Post on 23-Feb-2018
PENAUNT
K
U
AMBAHATUK PR
KANTIN
PROFAKULT
UNUVER
AN AKTIRODUKS
UIN SYA
SARA
OGRAMTAS SAI
RSITAS IHIDA
JA2008
IVATORI BIOGAARIF HI
H MARSE
M STUDI INS DANSLAM N
AYATULAKARTA8 M / 142
R PUPUKAS DARIIDAYAT
ELIA
BIOLOGN TEKNONEGERI LAH
A 9 H
K KANDI SAMPA
TULLAH
GI OLOGI SYARIF
DANG AH
H
F
ABSTRAK
Sarah Marselia. Penambahan Aktivator Pupuk Kandang Untuk Produksi Biogas Dari Sampah Kantin UIN Syarif Hidayatullah. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2008. Sampah merupakan penyebab penurunan kualitas lingkungan tetapi dapat diolah secara efektif dengan merubahnya menjadi biogas. Penelitian ini bertujuan untuk mengolah biogas dari sampah organik yang berada di kantin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dengan pencampuran pupuk kandang. Pencampuran percobaan terdiri dari K (300 g Sampah Organik + 0 % Pupuk Kandang), A (300 g Sampah Organik + 30 % Pupuk Kandang), B (300 g Sampah Organik + 40 % Pupuk Kandang) dan C (300 g Sampah Organik + 50 % Pupuk Kandang). Inkubasi dilakukan selama 1 bulan pada suhu ruag. arameter ukur adalah berat organik, berat kering bahan organik, pH, suhu, rasio C/N, VFA, gas CH4, CO2 dan analisa mikroba, pengukuran sampel dilakukan dua kali yaitu pada awal dan akhir penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pupuk kandang memberikan pengaruh terhadap peningkatan metan. Konsentrasi terbaik untuk meningkatkan metan adalah pada perlakuan B (40% pupuk kandang). Kata kunci : Biogas, Pupuk Kandang, Sampah organik UIN Syarif
ABSTRACT Sarah Marselia. Increasing The Activation of Farm Manure In Producing Biogas From Canteen Garbage State Islamic University Syarif Hidayatullah. Thesis. Biology Department. Faculty of Science and Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2008. Garbage is known to decrease environmental quality but there is an opportunity to handle it more effectively by converting it to biogas. Research has been conducted to product biogas from canteen garbage from the State Islamic University Syarif Hidayatullah by mixing it with farm manure. The mixtures trialled were: K (300 g organic material + farm manure 0 %), A (300 g organic material + farm manure 30 %), B (300 g organic material + farm manure 40 %) and C (300 g organic material + farm manure 50 %). The incubation period was one month at room (ambient) temperature. The parameters measured were percentage of organic material, dry weight of organic material, pH, temperature, C/N ratio, VFA, gas CH4, CO2 and microbe analysis. Samples were analyzed twice; at the beginning and the end of the research period. The result showed that farm manure did in fact increase the production of methane. The best concentrate to increase methane was C treatment (40 % farm manure). Key word: Biogas, Farm manure, Garbage and UIN Syarif Hidayatullah.
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan naskah skripsi yang berjudul “
PENAMBAHAN AKTIVATOR PUPUK KANDANG UNTUK PRODUKSI
BIOGAS DARI SAMPAH KANTIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH”.
Dengan selesainya naskah skripsi ini ucapan terima kasih yang tak terhingga
penulis sampaikan kepada :
1. Kedua orang tua (Mara Sungai Harahap dan Humairoh), Keluarga Besar
H. Ali, Alan Marshal Family, dan adik-adikku (Fahmi Ali Akbar dan Ulis)
yang telah memberikan motivasi semangat sepanjang menjalankan
perkuliahan dan penulisan skripsi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. DR. Sopiansyah Jaya Putra, M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. DR. Lily Surayya E.P, M. Env. Stud. Selaku Ketua Jurusan Biologi dan
Pembimbing I yang telah memberikan ijin, bimbingan dan arahan untuk
melaksanakan penelitian.
4. Irawan Sugoro. M.Si selaku Pembimbing II yang dengan sabar
memberikan petunjuk dan bimbingan selama melaksanakan penelitian
hingga selesainya skripsi ini.
5. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si selaku penguji I dan Idawati, M.Si selaku
penguji II yang telah memberikan saran dan kritik dalam penyusunan
skripsi ini.
v
6. Dosen-dosen Biologi yang selalu memberikan semangat untuk maju.
7. Laboran Laboratorium Biologi (Mba Dian, Ka Bahri, Mba Puji dan Mba
Ida ) yang telah memberikan bantuan kepada penulis.
8. M.Rifki Fabillah, Nadia Ristanti dan Fitri Fajriah yang telah memberikan
dorongan semangat dan persahabat sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
9. Teman-teman Laboratorium Mikrobiologi (Novi, Din, Ayu, Tya, Neni,
Fana, Junaidi) yang telah berbagi suka dan duka selama penelitian.
10. Sofiah, Mutiara, Fahmi, Nasrullah, Fitri M, Ofi, Ridho, Tyo dan semua
teman biologi angkatan 2004 terima kasih atas kebahagian dan kesedihan
selama menjadi keluarga besar ini.
11. Berbagai pihak yang tidak mungkin disebutkan satu per satu yang telah
membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.
Semoga Allah SWT, senantiasa memberikan Rahmat dan Karunia-
Nya kepada semua pihak yang telah memberikan segala bantuan tersebut
diatas. Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis
dengan senang hati menerima kritik demi perbaikan untuk masa yang akan
datang.
Ciputat, 1 Desember 2008
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBARAN PENGESAHAN ………………………………………… i
ABSTRAK …………………………………………………………….... ii
ABSTRACT …………………………………………………………….. iii
KATA PENGANTAR …………………………………………………. iv
DAFTAR ISI ...…………………………………………………………. vi
DAFTAR GAMBAR ...………………………………………………… ix
DAFTAR TABEL ……………………………………………………… x
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………… xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ………………………………………. 1
1.2. Perumusan Masalah …………………………………. 4
1.3. Hipotesis …………………………………………….. 4
1.4. Tujuan Penelitian ……………………………………. 4
1.5. Manfaat Penelitian ………………………………...... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sampah ……………………………………………. 5
2.2. Biogas ..........................……………………………. 6
2.3. Proses Pembentukan Biogas …….……………...… 7
2.4. Syarat Pembentukan Biogas ………………………. 10
2.5. Kotoran Ternak ……………………………………. 13
2.6. Pupuk Kandang ……………………………………. 14
2.6. Mikroorganisme ……………………………………. 15
BAB III METODELOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat ………………………………… 17
vii
3.2. Bahan dan Alat ………………………………..…… 17
3.3. Cara Kerja …………………………………………. 18
3.3.1. Persiapan Sampah Padat Organik …………... 18
3.3.2. Pembuatan Media …………………………… 19
3.3.3. Parameter Pengukuran Produksi Biogas ……. 20
3.4. Analisa Data ……………………………………….. 23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Berat Kering Substrat Biogas .……………………… 24
4.2. Berat Organik Substrat Biogas ..…………………… 36
4.3. Rasio C/N Pada Substrat Biogas …………………… 28
4.4. Suhu Pada Substrat Biogas …………………………. 29
4.5. Derajat Keasaman (pH) Pada Substrat Biogas ……… 31
4.6. VFA Pada Substrat Biogas ……………………….… 33
4.8. CO2 dan CH4 Pada Substrat Biogas ………………… 35
4.9. Analisis Mikroba …………………………………… 37
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan …………………………………………. 40
5.2. Saran ………………………………………………… 40
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 41
LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………………………………………. 44
viii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Berat Kering Substrat Biogas ..…………………… 24
Gambar 2. Berat Organik Substrat Biogas ..…………………… 27
Gambar 3. Rasio C/N Pada Substrat Biogas …………………… 28
Gambar 4. Suhu Pada Substrat Biogas …………………………. 30
Gambar 5. Derajat Keasaman (pH) Pada Substrat Biogas ……… 31
Gambar 6. VFA Pada Substrat Biogas ……………………….… 34
Gambar 7. CO2 dan CH4 Pada Substrat Biogas ………………… 36
Gambar 8. Analisis Mikroba …………………………………… 38
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Nilai Kalori Biogas ..………………….…..................... 7
Tabel 2. Komposisi Bahan Biogas …................………………… 18
x
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Bagan Alir Penelitian ..……….….…..................... 46
Lampiran 2. Hasil Analisa VFA ..…................………………… 47
Lampiran 3. Analisa SPSS ..............……….….…..................... 48
Lampiran 4. Hasil Pengukuran Substrat Biogas ...........……..… 57
Lampiran 5. Gambar Penelitian .........……….….…..................... 58
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Sampah adalah bagian dari limbah padat yang memberikan pengaruh
terbesar dalam permasalahan lingkungan. Menurut hasil survei KLH (2004),
komposisi sampah di Indonesia adalah sampah makanan (58 %), bahan alam
(karet, kulit dan kayu) sebesar 16,45 %, kertas (13,67 %), plastik (8,68 %), metal
(1,66 %), dan kaca (1,54 %). Masalah sampah merupakan masalah yang cukup
besar di perkotaan khususnya di Jakarta. Hal ini karena lahan untuk melakukan
pembuangan sampah dan mendaur ulangnya cukup sulit, Jakarta lebih
mementingkan kegiatan di sektor ekonomi dibandingkan untuk sektor lingkungan
yang secara langsung mempengaruhi kesehatan manusia (Junda, 2004).
Sampah merupakan hasil dari aktivitas manusia sehari-hari yang
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Sampah padat memberi
dampak negatif bagi kesehatan lingkungan, seperti menghasilkan bau busuk,
merusak estetika, mengandung logam berat, senyawa-senyawa kimia yang
berbahaya dan beracun serta mikrooganisme patogen. Selain itu, sampah tersebut
berperan untuk mencemari lingkungan sekitarnya. Sampah-sampah yang lembab,
busuk, dan terdapat sarang lalat akan turut berperan menebarkan berbagai
penyakit di sekitarnya (Junda, 2004).
Salah satu sumber sampah adalah berasal dari kampus UIN Syarif-
Hidayatullah yang terdiri dari berbagai macam jenis organik atau anorganik.
2
Berdasarkan pengamatan harian peneliti, sampah organik yang banyak terdapat di
UIN Syarif Hidayatullah berasal dari, daun yang kering atau serasah tanaman dan
hasil pengolahan kantin. Sampah anorganik yang berasal dari UIN Syarif
Hidayatullah sebagian besar terdiri dari plastik dan kaleng minuman. Sampah
organik yang berasal dari kampus dapat diolah kembali menjadi suatu yang
bermanfaat untuk UIN, salah-satunya dengan pembuatan biogas.
Biogas didefinisikan sebagai gas yang dilepaskan jika bahan-bahan
organik (seperti kotoran ternak, kotoran manusia, jerami, sekam dan daun-daun
hasil pemilihan sayuran) difermentasikan atau mengalami proses metanisasi.
Biogas terdiri dari campuran metan, CO2, serta sejumlah kecil H2, N2, dan H2S.
Dalam aplikasinya biogas digunakan sebagai gas alternatif untuk memanaskan
dan menghasilkan energi listrik (Hambali dkk., 2008).
