Post on 28-Oct-2020
KEBIJAKAN DINAS SOSIAL DALAM PENANGANAN
GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA YOGYAKARTA
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat
Magister pada Program Studi Ilmu Pemerintahan
Konsentrasi Pemerintahan Daerah
Oleh :
Ferdinand Maniawasi
15610028
PROGRAM MAGISTER
SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD”
YOGYAKARTA
2018
i
KEBIJAKAN DINAS SOSIAL DALAM PENANGANAN
GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA YOGYAKARTA
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat
Magister pada Program Studi Ilmu Pemerintahan
Konsentrasi Pemerintahan Daerah
Oleh :
Ferdinand Maniawasi
15610028
PROGRAM MAGISTER
SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD”
YOGYAKARTA
2018
iii
PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini, saya :
Nama : Ferdinand Maniawasi
Nomor Mahasiswa : 15610028
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis berjudul KEBIJAKAN
DINAS SOSIAL DALAM PENANGANAN GELANDANGAN DAN
PENGEMIS DI KOTA YOGYAKARTA, DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA, adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal- hal yang bukan
karya saya dalam tesis tersebut telah di sebutkan dalam teks dan di cantumkan
dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya ini tidak benar, maka
saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang
saya peroleh dari tesis tersebut, Program Magister Ilmu Pemerintahan “STPMD”
APMD Yogyayakarta.
Yogyakarta, 10 Januari 2019
Yang membuat pernyataan
Ferdinand Maniawasi
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
1. Bapak dan ibu tercinta, yang tak pernah putus do‟a serta nasehat-nasehat
untuk saya beseta keluarga yang selalu sabar dan setia membantu saya.
2. Almamater Kampus STPMD‟‟APMD‟‟
3. Bapak dosen yang sudah setia membimbing saya hingga terselesainya
penulisan tesis ini.
v
MOTTO
Jika kau tak suka sesuatu, ubalah!
Jika tidak bisa, maka ubalah cara pandangmu tentangnya.
(Maya Angelou)
Jangan biarkan hari kemarin merengut banyak hal hari ini.
(willRogers)
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segalah rahmat dan karunianya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan
penyusunan tesis yang berjudul: KEBIJAKAN DINAS SOSIAL DALAM
PENANGANAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA
YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi persyaratan akademis dalam
menyelesaikan studi di Program Magister (S-2) Ilmu Pemerintahan, Sekolah
Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa. „‟APMD‟‟
Penulis menyadarai bahwa tesis dapat diselesaikan berkat dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis berterimakasih kepada semua
pihak yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi dalam
menyelesaikan Tesis ini, Untuk itu ijinkan penulis menghaturkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. R. Widodo Triputro, MM, selaku Direktur Program Magister Ilmu
Pemerintahan (S-2) Sekolah Tinggi Pembagunan Masyarakat Desa. „‟APMD‟'
Yogyakarta, beserta pengurus dan segenap karyawan Program Magister Ilmu
Pemerintahan (S-2) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menambah pengetahuan ilmu pemerintahan
2. Bapak Dr. EW. Tri Nugroho Selaku Ketua Tim Penguji, yang telah bersabar
dan banyak membuka wawasan, memberikan petunjuk, dan koreksi terhadap
penulis.
3. Pemerintah dan masyarakat kota Yogyakarta yang selama ini menerima
penulis di lingkungan pemerintah dan masyarakat khususnya warga
Kecamatan Gondokusuman Yogyakarta.
Yogyakarta, 10 Januari 2019
Ferdinand Maniawasi
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
PERNYATAAN ............................................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... iv
MOTTO ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... x
INTISARI ......................................................................................................... xi
ABSTRACT ..................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Fokus Penelitian ......................................................................... 9
C. Perumusan Masalah .................................................................... 10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 10
E. Kerangka Konseptual .................................................................. 11
F. Metode Penelitian........................................................................ 30
1. Jenis penelitian ....................................................................... 30
2. Obyek Penelitian .................................................................... 31
3. Lokasi Penelitian .................................................................... 31
4. Teknik Pemilihan Subyek Penelitian ..................................... 31
5. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 32
6. Teknik Analisis Data .............................................................. 34
BAB II PROFIL DINAS SOSIAL KOTA YOGYAKARTA ....................... 36
A. Kondisi Geografis Dinas Sosial Kota Yogyakarta ...................... 36
B. Visi dan Misi ............................................................................... 37
C. Demografi ................................................................................... 37
viii
D. Perkembangan PSKS .................................................................. 39
E. Struktur Organisasi ..................................................................... 41
F. Fungsi dan Rincian Tugas Berdasarkan Peraturan Wali Kota
Yogyakarta Nomor 85 Tahun 2016............................................. 43
1. Sekretariat ............................................................................. 43
2. Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial ............................. 54
3. Bidang Advokasi dan Rehabilitasi Sosial ............................. 61
4. Bidang Data, Informasi dan Pemberdayaan Sosial ............... 67
5. Unit Pelayanan Teknis .......................................................... 73
a. UPT Rumah Pengasuhan Anak Wilosoprojo Kelas A .. 73
b. UPT Rumah Pelayanan Sosial Lanjut Usia Budi
Dharma Kelas A ............................................................ 73
BAB III ANALISIS DATA ............................................................................ 76
A. Deskripsi Informan.............................................................................. 76
B. Kebijakan Dinas Sosial ........................................................................ 78
C. Pembinaan Pencegahan ....................................................................... 85
D. Kampanye dan Sosialisasi ................................................................... 90
E. Kendala Pelaksanaan Kebijakan .......................................................... 100
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 105
A. Kesimpulan .......................................................................................... 105
B. Saran .................................................................................................... 106
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 108
LAMPIRAN-LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Usia
Tabel 2.2 Tingkat Pendidikan
Tabel 2.3 Perkembangan PSKS Kota Yogyakarta Tahun 2017
Tabel 2.4 Jumlah Penduduk Sasaran Jaminan Perlindungan Sosial Kota
Yogyakarta Menurut Wilayah Kecamatan Tahun 2017
Tabel 3.1 Deskripsi Informan Berdasarkan Nama, Usia, Pendidikan dan Jabatan
Tabel 3.2 Deskripsi Informan Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tabel 3.3 Deskripsi Informan Berdasarkan Jabatan Struktural
Tabel 3.4 Data Anak Jalanan dan Gelandangan di Kota Yogyakarta Tahun 2013-
2017
Tabel 3.5 Alokasi Anggaran Kegiatan Rehabilitasi dan Pendampingan PMKS
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Gedung Dinas Sosial Kota Yogyakarta ........................................ 41
Gambar 2.2 Struktur Organisasi Dinas Sosial Kota Yogyakarta ..................... 42
Gambar 3.1 Mekanisme Proses Pendataan Oleh Dinas Sosial Kota ................ 88
xi
INTISARI
Tesis ini bertujuan untuk memberikan gambaran Kebijakan Dinas Sosial
dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis di Kota Yogyakarta. Pelaksanaan
kebijakan dalam Peneganan Gelandangan dan Pengemis sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi dilakukan oleh Dinas Sosial melalui kegiatan pembangunan
kesejahteraan sosial. Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, Dinas Sosial tidak
sendiri tetapi bekerja sama dengan Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat Kota
Yogyakarta.
Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan fenomena sosial secara jelas
dan cermat maka metode yang di gunakan adalah deskriptif kualitatif. Obyek
penelitian dalam penelitian ini adalah Kebijakan Dinas Sosial dalam Penenganan
Gelandangan dan Pengemis di Kota Yogyakarta.Teknik yang digunakan adalah
snow ball system. Informan penelitian sebanyak 9(sembilan) orang sebagai nara
sumber sebagai pertimbangan bahwa informan yang dipilih memenuhi kriteria
sesuai denga tujuan penelitian.
