Post on 31-Jul-2019
NASKAH AKADEMIS
RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG
WAJIB BELAJAR 12 ( DUA BELAS ) TAHUN
KERJASAMA PEMERINTAH KABUPATEN JEMBRANA DENGAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
2015
2
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH
KABUPATEN JEMBRANA TENTANG WAJIB BELAJAR 12 ( DUA BELAS ) TAHUN
TIM PENELITI
I Ketut Sudiarta, SH., MH.
Ni Luh Gede Astariyani, SH., MH.
A.A. I Ari Atu Dewi., MH.
PEMERINTAH KABUPATEN JEMBRANA BEKERJA SAMA
DENGAN PUSAT PERANCANGAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA 2015
3
PUSAT PERANCANGAN HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA Jalan Bali Nomor 1 Denpasar
Tlp. (0361)222666
ABSTRAK
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri
atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut
mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota
mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan
pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, yang selanjutnya diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Kemudian Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar mengatur bahwa, Pemerintah
daerah dapat mengatur lebih lanjut pelaksanaan program wajib belajar,
sesuai dengan kondisi daerah masing-masing melalui Peraturan Daerah.
Sekalipun ada dasar hukum untuk menetapkan Peraturan Daerah Tentang
Wajib Belajar 12 Tahun, diperlukan pula argumentasi tentang (urgensi)
membentuk Peraturan Daerah tersebut, yang secara garis besar meliputi
argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam kerangka inilah perlu
disusun Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun.
Tim Peneliti
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar >> i
Daftar Isi >> ii Daftar Gambar >> iii
Daftar Tabel >> iv
BAB I. PENDAHULUAN >>> 1 A. Latar Belakang >>> 1
B. Identifikasi Masalah >>> 2
C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik
>>> 2
D. Metode Penelitian >>> 3
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS >>> 4
A. Kajian Teoritis >>> 4 B. Kajian Terhadap Asas yang Terkait Dengan
Penyusunan Norma
>>> 6
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan >>> 8 D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan
Terhadap Masyarakat Dan Dampaknya
Terhadap Beban Keuangan Daerah
>>> 10
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
>>> 26
A. Kondisi Hukum Yang Ada dan Statusnya >>> 26 B. Keterkaitan Peraturan Daerah Baru Dengan
Peraturan Perundang-undangan Yang Lain
>>> 29
C. Rencana Pengaturan Dari Pemerintah
KABUPATEN JEMBRANA Teantang Wajib Belajar 12 Tahun
>>> 30
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN
YURIDIS
>>> 31
A. Validitas Peraturan Perundang-undangan :
Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis.
>>> 31
B. Relevansi Validitas Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Wajib Belajar 12
Tahun
>>> 36
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN
DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TENTANG
WAJIB BELAJAR 12 TAHUN
>>> 39
A. Arah dan Jangkauan Pengaturan >>> 39
B. Ruang Lingkup Materi Muatan >>> 41
iii
BAB VI PENUTUP >>>43
A. RANGKUMAN >>>43 B. SARAN >>>44
DAFTAR PERUNDANG-UNDANGAN >>>46
DAFTAR PUSTAKA >>>47 LAMPIRAN
1. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib
Belajar 12 Tahun di Kabupaten Jembrana
2. Rancangan Penjelasan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun di Kabupaten Jembrana
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Jumlah Rumah Tangga Dan Penduduk di Kabupaten
Jembrana Tahun 2013
>>> 2
Tabel 2: Prosentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Kecamatan diKabupaten Jembrana Tahun 2014
>>> 2
Tabel 3: Murid Berdasarkan Usia di Kabupaten Jembrana Tahun 2009-2013
>>> 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah satu tujuan
dalam pelaksanaan pembangunan. Upaya untuk mencapai tujuan tersebut
adalah dengan mengemas sedemikian rupa sehingga seluruh masyarakat
dapat menikmati pendidikan, meningat pendidikan merupakan salah satu
tujuan negara yang merupakan prioritas utama adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pendidikan yang merupakan salah satu cara dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia guna mengadaptasi situasi
dan kondisi yang selalu mengalami perubahan secara dinamis. Berbagai
permasalahan yang muncul terkait pendidikan nasional, mulai fasilitas
pendidikan yang memprihatinkan sampai masalah mutu pendidikan yang
masih rendah. Ditambah lagi akses pendidikan yang saat ini kurang dapat
dinikmati oleh masyarakat karena masalah ekonomi sehingga akan
semakin membuka jurang pemisah dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan ketidakmampuan masyarakat dalam mengakses pendidikan karena
lemahnya faktor ekonomi menyebabkan kebodohan dan keterbelakangan
sehingga tentunya akan mengganggu laju pembangunan nasional.
Pentingnya pendidikan sebagai prioritas dalam pembangunan
mewajibkan setiap pihak untuk melaksanakan pendidikan. Kabupeten
Jembrana merupakan salah satu Kabupaten di Bali yang belum memiliki
Peraturan Daerah tentan Wajib Belajar 12 Tahun. Kabupaten Jembarana
Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil jumlah
penduduk di Kabupaten Jembrana per 31 Desember 2013 adalah sebanyak
321.008jiwa yang terbagi kedalam 5 kecamatan. Jumlah penduduk terbesar
adalah pada Kecamatan Negara dengan jumlah 93.070 jiwa, sedangkan
jumlah penduduk paling sedikit adalah pada Kecamatan Pekutatan dengan
jumlah 31.217jiwa. Berikut adalah Tabel.1 yang menyajikan jumlah
penduduk tiap kecamatan tahun 2013 serta perkembangan jumlah rumah
tangga dan jumlah penduduk dari tahun 2009-2013. Dari table dapat
2
dilihat bahwa jumlah rumah tangga dan jumlah penduduk mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun dan jumlah yang paling tinggi adalah
pada tahun 2013 .
Tabel 1 : Jumlah Rumah Tangga Dan Penduduk di Kabupaten Jembrana Tahun 2013
No. Kecamatan Rumah
Tangga Penduduk
1. Negara 25.557 93.070
2. Mendoyo 20.136 71.023
3. Pekutatan 7.950 31.217
4. Melaya 16.564 62.908
5. Jembrana 17.952 62.790
Jumlah 89.185 321.008
2012 86.685 317.117
2011 82.635 273.918
2010 80.792 272.828
2009 77.043 269.859
Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab. Jembrana, Tahun 2014
Prosentase jumlah penduduk di Kabupaten Jembrana berdasarkan
kecamatan dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Tabel 2 : Prosentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Kecamatan diKabupaten Jembrana Tahun 2014
3
Jumlah penduduk yang selalu meningkat untuk setiap tahunnya
menunjukkan peningkatan pula untuk peserta didik yang sangat
membutuhkan pendidikan. Berbagai permasalahan yang muncul terkait
pendidikan nasional, mulai fasilitas pendidikan yang memprihatinkan
sampai masalah mutu pendidikan yang masih rendah. Ditambah lagi akses
pendidikan yang saat ini kurang dapat dinikmati oleh masyarakat karena
masalah ekonomi sehingga akan semakin membuka jurang pemisah dalam
kehidupan bermasyarakat. Dengan ketidakmampuan masyarakat dalam
mengakses pendidikan karena lemahnya faktor ekonomi menyebabkan
kebodohan dan keterbelakangan sehingga tentunya akan mengganggu laju
pembangunan nasional.
Berdasarkan atas permasalahan tersebut sehingga memberikan
inisiatif kepada Pemerintahan Kabupaten Jembrana untuk mengadakan
pendidikan gratis kepada masyarakat. Program yang diusung oleh
Kabupaten Jembrana adalah pendidikan bersubsidi di kalangan siswa –
siswinya baik dari tingkat SD maupun SMP. Berdasarkan program
pendidikan gratis tersebut beberapa indikator pendidikan di Kabupaten
Jembrana menunjukkan peningkatan dari tahun – ke tahun.
Jumlah penduduk yang bersekolah berdasarkan usia di Kabupaten
Jembrana terbagi menjadi tiga kelompok usia, yaitu :7- 12 tahun (SD/MI) ;
13 – 15 tahun (SLTP/ MTs) dan 16 – 18 (SMU/SMK/MA). Distribusi
penduduk terbanyak pada tahun 2013adalah pada kelompok usia 7 – 12
tahun (SD/ MI) sebanyak 28.353 penduduk sedangkan paling sedikit
adalah pada kelompok usia 16 – 18 tahun (SMU/SMK/MA) dengan jumlah
sebanyak 12.505 penduduk. Berikut adalah disajikan tabel jumlah
penduduk yang bersekolah berdasarkan usia di Kabupaten Jembrana.
Tabel 3 : Murid Berdasarkan Usia di Kabupaten Jembrana Tahun 2009-
2013
No. TAHUN Murid SD usia 7 - 12
tahun
Murid SLTP usia 13 - 15
tahun
Murid SLTA usia 16 - 18
tahun
1 2009 25.527 10.363 7.860
2 2010 25.729 11.034 8.291
3 2011 25.944 10.811 8.606
4
4 2012 25.952 10.580 9.686
5 2013 28.353 12.505 12.505
Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab.
Jembrana
Jenjang pendidikan di Kabupaten Jembrana adalah terbagi menjadi :
SD/Sederajat, SLTP/Sederajat dan SMA/Sederajat. Jumlah murid paling
banyak pada tahun 2013 adalah jenjang pendidikan SD/Sederajat dengan
jumlah sebanyak 28.353 siswa sedangkan paling sedikit adalah jenjang
SMA/ Sederajat dengan jumlah sebanyak 12.505 siswa.
