Post on 12-Aug-2015
A. Tinjauan Pustaka
1. Kompleks Kobalt(II)
Suatu senyawa kompleks akan terbentuk apabila terjadi ikatan kovalen koordinasi antara suatu
atom atau ion logam dengan beberapa molekul netral atau ion donor elektron. Ikatan yang terjadi
pada senyawa kompleks adalah ikatan kovalen koordinasi. Senyawa koordinasi merupakan
interaksi asam basa (Miessler and Tarr : 1991). Atom pusat berperan sebagai asam Lewis,
sedangkan ligan berperan sebagai basa Lewis (Day and Selbin : 1985). Atom pusat biasanya ion
– ion logam transisi yang berfungsi sebagai penerima pasangan elektron bebas dari ligan (Cotton,
Wilkinson, and Gauss : 1995). Kemampuan suatu ion logam untuk berikatan dengan sejumlah
ligan dinyatakan oleh bilangan koordinasinya (Sielberg : 2000).
Esther R., Faure, Illan-Cabeza, Jimenez-Pulido, Moreno-Carretero and Quiroz-Olozabal (2003)
telah mensintesis kompleks kobalt(II) dengan 1,6,7-trimethyllumazine(MLMD) dengan
perbandingan mol logam : ligan = 1: 1 dalam asetonitril, endapan kompleks terbentuk setelah
didiamkan beberapa hari.
Mohamadou, Jubert, and Barbier (2006) mensintesis kompleks [Co(pydado)](ClO4)2.H2O,
dengan pydado = N,O [1,12-bis(2-pyridyl)-5,8-dioxa-2,11-diazadodecane dengan perbandingan
mol logam : ligan 1:1 dalam etanol, endapan kompleks berwarna kecoklatan terbentuk setelah
didiamkan beberapa hari.
Ion pusat dalam kompleks kobalt(II) adalah Co2+. Kobalt adalah logam transisi golongan VIII B
dan terletak pada periode ke empat dalam sistem periodik unsur. Kobalt memiliki bilangan
oksidasi tertinggi IV, sedangkan kobalt(II) paling stabil di antara bilangan oksidasi lainnya
(Cotton and Wilkinson : 1988).
Kobalt bernomor atom 27 dengan konfigurasi elektron [Ar]d7, kompleks Co(II) kebanyakan
terletak pada spin tinggi. Kompleks Co(II) yang paling umum adalah oktahedral atau tetrahedral,
namun juga dijumpai segi empat datar dan trigonal bipiramid (Cotton, Wilkinson, and Gauss :
1995). Kompleks [Co(pydado)](ClO4)2.H2O, dengan pydado = N,O [1,12-bis(2-pyridyl)-5,8-
dioxa-2,11-diazadodecane memiliki struktur oktahedral terdistorsi, seperti ditunjukkan oleh
Gambar 2 (Mohamadou, Jubert, and Barbier : 2006).
Gambar 2. Struktur kompleks [Co(pydado)](ClO4)2.H2O (Mohamadou, Jubert, and
Barbier : 2006)
Ion pusat Co2+ terkoordinasi dengan enam atom ligan, masing – masing dua nitrogen
aromatik (N1 dan N4), dua nitrogen amina sekunder (N2 dan N3), dan dua sulfur (S1 dan S2)
dengan dua gugus pyridil pada posisi trans.
Fryzuk, Leznoff, Thompson, and Rettig (1998) mensintetis kompleks
CoCl[N(SiMe2CH2PPh2 )2] yang bergeometri tetrahedral spin tinggi seperti ditunjukkan oleh
Gambar 3.
Gambar 3. Struktur kompleks CoCl[N(SiMe2CH2PPh2 )2] (Fryzuk, Leznoff, Thompson, and Rettig (1998)
2. Teori Pembentukan Kompleks
Ada tiga teori yang menjelaskan mengenai terbentuknya senyawa koordinasi kompleks,
yaitu :
a. Teori Ikatan Valensi
Menurut Pauling, ikatan kovalen terjadi karena adanya tumpang tindih antara orbital
kosong logam dengan orbital ligan yang berupa molekul atau ion yang mempunyai pasangan
elektron bebas. Ikatan yang terjadi disebut ikatan kovalen koordinasi (Day and Selbin : 1985).
Sebagai contoh pembentukan ikatan pada kompleks [Co(NH3)6]3+ yang berbentuk
oktahedral seperti ditunjukkan oleh Gambar 4.