Kebijakan kebijakan penanganan gelandangan dan pengemis di Kota
Yogyakarta belum memiliki pengaruh terhadap jumlah penanganan terhadap anak
jalanan dan gelandangan, Hal tersebut dikarenakan keluarga maupun anak jalanan
tidak semuanya mendukung kebijakan dan memiliki motivasi untuk berubah serta
belum optimalnya komunikasi dan koordinasi antara Dinas Sosial dengan
Perangkat Daerah/Unit Kerja terkait. Kendala yang dihadapi oleh Dinas Sosial
dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis di Kota Yogyakarta adalah :
keterbatasan anggaran, keterbasan SDM pelaksana, belum optimalnya koordinasi
antara Dinas Sosial dengan TKPK, lingkungan sosial dan ekonomi yang
mendorong anak-anak melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma-
norma. Perlunya koordinasi antara Pemerintah Daerah melalui Dinas Sosial
dengan lembaga swasta melalui CSR untuk membahas permasalahan
kesejahteraan Sosial di Kota Yogyakarta.
Perlunya mengoptimalkan peran UPT Rumah Pengasuhan Anak dan UPT
Panti Karya “Wiloso Projo di Kota Yogyakarta untuk menampung pengemis guna
membina peribadi mereka agar menjadi lebih baik. selain itu pekerjaan patroli
yang dilakukan oleh Dinas Sosial sering mendapatkan perlawanan, dan kegiatan
penanganann pengemis ini yaitu ditemukannya wajah lama yang pernah terjaring
razia.
Kata Kunci : Kebijakan,Penanganan Gelandangan dan Pengemis.
xii
ABSTRACT
This thesis was aimed to provide an illustration of the Policies of the
Social Department in Managing Homeless People and Beggars in Yogyakarta.
Policies in Managing Homeless People and Beggars consistent with the main
tasks and functions are implemented by the Social Department by developing
social welfare. In the implementation, the Social Department works with
Yogyakarta Community Social Worker Association.
The purpose of this study was revealing social phenomenon clearly and
carefully, thus the method used was descriptive qualitative. The research object
was the Policies of the Social Department in Managing Homeless People and
Beggars in Yogyakarta. The technique being used was snow ball system. There
were 9 (nine) research informants as sources with the consideration that the
selected informants met the criteria consistent with the research purposes.
The policies of managing homeless people and beggars in Yogyakarta had
no effect on the management of street children and homeless people. It was
because not all families and street children supported the policies and were
motivate to change, and there was no optimal communication and coordination
between the Social Department and relevant Regional Work Unit. The obstacles
faced by the Social Department in managing homeless people and beggars in
Yogyakarta were : limited budget, limited implementing human resources,
suboptimal coordination between the Social Department and TKPK, social and
economic environments which encouraged children to violate norms. Local
government should coordinate with private agencies through the Social
Department using CSR to discuss social welfare issues in Yogyakarta.
The roles of Childcare Home Technical Implementation Unit and
Technical Implementation Unit “Wiloso Projo” Halfway House Technical
Implementation Unit should be optimized. Social Department patrol was often
opposed and the beggar management often found people who had been previously
raided.
Keywords : Policy, Management of Homeless People and Beggars.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan banyaknya
anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen. Kemiskinan dapat memaksa
seseorang menjadi gelandangankarena tidak memiliki tempat tinggal yang layak,
serta menjadikan mengemis sebagai pekerjaan. Selain itu anak dari keluarga
miskin menghadapi risiko yang lebih besar untuk menjadi anak jalanan karena
kondisi kemiskinan yang menyebabkan mereka kerap kali kurang
terlindungi.Pasal 34 UUD 1945 (setelah amandemen keempat), ayat 2: “Negara
mengembangkan system jaminan social bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.
Ayat ini mengamanahkan kepada para pengambil kebijakan terkait dalam hal ini
Dinas Sosial Makassar untuk merumuskan kebijakan yang dapat memberdayakan
kaum lemah dan terpinggirkan ini, bukan justru sebaliknya mematikan
perekonomian mereka.
Berdirinya Budi Utomo pada tahun 19081 sebenarnya telah menjadi
tonggak yang cukup kuat bagi perkembangan pergerakan nasional. Menurut
sejawaran yang ada di Indonesia maupun luar negeri, Budi Utomo merupakan
mercusuar bagi pergerakan nasional Indonesia. Walaupun akhir-akhir ini mulai
muncul penafsiran baru. Tafsir baru itu antara lain menyatakan bahwa pergerakan
2
nasional sudah ada dan dimulai sejak Sarikat Islam, yang faktanya lebih dulu ada
dan bersifat massa bila dibandingkan dengan Budi Utomo yang hanya bergerak di
kalangan bangsawan Jawa. Namun, dengan alasan bahwa organisasi modern
sudah dimiliki oleh Budi Utomo lantas argument tersebut menjadi kesepakatan
sebagai titik pergerakan nasional di Indonesia, tetapi yang utama nasionalisme
tidak bisa dilepaskan dari peran yang dimainkan oleh kaum intelektual. (Aloysius
Bram Widyanto, 2010:1)
Kebijakan yang ada untuk menangani anak jalanan tidak terjadi
diskriminasi dan marginalisasi anak jalanan yang semakin menjauhkan mereka
dari hak-hak yang semestinya mereka peroleh. UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 4
Tentang Perlindungan Anak Pasal 4 menegaskan setiap anak berhak untuk dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Keberadaan anak jalanan tentunya mempunyai latar belakang dan motivasi
yang berbeda, salah satu motivasi mereka menjadi anak jalanan karena tekanan
kondisi sosial ekonomi orang tuanya yang tidak cukup untuk biaya hidup sehari-
hari, kemudian berangkat dari keinginan untuk membantu orang tua mereka,
maka mereka melakukan pekerjaan dengan kemampuan yang dimiliki, ada pula
anak jalanan yang melakukan pekerjaan tersebut demi mendapatkan uang untuk
biaya hidupnya. Riset terhadap anak jalanan menggambarkan bahwa, persepsi
tentang mereka berkaitan dengan stigma kekerasan, kriminalitas dan gangguan
3
sosial. Anak jalanan, di samping kriminalitas dan gangguan sosial. Anak jalanan,
di samping menimbulkan masalah sosial, seperti keamanan, ketertiban lalulintas,
dan kenyamanan, juga memunculkan tindakan kriminal terhadap anak jalanan itu
sendiri. Mereka menjadi komunitas yang rentan terhadap kekerasan dan
pelecehan orang dewasa, penggarukan petugas ketertiban kota, berkembangnya
penyakit, dan konsumsi minuman keras serta zat adiktif atau narkoba.
Di kalangan pemuda terdapat gerakan Tri Koro Darmo, Jong Java, Jong
Celebes Bond, Jong Sumatra Bond, Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia, dan
Indonesia Muda.Pada tanggal 30 April 1926 mereka mengadakan Konggres
Pemuda I di Jakarta. Dalam konggres dihasilkan keputusan untuk mengadakan
Konggres Pemuda Indonesia II, dan semua perkumpulan pemuda agar bersatu
dalam satu organisasi pemuda Indonesia. Kemudian Konggres Pemuda II
diadakan tanggal 27-28 Oktober 1928, disepakati tiga keputasan pokok yaitu: 1)
Dibentuknya suatu badan fusi untuk semua organisasi pemuda. 2) Menentapkan
ikrar pemuda Indonesia bahwa mereka: a) Mengaku bertumpah darah yang satu,
tanah air Indonesia. b) Mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. c) Menjunjung
bahasa yang satu, bahasa Indonesia. 3) Asas ini wajib dipakai oleh semua
perkumpulan di Indonesia. Hasil ini menjadi pondasi bagi persatuan Indonesia.