Tabel 4 : Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan di Kabupaten Jembrana
Tahun 2009-2013
No. TAHUN Jumlah
Murid SD Jumlah Murid
SLTP Jumlah Murid SLTA
1 2009 29.258 12.437 7.775
2 2010 29.485 12.852 10.496
3 2011 30.433 12.845 10.753
4 2012 29.907 12.674 10.957
5 2013 29.472 13.018 11.275
J u m l a h 148.555 63.826 51.156
Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana
Dalam ketentuan Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur Untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah
membentuk Perda. Peraturan Daerah dibentuk oleh DPRD dengan
persetujuan bersama kepala Daerah. Dalam kaitannya dengan pendidikan
berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan bahwa :
(1) Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti
program wajib belajar. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya
wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa
memungut biaya. (3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara
yangdiselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
5
(4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar
Pasal 7 (1) Pemerintah menetapkan kebijakan nasional pelaksanaan program
wajib belajaryang dicantumkan dalam Rencana Kerja Pemerintah,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Rencana Strategis
Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya
berkewajiban menyelenggarakan program wajib belajar berdasarkan kebijakan nasionalsebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Penyelenggaraan program wajib belajar oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Rencana
Kerja Pemerintah Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, Rencana Strategis Daerah Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah.
(4) Pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan untuk
meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah.
(5) Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut pelaksanaan
program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah masingmasing melalui Peraturan Daerah.
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan program wajib belajar yang
diatur oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk kewenangan memberikan sanksi administratif kepada
warga negara Indonesia yang memiliki anak berusia 7 (tujuh)
sampai dengan 15 (lima belas) tahun yang tidak mengikuti program wajib belajar
Adanya kewenangan Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut
pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah
masingmasing melalui Peraturan Daerah.Pemerintah daerah adalah
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.
Merujuk Pasal 34 Undang-Undang No 20 Tahun 2003 dan Pasal 7
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar 12
Tahun, mengatur Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut
pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah
masingmasing melalui “Peraturan Daerah”.
6
Dengan demikian program wajib belajar 12 ( dua belas )tahun
mengandung makna pengaturan kewenangn dalam penyelenggaraan.
Dalam kerangka inilah perlu disusun Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12 / 2011)
menentukan, Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan penjelasan atau
keterangan dan/atau Naskah Akademik (Pasal 63 jo Pasal 56 ayat (2) UU 12
/ 2011). Perkataan “dan/atau” menunjukkan pilihan antara: (1) Rancangan
Peraturan Daerah disertai dengan keterangan (atau penjelasan) dan Naskah
Akademik; atau (2) Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan
keterangan (atau penjelasan) atau Naskah Akademik. Mengingat
pentingnya posisi Wajib Belajar 12 Tahun baik terhadap masyarakat
maupun terhadap pemerintah, maka diperlukan penyusunan Naskah
Akademik tentang Wajib Belajar 12 ( dua belas ) Tahun.
1.2. IDENTIFIKASI MASALAH
Masalah yang diuraikan dalam Naskah Akademik ini meliputi 4 (empat)
masalah pokok:
1. Perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 (
dua belas ) Tahun.
2. Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun.
3. Arah, jangkauan, dan ruang lingkup pegaturan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun.
1.3. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN NASKAH
AKADEMIK
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan
di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun dirumuskan sebagai berikut:
7
1. Menjelaskan perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang Wajib
Belajar 12 Tahun sebagai dasar untuk memastikan objek dan
subjek Wajib Belajar 12 Tahun, serta struktur dan besarnya tarif
Wajib Belajar 12 Tahun.
2. Merumuskan perimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar
12 Tahun.
3. Merumuskan arah, jangkauan, dan ruang lingkup pegaturan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun.
Kegunaan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun adalah
sebagai acuan:
a. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun.
b. Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun.
c. Partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan tertulis
dan/atau masukan lisan baik dalam penyusunan maupun
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun
1.4. METODE
Penyusunan Naskah Akademik ini yang pada dasarnya merupakan
suatu kegiatan penelitian penyusunan Naskah Akademik digunakan
metode yang berbasiskan metode penelitian hukum.
Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian
penyusunan Naskah Akademik ini melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Melakukan studi tekstual, yakni menganalisis teks hukum yaitu
pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan
publik (kebijakan negara) secara kritikal dan dijelaskan makna dan
implikasinya terhadap subjek hukum (terutama dalam hal ini adalah
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib
Belajar 12 Tahun).
8
2. Melakukan studi kontekstual, yakni mengaitkan dengan konteks saat
peraturan perundang-undangan itu dibuat ataupun ditafsirkan
dalam rangka pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun.
Intinya, metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian
penyusunan Naskah Akademik ini berada dalam paradigma interpretivisme
terkait dengan hermeneutika hukum. Hermeneutika hukum pada intinya
adalah metode interpretasi atas teks hukum, yang menampilkan segi
tersurat yakni bunyi teks hukum dan segi tersirat yang merupakan gagasan
yang ada di belakang teks hukum itu. Oleh karena itu untuk mendapatkan
pemahaman yang utuh tentang makna teks hukum itu perlu memahami
gagasan yang melatari pembentukan teks hukum dan wawasan konteks
kekinian saat teks hukum itu diterapkan atau ditafsirkan. Kebenaran
dalam ilmu hukum merupakan kebenaran intersubjektivitas, oleh karena
itu penting melakukan konfirmasi dan konfrontasi dengan teori, konsep,
serta pemikiran para sarjana yang mempunyai otoritas di bidang
keilmuannya berkenaan dengan penyusunan Naskah Akademis Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar 12 Tahun.
9
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIS
Paradigma filsafat pendidikan, merupakan persoalan yang melekat
secaca kodrati di dalam diri manusia.1 Pendidikan menguasai berbagai
sektor baik kegiatan kehidupan masyarakat baik dalam dimensi horizontal
maupun vertikal, ketika manusia berinteraksi dengan dirinya disitulah ada
pendidikan. Ketika manusia berinteraksi dengan sesamanya dalam setiap
kegiatan kemasyarakatan disitu ada pula pendidikan ketika manusia
berinteraksi dengan alamnya disitu juga ada pendidikan. Antara pendidikan
dan manusia bagaikan wadah dengan isinya. Dengan kata lain hubungan
kodrat pendidikan dan manusia, pada taraf eksistensial, bagaikan
hubungan antara jiwa dan badan manusia. Jika jiwa berpotensi
menggerakkan badan kehidupan manusiapun digerakkan oleh pendidikan
ke arah pencapaian tujuan akhir, tanpa pendidikan manusia kehilangan
roh penggerak kehidupan sehingga kehidupan menjadi tidak kreatif dan
pada akhirnya mengancam kelangsungan seluruh kehidupan itu sendiri.
Tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi anak didik
menyangkut intelektual, keterampilan serta kepribadiannya untuk
memerankan dirinya ditengah-tengah masyarakat. Tujuan pendidikan
menurut Jacques Delors,cs., dikenal Empat Pilar Pendidikan versi UNESCO
sebagai berikut:
a. Learning to know (belajar untuk mengetahui);
b. Learning to do (belajar untuk dapat berbuat); c. Learning to be (belajar untuk menjadi dirinya sendiri); dan
d. Learning to live together (belajar untuk hidup bersama dengan orang
lain)2
1 Suparlan Suhartono, 2005, Filasat Pendidikan AR-RUZZ Media, hal 91 2 Jacques Delors, 1996, “Learning: The Treasure Within” dikutip dari Ali Muhdi
Amnur (ed), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Pustaka Fahima, Yogyakarta, 2007, hal.6.
10
Upaya menyiapkan sumber daya manusia masa depan untuk
membangun karakter bangsa (national character building), tujuan
pendidikan harus ada keseimbangan antara membangun intelektual,
emosional dan spiritualitas. Terlebih-lebih lagi dalam Negara yang
berdasarkan Pancasila, tugas pendidikan adalah untuk mengembangkan
pribadi yang bersusila, dan berada sebagai anggota dalam masyarakatnya,
masyarakat sekitarnya, masyarakat etnisnya, masyarakat bangsanya yang
bhinneka dan sebagai anggota masyarakat yang beradab.3
Menurut Dale ( 1989: 39-43) kontrol Negara terhadap pendidikan
umumnya dilakukan melalui 4 cara antara lain :
1. Sistem pendidikan diatur secara legal;
2. Sistem pendidikan dijalankan sebagai birokrasi menekankan pada
ketaatan pada aturan dan obyektivitas;
3. Penerapan wajib pendidikan (compulsory education); dan
4. Reproduksi politik dan ekaonomi yang berlangsung disekolah
berlangsung dalam konteks politik tertentu.4
Dengan demikian, maka penyusunan rancangan Peraturan Daerah
tentang Wajib Belajar 12 Tahun, merupakan sesuatu yang amat urgen
dalam rangka pelaksanaan kewenangan daerah di bidang pendidikan, yaitu
dengan tujuan untuk menjadi acuan bersama dalam penyelenggaraan
sistem pendidikan guna mewujudkan ketentuan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pada hakikatnya dalam
rangka mewujudkan cita-cita bangsa/negara, yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa.
B. KAJIAN TERHADAP ASAS YANG TERKAIT DENGAN PENYUSUNAN NORMA
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang
secara teoritik meliputi asas pembentukan peraturan perundang-undangan
3 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, “Kebijakan Pendidikan (Pengantar Untuk
Memahami Kebijakan Pendidikan Dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik)”, 2008, Pustaka Pelajar, hal. 30.
4 M Sirozi, Politik pendidikan, “ Dinamika Hubungan Antara kepentingan Kekuasaan dan Praktik Wajib Belajar 12 Tahun” , 2005, Raja Grafindo Persada, hal 63
11
yang baik yang bersifat formal dan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik yang bersifat materiil.5
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang
bersifat formal dituangkan dalam Pasal 5 UU P3 2011 (khususnya dalam
pembentukan Peraturan Daerah, asas-asas tersebut diatur dalam Pasal 137
UU Pemda), dengan sebutan “asas pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang baik”, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.
Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 2011 (khususnya
berkenaan dengan Perda diatur dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) UU
Pemda), yakni: materi muatan Peraturan Perundang-undangan
mengandung asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan; c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan; f. bhineka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat
berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-
undangan yang bersangkutan. Mengenai asas-asas materiil yang lain sesuai
dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan tertentu dijelaskan
5 A. Hamid S. Attamimi; “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi, (Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990), hlm. 345-346. I.C. Van Der Vlies, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan, (Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2005), hal 238-309.
12
dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU P3 2011, yang dimaksud dengan asas
sesuai dengan bidang hukum masing-masing antara lain:
a. dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan
asas praduga tak bersalah; dan
b. dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian
antara lain asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan
itikad baik.
Relevansi asas-asas formal pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik dengan pengaturan Wajib Belajar 12 Tahun dapat
diuraikan sebagai berikut:
Pertama, kejelasan tujuan. Wajib Belajar 12 Tahun bertujuan: (1)
memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai siapa yang bertanggung
jawab dan apa tanggung jawabnya terhadap pengelolaan pendidikan; dan
(2) memperkuat dasar hukum bagi Pemerintah Daerah melakukan Wajib
Belajar 12 Tahun dan pelayanan kepada masyarakat. Tujuan Wajib Belajar
12 Tahun adalah efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas pengelolaan
pendidikan.
Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Contoh:
Pengaturan Wajib Belajar 12 Tahun dengan Peraturan Daerah dilakukan.
Rancangan dapat berasal dari dari DPRD Kabupaten Jembrana.
Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Penyelenggaraan
Pendididkan harus dengan Peraturan Daerah. Adapun materi pokok yang
diatur dengan Peraturan Daerah mengacu pada Peraturan Pemerintah.
Keempat, dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan
dengan dibentuknya Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun
adalah harus memperhatikan beberapa aspek: (1) filosofis, yakni ada
jaminan keadilan dalam pengenaan Wajib Belajar 12 Tahun; (2) yuridis,
adanya jaminan kepastian dalam Wajib Belajar 12 Tahun, termasuk
substansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi; dan (3) sosiologis, pengaturan Wajib Belajar 12
Tahun memang dapat memberikan manfaat, baik bagi pemerintah daerah
13
maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum.
Kelima, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini dapat diwujudkan
sepanjang pengaturan Wajib Belajar 12 Tahun memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan benegara. Salah satu indikasi pengaturan Wajib Belajar 12
Tahun memang benar-benar dibutuhkan adalah adanya wajib Wajib Belajar
12 Tahun, sebagaimana telah dikemukakan dalam kondisi eksisting di atas.
Keenam, kejelasan rumusan. Asas ini dapat terwujud dengan
pembentukan Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun sesuai
persyaratan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan,
sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang
jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan aturan hukum
dalam Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun yang menjamin
kepastian.
Ketujuh, keterbukaan. Proses pembentukan Peraturan Daerah ini
harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin
haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta
kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjamin masukan tersebut telah
dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi
masyarakat itu, maka terlebih dulu Pemerintah Daerah memberikan
informasi tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan.
Mengenai asas-asas materiil yang lain, sebagaimana dimaksud Pasal
6 ayat (2) UU P3 2011, dalam pengaturan tentang Wajib Belajar 12 Tahun ,
yakni:
1. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan
kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi
setiap anggota kelompok masyarakat.
2. secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul
motivasi dan kesadaran pribadi untuk melaksanakan
pendidikan.
14
C. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN
Pemerataan dan perluasan akses pendidikan dapat diukur dari
tingkat pemenuhan kewajiban pemerintah daerah yang diukur dari layanan
pendidikan pada semua anak yakni: a) Apakah anak-anak yang masuk
SD/MI sudah siap bersekolah, b) Apakah anak-anak yang berusia SD/MI
sudah bersekolah, c) Apakah anak-anak yang lulus SD/MI melanjutkan
pendidikan ke jenjang SMP/MTs. Kondisi ini jika dimaknai bahwa
sesungguhnya bila ditinjau dari segi kesiapan secara fisik maupun mental
dan intelengensi anak-anak tersebut belum siap untuk memasuki jenjang
SD/MI . Hal tersebut berdampak pada prestasi belajar anak, utamanya di
kelas 1 ketika baru mulai beradaptasi dengan lingkungan pembelajaran di
tingkat SD/MI.
Mutu Pendidikan menjadi salah satu hal penting di dalam menilai
keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan yakni bahwa mutu
pendidikan dapat dinilai dengan indicator: a) Angka Mengulang Kelas
(AMK), b) Angka Putus Sekolah (APS), c) Mutu dan Pemerataan input
Pendidikan, dan d) Mutu Lulusan. Berdasarkan hal tersebut maka realitas
mutu pendidikan dalam 3 tahun terakhir berupa nilai angka mengulang
bagi anak-anak SD dan SMP, serta SLTA, dan angka putus sekolah masih
cukup besar.
Berdasarkan fenomena tersebut di atas terlihat jelas bahwa terdapat
sejumlah masalah dalam bidang pendidikan yang tidak boleh dibiarkan
berlangsung terus menerus, karena hal tersebut jika diabaikan akan
menghambat pelaksanaan visi dan misi serta garis-garis besar program
pembangunan khususnya di bidang pendidikan, yang pada akhirnya akan
semakin jauh dari cita-cita bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mensejahterakan kehidupan bangsa Indonesia.
Berdasarkan paparan tersebut dapat diperoleh pemahaman, bahwa
beberapa permasalahan yang timbul dalam praktik penyelenggaraan Wajib
Belajar 12 Tahun, yang juga merupakan permasalahan yang dihadapi
masyarakat, perlu mendapat perhatian.
15
Selain hal tersebut, pembangunan pendidikan di diarahkan sejalan
dengan rencana strategis program pendidikan yakni pada pelayanan di
bidang pendidikan akan mencakupi:
1. Pendidikan anak usia dini (PAUD);
2. Wajib belajar Sembilan Tahun pada jenjang Sekolah Dasar dan
jenjang Sekolah Menengah Pertama;
3. Pendidikan Menengah;
4. Pendidikan Non formal;
5. Peningkatan Mutu Pendidik dan ke Pendidikan; dan
6. Manajemen Layanan Pendidikan.
Dengan demikian ada 6 (dua) isu hukum tentang kepastian hukum yang
perlu mendapat perhatian.
Dalam penyelenggaraan praktek empiris pengatuan tentang wajib
belajar 12 ( dua belas ) tahun di Kabupaten Jembrana diatur berdasarkan
Peraturan Daerah Kabupaten jembrana No 15 Tahun 2006 tentang Rintisan
Wajib Belajar 12 ( dua belas ) tahun. Peraturan daerah yang dimaksud
apabila dikaji dalam praktek kekinian tidak bisa menampung kondisi
perkembangan dan kewenangan pengaturan.
Selain berdasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten jembrana No
15 Tahun 2006 tentang Rintisan Wajib Belajar 12 ( dua belas ) tahun,
dalam praktek penyelenggraan di Kabupaten Jembrana selama ini
didasarkan pada beberapa Peraturan Bupati, antara lain :
1. Peraturan Bupati Jembrana No 49 Tahun 2006 tentang Pemberian
Bea Siswa Kepada Siswa Yang tidak Mampu Pada Sekolah Swasta
Dan Siswa Berprestasi Pada Sekolah Negeri Maupun Swasta Di
Kabupaten Jembrana
2. Peraturan Bupati Jembrana No 50 Tahun 2006 tentang Rintisan
WajibBelajar 12 ( Dua Belas )Tahun.
3. Peraturan Bupati Jembrana No 50 Tahun 2006 tentang Subsidi Biaya
Pendidikan Pada TK, SD, SMA dan SMK Di Kabupaten Jembrana
4. Peraturan Bupati Jembrana No 25 Tahun 2008 tentang Pemberian
Bea Siswa Pendidikan Kepada Sekolah Menengah Pertama , Sekolah
16
Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuaran Umum dan Mahasiswa
Kabupaten Jembrana.
5. Peraturan Bupati Jembrana No 4 Tahun 2009 tentang Pemberian Bea
Siswa Pendidikan Kepada Sekolah Menengah Umum, Sekolah
Menengah Kejuaran Umum dan Mahasiswa Kabupaten Jembrana.
6. Peraturan Bupati Jembrana No 9 Tahun 2011 tentang Pemberian Bea
Siswa Pendidikan Kepada Mahasiswa Kabupaten Jembrana.
7. Peraturan Bupati Jembrana No 20 Tahun 2011 tentang Pemberian
Dana Hibah Kepada Sekolah Menengah Atas ( SMA) dan sekolah
Menengah Kejuruan Swasta Se Kabupaten Jembrana Berupa
Bantuan Operasional Dalam Rangka Rintisan Wajib Belajar 12
Tahun.
