Post on 26-Dec-2015
description
Laporan Praktikum Dosen Pembimbing Teknik Reaksi Kimia Ahmad Fadli, ST.MT.PhD
KERAMIK BERPORI
Kelompok : II (Dua)
Nama : Rita P. Mendrova (1107035609)
Ryan Tito (1107021186)
Yakub J. Silaen (1107036648)
LABORATORIUM KONVERSI ELEKTROKIMIA
PROGRAM STUDI D-III TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
2013
Abstrak
Alumina berpori (TCP) dibuat dengan metode starch-consolidation dengan menggunakan wheat sebagai agen pembentuk pori. Tujuan percobaan ini adalah untuk mempelajari pengaruh kecepatan pengadukan terhadap sifat fisik, kimia dan mekanik Alumina berpori. Wheat particles dicampur dengan suspensi Alumina kemudian diaduk selama 30 menit variasi kecepatan pengaduk sebesar 100 rpn dan 150 rpm. Slurry dikeringkan dalam oven pada 100˚C selama 24 jam. Green bodies yang dihasilkan menunjukkan terjadinya penyusutan volume. Penyusutan volum untuk slurry yang diaduk dengan kecepatan 150 rpm lebih besar dibandingkan dengan penyusutan volum untuk slurry yang diaduk dengan kecepatan 100 rpm. Untuk salah satu sampel keramik demoulding, tinggi keramik pada kecepatan pengadukan 100 rpm yaitu 9 mm, sedangkan tinggi keramik pada kecepatan pengadukan 150 rpm hanya 5 mm. Penentuan persentase penyusutan, densitas serta porositas keramik percobaan tidak dapat dilakukan. Hal ini disebabkan karena suhu sintering yang harus digunakan >11000C, sedangkan furnace yang tersedia untuk sintering memiliki suhu maksimal 1100oC.
Kata Kunci : Alumina; porositas; wheat particles; sintering.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Tujuan Percobaan
Tujuan percobaan pembuatan keramik berpori antara lain:
1. Mempelajari pengaruh waktu pengadukan, kecepatan pengadukan, laju
pemanasan dan temperatur sintering terhadap sifat fisika keramik
berpori.
2. Menentukan persentase penyusutan volum (shrinkage) keramik berpori.
3. Menentukan densitas dan porositas keramik berpori.
1.2. Dasar Teori
1.2.1 Keramik
Keramik pada awalnya berasal dari bahasa Yunani, keramikos yang artinya
suatu bentuk dari tanah liat yang telah mengalami proses pembakaran. Kamus dan
ensiklopedia tahun 1950-an mendefinisikan keramik sebagai suatu hasil seni dan
teknologi untuk menghasilkan barang dari tanah liat yang dibakar, seperti
gerabah, genteng, porselin dan sebagainya. Tetapi sekarang ini tidak semua
keramik berasal dari tanah liat. Definisi pengertian keramik terbaru mencakup
semua bahan bukan logam dan anorganik yang berbentuk padat.
Pada prinsipnya keramik terbagi menjadi keramik tradisional dan keramik
teknik. Keramik tradisional adalah keramik yang dibuat dengan menggunakan
bahan alam, seperti kuarsa dan kaolin. Contoh keramik ini adalah barang pecah
belah (dinnerware) keperluan rumah tangga (tile and bricks) serta untuk industri
(refractory). Keramik teknik adalah keramik yang dibuat dengan menggunakan
oksida-oksida logam, seperti Al2O3, ZrO2 dan MgO. Penggunaannya terdapat pada
elemen pemanas, semi konduktor dan elemen turbin.
Dewasa ini, beberapa keramik teknik telah diaplikasikan dalam bidang
medis (biomedical). Tri kalsium fosfat dan hidroksiapatit berpori merupakan
keramik yang digunakan dalam implantasi tulang. Hal ini dikarenakan keramik
tersebut memiliki similaritas kimia dengan jaringan tulang. Tulang merupakan
jaringan hidup yang tersusun mineral, matriks, sel, substansi lemak, polimer alam
(polisakarida, kolagen dan polifosfat) dan substansi lain. Jaringan tulang terdiri
dari 69% fase mineral, 9% air dan 22% matriks organik (90-96% kolagen).
Komponen utama dalam fase mineral tulang adalah kalsium fosfat yang terdiri
dari HA, dikalsium fosfat (Ca2P2O7), dibasic kalsium fosfat (DCP, CaHPO4) dan
trikalsium fosfat (TCP, Ca3(PO4)2) [Park, 1984]. Bagian-bagian tulang dapat
dilihat pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Bagian-bagian tulang [Vallet-Regi & Gonzalez-Calbet, 2004]
1.2.2 Fabrikasi Keramik Berpori
Pori keramik dapat dibentuk dengan beberapa metode. Perbedaan metode
dalam fabrikasi keramik berpori akan mempengaruhi derajat porositas, kuat tekan
dan ukuran pori yang dihasilkan. Ukuran pori keramik dapat diklasifikasikan
menjadi mikro, meso dan makro pori. IUPAC merekomendasikan mikro pori
mempunyai ukuran pori <2 nm, meso pori 2-50 nm dan makro pori berukuran >50
nm [Sing et al., 1985]. Keramik berpori dapat difabrikasi melalui ceramic
foaming technique, solvent casting, microwave vacuum sintering, polymeric
sponge method dan starch consolidation.
1. Ceramic Foaming Technique
Teknik foaming ini dilakukan dengan penambahan zat foamer. Foaming
agent yang umumnya digunakan adalah hidrogen peroksida, garam karbonat dan
baking powder. Zat-zat tersebut dicampurkan ke dalam TCP kemudian dikalsinasi
[Woyansky et al., 1992]. Ukuran pori TCP yang dihasilkan bervariasi dari 30-600
mikron [Aoki et al., 2004]. Kelemahan metode ini terletak pada interkoneksi antar
pori yang lemah dan ukuran pori yang tidak seragam. Tamai et al. [2002]
mengembangkan teknik ceramic foaming dengan adanya ikatan silang
polimerisasi yang disebut gel-casting. Gel-casting telah diterapkan oleh He et al.
[2009] dalam fabrikasi alumina berpori menggunakan protein. Protein yang
dipakai adalah protein putih telur (EWP) dan protein whey yang terisolasi (WPI).
Alumina yang dihasilkan mempunyai derajat porositas 86,5-87% dengan kuat
tekan 6,36-7,87 MPa. Hasil SEM alumina berpori yang diperoleh dapat dilihat
pada Gambar 1.2.
Gambar 1.2 Hasil SEM alumina berpori [He et al, 2009]
2. Salt-Solvent Casting
Metode ini menggunakan garam seperti natrium klorida dan pelarut polimer
sebagai pembentuk pori. Campuran zat-zat tersebut ditambahkan ke dalam TCP
dan dicetak (pressing), kemudian dilarutkan dalam air hingga kristal garam
terlepas. Skema salt-solvent casting dapat dilihat pada Gambar 1.3. Metode ini
menghasilkan kalsium fosfat dengan diameter makro pori 100-500 µm,
interkonektivitas antar pori yang baik dan derajat porositas berkisar 87-91%
[Walsh et al., 2008].
Gambar 1.3 Skema salt-solvent casting [Abdurrahim & Sopyan, 2008]
3. Polymeric Sponge Method
Penggunaan polimer berpori dapat menghasilkan TCP berpori dengan
interkonektivitas antar pori yang baik. Impregnasi polimer dan proses sintering
pada TCP akan menghasilkan TCP berpori dengan porositas + 45%. Polymeric
sponge method ditunjukkan oleh Gambar 1.4. Ramay & Zhang [2003] telah
mengkombinasikan polymeric sponge method dengan metode gel-casting.
Penggabungan metode ini menghasilkan TCP berpori dengan ukuran pori 200-400
µm, mechanical strength yang meningkat, struktur mikro yang homogen dan
seragam serta interkonektivitas antar pori yang baik.
Gambar 1.4 Diagram alir polymeric sponge method [Haugen et al., 2004]
4. Starch Consolidation Method
Starch merupakan zat pati yang terdiri dari jagung, sorgum, kentang, ubi
dan wheat. Umumnya starch berwarna putih, dense dan tidak larut dalam air pada
temperatur ruang. Starch consolidation merupakan metode pembentukan pori
dengan menambahkan pati pada keramik. Campuran tersebut lalu ditambahkan air
hingga membentuk suspensi dan dimasukkan ke furnace untuk sintering
[Lyckfeldt & Ferreira, 1997]. Metode ini menghasilkan porositas 45-70% dengan
kuat tekan 2-15 MPa [Abdurrahim & Sopyan, 2008]. Mekanisme penggabungan
starch dengan material keramik dapat dilihat pada Gambar 1.5.
Gambar 1.5 Mekanisme starch consolidation [Mahata et al., 2012]
1.2.3 Drying dan Sintering
Dua proses penting dalam fabrikasi keramik adalah drying dan sintering.
Drying merupakan proses pemisahan air dari campuran. Dalam fabrikasi keramik,
drying dibutuhkan untuk melepaskan air dari slurry. Selama proses berlangsung,
molekul air berdifusi ke permukaan dimana proses evaporasi terjadi. Tahapan
proses pelepasan molekul air dapat dilihat pada Gambar 1.6. Gambar tersebut
menunjukkan bahwa selama proses drying, material akan mengalami penyusutan.
Penyusutan yang terjadi dikarenakan air telah terevaporasi keluar bahan sehingga
ukuran material semakin kecil. Material yang telah melewati proses ini disebut
green bodies.
Gambar 1.6 Pelepasan air selama drying (a) keramik basah, (b) sebagian air telah
hilang dan (c) keramik kering [Kingery, 1960]
Sintering merupakan proses pemanasan pada temperatur tinggi untuk
meningkatkan kekuatan mekanik material. Proses ini juga dapat didefinisikan
sebagai proses produksi suatu material dengan mikro struktur dan porositas yang
terkontrol. Sintering dapat diklasifikasikan menjadi sintering fasa padat dan fasa
cair. Sintering fasa padat terjadi jika material berada dalam fasa padat pada
temperatur sintering sedangakan sintering fasa cair terjadi apabila terdapat cairan
selama sintering berlangsung. Selama sintering berlangsung, struktur partikel
material akan tumbuh (coarsening) dan menyatu membentuk kesatuan massa
(densifikasi) [Kang, 2005]. Hal ini merupakan fenomena dasar dari proses
sintering dan dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 1.7.
Selama coarsening dan densifikasi berlangsung, terjadi pergerakan partikel
material. Pergerakan tersebut terjadi secara kompleks dan dikarenakan adanya
difusi permukaan (Ds), difusi gas (Dg), difusi kisi (Dl), difusi boundary (Db),
perbedaan viskositas (η) dan perbedaan tekanan uap (Δp) partikel. Gambar 1.8
menunjukkan mekanisme pergerakan partikel dalam sintering.
Gambar 1.7 Fenomena dasar yang terjadi selama sintering [Kang, 2005]
Gambar 1.8 Mekanisme pergerakan partikel material dalam sintering
[Kang, 2005]
Pergerakan partikel material berkaitan erat dengan laju densifikasi (laju
sintering). Pergerakan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pada Gambar
1.9. Laju densifikasi akan meningkat apabila temperatur semakin tinggi, tekanan
semakin besar, ukuran partikel semakin kecil dan waktu sintering yang semakin
lama.
Gambar 1.9 Pengaruh variabel sintering terhadap densifikasi (T, temperatur; P,
tekanan dan L, ukuran partikel) [Kang, 2005]
BAB II
PERCOBAAN
2.1 Bahan yang digunakan
Bahan-bahan yang digunakan meliputi keramik (powder), akuades, wheat
particles (terigu), mintak sayur dan HNO3.
2.2 Alat yang digunakan
Peralatan utama yang digunakan yaitu furnace, sedangkan peralatan
penunjang yang digunakan antara lain oven, stirrer, kertas indikator pH, gelas
kimia, gelas ukur, pipet tetes, stainless steel mould, dan mistar.
2.3 Prosedur Percobaan
1. Keramik bubuk (Alumina) ditimbang sebanyak 24 gram kemudian
dimasukkan ke dalam gelas kimia. Sebanyak 30 ml akuades dan 12 gram
wheat particles (terigu) kemudian ditambahkan kedalam gelas kimia dan
diaduk hingga merata.
2. Kedalam campuran ditambahkan HNO3 hingga didapat pH sebesar 3,5.
Campuran diaduk dengan menggunakan stirrer. Kecepatan pengaduk
divariasikan yaitu sebesar 100 rpm dan 150 rpm, sedangkan waktu
pengadukan selama 30 menit.
3. Mould dilapisi dengan minyak dan campuran yang telah diaduk dituangkan
secara perlahan-lahan kedalam mould.
4. Mould dimasukkan ke dalam oven dan dipanaskan pada suhu 100oC selama
24 jam. Padatan kemudian dilepaskan dari mould.
5. Diameter dan tinggi padatan diukur dengan menggunakan mistar sebelum
dimasukkan ke dalam furnace. Setelah sintering, diameter dan tinggi
padatan diukur kembali.
Gambar 2.1 Skema fabrikasi alumina berpori menggunakan metode starch
consolidation.
2.4 Perhitungan dan Analisa
2.4.1 Persentase Penyusutan (shrinkage)
Tinggi dan diameter sampel diukur menggunakan mistar sebelum dan
sesudah sintering. Sampel diukur 5 kali untuk setiap variabel proses kemudian
hasil rataannya digunakan dalam kalkulasi shrinkage seperti pada Persamaan 2.1
(2.1)
Dimana Vbs dan Vas merupakan volum sampel sebelum dan sesudah sintering.
Alumina Bubuk
2.4.2 Densitas dan Porositas
Densitas dan porositas merupakan karakteristik yang menggambarkan
distribusi pori pada sampel. Densitas diperoleh dengan menimbang dan
menghitung volum sampel. Formula untuk menghitung densitas dapat dilihat pada
Persamaan 2.2. Setelah memperoleh data densitas, maka porositas dapat dihitung
menggunakan Persamaan 2.3 hingga 2.4.
(2.2)
(2.3)
Dimana ρt adalah densitas teoritis.
(2.4)
2.5
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Percobaan
Hasil percobaan keramik berpori menggunakan metode starch consolidation
dengan memvariasikan kecepatan pengadukan (100 rpm dan 150 rpm) disajikan
pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Hasil percobaan
Sampel ke-
Sebelum SinteringKecepatan pengadukan
100 rpmKecepatan pengadukan
150 rpmDiameter
(mm)Tinggi (mm)
Diameter (mm)
Tinggi (mm)
1 10 9 8 5
2 9 10 8 5
3 9 9 8 4
3.2 Pembahasan
Starch consolidation merupakan metode pembentukan pori dengan
menambahkan pati pada keramik. Campuran tersebut lalu ditambahkan air hingga
membentuk suspensi dan dimasukkan ke furnace untuk sintering [Lyckfeldt &
Ferreira, 1997]. Pada percobaan ini keramik dibuat dengan menggunakan wheat
particles sebagai agen pembentuk pori. Partikel wheat akan terdispersi dalam air
dan membentuk gel karena adanya pemanasan. Wheat particles sebanyak 12 gram
akan menyerap 30 ml air pada 100˚C. Pengadukan dilakukan dengan kecepatan
100 dan 150 rpm selama 30 menit. Selama pengadukan berlangsung, viskositas
slurry akan bertambah sehingga terbentuk pasta, hal ini terjadi karena pengadukan
mempercepat proses penyerapan air yang dilakukan oleh wheat particles
[Prabhakaran dkk, 2007]. Pasta tersebut selanjutnya dikeringkan di dalam oven
selama 24 jam sehingga terbentuk green bodies. Selama proses pengeringan,
terjadi penyusutan volum. Gambar 3.1 menunjukkan foto green bodies dengan
pengadukan selama 30 menit dan kecepatan masing-masing 100 rpm dan 150
rpm.
Gambar 3.1 Green bodies dengan kecepatan pengadukan (a) 100 rpm dan (b)
150 rpm
Penyusutan volum untuk slurry yang diaduk dengan kecepatan 150 rpm
lebih besar dibandingkan dengan penyusutan volum untuk slurry yang diaduk
dengan kecepatan 100 rpm. Penyusutan disini adalah perbedaan volum pada
saat campuran dimasukkan ke dalam mould dengan volum keramik
demoulding. Mould yang digunakan memiliki diameter dan tinggi yang sama,
yaitu 10 mm.
Berdasarkan Gambar 3.1, untuk salah satu sampel keramik demoulding,
tinggi keramik pada kecepatan pengadukan 100 rpm yaitu 9 mm, sedangkan
tinggi keramik pada kecepatan pengadukan 150 rpm hanya 5 mm.
Peningkatan penyusutan ini disebabkan terbentuknya ikatan antara air dengan
partikel Alumina. Bertambahnya kecepatan pengadukan meningkatkan
jumlah ikatan antara air dengan keramik. Pada keramik terdapat 2 ikatan yaitu
ikatan kovalen dan ikatan ion, interaksi antara air dengan partikel keramik
akan meningkatkan ikatan ion (ikatan logam dan non logam) pada keramik
[Kang, 2005]. Kecepatan pengadukan mempengaruhi ikatan antara air dengan
partikel keramik, bertambahnya kecepatan pengadukan menghasilkan sampel
a b
dengan ikatan yang semakin kuat karena meningkatkan ikatan antara logam
dan non logam didalam keramik, sehingga menghasilkan sampel yang
semakin padat dan mengakibatkan penyusutan semakin besar [Kang, 2005].
Penentuan persentase penyusutan, densitas serta porositas keramik
percobaan tidak dapat dilakukan. Hal ini disebabkan karena suhu sintering
yang harus digunakan >11000C, sedangkan furnace yang tersedia untuk
sintering memiliki suhu maksimal 1100oC.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
1. Penyusutan volum untuk slurry yang diaduk dengan kecepatan 150 rpm
lebih besar dibandingkan dengan penyusutan volum untuk slurry yang
diaduk dengan kecepatan 100 rpm. Untuk salah satu sampel keramik
demoulding, tinggi keramik pada kecepatan pengadukan 100 rpm yaitu 9
mm, sedangkan tinggi keramik pada kecepatan pengadukan 150 rpm hanya
5 mm.
2. Penentuan persentase penyusutan, densitas serta porositas keramik
percobaan tidak dapat dilakukan. Hal ini disebabkan karena suhu sintering
yang harus digunakan >11000C, sedangkan furnace yang tersedia untuk
sintering memiliki suhu maksimal 1100oC.
4.2. Saran
Pada percobaan ini, praktikan tidak mengetahui berapa besar persentase
penyusutan, densitas serta porositas keramik karena furnace yang digunakan tidak
dapat digunakan untuk sintering. Seharusnya peralatan percobaan keramik
berpori, seperti misalnya furnace, tersedia dengan lengkap di dalam laboratorium.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahim, T. & Sopyan, I. (2008). Recent progress on the development of porous bioactive calcium phosphate for biomedical applications. Biomed. Eng. 1: 213-229.
Aoki, S., Yamaguchi, S., Nakahira, A. & Suganuma K. (2004). Preparation of porous calcium phosphate using a ceramic foaming technique combined with a hydrothermal treatment and the cell response with incorporation of osteoblast like cells. J. Cer. Soc. Jpn 112: 193-199.
Haugen, H., Will, J., Kohler, A., Hopfner, U., Aigner, J. & Wintermantel, E. (2004). Ceramic TiO2-foams: characterisation of a potential scaffold. J. Eur. Ceram. Soc. 24: 661-668.
He, X., Zhou, X. & Su, B. (2009). 3D interconnective porous alumina ceramics via direct protein foaming. Mater. Lett. 63: 830-832.
Kang, S-J., L. (2005). Sintering: densification, grain growth and microstructure. Amsterdam: John Wiley & Sons.
Kingery, W. D. (1960). Introduction to ceramics. New York: John Wiley & Sons.Lyckfeldt, O. & Ferreira, J. M. (1997). Processing of porous ceramics by starch
consolidation. J. Eur. Ceram. Soc. 18: 131-140. Mahata, S., Nandi, M. M. & Mondal, B. (2012). Preparation of high solid loading
titania suspension in gelcasting using modified boiling rice extract (MBRE) as binder. Ceram. Inter. 38: 909-918.
Park, J. B. (1984). Biomaterials Science and Engineering. USA: Plenum Press.Prabhakaran, K., Melkeri, A., Gokhale, N. M. & Sharma S. C. (2007).
Preparation of macroporous alumina ceramics using wheat particles as gelling and pore agent. Ceram. Inter. 33: 77-81.
Ramay, H. R. & Zhang, M. (2003). Preparation of porous HA scaffolds by combination of the gel-casting and polymeric sponge method. Biomaterials 24: 3293-3302.
Sing, K. S. W., Everett, D. H., Haul, R. A. W., Moscou, L., Pierotti, R. A., Rouquerol, J. & Siemieniewska, T. (1985). Reporting physisorption data for gas/solid systems with special reference to the determination of surface area and porosity. Pure Appl. Chem. 57: 603.
Tamai, N., Myoi, A. & Tomita, T. (2002). Novel hydroxyapatite ceramics with an interconnective porous structure exhibit superior osteoconductive in vivo. J. Biomed. Mater. Res. 59: 110-117.
Tim Penyusun. 2013. Penuntun Praktikum Teknik Reaksi Kimia. Pekanbaru : Program Studi D-III Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Riau.
Vallet-Regi, M. & Gonzalez-Calbet, J. (2004). Calcium phosphates as substitution of bone tissues. Prog. Solid State Ch. 32: 1–31.
Walsh, P. J., Buchanan, F. J., Dring, M., Maggs, C., Bell, S. & Walker, G. M. (2008). Low-pressure synthesis and characterisation of hydroxyapatite derived from mineralise red algae. J. Chem. Eng. 137: 173-179.
Woyansky, J. S., Scott, C. E. & Minnear, W. P. (1992). Processing of porous ceramics. Am. Cers. Soc. Bull 71: 1674-1682.
LAMPIRAN A
DOKUMENTASI
Gambar A.1 Moulding sampel
Gambar A.2 Sampel yang akan dilepas / di-demoulding
Gambar A.3 Pengukuran diameter sampel
Gambar A.4 Pengukuran tinggi sampel
LAMPIRAN B
LAPORAN SEMENTARA
Judul Praktikum : Keramik Berpori
Hari/Tanggal Praktikum : Senin/4 November 2013
Pembimbing : Ahmad Fadli, ST., MT., PhD
Asisten Laboratorium : Ricky Firmansyah
Nama Kelompok III : Rita Puriani Mendrova (1107035609)
Ryan Tito (1107021186)
Yakub Jeffery Silaen (1107036648)
Hasil Percobaan :
Berat Alumina : 24 gram
Berat wheat particles : 12 gram
Volume Akuades : 30 ml
pH campuran : 3,5
Waktu pengadukan : 30 menit
Kecepatan pengadukan : 100 rpm dan 150 rpm
Lama drying : 24 jam
Suhu drying : 100oC
Sintering tidak dilakukan karena suhu furnace tidak memenuhi standar suhu
sintering yang diinginkan, yaitu >1100oC.
Tabel B.1. Hasil percobaan
Sampel ke-
Sebelum SinteringKecepatan pengadukan
100 rpmKecepatan pengadukan
150 rpmDiameter
(mm)Tinggi (mm)
Diameter (mm)
Tinggi (mm)
1 10 9 8 5
2 9 10 8 5
3 9 9 8 4
Pekanbaru, 6 November 2013
Teknisi Laboratorium, Asisten Laboratorium,
Gustina Ricky Firmansyah