Lagu yang berjudul Indonesia Raya karangan Wage Rudolf Supratman yang
dikumandangkan membangkitkan semangat para pesertanya. Dan Sumpah
Pemuda tiada lain adalah ungkapan sejarah manusia Indonesia. (Aloysius Bram
Widyanto, 2010:2 )
4
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
dijelaskan bahwa negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab
menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum
anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan atau mental . Sementara itu
dalam pasal 16 juga disebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh
perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman
yang tidak manusiawi. Melihat berbagai persoalan terkait dengan semakin
banyaknya keberadaan anak jalanan yang rentan terhadap tindak kekerasan, maka
pemerintah wajib untuk memberikan perlindungan kepada anak jalanan yang
telah mengalami tindakan kekerasan baik secara fisik maupun seksual.
Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota yang tidak luput dari
permasalahan sosial seperti uraian di atas. Terkait hal ini, Pemerintah Kota
Yogyakarta memiliki kebijakan yang berkaitan dengan permasalahan sosial
tersebut yaitu Perda No. 1 Tahun 2014 Tentang Penanganan Gelandangan dan
pengemis yang dibuat dan dikeluarkan oleh Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan isi pembinaan anak jalanan, gelandangan, pengemis dan
pengamen. Kota Yogyakarta merupakan salah satu dari empat daerah yang
menerapkan peraturan daerah tentang anak jalanan dan daerah lainnya adalah
Jakarta, Denpasar dan Palembang. Peratuan inilah yang mendasari pemerintah
Kota Yogyakarta untuk meminimalisir sebab akibat dari anak jalanan,
gelandangan, pengemis dan pengamen. Mengingat keberadaan anak jalanan,
5
gelandangan, pengemis dan pengamen cenderung membahayakan dirinya sendiri
dan/atau orang lain dan ketentraman di tempat umum serta memungkinkan
mereka menjadi sasaran eksploitasi dan tindak kekerasan, sehingga Pemerintah
Kota Yogyakarta menganggap perlu dilakukan penanganan secara komprehensif,
terpadu dan berkesinambungan. Tetapi ternyata semua sasaran dan tujuan
tersebut belum bisa terlaksanakan secara maksimal. Terbukti berdasarkan data
dari Dinas Sosial Kota Yogyakarta selama tiga tahun terakhir, jumlah anjal,
gepeng dan pengamen semakin bertambah. Jumlah anak jalanan yang berkeliaran
di Kota Yogyakarta semakin meningkat. Peningkatan tersebut sangat terasa pada
2009 ini. Sebab sejak awal tahun 2009, Dinas Ketertiban telah menjaring
sebanyak 1.363 anak jalanan. “Anak jalanan yang ditertibkan selama 2009 ini
meningkat dari tahun sebelumnya, namun mayoritas dari mereka bukan penduduk
asli Yogyakarta. Dari jumlah 1.363 anak jalanan tersebut, hanya 312 anak jalanan
(22,18 persen) yang merupakan penduduk kota Yogyakarta. Kemudian sebanyak
967 anjal (70,98 persen) berasal dari luar Yogyakarta, dan sisanya tidak jelas.
Anak jalanan yang usianya anak-anak jumlahnya 370 orang, sedangkan yang
berusia dewasa jumlahnya 809 orang. (www.tempo.co/.../Jumlah-Anak-Jalanan-
di-Yogyakarta).
Penelitan ini bukanlah satu-satunya penelitian tentang kebijakan dinas
sosial dalam menanggulangi disorientasi generasi muda. Ada peneliti lain yang
telah melakukan penelitian yaitu:
6
Pertama, Lena Satlita M.Si. 2016, Fakultas Ilmu Sosial UNY, Efektivitas
Pelaksanaan Program Generasi Berencana di Kota Yogyakarta. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan Program Generasi Berencana
(GenRe) di Kota Yogyakarta beserta faktor pendukung dan faktor
penghambatnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan Program
Generasi Berencana (GenRe) di Kota Yogyakarta belum efektif dilihat dari lima
indikator : (1) Kebijakan belum efektif dalam mengatasi permasalahan remaja. (2)
Pelaksana cukup efektif dilihat dari pembagian tugas dan kewenangan meskipun
memiliki keterbatasan sumberdaya manusia, (3) Target belum efektif karena
target yang diintervensi belum siap mendukung Program GenRe, (4) Lingkungan
kebijakan sudah efektif namun lingkungan ekternal belum efektif, dan (5) Proses
belum efektif karena remaja dan keluarga yang mempunyai remaja belum
memahami substansi Program GenRe. Faktor pendukungnya yaitu kemudahan
dari komunikasi dan adanya pelatihan konseling. Sedangkan faktor
penghambatnya yaitu rendahnya partisipasi masyarakat, adanya penyimpangan
moral, dan keterbatasan waktu setiap individu.
Kedua penelitian. Juli Panglima Saragih, Program magister ilmu hukum
universitas diponegoro semarang berjudul Kebijakan penanggulangan kemiskinan
di yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analisis dengan
menganalisa data-data sekunder yang relevan. Jenis penelitian ini adalah bersifat
kualitatif. Hasil penelitian menemukan bahwa Pemerintah DIY terus berupaya
7
meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk miskin di daerahnya, tetapi
karena keterbatasan dan ketidakberdayaan penduduk miskin itu sendiri sangat
sulit untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, di samping keterbatasan fiskal
daerah dalam menanggulangi kemiskinan penduduk di DIY. Rekomendasi
kebijakan yang dapat dilakukan antara lain bagaimana upaya memberdayakan
potensi ekonomi lokal yang ada, menciptakan lapangan kerja, membangun usaha-
usaha produktif seperti usaha mikro dan kecil bagi masyarakat guna
meningkatkan pendapatan mereka, di samping mengkoordinasikan program pro-
poor dengan pemerintah pusat merupakan langkah yang harus ditempuh.
Ketiga penelitian, Aryadi, Bambang 2016), yang berjudul Kinerja Dinas
Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam Penanganan Gelandangan dan
Pengemis di Kota Yogyakarta. dari Fakultas Ilmu Sosial UNY. Penelitian
bertujuan memahami kinerja Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam
penanganan gelandangan dan pengemis di Kota Yogyakarta beserta faktor
penghambatnya. Tujuan selanjutnya untuk memberi masukan kepada pemerintah
daerah dalam mengatasi permasalahan gelandangan dan pengemis serta
mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis yang ada di Kota Yogyakarta.
Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Informan penelitian adalah Kepala seksi dan staff Rehabilitasi Masalah
Sosial Dinsosnakertrans, Kepala seksi Pelayanan Sosial Dinsosnakertrans, Kepala
bidang Pengendalian Sosial Dintib, Kepala dan pegawai UPT Panti Karya serta
pengemis di Kota Yogyakarta. Peneliti sebagai instrumen penelitian ini.
