanaman modal asing (PMA)
merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun, membeli total atau
mengakuisisi perusahaan. Penanaman modal asing (PMA) atau Foreign direct
investment (FDI) lebih banyak mempunyai kelebihan. Selain sifatnya yang permanen/
jangka panjang, penanaman modal asing memberi andil dalam alih teknologi, alih
keterampilan manajemen dan membuka lapangan kerja baru. Lapangan kerja ini
penting diperhatikan, mengingat bahwa masalah menyediakan lapangan kerja
merupakan masalah yang cukup memusingkan pemerintah.
Penanaman Modal Asing hanya meliputi PMA secara langsung (foreign direct
investment/FDI) berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1970 maka pemilik
modal secara langsung menanggung risiko dari investasi tersebut.
Dikalangan masyarakat, kata investasi memiliki pengertian yang lebih luas karena
dapat mencakup baik investasi langsung (direct investment) maupun investasi tidak
langsung (portfolio investment), sedangkan kata penanaman modal lebih mempunyai
konotasi kepada investasi langsung. Penanaman modal baik langsung atau tidak
langsung memiliki unsur-unsur, adanya motif untuk meningkatkan atau setidak-
tidaknya mempertahankan nilai modalnya.
Dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal telah ditentukan secara jelas tentang bentuk hukum perusahaan penanaman
modal asing. Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas. Secara
lengkap, bunyi Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman modal:
“penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum
Indonesia dan berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang.”
Unsur yang melekat dalam ketentuan ini meliputi:
1. bentuk hukum dari perusahaan penanaman modal asing adalah perseroan terbatas
(PT);
2. didasarkan pada hukum Indonesia;
3. berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia.
Penanaman modal asing di Indonesia dapat dilakukan oleh pihak asing/perorangan
atau badan hukum ke dalam suatu perusahaan yang seratus persen diusahakan oleh
pihak asing atau dengan menggabungkan modal asing itu dengan modal nasional.
Menurut Ismail Suny ada 3 (tiga) macam kerjasama antara modal asing dengan
modal nasional berdasarkan undang-undang penanaman modal asing No. 1 Tahun
1967 yaitu joint venture, joint enterprise dan kontrak karya.
1. a. Joint Venture
Joint venture merupakan kerjasama antara pemilik modal asing dengan pemilik
modal nasional semata-mata berdasarkan suatu perjanjian belaka (contractual).
Misalnya bentuk kerjasama antara Van Sickle Associates Inc.,(suatu badan hukum
yang berkedudukan di Delaware, AmerikaSerikat) dengan PT Kalimantan
Plywood Factory (suatu badan hukum Indonesia) untuk bersama-sama mengolah kayu
di Kalimantan Selatan. Kerjasama ini juga biasa disebut dengan “Contract of
Cooperation” yang tidak membentuk suatu badan hukum Indonesia seperti yang
dipersyaratkan dalam Pasal 3 UU PMA.
Berbagai macam corak atau variasi dari joint venture yang ditemukan dalam praktik
aplikasi penanaman modal asing dikemukakan sebagai berikut:
1) Technical Assistance (service) Contract : suatu bentuk kerjasama yang dilakukan
antara pihak modal asing dengan modal nasional sepanjang yang bersangkut paut
dengan skill atau cara kerja (method) misalnya; suatu perusahaan modal nasional yang
ingin memajukan atau meningkatkan produksinya. Membutuhkan suatu peralatan baru
disertai cara kerja atau metode kerja. Dalam hal demikian, maka dibutuhkan
(diperlukan) technical assistance dari perusahaan modal asing di luar negeri dengan
cara pembayaran sejumlah uang tertentu yang dapat diambilkan dari penjualan
produksi perusahaan yang bersangkutan.
2) Franchise and brand-use Agreement : suatu bentuk usaha kerjasama yang
digunakan, apabila suatu perusahaan nasional atau dalam negeri hendak memproduksi
suatu barang yang telah mempunyai merek terkenal seperti: Coca- Cola, Pepsi-Cola,
Van Houten, Mc’ Donalds, Kentucky Fried Chicken, dan sebagainya.
3) Management Contract: suatu bentuk usaha kerjasama antara pihak modal asing
dengan modal nasional menyangkut pengelolaan suatu perusahaan khusunya
dalam hal pengelolaan manajemen oleh pihak modal asing terhadap suatu perusahaan
nasional. Misalnya yang lazim dipergunakan dalam pembuatan maupun
pengelolaan hotel yang bertaraf internasional oleh pihak Indonesia diserahkan
kepada swasta luar negeri seperti; Hilton International Hotel, Mandarin
International Hotel, dan sebagainya.
4) Build, Operation, and Transfer (B.O.T) : suatu bentuk kerjasama yang relatif baru
dikenal yang pada pokoknya merupakan suatu kerjasama antara para pihak,
dimana suatu objek dibangun, dikelola, atau dioperasikan selama jangka waktu tertentu
diserahkan kepada pemilik asli.
1. b. Joint Enterprise
Joint enterprise merupakan suatu kerjasama antara penanaman modal asing dengan
penanaman modal dalam negeri dengan membentuk suatu perusahaan atau badan
hukum baru sesuai dengan yang diisyaratkan dalam Pasal 3 UU PMA. Joint Enterprise
merupakan suatu perusahaan terbatas, yang modalnya terdiri dari modal dalam nilai
rupiah maupun dengan modal yang dinyatakan dalam valuta asing.[5]
1. c. Kontrak Karya
Pengertian kontrak karya (contract of work) sebagai suatu bentuk usaha kerjasama
antara penanaman modal asing dengan modal nasional terjadi apabila penanam
modal asing membentuk badan hukum Indonesia dan badan hukum ini
mengadakan perjanjian kerja sama dengan suatu badan hukum yang mempergunakan
modal nasional. Bentuk kerjasama kontrak karya ini hanya terdapat dalam perjanjian
kerja sama antara badan hukum milik negara (BUMN) seperti; Kontrak karya antara
PN. Pertamina dengan PT. Caltex International Petroleum yang berkedudukan di
Amerika Serikat.
Disamping ketiga bentuk kerjasama di atas masih terdapat bentuk kerjasama yang lain
seperti production sharing, management contract, penanaman modal asing dengan
disc-rupiah dan kredit untuk proyek (barang modal).
Keberadaan penanaman modal asing secara langsung (foreign direct
investment) tidak dapat dipungkiri telah memberi banyak manfaat bagi negara
penerima modal (host country), begitu pula bagi investor maupun bagi negara asal
(home country).
