Post on 16-Oct-2021
MOTIVASI DAN LEARNING CYCLE
DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama (MA) dalam Pengkajian Islam
Oleh :
MAHNAN MARBAWI NIM : 08.2.00.1.12.08.0053
Pembimbing : SUPARTO, M.Ed., Ph.D.
SEKOLAH PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 25082010
Abstrak
Mahnan Marbawi : Motivasi dan Learning Cycle Dalam Pembelajaran PAI. Motivasi dan Learning Cycle adalah model pendekatan pembelajaran yang memperhatikan dan mendorong motivasi belajar siswa serta diintegrasikan melalui pendekatan learning cycle. Motivasi yang dimaksud berupa perhatian terhadap motivasi intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi siswa. Guru mendorong motivasi belajar siswa tersebut –intriksik dan ekstrinsik, muncul dalam proses pembelajaran. Untuk memunculkan motivasi intrinsic siswa, guru harus melakukan pendekatan personal. Sementara untuk mendorong munculnya motivasi intrinsik siswa dalam belajar, guru menggunakan pendekatan learning cycle dalam pembelajaran.
Tesis ini akan membuktikan ketidaktepatan (menentang) teori STAD atau student teams achievement division yang dikembangkan Robert Slavin. Model Pembelajaran STAD yang ditawarkan oleh Slavin, memiliki beberapa kelemahan diantaranya dari sisi monitoring pengerjaan tugas oleh siswa dalam kelompok yang cenderung dikerjakan hanya oleh siswa yang memiliki kemampuan lebih tinggi. Sehingga motivasi mengerjakan tugas oleh siswa lain akan berkurang.
Tesis ini akan memperkuat teori motivasi Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick tentang motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Tesis ini juga akan mengintegrasikan teori motivasi dengan siklus belajar. Tesis ini menunjukkan bahwa : 1) penguatan terhadap faktor ekstrinsik melalui learning cycle dan pendekatan personal yang akan memperbesar motivasi belajar siswa. 2) Learning cycle lebih dekat pada faktor ekstrinsik yang memberikan pengaruh terhadap faktor intrinsik.
Sumber utama penulisan tesis ini adalah hasil field research tentang MLC di kelas yang dikolaborasikan dengan berbagai teori motivasi yang berkembang. Terutama teori motivasi Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick tentang motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Berbagai teori pembelajaran yang berbasis learning cycle juga menjadi perhatian tesis ini. Selain itu teori STAD Robert Slavin menjadi bagian yang diperdebatkan dengan teori Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick. Tesis ini juga mencoba melihat aplikasi sederhana dari teori Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick dengan melakukan field research.
iv
ملخص البحث
.دورة الدوافع للتعلم في تعليم العلوم الشرعيةمحنان مربوي،
إن دورة الدوافع للتعلم عبارة عن نموذج لمدخل إلى التعلم الذي يعتني والمراد . وإدماجها عن طريق مدخل دورة التعلمإلى التعلم الطلاب بدوافع
. التي تؤثر في الطلابيةبالدوافع هنا هو العناية بالدوافع الداخلية والخارجفي عملية فالمدرس يشجعهم على تحقيق دوافعهم الداخلية والخارجية
يعاملهم بمدخل شخصي، فعلى المدرس أن الداخلية ولتحقيق دوافعهم . التعلمفي التعلم، فعليه أن يستخدم مدخل دورة بينما لتحقيق دوافعهم الخارجية
.التعلم في العملية التعليمية" قسم الإنجاز لمجموعة الطلاب"نظرية هذه الرسالة عدم دقة تثبت
(STAD) وإن أنموذج التعلم الذي نادى بـه . قام روبرت سلافين بتطويرهاالتيله عدة عيوب، ومن بينها عيوب في جانب رقابة أداء الواجب على سلافين ون الواجب لدى الطلاب ذوي المقدرة المتفوقة يكفأداء . في فرقتهمالطلاب
أآثر سيادة بالمقارنة مع الطلاب الضعفاء المقدرة، مما يجعل الدوافع إلى أداء . غير المتفوقين ضعيفةالواجب من قبل الطلاب
هذه الرسالة تؤيد نظرية الدوافع لواين هارلن وروث ديكن آريك عن . وهذه الرسالة توحّد نظرية الدوافع ودورة التعلم. الدوافع الداخلية والخارجية
تعزيز العامل الخارجي عن طريق دورة التعلم ) 1(الرسالة أن وتثبت دورة التعلم أقرب ) 2( سيقوّي دوافع الطلاب إلى التعلم؛ ووالمدخل الشخصي
.إلى العامل الخارجي الذي يؤثر في العامل الداخليعداد هذه الرسالة هي عدة نظريات ومصادر البيانات الرئيسية لإ
وفضلا عن نظرية الدوافع لواين هارلن وروث ديكن متطورة في الدوافع،عدة على أيضا وتعتمد هذه الرسالة .آريك عن الدوافع الداخلية والخارجية
قسم الإنجاز نظريات التعلم على أساس دورة التعلم، بالإضافة إلى أن نظرية لمجموعة الطلاب لروبرت سلافين تكون جزءا لا يتجزأ مما يناقش بنظرية
وأخيرا تحاول هذه الرسالة تطبيق بسيط . رلن وروث ديكن آريكواين هالنظرية واين هارلن وروث ديكن آريك على أنموذج تعلم العلوم الشرعة من
.واالله أعلم بالصواب. خلال البحث الميداني
v
iv
Abstract
Mahnan Marbawi : Motivation and Learning Cycle in PENDIDIKAN AGAMA ISLAM subject matter (Islamic Education)
Motivation Learning Cycle is an approach of learning that attends and increases student learning motivation by means of integrating it through Learning Cycle Approach. The motivation here covers the attention to both intrinsic and extrinsic which affect the students. Teacher stimulates student motivation, both intrinsic and extrinsic to exist in learning process. To stimulate the intrinsic motivation, teacher should take a personal approach. While to stimulate the extrinsic motivation, teacher should take learning cycle approach in learning.
This thesis tries to find out the inaccuracy of the STAD theory (Student Teams Achievement Division) developed by Robert Slavin and refutes it. The model proposed by Slavin has some drawbacks. Among other weaknesses of this model are; the monitoring system by student in groups, the tendency of dominance of the fast learner that affect motivation of the other learners.
On the other hand, this thesis support the concepts of Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick on intrinsic and extrinsic motivation. This thesis will also integrate motivation theory and learning cycle. The thesis shows that; 1) strengthening extrinsic factor through learning cycle and personal approach will enhance students learning motivation. 2) learning cycle is closer to the extrinsic factor that affects intrinsic factor.
The main sources of this thesis are various on motivation, especially the one from Wayne & Ruth Deakin Crick on intrinsic and extrinsic motivation. Several learning theories that are based on the learning cycle also serve as sources for this thesis. In addition, the STAD theory of Robert Slavin will also be used as anti thesis to be confronted with the theory of Wayne Harlen and Ruth Deakin Crick.
This thesis will also observe the simple application of Wayne Harlen & Ruth Deakin theory during the field research.
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Surat Pernyataan ……………………………………………………….. i
Surat Persetujuan Pembimbing……………………………………….... ii
Surat Persetujuan Tim Penguji………………………………………… iii
Abstraks…………………………………………………………………. iv
Kata pengantar …………………………………………………………. vi
Daftar isi………………………………………………………………… viii
Daftar gambar…………………………………………………………… viii
Pedoman transliterasi…………………………………………………… x
Bab I : PENDAHULUAN………………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………….......... 1
B. Permasalahan..............…………………………………………..… 13
C. Tujuan Penelitian ..............……………………………………….. 14
D. Signifikansi dan Kegunaan Penelitian ......................................... 15
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ............................................. 15
F. Metodologi Penelitian ………..…………………………………… 22
G. Sistematika Penulisan …..………………………………………… 24
Bab II : MOTIVASI DALAM PEMBELAJARAN
A. Definisi dan Bentuk Motivasi …………………….………………. 26
B. LC : Definisi dan Tahapan LC ……………………..………….…. 44
C. Motivasi dan Pembelajaran di Kelas ……………………………… 59
Bab III : PENGAJARAN PAI DI SMP
A. Pengajaran PAI selama ini....………….……………………….... 70
B. Ruang lingkup Pembelajaran PAI ……………………………… 72
C. Karakteristik Pembelajaran PAI .......………………………….. 74
viii
ix
D. Beberapa Metode Pembelajaran PAI …………………………… 80
E. Gap Analisys Pengajaran PAI …………………………..…… 93
Bab IV. PROSEDUR DAN LANGKAH PENERAPAN MOTIVASI DAN
LEARNING CYCLE DALAM PEMBELAJARAN
A. Model Pendekatan Motivasi dan Learning Cycle ………………… 103
B. Prosedur dan Langkah Penerapan Motivasi dan Learning Cycle… 111
C. Penerapan Motivasi pada fase Engagment, Eksploration, Expand,
Elaboration, dan Evaluation ………………………………….. 133
BAB V. PENERAPAN MOTIVASI DAN LEARNING CYCLE DALAM
PEMBELAJARAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
A. Penerapan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Al-Qur’an …. 137
B. Penerapan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Aqidah-Akhlak 145
C. Penerapan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Fiqih ………. 147
D. Penerapan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Tarikh ……. 149
Bab VI : PENUTUP: Kesimpulan dan Rekomendasi ............................ 151
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mengajar adalah kata kunci yang mempengaruhi proses pendidikan.1
Mengajar berhubungan dengan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Dalam
melaksanakan proses pembelajaran, kegiatan tersebut bermuara pada : madzhab
behavioristik2 dan konstruktivis.3 Asri Budiningsih dalam bukunya mengatakan
bahwa kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi
perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas. Pendapatnya ini untuk
menjelaskan teori belajar konstruktivis.4 Teori belajar behavioristik menekankan
pada perilaku yang dapat diamati dan diukur. Teori koneksionisme merupakan
teori yang paling awal dari aliran behavioristik.5 Teori koneksionisme yang
dipelopori oleh Thorndike, memandang bahwa yang menjadi dasar terjadinya
1Dede Rosyada, Paradigman Pendidikan Demokratis : Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2004), 89.
2Diperkenalkan oleh John B. Watson dan Adward L. Torndike di Amerika Serikat pada awal abad ke 20 : Anderson J.R 1994: 3. Menurut aliran Behavioristik, memandang manusia sebagai organisme yang pasif dan dipengaruhi oleh stimulus yang ada di lingkungannya. Aliran Behavioristik ini melahirkan teori Connectionism, Classical Conditioning, Contiguous Conditioning, serta Descriptive Behaviorisme atau yang lebih dikenal dengan nama Operant Conditioning. Muh. Hizbul Muflihin, “Aplikasi dan Implikasi Teori behaviorisme Dalam Pembelajaran: Analisis Strategi Inovasi Pembelajaran”, ( Khazanah Pendidikan : Jurnal Ilmiah Pendidikan, Vol I, No. 1, Maret 2009), 123. Baca juga Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung-Alfabeta, 2008), 42. Baca juga Winfred F. Hill, Theories of Learning, Penerjemah M.Khozim, (Bandung: Nusa Media 2009), 168. Baca juga Toeti Soekamto dan Udin Saripudin Winataputra, Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran, (Jakarta: Depdiknas, 1997), 13.
3Pembelajaran secara konstruktivisme lahir dari pandangan mengenai cara manusia belajar. Teori konstruktivisme mengatakan bahwa murid membina makna mengenai dunia dengan mensintesis pengalaman baru terhadap apa yang mereka telah pahami sebelumnya. Melalui konstruktivisme, guru akan mengenal pasti tahap pengetahuan murid dan dapat merancang kaedah pengajarannya berdasarkan tahap/sifat ciri pengetahuan tersebut. Abdul Jalil Othman dan Bahtiar Omar, “Aplikasi Pembelajaran Secara Konstruktivisme Dalam Pengajaran Karangan Berpadu”, (Jurnal “Masalah Pendidikan”, Universitas Malaya, 2005), 1.
4Asri Budianingsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta 2004), 58. 5Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung : Alfabeta, 2003), 42.
Baca juga Winfred F. Hill, Theories of Learning , penerjemah, M. Khozim, (Bandung : Nusa Media 2009), 35.
2
belajar adalah adanya asosiasi antara kesan panca indera (sense of impression)
dengan dorongan yang muncul untuk bertindak (impuls to action).6 Ini artinya
belajar akan terjadi pada diri anak, jika anak mempunyai ketertarikan terhadap
masalah yang dihadapi. Siswa dalam konteks ini dihadapkan pada sikap untuk
dapat memilih respon yang tepat dari berbagai respon yang mungkin bisa
dilakukan. Thorndike sebagaimana dikutip oleh John A. Nevin, mengembangkan
teori tiga macam hukum belajar, yaitu :
“1) The Law of Readiness (hukum kesiapan belajar), yaitu jika suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus maka pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat. 2) The Law of Exercise (hukum latihan), yaitu semakin sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin kuat. dan 3) The Law of Effect (hukum pengaruh) adalah hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah bila akibatnya tidak memuaskan”.7
Kemudian Ivan Pavlov seperti dikutip Theresia Kristanti mengembangkan
teori belajar classical conditioning. Ivan Pavlov mengembangkan pembiasaan
(conditioning) melalui Stimulus (S) dan Respon (R) yang menekankan pada
analisis prilaku yang objektif. Pavlov melakukan percobaan pada seekor anjing.
Dalam eksperimennya ia menunjukkan makanan kepada anjing yang kemudian
memakan makanan itu. Setiap kali ditunjukkan makanan, anjing itu mengeluarkan
air liur. Tampak bahwa makanan yang di sini disebut unconditional stimulus
(UCS) menyebabkan respons (R), keluarnya air liur.8
Sejalan dengan Pavlov dan Thorndike, Jhon B. Watson mendukung teori
behavioristik. Menurut Watson pembelajaran yang terjadi bersandar pada dua
6Muh. Hizbul Muflihin, “Aplikasi dan Implikasi Teori Behaviorisme Dalam Pembelajaran : Analisis Strategis Inovasi Pembelajaran”, (Khazanah Pendidikan : Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol I, No. 1, Maret 2009), 123.
7John A Nevin, “Analyzing Thorndike’s Low Of Effect: The Question of Stimulus-Respons Bonds”, (Journal of The Experimental Analysis Of Behavior, University of New Hampshire, Number 3, November, 1999), 447-450,. Baca juga Muh Hizbul Muflihin, “Aplikasi dan Implikasi Teori Behaviorisme Dalam Pembelajaran : Analisis Strategis Inovasi Pembelajaran”, (Khazanah Pendidikan : Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol I, No. 1, Maret 2009),124.
8Theresia Kristianty, “Pandangan-pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme tentang Pemerolehan Bahasa Pertama”, (Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006). Baca juga Winfred F. Hill, Theories Of Learning, penerjemah M. Khozin, (Bandung : Nusa Media 2009), 35.
3
prinsip, frekuensi dan resensi . Frekuensi menyatakan semakin sering kita
melakukan respon terhadap suatu stimulus, semakin cenderung respon tersebut
menjadi stimulus lagi. Maksudnya adalah respon siswa terhadap suatu stimulus,
respon tersebut akan menjadi stimulus baru dan akan menimbulkan respon baru.
Contoh mengerjakan tugas adalah respon siswa atas tugas dari guru sebagai
stimulus, pekerjaan mengerjakan tugas menjadi stimulus bagi siswa untuk
memperoleh reward yang menjadi sebuah respon dari guru atas stimulus
mengerjakan tugas dari siswa. Resensi menyatakan bahwa semakin baru respon
yang diberikan terhadap stimulus, semakin cendrung kita melakukannya lagi.
Artinya stimulus dan respon (S-R) tersebut dapat diamati. Sebagai contoh,
seorang anak akan mendapatkan reward bila mengerjakan tugas, maka dia akan
rajin mengerjakan tugas. Sebaliknya jika seorang anak akan mendapatkan
hukuman karena tidak mengerjakan tugas, maka dia akan berusaha mengerjakan
tugas agar tidak mendapat hukuman. Reward (hadiah) dan punishment (hukuman)
dilakukan secara periodik adalah resensi yang mempengaruhi perilaku anak.9
Sayangnya kaum behavioristik tidak menjelaskan secara detil respon
tersebut berbanding lurus dengan stimulus yang diberikan dan apakah respon
tersebut sangat dipengaruhi oleh informasi awal yang dimiliki oleh siswa
(pengalaman), sosial dan lingkungan siswa serta faktor lain yang mempengaruhi
psikologis siswa. Seperti iklim kelas, motivasi belajar, materi, cara guru mengajar
dan lain sebagainya. Kaum behavioristik memang lebih menekankan pada
perubahan tingkah laku akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon
yang diberikan kepada siswa. Dengan demikian proses belajar menurut
behaviorisme lebih dianggap sebagai suatu proses yang bersifat mekanistik dan
otomatik tanpa membicarakan apa yang terjadi selama itu dalam diri siswa yang
belajar.10
9Winfred F. Hill Theories of Learning , penerjemah, M. Khozim, 49 10Galloway, dalam Toeti Soekamto dan Udin Saripudin Winataputra, Teori Belajar dan
Model-Model Pembelajaran, (Jakarta, Depdiknas, 1997), 13
4
Sementara menurut pandangan konstruktivisme, keberhasilan belajar
tergantung bukan hanya pada lingkungan atau kondisi belajar. Siswa harus
menemukan sendiri dan mengkonstruksi informasi yang dia butuhkan. Tokoh dari
aliran ini antara lain adalah Pieget.11
Menurut Pieget sebagaimana dikutip Syaiful Sagala, proses belajar anak
terjadi dalam dua tahap : assimilation dan accommodation. Assimilasi adalah
proses menyesuaikan dan mencocokan informasi baru dengan apa yang telah
diketahui sebelumnya. Akomodasi adalah menyusun dan membangun kembali
atau mengubah informasi awal sehingga ada penyesuaian dan pembaruan
informasi atau pengetahuan.12 Teori kontruktivisme ini kemudian berkembang
dan melahirkan teori-teori belajar. Diantaranya teori belajar learning cycle.13
Pada awal-awalnya teori behavioristik mendominasi warna kurikulum di
Indonesia. Ini terlihat dari dominasi capaian nilai akhir yang menjadi perhatian.
Proses pembelajaran tidak menjadi fokus utama tetapi bagaimana siswa bisa
menjawab soal dan mendapat nilai tinggi menjadi tujuan utama atau goal
orientation. Hal semacam ini bisa dilihat dari warna kurikulum 1974, kurikulum
1984 yang menekankan kepada hasil (output oriented).
Perkembangan kurikulum pendidikan Indonesia akhirnya menemukan
bentuk yang dianggap ideal dengan keluarnya Permendiknas No. 22 tahun 2006
tentang Standar Isi 14 dan Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar
11Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung : Alfabeta, 2003), 24 12Sardiman A.M. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2008), l37 13Dalam perkembangannya Learning cycle memiliki lima fase : engagement, exploration,
explanation, elaboration, dan evaluation, lihat Kusdian Kurniahadi, Penelitian, : “Pengaruh Metode Perubahan Konseptual (Conceptual Change Methodes) dalam Setting Model 5 E Terhadap Pemahaman Konsep Siswa SMA Lan Undhiksha Singaraja,” (Fak.Pendidikan MIPA Univ. Udayana, 2006), 12. Permendiknas No. 41 tahun 2007 pada bab III bagian B yang menjelaskan kegiatan pembelajaran memasukan unsur learning cycle yaitu eksplorasi, elobarasi dan konfirmasi.
14Dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Permendiknas No 22 dan 41 berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Permendiknas No. 19 Standar Nasional Pendidikan yang kemudian mengeluarkan delapan standar pendidikan. Dan diantaranya adalah Permendiknas No. 22 dan Permendiknas No. 41.
5
Proses. Dimana dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 ini peran pemerintah
hanya menjadi penyedia Standar Nasional saja sementara pelaksanaan kurikulum
semua menjadi kewenangan di satuan pendidikan (sekolah). Permendiknas No. 22
tahun 2006 tentang Standar Isi yang terdiri atas Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar (SK/KD) sebagai besaran pengembangan kurikulum yang akan
dilakukan oleh satuan pendidikan (sekolah).15 Permendiknas No. 41 tahun 2007
hanya mengatur proses pembelajaran yang mengatur bagaimana kegiatan
pembelajaran mulai awal hingga akhir (termasuk evaluasi) dilakukan.