Biogas dari hasil pengolahan sampah organik dapat menjadi alternatif
untuk mengurangi efek pemanasan global. Biogas bersifat ramah lingkungan
akibat dari karbondioksida yang dilepaskan pada saat pencernaan dan pembakaran
dapat diserap secara alami oleh biomassa pada saat pertumbuhannya. Setelah
pencernaan selesai, biomassa dapat diambil dan digunakan sebagai pupuk. Oleh
karenanya sistem biogas memiliki nilai biomassa yang tinggi daripada
pembakaran secara langsung (Bridge, 1991).
Sistem biogas dari segi lingkungan jauh lebih baik daripada bahan bakar
fosil yang sering menimbulkan polusi bagi eksploitasi tenaga surya yang
tersimpan dalam biomasa. Selain itu, sistem ini dapat mengurangi penyakit usus
pada manusia dan hewan. Sistem biogas menghasilkan suhu api yang cukup tinggi
3
dan mampu untuk menghancurkan vektor patogen serta memungkinkan mendapat
sisa tanaman pertanian berlebih untuk makan ternak, dan memberikan lebih
banyak pupuk untuk lahan pertanian (Mc Garry and Jill, 1993).
Energi biogas mengandung nilai kalori lebih besar dari bahan bakar
lainnya, artinya akan lebih banyak panas yang dihasilkan untuk memasak dan
menyebabkan proses memasak menjadi lebih cepat. Bau kotoran ternak dalam
pemakaian biogas, akan berkurang akibat dari proses penguraian bahan organik
yang berlangsung. Selain itu dapat mengurangi pencemaran udara, karena asap
pada sistem biogas lebih sedikit terjadi daripada proses memasak dengan kayu
(Junus, 1983).
Kotoran ternak pada wilayah perkotaan untuk proses pembuatan biogas
sulit untuk diperoleh, sehingga perlu bahan lain yang mudah untuk dijangkau,
salah-satunya adalah pupuk kandang. Pupuk kandang selain mudah didapat juga
diharapkan dapat mempercepat terbentuknya gas metan. Pupuk kandang berasal
dari kotoran ternak, dan diharapkan mampu untuk meningkatkan nilai gas pada
proses biogas (Suteju, 1992).
Pada penelitian ini akan digunakan pupuk kandang yang berasal dari
kotoran kambing. Menurut Simanungkalit dan Suriadikarta (2006), Pupuk
kandang kambing memiliki unsur hara yang tinggi. Penambahan unsur hara dari
pupuk kandang diharapkan dapat meningkatkan nutrisi bahan dan
memaksimalkan proses biogas. Konsentrasi pupuk kandang yang tepat dalam
produksi biogas belum diketahui, oleh karena itu dalam penelitian ini akan dilihat
4
pengaruh penambahan aktivator pupuk kandang dengan konsentrasi yang berbeda
terhadap produksi biogas.
1.2. Perumusan Masalah
Pada konsentrasi berapakah aktivator pupuk kandang dapat meningkatkan
produksi biogas?
1.3. Hipotesis
Aktivator pupuk kandang dengan berbagai konsentrasi dapat
meningkatkan produksi biogas.
1.4. Tujuan
Mengetahui jumlah aktivator pupuk kandang yang diberikan untuk
meningkatkan produksi biogas.
1.5. Manfaat
1. Biogas dari pengolahan sampah kantin UIN mampu menjadi salah satu
alternatif pengolahan sampah perkotaan khususnya di wilayah UIN.
2. Biogas yang dihasilkan dari pengolahan sampah organik dapat digunakan
dalam berbagai bidang, khususnya untuk UIN yaitu untuk penerangan dan
sumber energi gas bagi kebutuhan memasak di kantin UIN.
3. Hasil sampingan dari biogas dapat digunakan sebagai pupuk bagi tanaman
yang ada di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah.
5
4. Sistem biogas dapat mengurangi dampak negatif akibat penanganan
sampah dengan sistem dumping dan landfill.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sampah
Sampah merupakan bagian dari limbah padat, yaitu suatu bahan yang
terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia atau proses-
proses alam. Secara garis besar sampah belum mempunyai nilai ekonomi jika
tidak diolah, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang negatif. Limbah
dikatakan memiliki nilai ekonomi yang negatif karena penanganan untuk
membuang atau membersihkannya memerlukan biaya yang cukup besar dan
mencemari lingkungan (Rahman, 2007).
Sampah dapat digolongkan menurut sumber penghasilannya, yaitu sampah
domestik yang berasal dari rumah tangga, kantor, pasar dan industri. Berdasarkan
sifatnya, sampah organik dan anorganik. Kemudian dibedakan berdasarkan yang
mudah terbakar dan tidak, mudah busuk dan tidak busuk (Santoso, 2004).
Berdasarkan istilah tehnik sampah padat organik dapat dibedakan menjadi
dua kategori, yaitu garbage dan rubbish. Garbage (sampah mudah lapuk) adalah
limbah dari tumbuhan yang berasal dari pemeliharaan dan budidaya, dapur rumah
tangga, pusat perbelanjaan, pasar, restoran atau tempat di mana makanan
disajikan, disiapkan atau dijual. Limbah tersebut mengandung lebih banyak bahan
organik yang mudah membusuk dan lembab karena mempunyai rantai kimia yang
relatif pendek dan mengandung sedikit cairan. Garbage terdekomposisi dengan
cepat, terutama sekali dalam cuaca hangat, dan mengeluarkan bau busuk. Nilai
7
komersial dari garbage adalah sebagai bahan dasar pakan ternak dengan tetap
mempertimbangkan keamanan dan kriteria kesehatan (Davis and Cornwell, 1989).
Rubbish (sampah tidak lapuk dan tidak mudah lapuk) mengandung aneka
ragam limbah padat yang mudah terbakar. Kertas, kain, kayu, papan, ranting
pohon, hiasan tanaman yang berasal dari rumah, pusat perbelanjaan dan
perkantoran merupakan contoh dari limbah ini. Rubbish dapat didaur ulang
kembali menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan seperti mengubah kayu
menjadi peralatan rumah tangga (Davis and Cornwell, 1989).
2.2. Biogas
Biogas atau gas bio merupakan salah satu jenis energi yang dapat dibuat
dari banyak jenis bahan buangan dan bahan sisa, semacam sampah, kotoran
ternak, jerami, eceng gondok serta banyak bahan-bahan lainnya. Secara singkat,
segala jenis bahan yang dalam istilah kimia termasuk senyawa organik, baik
berasal dari kotoran hewan ataupun sisa tanaman, dapat dijadikan bahan baku
pembuatan biogas (Ismawati, 2006). Sistem biogas memungkinkan rumah tangga
mengubah biomasa murah menjadi bahan bakar yang relatif bersih dengan mesin
pengurai rumah tangga (Rahman, 2007).
Biogas merupakan campuran berbagai gas, biasanya metan (CH4),
karbondioksida (CO2), dan hidrogen sulfida (H2S) tergantung dari substrat yang
dikandung oleh bahan asalnya. Gas tersebut dihasilkan akibat aktivitas
mikroorganisme jenis anaerob yaitu bakteri yang bekerja pada kondisi tanpa udara
8
atau oksigen. Gas metan sendiri bersifat tidak berwarna, tidak berbau dan mudah
terbakar (Ismawati, 2006).
Tabel 1. Nilai kalori biogas (Ginting, 2007) Bahan bakar Nilai Kalori (Kj/Kg)
Bio gas 15.000 Kayu 2400 Arang 7000
Minyak Tanah 8000
2.3. Proses Pembentukan Biogas
Proses pembentukan biogas terjadi apabila bahan-bahan organik
terdegradasi senyawa-senyawa pembentuknya dalam keadaan tanpa oksigen atau
biasa disebut kondisi anaerob. Dekomposisi anaerob biasa terjadi secara alami di
tanah yang basah, seperti dasar danau dan di dalam tanah pada kedalaman
tertentu. Proses dekomposisi ini dilakukan oleh bakteri-bakteri dan
mikroorganisme yang hidup di dalam tanah.
Dekomposisi anaerob dapat menghasilkan gas yang mengandung
sedikitnya 60 % gas CH4. Gas inilah yang biasa disebut dengan biogas dan
memiliki nilai heating value sebesar 39 MJ/m3 kotoran (Ismawati, 2006). Tahapan
untuk terbentuknya biogas dari proses fermentasi anaerob dapat dipisahkan
menjadi tiga yaitu, tahap hidrolisis, pengasaman, dan pembentukan gas CH4
(Firdaus, 2007).
1. Proses Hidrolisis
Proses hidrolisis adalah proses penguraian senyawa berantai panjang
menjadi senyawa dengan rantai yang lebih pendek pada bahan-bahan biomassa.
9
Kandungan biomassanya terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan bahan ekstraktif
seperti protein, karbohidrat dan lipida. Mikroorganisme yang berperan yaitu
mikroorganisme yang mengandung enzim ekstraseluler seperti selulose, amilase,
protease dan lipase. Proses hidrolisis terjadi ketika polisakarida terurai menjadi
monosakarida sedangkan protein terurai menjadi peptida dan asam amino.
(Ismawati,2006).
Kotoran hewan merupakan senyawa organik yang terdiri dari berbagai
komponen terutama karbohidrat, lipida, protein, dan bahan inorganik. Sebagian
karbohidrat seperti selulosa dan serat tanaman lainnya (hemiselulosa dan lignin)
memiliki komposisi yang sulit dicerna pada limbah hewan serta pertanian.
Pencernaan bahan tersebut dilakukan oleh bakteri dari kelompok mikroorganisme
fakultatif yang memiliki enzim selulotik, lipolitik dan proteolitik. Polimer seperti
selulosa, hemiselulosa dan bahan ekstra aktif lainnya dikonversi menjadi
monomer dengan bantuan enzim hidrolitik, sehingga larut dan dapat dijadikan
sebagai substrat bagi mikroorganisme berikutnya. (BSTID, 1997 dalam Ismawati
2006).
Bakteri selulolitik mereduksi rantai dan cabang selulosa (polimer glukosa
rantai panjang dengan pola percabangan yang kompleks) menjadi dimer kemudian
menjadi molekul gula monomer yang selanjutnya dikonversi menjadi asam
organik, (Ismawati, 2006). Asam organik diproduksi selama pemecahan selulosa,
di mana pH mulai turun selama proses fermentasi dan digesti, sehingga diperlukan
sistem penyangga dengan penambahan kapur untuk menstabilkannya. Jadi selama
proses pembentukan asam dan metan, pH diharapkan tetap 7 (Ismawati, 2006).
10
Sinergis antara bakteri selulotik dan hidrolitik sangat penting dalam
pemecahan material mentah. Penelitian menunjukkan bahwa selulosa yang berada
di dalam bahan campuran lebih cepat dihilangkan oleh bakteri selulolitik,
dibandingkan jika bahan tersebut hanya mengandung selulosa murni (tanpa
kandungan bahan lain). Secara tidak langsung diharapkan sebagai pemanfaatan
hasil aktivitasi bakteri selulolitik oleh bakteri nonselulolitik (Mc Garry and Jill,
1993).
Konversi selulosa dan komplek material mentah lainnya menjadi monomer
sederhana merupakan batas awal tahap produksi metan. Hal ini terlihat dari
kegiatan bakteri tahap pertama yang sudah mulai menurun. Proses hidrolisis tahap
pertama sangat tergantung kepada substrat dan konsentrasi bakteri, serta
lingkungannya seperti pH dan suhu (Mc Garry and Jill, 1993).