Bagi negara penerima modal (host country) keberadaaan investasi yang ditanamkan
oleh investor, khususnya penanaman modal asing secara langsung (foreign direct
investment), ternyata telah memberikan dampak positif atau manfaat di dalam
pembangunan.
Terlepas dari pendapat pro dan kontra terhadap kehadiran investasi asing, namun
secara teoritis kiranya dapat dikemukakan, bahwa kehadiran investor asing di suatu
negara mempunyai manfaat yang cukup luas (multiplier effect). Manfaat yang
dimaksud, yakni kehadiran investor asing dapat menyerap tenaga kerja di negara
penerima modal, dapat menciptakan demand bagi produk dalam negeri sebagai bahan
baku, menambah devisa apalagi investor asing yang berorientasi ekspor, dapat
menambah penghasilan negara dari sektor pajak, adanya alih teknologi (transfer of
technology) maupun alih pengetahuan (transfer of know how). Dilihat dari sudut
pandang ini terlihat bahwa, kehadiran investor cukup berperan dalam pembangunan
ekonomi suatu negara, khususnya pembangunan ekonomi di daerah dimana FDI
menjalankan aktifitasnya.
Arti pentingya kehadiran investor asing dikemukakan Gunarto Suhardi:
“investasi langsung lebih baik jika dibandingkan dengan investasi portofolio, karena
langsung lebih permanen. Selain itu investasi langsung:
1. a. memberikan kesempatan kerja bagi penduduk;
2. b. mempunyai kekuatan penggandaan dalam ekonomi lokal;
3. c. memberikan residu baik berupa peralatan maupun alih teknologi;
4. d. apabila produksi diekspor memberikan jalan atau jalur pemasaran yang dapat
dirunut oleh pengusaha lokal disamping seketika memberikan tambahan devisa dan
pajak bagi negara;
5. e. lebih tahan terhadap fluktuasi bunga dan valuta asing;
6. f. memberikan perlindungan politik dan keamanan wilayah karena bila investor
berasal dari negara kuat niscaya bantuan keamanan juga akan diberikan.”
1. 2. Kontrak Penanaman Modal Asing
Sebagaimana diketahui, penanaman modal asing di Indonesia dapat dilakukan :
a) Oleh pihak asing (perorangan atau badan hukum), ke dalam suatu perusahaan
yang seratus persen diusahakan oleh pihak asing.
b) Dengan menggabungkan modal asing itu dengan modal nasional.
Secara yuridis hal yang pertama itu tidak menimbulkan persoalan yang terlalu rumit,
karena sudah jelas bahwa bukan hanya modal akan tetapi kekuasaan dan pengambilan
keputusan (decision making) dilakukan oleh pihak asing, sepanjang segala sesuatu itu
memperoleh persetujuan dari pemerintah Indonesia atau selama kebijakan -
kebijakannya tidak melanggar hukum dan ketertiban umum yang berlaku di Indonesia.
Yang lebih sulit diatur adalah berbagai – bagai bentuk kerjasama antara modal asing
dan modal nasional. Sebab disini kita benar-benar harus menghadapi berbagai variasi
antara perimbangan modal dan kekuasaan (management) yang sesungguhnya.
Sehingga disini kita harus lebih memperhatikan keadaan perusahaan yang
sebenar -benarnya daripada dalam hal perusahaan yang semata-mata bekerja dengan
modal asing saja.
1. 3. Teori Penanaman Modal Asing
a) Teori R. Vernon
Vernon (1966) menjelaskan penanaman modal asing dengan model yang disebut
Model Siklus Produk (Pandji Anoraga, 1995: 53). Dalam model ini, introduksi dan
pengembangan produk baru di pasar mengikuti tiga tahap. Pendorong untuk
mengembangkan produk baru diberikan oleh kebutuhan dan peluang pasar. Dalam
tahap satu, pada waktu produk pertama kali dikembangkan dan dipasarkan,
diperlukan suatu hubungan yang erat antara kelompok desain, produksi dan
pemasaran dari perusahaan dan pasar yang akan dilayani oleh produk itu. Untuk
itu produksi dan penjualan perlu dilakukan di dalam negeri. Tahap kedua yakni
perusahaan mulai memikirkan kemungkinan mencari pasar – pasar baru di negara –
negara yang relatif maju dan ekspor pun mulai dilakukan dengan tujuan negara dunia
ketiga. Keuntungan perusahaan terletak pada skala ekonomi dalam produksi,
pengangkutan dan pemasaran. Strategi – strategi penentuan harga dan lokasi
didasarkan atas aksi dan reaksi multinational corporation yang lain dan bukan pada
biaya komperatif. Tahap ketiga atau tahap terakhir yakni dimana produk telah
terbuat dengan baik dengan desain yang distandarisasi, sehingga risetan keterampilan
manajemen tidak lagi penting. Tenaga kerja yang tidak terampil dan setengah terampil
mulai mendapat tempat dan konsekuensinya, produk bergerak ke negara-negara yang
sedang berkembang, dimana ongkos tenaga kerjanya masih lebih rendah. Produk –
produk yang dihasilkan di negara berkembang tersebut akan diimpor kembali ke negara
asal dan juga ke pasar negara yang lebih maju. Oleh karena itu, lokasi produksi akan
lebih ditentukan oleh perbedaan biaya dari jarak pasar. Investasi luar negeri akan dilihat
sebagai suatu cara untuk dapat mempertahankan daya saing perusahaan
dalam produk-produk inovatifnya.
b) Teori J.H Dunning
John Dunning (1977) dalam menjelaskan faktor – faktor yang mempengaruhi
penanaman modal asing melalui teori ancangan eklektis (Pandji Anoraga, 1995: 57).
Teori eklektis menetapkan suatu set yang terdiri dari tiga persyaratan yang diperlukan
bila sebuah perusahaan akan berkecimpung dalam penanaman modal asing. Yang
pertama adalah adanya keunggulan spesifik perusahaan. Rentang keunggulan yang
dapat menumbuhkan FDI adalah :
1) Teknologi pemilikan disebabkan karena kegiatan penelitian dan
pengembangan.
2) Keterampilan manajerial, pemasaran, atau lainnya yang spesifik untuk fungsi
organisasi perusahaan.
3) Deferensiasi produk, merk dagang atau nama cap. d. Ukuran besar, yang
mencerminkan skala ekonomi.
4) Keperluan modal yang besar untuk pabrik dengan ukuran efisien minimum.
Yang kedua adalah keunggulan internalisasi. Kondisi yang menyokong internalisasi
meliputi :
1) Biaya tinggi dalam membuat dan melaksanakan kontrak.
2) Ketidakpastian pembeli tentang nilai teknologi yang dijual.