Gambar 4. Bentuk oktahedral kompleks [Co(NH3)6]3+
Bentuk oktahedral terjadi karena adanya pembauran/hibridisasi d2sp3. Pada kompleks
[Co(NH3)6]3+, enam ligan NH3 masing - masing menempati dua orbital d, satu orbital s, dan tiga
orbital p pada ion kobalt(III) menghasilkan hibrida d2sp3. Dalam kompleks tersebut bilangan
koordinasi Co(III) enam, bersifat diamagnetik/spin rendah, yang berarti semua elektronnya
berpasangan (Huheey and Keither : 1993). Ilustrasi pembentukan ikatan pada kompleks
[Co(NH3)6]3+ ditunjukkan oleh Gambar 5.
Gambar 5 . Ikatan pada kompleks [Co(NH3)6]3+ (Huheey and Keither : 1993)
Menurut teori ikatan valensi, hibridisasi akan terbentuk jika orbital - orbital atom dari
atom yang sama saling bergabung membentuk orbital hibrida yang dapat bertumpang tindih
dengan orbital atom dari atom yang lain untuk membentuk ikatan hibrida yang lebih kuat (Lee :
1994). Hibridisasi dapat diperkirakan dari bentuk geometri molekul atau senyawa hasil
eksperimen. Geometri hasil hibridisasi beberapa orbital lain ditunjukkan oleh Tabel 1 (Sharpe :
1992).
Tabel 1 . Orbital Hibrida Beberapa Konfigurasi Geometri
Bilangan koordinasi
Bentuk geometri Konfigurasi orbital Contoh Ion kompleks
2
3
4
4
5
5
6
6
linier
trigonal planar
tetrahedral
square planar
trigonalbipyramida
square pyramid
trigonal prismatic
Octahedral
sp
sp2
sp3
dsp2
dsp3
dsp3
d2sp3
d2sp3
Ag[(NH3)4] 2+
[HgI3]-
Ni(CO)4
Ni(CN)4 2-
[CuCl5] 3-
Ni(CN)5 3-
Mo(S2C2Ph2)3
[Co(NH3)6] 3+
b. Teori Medan Kristal
Teori medan kristal menyatakan bahwa ikatan dalam senyawa kompleks terjadi karena
adanya interaksi elektrostatik antara ligan dan ion logam, dimana ligan diasumsikan bermuatan
negatif dan ion logam bermuatan positif (Huheey and Keither : 1993). Teori ini digunakan untuk
menggambarkan adanya split atau pemecahan pada energi orbital d atom logam. Selain itu teori
ini juga menggambarkan tingkat energi elektronik yang menentukan spektra ultraviolet dan
visible (Miessler and Tarr : 1991).
Menurut teori medan kristal, tidak ada interaksi antara orbital logam dan orbital ligan.
Dalam keadaan ion logam bebas, kelima orbital d (dxy, dxz, dyz, dx2-dy
2, dan dz2 ) seperti
ditunjukkan oleh Gambar 6 memiliki energi yang sama (terdegenerasi). Jika terdapat ligan di
sekitar ion logam, muatan negatif ligan menyebabkan energi orbital meningkat namun tetap
terdegenerasi, saat kompleks terbentuk maka orbital terpecah menjadi dua bagian. Hal ini karena
adanya tolak menolak antara medan negatif dari ligan dengan elektron pada ion logam (Lee :
1994).
Gambar 6. Kontur orbital d (Huheey and Keither : 1993)
Pada kebanyakan kompleks logam transisi, enam atau empat ligan mengelilingi logam
membentuk struktur oktahedral dan tetrahedral.
1. Kompleks Oktahedral
Pada kompleks oktahedral logam berada pada pusat oktahedron dan ligan - ligan berada
di enam sudut oktahedron. Arah sumbu x, y, dan z terhadap tiga titik yang berdekatan pada
oktahedron ditunjukkan oleh Gambar 7.
Gambar 7. Arah sumbu x, y, dan z pada kompleks oktahedral (Lee : 1994)
Seluruh orbital d akan mengalami kenaikan energi akibat adanya tolakan dengan muatan
negatif dari ligan. Orbital dz2 dan dx
2-dy2 akan menolak lebih kuat daripada orbital dxy, dxz, dan dyz.
Akibatnya orbital d akan terpecah menjadi dua bagian, yaitu orbital dz2 dan dx
2-dy2 (orbital eg)
pada tingkat energi yang lebih tinggi dan orbital dxy, dxz, dan dyz (orbital t2g) pada tingkat energi
lebih rendah (Huheey and Keither : 1993).