2. Proses Asidifikasi (Proses Pengasaman)
Proses asidifikasi terjadi karena kehadiran bakteri pembentuk asam yang
disebut dengan bakteri asetogenik. Bakteri ini akan memecah struktur organik
kompleks seperti protein yang akan dipecah menjadi asam-asam amino,
karbohidrat dipecah menjadi gula dengan struktur yang sederhana dan lemak yang
dipecah menjadi asam yang berantai panjang. Hasil dari pemecahan ini akan
dipecah lebih jauh menjadi asam-asam volatil (Firdaus, 2007).
Bakteri akan menghasilkan asam yang berfungsi untuk mengubah senyawa
pendek hasil hidrolisis menjadi asam asetat, H2 dan CO2 pada tahap pengasaman.
Bakteri ini merupakan bakteri anaerob yang dapat tumbuh pada keadaan asam.
Bakteri anaerob memerlukan oksigen dan karbon untuk menghasilkan asam asetat
11
dari oksigen terlarut kemudian melepaskan gas hidrogen dan gas karbondioksida.
Selain itu, bakteri asetogenik juga mengubah senyawa yang bermolekul rendah
menjadi alkohol, asam organik, asam amino, CO2, H2S dan sedikit gas CH4
(Firdaus, 2007).
3. Proses Produksi Metan Melalui Proses Metanogenesis
Bakteri pembentuk metan (bakteri metanogenik) menggunakan asam yang
terbentuk dari proses asidifikasi. Bakteri ini akan membentuk gas CH4 dan CO2
dari gas H2, kemudian membentuk CO2 dan asam asetat pada tahap pengasaman
(Nijaguna, 2002). Substrat berupa asam organik didekomposisikan oleh bakteri
metanogenik dan menghasilkan metan dalam kondisi anaerob melalui dua jalan,
yaitu jalan fermentasi asam asetat menjadi metan dan CO2, atau reduksi CO2
menjadi metan dengan menggunakan gas hidrogen atau asam format yang
diproduksi oleh bakteri lain. Produksi gas metan tahap ketiga mengurangi
ketersediaan oksigen yang tersisa dan menghasilkan residu yang secara biologi
stabil (Campbell, 1983).
Bakteri metanogenik memanfaatkan asam asetat, metanol atau CO2 dan H2
untuk menghasilkan gas metan. Aktivitas bakteri metanogenik juga tergantung
pada bakteri tahap pertama dan tahap kedua dalam menyediakan nutrisi, misalnya
N organik direduksi menjadi amonia sehingga terjadi efisiensi N yang dibebaskan
oleh bakteri metanogenik. Bakteri ini juga memerlukan fosfat dan bahan lain
yang kebutuhannya belum pernah ditentukan. Bakteri metan sangat sensitif
terhadap faktor lingkungan. Sifat bakteri metan adalah anaerob obligat, maka
12
pertumbuhannya akan terhambat oleh kandungan oksigen yang sedikit. Tidak
hanya oksigen, tapi materi pereduksi, seperti nitrit atau nitrat, dapat menghambat
bakteri metanogenik (Campbell, 1983).
Menururt Hambali (2003), bakteri metan yang telah berhasil diidentifikasi
terdiri dari 4 genus, yaitu bakteri yang berbentuk batang dan tidak membentuk
spora dinamakan methanobacterium. Bakteri bentuk batang dan membentuk
spora adalah methanobacillus, bakteri bentuk kokus yaitu methanococcus
(kelompok koki yang membagi diri) dan bakteri bentuk sarcina yaitu
methanosarcina.
2.4. Syarat Pembentukan Biogas
Penguraian bahan organik yang dilakukan jasad renik menyebabkan
terbentuk zat atau senyawa lain yang lebih sederhana (kecil), salah satu di
antaranya berbentuk CH4 (gas metan). Gas metan yang bergabung dengan CO2
disebut biogas dengan perbandingan CH4 dan CO2 yaitu 65 : 35. Seperti sampah
atau jerami yang diproses menjadi kompos memerlukan persyaratan dasar
tertentu, demikian pula dalam proses pengubahan sampah atau buangan menjadi
biogas, memerlukan persyaratan tertentu yaitu :
1. Kandungan atau isi yang terkandung dalam bahan.
Kandungan atau isi yang terkandung dalam bahan ini, menyangkut nilai
atau bandingan antara unsur C (karbon) dengan unsur N (nitrogen) yang
secara umum dikenal dengan nama rasio C/N (Setiawan, 2002).
13
2. Rasio C/N
Rasio C/N terlalu tinggi atau terlalu rendah akan mempengaruhi proses
terbentuknya biogas, karena ini merupakan proses biologis yang
memerlukan persyaratan hidup tertentu, seperti juga manusia perubahan
senyawa organik dari sampah atau kotoran kandang menjadi CH4 (gas
metan) dan CO2 (gas karbon dioksida) memerlukan persyaratan rasio C/N
antara 20-25 (Setiawan, 2002).
3. Kadar air bahan yang terkandung dalam bahan yang digunakan.
Jika hasil biogas diharapkan sesuai dengan persyaratan yang berlaku,
maka bahan yang digunakan berbentuk kotoran ternak kering dicampur
dengan sisa-sisa rumput bekas makanan atau dengan bahan lainnya yang
juga kering, maka diperlukan penambahan air. Air berperan sangat penting
di dalam proses biologis pembuatan biogas. Artinya jangan terlalu banyak
(berlebihan) juga jangan terlalu sedikit (Firdaus, 2007).
4. Temperatur
Temperatur berperan selama proses biogas berlangsung, karena ini
menyangkut “kesenangan” hidup bakteri pemroses yaitu antara 30-350 C
(Sahidu, 1983). Dengan temperatur tersebut proses pembuatan biogas akan
berjalan sesuai dengan waktunya. Umumnya bakteri metan merupakan
golongan mesofil, dimana bakteri ini sangat sensitif terhadap perubahan
temperatur daripada organisme lain di dalam digaster. Kalau nilai
temperatur terlalu rendah (dingin), maka waktu untuk menjadi biogas akan
lebih lama (Gunnerson and Stuckey, 1986).
14
5. Keasaman (pH)
Keasaman (pH) mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme yang akan
membentuk gas metan. Bakteri sensitif terhadap perubahan pH, dan pH
optimum adalah 7-7,2. Walaupun pH turun hingga 6,6, produksi gas dapat
terpenuhi antara 6,6–7,6. Dalam kondisi asam (pH 6,2) akan memiliki sifat
toksik bagi bakteri di mana produksi asam masih berlangsung, sampai pH
turun dengan cepat hingga 4,5-5,0. Asam organik yang diproduksi selama
tahap pertama melalui proses fermentasi, menyebabkan pH menjadi
tertekan. Jika asam organik volatil yang terbentuk lebih besar dari metan
maka terjadi keseimbangan sistem, sehingga pH akan terus menurun.
Sistem pH tergantung pada hasil intermedier yang difermentasikan
menjadi metan dan karbondioksida, yaitu pada konsentrasi alkalinitas dan
asam volatil (Setiawan, 2002).
6. Kehadiran jasad pemroses.
Jasad pemroses adalah jasad yang mempunyai kemampuan untuk
menguraikan bahan-bahan yang akhirnya membentuk CH4 dan CO2.
Kotoran kandang, lumpur selokan ataupun sampah jerami dan bahan-
bahan buangan lainnya banyak mengandung jasad renik, baik bakteri
ataupun jamur pengurai., tetapi yang menjadi masalah adalah hasil
uraiannya belum tentu menjadi CH4 yang diharapkan dan mempunyai
kemampuan sebagai bahan bakar. Untuk menjamin adanya kehadiran
jasad renik atau mikroba pembuat biogas (umumnya disebut bakteri
metan), sebaiknya digunakan starter, yaitu bahan atau substrat yang di
15
dalamnya sudah dapat dipastikan mengandung mikroba metan sesuai yang
dibutuhkan (Setiawan, 2002).
7. Aerasi atau kehadiran udara (oksigen) selama proses.
Aerasi (keberadaan udara) tidak diperlukan dalam proses biogas.
Keberadaan udara menyebabkan gas CH4 tidak akan terbentuk, untuk itu
maka bejana pembuat biogas harus dalam keadaan tertutup rapat
(Setiawan, 2002).
2.5. Kotoran Ternak
Menurut Harpasi dan Rahardjo (1980) kotoran ternak adalah hasil buangan
metabolisme yang telah bercampur dengan urin dan air bilas. Bahan baku kotoran
hewan dan campurannya memiliki potensi yang berbeda-beda dalam
menghasilkan biogas. Kotoran hewan (kambing) merupakan limbah organik yang
dihasilkan ternak kambing berupa padatan dan kadang-kadang cairan berupa urin.
Limbah buangan yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik secara anaerob
berupa effluent dengan rasio C/N paling sedikit 10. Effluent dapat digunakan
sebagai pupuk untuk menjaga kesuburan tanah dan meningkatkan produksi
tanaman (Mc Garry and Jill. 1993).
Kotoran kambing memiliki 30 % bahan organik yang dapat di
dekomposisikan dengan mudah oleh mikroorganisme seperti bakteri, fungi dan
aktinomisetes yang terdapat pada kotoran sapi. Kotoran ternak merupakan media
yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme karena masih mengandung
16
karbohidrat, protein, mineral dan vitamin (larut dalam air) yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme untuk hidup (Lodha, 1974).
Kambing merupakan jenis hewan ruminansia yang sering dijadikan hewan
ternak. Di dalam perut ruminansia terdapat empat jenis mikroorganisme anaerob
yaitu ; bakteri, protozoa, jamur dan virus. Dari keempat jenis mikroba ini, bakteri
memiliki populasi yang tertinggi (Simamora, 2006).
2.6. Pupuk Kandang
Pupuk kandang didefinisikan sebagai semua produk buangan dari binatang
peliharaan yang dapat digunakan untuk manambah unsur hara, memperbaiki sifat
fisik dan biologi tanah. Pupuk Kandang yang matang memiliki kandungan N
sebanyak 0,3 %, P 0,1% dan K 0,3%. Pupuk kandang terdiri dari bahan padat
(feses) dan bahan cair (urin) hewannya (Suteju, 1992). Bahan padat dan cair pada
pupuk kandang dapat menyatu sehingga menyebabkan pupuk ini mengandung Z,
P dan K. Pupuk kandang terbagi atas beberapa pupuk, seperti pupuk sapi (pupuk
dingin), pupuk kambing (pupuk panas), pupuk kuda (pupuk panas), pupuk babi
(pupuk dingin). Pupuk dingin adalah pupuk dimana perubahan-perubahan yang
terjadi di dalam tanah berlangsung perlahan. Sedangkan pupuk panas terjadi
perubahan di dalam tanah lebih cepat. Pupuk kandang dalam keadaan telah
membusuk yang ditempatkan pada tempat tertutup dapat digunakan sebagai
biogas (Hardjowigeno, 1987).
Pupuk kandang cair merupakan pupuk cair yang berasal dari urin ternak.
Pupuk organik cair memiliki beberapa keuntungan. Pertama pupuk tersebut
17
mengandung zat tertentu seperti mikroorganisme yang jarang terdapat dalam
pupuk organik padat. Pada bentuk pupuk kering beberapa organisme bisa saja
mati. Pupuk kandang cair memiliki kandungan kalium dan nitrogen lebih besar,
sedangkan pada pupuk kandang padatan kandungan fosfor dan kalsium yang lebih
besar (Pranata, 1992).