3) Kebutuhan untuk mengendalikan penggunaan atau penjualan kembali produk.
4) Keunggulan untuk menggunakan diskriminasi harga atau subsidi ulang (cross-
subsidization).
Yang ketiga adalah keunggulan spesifik negara. Keunggulan spesifik lokasi dari
negara tuan rumah dapat meliputi :
1) Sumber daya alami.
2) Kekuatan tenaga kerja biaya rendah yang efisien dan terampil.
3) Rintangan perdagangan membatasi impor.
c) Teori David K. Eiteman
Menurut David K. Eiteman (1989), motif yang mendasari penanaman modal asing ada
tiga, yaitu : motif strategis, motif perilaku dan motif ekonomi. Dalam motif strategis
dibedakan dalam :
1) Mencari pasar
2) Mencari bahan baku
3) Mencari efisiensi produks
4) Mencari pengetahuan
5) Mencari keamanan politik.
Sedangkan motif perilaku merupakan ransangan lingkungan eksternal dan yang lain
dari organisasi didasarkan pada kebutuhan dan komitmen individu atau kelompok. Motif
ekonomi merupakan motif untuk mencari keuntungan dengan cara memaksimalkan
keuntungan jangka panjang dan harga pasar saham perusahaan.
d) Teori Robock & Simmonds
Teori PMA yang lain dijelaskan oleh Robock & Simmonds (1989), melalui
pendekatan global, pendekatan pasar yang tidak sempurna, pendekatan internalisasi,
model siklus produk, produksi internasional dan model imperalisasi marxis. Pendekatan
Global. Menurut pendekatan global, kekuatan intern yang mempengaruhi PMA yaitu
pengembangan teknologi/ produk baru, ketergantungan pada sumber – sumber bahan
baku, memanfaatkan mesin – mesin yang sudah usang, mencari pasar yang lebih
besar. Sedangkan kekuatan eksternal yang mempengaruhi PMA yaitu pelanggan,
pemerintah, ekspansi ke luar negeri dari pesaing dan pembentukan Masyarakat
Ekonomi Eropa (MEE).
Model Siklus Produk. Model ini menerangkan bahwa penanaman modal asing melalui
tiga tahap, yaitu tahap produk baru, tahap produk matang dan tahap produk yang
distandardisasi. Pada tahap produk baru, produk dihasilkan di dalam negeri.
Sedangkan untuk pasar luar negeri dilayani dengan ekspor. Pada tahap produk
matang, harga produk menjadi penting. Pasar luar negeri telah dilayani oleh
produksi lokal. Pada tahap ketiga, persaingan menjadi lebih penting dan produksi
diarahkan pada lokasi/ tempat yang biayanya rendah (kecil) dalam lingkup negara yang
berpenghasilan rendah.
e) Teori Stephen Hymer
Investasi langsung merupakan persoalan yang kompleks dan sulit dijelaskan
dengan cara yang sederhana, namun Stephen Hymer telah mengembangkan suatu
teori yang cukup kuat untuk menjelaskan cara bekerja internasional dari perusahaan –
perusahaan nasional. Menurut Hymer, invetasi langsung termasuk dalam teori
persaingan tidak sempurna, dan bukan dalam teori persaingan biasa atau teori
mengenai pergerakan modal secara internasional. Hymer mengemukakan bahwa inti
pokok dari penanaman modal secara langsung adalah meratakan beberapa
keuntungan monopolistik yang dinikmati oleh perusahaan induk. Menurut pendekatan
ini, pengembalian investasi yang lebih tinggi di luar negeri tidak menjamin kelengkapan
penjelasan arus modal, karena pengembalian investasi itu sendiri berarti bahwa
modal akan lebih efisien bila dialokasikan melalui pasar modal dan tidak memerlukan
pemindahan perusahaan. Kemungkinan memperoleh pengembalian investasi yang
lebih tinggi akan timbul bila perusahaan memiliki keunggulan tertentu atas
1. B. PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI
1. 1. Pengertian dan Dasar Hukum
Dalam Undang-Undang no 6 tahun 1968 dan Undang-Undang nomor 12 tahun 1970
tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), disebutkan terlebih dulu definisi
modal dalam negeri pada pasal 1, yaitu sebagai berikut :
a) Undang-undang ini dengan “modal dalam negeri” adalah : bagian dari kekayaan
masyarakat Indonesia termasuk hak-hak dan benda-benda, baik yang dimiliki
Negara maupun swasta asing yang berdomosili di Indonesia yang disisihkan atau
disediakan guna menjalankan suatu usaha sepanjang modal tersebut tidak diatur
oleh ketentuan-ketentuan pasal 2 UU No. 12 tahun 1970 tentang penanaman modal
asing.
b) Pihak swasta yang memiliki modal dalam negeri tersebut dalam ayat 1 pasal ini
dapat terdiri atas perorangan dan/ atau badan hukum yang didirikan berdasarkan
hukum yang berlaku di Indonesia. Kemudian dalam Pasal 2 disebutkan bahwa, Yang
dimaksud dalam Undang- Undang ini dengan “Penanaman Modal Dalam
Negeri” ialah penggunaan daripada kekayaan seperti tersebut dalam pasal 1, baik
secara langsung atau tidak langsung untuk menjalankan usaha menurut atau
berdasarkan ketentuanketentuan Undang-Undang ini.
Penyelenggaraan pembangunan ekonomi nasional adalah untuk mempertinggi
kemakmuran rakyat, modal merupakan factor yang sangat penting dan menentukan
Perlu diselenggarakan pemupukan dan pemanfaatan modal dalam negeri dengan cara
rehabilitasi pembaharuan, perluasan, pemnbangunan dalam bidang produksi barang
dan jasa. Perlu diciptakan iklim yang baik, dan ditetapkan ketentuan-ketentuan
yang mendorong investor dalam negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Dibukanya bidang-bidang usaha yang diperuntukan bagi sector swasta.