Pada kompleks oktahedral, pengisian orbital t2g menurunkan energi kompleks, yang akan
membuatnya lebih stabil, sebesar -0,4∆0 per elektron. Sementara pengisian orbital eg menaikkan
energi sebesar 0,6∆0 per elektron. Total Crystal Field Stabilization Energi (CFSE) atau energi
yang terstabilkan oleh medan kristal adalah
CFSEoctahedral = -0,4n(t2g) + 0,6n(eg)
dimana n(t2g) dan n(eg) berturut – turut adalah jumlah elektron yang mengisi orbital t2g dan eg. Nilai
CFSE konfigurasi d0 dan d10 adalah nol baik di medan ligan kuat maupun lemah. Nilai
konfigurasi d5 juga nol pada medan ligan lemah (Lee : 1994). Diagram pemisahan orbital d pada
medan oktahedral ditunjukkan oleh Gambar 8.
Gambar 8. Diagram pemisahan orbital d medan oktahedral (Huheey and Keither : 1993)
2. Kompleks Tetrahedral
Koordinasi tetrahedral memiliki kesamaan dengan koordinasi kubus. Pada sistem kubus
empat ligan tidak secara langsung mendekati orbital – orbital d dari logam, akan tetapi ligan –
ligan ini lebih mendekat pada orbital – orbital yang berada searah dengan sisi kubus (dxy, dxz, dan
dyz (orbital t2g)) daripada orbital yang searah dengan pusat kubus (dz2 dan dx
2-dy2 (orbital eg)).
Orbital t2g akan berada pada tingkat energi yang lebih tinggi sementara orbital eg akan stabil pada
tingkat energi di bawahnya, sehingga akan membentuk diagram energi yang berkebalikan
dengan medan oktahedral (Huheey and Keither : 1993). Diagram pemisahan orbital d dan bidang
kubik orbital d medan tetrahedral ditunjukkan oleh Gambar 9.
Gambar 9. Diagram pemisahan orbital d dan bidang kubik medan tetrahedral
(Huheey and Keither : 1993)
Pemisahan (spliting) orbital d7 pada ion kobalt(II) menghasilkan tingkat energi 4P dan 4F.
Elektron yang terdapat pada satu tingkat energi membutuhkan sejumlah energi untuk mencapai
tingkat energi yang lebih tinggi. Besarnya energi yang dibutuhkan ditunjukkan oleh spektra
absorpsi. Elektron yang terdapat pada satu tingkat energi juga dapat melepaskan sejumlah energi
untuk kembali ke tingkat dasar. Perkiraan jumlah pita absorpsi yang terjadi ditunjukkan oleh
diagram Orgel pada Gambar 10.
Gambar 10. Diagram orgel kobalt(II) dalam medan tetrahedral (kiri) dan medan oktahedral (kanan) (Huheey and Keither : 1993)
c. Teori Orbital Molekul
Dalam teori orbital molekul elektron valensi dianggap bergabung dengan seluruh inti dari
molekul. Sehingga orbital - orbital atom dari atom yang berbeda bergabung membentuk orbital
molekul (Lee : 1994).
Adanya senyawa kompleks stabil dimana atom logam dan ligannya tidak bermuatan
memberikan bukti adanya sifat kovalen pada pembentukan kompleks. Sifat ikatan kovalen pada
kompleks dapat dijelaskan dengan teori orbital molekul. Seperti halnya pembentukan orbital
molekul pada molekul - molekul sederhana, pada kompleks juga terbentuk orbital molekul
bonding dan orbital molekul anti bonding (Sharpe : 1991).
Pada kompleks kobalt oktahedral, orbital ligan yang bersesuaian simetrinya akan
mengalami tumpang tindih (overlapping) dengan orbital logam dan membentuk orbital molekul
bonding dan orbital molekul antibonding. Orbital nonbonding yang tidak terlibat pembentukan
ikatan adalah tiga orbital d logam t2g ( dxy, dxz, dyz ). Sedangkan tiga orbital p membentuk orbital
molekul bonding t1u dan orbital molekul antibonding t1u* . Orbital molekul bonding e1g dan orbital
molekul antibonding e1g* dibentuk oleh orbital dx
2-y2 dan dz
2. Orbital s membentuk orbital
molekul bonding a1g dan orbital molekul antibonding a1g* (Cotton and Wilkinson : 1995).
Diagram tingkat energi orbital molekul kompleks oktahedral ditunjukkan oleh Gambar 11.