Dasar pengaturan tentang Wajib Belajar 12 ( dua belas ) Tahun yang
selama ini menjadi dasar pengaturan sudah tidak mempu menampung
perkembangan sumber hokum dan kebutuhan masyarakat, hal tersebut
nampak pada adanya beberapa hal yang masih memiliki kelemahan antara
lain sebagaimana dipaparkan dalam tabel di bawah ini :
Tabel 5 : Analisis Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana No 15 Tahun 2006 tentang Rintisan Wajib Belajar 12 ( Dua Belas ) Tahun
PERATURA DAERAH NO 15 TAHUN 2006 TENTANG RINTISAN WAJIB BELAJAR 12
( DUA BELAS) TAHUN
ANALISIS
1. Pembuatan lambang seharusnya
menggunakan Parmendagri No 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah
2. Dalam lampiran 3 Permendagri No 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah seharusnya menggunakan burung garuda
PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA
NOMOR 15 TAHUN 2006
TENTANG
RINTISAN WAJIB BELAJAR 12 ( DUA BELAS ) TAHUN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI JEMBRANA,
1. Dalam penulisan judul tidak sesuai
dengan Pasal 112 Permendagri No 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah
2. Teknik perancangan seharusnya menyesuaikan dengan lampiran 3 Permendagri No 1 Tahun 2014
17
Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, maka dipandang perlu untuk mengatur jenjang pendidikan minimal yang wajib diikuti oleh masyarakat;
b. bahwa wajib belajar 9 (sembilan) tahun di Kabupaten Jembrana telah mencapai standar pelayanan minimal (SPM), maka perlu dirintis menjadi wajib belajar 12 (dua belas) tahun;
c bahwa berdasarkan pertimbangan dimaksud huruf a dan huruf b, perlu ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Rintisan Wajib Belajar 12 (dua belas) tahun;
Kajian : Lampiran UU P3 17. Konsiderans diawali dengan kata
Menimbang. 18. Konsiderans memuat uraian singkat
mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
19. Pokok pikiran pada konsiderans Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. - Unsur filosofis
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
- Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
27. Konsiderans Peraturan Daerah cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukan Peraturan Daerah
18
tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukannya
Saran :
Dalam konsiderans huruf c perlu disesuaikan agar menunjukkan adanya landasan yuridis
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Kajian : Lampiran II UU P3 28. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.
Dasar hukum memuat: a. Dasar kewenangan
pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
dan b. Peraturan Perundang-
undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
39. Dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
Saran Perlu ditambahkan bahan hukum : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang ini bukan merupakan UU yang berkaitan dengan dasar penedelegasian kewenangan dan bukan memuat manteri muatan Peraturan Daerah yang dimaksud.
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan seharusnya diganti dengan Undang_undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Seharusnya UU No 32 Tahun 2014 tersebut diganti dengan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 58
19
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3512) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pendidikan Dasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 1990, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3763 );
8. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. PP ini tidak dapat dijadikan dasar kewenangan dan dasar pengaturan terkait dengan materi muatan Peraturan Daerah.
6. Harus ditambahkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
20
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN JEMBRANA dan
BUPATI JEMBRANA
-
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RINTISAN WAJIB BELAJAR 12 (DUA BELAS) TAHUN.
-
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Daerah Kabupaten Jembrana.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Jembrana.
3. Bupati adalah Kepala Daerah Kabupaten Jembrana.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jembrana.
5. Dinas adalah Dinas Pendidikan Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Jembrana.
6. Wajib Belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh seluruh warga masyarakat Kabupaten Jembrana atas tanggung jawab Pemerintah Daerah.
7. Rintisan adalah usaha paling awal yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Kajian: Lampiran II UU P3 97. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal. 98. Ketentuan umum berisi:
a. batasan pengertian atau definisi;
b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau
c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
99. Frasa pembuka dalam ketentuan umum undang-undang berbunyi: Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
100. Frasa pembuka dalam ketentuan umum peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang disesuaikan dengan jenis peraturannya.
101. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik.
102. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal atau beberapa pasal selanjutnya.
21
103. Apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan Perundang-undangan dirumuskan kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan rumusan definisi dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah berlaku tersebut.
104. Rumusan batasan pengertian dari suatu Peraturan Perundang-undangan dapat berbeda dengan rumusan Peraturan Perundang-undangan yang lain karena disesuaikan dengan kebutuhan terkait dengan materi muatan yang akan diatur.
105. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, kata atau istilah itu diberi definisi.
106. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.
107. Karena batasan pengertian atau
definisi, singkatan, atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan dengan lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.
108. Penulisan huruf awal tiap kata atau
istilah yang sudah didefinisikan atau diberi batasan pengertian dalam ketentuan umum ditulis dengan huruf kapital baik digunakan dalam norma yang diatur, penjelasan maupun dalam lampiran.
109. Urutan penempatan kata atau
istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut:
22
a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus;
b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan
c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan.
Saran : Terdapat beberapa perumusan dalam ketentuan umum yang hanya sekali muncul dalam Pasal misalnya kata “dinas”
BAB II FUNGSI DAN TUJUAN
Pasal 2
Program wajib belajar berfungsi menumbuh kembangkan kemampuan untuk membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pasal 3 Program wajib belajar bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang terampil, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional.
-
BAB III PENYELENGGARAAN RINTISAN
WAJIB BELAJAR 12 ( DUA BELAS ) TAHUN
Pasal 4 Setiap warga Kabupaten Jembrana yang telah menyelesaikan wajib belajar 9 (sembilan) tahun diwajibkan mengikuti wajib belajar 12 (dua belas) tahun.
Pasal 5 Orang tua dan masyarakat wajib berperan secara aktif mendukung penyelenggaraan rintisan wajib belajar 12 (dua belas) tahun.
Pasal 6 Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan atas terselenggaranya rintisan wajib belajar 12
1. Pelu pengkajian kembali terkait perumusan norma Pasal 4
2. Perumusan norma dimaksud seharuskanya disusun dalam 2 Pasal
23
(dua belas) tahun.
BAB IV PENDANAAN
Pasal 7
(1) Pemerintah Daerah, orang tua dan masyarakat secara bersama – sama bertanggung jawab atas pendanaan pendidikan.
(2) Pemerintah Daerah memberikan subsidi untuk membiayai semua kebutuhan pokok pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai kebutuhan pokok pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
1. Norma terkait dengan pendanaan seharusnya disusun dengan jelas mengingat dalam norma juga mengatur tentang beban keuangan daerah
2. Materi dalam ayat (2) tidak tepat dituangkan mengingat adanya pendelegasian kewenangan dalam ayat (2)
BAB V PENGAWASAN
Pasal 8
(1) Pemerintah Daerah, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan rintisan wajib belajar 12 (dua belas) tahun sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan prinsip ejukatif, persuasif, transparan dan akuntabel.
Bab pengawasan sebaiknya dilengkapi dengan pembinaan
1.
BAB VI SANKSI
Pasal 9
(1) Pelanggaran terhadap Pasal 6 Peraturan Daerah ini dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
(2) Apabila kemampuan daerah tidak menjangkau maka Pasal 5 dikecualikan.
1. Pengenaan sanksi terkait dengan adanya kewajiban kepada pemerintah daerah perlu dikaji lebih lanjut mengingat kewajiban masih disesuaikan dengan beban keuangan daerah
2. Perumusan norma pada ayat (2) sebaiknya menyesuaikan dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan.
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Peraturan Daerah ini berlaku pada tanggaldiundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana orang mengetahuinya, memerintahkan
-
Teknik perancangan seharusnya
24
Ditetapkan di Negara pada tanggal 24 Mei 2006
BUPATI JEMBRANA, I GEDE WINASA Diundangkan di Negara pada tanggal 29 Mei 2006 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN JEMBRANA,
I GDE SUINAYA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TAHUN 2006 NOMOR 15.
berdasarkan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah
D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN TERHADAP
MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA TERHADAP BEBAN KEUANGAN
DAERAH
Dalam lingkup pengaturan Wajib Belajar 12 Tahun, terdapat dua
komponen yaitu komponen yang sifatnya statis, dan komponen yang
sifatnya dinamis. Komponen yang sifatnya statis meliputi:
a. Asas, fungsi, tujuan, dan prinsip Wajib Belajar 12 Tahun;
b. Struktur atau kelembagaan dalam Wajib Belajar 12 Tahun;
c. Tugas dan wewenang kelembagaan dalam Wajib Belajar 12
Tahun;
d. Komposisi keanggotaan di dalam setiap kelembagaan
penyelenggaraan pendididkan;
e. Kelengkapan organisasi/kelembagaan Wajib Belajar 12
Tahun;
f. Ketenagaan;
g. Kekayaan; dan
h. Sanksi.
Sedangkan yang dimaksud pengaturan penyelenggaran pendidikan
yang sifatnya dinamis adalah pengaturan kelembagaan pendidikan yang
meliputi tata cara atau prosedur, yang antara lain meliputi:
25
a. Pendirian sekolah;
b. Pengisian kelembagaan pendidikan;
c. Pengambilan keputusan di dalam satuan pendidikan;
d. Kerja sama sekolah dengan institusi lain;
e. Status aset sekolah;
f. Pengawasan Wajib Belajar 12 Tahun;
g. Pengadaan ketenagaan;
h. Penggabungan dan pembubaran sekolah; dan
i. Pengalihan bentuk sekolah.
Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka adanya Peraturan
Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun ini tidak akan menimbulkan
dampak terhadap beban keuangan daerah, justru sebaliknya, akan ada
penambahan target penerimaan PAD dari sektor ini.
Dalam lampiran Perauran Daerah Kabupaten Jembrana No 2 Tahun
2008 Pengaturan terkait dengan pembiayaan pendidikan pembatasan
pengaturannya antara lain :
1. Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan
nonformal sesuai kewenangannya.
2. Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai
kewenangannya
26
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A. KONDISI HUKUM YANG ADA DAN STATUSNYA
Dalam ketentuan Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah
membentuk Perda.
Kabupaten Jembrana belum memiliki Peraturan Daerah tentang Wajib
Belajar 12 Tahun, berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan
bahwa :
(1) Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti
program wajib belajar.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya
wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
(3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara
yangdiselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar
Pasal 7
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan nasional pelaksanaan program wajib belajaryang dicantumkan dalam Rencana Kerja Pemerintah,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Rencana Strategis
Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya
berkewajiban menyelenggarakan program wajib belajar berdasarkan kebijakan nasionalsebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Penyelenggaraan program wajib belajar oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Rencana
Kerja Pemerintah Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, Rencana Strategis Daerah Bidang Pendidikan, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah.
27
(4) Pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan untuk
meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah.
(5) Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut pelaksanaan
program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah masingmasing melalui Peraturan Daerah.