8
Pengumpulan data dengan wawancara, observasi dan dokumentasi. Triangulasi
sumber dipilih sebagai teknik uji keabsahan data. Teknik analisis data
menggunakan teknik interaktif yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian
data dan penarikan kesimpulan. Pengujian keabsahan data menggunakan teknik
triangulasi sumber. Hasil penelitian menunjukkan kinerja Dinsosnakertrans dalam
penanganan gelandangan dan pengemis di Kota Yogyakarta termasuk baik dilihat
dari 5 (lima) indikator yaitu; 1) produktivitas Dinsosnakertrans Kota Yogyakarta
sudah mampu memberikan penanganan kepada gepeng, 2) pelayanan pengobatan
gratis, pengantaran pulang, kebutuhan sehari – hari di UPT Panti Karya,
pemakaman gratis dan kerjasama yang dilakukan dengan berbagai instansi, 3)
respon Dinsosnakertrans dalam menanggapi tanggapan masyarakat yang berasal
dari UPIK terkait gepeng, 4) Terdapat pedoman dalam penanganan gepeng di
Kota Yogyakarta yaitu Perda DIY Nomor 1 Tahun 2014, 5) adanya
pertanggungjawaban dari Dinsosnakertrans maupun UPT Panti Karya. Namun
masih terdapatnya kendala dari internal dan eksternal yang menghambat kinerja
Dinsosnakertrans dalam penanganan gepeng di Kota Yogyakarta.
Dari kajian ketiga tesis tersebut di atas penelitian yang dilakukan meliputi,
Efektifitas pelaksanaan program generasi berencana di kota Yogyakarta,
Kebijakan penanggulangan kemiskinan di kota Yogyakarta, Kinerja Dinas Sosial,
Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis
di Kota Yogyakarta. Dalam menagani gejala sosial yang terjadi di masyarakat
melalui program-program pemerintah, namun sejauh ini pemerintah masih
9
mengalami banyak kendala dalam mengatasi permasalahan sosial yang terjadi di
masyarakat, Di bandingkan dengan ketiga penelitian di atas penelitian ini lebih
fokus pada Kebijakan Dinas Sosial dalam Penangana Gelandangan dan Pengemis
di kota Yogyakarta.
Melihat persoalan diatas, maka pemetaan kawasan menjadi langkah awal
yang akan diambil. Selain itu, tentunya Dinas Sosial akan memetakan daerah
yang rawan anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen yang selanjutnya
akan dijadikan sebuah program dan pengambilan kebijakan yang harus cepat
ditindaki. Salah satu upaya yang saat ini dilakukan oleh Dinas Sosial dalam
mengatasi permasalahan anak jalanan yaitu melakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan kebijakan terkait penanganan anak jalanan. Melihat fakta yang
mengemuka di atas, maka penulis tertarik menulis skripsi dengan judul : “
Kebijakan Dinas Sosial dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis di Kota
Yogyakarta”.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan paparan latar belakang maslah di atas maka pokok masalah
yang menjadi titik atau pusat perhatian dengan topik penelitian kebijakan dinas
sosial dalam penanganan anak jalanan ,maka fokus penelitian ini akan diuraikan
dibawah.
1) Kebijakan Dinas Sosial dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis di
Kota Yogyakarta.
10
2) Kendala yang dihadapi oleh Dinas Sosial dalam Penanganan Gelandangan dan
Pengemis.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka rumusan masalaha dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana implementasi penerapan kebijakan penanganan Gelandangan dan
Pengemis di Kota Yogyakarta?
2. Kendala apa yang menghambat penerapan implementasi kebijakan
penanganan Gelandangan dan Pengemis di Kota Yogyakarta.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui implementasi penerapan kebijakan penanganan
Gelandangan dan Pengemis yang diterapkan di Kota Yogyakarta.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menghambat penerapan
implementasi kebijakan penanganan Gelandangan dan Pengemis di Kota
Yogyakarta.
Sedangkan manfaat penelitian adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Sumber referensi kepustakaan bagi peneliti yang berkepentingan dalam
penelitian yang berhubungan dengan implementasi kebijakan penanganan
terhadap Gelandangan dan Pengemis.
11
2. Manfaat praktis
a. Sumber bahan informasi dan pertimbangan bagi Dinas Sosial Kota
Yogyakarta dalam mengambil keputusan dan menyusun kebijakan tentang
penanganan Gelandangan dan Pengemis di Kota Yogyakarta.
b. Diharapkan dapat memenuhi syarat dalam penyelesaian tugas akhir
Program Magister Ilmu Pemerintahan (S2) pada Jurusan Ilmu
Pemerintahan di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa
“APMD”
E. Kerangka Konseptual
1. Pengertian Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis
Anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-
anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki
hubungan dengan keluarganya. Tapi hingga kini belum ada pengertian anak
jalanan yang dapat dijadikan acuan bagi semua pihak. Ditengah ketiadaan
pengertian untuk anak jalanan, dapat ditemui adanya pengelompokan anak
jalanan berdasar hubungan mereka dengan keluarga. Pada mulanya ada dua
kategori anak jalanan, yaitu children on the street dan children of the street.
Namun pada perkembangannya ada penambahan kategori, yaitu children in
the street atau sering disebut juga children from families of the street.
Children of the street adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau
sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau ia
memutuskan hubungan dengan orangtua atau keluarganya sedangkan
12
Children in the street atau children from the families of the street adalah anak-
anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari
keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan.
2. Anak Jalanan Perempuan dan Permasalahannya
Sebagai salah satu bagian dari komuniatas jalanan adalah anak jalanan
perempuan. Anak jalanan perempuan menempati dasar dari piramida
kekuasaan yang ada di jalan, bila anak jalanan sendiri dipahami sedemikian
buruk kehidupannya, maka anak jalanan perempuan tentu lebih buruk lagi.
Mereka sangat rentan terhadap perlakuan kekerasan, ataupun berbagai
eksploitasi terutama abuse dan eksploitasi seksual.Berdasarkan wawancara
dengan salah seorang aktivis YLPS Humana Girl yang khusus menangani
anak jalanan, batasan pengertian anak jalanan perempuan adalah :
“Seorang anak perempuan yang berumur dibawah 18 tahun yang
menghabiskan sebagian waktu atau seluruh waktunya di jalanan untuk
melakukan kegiatan guna mendapatkan uang atau mempertahankan
hidupnya”. (wawancara 5 Oktober 2018)
Di Yogyakarta, awalnya anak jalanan tidak langsung masuk dan terjun
begitusaja di jaanan, mereka biasanya mengalami proses belajar yang
bertahaP. Mula-mula mereka lari dari rumah sehari sampai seminggu kembali,
lalu lari lagi selama dua minggu atau tiga bulan sampai akhirnya benar-benar
lari tak kembali selama dua tahun. Setelah di jalanan, proses tahap kedua yang
mesti dilalui anak jalanan adalah inisiasi. Biasanya untuk anak-anak jalanan
yang lebih dewasa. Barang-barang mereka yang relatif bagus akan diambil
13
secara paksa. Selain mereka juga akan dipukuli oleh teman sesama anak jalana
yang telah lebih dahulu hidup dijalanan. (Bagong Suyanto, 2002:45)
Anak Jalanan perempuan memiliki masalah yang sangat komplek ketika
mereka berada di jalan. Hal ini merupakan suatu resiko yang harus mereka
hadapi mau tidak mau. Masalah-masalah pada anak jalanan perempuan,
berdasarkan hasil pra survey dilapangan yang ditangani oleh LSM yang
menangani anak jalanan seperti YLPS Humana, LSPPA (Lembaga Studi dan
Pengembangan Perempuan dan Anak), YSS (Yayasan Sosial Soegijopranata)
dan LPA ( Lembaga Perlindungan Anak ) Yogyakarta antara lain :
1) Kekerasan
Arti kekerasan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke III adalah :
perihal ( yang bersifat berciri), perbuatan seseorang atau kelompok orang
yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.