Gambar 11. Diagram tingkat energi orbital molekul kompleks kobalt oktahedral (Sharpe : 1992)
Sedangkan pada kompleks tetrahedral, orbital dx2-y
2 dan dz2 merupakan orbital
nonbonding. Empat orbital ligan yang bersesuaian simetrinya akan mengalami tumpang tindih
dengan orbital logam membentuk orbital molekul bonding dan orbital molekul antibonding.
Diagram tingkat energi orbital molekul kompleks tetrahedral ditunjukkan oleh Gambar 12.
Gambar 12. Diagram tingkat energi orbital molekul kompleks tetrahedral (Huheey and Keither : 1993)
Kelebihan dari teori ini dibandingkan teori medan kristal adalah bahwa teori ini menjelaskan
adanya ikatan π yang terjadi antara ligan dan atom pusat. Ikatan π dapat menjelaskan posisi ligan
dalam deret spektrokimia.
Kelemahan dari teori orbital molekul adalah teori ini tidak dapat digunakan untuk
menghitung entalpi pembentukan kompleks dan energi ikatan (Lee : 1994).
3. Spektra Elektronik Kompleks Kobalt (II)
Spektra elektronik ion logam transisi dan kompleks diamati pada daerah sinar tampak dan
ultra violet (UV-VIS). Spektra akan timbul saat elektron berpromosi dari tingkat energi yang
lebih rendah menuju tingkat energi di atasnya (Lee : 1994). Transisi elektronik yang terjadi pada
senyawa kompleks adalah akibat dari pembelahan tingkat energi pada orbital – orbital d oleh
suatu medan ligan.
Kompleks Co (II) dengan konfigurasi d7 menghasilkan spektra tiga puncak absorpsi yang
menandakan terjadinya tiga transisi, yaitu 4T1g → 4T2g, 4T1g → 4A2g, dan 4T1g → 4T1g(P). Sebagai
contoh spektra d7 adalah spektra elektronik [Co(Cl)4]2- pada Gambar 13.
Pada kompleks [Co(Cl)4]2-] terdapat 3 transisi yang mungkin terjadi. Energi transisi dan
panjang gelombang maksimum (λmaks) serapan yang terjadi pada [Co(Cl)4]2-] ditunjukkan oleh
Tabel 2 (Lee : 1994) :
Tabel 2. Energi Transisi dan Panjang Gelombang Maksimum [Co(Cl)4]2-] (Lee : 1994)
Transisi Energi Frekuensi (cm-1) λmaks(nm)
4A2 → 4T2 υ1 3.300 3030,30
4A2 → 4T1(F) υ2 5.800 1724,14
4A2 → 4T1(P) υ3 15.000 666,67
4. Sifat Magnetik
Sifat magnetik kompleks dibedakan menjadi dua yaitu sifat paramagnetik dan
diamagnetik. Kompleks dengan medan ligan lemah menghasilkan pemisahan orbital d yang tidak
terlalu besar, sehingga setelah elektron memenuhi orbital d energi rendah elektron berikutnya
akan mengisi orbital d energi tinggi, sehingga elektron cenderung tidak berpasangan. Keadaan
ini dinamakan spin tinggi. Kompleks dengan medan ligan kuat menghasilkan pemisahan orbital
d yang cukup besar, sehingga elektron cenderung berpasangan. Keadaan ini dinamakan spin
rendah yang menimbulkan sifat diamagnetik (Lee : 1994).
Adanya elektron yang tidak berpasangan akan menyebabkan sifat paramagnetik pada
senyawa kompleks. Gerakan spin elektron dari orbital d tersebut menimbulkan momen magnet
permanen yang bergerak searah dengan medan magnet luar dan menghasilkan nilai kerentanan
magnet (Jolly : 1991).
Pada pengukuran dengan neraca kerentanan magnetik, diperoleh harga kerentanan
magnetik per gram (Xg), hubungannya dengan kerentanan magnetik molar (XM) ditunjukkan oleh
persamaan ...(1) (Szafran, Pie, and Singh : 1991). Harga XM dikoreksi terhadap faktor
diamagnetik (XL) ion logam dan ligan, sehingga diperoleh harga kerentanan magnetik terkoreksi
(XA), yang ditunjukkan oleh persamaan ...(2)
XM = Xg x Mr .......................................................................(1)
XA = XM - XL ........................................................................(2)
Harga faktor koreksi diamagnetik dari beberapa ion dan molekul ditunjukkan oleh Tabel 3.