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan program wajib belajar yang
diatur oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) termasuk kewenangan memberikan sanksi administratif kepada warga negara Indonesia yang memiliki anak berusia 7
(tujuh) sampai dengan 15 (lima belas) tahun yang tidak mengikuti
program wajib belajar
Adanya kewenangan Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut
pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah
masingmasing melalui Peraturan Daerah.Pemerintah daerah adalah
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.
Merujuk Pasal 34 UU No 20 Tahun 2003 dan Pasal 7 Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar 12 Tahun,
mengatur Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut pelaksanaan
program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah masingmasing melalui
“Peraturan Daerah”. Dalam kerangka inilah perlu disusun Naskah
Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang
Wajib Belajar 12 Tahun.
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 2 Tahun 2008
tentang Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten Jembrana, yang menjadi
Kewenangan Kabupaten Jembrana. Dalam Bab II Urusan Pemerintahan
Yang Menjadi Kewenangan Kabupaten. Dalam Pasal 4
(1) Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah
urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh
Pemerintahan Daerah yang berhubungan dengan pelayanan dasar.
(2) Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas 26
(dua puluh enam) urusan pemerintahan, meliputi bidang :
a. pendidikan; b. kesehatan;
c. …..
28
Dalam Lampiran Peraturan Daerah No 2 Tahun 2008 tentang Urusan
Pemerintahan Daerah Kabupaten Jembarana terkait dengan Kebijakan
Pendidikan mengatur bahwa :
1. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di kabupaten
sesuai dengan kebijakan nasional dan provinsi.
2. Perencanaan operasional program pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan
nonformal sesuai dengan perencanaan strategis tingkat provinsi
dan nasional.
3. Sosialisasi dan pelaksanaan standar nasional pendidikan di
tingkat kabupaten.
4. Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan
nonformal.
5. Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan
pendidikan dasar, satuan pendidikan menengah dan
satuan/penyelenggara pendidikan nonformal.
6. Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan
dasar bertaraf nasional dan internasional.
7. Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan
pendidikan dasar dan menengah berbasis keunggulan lokal.
8. Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan berbasis
keunggulan lokal pada pendidikan dasar dan menengah.
9. Pemberian dukungan sumber daya terhadap penyelenggaraan
perguruan tinggi.
10. Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan dasar dan
menengah bertaraf internasional.
11. Peremajaan data dalam sistem infomasi manajemen pendidikan
nasional untuk tingkat kabupaten.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12 / 2011)
menentukan, Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan penjelasan atau
29
keterangan dan/atau Naskah Akademik (Pasal 63 jo Pasal 56 ayat (2) UU 12
/ 2011). Perkataan “dan/atau” menunjukkan pilihan antara: (1) Rancangan
Peraturan Daerah disertai dengan keterangan (atau penjelasan) dan Naskah
Akademik; atau (2) Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan
keterangan (atau penjelasan) atau Naskah Akademik. Pilihan kedua juga
memuat pilihan, memilh Naskah Akademik atau keterangan (atau
penjelasan).
Mengingat pentingnya posisi Wajib Belajar 12 Tahun baik terhadap
masyarakat maupun terhadap pemerintah, maka diperlukan penyusunan
Naskah Akademik.
B. KETERKAITAN PERATURAN DAERAH BARU DENGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAIN
Materi Pokok Wajib Belajar 12 Tahun yang hendak diatur dalam
Peraturan Daerah yang sedang disusun Naskah Akademiknya, mempunyai
keterkaitan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan.
Tabel 6. Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya.
Materi Muatan KETERKAITAN DENGAN
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
PP No 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar
Pasal 236 ayat (1)
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan
Daerah mengatur
Untuk
menyelenggarakan
Otonomi Daerah dan
Tugas Pembantuan,
Daerah membentuk
Perda
Pasal 34 menentukan
bahwa :
(5) Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar.
(6) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
(7) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yangdiselenggarakan oleh lembaga
Pasal 7 (4… (5)Pemerintah
daerah dapat mengatur lebih lanjut pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah masingmasing melalui Peraturan Daerah.
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan
30
pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
(8) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Sumber : Diolah dari UU Pemerintahan Daerah, UU Pendidikan dan PP Wajib Belajar
C. RENCANA PENGATURAN DARI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TENTANG WAJIB BELAJAR 12
TAHUN
Rencana pengaturan dari dalam Rancangan peraturan Daerah
tentang Wajib Belajar 12 Tahun. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah
satu tujuan dalam pelaksanaan pembangunan. Upaya untuk mencapai
tujuan tersebut adalah dengan mengemas sedemikian rupa sehingga
seluruh masyarakat dapat menikmati pendidikan, meningat pendidikan
merupakan salah satu tujuan negara yang merupakan prioritas utama
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan yang merupakan
salah satu cara dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia guna
mengadaptasi situasi dan kondisi yang selalu mengalami perubahan secara
dinamis. Berbagai permasalahan yang muncul terkait pendidikan, mulai
fasilitas pendidikan yang memprihatinkan sampai masalah mutu
pendidikan yang masih rendah. Ditambah lagi akses pendidikan yang saat
ini kurang dapat dinikmati oleh masyarakat karena masalah ekonomi
sehingga akan semakin membuka jurang pemisah dalam kehidupan
bermasyarakat. Dengan ketidakmampuan masyarakat dalam mengakses
pendidikan karena lemahnya faktor ekonomi menyebabkan kebodohan dan
keterbelakangan sehingga tentunya akan mengganggu laju pembangunan.
31
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS,
DAN YURIDIS
A. VALIDITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: LANDASAN
FILOSOFIS. SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
Istilah validitas atau geldigheid berarti keabsahan. Selain itu ada
istilah gelding yang berarti keberlakuan. Banyak penulis yang
mensinonimkan istilah validitas atau geldigheid dan istilah gelding, ungkap
Bruggink. Menurutnya, bahwa istilah validitas digunakan untuk logika,
yakni tentang penalaran yang sah (valid) jika suatu penalaran memenuhi
syarata-syarat yang dituntut oleh kaidah dan aturan logikal.6
Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav
Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku
hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya
hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch
disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan
(zweckmaszigkeit), dan kepastian hukum.7
Satjipto Rahardjo menguraikan timbulnya masing-masing nilai-nilai
dasar dari hukum itu. Pertama, hukum adalah karya manusia yang berupa
norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan
pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya
masyarakat itu dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu,
pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih
oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide
mengenai keadilan. Kedua, hukum yang sengaja dibuat itu mengikatkan
diri kepada masyarakat sebagai basis sosialnya. Ini berarti, bahwa ia harus
memperhatikan kebutuhan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat
serta memberikan pelayanan kepadanya. Meski tidak disebutkan oleh
6 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari judul asli:
Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996), hal. 147. 7 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal.
19, yang mendasarkan pada Gustav Radbruch, Einfuhrung in die Rechtswissenschaft, (Sttugart: K.F. Koehler, 1961), hal. 36.
32
Satjipto Rahardjo, inilah yang dimaksud dengan kemanfaatan sebagai salah
satu nilai-nilai dasar dari hukum. Ketiga, masyarakat tidak hanya ingin
keadilan diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingannya
dilayani oleh hukum, melainkan juga menginginkan agar dalam masyarakat
terdapat peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan-hubungan
mereka satu sama lain.8
Gustav Radbruch memahami hukum sebagai konsep budaya, yaitu
konsep yang berkenaan dengan nilai. Hukum sebagai konsep budaya
berurusan dengan nilai hukum dan ide hukum, yaitu hukum yang
diartikan sebagai gagasan untuk menjabarkan ide hukum. Gustav
Radbruch mengetengahkan 3 (tiga) ide hukum/cita hukum (the idea of the
law), yakni keadilan (justice), kelayakan/kemanfaatan (expediency), dan
kepastian hukum (legal certainty). Masing-masing ide dasar hukum itu
adalah:
1. Hakekat keadilan sebagai keadilan distributif atau kesetaraan yaitu
suatu bentuk perlakuan yang setara terhadap mereka yang memiliki
keadaan setara, dan perlakuan yang tidak setara bagi mereka yang
berada dalam keadaan yang berbeda, baik terhadap sesama manusia
maupun hubungan-hubungan diantara mereka.
2. Kemanfaatan atau kelayakan atau tujuan bersifat relatif, yaitu
tergantung pada pandangan-pandangan yang berbeda dari pihak-
pihak yang terlibat di dalam perkembangan sistematis tentang
hukum dan negara. Hukum sebagai pengatur kehidupan bersama
tidak dapat diserahkan kepada keinginan-keinginan perseorangan
dalam masyarakat itu, melainkan haruslah berlaku satu hukum bagi
kehidupan mereka.
3. Kepastian hukum menghendaki (1) hukum dalam bentuk positif
dalam artian jika ada sesuatu yang tidak dapat diselesaikan, maka
apa yang seharusnya atau apa yang dianggap benar yang harus
diberlakukan; dan (2) ini harus dilakukan oleh suatu badan atau
8 Satjipto Rahardjo, Ibid., hal. 18-19.
33
petugas yang mampu menerapkan apa yang diharuskan
diberlakukan.9
Gagasan hukum dari Gustav Radbruch tersebut diuraikan pula oleh
W. Friedmann. Menurut Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan
kultural tidak bisa formal, tetapi harus diarahkan kepada cita-cita hukum,
yakni keadilan. Selanjutnya dikemukakan:
1. Keadilan sebagai suatu cita, seperti telah ditunjukkan oleh Aristoteles
tidak dapat mengatakan lain kecuali yang sama harus diperlakukan
sama, yang tidak sama diperlakukan tidak sama.
2. Pengertian kegunaan hanya dapat dijawab dengan menunjukkan
pada konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang negara dan hukum.
Untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang konkret, harus
menoleh pada kegunaannya sebagai unsur kedua dari cita hukum.