Tindak kekerasan yang dialami anak jalanan perempuan adalah :
a. Kekerasan yang dialami oleh mereka adalah kekerasan fisik seperti
pukulan dengan tangan atau alat, tendangan, dicubit, dijambak, dipalak
atau diminta uang atau barang yang dimiliki secara paksa. Pelaku dari
kekerasan fisik ini adalah sesama anak jalanan, orang tua anak itu
sendiri, preman-preman yang ada di sekitar anak jalanan bekerja.
b. Kekerasan non fisik yang bersifat psikologi yang banyak diterima
adalah ejekan dan hinaan, omelan dan makian. Pelaku dari kekerasan
ini banyak dilakukan oleh orang tua anak (anak yang bekerja dijalan,
14
dimana mereka masih tinggal dengan orang tuanya), teman sebanya,
aparat dan masyarakat. Stigma yang diberikan terhadap anak jalanan
perempuan merupakan tindakan kekerasan non fisik seperti misalnya
label sebagai anak nakal, liar, pelacur telah memberikan tekanan
mental pada mereka. Labelisasi yang diterima anak jalanan perempuan
sebagai ciblek ( cilik-cilik betah melek), rendan (kere dandan) semakin
menyudutkan mereka sebagai anak dan bahkan sebagai pelacur.
c. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual paling banyak dialami oleh anak jalanan
perempuan. Bentuk kekerasan seksual yang sering dialami seperti :
pelecehan seksual, dipaksa berhubungan seksual. Biasanya kekerasan
seksual dialami oleh anak yang baru turun ke jalan dan bergabung
pada suatu komunitas atau kantong.
d. Kekerasan ekonomi
Kekerasan ekonomi didapat oleh anak yang bekerja di jalan yang
biasanya selalu diawasi oleh orang tuanya yang menunggu dipinggir
jalan, tetapi mereka tidak ikut bekerja hanya menunggu setoran
anaknya dengan jumlah yang telah ditetapkan. Jika setoran tersebut
kurang dari jumlah maka anak itu akan mendapat kekerasan (abuse)
tidak saja mental (teguran atau omelan) tapi juga fisik (pemukulan,
tidak diberi makan). Anak yang mendaoat eksploitasi ekonomi oleh
keluarganya cenderung sulit untuk keluar dari kehidupan anak jalanan
15
karena mereka adalah aset ekonomi dan yang lebih serng terjadi
mereka adlaah tulang punggung ekonomi keluarga.
2) Penggunaan NAPSA ( drug) dan Minuman Keras (Drunk)
Sebagian anak jalanan perempuan pernah mengkonsumsi napsa dan
minuman keras. Hal yang mendorong penggunaan napsa dan minuman
keras adalah :
a. Pengaruh teman, mengkonsumsi napsa dan minuman keras sudah
menjadi hal yang biasa dilingkungan komunitas anak jalanan tersebut
dan tidak jarang adanya pemaksaan dari anggota “kelompok” mereka
untuk menggunakan narkotika.
b. Kebiasaan, hal ini terjadi bila peer group atau lingkungan tempat
tinggal disekitarnya memiliki kebiasaan mengkonsumsi napsa dan
minuman keras.
c. Melarikan diri dari masalah atau melupakan penderitaan mereka.
3) Masalah kesehatan
Anak jalanan perempatan lebih rentan pada masalah kesehatan,
karena gaya hidup yang sangat kental dengan nuansa drunk, drug dan
seks yang menyebabkan banyak diantara mereka terkena penyakit
menular seksual, yang didapat dari pasangannya. Mengingat perilaku
seksual anak jalanan yang relatif lebih bebas dan seringnya berganti-ganti
pasangan. Kehidupan anak jalanan yang dikenal keras menjadikan anak-
anak jalanan khususnya anak jalanan perempuan dituntut untuk kreatid
16
agar mereka dapat bertahan hidup. Strategi untuk hidup yang dilakukan
biasanya dengan mengamen, mengemis. Dengan alat bantu kerja yang
berupa icik-icik dari tutup botol biasa digunakan untuk anak yang berusia
dibawah 8 tahun. Chuck (gitar kecil bertali 4) digunakan oleh mereka
yang sudah lebih besar, anak-anak ini menjual suara untuk mendaat
imbalan uang dan jumlah yang diperoleh relatif seragam yaitu 100
rupiah.
Tiga istilah untuk mengkelompokkan anak jalanan yang
mengambarkan tingkat keterlibatan anak-anak dengan jalanan, Menurut
Asmoro dalam Klasifikasi Anak Jalanan (http://www.misipelmasgbi.org)
yaitu:
a. Anak-Anak Jalanan adalah mereka yang seluruh eksistensinya
bergantung pada sumber-sumber yang mereka dapati di jalanan, dan
mereka tinggal disana 24 jam setiap hari. Yang dapat disebut para
pengamen “tulen”. Mereka sering memperkenalkan dirinya sebagai
anak jalanan sejati. Mereka biasanya membuat wilayah- wilayah
kekuasaan dan etika sendiri yang berlaku dikalangan mereka sendiri.
Hukumnya adalah siapa yang kuat itulah yang menang dan
mempunyai kekuasaan daerah yang luas (hukum rimba).
b. Anak-Anak yang Ada di Jalanan Mereka adalah anak-anak yang
mungkin mempunyai rumah atau bahkan bersekolah seperti anak-
anak biasanya, akan tetapi mereka rata-rata menghabiskan waktunya
17
di jalanan atau hanya sekedar mencari nafkah untuk mencukupi
kebutuhan keluarganya. Anak-anak ini biasanya disebut sebagai anak-
anak jalanan “nafkah”, yaitu anak-anak yang sengaja turun kejalanan
untuk mencari uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Ada
sebagian mereka yang disuruh oleh orang tuanya, ada yang karena
kemauannya sendiri, dan ada yang dipaksa oleh orang tuanya. Untuk
sekarang ini menurut kami sebagai LSM yang bergerak di jalanan,
anak-anak demikianlah yang paling banyak ada di jalanan.
c. Anak-Anak Pra Jalanan: mereka adalah anak-anak yang tidak terus-
menerus berada di jalanan, akan tetapi melihat keadaan mereka dan
keluarga mereka, serta latar belakang keluarganya, ada kemungkinan
besar mereka akan turun ke jalanan. Biasanya untuk memulai kegiatan
ini mereka hanyalah sekedar iseng, atau diajak teman yang biasanya
ada di jalanan. Mereka mengamen atau melakukan hal yang lain
sekedar menambah uang jajan saja. Mereka mempunyai tempat
tinggal yang pasti dan bahkan mempunyai orang tua yang lengkap
serta keadaan ekonomi keluarga yang pas-pasan. Namun ada
kemungkinan mereka dapat mengalami keadaan yang buruk atau
“kepepet” sehingga salah satu cara yang pasti akan diambil untuk
bertahan hidup adalah mengamen atau mengemis di jalanan. Anak
jalanan yang demikian kami sering menyebutnya sebagai anak jalanan
“jajan”. Mereka inilah yang sebenarnya membutuhkan pelayanan
18
secara serius supaya mereka dicegah atau diupayakan untuk tidak
terlanjur turun kejalanan seperti kelompok anak-anak jalanan
sebelumnya.
3. Implementasi Kebijakan
Menurut Wibawa Samudra (1994), Implementasi kebijakan adalah
aktivitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu
kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output
atau outcomes bagi masyarakat. Tahap implementasi kebijakan dapat
dicirikan dan dibedakan dengan tahap pembuatan kebijakan. Pembuatan
kebijakan di satu sisi merupakan proses yang memiliki logika bottom-up,
dalam arti proses kebijakan diawali dengan penyampaian aspirasi, permintaan
atau dukungan dari masyarakat. Sedangkan implementasi kebijakan di sisi
lain di dalamnya memiliki logika top-down, dalam arti penurunan alternatif
kebijakan yang abstrak atau makro menjadi tindakan konkrit atau mikro.