Permendiknas No. 22 tahun 2006 sendiri sebenarnya mengadopsi konsep
madzhab behavioristik, sementara Permendiknas No. 41 tahun 2007 mengadopsi
kontruktivisme. Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi yaitu
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK/KD). SK dan KD ini merupakan
kompetensi yang harus dikuasai atau dicapai oleh siswa dalam proses
pembelajaran. Bentuk SK dan KD sebenarnya adalah pengajaran terprogram
untuk mencapai kompetensi yang diinginkan seperti pada madzhab
behavioristik.16 Permendiknas No. 41 tahun 2007 menjelaskan proses
pembelajaran yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru dan siswa. Dimana
15Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar ini dikembangkan oleh satuan pendidikan
(sekolah) yang lebih dikenal dengan KTSP, kurikulum tingkat satuan pendidikan. KTSP ini terbagi menjadi dua bagian Dokumen I yang memuat penyusunan visi, misi, tujuan sekolah/madrasah, struktur dan muatan kurikulum (mata pelajaran, mulok, pengembangan diri, ketuntasan belajar, kenaikan/kelulusan serta kalender pendidikan) yang sesuai dengan karakteristik masing-masing satuan pendidikan. Dokumen II yang berisi panduan teknis menyusun silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang baik sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas yang dimulai dari pemetaan kompetensi dasar dan penjabarannya menjadi komponen silabus dan RPP. Kebijakan Pemerintah untuk menyusun kurikulum di tingkat satuan pendidikan merupakan perwujudan dari reformasi di bidang pendidikan yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ini merupakan upaya untuk mewujudkan setidak-tidaknya tiga strategi dari tiga belas strategi pembaharuan yang diamanatkan, yaitu: (a) pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, (b) pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan; dan (c) pemberdayaan peran serta masyarakat
16Contoh terkenal dari penerapan prinsip behaviorisme di dunia pendidikan adalah pengajar terprogram (program learning) dimana materi disajikan dalam unit-unit kecil yang mudah dipelajari. Unit-unit kecil ini dilambangkan dengan kompetensi yang harus dipelajari atau dikuasi oleh siswa. Permendiknas No. 22 tahun 2006 yang memuat standar isi menjelaskan begaimana kompetensi-kompetensi yang harus dikuasi oleh siswa dalam setiap semester untuk semua jenjang pendidikan SD, SMP, SMA/SMK atau yang untuk madrasah dijelaskan melalui Permenag No. 2 tahun 2007 tentang Standar Isi Madrasah.
6
proses pembelajaran tersebut berpusat kepada siswa. Proses pembelajaran ini
dilakukan dengan mengedepankan aktivitas yang harus dilakukan oleh siswa
untuk mencapai kompetensi. Dan hal ini sesuai dengan teori konstruktivisme yang
juga mengedepankan kegiatan pembelajaran dari segi prosesnya.17
Namun demikian, dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar
Isi menekankan bahwa penyampaian SK dan KD yang merupakan pengajaran
terprogram dengan proses pembelajaran, didasarkan pada potensi, perkembangan
dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya.
Dalam hal ini peserta didik harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang
bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara
bebas, dinamis dan menyenangkan. 18
Masih dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tersebut dijelaskan
kurikulum yang mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan
lokal dan pengembangan diri diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan,
dan kesinambungan yang cocok dan memadai antar kelas, dan jenis serta jenjang
pendidikan.
Sementara dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 dijelaskan bahwa
dalam pelaksanaan pembelajaran yang mengandung tiga tahap kegiatan :
pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. Dalam kegiatan inti harus mencakup tiga
aspek : eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi.
Kedua Permendiknas tersebut banyak membicarakan bagaimana proses
pembelajaran dilaksanakan serta kompetensi yang harus dicapai setelah proses
17Dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 dijelaskan bagaimana proses belajar siswa
dikelas dilakukan. Permendiknas No. 41 menjelaskan tahapan kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru dan siswa. Ada kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutupan serta evaluasi. Dalam kegiatan pendahuluan seorang guru harus mempersiapkan peserta didik (siswa) baik secara psikis atau materi dengan berbagai macam cara seperti pemberian motivasi, apersepsi dan sebagainya. Dalam kegiatan inti seorang guru harus mempersiapkan peserta didik untuk melakukan berbagai macam aktivitas pembelajaran yang terangkum dalam tiga fase : eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Dan dalam kegiatan penutup, guru memberikan penugasan dan evaluasi terhadap proses pembelajaran. Kegiatan inti yang terdiri atas tiga fase ini sebenarnya mengadopsi konsep konstruktivis melalui Learning Cycle yang memiliki lima fase : engagement, exploration, explanation, elaboration, dan evaluation..
18Permendiknas No. 22 tahun 2006 Bab 2:5
7
pembelajaran. Permendiknas No. 22 tahun 2006 yang berisi Standar Kompetensi
dan Kompetensi Dasar (SK/KD) sebenarnya menjadi goal orientation dari proses
pembelajaran di kelas. Sementara Permendiknas No. 41 tahun 2007 menjadi
guidance bagaimana goal orientation yang di tetapkan dalam Permendiknas No.
22 tahun 2006 tersebut dicapai. Permendiknas No. 41 tahun 2007 memang
mengarahkan pembelajaran yang berorientasi kepada student center dalam
prosesnya.
Istikah SK dan KD menurut pendapat penulis sendiri sebenarnya
merupakan penyempurnaan dari istilah Tujuan Instruksional Umum (TIU) untuk
SK dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) untuk KD yang digunakan dalam
kurikulum 1994. Dalam kurikulum 1994 program pengajaran seluruh mata
pelajaran harus mengacu kepada GBPP atau Garis Besar Program Pengajaran.
Sementara saat ini program pengajaran di dasarkan atas Permendiknas No. 22
tahun 2006 tentang Standar Isi yang berisi SK dan KD dan Permendiknas No. 41
tahun 2007 tentang Standar Proses.
Baik dalam GBPP atau pun Permendiknas No. 22 tahun 2006 dan
Permendiknas No. 41 tahun 2007 tersebut faktor motivasi yang berpengaruh
dalam proses pembelajaran belum mendapat perhatian. Motivasi hanya
disinggung sedikit dalam kegiatan awal sebagai apersepsi. Pencapaian
kompetensi masih menjadi isu utama dalam proses kegiatan belajar mengajar di
kelas.
Pencapaian kompetensi sebagai hasil dari proses belajar tersebut banyak
dilakukan ketika proses pembelajaran berlangsung. Proses pencapaian kompetensi
lebih banyak dipengaruhi oleh bagaimana proses pembelajaran dilakukan oleh
guru. Apakah ketika proses pembelajaran dilakukan guru menggunakan metode,
model, strategi dan media pembelajaran yang menyebabkan siswa bisa memahami
kompetensi atau sebaliknya. Kurangnya kemampuan guru mengembangkan
8
metode, model, strategi dan media pembelajaran menyebabkan siswa kurang
mampu menguasai kompetensi yang telah ditentukan dalam satu mata pelajaran.19
Prestasi belajar yang dicapai oleh siswa dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, baik yang berasal dari diri siswa (faktor internal20) maupun dari luar siswa
(faktor eksternal).21 Faktor internal diantaranya adalah minat, bakat, motivasi,
tingkat intelegensi. Sedangkan faktor eksternal diantaranya adalah faktor metode
pembelajaran dan lingkungan.
Dalam kegiatan belajar, motivasi merupakan keseluruhan daya penggerak
di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin
kelangsungan dari kegiatan belajar. Motivasi mempunyai peranan penting dalam
proses belajar mengajar baik bagi guru maupun siswa. Bagi guru mengetahui
motivasi belajar dari siswa sangat diperlukan guna memelihara dan meningkatkan
semangat belajar siswa. Bagi siswa motivasi belajar diperlukan untuk
menumbuhkan semangat belajar sehingga siswa terdorong untuk melakukan
perbuatan belajar. Siswa melakukan aktivitas belajar dengan senang karena
didorong adanya motivasi belajar.
19Semakin guru menguasai metode, model, strategi dan media pembelajaran maka semakin mudah siswa mencapai kompetensi yang diajarkan. Semakin rendah kemampuan guru menguasai metode, model, strategi dan media pembelajaran semakin sulit siswa mencapai kompetensi. Penggunaan metode pembelajaran, model pembelajaran, strategi pembelajaran dan media pembelajaran bisa sangat variatif. Seorang guru ketika melaksanakan satu kegiatan pembelajaran harus menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang didasarkan atas Silabus. rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi dan kompetensi dasar, kegiatan pembelajaran, materi pokok/pembelajaran indikator pencapaian kompetensi, penilaian, sumber, dan alokasi waktu belajar. Di Indonesia, silabus merupakan pengaturan dan penjabaran seluruh kompetensi dasar suatu mata pelajaran dalam Standar Isi Dari Silabus ini dijabarkan kedalam RPP. Dalam RPP seorang guru harus menggambarkan metode, model, setrategi dan media pembelajaran.
20M.Sobri Sutikno: ”Peran Guru dalam Membangkitkan Motivasi Belajar Siswa”, makalah seminar pendidikan, diakses dari http://smkn2.padangpanjang.org/index.php?option=com_content&task=view&id=48&Itemid=41 pada tanggal 17 Maret 2010.
21Sobri menyebut motivasi ekstrinsik. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar. M. Sobri Sutikno: ”Peran Guru dalam Membangkitkan Motivasi Belajar Siswa”, makalah seminar pendidikan. Diakses dari http://smkn2.padangpanjang.org/index.php?option=com_content&task=view&id=48&Itemid=41 pada tanggal 17 Maret 2010.
9
Sebagai ranah internal, motivasi termasuk bagian dari psikologi. Ada
banyak faktor yang mempengaruhi motivasi seseorang. Dalam kegiatan belajar,
motivasi dapat menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar,
sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai.
Selama ini pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dinilai masih
konvensional. Kompetensi Pendidikan Agama Islam yang harus dikuasi oleh
siswa sebagaimana diamanatkan oleh Perendiknas No 22 tahun 2006 diuraikan
dalam bahan ajar, dan materi pelajaran. Dalam penyampaiannya kompetensi
tersebut, para guru PAI kebanyakan menggunakan metode ceramah. Padahal ada
banyak aspek (kognitif, afektif dan psikomotor) yang tidak hanya bisa
diselesaikan –disampaikan dengan metode ceramah. Penyampaian kompetensi
tersebut berhubungan dengan model taksonomi22 Bloom. Kenneth D. Moore
merumuskan beberapa indikator menyangkut tiga taksonomi Bloom: afektif,
kognitif dan psikomotor.23
Proses pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar (KBM) PAI relatif
belum menemukan bentuk yang ideal. Hal ini menyangkut penanaman nilai
kepada siswa sebagai bagian integral dari PAI.24 Guru PAI belum memberikan
perhatian yang fokus terhadap siswa sebagai individu.25 Dimana siswa ketika
mengikuti proses KBM memiliki atensi yang fluktuatif. Atensi tersebut bisa naik
dan bisa turun dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Seperti motivasi belajar,
media pembelajaran, metode pembelajaran, dan lain sebagainya.
22Taksonomi adalah alat yang mengklasifikasikan dan menunjukkan hubungan di antara
berbagai hal. Richard I Arends, Learning to Teach, penerjemah, Helly Prajitno Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 116.
23Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta : Remaja Rosda Karya,2004), 140. Baca juga Richard Kindsvatter, William Wilen & Margareth Ishler, Dynamics of Effective Teaching, (USA : Longman Publisher, 1996), 161-163. Baca juga Muhammad Abduh Ahmad, Mustofa Abdullah Ibrahim, Tadrīs al Tarbiyat al-dīnīyat al-islāmīyat bi al-ta’līm al’ām wa al-azharī falsafatut ijrāātut, (Kairo: Al-Azhar, 2000), 49.
24Zakiah Daradjat Dkk., Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam,(Jakarta :Bumi
Aksara, 2008), 68-72 25Abuddin Nata, Prespektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana,
2009), 152-155.
10
Selain itu proses pembelajaran di kelas yang melibatkan guru dan siswa
banyak mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran. Menurut Richard I
Arends, kelas merupakan sebuah komunitas belajar yang memiliki fitur-fitur
sosial. Kelas adalah lingkup sosial tempat berinteraksinya siswa yang bercirikan
persahabatan dan konflik.26
Memahami problem yang melingkupi proses pembelajaran dari sisi iklim
kelas, materi pembelajaran, metode pembelajaran dan faktor motivasi belajar
siswa merupakan bagian dari tugas guru. Seseorang siswa dalam melakukan
aktivitas belajar selalu didasari oleh dorongan yang terjadi di kelasnya.27
Pemahaman terhadap kondisi kelas oleh seorang guru bisa menghantar kepada
tercapainya tujuan pembelajaran yaitu penguasaan kompetensi.
Kompetensi atau kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa yang
diamanatkan oleh Permendiknas No. 22 tahun 2006 menjadi pegangan guru dalam
melaksanakan proses belajar di kelas. Selama ini guru menggunakan berbagai
macam strategi, metode pembelajaran untuk membantu siswa mencapai
kompetensi yang diajarkan. Kompetensi tersebut diuraikan menjadi bahan ajar,
materi ajar, dan disampaikan dengan berbagai macam strategi pembelajaran dan
metode pembelajaran sesuai konteks kompetensi dan kondisi pendukung lainnya.
Seperti sarana prasarana, media pembelajaran, kemampuan siswa, kemampuan
guru sendiri dan lain sebagainya.28
Untuk mencapai kompetensi tersebut guru menyiapkan dokumen berupa
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP, lesson plan) sebelum kegiatan belajar
mengajar di mulai. RPP ini digunakan sebagai pegangan atau guidance dalam
proses KBM untuk satu atau dua kali pertemuan. Tergantung keluasan dan
kedalaman materi yang dijabarkan dari SK dan KD. Dalam RPP dituliskan
kegiatan pendahuluan yang meliputi apersepsi dan pemberian motivasi. Dan
26Richard I Arends, Learning to Teach, 148. 27Denis Coon, Introduction to Psychology : Exploration and Application, (St Paul, 1983),
40. 28Thoifur, Menjadi Guru Inisiator, (Jakarta : Rasail Media Group, 2007), l22.
11
selama itu pula pada prakteknya banyak guru mengabaikan – atau belum banyak
memperhatikan- bagaimana membangun motivasi belajar siswa pada kegiatan
pendahuluan dan pada kegiatan inti.
Model pembelajaran Learning Cycle pertamakali diperkenalkan oleh
Robert Karplus. Karplus sebagaimana dikutip oleh John Settlage Sherry A
Shotherland menjelaskan konsep learning cycle terdiri atas tiga fase, yaitu
exploration, concept introduction, and concept application.29 Namun menurut
John Settlage Sherry A Southerland, konsep learning cycle dengan model 5 E
dikembangkan oleh Rodge Bybee :
“when you hear or read about the five “E” models you should give appropriate acknowledgment to Bybee’s promotion of this varety of the learning cycle. However, this shouldn’t lead any one to believe that all learning cycle have five phase”.30
Model Learning Cycle yang popular dengan sebut 5 E, engagement,
exploration, explanation, elaboration and evaluation.31 Engagment32 adalah
bagaimana guru merangsang keterlibatan siswa dalam berbagai kegiatan
pembelajaran. Exploration adalah bagaimana siswa mengembangkan dan
menemukan sendiri pengetahuan awal mereka dengan berbagai aktivitas
pembelajaran seperti membaca, mendengarkan, menirukan, berdiskusi dan
lainnya. Explanation adalah bagaimana siswa menyampaikan pemahaman mereka
terhadap hasil explorasi mereka dalam satu materi. Evaluation adalah memberikan
kesempatan kepada guru untuk memberikan penilaian terhadap hasil belajar siswa
29John Settlage Sherry A Shotherland, teaching Science to every Child : Using Culture as
a starting Point, (Wasingthin, D.C. : The National Academios Press, 2007), 129. 30John Settlage Sherry A Shotherland,Teaching Science to every Child : Using Culture as
a starting Point, 129. 31Rodger W. Bybee, Joseph A. Taylor et all, The BSCS 5E Instructional Model: Origins,
Effectiveness, and Applications, (Colorado :Springs, BSCS, 2006), 2. 32Kusdian Kurniahadi, Penelitian, : “Pengaruh Metode Perubahan Konseptual
(Conceptual Change Methodes) dalam Setting Model 5 E Terhadap Pemahaman Konsep Siswa SMA Lan Undhiksha Singaraja”,( Fak.Pendidikan MIPA Univ. Udayana, 2006), 12.
12
atau memberikan kesempatan guru untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan
kompetensi yang telah dicapai oleh siswa.33
Menurut penulis, model Learning Cycle (LC) 5 E ini kemudian diadopsi
oleh Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Isi. Permendiknas No. 41
tahun 2007 ini menurut penulis mengadopsi model LC 5 E. Dimana dalam
Permendiknas No. 41 ini LC hanya terdapat 3 E : eksplorasi, elaborasi dan
evaluasi.34 Bagi penulis sendiri, model LC yang ada dalam Permendiknas No. 41
tahun 2007 tersebut mereduksi dari LC model 5E. Sebab ada beberapa bagian dari
LC 5 E yang tidak bisa diwakili dalam aktivitasnya seperti engagment dan
explanation. Sementara evaluation dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007
tersebut masih diakomodir dalam kegiatan penutup.
Faktor motivasi yang mendasari siswa untuk belajar dan faktor proses
pembelajaran yang berbasis pada Permendiknas No. 41 tahun 2007 inilah yang
akan menjadi penelitian dari tesis ini. Model Learning Cycle yang akan digunakan
adalah model Learning Cycle yang ada dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007
yaitu eksplorasi, elobarosi dan konfirmasi.
Integrasi faktor motivasi dan LC ini akan coba diterapkan dalam mata
pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Diharapkan integrasi tersebut akan
menjadi model pendekatan pembelajaran PAI.35 Hipotesa36 yang dibangun
33Baca juga Titik Harsiati, makalah “Learning Cycle” dalam workshop AIBEP
(Australia Indonesia Basic Education Programs), 2007. Baca juga Rodge W Bybee, et all, The BSCS 5E Instructional Model : Origins, Effectiveness, and Application, 3.
34Lihat, Permendiknas No. 41 tahun 2007, bagian III B: Pelaksanaan Pembelajaran. 35Dalam Permendiknas No. 22 dijelaskan Pendidikan Agama Islam termasuk dalam
kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dikelompokkan ke dalam kelompok mata pelajaran : Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian seperti PKn, Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi seperti IPA, IPS, Matematik, TIK, Kelompok mata pelajaran estetika seperti Seni Budaya, Keterampilan, Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan seperti Penjasorkes.
36Hipotesa adalah pernyataan dugaan tentang hubungan antara dua variabel atau lebih dan selalu menggunakan kalimat pernyataan. Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioral,(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), 30.
13
adalah semakin besar keterlibatan proses belajar siswa yang dipadukan dengan
menggunakan model Motivasi dan Learning Cycle ,37 maka semakin besar
keberhasilan kompetensi yang akan dicapai. Semakin guru memahami bagaimana
menumbuhkan motivasi belajar dan menguasai pembelajaran LC, semakin besar
motivasi belajar siswa. Semakin besar motivasi belajar siswa,maka semakin besar
peluang siswa mencapai kompetensi.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari paparan di atas dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai
berikut :
1. Apa saja stimulus dan respon yang harus diperhatikan guru untuk membangun
motivasi belajar siswa?
2. Bagaimana guru menerapkan proses pembelajaran berbasis learning cycle
(LC) yang dapat meningkatkan motivasi belajar siswa?
3. Bagaimana penerapan model Motivasi dan Learning Cycle sebagai
pendekatan pembelajaran PAI?
2. Pembatasan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam tesis ini, dibatasi pada beberapa hal,
sebagai berikut :
a. Stimulus dan respon yang dibangun guru yang mendorong motivasi belajar
siswa.
b. Model pembelajaran atau learning cycle yang mendorong motivasi belajar
siswa.
c. Model penerapan Motivasi dan Learning Cycle sebagai model pendekatan
pembelajaran PAI.
37Baca Taufiq Ahmad Mar’I dan Muhammad Mahmud Alhilliyaṭ, T>{arāiq al-Tadrīs al-Ammat, (Kairo : Dār al-māsīrat, 2005), 95-98.
14
3. Perumusan Masalah
Merujuk kepada identifikasi masalah dan pembatasan masalah, maka
rumusan masalah yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana”intervensi” motivasi yang diberikan oleh seorang guru pada
setiap fase learning cycle ?
2. Bagaimana memberikan motivasi pada siswa ketika menerapkan learning
cycle pada pelajaran PAI?
C. Tujuan Penelitian
Berdasar pada identifikasi dan perumusan masalah di atas, penelitian ini
bertujuan :
1. Mengetahui proses persiapan KBM PAI yang mampu meningkatkan motivasi
belajar siswa.
2. Mengetahui bentuk-bentuk ”intervensi” motivasi yang bisa diberikan pada
setiap fase pembelajaran oleh guru PAI
D. Siginifikansi dan Kegunaan Penelitian
1. Signifikansi
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, penelitian ini secara
akademis penting dilakukan untuk mengungkapkan hal-hal sebagai berikut :
a. Problematika sikap (stimulus atau respon) guru yang mendorong motivasi
belajar siswa
b. Model learning cycle yang diterapkan oleh guru dan mampu mendorong
motivasi belajar siswa.
2. Kegunaan.
Adapun kegunaan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah untuk :
15
a. Pengembangan model-model pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang
memperhatikan faktor motivasi dan proses pembelajaran (LC).
b. Sebagai upaya untuk memperkaya khazanah pengembangan pembelajaran
Pendidikan Agama Islam. Diharapkan hal ini bisa menjadi sumbangan bagi
dunia akademik khususnya jurusan Tarbiyah.
c. Model pendekatan Motivasi dan Learning Cycle ini diharapkan berguna bagi
guru PAI dalam menjalankan proses pembelajaran yang memperhatikan
berbagai stimulus dan respon yang terjadi, dan mendorong munculnya motivasi
belajar siswa
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Diakui sudah banyak penelitian menyangkut motivasi dalam
pembelajaran. Baik di dalam dan apalagi di luar negeri. Tokoh-tokoh seperti
Richard M. Ryan, Edward L. Deci, Mc Donald, Dweck, dan masih banyak tokoh
lainnya adalah peneliti tentang motivasi dari berbagai bidang. Sementara di
Indonesia sendiri cukup banyak tesis atau disertasi serta skripsi yang menyangkut
tentang motivasi belajar.