Tabel 3. Faktor koreksi diamagnetik untuk beberapa ion dan molekul (Porterfield : 1984)
No Kation/ Anion/Atom Netral/Molekul
Faktor Koreksi (10-6 cgs)
1 Cu2+ -15,00
2 SO42- -38,00
3 H2O -13,00
4 C -6,00
5 H -2,93
6 N (dalam lingkar lima/enam) -4,61
7 O (dalam eter/alkohol) -4,61
Hubungan harga momen magnet efektif (μeff) dengan kerentanan magnetik terkoreksi (χA)
ditunjukkan oleh persamaan ...(3) (Szafran, Pie, and Singh : 1991).
= 2.828 (XA. T)1/2 BM ( bohr magneton) ...........................................(3)
keterangan :
= momen magnet (BM)
T = suhu (K)
Momen magnet logam transisi adalah perpaduan antara momen spin dengan momen orbital,
namun momen magnet dapat dihitung dari momen spin saja karena pada kebanyakan kompleks
kontribusi momen orbital hampir dapat diabaikan. Hubungan nilai momen magnetik spin µs
suatu senyawa dengan banyaknya elektron yang tidak berpasangan dinyatakan dalam
persamaan ...(4):
µs = [n(n + 2)]1/2 BM ...............................................................(4)
keterangan :
µs = momen magnetik yang ditimbulkan oleh spin elektron
n = jumlah elektron yang tidak berpasangan
(Jolly : 1991)
Terlihat dari persamaan (4) bahwa nilai momen magnetik bergantung pada jumlah elektron yang
tidak berpasangan.
Pada kompleks kobalt oktahedral (d7) momen magnetik spin elektron saja memiliki harga
yang lebih kecil dari momen magnetik terukur atau hasil eksperimen. Faktor yang menyebabkan
perbedaan harga momen magnetik adalah adanya kopling atau rangkaian spin-orbital.
Berdasarkan persamaan...(5) :
μ = μs ..................................................................(5)
keterangan :
μ = momen magnetik terukur atau hasil eksperimen
μs = momen magnetik spin elektron saja
α = konstanta keadaan dasar
λ = konstanta kopling spin-orbital
Δ0 = energi pemisahan orbital d
ion d7 memiliki harga λ negatif sehingga akan memperbesar harga μ terukur.
Kompleks kobalt oktahedral spin tinggi mempunyai momen magnetik terukur 4,3 - 5,2
BM, angka ini lebih besar dibanding dengan hanya melibatkan spin elektron saja yaitu 3,87 BM.
Kompleks kobalt oktahedral spin rendah mempunyai momen magnetik sebesar 2,0 - 2,7 BM,
angka ini lebih besar dibanding dengan hanya melibatkan spin elektron saja yaitu 1,73 BM.
(Sharpe : 1992).
5. Spektroskopi Infra Merah
Atom - atom dalam molekul tidak hanya diam di tempat, melainkan mengalami getaran (vibrasi)
relatif satu sama lain. Apabila getaran atom - atom tersebut menghasilkan perubahan momen
dwikutub, akan terjadi penyerapan radiasi infra merah pada frekuensi yang sama dengan
frekuensi vibrasi alamiah molekul tersebut (Pudjaatmaka : 1989).
Energi yang diemisikan pada daerah infra merah cukup untuk mengubah tingkat vibrasi ikatan
dalam suatu molekul. Daerah yang paling banyak digunakan untuk keperluan praktis dalam
penentuan struktur senyawa organik adalah 4000 – 690 cm-1 (Szafran, Pie, and Singh : 1991).