Singkatnya, implementasi merupakan sebuah proses untuk
mewujudkan rumusan kebijakan menjadi tindakan kebijakan guna
mewujudkan hasil akhir yang diinginkan. Kebijakan dalam penelitian ini
bermakna juga, bagaimana langkah-langkah pemerintah dalam menjawab
pilihan tindakan yang ditempuh oleh pemerintah dapat: (1) kebijakan yang
diambil dapat berjalan secara terus-menerus, (2) dapat diimplementasikan
dengan baik.
19
Berdasarkan pengertian di atas, maka kebijakan menurut karakternya
adalah langsung mempraktekkan dalam bentuk program-program dalamproses
pembuatan kebijakan. Analisis kebijakan meneliti sebab, akibat, kinerja dan
program publik. Kebijakan tersebut sangat diperlukan dalam praktek
pengambilan keputusan di sektor publik, dan karenanya dibutuhkan oleh para
politisi, konsultan, dan pengambilan keputusan oleh pemerintah. Program-
program yang dilakukan oleh pemerintah senantiasa bisa berjalan dengan
baik, hal ini dikarenakan bisa memajukan daerahnya dalam mengahadapi
kemajuan masa yang akan datang. Kebijakan diciptakan untuk mengatur
kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama.
4. Model Implementasi Kebijakan
Dalam mengimplementasikan kebijakan publik, ada beberapa model
yang perlu digunakan untuk menjadi pedoman atau penuntun agar pada saat
pelaksanaan, kebijakan tersebut tidak akan menyimpang dari apa yang
sebelumnya telah dirumuskan. Model implementasi kebijakan merupakan
kerangka dalam melakukan analisis terhadap proses implementasi kebijakan
sebagai alat untuk menggambarkan situasi dan kondisi yang terjadi setelah
ditetapkannya kebijakan tersebut, sehingga perilaku yang terjadi di dalamnya
dapat dijelaskan. Oleh karena itu, penggunaan model implementasi kebijakan
sangat diperlukan untuk melakukan studi implementasi kebijakan. Ada
beberapa model implementasi kebijakan menurut para ahli yang seringkali
diterapkan. Pada umumnya ,model-model tersebut menjelaskan faktor-faktor
20
yang mempengaruhi implementasi kebijakan yang diarahkan pada pencapaian
kebijakan.
Pendekatan implementasi kebijakan publik yang dikemukakan oleh
Grindle dikenal dengan “Implementation as a Political and Administrative
Process”. Menurut Grindle, keberhasilan implementasi suatu kebijakan publik
dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhirnya (outcomes) yaitu tercapai
atau tidaknya tujuan yang ingin diraih. Pengukuran keberhasilan tersebut
dapat dilihat dari 2 (dua) hal yaitu: Prosesnya Kebijakan, apakah pelaksanaan
kebijakan telah sesuai dengan yang ditentukan dengan merujuk pada aksi
kebijakannya. Pencapaian tujuan kebijakan impact atau efeknya pada
masyarakat secara individu dan kelompok, tingkat perubahan yang terjadi dan
juga penerimaan kelompok sasaran. Selain itu, keberhasilan suatu
implementasi kebijakan publik juga sangat ditentukan oleh tingkat
keterlaksanaan kebijakan yang terdiri atas isi kebijakan (content of policy) dan
lingkungan implementasi (context of implementation) Isi kebijakan meliputi:
(1) interest affected, yaitu kepentingan yang dapat mempengaruhi
implementasi kebijakan,
(2) type of benefits, yaitu jenis manfaat yang menunjukan dampak positif
yang dihasilkan,
(3) extend of change envision, yaitu seberapa besar perubahan yang hendak
atau ingin dicapai melalui suatu implementasi sehingga harus mempunyai
skala yang jelas,
21
(4) site of decission making, yaitu, letak pengambilan keputusan dari suatu
kebijakan yang akan diimplementasikan,
(5) program implementer, yaitu implementasi kebijakan atau program yang
harus didukung oleh adanya pelaksana yang berkompeten, dan
(6) resources commited, yaitu, sumber daya yang harus mendukung agar
implementasi kebijakan dapat berjalan dengan baik.
5. Kriteria Pengukuran Implementasi Kebijakan
Menurut Grindle dan Quade, untuk mengukur kinerja implementasi
suatu kebijakan publik harus memperhatikan variabel kebijakan, organisasi
dan lingkungan. Perhatian itu perlu diarahkan karena melalui pemilihan
kebijakan yang tepat maka masyarakat dapat berpartisipasi memberikan
kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya,
ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih diperlukan organisasi
pelaksana, karena di dalam organisasi ada kewenangan dan berbagai sumber
daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik.
Sedangkan lingkungan kebijakan tergantung pada sifatnya yang positif atau
negatif. Jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan akan
menghasilkan dukungan positif sehingga lingkungan akan berpengaruh
terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan
berpandangan negatif maka akan terjadi benturan sikap, sehingga proses
implementasi terancam akan gagal. Lebih daripada tiga aspek tersebut,
22
kepatuhan kelompok sasaran kebijakan merupakan hasil langsung dari
implementasi kebijakan yang menentukan efeknya terhadap masyarakat.
6. Proses Implementasi Kebijakan
Menurut Fauzi Yudistria (2010), Implementasi mengacu pada tindakan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan.
Tindakan ini berusaha untuk menggubah keputusan-keputusan tersebut
menjadi pola-pola oprasional serta berusaha mencapai perubahan-perubahan
besar atau kecil sebagaiman yang telah diputuskan sebelumnya. Implementasi
pada hakikatnya adalah uapaya pemahaman apa yang seharusnya terjadi
setelah sebuah program dilaksanakan Proses implementasi kebijakan tidak
hanya melibatkan instansi yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan
kebijakan tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik,
ekonomi, dan soaial. Dalam tataran praktis, implementasi kebijkan adalah
proses pelaksanaan keputusan dasar.
Proses tersebut terdiri atas beberapa tahap, yaitu tahapan pengesahan
peraturan perundangan, peklasanaan keputusan oleh instansi pelaksana,
ketersediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan, dampak nyata
keputusan baik yang dikehendaki atau tidak, dampak keputusan sebgaimana
yang telah diharapkan instansi pelaksana, dan upaya perbaikan atas kebijakan
atau peraturan perundangan. Proses persiapan implementasi setidaknya
menyangkut beberapa hal penting yakni penyiapan sumber daya, metode,
23
penerjemahan kebijakan menjadi rencana dan arahan yang dapat diterima
serta dijalankan.
7. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan
Menurut Edward George, Keberhasilan implementasi kebijakan akan
ditentukan oleh banyak faktor pendukung dan penghambat yang terlibat dalam
implementasi kebijakan. Dalam pandangan Edwards III, implementasi
kebijakan dipengaruhi oleh empat faktor, yakni (1) komunikasi, (2)
sumberdaya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi. Keempat faktor ersebut
juga saling berhubungan satu sama lain.
Untuk memperlancar implementasi kebijakan, perlu dilakukan
diseminasi dengan baik. Syarat pengelolaan diseminasi kebijakan ada empat,
yakni: (1) adanya respek anggota masyarakat terhadap otoritas pemerintah
untuk menjelaskan perlunya secara moral mematuhi undang-undang yang
dibuat oleh pihak berwenang; (2) adanya kesadaran untuk menerima
kebijakan. Kesadaran dan kemauan menerima dan melaksanakan kebijakan
terwujud manakala kebijakan dianggap logis; (3) keyakinan bahwa kebijakan
dibuat secara sah; dan (4) awalnya suatu kebijakan dianggap kontroversial,
namun dengan berjalannya waktu maka kebijakan tersebut dianggap sebagai
sesuatu yang wajar.