Pembangunan ekonomi selayaknya disandarkan pada kemampuan rakyat Indonesia
sendiri. Untuk memanfaatkan modal dalam negeri yang dimiliki oleh orang asing
Penanaman modal (investment), penanaman uang aatau modal dalam suatu
usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan dari usaha tsb. Investasi sebagai
wahana dimana dana ditempatkan dengan harapan untuk dapat memelihara atau
menaikkan nilai atau memberikan hasil yang positif
Pasal 1 angka 2 UUPM meneyebutkan bahwa PMDN adalah kegiatan menanam modal
untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh
penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri Sedangkan
yang dimaksud dengan penanam modal dalam negeri adalah perseorangan WNI,
badan usaha Indonesia, Negara RI, atau daerah yang melakukan penanaman modal di
wilayah Negara RI (Pasal 1 angka 5 UUPM)
Kriteria Perusahaan Penanaman Modal Negeri yang mendapatkan fasilitas antara lain:
a) Menyerap banyak tenaga kerja
b) Termasuk skala prioritas tertinggi
c) Melakukan alih teknologi
d) Melakukan industri pionir
e) Menjaga kelestarian lingkungan hidup
1. 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Dalam Neegeri
Faktor-faktor yang mempengaruhi Penanaman Modal Dalam Negeri adalah sebagai
berikut:
a) Potensi dan karakteristik suatu daerah
b) Budaya masyarakat
c) Pemanfaatan era otonomi daerah secara proposional
d) Peta politik daerah dan nasional
e) Kecermatan pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan local dan peraturan
daerah yang menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia bisnis dan investasi
1. 3. Syarat-Syarat Melakukan Penanaman Modal Dalam Negeri
1) Permodalan: menggunakan modal yang merupakan kekayaan masyarakat
Indonesia baik langsung maupun tidak langsung
2) Pelaku Investasi : Negara dan swasta Pihak swasta dapat terdiri dari orang dan
atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum di Indonesia
3) Bidang usaha : semua bidang yang terbuka bagi swasta, yang dibina, dipelopori
atau dirintis oleh pemerintah.
4) Perizinan dan perpajakan : memenuhi perizinan yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah. Antara lain : izin usaha, lokasi, pertanahan, perairan, eksplorasi, hak-hak
khusus, dll.
5) Batas waktu berusaha : merujuk kepada peraturan dan kebijakan masing-masing
daerah
6) Tenaga kerja: wajib menggunakan tenaga ahli bangsa Indonesia, kecuali apabila
jabatan-jabatan tertentu belum dapat diisi dengan tenaga bangsa Indonesia. Mematuhi
ketentuan UU ketenagakerjaan (merupakan hak dari karyawan)
1. 4. Tata Cara Penanamam Modal Dalam Negeri
Keppres No. 29/2004 ttg penyelenggaraan penanam modal dalam rangka PMA dan
PMDN melalui system pelayanan satu atap. Meningkatkan efektivitas dalam menarik
investor, maka perlu menyederhanakan system pelayanan penyelenggaraan
penanaman modal dengan metode pelayanan satu atap. Diundangkan peraturan
perundang-undnagan yang berkaitan dengan otonomi daerah, maka perlu ada
kejelasan prosedur pelayanan PMA dan PMDN
1. Instansi pemerintah yang menangani kegiatan penanaman modal dalam rangka
PMA dan PMDN Pelayanan persetujuan, perizinan, fasilitas penanaman modal dalam
rangka PMA dan PMDN dilaksanakan oleh BKPM berdasarkan pelimpahan kewenagan
dari Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Dept yang membina bidang-bidang
usaha investasi yang bersangkutan melalui pelayanan satu atap.
1. C. PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL
Pada prinsipnya, investor yang menanamkan investasi selalu mengharapkan bahwa
investasi yang ditanamkan dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya tanpa
menimbulkan sengketa/konflik. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri pula bahwa di dalam
menjalankan usahanya tidak tertutup kemungkinan terjadinya suatu sengketa/konflik
antara investor dengan pemerintah serta masyarakat sekitarnya.
Apabila kita perhatikan pengertian penanaman modal yang termuat dalam Pasal 1
angka (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dapat
sangat jelas dilihat bahwa investor yang menanamkan modalnya di Indonesia dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu investor domestik dan investor asing.
Maka yang menjadi pertanyaan kini adalah hukum dan cara apakah yang
digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara investor dengan pihak
pemerintah, terlebih mengingat bahwa investor yang menanamkan modalnya di
Indonesia dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu investor domestik dan investor
asing. Dimana pembagian jenis investor tersebut tentunya membawa perbedaan
dalam hukum dan cara yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi
antara investor dengan pihak pemerintah. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa
penanaman modal tersebut dapat dibagi menjadi:
1) Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal yang Timbul antara Pemerintah
dengan Investor Domestik.
Apabila sengketa yang terjadi antara investor domestik dengan pihak Pemerintah
Indonesia dan masyarakat sekitarnya, hukum yang digunakan adalah hukum
Indonesia.[6]
Dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
telah ditentukan cara penyelesaian sengketa yang timbul dalam penanaman modal
antara pemerintah dengan investor domestik. Dalam ketentuan itu, ditentukan empat
cara dalam penyelesaian sengketa dalam penanaman modal. Keempat cara itu, antara
lain:[7]
1) Musyawarah dan mufakat;
2) Arbitrase;
3) Alternatif penyelesaian sengketa; dan
4) Pengadilan.
Penyelesaian dengan musyawarah dan mufakat merupakan cara untuk mengakhiri
sengketa yang timbul antara pemerintah dengan investor domestik, dimana di
dalam penyelesaian itu dilakukan pembahasan bersama dengan maksud untuk
mencapai keputusan dan kesepakatan atas penyelesaian sengketa secara
bersama-sama.
Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase merupakan cara untuk
mengakhiri sengketa dalam penanaman modal antara pemerintah Indonesia dengan
investor domestik, dimana dalam penyelesaian sengketa itu menggunakan jasa arbiter
atau majelis arbiter. Arbiter atau majelis arbiterlah yang menyelesaikan sengketa
penanaman modal tersebut.
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati antara pemerintah Indonesia dengan
investor domestik, yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Ada lima cara penyelesaian
sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa, yaitu:120
1) konsultasi;
2) negosiasi;
3) mediasi;
4) konsiliasi;
5) penilaian ahli.
Penyelesaian sengeta melalui pengadilan merupakan cara untuk mengakhiri sengketa
yang timbul antar penyelesaian itu dilakukan di muka dan dihadapan pengadilan.
Dan pengadilan lah yang nantinya akan memutuskan tentang perselisihan tersebut.
Ada tiga tingkatan pengadilan yang harus diikuti oleh salah satu pihak, apakah
pemerintah Indonesia atau investor domestik, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi dan Mahkamah Agung.
2) Penyelesaian Sengketa Penanam Modal yang Timbul Antara Pemerintah
dengan Investor Asing
Dalam Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal dikatakan bahwa:[8]
“Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan
penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui
arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.”
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional merupakan cara untuk
mengakhiri perselisihan yang timbul antara Pemerintah Indonesia dengan investor
asing, dimana kedua belah pihak sepakat menggunakan lembaga arbitrase atau arbiter
perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia.