Molekul - molekul diatom memperlihatkan dua jenis vibrasi yaitu ulur (stretching) dan
vibrasi tekuk (bending). Vibrasi stretching ada dua yaitu simetri dan asimetri. Vibrasi asimetri
terdiri dari scissoring, rocking, wagging, dan twisting. Makin rumit struktur suatu molekul
semakin banyak bentuk - bentuk vibrasi yang mungkin terjadi, akibatnya akan terlihat banyak
pita - pita absorbsi yang diperoleh pada spektrum infra merah. Spektrum infra merah suatu
molekul poliatom sangat rumit untuk dianalisis, setiap absorbsi gugus fungsional suatu molekul
tampak pada daerah yang agak spesifik (Hendayana, Kadahromah, Sumarna, dan Supriatna :
1994). Frekuensi vibrasi antara dua atom dan ikatan yang menghubungkannya dapat dihitung
berdasarkan hukum Hooke yang ditunjukkan oleh persamaan ... (6) (Kemp : 1987) :
.................................................................(6)
keterangan :
υ = bilangan gelombang (cm-1)
c = kecepatan cahaya (cm.det-1)
k = tetapan gaya ikatan (N.m-1)
m1 dan m2 = massa dua atom (g)
Dari persamaan ...(6) terlihat bahwa bilangan gelombang υ berbanding lurus dengan
kekuatan ikatan dua atom k. Sebaliknya bilangan gelombang υ berbanding terbalik dengan massa
tereduksi μ, dimana :
...................................................................(7)
keterangan :
μ = massa tereduksi (g)
m1 dan m2 = massa dua atom (g)
Semakin besar harga bilangan gelombang υ, maka kekuatan ikatan dua atom semakin kuat dan
panjang ikatan semakin pendek. Pergeseran bilangan gelombang ke arah yang lebih besar akan
menambah kuat ikat dua atom dalam satu molekul yang bervibrasi. Pergeseran bilangan
gelombang ke arah yang lebih kecil akan memperlemah ikatan dua atom dalam satu molekul
yang bervibrasi.
Gugus fungsi tertentu yang dapat menyerap sinar infra merah antara lain :
1). Nitrogen – Hidrogen pada Amina
a. Getaran ulur N- H
Amina primer memperlihatkan dua pita serapan lemah, satu di dekat 3500 cm-1 dan lainnya
di dekat 3400 cm-1. Pita - pita ini menyatakan jenis vibrasi ulur N-H simetri dan asimetri. Amina
sekunder menunjukkan serapan lemah di daerah 3350 - 3310 cm-1.
b. Getaran tekuk N-H
Getaran tekuk N-H amina primer teramati di daerah spektrum 1650 – 1580 cm-1
( Hartono dan Purba : 1986).
2). Nitrogen -Hidrogen pada Sulfonamid
Sulfonamid primer memperlihatkan pita ulur N-H yang kuat pada daerah 3390 - 3330 cm-
1 dan 3300 - 3247 cm-1 dalam fase padat, sedangkan sulfonamid sekunder menyerap pada daerah
3265 cm-1 (Hartono dan Purba : 1986).
3). Sulfur - Oksigen pada Sulfonamid
Gugus SO2 pada sulfonamid menunjukkan serapan tajam pada daerah sekitar 1360 - 1320
cm-1 yang disebabkan vibrasi ulur asimetri, sedangkan vibrasi ulur simetri SO2 terletak pada
daerah 1180 - 1140 cm-1 ( Alzuet, Cassanova, Gracia-Granda, Guiterrez-Rodriquez, Supuran :
1998).
4). Sulfur - Nitrogen pada Sulfonamid
Ikatan S-N pada sulfonamid menunjukkan serapan pada derah sekitar 940 - 910 cm-1 (Alzuet,
Cassanova, Gracia-Granda, Guiterrez-Rodriquez, Supuran : 1998).
5). Karbon - Nitrogen pada Rantai Siklik
Ikatan rangkap dua pada gugus C=N dalam rantai siklik memperlihatkan serapan pada
daerah 1580 - 1570 cm-1 (Alzuet, Cassanova, Gracia-Granda, Guiterrez-Rodriquez, Supuran :
1998).
6). Karbon - karbon pada Cincin Aromatik
Vibrasi ikatan rangkap C=C aromatik terkonjugasi menunjukkan serapan pada daerah 1650
- 1600 cm-1 (Hartono dan Purba : 1986).
Pembentukan senyawa kompleks menghasilkan perubahan kekuatan ikatan antar atom pada
molekul. Sehingga senyawa kompleks memiliki serapan gugus fungsi yang berbeda dari ligan
bebasnya. Pada senyawa kompleks tembaga (II)-benzolamid, gugus SO2 yang terikat pada atom
N terkoordinasi memiliki serapan ulur pada 1320 cm-1, sedang benzolamid bebas memiliki
serapan ulur SO2 pada 1270 cm-1 (Alzuet, Cassanova, Gracia-Granda, Guiterrez-Rodriquez,
Supuran : 1998).
6. Daya Hantar Listrik
Daya hantar listrik ( konduktifitas ) merupakan ukuran kekuatan larutan dapat
menghantarkan listrik. Molekul – molekul elektrolit akan terdisosiasi menjadi ion yang dapat
menghantarkan arus listrik bila dilarutkan dalam suatu pelarut (Bird : 1993).