Arko Pujadi dalam penelitiannya : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Motivasi Belajar Mahasiswa : Studi Kasus pada Fakultas Ekonomi Universitas
Bunda Mulia, melakukan penelitian yang bertujuan mengetahui karakteristik
motivasi belajar mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Bunda Mulia. Dalam,
penelitiannya Arko Pujadi meneliti perbedaan motivasi belajar diantara
mahasiswa didasarkan atas gender, jurusan dan tahun angkatan. Arko juga
meneliti hubungan antara motivasi belajar mahasiswa dengan faktor intrinsik
dalam dirinya dan faktor-faktor ekstrinsik (lingkungan belajarnya), seperti gender,
kualitas dosen, materi kuliah, metode perkuliahan, kondisi dan suasana ruang
kuliah, dan fasilitas perpustakaan.38
38Arko Pujadi: “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Mahasiswa: Studi
Kasus Pada Fakultas Ekonomi, di Business & Management”, (Jurnal Bunda Mulia, Vol: 3, No. 2,
16
Dalam penelitiannya Arko Pujadi menemukan empat kesimpulan
berkaitan dengan motivasi belajar mahasiswa. Diantaranya motivasi belajar
mahasiswa tinggi dilihat dari keseriusannya mengikuti perkuliahan dosen,
kepemilikan buku wajib kuliah, keseriusan mengerjakan tugas dari dosen,
jarangnya mahasiswa bolos kuliah. Arko Pujadi juga menemukan adanya
signifikansi motivasi belajar mahasiswa dengan motivasi intrinsik dan motivasi
ekstrinsik seperti kualitas dosen, ruang kuliah, materi kuliah dan metode
perkuliahan.39
Michael Budiman dan Daniel Albert Y. A. dalam artikelnya Student E-
Learning Intrinsic Motivation menyebutkan konsep tentang “motivasi hakiki”
(Intrinsic Motivation Literature). Konsep mengenai motivasi hakiki pada awalnya
berasal dari William James. Ia menggunakan istilah minat (interest) dan naluri
untuk membangun (instinct of constructiveness) untuk menjelaskan tipe-tipe
perilaku manusia. Minat dan naluri untuk membangun tersebut menggambarkan
konsep self-determination (kemampuan individu untuk memutuskan sesuatu tanpa
pengaruh dari luar) dan competence (kemampuan individu untuk melakukan
sesuatu dengan baik), dan pada akhirnya kedua hal inilah yang pada awalnya
mendefinisikan motivasi hakiki.40
Goerge Boeree menjelaskan dalam tulisannya tentang Abraham Maslow
berkaitan dengan kebutuhan manusia yang menggerakkan motivasi. Menurut
Maslow, manusia memiliki banyak kebutuhan.41 Maslow42 mengemukakan
hierarki atau tingkatan kebutuhan yang terdiri atas: (a) kebutuhan dasar,
September 2007), 10. 39Arko Pujadi: “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Mahasiswa: Studi
Kasus Pada Fakultas Ekonomi, di Business & Management”, 11. 40Michael Budiman dan Daniel Albert Y. A., “Student E-Learning Intrinsic Motivation”,
(Jurnal CAIS 2007, volume 19). 41George Boeree, Abraham Maslow (1908-1970), Personality Theories, (Shippenburg
University,2006), 2. 42Abraham Maslow, mengajukan theory Human Motivation yang di dalam teorinya
menjelaskan hirarki kebutuhan manusia, lihat Abraham Maslow, Motivation and Personality, third edition, (Kindersley : Publishing, 2008), 56-65. Baca juga John Adair, Leadership and Motivation, penerjemah: Fairano Ilyas, Kepemimpinan Yang Memotivasi, (Jakarta : Gramedia Pustaka, 2008), 48-53.
17
kebutuhan untuk mengetahui dan memahami; (b) kebutuhan akan keindahan; (c)
kebutuhan aktualisasi diri.
Jika Maslow mendasarkan teori motivasinya pada teori kebutuhan, Victor
Vroom menekankan pada aspek harapan atau expectacy teori. Vroom
mendasarkan teorinya pada tiga aspek : 1) Valance atau value yang
disederhanakan menjadi nilai dari tujuan. 2) Expectancy atau harapan: orang yang
berbeda memiliki harapan dan tingkat kepercayaan tentang apa yang mereka
mampu lakukan. 3) Alat yang dimaksud adalah apakah mereka (karyawan) akan
benar-benar akan mendapatkan apa yang mereka inginkan (gaji) bahkan jika ia
telah dijanjikan pengelola (management).43
Teori tersebut dirumuskan dalam fungsi matematis Motivasi = expectancy
(perasaan berpeluang sukses) x instrumentality (hubungan antara sukses dan
reward) x value (nilai dari tujuan). Karena rumus ini menggunakan perkalian tiga
variabel, jika salah satu variabel rendah, maka motivasi juga akan rendah.
Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick dalam Artikelnya Testing and
Motivation for Learning, Graduate School of Education mengemukakan kerangka
teori hubungan motivasi belajar.44 Menurut Wayne dan Ruth Motivasi belajar
siswa dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik, seperti yang dijelaskan
pada latar belakang masalah.
Richard I Arends dalam bukunya Learning to Teach juga membahas
tentang motivasi belajar siswa. Dalam bukunya Richard menjelaskan bagaimana
strategi untuk memotivasi siswa dan membangun komunitas belajar yang
produktif.45
43Victor Vroom, “Motivation and Management, Expectancy Theory’s Vroom”, diakses
dari www.valuebasedmanagement.compada tanggal 12 Desember 2008. 44Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick, “Testing and Motivation for Learning, Graduate
School of Education, Assessment in Education”, (Journal Assassment in Education Vol.10, No.2 July 2003), 183.
45Richard I Arends, Learning to Teach, penerjemah Helly Prajitno Sortjipto, Sri Mulyantini Soetjipto, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2008), 160.
18
Paul R. Pintrich dan Dale H. Schunk dalam buku mereka Motivation in
Education, Theory, Research, and Applications . Paul dan Dale menjelaskan
adanya korelasi signifikan dan positif antara nilai intrinsik – Paul dan Dale
menggunakan istilah intrinsic value, dengan self efficacy, penggunaan strategi dan
self regulation.46
Penulis sendiri akan menggunakan model yang dikembangkan Wayne dan
Ruth sebagai model dalam penelitian motivasi belajar. Model pengembangan
motivasi belajar Wayne dan Ruth ini dijadikan alat untuk melakukan intervensi
kepada proses pembelajaran yang berbasis learning cycle dalam Permendiknas
No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses.
Faktor-faktor yang termasuk dalam motivasi intrinsik yang dikembangkan
Wayne dan Ruth menurut penulis berada pada proses pembelajaran. Artinya
faktor-faktor intrinsik seperti self efficacy, self esteem, sense of self as learner dan
lain sebagainya sangat mempengaruhi proses pembelajaran di kelas.
Sayangnya Wayne dan Ruth tidak menyertakan iklim kelas yang juga
menjadi faktor ekstrinsik dan mempengaruhi pembelajaran atau motivasi belajar
siswa. Untuk itu penulis akan mengadopsi manajemen kelas yang dikembangkan
oleh Richard I Arends dan model pengembangan classroom influences Paul R.
Pintrich dan Dale H. Schunk.
Dari model pengembangan motivasi belajar Wayne & Ruth serta Richard I
Arends ditambah model classroom influence Paul dan Dale inilah yang menjadi
pijakan penulis untuk mengembangkan model pembelajaran PAI yang
memperhatikan motivasi belajar dalam setiap proses KBM.
Menurut penulis, untuk mencapai keberhasilan belajar siswa, teori Wayne
Harlen dan Ruth Deakin Creak tersebut perlu digabungkan dengan learning cycle
46Paul R. Pintrich dan Dale H. Schunk, Motivation in Education, Theory, Research, and
Applications, (Ohio : Prentice-Hall Columbus Ohio, 1996), 11.
19
(LC). Siklus belajar atau learning cycle (LC) terdiri dari lima fase (5E) dan
ditambah satu fase Elaborasi yang saling berhubungan satu sama lainnya, yaitu:47
1) Engage (Menarik Perhatian-Mengikat)
Fase engage merupakan fase awal. Pada fase ini guru menciptakan situasi
teka-teki yang sesuai dengan topik yang akan dipelajari siswa. Guru dapat
mengajukan pertanyaan (misalnya: mengapa hal ini terjadi? Bagaimana cara
mengetahuinya? dll) dan jawaban siswa digunakan untuk mengetahui hal-hal apa
saja yang telah diketahui oleh mereka. Fase ini dapat pula digunakan untuk
mengidentifikasi miskonsepsi siswa.
2) Exploration (Eksplorasi)
Selama fase eksplorasi, siswa harus diberi kesempatan untuk bekerja sama
dengan teman-temannya tanpa arahan langsung dari guru. Fase ini menurut teori
Piaget merupakan fase “ketidakseimbangan” dimana siswa harus dibuat bingung.
Fase ini merupakan kesempatan bagi siswa untuk menguji hipotesis atau prediksi
mereka, mendiskusikan dengan teman sekelompoknya dan menetapkan
keputusan.
3) Explanation (Menjelaskan)
Pada fase ini guru mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan
kalimat mereka sendiri.
4) Expand (Perpanjangan)
Pada fase ini siswa harus mengaplikasikan konsep dan kecakapan yang telah
mereka miliki terhadap situasi lain.
5) Elaboration (Elaborasi)48:
47Titik Harsiati, makalah : “Learning Cycle” dalam workshop AIBEP (Australia
Indonesia Basic Education Programs, Pemerintah Australia memberikan bantuan pendidikan kepada pemerintah Indoensia melalui program AIBEP), 2007. Baca juga Rodge W Bybe, et all, The BSCS 5E Instructional Model : Origins, Effectiveness, and Application, 3.
48Didasarkan atas Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses. Dalam Permendiknas No 41 tahun 2007 tentang Standar Proses LC disederhanakan menjadi tiga fase : eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi.
20
Membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui
tugas-tugas tertentu yang bermakna; memfasilitasi peserta didik melalui
pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik
secara lisan maupun tertulis;
6) Evaluation (Evaluasi)
Evaluasi dilakukan selama proses pembelajaran dilangsungkan. Guru
bertugas untuk mengobservasi pengetahuan dan kecakapan siswa dalam
mengaplikasikan konsep dan perubahan berfikir siswa.Learning cycle lebih dekat
kepada faktor ekstrinsik yang memungkinkan pengaruhnya terhadap faktor
intrinsik dan motivasi belajar siswa. Gabungan antara fungsi motivasi belajar
siswa dengan LC akan menghasilkan prestasi belajar yang menggembirakan.
Model LC yang memperhatikan motivasi yang dibangun oleh guru dalam
proses pembelajaran ini akan menjadi bagian untuk memperkaya dan menjadi
salah satu alternatif dalam pendekatan pembelajaran. Seperti dijelaskan oleh
Abuddin Nata terdapat beberapa pendekatan dalam pembelajaran. Seperti
pendekatan individualis, pendekatan kelompok, pendekatan campuran, dan
pendekatan edukatif.49
Sementara dari sisi metode pembelajaran terdapat beberapa strategi
pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4) simulasi;
(5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7) brainstorming; (8) debat, (9)
simposium, dan sebagainya.50 Melvin L. Siberman dalam bukunya Active
Learning: 101 Strategia to Teach Any Subject, menjelaskan bagaimana
seharusnya proses pembelajaran dilakukan. Dalam bukunya Mel Siberman
49Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2009), 147-161. 50Wina Senjaya, Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), 35.
21
menjelaskan bagaimana membuat peserta didik aktif sejak dini, dan bagaimana
membantu peserta didik memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap aktif.51
Pendekatan pembelajaran tersebut termasuk pendekatan lainnya seperti
Cooperatif Learning, 52 adalah bagian dari pembelajaran aktif. Posisi model
Motivasi dan Learning Cycle yang akan dikembangkan penulis adalah untuk
memperkaya khazanah pendekatan pembelajaran, khususnya dalam Pendidikan
Agama Islam, yang lebih memperhatikan aspek motivasi. Aspek motivasi yang
dimaksud penulis tersebut bisa muncul dari stimulus dan respon yang diberikan
oleh guru dalam proses pembelajaran. Berbagai model dan pendekatan
pembelajaran yang telah dijelaskan memberikan kontribusi terhadap munculnya
motivasi belajar siswa.
Posisi tesis ini untuk memperkuat teorinya Wayne Harlen & Ruth Deakin
Crick sekaligus menggabungkannya dengan teori Learning Cycle dalam
pembelajaran. Aspek motivasi yang menjadi perhatian Wayne and Ruth dalam
proses pembelajaran yang berpusat kepada siswa seperti model Learning Cycle,
ini akan dilihat dalam proses pembelajaran. Tesis ini juga memberikan catatan
penting terhadap model pembelajaran STAD (student Teams Achievement
Divisions) yang dikembangkan oleh Robert Slavin.
Robert Slavin mengenalkan pendekatan pembelajaran tipe STAD untuk
membantu guru dalam mengelola pembelajaran. Tipe pembelajaran STAD
menitikberatkan pada pembelajaran kelompok. Dalam prakteknya, tipe STAD
digunakan setelah guru memberikan ceramah dan kemudian siswa membentuk
kelompok untuk membahas apa yang sudah disampaikan oleh guru.
Menurut penulis, pembelajaran tipe STAD yang berbasis kepada kerja
kelompok dengan tingkat heterogenitas yang tinggi (tingkat kemampuan, jenis
kelamin, etnis, dsb) jika tidak diberikan panduan pengerjaan tugas yang kuat akan
51Melvin L. Siberman, Active Learning: 101 Strategia to Teach Any Subject, penerjemah Sarjuli dkk., (Yogyakarta : Pustaka Insan Madani-Yappendis, 2002), 33-39.
52Etin Solihatin & Raharjo, Cooperative Learning; Analisis Model Pembelajaran IPS, (Jakarta: Bumi Aksara2008), 35. Hisyam Zaini dkk, Strategi Pembelajaran Aktif, (Yogyakarta : Pustaka Insan Madani 2008), 45.
22
menyulitkan dalam pelaksanaannya. Kesulitan itu timbul diakibatkan karena
sulitnya mengontrol kerja kelompok yang dimungkinkan mengandalkan siswa
yang memiliki kemampuan lebih saja untuk mengerjakan tugas kelompok.
F. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini secara umum dilakukan dengan metode kualitatif
akademik.53 Yaitu suatu metode yang mencoba menemukan pokok permasalahan
dan penjabaran yang didasarkan pada rujukan dari pendapat para ahli motivasi
dan pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan keahliannya. Pengumpulan
data sendiri dilakukan melalui library research. Library research dilakukan
dengan menelaah buku-buku yang berkaitan dengan persoalan motivasi belajar
siswa, model-model pembelajaran, termasuk buku-buku yang membahas tentang
learning cycle.
Teori Wayne Harlen & Ruth Daekin Crick dan teori learning cycle ini
kemudian dikomparasikan. Mengutip pendapatnya Sabrina O. Sihombing, ada
empat alasan pentingnya memperbandingkan kedua teori tersebut yang dijadikan
dasar penelitian ini.54 Pertama, setiap teori adalah bermanfaat dalam memberikan
pemahaman akan fenomena, akan tetapi, masing-masing teori hanya mampu
menjelaskan sebagian fenomena saja. Alasan kedua, tiap teori menggunakan
variabel-variabel tertentu untuk menjelaskan fenomena. Lebih lanjut, pengujian
teori terbaik adalah jika dilakukan komparasi antara dua atau lebih teori karena
akan dihasilkan teori mana yang lebih baik untuk memahami suatu fenomena.
Alasan ketiga menurut Sabrina adalah teori-teori eksis saat ini tidaklah
tetap sepanjang waktu. Akan tetapi, teori-teori tersebut akan semakin berkembang
misalnya melalui modifikasi atau perbaikan-perbaikan dalam teori tersebut jika
53Abuddin Nata, Prespektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, 11. 54Sabrina Oktaria Sihombing, “Hubungan Sikap dan Perilaku Memilih satu Merek :
Komparasi antara Theory of Planned Behavior and Theory of Trying”, (Disertasi Universitas Gajah Mada, 2004), 20.
23
banyak penelitian empiris yang mendukungnya. Terakhir, berpikir komparasi
adalah merupakan suatu pemikiran ilmiah.
Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) intervensi atau respon
baik yang berasal dari guru atau siswa yang bisa menunjukkan adanya penguatan
terhadap motivasi belajar siswa, 2) model pembelajaran (LC) yang mempengaruhi
motivasi belajar siswa.
2. Pendekatan dan analisa data
Penelitian ini merupakan penelitian eksplorasi dan eksplanasi.55
Eksplanasi yaitu mengkaji hubungan sebab-akibat diantara dua fenomena atau
lebih sebagai penjelasan (eksplanasi) dari teori. Dan penelitian eksplorasi
(menjelajah) berkaitan dengan upaya untuk menentukan apakah suatu fenomena
ada atau tidak. Penelitian pertama bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
stimulus atau respon-respon yang diberikan baik oleh guru atau siswa yang
menunjukkan adanya motivasi belajar. Tujuan penelitian kedua untuk mengetahui
bahwa motivasi belajar itu dipengaruhi oleh stimulus dan atau respon yang
diberikan oleh guru atau siswa serta proses pembelajaran.
G. Sistematika Penulisan.
Bab pertama, Pendahuluan; bab ini meliputi latar belakang
dilaksanakannya penelitian ini, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah
yang akan diteliti, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan
pustaka berkaitan dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan, dan
dilengkapi dengan sistematika penulisan hasil penelitian. Bab ini sangat penting
dikemukakan karena menggambarkan mengapa penelitian ini dianggap perlu
untuk dilaksanakan.
Bab kedua, Motivasi dalam Pembelajaran; bab ini akan menjelaskan
tentang definisi dan bentuk-bentuk motivasi yang bisa diberikan kepada siswa
55Achmad Djunaedi, Pengantar : “Apakah Penelitian Itu?”, makalah mata kuliah
Pengantar Metodologi Penelitian Pascasarjana hal 6-7, tanpa nama universitas. http://mpkd.ugm.ac.id/weblama/homepageadj/support/materi/metlit-i/a01-metlit-pengantar.pdf diakses tanggal 10 Mei 2010.
24
untuk mendorong motivasi belajar siswa. Bab ini juga menjelaskan latar belakang
tentang learning cycle dan pentahapannya dip roses pembelajaran di kelas.
Sebagai penutup bab dua ini akan dijelaskan bagaimana guru bisa memberikan
motivasi belajar anak ketika mereka berada di kelas. Pada bab ini juga dijelaskan
tentang bagaimana kerangka teori Motivasi dan Learning Cycle dibangun dari
teori motivasi Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick, serta teori learning cycle.
Dalam bab ini juga dijelaskan tentang teori learning cooperative Robert Slavin
yang akan menjadi bagian dari dasar munculnya teori Motivasi dan Learning
Cycle .
Bab ketiga, menjelaskan tentang pengajaran dan pembelajaran PAI di
SMP. Bab ini merupakan landasan teori bagi bab-bab berikutnya, yang diawali
dengan pembicaraan masalah pengajaran Pendidikan Agama Islam selama ini :
membahas pengajaran Pendidikan Agama Islam selama ini, ruang lingkup,
karakteristik dan model pembelajaran PAI.
Bab keempat, Penerapan Model Motivasi dan Learning Cycle dalam
Pembelajaran; Bab ini menjelaskan bagaimana prosedur dan langkap pendekatan
Motivasi dan Learning Cycle dilakukan dalam pembelajaran PAI, bagaimana
penerapan Motivasi dan Learning Cycle dalam setiap fase pembelajaran yang
diamanatkan dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 dan bagaimana guru
membangun motivasi intrinsik dan ekstrinsik siswa. Pengembangan Motivasi
dalam fase engagement, eksploration, expand, elaboration, explanation dan
evaluation.
Bab kelima, Penerapan Model Pendekatan Motivasi dan Learning Cycle
dalam pembelajaran PAI; Pengembangan Motivasi dan Learning Cycle pada
aspek Al-Quran, pengembangan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek
Aqidah dan Akhlak, pengembangan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek
Fiqih , Pengembangan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Tarikh
Bab keenam, Penutup; Bab ini merupakan simpulan dari penelitian yang
dilakukan dan rekomendasi yang ditawarkan.
25
26
Bab II
MOTIVASI DALAM PEMBELAJARAN
Pandangan tentang kajian motivasi akan selalu berhubungan dan tidak
pernah lepas dengan persoalan psikologi. Konsep yang paling menonjol tentang
akar pengertian motivasi tidak lepas dari dua kata, kemauan (volition/will) dan
insting (instincts).1 Antara volition dan will memiliki perbedaan pengertian.
Dalam Bahasa Indonesia, keduanya diartikan sama, kemauan. Will merefleksikan
hasrat (desire), kebutuhan (want) atau maksud/tujuan (purpose).2 Sementara
volition menunjukkan bagaimana aktivitas dalam menggunakan will, “volition
was the act of using the will.3
Di bawah ini akan dijelaskan tentang hubungan motivasi dengan
pembelajaran di kelas. Hal ini berkaitan dengan bagaimana usaha seorang guru
membangun motivasi belajar siswanya. Sebagaimana dijelaskan oleh Edward L.