Dalam rangka penyelesaian sengketa oleh arbitrase telah ditetapkan bahwa hukum
yang berlaku dan yang menjadi dasar pemakaian oleh dewan wasit dalam
menyelesaikan sengketa tersebut adalah hukum yang dipilih oleh para pihak.124
Republik Indonesia meratifikasi Konvensi ICSID dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1968 (Lembaran Negara No. 32 Tahun 1968) yakni undang-undang
persetujuan atas konvensi tentang penyelesaian perselisihan antara negara dan warga
negara asing mengenai penanaman modal. Undang-undang ini singkat saja, hanya
berisi 5 Pasal 125. Dengan telah diratifikasinya konvensi tersebut, secara yuridis
Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi tersebut,
sehingga setiap penyelesaian perselisihan atau penyelesaian sengketa penanaman
modal asing akan dilakukan menurut tata cara dan prosedur yang diatur dalam
International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID).
International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID) terdiri atas 9 bab
(chapter) dan 75 pasal (artikel). Hal-hal yang diatur dalam ICSID ini, meliputi:127
a) Chapter I International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID)
(Artikel 1 sampai dengan Artikel 24);
b) Chapter II Jurisdiction of the Centre (Artikel 25 sampai dengan Artikel 27);
c) Chapter III Conciliation (Artikel 28 sampai dengan Artikel 35);
d) Chapter IV Arbitration (Artikel 36 sampai dengan Artikel 55);
e) Chapter V Replacement and Disqualification of Conciliators and Arbitrator
f) (Artikel 56 sampai dengan Artikel 58);
g) Chapter VI Cost of Procedings (Artikel 59 sampai dengan Artikel 63);
h) Chapter VII Disputes between Contracting States (Artikel 64);
i) Chapter VIII Amandment (Artikel 65 sampai dengan Artikel 66);
j) Chapter IX Final Provisions (Artikel 67 sampai dengan Artikel 75)
Penyelesaian dengan menggunakan arbitrase diatur dalam Artikel 36 sampai dengan
Artikel 55 ICSID. Sementara itu, tata cara pengajuan permohonan sampai dengan
pengambilan putusan disajikan berikut ini:
1) Tata Cara Pengajuan Permohonan Arbitrase
Dalam Artikel 36 ICSID telah ditentukan tata cara pengajuan permohonan penyelesaian
sengketa kepada Centre, melalui forum Arbitrase (Arbitral tribunals). Dalam ketentuan
itu, ditentukan tata cara sebagai berikut:
i. Pengajuan permohonan disampaikan
kepada Sekretaris Jenderal Dewan Administratif Centre.
ii. Permohonan diajukan secara tertulis,
iii. Permohonan membuat penjelasan tentang:
ü pokok-pokok perselisihan;
ü identitas para pihak; dan
ü mengenai adanya persetujuan mereka mengajukan perselisihan yang timbul menurut
ketentuan Centre.
Setelah menerima permohonan tersebut, Sekretaris Jenderal mendaftar permohonan,
kecuali dia menemukan dalam penjelasan permohonan bahwa perselisihan
yang timbul nyata-nyata berada di luar yuridiksi Centre, Dalam hal perselisihan yang
diajukan berada di luar yuridiksi Centre, Sekretaris Jenderal menolak untuk
mendaftar. Untuk itu, Sekretaris Jenderal membuat dan menyampaikan penolakan
dalam bentuk “pemberitahuan” atau notice kepada para pihak. Dalam permohonan
memenuhi syarat, dan permohonan telah didaftar, maka Sekretaris Jenderal
menyampaikan “pemberitahuan” kepada para pihak dan salinan permohonan kepada
pihak lain.
2) Pembentukan Tribunal Arbitrase
Apabila Sekretaris Jenderal telah menerima dan mendaftar permohonan perselisihan
yang diajukan salah satu pihak, Centre harus sesegera mungkin membentuk
Mahkamah Arbitrase (Tribunal Arbitral).Menurut Artikel 37 ayat (2) ICSID, telah
ditentukan pembentukan Mahkamah Arbitrase yang dilakukan Centre. Mahkamah
Arbitrase:
a) boleh hanya terdiri dari seorang arbiter (arbitrator) saja;
b) tetapi boleh juga arbiternya terdiri dari beberapa orang yang jumlahnya ganjil
(any uneven number of arbitrator).
Jika para pihak menyetujui jumlah arbiter yang ditunjuk atau mereka tidak dapat
menerima tata cara penunjukkan yang dilakukan Centre, cara lain penunjukan arbiter
merujuk kepada ketentuan Artikel 37 ayat (2) huruf b ICSID, dengan acuan penerapan:
a) anggota harus terdiri dari tiga orang arbiter;
b) masing-masing menunjuk seorang arbiter; dan
c) anggota yang ketiga ini, langsung mutlak menjadi ketua (presiden) dari tribunal
arbitrase yang bersangkutan.
Para pihak dapat menyetujui arbiter yang ditunjuk Centre. Sebaliknya dapat menolak
apabila arbiter yang ditunjuk tidak mereka setujui, atau apabila metode dan tata cara
penunjukan mereka anggap kurang sesuai. Dalam hal yang demikian, pengangkatan
anggota arbiter sepenuhnya menjadi hak dan kewenangan para pihak untuk
mengangkat masing-masing seorang arbiter. Sementara itu, pengangkatan atau
penunjukan arbiter ketiga harus atas persetujuan bersama dari semua pihak. Dan
anggota yang ketiga ini langsung akan bertindak sebagai Ketua (Presiden).
Selanjutnya menurut Artikel 38 ICSID, apabila dalam tempo 90 hari dari tanggal
pemberitahuan pendaftaran permohonan tribunal arbitrase belum dibentuk, Ketua
Dewan Administratif Centre (Chairman of the Administratif Council)
berwenang menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter. Kewenangan yang
demikian ada pada diri Ketua Dewan Administratif apabila telah ada permohonan dari
salah satu pihak. Di samping itu, kewenangan penunjukkan arbiter yang seperti itu tidak
boleh diambil dari negara peserta konvensi yang sedang berselisih.
Satu hal lagi yang perlu diketahui dalam komposisi anggota arbiter, yaitu mayoritas
anggota arbitrase harus ditunjuk dari luar negara peserta Konvensi yang sedang
berselisih. Hal itu ditegaskan dalam Artikel 39 Konvensi. Namun demikian, ketentuan
ini dapat dikesampingkan apabila para pihak menyetujui bahwa arbiter tunggal
ditunjuk dari salah satu negara para pihak atau mereka setuju mayoritas anggota
arbiter dapat ditunjuk dari salah satu negara para pihak.