3. Untuk melengkapi formalitas keadilan dan relativitas kegunaan,
keamanan dimasukkan sebagai unsur ketiga dari cita hukum.
Kegunaan menuntut kepastian hukum. Hukum harus pasti.
Tuntutan akan keadilan dan kepastian merupakan bagian-bagian
yang tetap dari cita hukum, dan ada di luar pertentangan-
pertentangan bagi pendapat politik. Kegunaan memberi unsur
relativitas. Tetapi tidak hanya kegunaan sendiri yang relatif,
hubungan antara tiga unsur dari cita hukum itu juga relatif.
Seberapa jauh kegunaan lebih kuat dari keadilan, atau keamanan
lebih penting dari kegunaan, merupakan masalah yang harus
diputuskan oleh sistem politik masing-masing.10
Ketiga elemen dari ide hukum itu bersifat saling melengkapi antara
satu dengan lainnya – dan pada keadaan yang lain saling bertentangan satu
dengan yang lainnya.11 Satjipto Rahardjo menanggapi hubungan yang
demikian dapat dimengerti, oleh karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang
berlain-lainan dan yang satu sama lain mengandung potensi untuk
9 Gustav Radbruch, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies
Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard University Press, 1950), hlm. 107-109. 10 W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan
(susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli: Legal Theory, (Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1990), hal. 43.
11 Ibid., hlm. 109 -110.
34
bertentangan. Sebagai contoh, kepastian hukum, sebagai nilai ia segera
menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping. Yang utama bagi
kepastian hukum adalah adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah
peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya,
adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.12
Teori tentang validitas berpengaruh pada hukum positif di Indonesia.
Ini tampak pada keharusan adanya pertimbangan filosofis, sosiologis, dan
yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. UU P3 2011
memberikan penjelasan mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan
yuridis sebagai muatan konsiderans menimbang. Angka 18 dan 19 TP3
(vide Pasal 64 ayat (2) UU P3 2011) menentukan konsiderans memuat
uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan
alasan pembentukan Peraturan Perundang–undangan. Pokok pikiran pada
konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis
yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang
penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan
yuridis. Kemudian masing-masing unsur-unsur ini dijelaskan sebagai
berikut:
1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia
yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan
hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang
akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat.
12 Satjipto Rahardjo, Ibid., hal. 19-20.
35
Pemahaman mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis,
dapat pula diperoleh dari teknik penyusunan naskah akademik rancangan
peraturan perundang-undangan. Dasar hukum teknik penyusunan naskah
akademik rancangan peraturan perundang-undangan terdapat dalam Pasal
57 UU No 12/2011, yang menentukan:
(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Berikutnya dalam Pasal 63 UU No 12/2011 ditentukan bahwa
ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis
mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Artinya, ketentuan tentang teknik penyusunan Naskah Akademik yang
berlaku bagi Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi, berlaku pula bagi Penyusunan Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Adapun penjelasan masing-masing
unsur-unsur tersebut, yang disebut landasan filosofis, landasan sosiologis,
dan landasan yuridis, adalah sebagai berikut:
1. Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia
yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
3. Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
36
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau
yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan
hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur
sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru.
Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah
ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih,
jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga
daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak
memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
Aspek sosiologis dalam perancangan peraturan perundang-undangan
dimanfaatkan dalam konteks pembentukan dan bukan dalam konteks
pelaksanaan peraturan perundang-undangan, seperti tampak dalam bagan
berikut:
Bagan: Unsur sosiologis dalam konteks pembentukan dan pelaksanaan UU atau Perda.
B. RELEVANSI VALIDITAS DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH
TENTANG WAJIB BELAJAR 12 TAHUN
Berdasarkan pemahaman tentang validitas tersebut, maka unsur
filosofis, sosiologis dan yuridis, yang menjadi latar belakang pembuatan
undang-undang atau peraturan daerah, dapat dimaknai sebagai berikut:
1. Unsur filosofis adalah nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu
Negara (bagi Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945) yang menjadi latar belakang dan alasan
pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.
37
2. Unsur yuridis adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi
latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau
peraturan daerah, yang meliputi:
a. Dasar hukum formal, yakni peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar kewenangan pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan. Termasuk keharusan mengikuti prosedur
tertentu.
b. Dasar hukum substansial, yakni peraturan Perundang-undangan
yang memerintahkan materi muatan tertentu diatur dalam suatu
Peraturan Perundang-undangan. Termasuk kesesuaian jenis dan
materi muatan.
3. Unsur sosiologis adalah gejala dan masalah sosial-ekonomi-politik
yang berkembang di masyarakat yang menjadi latar belakang dan
alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.
Relevansi landasan keabsahan tersebut dengan pengaturan Wajib
Belajar 12 Tahun adalah pengaturan Wajib Belajar 12 Tahun mendasarkan
pada tiga landasan keabsahan, yakni filofofis, yuridis, dan sosiologis,
sebagaimana diamanatkan UU P3 2011.
Pertama, Landasan Filosofis. Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk
memberikan pengayoman dan memajukan kesejahteraan masyarakat dalam
rangka mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera,
dan berkeadilan. Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri
atas daerah-daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Masing-masing
pemerintahan daerah itu mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi dimaksud adalah
otonomi seluas-luasnya.
Ketentuan konstitusional tersebut dilaksanakan dengan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan
38
berlakunya Undang-Undang ini, maka penyelenggaraan pemerintahan
daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya,
disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi
daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Kedua, Landasan sosiologis adalah dengan disusunya Perda ini
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam Wajib Belajar 12
Tahun Wajib Belajar 12 Tahun daerah bukan merupakan sumber
pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan
pemerintahan daerah. Dalam Wajib Belajar 12 Tahun.Berdasarkan uraian
tersebut dapat ditegaskan, landasan filosofis bahwa pendidikan harus
mampu menjamin pemerataan kesempata pendidikan, peningkatan mutu
serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi
tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional,
dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Jadi, Pemerintahan Daerah membuat Peraturan Daerah tentang
Wajib Belajar 12 Tahun, berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan
keadilan, peranserta masyarakat, dan akuntabilitas. Adapun tujuan
pembentukan Peraturan Daerah ini adalah sebagai landasan hukum Wajib
Belajar 12 Tahun di Kabupaten Jembrana.
Ketiga, Landasan Yuridis yaitu memberikan arahan, landasan dan
kepastian hukum bagi aparatur pemerintah daerah dan para pemangku
kepentingan dalam Wajib Belajar 12 Tahun
39
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TENTANG WAJIB BELAJAR 12 ( DUA BELAS ) TAHUN
A. ARAH DAN JANGKAUAN PENGATURAN
Istilah “materi muatan “ pertama digunakan oleh A.Hamid
S.Attamimi sebagai terjemahan atau padanan dari “het onderwerp”.13 Pada
tahun 1979 A.Hamid S.Attamimi membuat suatu kajian mengenai materi
muatan peraturan perundang-undangan. Kata materi muatan
diperkenalkan oleh A.Hamid S.Attamimi sebagai pengganti istilah Belanda
Het ondrwerp dalam ungkapan Thorbecke “het eigenaardig onderwerp der
wet” yang diterjemahkan dengan materi muatan yang khas dari undang-
undang, Attamimi mengatakan :
“…dalam tulisan tersebut penulis memperkenalkan untuk pertama
kali istilah materi muatan.Kata materi muatan diperkenalkan oleh
penulis sebagai pengganti kata Belanda het onderwerp dalam
ungkapan ThorbPecke het eigenaardig onderwerp der wet. Penulis
menterjemahkannya dengan materi muatan yang khas dari undang-
undang, yakni materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-
mata dimuat dalam undang-undang sehingga menjadi materi muatan
undang-undang”.14
Dalam konteks pengertian ( begripen ) tentang materi muatan peraturan
perundang-undangan yang hendak dibentuk, semestinya harus
diperhatikan apa sesungguhnya yang menjadi materi muatan yang akan
dibentuk. Karena masing-masing tingkatan ( jenjang ) peraturan
perundang-undangan mempunyai materi muatan tersendiri secara
berjenjang dan berbeda-beda.15 Sri Sumantari juga berpendapat yang sama
bahwa masing-masing peraturan perundang-undangan mengatur materi
13 A.Hamid.S.Attamimi , A.Hamid.S.Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor UI, Jakarta, hal. 193-194. 14 Ibid. 15 Gede Pantje Astawa & Suprin Na´a, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang-
undangan di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, hal. 90.
40
muatan yang sama, apa yang diatur oleh undang-undang jelas akan
berbeda dengan apa yang diatur oleh Peraturan Daerah. Demikian pula
yang diatur dalam UUD 1945 juga berbeda dengan yang diatur dalam
Peraturan Presiden.16
Rosjidi Ranggawidjaja menyatakan yang dimaksud dengan isi
kandungan atau substansi yang dimuat dalam undang-undang khususnya
dan peraturan perundang-undangan pada umumnya.17 Dengan demikian
istilah materi muatan tidak hanya digunakan dalam membicarakan
undang-undang melainkan semua peraturan perundang-undangan
.Pedoman 98 TP3U menentukan, ketentuan umum berisi: a.batasan
pengertian atau definisi; b. singkatan atau akronim yang dituangkan
dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau c. hal-hal lain yang
bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya
antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa
dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab. Pedoman 109 TP3U
menentukan, urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum
mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. pengertian yang mengatur tentang
lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus;
b.pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur
ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c.pengertian yang
mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya yang diletakkan
berdekatan secara berurutan.
Beberapa hal yang relevan dicantumkan sebagai ketentuan umum
dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 ( dua belas
) Tahun adalah:
A. JUDUL
B. PEMBUKAAN
1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
16 Sri Sumantri Martosoewignjo & Bintan R.Saragih,1993, Ketatanegaaan Indonesia
Dalam Kehidupan Politik Indonesia ; 30al Tahun Kembali ke UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, h 62.