24
8. Peraturan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun
2014.
Kota Yogyakarta merupakan salah satu kabupaten/kota di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, meskipun luas wilayahnya tidak begitu luas
jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya, namun tak dapat dipungkiri
Kota Yogyakarta merupakan episentrum dari pelbagai aktivitas, seperti
ekonomi, sosial, pendidikan, dan kebudayaan. Bisa dikatakan, bahwa Kota
Yogyakarta adalah ibukota dan pusat pemerintahan Daerah Istimewa
Yogyakarta, hal itu bisa dibuktikan dengan keberadaan Sultan Yogyakarta dan
Adipati Pakualaman yang bertempat di wilayah ini.
Di dalam Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1
Tahun 2014 pasal 21 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis,
menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan pergelandangan
dan/atau pengemisan baik perorangan atau berkelompok dengan alasan, cara,
dan alat apapun untuk menimbulakan belas kasihan dari orang lain. Oleh
karna itu dalam, rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat,
Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah
dibidang Sosial dan ketertiban sangat diharapkan, selain dari masyarakat
tentunya dengan bersama-sama berupaya menangani gelandangan dan
pengemis di Wilayah Kota Yogyakarta.
Menurut ketentuan Pasal 7 Peraturan Daerah Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan Gelandang dan
25
Pengemis,bahwaPenanganan Gelandangan dan Pengemis diselenggarakan
melalui upaya yang bersifat: preventif, koersif, rehabilitatif, dan reintegrasi
sosial.
a. Preventif
Pasal 8 Ayat (1) Peraturan Daerah Daerah Istomewa Yogyakarta
Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan Gelandang dan Pengemis
mejelaskan, Upaya Preventif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf
a dilakukan melalui:
1) Pelatihan keterampilan, magang dan perluasan kesempatan kerja.
2) Penigkatan derajat kesehatan
3) Fasilitas tempat tinggal
4) Peningkatan pendidika
5) Penyuluhan dan edukasi masyarakat
6) Pemberian informasi melalui baliho di tempat umum
7) Bimbingan sosial
8) Bantuan sosial
b. Koersif.
Pasal 9 Ayat (1) Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan Gelandang dan Pengemis
mejelaskan, Upaya Preventif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf
b dilakukan melalui:
1) Penertiban
26
2) Penjangkauan
3) Pembinaan di RPS
4) Pelimpahan
c. Rehabilitative.
Pasal 10 Ayat (1) Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan Gelandang dan Pengemis
mejelaskan,Upaya rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf
c dilakukan melalui:
1) Motivasi dan diagnosa psikososial
2) Perawatan dan pengasuhan
3) Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan
4) Bimbingan mental spiritual
5) Bimbingan fisik
6) Bimbingan sosial dan konseling psikososial
7) Pelayanan aksesibilitas
8) Bantuan dan asistensi sosial
9) Binbingan resosialisasi
10)Bimbingan lanjut
11)Rujukanujukan
d. Reintegrasi Sosial.
Pasal 13 Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun
2014 tentang penanganan Gelandangan dan Pengemis menjelaskan,Upaya
27
Reintegrasi sosial sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 7 huruf d
dilakukan melalui:
1) Bimbingan resosialisasi
2) Kordinasi dengan pemerintah kabupaten atau kota
3) Pemulangan
4) Pembinaan lanjutan
Dengan demikian, kebijakan publik adalah sebuah fakta strategi
daripada fakta politis ataupunteknis. Sebagai sebuah strategi, dalam
kebijakan publik sudah terangkum preferensi-preferensi politis dari para
aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khusus pada proses perumusan.
Sebagai sebuah strategi, kebijakan publik tidak saja bersifat positif, namun
juga negatif, dalam arti pilihan keputusan selalu bersifat menerima salah
satu dan menolak yang lain. Meskipun mendapat ruang bagi win-win dan
sebuah keputusan dapat diakomodasi, pada akhirnya ruang bagi win-win
sangat terbatas sehingga kebijakan publik lebih banyak pada ranah zero-
sum-game, yaitu menerima yang ini dan menolak yang itu (Riant
Nugroho. 2009:81-86).
Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang
kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus
dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk
mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan
28
publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk
memudahkan kita dalam mengkaji kebijakan publik.
Tahap kebijakan yang paling populer adalah tahap-tahap kebijakan
publik menurut William N. Dunn dalam Samodra Wibawa (2011:9):
1. Penyusunan Agenda
Penyusunan Agenda adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis
dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah ada ruang untuk
memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam
agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status
sebagai masalah publik dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik,
maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang
lebih dari pada isu lain. Dalam penyusunan agenda juga sangat penting
untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda
pemerintah. Isu kebijakan sering disebut juga sebagai masalah kebijakan.
Menurut William N. Dunn, isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari
adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun
penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk
menjadi suatu agenda kebijakan.
2. Formulasi Kebijakan
Formulasi kebijakan adalah masalah yang sudah masuk dalam agenda
kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalahmasalah
tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik.
29
Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan
kebijakan yang ada.
3. Legitimasi Kebijakan
Menetapkan salah satu dari beberapa alternatif kebijakan yang telah
dipelajari menjadi kebijakan resmi pemerintah. Pada tahap ini pengambilan
kebijakan dilakukan terbuka dan diinformasikan secepat-cepatnya kepada
masyarakat melalui lembaran negara ataupun media. Tujuan legitimasi
adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika
tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat,
warga negara akan mengikuti arahan pemerintah.
4. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tindakan/ penerapan oleh unit-unit
terkait setelah suatu kebijakan dirumuskan demi mencapai suatu tujuan
bersama. Tanpa implementasi maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan
akan menjadi sia-sia.
5. Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut
untuk menilai kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan
dampak. Dalam hal ini, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap
akhir saja tetapi dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan
demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-
30
masalah kebijakan program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan
masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Karena tujuan penelitian ini untuk mengukapkan fenomena sosial
secara jelas dan cermat maka metode yang di gunakan adalah deskriptif
kualitatif. Dengan mengartikan istilah penelitian kualitatif sebagai penelitian
yang tidak mengadakan perhitungan. Bogdan dan Taylor (1975:12-25)
menjelaskan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian, penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang diamati. Sejalan dengan defenisi tersebut Kirk
dan Miller (1986:7-11) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi
tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung
pada pengamatan manusia dalam kawasanya sendiri dengan orang-orang
tersebut dalam bahasanya dan dalam pistilahanya (Moleong, 2002:3).
Dengan memperhatikan hal tersebut dan untuk mendapatkan
kesimpulan yang obyektif, maka penulis akan menggunakan metode
penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Sumber data berada dalam
situasi yang wajar (Natural setting) tidak dimanipulasi oleh angket dan tidak
dibuat-buat oleh kelompok eksperimen.Dalam penelitian ini penulis
mengutamakan poses dan produk makana yang dipandang dari pikiran dan
perasaan responden, dengan mementingkan data langsung (tangan pertama),
31
oleh sebab itu pengumpulan datanya mengutamakan observasi, wawancara
dan dokumentasi.
2. Obyek Penelitian
Obyek penelitian dalam penelitian ini dibatasi oleh obyek yang dikaji,
obyek dalam penelitian ini adalah studi kasus yang menyoroti kebijakan dinas
sosial dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis di kota yogyakarta.