Pupuk kambing memiliki komposisi bahan organik sebesar 12,7 %, 0,25
% Nitrogen, 0,18 % P2O5, 0,17 % K2O, 0,4 % CaO dan rasio C/N 25-28 (Lingga,
1991). Tekstur pupuk kambing adalah khas yaitu berbentuk butiran yang sukar
dipecah secara fisik sehingga mempengaruhi dekomposisi dan proses penyediaan
hara. Kadar air pupuk kambing lebih rendah dibandingkan pupuk kandang yang
lainnya (Simanungkalit dan Suriadikarta, 2006).
2.6. Mikroorganisme
Proses biogas untuk menghasilkan metan memerlukan bantuaan dari
mikroorganisme seperti bakteri dan jamur. Bakteri yang berperan dalam
pembuatan biogas adalah bakteri pengguna selulosa, bakteri pembentuk asam, dan
bakteri pembentuk metan. Bakteri pengguna selulosa akan mengubah selulosa
dalam bahan menjadi gula. Bakteri pembentuk asam akan merombak substansi-
substansi polimer kompleks, yaitu protein, karbohidrat dan lemak menjadi asam-
asam lemak sederhana seperti asam-asam butirat, propionat, laktat, asetat dan
alkohol. Bakteri pembentuk gas metan berperan aktif dalam merombak asam
asetat menjadi gas metan dan karbondioksida.
18
Bakteri-bakteri yang berperan pada tahap-tahap produksi biogas tidak
sama. Pada proses hidrolisis bakteri yang berperan adalah bakteri selulotik,
proteolitik dan lipolitik. Pada proses asidogenesis, bakteri asetogenik yang bekerja
untuk mengubah bahan setelah terjadinya proses hidrolisis. Syntrophoma nas
wolfei merupakan salah satu bakteri yang berperan pada proses asidogenesis.
Bakteri yang berperan pada saat terjadinya pembentukan asetat adalah seperti
Acetobacterium woodii dan Syntrophobacter wolinii (Bryan, 1987).
Metanogenesis merupakan tahap terakhir dari keseluruhan proses dalam
tahap konversi anaerobik dari bahan organik menjadi gas metan dan
karbondioksida. Kelompok bakterinya merupakan penghasil metan dan
dinamakan bakteri metanogen, dimana asam lemak yang terbentuk akan dirombak
oleh bakteri metan dan menghasilkan biogas. Bakteri tersebut terdiri dari
Methanobacterium, Methanosarcina dan Methanococcus. Disamping itu ada
kelompok bakteri lain, yaitu bakteri Desulvobrio yang memanfaatkan unsur Sulfur
(S) dan membentuk H2S( Yanis dan Darwis, 1990).
19
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei tahun 2008 sampai dengan
bulan Juni tahun 2008. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi
Pusat Laboratorium Terpadu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
3.2. Bahan dan alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sampah padat organik
yang berasal dari hasil olahan kantin UIN Syarif Hidayatullah, pupuk kandang
(Kambing), larutan NaCl 0,85 % (Cairan fisiologis), ekstrak sampah organik,
media NA, umbi kentang, dextrose, Bacto agar, spirtus, alkohol 70 %, akuades,
kapas, kassa, H2SO4 15 %, NaOH, asam-5-sulfosalisilat dihidrat, alumunium foil,
plastik tahan panas, kertas label, larutan standar VFA.
Alat yang digunakan adalah penangas air, Ose, Erlenmeyer, Brewer anaerob, kain
kassa, pisau, inkubator, oven, Laminar air flow, pembakar bunsen, gelas ukur,
botol semprot, termometer, mikroskop, timbangan analitik, pipet, tabung reaksi,
tabung eppendorf, gelas beaker, Syringe, Erlenmeyer, GC (Gas Chromatography),
pH meter, Furnance, desikator, tabung sentrifus, Biuret, destilator VFA,
mikropipet
20
3.3. Cara Kerja
3.3.1. Persiapan Sampah Padat Organik untuk Pembuatan Biogas
Tahap pertama adalah proses pemisahan sampah organik dan anorganik.
Sampah organik diambil sebesar 300 g lalu dihancurkan sampai berukuran kecil,
kemudian dikombinasikan komposisinya sesuai pada tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Bahan Biogas Perlakuan Komposisi bahan Kadar air (%)
K
A
B
C
Sampah organik + 0 % Pupuk kandang
Sampah organik + 30 % Pupuk kandang
Sampah organik + 40 % Pupuk kandang
Sampah organik + 50 % Pupuk kandang
60
60
60
60
Proses biogas dilakukan di botol akuabides dengan penutup dari silikon.
Setelah sampah organik yang dihancurkan dimasukkan ke dalam botol akuabides
maka ditambahkan konsentrasi pupuk kandang sesuai tabel. Penutup dari silikon
ditutup dan divakum sampai tak ada udara dengan menggunakan syringe.
Pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali dalam waktu 4 minggu. Syarat yang harus
dipenuhi adalah kandungan isi dalam bahan, rasio C/N antara 20-25, kadar air,
temperatur 300-350 C, pH antara 7-7,2, jasad pemroses dan tanpa aerasi. Inkubasi
dilakukan selama 4 minggu.
21
3.3.2. Pembuatan Media
Pembuatan media dilakukan untuk perhitungan total mikroba dengan total
plate count (untuk mengetahui jumlah mikroorganisme yang terdapat pada
kandungan biogas).
3.3.2.1. Pembuatan media PDA
Kentang dikupas bersih dan dipotong kecil-kecil setelah itu ditimbang
sebanyak 150 gram. Kentang dimasukkan ke dalam gelas kimia lalu ditambahkan
300 ml akuades steril. Dipanaskan dengan menggunakan penangas air.
Selanjutnya dilakukan penyaringan kedalam Erlenmeyer 500 ml dengan
menggunakan kain kasa steril 4 lapis dan ditambahkan akuades steril sampai
volumenya 500 ml. Dextrose ditambahkan kedalam Erlenmeyer sebanyak 7,5
gram dan agar sebanyak 10 gram. Media tersebut dipanaskan sampai homogen
dengan menggunakan hot plate, kemudian disterilkan dengan menggunakan
autoklaf pada suhu 1210 C selama 15 menit.
3.3.2.2. Pembuatan media NA
Empat gram medium NA ditimbang dan dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer, kemudian dilarutkan dalam 500 ml akuades steril. Medium tersebut
dipanaskan dengan menggunakan penangas air sampai homogen. Setelah itu
medium disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210 C.
22
3.3.3. Parameter Pengukuran Produksi Gas
3.3.3.1. Berat Kering dan Kandungan Air
Bahan organik ditimbang sebanyak 10 gram, kemudian dikeringkan di
dalam oven dengan suhu 1050 C, hingga beratnya konstan. Bahan tersebut
ditimbang kembali. Kandungan air dalam bahan organik dapat dihitung dengan
rumus :
Kandungan air = Berat basah – Berat kering x 100% Berat basah
3.3.3.2. Berat Organik
Bahan organik dari hasil berat kering, ampasnya di panaskan kedalam
furnance dengan suhu 6000 C (4jam) sampai terbentuk abu. Berat organik dapat
dihitung dengan rumus :
Setelah melakukan perhitungan berat organik maka dilakukan perhitungan
% degradasi berat organik dengan rumus :
% Degradasi Berat organik :
Berat Organik awal – Berat Organik akhir x 100% Berat Organik awal
% Berat Organik :
Berat Kering – Abu x 100 % Berat Basah
3.3.3.3. Perhitungan Total Mikroba
Sebanyak 5 g masing masing sampel dimasukkan dalam 45 ml larutan
NaCl 0,85 % dalam Erlenmeyer 50 ml (sebagai pengenceran pertama 10-1) dan di
23
vortex. Selanjutnya diambil 1 ml larutan dari pengenceran pertama dan
dimasukkan ke dalam 9 ml larutan NaCl 0,85 % dalam tabung reaksi berikutnya.
Pengenceran tersebut dilakukan sebanyak 6 kali. Seri pengenceran ke 4, 5 dan 6
diambil 1 ml dan diinokulasikan pada media Na dan PDA dengan metode tuang
dan di inkubasi. Pertumbuhan mikroorganisme diamati dengan melakukan
perhitungan jumlah mikrorganisme yang terlihat dalam cawan Petri.
3.3.3.5. Analisa Asam-asam Organik dengan GC (Gas Chromatography)
untuk Penentuan kandungan CH4 dan CO2
Sampel perlakuan hasil dari proses biogas, dihentikan reaksinya dengan
menambahkan H2SO4 15%, kemudian disaring dan diambil cairan-nya untuk
dianalisis VFA dengan GC. Cairan sampel diambil 1ml dengan pipet ke dalam
tabung eppendorf, kemudian ditambahkan 0,003 gram asam sulfo-5-salisilat
dihidrat. Campuran dalam tabung tersebut disentrifugasi selama 10 menit pada
12000 rpm dan suhu 70 C. Selanjutnya sampel diinjeksikan ke dalam GC
Perhitungan :
VFA (mM) = Area VFA sampel x kandungan VFA standar x 1000
Area standar VFA x BM
VFA = Volatile Fatty Acid (asam asetat, asam propionat, asam butirat
atau asam valerat) (mmol/100ml)
BM = Berat Molekul VFA parsial (Balitnak, 2008)
24
3.3.3.6. Perhitungan Komposisi Gas CO2 dan CH4
Setelah didapatkan jenis asam-asam dari GC (Gas Chromatography) maka
dilakukan perhitungan dengan rumus :
CO2 (mmol) = a/2 + p/4 + 1,5b
CH4 (mmol) = a + 2b - CO2
Keterangan : a = kandungan asam asetat ( CH3COOH )
b = kandungan asam butirat (CH3CH2CH2COOH)
p = kandungan asam propionat ( CH3CH2COOH)
1 mmol SCFA menghasilkan 48,7 ml gas (IAEA, 2001)
3.3.3.7. Suhu
Perhitungan suhu dengan menggunakan termometer. Pengukuran suhu
dilakukan 2 kali yaitu pada hari 0 dan hari ke 28. Suhu yang baik untuk proses
biogas adalah 300-350 C.
3.3.3.8. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) selama proses biogas diukur dengan pH meter,
dimana sampel sebanyak 20 ml yang telah dikocok diukur pH-nya menggunakan
pH meter. Pengukuran dilakukan pada hari ke-0 dan hari ke-28.
25
3.3.3.9. Rasio C/N
Pengukuran C/N dilakukan pada hari ke-0 dan ke-28 selama 4 minggu,
dan Rasio C/N yang baik untuk biogas adalah 20-25. Untuk pengukuran karbon
digunakan metode Medius dan nitrogen dengan menggunakan metode Kjeldah.
3.4. Analisa Data
Analisa data dengan menggunakan Anova. Dengan percobaan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan satu faktor perlakuan
yaitu penggunaan aktivator yang diulang sebanyak tiga kali, sehingga terdapat 12
unit satuan percobaan.
Perlakuan penggunaan aktivator.
Model Statistika yang digunakan sebagai berikut:
Yij = µ + αi + εij
i : 1, 2, 3, 4 (t=6) j : 1,2,3 (r=3)
Y : nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ : rataan umum
αi : pengaruh perlakuan ke-i
εij : galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.
26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Berat Kering Substrat Biogas
Hasil pengukuran berat kering medium biogas menunjukkan terjadinya
penurunan untuk semua perlakuan dan kontrol (Gambar 1). Hal ini berarti terjadi
suatu proses degradasi oleh mikroorganisme. Persen degradasi terendah terjadi
pada perlakuan C (50 % Pupuk Kandang) yaitu sebesar 2,35%. Secara statistik
menunjukkan bahwa rata-rata berat kering diantara keempat perlakuan berbeda
nyata (P ≤ 0,05), maka pemberian pupuk kandang pada produksi biogas
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai berat kering keempat
perlakuan (Lampiran 3.1).