17 Rosjidi Rangga Widjaja, 1999, Ilmu Perundang-Undangan,Mandar Maju Bandung hal. 53.
41
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-
undangan
3. Konsiderans
4. Dasar Hukum
5. Diktum
C. BATANG TUBUH
1. Ketentuan Umum
2. Materi Pokok yang Diatur
3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
5. Ketentuan Penutup
D. PENUTUP
E. PENJELASAN (jika diperlukan)
F. LAMPIRAN (jika diperlukan)
B.RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
Ruang lingkup materi muatan raperda Wajib Belajar 12 Tahun adalah
jangkauan materi pengaturan yang khas yang dimuat dalam raperda Wajib
Belajar 12 Tahun, yang meliputi materi yang boleh dan materi yang tidak
boleh dimuat dalam raperda Wajib Belajar 12 Tahun.18 Jadi, yang dimaksud
dengan materi muatan baik mengenai batas materi muatan maupun
lingkup materi muatan.
Lingkup materi yang boleh dimuat ditentukan oleh asas otonomi
daerah dan tugas pembantuan maupun yang ditentukan secara objektif-
normatif dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai
materi muatan Perda tentang Wajib Belajar 12 Tahun antara lain :
BAB I : Ketentuan Umum
BAB II : Hak Dan Kewajiban Pemerintah Masyarakat, Orang
Tua, Dan Peserta Didik
BAB III : Penyelenggaraan
18 Pengertian ruang lingkup materi muatan diadaptasi dari Gede Marhaendra Wija
Atmaja, ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar), Tesis Magister, (Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1995),hlm. 14.
42
BAB IV : Pengelolaan
BAB V : Penjaminan Wajib Belajar
BAB VI : Pendanaan Pendidikan
BAB VII : Pengawasan
BAB VIII : Evaluasi
BAB IX : Sanksi Administratif
BAB X : Ketentuan Peralihan
BAB XI : Ketentuan Penutup
43
BAB VI
PENUTUP
A. Rangkuman
Berdasarkan kajian yang telah di lakukan di BAB terdahulu, dapat
ditarik konklusi bahwa Kabupaten Jembrana belum mempunyai
Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 ( dua belas ) Tahun.
Berdasarkan keseluruhan pengkajian secara normatif dan praktek
empiris, maka perlu disusun Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12
( dua belas ) Tahun. Dasar kewenangan pendelegasian kewenangan
mengatur diatur dalam
1. Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah mengatur Untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan,
Daerah membentuk Perda. Peraturan Daerah dibentuk oleh
DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah. Dalam
kaitannya dengan pendidikan berdasarkan
2. Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan bahwa :
(1) Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat
mengikuti program wajib belajar.
44
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
(3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara
yangdiselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
3. Pasal 7 Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2008 tentang Wajib
Belajar (1) Pemerintah menetapkan kebijakan nasional pelaksanaan
program wajib belajaryang dicantumkan dalam Rencana
Kerja Pemerintah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Rencana Strategis Bidang Pendidikan, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah, dan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai
kewenangannya berkewajiban menyelenggarakan
program wajib belajar berdasarkan kebijakan
nasionalsebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penyelenggaraan program wajib belajar oleh pemerintah
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Rencana Strategis
Daerah Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah.
(4) Pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan untuk
meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah.
(5) Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut
pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan
kondisi daerah masingmasing melalui Peraturan Daerah. (6) Ketentuan mengenai pelaksanaan program wajib belajar
yang diatur oleh pemerintah daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) termasuk kewenangan memberikan sanksi administratif kepada warga negara
Indonesia yang memiliki anak berusia 7 (tujuh) sampai
dengan 15 (lima belas) tahun yang tidak mengikuti program wajib belajar
Adanya kewenangan Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut
pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah
masingmasing melalui Peraturan Daerah.
45
B. Saran
1. Menyiapkan segera Peraturan Bupati sebagai bentuk pendelegasian
kewenangan mengatur
2. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga masyarakat
dapat memberikan masukan dalam penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar 12
Tahun, sesuai dengan asas keterbukaan dan ketentuan tentang
partisipasi masyarakat dalam Pasal 96 UU P3 2011 dan Pasal 354
ayat (4) UU Pemerintahan Daerah 2004. Dalam Pasal 354 ayat (4) UU
Pemerintahan Daerah 2014. Pasal partisipasi masyarakat dalam
bentuk :
a. konsultasi publik;
b. musyawarah;
c. kemitraan; d. penyampaian aspirasi;
e. pengawasan; dan/atau
f. keterlibatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan erundang-
undangan
46
DAFTAR PUSTAKA
Astawa Gede Pantje & Suprin Na´a, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung.
Attamimi; A. Hamid S. “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi, (Fakultas
Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990), hlm. 345-346. I.C. Van Der Vlies, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan, (Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan-
undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2005).
Bruggink, J.J.H. Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari
judul asli: Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996).
Delors, Jacques 1996, “Learning: The Treasure Within” dikutip dari Ali
Muhdi Amnur (ed), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Pustaka
Fahima, Yogyakarta.
Friedmann, W. Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema
Keadilan (susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli: Legal Theory, (Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1990).
H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, “Kebijakan Pendidikan (Pengantar Untuk
Memahami Kebijakan Pendidikan Dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik)”Pustaka Pelajar.
Suhartono, Suparlan 2005, Filasat Pendidikan AR-RUZZ Media.
Sirozi, M Politik pendidikan, “ Dinamika Hubungan Antara kepentingan
Kekuasaan dan Praktik Wajib Belajar 12 Tahun” , 2005, Raja Grafindo Persada.
Rahardjo, Satjipto Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti,
2000), hal. 19, yang mendasarkan pada Gustav Radbruch, Einfuhrung in die Rechtswissenschaft, (Sttugart: K.F. Koehler, 1961).
Radbruch, Gustav “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard
University Press, 1950)
47
Martosoewignjo, Sri Sumantri & Bintan R.Saragih,1993, Ketatanegaaan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia ; 30al Tahun Kembali ke UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan Jakarta.
Widjaja, Rosjidi Rangga 1998, Ilmu Perundang-Undangan,Mandar Maju
Bandung.
Wija Atmaja, Gede Marhaendra”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan
Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar), Tesis Magister, (Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1995).
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 244 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indoesia Nomor 4301 )
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 ,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indoesia Nomor 5587 )
Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 Tentang
Pengelolaan Dan Wajib Belajar 12 Tahun
Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana No 2 Tahun 2008 Tentang Urusan
Pemerintahan Daerah Kabupaten Jembrana Lembaran Daerah Tahun
2008 Nomor 2
48
LAMPIRAN PERATURAN DAERAH :
BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI
PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
WAJIB BELAJAR 12 TAHUN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI JEMBRANA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatan kualitas
pendidikan di Kabupaten Jembrana, penyelenggaraan
program wajib belajar 12 Tahun memberikan manfaat dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat
sebagaimana amanat Undang- Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa keberadaaan wajib belajar di Kabupaten Jembrana perlu diberikan kejelasan status dan
kepastian hukum dalam sistem Pemerintahan daerah
demi mewujudkan keadilan bagi warga masyarakat; c. bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana
Nomor 15 Tahun 2006 tentang Rintisan Wajib Belajar
49
12 Tahun merupakan Peraturan Daerah rintisan
maka perlu ditingkatkan untuk memberikan arah dan kepastian hukum yang jelas tentang pelaksanaan
wajib belajar 12 Tahun kepada masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d, perlu dibentuk Peraturan Daerah tentang Wajib
Belajar 12 Tahun.
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali nusa Tenggara
Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 1555);
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5587), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5657);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara
50
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4496) Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor
5410);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 90, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4863);
7. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan
Nomor 44 Tahun 2012 Tentang Pungutan Dan
Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 665);
8. Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor ....
Tahun ....... tentang urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Kabupaten Jemdrana, (Lembaran Daerah.... Tambahan Lembaran Daerah
Nomor .....);
9. Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Rintisan Wajib Belajar 12
Tahun (Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana
Tahun 2006 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 15).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN JEMBRANA
dan BUPATI JEMBRANA,
51
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG WAJIB BELAJAR 12
TAHUN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Kabupaten adalah Kabupaten Jembrana. 2. Pemerintah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten Jembrana.
3. Bupati dalah Bupati Jembrana.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jembrana.
5. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus
diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
6. Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi
jenjang pendidikan menengah, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan
Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs),
atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah atas
(SMA/MA/SMK) atau bentuk lain yang sederajat. 7. Sekolah Dasar yang selanjutnya disebut SD adalah salah satu
bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan
pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar. 8. Madrasah Ibtidaiyah yang selanjutnya disebut MI adalah salah satu
bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan
pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar, di dalam pembinaan Menteri Agama.
9. Sekolah Menengah Pertama yang selanjutnya disebut SMP adalah
salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang
menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat.
10. Madrasah Tsanawiyah yang selanjutnya disebut MTs adalah salah
satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang
pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain
yang sederajat, di dalam pembinaan Menteri Agama. 11. Sekolah Menengah Atas yang selanjutnya disebut SMA adalah salah
satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan
pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat.
12. Program paket A adalah program pendidikan dasar jalur nonformal
yang setara SD. 13. Program paket B adalah program pendidikan dasar jalur nonformal
yang setara SMP.
52
14. Program paket C adalah program pendidikan dasar jalur nonformal
yang setara SMA. 15. Pendidikan Formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi. 16. Pendidikan Nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan
formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
17. Pendidikan Informal adalah Kegiatan pendidikan dilakukan oleh
keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
18. Peserta Didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses Pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
19. Pendanaan pendidikan adalah penyediaan sumberdaya keuangan
yang diperlukan untuk pengelolaan satuan pendidikan dasar.