3) Kewenangan dan Fungsi Tribunal Arbitrase
Arbitrase Centre merupakan mahkamah yang bersifat internasional. Kewenangan dari
Arbitrase Centre adalah untuk mengadili atau memutus perselisihan sesuai dengan
kompetensinya (Artikel 40 ICSID). Berarti, selama apa yang disengketakan para pihak
masih termasauk yuridiksi yang ditentukan Pasal 32 dan Artikel 25 ICSID. Para anggota
arbiter sepenuhnya berwenang untuk memutus perselisihan.
Dalam hal ada bantahan (objection) dari salah satu pihak yang menyatakan apa yang
diperselisihkan adalah diluar yuridiksi Centre atau berdasar alasan lain yang
memperlihatkan apa yang diperselisihkan di luar kewenangan tribunal arbitrase yang
dibentuk, tribunal yang bersangkutan lebih dahulu mempertimbangkan dan memutus
tentang hal tersebut dalam bentuk putusan pendahuluan (preliminary). Akan tetapi,
bisa juga hal itu dipertimbangkan dan diputus bersamaan dengan pokok
persengketaan apabila tata cara yang demikian lebih bermanfaat.
Sehubungan dengan kewenangan dan fungsi memutus perselisihan yang terjadi,
lebih lanjut diuraikan dalam hal-hal di bawah ini:
a) Memutus sengketa menurut hukum
Menurut Artikel 42 Konvensi, arbitrase Centre terikat pada ketentuan hukum (rules
of law) dalam memutus perselisihan yang terjadi. Prinsip ini merupakan patokan
utama yang acuan penerapannya dapat dijabarkan secara ringkas, sebagai berikut:
ü Centre harus memutus berdasarkan hukum yang telah disepakati para pihak dalam
perjanjian.
ü Dalam perjanjian tidak menentukan tata hukum mana yang akan diterapkan, Centre
menerapkan tata hukum dari negara peserta yang sedang berselisih.
ü Centre dilarang menerapkan hukum yang tidak dikenal oleh para pihak-pihak yang
berselisih.
ü Akan tetapi Centre dapat memutus perselisihan berdasar “kepatutan” atau “ex aequo
et bono”, jika hal itu disepakati para pihak dalam perjanjian.
b) Memanggil dan melakukan pemeriksaan setempat
Dalam Artikel 43 ICSID telah ditentukan kewenangan Tribunal. Kewenangan itu
meliputi:
ü memanggil atau meminta pihak-pihak untuk menyerahkan dokumen atau alat bukti
yang dianggap penting,
ü melakukan pemeriksaan setempat atau memeriksa langsung barang, orang,
serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dianggap patut dan bermanfaat dalam
penyelesaian perselisihan. Kewenangan itu akan gugur jika hal para pihak menentukan
lain dalam perjanjian.
ü Putusan Provisi
Dalam Artikel 47 ICSID telah ditentukan kewenangan dari Centre. Kewenangan itu
adalah menjatuhkan:
1) putusan pendahuluan; atau
2) putusan provisi; maupun
3) tindakan sementara.
Penjatuhan putusan itu didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi dan
menghormati hak dan kepentingan salah satu pihak. Dalam tindakan atau putusan
sementara, dapat dimasukkan penyitaan barang-barang yang disengketakan, agar
gugatannya tidak mengalami illusoir dikemudian hari. Bisa juga pelarangan
penjualan atau pemindahan barang, asalkan itu merupakan objek yang langsung
terlibat dalam persetujuan.
4) Putusan Arbitrase Centre
Tujuan utama arbitrase Centre ialah memutus perselisihan yang timbul apabila
perselisihan itu telah diajukan kepadanya. Dalam Artikel 48 ICSID telah ditentukan
tata cara pengambilan putusan. Tata cara pengambilan keputusan oleh Arbitrase
Centre disajikan berikut ini
a) Putusan diambil berdasar suara mayoritas anggota arbiter.
b) Putusan arbiter yang sah ialah:
ü dituangkan dalam putusan secara tertulis; dan
ü ditandatangani oleh anggota arbiter yang menyetujui putusan.
ü Putusan memuat segala segi permasalahan serta alasan-alasan yang menyangkut
dasar pertimbangan putusan.
c) Setiap anggota arbiter dibenarkan mencantumkan pendapat pribadi (individual
opinion) dalam putusan, meskipun pendapat tersebut berbeda dan menyimpang dari
pendapat mayoritas anggota. Bahkan, boleh juga seorang anggota mencantumkan
suatu pernyataan mengapa dia berbeda pendapat dengan mayoritas anggota
arbiter.
d) Centre tidak boleh memublikasi putusan, tanpa persetujuan para pihak.
Selanjutnya, Sekretaris Jenderal harus segera mengirimkan salinan putusan kepada
para pihak. Putusan dianggap memiliki daya mengikat atau binding terhitung dari
tanggal pengiriman salinan. Selama dalam jangka waktu 45 hari dari tanggal
dimaksud, para pihak dapat mengajukan pertanyaan yang berkenaan dengan
kesalahan pengetikan, perhitungan atau kekeliruan lain yang sejenis. Walaupun
putusan itu telah diputuskan oleh Centre, namun para pihak atau salah satu pihak
diperkenankan melakukan:
a) interprestasi putusan;
b) revisi putusan; atau
c) pembatalan putusan.
1. D. KASUS PT.INDOSAT
Menerima surat resmi dari negara lain (G to G atau government to government) adalah
salah satu indikasi adanya ketidakpercayaan negara lain terhadap proses hukum yang
dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Indosat (yang mayoritas sahamnya dimiliki
Qatar) saat ini sedang dikasuskan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia terkait
dugaan penyalahgunaan frekuensi 3G yang melibatkan Indosat dan anak usahanya
Indosat Mega Media (IM2). Sebuah tuduhan yang banyak dibantah oleh berbagai pihak.
Bantahan paling keras dilakukan Masyarakat Telekomunikasi (MasTel) yang
menyatakan bahwa penggunaan frekuensi Indosat oleh IM2 sama sekali tidak
melanggar peraturan.
Menkominfo Tifatul Sembiring juga telah mengirimkan surat ke Presiden SBY
ditembuskan kepada Presiden SBY, Wakil Presiden Boediono, Menkopolhukam, Menko
Perekonomian, Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), terkait kasus yang membelit
Indosat dan IM2. Dalam surat bernomor T684/M.KOMINFO/KU.O4.01/11/2012 tersebut
ditegaskan bahwa kerjasama Indosat dan IM2 terkait penyelanggaraan internet 3G di
frekuensi 2,1 GHz tidak melanggar aturan.