Gambar 1. Rata-rata Berat Kering (Bk) Substrat Biogas dengan
Penambahan Pupuk Kandang (Pk) Setelah Inkubasi 28 Hari
0
5
10
15
20
25
30
Perlakuan
Ber
at K
erin
g (G
ram
)
BK awal 0,8 2,42 2,89 3,39BK akhir 0,57 2,04 2,28 3,31% deg BK 28,1 15,7 20,76 2,35
K ( 0% PK) A (30% PK) B (40% PK) C (50% PK)
27
Setelah diinkubasi selama 28 hari terjadi penurunan nilai berat kering. Hal
ini menunjukkan adanya proses pendegradasian bahan organik, padatan akan
dirombak pada saat pendekomposisian bahan. Hasil analisis berat kering
menunjukkan pada setiap konsentrasi baik pada kontrol atau yang menggunakan
aktivator pupuk kandang terjadi penurunan berat kering sebesar 2-28 % dari berat
kering awal.
Pemberian aktivator memberikan pengaruh yang negatif yaitu penurunan
% degradasi berat kering. Kontrol memiliki nilai % degradasi tertingggi (Gambar
1). Hal ini bisa saja karena keberadaan mikroba dalam jumlah besar yang dapat
memanfaatkan berat kering dan berat organik secara optimal untuk hidup dan
berkembangbiak selama fermentasi. Selain itu juga dipengaruhi oleh kadar C/N
yang akan dibahas pada sub selanjutnya.
Menurut Pallupi (1994) proses pengubahan substrat menjadi senyawa
pembentuk biogas akan menurunkan bahan padat organik dalam sistem, karena
pada proses fermentasi anaerobik, bakteri merombak makromolekul dengan
menghasilkan enzim yang akan menghidrolisis makro molekul tersebut. Enzim
proteolitik akan menghidrolisis protein, enzim selulolitik menghidrolisis selulosa,
enzim lipolitik menghidrolisis lipid dan karbohidrat akan dihidrolisis oleh enzim
amilase. Padatan sampah organik akan didegradasi oleh mikroba dan akan terus
menurun sampai akhirnya habis karena dipakai untuk menghasilkan produk akhir
seperti metan, CO2 dan gas lainnya.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Karim (1993) dalam Palupi (1994),
dengan menggunakan fermentasi anaerob disebutkan bahwa nilai berat kering
28
akan mengalami penurunan antara 3,1-3,5 % selama proses produksi. Hal ini
terbukti pada hasil analisis berat kering selama 28 hari inkubasi, kontrol maupun
pada konsentrasi dengan penambahan aktivator pupuk kandang mengalami
penurunan berat kering.
4.2. Berat Organik Substrat Biogas
Hasil analisis berat organik menunjukkan bahwa penambahan aktivator
pupuk kandang memberikan pengaruh terhadap peningkatan berat organik.
Setelah di inkubasi selama 28 hari terjadi penurunan berat organik untuk semua
perlakuan dan kontrol. Penurunan berat organik dapat dilihat dari % degradasi
yang bervariasi yaitu perlakuan kontrol memiliki % degradasi tertinggi bila
dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan aktivator pupuk kandang (A, B
dan C).
Secara statistik pemberian aktivator memberikan pengaruh terhadap % degradasi
berat organik (Lampiran 3.5). Hal ini karena aktivator mengandung
mikroorganisme pendegradasi berat organik. Penurunan nilai berat organik seperti
yang dialami keempat perlakuan pada inkubasi hari ke-28 dapat saja disebabkan
oleh laju perombakan padatan yang menguap menjadi senyawa sederhana, karena
menurut Han Qi Yu et al (2003), pendegradasian bahan dapat dilihat dari
perubahan nilai berat organik, dimana pada proses produksi biogas secara
anaerobik, terjadi penurunan kandungan berat organik dengan efisiensi
pendegradasian antara 57-58 % pada akhir proses. Pada hasil penelitian
menunjukkan bahwa persen degradasi bahan organik menurun sampai 16 % dari
29
berat organik awal. Selain itu dipengaruhi C/N, Suhu, pH yang akan dibahas pada
bab selanjutnya.
Gambar 2. Rata-rata Berat Organik (Bk) Substrat Biogas dengan
Penambahan Pupuk Kandang (Pk) Setelah Inkubasi 28 Hari
Proses degradasi berat organik dipengaruhi oleh proses aerob dan anaerob.
Proses awal pada biogas yang terjadi adalah aerob yaitu mikroba membutuhkan
udara dalam mendegradasi substrat, protein dihidrolisis menjadi asam-asam
amino, karbohidrat menjadi gula-gula sederhana, lemak menjadi asam-asam
berantai pendek dan tahap selanjutnya akan terjadi proses anaerob, yaitu
kandungan padatan organik dirombak menjadi senyawa volatil fatty acid, alkohol,
CO2 dan H2 pada tahap asidogenesis, kemudian menjadi CH4 dan CO2 pada tahap
metanogenesis.
0
5
10
15
20
Perlakuan
Ber
at O
rgan
ik (G
ram
)
BO awal 0,24 0,43 0,48 0,49
BO akhir 0,2 0,36 0,41 0,41
% deg BO 16,66 16,27 16,32 4,08
K ( 0% PK) A (30% PK) B (40% PK) C (50% PK)
30
4.3. Rasio C/N Substrat Biogas
Rasio C/N diperlukan dalam proses biogas karena berkaitan dengan
sumber karbon yang akan digunakan oleh mikroba untuk menjalankan aktivitas.
Rasio C/N pada substrat biogas setelah di inkubasi selama 28 hari mengalami
penurunan untuk semua perlakuan dan kontrol. Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa pada uji Anova terdapat perbedaan yang nyata pada keempat
perlakuan (P ≤ 0,05). Pada uji Duncan, kontrol berbeda nyata dengan ketiga
perlakuan yang menggunakan aktivator pupuk kandang, perlakuan kontrol lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan A (30 %), B (40 %) dan C (50 %) pupuk
kandang (Lampiran 3.11). Hal ini berarti pemberian aktivator pupuk kandang
pada produksi biogas menunjukkan pengaruh yang signifikan berupa penurunan
rasio C/N pada akhir inkubasi.
Gambar 3. Rata-rata Rasio C/N Substrat Biogas dengan Penambahan
Pupuk Kandang (Pk) Setelah Inkubasi 28 Hari
0
50
100
150
200
250
300
Perlakuan
Ras
io C
/N
C/N awal 257,8 65 26 30
C/N akhir 34 22 6,4 11
% degradasi 223,8 43 19,6 19
K ( 0% PK) A (30% PK) B (40% PK) C (50% PK)
31
Degradasi rasio C/N yang tinggi seperti pada kontrol (Gambar 3), bisa saja
terjadi karena bakteri fermentasi menggunakan karbon 25-30 % lebih cepat
dibandingkan dengan nitrogen (Nijaguna, 2002). Rasio C/N yang tinggi seperti
pada kontrol dan 30 % dapat menyebabkan gangguan pada ketersediaan karbon.
Menurut Sutanto (2002), apabila ketersediaan karbon berlebihan sampai diatas 40
menyebabkan jumlah nitrogen menjadi terbatas dan proses dekomposisi menjadi
terhambat, karena kelebihan karbon pertama kali harus di bakar oleh
mikroorganisme dalam bentuk CO2.
Rasio C/N pada akhir inkubasi mengalami penurunan karena
mikroorganisme memakainya sebagai sumber energi untuk menghasilkan metan.
Kandungan C/N tinggi seperti pada perlakuan K dan A, menyebabkan kandungan
CH4 rendah, CO2 tinggi, H2 tinggi dan N2 rendah, tetapi jika komposisinya
seimbang maka CH4 tinggi, CO2 sedang, H2 dan N2 rendah. Jumlah karbon yang
tinggi tidak menyebabkan kandungan metan tinggi karena tidak semua sumber
karbon bisa digunakan oleh bakteri anaerob sebagai sumber pakan (Mital, 2002).
4.4. Suhu Substrat Biogas
Suhu pada substrat biogas setelah diinkubasi selama 28 hari mengalami
penurunan untuk perlakuan dengan penambahan aktivator pupuk kandang
(Gambar 4). Proses biogas tahap awal menyebabkan suhu mengalami kenaikan
seiring dengan penambahan aktivator pada substrat biogas. Tahap akhir dari
proses biogas setelah di inkubasi 28 hari menunjukkan bahwa semakin tinggi
aktivator, suhu akhir semakin mengalami penurunan.
32
Pada hasil statistik untuk uji anova, suhu awal aktivator pupuk kandang
menunjukkan perbedaan yang nyata (P ≥ 0,05) yaitu 0,813. Hasil uji Duncan
menunjukkan bahwa kontrol berbeda nyata dengan penambahan aktivator pupuk
kandang (Lampiran 3.13), hal ini berarti aktivator pupuk kandang memberikan
pengaruh terhadap perubahan suhu pada substrat biogas.
Gambar 4. Rata-rata Suhu Substrat Biogas dengan Penambahan
Pupuk Kandang (Pk) Setelah Inkubasi 28 Hari
Suhu tertinggi terlihat pada perlakuan C (Gambar 4), karena suhunya
terlalu tinggi dimungkinkan menyebabkan kandungan metan dan VFA menjadi
rendah (akan di jelaskan pada sub bab selanjutnya). Menurut Metcalf dan Eddy
(1991) Suhu tinggi dalam proses biogas dan pengomposan bisa menyebabkan
hasil yang tidak optimum karena tidak tercapainya fase termofilik yang dapat
mendegredasi karbohidrat dan protein dengan cepat serta membunuh bakteri
patogen dalam bahan baku biogas.
Penurunan suhu seperti pada substrat biogas yang diberikan aktivator
pupuk kandang bisa saja karena peralihan proses pembentukan biogas, sehingga
35,5
3636,5
3737,5
3838,5
39
Der
ajat
Cel
cius
0 Hari 36,66 37,6 37,6 38,628 Hari 37 37,3 37,3 38
K ( 0% PK) A (30% PK) B (40% PK) C (50% PK)
33
terjadi penyesuaian dengan mikroorganisme yang berperan untuk terbentuknya
proses biogas (Metcalf, 1991).
4.5. Derajat Keasaman (ph) Substrat Biogas
Hasil pengukuran pH substrat biogas menunjukkan terjadi peningkatan
untuk semua perlakuan (Gambar 5). Derajat keasaman terendah terjadi pada
kontrol, yaitu sebesar 6,83. Hasil statistik menunjukkan bahwa pH substrat di
antara keempat perlakuan berbeda nyata (P ≤ 0,05), maka pemberian aktivator
pupuk kandang memberikan pengaruh yang signifikan berupa peningkatan pH di
akhir inkubasi (Lampiran 3.14)
Gambar 5. Rata-rata pH Substrat Biogas dengan Penambahan Pupuk
Kandang (Pk) Setelah Inkubasi 28 Hari
Derajat keasaman (pH) sangat erat hubungannya dengan sumber karbon,
suhu serta jumlah mikroba perombak. Sumber karbon mempengaruhi nilai suhu
dan juga pH, karena ketiga faktor tersebut berkaitan dengan enzim yang akan
0
2
4
6
8
Perlakuan
pH
0 Hari 6 6,6 6,1 5,4628 Hari 6,83 6,86 6,86 6,86
K ( 0% PK) A (30% PK) B (40% PK) C (50% PK)
34
dimanfaatkan untuk mempercepat proses kerja mikroorganisme dalam
menghasilkan metan. Perlakuan C memiliki suhu yang tinggi (Gambar 4)
sehingga pH menjadi terganggu dan berakibat pada proses metabolisme
mikroorganisme yang akan memproduksi asam-asam organik.