53
BAB II HAK DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH
MASYARAKAT, ORANG TUA, DAN PESERTA DIDIK
Bagian kesatu Hak dan Kewajiban Pemerintah
Pasal 2
Pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3 Pemerintah daerah berkewajiban :
a. memberikan pelayanan kemudahan serta menjamin
berlangsungnya penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yang bermutu;
b. menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya wajib belajar 12
tahun; c. melaksanakan standar nasional pendidikan.
Bagian kedua
Hak dan Kewajiban masyarakat Pasal 4
Masyarakat berhak:
a. berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan program wajib belajar;
b. mendapat data dan informasi tentang penyelenggaraan program
wajib belajar12 Tahun; dan c. memperoleh pendidikan wajib belajar 12 tahun.
Pasal 5
Setiap warga masyarakat berkewajiban mendukung penyelenggaraan
Pendidikan wajib belajar 12 tahun.
Bagian ketiga
Hak dan Kewajiban orang tua
Pasal 6
Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan
memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.
Pasal 7
Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan
pendidikan dasar kepada anaknya.
54
Bagian keempat
Hak dan Kewajiban peserta didik
Pasal 8
Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;
b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya;
c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya
tidak mampumembiayai pendidikannya; d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya
tidak mampu membiayai pendidikannya;
e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara;
f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan
belajar masingmasing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
Pasal 9
(1) Setiap peserta didik berkewajiban :
a. Menjaga norma-norma pendidikan menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan;
b. Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi
peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan
pendidikan.
BAB III
PENYELENGGARAAN Pasal 10
Pemerintah daerah menyelenggarakan Program wajib belajar 12 (DUA
BELAS tahun) sesuai kewenangannya.
Pasal 11
(1) Wajib belajar diselenggarakan pada jalur pendidikan meliputi :
a. pendidikan formal;
b. pendidikan nonformal; dan c. pendidikan informal.
(2) Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur formal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar yang meliputi SD, MI, SMP, MTs, SMA,MA dan
55
bentuk lain yang sederajat.
(3) Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui program
paket A, program paket B, program paket C dan bentuk lain yang
sederajat. (4) Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur pendidikan informal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui
pendidikan keluarga dan/atau pendidikan lingkungan.
Pasal 12
(1) Satuan pendidikan dasar penyelenggara program wajib belajar
berkewajiban menjaga keberlangsungan pelaksanaan program wajib
belajar yang bermutu dan memenuhi Standar Nasional Pendidikan. (2) Satuan pendidikan dasar penyelenggara program wajib belajar
wajib menerima peserta didik program wajib belajar dari lingkungan
sekitarnya tanpa diskriminasi sesuai daya tampung satuan pendidikan yang bersangkutan.
(3) Penerimaan peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
pada SD/MI atau yang sederajat tidak mempersyaratkan bahwa
calon peserta didik yang bersangkutan telah menyelesaikan pendidikan anak usia dini.
BAB IV PENGELOLAAN
Pasal 13
(1) Bupati bertanggung jawab terhadap pengelolaan pendidikan wajib
belajar 12 Tahun di tingkat Kabupaten.
(2) Pimpinan satuan pendidikan bertanggujawab terhadap pengelolaan pendidikan wajib belajar 12 Tahun di tingkat satuan pendidikan
dasar.
BAB V PENJAMINAN WAJIB BELAJAR
Pasal 14
(1) Pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib
belajar 12 tahun tanpa memungut biaya.
(2) Warga masyarakat yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar apabila daya tampung satuan pendidikan
masih memungkinkan.
(3) Warga negara masyarakat yang belum lulus pendidikan dasar dan menengah dapat menyelesaikan pendidikannya sampai lulus atas
biaya pemerintah daerah.
(4) Warga masyarakat usia wajib belajar yang orang tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan, pemerintah daerah wajib bantuan
biaya pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan.
56
Pasal 15
(1) Setiap warga masyarakat usia wajib belajar wajib mengikuti
program wajib belajar 12 Tahun. (2) Setiap warga masyarakat yang memiliki anak usia wajib belajar
bertanggung jawab memberikan pendidikan wajib belajar kepada
anaknya.
(3) Pemerintah Daerah mengupayakan setiap warga masyarakat mengikuti program wajib belajar 12 Tahun.
BAB VI PENDANAAN PENDIDIKAN
Pasal 16
(1) Pendanaan pendidikan bersumber dari pemerintah daerah dan
masyarakat.
(2) Pendanaan pendidikan pada satuan pendidikan berupa : a. biaya investasi;
b. biaya operasi;
c. bantuan biaya pendidikan; dan
d. beasiswa. Pasal 17
Sumber dana pendidikan pada satuan pendidikan dasar yang
diselenggarakan oleh Pemerintah daerah berupa :
a. anggaran pendapatan dan belanja daerah; c. sumbangan dari peserta didik atau orang tua/walinya;
d. sumbangan dari pemangku kepentingan pendidikan dasar di luar
peserta didik atau orang tua/walinya; e. bantuan lembaga lainnya yang tidak mengikat;
f. bantuan pihak asing yang tidak mengikat; dan/atau
g. sumber lain yang sah.
Pasal 18
Sumber dana pendidikan pada satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat:
a. bantuan dari penyelenggara atau satuan pendidikan yang
bersangkutan; b. pungutan, dan/atau sumbangan dari peserta didik atau orang
tua/walinya;
c. bantuan dari masyarakat di luar peserta didik atau orang tua/walinya; d. bantuan pemerintah daerah;
e. bantuan pihak asing yang tidak mengikat;
f. bantuan lembaga lain yang tidak mengikat; g. hasil usaha penyelenggara atau satuan pendidikan; dan/atau
h. sumber lain yang sah.
57
BAB VII PENGAWASAN
Pasal 19
(1) Pemerintah daerah, dewan pendidikan, dan komite
sekolah/madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan
program wajib belajar 12 Tahun sesuai kewenangan masing-
masing. (2) Pemerintah daerah melaksanakan pengawasan penyelenggaraan
program wajib 12 Tahun belajar pada satuan pendidikan.
BAB VIII
EVALUASI
Pasal 20
(1) Pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
program wajib belajar 12 Tahun secara berkala. (2) Evaluasi terhadap pelaksanaan program wajib belajar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. tingkat pencapaian program wajib belajar;
b. pelaksanaan kurikulum pendidikan dasar; c. hasil belajar peserta didik; dan
d. realisasi anggaran.
(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan kepada Menteri.
(4) Evaluasi terhadap pelaksanaan program wajib belajar 12 Tahun
dapat dilakukan oleh lembaga evaluasi mandiri yang didirikan masyarakat sesuai Standar Nasional Pendidikan.
BAB IX SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 21
Satuan pendidikan dasar penyelenggara program wajib belajar yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2)
dikenakan sanksi administrasi berupa teguran, penghentian pemberian
bantuan hingga penutupan satuan pendidikan yang bersangkutan.
BAB X
KETENTUANPERALIHAN Pasal 22
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2006 tentang Rintisan Wajib Belajar 12 Tahun (Lembaran
Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2006 Nomor 15, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 15), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
BAB XI
58
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Kabupaten Jembrana.
Ditetapkan di Jembrana
Pada tanggal
...........................
BUPATI JEMBRANA,
.............................................
Diundangkan di Jembrana Pada tanggal .....................
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN
JEMBRANA,
.................................................................
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TAHUN..........NOMOR.....
Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN HUKUM,
.................................................
NIP..................................
.
NOREG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA,PROVINSI BALI:
(NOMOR URUT PERDA/TAHUN)
59
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA
NOMOR ............ TAHUN............
TENTANG
WAJIB BELAJAR 12 TAHUN
I. UMUM
Program wajib belajar merupakan gerakan nasional yangwajib
dilaksanakan pemerintah daerah, dan masyarakat di Kabupaten
Jembrana.
Pemerintah Kabupaten Jembrana berkewajiban untuk
menyelenggarakan Program wajib belajar 12 Tahun. Penyelenggaraan
Program wajib belajar 12 (Dua Belas Tahun) sangat bermanfaat bagi
masyarakat dengan alasan untuk memberikan pelayanan pendidikan
dasar seluas-luasnya kepada masyarakat Kabupaten Jembrana tanpa
membedakan latar belakang agama, suku, sosial, budaya, dan ekonomi.
Setiap masyarakat usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan
pendidikan yang bermutu dan orang tua/walinya berkewajiban
memberi kesempatan kepada anaknya untuk mendapatkan pendidikan
dasar.
Program wajib belajar 12 Tahun diselenggarakan pada satuan
pendidikan dasar yang mencakup pada jalur pendidikan formal,
nonformal, dan informal serta harus dapat menampung anak yang
normal maupun yang berkelainan dan/atau mempunyai hambatan
dalam perkembangannya. Peraturan tentang program wajib belajar 12
Tahun mencakup hak dan kewajiban masyarakat dan tanggung jawab
pemerintah daerah.
Di Kabupaten Jembrana telah ada Peraturan Daerah Kabupaten
Jembrana Nomor 15 Tahun 2006 tentang Rintisan Wajib Belajar 12
60
Tahun yang hanya merupakan Peraturan Daerah rintisan, dalam arti
tidak berlaku wajib untuk semua masyarakat. Dengan demikian maka
perlu ditingkatkan agar peraturan daerah ini dapat memberikan arah
dan kepastian hukum yang jelas tentang kewajiban pemerintah dan
masyarakat dalam pelaksanaan wajib belajar 12 Tahun.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan mendukung penyelenggaraan Pendidikan wajib belajar 12 tahun, antara lain:
a. sebagai orangtua memberikan pendidikan dasar bagi anaknya
yang sesuai program wajib belajar; b. berperanserta dalam bentuk pemberian dukungan sumberdaya
(dana sarana dan prasarana, tenaga, penyelenggaraan,
manajemen) menjadi orang tua asuh.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
61
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.