Padahal dalam UU Telekomunikasi No. 3/1999 Pasal 44 dinyatakan masalah
penyalahgunaan frekuensi diselidiki oleh PPNS Kemenkominfo. Sedangkan di Pasal 36
UU Kejaksaan juga ditegaskan, jaksa harus menghormati instansi lain dalam
melaksanakan kewenangannya.
Bila antar lembaga pemerintah sendiri sudah tidak ada saling percaya terhadap
lembaga pemerintah lainnya, ini preseden buruk bagi negara ini. Wajar bila Qatar
meragukan Indonesia mampu menangani kasus ini dengan baik.
Hingga kini, tidak jelas apa alasan Kejagung seolah memperlambat proses penanganan
kasus IM2. Bahkan untuk tersangka-tersangka yang telah ditetapkan pun Kejagung
masih merahasiakan bukti-bukti yang menunjukkan keterlibatan mereka dalam kasus
ini. Jika bukti sudah ada, kenapa tidak langsung disidangkan agar jelas ‘bersalah atau
tidak’-nya.
Situasi ini jelas membuat industri telekomunikasi berada dalam ketidakpastian
hukum. Jika IM2 & Indosat dinyatakan bersalah, maka seluruh penyedia layanan
internet se-Indonesia juga bisa dinyatakan bersalah. Sebab kerjasama yang
perusahaan-perusahaan ini lakukan untuk menjalankan bisnisnya sama persis dengan
perjanjian bisnis antara Indosat dengan IM2.
Jika diteruskan, efek jangka panjangnya adalah perusahaan-perusahaan asing akan
malas untuk berinvestasi di Indonesia.
ANALISA KASUS PT.INDOSAT:
Kepastian hukum merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung peningkatan
kegiatan FDI di Indonesia. Dalam konteks perdagangan bebas, kepastian hukum dalam
kegiatan FDI merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Hal ini dilatarbelakangi
oleh kenyataan bahwa kebijakan investasi suatu negara dapat mempengaruhi
perdagangan, terutama pada era globalisasi perdagangan dan investasi. Kegiatan
investasi akan mendorong peningkatan aktivitas perdagangan, dan sebaliknya
perdagangan akan mendorong investasi lebih lanjut.8)
Apabila dicermati lebih seksama, ketidakpastian hukum yang dikeluhkan investor asing
tersebut, disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1) Berlakunya otonomi daerah. Dengan diundangkannya UU Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah digantikan dengan UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka daerah dapat melaksanakan otonomi
sendiri. Sesuai dengan ketentuan undang-undang tersebut bahwa penanaman modal
merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Hal
ini menyebabkan banyak daerah kabupaten atau kota yang menerbitkan peraturan
daerah untuk mengatur investasi, sehingga terjadi tumpang tindih regulasi antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta antara pemerintah daerah yang satu
dengan pemerintah daerah lainnya. Pada gilirannya, keadaan tersebut justeru
membingungkan investor asing karena tidak ada kepastian hukum.
2) Tidak konsistennya penegakan hukum. Dalam beberapa hal, ketidakpastian
hukum yang dikeluhkan investor asing disebabkan oleh tidak konsistennya penegakan
hukum di Indonesia. Hal ini tampak jelas dalam kasus PT. Asuransi Jiwa Manulife
Indonesia (PT. AJMI). Duta Besar Perancis untuk Indonesia, Herve Ladseus
mengatakan, kasus PT. AJMI merupakan suatu preseden buruk terhadap iklim investasi
di Indonesia, sehingga investor asing akan semakin enggan menginvestasikan
modalnya di Indonesia.
3) Lambannya pemerintah melakukan reformasi hukum investasi. Hal ini
didasarkan pada kenyataan bahwa pemerintah belum melakukan harmonisasi hukum
yang komprehensif terhadap peraturan perundang-undangan investasi dengan
perjanjian-perjanjian internasional di bidang investasi. Sebagai contoh: sampai saat ini,
Indonesia masih membedakan investasi domestik dan investasi asing, padahal
Indonesia merupakan negara anggota WTO yang harus melaksanakan Agreement on
Trade-Related Investment Measures (Perjanjian TRIMs). Keadaan ini menimbulkan
rasa skeptis di kalangan investor asing mengenai komitmen pemerintah Indonesia
untuk melaksanakan aturan-aturan hukum internasional yang telah disepakati.
Faktor lain yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam penyelenggaraan
kegiatan investasi di Indonesia adalah, terbitnya peraturan perundang-undangan yang
tidak mendukung kegiatan dunia usaha. Sebagai contoh adalah, Keputusan Menaker
Nomor 150 Tahun 2000. Daya saing Indonesia untuk menarik investor asing semakin
berkurang dengan terbitnya Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000 tentang Penyelesaian
Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan
Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di Perusahaan.
Hal yang menjadi masalah dalam Kepmenaker tersebut adalah, menyangkut kewajiban
perusahaan untuk memberikan pesangon dan penghargaan bagi pekerja yang
mengundurkan diri. Jika diimplementasikan, ketentuan tersebut sangat merugikan dunia
usaha karena perusahaan harus membayar uang penghargaan jasa kepada pekerja
yang mengundurkan diri. Masalah perburuhan ini dianggap sebagai salah satu
penyebab ketidakpastian iklim investasi. Investor tidak akan masuk ke Indonesia
apabila ketentuan perburuhan tidak jelas dan sangat membebani dunia usaha. Apabila
Kepmenaker tersebut tidak direvisi, maka tidak akan ada investor yang berminat untuk
menanamkan modal di Indonesia.
Pasca berlakunya otonomi daerah, keadaan hukum investasi di Indonesia dapat
dikatakan sangat “memprihatinkan”. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa
berdasarkan UU Pemerintahan Daerah, penanaman modal merupakan salah satu
bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten atau kota. Dalam
praktik investasi pasca-otonomi daerah, banyak terjadi konflik kewenangan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah kabupaten atau kota serta konflik
kewenangan antar-pemerintah daerah yang merugikan investor asing. Di satu pihak,
penyerahan kewenangan untuk menangani investasi kepada daerah merupakan
langkah positif dalam rangka mewujudkan otonomi daerah. Namun di lain pihak, hal
tersebut justeru menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor asing. Investor asing
mengeluhkan munculnya gejala tindakan sewenang-wenang pemerintah daerah, antara
lain dalam hal pengaturan izin lokasi investasi. Di samping masalah tersebut, investor
juga mengeluhkan banyaknya pungutan pajak yang harus dibayar dan tumpang
tindihnya regulasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Bahkan sejumlah
investor menilai, pemerintah daerah bertindak sewenang-wenang hanya karena merasa
lebih berhak menentukan siapa yang boleh mendapat izin lokasi.