Selain suhu, jumlah mikroba perombak dapat mempengaruhi nilai pH.
Hal ini karena selama proses anaerob, bakteri akan menghasilkan sejumlah asam
sehingga nilai pH akan cenderung mengalami penurunan (Nijaguna, 2002).
Inkubasi selama 28 hari menyebabkan nilai pH mengalami kenaikan (Gambar 5).
Hal ini bisa saja karena pengaruh dari proses-proses biogas yaitu hidrolisis,
asidogenesis dan metanogenesis. Selama proses asidogenesis pH naik dan
menyebabkan pH lebih asam lalu kemudian terjadi proses metanogenesis yang
menyebabkan pH tidak terlalu asam karena sudah memulai pembentukan gas
(Simamora, 2006). Gas yang terbentuk adalah bersifat basa seperti gas-gas
ammonia (NH3) dan karbondioksida (CO2) yang menyebabkan nilai pH mejadi
meningkat (Sahidu, 1983).
Peranan pH sangat penting, karena pada proses biogas di setiap sistem
pengolahannya, baik itu hidrolisis, asidogenesis maupun metanogenenis memiliki
tingkatan pH yang berbeda untuk kehidupan mikroorganisme yang bekerja pada
proses tersebut. Menurut Han Qi Yu et al (2004), nilai pH memiliki pengaruh
yang besar bagi mikroorganisme yang berperan dalam proses biogas, karena nilai
pH memberi efek pada morfologi sel, struktur sel dan kandungan VFA.
Kandungan asam sitrat akan meningkat jika kandungan pH adalah kurang dari 6,3
35
dan kanudungan asam asam lainnya akan meningkat sesuai dengan pH yang di
perlukan untuk masing masing kategori asam.
4.6. Volatile Fatty Acid (VFA) Substrat Biogas
Analisis VFA pada substrat biogas setelah di inkubasi selama 28 hari
menunjukkan bahwa kandungan asam iso butirat pada substrat biogas lebih tinggi
dibandingkan dengan asam-asam lainnya (Gambar 6). Berdasarkan hasil uji
Anova (Lampiran 3.16 ) VFA pada minggu keempat dari proses biogas memiliki
nilai P ≤ 0,05. Nilai ini menunjukkan VFA pada kontrol dan perlakuan
(penambahan aktivator) memperlihatkan perbedaan yang nyata. Hasil uji lanjut
Duncan menunjukkan kandungan VFA (asam sasetat, propionat, iso butirat dan
normal butirat) yang di berikan aktivator pupuk kandang berbeda nyata dengan
kontrol, sedangkan pada iso asam valerat perlakuan B (40 %) tidak berbeda nyata
dengan kontrol tetapi berbeda nyata dengan A (30 %) dan C (50 %).
Kandungan asam asetat tertinggi terjadi pada perlakuan B dan K (Gambar
6). Asam asetat merupakan salah satu bahan terbentuknya gas metan yang
menyebabkan kandungan CH4 pada perlakuan B dan K (kontrol) menjadi tinggi
bila dibandingkan dengan A dan C (Gambar 8). Kandungan VFA rendah dapat
saja terjadi karena pengaruh pH, dimana ketika VFA terakumulasi dalam
campuran bahan dan menjadi tinggi, maka pH akan mengalami penurunan
menjadi sangat rendah dan asam (Han Qi Yu et al, 2002).
36
Gambar 6. Rata-rata pH Substrat Biogas dengan Penambahan Pupuk
Kandang (Pk) Setelah Inkubasi 28 Hari
Kondisi lingkungan dengan pH yang rendah dapat mengganggu aktivitas
bakteri dan menyebabkan kematian. Terganggunya aktivitas bakteri maka laju
pendegradasian bahan organik menjadikan VFA akan terhambat, sementara VFA
yang sebagian besar merupakan asam asetat, akan terus dirombak menjadi energi,
CO2 dan H2O oleh mikroorganisme. Menurut Nijaguna (2002), pH yang tidak
sesuai pada proses biogas akan berakibat tidak bekerja maksimal mikroorganisme
yang akan menghasilkan metan dan yang terjadi adalah enzim yang berperan pada
proses biogas akan tidak bekerja sesuai dengan tugasnya, artinya enzim menjadi
tidak aktif dan bisa menyebabkan VFA rendah dan terjadinya denaturasi pada
enzim yang ada dalam mikroorganisme seperti pada bakteri metan.
Pada perlakuan A (30 % Pupuk Kandang ) pH awal berada diatas 6 yang
menyebabkan asam asetat sedikit terbentuk. Menurut Han Qi Yu et al (2004),
asam-asam organik seperti asam asetat akan meningkat karena pengaruh pH.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Perlakuan
mM
ol/1
00 m
l
K ( 0% PK) 15,1 3,75 35 4,88 0,63 1,36
A (30% PK) 0,69 0,16 1,02 0,15 0,02 0
B (40% PK) 16,2 3,98 36,2 5,16 0,66 1,43
C (50% PK) 0,48 0,07 0,39 0,06 0,22 0
Asam Asetat
Asam Propionat
Iso Asam Butirat
normal Butirat
Iso Asam Valerat
normal Asam
Valerat
37
Peningkatkan produksi asam asetat terjadi ketika pH kurang dari 6,3 akan tetapi
ketika pH mencapat diatas 6,3 maka yang akan terjadi adalah kandungan asam
asetat dan propionat akan semakin turun sesuai dengan peningkatan pH.
Peningkatan kandungan asam butirat pada substrat akan terjadi ketika pH
mengalami kenaikan.
4.8. CO2 dan CH4 Substrat Biogas
Karbondioksida (CO2) dan metan (CH4) hasil inkubasi biogas selama 28
hari menunjukkan nilai tertinggi pada perlakuan B dan K (Gambar 8). Hal ini
dipengaruhi oleh nilai VFA, suhu, pH dan jumlah mikroba. Perlakuan C memiliki
nilai terendah dengan kandungan CO2 sebesar 0,34 ml dan 0,26 ml untuk CH4
(Gambar 8). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa CO2 dan CH4 pada setiap
perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata, pada hasil uji lanjut Duncan
diketahui bahwa ketiga perlakuan berbeda nyata dengan K dimana perlakuan B
memiliki nilai subset lebih tinggi dibandingkan perlakukan yang lain.
38
Gambar 7. Rata-rata pH Substrat Biogas dengan Penambahan Pupuk
Kandang (Pk) Setelah Inkubasi 28 Hari
Karbondioksida dan asam asetat sangat mempengaruhi dalam proses
terbentuknya biogas, karena keduanya dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk
mengubahnya menjadi metan. Kandungan CO2 tinggi maka diikuti dengan
kandungan CH4 yang tinggi (Gambar 8).
Menurut Palupi (1994), gas metan (CH4) merupakan komponen yang
paling besar dalam biogas dibandingkan dengan komposis gas lain seperti H2.
Kandungan metan ini dipengaruhi oleh aktivitas mikroorganisme dan kondisi-
kondisi mikro seperti suhu, pH, VFA dan rasio C/N. Kandungan metan tertinggi
terjadi pada perlakuan B, dimana pada konsentrasi tersebut memiliki pH sebesar
6,4 pada awal inkubasi dan 6,86 pada akhir inkubasi.
Kandungan pH akan mempengaruhi kinerja mikroorganisme karena akan
menghasilkan VFA yang akan dipergunakan untuk menghasilkan metan. Rasio
0
5
10
15
20
Perlakuan
ml
CO2 15,82 0,61 16,81 0,34CH4 9,07 0,38 9,66 0,26
K ( 0% PK) A (30% PK) B (40% PK) C (50% PK)
39
C/N pada perlakuan B (Gambar 3), mengandung rasio C/N sebesar 26, termasuk
ke dalam kategori rasio C/N yang optimal dalam proses biogas, dimana jumlah
karbon lebih tinggi bila dibandingkan nitrogen, karena jika kandungan nitrogen
tinggi akan menyebabkan kandungan amonia meningkat dan akan terdapat zat
toksin yang akan mengganggu kehidupan mikroorganisme bahkan kematian. Suhu
pada perlakuan B memiliki kisaran suhu 370 C (Gambar 4), suhu berperan pada
aktivitas mikroorganisme dalam 3 tahap yaitu hidrolisis, asidogenesis dan
metanogenesis. Kesesuaian beberapa kandungan bahan dan unsur mikro,
menyebabkan perlakuan B memiliki nilai CH4 lebih tinggi dibandingkan
konsentrasi lain. Kandungan CH4 yang dapat digunakan sebagai sumber energi
harus memiliki kandungan sebesar 60 % dari total gas yang ada (Hambali, 2002).
4.9. Analisis Mikroba
Hasil pengukuran total mikroba dalam produksi biogas menunjukkan
bahwa total mikroba dari keempat perlakuan terhadap produksi biogas adalah
lebih tinggi jumlah bakteri dibandingkan dengan jamur. Total mikroba untuk
bakteri yang menggunakan aktivator pupuk kandang lebih rendah dibandingkan
kontrol. Total mikroba tertinggi terjadi pada perlakuan K dengan jumlah bakteri
7,9 x 1010 cfu/ml dan pada perlakuan A memiliki total bakteri 6,4 x 1010 cfu/ml.
Perlakuan B memiliki total bakteri sebesar 4,7 x 1010 cfu/ml dan pada perlakuan C
sebesar 6,23 x 1010.
Pada total mikroba untuk jamur memiliki nilai tertinggi pada perlakuan B
dibandingkan dengan kontrol. Nilai terendah terjadi pada perlakuan A (1,12 x 1010
40
cfu/ ml) dan perlakuan C (4,5 x 1010 cfu/ml). Tertinggi pada perlakuan B (4,7 x
1010 cfu/ml) dan K (4 x 1010cfu/ml).
Gambar 8. Rata-rata pH Substrat Biogas dengan Penambahan Pupuk
Kandang (Pk) Setelah Inkubasi 28 Hari
Tingginya mikroorganisme pada konsentrasi 40 % dan kontrol dapat saja
terjadi karena kandungan bahan yang terdapat pada kedua fermentor seimbang,
artinya antara pH, suhu, bahan organik dan rasio C/N sesuai dengan keperluan
mikroorganisme untuk menghasilkan metan.
Pada proses biogas mikroorganisme berperan penting dalam menghasilkan
metan sebagai produk akhir. Mikroorganisme yang berperan adalah
mikroorganisme anaerob. Degradasi yang dilakukan mikroorganisme dalam
lingkungan anerob hanya dapat disempurnakan oleh mikroorganisme yang dapat
menggunakan molekul-molekul lain selain oksigen sebagai akseptor hidrogen
(Sahidu,1983).
0,00E+00 1,00E+10 2,00E+10 3,00E+10 4,00E+10 5,00E+10 6,00E+10 7,00E+10 8,00E+10 9,00E+10
Bakteri 7,90E+10 6,40E+10 4,70E+10 6,23E+10 Jamur 4,00E+10 1,12E+10 4,70E+10 4,50E+10
K A B C
41
Pada setiap proses biogas, Mikroorganisme yang berperan berbeda beda
tergantung pada hasil yang diinginkan. Pada tahap akhir untuk menghasillkan
metan diperlukan hubungan simbiosis antara bakteri penghasil asam dan gas
metan. Bakteri penghasil asam membentuk keadaan lingkungan yang ideal untuk
bakteri metan. Sedangkan bakteri pembentuk gas metan menggunakan asam yang
dihasilkan bakteri penghasil asam. Tanpa adanya proses simbiosis tersebut, maka
akan menciptakan kondisi toksik bagi mikroorganisme penghasil asam (Brynt,
1987).
42
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan parameter pengukuran dapat disimpulkan bahwa aktivator
pupuk kandang dapat meningkatan produksi biogas dan konsentrasi pupuk
kandang 40 % paling baik untuk meningkatkan produksi biogas.
5.2. Saran
Berdasarkan penelitian ini saran yang dapat dikemukakan adalah
diperlukan penelitian lanjut dengan bahan baku substrat yang berbeda serta di
harapkan dapat dilakukan uji lapangan untuk skala kecil agar dapat bermanfaat
bagi masyarakat luas.
43
DAFTAR PUSTAKA Bolaghui, H. 2003. Mesophilic Biogas Production from Friut and Vegetable
Waste in A Tubular Digester. Biotechnol.Vol 86:85-89. Bridge, T.B. 1991. Limbah Padat di Indonesia Masalah atau Sumber Daya.
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Campbell, Ian. 1983. Biomass Catalysts and Liquid Fuels. Holt rainheart and
winston ltd, Pensylvania Davis, M.L. and Cornwell. 1989. Introduction to Environmental Enginering.
McGraw. Hill.Publ, Newyork. De wilde, B dan S.Vanhille. 1985. Research and Development of Rular Energy in
Indonesia, ATA 251, Bogor. Firdaus,I.U.2007.KeuntunganBiogas.Http//Biogen.litbang.deptan.go.id/terbitan/p
rosiding/fulltext pdf/prosiding2003 84-96 susi.pdf. 13 desember 2007 pukul 17.00 WIB.
Fry, L.J. 1974. Practical Building of Methane Power Plants for Rular Energy
Independence. Standard Printing santa Barbara, California. Gijizen P.J.L, Derix, and G.D.Vogels. 1990. Aplication of rumen
Microorganisme for a High Rate Anaerobic Digestions of Papermill Sludge, Biol.Waste 32:169-179.
Ginting, Nurzainah. 2007. Penuntun Praktikum Teknologi Pengolahan Limbah
Peternakan. Univ.Sumatera Utara, Medan. Gunnerson, G. G. and D. C. Stuckey. 1986. Integrated Resource Recovery.
Anaerobic and Practise Fir Biogas Sistem. The Word bank, Washington. Hambali, Erliza dan Mujdalipah. 2003. Teknologi Bioenergi. Penebar Swadaya,
Jakarta. Han, Q.Y. et al. 2002. Hydrogen Production from Rice Winery Wastewater in an
Upflow Anaerobic Reaktor by using Mixed Anaerobic Culturs.Appl. Microbiol. Biotechnol. 27,1359-1356.
Han, Q.Y. and Fang, H.H.P. 2002. Mesofilic Acidification of gelatinaceous
waste water. Appl. Microbiol. Biotechnol. 93, 99-108.
44
Han, Q.Y. and Fang, H.H.P. 2003. Acidogenesis of Gelatin-Rich wastewater in an upflow anaerobic reactor : Influence of pH and Temperature. AppWater Research. Vol 37:55-66.
Hardjiwogeno. 1992. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. IAEA, 2001. RCA Regional Training Workshop on In-Vitro Techniques for Feed
Evaluation. BATAN, Jakarta. Ismawati, Ika. A. 2006. Karakteristik Kimia Kotoran Sapi Sebagai Bahan Baku
Biogas dan Cairan Hasil Buangannya (Effluent). Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Junda, Muhammad. 2004. Degradasi Senyawa 2,4,6-triklorofenol oleh Bakteri
Indigen Melalui Pengomposan. Http: //digilib.bi.itb.ac.id. 27 desember 2007 pukul 23.00 WIB.
Junus, Moehammad. 1987. Teknik Membuat dan Memanfaatkan Unit Biogas.
Gajah Mada Press, Yogyakarta. Lingga, 1991. Jenis dan Kandungan Hara Pada Beberapa kotoran Ternak. Pusat
Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S). ANTANA, Bogor Lodha, B.C. 1974. Decomposition of Digested Litter. Pp. 213-139. In : C.H.
Dickinson and G.J.F. Pugh. Ed. Biology Pf Plant Litter Decomposition. Vol II. Academic Press, London and Newyork.
Mc Garry, and Jill. 1993. Compost, Fertilizer and Biogas Production From
Human and Farm Wastes in The People RRC. Excreta and Urin in the village, Pensylvania.
Metcalf and Eddy. 1991. Waste Water Enginering Treatment disposal. Tata Mc
Graw Hill Publishing Company, New Delhi. Mital, K.M. 2002. Biogas System. Taylor & Frances, New Delhi. Nijaguna, B.T. 2002. Biogas Technology. New Age Publisher, New Jersy. Palupi. 1994. Study Pembuatan Biogas dari Tandan Kelapa Sawit, Perikap dan
Lumpur Limbah Pabrik Kelapa Sawit melalui Fermentasi Media Padat. Skripsi. IPB, Bogor.
Pranata, A.S. 1992. Pupuk Organik Cair Aplikasi dan Manfaatnya. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
45
Rahman, Burhani. 2007. Biogas Sumber Energi Alternative. Http: //www.Fisikanet.Lipi.go.id.17 Desember 2007 pukul 14.00 WIB.
Sahidu, S. 1983. Kotoran Ternak sebagai Sumber Energi. Dewa Ruci, Jakarta. Santoso, B.H. 2004. Pupuk kompos. Kanisius, Jakarta. Setiawan , AI. 2002. Memanfaatkan Kotoran Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta. Simamora, Salundik dan Sri. 2006. Membuat biogas Pengganti Bahan Bakar
Minyak dan Gas dari kotoran Ternak. Agromedia Pustaka, Jakarta. Simanungkalit, R.D.M dan D.A. Suriadikarta. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk
Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Sutanto, Rachman. 2002 Penerapan Pertanian Organik. Kanisius, Jakarta Suteju, M.M., Kartasapoetra, Sastroatmojo. 1992. Mikrobiologi Tanah. Rineka
Cipt, Jakarta. Suteju, M.M. 1992. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta, Jakarta.
46
Lampiran 1. Bagan Alir Penelitian
Persiapan 1. Pemilihan sampah organik 2. Pembuatan media
Persiapan sampel pembuatan biogas di Erlenmeyer + penambahan aktivator (pupuk kandang) sesuai komposisi
Tanpa aktivator
30% Pupuk Kandang
40% Pupuk kandang
50% Pupuk Kandang
Pengukuran parameter pada hari ke-0 dan ke-28
Pengukuran parameter 1. % degradasi berat organik dan berat
kering 2. Perhitungan total mikroba 3. Volume gas dengan syringe 4. Analisa asam asam organik dengan GC 5. Perhitungan komposisi gas CO2 dan CH4 6. suhu 7. Derajat keasaman (pH) 8. Rasio C/N
47
Ciawi, 8 Juli 2008 Kepada Sarah Marselia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Analisis VFA
VFA ( mMol / 100 ml ) Diskripsi Contoh
C2 C3 iC4 nC4 iC5 nC5
Sampel Biogas ( 0 % )
15.13 3.75 35.03 4.88 0.63 1.36
Sampel Biogas ( 30 % Pupuk kandang )
0.69 0.16 1.02 0.15 0.02 0
Sampel Biogas ( 40 % pupuk kandang )
16.15 3.98 36.19 5.16 0.66 1.43
Sampel biogas ( 50 % Pupuk kandang )
0.48 0.07 0.39 0.06 0.02 0
Cat : C2 = Asam Acetat,C3 = Asam propionat, iC4 = iso Asam Butirat, nC4 = normal Butirat,iC5 = iso Asam Valerat nC5 = normal Asam Valerat
LABORATORIUM BALAI PENELITIAN TERNAK Jl. RAYA TAPOS CIAWI – BOGOR
Telp. 0251 – 240751 – 240752 – 240753 Faksimili: 0251- 240754 E-mail: Balitnak @ indo.net.id
48
Lampiran 3
Analisa Data Dengan SPSS
3.1 Uji Anova Kadar Berat Kering
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F signifikansi
Bk awal Jumlah Bk Galat Total
11,334 ,005 11,39
38
11
3,778 0 ,001
6296,833 0 ,000
Bk akhir Jumlah Bk Galat Total
11,751 ,003 11,754
38
11
3,917 0,000
10445,000 0,000
% deg Bk Jumlah % deg Galat Total
444,995 8,001452,996
38
11
148,332 1,00
148,319 0,000
Untuk BK awal:
Ho : Rata-rata BK awal pada keempat perlakuan tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata
Hi : Rata-rata BK awal pada keempat perlakuan menunjukkan perbedaan yang
nyata
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,00 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar BK awal di antara keempat perlakuan (0%, 30%, 40% dan
50%) menunjukkan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
Untuk BK akhir :
Ho : Rata-rata BK akhir pada keempat perlakuan tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata
Hi : Rata-rata BK akhir pada keempat perlakuan menunjukkan perbedaan yang
nyata
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,00 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar BK akhir di antara keempat perlakuan (0%, 30%, 40% dan
50%) menunjukkan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
Untuk % degradasi BK :
49
Ho : Rata-rata % degradasi BK pada keempat perlakuan tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata
Hi : Rata-rata % degradasi BK pada keempat perlakuan menunjukkan perbedaan
yang nyata
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,00 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar % degradasi BK di antara keempat perlakuan (0%, 30%, 40%
dan 50%) menunjukkan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
3.2. Hasil Uji Duncan Berat Kering Awal
α 0,05 Perlakuan N 1 2 3 4 0 % 30 % 40 % 50 % Sig.
3 3 3 3
0,8000 d
1,000
2,4200c
1,000
2,8900b
1,000
3,3900a
1,000 Keterangan : huruf kecil yang sama (a,b,c dan d) menunjukkan tidak berbeda nyata (α
0,05).
3.3. Hasil Uji Duncan Berat Kering Akhir
α 0,05 Perlakuan N 1 2 3 4 0 % 30 % 40 % 50 % Sig.
3 3 3 3
0,5700d
1,000
2,0400c
1,000
2,4300b
1,000
3,3100a
1,000 Keterangan : huruf kecil yang sama (a,b,c dan d) menunjukkan tidak berbeda nyata (α
0,05).
3.4. Hasil Uji Duncan % Degradasi Berat Kering
α 0,05
Perlakuan N 1 2 3
50 % 40 % 30 % 0 % Sig.
3 3 3 3
12,000c
1,000
16,0067b
16,3900b
0,65128,2900c
1,000
Keterangan : huruf kecil yang sama (a,b dan c) menunjukkan tidak berbeda nyata (α
0,05).
50
3.5. Uji Anova untuk Berat Organik
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F sig
Bo awal Jumlah Bo Galat Total
1197,502 0,0031197,504
38
11
399,167 0,000
1228207 0,000
Bo akhir Jumlah Bo Galat Total
863,866 0,002 863,868
38
11
287,955 0,000
959850,9 0,000
% deg Bo Jumlah % deg Galat Total
0,609 0,042 0,651
38
11
0,203 0,005
38,681 0,000
Untuk BO awal:
Ho : Rata-rata BO awal pada keempat perlakuan tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata
Hi : Rata-rata BO awal pada keempat perlakuan menunjukkan perbedaan yang
nyata
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,00 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar BO awal di antara keempat perlakuan (0%, 30%, 40% dan
50%) menunjukkan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
Untuk BO akhir :
Ho : Rata-rata BO akhir pada keempat perlakuan tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata
Hi : Rata-rata BO akhir pada keempat perlakuan menunjukkan perbedaan yang
nyata
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,00 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar BO akhir di antara keempat perlakuan (0%, 30%, 40% dan
50%) menunjukkan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya)
Untuk % degradasi BO :
Ho : Rata-rata % degradasi BO pada keempat perlakuan tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata
51
Hi : Rata-rata % degradasi BO pada keempat perlakuan menunjukkan perbedaan
yang nyata.
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,00 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar % degradasi BO di antara keempat perlakuan (0%, 30%, 40%
dan 50%) menunjukkan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
3.6. Uji Duncan Berat Organik Awal
α 0,05 Perlakuan N 1 2 3 4 0 % 30 % 40 % 50 % Sig.
3 3 3 3
24,6300d
1,000
43,1600c
1,000
48,6300b
1,000
49,3100a 1,000
Keterangan : huruf kecil yang sama (a,b,c dan d) menunjukkan tidak berbeda nyata (α
0,05).
3.7. Uji Duncan Berat Organik akhir
α 0,05 Perlakuan N 1 2 3 4 0 % 30 % 40 % 50 % Sig.
3 3 3 3
20,9300 d
1,000
36,5300c
1,000
41,2600b
1,000
41,9700a
1,000 Keterangan : huruf kecil yang sama (a,b,c dan d) menunjukkan tidak berbeda nyata (α
0,05).
3.8. Uji Duncan % deg Berat Organik
α 0,05
Perlakuan N 1 2 3
0 % 30 % 40 % 50 % Sig.
3 3 3 3
14,9600c
1,000
15,3600b
15,4600ab
1,000
15,4600ab
15,5500a
1,000
Keterangan : huruf kecil yang sama (a,b dan c) menunjukkan tidak berbeda nyata (α
0,05).
52
3.9. Uji Anova untuk C/N
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F sig
C/N awal Jumlah Galat Total
108328,334,667
108362,9
38
11
36109,4174,333
8332,942 0,000
C/N akhir Jumlah Galat Total
1210,25016,667
1226,917
38
11
403,4172,083
193,640 0,000
Untuk C/N awal:
Ho : Rata-rata C/N awal pada keempat perlakuan tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata
Hi : Rata-rata C/N awal pada keempat perlakuan menunjukkan perbedaan yang
nyata
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,00 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar C/N awal di antara keempat perlakuan (0%, 30%, 40% dan
50%) menunjukkan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
Untuk C/N akhir :
Ho : Rata-rata C/N akhir pada keempat perlakuan tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata
Hi : Rata-rata C/N akhir pada keempat perlakuan menunjukkan perbedaan yang
nyata
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,00 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar C/N akhir di antara keempat perlakuan (0%, 30%, 40% dan
50%) menunjukkan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya
3.10. Duncan untuk C/N awal
α 0,05 Perlakuan N 1 2 3 4 40 % 50 % 30 % 0 % Sig.
3 3 3 3
26,00d
1,000
30,00c
1,000
65,33b
1,000
257,00a
1,000
53
Keterangan : huruf kecil yang sama (a,b,c dan d) menunjukkan tidak berbeda nyata (α
0,05).
3.11. Uji Duncan untuk C/N akhir
α 0,05
Perlakuan N 1 2 3
40 % 50 % 30 % 0 % Sig.
3 3 3 3
9,00c
10,67c
0,95
22,00b
1,00034,00a
1,000
Keterangan : huruf kecil yang sama (a,b,c dan d) menunjukkan tidak berbeda nyata (α
0,05).
3.12. Uji Anova untuk Suhu
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F sig
Suhu awal Jumlah Galat Total
6,000 2,667 8,667
3 811
2,0000,333
6,000 0,19
Suhu akhir Jumlah Galat Total
1,58313,33314,917
3 811
0,5281,667
0,317 0,813
Untuk suhu awal :
Ho : Rata-rata suhu awal pada keempat perlakuan tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata
Hi : Rata-rata suhu awal pada keempat perlakuan menunjukkan perbedaan yang
nyata
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,019 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar suhu di antara keempat perlakuan (0%, 30%, 40% dan 50%)
menunjukkan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
Untuk suhu akhir :
Ho : Rata-rata kadar suhu akhir biogas pada keempat perlakuan tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata
Hi : Rata-rata kadar suhu akhir pada keempat perlakuan menunjukkan perbedaan
yang nyata.
54
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,81 > 0,05 maka Ho diterima
atau rata-rata kadar suhu akhir diantara keempat perlakuan tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata.
3.13. Uji Duncan untuk Suhu awal
α 0,05
Perlakuan N 1 2
0 % 30 % 40 % 50 % Sig.
3 3 3 3
36,67a
37,67ab
37,67ab
0,076
37,67ab
37,67ab
38,67b
0,076
Keterangan : huruf kecil yang sama (a,b,c dan d) menunjukkan tidak berbeda nyata (α
0,05).
3.14. Uji Anova Untuk pH
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F sig
pH awal Jumlah Galat Total
1,9760,9132,889
3 811
0,6590,114
5,769
0,021
pH akhir Jumlah Galat Total
0,0030,0670,069
3 811
0,0010,008
0,100 0,958
Untuk pH awal :
Ho : Rata-rata pH awal pada keempat perlakuan tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata
Hi : Rata-rata suhu awal pada keempat perlakuan menunjukkan perbedaan yang
nyata
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,021 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar pH di antara keempat perlakuan (0%, 30%, 40% dan 50%)
menunjukkan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
Untuk pH akhir :
Ho : Rata-rata kadar pH akhir biogas pada keempat perlakuan tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata
Hi : Rata-rata kadar pH akhir pada keempat perlakuan menunjukkan perbedaan
yang nyata.
55
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,95 > 0,05. maka Ho diterima
atau rata-rata kadar pH akhir diantara keempat perlakuan tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata.
3.15. Uji Duncan untuk pH awal
α 0,05 Perlakuan N 1 2 50 % 0 % 40 % 30 % Sig.
3 3 3 3
5,467a
6,000ab
0,089
6,000ab
6,167b
6,600b
0,070Keterangan : huruf kecil yang sama (a,b,c dan d) menunjukkan tidak berbeda nyata (α
0,05).
3.16. Uji Anova untuk Kadar VFA
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F sig
As.asetat Jumlah Galat Total
682,052 0,002682,054
3 811
227,351 0,000
779488,0 0,000
As. Propionat Jumlah Galat Total
42,282 0,00742,290
3 811
14,094 0,001
15375,358 0,000
Iso As.Butirat Jumlah Galat Total
3657,6910,046
3657,737
38
11
1219,230 0,006
211122,1 0,000
Norm.Butirat Jumlah Galat Total
72,6010,004
72,606
38
11
24,200 0,001
46096,143 0,000
Iso As.Valerat Jumlah Galat Total
1,1910,0021,193
38
11
0,3970,000
1986,500 0,000
Norm.Valerat Jumlah Galat Total
5,8470,0025,849
38
11
1,9490,000
8995,218 0,000
Untuk VFA :
Ho : Rata-rata VFA pada keempat perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata
Hi : Rata-rata VFA pada keempat perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata
56
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,00 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar VFA di antara keempat perlakuan (0%, 30%, 40% dan 50%)
menunjukkan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
3.17. Uji Duncan untuk asam asetat
α 0,05 Perlakuan N 1 2 3 4 50 % 30 % 0 % 40 % Sig.
3 3 3 3
0,4733d
1,000
0,6900c
1,000
15,1300b
1,000
16,1533a
1,000 Keterangan : huruf kecil yang sama (a,b,c dan d) menunjukkan tidak berbeda nyata (α
0,05).
3.18. Uji Duncan untuk asam propionat
α 0,05 Perlakuan N 1 2 3 4 50 % 30 % 0 % 40 % Sig.
3 3 3 3
0,0667d
1,000
0,1600c
1,000
3,7467b
1,000
3,9800a
1,000 Keterangan : huruf kecil yang sama (a,b,c dan d) menunjukkan tidak berbeda nyata (α
0,05).
3.19. Uji Duncan untuk iso asam butirat
α 0,05 Perlakuan N 1 2 3 4 50 % 30 % 0 % 40 % Sig.
3 3 3 3
0,3900d
1,000
1,0200c
1,000
35,0300b
1,000
36,1900a
1,000 Keterangan : huruf kecil yang sama (a,b,c dan d) menunjukkan tidak berbeda nyata (α
0,05).
3.20. Uji Duncan untuk normal butirat
α 0,05 Perlakuan N 1 2 3 4
57
50 % 30 % 0 % 40 % Sig.
3 3 3 3
0,0600d
1,000
0,1500c
1,000
4,8800b
1,000
5,1600a
1,000 Keterangan : huruf kecil yang sama (a,b,c dan d) menunjukkan tidak berbeda nyata (α
0,05).
3.21. Uji Duncan untuk iso asam valerat
α 0,05 Perlakuan N 1 2 30 % 50 % 0 % 40 % Sig.
3 3 3 3
0,0200b
0,0200b
1,000
0,6400a
0,6600a
0,122
Keterangan : huruf kecil yang sama (a,b,c dan d) menunjukkan tidak berbeda nyata (α
0,05).
3.22. Uji Duncan untuk normal asam valerat
α 0,05 Perlakuan N 1 2 3 30 % 50 % 0 % 40 % Sig.
3 3 3 3
0,000c
0,000c
1,000
1,3567b
1,0001,4333a
1,000
Keterangan : huruf kecil yang sama (a,b,c dan d) menunjukkan tidak berbeda nyata (α
0,05).
3.23. Uji Anova kadar CO2 dan CH4
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F sig
CO2 Jumlah Galat Total
756,2400,012
756,252
38
11
252,0800.001
171872,7 0,000
CH4 Jumlah Galat Total
246,9800,003
246,983
38
11
82,3270,000
259979,0 0,000
Untuk CO2 :
Ho : Rata-rata CO2 pada keempat perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata
Hi : Rata-rata CO2 pada keempat perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata
58
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,00 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar pH di antara keempat perlakuan (0%, 30%, 40% dan 50%)
menunjukkan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
Untuk CH4 :
Ho : Rata-rata CH4 pada keempat perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata
Hi : Rata-rata CH4 pada keempat perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,00 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar pH di antara keempat perlakuan (0%, 30%, 40% dan 50%)
menunjukkan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
3.24. Uji Duncan untuk CO2
α 0,05 Perlakuan N 1 2 3 4
50 % 30 % 0 % 40 % Sig.
3 3 3 3
0,3000d
1,000
0,6067c
1,000
15,8167b
1,000
16,8100a
1,000 Keterangan : huruf kecil yang sama (a,b,c dan d) menunjukkan tidak berbeda nyata (α
0,05).
3.25. Uji Duncan untuk CH4
α 0,05 N 1 2 3
50 %
30 % 0 % 40 % Sig.
3 3 3 3
0,2600d
1,000
0,3567c
1,000
9,0733b
1,000
9,6700a
1,000 Keterangan : huruf kecil yang sama (a,b,c dan d) menunjukkan tidak berbeda nyata (α
0,05).