Untuk memperoleh data dan informasi dalam penelitian ini, maka penulis
perlu menentukan subyek penelitian.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi yang dijadikan tempat penelitian oleh peneliti adalah dinas
sosial kota Yogyakarta, Pemerintah kota Yogyakarta, TKSK Yogyakarta
yang berlokasi di kota Yogyakarta,
4. Teknik Pemilihan Subyek
Menurut Sugiyono (2013:308), Teknik yang digunakan penulis dalam
menentukan subyek penelitian menggunakan teknik snow ball System ,
adalah : a) Dinas sosial, b) Pemerintah kota Yogyakarta, c) Karangtaruna
kota Yogyakarta, d) Tokoh masyarakat.
subyek penelitian adalah sumber utama data penelitian, yaitu yang memiliki
data mengenai varibel-variabel yang diteliti. Untuk menentukan informan
yang digunakan, maka dalam penelitian disini menggunakan teknik
pengambilan informan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dalam penelitian
32
ini dengan cara snow ball system. Adapun yang menjadi informan dalam
penelitian ini yaitu :
a. Sekretaris Dinas Sosial (1 orang)
b. Kabid Data Informasi dan pemberdayaan sosial (1 orang)
c. Ka. Seksi Pemberdayaan Sosisial (1 Orang)
d. Ka. Seksi Rehabilitasi Sosial (1 Orang)
e. Ketua Karangtaruna dan TKSK (5 Orang)
5. Pengumpulan Data
a) Observasi
Obsevasi merupakan pengamatan dan pencatatan yang sistematis
terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi menjadi salah satu teknik
pengumpulan data apabila (1) sesuai dengan tujuan penelitian, (2)
direncanakan dan di catat secara sistematis, dan (3) dapat dikontrol
kendalanya (reliabilitasnya) dan kesalihanya (Validitasnya). Obsefasi
juga proses yang komplek yang tersusun dari proses biologis dan
psikologis. Dalam menggunakan teknik obsevasi yang terpenting ialah
mengandalkan pengamatan dan ingatan si peneliti (Usman dan Akbar,
2006:54).
Obsevasi dilakukan untuk mengoptimalkan kemampuan penulis
dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar dan
kebiasaan. Teknik observasi juga memngkinkan melihat dan mengamati
sendiri, kemudian mencatat periku dan kejadian sebagaimana yang
33
terjadi pada keadaan sebenarnya (Moleong, 2002:125). Obsevasi yang
peneliti lakukan terkait dengan fokus penelian. Artinya dalam observasi
ini peneliti akan mengamati secara lansung penyebab utama kebijakan
dinas sosial dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis di kota
yogyakarta.
b) Wawancara
Wawancara merupakan tanya jawab lisan antara dua orang atau
lebih secara langsung. Pewawancara disebut interviewer, sedangkan
orang yang diwawancarai disebut inteviewee. Wawancara berguna
untuk: (1) Mendapatkan data dari tangan pertama (primer), (2)
pelengkap teknik pengumpulan data, (3) menguji hasil pengumpulan
data (Usman dan Akbar, 2006:54). Lexy J. Moleong (2002:125)
menjelaskan wawancara merupakan percakapan dengan maksud
tertentu. Percakapan dilakukan dengan dua pihak, Yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Teknik
wawancara ini dilakukan karena penulis ingin mendapatkan informasi
yang lebih jelas dan mendalam mengenai kebijakan dinas sosial dalam
Penanganan Gelandangan dan Pengemis di kota yogyakarta.
c) Dokumentasi
Dokumentasi merupakan pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara menyalin data-data yang ada hubungannya dengan
34
penelitian yang dilakukan. Pengambilan data dengan dokumentasi ialah
pengambilan data yang diperoleh melaui dokumen-dokumen, Data-data
yang dikumpulkan denga teknik dokumentasi cenderug merupakan data
sekunder. Keuntungan dalam menggunakan dokumentasi ialah data
yang diambil dari dokumen cenderung sudah lama dan yang salah cetak.
Maka peneliti ikut salah pula mengambil datanya (Usman dan Akbar,
2006:47).
Metode dokumentasi yang peneliti lakukan adalah metode
pengumpulan data didasarkan pada dokumen-dokumen atau catatan-
catatan terakhir dalam kebijakan dinas sosial dalam Penanganan
Gelandangan dan Pengemis di kota yogyakarta, terkait dokumen
kebijakan yang sudah di lakukan oleh dinas sosial, Pemerintah kota
yogyakarta dan Karangtaruna kota yogyakarta terkait dokumen-
dokumen yang memperlancar dan mendukung peneliti dalam
menyelesaikan Tesis ini.
6. Teknik Analisis Data
Menurut Sugiyono (2013:333), analisis data merupakan proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara
mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit,
melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan
35
yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami
oleh diri sendiri maupun orang lain.
Dalam tujuannya, analisis data penelitian kualitatif bertujuan untuk :
a. Menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh
suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut.
b. Menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data, dan proses suatu
fenomena social itu. Sementara itu, dalam tahapannya analisis data kualitatif
sebagai berikut
1) Melakukan pengamatan terhadap fenomena social, melakukan identifikasi,
revisi-revisi dan pengecekan ulang terhadap data yang ada ;
2) Melakukan kategorisasi terhadap informasi yang diperoleh;
3) Menelusuri dan menjelaskan kategorisasi;
4) Menjelaskan hubungan-hubungan kategorisasi;
5) Menarik kesimpulan-kesimpulan umum;
36
BAB II
PROFIL DINAS SOSIAL KOTA YOGYAKARTA
A. Kondisi Geografis Dinas Sosial Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta mempunyai luas wilayah 32,5 Km2 atau 1,02 % dari
luas wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jarak terjauh dari utara
ke selatan kurang lebih 7,5 km dan dari Barat ke Timur kurang lebih 5,6 km.
Kota Yogyakarta yang terletak di daerah dataran lereng aliran Gunung
Merapi memiliki kemiringan lahan yang relatif datar antara 0-2 % dan berada
pada ketinggian rata-rata 114 meter dari permukaan air laut (dpa).
Terdapat tiga sungai yang mengalir dari arah Utara ke Selatan yaitu :
Sungai Gajah wong yang mengalir di bagian timur kota, Sungai code di
bagian tengah dan sungai winongo di bagian barat kota.
Secara administratif Kota Yogyakarta terdiri dari 14 Kecamatan, 45
kelurahan, 616 RW dan 2532 RT dengan batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kabupaten Sleman
Sebelah Timur : Kabupaten Bantul dan Sleman
Sebelah Selatan : Kabupaten Bantul
Sebelah Barat : Kabupaten Bantul dan Sleman
37
B. Visi dan Misi
Visi Dinas Sosial Kota Yogyakarta adalah :
Terwujutnya Kesejahteraan Sosial Masyarakat Berlandaskan Nilai
Kemandirian dan Semangat Goton Royong
Misi Dinas Sosial Kota Yogyakarta adalah :
a. Mengembangkan ketersediaan data sebagai pusat informasi kesejahteraan
sosial.
b. Meningkatkan kualitas perlindungan dan jaminan sosial dengan semangat
gotong royong.
c. Meningkatkan advokasi dan rehabilitasi sosial dalam penanganan
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS)
d. Peningkatan Pemberdayaan PSKS untuk mewujudkan kemandirian
PMKS.
C. Demografi
Tabel 2.1
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Usia
No Usia
Laki-laki Perempuan L+P
1 0-14 Tahun (Belum
Produktif
44.777
43.054
87.831
2 15-64 Tahun (produktif)
143.156
149.891
293.047
3 64 Tahun ke atas (Tidak
Produktif
13.275
18.284
31.559
Jumlah
201.208
211.229
412.437
Sumber data : Dinas Sosial Kota Yogyakarta 2018
Sedangkan dilihat dari tabel diatas menurut jumlah penduduk menurut
kelompok usia, jumlah usia yang belum produktif 0-14 sebanyak 87.831