Banyak faktor yang menimbulkan masalah ketidakpastian hukum dalam
penyelenggaraan investasi pasca-otonomi daerah. Salah satunya adalah karena tidak
adanya kepastian hukum mengenai pengaturan kewenangan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah serta kewenangan antar-pemerintah daerah dalam hal penanganan
investasi asing. Sampai saat ini, dalam beberapa hal, antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah terjadi tarik-menarik kewenangan dalam penanganan investasi
asing. Hal ini disebabkan oleh, antara lain, pemerintah pusat belum menerbitkan
peraturan yang jelas dan komprehensif mengenai kewenangan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam hal penanganan investasi asing.
Belum adanya pengaturan yang jelas dan komprehensif dalam hal penanganan
investasi asing, menyebabkan investor “bingung,” karena tidak adanya kepastian
hukum sebagai akibat terjadinya konflik kewenangan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, serta konflik kewenangan antar-pemerintah daerah dalam
penanganan investasi asing. Selain menyebabkan tidak jelasnya penanganan kegiatan
investasi asing, otonomi daerah juga telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam
hal pungutan pajak dan sejenisnya terhadap investor asing. Di satu pihak, investor
asing harus membayar pajak kepada pemerintah pusat, dan di lain pihak harus
membayar beberapa jenis pungutan baru kepada pemerintah daerah berdasarkan
peraturan daerah yang pada dasarnya bertentangan dengan undang-undang mengenai
perpajakan. Hal ini dikeluhkan investor asing karena akan mengurangi keuntungan
yang telah diprediksikan sebelumnya. Lebih dari itu, pungutan-pungutan baru yang
dilakukan pemerintah daerah, tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Masalah
ketidakpastian hukum yang dikeluhkan investor pasca-otonomi daerah, dipertegas oleh
hasil penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Hasil
penelitian KPPOD menunjukkan, 42% dari total jawaban responden (kalangan dunia
usaha) menyatakan, kepastian hukum masih rendah. KPPOD melihat masalah
ketidakpastian hukum tersebut dari dua aspek, yaitu terjadi ketidaktetapan peraturan,
sehingga “membingungkan” dunia usaha dan terjadinya ketidakkonsistenan dalam
penegakan peraturan.13)
Fakta mengenai tidak adanya kepastian hukum yang dikeluhkan investor asing semakin
nyata dalam konteks penegakan hukum di Indonesia. Hasil survei Political and
Economic Risk Consultancy Ltd., menunjukkan bahwa Indonesia paling buruk dalam
skor sistem hukum di Asia. Indonesia berada pada posisi teratas dengan skor hampir
mencapai angka 10. Tidak adanya kepastian hukum, menyebabkan investor asing
merasa tidak nyaman untuk menginvestasikan dananya di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
1. A. Kesimpulan
1. Undang – undang nomor 11 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing
menyebutkan bahwa : “pengertian penanaman modal dalam undang – undang ini
hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut
atau berdasarkan ketentuan – ketentuan undang – undang ini dan yang digunakan
untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam artian bahwa pemilik modal
secara langsung menanggung risiko dari penanaman modal tersebut”
2. Dalam Undang-Undang no 6 tahun 1968 dan Undang-Undang nomor 12 tahun 1970
tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), disebutkan terlebih dulu definisi
modal dalam negeri pada pasal 1, yaitu sebagai berikut :
c) Undang-undang ini dengan “modal dalam negeri” adalah : bagian dari kekayaan
masyarakat Indonesia termasuk hak-hak dan benda-benda, baik yang dimiliki
Negara maupun swasta asing yang berdomosili di Indonesia yang disisihkan atau
disediakan guna menjalankan suatu usaha sepanjang modal tersebut tidak diatur
oleh ketentuan-ketentuan pasal 2 UU No. 12 tahun 1970 tentang penanaman modal
asing.
d) Pihak swasta yang memiliki modal dalam negeri tersebut dalam ayat 1 pasal ini
dapat terdiri atas perorangan dan/ atau badan hukum yang didirikan berdasarkan
hukum yang berlaku di Indonesia. Kemudian dalam Pasal 2 disebutkan bahwa, Yang
dimaksud dalam Undang- Undang ini dengan “Penanaman Modal Dalam
Negeri” ialah penggunaan daripada kekayaan seperti tersebut dalam pasal 1, baik
secara langsung atau tidak langsung untuk menjalankan usaha menurut atau
berdasarkan ketentuanketentuan Undang-Undang ini.
1. Penyelesaian sengketa penanaman modal dibagi menjadi:
1. Penyelesaian sengketa penanaman modal antara pemerintah dengan investor asing
2. Penyelesaian sengketa penanaman modal antara pemerintah dengan investor
Domestik
2. Ada beberapa kasus yang berkaitan dengan penanaman modal di Indonesia. Salah
satunya adalah kasus PT.Indosat. dan jika dilihat dari sebagian besar kasus yang ada,
maka permasalahan dalam bidang penanaman modal adalah karena kurangnya
kepastian hukum bagi para investor, khususnya investor asing di Indonesia.
Saran
1. Dalam jangka pendek, pemerintah harus segera memperbaiki iklim investasi. Untuk
memperbaiki iklim investasi tersebut, pemerintah perlu melakukan beberapa tindakan
nyata, antara lain segera menerbitkan undang-undang investasi yang baru,
menetapkan batas waktu pemberian perizinan investasi, dan menerbitkan peraturan
pelaksanaan UU Pemerintahan Daerah yang dapat menjamin kepastian hukum.
2. Membenahi tatanan hukum, khususnya dalam hal penegakan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail Suny dan Rochmat Rudiro, Tinjauan dan Pembahasan Undang-Undang
Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri, (Jakarta: Pradjna Paramita, 1998)
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media,
2004)
Ida Bagus Rahmdi Supancana, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi
Langsung di Indonesia, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2006)
Salim H. S. dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2008)
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
[1] Ida Bagus Rahmdi Supancana, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi
Langsung di Indonesia, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2006), hal. 1.
[2] Salim H. S. dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2008), hal. 174.
[3] Ismail Suny dan Rochmat Rudiro, Tinjauan dan Pembahasan Undang-Undang
Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri, (Jakarta: Pradjna Paramita, 1998),
hal. 108.
[4] Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media,
2004)
[5] Ibid., hal. 62-63.
[6] Salim H. S. dan Budi Sutrisno, op. cit., hal. 354.
[7] Ibid., hal. 355.
[8] Undang-Undang Penanaman Modal, Psl. 32 ayat (4).
Share this: