Post on 08-Jun-2019
PELEMBAGAAN PARTAI POLITIK DAN FAKSI
INTRA-PARTAI
(Studi tentang Kemunculan Faksi Anas Urbaningrum
dalam Partai Demokrat)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.)
Oleh:
Rowdotusya’adah
1113112000022
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
PELEMBAGAAN PARTAI POLITIK DAN FAKSIINTRA.PARTAI
(Studi tentang Kemunculan Faksi Anas Urbaningrumdalam Partai Demokrat)
Diaj ukan untuk Memenuhi Persyaratan MemperolehGelar Sarjana Sosial (S.Sos.)
Oleh:
Rowdotusya'adah1113112000022
Dosen Pembimbing,
Dr. A. Bakir lhsan, M.Si.IrIIP: 19724412 200312 I 0A2
PROGRAM STUDI ILMU POLITIKFAKT]LTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
T'NIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATT]LLAIIJAKARTA
2018
PER}IYATAA}I BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
PELEMBAGAAN PARTAI POLITIK DAN FAKSI INTRA-PARTAI (StUdi
tentang Keuunculaa Faksi Anas Urbaningrum dalam Partai Demokrat)
Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri OfN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain. maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri ruf$ Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 Desember 2017
1.
aJ.
Rowdotusya'adah
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Rowdotusya'adah
NIM :1113112000022
Program Studi: Ilmu Politik
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
PELEMBAGAAN PARTAI POLITIK DAN FAKSI INTRA.PARTAI (Studi
tentang Kemunculan Faksi Anas Urbaningrum dalam Partai Demokrat)
dan telah diujikan pada 10 Januari 2018.
J akarta, 1 6 Januari 20 1 8
Mengetahui,Ketua Program Studi
Menyetujui,Pembimbing
I
NIP: 19720412 200312 I 002
\7r-Dr. Iding Rosyidin, M.Si.NIP: 19701013 200501 1 003
D{. A. Bakir Ihsan, M.Si.
PENGESAIIAN PA}IITIA UJIAI{ SKRIPSI
SKRIPSIPELEMBAGAAN PARTAI POLITIK DAN FAKSI INTRA-PARTAI
(Studi tentang Kemunculan Faksi Anas Urbaningrumdalam Fartai Demokrat)
Oleh
Rowdotusya'adah1113112040422
telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan IknuPolitik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 10
Januari 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperolehgelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.
Ketua, Se-i<retaris,
,_lti,Dr. Iding Rosyidin, M.Si.NIP: 19101013 200501 1 003
NIP: 19633102 419994M.A.32 001
Diterima dan dinyatakan memenuhi201 8.
Ketua Program Studi Ilmu PolitikFISIP UIN Jakarta
Dr. Iding Rosyidin, M.Si.NIP: 19701013 200501 1 00
Suryani, M.Si.NIP: 19770424200710 2 003
syarat kelulusan pada tanggat 10 Januari
Penguji II,
Adi Prayitno, M.Il
v
ABSTRAK
Nama : Rowdotusya’adah
Program Studi : Ilmu Politik
Judul : Pelembagaan Partai Politik dan Faksi Intra-Partai
(Studi tentang Kemunculan Faksi Anas Urbaningrum dalam
Partai Demokrat)
Penelitian ini membahas tentang pelembagaan partai politik dan faksi intra-
partai dengan tujuan utama untuk mengetahui penyebab kemunculan Faksi Anas
Urbaningrum dalam Partai Demokrat. Kongres ke II Partai Demokrat Tahun 2010
menjadi awal terbentuknya Faksi Anas Urbaningrum dalam Partai Demokrat.
Pada tahun 2011, persaingan antar faksi di dalam Partai Demokrat kembali hadir
dengan ditetapkannya M. Nazaruddin sebagai tersangka kasus suap Wisma Atlet
SEA Games yang kemudian menyeret nama Ketua Umum Partai Demokrat, Anas
Urbaningrum. Dinamika persaingan antar faksi terus bergulir hingga akhirnya
Anas Urbaningrum ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus
Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional
(P3SON) di Hambalang, Kabupaten Bogor. Hal inilah yang menjadi puncak dari
persaingan antara Faksi Anas dengan Faksi SBY.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui wawancara dan
telaah tambahan pada beberapa literatur. Penggunaan teori partai personalistik,
teori pelembagaan partai politik, dan teori faksi menghasilkan temuan di
antaranya: (1) Partai yang tidak terlembaga memungkinkan munculnya faksi
intra-partai; (2) Kemunculan Faksi Anas disebabkan oleh kesamaan nilai, strategi
bersama, dan loyalitas personal terhadap Anas Urbaningrum; (3) Faksi Anas
berfungsi sebagai faksi kepentingan (factions of interest); (4) Faksi Anas yang
terbentuk dalam Partai Demokrat termasuk dalam kategori personal or client-
group factions, yaitu faksi yang dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan individu;
(5) Persaingan antara Faksi Anas dan Faksi SBY saat itu menggambarkan
dinamika faksionalisme yang degeneratif, yaitu kondisi di mana ruling elite
dengan ruled elite saling menghantam dan menghancurkan.
Kata Kunci: Personalistik, Pelembagaan, Faksi Anas, Faksi SBY.
vi
ABSTRACT
Name : Rowdotusya’adah
Study Program : Political Science
Title : Party Institutionalization and Intra-Party Factions
(Study of the Emergence of Anas Urbaningrum
Faction in the Partai Demokrat)
This study discusses the institutionalization of political parties and its
factions. The main purpose of this study is to determine the emergence of Anas
Urbaningrum Faction in the Partai Demokrat. Second Congress of the Partai
Demokrat in 2010 became the beginning of Anas Urbaningrum Faction in the
Partai Demokrat. In 2011, the rivalry between Partai Demokrat factions began to
appear along with M. Nazaruddin who was accused of bribery case of Wisma
Athlete SEA Games which also involves the Chairman of the Partai Demokrat,
Anas Urbaningrum. The dynamics of competition between factions continues
until Anas Urbaningrum is designated as a suspect by the KPK in the case of the
Development of Education Training Center and National Sport School (P3SON)
in Hambalang, Bogor Regency. This is the culmination of competition between
Anas Faction with SBY Faction.
This study uses a qualitative approach through interviews and additional
studies in several literatures. This research also uses personalistic party theory,
institutionalization party theory, and faction theories of findings in self: (1)
unisulated parties in the resulting in the emergence of an intra-party faction; (2)
The emergence of Anas Faction caused by mutual value, joint strategy and
personal loyalty to Anas Urbaningrum; (3) Anas Faction serves as a faction of
interest; (4) Anas Faction categorized as a faction of personal or client-group that
is influenced by individual leadership factors; (5) The rivalry between Anas
Faction and the SBY Faction at that time was something dynamically
degenerative because at that time the conditions of the ruling rulers competed and
quarreled with each other.
Keywords: Personalistic, Institutionalization, Anas Faction, SBY Faction.
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW,
rasul yang telah membawa semua dari kegelapan pada masa yang terang
benderang hingga saat ini.
Skripsi yang berjudul “PELEMBAGAAN PARTAI POLITIK DAN FAKSI
INTRA-PARTAI (Studi tentang Kemunculan Faksi Anas Urbaningrum dalam
Partai Demokrat)” disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai
gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini belum sempurna, serta
masih memiliki banyak kekurangan. Tanpa adanya bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak, penulis yakin penelitian ini tidak dapat diselesaikan dengan baik.
Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada:
1. Prof. Dede Rosyada, M.A selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
beserta seluruh staff dan jajarannya.
2. Prof. Dr. Zulkifli, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh staff dan
jajarannya.
3. Dr. Iding Rosyidin, M.Si selaku Kepala Program Studi Ilmu Politik FISIP
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
viii
4. Suryani, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dr. A. Bakir Ihsan, M.Si selaku dosen pembimbing dalam penelitian ini.
Terimakasih atas bimbingan, kritikan dan dorongannya selama penelitian
ini.
6. Seluruh dosen pengajar di Program Studi Ilmu Politik yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis selama kuliah.
7. Dr. Anas Urbaningrum dan Firman Noor, Ph.D yang telah bersedia menjadi
informan dalam penelitian ini.
8. Kedua orangtua tercinta yaitu Abdul Manaf dan Rumyanah. Aa, teteh, dan
keponakan. Terimakasih untuk cinta tanpa syarat dan kasih tanpa batas yang
telah dicurahkan kepada penulis.
9. Lilis Shofiyanti, Sustira Dirga, dan teman-teman HMI Komisariat Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran Cabang Bandung.
10. Sahabat-sahabat terbaik sejak masa SMA. Desi Andini, Devi Widyaningsih,
Fairus Nur Afifah, Fanisa Muharomah Fadhilah, Lena Indriani, Siti
Reyhanita, Wiwin Winengsih, dan Yusiana Dewi Cahyani.
11. Sahabat-sahabat terbaik selama kuliah. Quwatul Mudrikatiz Z, Faizah Zatul
Hilmi, Siti Hanifah, Erika Sita Prasasti, Putri Puspita, Ulfah Mawaddatul Q,
Annisa Suciati, Yuni Purwati, dan Novi Dwi Indrayani.
12. Adik-adik terbaik selama kuliah. Indra Surya Ramadhan, Rudi Saputra,
Mindarti Utami, Zahra Yusuf, Ghayda Putri, Hilda Putri Lestari, dan
Sayyidah Nailu Afiyah.
ix
13. Kakak-kakak terbaik selama kuliah. M. Yusuf Haikal, Moch. Ilham Afdol,
Layla Rizky, Aulia Akbar, Roni Yuliansyah, dan Atina Riantini Mahsar.
14. Teman-teman Ilmu Politik A dan Ilmu Politik B Angkatan 2013.
15. Teman-teman KKN Pemuda 2016: Indah, Aini, Hanum, Najema, Risna,
Dudu, Farih, Dito, Santoso, dan Reza.
16. Keluarga besar HMI Cabang Ciputat.
17. Segenap Pengurus BPL HMI Cabang Ciputat Periode 2015-2017.
18. Segenap Pengurus HMI KOMFISIP Cabang Ciputat Periode 2015-2016.
19. Segenap Pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik Tahun 2015.
Tanpa adanya mereka, penulis tidak yakin penelitian ini dapat selesai
dengan baik. Semoga Allah SWT membalas kebaikan mereka. Namun demikian,
penulis bertanggungjawab penuh atas segala kekurangan dalam penelitian ini,
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bogor, 11 Desember 2017
Rowdotusya’adah
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................. v
ABSTRACT .......................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Pertanyaan Penelitian .................................................................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 8
1. Tujuan Penelitian ............................................................... 8
2. Manfaat Penelitian ............................................................. 8
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 9
E. Metode Penelitian ..................................................................... 13
1. Pendekatan Penelitian ..................................................... 13
2. Teknik Pengumpulan Data .............................................. 14
3. Teknik Analisis Data ....................................................... 16
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 17
BAB II KERANGKA TEORETIS ............................................................... 19
A. Partai Personalistik ................................................................... 19
B. Pelembagaan Partai Politik ....................................................... 25
C. Faksi Intra-Partai ...................................................................... 31
1. Pengertian Faksi .............................................................. 31
2. Fungsi Faksi .................................................................... 34
3. Penyebab Kemunculan Faksi .......................................... 34
4. Tipologi Faksi Intra-Partai .............................................. 35
5. Dinamika Faksionalisme ................................................. 38
xi
BAB III PROFIL PARTAI DEMOKRAT ................................................... 41
A. Kemunculan SBY dalam Panggung Politik .............................. 41
B. Kemunculan Anas Urbaningrum dalam Panggung Politik ....... 46
C. Kelahiran Partai Demokrat ....................................................... 48
D. Aktivitas Politik Partai Demokrat ............................................. 50
1. Aktivitas Eksternal .......................................................... 50
2. Aktivitas Internal ............................................................. 54
E. SBY dan Partai Demokrat ........................................................ 57
BAB IV DINAMIKA PARTAI DEMOKRAT DAN MUNCULNYA
FAKSI INTRA-PARTAI ................................................................. 60
A. Dinamika Faksi Intra-Partai Demokrat ..................................... 60
B. Relasi Pelembagaan Partai Demokrat dengan Faksi Intra-Partai .
.................................................................................................. 74
1. Penyebab Kemunculan Faksi Anas Urbaningrum........... 78
2. Tipologi Faksi Anas Urbaningrum .................................. 83
3. Fungsi Faksi Anas Urbaningrum ..................................... 86
4. Bentuk Dinamika Faksionalisme dalam Partai Demokrat
......................................................................................... 88
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 93
A. Kesimpulan ............................................................................... 93
B. Saran ......................................................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... xv
LAMPIRAN ........................................................................................................ xxi
xii
DAFTAR TABEL
Tabel II.B.1. Dimensi Pelembagaan Partai Politik ....................................... 26
Tabel III.D.1. Perolehan Suara Pemilu Legislatif Tahun 2004 ....................... 50
Tabel III.D.2. Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Tahun 2004 Putaran I ................................................................ 51
Tabel III.D.3. Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Tahun 2004 Putaran II .............................................................. 52
Tabel III.D.4. Perolehan Suara Pemilu Legislatif Tahun 2009 ...................... 53
Tabel III.D.5. Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 .......... 53
xiii
DAFTAR SINGKATAN
AD Anggaran Dasar
ART Anggaran Rumah Tangga
DK Dewan Kehormatan
DPC Dewan Pimpinan Cabang
DPD Dewan Pimpinan Daerah
DPP Dewan Pimpinan Pusat
Gerindra Gerakan Indonesia Raya
Golkar Golongan Karya
Hanura Hati Nurani Rakyat
HMI Himpunan Mahasiswa Islam
KLB Kongres Luar Biasa
KPK Komisi Pemberantasan Korupsi
MA Mahkamah Agung
MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat
Munas Musyawarah Nasional
Munaslub Musyawarah Nasional Luar Biasa
NU Nahdlatul Ulama
P3SON Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan Sekolah Olahraga
Nasional
PD Partai Demokrat
PDI-P Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Pemilu Pemilihan Umum
PPI Perhimpunan Pergerakan Indonesia
PPP Partai Persatuan Pembangunan
SAU Sahabat Anas Urbaningrum
SBY Susilo Bambang Yudhoyono
SPN Serikat Pekerja Nasional
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Terbuka Sahabat Anas Urbaningrum ................... xxi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tumbangnya rezim Soeharto merupakan babak baru bagi sejarah politik
Indonesia. Babak baru ini memberikan angin segar bagi seluruh masyarakat Indonesia
yang selama ini terkekang kebebasannya dalam berpolitik. Presiden Soeharto dengan
sentralisasi pemerintahannya sangat membatasi hak rakyat dengan alasan demi
menjaga kestabilan politik. Kondisi tersebut diyakini sebagai prasyarat untuk
mempercepat pembangunan ekonomi nasional. Masa kepemimpinan Soeharto yang
dikenal dengan istilah Orde Baru sering disebut oleh kelompok yang pro terhadap
demokrasi sebagai masa ketertindasan, dan hal tersebut telah menyebabkan
kemunduran pada kehidupan berpolitik.
Bergulirnya era reformasi diikuti dengan perubahan mendasar terhadap sistem
politik dan sistem kepartaian di Indonesia. Sistem politik otoritarian diganti menjadi
sistem politik demokratis. Jumlah partai politik tidak lagi dibatasi oleh pemerintah,
demikian juga dengan penentuan asas partai yang dibebaskan. Kebijakan ini
dilembagakan melalui UU Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik. Hal ini
sekaligus menandai awal dari tumbuh kembalinya sistem multipartai di Indonesia.1
Sistem multipartai telah memberikan ruang luas bagi perkembangan partai
politik di Indonesia. Mulai dari partai Islam, nasionalis, juga ada partai yang
1 Hanta Yuda, “Potret Institusionalisasi Partai Politik Indonesia,” The Indonesian Institute
(2009): 9.
2
memadukan antara Islam atau religius dan nasionalis. Partai-partai ini begitu antusias
mengikuti pemilu pertama era reformasi tahun 1999. Tercatat pada masa tersebut
berdiri 181 partai politik, namun hanya 141 partai yang disahkan. Dari 141 partai
yang sah, terdapat 60 partai yang lolos verifikasi, dan setelah divalidasi oleh pihak
berwenang, hanya 48 partai politik yang dapat berpartisipasi dalam pemilihan umum
(pemilu) tahun 1999.2
Sejak itulah partai politik memegang peranan penting dalam sistem politik
Indonesia. Melalui partai-partai politik itulah cabang-cabang trias politica kemudian
diisi yakni anggota parlemen, presiden dan wakil presiden, pemerintah daerah hingga
kabinet. Tidak ada satupun wilayah politik yang luput dari keterlibatan partai politik
di dalamnya. Maka, tidak berlebihan jika Firman Noor mengatakan bahwa saat ini
partai politik telah demikian omnipotent dan omnipresent.3 Hal ini berarti partai
politik memiliki peran di banyak tempat.
Kedudukan partai yang demikian secara teoretis akan memberi peluang bagi
penguatan demokratisasi. Di samping itu, hal ini juga memberikan dampak positif
bagi pertumbuhan dan pemodernan partai politik. Namun, untuk mewujudkan hal
tersebut tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan usaha serius
dari seluruh kader partai untuk dapat mengejawantahkannya.
2 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008),
450. 3 Firman Noor, “Evaluasi Kondisi Kepartaian 14 Tahun Reformasi dalam Perspektif
Pelembagaan Sistem Kepartaian,” Jurnal Masyarakat Indonesia 38 (2012): 221.
3
Realita yang terjadi menunjukkan bahwa sistem multipartai yang diterapkan di
Indonesia belum berjalan maksimal. Sistem multipartai berjalan sangat ekstrim
(hyper multiparties), karena jumlah partai politik terlalu banyak.4 Performa partai
politik era reformasi dinilai cukup mengecewakan publik. Pelaksanaan fungsi-fungsi
partai politik pun tidak berjalan maksimal. Elite partai politik lebih sering
mempertontonkan kegaduhan yang timbul akibat tarik-menarik kepentingan antar
partai bahkan internal partai. Hal ini jelas menyalahi fungsi partai politik yang
seharusnya mampu memberikan sosialisasi politik, menjalankan rekrutmen politik,
menjadi pemadu kepentingan, partisipasi politik, melakukan kontrol politik,
komunikasi politik, dan pengendalian konflik.5 Alih-alih menjadi pengendali konflik,
partai politik justru sibuk dengan konflik dalam tubuhnya sendiri.
Kondisi di atas menggambarkan bahwa sistem kepartaian dan partai politik kita
belum terlembaga. Scott Mainwaring dan Timothy R. Scully seperti dikutip Firman
Noor menyebutkan bahwa penghitungan terhadap jumlah partai dan kadar jauh dekat
ideologi partai politik tidaklah cukup untuk digunakan sebagai parameter ketika kita
melakukan kajian terhadap suatu sistem kepartaian. Menurut Mainwaring dan Scully,
pandangan tersebut justru akan membuat penilaian terhadap situasi di dalam
kehidupan partai menjadi bias. Terutama dalam konteks dukungannya terhadap
demokratisasi dan sistem politik demokrasi secara umum.6
4 Lili Romli, “Masalah Kelembagaan Partai Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru,” Jurnal
Penelitian Politik 5 (2008): 25. 5 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT. Grasindo, 2010), 149-154.
6 Noor, “Evaluasi Kondisi Kepartaian”, 222.
4
Mainwaring dan Scully kemudian menawarkan 4 parameter yang lebih spesifik
untuk mengkaji dan menilai terlembaga atau tidaknya suatu sistem kepartaian.
Parameter-parameter tersebut adalah:7
1. Tinggi atau rendahnya tingkat stabilitas kompetisi antarpartai yang ada.
2. Tingkat partai mengakar di tengah masyarakat.
3. Tingkat keabsahan pemilu dan partai politik di mata masyarakat.
4. Tingkat penggunaan prosedur dan aturan main dalam partai politik.
Suatu sistem kepartaian dapat dikatakan terlembaga atau memiliki derajat
pelembagaan yang tinggi apabila 4 parameter di atas eksis. Pendapat Mainwaring dan
Scully ini mendapat kritik dari Vicky Randall dan Lars Svasand. Randall dan
Svasand berpendapat bahwa kondisi suatu sistem kepartaian harus dibedakan dengan
kondisi partai-partai yang ada di dalamnya. Keduanya tidak memiliki korelasi yang
positif dan mungkin saja memiliki situasi yang berbeda. Menurut Randall dan
Svasand, pelembagaan suatu partai politik tidak selalu menjadi subjek yang
memberikan kontribusi pada pelembagaan sistem kepartaian apalagi demokratisasi.
Selain itu, kedua penulis ini juga mengatakan bahwa untuk menilai terlembaga atau
tidaknya suatu sistem kepartaian tidak bisa hanya dengan melihat relasi antara
komponen-komponen internal partai, tapi juga harus melihat interaksinya dengan
negara.8
7 Noor, “Evaluasi Kondisi Kepartaian”, 224.
8 Vicky Randall dan Lars Svasand, “Institutionalization in New Democracies,” Party Politics 8
(2002): 6-9.
5
Randall dan Svasand kemudian menawarkan parameter pelembagaan partai
politik untuk menilai situasi internal partai. Randall dan Svasand mengungkapkan
bahwa untuk menilai terlembaga atau tidaknya suatu partai politik dapat
menggunakan empat parameter. Parameter tersebut merupakan hasil persilangan dari
aspek kultural-struktural dengan aspek internal-eksternal. Hasil persilangan pertama
antara aspek internal dan struktural disebut kesisteman (systemness). Kedua,
persilangan antara aspek internal dan kultural yaitu identitas nilai (value infusion).
Ketiga, persilangan antara aspek eksternal dan struktural yaitu otonomi sebuah partai
dalam pembuatan keputusan (decisional autonomy). Keempat, persilangan antara
aspek eksternal dan kultural menghasilkan derajat citra partai di mata publik
(reification).9
Apabila menggunakan parameter yang dikemukakan oleh Randall dan Svasand,
nampaknya partai politik di Indonesia masih jauh untuk bisa memenuhinya. Hal ini
disebabkan oleh ketergantungan partai terhadap seorang figur. Ketergantungan partai
politik terhadap seorang figur merupakan salah satu ciri dari partai personalistik.
Partai personalistik menurut Richard Gunther dan Larry Diamond dapat didefinisikan
sebagai kendaraan politik yang sengaja dibuat oleh sosok individu tertentu dan tidak
ada satupun pihak yang mengklaim bahwa itu adalah partai bersama.10
Partai ini
merupakan hasil konstruksi atau konversi dari incumbent atau pemimpin yang
9 Randall dan Svasand, “Instuitutionalization in New Democracies”, 13.
10 Richard Ghunter dan Larry Diamond, “Species of Political Parties A New
Typology,” Party Politics 9 (2003): 187.
6
memiliki cita-cita dan ambisi untuk mendapatkan posisi politik nasional.11
Barry
Levitt dan Tatiana Kostadinova menjelaskan ciri-ciri partai personalistik yaitu:
Pertama, adanya kepemimpinan dominan dalam partai; Kedua, organisasi partai tidak
terlembagakan dengan baik; Ketiga, interaksi antara pemimpin dan anggota politisi
yang lain berjalan dengan loyalitas dibandingkan dengan komitmen program,
ideologi, atau aturan organisasi.12
Partai-partai baru yang termasuk dalam kategori
partai personalistik menurut Ulla Fiona dan Dirk Tomsa di antaranya Partai Demokrat
(PD), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura),
dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem).13
Sementara partai personalistik yang
usianya lebih tua tergambar pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
Partai yang tidak terlembaga memungkinkan terjadinya kemunculan faksi intra-
partai. Faksi oleh Harold Lasswell seperti dikutip Patrick Kollner dan Matthias
Basedau didefinisikan sebagai kelompok penyusun dari sebuah unit yang lebih besar
dan berfungsi untuk mendukung atau memajukan seseorang maupun kebijakan
tertentu.14
Meskipun faksionalisasi dikenal sebagai gejala yang wajar dalam partai
politik tetapi kehadirannya bisa jadi memberikan dampak buruk bagi kehidupan
11
Maria Elisabetta Lanzone dan Dwayne Woods, “Party Personalization: A Comparative
Analysis of A Traditional Political Party, the Democratic Party, with An Insurgent Populist Party,”
PSA Annual International Conference, 30 Maret 2015 [paper on-line]; tersedia di www.psa.ac.uk;
Internet; diunduh pada 30 November 2017. 12
Barry Levitt dan Tatiana Kostadinova, “Toward a Theory of Personalist Parties: Concept,
Formation and Theory Building,” Politics and Policy 42 (2014): 495. 13
Ulla Fiona dan Dirk Tomsa, “Parties and Factions in Indonesia: The Effect of Historical
Legacies and Institutional Engineering,” ISEAS Yusof Ishak Institute (2017): 6. 14
Patrick Kollner dan Matthias Basedau, “Factionalism in Political Parties: An Analytical
Framework for Comparative Studies,” Working Papers and Area Studies, German Overseas
Institute/Deutsches Ubersee Institut (2005): 7.
7
partai. Mengapa demikian? Karena biasanya faksi menyebabkan pengambilan
keputusan intra-partai terhadap anggota tidak didasarkan pada prestasi dan
kemampuan yang bersangkutan. Melainkan pada afiliasi faksi mereka. Sehingga
partai berjalan sesuai dengan kehendak pemimpin dalam partai. Maka dari itu,
faksionalisasi juga cenderung dianggap sebagai fenomena yang termasuk dalam
patologi politik.15
Partai Demokrat merupakan salah satu partai personalistik yang tidak terhindar
dari fenomena faksionalisasi. Kongres Ke-II Partai Demokrat merupakan awal dari
kehadiran Faksi Anas Urbaningrum setelah sebelumnya Partai Demokrat mengalami
faksionalisasi sekitar tahun 2005. Namun, faksionalisasi yang terjadi tahun 2005
berbeda dengan faksionalisasi yang terjadi setelah Kongres Ke-II Partai Demokrat.
Jika faksionalisasi pertama berhasil mencapai konsensus, maka faksionalisasi kedua
berakhir dengan Kongres Luar Biasa Partai Demokrat yang dilaksanakan pada tahun
2013. Dinamika internal partai politik inilah yang menurut penulis sangat menarik
untuk dikaji.
Penelitian ini cenderung mendukung asumsi bahwa tidak terlembaganya partai
politik memberikan pengaruh terhadap kemunculan faksi intra-partai. Dalam hal ini,
Partai Demokrat yang tidak terlembaga karena karakternya sebagai partai
personalistik yaitu ketergantungan terhadap figur SBY mengakibatkan munculnya
perlawanan dari pihak yang menganggap ketergantungan terhadap figur tersebut
merupakan hal yang tidak sehat dan dapat berdampak buruk terhadap masa depan
15
Kollner dan Basedau, “Factionalism in Political Parties”, 13.
8
partai. Pihak yang dimaksud dalam karya ilmiah ini adalah Anas Urbaningrum. Faksi
intra-partai nyaris ada dalam partai-partai politik di Indonesia, sehingga menganalisis
kemunculannya menurut penulis menjadi hal yang sangat menarik. Maka, penelitian
ini memfokuskan kajian pada penyebab dari kemunculan Faksi Anas Urbaningrum
dalam Partai Demokrat.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pemahaman latar belakang di atas, maka penulis merumuskan
masalah mengenai “penyebab kemunculan Faksi Anas Urbaningrum dalam Partai
Demokrat.”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok masalah tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui penyebab kemunculan Faksi Anas Urbaningrum dalam Partai Demokrat.
2. Manfaat Penelitian
Secara teoretis, manfaat dari penelitian ini adalah untuk memperkaya dan
memperluas khazanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu politik yang memfokuskan
kajian terhadap partai politik serta pelembagaan dan faksionalisasi dengan
menjadikan Partai Demokrat sebagai objek penelitian. Diharapkan pembaca
penelitian ini dapat lebih memahami pelembagaan partai politik, faksi intra-partai dan
dinamika yang terjadi di dalamnya.
9
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum melakukan penelitian, penting kiranya bagi penulis untuk meninjau
penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya. Peninjauan ini
dilakukan untuk memberikan keragaman perspektif yang dapat dijadikan
perbandingan dalam melakukan penelitian, di antaranya:
Pertama, penelitian Jumari16
tentang Peran Elit dan Basis Sosial Partai
Demokrat dalam Pemilukada Kota Depok Tahun 2010. Penelitian Jumari
dilatarbelakangi dinamika yang terjadi antara elite Partai Demokrat dengan basis
sosial yang ada. Menurut Jumari, fenomena yang terjadi dalam pemilukada Kota
Depok menarik untuk dikaji dikarenakan Partai Demokrat selaku pemenang pemilu
legislatif di Kota Depok pada tahun 2009 tidak mengusung calon yang berasal dari
internal partai sendiri (kader). Partai Demokrat justru membuat koalisi besar dengan
Golkar, PDIP, PPP, PKB, PDS, dan PDP. Koalisi besar yang diharapkan dapat
memperoleh kemenangan justru menyebabkan pasangan yang diusung mengalami
kekalahan.
Jumari merumuskan 3 pertanyaan dalam penelitiannya, yaitu: (1) Bagaimana
peran elite dan basis sosial Partai Demokrat dalam penentuan calon walikota dan
wakil walikota; (2) Bagaimana elite Partai Demokrat membangun koalisi dengan
partai lain; (3) Bagaimana strategi elite dan basis sosial Partai Demokrat dalam
memenangkan pemilukada Kota Depok.
16
Jumari, “Peran Elit dan Basis Sosial Partai Demokrat dalam Pemilukada Kota Depok Tahun
2010,” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012).
10
Penggunaan teori elite, teori koalisi, dan teori partisipasi dalam penelitian,
Jumari menyimpulkan bahwa hubungan antara elite partai dengan basis sosialnya
harus berjalan dengan baik mengingat peran basis sosial yang cukup penting untuk
menentukan kemenangan elektoral partai politik. Proses pemilihan calon kepala
daerah di dalamnya harus terjadi dialog atau interaksi antara kandidat calon dengan
seluruh elemen partai sehingga konflik internal bisa diminimalisir. Selain itu,
pencalonan kepala daerah harus pula memberikan akses bagi publik untuk
berpartisipasi. Di samping itu, jika partai politik membangun koalisi, maka
komunikasi antar partai harus berjalan dengan baik. Diharapkan koalisi yang
dibangun tidak hanya berdasarkan pragmatis untuk memenangkan calon semata.
Tetapi, koalisi harus dibangun berdasarkan preferensi kebijakan, orientasi ideologi
atau platform partai politik.
Kedua, penelitian Tarwin17
tentang Analisis Kaderisasi Kepemimpinan
Organisasi Partai. Penelitian ini menjelaskan bahwa partai politik memiliki peran
penting dalam melahirkan pemimpin baik lokal maupun nasional. Peran penting
tersebut harus diimbangi dengan sistem kaderisasi yang baik. Sebab, jika sistem
kaderisasi baik, maka dapat dipastikan pemimpin yang lahir adalah pemimpin yang
berkualitas. Penelitian ini memfokuskan kajian pada sistem kaderisasi Partai
Demokrat. Tarwin menyimpulkan bahwa sistem rekrutmen anggota Partai Demokrat
telah sesuai dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) juga telah
17
Tarwin, “Analisis Kaderisasi Kepemimpinan Organisasi Partai (Studi Kasus Partai Demokrat
Tahun 2010),”(Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2010).
11
memiliki kriteria yang jelas. Namun, dalam hal rekrutmen kader pemimpin Partai
Demokrat belum menetapkan standardisasi.
Ketiga, penelitian Imron Hamzah18
tentang Pola Komunikasi Politik Partai
Demokrat dalam Pemenangan Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Rembang
Tahun 2010. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kemenangan Partai Demokrat pada
pemilu legislatif di Kabupaten Rembang tahun 2009. Hal ini menjadi alasan dari
kajian apakah pola komunikasi politik yang digunakan oleh Partai Demokrat untuk
memenangkan pemilukada di Kabupaten Rembang sama dengan pola komunikasi
politik yang dilakukan saat pemilu legislatif 2009. Hasil penelitian Imron
menunjukkan bahwa pola komunikasi yang dibangun oleh Partai Demokrat dalam
pemenangan pemilukada Kabupaten Rembang adalah komunikasi linear, sekunder,
dan sirkular.
Keempat, penelitian Ali Wafa19
tentang Dinamika Konflik Partai Demokrat
Periode 2010-2015 Terhadap Pelaksanaan Recall Anggota DPR RI (Studi atas
Recall Gede Pasek Suardika). Penelitian ini menjelaskan bahwa konflik internal
Partai Demokrat yang terjadi selama kurun waktu 2010-2015 memberikan pengaruh
terhadap pelaksanaan recall Gede Pasek Suardika dari jabatannya sebagai anggota
DPR RI. Recall adalah sebuah mekanisme yang dapat diambil oleh partai politik
untuk melakukan pemberhentian terhadap kadernya yang menjadi anggota legislatif.
18
Imron Hamzah, “Pola Komunikasi Politik Partai Demokrat dalam Pemenangan Pemilihan
Kepala Daerah di Kabupaten Rembang Tahun 2010,” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi,
UIN Sunan Ampel Surabaya, 2010). 19
Ali Wafa, “Dinamika Konflik Partai Demokrat Periode 2010-2015 Terhadap Pelaksanaan
Recall Anggota DPR RI (Studi atas Recall Gede Pasek Suardika),” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016).
12
Namun, tidak jarang recall ini dijadikan alat oleh partai politik untuk membunuh
kader partai yang dianggap berbeda atau bahkan bukan berasal dari faksi pemilik
partai.
Kelima, penelitian Ulla Fiona dan Dirk Tomsa20
yang berjudul Parties and
Factions in Indonesia: The Effects of Historical Legacies and Institutional
Engineering. Penelitian ini membahas faksionalisme dalam sistem partai Indonesia
pasca runtuhnya rezim Soeharto. Faksionalisme yang terjadi di Indonesia pasca
demokratisasi timbul dari perpaduan sejarah Orde Baru dengan perkembangan
institusional yang ada. Fiona dan Tomsa mengidentifikasi 3 faktor yang membentuk
pola khas faksionalisme di Indonesia. Faktor-faktor tersebut di antaranya struktur
pembelahan sosial yang menonjol dan masih dipolitisasi, budaya patronase yang
mengakar kuat dan merupakan warisan dari rezim otoriter sebelumnya, kerangka
kelembagaan yang mendasari sistem partai. Kerangka kelembagaan ini terdiri dari
seperangkat undang-undang partai dan pemilu.
Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa faksi intra-partai di Indonesia masih
didominasi oleh faksi yang didasarkan pada kepentingan karena tujuannya untuk
mencari sumber-sumber patronase. Faksi-faksi intra-partai yang ada pada masa awal
reformasi ketika tidak merasa puas dengan hasil pemilihan ketua umum partai
cenderung memutuskan untuk membentuk partai baru. Hal ini disebabkan oleh
peraturan pembentukan partai politik baru yang sangat longgar, yaitu dengan hanya
20
Ulla Fiona dan Dirk Tomsa, “Parties and Factions in Indonesia: The Effect of Historical
Legacies and Institutional Engineering,” ISEAS Yusof Ishak Institute (2017).
13
mensyaratkan 50 orang sebagai pendiri partai. Sementara faksi-faksi intra-partai saat
ini lebih memilih untuk menjalankan dualisme kepemimpinan. Hal ini terjadi karena
persyaratan untuk membentuk partai politik baru semakin ketat. Pendiri partai politik
baru harus berjumlah 30 orang dari masing-masing provinsi yang ada. Artinya jika
Indonesia terdiri dari 34 provinsi, maka pendiri partai politik minimal berjumlah 1020
orang. Partai-partai yang pernah mengalami dualisme kepemimpinan di antaranya
Golkar dan PPP yang hingga penelitian ini ditulis masih mengalami dualisme.
Perbedaan kelima penelitian di atas dengan penulisan skripsi ini adalah
menyangkut spesifikasi objek penelitian. Dua penelitian pertama memfokuskan
kajian pada kiprah Partai Demokrat dalam kontestasi politik. Dua penelitian lainnya
membahas persoalan internal Partai Demokrat yaitu kaderisasi dan konflik internal
partai. Penelitian terakhir membahas pola faksi intra-partai di Indonesia dari sudut
pandang kelembagaan sistem partai. Sementara penelitian ini mengkaji penyebab
kemunculan faksi intra-partai. Faksi intra-partai yang dimaksud adalah Faksi Anas
Urbaningrum dalam Partai Demokrat. Penulis juga menganalisis hubungan antara
pelembagaan partai politik dengan kemunculan faksi tersebut.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah
jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai
dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik. Penelitian kualitatif sendiri
14
merupakan suatu metodologi penelitian dengan ketajaman dan kedalaman peneliti
atas konteks dan fenomena objek penelitian. Objek penelitian memiliki makna yang
harus dipahami secara mendalam, karena sifatnya interpretatif, maka peneliti harus
mendalami dan memahami makna dari pemahaman yang berbeda-beda tersebut.21
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Dokumentasi dan Studi Literatur
Studi dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data kualitatif
dengan melihat atau menganalisis dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh
orang lain tentang subjek. Studi dokumentasi merupakan salah satu cara yang dapat
dilakukan peneliti kualitatif untuk mendapatkan gambaran dari sudut pandang subjek
melalui suatu media tertulis.22
Dokumen memiliki dua bentuk yaitu dokumen pribadi
dan dokumen resmi. Dokumen pribadi di antaranya catatan harian, surat pribadi, dan
autobiografi. Sedangkan dokumen resmi terbagi menjadi dua kategori yaitu dokumen
internal dan dokumen eksternal.23
Contoh dari dokumen internal di antaranya memo,
pengumuman, instruksi, aturan suatu lembaga, sistem yang diberlakukan, dan
notulensi rapat.24
Studi literatur adalah teknik yang digunakan untuk melengkapi
studi dokumentasi. Teknik studi literatur dan dokumentasi ini penulis lakukan dengan
mengumpulkan data yang berasal dari literatur berupa buku, majalah, surat kabar,
21
Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar (Jakarta: PT. Indeks,2010), 7-10. 22
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta:
Salemba Humanika, 2010), 144. 23
Herdiansyah, Metode Penelitian, 145. 24
Herdiansyah, Metode Penelitian, 146.
15
jurnal, berita elektronik dan dokumen resmi internal Partai Demokrat seperti
Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART).
b. Wawancara
Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis selain dengan studi
dokumentasi dan literatur adalah melakukan wawancara. Menurut Stewart dan Cash
dalam Herdiansyah, wawancara adalah sebuah interaksi yang di dalamnya terdapat
pertukaran atau berbagi aturan, tanggung jawab, perasaan, kepercayaan, motif, dan
informasi. Wawancara bukanlah suatu kegiatan dengan kondisi satu orang
melakukan/memulai pembicaraan sementara yang lain mendengarkan.
Penulis menggunakan teknik wawancara semi-terstruktur dalam penelitian ini.
Wawancara semi-struktur yaitu wawancara yang pertanyaannya terbuka namun ada
batasan tema dan alur pembicaraan juga fleksibel namun tetap terkontrol. Bentuk
wawancara ini dipilih karena teknik ini paling sesuai menurut penulis. Tidak kaku
juga tidak terlalu fleksibel. Bentuk wawancara terstruktur lebih tepat digunakan
sebagai teknik pengumpulan data kuantitatif. Sedangkan wawancara tidak terstruktur
digunakan oleh peneliti yang sudah memiliki pengalaman dan jam terbang yang
tinggi.
Penentuan informan dilakukan dengan menggunakan metode purposial
sampling, yaitu suatu teknik pengambilan sampel yang sengaja dilakukan dengan
melakukan pertimbangan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan penelitian yang
16
dilakukan.25
Penulis memilih dua informan yang menurut penulis sangat mengetahui
peristiwa yang menjadi objek penelitian ini yaitu Partai Demokrat. Satu informan
merupakan aktor atau pelaku dalam fenomena ini, sementara satu informan lainnya
merupakan pakar dalam ilmu politik khususnya yang fokus mengkaji partai politik
termasuk faksi intra-partai. Informan dalam penelitian ini adalah Anas Urbaningrum
yang tidak lain adalah aktor utama dalam Faksi Anas. Informan lainnya yaitu Firman
Noor, Ph.D. yang merupakan peneliti pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). Fokus kajian Firman Noor, Ph.D. di antaranya
partai politik, pemilu, keterwakilan politik, dan pemikiran politik.
3. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan tahap pertengahan dari serangkaian tahap dalam
sebuah penelitian yang mempunyai fungsi yang sangat penting. Hasil penelitian yang
dihasilkan harus melalui proses analisis terlebih dahulu agar dapat
dipertanggungjawabkan keabsahannya. Agar mendapatkan hasil penelitian yang sahih
dan dapat dipertanggungjawabkan, seorang peneliti harus mampu melakukan analisis
data secara tepat dan sesuai prosedur yang telah ditentukan. Dalam penelitian
kualitatif, teknik analisis data dapat dilakukan dalam dua cara yaitu teknik manual,
dan teknik dengan bantuan software analisis data.
Penulis sendiri dalam hal ini menggunakan teknik deskriptif-analitis. Penelitian
deskriptif atau biasa juga disebut penelitian taksonomik merupakan penelitian yang
dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan mengklasifikasikan suatu fenomena atau
25
Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 2008), 67.
17
kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan
dengan masalah dan unit yang diteliti.26
Selain dideskripsikan tentu penulis mencoba
mengurai dan memecah fakta berdasarkan hubungan kausalitasnya. Teknik analisis
ini diarahkan untuk memberikan gejala, fakta, atau kejadian secara sistematis dan
akurat.27
F. Sistematika Penulisan
Penulis menguraikan skripsi ini secara sistematis ke dalam lima bab.
Sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut:
Bab I, penulis memaparkan latar belakang dan pertanyaan masalah yang
menjadi titik fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka
berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang memiliki keterkaitan dengan
penelitian ini, sistematika penulisan serta metode penelitian yang penulis gunakan
dalam penelitian ini.
Bab II, penulis mengkaji lebih dalam mengenai kerangka teori yang penulis
jadikan sebagai pisau analisa untuk menjelaskan fenomena yang penulis jadikan
sebagai objek penelitian. Teori yang dijadikan pisau analisis oleh penulis yaitu teori
partai personalistik, teori pelembagaan partai politik, dan teori faksi.
Bab III, penulis memfokuskan pembahasan mengenai profil Partai Demokrat
dan profil Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selain itu, penulis juga menguraikan
kedudukan SBY dalam Partai Demokrat.
26
Syamsir Salam dan Jaenal Aripin, Metodelogi Penelitian Sosial (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2006), 14. 27
Lisa Harrison, Metodologi Penelitian Politik (Jakarta: Kencana, 2009), 100.
18
Bab IV, penulis memfokuskan pada analisis data yang telah ditemukan dengan
mengkorelasikan teori dan fakta yang ada. Peneliti berupaya memaparkan bagaimana
faksi dalam Partai Demokrat terbentuk dengan mengacu pada pelembagaan partai
sendiri. Penulis juga memaparkan dinamika faksi intra Partai Demokrat dan relasi
atau hubungan antara variabel yakni pelembagaan partai dengan kemunculan faksi
intra-partai.
Bab V, penulis memaparkan kembali hasil temuan dalam bab IV yang dijadikan
sebagai kesimpulan dalam penelitian ini serta memberikan jabaran rekomendasi
untuk penelitian selanjutnya.
19
BAB II
KERANGKA TEORETIS
Studi tentang partai politik (parpol) sangat penting bagi perkembangan ilmu
politik. Studi mengenai partai politik telah dikembangkan oleh para sarjana sejak
kuartal ketiga abad ke-19. Pada periode tersebut, studi partai politik merupakan
respons atas perkembangan peran partai politik yang pesat dalam pemerintahan.1
Studi ini menjadi penting mengingat peran partai politik yang juga penting dalam
sistem demokrasi. Peran tersebut terlihat dari keikutsertaan parpol dalam menentukan
komposisi cabang-cabang trias politica yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif baik
di tingkat pusat maupun daerah.2 Bab ini membahas beberapa teori yang digunakan
untuk membantu menganalisis kemunculan Faksi Anas Urbaningrum dalam Partai
Demokrat. Berikut penjelasan teori yang digunakan dalam penelitian ini.
A. Partai Personalistik
Richard Gunther dan Larry Diamond memberikan konsepsi tipologi partai
dengan tiga basis kriteria. Pertama, sifat organisasi partai (gemuk/kurus, elite atau
massa, dan sebagainya); Kedua, orientasi program partai (ideologis, partikularistik-
klientelistik, dan sebagainya); Ketiga, toleran dan pluralis (demokratis) atau proto-
1 Firman Noor, “Institutionalising Islamic Political Parties in Indonesia: A Study of Internal
Fragmentation and Cohesion in the Post-Soeharto Era (1998-2008),” (Disertasi S3, University of
Exeter Inggris, 2012): 17. 2 Firman Noor, “Evaluasi Sistem Kepartaian 14 Tahun Reformasi dalam Perspektif
Pelembagaan Sistem Kepartaian,” Masyarakat Indonesia 38 (2012): 221.
20
hegemonik (anti-sistem).3 Dari basis kriteria tersebut, Gunther dan Diamond
menemukan 5 genus partai yaitu partai elite, partai massa, partai etnisitas, partai
elektoral, dan partai gerakan.4 Genus partai elite memiliki dua spesies partai yaitu
traditional local notable atau ketokohan lokal dan clientelistic. Partai massa memiliki
6 spesies di antaranya yaitu denominasional, fundamentalis, pluralis-nasionalis, ultra-
nasionalis, partai leninis dan partai kelas-massa. Partai etnis memiliki dua spesies
yaitu partai etnis dan partai kongres. Spesies dari partai gerakan yaitu partai
libertarian kiri dan post-industrial extreme-right. Partai elektoral memiliki 3 spesies
di antaranya catch-all party, partai programatik, dan partai personalistik.
Kajian teoretis penulis akan berfokus pada partai personalistik (personalistic
party) yang merupakan bagian dari genus partai elektoral. Partai elektoral merupakan
partai yang memiliki orientasi program untuk memenangkan pemilihan elektoral.
Karakteristik partai elektoral adalah keanggotan yang kecil untuk menjaga eksistensi
partai namun ketika mendekati waktu elektoral, partai ini bangkit untuk menjalankan
pelaksanaan kampanye.5 Partai elektoral ini menjalankan teknik kampanye modern
dengan promosi media massa dan mobilisasi anggota partai untuk memenangkan
pemilihan secara profesional. Partai elektoral mementingkan daya tarik calon
kandidat dengan mengutamakan potensi kemenangan calon.
3 Richard Ghunter dan Larry Diamond, “Species of Political Parties A New Typology,” Party
Politics 9 (2003): 172-175. 4 Ghunter dan Diamond, “Species of Political Parties”, 175-188.
5 Ghunter dan Diamond, “Species of Political Parties”, 185.
21
1. Pengertian Partai Personalistik
Richard Gunther dan Larry Diamond mendefinisikan partai personalistik
sebagai kendaraan politik yang sengaja dibuat oleh sosok individu tertentu dan tidak
ada satupun pihak yang mengklaim bahwa itu adalah partai bersama.6 Partai ini
merupakan hasil konstruksi atau konversi dari incumbent atau pemimpin yang
memiliki cita-cita dan ambisi untuk mendapatkan posisi politik nasional.7 Daya tarik
elektoral ada pada personalitas dan kharisma calon kandidat atau pemimpin partai
yang dianggap sebagai solusi dari permasalahan bangsa. Partai personalistik
digambarkan Gunther dan Diamond sebagai organisasi yang lemah dan oportunistik
serta legitimasi pada partai personalistik menjadi terpusat pada pemimpin partai.
2. Ciri-ciri Partai Personalistik
Barry Levitt dan Tatiana Kostadinova menjelaskan ciri-ciri partai personalistik
yaitu: Pertama, adanya kepemimpinan dominan dalam partai; Kedua, organisasi
partai tidak terinstitusionalisasi dengan baik; Ketiga, interaksi antara pemimpin dan
anggota politisi yang lain berjalan dengan loyalitas dibandingkan dengan komitmen
program, ideologi, atau aturan organisasi.8
Indikasi ciri partai personalistik yang pertama digambarkan dengan adanya
politik personalisasi (politic personalizing), yaitu sebuah proses beban politik yang
6 Ghunter dan Diamond, “Species of Political Parties”, 187. 7 Maria Elisabetta Lanzone dan Dwayne Woods, “Party Personalization: A Comparative
Analysis of A Traditional Political Party, the Democratic Party, with An Insurgent Populist Party,”
PSA Annual International Conference, 30 Maret 2015 [paper on-line]; tersedia di www.psa.ac.uk;
Internet; diunduh pada 30 November 2017. 8 Barry Levitt dan Tatiana Kostadinova, “Toward a Theory of Personalist Parties: Concept,
Formation and Theory Building,” Politics and Policy 42 (2014): 495.
22
terus bertambah ditanggung individu aktor, sedangkan sentralitas kelompok politik
(partai politik) semakin menurun.9 Inilah yang disebut kepemimpinan personalistik
(personalistic leadership) yaitu pelaksanaan wewenang diberikan kepada individu
yang berpengaruh berdasarkan atribut pribadi daripada peran organisasional.10
Ciri partai personalistik kedua dan ketiga memberikan gambaran sebuah
organisasi yang digerakkan dengan hubungan patronase anggotanya. Hubungan
patronase yang ada dalam partai personalistik antara pemimpin partai dan anggota
partai, dijelaskan oleh Kopecký, Scherlis, dan Spirova seperti yang dikutip oleh
Gerardo Scherlis sebagai kekuatan sebuah partai untuk menunjuk orang ke posisi
dalam kehidupan publik secara diskresioner.11
Hal ini membuat partai sulit
terlembagakan serta berkembangnya hubungan timbal balik patron-klien dengan
akses terhadap sumber daya patronase yang didistribusikan oleh pemimpin dominan.
3. Kemunculan Partai Personalistik
Barry Levitt dan Tatiana Kostadinova menjabarkan tiga sebab kemunculan
partai personalistik yaitu: Pertama, ciri budaya dan sejarah tertentu yang menjadikan
tanah subur bagi kepemimpinan personalis untuk berkembang.12
Ulla Fiona dan Dirk
Tomsa menjelaskan bahwa secara keseluruhan, dinamika internal di partai-partai
Indonesia cenderung didorong terutama oleh pencarian rente dan pencarian patronase
9 Levitt dan Kostadinova,”Toward a Theory”, 492.
10 Levitt dan Kostadinova,”Toward a Theory”, 493.
11 Gerardo Scherlis, “The Countours of Party Patronage in Argentina,” Latin American
Research Review 48 (2013): 64. 12
Barry Levitt dan Tatiana Kostadinova, “Personalist Parties in The Third Wave
Democratization: A Comparative Analysis of Peru and Bulgaria,” Politics & Policy 42 (2014): 514.
23
daripada perdebatan ideologis atau programatik.13
Hal ini dikarenakan pengalaman
panjang dengan otoritarianisme Orde Baru yang menghambat perkembangan
pluralitas organisasi dan praktik serta membuat kekuasaan lebih terkonsentrasi dan
kurang tunduk pada kontestasi dan pergantian.14
Pengalaman rezim tertutup atau
represif pada masa lalu telah menghambat perkembangan partai politik. Identitas
politik didasarkan pada struktur pembelahan sosial, oleh karena itu politik partai
cenderung lebih didorong personalitas pemimpin. Akar dari demokrasi patronase saat
ini, bagaimanapun dapat dilacak jauh ke masa lalu. Sejak sistem partai pertama di
Indonesia terbentuk 1950-an, partai politik telah menggunakan akses mereka ke
sumber daya negara sebagai sarana untuk memberi penghargaan anggota dan
pendukung dengan pekerjaan, kontrak dan insentif material.15
Ketika Orde Baru,
politik dan kekuatan ekonomi saling terkait erat sehingga patronase menjadi akar
karakteristik politik Indonesia.16
Kedua, krisis ekonomi dan indikator kinerja negatif lainnya yang dapat
menghasilkan ketidakpuasan populer dengan partai-partai arus utama dan dengan
potensi demokrasi representatif, partai personalistik hadir untuk menanggapi tuntutan
warga negara (populisme).17
Kinerja negatif pemerintah, membawa tuntutan
masyarakat ke arah personalitas kharismatik pemimpin partai yang dianggap sebagai
penyelamat dari krisis.
13 Ulla Fiona dan Dirk Tomsa, “Parties and Factions in Indonesia: The Effects of Historical
Legacies and Institutional Engineering,” ISEAS Yusof Ishak Institute (2017): 2. 14
Fiona dan Tomsa, “Parties and Factions in Indonesia”, 12. 15
Fiona dan Tomsa, “Parties and Factions in Indonesia”, 12. 16
Fiona dan Tomsa, “Parties and Factions in Indonesia”, 15. 17
Levitt dan Kostadinova, “Personalist Party”, 514.
24
Ketiga, melihat kemunculan partai baru atau "nontradisional" melalui prisma
institusi. Karakteristik presiden sistem politik Asia dan Amerika Latin mendukung
personalisasi kepemimpinan partai. Memasuki masa reformasi, fitur utama undang-
undang baru elektoral tersebut secara signifikan memiliki kebebasan yang lebih besar
untuk pembentukan partai baru.18
Potensi yang diberikan dalam peraturan elektoral
membuat kemunculan partai-partai personalistik hadir.
4. Dampak Partai Personalistik
Partai personalistik memberikan setidaknya 3 dampak bagi partai itu sendiri.
Dampak-dampak yang ditimbulkan di antaranya:19
a. Kekuasaan personal berkaitan dengan pengaruh dan batas kontrol yang
dilakukan oleh para pemimpin personal mengenai keputusan utama yang
diambil oleh partai. Perubahan ideologi, program atau strategi partai politik,
dapat menghasilkan perpecahan internal.
b. Kemampuan pemimpin untuk membawa perubahan pada partainya pada tingkat
struktur. Kekuasaan personal berkaitan dengan pengaruh yang dilakukan oleh
para pemimpin pada struktur partai. Kekuasaan personal dapat dilakukan
dengan mempertimbangkan keputusan yang berkaitan dengan undang-undang
dan konstitusi partai.
18
Levitt dan Kostadinova, “Personalist Party”, 515. 19
Jean Louis Thiebault, “The Influenced of Personalised Party Leaders Exercised Directly on
The People or Indirectly Through The Party,” ______, 5 September 2011 [paper on-line]; tersedia di
https://americo.usal.es; Internet; diakses 1 Desember 2017.
25
c. Kemampuan pemimpin untuk membawa perubahan pada partainya pada tingkat
pemilihan kandidat parlemen. Partai-partai yang sangat personalistik di
dalamnya terdapat para pemimpin yang biasanya memiliki cara untuk menekan
faksionalisasi, sementara di pihak yang bersaing secara internal, perselisihan
kepemimpinan dapat memiliki konsekuensi signifikan termasuk perpecahan,
pembelotan dan pemecatan yang dilakukan oleh pemimpin dominan.
B. Pelembagaan Partai Politik
Studi tentang pelembagaan partai politik pertama kali diperkenalkan oleh
Samuel P. Huntington pada tahun 1976 dalam karyanya yang berjudul Politcal Order
in Changing Societies. Huntington mendefinisikan pelembagaan sebagai proses di
mana suatu organisasi menentukan tatacara untuk memperoleh nilai baku dan stabil.20
Lebih dari 20 tahun kemudian Vicky Randall dan Lars Svasand menemukan konsep
baru mengenai pelembagaan partai politik.
Randall dan Svasand memahami institusionalisasi atau pelembagaan sebagai
proses pemantapan partai politik dalam aspek struktural dan kultural di mana aspek
tersebut terwujud dalam pola perilaku serta dalam sikap dan budaya.21 Ramlan
Surbakti mengartikan pendapat Randall dan Svasand sebagai proses pemantapan
partai politik baik dalam wujud perilaku yang memola maupun dalam sikap dan
budaya. Artinya, partai politik akan terlihat melembaga dengan baik apabila partai
20
Samuel P. Huntington, Tertib Politik di dalam Masyarakat yang sedang Berubah (Jakarta:
CV.Rajawali, 1983), 23. 21
Vicky Randall dan Lars Svasand, “Party Institutionalization in New Democracies,” Party
Politics 8 (2002): 13.
26
politik tersebut mapan dalam hal-hal pola perilaku, sikap, dan budaya secara
terintegrasi.22
Randall dan Svasand kemudian membagi proses pelembagaan partai politik
menjadi dua aspek yaitu aspek internal-eksternal dan aspek struktural-kultural. Bila
kedua aspek ini dipersilangkan, hasil persilangan pertama antara aspek internal dan
struktural disebut kesisteman (systemness). Kedua, persilangan antara aspek internal
dan kultural yaitu identitas nilai (value infusion). Ketiga, persilangan antara aspek
eksternal dan struktural yaitu otonomi sebuah partai dalam pembuatan keputusan
(decisional autonomy). Keempat, persilangan antara aspek eksternal dan kultural
menghasilkan derajat citra partai di mata publik (reification).23 Penjelasan mengenai 4
aspek ini dapat dilihat di bawah. Namun, dalam penelitian ini penulis memfokuskan
kajian pada dimensi kesisteman partai.
Tabel II.B.1. Dimensi Pelembagaan Partai Politik
Internal External
Structural Systemness Decisional autonomy
Attitudinal Value infusion Reification
Sumber: Vicky Randall dan Lars Svasand, 2002.
1. Dimensi Kesisteman
Ramlan Surbakti mendefinisikan kesisteman sebagai suatu proses pelaksanaan
fungsi-fungsi partai politik yang dijalankan menurut aturan main, persyaratan,
22
Ramlan Surbakti, “Tingkat Pelembagaan Partai Politik”, Harian Kompas, 6 Januari 2003
[artikel on-line]; tersedia di http://unisosdem.org; Internet; diakses pada 13 Juli 2017. 23
Randall dan Svasand, “Institutionalization in New Democracies”, 13.
27
prosedur, dan mekanisme. Aturan dan mekanisme ini telah disepakati bersama dan
dirumuskan dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) partai
politik.24 Apabila partai politik telah melaksanakan fungsinya sesuai dengan aturan-
aturan yang tercantum dalam AD/ART, maka partai politik tersebut dapat dikatakan
telah terlembaga dalam dimensi kesisteman.
Karakteristik partai yang paling memberikan pengaruh terhadap kesisteman
partai itu sendiri di antaranya:25
Pertama, cara partai tumbuh dan berkembang. Cara
pendirian partai termasuk juga di dalamnya asal-usul atau metode genetiknya; Kedua,
sumber daya relevan terutama pendanaan partai. Partai-partai yang berada di dunia
ketiga tidak mendapatkan dana yang signifikan dari iuran keanggotaan. Sedangkan
pada negara-negara demokrasi apabila ingin bersaing secara efektif dalam kampanye
elektoral membutuhkan dana yang cukup banyak. Maka, para politisi oposisi yang
memiliki dana atau kekayaan yang banyak sering memainkan peran dominan dalam
penciptaan dan arahan partai politik baru; Ketiga, siapa yang lebih menentukan dalam
partai apakah pemimpin personal yang disegani oleh anggota partai atau kedaulatan
anggota yang dilaksanakan menurut mekanisme organisasi. Keberadaan pemimpin
yang mengandalkan kharisma menjadi karakteristik partai-partai dalam negara
demokrasi baru. Kharisma pemimpin memang berperan positif dalam tahap awal
pendirian partai untuk membantu menjaga kohesivitas koalisi dominan. Partai yang
bergantung pada kharisma pemimpin memang pada awalnya akan melejit tapi jika
24
Ramlan Surbakti, “Tingkat Pelembagaan Partai Politik”, Harian Kompas, 6 Januari 2003
[artikel on-line]; tersedia di http://unisosdem.org; Internet; diakses pada 13 Juli 2017. 25
Randall dan Svasand, ““Institutionalization in New Democracies”, 17.
28
partai terus bergantung terhadap kharisma pemimpin tadi, maka partai tersebut akan
mati tanpa pernah melembagakan.26
Partai-partai yang tidak mampu membangun basis organisasi dan identitas yang
sudah ada sebelumnya, maka tidak lain partai tersebut hanya merupakaan kendaraan
bagi individu yang memiliki kharisma untuk memenuhi ambisi politiknya, atau dapat
juga dikatakan sebagai akses terhadap sumber daya yang diperlukan. Dalam keadaan
seperti ini, kepemimpinan personalistik memberikan kontribusi pada tahap awal
menuju terciptanya kohesi internal partai. Selain itu, kepemimpinan personalistik
juga berguna bagi kelangsungan hidup partai. Kepemimpinan personalistik dalam
jangka panjang juga akan menghambat pengembangan kelembagaan partai politik.
Hal ini juga berkaitan dengan isu yang harus kita hadapi yaitu faksionalisme.
Faksionalisme merupakan fenomena endemik di partai-partai dunia ketiga yang
bertentangan dengan kohesi organisasi.27
Keempat, bagaimana partai menjaga hubungan dengan anggotanya yaitu apakah
dengan klientelisme/patronase atau menurut konstitusi partai (AD/ART).
Klientelisme sama seperti faksi, tersebar luas di masyarakat dunia ketiga dan partai
politiknya. Di masa lalu, para ilmuwan politik menyepakati bahwa partai politik yang
berbasis patronase berperan positif dalam memfasilitasi pertumbuhan partai politik
menghadapi birokrasi pemerintah. Namun, hubungan klien dalam partai, antar partai,
atau dengan pendukung partai saat ini dianggap bertentangan dengan pelembagaan
26
Randall dan Svasand, “Institutionalization in New Democracies”, 19. 27
Randall dan Svasand, “Institutionalization in New Democracies”, 19.
29
partai politik. Karena hal ini jelas melanggar peraturan dan prosedur yang tertera
dalam konstitusi partai.
Klientelisme atau patronase menurut Warner seperti dikutip oleh Randall dan
Svasand dapat merusak kohesi partai. Patronase memberikan akses kepada politisi
untuk membangun karier pribadi dengan mengorbankan konstituen dan partai itu
sendiri.28
Meskipun demikian, klientelisme/patronase tidak mengancam kohesi partai
apabila kegiatan ini mampu dikendalikan dengan baik secara kolektif dan
didistribusikan semata-mata demi kepentingan konstituennya.
2. Dimensi Identitas Nilai
Identitas nilai berkaitan dengan orientasi kebijakan dan tindakan partai politik
menurut ideologi atau platform partai.29
Identitas nilai tampak bukan hanya pada pola
atau arah kebijakan yang diperjuangkan, melainkan terlihat juga pada basis sosial
pendukungnya. Partai dalam memperjuangkan kebijakannya tidak hanya
mengandalkan kekuatan dari diri sendiri. Partai juga memanfaatkan organisasi-
organisasi sayap atau organisasi afiliasi. Partai itulah yang menjadi tulang punggung
untuk merangsang pengembangan organisasi-organisasi lainnya.30
Partai politik dapat dikatakan terlembaga dalam dimensi identitas nilai apabila
partai tersebut telah memiliki pendukung loyal yang berasal dari golongan
masyarakat tertentu baik itu buruh, petani, maupun kelompok etnis. Dukungan ini
28
Randall dan Svasand, “Institutionalization in New Democracies”, 20. 29
Ramlan Surbakti, “Tingkat Pelembagaan Partai Politik”, Harian Kompas, 6 Januari 2003
[artikel on-line]; tersedia di http://unisosdem.org; Internet; diakses pada 13 Juli 2017. 30
Randall dan Svasand, “Institutionalization in New Democracies”, 21.
30
harus diberikan karena ideologi atau platform partai sama dengan kebijakan atau
kepentingan yang diperjuangkan oleh kelompok tadi bukan karena transaksi yang
bersifat material.
3. Dimensi Otonomi Keputusan
Dimensi otonomi keputusan partai mengacu pada ketergantungan partai
terhadap aktor eksternal. Ketergantungan partai terhadap aktor eksternal memberikan
implikasi terhadap partai itu sendiri. Kehadiran aktor eksternal ini cenderung
menyebabkan pelembagaan partai yang lemah karena sumber legitimasi pimpinan
dan objek loyalitas partai berada di luar partai.31
Pola hubungan partai dengan aktor
luar dapat berupa hubungan ketergantungan terhadap aktor luar; hubungannya
bersifat saling tergantung; hubungan berupa jaringan yang memberikan dukungan
kepada partai. Aktor luar yang dimaksud bisa pemerintah, penguasa, pengusaha,
maupun organisasi masyarakat.
32
Suatu partai politik dikatakan terlembaga dalam segi otonomi partai apabila
pengambilan keputusan partai ditentukan oleh anggota partai itu sendiri tanpa
dipengaruhi maupun dikonsultasikan kepada aktor luar yang menjadi mitra partai
tersebut. Partai politik akan mampu membangun otonomi dalam pengambilan
keputusan jika partai memperoleh dana operasional dari iuran yang dibayarkan oleh
anggota, kontribusi para pengurus, dan iuran aktivis lainnya.
31
Randall dan Svasand, “Institutionalization in New Democracies”, 22. 32
Ramlan Surbakti, “Tingkat Pelembagaan Partai Politik”, Harian Kompas, 6 Januari 2003
[artikel on-line]; tersedia di http://unisosdem.org; Internet; diakses pada 13 Juli 2017.
31
4. Dimensi Pengetahuan Publik
Reifikasi atau pengetahuan publik mengacu pada sejauh mana partai politik
melekat dalam imajinasi publik. Derajat pengetahuan publik ini menurut Surbakti
dilihat dari sejauh mana kiprah masing-masing partai politik bagi masyarakat, bukan
tentang sikap masyarakat terhadap partai politik.33
Derajat pengetahun publik ini juga
dapat dilihat dari usia partai politik. Semakin tua partai politk, maka semakin dalam
juga pengetahuan publik mengenai kiprah suatu partai politik. Namun, pengetahuan
publik mengenai partai politik ini bukan hanya tentang eksistensi partai, tapi
pengetahuan tersebut juga harus sesuai dengan identitas nilai atau platform partai.
Pengetahuan yang sesuai dengan identitas atau platform partai ini maksudnya adalah
masyarakat umum memahami alasan mengapa suatu partai politik melakukan
tindakan ini dan tidak melakukan tindakan itu. Apabila hal ini telah dimiliki oleh
partai politik, maka partai politik tersebut dapat dikatakan telah terlembaga dalam
segi pengetahuan publik.
C. Faksi Intra-Partai
1. Pengertian Faksi
Partai politik sebagai organisasi yang dihuni oleh para pemburu kekuasaan
tentu akan selalu mengalami dinamika atau gejolak dalam perjalanannya. Hal tersebut
seringkali menjadikan tujuan dan fungsi partai bergeser dari yang seharusnya. Tujuan
partai kini tidak lain adalah sintesis dari tujuan-tujuan individu yang berada di
33
Ramlan Surbakti, “Tingkat Pelembagaan Partai Politik”, Harian Kompas, 6 Januari 2003
[artikel on-line]; tersedia di http://unisosdem.org; Internet; diakses pada 13 Juli 2017.
32
dalamnya. Para anggota partai akan membentuk ikatan baru dengan anggota-anggota
lain yang dianggap memiliki tujuan sama untuk mencapai tujuannya. Hal ini
dipercaya menjadi salah satu alasan terjadinya faksionalisme dalam tubuh partai
politik.
Faksi oleh Webster’s New Encyclopedic Dictionary dalam Patrick Kollner dan
Matthias Basedau diartikan sebagai sebuah kelompok atau aksi bersama yang sering
berlawanan dengan kelompok yang lebih besar “a group or combination acting
together within and usually against the larger body”. Selain itu, faksi juga diartikan
sebagai perselisihan dalam sebuah kelompok “dissension within a group”.34 Harold
Laswell seperti dikutip Kollner dan Basedau menyatakan bahwa istilah faksi biasanya
digunakan untuk menunjuk kelompok penyusun dari unit yang lebih besar yang
bekerja untuk kemajuan seseorang atau kebijakan tertentu. Faksi muncul dalam
perjuangan meraih kekuasaan, bukan prinsip.35 Frank P. Belloni dan Dennis C. Beller
berargumen bahwa faksi adalah kelompok terorganisir yang berada dalam kelompok
besar. Kelompok ini bersaing dengan kelompok lainnya guna memperoleh
kekuasaan.36
Rose dalam Kim Eric Bettcher mengungkapkan bahwa faksi adalah:37
34
Patrick Kollner dan Matthias Basedau, “Factionalism in Political Parties: An Analytical
Framework for Comparative Studies,” Working Papers and Area Studies, German Overseas
Institute/Deutsches Ubersee Institut, (Desember 2005): 7. 35
Kollner dan Basedau, “Factionalism and Political Parties”, 8. 36
Frank P. Belloni dan Dennis C.Beller, ed., Faction Politics: Political Parties and
Factionalism in Comparative Perspective (Santa Barbara: ABC Clio Press, 1978), 419. 37
Kim Eric Bettcher, “Factions of Interest in Japan and Italy: The Organizational and
Motivational Dimensions of Factionalism,” Party Politics 11 (2005): 341.
33
“a group of individuals … who seek to further a broad range of policies through
consciously organized political activity.”
sekelompok individu … yang berusaha untuk memperluas berbagai kebijakan melalui
aktivitas politik yang diorganisir secara sadar.
Faksi juga dapat diartikan sebagai koalisi individu yang direkrut secara pribadi
oleh seorang pemimpin yang memiliki ikatan dengan pengikut yang biasanya bersifat
pribadi, meskipun pengikut kadang merekrut orang lain atas nama pemimpin mereka.
Anggota direkrut sesuai dengan prinsip-prinsip terstruktur secara struktural. Dalam
konteks partai politik, term faksi mengarah pada faksi intra-partai – adalah kelompok
yang bersaing dengan kelompok lain untuk memperoleh keunggulan power di dalam
partai politik.38
Pembagian faksi terjadi dalam banyak partai di Indonesia. Tapi umumnya faksi
tersebut bersifat cair dan didasarkan pada loyalitas klien juga besarnya peluang
terhadap patronase daripada representasi pembelahan sosial dan persaingan
paradigma ideologis. Ulla Fiona dan Dirk Tomsa membagi tiga faktor utama yang
kemudian menjadi pola khas faksi yang lazim terjadi di Indonesia. Pertama, yaitu
struktur pembelahan sosial yang masih menonjol dan dipolitisasi. Kedua, budaya
patronase yang masih mengakar kuat yang merupakan warisan dari rezim otoriter
pada era sebelumnya. Ketiga, kelembagaan atau aturan-aturan yang mendasari sistem
partai seperti peraturan mengenai pendirian partai politik, sistem pemilihan umum,
dan lain-lain.39
38
Bettcher, “Factions of Interest”, 340. 39
Ulla Fiona dan Dirk Tomsa, “Parties and Factions in Indonesia: The Effect of Historical
Legacies and Institutional Engineering,” ISEAS, Yusof Ishak Institute 1 (2017): 3.
34
2. Fungsi Faksi
Analis telah menyebutkan bahwa fungsi klasik dari sebuah faksi adalah untuk
mencapai posisi dan alokasi jabatan. Namun, Giovanni Sartori seperti dikutip oleh
Kollner dan Basedau membedakan fungsi faksi menjadi dua yaitu fungsi yang
didasarkan pada kepentingan dan prinsip atau ideologi, atau kita mengenalnya dengan
faksi kepentingan dan faksi ideologi.40 Apabila merujuk pada Sartori, maka fungsi
faksi tidak hanya berpusat pada perburuan kekuasaan. Namun, faksi juga dapat
berfungsi untuk mengartikulasikan serta memperjuangkan kepentingan yang
berkaitan dengan agama, etnis, dan sosial. Selain itu, faksi juga berfungsi
mempengaruhi strategi partai dan memperjuangkan nilai-nilai tertentu. Secara
singkat, fungsi faksi terkait dengan jenis konflik intra-partai yang terjadi. Apakah
konflik terjadi disebabkan oleh perebutan kekuasaan, jabatan, isu kebijakan, ideologi
partai, maupun kepentingan lainnya. Selain memiliki fungsi yang telah disebutkan
sebelumnya, keberadaan faksi juga menimbulkan efek yang tidak bisa disepelekan.
Misalnya faksi dapat melemahkan kohesivitas dan efektivitas partai politik.
3. Penyebab Kemunculan Faksi
Raphael Zariski seperti dikutip oleh Belloni dan Beller mempertimbangkan 4
hal yang mungkin menjadi penyebab munculnya faksi:41
nilai bersama (shared
values), strategi bersama (shared strategies), kondisi sosial ekonomi (socioeconomic
40
Kollner dan Basedau, “Factionalism in Political Parties”, 12. 41
Belloni dan Beller, ed., Faction Politics, 10.
35
affinities), dan loyalitas personal (personal loyalties).42 Shared values, keyakinan
yang sama terhadap suatu nilai mengakibatkan sekelompok orang berkumpul guna
mewujudkan nilai yang diyakininya. Kesamaan inilah yang kemudian mengakibatkan
sekelompok orang membentuk faksi. Shared strategies, nilai yang telah dirumuskan
bersama harus diwujudkan dengan terlebih dahulu menyusun strategi bersama.
Strategi ini sangat penting demi terwujudnya nilai yang dicita-citakan. Hal inilah
yang mengakibatkan pembentukan faksi. Socioeconomic affinities, kondisi sosial
ekonomi suatu negara yang darurat demokrasi yang di dalamnya telah tertanam pola
patron-klien memberikan peluang bagi tumbuhnya faksionalisme. Personal loyalties,
loyalitas terhadap seseorang dan bukan terhadap partai politik mengakibatkan
terbentuknya pola hubungan personal patron-client. Pola hubungan ini dianggap
sebagai cara agar politisi mudah dalam mengakses sumber daya politik atau dapat
juga memudahkan politisi membangun kariernya. Hal inilah yang kemudian
memungkinkan munculnya faksi.
4. Tipologi Faksi Intra-Partai
Belloni dan Beller membagi faksi menjadi tiga tipe, di antaranya: cliques and
tendencies factions, faksi yang terbentuk berdasarkan persamaan pandangan terhadap
isu-isu politik. Faksi tipe ini tidak didasarkan pada ikatan yang bersifat formal.
Personal client-groups factions, faksi yang terbentuk melalui pola patron-klien. Faksi
tipe ini dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan individu, yaitu persaingan antara
42
Paul W. Chambers dan Aurel Croissant, “Monopolizing, Mutualizing, or Muddling Through:
Factions and Party Management in Contemporary Thailand,” Journal of Current Southeast Asian
Affairs 29 (2010): 7-8.
36
tokoh-tokoh berpengaruh dari suatu partai yang mempunyai konstituen jelas.
Institutionalized factions, faksi yang formal dan terorganisir. Faksi tipe ini memiliki
kejelasan berupa nama resmi dan kesekretariatan dan jelas beserta program-program
yang rutin dan tersendiri.43 Penjelasan lebih lanjut mengenai tipologi faksi ini dapat
dilihat di bawah ini:
Cliques and tendencies factions, faksi ini memiliki struktur yang sangat kecil,
karena faksi ini terbentuk berdasarkan persamaan pandangan terhadap isu-isu politik.
Hal ini juga menyebabkan faksi ini tidak berumur panjang. Kesadaran bersama yang
terbangun dalam faksi jenis ini pun sangat rendah. Klik muncul sebagai respons
terhadap isu-isu spesifik selama proses elektoral seperti pada masa kampanye
kandidat. Klik dan tendensi intra-partai mungkin memiliki asosiasi dengan organisasi
atau kelompok kepentingan lain.44
Personal, client-group factions, faksi ini dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan
individu. Secara organisasi kelompok klien mencerminkan keadaan pribadinya yaitu
hubungan antara pemimpin dengan pengikut. Dasar pembentukan dan eksistensi faksi
ini adalah perekrutan klien terutama kelompok klien yang memang dibentuk
berdasarkan hubungan yang benar-benar personal, yaitu kelompok yang eksistensinya
bergantung kepada pemimpin yang merekrut.
Hierarki atau rantai komando dalam faksi ini secara teoretis terbatas pada pola
hubungan yang vertikal, baik dalam organisasi maupun komunikasi intrafaksi. Hal ini
43
Belloni dan Beller, ed., Faction Politics, 422-429. 44
Belloni dan Beller, ed., Faction Politics, 423.
37
bertujuan untuk menjaga soliditas kelompok. Kelompok atau faksi ini biasanya diberi
nama sesuai dengan nama pemimpinnya. Nama pemimpin ini menjadi simbol bagi
keseluruhan kelompok. Faksi juga menjadikan kediaman pemimpinnya sebagai
markas besar.45
Usaha yang dilakukan faksi dalam menjaga soliditas kelompoknya
dengan melakukan pertemuan, namun pertemuan yang dilakukan tidak pernah
dihadiri oleh keseluruhan anggota faksi. Pertemuan tersebut tidak dilaksanakan sesuai
prosedur atau peraturan karena memang tidak ada satu peraturan pun yang
mengaturnya. Justru, pertemuan dilakukan berdasarkan ikatan personal. Artinya,
pertemuan dilaksanakan sesuai keinginan para anggota faksi dan tidak dibuat dalam
forum formal.
Faksi kelompok klien memiliki durasi menengah, artinya tidak singkat tapi juga
tidak panjang. Durasi faksi ini cenderung lebih lama jika dibandingkan dengan klik
dan tendensi yang hanya bertahan selama isu politik berlangsung seperti masa-masa
pemilihan maupun isu lainnya. Ketika suatu faksi personal berhasil memenangkan
jabatan sebagai pemimpin partai, maka faksi ini akan menjadi client-groups factions
generasi baru. Hal ini juga dapat disebut dengan modifikasi faksi personal menjadi
faksi yang lebih terorganisir. Faksi kelompok klien berbeda dengan klik dan tendensi
yang dipengaruhi atau berafiliasi dengan organisasi luar. Faksi ini tidak terkait
dengan kepentingan luar karena anggota dari faksi ini sadar akan identitas bersama
yang dimiliki meskipun kesadaran ini tidak selalu menjadi faktor yang memobilisasi
aktivitas anggotanya.
45
Belloni dan Beller, ed., Faction Politics, 424.
38
Institutionalized, organizational factions, faksi yang terlembaga (institusional)
berbeda dengan faksi lainnya karena memiliki struktur yang berkembang dan
formalisasi yang relatif. Daya tarik pribadi seorang pemimpin mungkin merupakan
perekat dalam faksi institusional, namun jika kelompok ini cenderung berjalan formal
daripada kelompok klien maka kelompok ini disebut sebagai institusi. Keberadaan
kelompok semacam ini biasanya didasarkan pada kepentingan bersama anggota
kelompok baik kepentingan ideologis hingga kepentingan material. Keanggotaan
faksi institusional relatif formal, kadang kala data anggota dibuat semiofficial namun
juga tidak jarang anggota faksi memiliki kartu anggota seperti yang terjadi pada
anggota faksi sosialis di Perancis tahun 1930.46
Faksi-faksi institusional menjalankan kegiatan sesuai dengan peraturan yang
telah sengaja dibuat. Kegiatan yang dijalankan misalnya pertemuan terjadwal, agenda
yang direncanakan sebelumnya, terkadang menguraikan catatan persidangan yang
telah dilaksanakan. Kegiatan–kegiatan ini biasanya dilaksanakan di kantor pusat
faksi. Faksi ini menamai kelompoknya dengan nama-nama pemimpin atau pendiri
atau mantan pemimpin. Namun, faksi institusional lebih sering menggunakan nama
formal yang menyiratkan identifikasi ideologis, simbolisme inspirasional, atau
keterkaitan dengan fungsi partai politik.
5. Dinamika Faksionalisme
Faksionalisme khususnya dalam partai politik menurut Francoise Boucek dapat
menampilkan rupa yang berbeda, mengingat partai politik bukanlah sebuah struktur
46
Belloni dan Beller, ed., Faction Politics, 427.
39
yang monolitik melainkan suatu entitas kolektif yang di dalamnya terdapat
persaingan, perbedaan pendapat yang dapat menciptakan tekanan internal.47
Dinamika faksi yang terjadi dalam partai politik menurut Boucek memiliki 3 wajah
yaitu faksionalisme kooperatif, faksionalisme kompetitif, dan faksionalisme
degeneratif. Penjelasannya dapat dilihat di bawah ini:
a. Faksionalisme Kooperatif
Faksionalisme jenis ini menyediakan struktur kerjasama antar faksi intra-partai
yang terpisah. Dengan menyediakan fasilitas kerjasama tersebut memungkinkan
integrasi partai cepat terbangun. Sejauh faksi-faksi tersebut mengartikulasikan
pendapat dan preferensi kebijakan dari kelompok masyarakat yang terpisah serta
mampu memobilisasi anggota dan berbagai komunitas dalam organisasi, maka
mereka dapat membangun partai secara terpadu. Dengan demikian, faksionalisme
jenis ini memiliki potensi untuk membangun konsensus.
b. Faksionalisme Kompetitif
Faksionalisme kompetitif sering dikaitkan dengan kompetisi sentrifugal akibat
perselisihan internal atau dampak insentif kelembagaan (atau keduanya). Berbeda
dengan faksionalisme kooperatif, faksionalisme kompetitif menunjukkan fragmentasi
dan perpecahan. Perbedaan preferensi faksi dan opini partai yang terpolarisasi
membuat ikatan intra-partai menjadi longgar. Dan faksi jenis ini bukan hanya
membuat kubu berpisah tapi juga berkompetisi. Partai yang terpolarisasi mempersulit
47
Francoise Boucek, “Rethinking Factionalism: Typologies, Intra-Party Dynamics, and Three
Faces of Factionalism,” Party Politics 15 (2009): 455.
40
pengambilan keputusan dalam partai. Partai politik terfragmentasi diakibatkan oleh
isu mendalam yang beredar dan sulit diintegrasikan dengan ideologi partai. Apabila
partai yang terfragmentasi tidak diawasi maka faksi kompetitif ini akan menimbulkan
dampak negatif yang mengancam persatuan partai.
c. Faksionalisme Degeneratif
Faksionalisme degeneratif terjadi ketika faksi terlalu banyak dan faksi ini
dijadikan saluran utama distribusi patronase. Faksionalisme jenis ini muncul ketika
faksi yang jumlahnya banyak tersebut berorientasi pada kepentingan kelompoknya
semata. Fragmentasi dan difusi kekuasaan yang terjadi akan mengubah faksi menjadi
pemain veto (veto player) dalam partai dan privatisasi terhadap faksi dan insentif
partai pada akhirnya akan menjerumuskan partai pada perpecahan.
41
BAB III
PROFIL PARTAI DEMOKRAT
A. Kemunculan SBY dalam Panggung Politik
Langkah karier politik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu
menjabat sebagai Kepala Staf Teritorial (Kaster) dimulai pada 27 Januari 2000 ketika
memutuskan untuk pensiun dini. Hal ini dikarenakan SBY dipercaya menjabat
sebagai Menteri Pertambangan dan Energi dalam Kabinet Persatuan Nasional
bentukan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk masa bakti 1999-2004.
Ketika itu ia masih berpangkat letnan jenderal (letjen).1
Saat itu sebenarnya Mabes ABRI yang dipimpin Jenderal Wiranto
menyarankan kepada Gus Dur agar SBY diposisikan sebagai Kepala Staf Angkatan
Darat (KSAD) menggantikan Jenderal Subagyo HS.2 Namun, usulan tersebut ditolak
oleh Gus Dur dengan alasan SBY terlalu kental dengan urusan-urusan politik.
Presiden Abdurrahman Wahid menghendaki jabatan KSAD dijabat oleh Letjen
Tyasno Sudarto.
SBY terpukul ketika tiba-tiba mendengar kabar dari Panglima TNI Jenderal
Wiranto, bahwa Presiden Gus Dur yang saat itu baru saja terpilih sebagai Presiden
Republik Indonesia memintanya masuk dalam jajaran kabinet. Apalagi posisi yang
ditawarkan jauh dari dunianya, yakni sebagai Menteri Pertambangan dan Energi.
Kekecewaan ini disebabkan SBY sangat ingin menyelesaikan kariernya di TNI
1 Yahya Ombara, Presiden Flamboyan SBY yang Saya Kenal (Jakarta: Eswi Foundation, 2007),
98. 2 Usamah Hisyam, SBY Sang Demokrat (Jakarta: Dharmapena, 2004), 167.
42
sebagai KSAD atau Panglima TNI. Selain itu menurutnya, apa yang terjadi sangat
berbeda dengan skenario yang telah dirancang oleh MABES ABRI.3
Penugasan tersebut mengakibatkan peluang yang dimiliki SBY untuk
mengabdikan diri pada TNI secara paripurna hingga masa pensiun hilang
sepenuhnya. Sebab, sesuai dengan reformasi internal TNI bahwa setiap perwira yang
ditugaskan pada struktur pemerintahan harus pensiun. SBY mengatakan “Pensiun
dini dari TNI itu perasaan yang paling berat dalam hidup saya. Saya begitu mencintai
TNI. Saya hidup dan tumbuh di militer. Istri saya waktu itu menangis. Batin saya
berat sekali. Tapi itu sudah suratan nasib dan saya terima”.4
Pada tahun yang sama, Presiden Gus Dur melakukan reshuffle Kabinet
Persatuan Nasional tepatnya pada 23 Agustus 2000. Reshuffle tersebut menggeser
jabatan SBY dari Mentamben menjadi Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan
Keamanan (Menkopolsoskam) menggantikan Jenderal Wiranto. Padahal, saat
menyusun Kabinet Persatuan Nasional, Wiranto merupakan anak emas Gus Dur yang
senantiasa dimintai pendapat olehnya.5
Presiden Gus Dur pada awal tahun 2001 juga pernah meminta SBY untuk
membentuk Crisis Centre. Presiden Abdurrahman Wahid meminta SBY untuk
menjabat sebagai ketua harian dan menempatkan pusat informasi atau kegiatan
(operation centre) di kantor Menkopolsoskam. Lembaga baru ini berfungsi untuk
3 Dino Patti Djalal, Harus Bisa: Seni Memimpin ala SBY, Catatan Harian Dr. Dino Patti
Djalal (Jakarta: Red & White Publishing, 2008), h.407; lihat juga Usamah Hisyam, SBY Sang
Demokrat, (Jakarta: Dharmapena, 2004), 397. 4 Djalal, Harus Bisa , 408.
5 Ombara, Presiden Flamboyan, 104.
43
memberikan rekomendasi kepada Presiden Gus Dur dalam menjawab berbagai
macam persoalan, termasuk di antaranya sikap kepala negara dalam merespons
pemberian dua memorandum DPR.6 Memorandum tersebut dilayangkan oleh DPR
karena Gus Dur diduga terlibat dalam skandal nonbujeter Badan Urusan Logistik
(Bulog) dan beberapa kasus lainnya termasuk yang disebut Brunaigate.7
Gus Dur sangat reaktif menanggapi memorandum yang dilayangkan oleh DPR.
Gus Dur berencana memaklumatkan Dekrit Presiden pada 23 Mei 2001 tepat pukul
01.05 dini hari. Maklumat tersebut dibacakan oleh Yahya Staquf. Adapun isi Dekrit
Presiden tersebut adalah:8
1. Membekukan MPR dan DPR;
2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta
menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum
dalam waktu satu tahun;
3. Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru
dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah
Agung.
Presiden Gus Dur menunjuk SBY sebagai pemegang mandat. Penunjukkan ini
merupakan tindaklanjut dari penerbitan maklumat tersebut. Presiden Gus Dur
memerintahkan SBY untuk mengambil tindakan-tindakan dan langkah khusus yang
6 Efantino Febriana, SBY Dikritik dan Dicintai, (Yogyakarta: Biopustaka, 2009), 33.
7 Ombara, Presiden Flamboyan, 104.
8 Iryani Despianti, “Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001,” (Skripsi S1, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2012), 53.
44
diperlukan untuk menegakkan ketertiban, keamanan, dan hukum secepat-cepatnya.
SBY dengan tegas tidak menyetujui bahkan menolak pemberlakuan dekrit tersebut
sebab menurutnya tidak ada alasan konstitusional kuat yang memberlakukannya.
Penolakan yang dilakukan SBY berujung pada pemecatan Presiden Gus Dur
terhadapnya.
Penolakan terhadap Dekrit Presiden 23 Juli 2003 juga dinyatakan oleh
Kapuspen TNI, yaitu Marsda TNI Graito Usodo yang menegaskan bahwa TNI tidak
mendukung pemberlakuan dekrit dengan tidak akan melakukan perintah presiden dan
tetap akan mengamankan pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. Hanya 8 jam setelah
dekrit diumumkan presiden, MPR melaksanakan sidang dan memberhentikan
presiden.9
DPR sebagai salah satu pihak yang menjadi objek dalam Dekrit Presiden 23
Juli 2001 merencanakan pemakzulan terhadap Presiden Gus Dur. Pemakzulan akan
berjalan dengan lancar apabila dilengkapi landasan hukum yang kuat. Maka, DPR
mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung (MA) untuk mengeluarkan
fatwa/keputusan MA terkait dengan dikeluarkannya dekrit. Akhirnya, MA selaku
lembaga yudikatif yang memegang kekuasaan kehakiman menerbitkan
fatwa/keputusan MA Nomor KMA/419/VII/2001 tertanggal 23 Juli 2001.
Pasca fatwa dari MA diperoleh, permasalahan tersebut langsung dibawa dalam
Sidang Istimewa MPR yang dilaksanakan pada pagi hari, 23 Juli 2001. Sidang
9 Tjipta Lesmana, Dari Soekarno sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka, 2009), 215.
45
tersebut langsung dipimpin oleh ketua MPR Amien Rais. Persidangan ini dihadiri
oleh 601 anggota MPR. 599 anggota dari 601 anggota tersebut menyatakan menolak
Maklumat Presiden dan hanya ada dua anggota yang abstain.10 Sikap resmi MPR
dituangkan dalam Ketetapan MPR No.1/MPR/2001 tentang Sikap MPR terhadap
Maklumat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001.
Sidang Istimewa MPR berlanjut ke sidang paripurna. Sidang paripurna
menghasilkan Ketetapan MPR RI No.II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban
Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid. Pasal 1 Ketetapan MPR ini
menyatakan ketidakhadiran dan penolakan presiden untuk memberikan
pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR RI Tahun 2001 serta penerbitan
Maklumat Presiden Tanggal 23 Juli 2001 sungguh-sungguh telah melanggar haluan
negara. Pasal 2 menyatakan memberhentikan K.H. Abdurrahman Wahid sebagai
presiden dan mencabut serta menyatakan tidak berlaku lagi Ketetapan MPR RI No.
VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia. Pengesahan
ketetapan tersebut mengakibatkan Presiden Gus Dur secara resmi telah diberhentikan
dari jabatan presiden mandataris MPR, dan secara otomatis Megawati Soekarnoputri
(Mega) menggantikan posisi Gus Dur sebagai presiden. Hal ini diatur dalam pasal 8
UUD 1945 yang berbunyi “jika presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya ia diganti oleh wakil presiden.”
Pasca pelantikan Mega sebagai presiden, MPR pun segera menyelenggarakan
pemilihan wakil presiden untuk mewakilinya. SBY mendapat dorongan untuk maju
10
Despianti, “Dekrit Presiden”, 55.
46
sebagai wakil presiden. Saat itu SBY dicalonkan oleh Fraksi Kesatuan Kebangsaan
Indonesia dan 80 anggota MPR. SBY harus bersaing dengan Hamzah Haz, Akbar
Tandjung, Agum Gumelar, dan Siswono Yudo Husodo.
Pemilihan wakil presiden berlangsung dalam 3 putaran. Pada putaran pertama,
Hamzah Haz mendapat 238 suara, Akbar Tandjung 177 suara, SBY 122 suara, Agum
Gumelar 41 suara, dan Siswono Yudo Husodo mendapat 31 suara. Dengan perolehan
suara tersebut maka SBY lolos ke putaran selanjutnya. Pada putaran kedua, SBY
harus tersingkir dari pemilihan tersebut karena hanya memperoleh 122 suara dan
berada pada posisi ketiga.11 Kekalahan dalam pemilihan wakil presiden membuat
SBY merasa sakit dan sedih. SBY mengatakan bahwa tidak mungkin jika kekalahan
dalam pemilihan presiden atau wakil presiden bisa dikatakan biasa. Namun,
kekalahan tidak menjadikannya terpuruk, justru SBY semakin kuat dan bersemangat
untuk meraih posisi lebih dari wakil presiden yaitu jabatan presiden.12
B. Kemunculan Anas Urbaningrum dalam Panggung Politik
Langkah karier politik Anas Urbaningrum yang saat itu menjabat sebagai
anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dimulai pada 8 Juni 2005 ketika
memutuskan untuk mengundurkan diri dari KPU. Hal ini dikarenakan Anas diminta
oleh SBY untuk bergabung dalam Partai Demokrat. Anas saat itu langsung
menduduki jabatan sebagai Ketua Divisi Otonomi Politik dan Daerah Dewan
11
Wisnu Nugroho, Pak Beye dan Politiknya (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), XVIII. 12
Susilo Bambang Yudhoyono, Selalu Ada Pilihan: Untuk Pencinta Demokrasi dan Para
Pemimpin Indonesia Mendatang (Jakarta: Penerbit Kompas, 2014), 194.
47
Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat untuk periode kepengurusan 2005-2010. DPP
Partai Demokrat saat itu diketuai oleh Hadi Utomo yang tidak lain adalah adik ipar
dari Kristiani Herawati Yudhoyono (Ani Yudhoyono).
Anas dapat disebut sebagai tokoh muda yang cukup berprestasi. Anas sebelum
menjabat sebagai anggota KPU juga terlibat dalam membangun sistem pemilu baru.
Anas pernah menjadi anggota tim Revisi Undang-Undang Politik atau bergabung
dalam Tim Tujuh, Anas juga terlibat dalam Tim Sebelas yaitu sebuah tim seleksi
partai politik yang bertugas melakukan verifikasi kelayakan data administrasi partai
politik yang akan mengikuti pemilu tahun 1999.
Anas dikenal sebagai organisatoris yang cukup handal. Selama masa kuliah,
Anas aktif dalam organisasi kemahasiswaan seperti Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI). Anas menghabiskan waktu selama 9 tahun berorganisasi di HMI yaitu sejak
1990 – 1999. Karier di HMI dirintisnya mulai dari tingkat komisariat hingga tingkat
pengurus besar. Puncak karier Anas di HMI berhasil diraih pada tahun 1997. Anas
terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar HMI dalam Kongres XXI HMI yang
dilaksanakan di Yogyakarta, 26 Agustus 1997.13
Kecakapan berorganisasi yang dimiliki Anas membawanya menjadi kader yang
cukup berpengaruh dalam Partai Demokrat. Anas mencalonkan diri sebagai anggota
legislatif dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009 untuk daerah pemilihan Jawa Timur
VII (Kota Blitar, Kabupaten Blitar, Kota Kediri, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten
13
Haiqal Arifianto dan Sulaiman, ed., Basic Training Panduan untuk Kader Himpunan
Mahasiswa Islam, (Ciputat: T.pn., 2015), 60.
48
Tulungagung). Anas memperoleh suara terbanyak dengan meraih 178.381 suara.14
Pada periode ini Anas dipercaya menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat di
DPR RI.
Karier Anas dalam dunia politik semakin meningkat. Pada Kongres Ke-II Partai
Demokrat yang digelar di Kabupaten Bandung, Anas mencalonkan diri sebagai ketua
umum. Dalam pemilihan ketua umum ini Anas bersaing dengan dua kader lainnya
yaitu Andi Mallarangeng dan Marzuki Alie. Pemilihan dilaksanakan sebanyak dua
kali putaran, dan Anas berhasil mengungguli kedua rivalnya. Keterpilihan Anas
sebagai Ketua Umum Partai Demokrat Periode 2010-2015 menjadi puncak karier
Anas dalam Partai Demokrat.
C. Kelahiran Partai Demokrat
Kekalahan SBY pada pemilihan wakil presiden dalam Sidang MPR 2001
merupakan titik awal kemunculan ide membentuk partai politik. Berdasarkan hasil
survei dan perolehan suara SBY dalam pemilihan wakil presiden tersebut
menunjukkan bahwa tingkat popularitas SBY cukup baik. Maka dari itu, beberapa
orang tergerak hatinya untuk mengantarkan SBY duduk sebagai presiden republik ini.
Demi mewujudkan cita-cita tersebut, maka mendirikan partai politik menjadi suatu
keharusan sebagai kendaraan politik.
Konsep partai dan platform dirumuskan oleh Tim Krisna Bambu Apus.
Sementara urusan teknis administrasi dirampungkan oleh tim yang dipimpin oleh
14
______, “Anas Urbaningrum,” Viva, ______ [artikel on-line]; tersedia di www.viva.co.id/;
Internet; diakses 7 Agustus 2017.
49
Vence Rumangkang. Selain itu, dibentuk pula tim pelaksana yang terdiri dari Vence
Rumangkang, Drs.A.Yani Wahid (Alm), Achmad Kurnia, Adhiyaksa Dault, SH,
Baharuddin Tonti, dan Shirato Syafei. Kemudian pematangan konsep partai
dilakukan oleh tim 9 yang terdiri dari 10 orang anggota di antaranya: (1) Vence
Rumangkang, (2) Dr. Ahmad Mubarok, MA.; (3) Drs.A. Yani Wahid (Alm); (4)
Prof.Dr. Subur Budhisantoso; (5) Prof. Dr. Irsan Tanjung; (6) RMH. Heroe Syswanto
Ns; (7) Prof. Dr. RF. Saragih, SH., MH.; (8) Prof. Dardji Darmodihardjo; (9) Prof.
Dr. Ir. Rizald Max Rompas; dan (10) Prof. T. Rusli Ramli, MS.15
Proses perencanaan pendirian partai dilakukan selama kurang lebih dua bulan.
Partai Demokrat akhirnya resmi didirikan pada 9 September 2001 bertempat di
Gedung Graha Pratama Lantai XI, Jakarta Selatan. Penandatanganan akta pendirian
partai dilaksanakan di hadapan notaris Asmendi Kamuli, SH. Pendiri Partai Demokrat
berjumlah 99 orang. Namun, penandatanganan akta tersebut hanya dihadiri oleh 53
orang pendiri. Kepengurusan langsung disusun terutama Badan Pengurus Harian
(BPH). Prof. Dr. Subur Budhisantoso dipercaya sebagai pejabat ketua umum, Dr.
Irsan Tanjung sebagai pejabat sekretaris umum dan bendahara umum dijabat oleh
Vence Rumangkang. Sejak saat itulah Partai Demokrat menjadi salah satu partai yang
ikut mewarnai perpolitikan tanah air.
15
______,“Sejarah Partai Demokrat,” tersedia di www.demokrat.or.id/; Internet; diakses 17
Juli 2017.
50
D. Aktivitas Politik Partai Demokrat
1. Aktivitas Eksternal
Partai Demokrat (PD) pertama kali mengikuti kontestasi pemilihan umum
(pemilu) pada pemilu 2004. Partai Demokrat pada pemilu 2004 berhasil menorehkan
prestasi yang luar biasa dengan memperoleh 7,46% suara dan masuk ke dalam
peringkat 5 besar. Rincian jelas perolehan suara dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel III.D.1. Perolehan Suara dalam Pemilu Legislatif Tahun 2004
No Nama Partai Perolehan
Suara
Persentase
(%)
Perolehan
Kursi
1 Golkar 24.461.104 21,62 128
2 PDI Perjuangan 20.710.006 18,31 109
3 PKB 12.002.885 10,61 52
4 PPP 9.226.444 8,16 58
5 Partai Demokrat 8.437.868 7,46 55
Sumber: Komisi Pemilihan Umum, RI.
Perolehan suara sebanyak 7,46% telah membuat Partai Demokrat memiliki
perwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebanyak 55 kursi. Jumlah ini lebih
banyak jika dibandingkan dengan jumlah kursi yang diraih oleh Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) yang telah lebih dulu berdiri. Partai Demokrat selain ikut dalam
pemilu legislatif, juga ikut aktif dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. PD
mencalonkan kadernya sebagai presiden yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
dan berpasangan dengan Muhammad Jusuf Kalla (JK) yang merupakan kader Partai
Golongan Karya (Golkar). Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004
dilaksanakan sebanyak dua kali putaran. Putaran pertama dilaksanakan pada 5 Juli
51
2004 yang diikuti oleh 5 pasangan calon. Hasil pemilu putaran pertama dapat dilihat
pada tabel di bawah ini:
Tabel III.D.2. Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Tahun 2004 Putaran I
No Nama Pasangan Calon Presiden dan
Wakil Presiden
Perolehan
Suara
Persentase
(%)
1 H. Wiranto, SH.
Ir. H. Salahuddin Wahid
23.827.512 22,19
2 Hj. Megawati Soekarnoputri
K.H. Ahmad Hasyim Muzadi
28.186.780 26,24
3 Prof. Dr. H. M. Amien Rais
Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo
16.042.105 14,94
4 H. Susilo Bambang Yudhoyono
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
36.070.622 33,58
5 Dr. H. Hamzah Haz
H. Agum Gumelar, M.Sc.
3.276.001 13,05
Sumber: Komisi Pemilihan Umum, RI.
Berdasarkan perolehan suara di atas, pasangan calon yang memperoleh suara
tertinggi yaitu pasangan SBY dan JK kemudian disusul oleh pasangan Megawati
Soekarnoputri (Mega) dan Ahmad Hasyim Muzadi (Hasyim). Kedua pasangan ini
maju ke putaran berikutnya yang dilaksanakan pada 20 September 2004. Hasil pemilu
putaran kedua dapat dilihat pada tabel berikut:
52
Tabel III.D.3. Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Tahun 2004 Putaran II
No Nama Pasangan Calon Presiden dan
Wakil Presiden
Perolehan
Suara
Persentase
(%)
1 Hj. Megawati Soekarnoputri
K.H. Ahmad Hasyim Muzadi
44.990.704 39,38
2 H. Susilo Bambang Yudhoyono
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
69.266.350 60,62
Sumber: Komisi Pemilihan Umum, RI.
Berdasarkan hasil perolehan suara di atas, pasangan SBY dan JK unggul
terhadap pasangan Mega dan Hasyim. Maka, pasangan SBY dan JK ditetapkan
sebagai pemenang dan menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia Periode 2004-2009.
Partai Demokrat mengikuti pemilu untuk kedua kalinya yaitu pada pemilu
2009. Pemilu 2009 diikuti oleh 44 partai politik, namum hanya 9 partai politik yang
berhasil memperoleh kursi di DPR. Partai-partai itu di antaranya Partai Hati Nurani
Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Amanat Nasional
(PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai
Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan Partai Demokrat (PD). Perolehan suara pada
pemilu 2009 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
53
Tabel III.D.4. Perolehan Suara dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009
No Nama Partai Perolehan
Suara
Persentase
(%)
Perolehan
Kursi
1 Hanura 3.925.620 3,77 17
2 Gerindra 4.642.795 4,46 26
3 PKS 8.204.946 7,89 57
4 PAN 6.273.462 6,03 46
5 PKB 5.146.302 4,95 28
6 Golkar 14.576.388 14,01 94
7 PPP 5.544.332 5,33 58
8 PDIP 15.031.497 14,45 106
9 Partai Demokrat 21.655.295 20,81 148
Sumber: Komisi Pemilihan Umum, RI.
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa Partai Demokrat menjadi
pemenang pemilu. Partai Demokrat kembali mencalonkan SBY sebagai presiden
untuk periode 2009-2014. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 diikuti
oleh 3 pasangan calon. Pemilu presiden dan wakil presiden kali ini dilaksanakan
hanya satu putaran yaitu pada 8 Juli 2009. Perolehan suara ketiga pasangan calon
presiden dan wakil presiden tahun 2009 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel III.D.5. Hasil Pemilu Presiden & Wakil Presiden Tahun 2009
No Nama Calon Presiden dan Calon Wakil
Presiden
Perolehan
Suara
Persentase
(%)
1 Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto 32.548.105 26,79
2 Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono 73.874.562 60,80
3 Jusuf Kalla-Wiranto 15.081.814 12,41
Sumber: Komisi Pemilihan Umum, RI
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa pasangan SBY dan Boediono
berhasil mengalahkan rivalnya hanya dalam satu putaran karena telah memperoleh
54
suara lebih dari 50%. Hal ini menambah deretan prestasi Partai Demokrat dalam
kancah perpolitikan di Indonesia. Meskipun usianya saat itu belum genap satu
dasawarsa, namun partai ini mampu mengalahkan partai-partai lain terutama PDI-P,
Golkar, dan PPP yang telah ada sejak masa Orde Baru. Artinya, keberadaan PD
benar-benar tidak bisa dipandang sebelah mata.
2. Aktivitas Internal
Kongres adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam Partai Demokrat. Kongres
dilaksanakan secara periodik yakni sekurang-kurangnya sekali dalam 5 tahun atau
dalam kondisi luar biasa kongres dapat dilaksanakan di luar jadwal yang semestinya
dengan mendapatkan dukungan dari sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari
jumlah Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan ½ (satu per dua) dari jumlah Dewan
Pimpinan Cabang. Hal ini diatur secara jelas dalam Anggaran Dasar (AD) Partai
Demokrat:16
(1) Kongres adalah pemegang kekuasaan tertinggi partai yang diselenggarakan
sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun dan berwenang:
a. Menetapkan Ketua Dewan Pembina;
b. Mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;
c. Menetapkan Program Umum Partai;
d. Meminta dan menilai Laporan Pertanggung Jawaban Dewan Pimpinan
Pusat;
16
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat Hasil Kongres Ke-II
Tahun 2010.
55
e. Memilih dan menetapkan Ketua Umum dan Formatur Kongres; dan
f. Menetapkan keputusan-keputusan Kongres lainnya.
(2) Kongres Luar Biasa mempunyai wewenang dan kekuasaan yang sama dengan
Kongres.
(3) Kongres Luar Biasa dapat diadakan atas permintaan:
a. Majelis Tinggi Partai, atau
b. Sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah Dewan Pimpinan
Daerah dan ½ (satu per dua) dari jumlah Dewan Pimpinan Cabang.
(4) Dalam permintaan tersebut, harus menyebutkan agenda dan alasan-alasan
diadakan Kongres Luar Biasa.
(5) Dewan Pimpinan Pusat sebagai penyelenggara Kongres Luar Biasa.
Hingga tahun 2010, PD telah melaksanakan kongres sebanyak 2 kali. Kongres
pertama berlangsung pada 20 Mei – 23 Mei 2005 bertempat di Hotel Inna Grand Bali
Beach, Bali. Kongres ini berlangsung selama dua kali putaran. Putaran pertama
diikuti oleh 4 orang kandidat di antaranya Hadi Utomo, Taufik Effendi, Prof. Subur
Budhisantoso, dan Suratto. S. Taufik Effendi pada putaran pertama mengundurkan
diri dari bursa pencalonan, akhirnya pemilihan berlanjut ke putaran kedua. Pemilihan
putaran kedua ini dimenangkan oleh Hadi Utomo yang tidak lain adalah adik ipar dari
Kristiani Herawati Yudhoyono (Ani Yudhoyono).17
17
MAK, “Hadi Utomo Terpilih sebagai Ketua Partai Demokrat,” Liputan 6, 23 Mei 2005
[berita on-line]; tersedia di http://news.liputan6.com/; Internet; diakses pada 18 Oktober 2017.
56
Kongres kedua Partai Demokrat berlangsung pada 21 Mei – 23 Mei 2010
bertempat di Hotel Mason Pine, Padalarang, Kabupaten Bandung.18
Kongres ini
merupakan ajang politik strategis dalam PD sebab tahun 2014 SBY sudah tidak bisa
mencalonkan diri sebagai presiden sehingga memberikan peluang bagi tokoh-tokoh
lain untuk tampil sebagai calon presiden dalam pemilihan presiden (pilpres) 2014.
Kongres ini menjadi pertarungan hebat antara 3 kandidat yang masing-masing
memiliki jabatan strategis. Marzuki Alie saat itu sedang menjabat sebagai Ketua DPR
RI Periode 2009-2014. Andi Mallarangeng yang pernah menjadi juru bicara
kepresidenan tahun 2004-2009 juga sedang menduduki jabatan strategis sebagai
Menteri Pemuda dan Olahraga pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Anas
Urbaningrum juga sedang menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR
RI.19
Pertarungan 3 kandidat ini berlangsung sangat seru hingga dilaksanakan
sebanyak dua putaran. Pada putaran pertama, Andi Mallarangeng tersingkir dengan
hanya meraih 82 suara, Marzuki Alie meraih 209 suara, sementara Anas
Urbaningrum unggul dengan memperoleh 236 suara. Putaran kedua, Anas
Urbaningrum berhasil mengungguli Marzuki Alie dengan meraih 280 suara (53
persen) dan Marzuki Alie hanya memperoleh 248 suara (48 persen). Cukup
18
ANT, “SBY Dijadwalkan Buka Kongres Partai Demokrat,” Republika, 15 Mei 2010 [berita
on-line]; tersedia di www.republika.co.id/; Internet; diakses 20 Oktober 2017. 19
Kompaspedia, Partai Politik Indonesia 1999-2019 Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa,
(Jakara: Kompas Media Nusantara, 2016), 148.
57
mengejutkan memang Anas Urbaningrum berhasil mengungguli koalisi besar
Marzuki-Andi yang saat itu sebenarnya mendapat restu dari SBY.20
Kemenangan Anas Urbaningrum atas Marzuki Alie dan Andi Mallarangeng
dalam Kongres Ke-II PD memberikan warna baru dan secara tidak langsung
memberikan akses mudah bagi Anas Urbaningrum menuju kursi kepresidenan 2014.
Dalam menyusun kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PD, Anas
Urbaningrum merangkul kedua rivalnya. Hal itu dilakukan untuk menekan potensi
perpecahan internal partai. Anas Urbaningrum menempatkan Marzuki Alie dan Andi
Mallarangeng dalam jajaran Dewan Pembina PD. Selain itu, Anas Urbaningrum juga
menggandeng putera SBY yaitu Edhie Baskoro Yudhoyono menjadi sekretaris
jenderal dan M. Nazaruddin diposisikan menjadi bendahara umum.
E. SBY dan Partai Demokrat
Sub-bab sebelumnya telah menjelaskan bahwa Partai Demokrat sengaja
didirikan untuk menjadi kendaraan politik bagi SBY maju sebagai calon presiden.
Alasan pendirian ini jika kita merujuk pada teori Richard Gunther dan Larry
Diamond secara tidak langsung mengkategorikan PD sebagai partai personalistik
yang merupakan turunan dari partai elektoral. Telah dijelaskan juga pada bab
sebelumnya bahwa menurut Richard Ghunter dan Larry Diamond, partai personalistik
adalah kendaraan yang sengaja dibuat pemimpin partai untuk memenangkan
pemilihan umum dan merentangkan kekuasaannya. Daya tarik elektoral ada pada
20
Ma’mun Murod Al-Barbasy, Anas Urbaningrum dalam Sorotan Status Facebook Tumbal
Politik Cikeas (Jakarta: Pijar Ilmu, 2013), 23.
58
personalitas dan kharisma calon kandidat atau pemimpin partai yang dianggap
sebagai solusi dari permasalahan bangsa.21
Karakter PD sebagai partai personalistik menjadikan partai ini memiliki
pemimpin dominan yang tidak lain adalah SBY sendiri. SBY memang tidak secara
langsung turun sebagai ketua umum pada masa pendiriannya seperti yang dilakukan
oleh Prabowo Subianto di Gerindra. Namun, SBY menempati 3 jabatan strategis
sekaligus seperti Ketua Dewan Pembina, Ketua Majelis Tinggi, dan Ketua Dewan
Kehormatan partai. Jabatan-jabatan ini tentu memberikan otoritas dominan kepada
SBY. Sebab, seluruh kegiatan yang dilaksanakan oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP)
berada di bawah pengawasan SBY.22
Keberadaan partai personalistik dilatarbelakangi oleh sejarah Orde Baru yang
menjadi lahan subur bagi pertumbuhan patrimonialisme.23
Patrimonialisme ini
menurut Jamie Mackie selanjutnya berkembang menjadi patronase dan berbagai
hubungan patron-klien pada masa reformasi bahkan hingga masa demokrasi.24
Peraturan elektoral yang ada juga memberikan peluang bagi kemunculan partai
personalistik. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 Tentang
Partai Politik mengatur bahwa untuk mendirikan partai politik hanya membutuhkan
21
Richard Ghunter dan Larry Diamond, “Species of Political Parties A New Typology,” Party
Politics 9 (2003): 187. 22
Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Partai Demokrat Tahun 2010. 23
Ulla Fiona dan Dirk Tomsa, ““Parties and Factions in Indonesia: The Effects of Historical
Legacies and Institutional Engineering,” ISEAS-Yusof Ishak Institute (2017): 12. 24
Edward Aspinall dan Greg Feali, ed., Soeharto’s New Order and It’s Legacy: Essays in
Honour of Harold Crouch, (Canberra: The Australian National University E-Press, 2010), 81-82.
59
50 orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 tahun.25
Peraturan
ini jelas memudahkan siapa saja untuk membentuk partai politik tidak terkecuali
SBY, meskipun PD didirikan tidak hanya oleh 50 orang tetapi oleh 99 orang. Angka
99 ini merupakan angka yang digemari oleh SBY karena menunjukkan tanggal dan
bulan kelahirannya yaitu 9 September 1949.
Karakter Partai Demokrat sebagai partai personalistik menyebabkan partai ini
tidak bisa dilepaskan dari figur SBY. Hubungan antara SBY dan PD pada masa
pendiriannya adalah hubungan yang saling menguntungkan. Bawono Kumoro
menjelaskan bahwa saat itu PD membutuhkan figur dengan popularitas sangat tinggi
seperti SBY agar mampu mendulang suara signifikan mengingat partai ini merupakan
partai baru. SBY juga membutuhkan PD sebagai kendaraan politik untuk maju dalam
kontestasi Pemilihan Presiden 2004.26
Ketergantungan terhadap SBY bukan hanya pada persoalan pencarian suara
(voice seeking), namun juga memberikan pengaruh terhadap proses penyusunan
struktur partai. Artinya, SBY menjadi penentu dalam setiap tahapan penyusunan
struktur partai terutama pada tingkat DPP. Hal ini terbukti dari keterlibatan SBY
sebagai tim formateur yang dipilih dalam kongres. SBY juga berperan dalam proses
penentuan kandidat parlemen atau legislator. Hal-hal inilah yang menyebabkan partai
personalistik menjadi partai yang tidak terlembaga khususnya dalam dimensi
kesisteman.
25
Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik. 26
Bawono Kumoro, “SBY, Demokrat, dan Institusionalisasi Partai,” Media Indonesia, 15 Mei
2015 [artikel on-line]; tersedia di htpps://mediaindonesia.com/; Internet; diakses 24 November 2017.
60
BAB IV
DINAMIKA PARTAI DEMOKRAT DAN MUNCULNYA FAKSI
INTRA-PARTAI
A. Dinamika Faksi Intra-Partai Demokrat
Faksi merupakan sebuah gejala wajar dalam partai politik. Keberadaan faksi
sedikit banyak menghadirkan dinamika dalam kehidupan partai baik dalam konteks
positif maupun negatif. Dikatakan positif apabila faksi berorientasi pada preferensi
kebijakan dan memiliki semangat pelembagaan. Akan tetapi, faksi dapat dikatakan
negatif apabila berorientasi pada pencarian sumber daya politik serta tidak diiringi
semangat pelembagaan. Maka dari itu, Friedrich seperti dikutip Patrick Kollner dan
Matthias Basedau menyebut faksi sebagai patologi politik, yakni kondisi ketika para
aktor politik terjerembab dalam hal-hal yang tidak seharusnya seperti korupsi, politik
transaksional, dan lain-lain.1
Partai Demokrat (PD) merupakan partai yang tidak luput dari faksionalisasi.
Sejarah mencatat, faksionalisasi internal PD terjadi sejak tahun 2005 di mana
terbentuk Faksi Vence Rumangkang dan Faksi Subur Budhisantoso.2 Perbedaan antar
faksi ini semakin meruncing ketika Vence mengadakan kongres lebih dulu pada 18
Februari - 21 Februari 2005. Vence mengaku bahwa tindakan yang dilakukannya
1 Patrick Kollner dan Matthias Basedau, “Factionalism in Political Parties: An Analytical
Framework for Comparative Studies,” Working Papers and Area Studies, German Overseas
Institute/Deutsches Ubersee Institut (2005): 13. 2 Fira Abdurrahman dan Yudi Wibowo, “Kubu Vence Rumangkang dan Subur Budhisantoso
Berdamai,” Liputan 6, 7 Februari 2005 [berita on-line]; tersedia di http://news.liputan6.com/;
Internet; diakses pada 20 November 2017.
61
sebagai bentuk kekecewaan terhadap kinerja sang ketua umum Subur Budhisantoso.
Meskipun akhirnya kedua faksi ini berdamai dengan melaksanakan kongres bersama
pada Maret 2005 di Bali, akan tetapi tidak mengurungkan niat Vence untuk mundur
dari PD.3 Vence kemudian mendirikan Partai Barisan Nasional (Barnas) pada 1
Oktober 2007. Selain Vence Rumangkang, Sys NS juga melakukan hal yang sama
bahkan lebih dulu. Sys NS memutuskan untuk keluar dari PD pada akhir tahun 2005.
Sys Ns kemudian mendirikan partai baru yang diberi nama Partai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Partai NKRI). Namun, partai ini tidak lolos verifikasi pemilu
2009 dan namanya tidak terdengar lagi hingga kini. Fenomena munculnya partai-
partai sempalan ini menjadi bukti bahwa ketidakpuasan terhadap pemimpin partai
selalu mempertegas adanya faksionalisme dalam partai yang semula laten menjadi
timbul ke permukaan.
Faksionalisasi dalam PD kembali hadir pasca kongres II di Bandung 2010.
Kemenangan Anas Urbaningrum (Anas) atas Marzuki Alie dan Andi Mallarangeng
dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
karena banyak pihak menduga bahwa Anas tidak mendapatkan restu dari Cikeas.4
Anas mengaku bahwa ketika Anas berhasil memenangkan kursi ketua umum, ada
yang memberi ungkapan bahwa matahari baru mulai terbit di PD dan matahari lama
3 Fira Abdurrahman dan Yudi Wibowo, “Kubu Vence Rumangkang dan Subur Budhisantoso
Berdamai,” Liputan 6, 7 Februari 2005 [berita on-line]; tersedia di http://news.liputan6.com/; Internet;
diakses pada 20 November 2017. 4 Yon Machmudi, “Faksi-faksi Partai Demokrat Paska Kongres,” Publikasi Universitas
Indonesia, Juli 2010 [artikel online]; tersedia di
staff.ui.ac.id/system/files/users/machmudi/publication/faksidemokrat.doc; Internet; diunduh pada 24 November 2017.
62
akan tenggelam.5 Artinya, ada yang mencurigai bahwa Anas hendak menyingkirkan
SBY secara perlahan.
Kecurigaan terhadap Anas semakin meningkat ketika Anas merekrut kader-
kader muda dan kader-kader baru. Apa yang dilakukan Anas telah memunculkan rasa
tidak nyaman pada kader-kader lama. Hal ini secara jelas diungkapkan Anas kepada
penulis.
“... Tetapi tanpa disengaja Kongres Partai Demokrat 2010 kemudian menghasilkan
embrio faksi. Pada putaran kedua, Pak SBY merestui koalisi Marzuki Alie dan Andi
Mallarangeng. Secara politik koalisi ini di bawah arahan Pak SBY. Kemudian dalam
proses penyusunan pengurus DPP, saya banyak merekrut kader-kader muda dan kader-
kader baru. Mungkin ini memunculkan rasa tidak nyaman kader-kader lama. Dalam
Musda dan Muscab saya juga banyak merekrut kader-kader baru dan muda yang
datang dari latar belakang yang mencerminkan spirit Bhinneka Tunggal Ika, terutama
dari alumni-alumni Kelompok Cipayung dan aktivis pergerakan lainnya.”
Kecurigaan besar terhadap Anas diyakini oleh beberapa kalangan sebagai
bentuk kekecewaan Faksi SBY atas kekalahan Andi Mallarangeng yang merupakan
jagoannya. SBY dan pendukungnya tidak sepenuhnya menerima kekalahan tersebut
meskipun sebenarnya Anas telah merangkul kedua rivalnya masuk dalam jajaran
petinggi PD. Anas menempatkan Marzuki Alie dalam jajaran Dewan Pembina PD
atau lebih tepatnya sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina PD. Sementara Andi
Mallarangeng diposisikan sebagai Sekretaris Dewan Pembina PD.6 Akhirnya, suka
5 Wawancara dengan Anas Urbaningrum, Bandung, 9 November 2017.
6 Ali Wafa, “Dinamika Konflik Partai Demokrat Periode 2010-2015 Terhadap Pelaksanaan
Recall Anggota DPR RI (Studi atas Recall Gede Pasek Suardika),” (Skripsi S1 FISIP Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), 72.
63
tidak suka persaingan antar faksi terus berlanjut sehingga mengesankan adanya
balapan politik (political race).7
Kemunculan Faksi Anas dilatarbelakangi oleh gagasannya melembagakan PD
untuk mentransformasikan figur dan ketokohan SBY menjadi kekuatan yang
tercermin di dalam sistem internal. Karena ketergantungan tinggi terhadap figur SBY
akan berdampak buruk bagi masa depan partai. Selain itu, ketergantungan tersebut
juga dapat menghambat pemodernan partai.8 Gagasan ini kemudian mendapatkan
sambutan positif dari banyak kader yang kemudian memutuskan untuk berada dalam
barisan Anas. Namun, Anas membantah jika dirinya disebut ingin menyingkirkan
SBY seperti yang Anas ungkapkan kepada media di arena kongres:9
“Berpolitik itu ada ide dan nilai yang diperjuangkan. Tentu dasar kerja organisasi
adalah ide dan gagasan yang merupakan turunan ideologi dan manifesto partai
sehingga apa yang dijalankan adalah keyakinan politik. Figuritas dan ketokohan SBY
diperlukan oleh Demokrat. Bahkan, figur SBY akan dilembagakan dalam partai.
Misalnya, nilai ajaran SBY harus jadi pola pikir, sikap, dan perilaku kader Demokrat.
Bentuk agenda praktis politik gagasan itu pada kaderisasi, desentralisasi pengelolaan
partai, dan pembangunan jaringan politik yang luas. Intinya bagaimana Partai
Demokrat tampil sebagai partai tengah yang kuat, bersih, dan modern. Gagasan saya
adalah membawa Demokrat kuat secara institusi disertai kehadiran figur besar dalam
sosok SBY. Karena kurang cerdas kalau partai melepasnya. Yang harus dilakukan
adalah institusionalisasi figur SBY sehingga menyatu.”
Gagasan Anas seperti yang telah ditulis di atas mendapatkan penolakan dari
kader-kader PD yang menginginkan status quo. Artinya, kader-kader yang
menginginkan SBY tetap menjadi figur dominan dalam partai karena dipercaya
sebagai satu-satunya tokoh yang dapat memajukan serta menjaga keutuhan PD.
7 Burhanuddin Muhtadi, “Faksionalisasi Demokrat,” Harian Seputar Indonesia, 10 Juni 2011.
8 Wawancara dengan Anas Urbaningrum.
9 MT, “Anas Agendakan Pelembagaan SBY di Demokrat,” Viva News, 24 Mei 2010 [berita on-
line]; tersedia di http://www.viva.co.id/ Internet; diakses pada 24 November 2017.
64
Kader-kader yang menginginkan status quo juga menurut Firman Noor didasari oleh
pertimbangan terhadap usia PD. PD diibaratkan sebagai partai yang masih bayi,
sehingga apabila dilepaskan dari sapihan ibunya maka akan kacau.10
Pertimbangan
ini kemudian menyebabkan kepemimpinan Anas dianggap sebagai sebuah ancaman
bagi kehidupan PD.11
Perbedaan tajam antara Faksi SBY dan Faksi Anas berlanjut ke bulan-bulan
berikutnya. Hingga pada momentum tertentu gesekan antar faksi ini semakin panas
dengan terungkapnya kasus hukum M. Nazaruddin (Nazar) yang merupakan
Bendahara Umum PD. Kasus ini terungkap setelah sebelumnya KPK menangkap
Wafid Muharam (Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga), Direktur Marketing PT.
Duta Graha Indah (DGI) Mohammad El Idris dan mantan Direktur Marketing PT.
Anak Negeri, Mindo Rosalina Manulang pada 21 April 2011 di area gedung
Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) atas dugaan penyuapan dalam
proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Jakabaring Palembang.12
Setelah dugaan kasus suap tersebut, ternyata permasalahan semakin melebar.
Mahfud MD yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
melaporkan percobaan suap yang diduga dilakukan oleh Nazar kepada Sekretaris
Jenderal MK Djanedri M. Gaffar. Laporan tersebut disampaikan oleh Mahfud MD
kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Laporan Mahfud MD
10
Wawancara dengan Firman Noor, Ph.D., Jakarta, 22 November 2017. 11
Wawancara dengan Firman Noor, Ph.D. 12
Suryanto, ed., ”KPK Rekonstruksi Kasus Suap Sesmenpora,” Antara News, 17 Juni 2011
[berita on-line]; tersedia di https://www.antaranews.com/; Internet; diakses pada 2 Juli 2017.
65
menyebutkan bahwa Nazar memberikan uang senilai 120.000 Dollar Singapura
kepada Djanedri M. Gaffar.13
Laporan tersebut jelas semakin memperkeruh keadaan
dan semakin menjatuhkan reputasi Partai Demokrat di mata publik.
Kedua dugaan tersebut membuat PD melalui Dewan Kehormatan (DK)
memberhentikan Nazar dari jabatan bendahara umum partai pada 23 Mei 2011
setelah melakukan rapat beberapa kali. Rapat ini diwarnai perbedaan sikap di
kalangan elite partai yang menunjukkan adanya faksionalisasi yang tajam karena
Nazar sering diasosiasikan sebagai gerbong Anas. Sehingga, sikap yang ditunjukkan
Anas disebut sebagai upaya menyelamatkan anggota faksinya. Sementara faksi
lainnya yaitu Faksi Andi Mallarangeng (AM) yang merupakan turunan dari Faksi
SBY menginginkan pemberian sanksi organisasi yang maksimal kepada Nazar.14
Berdasarkan hasil wawancara dengan Anas, Anas membenarkan bahwa Nazar
adalah tim kampanye Anas saat Kongres II Partai Demokrat di Bandung. Anas juga
membenarkan bahwa Anas menjadi satu-satunya jajaran DK yang tidak menyetujui
keputusan SBY untuk memberhentikan Nazar. Penjelasan Anas kepada penulis dapat
dilihat di bawah ini:15
“... Saat itu kalau saya tidak salah ingat, DK mengadakan rapat 3 kali. Pada rapat
pertama, SBY bilang kalau PD harus memberhentikan Nazaruddin dari jabatannya
sebagai bendahara umum. Saya tanya, “Apa alasannya?” Kemudian SBY katakan
alasannya adalah etika. Etika yang dimaksud yaitu etika Partai Demokrat sebagai partai
yang bersih, cerdas, dan santun. Padahal kan ketika itu status Nazaruddin masih
sebagai saksi, bukan tersangka. Jika kita melihat ke belakang pada kasus Jhonny Allen
13
Asy dan Nrl, ”Pemberian Uang Nazaruddin ke Sekjen MK Suap atau Gratifiksi,” Detik News,
20 Mei 2011 [berita on-line]; tersedia di https://news.detik.com/; Internet; diakses pada 3 Juli 2017. 14
Dodi Ambardi, “Korupsi, Faksionalisme, dan Prospek Elektoral Demokrat,” Tempo, 5 Juni
2011, 38-39. 15
Wawancara dengan Anas Urbaningrum.
66
Marbun misalnya. Saat itu kan dia sedang tersandung kasus suap tapi memang belum
berstatus sebagai tersangka, tapi dia dipilih jadi wakil ketua umum partai. Kasusnya
juga berlanjut hingga kini. Tetapi ketika itu DK dan DPP katakan menerapkan asas
praduga tak bersalah. Kalau status sudah meningkat sebagai tersangka baru diproses
lebih lanjut. Sementara Nazaruddin langsung diproses oleh DK dan langsung ingin
diberhentikan malah. Kemudian pada rapat kedua saya katakan lebih baik jangan
diberhentikan. Saya akan menyuruh Nazaruddin untuk mengundurkan diri. Nah setelah
rapat kedua selesai, saya menghubungi Nazaruddin meminta dia untuk mengundurkan
diri dari jabatannya dan saat itu Nazaruddin mengiyakan. Akhirnya pada rapat ketiga
Nazaruddin dihadirkan dalam rapat. Dalam rapat itu SBY menanyakan kepada
Nazaruddin apakah siap untuk mengundurkan diri? Eh ternyata jawaban nazaruddin
beda sama yang dia ucapkan pada saya. Dia bilang tidak bersedia di dalam forum.
Yasudah akhirnya Nazaruddin diberhentikan oleh DK saat itu juga. Kemudian surat
pemberhentiannya diterbitkan beberapa hari setelah rapat terakhir.”
Ketidaksetujuan Anas terhadap putusan yang ditetapkan oleh SBY nyatanya
tidak mampu mengubah putusan tersebut. Pencopotan Nazar dari jabatan bendahara
umum tetap dilaksanakan karena kasus hukum yang melibatkan Nazar dianggap telah
membebani PD. Amir Syamsuddin selaku Sekretaris Dewan Kehormatan Partai
Demokrat mengumumkan pernyataan 4 sikap yang berkaitan dengan kasus Nazar.
Keempat sikap itu di antaranya:16
1. Laporan masyarakat dan pemberitaan miring terkait M. Nazaruddin telah
menempatkan Partai Demokrat pada posisi yang tidak menguntungkan juga
menghambat tugas-tugas bendahara umum.
2. Apabila yang bersangkutan yaitu M. Nazaruddin masih menjabat sebagai
bendahara umum partai, maka hal tersebut menjadi kurang baik bagi yang
bersangkutan maupun Partai Demokrat. Mengingat jabatan yang diemban
16
Aldi Gultom, “Sah, Demokrat Pecat Nazaruddin,” Rmol, 23 Mei 2011 [berita on-line];
tersedia di http://www.rmol.co/; Internet; diakses pada 3 Juli 2017.
67
berkaitan dengan uang dan anggaran dan pada prinsipnya jabatan tersebut juga
berkaitan dengan kasus hukum dan etika politik yang sedang dihadapi.
3. Nama baik dan citra partai akan terhindar dari fitnah jika yang bersangkutan
tidak lagi menjabat sebagai bendahara umum. Dan yang bersangkutan juga bisa
memfokuskan perhatiannya terhadap masalah hukum yang sedang dihadapi.
4. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Dewan Kehormatan mengambil putusan
untuk memberhentikan M. Nazaruddin dari jabatan bendahara umum Partai
Demokrat periode 2010-2015.
Pasca kejadian pencopotan jabatan tersebut, status hukum Nazar meningkat
menjadi tersangka pada 30 Juni 2011. Hal ini disampaikan oleh Busyro Muqoddas
(Ketua KPK) melalui pesan singkat. Sebelum statusnya meningkat menjadi
tersangka, Nazar berstatus sebagai saksi dan telah dipanggil oleh KPK sebanyak 3
kali untuk dilakukan pemeriksaan. Namun, Nazar mangkir dari panggilan tersebut
dan diketahui berada di Singapura dengan alasan untuk melakukan pengobatan.17
Setelah keberangkatan Nazar ke Singapura, esoknya imigrasi menerbitkan Surat
Cegah Tangkal (Cekal). Namun, Nazar terlanjur pergi dan ditetapkan menjadi
buronan internasional. Dari tempat persembunyiannya, Nazar gencar melakukan
serangan-serangan dengan mengancam akan membongkar kebusukan PD dan DPR.
Kala itu PD tidak tinggal diam, pengurus partai melakukan upaya agar Nazar segera
kembali ke Indonesia untuk mengikuti proses hukum dengan cara mengirimkan Surat
17
______,”KPK Tetapkan Nazaruddin Tersangka,” Kompas, 30 Juni 2011 [berita on-line];
tersedia di http://nasional.kompas.com/; Internet; diakses pada 10 Juli 2017.
68
Peringatan (SP) sebanyak 3 kali kepada Nazar. Prosedur ini dilaksanakan sesuai
dengan aturan yang tercantum dalam ART partai.
Selain menjalankan prosedur pemberhentian Nazar, PD juga mengadakan Rapat
Koordinasi Nasional (Rakornas). Rakornas dilaksanakan pada 23-24 Juli 2011 di
Sentul International Convention Centre (SICC) Bogor. Agenda Rakornas saat itu
untuk melakukan konsolidasi dan pembersihan kader-kader yang bermasalah.
Rakornas tersebut menghasilkan 10 Komitmen Sentul, di antaranya:18
1. Partai Demokrat harus meneguhkan jati diri sebagai partai tengah, nasionalis,
religius, reformis, dan memegang etika politik bersih, cerdas, dan santun.
2. Partai Demokrat harus terus konsentrasi melakukan konsolidasi internal secara
paripurna, memperkuat solidaritas batin, serta memperkuat kelembagaan dan
perjuangan partai.
3. Partai Demokrat harus terus melakukan koreksi, perbaikan, dan penyempurnaan
atas berbagai kekurangan yang ada, serta bekerja keras membangun Partai
Demokrat sebagai partai yang modern, kuat, dan dicintai rakyat.
4. Partai Demokrat harus memperkuat kaderisasi sebagai mata air sumber daya
manusia yang berkualitas yang bisa bergerak untuk kemajuan partai, kemajuan
bangsa, dan kesejahteraan rakyat.
18
______, ”Rakornas Hasilkan 10 Komitmen Sentul,” Kompas, 24 Juli 2011 [berita on-line];
tersedia di http://nasional.kompas.com/; Internet; diakses pada 2 Agustus 2017.
69
5. Partai Demokrat harus semakin meningkatkan keberhasilan dalam pemilukada
demi pengabdian yang lebih nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di
daerah.
6. Partai Demokrat harus terus meningkatkan pengelolaan partai sesuai dengan
prinsip pengelolaan partai yang modern berdasarkan hasil kongres di Bandung.
7. Partai Demokrat harus semakin mampu menjalankan komunikasi yang cerdas
dan menampung aspirasi rakyat.
8. Partai Demokrat harus menegakkan disiplin kader dan sinergi kerja seluruh
kader.
9. Para kader Partai Demokrat yang bertugas di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota harus semakin mampu menjalankan tugas di parlemen dan
daerah pemilihan untuk mengurus konstituennya.
10. Para kader Partai Demokrat harus konsisten dan disiplin menjalankan fungsi
partai yang mendukung pemerintahan, baik pusat maupun daerah.
Setelah Rakornas berakhir, keesokan harinya yaitu 25 Juli 2011 DPP Partai
Demokrat menerbitkan Surat Keputusan pemberhentian Nazar yang ditandatangani
oleh Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Sekretaris Jenderal Edhie
Baskoro Yudhoyono. Melalui SK yang diterbitkan tersebut maka Nazar sah secara de
jure diberhentikan dari kepengurusan DPP Partai Demokrat sekaligus dari
keanggotaan Partai Demokrat. Maka demikian, beban moral PD telah berkurang.
70
Dua minggu berselang, tepatnya pada 7 Agustus 2011 Nazar berhasil ditangkap
oleh polisi lokal di Cartagena, Kolombia.19
Nazar berada di Kolombia dengan
menggunakan paspor bernama M. Syahruddin.20
Penangkapan ini merupakan hasil
kerjasama antara Interpol, POLRI, KPK, Imigrasi, Kementerian Luar Negeri dan
Kementerian Hukum dan HAM. Setelah berhasil ditangkap, akhirnya Nazar tiba di
Indonesia pada 13 Agustus 2011 dan kemudian mengikuti proses hukum di Indonesia
hingga saat ini.21
Kepulangan Nazar dari tempat persembunyiannya membuat suasana politik
tanah air semakin panas. Serangan yang Nazar lakukan semakin tidak terkendali.
Beberapa nama petinggi PD disebut juga menerima aliran dana korupsi, dan salah
satunya nama Anas Urbaningrum dituding tersangkut kasus Pembangunan Pusat
Pendidikan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Kabupaten
Bogor. Menurut Anas, sejak Nazar diberhentikan dari jabatannya, sejak itulah Nazar
dibina untuk menyerang Anas. Kasus ini diolah sedemikian rupa untuk delegitimasi
kepemimpinan Anas dan kemudian diskenario lebih lanjut untuk mengkudeta.
Akhirnya, kudeta itu berhasil lewat proses hukum yang dipaksakan di Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).22
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh I Gede
Pasek Suardika seperti dikutip oleh Ali Wafa bahwa kasus Anas merupakan satu-
19
Djibril Muhammad, ”Nazaruddin Ditangkap Saat Lagi Nongkrong di Pasar Loak Kolombia,”
Republika, 8 Agustus 2011 [berita on-line]; tersedia di http://nasional.republika.co.id/; Internet;
diakses pada 18 Juli 2017. 20
______,”Nazaruddin Ditangkap di Kolombia,” Kompas, 8 Agustus 2011 [berita on-line];
tersedia di http://nasional.kompas.com/; Internet; diakses pada 2 Agustus 2017. 21
______,”Muhammad Nazaruddin Tiba di Jakarta,” BBC News Indonesia, 13 Agustus 2011
[berita on-line]; tersedia dihttp://www.bbc.com/indonesia/; Internet; diakses pada 6 Agustus 2017. 22
Wawancara dengan Anas Urbaningrum.
71
satunya kasus yang ditambahkan sprindik (surat perintah penyidikan) nya. Hal
tersebut dianggap sebagai upaya menjatuhkan Anas agar tidak lagi punya pengaruh
dalam proses pencalegan.23
Keterangan yang disampaikan oleh I Gede Pasek Suardika semakin
mempertegas adanya persaingan antar faksi intra-partai. Selain kudeta yang
dipaksakan melalui KPK, SBY juga membuat Pakta Integritas24
yang menurutnya
merupakan salah satu upaya penyelamatan partai. Sementara menurut Anas, hal
tersebut sengaja didesain untuk mendepak Anas dari jabatannya sebagai ketua umum.
Sebab, setelah Anas berhasil didepak, nyatanya Pakta Integritas tersebut tidak
diberlakukan bagi kader-kader lain.25
Pakta Integritas ini disahkan pada 10 Februari
2013, tepat 12 hari sebelum Anas ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Februari
2013. Berikut 10 butir Pakta Integritas Partai Demokrat:26
1. Akan senantiasa menjaga kinerja dan integritas untuk mensejahterakan
masyarakat, bangsa, dan negara serta senantiasa menjaga nama baik Partai
Demokrat dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Saya akan terus
menjunjung tinggi prinsip dan moral politik partai, serta jati diri kader Partai
Demokrat yang bersih, cerdas, dan santun.
23
Ali Wafa, “Dinamika Partai Demokrat”,73-74. 24
Pakta Integritas merupakan pernyataan tertulis yang berisi penegasan bahwa pengambilan
keputusan senantiasa berdasarkan prinsip kemandirian (independency), penuh kehati-hatian (duty of
care and loyalty), profesional dan berdasarkan kepada kepentingan lembaga semata (prudent person
role), bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest), dan mematuhi ketentuan dan peraturan
yang berlaku (duly abiding laws). 25
Wawancara dengan Anas Urbaningrum. 26
Didik Pambudi, “Sepuluh Butir Pakta Integritas Kader Partai Demokrat,” Laman Resmi
Partai Demokrat, 11 Februari 2013 [berita on-line]; tersedia di www.demokrat.or.id/; Internet; diakses
pada 27 November 2017.
72
2. Dalam menjalankan tugas dan pengabdian saya, utamanya dalam melayani,
mensejahterakan dan melayani masyarakat, saya akan senantiasa adil dan
bekerja untuk semua dan tidak akan pernah menjalankan kebijakan yang
diskriminatif oleh perbedaan agama, etnik, suku, gender, daerah posisi politik,
dan perbedaan identitas yang lain.
3. Sesuai dengan ideologi manifesto politik dan platform Partai Demokrat dengan
sungguh-sungguh saya akan terus menjalankan dan memperkuat persatuan
harmoni dan toleransi dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk
berdasarkan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
4. Demi terciptanya rasa keadilan dan semangat pembangunan untuk semua, saya
akan bekerja sangat keras untuk meningkatkan taraf hidup rakyat yang miskin,
tertinggal dan belum sejahtera melalui berbagai kebijakan program aksi dan
langkah yang nyata. Semua program pro-rakyat yang dijalankan pemerintah
selama ini akan tetap saya pertahankan dan akan ditingkatkan di masa
mendatang.
5. Sebagai kader Partai Demokrat, saya akan senantiasa patuh dan taat kepada
konstitusi, hukum, dan segala peraturan yang berlaku. Sebagai cerminan dan
perilaku saya sebagai bangsa yang baik, serta patuh dan taat kepada kode etik
Partai Demokrat sebagai kode etik partai yang amanah dan bertanggungjawab.
6. Sebagai kader Partai Demokrat yang kini sedang mengemban tugas di
eksekutif, legislatif, pusat dan daerah, saya akan memegang teguh moral dan
73
etika profesi dan menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik atau good
governance, yaitu pemerintahan yang bersih dari korupsi, yang capable, yang
responsif serta yang bekerja sekuat tenaga untuk kepentingan masyarakat,
bangsa, dan negara.
7. Sebagai pejabat publik saya akan mencegah dan menghindarkan diri dari
perbuatan korupsi termasuk suap yang melawan hukum dan merugikan negara,
serta dari narkoba, asusila, dan pelanggaran berat lainnya. Dalam hal saya
ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa, dan terpidana maka sesuai dengan kode
etik Partai Demokrat yang telah disahkan pada tanggal 24 Juli 2011, maka saya
akan menerima sanksi sesuai ketentuan partai yang telah ditetapkan oleh
Dewan Kehormatan Partai Demokrat.
8. Dalam hal saya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi atau
terpidana dalam kejahatan yang berat yang lain, saya bersedia mengundurkan
diri dari jabatan saya di jajaran Partai Demokrat atau siap menerima sanksi dari
jajaran kepartaian saya oleh Dewan Kehormatan Partai Demokrat.
9. Sebagai warga negara dan pejabat publik yang taat hukum dan aturan serta
sebagai bentuk dukungan saya terhadap gerakan pencegahan dan
pemberantasan korupsi, saya bersedia menyerahkan data harta kekayaan saya
kepada Dewan Kehormatan Partai beserta NPWP saya.
10. Khusus mengenai sering terjadinya korupsi dan penyimpangan dalam
perencanaan dan pelaksanaan APBN dan APBD, maka saya yang bertugas
74
sebagai pejabat eksekutif atau legislatif berjanji tidak akan melakukan
pelanggaran dan penyimpangan dalam APBN dan APBD ini.
Pasca pengesahan Pakta Integritas tersebut akhirnya Anas berhenti dari
keanggotaan Partai Demokrat pada 23 Februari 2013. Hal ini disampaikan oleh Anas
kepada penulis:27
“... Oh ya satu lagi tentang Pakta Integritas. Sebenarnya saya kalau ingin melawan
SBY melalui jalur politik saya bisa melawan. Karena sebenarnya yang dapat
menurunkan saya dari jabatan ketua umum kan kongres, karena saya dipilih melalui
kongres. Tapi karena saya punya moral, makanya saya memutuskan untuk berhenti
dari keanggotaan Partai Demokrat, karena itu adalah standar etik yang saya pegang.”
Langkah yang dilakukan oleh Anas dengan menyatakan berhenti dari keanggotaan
PD menjadi antiklimaks dari pertarungan sengit antara Faksi Anas dengan Faksi
SBY. Anas bersama para loyalisnya kemudian mendirikan organisasi masyarakat
(ormas) yang diberi nama Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI). Ormas ini
dideklarasikan di Jakarta pada 15 September 2013. Kader Partai Demokrat yang ikut
membidani kelahiran ormas ini di antaranya I Gede Pasek Suardika, Saan Mustofa,
dan Ma’mun Murod Al-Barbasy. Berdirinya ormas ini menandakan bahwa Anas jelas
memiliki kekuatan dalam Partai Demokrat.
B. Relasi Pelembagaan Partai Demokrat dengan Faksi Intra-Partai
Bab sebelumnya telah menjelaskan relasi antara Partai Demokrat (PD) dengan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yaitu relasi yang saling menguntungkan. Relasi
saling menguntungkan ini tanpa disadari menimbulkan persoalan baru dalam PD.
Karakter PD sebagai partai personalistik mencirikan bahwa partai ini tidak
27
Wawancara dengan Anas Urbaningrum.
75
terlembaga dengan baik, khususnya dalam dimensi kesisteman. Lebih jelas lagi,
terlembaga atau tidaknya suatu partai politik menurut Vicky Randall dan Lars
Svasand dapat dinilai melalui 4 parameter yaitu derajat kesisteman yang merupakan
hasil dari persilangan antara aspek internal dengan struktural, derajat identitas nilai
sebagai persilangan antara aspek internal dengan kultural, derajat otonomi partai yang
merupakan persilangan aspek eksternal dengan struktural, dan derajat pengetahuan
publik sebagai hasil persilangan dari aspek eksternal dengan kultural.28
Derajat kesisteman suatu partai menurut Randall dan Svasand seperti telah
dijelaskan pada bab sebelumnya bervariasi menurut:29
1. Cara partai tumbuh dan berkembang. Cara pendirian partai termasuk juga di
dalamnya asal-usul atau metode genetiknya;
2. Sumber daya relevan terutama pendanaan partai;
3. Siapa yang lebih menentukan dalam partai apakah pemimpin personal yang
disegani oleh anggota partai atau kedaulatan anggota yang dilaksanakan
menurut mekanisme organisasi;
4. Bagaimana partai menjaga hubungan dengan anggotanya yaitu apakah dengan
dengan klientelisme/patronase atau menurut konstitusi partai (AD/ART).
Karakter PD sebagai partai personalistik selain memberikan dampak negatif
berupa tidak terlembaganya partai itu sendiri, namun juga sekaligus memberikan
28
Vicky Randall dan Lars Svasand, “Party Institutionalization in New Democracies,” Party
Politics 8 (2002): 13. 29
Ramlan Surbakti, “Tingkat Pelembagaan Partai Politik”, Harian Kompas, 6 Januari 2003
[artikel on-line]; tersedia di http://unisosdem.org; Internet; diakses pada 13 Juli 2017.
76
dampak positif. Dampak positif yang diperoleh antara lain seruncing apapun friksi
yang terjadi di dalam partai tidak akan membuat PD mengalami perpecahan seperti
yang dialami Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Persatuan Pembangunan
(PPP). Sebab, nasib PD pada akhirnya ditentukan oleh SBY. Partai Golkar seperti
diketahui bersama pasca Musyawarah Nasional (Munas) Tahun 2014, mengalami
fragmentasi antara Kubu Aburizal Bakrie dengan Kubu Agung Laksono. Keduanya
sama-sama mengadakan Munas dan mengklaim Munas yang dilaksanakan oleh
masing-masing mereka adalah yang sah. Konflik internal Partai Golkar bergulir
selama kurang lebih 1,5 tahun hingga akhirnya pada April 2016 Partai Golkar
mengadakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). Munaslub ini
menetapkan Setya Novanto sebagai ketua umum terpilih. Konflik internal Partai
Golkar terjadi dikarenakan tidak berjalannya manajemen konflik dan tidak ada lagi
veto player dalam partai ini sejak memutuskan untuk menjadi partai politik pada
tahun 1998 (karena sebelumnya Golkar enggan disebut sebagai partai politik). Partai
ini berusaha untuk menjadi partai yang mandiri dan demokratis tanpa adanya
intervensi dari pihak manapun.30
PPP telah mengalami fragmentasi lebih dulu, yaitu saat menjelang pemilihan
presiden tahun 2014. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pendapat terkait penetapan
arus koalisi antara Suryadharma Ali (ketua umum) yang kemudian digantikan oleh
Djan Faridz dengan M. Romahurmuziy (sekretaris jenderal). Kedua faksi ini sama-
30
Ibnu Ahmad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical
Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik (Jakarta: Granit, 2004), 99.
77
sama mengadakan muktamar dan mengklaim bahwa hasil dari muktamar yang
masing-masing mereka laksanakan adalah hasil yang sah, karena sesuai dengan
konstitusi partai yang berlaku. Fragmentasi yang dialami PPP selama tahun 2014-
2017 merupakan yang terparah dalam sejarahnya. Fragmentasi berkepanjangan ini
menurut Firman Noor disebabkan oleh kepemimpinan yang lemah, ikatan ideologi
yang lemah, serta faktor eksternal lainnya seperti pemerintah dan mitra koalisi yang
berkepentingan.31
Berbeda dengan Partai Golkar dan PPP, PD yang masih bergantung
kepada figur SBY dimungkinkan tidak akan mengalami hal serupa, namun hal ini
tetap akan memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan PD, sebab akan
menghambat upaya pelembagaan dan pemodernan partai.
Ketergantungan PD terhadap figur SBY dianggap oleh beberapa kader sebagai
hal yang tidak sehat. Ketergantungan ini menyebabkan PD tidak mandiri dalam
menjalankan organisasinya. Kondisi tersebut akan menghambat proses transformasi
PD untuk menjadi partai yang modern.32 Maka, demi mencapai cita-cita tersebut Anas
Urbaningrum bersama kader-kader lainnya yang memiliki kesamaan visi bergabung
dan kemudian mencalonkan Anas sebagai ketua umum dalam Kongres II Partai
Demokrat Tahun 2010 di Bandung. Sekelompok kader ini dapat dikategorikan
sebagai faksi, yaitu kelompok atau pengelompokan dalam partai yang didasari oleh
31
Firman Noor, “Leadership and Ideological Bond: PPP and Internal Fragmentation in
Indonesia,” Studia Islamika 23 (2016): 61-63. 32
Wawancara dengan Anas Urbaningrum.
78
persamaan identitas dan persamaan tujuan para anggotanya sebagai suatu blok yang
berbeda di dalam partai untuk meraih tujuan secara kolektif.33
1. Penyebab Kemunculan Faksi Anas Urbaningrum
Kemunculan Faksi Anas apabila kita merujuk pada teori yang diungkapkan
Raphael Zariski seperti dikutip oleh Frank P. Belloni dan Dennis C. Beller
disebabkan oleh nilai bersama (shared values), strategi bersama (shared strategies),
dan loyalitas pribadi (personal loyalties) terhadap Anas Urbaningrum.34
Nilai bersama (shared values). Nilai yang dibawa oleh Anas Urbaningrum yaitu
“institusionalisasi Partai Demokrat untuk mentransformasikan figur dan ketokohan
SBY menjadi kekuatan yang tercermin di dalam sistem internal”.35
Nilai ini yang
kemudian membuat Faksi Anas saat itu menjadi besar. Kekuatan inti dan tulang
punggung yang memperkuat Faksi Anas menurut banyak kalangan adalah gerbong
HMI dan mantan aktivis 1998.36
Nilai ini disebarkan dengan cara menyambangi jaringan partai di seantero
negeri. Terlebih pada periode kepengurusan 2005-2010 Anas didaulat menjadi Ketua
Divisi Otonomi Politik dan Daerah DPP Partai Demokrat. Anas menuturkan kepada
penulis bahwa Anas selalu disertakan dalam berbagai kunjungan yang dilakukan oleh
Ketua Umum Hadi Utomo. Keikutsertaan Anas dalam setiap agenda ketua umum
33
Kim Eric Bettcher, “Factions of Interest in Japan and Italy: The Organizational and
Motivational Dimensions of Factionalism,” Party Politics 11 (2005): 340. 34
Frank P. Belloni dan Dennis C. Beller, ed., Faction Politics: Political Parties and
Factionalism in Comparative Perspective (Santa Barbara: ABC Clio Press, 1978), 10. 35
Wawancara dengan Anas Urbaningrum. 36
Machmudi, “Faksi-faksi Partai Demokrat”.
79
baik di dalam maupun luar negeri dikarenakan Anas merupakan orang kepercayaan
Hadi Utomo untuk menulis atau mempersiapkan naskah pidato sang ketua umum.
Bahkan menurut Anas, alasan tersebut yang membuatnya mendapatkan permintaan
dari SBY untuk bergabung dalam Partai Demokrat.37
Karena hal inilah kemudian
Anas dikenal oleh seluruh pengurus partai di tingkat daerah. Selain itu, popularitas
Anas sebagai mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa (PB
HMI) yang juga memiliki jaringan di seantero negeri semakin memperkuat
jaringannya.
Strategi bersama (shared strategies). Strategi merupakan tahap lanjutan setelah
merumuskan tujuan. Strategi adalah perencanaan untuk mensukseskan tujuan.
Strategi Faksi Anas untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan yaitu dengan cara
mencalonkan Anas sebagai ketua umum Partai Demokrat Periode 2010-2015. Proses
pencalonan Anas untuk menjadi ketua umum diwarnai dengan kegaduhan di tataran
elite partai. Langkah Anas untuk maju sebagai ketua umum selalu dihambat oleh
SBY. Upaya-upaya yang dilakukan untuk menghambat Anas seperti yang
diungkapkan oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy di antaranya tiga hari menjelang
keberangkatan Anas ke lokasi kongres, Anas dipanggil oleh SBY ke Wisma Negara.
SBY saat itu meminta Anas untuk mundur sebagi calon ketua umum dan
menjanjikannya jabatan sekretaris jenderal dengan catatan Anas mendukung total
pencalonan Andi Mallarangeng. Akan tetapi Anas dengan santun menolak
permintaan tersebut. Tidak berhenti sampai di situ, SBY meminta bantuan para
37
Wawancara dengan Anas Urbaningrum.
80
menteri untuk merayu Anas agar mundur dari pencalonannya. Menteri-menteri itu di
antaranya Djoko Suyanto, Syarifuddin Hasan, Jero Wacik, E.E. Mangindaan, dan
Sudi Silalahi.38
Selain upaya-upaya penghambatan yang dilakukan secara langsung oleh SBY
kepada Anas, klaim kandidat lain terkait masalah dukungan Keluarga Cikeas juga
dinilai sebagai upaya untuk menghambat langkah Anas. Klaim dukungan Keluarga
Cikeas menurut para pendukung Anas merupakan tragedi yang dikhawatirkan akan
membunuh persemaian demokrasi kepartaian khususnya Partai Demokrat. Hal ini
disampaikan oleh Sahabat Anas Urbaningrum (SAU) melalui surat terbuka kepada
SBY di Hotel Sultan Jakarta.39
Surat terbuka yang dibuat oleh Sahabat Anas Urbaningrum setidaknya
menunjukkan kepada publik bahwa kelompok ini geram dengan perilaku SBY dan
para pengikutnya, meskipun unek-unek ini disampaikan dengan bahasa yang sangat
santun. Selain itu, kelompok ini juga sekaligus menyuarakan pendapat dan
harapannya agar SBY bisa lebih serius dalam menjalankan komitmennya untuk
mentransformasikan Partai Demokrat menjadi partai yang modern.
Upaya penghambatan terhadap Anas yang hendak maju sebagai kandidat calon
ketua umum Partai Demokrat Periode 2010-2015 ternyata gagal. Anas tetap maju
menjadi calon ketua umum dalam Kongres II Partai Demokrat di Bandung. Telah
dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa Kongres II Partai Demokrat di Bandung
38
Ma’mun Murod Al-Barbasy, Anas Urbaningrum dalam Sorotan Status Facebook Tumbal
Politik Cikeas (Jakarta: Pijar Ilmu, 2013), 35-36. 39
Dapat dilihat di lampiran.
81
dilaksanakan sebanyak dua kali putaran. Pada putaran pertama, Andi Mallarangeng
tersingkir dengan hanya meraih 82 suara, Marzuki Alie meraih 209 suara, sementara
Anas unggul dengan memperoleh 236 suara. Pada putaran kedua, Anas berhasil
mengungguli Marzuki Alie dengan meraih 280 suara (53 persen) dan Marzuki Alie
hanya memperoleh 248 suara (48 persen).40
Anas sempat memberikan orasi di hadapan ketua Dewan Pimpinan Daerah
(DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) sebelum pemilihan berlangsung di arena
kongres. Isi orasi tersebut cukup mempertegas perbedaan antara Faksi Anas dengan
kelompok lainnya. Isi orasi Anas dapat dilihat di bawah ini:41
“Hari ini kita sudah melewati satu etape yang penting. Kongres sudah melampaui
tahapan di mana kita diajarkan memilih pemungutan suara secara demokratis. Itulah
yang akan menjadi landasan agar tahapan-tahapan selanjutnya juga dijalankan dengan
prinsip-prinsip demokrasi. Etape tadi menggambarkan bahwa aspirasi kita, jalan
pikiran kita, visi kita mendapatkan sambutan, mendapatkan respons, mendapatkan
penerimaan yang jauh lebih besar dari aspirasi yang lain. Karena itu kesempatan kita
bersama untuk mengukir sejarah bagi masa depan Partai Demokrat makin terbuka. Ini
sejarah kita, ini cita-cita kita, ini visi kolektif kita, inilah yang secara bersama-sama
kita perjuangkan dengan sungguh-sungguh di dalam kongres kedua Partai Demokrat.
Karena itu saya mengajak kita semua. Mari kita lanjutkan perjuangan kita pada etape-
etape selanjutnya. Sehingga betul-betul kongres kedua di Bandung ini akan menjadi
sejarah yang terbaik bagi perjalanan Partai Demokrat. Waktu-waktu ke depan ini, jam-
jam ke depan ini adalah saat-saat yang menentukan. Kita tidak punya spirit untuk
menjegal yang lain tetapi kita juga tidak ingin dijegal oleh yang lain. Kita jauhkan
semangat jegal-menjegal. Kita hormati kandidat yang lain sebagai saudara kita tapi kita
juga meminta kandidat yang lain juga menghormati eksistensi kita. Saya berpesan
dengan sungguh-sungguh pada saudara-saudaraku sekalian, sahabat sahabat agar spirit
yang tadi saya sebutkan kita laksanakan sungguh-sungguh di dalam forum, di dalam
etape, di dalam tahapan-tahapan selanjutnya. Jangan kita menjegal yang lain tapi kita
tidak boleh dijegal oleh yang lain. Kita antisipasi dengan baik, kita antisipasi dengan
sungguh-sungguh sehingga kompetisi kongres ini betul-betul kompetisi yang fair,
kompetisi yang tertib dan demokratis dan hasilnya insya Allah jika kongres berjalan
40
Al-Barbasy, Anas Urbaningrum, 23. 41
Press Talk TV, “Orasi Anas Urbaningrum menjelang Pemilihan di Hadapan Ketua DPD dan
DPC PD,” 22 Mei 2010 [video]; tersedia di https://www.youtube.com/watch?v=0x5m-2kqvFw&t=14s;
Internet; diunduh pada 24 Oktober 2017.
82
free and fair yakinlah kitalah yang akan ditakdirkan untuk. Sekali lagi mari kita
lanjutkan perjuangan. Waktunya sudah tiba, saatnya telah tiba bagi kita untuk
membuktian pada sejarah Partai Demokrat dan sejarah politik di republik ini bahwa
kita bisa mewujudkan cita-cita terbaik bagi masa depan Partai Demokrat.”
Berdasarkan isi orasi Anas, terlihat jelas perbedaan antara Faksi Anas dengan
kelompok lainnya. Faksi Anas ingin pemilihan ketua umum berjalan secara
demokratis yaitu dengan pemilihan langsung sementara kelompok lainnya
menginginkan mekanisme lain yang tidak demokratis. Upaya penghambatan terhadap
Anas tetap dilakukan ketika kongres berlangsung. Akan tetapi, Faksi Anas akhirnya
berhasil memenangkan kontestasi. Tahapan ini menjadi keberhasilan pertama strategi
Faksi Anas untuk mewujudkan Partai Demokrat sesuai dengan kepentingannya yaitu
menjadi partai yang modern.
Loyalitas personal (personal loyalties). Anas Urbaningrum dikenal sebagai
seorang organisatoris yang handal. Pengalaman selama 9 tahun di HMI telah
menempa Anas menjadi pribadi yang matang. Hal ini terbukti dari hasil survei yang
dirilis oleh CIRUS Surveyors Group dalam sebuah media cetak online. Survei ini
dilakukan menjelang Kongres II Partai Demokrat terkait kepemimpinan 3 kandidat
calon ketua umum Partai Demokrat. Survei tersebut menunjukkan bahwa dari 11
dimensi kualifikasi karakter kepemimpinan yang ditanyakan kepada 150 opinion
leader di 15 provinsi, Anas unggul pada 10 dimensi kecuali pada dimensi
penampilan. Anas unggul dalam dimensi visioner, intelektualitas, jiwa
kepemimpinan, gaya kepemimpinan demokratis, keterampilan politik, keterampilan
komunikasi politik, stabilitas emosi, religiusitas, nasionalisme, dan dimensi integritas
83
moral.42
Memiliki modal yang demikian besar, tentu bukan hal yang sulit bagi Anas
untuk membangun loyalitas para kader terhadap dirinya.
Loyalis Anas berasal dari berbagai latar belakang, terutama aktivis-aktivis
tahun 1998. Seperti telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya bahwa loyalis Anas
yang juga termasuk tulang punggung dalam kepengurusan Anas Urbaningrum di
Partai Demokrat adalah alumni-alumni HMI. Loyalis-loyalis Anas yang sangat
terlihat di permukaan di antaranya I Gede Pasek Suardika, Ma’mun Murod Al-
Barbasy, dan Saan Mustofa. Ketiga loyalis ini diketahui memiliki sikap yang cukup
keras, karena loyalitasnya terhadap Anas sangat tinggi. Ketiga loyalis ini juga
akhirnya memutuskan untuk keluar dari Partai Demokrat setelah Anas ditetapkan
sebagai tersangka, meskipun tidak bersamaan. Diketahui Saan Mustofa yang terakhir
keluar dari Partai Demokrat, padahal Saan ketika itu sedang menjabat sebagai Wakil
Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Periode 2015-2020. Sikap ketiga loyalis ini
merupakan bukti dari tingginya loyalitas personal yang dimiliki kader Partai
Demokrat terhadap Anas Urbaningrum.
2. Tipologi Faksi Anas Urbaningrum
Faksionalisasi yang terjadi dalam Partai Demokrat sejak Kongres II di Bandung
merupakan tantangan terbuka bagi manajemen partai. Apabila tidak dikelola dengan
baik, maka faksionalisasi ini akan merusak partai politk. Apalagi faksionalisasi yang
sering terjadi dalam partai politik di Indonesia umumnya terjadi karena perebutan
42
Ruslan Burhani, ed., “Survei: Anas Urbaningrum Paling Miliki Jiwa Kepemimpinan,” Antara
News, 9 Mei 2010 [berita on-line]; tersedia di https://www.antaranews.com/; Internet; diakses pada 30
November 2017.
84
akses terhadap patronase bukan kebijakan, tidak terkecuali dalam kasus Partai
Demokrat.43
Loyalitas yang dibangun dalam setiap diri kader bukan loyalitas
terhadap partai melainkan loyalitas personal. Sehingga, faksionalisasi ini jelas akan
menghambat usaha pemodernan partai. Lebih jauh lagi, Partai Demokrat akan
mengalami kegamangan dalam penstrukturan adaptif. Penstrukturan adaptif menurut
Anthony Giddens seperti yang dikutip oleh Gun Gun Heryanto adalah:44
“Bagaimana institusi sosial seperti organisasi diproduksi, direproduksi, dan
ditransformasikan melalui penggunaan aturan-aturan yang akan berfungsi sebagai
perilaku para anggotanya. Dengan demikian, struktur diciptakan dan dipertahankan
sekaligus juga dapat diubah dengan mengadaptasi atau menciptakan aturan baru.”
Bentuk Faksi Anas apabila kita merujuk pada teori Belloni dan Beller dapat
dikategorikan sebagai personal or client-group factions.45
Faksi jenis ini merupakan
faksi yang terbentuk melalui pola patron-klien. Faksi tipe ini dipengaruhi oleh faktor
kepemimpinan individu, yaitu persaingan antara tokoh-tokoh berpengaruh dari suatu
partai yang mempunyai konstituen jelas. Loyalitas personal yang menjadi penyebab
kemunculan Faksi Anas juga menjadi salah satu alasan dari penggolongan faksi ini.
Faksi ini sudah terkonsolidasi dan Anas tampil sebagai orang yang mempunyai modal
untuk menjadi patron. Jabatan Anas sebagai ketua umum partai merupakan modal
besar untuk menjadi patron dalam faksi.46
43
Ulla Fiona dan Dirk Tomsa, “Parties and Factions in Indonesia: The Effect of Historical
Legacies and Institutional Engineering,” ISEAS Yusof Ishak Institute (2017): 6. 44
Gun Gun Heryanto, “Diskrepansi Pelembagaan Parpol,” Koran SINDO, 26 Maret 2015
[artikel on-line]; tersedia di https://nasional.sindonews.com/; Internet; diakses pada 9 agustus 2017. 45
Belloni dan Beller, Faction Politics, 424-427. 46
Arya Budi, “Diaspora Faksi Demokrat,” Koran Tempo, 20 Desember 2012 [artikel on-line];
tersedia di http://koran.tempo.co/; Internet; diakses pada 9 September 2017.
85
Modal yang dimiliki Anas tentu dimanfaatkannya dengan baik. Anas
melakukan rekrutmen untuk memperluas dan memperkuat faksinya. Rekrutmen yang
dilakukan yaitu dengan menjaring kader-kader muda dan kader-kader baru potensial,
baik untuk diposisikan sebagai pengurus DPP, DPD maupun DPC. Sehingga, Faksi
Anas tidak hanya berada pada tingkat pusat melainkan hingga ke tingkat daerah.
Kader-kader yang direkrut oleh Anas umumnya merupakan alumni-alumni kelompok
Cipayung dan aktivis pergerakan lain.47
Tercatat aktivis-aktivis muda seperti Ulil
Abshar Abdalla dan Chatibul Umam Wiranu yang mewakili kalangan muda NU,
Ferry Juliantono (Ketua Dewan Tani), Bambang Wirayoso (Ketua Umum Serikat
Pekerja Nasional (SPN)), Karel (Sekretaris Umum SPN). Aktivis-aktivis HMI juga
tidak luput dari perekrutan Anas bahkan gerbong HMI yang menjadi kekuatan inti
dari Faksi Anas.48
Rekrutmen yang dilakukan Anas menimbulkan rasa tidak nyaman pada kader-
kader lama. Hal ini semakin memperketat persaingan antara Faksi Anas dengan Faksi
SBY. Persaingan ini terasa begitu ketat karena dua faksi yang bersaing ini sama-sama
kuat. Anas karena menjadi pengelola partai seperti telah dijelaskan sebelumnya tentu
memegang akses penuh terhadap urusan rekrutmen anggota. Sehingga
memudahkannya untuk memperluas faksi yang dibangun. Sementara SBY memegang
3 jabatan tertinggi dalam PD yaitu sebagai Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan
Kehormatan, dan Ketua Majelis Tinggi. Ketiga jabatan yang dipegang oleh SBY
47
Wawancara dengan Anas Urbaningrum. 48
Machmudi, “Faksi-faksi Demokrat”.
86
secara hierarkis memiliki posisi yang lebih tinggi daripada ketua umum partai.
Otoritas SBY pun dilegitimasi dalam aturan-aturan partai seperti Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga. Selain itu, posisi SBY sebagai Presiden Republik
Indonesia selama dua kali berturut-turut semakin memperkuat posisinya. Persaingan
antara dua kekuatan besar ini akhirnya menimbulkan tumbukan hebat yang
mengakibatkan satu faksi harus tersingkir, yaitu Faksi Anas. Kejatuhan Anas inilah
kemudian disebut oleh Fiona dan Tomsa sebagai bukti dari kuatnya persaingan
patronase.49
3. Fungsi Faksi Anas Urbaningrum
Faksi oleh Friedrich seperti dikutip Kollner dan Basedau disebut sebagai
fenomena yang cenderung dianggap sebagai patologi politik.50
Hal ini mencerminkan
bahwa para pemimpin partai menganggap keberadaan faksi merupakan tantangan
terbuka bagi manajemen partai. Keberadaan faksi memang pada kondisi tertentu
dapat melemahkan kohesi partai. Namun, tidak selamanya faksi bersikap demikian
sebab nyatanya menurut Giovanni Sartori faksi memiliki fungsi.
Sartori seperti yang dikutip oleh Kollner dan Basedau membedakan fungsi faksi
menjadi dua, yaitu fungsi yang didasarkan pada kepentingan dan fungsi yang
didasarkan pada prinsip atau ideologi.51
Koheren dengan penjelasan pada sub-bab
sebelumnya, Faksi Anas yang dikategorikan sebagai faksi personal or client-group
secara otomatis menggolongkannya sebagai faksi kepentingan. Kepentingan tidak
49
Fiona dan Tomsa, “Parties and Factions in Indonesia”, 14. 50
Kollner dan Basedau, “Factionalism in Political Parties”, 9. 51
Kollner dan Basedau, “Factionalism in Political Parties”, 12.
87
selalu bermakna negatif. Dalam konteks ini, kepentingan dapat juga diartikan sebagai
pragmatisme yang secara sederhana dapat disebut sebagai tindakan yang dilakukan
untuk menyelesaikan suatu permasalahan.52
Senada dengan hal ini Firman Noor
menjelaskan:53
“Faksi Anas ya faksi kepentingan. Tapi jangan kepentingan itu ditafsirkan negatif terus
ya. Kepentingan itu adalah kepentingan yang sama juga dengan pragmatis.
Pragmatism itu tidak selamanya negatif. Pragmatism itu kan gampangnya adalah
ketika ada persoalan carikan solusinya. Dia engga cari referensi ideologi dulu. Jadi
engga gimana pembahasan ideologinya, engga. Itu kelamaan. Jadi, ada masalah taken.
Ada masalah langsung selesai, itu pragmatis. Jadi dia berpikir sesuai dengan kebutuhan
yang ada. Jadi dia lebih fleksibel. Meskipun ideologi dia, kalo dia punya itu tidak
menjawab tapi dia doesn’t matter. Itu kan positif. Kembali lagi ke Partai Demokrat.
Apakah itu ideologi? Bukan. Karena memang kebanyakan partai kita tidak punya
ideologi. Ideologi tuh hanya tempelan aja. Tapi ada kepentingan. Kepentingan itu tidak
selalu negatif. Kepentingan Faksi Anas nih apa? Ya itu ingin melepaskan Partai
Demokrat dari bayang-bayang SBY. Entah kemudian dari kepentingan itu muncul
keuntungan-keuntungan material, finansial atau keuntungan politik dengan power yaitu
by effect, by product. Tapi alasan mereka berkumpul, menyatukan diri, melakukan
perlawanan saya duga bukan kepentingan uang tapi memang kepentingan untuk yang
pertama, membuat partai menjadi modern. Kedua, membuat partai ini lebih fair lebih
sesuai aturan dalam memutuskan kebijakan-kebijakan yang penting.”
Pendapat yang disampaikan oleh Firman Noor sama dengan pernyataan Anas
Urbaningrum kepada penulis. Anas seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab
sebelumnya bercita-cita untuk mewujudkan Partai Demokrat yang terlembaga dan
modern. Cita-cita ini merupakan kepentingan yang dibawa oleh Anas dan
kelompoknya. Maka, pembentukan sebuah faksi menjadi salah satu cara untuk
mengartikulasikan kepentingan tersebut.
52
Mohammad Najib Abdullah, “Pragmatisme: Sebuah Tinjauan Sejarah Intelektual Amerika,”
e-USU Repository, 2004 [paper on-line]; tersedia di http://library.usu.ac.id/; diunduh pada 11
Desember 2017. 53
Wawancara dengan Firman Noor.
88
Fungsi sebagai faksi kepentingan menurut Fiona dan Tomsa tidak hanya terjadi
pada partai-partai era reformasi seperti Partai Demokrat. Secara keseluruhan, pola
dominan faksi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir juga telah dibentuk sebagai
faksi kepentingan, meskipun jejak faksi yang berdasarkan pada perdebatan ideologis
maupun isu-isu programatik masih dapat ditemukan pada beberapa partai inti (partai
yang lahir sebelum pemilu 1999). Faksi kepentingan ini terutama terlihat pada partai-
partai yang lebih baru dan sangat personalistik seperti Partai Demokrat tadi.
Dinamika faksi di dalam partai-partai personalistik ini berubah secara eksklusif
menjadi wadah bagi akses terhadap sumber-sumber patronase yang didistribusikan
oleh pemimpin dominan.54
4. Bentuk Dinamika Faksionalisme dalam Partai Demokrat
Faksionalisme dalam suatu partai politik menurut Francoise Boucek akan
mengalami dinamika dalam perjalanannya. Faksi dapat bersifat kooperatif ketika
partai politik menyediakan struktur kerjasama bagi faksi-faksi yang ada di dalam
partai. Faksionalisme jenis ini memungkinkan terjadinya konsensus dalam partai
sehingga keberadaannya akan memberikan dampak positif bagi partai itu sendiri.
Faksi kemudian dapat berubah menjadi faksi yang kompetitif. Kondisi ini terjadi
apabila faksi yang ada menunjukkan fragmentasi dan perpecahan dalam partai.
Fragmentasi dan perpecahan ini memberikan akibat seperti sulitnya pengambilan
keputusan dalam partai karena faksi-faksi yang ada menunjukkan adanya persaingan.
Kondisi paling buruk dari dinamika faksionalisme yaitu degeneratif. Dikatakan
54
Fiona dan Tomsa, “Parties and Factions in Indonesia”, 7.
89
degeneratif apabila politisi yang berada dalam satu faksi bertindak saling
menghancurkan.55
Dinamika faksi dalam Partai Demokrat khususnya pasca keterpilihan Anas
Urbaningrum sebagai ketua umum mengarah pada dinamika faksi yang degeneratif.
Merebaknya kasus M. Nazaruddin (Nazar) ke permukaan semakin memperparah
situasi internal partai dan benar-benar menunjukkan bahwa dinamika faksi mencapai
derajat terlemah yaitu sebagai faksi yang degeneratif. Elite-elite Partai Demokrat
ketika itu menunjukkan kegaduhan politik yang luar biasa khususnya terkait
permasalahan Nazar. Masing-masing faksi memiliki sikap yang berbeda terhadap
kasus tersebut. Friksi di kalangan elite begitu runcing, ada elite yang langsung
memerintahkan agar Nazar dicopot dari jabatannya tanpa menggunakan asas praduga
tak bersalah yang umumnya diterapkan pada kasus sebelumnya, ada juga elite yang
menginginkan agar Nazar tidak dicopot dari jabatannya dan menyuruhnya untuk
mengundurkan diri, bahkan ada elite yang meneriakkan isu Kongres Luar Biasa
(KLB).56
Perbedaan sikap yang terjadi terkait masalah tersebut dilatarbelakangi oleh
perbedaan faksi. Nazar diketahui merupakan salah satu tim pemenangan Anas saat
kongres sehingga masalah ini sangat tepat jika diolah untuk delegitimasi
kepemimpinan Anas. Anas sebagai “orang dekat” Nazar tentu ingin menyelamatkan
Nazar dengan menolak perintah SBY selaku Ketua Dewan Kehormatan ketika itu
55
Francoise Boucek, “Rethinking Factionalism: Typologies, Intra-Party Dynamics and Three
Faces of Factionalism,” Party Politics 15 (2009): 469-478. 56
Muhtadi, “Faksionalisasi Demokrat”.
90
yang ingin langsung mencopotnya dari jabatan bendahara umum. Anas lebih
menghendaki Nazar mengundurkan diri dan hal tersebut telah disampaikan kepada
Nazar, bahkan Nazar telah menyetujuinya.57
Namun, ketika rapat bersama SBY
membahas masalah tersebut Nazar mengatakan tidak bersedia mengundurkan diri
dari jabatannya. SBY akhirnya memutuskan memberhentikan Nazar dari jabatan
bendahara umum. Pasca penetapan keputusan ini Nazar yang merupakan “orang
dekat” Anas justru berbalik menyerang Anas. Nazar aktif menyerang elite-elite Partai
Demokrat dari tempat persembunyiannya. Bukan hanya Anas yang menjadi korban,
elite-elite lain seperti Angelina Sondakh (salah satu tim pemenangan Anas saat
kongres) dan Andi Mallarangeng tidak luput dari serangan Nazar.
Dinamika degeneratif lebih nyata terlihat ketika kedua faksi besar ini yaitu
Faksi Anas dan Faksi SBY sama-sama menggunakan jabatannya untuk saling
menjatuhkan. Arya Budi menyebut ini sebagai pertarungan antara dua bilik faksi
yaitu bilik struktural yang dipegang oleh Anas sebagai ketua umum dan bilik kultural
yang menjadi pemegang mandat publik sebagai sumber legitimasi paling kuat baik di
internal maupun eksternal partai. Bilik kultural ini dipegang oleh SBY.58
Kedua bilik ini sama-sama memiliki fungsi penting dalam partai. Bilik
struktural bertugas mengatur atau mengurus administrasi partai sehari-hari. Bilik
struktural juga mempunyai otoritas dalam pelaksanaaan rekrutmen politik dan
keputusan-keputusan organisasional lainnya. Sementara bilik kultural menjalankan
57
Wawancara dengan Anas Urbaningrum. 58
Arya Budi, “Diaspora Faksi Demokrat”.
91
fungsinya sebagai determinan dari keputusan-keputusan strategis partai. Kedua bilik
ini dimungkinkan saling mengebiri. Pengebirian yang dilakukan oleh bilik kultural
terlihat pada aturan-aturan yang termaktub dalam AD dan ART partai yang
memberikan ¾ otoritas kepemimpinan kepada SBY di antaranya Ketua Dewan
Pembina, Ketua Dewan Kehormatan, dan Ketua Majelis Tinggi. Besarnya otoritas
yang dipegang oleh SBY yang kemudian digunakan untuk menjatuhkan Anas yaitu
dengan membuat Pakta Integritas Partai Demokrat yang digagas oleh SBY selaku
Ketua Majelis Tinggi dengan alasan sebagai usaha penyelamatan organisasi.
Mengapa hal ini dikatakan sebagai cara SBY untuk menjatuhkan Anas? Karena Pakta
Integritas ini baru dibuat setelah Anas ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Isi
dari Pakta Integritas tersebut jelas sangat sulit untuk dipenuhi Anas.59
Akhirnya Anas
pun memutuskan untuk berhenti dari keanggotaan Partai Demokrat.
Tidak berhenti pada Anas, SBY kembali menggunakan otoritasnya secara sadar
untuk memberhentikan kader-kader partai yang memiliki hubungan dekat dengan
Anas atau dapat pula dikatakan loyalis Anas. Hal ini bisa juga disebut sebagai upaya
bersih-bersih yang dilakukan oleh SBY. Bersih-bersih atau pembersihan partai
menurut Kenneth Janda seperti dikutip oleh Boucek merupakan hasil reaksi para
pemimpin partai terhadap mobilisasi perbedaan pendapat internal. Janda juga
menjadikan pembersihan (purges) sebagai salah satu variabel dari faksionalisme.60
Berbanding lurus dengan bilik kultural, bilik struktural juga memiliki potensi untuk
59
Wawancara dengan Firman Noor. 60
Boucek, “Rethinking Factionalism”, 464.
92
mengebiri bilik kultural melalui keputusan-keputusan organisasionalnya. Hal-hal
yang telah dijabarkan menjadi bukti bahwa dinamika faksi internal Partai Demokrat
yang terjadi selama kurun waktu 2011-2013 merupakan dinamika faksi degeneratif
yang dapat menjerumuskan partai pada kehancuran.
93
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kasus dalam Partai Demokrat (PD) menunjukkan bahwa tidak terlembaganya
partai politik memberikan pengaruh terhadap kemunculan faksi intra-partai. Karakter
Partai Demokrat sebagai partai personalistik mengakibatkan lemahnya pelembagaan
partai. Indikator yang dapat menunjukkan lemahnya pelembagaan tersebut salah
satunya adalah kesisteman yang tidak berjalan semestinya. SBY sebagai pemimpin
dominan dalam PD memiliki posisi di atas aturan main. Posisi SBY yang demikian
mengakibatkan pengambilan keputusan internal partai bersifat subjektif. Keputusan
subjektif artinya keputusan yang juga berada di atas aturan main, melanggar aturan
main, atau melampaui aturan main. Kekuasaan personal pemimpin ini akhirnya
membuat sebagian kalangan yang kurang sepakat dengan hal tersebut melakukan
perlawanan.
Perlawanan ini termanifestasi dalam Faksi Anas Urbaningrum. Keberadaan
Faksi Anas sebenarnya tidak berpotensi untuk menghancurkan partai, sebab faksi ini
memiliki semangat kelembagaan yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan gagasan
Anas yang disebut sebagai institusionalisasi Partai Demokrat untuk
mentransformasikan figur dan ketokohan SBY menjadi kekuatan yang tercermin di
dalam sistem internal. Hal ini bertujuan agar ketika SBY sudah dalam posisi tut wuri
handayani, kader penggantinya sudah ada meskipun tidak sebanding. Namun, karena
94
SBY merasa terancam dengan movement yang dilakukan oleh Anas dan para
loyalisnya, maka keberadaan Faksi Anas dianggap sebagai sebuah patologi politik
yang harus disembuhkan atau dihentikan.
Kemunculan Faksi Anas disebabkan oleh 3 hal yaitu adanya shared values,
shared strategies, dan personal loyalties. Faksi Anas dapat dikategorikan sebagai
personal or client-group factions, yaitu faksi yang dipengaruhi faktor kepemimpinan
individu. Jabatan eksekutif tertinggi dalam Partai Demokrat yang dimilikinya
merupakan modal besar bagi Anas untuk menjadi seorang patron dalam faksi.
Faksi Anas berfungsi sebagai faksi kepentingan, karena faksi ini dibentuk untuk
mengartikulasikan kepentingan Anas yaitu menghilangkan ketergantungan Partai
Demokrat terhadap figur SBY dan mentransformasikan Partai Demokrat menjadi
partai yang modern. Faksionalisasi internal Partai Demokrat yang terjadi setelah Anas
menjabat sebagai ketua umum atau lebih tepatnya setelah kasus Wisma Atlet SEA
Games dan P3SON Hambalang terungkap, menampilkan dinamika faksi yang
degeneratif yaitu faksi yang saling menghantam dan menghancurkan.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa masih banyak hal penting lainnya yang harus
dieksplorasi, namun karena keterbatasan penulis maka hal tersebut tidak bisa dicakup
dalam penelitian ini. Studi tentang pelembagaan partai politik dan faksi intra-partai
menarik untuk dikaji mengingat fenomena ini kerap kali terjadi dalam partai politik di
Indonesia. Fenomena-fenomena yang terjadi setelah Anas Urbaningrum menyatakan
95
berhenti dari Partai Demokrat juga merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji
seperti situasi Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat dan fenomena aklamasi
dalam Kongres IV Partai Demokrat.
Peneliti bisa menjadikan partai politik lain sebagai objek penelitian, baik
menggunakan variabel yang sama dengan penelitian ini atau variabel yang berbeda.
Penelitian mengenai kemunculan faksi intra-partai juga akan lebih menarik jika
dilakukan dengan melakukan komparasi terhadap dua atau lebih partai politik.
Komparasi dapat dilakukan terhadap partai-partai politik lainnya baik pada tingkat
pusat maupun daerah.
xv
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Ahmad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical
Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta: Granit, 2004.
Al-Barbasy, Ma’mun Murod. Anas Urbaningrum dalam Sorotan Status Facebook
Tumbal Politik Cikeas. Jakarta: Pijar Ilmu, 2013.
Arifianto, Haiqal dan Sulaiman, ed. Basic Training Panduan untuk Kader Himpunan
Mahasiswa Islam. Ciputat: T.pn., 2015.
Aspinall, Edward dan Greg Feali, ed. Soeharto’s New Order and It’s Legacy: Essays
in Honour of Harold Crouch. Canberra: The Australian National University E-
Press, 2010.
Belloni, Frank P. dan Dennis C. Beller, ed. Faction Politics: Political Parties and
Factionalism in Comparative Perspective. Santa Barbara: ABC Clio Press,
1978.
Bettcher, Kim Eric. “Factions of Interest in Japan and Italy: The Organizational and
Motivational Dimensions of Factionalism.” Party Politics 11 (2005): 339-358.
Boucek, Francoise. “Rethinking Factionalism: Typologies, Intra-party Dynamics and
Three Face of Factionalism.” Party Politics 15 (2009): 455-485.
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2008.
Chambers, Paul W. dan Aurel Croissant. “Monopolizing, Mutualizing, or Muddling
Through: Factions and Party Management in Contemporary Thailand.” Journal
of Current Southeast Asian Affairs 29 (2010): 3-33.
Djalal, Dino Patti. Harus Bisa: Seni Memimpin ala SBY, Catatan Harian Dr. Dino
Patti Djalal. Jakarta: Red & White Publishing, 2008.
Faisal, Sanapiah. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Press, 2008.
Febriana, Efantino. SBY Dikritik dan Dicintai. Yogyakarta: Biopustaka, 2009.
xvi
Fiona, Ulla dan Dirk Tomsa. “Parties and Factions in Indonesia: The Effect of
Historical Legacies and Institutional Engineering.” ISEAS Yusof Ishak Institute
(2017): 1-26.
Ghunter, Richard dan Larry Diamond. “Species of Political Parties A New
Typology.” Party Politics 9 (2003): 167-199.
Harrison, Lisa. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana, 2009.
Herdiansyah, Haris. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta:
Salemba Humanika, 2010.
Hisyam, Usamah. SBY Sang Demokrat. Jakarta: Dharmapena, 2004.
Huntington, Samuel. P. Tertib Politik di dalam Masyarakat yang sedang Berubah.
Jakarta: CV. Rajawali, 1983.
Kollner, Patrick dan Matthias Basedau. “Factionalism in Political Parties: An
Analytical Framework for Comparative Studies.” Working Papers and Area
Studies, German Overseas Institute/Deutsches Ubersee Institut 12 (2005): 1-26.
Kompaspedia. Partai Politik Indonesia 1999-2019 Konsentrasi dan Dekonsentrasi
Kuasa. Jakara: Kompas Media Nusantara, 2016.
Lesmana, Tjipta. Dari Soekarno sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2009.
Levitt, Barry dan Tatiana Kostadinova. “Toward a Theory of Personalist Parties:
Concept Formation and Theory Building.” Politics and Policy 42 (2014): 490-
512.
Levitt, Barry dan Tatiana Kostadinova. “Personalist Parties in The Third Wave
Democratization: A Comparative Analysis of Peru and Bulgaria.” Politics &
Policy 42 (2014): 513-547.
Noor, Firman. “Evaluasi Kondisi Kepartaian 14 Tahun Reformasi dalam Perspektif
Pelembagaan Sistem Kepartaian.” Jurnal Masyarakat Indonesia 38 (2012):
221-247.
Noor, Firman. “Leadership and Ideological Bond: PPP and Internal Fragmentation in
Indonesia.” Studia Islamika 23 (2016): 61-103.
Nugroho, Wisnu. Pak Beye dan Politiknya. Jakarta: Penerbit Kompas, 2010.
xvii
Ombara, Yahya. Presiden Flamboyan SBY yang Saya Kenal. Jakarta: Eswi
Foundation, 2007.
Randall, Vicky dan Lars Svasand. “Institutionalization in New Democracies.” Party
Politics 8 (2002): 5-29.
Romli, Lili. “Masalah Kelembagaan Partai Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru.”
Jurnal Penelitian Politik 5 (2008): 21-30.
Salam, Syamsir dan Jaenal Aripin. Metodelogi Penelitian Sosial. Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2006.
Sarosa, Samiadji. Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar. Jakarta: PT. Indeks, 2010.
Scherlis, Gerardo. “The Countours of Party Patronage in Argentina.” Latin American
Research Review 48 (2013): 63-84.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo, 2010.
Yuda, Hanta. “Potret Institusionalisasi Partai Politik Indonesia.” The Indonesian
Institute, 2009.
Yudhoyono, Susilo Bambang. Selalu Ada Pilihan: untuk Pencinta Demokrasi dan
Para Pemimpin Indonesia Mendatang. Jakarta: Penerbit Kompas, 2014.
Skripsi, Tesis, dan Disertasi
Despianti, Iryani. “Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001.” Skripsi S1
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, 2012.
Hamzah, Imron. “Pola Komunikasi Politik Partai Demokrat dalam Pemenangan
Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Rembang Tahun 2010.” Skripsi S1
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2010.
Jumari. “Peran Elit dan Basis Sosial Partai Demokrat dalam Pemilukada Kota Depok
Tahun 2010.” Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Indonesia, 2012.
Noor, Firman. “Institutionalising Islamic Political Parties in Indonesia: A Study of
Internal Fragmentation and Cohesion in the Post-Soeharto Era (1998-2008).”
Disertasi S3 Arab and Islamic Studies, University of Exeter Inggris, 2012.
xviii
Tarwin. “Analisis Kaderisasi Kepemimpinan Organisasi Partai (Studi Kasus Partai
Demokrat Tahun 2010).” Tesis S2 Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia,
2010.
Wafa, Ali. “Dinamika Konflik Partai Demokrat Periode 2010-2015 Terhadap
Pelaksanaan Recall Anggota DPR RI (Studi atas Recall Gede Pasek Suardika).”
Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
Wawancara
Wawancara dengan Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat 2010-2013).
Bandung, 9 November 2017.
Wawancara dengan Firman Noor, Ph.D. (Peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P)
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)). Jakarta, 22 November 2017.
Media Cetak
Ambardi, Dodi. “Korupsi, Faksionalisme, dan Prospek Elektoral Demokrat.” Tempo,
5 Juni 2011, 38-39.
Muhtadi, Burhanuddin. “Faksionalisasi Demokrat.” Harian Seputar Indonesia, 10
Juni 2011.
Dokumen Elektronik
______. “Anas Urbaningrum,” Viva, ______ [artikel on-line]; tersedia di
www.viva.co.id/; Internet; diakses pada 7 Agustus 2017.
______.”KPK Tetapkan Nazaruddin Tersangka,” Kompas, 30 Juni 2011 [berita on-
line]; tersedia di http://nasional.kompas.com/; Internet; diakses pada 10 Juli
2017.
______.”Muhammad Nazaruddin Tiba di Jakarta,” BBC News Indonesia, 13 Agustus
2011 [berita on-line]; tersedia di http://www.bbc.com/indonesia/; Internet;
diakses pada 6 Agustus 2017.
______.”Nazaruddin Ditangkap di Kolombia,” Kompas, 8 Agustus 2011 [berita on-
line]; tersedia di http://nasional.kompas.com/; Internet; diakses pada 2 Agustus
2017.
xix
______.”Rakornas Hasilkan 10 Komitmen Sentul,” Kompas, 24 Juli 2011 [berita on-
line]; tersedia di http://nasional.kompas.com/; Internet; diakses pada 2 Agustus
2017.
Abdullah, Mohammad. “Pragmatisme: Sebuah Tinjauan Sejarah Intelektual
Amerika,” e-USU Repository, 2004 [paper on-line]; tersedia di
http://library.usu.ac.id/; diakses pada 11 Desember 2017.
Abdurrahman, Fira dan Yudi Wibowo. “Kubu Vence Rumangkang dan Subur
Budhisantoso Berdamai,” Liputan 6, 7 Februari 2005 [berita on-line]; tersedia
di http://news.liputan6.com/; Internet; diakses pada 20 November 2017.
Asy dan Nrl. ”Pemberian Uang Nazaruddin ke Sekjen MK Suap atau Gratifiksi,”
Detik News, 20 Mei 2011 [berita on-line]; tersedia di https://news.detik.com/;
Internet; diakses pada 3 Juli 2017.
Budi, Arya. “Diaspora Faksi Demokrat,” Koran Tempo, 20 Desember 2012 [artikel
on-line]; tersedia di http://koran.tempo.co/; Internet; diakses 9 September 2017.
Burhani, Ruslan ed. “Survei: Anas Urbaningrum Paling Miliki Jiwa Kepemimpinan,”
Antara News, 9 Mei 2010 [berita on-line]; tersedia di
https://www.antaranews.com/; Internet; diakses pada 30 November 2017.
Gultom, Aldi. “Sah, Demokrat Pecat Nazaruddin,” Rmol, 23 Mei 2011 [berita on-
line]; tersedia di http://www.rmol.co/; Internet; diakses pada 3 Juli 2017.
Heryanto, Gun Gun. “Diskrepansi Pelembagaan Parpol,” Koran SINDO, 26 Maret
2015 [artikel on-line]; tersedia di https://nasional.sindonews.com/; Internet;
diakses pada 9 agustus 2017.
Komisi Pemilihan Umum. “Modul Pemilih Pemula I,” tersedia di http://kpu.go.id/;
diunduh pada 13 Juli 2017.
Kumoro, Bawono. “SBY, Demokrat, dan Institusionalisasi Partai,” Media Indonesia,
15 Mei 2015 [artikel on-line]; tersedia di htpps://mediaindonesia.com/; Internet;
diakses pada 24 November 2017.
Lanzone, Maria Elisabetta dan Dwayne Woods. “Party Personalization: A
Comparative Analysis of A Traditional Political Party, the Democratic Party,
with An Insurgent Populist Party,” PSA Annual International Conference, 30
Maret 2015 [paper on-line]; tersedia di ; Internet; diunduh pada 30 November
2017.
xx
Machmudi, Yon. “Faksi-faksi Partai Demokrat Paska Kongres,” Publikasi
Universitas Indonesia, Juli 2010 [artikel online]; tersedia di
staff.ui.ac.id/system/files/users/machmudi/publication/faksidemokrat.doc;
Internet; diunduh pada 24 November 2017.
MAK, “Hadi Utomo Terpilih sebagai Ketua Partai Demokrat,” Liputan 6, 23 Mei
2005 [berita on-line]; tersedia di http://news.liputan6.com/; Internet; diakses
pada 18 Oktober 2017.
MT. “Anas Agendakan Pelembagaan SBY di Demokrat,” Viva News, 24 Mei 2010
[berita on-line]; tersedia di http://www.viva.co.id/; Internet; diakses pada 24
November 2017.
Muhammad, Djibril. ”Nazaruddin Ditangkap Saat Lagi Nongkrong di Pasar Loak
Kolombia,” Republika, 8 Agustus 2011 [berita on-line]; tersedia di
http://nasional.republika.co.id/; Internet; diakses pada 18 Juli 2017.
Pambudi, Didik. “Sepuluh Butir Pakta Integritas Kader Partai Demokrat,” Laman
Resmi Partai Demokrat, 11 Februari 2013 [berita on-line]; tersedia di
www.demokrat.or.id/; Internet; diakses pada 27 November 2017.
Surbakti, Ramlan. “Tingkat Pelembagaan Partai Politik”, Harian Kompas, 6 Januari
2003 [artikel on-line]; tersedia di http://unisosdem.org; Internet; diakses pada
13 Juli 2017.
Suryanto, ed. ”KPK Rekonstruksi Kasus Suap Sesmenpora,” Antara News, 17 Juni
2011 [berita on-line]; tersedia di https://www.antaranews.com/; Internet;
diakses pada 2 Juli 2017.
Talk TV, Press. “Orasi Anas Urbaningrum menjelang Pemilihan di Hadapan Ketua
DPD dan DPC PD,” ______, 22 Mei 2010 [video]; tersedia di
https://www.youtube.com/watch?v=0x5m-2kqvFw&t=14s; Internet; diunduh
pada 24 Oktober 2017.
Thiebault, Jean Louis. “The Influenced of Personalised Party Leaders Exercised
Directly on The People or Indirectly Through The Party,” ______, 5 September
2011 [paper on-line]; tersedia di https://americo.usal.es; Internet; diunduh pada
1 Desember 2017.
Dokumen Lainnya
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat Hasil
Kongres Ke-II Tahun 2010.
xxi
Lampiran 1
SURAT TERBUKA
Kepada Yang Terhormat
Bapak Kami, Susilo Bambang Yudhoyono
Di Jakarta
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam sejahtera, semoga Bapak senantiasa dikaruniai kesehatan, rahmat dan berkah
dalam menjalani aktivitas sehari-hari, amin.
Bapak kami yang baik,
Lima tahun lalu, ketika Bapak muncul dalam pentas utama politik nasional, kami
menyaksikan antusiasme dan harapan rakyat yang sangat besar ditujukan kepada
Bapak. Antusiasme dan harapan agar kehidupan mereka menjadi lebih baik dan
negeri ini ikut menjadi lebih baik pula. Melalui partai yang Bapak dirikan, dan
terutama melalui figur Bapak sendiri, rakyat menitipkan hati dan suaranya.
Fakta membuktikan bahwa antusiasme dan harapan itu tidaklah salah. Selama lima
tahun pertama masa pengabdian Bapak sebagai Presiden Republik Indonesia, negeri
ini mampu meraih kembali kestabilannya. Bukan hanya stabil, tetapi juga demokratis,
dua hal yang menjadi bagian pokok demokratisasi. Berkat dari kestabilan itu
pembangunan nasional mampu berjalan dengan baik, angka kemiskinan melorot,
standar dan taraf hidup meningkat, korupsi dibasmi, Indonesia kembali menjadi
negara yang nyaman untuk ditinggali. Dan kemudian Bapak dipercaya kembali oleh
rakyat dalam Pemilu tahun lalu, bahkan dengan dukungan yang berlipat ganda.
Tanpa bermaksud melebih-lebihkan keadaan, kami menganggap Bapak sebagai salah
satu pemimpin nasional yang senantiasa akan diingat, kebanggaan kami sebagai anak
negeri, tauladan bagi generasi mendatang.
Bapak yang kami banggakan,
Partai yang Bapak dirikan telah menjadi kekuatan baru yang sangat diperhitungkan di
kancah politik nasional. Belum berusia 10 tahun namun mencatat prestasi yang
langka dalam dinamika pemilu di negeri ini. Sebagian besar dari keberhasilan itu
tidak lepas dari peran, pengaruh, dan figur Bapak.
Sebagai seorang patriot berjiwa nasionalis-religius, kami yakin Bapak sangat
menginginkan Partai Demokrat berkembang lebih baik, menjadi partai tengah yang
modern, demokratis, stabil, efektif, dan berorientasi kepada kemaslahatan seluruh
rakyat Indonesia. Kami juga meyakini Bapak mencitakan partai ini mampu
melampaui berbagai rintangan dan mengarungi segala zaman.
Sebagaimana amanah yang Bapak sampaikan beberapa waktu lalu, kesemua hal itu
hanya bisa tercapai bila organisasi kepartaian mampu bekerja efektif untuk
xxii
mengemban tugas-tugas masa depan, mewujudkan partai dengan manajemen yang
modern.
Bapak kami tercinta,
Kongres II Partai Demokrat yang akan dilaksanakan 21-23 Mei 2010 secara formil
adalah forum tertinggi yang membahas 4 agenda besar partai, yaitu pemilihan
kepemimpinan dan kepengurusan partai 2010-2015, penetapan struktur organisasi
partai yang baru, penyempurnaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga,
serta penetapan garis-garis besar kebijakan strategi, dan rencana aksi partai selama
lima tahun mendatang. Dalam tinjauan substantif, Kongres II adalah alat untuk
mengukur dan mengevaluasi perkembangan partai secara menyeluruh.
Usaha-usaha untuk mencapai tujuan Kongres, dalam dimensi formil maupun
substansial, dapat dilaksanakan jika seluruh komponen internal partai
mengedepankan kepentingan partai di atas kepentingan sendiri, keluarga, dan
kelompok, hati yang bersih, sikap adil kepada orang lain dan jujur kepada diri sendiri,
demokratis luar dan dalam.
Sebagai fitur utama Partai Demokrat, seluruh mata dan hati kader Partai Demokrat
saat ini sedang tertuju kepada Bapak. Setiap kecenderungan, perkataan, dan
kecondongan yang Bapak lakukan dapat menjadi beribu tafsir bagi jutaan kader Partai
Demokrat di seluruh Indonesia.
Hal ini pasti menempatkan Bapak pada keadaan yang rumit. Di satu sisi Bapak pasti
mengharapkan kader-kader partai menjadi individu-individu yang matang terbuka,
independen, dan jernih. Tetapi di sisi lain para kader masih mengharapkan
bimbingan, arahan, dan petunjuk Bapak.
Bapak Yang Terhormat,
Kami mengenal Bapak sebagai pribadi yang santun, demokratis, rendah hati, adil,
inspiratif, ikhlas, dan karena itulah rakyat mencintai Bapak. Bapak bukanlah figur
yang suka menonjolkan diri dan keluarga, mengagung-agungkan prestasi sendiri dan
menjelekkan orang lain, dan karena itulah rakyat menaruh harapan kepada Bapak.
Saat ini, kami sebagai bagian dari publik menyaksikan berbagai bibit-bibit tidak sehat
terjadi di seputar Kongres II Partai Demokrat, terutama menyangkut kompetisi di
antara kandidat Ketua Umum Partai Demokrat.
Hemat kami, telah mulai terjadi praktek-praktek kompetisi tidak sehat yang justru
mencederai ajaran demokrasi sebagaimana yang Bapak kembangkan dan semaikan di
negeri ini. Adanya klaim sebagai kandidat tentang dukungan keluarga cikeas dengan
memainkan simbol-simbol cikeas untuk menekan arus bawah dan aspirasi pemilik
suara (DPC), sungguh hemat kami merupakan tragedi politik bagi demokrasi
kepartaian kita. Pengarahan dengan mengatasnamakan Bapak yang dilakukan secara
sistemik dan represif kami khawatirkan justru membunuh persemaian demokrasi
kepartaian kita bersama. Selain itu, langkah-langkah sesaat demikian, sejatinya justru
merupakan pengkhianatan terhadap ajaran politik Bapak yang diikuti rakyat.
xxiii
Bapak adalah pembaca sejarah yang baik, sehingga kami yakin Bapak sangat
memahami bagaimana riwayat orang-orang besar di negeri ini berakhir dengan
kehancuran di tangan para penjilat dan pencari muka. Bagaimana niat baik dan cita-
cita seorang pemimpin dibelokkan untuk kepentingan sempit segolongan orang yang
mengaku pengikut setia.
Bapak Demokrat kami,
Hemat kami, sebuah partai tengah yang modern, jangkar demokrasi Indonesia, dan
bervisi jauh ke depan sebagaimana yang Bapak citakan, dengan kader-kader yang
matang dan handal, sulit diwujudkan manakala yang dikembangkan adalah kultur
politik simbolisme, bapakisme, restu-restu, aklamasi, dan sejenisnya.
Kami berpandangan, upaya mentransformasikan cita-cita dan spirit Bapak menjadi
jiwa dan roh Partai Demokrat yang modern akan sulit terealisasikan manakala
seorang calon ketua umum hanya sibuk menjual nama Bapak sebagai modal
politiknya. Kami sepenuhnya yakin, sikap demikian jauh dari sikap negarawan
Bapak.
Bapak kami semua,
Kami hanyalah sekelompok para sahabat Anas Urbaningrum dari lintas generasi,
lintas golongan, lintas gender, lintas daerah, lintas profesi, yang melihat sahabat kami
Anas Urbaningrum, orang baik yang kami kenal selama ini, figur muda potensial
yang kami lihat paling merepresentasikan visi dan cita-cita Bapak.
Kami berharap semua fitnah dan praduga yang dikembangkan para pencari muka
terhadap Bapak terbantahkan oleh kebijaksanaan Bapak yang kami kenal selama ini.
Bapak melihat, kami melihat, dan seluruh rakyat Indonesia juga sedang melihat
bagaimana perjalanan menuju Kongres II Partai Demokrat ini.
Surat terbuka ini adalah bagian dari rasa sayang kami kepada Bapak, Partai
Demokrat, dan Bangsa Indonesia.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, 13 Mei 2010
Sahabat Anas Urbaningrum