Konsentrasi elektrolit sangat menentukan besarnya konduktifitas suatu larutan, oleh
karena itu ukuran konduktifitas sendiri tidak dapat digunakan untuk suatu larutan untuk itu
digunakan ukuran yang lebih spesifik yaitu konduktifitas molar (m). Konduktifitas molar adalah
konduktifitas suatu larutan apabila konsentrasi larutan sebesar satu molar (Harrizul Rivai : 1995).
Daya hantar listrik larutan elektrolit disebut juga daya hantar molar (molar conductivity), yang
didefinisikan sebagai daya hantar listrik yang ditimbulkan oleh satu mol zat, sesuai persamaan...
(8) (Kartohadiprodjo : 1999).
..........................................................................................(8)
keterangan :
Λ = daya hantar molar (S.cm2.mol-1)
к = daya hantar listrik spesifik larutan elektrolit (S.cm-1)
C = konsentrasi (mol.cm-3)
Apabila satuan Λ adalah S.cm2.mol-1 dan satuan konsentrasi adalah mol.L-1 maka
persamaan ... (8) menjadi :
m = ................................................................................(9)
dimana = daya hantar molar(S.cm2.mol-1)
к = daya hantar listrik spesifik larutan elektrolit (S.cm-1)
C = konsentrasi elektrolit (mol.L-1)
Apabila daya hantar spesifik larutan merupakan daya hantar yang sudah terkoreksi (к*)
dalam satuan μS.cm-1 maka daya hantar molar larutan elektrolit dapat ditulis sesuai persamaan ...
(10).
m = ....................................................................................(10)
keterangan :
Λm = daya hantar molar (S.cm2.mol-1)
к* = daya hantar listrik spesifik terkoreksi (μS.cm-1)
= к - к pelarut
C = konsentrasi elektrolit (mol.L-1)
Jumlah ion yang terdapat dalam kompleks logam transisi dapat diketahui dengan
mengukur konduktifitas larutannya, pengukuran ini memberikan informasi jumlah ion (kation
dan anion) yang terdapat dalam kompleks, sehingga pengukuran daya hantar listrik dapat
digunakan untuk merumuskan senyawa kompleks yang terbentuk ( Szafran, Pie, and Singh :
1991).
7. Differential Thermal Analysis (DTA)
Analisis termal adalah pengukuran sifat fisika dan kimia sebagai fungsi temperatur.
Teknik yang sering digunakan dalam analisis termal ini adalah Differential Thermal Analysis
(DTA) yang mengukur perbedaan temperatur antara sampel dan materi pembanding inert sebagai
fungsi temperatur, jika temperatur keduanya dinaikkan dengan kecepatan sama dan konstan.
Proses yang terjadi dalam sampel adalah eksoterm dan endoterm, yang ditampilkan dalam
bentuk termogram differensial (Skoog, Holler, and Niemann : 1998). Salah satu contoh bentuk
termogram differensial adalah termogram CaC2O4.H2O dengan laju kenaikan temperatur 8°C/min
seperti ditunjukkan oleh Gambar 14.
Gambar 14. Termogram differensial CaC2O4.H2O dengan keberadaan O2 (Skoog, Holler, and Niemann : 1998)
Pada Gambar 14 tampak adanya dua puncak minimum yang menunjukkan terjadinya reaksi
endoterm dengan persamaan reaksi seperti ditunjukkan oleh persamaan di bawah puncak
minimum. Sebagai konsekuensinya, sampel menjadi bersuhu lebh rendah daripada material inert
pembandingnya. Satu puncak maksimum menunjukkan oksidasi kalsium oksalat menjadi
kalsium karbonat dan karbon dioksida. Reaksi yang terjadi adalah reaksi eksoterm (Skoog,
Holler, and Niemann : 1998).
8. Sulfadiazin dan Sulfamerazin
Sebagian besar sulfonamid merupakan senyawa amfoter, sifat asam didasarkan atas gugus
sulfonamid. Adanya substituen pada gugus ini yang bersifat menarik elektron akan memperkuat
keasaman. Sifat basa didasarkan pada gugus amino aromatik yang merupakan basa lemah.
Senyawa - senyawa sulfonamid netral dianggap sebagai ligan lemah karena adanya
penarikan densitas elektron dari atom nitrogen ke atom oksigen yang elektronegatif. Tetapi jika
pada atom N sulfonamid terdapat atom hidrogen yang mudah terdisosiasi, maka efek penarikan
densitas elektron akan menambah sifat keasamannya. Sebaliknya jika terdeprotonasi akan
membentuk anion sulfonamid yang merupakan ligan donor σ yang efektif (Otter, Couchman,
Jeffrey, Mann, Psillakis, Ward : 1998).
a. Sulfadiazin
Sulfadiazin termasuk senyawa sulfonamid dengan massa molekul 250,28 g/mol, pKa
sebesar 6,3, berbentuk serbuk kristal putih, tidak berbau dan sedikit larut dalam alkohol dan
aseton (Wilson dan Gisvold : 1982).
b. Sulfamerazin
Sulfamerazin memiliki massa molekul 264,32 g/mol, pKa sebesar 7,1, berbentuk kristal
putih, dan sedikit larut dalam alkohol (Wilson dan Gisvold : 1982). Struktur sulfadiazin dan
sulfamerazin ditunjukkan oleh Gambar 15.
Gambar 15. Struktur sulfadiazin dan sulfamerazin (Wilson dan Gisvold : 1982).
Macias, Villa, Gracia, Castineiras, Borras, Marin (2003) melaporkan pembentukan kompleks
[Cu(N-quinolin-8-yl-naftalenesulfonamide)] dimana N sekunder dan N tersier pada siklis
terkoordinasi pada Cu(II). Kompleks bergeometri tetrahedral.
B. Kerangka Pemikiran
Formula kompleks yang terbentuk tergantung jumlah ligan yang terkoordinasi pada atom
pusat. Sulfadiazin dan sulfamerazin merupakan ligan polidentat karena mempunyai atom donor
elektron lebih dari satu, sehingga dapat membentuk ikatan koordinasi dengan Co2+ dalam
berbagai kemungkinan. Atom donor elektron tersebut adalah O pada SO2, N pada NH2 primer, N
sekunder, dan N tersier pada rantai siklik. Ligan dapat terkoordinasi pada Co(II) secara
monodentat dengan N primer seperti pada kompleks Cu(II) dengan benzolamid dimana N primer
dari benzolamid terkoordinasi pada Cu(II) (Alzuet, Cassanova, Gracia-Granda, Guiterrez-
Rodriquez, Supuran : 1998) atau sebagai bidentat dengan N sekunder dan N tersier yang
terkoordinasi pada Co(II) seperti kompleks [Cu(N-quinolin-8-yl-naftalenesulfonamide)](Macias,
Villa, Gracia, Castineiras, Borras, Marin : 2003). Dengan demikian terdapat beberapa
kemungkinan atom donor yang terkoordinasi pada atom pusat. Kemungkinan tersebut
ditunjukkan oleh Gambar 16.
a. Atom donor N pada NH2 (N primer)
sulfadiazin sulfamerazin
b. Atom donor N pada NH (N sekunder)
sulfadiazin sulfamerazin
c. Atom donor N pada N siklik (N tersier)
sulfadiazin sulfamerazin
d. Atom donor N pada N sekunder dan N tersier
sulfadiazin sulfamerazin
Gambar 16. Beberapa kemungkinan atom donor yang terkoordinasi pada atom pusat
Efek sterik yang ditimbulkan N primer lebih kecil daripada efek sterik NH sekunder dan N
tersier, sehingga kemungkinan terkoordinasinya N primer pada ion pusat lebih besar daripada N
sekunder dan N tersier. Berdasarkan penelitian Hapsari A.W.(2004), ligan sulfonamid
merupakan ligan lemah. Sulfadiazin dan sulfamerazin merupakan ligan turunan sulfonamid
sehingga diperkirakan termasuk ligan lemah, sehingga akan cenderung membentuk spin tinggi
dan menjadikan 3 elektron pada Co2+ tidak berpasangan dengan harga µeff pada kisaran 4,2 – 5,3
BM dan bersifat paramagnetik.
Struktur kompleks Co2+ pada umumnya oktahedral, namun tidak tertutup kemungkinan
terbentuknya struktur lain seperti tetrahedral, segi empat datar, dan trigonal bipiramid. Kekuatan
ligan yang terkoordinasi pada atom pusat dan pelarut yang digunakan dapat mempengaruhi
struktur kompleks yang terbentuk. Kompleks Co2+ dengan ligan lemah pada umumnya
berstruktur oktahedral.
Spektrum elektronik untuk ion Co2+ atau d7 dalam medan oktahedral ditandai dengan 3
puncak, namun 1 puncak tidak bisa teramati karena berada di luar jangkauan spektrofotometer
UV-Vis. Dua puncak yang teramati berada dalam jarak yang berdekatan dan saling tumpang
tindih sehingga seakan hanya ada satu puncak yang teramati.