Deci yang mengatakan “..apa yang harus guru katakan kepada siswanya yang
memiliki motivasi rendah agar mereka sukses….?”.4 Akan dibahas juga
bagaimana learning cycle diaplikasikan dalam proses pembelajaran serta
bagaimana teori Motivation dan Learning Cycle dibangun.
A. Definis dan Bentuk Motivasi Belajar
- Definisi motivasi
Rendahnya motivasi siswa dalam belajar kerap dituding sebagai biang
keladi dari kegagalan atau rendahnya kompetensi yang dicapai oleh siswa. Hal ini
juga berimbas kepada guru yang mengajar mata pelajaran. Guru disalahkan karena
tidak bisa mengantarkan siswa kepada kompetensi minimal yang telah
1Paul R. Pintrich, and Dale H.Schunk, Motivation in Education, Theory, Research, and Application, (New Jersey, Prentice-Hall,1996), 27.
2John M. Echols dan Hasan Shadily, Inggris – Indonesia, Jhon Ecol, Bagian desire, want dan purpose.
3Paul R. Pintrich, and Dale H.Schunk, Motivation in Education, Theory, Research, and Application, 27.
4Edward L. Deci, Motivation and Classroom Learning, (Journal Psycology Boric, Chapter 7).
27
ditetapkan5. Kegiatan di ruang-ruang kelas sendiri adalah suatu sistem sosial yang
dipengaruhi oleh ukuran kelas, konteks sosial kelas teknologi pengajaran yang
dipakai, struktur komunikasi, dan suasana sosial. Ada banyak penelitian yang
telah dilakukan para pakat tentang motivasi belajar siswa. Di bawah ini akan
dipaparkan berbagai hasil penelitian tentang motivasi. Seperti yang yang
dijelaskan Csikszentmihalyi & Larson. Menurut mereka, salah satu kegagalan
yang paling berulang di pendidikan adalah murid jarang mengatakan bahwa
mereka menemukan pembelajaran yang memberikan penghargaan.6 Dan hal ini
berhubungan dengan motivasi belajar siswa (motivation for learning).
Menurut Romiszowski, seperti dikutip Zaenal Abidin bahwa kinerja atau
performance yang rendah dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berasal dari
dalam dan luar mahasiswa. Faktor luar misalnya fasilitas belajar, cara mengajar
dosen, sistem pemberian umpan balik dan sebagainya. Faktor dalam mahasiswa
mencakup kecerdasan strategi belajar, motivasi dan sebagainya.7
Istilah motivasi bisa di dapat dari bahasa latin movere yang berarti
"menggerakkan". WS. Winkel berpendapat bahwa motivasi adalah penggerak
yang telah menjadi aktif. Sedangkan Donald menjelaskan bahwa motivasi adalah
suatu perubahan tenaga di dalam diri atau pribadi seseorang yang ditandai oleh
dorongan efektif dan reaksi-reaksi dalam mencapai tujuan. W. Podkowiki
menjelaskan motivasi sebagai suatu kondisi yang menyebabkan atau
menimbulkan perilaku tertentu dan yang memberi arah dan ketahanan
(persistence) pada tingkah laku tersebut.
Pada prakteknya kata motivasi dan niat hampir sama dengan motivasi,
sama-sama dapat dipakai dengan arti yang sama, yaitu bisa kebutuhan (need),
desakan (urge), keinginan (wish), dorongan (drive) atau kekuatan (strength).
5Permindaknas No 20 tahun 2007 tentang Standar Isi 6http://education.calumet.purdue.edu/vockell/EdPsyBook/Edpsy5/Edpsy5_intrinsic.
htm diakses tanggal 9-12-09 7Zaenal Abidin, “Motivasi Dalam Strategi Pembelajaran dengan Pendekatan ARCS”,
(Jurnal Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Vol.XVIII, No.2), 40-54.
Walaupun dalam bahasa Inggris intention diartikan niat dan motivation dengan
motivasi namun dalam berbagai penelitianpun kata motivasi yang digunakan8.
Dapat dikatakan bahwa motivasi memiliki peran yang penting dalam
keberhasilan seorang siswa.9 Hal ini berkaitan dengan kemampuan siswa dalam
mengorganisasi potensi yang ada dalam dirinya dengan kondisi eksternal yang
dihadapinya ketika di kelas atau di luar kelas. Guru diharapkan mampu
mengarahkan potensi-potensi internal siswa menjadi sebuah daya bagi siswa.
Sehingga menimbulkan motivasi kuat bagi siswa dengan membuat setting
eksternal yang menunjang munculnya atau tumbuhnya motivasi internal. Setting
eksternal dimaksud adalah segala upaya yang dilakukan guru baik dari sisi proses
pembelajaran, media, bahan, wacana yang disiapkan guna menarik minat dan
potensi siswa untuk belajar.
Barelson dan Steiner menjelaskan motivasi sebagai suatu keadaan dalam
diri seseorang (innerstate) yang mendorong, mengaktifkan atau menggerakkan
dan yang mengarahkan atau menyalurkan perilaku kearah tujuan. Sementara
menurut Luthans “motivation is a process that start with a pshycological
deficiency or need a drive that is aimed at a goal or incentive”.10
Gambar 1 : Terjadinya motivasi menurut Barelson dan Stainer :
Keinginan Ketegangan
Kepuasan Perilaku
Kebutuhan
28
8 Diakses dari http://blogsahlan.blogspot.com/2009/11/teori-motivasi-al-raja-dan-khauf-
rasa.html diakses tanggal 19 Desember 2009 9Arko Pujadi : “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar Mahasiswa”, (Jurnal
Bussines & Management Bunda Mulia,Volume 3, No 2, September 2007) 10Arko Pujadi : “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar Mahasiswa”. Terjemahan
bebasnya adalah sebagai berikut : motivasi adalah sebuah proses yang diawali dengan kondisi psikologis kekurangan atau kebutuhan yang menggerakkan kea rah satu gol atau tujuan atau insentif.
29
Sumber : Arko Pujadi : “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar
Mahasiswa”, (Jurnal Bussines & Management Bunda Mulia,Volume 3, No 2,
September 2007)
Dalam pandangan Barelson, motivasi timbul dari rangkaian reaksi yang
didasari atas kebutuhan. Adanya kebutuhan ini menimbulkan keinginan untuk
dipenuhi. Dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut, pelaku akan mengalami
berbagai macam proses sebagai bentuk usaha untuk mencapai kebutuhan atau
keinginan tersebut. Dalam proses atau usaha yang dilakukan tersebut, pelaku akan
mengalami ketegangan akibat tekanan-tekanan yang terjadi selama proses
pemenuhan kebutuhan tersebut. Sebagai contoh, ketika seseorang berusaha keras
untuk memenuhi kebutuhan hidup, kadang dia akan berhadapan dengan berbagai
macam konflik dimana dia bekerja yang menimbulkan ketegangan11.
Penyelesaian dalam menghilangkan ketegangan tersebut akan
menimbulkan perilaku tertentu. Atau perilaku tertentu tersebut muncul sebagai
bagian dari respon terhadap ketegangan yang mengakibatkan kepuasaan setelah
tercapainya kebutuhan. Perilaku yang timbul didasari oleh bentuk respon dari
pelaku terhadap cara pemenuhan kebutuhan.
Akibat dari adanya ketegangan tersebut, maka proses pencapaian
kebutuhan tersebut menimbulkan model perilaku. Perilaku inilah yang dijadikan
dasar untuk mencapai keinginan atau kebutuhan. Sebagai contoh ketika
seseorang terpuruk dalam satu masalah, kemampuan untuk menentukan sikap dan
langkah (dalam prosesnya menegangkan syaraf otak belakang)12 yang tepat akan
melahirkan perilaku optimis dan kerjakeras untuk menyelesaikan masalah.13
11Bandingkan dengan teori motivasi Clyton Alderfer, Teori ERG, 1) Makin tidak
terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya;2) Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan 3) Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
12Lihat dalam Al-Quran surat Ar-Ra’du : 11 “Allah tidak akan merubah nasib seseorang kecuali dia sendiri bersaha merubahnya”. Kemampuan menetukan langkah dan sikap adalah sebuah upaya untuk merubah dan menentukan nasib. Dan hal ini berkaitan dengan motivasi intrinsic, dan self efficacy.
13Bandingkan dengan teori kebutuhan Maslow
30
Maslow yang dikutip Zaenal Abidin lebih menyukai konsep motivasi
belajar untuk memenuhi kebutuhan. Karena manusia memiliki banyak kebutuhan,
pada waktu tertentu kebutuhan manakah yang mereka coba untuk dipenuhi.
Maslow mengemukakan hierarki atau tingkatan kebutuhan yang terdiri atas dua
bagian utama yaitu: (1) kebutuhan dasar, berada pada hierarki paling bawah,
berturut-turut terdiri dari (a) kebutuhan fisiologis; (b) kebutuhan akan rasa aman;
(c) kebutuhan untuk dicintai; (d) kebutuhan untuk dihargai ; dan (2) kebutuhan
tumbuh, yang berada di atas kebutuhan dasar, berturut-turut dari bawah terdiri
dari: (a) kebutuhan untuk mengetahui dan memahami; (b) kebutuhan keindahan;
(c) kebutuhan aktualisasi diri. Menurut Maslow, semakin orang dapat memenuhi
kebutuhan mereka untuk mengetahui dan memahami dunia di sekeliling mereka,
motivasi belajar mereka dapat menjadi semakin besar dan kuat.14
Adapun ungkapan motivasi terendah meningkat pada tingkatan yang tinggi
oleh Abraham Maslow di antaranya, motivasi yang berakar pada kebutuhan untuk
mewujudkan diri, ingin mengembangkan diri sesuai dengan bakat, hal-hal yang
berhubungan dengan penambahan ilmu pengetahuan, status sosial dan perbuatan
pribadi.
Pembicaraan tentang motivasi ini menjadi menarik melihat berbagai
penelitian terdahulu tentang motivasi. Sebagai contoh dalam studi yang dilakukan
Fyans dan Maerh diantara tiga faktor yaitu latar belakang keluarga,
kondisi/konteks sekolah dan motivasi, faktor yang terakhir merupakan prediktor
yang paling baik untuk prestasi belajar. Walberg, menyimpulkan bahwa motivasi
mempunyai kontribusi antara 11 sampai 20 persen terhadap prestasi belajar. Studi
yang dilakukan Suciati menyimpulkan bahwa kontribusi motivasi sebesar 36
persen sedangkan Mc. Clelland, menunjukkan bahwa motivasi berprestasi
(achievement motivation) mempunyai kontribusi 65 persen terhadap prestasi
belajar.15
14Zaenal Abidin, “Motivasi dalam Strategi Pembelajaran dengan Pendekatan ARCS”,
(Jurnal Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, , Vol .XVIII), 40-54. 15Zaenal Abidin, “Motivasi dalam Strategi Pembelajaran dengan Pendekatan ARCS”, 43
31
David McClelland dalam teorinya Mc.Clelland’s Achievment Motivation
Theory atau teori motivasi prestasi yang dikutip Robbins, mengemukakan bahwa
individu mempunyai cadangan energi potensial, bagaimana energi ini dilepaskan
dan dikembangkan tergantung pada kekuatan atau dorongan motivasi individu dan
situasi serta peluang yang tersedia. Teori ini memfokuskan pada tiga kebutuhan
yaitu kebutuhan akan prestasi (achievement), kebutuhan kekuasaan (power), dan
kebutuhan afiliasi.
Dari paparan di atas di dapat kesimpulan bahwa motivasi sangat
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor baik eksternal maupun internal. Faktor
eksternal membutuhkan penguatan dari luar yang memungkinkan adanya
intervensi. Sementara faktor internal menjadikan kebutuhan atau kepuasaan
sebagai dasar kemunculannya.
Sejak awal para ahli psikologi yang mendalami teori motivasi mencoba
untuk menjelaskan motivasi di beberapa bidang kajian yang berbeda dan di
beberapa jenis perilaku. White mendiskusikan motivasi mastery (mastery or
effectance motivation) sebagai kemampuan, dan mengusulkan sinonim dari
kapabilitas (kemampuan), kapasitas, efisiensi, kecakapan, dan keterampilan.
White berargumentasi bahwa seseorang mempunyai sesuatu hal yang tidak bisa
dipisahkan, yakni merasa dirinya mampu dan sekaligus saling berhubungan
secara efektif dengan lingkungan atau dipengaruhi oleh lingkungan. Tujuan dari
motivasi mastery adalah sejauh mana seseorang mempunyai keyakinan atas
kapasitas yang dimilikinya (efficacy) atau dapat menguasai diri dengan baik
(personal mastery), dan ini merupakan suatu kebutuhan yang hadir sejak awal.16
Sementara Wiliam James menggunakan istilah motivasi hakiki untuk
menjelaskan minat (interest) dan naluri untuk membangun (instinct of
constructiveness) untuk menjelaskan tipe-tipe perilaku manusia. Minat dan naluri
untuk membangun tersebut menggambarkan konsep self-determination
(kemampuan individu untuk memutuskan sesuatu tanpa pengaruh dari luar) dan
16Bandingkan dengan Barleson dan Steiner yang menjelaskan kebutuhan berhubungan
dengan pemenuhan kepuasaan. Sementara Maslow kebutuhan membicarakan kebutuhan dasar aktualisasi diri.
32
competence (kemampuan individu untuk melakukan sesuatu dengan baik), dan
pada akhirnya kedua hal inilah yang pada awalnya mendefinisikan motivasi
hakiki.17
Motivasi penguasaan atau motivasi mastery diramalkan secara positif
berhubungan dengan persepsi anak-anak dari satu iklim yag asli (asal). Richard
M. Ryan telah menelaah bukti yang menyebutkan penguasaan motivasi seorang
anak bergantung pada penguasaan lingkungan sekolah atau motivasi hakiki
bergantung kepada pengalaman yang otonomi. 18
Motivasi mastery juga berperan dalam belajar anak walaupun bukan yang
utama. Ketika para siswa masuk sekolah, mereka mulai mengarahkan
motivasinya pada penguasaan mata pelajaran tertentu. Prestasi sekolah dan hasil
belajar lainnya dihipotesiskan berasal dari motivasi mastery.
Penguasaan motivasi juga diperkirakan akan positif berhubungan dengan
persepsi anak-anak asal iklim. Richard M. Ryan juga menunjukkan bahwa dalam
lingkungan sekolah penguasaan atau motivasi intrinsik bergantung pada
pengalaman otonomi.19 Menurut Harter, anak mempunyai motivasi yang
berorientasi intrinsik (mastery or instricsic orientation) bila sedang belajar di
kelas, yang ditentukan oleh minat yang timbul dari dirinya seperti penguasaan,
keingintahuan, dan memilih sesuatu dalam menghadapi tantangan. Motivasi
intrinsik mempunyai pola yang berhubungan dengan kemampuan dan
pengendalian diri yang tinggi, merencanakan dan menganalisis tugas secara
realistis, dan percaya dengan usaha yang dilakukannya dalam meningkatkan
kemampuan dan pengendalian diri. Anak juga memiliki motivasi yang
berorientasi ekstrinsik (performance or extrinsic orientation) bila sedang belajar
di kelas, yang ditentukan oleh minat yang berasal dari luar dirinya seperti restu
17Daniel Albert Y. A., Michael Budiman, “Student E-Learning Intrinsic Motivation”,
(Jurnal : CAIS, Volume : 19, 2007) 18Richard M. Ryan and Wendy S., ”Origins and Pawns in the Classroom: Self-Report
and Projective Assessments of Individual Differences in Children's Perceptions”, ( Joumal of Personality and Social Psychology, Grolnick University of Rochester, Vol. SO, No. 3, 1986), 550-558.
19Richard M. Ryan dan Wendy S., “Self-Report and Individual Differences in Children's Perseption”, 550-558.
33
atau petunjuk dan penilaian dari guru. Motivasi ekstrinsik yang mendorong ke
arah belajar ditandai oleh pertimbangan di luar dirinya dalam melakukan suatu
pekerjaan, seperti misalnya kinerja seorang siswa, penilaian dari guru, atau untuk
mengantisipasi suatu penghargaan atau pujian.20
Kerangka teoritis pada penelitian Harter’s mempunyai pengaruh yang
besar pada teori motivasi, dengan bertitik tolak pada argumentasi White. Harter
mengusulkan suatu model tentang motivasi masteri (mastery or effectance
motivation), yang menggambarkan pengaruh dari kesuksesan atau kegagalan
yang dialami. Tujuan dari motivasi masteri adalah untuk memperoleh
kemampuan dalam menghadapi pengaruh lingkungan seseorang. Harter secara
operasional membangun konstruk Children’s Self Report Scale of Intrinsic versus
Extrinsic Motivation in the Classroom21 dalam sebuah instrumen.
Instrumen itu terdiri dari 30 item yang dikelompokkan menjadi 5 skala dan
masing-masing terdiri dari 6 item (3 item untuk intrinsik dan 3 item untuk
ekstrinsik), yakni :
1. Preference for challege : memilih sesuatu dalam menghadapi tantangan dan
bukan mencari sesuatu dengan mudah.
2. Curiosity : melakukan suatu pekerjaan untuk memenuhi rasa keingintahuan
dan minat yang pada dirinya, tetapi bukan untuk menyenangkan guru dan
memperoleh nilai yang bagus.
3. Independent mastery : berusaha sendiri dan tidak tergantung dari guru.
4. Independent judgment : mempertimbangkan sesuatu sendiri dan tidak hanya
percaya pada pertimbangan guru atau orang lain.
20Goldberg, M. D., “A developmental investigation of intrinsic motivation : Correlates,
causes, and cosequenses in high ability students, Dissertation”, (University of Virginia, 1994), 55.
21Harter, S. “A new self-report scale of Intrinsic versus Extrinsic Orientation in the classroom : motivational and informational components”, (Journal Developmental Psychology,vol : 17),300-312.
34
5. Internal criteria : mempunyai kriteria sendiri dalam menentukan sesuatu hal
yang dianggap akan sukses atau gagal dibandingkan dengan kriteria yang
berasal di luar dirinya.
Motivasi berdasar pada penguasaan (mastery or intrinsic motivation)
didefinisikan oleh White sebagai kecenderungan umum yang saling berhubungan
dan dipengaruhi oleh lingkungan.22 White memandang kecenderungan ini harus
dihadapi secara efektif dengan memotivasi diri, karena kepuasan yang dicapai
tidak bisa dipisahkan dengan perasaan senang.23 Motivasi yang berdasarkan pada
pertimbangan (judgment motivation) berkaitan dengan skala internal kriteria dan
independent judgment, dan ini mencerminkan sejauh mana anak memiliki
kepercayaan dibandingkan bila bersandar pada pertimbangan orang lain, dan
menjadi dasar (internal maupun eksternal) dalam mengevaluasi kinerja
(performance) anak di sekolah.24
Entwisle dan koleganya menemukan bahwa motivasi intrinsik anak-anak
muda cenderung sangat tinggi.25 Goldberg menyatakan bahwa motivasi intrinsik
akan berkurang dengan mulai digunakannya motivasi ekstrinsik, hal itu
disebabkan oleh keadaan di luar dirinya mulai memberi penghargaan atau pujian,
dan cenderung berubah atau berkurang ketika umur anak meningkat. Kassin &
Lepper mempertunjukkan bahwa jika anak-anak diberi pertimbangan di luar
dirinya untuk mulai bekerja dan mereka menikmati kegiatan itu, mereka menduga
bahwa mereka telah ikut ambil bagian dengan alasan yang disebabkan oleh
keadaan di luar dirinya, dan di masa mendatang mereka cenderung tidak ikut
22White, R., “Motivation Reconsidered. The Concept of Competence”, (Journal
Psychological Review, vol :66), 297-323. 23Bandingkan dengan Barlesen dan Steiner yang menganggap pemenuhan kebutuhan
akan mendatangkan kepuasan 24Ginsburg, G. S., & Bronstein, P., “Family factors related to children’s
intrinsic/extrinsic motivational orientation and academic performance”, (Journal Child Development, vol : 64), 1461-1474
25Entwisle, D., Alexander, K., Cadigan., & Pallas, A., “The schooling process in first grade : Two sample a decade apart”, (American Educational Research Journal, vol : 23), 587-613
35
ambil bagian dalam suatu kegiatan manakala tidak memberikan suatu
penghargaan atau pujian.26
Beberapa peneliti telah melakukan penelitian yang berkaitan dengan
motivasi siswa di kelas, antara lain Gottfried memperlihatkan ada hubungan yang
signifikan antara motivasi (instrinsik) akademik dengan prestasi anak di kelas.27
Skala Children’s Academic Intrinsic Motivation Inventory (CAIMI) digunakan
untuk mengukur motivasi intrinsik anak dalam belajar di kelas. Demikian juga
Fortier dalam penelitiannya menemukan bahwa kompetensi akademik yang
dirasakan siswa mempunyai hubungan positip dengan motivasi intrinsik.28
Boggiano mengungkapkan bahwa motivasi akademik anak mempunyai pengaruh
yang positip pada kinerja akademik mereka.29
Robert J Vallerand menjelaskan istilah motivasi intrisik sebagai in general
motivation intrinsic refres to the fact of doing to an activity for itself and pleasure
and satisfacvtion derived on participation . Bila diterjemahkan dengan bebas,
motivasi intrinsik adalah motivasi hakiki yang umum merujuk kepada fakta untuk
melakukan satu aktivitas untuk diri sendiri dan untuk kesenangan serta untuk
memperoleh kepuasan pada keikutsertaan individu.
W. Harlen dan R Deakin Crick30 menggambarkan motivasi belajar
dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Seperti yang terlihat dari gambar di
bawah ini :
26Kassin, S. M., & Lepper, M. R. ”Over sufficient and insufficient justification effects :
Cognitive and behavioral development”, (Journal : The development of achievement motivation, Greenwich)
27Gottfried, A. E., “Academic intrinsic motivation in elementary and junior high school students”, ( Journal of Educational Psychology, 77), 631-645.
28Fortier, M.S., Vallerand, R. J., & Guay, F. (1995). “Academic motivation and school performance : Toward a structural model”, (Journal Contemporary Psychology, vol : 20), 257-274.
29Boggiano, A. K., Shields, A., Barret, M., Kellam, T., Thomson, E., Simons, J., & Katz, P. (1992). Helpless deficits in students : The role of motivational orientation. Motivation and Emotion, , 271-296.
30Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick, “Testing and Motivation for Learning, Graduate School of Education, Assessment in Education”, (Journal Assassment in Education, Vol.10, No.2 July 2003), 183.
Gambar 2 : Teori Motivasi Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick
Sumber : Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick, Testing and Motivation for
Learning, Graduate School of Education, Assessment in Education, (Jurnal
Assassment in Education, Vol.10, No.2 July 2003)
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa motivasi belajar dipengaruhi
oleh Self Efficacy, Locus of Control, Goal Oreintation, Effort, Interest, Self
Regulation, Self Esteem, sense of self as learner. Menurut penulis hal ini termasuk
dalam motivasi intrinsik. Sementara yang mempengaruhi motivasi dari faktor
eksternal adalah : Home Support, Assessment Practice, Peer Culture, Pedagogy,
Curriculum dan School Ethos. Berdasarkan beberapa penelitian, selef efficacy,
locus of control, goal orientation, self regulation, self esteem, sense of self as
learner memiliki pengaruh signifikan dengan menggunakan MSLQ:31 Motivated
Strategis for Learning Questionare.
36
31MSLQ merupakan instrument untuk mengukur motivasi siswa yang terdiri dari berbagai skala : self efficacy, instrinsic value dan test axiety. Termasuk mengukur self regulation learning
37
Keyakinan diri atau self efficacy memberikan dasar bagi motivasi manusia,
untuk mencari kesejahteraan atau kesehatan (well beeing),32 dan prestasi pribadi.
Keyakinan diri menurut Bandura33 tidak akan muncul pada orang-orang yang
tidak percaya bahwa tindakan mereka dapat memberikan hasil yang mereka
inginkan, dan mereka memiliki sedikit ide atau usaha untuk bertindak atau
bertahan dalam menghadapi kesulitan. Secara sederhana self efficacy bagi siswa
adalah kepercayaan diri siswa ketika mengajukan pertanyaan, dan keterlibatan
dalam proses pembelajaran.
Pengaturan diri (self-regulation) merupakan kemampuan individu seorang
siswa untuk mengatur perilakunya sendiri dalam mencapai suatu tujuan yang
diinginkan. Misalnya seorang siswa harus selalu dapat mengatur motivasi dirinya
dalam melakukan proses pembelajaran, selalu bersemangat dalam mengerjakan
tugas dan sebagainya. Atau sebaliknya bagaimana dia mengatasi kejenuhan dalam
proses pembelajaran. Oleh karenanya dalam merancang suatu pendidikan harus
dirancang pula lingkungan belajar yang melibatkan para siswa dalam suatu
kegiatan yang sesuai dengan bagaimana mereka mengatur dirinya. Self regulation
bagi siswa adalah sikap untuk menyesuaikan diri dengan segala tugas yang
diberikan oleh guru.
Berorientasi pada tujuan (goal orientation) sering tampak sebagai salah
satu aspek dari motivasi individu seseorang. Seseorang yang berorientasi pada
tujuan pada umumnya menjelaskan tujuan yang mereka pilih dan metode yang
digunakan untuk mengejar tujuan tersebut (Deshon & Gillespie, 2005). Goal
orientation bagi siswa adalah segala upaya yang dilakukan untuk memahami
materi yang diberikan oleh guru.
Stratetegis. Instrumen ini ada 44 item MSLQ yang dirujuk dari Pintrich De Groot (Journal of Education Psychology, 1990, Vol 82, No 1), 33-40
32Bandingkan dengan Abraham Maslow yang menjelaskan bahwa motivasi disebabkan pemenuhan kebutuhan dasar
33Bandura, A., Barbaranelli, C., Caprara, G. V., and Pastorelli, C. (1996), Multifaceted impact of self efficacy beliefs on academic functioning. (Child Development, 1996), 1206–1222.
38
Sementera istilah self esteem merujuk pada harga diri atau bagaimana
siswa menilai dirinya sendiri. Beberapa definisi self-esteem menurut beberapa ahli
psikologi.
1. Suatu sikap positif atau negative ke arah objek tertentu yang dinamankan the
self/diri
2. Harga diri adalah disposisi untuk mengalami dirinya sebagai berkompeten
untuk mengatasi tantangan dasar dari hidup dan kebahagian yang berharga.
3. Derajat dimana kita merasa sendiri secara positif atau secara negatif; sikap
keseluruhan kita ke arah diri sendiri.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa self-esteem adalah penilaian seseorang
secara umum terhadap dirinya sendiri, baik berupa penilaian negatif maupun
penilaian positif yang akhirnya menghasilkan perasaan keberhargaan atau
kebergunaan diri dalam menjalani kehidupan.
Menurut Coopersmith tingkatan harga diri individu dapat dibedakan
menjadi tiga golongan di mana setiap golongan memiliki karakteristik masing-
masing. Karakteristik individu yang memiliki self-esteem tinggi yaitu:34 1) Aktif
dan dapat mengekspresikan diri dengan baik. 2)Berprestasi dalam bidang
akademis dan berhasil dalam hubungan sosial. 3) Dapat menerima kritik dengan
baik. 4) Percaya pada persepsi dan dirinya sendiri. 5) Keyakinan akan dirinya
tidak hanya berdasarkan khayalannya, karena mempunyai kemampuan, kecakapan
sosial, dan kualitas diri yang tinggi. 6) Tidak mudah terpengaruh pada penilaian
orang lain mengenai sifat dan kepribadiannya, baik itu positif maupun negatif. 7)
Mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. 8) Memiliki tingkat
kecemasan dan perasaan tidak aman rendah. 9) Memiliki daya bertahan yang
seimbang
Self esteem bagi siswa adalah kemampuan dan kemauan untuk
mengeksplorasi bahan-bahan yang diberikan oleh guru dalam bentuk
mengerjakan tugas. Sense as Learner adalah sikap siswa yang menyadari
34Bustanova, Self Esteem dan Narcissistic Personality Disorder diakses dari
http://bustanova.wordpress.com/2008/11/07/self-esteem-dan-narcissistic-personality-disorder/ pada tanggal 19 November 2009.
39
terhadap tujuannya datang kesekolah untuk belajar. Sehingga dia memiliki
motivasi yang tinggi untuk menguasai materi. Sense as learner ini juga
dipengaruhi oleh keinginan dalam jangka panjang (cita-cita) siswa.
Locus of control merupakan dimensi kepribadian yang berupa kontinium
dari internal menuju eksternal, oleh karenanya tidak satupun individu yang benar-
benar internal atau yang benar-benar eksternal. Kedua tipe locus of control
terdapat pada setiap individu, hanya saja ada kecenderungan untuk lebih memiliki
salah satu tipe locus of control tertentu. Disamping itu locus of control tidak
bersifat stastis tapi juga dapat berubah. Individu yang berorientasi internal locus
of control dapat berubah menjadi individu yang berorientasi external locus of
control dan begitu sebaliknya, hal tersebut disebabkan karena situasi dan kondisi
yang menyertainya yaitu dimana ia tinggal dan sering melakukan aktifitasnya.
Sementara menurut Julian Rotter mengenai internal dan eksternal locus of
control menghubungkan perilaku dengan psikologi kognitif serta percaya bahwa
perilaku itu sebagian besar ditentukan oleh “reinforcement”, dan melalui
penguatan individu meyakini faktor penyebab tindakan mereka. Selanjutnya
keyaninan ini dapat menuntun tentang sikap dan perilaku seperti apa yang bisa
diadopsi dari orang lain. Rotter mendefinisikan locus of control sebagai persepsi
seseorang terhadap sumber-sumber yang mengontrol kejadian-kejadian dalam
hidupnya, dalam hal ini ada locus of control eksternal dan internal. Jika individu
tersebut meyakini bahwa keberhasilan atau kegagalan yang dialami merupakan
tanggung jawab pribadi dan merupakan usaha sendiri, maka orang tersebut
dikatakan memiliki locus of control internal. Sedangkan locus of control eksternal
merupakan keyakinan individu bahwa keberhasilan atau kegagalan ditentukan
oleh kekuatan yang berada di luar dirinya yaitu nasib, keberuntungan atau
kekuatan lain. 35
Pada orang-orang yang memiliki internal locus of control faktor
kemampuan dan usaha terlihat dominan, oleh karena itu apabila individu dengan
35Karwono, “Pengaruh Pemberian Umpan Balik dan Locus of Control Terhadap Kemampuan Mahasiswa dalam Mengelola Pembelajaran Mikro (Studi Eksperimen pada Mahasiswa FKIP Universitas Muhammadiyah Metro Lampung)”, hasil penelitian ini disampaikan pada seminar nasonal UMM Lampung.
40
internal locus of control mengalami kagagalan mereka akan menyalahkan dirinya
sendiri karena kurangnya usaha yang dilakukan. Begitu pula dengan keberhasilan,
mereka akan merasa bangga atas hasil usahanya. Hal ini akan membawa pengaruh
untuk tindakan selanjutnya dimasa akan datang bahwa mereka akan mencapai
keberhasilan apabila berusaha keras dengan segala kemampuannya
Sebaliknya pada orang yang memiliki external locus of control melihat
keberhasilan dan kegagalan dari faktor kesukaran dan nasib, oleh karena itu
apabila mengalami kegagalan mereka cenderung menyalahkan lingkungan sekitar
yang menjadi penyebabnya.` Hal itu tentunya berpengaruh terhadap tindakan
dimasa datang, karena merasa tidak mampu dan kurang usahanya maka mereka
tidak mempunyai harapan untuk memperbaiki kegagalan tersebut.
Sementara hal yang mempengaruhi motivasi belajar siswa dari faktor luar
atau eksternal merujuk pada konsepsi W. Harlen dan R Deakin Crick adalah home
support, school ethos, peer culture, pedagogy, curriculum, dan assessment
practice. Home support adalah bagian penting yang menentukan mental siswa.
Dukungan dari rumah bisa berbagai bentuk. Dan yang terpenting adalah dukungan
psikologis untuk mengembangkan kepribadian anak. Hal ini diilhami oleh sajak
dari Dorothe McNolthe yang menginspirasi bahwa perlakuan terhadap anak, akan
memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap kehidupan anak dimasa yang
akan datang.36
36Lihat Sajak Dorothe : Anak Belajar Dari Kehidupannya :
“Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah. Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mengasihi. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi. Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan. Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan. Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan ksaih dalam kehidupan. Jika anak dibesarkan dengan ketentraman, ia belajar damai dengan pikiran”. Dorothy Law Nolte, dalam Jalaludin Rahmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung, Remaja Rosda Karya, 1985), 75
41
School ethos adalah nilai yang dikembangkan oleh sekolah, seperti nilai
kejujuran, kedisiplinan, kebersihan, religious culture, dan sebagainya. School
ethos lebih didasari oleh kebijakan atau peraturan yang dibuat oleh sekolah.
Peraturan ini kemudian menjadi bagian dari pembentukan watak dan sikap siswa
selama di sekolah. Selain itu school ethos diperoleh dari nilai-nilai yang
dikembangkan oleh guru dan siswa selama mereka berinteraksi di sekolah.
Termasuk dalam school ethos adalah teacher support yaitu segala sesuatu atau
upaya guru yang membantu siswa baik secara verbal atau non verbal.
Peer culture adalah nilai-nilai yang dikembangkan oleh siswa dalam
kelompok kecil. Budaya yang dikembangkan antar siswa pada prakteknya sangat
dominion mempengaruhi pola perilaku siswa. Hal ini berkaitan dengan usia
psikologis mereka dan kebutuhan akan pengakuan dalam kelompok. Kebutuhan
akan pengakuan ini menjadikan seorang siswa harus rela menerima nilai atau
budaya yang dijejalkan oleh kelompoknya.
Pedagogy dan curriculum adalah system pembelajaran yang dikembankan
di sekolah dan kurikulum yang dipakai. Hal ini berkaitan dengan kebijakan
pemerintah pusat dan kemampuan guru dalam ilmu pendidikan, khususnya
mengenai pedagogy. Kemampuan guru dalam mengajar berkaitan dengan
penggunaan model, strategi, metode dan keterampilan mengajar guru. Hal inilah
yang mempengaruhi motivasi belajar siswa. Semakin bagus guru dalam
penguasaan pedagogynya maka semakin besar motivasi belajar siswa atau
sebaliknya. Semakin kurang kemampuan pedagogy guru dalam mengajar, maka
motivasi belajar siswa pun relatif turun.
Assessment practice adalah system penilaian yang menyeluruh yang
digunakan oleh pihak sekolah dan guru. Reward yang diberikan dalam setiap
pemberian nilai kepada siswa, memberikan efek besar dalam memotivasi siswa
untuk belajar. Termasuk teknik penilaian yang dirasakan sesuai dan adil oleh
siswa memberikan kontribusi terhadap kemauan belajar siswa.
Konsepsi motivasi dari W. Harlen dan R. Deakin Crick inilah yang akan
dijadikan dasar atau basis teori dari tesis ini. Teori W. Harlen dan R. Deakin Crick
ini kemudian dikolaborasikan dengan teori learning cycle yang diadopsi oleh
42
Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses. Sehingga kolaborasi
tersebut menghasilkan model motivasi dalam learning cycle.
- Bentuk-bentuk motivasi
Motivasi yang diberikan oleh guru masih bersifat ekstrinsik atau faktor
yang mempengaruhi motivasi belajar siswa dari luar diri individu siswa. Motivasi
yang diberikan oleh guru tersebut sangat bergantung kepada kemampuan guru
untuk menyesuaikan materi pembelajar dengan strategi, metode, model, alat atau
media pembelajaran yang dilakukan.
Motivasi belajar siswa muncul, lebih didasarkan pada aspek eksternal yang
dibangun atau dimodifikasi oleh guru dengan berbagai stimulusnya. Stimulus
yang dimaksud adalah segala upaya baik secara administratif seperti Silabus, RPP,
LKS, penilaian maupun behavior seperti cara berkomunikasi (verbal atau non
verbal), alat peraga, praktek, based on experiences (berdasarkan
problem/pengalaman keseharian) yang dilakukan guru untuk mempengaruhi
perilaku belajar siswa.
Stimulus tersebut bisa sekaligus berupa respon seperti bentuk komunikasi
yang dilakukan oleh guru. Baik stimulus atau respon tersebut memberikan
pengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Hal ini didasarkan atas pendapat
Richard Kindsvatter37 yang berpendapat bahwa penggunaan feedback (umpan
balik) dengan penguatan verbal dan non verbal dan penggunaan pujian yang
efektif dapat memberikan pengaruh terhadap siswa.
Siswa akan terbangun motivasi belajarnya ketika apa yang dilakukan oleh
guru menarik. Dan hal tersebut masih sangat mungkin diusahakan oleh guru.
Berdasarkan penelitian lapangan sederhana yang dilakukan oleh penulis tentang
kemampuan guru meningkatkan motivasi belajar siswa ada korelasi positif bahwa
motivasi siswa meningkat ketika guru mampu menampilkan pembelajaran yang
aktif dengan strategi dan metode pembelajaran yang tepat, dan didukung oleh
media atau alat pembelajaran yang tepat.
37Richard Kindsvatter, dkk William Wilen dan Margaret Ishler, Dynamics Of Effective
Teaching, (New York, Longman Publisher, 1996), 53.
43
Yang terakhir ini sangat menentukan ketertarikan siswa untuk mengikuti
proses pembelajaran. Pendapat dari Richard Kindsvatter inilah yang dijadikan
dasar pengukuran indikator faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi motivasi
belajar siswa. Faktor-faktor eksternal tersebut diejawantahkan dalam indikator
respon guru yang mempengaruhi motivasi belajar siswa di kelas seperti : 1)
mengajukan pertanyaan 2) menjawab pertanyaan siswa 3) membantu individu
siswa 4) membantu kelompok diskusi 5) komunikasi verbal : memuji individu,
memuji kelompok : bertepuk tangan, memuji hasil kerja kelompok, menyebut
nama siswa, memberi perhatian kepada individu siswa : tentang kesehatan,
kondisi di rumah dsb, humor, menghimbau individu, menghimbau kelompok,
menghardik, menegur individu 6) komunikasi non verbal : berkeliling kelas,
tersenyum, kontak fisik secara positif, kontak fisik secara negative, kontak mata
7) memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya/mengemukakan
pendapat/menjawab 8) menyiapkan alat/media pembelajaran yang berkaitan
dengan materi 9) memberi kesempatan untuk menceritakan pengalaman pribadi
siswa yang berkaitan dengan pelajaran/materi 10) menghubungkan dengan
problem yang biasa dialami sehari-hari (problem based learning) 11) memberi
kesempatan kepada siswa untuk melakukan sendiri (praktek)
Sementara respon siswa yang mendorong motivasi belajar timbul dari
adanya stimulus yang dilakukan oleh guru seperti di atas. Jika melihat teori
motivasi yang dijelaskan oleh Wyne Harlen & Deakin Crick, stimulus yang
diberikan oleh guru merupakan factor eksternal yang mempengaruhi motivasi
belajar siswa. Kegairan belajar siswa dipengaruhi oelh cara guru menyajikan
pembelajaran, kejelasan LKS yang diberikan, alat peraga yang ditampilkan,
pembagian kelompok, alat penunjang yang disediakan guru dan stimulus verbal
yang diberikan guru.
Sementara untuk mengukur respon siswa yang menunjukkan adanya
motivasi belajar, penulis mendefinisikan beberapa indikator yang bisa diukur,
sebagai berikut : 1) mengajukan pertanyaan 2) menjawab pertanyaan siswa/guru/
maju untuk menjawab/memeragakan 3) mengerjakan tugas dari guru 4) terlibat
aktiv dalam diskusi 5) inisiatif dan aktif (self esteem) 6) tertarik dengan startegi,
44
metode pembelajaran yang disampaikan guru 7) melakukan praktek langsung 8)
rasa percaya diri tinggi (self efficacy) 9) berorientasi kepada penguasaan
materi/keinginan untuk bisa (goal orientation) 10) berorientasi kepada hasil
nilai/keinginan untuk mendapat nilai bagus (goal orientation) 11) pengaturan diri
: kemampuan untuk memahami tugas dan menyesuaikan dengan tugas (self
regulation).
B. Learning Cycle : Definisi dan Tahapan
- Definisi
Menurut Deborah L Hanusein dan Michael H. Lee dari Universitas of
Missiouri- Colombia menjelaskan Learning cycle dikembangkan pada tahun 1967
oleh Robert Karplus.38 Menurut Deborah, Karplus menjelaskan teori learning
cycle yang dibangunnya didasarkan atas 1) exploration yaitu siswa membuktikan
pengalaman pertama mereka dengan fenomena alam; 2) concept introduction
yaitu siswa mengikuti untuk membangun pengetahuan melalui ineraksi dengan
temannya, media pembelajaran dan guru; (3) concept application siswa diminta
untuk menjelaskan pengetahuan barunya pada situasi yang berbeda.
Model pembelajaran Learning Cycle merupakan model pembelajaran yang
mengembangkan dan mengeksplorasi siswa, atau berpusat kepada siswa39.
Permendiknas No. 41 tahun 2007 mengadopsi learning cycle khususnya ketika
membahas tentang Perencanaan Pelaksanaan Pembelajaran, Pelaksanaan Proses
Pembelajaran, Penilaian Hasil Pembelajaran dan Pengawasan Proses
Pembelajaran. Perencanaan pelaksanaan pembelajaran membahas tentang
membuat Silabus, RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran) dan prinsip
penyusunan RPP. Pelaksanaan proses pembelajaran meliputi persyaratan
pelaksanaan proses pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran.
38Deborah L Hanusein & Michael Lee, “Using a Learning Cycle Approach to Teaching
the Learning Cycle to Preservice Elementary Teachers” Paper presented at the 2007 annual meeting of the Association for Science Teacher Education, Clearwater, FL
39Lihat catatan kaki nomor 28, 29, 30 pada Bab 1
45
Dalam pelaksanaan pembelajaran, terdiri atas kegiatan pendahuluan,
kegiatan inti dan kegiatan penutup. Disinilah harus difahami oleh guru apa saja
yang harus dipersiapkan sebelum pembelajaran di mulai. Artinya bahwa kegiatan
pembelajaran sangat bergantung pada sekenario yang telah dirancang oleh guru
melalui RPP. Pada kegiatan pendahuluan yang berisi kegiatan menyiapkan siswa
secara fisik dan psikis, mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai materi
pelajaran yang sudah diajarkan dan akan didiskusikan bersama sesuai dengan
silabus.
Kegiatan pendahuluan ini merupakan rangkaian awal proses pemberian
motivasi kepada siswa sebelum pelajaran di mulai. Di ibaratkan kail, kegiatan
pendahuluan inilah yang memberikan umpan untuk masuk dalam proses
pembelajaran. Guru dituntut untuk bisa memberikan dan mendorong siswa untuk
mau terlibat dalam proses pembelajaran melalui berbagai macam motivasi yang
sampaikan dalam kegiatan pendahuluan. Intinya di kegiatan pendahuluan ada
proses pemberian motivasi.
Di kegiatan inti dalam Permendiknas No. 41 ini, merupakan proses
pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif,
serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Untuk mencapai tuntutan pembelajaran yang aktif, interaktif, inspiratif,
menyenangkan dan menantang motivasi siswa, guru dituntut menggunakan
berbagai macam metode dan strategi yang sesuai dengan karakteristik siswa.
Dalam kegiatan inti juga dijelaskan bagaimana guru harus mampu memotivasi
siswa untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran melalui proses eksplorasi,
elaborasi dan konfirmasi.
Tiga fase inilah –ekplorasi, elaborasi dan konfirmasi, yang menurut
penulis menjadi bagian dari learning cycle. Seperti diketahui, learning cycle
46
adalah model pembelajaran yang memiliki tahapan-tahapan seperti engagement,
aplikasi, evaluasi, elaborasi dan lain sebagainya. 40
Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai
KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang
cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan inti menggunakan
metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran,
yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
Permendiknas 41 menekankan dalam kegiatan ini menjadi tiga fase
kegiatan : eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Kegiatan eksplorasi, elaborasi dan
konfirmasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam satu kegiatan
pembelajaran. Bergantung keluasan KD dan tujuan pembelajaran yang akan
dicapai dalam satu kali pertemuan. Pertanyaannya adalah aktivitas-aktivitas apa
yang harus dilakukan dalam setiap fase tersebut ? Agar siswa dapat mencapai
kompetensi yang akan dicapai.
Alternatif kegiatan eksplorasi41 antara lain :42 mendengar tentang,
membaca tentang, berdiskusi tentang, mengamati model (teks/ karya), mengamati
demonstrasi, mengamati simulasi kasus, mengamati dua perbandingan (yang
salah dan yang benar), mencoba melakukan, membaca kasus (bedah kasus), talk
show, berwawancara dengan lingkungan (menggali informasi), observasi terhadap
40Baca juga Rodge W Bybe, et all, The BSCS 5E Instructional Model : Origins,
Effectiveness, and Application, 3. Dan lihat Bab I hal 19-20. 41Dalam kegiatan eksplorasi menurut Permendiknas No. 41 tahun 2007 guru harus 1)
melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber; 2) menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain; 3) memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya; 4) melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan 5) memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan.
42Titik Harsiati, Panduan Pengembangan KTSP AIBEP – (Australai Indonesia Basic
Education Program-(Jakarta : Depag, 2009), 56. Alternatif kegiatan ini untuk menjawab pertanyaan aktivitas yang harus dilakukan oleh siswa dalam setiap fase.
47
lingkungan, mencoba melakukan kompetensi dengan kemampuan awalnya.
mencoba bereksperimen, bernyanyi (berkaitan dengan konsep yang akan
dibahas), bermain (berkaitan dengan konsep yang akan dibahas).
Alternatif kegiatan elaborasi43 antara lain : secara diskusi/ mandiri,
mengidentifikasi ciri, menemukan konsep, melakukan generalisasi, mencari
bagian-bagian, mendeskripsikan persamaan dan perbedaan, memasukkan dalam
kelompok yang mana (memilah-milah), membandingkan dengan dunia nyata atau
pengetahuan yang telah dimiliki (analisis beda dan persamaannya), menganalisis
mengapa terjadi begini/ begitu dari hasil eksperimen/ demonstrasi, meramalkan
apa yang akan terjadi dari eksperimen, mengidentifikasi mana yang beda/sama
dengan model bandngan/kriteria dan mana yang lebih baik, mengidentifikasi apa
yang salah/benar, mengapa salah/benar, mengurutkan, mengelompokkan,
mengkombinasikan, menyusun mana yang berhubungan dan mana yang tidak,
menguhung-hubungkan (mencari model hubungan), menasangkan contoh dan
bukan contoh, (memanfaatkan model bandingan untuk elaborasi)
Alternatif kegiatan konfirmasi44 antara lain : penyimpulan, memberikan
balikan apa yang dikerjakan siswa, penjelasan mengapa salah, penjelasan mana
43Berdasarkan Permendiknas No. 41 tahun 2007, dalam kegiatan elaborasi, guru: 1)
membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentuyang bermakna; 2) memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis; 3) memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut; 4) memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif; 5) memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar; 6) memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok; 7) memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok; 8) memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan; 9) memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik.
44Berdasarkan Permendiknas No. 41 tahun 2007, dalam kegiatan konfirmasi, guru: 1) memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik, 2) memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber, 3) memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan, 4) memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar: a) berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar; b) membantu menyelesaikan masalah; c) memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi; d) memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; e) memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.
48
yang benar dan yang salah. meluruskan yang salah, menegaskan yang benar,
melanjutkan/ menambahkan yang kurang, mengangkat kasus yang salah dan yang
benar - menjelaskan mengapa salah/benar, menyimpulkan konsep, kriteria ,
prinsip, cara mencapai yang lebih baik, contoh dan bukan contoh, memperluas
contoh yang benar dan yang salah, menjelaskan bagaimana seharusnya,
menciptakan rubrik.
Learning cycle atau siklus belajar adalah model pembelajaran yang
berpusat pada siswa atau student center. LC juga menjadi salah satu bagian dari
pembelajaran aktif (active learning).45 Pembelajaran aktif mendorong anak/siswa
untuk berpikir, menganalisa, mengajukan pendapat, menerapkan pengetahuan dan
keterampilan mereka46. Active learning juga sering diistilahkan dengan PAKEM :
Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan47. Konsep Pakem ini
sebenarnya untuk memenuhi tuntutan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2000
tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 19, yang menyatakan bahwa proses
pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif,
memberikan ruang gerak yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta fisikologis siswa.
Amanat undang-undang ini sering kita dengar dengan istilah PAKEM48.
Sayangnya praktek pembelajaran PAKEM ini belum dilaksanakan secara
massif. Hal ini lebih disebabkan persoalan pembelajaran PAKEM belum difahami
oleh guru secara substansi. Artinya pemerintah dalam hal ini Kementerian
Pendidikan Nasional dari pusat hingga ke tingkat daerah, yang mendengung-
dengungkan PAKEM tidak melakukan pelatihan secara massif terhadap guru
tentang PAKEM ini. Hal ini kasusnya sama dengan CBSA, Cara Belajar Siswa
45Lihat Bab I hal 11. 46USAID, What Is Active Learning (WIAL) Panduan untuk Fasilitator, (Jakarta: DBE 2,
2008), 15. 47Konsep PAKEM kadang ditambahkan dengan inovatif setelah aktif, menjadi PAIKEM. 48 Indrawati, Wawan Setiawan, Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan
Untuk SD, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ilmu Pengetahuan Alam (PPPPTK IPA) untuk Program BERMUTU, (Jakarta, P4TK IPA, 2009), 9.
49
Aktif, yang nasibnya sama tidak bisa berkembang. CBSA dan PAKEM tidak
berkembang karena tidak massifnya sosialisasi pelatihan.
Disini menunjukkan upaya pemerintah untuk memperbaiki proses
pembelajaran sebenarnya sudah dilakukan. Ini bisa dilihat dari perkembangan
kurikulum yang dilakukan -mulai dari kurikulum 1974, 1984, 1994, 2000, dan
kurikulum 2006. Yang terakhir ini –kurikulum 2006, adalah Permendiknas No. 22
tahun 2006 tentang Standar isi yang dijadikan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan atau KTSP.
PAKEM dan berbagai model pembelajaran yang berbasis active learning,
seperti metode STAD (Student Teams Achievement Division)49, CTL (Contextual
Teaching and Learning), merupakan aplikasi dari Undang-undang No 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 19
tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 40 ayat 2 Undang-undang No 20
tahun 2003 menyatakan bahwa : Guru dan tenaga kependidikan berkewajiban : 1)
Menciptakan suasan pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis
dan logis 2) Mempunyai komitmen secara professional untuk meningkatkan
pendidikan 3) Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan
kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Sementara PP No. 19 tahun 2000 menyebutkan bahwa pembelajaran
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi siswa untuk berprestasi, memberikan ruang gerak yang cukup bagi
kreativitas dan prakarsa dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan
perkembangan fisik dan psikologis siswa. Untuk dapat melaksanakan amanat
49 Tipe STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan kawan-kawannya dari Universitas
John Hopkins, Tipe ini dipandang sebagai yang paling sederhana dan paling langsung dari pendekatan pembelajaran kooperatif. Tipe ini digunakan untuk mengajarkan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu, baik melalui penyajian verbal maupun tertulis, melalui beberapa kegiatan sebagai berikut : penjelasan materi pembelajaran; diskusi atau kerja kelompok belajar; validasi oleh guru; evaluasi (Tes); menentukan nilai individu dan kelompok; penghargaan individu atau kelompok; Dra. Sulis Merfanti, “Peningkatan Pemahaman Siswa pada Mata Pelajaran PKn melalui Pembelajaran Tipe STAD materi Sistem Hukum Nasional di Kelas XA SMAN 2 Pontianak”, Block Grant PTK, Dit PMPTK, Kementerian Pendidikan Nasional, 2007, hal. 10.
50
perundang-undangan tersebut, guru harus merubah paradigma mengajar menjadi
membelajarkan siswa.
UU No 20 tahun 2003 dan PP No. 19 tahun 2000 ini kemudian diperjelas
dengan berbagai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas). Salah
satunya yang berhubungan dengan pembelajaran adalah Permendiknas No 22
tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang
Standar Proses. Permendiknas No. 22 merupakan rujukan utama dalam
pengembangan kurikulum di tingkat satuan pendidikan. Atau yang kemudian
lebih dikenal dengan istilah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Sementara Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses berbicara
tentang pedoman atau aturan yang harus dilakukan dalam proses pembelajaran di
kelas.
- Teori Cooperatif Learning tipe STAD Robert Slavin
Cooperatif learning, seperti dijelaskan R. Bruce Williams adalah system
instruksional yang digunakan untuk kelompok kecil, mereka (siswa) bekerja
bersama untuk memaksimalkan kemampuan mereka dan saling belajar antar
siswa. Robert Slavin sendiri memberikan pendapat bahwa cooperative learning
terjadi ketika metode instruksional digunakan siswa untuk bekerja dan belajar
dalam kelompok kecil yang heterogen50.
Dalam perkembangannya, Slavin mengembangkan pembelajaran
cooperative learning dengan model sudent teams achievement division atau
STAD. STAD menjadi bagian dari pembelajaran cooperatif learning, digunakan
untuk membangun kerjasama team sekaligus membangun kompetisi antar tim
yang bisa juga dikolaborasikan dengan model TGT melalui kuis individual.
STAD juga digunakan untuk mengukur/memberi hadiah terhadap indivdu untuk
50R. Bruce Williams, Cooperative Learning: A Standard for High Achievement : A
Standar for High Achievement, (London : Corwin Press, 2002), 3. Baca juga Etin Solihatin & Rahardjo, Cooperatif Learning, Analisis Model Pembelajaran IPS,(Jakarta : Bumi Aksara, 2008), 4-10
51
meningkatkan skor individu dengan cara memberi hadiah kepada individu yang
tergabung dalam tim.51
Lebih jauh Slavin menjelaskan STAD digunakan untuk meningkatkan
desain system pemberian hadiah yang memberikan peluang kepada semua siswa
untuk mendapat hadiah dan hanya jika mereka mengerjakan tugas lebih baik
dibanding sebelumnya.
Efek dari sistem ini yang bisa merusakan / mengurangi evaluasi
motivasi/system insentif menurut atkinson yang dikutip Slavin adalah sedikitnya
kesempatan bagi individu untuk sukses, sementara yang lain mendapatkan
kesempatan yang mudah. Slavin sendiri memberikan kritik terhadap sistem
pentahapan tradisional yang dibuat hanya pantas untuk sistem motivasi.
Cooperatif learning sendiri menurut Slavin adalah untuk menyelesaikan
sebagian persoalan pencapaian (kompetensi, dari penulis) dari keberagaman latar
belakang siswa, membantu kelompok memahami pelajaran, memberi kesempatan
siswa belajar kepada teman sebayanya. Menurut Slavin52, pembelajaran STAD
bisa digunakan melalui lima komponen, yaitu : presentasi kelas, pembentukan
kelompok yang heterogen, kuis, penilaian individu menggunakan skor dan
penguatan kelompok sekaligus penilaian kelompok.
STAD merupakan metode pembelajaran kooperatif yang paling sederhana.
Menurut Nurhadi, bahwa : Model pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan
suatu model pembelajaran kelompok dimana anggota kelompok memiliki
keragaman latar belakang baik dari sisi jenis kelamin, etnis/suku, maupun
51Robert Slavin, Team assisted Individualization Combining Cooperative learning and
Individualized Instruction in Mathematics, dalam Learning to Cooperate, Cooperating to Learedited by Rpbert Slavin,
n, Shlomo Sharn, Spencer Kagan, etc, (New York: Plenum Publishing
Press, 19
e, Cooperating to Learn, edited by
85), 177-179. 52Robert Slavin, Team assisted Individualization Combining Cooperative learning and
Individualized Instruction in Mathematics, dalam Learning to Cooperat Robert Slavin, Shlomo Sharn, Spencer Kagan, etc, 68-69.
52
kemam
ih, tidak ada distribusi pekerjaan/tugas kelompok. 5)
Siswa
ecendrungan pengerjaan tugas oleh siswa yang memiliki
kemam
puan intelektual. Anggota kelompok sendiri terdiri atas 4 sampai 5
orang.53
Namun demikian menurut Lie54, model pembelajaaran cooperative
learning memiliki beberapa kelemahan, diantaranya : 1) Guru tidak bisa
mengontrol kelas (kelompok) karena bebasnya anggota kelompok yang tidak
memiliki motivasi belajar berinteraksi tanpa panduan. 2) Kerjasama yang
digunakan dalam kelompok tidak jelas, hanya mengandalkan siswa yang memiliki
kemampuan lebih saja. 3) Sistem kerjasama kelompok yang tidak terbangun
dengan bagus. 4) Pekerjaan kelompok lebih banyak dikerjakan oleh siswa yang
memiliki kemampuan leb
yang kurang memiliki kemampuan hanya menumpang saja kepada siswa
yang mengerjakan tugas.
Menurut penulis, model pembelajaran STAD yang ditawarkarkan oleh
Slavin, memiliki beberapa yang perlu diperkuat. Salah satunya adalah interaksi
dan komunikasi yang harus diperkuat oleh guru. Pasalnya apa dikatakan oleh Lie,
STAD memiliki kelemahan dari sisi monitoring pengerjaan tugas siswa dalam
kelompok. Dimana k
puan lebih akan dominan. Sehingga motivasi mengerjakan tugas dari siswa
lain akan berkurang.
Pendekatan Motivasi dan Learning Cycle bisa dijadikan solusi dimana,
interaksi dan komunikasi guru dengan siswa dilakukan melalui pendekatan
personal. Pendekatan Motivasi dan Learning Cycle juga bisa menjadi jembatan
untuk menanggulangi heterogenitas yang ada dalam kelompok. Dalam heteogen
khususnya dari sisi budaya yang melatarbelakangi siswa, Richard I Arend
memberikan pendapat, bahwa guru perlu peka terhadap dasar perbedaan kultural
dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi perilaku siswa di kelas.55 Sebab
53 Nurhadi, ”Kurikulum 2004 : Pertanyaan dan Jawaban”, (Jakarta : Grasindo, 2004),116 54Lie, Anita. ”Cooperative Learning : Mempraktikan Cooperative Learning di Ruang-
ruang Kelas”,(Jakarta : Gramedia, 2002), 22. 55Richard I Arends, Learning to Teach, penerjemah, Helly Prajitno Soetjipto & Sri
Mulyantini Soetjipto, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 65.
53
eraksi di lingkungan
yang sa s
bertemu lima hari dalam seminggu, 12 bulan dalam setahun. Dengan demikian
menurutnya ada beberapa perbedaan kultur yang bisa menimbulkan masalah.
Seperti disatu sisi ada siswa sikap terhadap keseimbangan antara mengerjakan
tugas dan bersosialisasi. Selain itu menurut Richard, kelas memiliki fitur-fitur
kelas. Kelas adalah lingkup sosial tempat persahabatan terbentuk dan komunikasi
terjadi. Kelas menurut Richar bisa dilihat dari perspektif ekologis yaitu melihat
kelas sebagai tempat dari guru, siswa dan orang lain berint
ngat interdependen ( aling bergantung). Fitur yang dimaksudkan Richard
adalah multidimensionality, simultaneity, immediacy, unpredictability, publicness,
dan history. Fitur-fitur tersebut disebut juga properti kelas.56
Multidimensionality adalah kelas merupakan perpaduan berbagai
latarbelakang, kepentingan, dan kecakapan berkompetensi yang berbeda-beda.
Hal ini menurut Richard sangat terbuka terhadap terjadinya konflik dan
dibutuhkan kemampuan guru untuk mengontrol dan meminimalisir konflik yang
terjadi. Simultaneity adalah disamping memberi tugas, seorang guru juga harus
mengawasi seluruh kelas, menangani interupsi dan memperhatikan waktu serta
lainnya. Immediacy (kesegaran) adalah yaitu perubahan yang terjadi dari satu
kejadian ke kejadian lain dan memberikan dampak langsung terhadap kelas.
Dalam hal ini stimulus dan respon atau feedback yang terjadi di kelas
memberikan kesegaran dalam proses yang terjadi di kelas. Unpredictability yaitu
bahwa kejadian di kelas sering kali tidak bisa diprediksi, meskipun guru telah
merancang proses pembelajaran. Karena itu menurut penulis, rancangan
pembelajaran yang progresif adalah yang mengadopsi perubahan yang terjadi
tersebut. Artinya guru mencatat perubahan rancangan pembelajaran sesuai dengan
situasi dan kondisi yang dihadapi di kelas. Publicness adalah apa yang terjadi di
kelas bisa disaksikan oleh orang lain. Kelas diistilahkan sebagai “aquarium”
dimana yang menjadi ikannhya adalah guru dan siswa. Apa yang dilakukan oleh
keduanya bisa dilihat dan diperhatikan oleh orang lain. History adalah kelas
merupakan sebuah rangkaian peristiwa yang membentuk sebuah komunitas. Kelas
56Richard I Arends, Learning to Teach, 148-149.
54
mengak
ter
multidimensionality dan publicness yang ada di kelas. Sehingga peristiwa yang
terjadi bisa ditangani, walaupun kejadiannya unpredictability.
pembelajaran, pelaksanaan proses
pembel
mbelajaran
umulasi setumpuk pengalaman, norma, dan rutinitas. Pertemuan-
pertemuan tersebut akan membentuk peristiwa yang akan diingat sepanjang masa.
Menurut penulis, Motivasi dan Learning Cycle memberikan peranan besar
terhadap pembentukan fitur-fitur yang ditawarkan oleh Richard ini. Sementara
pembelajaran STAD secara spesifik hanya berkaitan dengan proses pembelajaran
yang kurang memperhatikan aspek-aspek kelas. Pendekatan Motivasi dan
Learning Cycle sebagai bagian dari pendekatan pembelajaran mendorong
motivasi belajar siswa melalui pendekatan learning cycle, memperhatikan fitur-
fitur ini. Pasalnya system pendekatan komunikasi yang dilakukan dalam Motivasi
dan Learning Cycle lebih kepada pendekatan komunikasi personal. Dimana
komunikasi ini akan mempengaruhi fitur kelas dari sisi simultaneity, dan
immediacy. Motivasi dan Learning Cycle juga aka memperkuat karak
- Memahi Taksonomi Bloom
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 41 tahun
2007 tentang Standar Proses menjelaskan bahwa proses pembelajaran di kelas
harus didasarkan atas kebutuhan siswa, (student center). Begitupun dengan
Permendiknas No 20 tahun 2003 tentang Standar Isi. Keharusan focus kepada
siswa mengharuskan seorang guru harus memahami apa yang harus dikerjakan
siswa dalam setiap kegiatan pembelajaran. Baik di awal pertemuan, di kegiatan
inti dan di penutup. Dalam Standar Proses untuk satuan pendidikan dasar dan
menengah mencakup: perencanaan proses
ajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses
pembelajaran.
Permendiknas No. 41 tahun 2007 menekankankan bagaimana proses
pelaksanaan pembelajaran yang berbasis kepada siswa. Hal ini ditandai dengan
pewilahan aktivitas yang harus dilakukan oleh siswa dalam kegiatan pe
55
melalui
. Kompetensi-kompetensi
yang
a
sendiri
tuan menjadi
sub-sub
merancang, merumuskan, mengorganisasikan, mengompilasikan,
: kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. Pada dasarnya
Permendiknas No. 41 tahun 2007 ini merupakan model learning cycle
Sementara Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi berisi
standar kompetensi yang harus dicapai oleh siswa dalam setiap pembelajaran.
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dicapai siswa tersebut
harus menjadi perhatian utama guru ketika mengajar
harus dicapai tersebut memiliki karakteristik yang mencakup pada
taksonomi Bloom57 : Kognitif, afektif dan psikomotor.
Pada ranah kognitif, ada level kecakapan yang harus bisa dikuasai anak.
Yaitu level kecakapan knowledge (mengetahui dan mengingat). Level ini dalam
dunia pendidikan lebih dikenal dengan istilah C1 yang meliputi indikator
kecakapannya siswa mampu menyebutkan, membaca, menuliskan, menyatakan,
mengurutkan, mengidentifikasi, mendefinisikan, mencocokkan, menamai,
melabeli, menggambarkan. Pada level Comprehension (pemahaman) atau C2
diharapkan indikator kecakapan yang mampu dikuasai siswa adalah
Menerjemahkan, mengubah, mengeneralisasi, menguaraikan (dengan kata-kat
), menulis ulang (dengan kalimat sendiri), meringkas, membedakan,
(diantara dua), mempertahankan, menyimpulkan, berpendapat dan menjelaskan.
Pada level Application (penerapan ide) atau C3 siswa diharapkan mampu
memiliki kecakapan : mengoperasikan, menghasilkan, mengubah, mengatasi,
menggunakan, menunjukkan, mempersiapkan, dan menghitung. Pada level
Analysis (kemampuan menguraikan) atau C4 siswa mampu memiliki kecakapan :
menguraikan satuan menjadi unit-unit yang terpisah, membagi sa
atau bagian-bagian, membedakan antara dua yang sama, memilih dan
mengenal perbedaan (diantara beberapa yangdalam satu kesatuan).
Pada level Synthesis (unifikasi-memadukan) atau C5 siswa mampu
57Kenneth D. Moore merumuskan beberapa indikator menyangkut tiga taksonomi
Bloom dalam Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta : Kecana 2004), 140, baca juga Richard Kindsvatter, William Wilen, Margaret Ishler :Dynamics of Effective Teaching, (USA : Longman Publisher, 1996), 161-163
56
ampu Mengkritisi, menginterpretasi,
menjas
baca (pesan-pesan), membantu, melaksanakan, melaporkan dan
menam
andangan hidup (worldview), mempertahankan nilai-nilai yang sudah
diyakin
un kembali sebuha struktur, dan
menggu
mengomposisikan, membuat hipotesa, dan merencanakan. Dan pada level
Evaluation (menilai) atau C6 siswa m
tifikasi dan memberikan penilaian.
Pada ranah afektif, ada lima level yang harus diperhatikan guru sebagai
kecakapan yang harus dikuasai siswa. Level receiving (penerimaan) atau A1
memiliki indikator kecakapan sebagai berikut : mempercayai (sesuatu atau
seseorang untuk diikuti), memilih (sesuatu atau seseorang untuk diikuti),
mengikuti, bertanya (untuk diikuti), dan mengalokasikan. Level responding
(tanggapan) atau A2 memiliki indikator kecakapan : menginformasikan, member
jawaban, mem
pilkan.
Pada level valuing (penanaman nilai) atau A3 memiliki kecakapan yang
harus dikuasai siswa : menginisiasi, mengundang (orang untuk terlibat), terlibat,
mengusulkan, dan melakukan. Level organization (pengorganisasian nilai-nilai)
atau A4 memiliki tuntutan kecakapan : memverifikasi nilai-nilai sebagai
pandangan hidup, menetapkan beberapa pilihan nilai, mensistesiskan (antar nilai),
mengintegrasikan (antar nilai), menghubungkan (antar nilai), memengaruhi
(kehidupan dengan nilai-nilai). Dan pada level characterization (karakterisasi
kehidupan) atau A5 memiliki indikator kecakapan menggunakan nilai-nilai
sebagai p
i.
Ranah Psikomotor juga memiliki level kecakapan yang harus dikuasai
siswa. Seperti level observing (memperhatikan) atau P1 memiliki indikator
kecapakan : mengamati proses, member perhatian pada tahapan-tahapan sebuah
perbuatan, member perhatian pada sebuah artikulasi. Level imitation (peniruan)
atau P2 memiliki kriteria kecakapan : melatih, mengubah sebuah bentuk,
membongkar sebuah struktur, membang
nakan sebuah konstruk atau model.
Level practicing (pembiasaan) atau P3 memiliki indikator kecakapan :
membiasakan sebuah model atau perilaku yang sudah dibentuknya, mengontrol
57
sebuah
model,
n
Crick t
ksonomi
tersebu
diskusi atau lembar kerja siswa
yang se
kebiasaan agar tetap konsisten. Dan level adapting (penyesuaian) atau P4
memiliki indikator kecakapan : menyesuaikan model, membenarkan
untuk dikembangkann dan memadukan model pada kenyataan.58
Dari perspektif taksonomi Bloom dan perspektif Permendiknas,
diharapkan guru mengetahui bentuk-bentuk motivasi yang diberikan, bagaimana
cara memberikan motivasi, dan bagaimana itu dilakukan. Persoalan motivasi yang
dibahas dalam bab ini, akan merujuk kepada toerinya W. Harlen dan Ruth Deaki
entang aspek atau faktor yang memempengaruhi motivasi belajar siswa59.
Melihat Taksonomi Bloom tersebut dapat ditarik benang merah bahwa ada
kompetensi yang lebih menekankan kepada aspek kognitif, atau aspek afektif dan
ada yang menekankan pada aspek psikomotorik. Bagi seorang guru ta
t mutlak menjadi perhatian untuk menentukan arah pembelajaran.
Alternatif kegiatan eksploras, elaborasi dan konfirmasi yang ditawarkan
dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 atau jika menggunakan model 6E
tersebut, menjadi penuntun untuk mencapai tipologi Bloom. Sebagai contoh pada
tahap ini tipologi Bloom yang akan dicapai adalah pada aspek kognitif dengan
level kecakapan memahami (comprehension) sebuah Standar Kompetensi dengan
Kompetensi Dasar tertentu, maka alternatif kegiatan yang bisa dilakukan dalam
kegiatan eksplorasi adalah, guru melibatkan siswa untuk mencari informasi
tentang topik/tema yang sedang dipelajari, dengan cara membaca, mendengar
informasi atau berdiskusi tentang topik yang sedang di bahas. Tentu sebelumnya,
guru harus menyediakan bahan bacaan, bahan
suai dengan topik yang sedang dibahas.
Contoh lain, pada fase elaborasi, dengan taksonomi Bloom yang akan
dicapai pada level afektif, dengan level kecakapan yang akan dicapai responding
atau siswa mampu memberi tanggapan. Maka kegiatan yang bisa dilakukan adalah
siswa diminta melakukan analisis atau melakukan perbandingan atas apa yang
58Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta : Kecana 2004), 140. 59Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick, Testing and Motivation for Learning, Graduate
School of Education, Assessment in Education, (Jurnal : Assassment in Education Vol.10, No.2 July 2003), 183.
58
tentang analisis dari
apa yan
dan yang benar. Dan
guru bi
ersihan, 9.3 Menampilkan
perilak
erasional,
akan m udahkan mermuskan indikator kecakapan yang akan dicapai.
C. Mo
beberapa praktik yang mendukung
motiva
uru yang ru yang
mereka lakukan pada waktu fase eksplorasi. Pada waktu kegiatan eksplorasi,
siswa diminta membaca, mendengar atau berdiskusi tentang sesuatu, maka pada
fase elaborasi, siswa diminta memberikan sebuah pendapat
g mereka baca atau dari apa yang mereka diskusikan.
Pada fase konfirmasi, dengan sasaran taksonomi Bloom psikomotor dan
level kecakapan yang akan dicapai adalah pembiasaan, maka kegiatan yang
dilakukan adalah siswa bisa mengangkat kasus yang salah
sa menjelaskan mengapa salah dan mengapa benar.
Aspek lain yang harus diperhatikan adalah, kata kerja operasional dalam
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK/KD). Kata kerja operasional
tersebut memiliki keterkaitan dengan ranah dalam taksonomi Bloom, level
kecakapan sehingga memudahkan indikator kecakapan yang akan dicapaianya.
SK dan KD memiliki salah satu atau lebih dari ranah kognitif, afektif dan
psikomotor. Sebagai contoh SK 9. Memahami Ajaran Al – Hadits tentang
kebersihan. Dengan KD sebagai berikut : 9.1 Membaca hadits tentang
kebersihan, 9.2. Menyebutkan arti hadits tentang keb
u bersih seperti dalam kehidupan sehari-hari.
Kata kerja operasional memahami, membaca, menyebutkan dan
menampilkan bisa dirujuk kepada level taksonomi Bloom dengan level
kecapakan yang akan dicapai. Dengan memperhatikan kata kerja op
em
tivasi dan Pembelajaran di Kelas
Peneliti pada University of Notre Dame, Dolezal, S.E, Welsh, L.M., etc
tertarik dengan apa yang dilakukan guru untuk memotivasi keterlibatan akademik
siswa dan berusaha membandingkan praktik pengajaran yang mendukung atau
meruntuhkan motivasi. Menurut mereka ada
si belajar siswa, seperti di bawah ini :
Tabel 1 : Contoh praktek yang men
Praktik-praktik G
dukung dan meruntuhkan motivasi
Praktik-praktik Gu
59
mendukung motivasi meruntuhkan motivasi
Menganggap siswa akuntabel Atribusi berdasarkan kemampuan
Memberikan pekerjaan rumah yang Mendukung perkembangan dorongan
sesuai
Mencek pemahaman siswa Memberikan kerangka kerja pendukung
Lingkungan kelas yang positif Kurang memantau pekerjaan siswa
Memiliki tujuan dan ekspektasi yang s dengan tingkat
jelas
Memberikan tugas-tuga
kesulitan yang rendah
Menggunakan pembelajaran yang perencanaan yang buruk/tidak
kooperatif
Memiliki
lengkap
Memiliki tugas-tugas sulit yang dapat i tingkat kecepatan yang terlalu
dikerjakan siswa
Memilik
rendah
Memantau pekerjaan siswa Memiliki lingkungan kelas yang negatif
Memberikan dorongan yang positif tek pembelajaran Menggunakan prak
yang tidak inspiratif
Memberikan pengajaran tentang nakan menejemen kelas yang
strategi
Menggu
negatif
Menghargai siswa Tidak menunjukkan hubungan
Menstimulasi pemikiran kognitif eritahuan kepada Menggunakan pemb
publik dan hukuman
Sumb
S
h terhadap motivasi belajar siswa adalah keterampilan guru dalam
mengajar.
er : Richard I Arends, Learning to Teach, terjemahan, Helly Prajitno
oetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
Apa yang disimpulkan dari hasil penelitian Dolezal tersebut didasarkan
atas penelitian kepada sikap guru-guru SD yang di Indiana, US. Menurut penulis,
dari kesimpulan tersebut memiliki relevansi dengan usaha guru untuk memberikan
motivasi belajar kepada siswa di kelasnya. Praktik-praktik yang mendukung atau
meruntuhkan motivasi belajar siswa sangat dipengaruhi apa yang dilakukan oleh
guru. Siswa memberikan respon dari apa yang dilakukan oleh guru. Hal yang juga
berpengaru
60
abel 7 sebagai berikut :
Borich60 menyatakan terdapat empat hal yang mempengaruhi
keterampilan guru dalam mengajar, yaitu karakteristik kepribadian (seperti
motivasi berprestasi, ketepatan (directness), dan fleksibilitas), sikap (seperti
motivasi untuk mengajar, empati terhadap siswa, dan komitmen), pengalaman
(seperti lama mengajar, pengalaman dalam mengajar suatu materi, dan
pengalaman pada level kelas tertentu), dan bakat atau prestasi (seperti skor pada
tes kemampuan, indeks prestasi, dan hasil evaluasi mengajar). Untuk lebih
jelasnya, keempat faktor tersebut dapat dilihat dalam T
Tabel 2 : Faktor-Faktor yang mempengaruhi keterampilan guru mengajar
No. Kepribadian Sikap Pengalaman Bakat/Prestasi
1. Suka memberi
kebebasan
(permissiveness)
Motivasi untuk
mengajar
Lama mengajar Ujian guru
tingkat nasional
2. Dogmatisme Sikap terhadap
siswa
Pengalaman
dalam mengajar
suatu materi
Ujian kelulusan
3. Otoritarian Sikap terhadap
proses
mengajar
Pengalaman pada
level kelas
tertentu
Tes Bakat
Skolastik
(Scholastic
Aptitude Test),
terdiri dari
verbal dan
kuantitatif
60Gary D. Borich, Effective teaching Methods, (Merill Publishing.co, 1998)
61
4. Motivasi
berprestasi
Sikap terhadap
otoritas
Pengalaman
dalam mengikuti
workshop
Tes Kemampuan
Khusus, seperti
kemampuan
penalaran,
kemampuan
logis, dan
kelancaran
verbal (verbal
fluency)
5. Introvert-
Ekstrovert
Ketertarikan
vokasional
Mengikuti kursus
setelah tamat
pendidikan
Indeks prestasi,
baik kumulatif
maupun pada
subjek utama
6. Abstrak Sikap terhadap Tingkat Rekomendasi
(abstractness)-
Konkret
(concreteness)
dirinya
(konsep diri)
pendidikan profesional
7. Langsung
(directness)-
Berbelit
(indirectness)
Sikap terhadap
materi yang
diajarkan
Penulisan tugas
profesional
(professional
papers written)
Evaluasi siswa
mengenai
keefektifan
dalam mengajar
8 Locus of control Evaluasi
mengajar
9 Kecemasan
(secara umum
atau hanya pada
saat mengajar)
Sumber: Borich, Effective teaching Methods, (Merill Publishing.co, 1998)
Dari apa yang dijelaskan oleh Borich dan Dolezal jelas, bahwa motivasi
belajar siswa berkaitan erat dengan apa yang dilakukan oleh guru. Termasuk di
62
dalamnya adalah empat aspek yang dijelaskan Borich yaitu, kepribadian, bakat,
sikap, dan pengalaman. Aspek kepribadian seorang guru dalam perspektif Borich
memberikan pengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Hal ini sejalan dengan
tuntutan Undang-Undang Guru yang mengharuskan seorang guru memiliki empat
kompetensi61, diantaranya kompetensi kepribadian.62
Jika melihat penjelasan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 tahun 2005,
kompetensi yang dimaksud dalam PP ini lebih kepada kemampuann guru dalam
mengelola perilakunya. Sementara Borich mengaskan kepribadian guru lebih
kepada aspek psikologis yang ada pada setiap individu. Kompetensi yang
dijelaskan Borich menurut penulis lebih spesifik menjelaskan setiap aspek yang
dimiliki seorang guru kaitannya dengan proses pembelajaran. Sebagai contoh,
aspek sikap, pengalaman dan prestasi yang dijelaskan Borich lebih jelas dan fokus
61Louise Moqvist (2003) seperti dikutip Ahmad Sudrajat dalam artikelnya : Kompetensi
Guru dan Peran Kepala Sekolah, mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari Trainning Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa : ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.” Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan. Diakses dari http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/21/kompetensi-guru-dan-peran-kepala-sekolah-2/ pada tanggal 12 Juli 2010.
62Penjelasan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, guru harus memiliki empat kompetensi yaitu : 1) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 2) Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan. 3) Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar. 4) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
63
terhadap sikap-sikap seorang guru yang mempengaruhi proses pembelajaran.
Sementara dalam PP No. 19 tahun 2005 aspek kompetensi tersebut tidak berkaitan
langsung dengan proses pembelajaran di kelas. Sebagai contoh aspek kompetensi
sosial yang menitikberatkan bagaimana peran guru dalam lingkup sosial di
masyarakat.
Jika dibandingkan dengan kompetensi guru yang diterapkan oleh National
Board for Profesional Teaching Skill telah merumuskan standar kompetensi bagi
guru di Amerika, yang menjadi dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi
guru, dengan rumusan What Teachers Should Know and Be Able to Do,
didalamnya terdiri dari lima proposisi utama, yaitu:63
1. Teachers are Committed to Students and Their Learning yang mencakup : (a)
penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa, (b) pemahaman guru
tentang perkembangan belajar siswa, (c) perlakuan guru terhadap seluruh
siswa secara adil, dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir
siswa.
2. Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to
Students mencakup : (a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata
pelajaran untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran
lain, (b) kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran (c)
mengembangkan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara
(multiple path).
3. Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning
mencakup: (a) penggunaan berbagai metode dalam pencapaian tujuan
pembelajaran, (b) menyusun proses pembelajaran dalam berbagai setting
kelompok (group setting), kemampuan untuk memberikan ganjaran (reward)
atas keberhasilan siswa, (c) menilai kemajuan siswa secara teratur, dan (d)
kesadaran akan tujuan utama pembelajaran.
4. Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from
Experience mencakup: (a) Guru secara terus menerus menguji diri untuk
63Diakses dari http://www.nbpts.org/UserFiles/File/what_teachers.pdf pada tanggal 12 Juli 2010
64
memilih keputusan-keputusan terbaik, (b) guru meminta saran dari pihak lain
dan melakukan berbagai riset tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek
pembelajaran.
5. Teachers are Members of Learning Communities mencakup : (a) guru
memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan
kalangan profesional lainnya, (b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa,
(c) guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat.
Kompetensi guru yang diterapkan oleh National Board for Profesional
Teaching Skill dengan kompetensi guru yang ditekankan dalam PP No. 19 ini
tidak harus dibandingkan secara vis a vis atau berhadapan. Karena masing-masing
memiliki culture, frame dan tujuan serta maksud yang berbeda. Namun demikian,
menjadi penting untuk melakukan telaah atas kompetensi tersebut kaitannya
dengan aspek yang berhubungan dengan menumbuhkan motivasi belajar bagi
siswa. Selain itu kedua kebijakan yang ada di Indonesia atau di Amerika tersebut
memiliki kesamaan visi untuk meningkatkan mutu guru di masing-masing
Negara.
Aspek kemampuan menumbuhkan motivasi belajar pada diri guru mutlak
diperlukan sebab guru akan berinteraksi secara langsung dan setiap hari dengan
siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Proses interaksi yang dilakukan guru
menyangkut proses komunikasi. Seperti dijelaskan oleh Borich yang menjelaskan
berbagai macam perilaku guru yang bisa menumbuhkan atau meruntuhkan
motivasi siswa.
Sejalan dengan pendapat Borich, Ilardo yang dikutip Patricia H. Hamm,
menjelaskan perlunya guru memiliki kemampuan persuasive sebagai bagian dari
menumbuhkan motivasi belajar siswa. Menurut Iliardo yang dijelaskan Patric H
Hamm, pendekatan persuasif, adalah proses komunikas untuk mengubah
kepercayaan, sikap, niat atau perilaku lain baik secara sadar atau tidak sadar
menggunakan kata-kata verbal) atau pesan non verbal. Pendekatan persuasive
digunakan untuk mempengaruhi baik individu atau kelompok untuk menerima
situasi/posisi tertentu atau keyakinan. Pendekatan persuasive membutuhkan
65
pemahaman yang jelas dari audience dan intensitas yang focus dari
pendengarnya.64
Menurut Patricia H. Hamm, guru sebagai pembicara harus membawa
audience melalui lima tahap pemahaman dalam pendekatan persuasif . Yaitu , 1)
peka terhadap persoalan yang dihadapi audience 2) memahami persoalan 3)
memahami solusi yang ditawarkan 4) memberikan gambaran terhadap dampak
dari solusi yang ditawarkan 5) memahami bagaimana audience melakukan solusi.
Tahapan kepekaan dari pendekatan persuasive dalah pengenalan terhadap akar
masalah atau situasi. Hal ini sesuai dengan kemampuan atau kompetensi guru dari
aspek sosial seperti yang diamanatkan dalam PP. No. 19 tahun 2005. Atau sesuai
dengan Teachers are Committed to Students and Their Learning yang diterapkan
National Board for Profesional Teaching Skill.
Apa yang diutarakan di sub bab atas menjadi dasar pemikiran
pengembangan motivasi dan learning cycle. Yaitu menggabungkan teori motivasi
dari Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick dengan Learing Cycle model
Permendiknas No. 41. tahun 2007. Secara definisi motivasi dan learning cycle
adalah model pembelajaran yang memperhatikan penguatan motivasi belajar
melalui kegiatan pembelajaran. Motivasi yang dimaksud baik berupa perhatian
terhadap motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Bagaimana guru mendorong motivas-
motivasi tersebut –intriksik dan ekstrinsik muncul dalam proses pembelajaran.
Motivasi dan learning cycle adalah model pembelajaran yang
memperhatikan motivasi belajar siswa. Pembelajaran yang memperhatiakn
berbagai indikator motivasi belajar siswa yang harus didorong/dirangsang oleh
guru. Sehingga proses pembelajaran berjalan dengan maksimal, dimana
keterlibatan siswa dalam pembelajaran aktif dan partisipatif. motivasi dan
learning cycle adalah mengintegrasikan perhatian terhadap aspek motivasi dengan
pembelajaran berbasis learning cycle.65
64Patricia H. Hamm,,Teaching and Persuasive Communication: Class Presentation Skills:
a handbook for faculty, teaching assistants and teaching fellows,( Brown University, A publishing, 2006), 10-11.
65Lihat catatan kaki nomor 13 dan 30 pada Bab 1.
66
Model pembelajaran motivasi dan learning cycle sama halnya dengan
model pembelajaran yang memperhatikan keragaman individu. Dimana
pembelajaran memperhatikan aspek individu seperti kemampuan yang berbeda,
suasana kelas dan strategi yang tepat untuk pembelajaran. Dalam hal ini model
motivasi seperti apa yang harus diberikan kepada siswa dalam pembelajaran
sehingga mereka –siswa, bisa menanamkan secara sadar nilai-nilai yang
didiskusikan selama proses pembelajaran.
Model pembelajaran motivasi dan learning cycle juga sangat
memperhatikan fitur-fitur kelas yang ditawarkan oleh Richard. Perhatian terhadap
apa yang terjadi di kelas tersebut dijembatani dengan system komunikas
interpersonal yang ditawarkan oleh motivasi dan learning cycle. Sifat kelas yang
heterogen dan multidimensional membutuhkan kemampuan komunikasi yang
sampai pada tingkat empati dengan tetap menegakan sistem yang dibangun oleh
guru di kelas tersebut.
Motivasi dan learning cycle dalam aplikasinya menggandeng teori
learning cycle atau siklus belajar yang memusatkan kepada aktivitas siswa.
Artinya setelah guru memperhatikan individu siswa dengan menggunakan
pendekatan persuasive, guru mengkolaborasikan pembelajaran menggunakan
learning cycle yang sesuai dengan SK dan KD yang sedang dipelajari.
68
BAB III
PENGAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMP
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 22
tahun 2006 tentang Standar Isi, khususnya pada Bab II, menjelaskan bahwa
Pendidikan Agama Islam termasuk dalam kelompok mata pelajaran Agama dan
Akhak Mulia. Kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak Mulia ini memiliki
cakupan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia
mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan
agama.
Masih dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tersebut, pelaksanaan
kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar belajar, yaitu: (a)
belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar
untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan
berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang
lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses
pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.1
Hal ini dikuatkan Pasal 3 UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang
menjelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
1Diah Harianti, “Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran
Pendidikan Agama, bagian D. Prinsip Pelaksanaan Kurikulum, poin 1”, (Puslitbang Pusat Kurikulum Depdiknas, 2007), 13. Baca pula M. Subandowo, “Peningkatan Produktivitas Guru dan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan pada Era Global”,(Khazanah Pendidik ; Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol 1, No. 2 Maret 2009), 114.
69
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dari uraian ini penulis berkesimpulan bahwa pelajaran Pendidikan Agama
Islam (PAI) memiliki muatan afektif sebagai tujuan utama dari pendidikan agama.
Yaitu melahirkan anak didik yang beriman, berakhlak mulia, memiliki sikap
toleransi dalam kerangka besar multikultur dengan tetap memiliki jati diri sebagai
pribadi. Dan pelajaran agama ini disampaikan dalam proses pembelajaran yang
menyenangkan.
Ahmad Tafsir menegaskan tujuan pendidikan agama Islam di sekolah
umum adalah untuk meningkatkan pemahaman, keterampilan melakukan, dan
pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan utama pendidikan
agama Islam di sekolah ialah keberagamaan, yaitu menjadi Muslim yang
sebenarnya. Keberagamaan inilah yang selama ini kurang di perhatikan.2
Pesan-pesan moral yang eksplisit nampak diinginkan negara dari mata
pelajaran PAI ini. Hal ini sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional Indonesia,3
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Tujuan nasional tersebut kemudian dijabarkan lagi dalam operasional
kebijakan dengan keluarnya berbagai macam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional atau Permendiknas menyangkut persoalan pembenahan pendidikan.
Pemerintah mengeluarkan delapan standar nasional menyangkut pendidikan yang
2Ahmad Tafsir, Makalah “Pendidikan Agama Islam di Sekolah”, tanpa keterangan tempat
dan tahun. 3Bab II pasal 4 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20 tahun 2003
70
dikemas dalam Permendiknas.4 Pada tataran praksis di lapangan, baru beberapa
standar yang bisa dilaksanakan. Di antaranya Permendiknas No. 22 tahun 2006
tentang Standar Isi, Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses,
Permendiknas tentang Standar Penilaian. Sementara Standar Sarana dan
Prasarana, termasuk standar pembiayaan walaupun sudah keluar, namun belum
sepenuhnya bisa dilaksanakan. Hal ini menyangkut persoalan anggaran dana
pemerintah baik pusat maupun daerah. Padahal delapan standar tersebut wajib
dipenuhi oleh pemerintah.
A. Pengajaran PAI Selama ini
PAI dan seluruh mata pelajaran yang diajarkan di sekolah untuk semua
jenjang dalam pelaksanaan kurikulumnya mengacu kepada Permendiknas tentang
Standar Isi, Standar Proses dan Standar Penilaian, Standar Pendidik dan Tenaga
Kependidikan, Standar Kepala Sekolah, Standar Pengawas, dan standar-standar
pendidikan lainnya.
Merujuk pada Standar Nasional khususnya Standar Isi, Standar Proses dan
Standar Penilaian inilah, mata pelajaran PAI di ajarkan. Mata pelajaran PAI ini
kemudian diuraikan menjadi materi dan bahan ajar yang didasarkan kepada
Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang harus dipelajari dan
dikuasai sebagai sebuah kompetensi oleh siswa dalam setiap semester untuk
semua jenjang dan kelas.
Dalam hubungannya dengan tujuan dan cita-cita pendidikan nasional,
sejak kurikulum 1977 sampai sekarang PAI dianggap belum bisa seratus persen
mewujudkan manusia Indonesia yang bertaqwa, berahlak mulia, memiliki sikap
toleran terhadap perbedaan. Justru PAI diangap gagal dalam melahirkan generasi
Indonesia yang diharapkan.
4Standar Nasional tentang: Standar Isi, Standar Proses, Standar Pembiayaan, Standar Pengelolaan, Standar Kelulusan, Standar Penilaian, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana
71
reka.
Pandangan terhadap kegagalan PAI ini disampaikan oleh Muchtar
Buchori. Menurutnya, sebagaimana dikutip oleh Muhaimin kegagalan PAI
disebabkan karena praktek pengajaran PAI yang fokus kepada aspek kognitif dari
ajaran agama. Pengajaran PAI di sekolah mengabaikan pembinaan aspek afektif
dan konatif volutif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai
ajaran agama.5 Akibatnya ada kesenjangan antara aspek pengetahuan agama
siswa dengan aspek pengamalan ajaran agama dalam keseharian me
Pendapat tersebut paralel dengan pendapat Harun Nasution yang
menyatakan bahwa PAI menjadi pengajaran agama saja bukan menjadi
pendidikan agama.6 Pendapat senada disampaikan Azyumardi Azra dalam
bukunya Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru yang
menyetakan bahwa pengajaran hanya sekedar transfer ilmu belaka. Sementara
pendidikan merupakan proses transformasi nilai dan pembentukan kepribadian
dengan segala aspek yang dicakupnya.7
Terkait dengan pengertian Pendidikan Islam, Yusuf Qordhowi
sebagaimana dikutip Azyumardi Azra menyatakan bahwa Pendidikan Islam
adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya;
akhlak dan keterampilannya. Dalam hal ini, Azyumardi Azra menekankan konsep
pendidikan dalam konteks Islami dengan istilah tarbiyah, ta’ li>m dan ta’di>b
yang harus dipahami secara utuh. Menurutnya, di ketiga istilah ini mengandung
makna dan sangat erat berhubungan dengan bagaimana manusia berhubungan
dengan masyarakat sekitarnya, berhubungan dengan lingkungan dan terutama
berhubungan dengan Tuhan. Istilah-istilah itu pula menjelaskan ruang lingkup
pendidikan Islam baik secara informal, formal dan nonformal.8
5Muhaimin, Pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi
(Jakarta: Raja Grafindo, 2009), 23. 6Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), 75 7Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru
(Ciputat: Logos, 2002), 3. 8Azyumardi Azra, Pendidikan Islam,Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 4-5.
72
B. Ruang Lingkup Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Berdasar pandangan di atas dan melihat UU Sisdiknas No 20 tahun 2003
serta Permendiknas tentang Standar Isi, ruang lingkup pembelajaran PAI
menyangkut aspek-aspek: Tauhid/Aqidah, Akhlak, Tarikh atau SKI (Sejarah
Kebudayaan Islam), Fiqih/Syariah, Al-Quran/Hadits. Aspek-aspek tersebut
menjadi besaran dari mata pelajaran PAI atau menjadi tema-tema sentral dari PAI
yang diajarkan di kelas untuk semua jenjang (SD, SMP, SMA dan SMK). Namun
dalam pembelajarannya tema-tema besar tersebut dibreak down oleh Standar Isi9
menjadi Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK-KD) ini merupakan acuan
dasar untuk menjabarkan tema-tema besar tadi telah digariskan pemerintah. SK –
KD inilah yang harus dikuasai oleh siswa dalam rangka menciptakan generasi
yang memiliki kepribadian mulia (berakhlak) dan memiliki kemampuan akademik
yang membanggakan.10
Senada dengan hal di atas, ruang lingkup utama dari PAI menurut Zakiah
Daradjat adalah meliputi: pengajaran keimanan, pengajaran akhlak, pengajaran
ibadah, pengajaran fiqih, pengajaran usul fiqih, pengajaran qira’at Qur’an,
pengajaran tafsir, pengajaran ilmu tafsir, pengajaran hadits, pengajaran ilmu
hadits, pengajaran tarikh islam dan tarikh tashri’.11
Pendapat Zakiah Daradjat ini memang terlalu luas. Sementara dalam
Standar Isi, ruang lingkup Pendidikan Agama Islam dipadatkan pada lima aspek :
Aqidah/Tauhid, Al-Quran/ Hadits, Fiqih, Akhlak, dan Tarikh atau sejarah. Standar
Isi yang menjadi acuan pembelajaran PAI di sekolah umum memang menekankan
9Permendiknas No 20 tahun 2006. 10Lihat Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. 11Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
2008), 63-116.
73
pada lima aspek tersebut, tidak merambah pada pengajaran qira’at Qur’an, tafsir,
ulumul hadits atau tarikh tash’ri seperti yang dinyatakan Zakiah Daradjat. Tetapi
pelajaran-pelajaran yang disebut oleh Zakiah Daradjat tadi di ajarkan di madrasah
yang bercirikan keislaman.
Ruang lingkup pembelajaran PAI sendiri sangat dipengaruhi oleh
perkembangan kurikulum PAI sendiri. Dalam perkembangannya kurikulum PAI
mengalami banyak perubahan paradigma. Awalnya seperti dijelaskan Muhaimin,
pembelajaran PAI lebih menekankan kepada hafalan yang terpengaruh culture
Timur Tengah. Paradigma ini menurut penulis banyak dilakukan oleh pesantren
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Perubahan berikutnya mengalami kemajuan
cukup signifikan, dari cara berpikir tekstual, normatif, dan absolut kepada cara
berpikir historis, empiris dan kontekstual dalam memahami dan menjelaskan
ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama Islam.
Dari sisi produk dan proses, perkembangan kurikulum PAI berubah dari
awalnya menekankan pada produk pemikiran keagamaan tokoh-tokoh pendahulu
menjadi lebih memperhatikan proses dan metodologi. Dan terakhir perubahan dari
sisi keterlibatan proses penyusunan, awalnya kurikulum PAI disusun hanya oleh
para pakar, namun saat ini melibatkan stake holder dan melibatkan kalangan yang
lebih luas seperti para pakar, guru, peserta didik, dan masyarakat.12
C. Karakteristik Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Karakteristik pembelajaran PAI akan sangat bergantung kepada aspek
yang diajarkan seperti yang ditetapkan oleh UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
Karakteristik pembelajaran PAI disesuaikan dengan tema-tema besar seperti
12Muhaimin, Pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah, Madrasah,10-11.
74
Tauhid/Aqidah, Akhlak, Tarikh, Fiqih/Syariah, Al-Quran/Hadits. Kesemua tema
besar tersebut menurut penulis memiliki tujuan untuk menjaga lima hal atau
maqa>s}id al-shari>‘ah 13 yaitu h}ifz} al-di>n (menjaga/melindungi agama),
h}ifz} al-nafs (menjaga/melindungi jiwa), h}ifz} al-nasl (menjaga/melindungi
keturunan), h}ifz} al-mal (menjaga/melindungi harta benda), h}ifz} al-‘aql
(menjaga/melindungi akal-intelektualitas)14 dan h}ifz} al-bi>ah
(menjaga/melingdungi lingkungan). Tegasnya maqa>s}id al-shari>‘ah mengacu
kepada pemeliharaan agama, keberlangsungan hidup, menjaga kemurnian dan
kejelasan keturunan, menjaga harta benda, akal sehat dan lingkungan hidup.
Penulis sependapat dengan banyak kalangan seperti K.H. Ali Yafie dalam
bukunya “Menggagas Fiqih Lingkungan” atau Fachruddin, M.
Mangunwijaya:“Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi dan Gerakan
Lingkungan Hidup” pentingnya h}ifz} al-bi}>ah ini. Sebab tanpa adanya h}ifẓ
al-bi>ah (memelihara lingkungan hidup) sama artinya kelima komponen
kehidupan ini telah mati. “Kiamat sebelum kiamat”, menurut Fachrudin dalam
bukunya. Tidak berlebihan jika kelimanya bergantung pada h}ifz} al-bi>ah .
Selain itu, pelajaran Pendidikan Agama Islam juga memiliki
tanggungjawab terhadap penguatan nasionalisme. Hal ini menurut penulis
termasuk dalam bagian maqa>s}id al-shari>‘ah. Jadi h}ifz} al-wat}an adalah
bagian dari maqa>s}id al-shari>‘ah, termasuk h}ifz} al-bi>ah, menjadi karakter
yang harus nampak dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Ini menjadi
penting karena dalam Pendidikan Agama ada materi atau paling tidak kasus-kasus
13Istilah ini dikenalkan pertamakali oleh Abu Ishak atau Imam Shatibi yang menjadi
rujukan para pakar ketika berbicara maqa>s}id al-shari>‘ah, sebagai ulama dari Andalus yang hidup pada abad 8 Hijriah/abad 14 Masehi. Beliau menjelaskan secara rinci tentang maqa>s}id al-shari>‘ah dalam kitabnya Al-Muwa>faqa>t. Makalah Arwani Shaerazi: Para Pionir Kajian maqa>s}id al-shari>‘ah disampaikan pada forum Diskusi Digital Fahmina Institute Cirebon. Baca juga Abu Ishak Ibrahim bin Mu<sa, Ál-muwaffaqat, (Kairo, Da>r al-Fikr,790 H), 2-4{
14Maqa>s}id al-shari>‘ah, tujuan utama syariah. Baca pula Abd. Fatah Wibisono dkk, Islam Rahmatan li al-‘Alami>n (Jakarta, Direktorat PAIS Kementerian Agama,2010), 68-126. Baca juga Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Mu<sa atau yang lebih dikenal dengan Imam Al-Shat}ibi< maqa<s}id al-shari<at} } Zuj 1, (Kairo, Da<r Al-Fikr, 790 H), 3-5
75
aktual tentang konsep jihad yang oleh sebagian pihak memiliki pemahaman
berbeda dalam aplikasi di kehidupan. Dan hal tersebut perlu dijelaskan secara
komprehensif kepada siswa oleh guru.
Menurut penulis Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi yang
berisi SK dan KD seluruh mata pelajaran termasuk mata pelajaran PAI, memiliki
tujuan filosofis untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional. Standar Isi PAI
semestinya menjabarkan dari maqa>s}id al-shari>‘ah ini. Sebagai contoh –
penulis hanya mencontohkan SK-KD PAI untuk jenjang SMP, pada SK no 2:
Meningkatkan keimanan kepada Allah SWT melalui pemahaman sifat-sifat-Nya.
SK ini diajarkan pada kelas VII semester I termasuk pada tema Aqidah. SK yang
memiliki empat KD15 yaitu: Pertama, membaca ayat-ayat Al-Quran yang
berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Kedua, menyebutkan arti ayat-ayat Al-Quran
yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah SWT. Ketiga, menunjukkan tanda-tanda
adanya Allah SWT dan Keempat, menampilkan perilaku sebagai cermin
keyakinan akan sifat-sifat Allah SWT.
SK-KD tersebut memiliki nilai h}ifz} al-Di>n, karena berhubungan
dengan memperkuat aqidah siswa. Penulis menyederhanakan pengertian h}ifz} al-
di>n adalah menjaga agama dalam arti memahami pokok-pokok ajaran agama
sehingga si penganut agama tersebut tidak akan terjebak dengan ajaran agama
lain, namun tetap menghormati kepercayaan lain. SK – KD ini memiliki tujuan
kompetensi yang harus di capai atau dikuasai oleh siswa adalah sebagai berikut:
siswa bisa mengetahui dan membaca ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat
Allah sekaligus menyebut artinya, siswa juga bisa menunjukkan bukti adanya
Allah. Dan bisa menampilkan perilaku seorang Muslim yang mencerminkan
keimanan kepada Allah seperti memiliki keteguhan iman, memiliki sikap yang
peduli terhadap lingkungan, tetangga dan berbagai perilaku terpuji lainnya.
15Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, khusus Mata pelajaran PAI untuk
SMP.
76
Seorang guru PAI harus mengajarkan persoalan aqidah tersebut dalam
kerangka menjaga agama/aqidah siswa. Dengan tetap memberikan ruang toleransi
terhadap kepercayaan lain. Tidak mengembangkan faham yang salah dalam
mengajarkan doktrin agama. SK-KD ini bersifat doktrinal, namun tetap harus
disampaikan secara benar dan tepat, maksudnya bahwa aqidah Islam harus diakui
sebagai basis ideologi keagamaan bagi umat Islam, namun tetap memberikan
ruang dialog dengan siswa tentang persoalan yang krusial seperti makna jihad,
konsepsi ketuhanan dan lainnya. Sebab materi aqidah ini menjadi dasar bagi siswa
dalam menjalankan keimanannya. Keempat KD dari SK no. 2 di atas dalam
pembelajarannya harus memperkuat h}ifz} al-di>n. Dan menanamkan perilaku
keteguhan iman dan perilaku terpuji lainnya adalah menjadi bagian dari menjaga
agama siswa.
Contoh lain pada SK 9 kelas IX tentang Memahami ajaran Hadits tentang
Kebersihan. Dengan tiga KD yang mengiringinya yaitu: Pertama, membaca al-
Hadits tentang kebersihan. Kedua, menyebutkan arti al-Hadits tentang kebersihan,
dan ketiga, menampilkan perilaku bersih seperti dalam Al-Hadits.
SK-KD ini memiliki karakteristik untuk menjaga h}ifz} al-bi>ah (menjaga
lingkungan hidup). Terkait dengan persoalan lingkungan, guru PAI tidak hanya
mengajarkan hadits tentang kebersihan lalu siswa diminta menghafal hadits
tersebut, namun KD-KD yang ada dalam SK tentang memahami ajaran hadits
tentang kebersihan ini diarahkan kepada kesadaran lingkungan. Guru bisa
meminta siswa untuk mencari problem lingkungan yang terjadi lalu dihubungkan
dengan ajaran hadits tersebut.
Siswa bisa memotret problem bencana banjir, problem penanganan
sampah, membandingkan kebersihan di pasar tradisional dengan supermarket dan
problem-problem lainnya. Kemudian mereka menemukan akar masalah yang
terjadi dan menemukan makna dari problem-problem tersebut. Ajaran Islam apa
yang sebenarnya ditinggalkan oleh manusia sehingga terjadi bencana. Model
pembelajaran ini adalah model pembelajaran masalah, dimana siswa menemukan
77
masalah atau kasus yang kemudian dihubungkan dengan SK-KD yang akan
dicapai dalam pembelajaran. Jika dilakukan dengan cara ini, penanaman nilai
tentang kesadaran lingkungan atau h}ifz} al-bi>ah bisa tertanam pada diri siswa.
Selain itu dengan cara ini (problem based learning) siswa diajarkan bagaimana
mereka melakukan komuniksai atau berhubungan dengan alam (habl min al-
‘Alam)
Dalam setiap SK dan KD memiliki kata kerja operasional yang jelas,
seperti membaca hadits, menyebutkan arti hadits atau menampilkan perilaku yang
sesuai dengan hadits. Kata kerja operasional ini sebagai ukuran untuk pencapaian
kompetensi. Namun demikian, setiap SK dan KD memiliki karakteristik yang bisa
dihubungkan dengan maqa>s}id al-shari>‘ah. Disinilah peran Guru PAI
memahami Setiap SK dan KD untuk menghubungkannya dengan maqa>s}id al-
shari>‘ah. Sehingga pembelajaran PAI benar-benar sebuah pembelajaran yang
memberikan dampak perubahan karena adanya penanaman nilai melalui
pemahaman terhadap maqa>s}id al-shari>‘ah ini.
Pendidikan Agama Islam memiliki basis tanggungjawab untuk
menanamkan nilai. Penanaman nilai ini menjadi penting dalam kerangkan
memberikan ruh kepada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam sebagai bagian
untuk menjawab Permendikan No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Permendiknas No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kelulusan dan Undang-Undang
Sisdiknas No 20 tahun 2003. Penanaman nilai tersebut dilakukan selama proses
pembelajaran di kelas dan di luar kelas oleh guru yang bersangkutan.
Selain karakter pembelajaran yang berbasis maqa>s}id al-shari>‘ah
pembelajaran PAI juga harus melihat tujuan pembelajaran PAI yaitu menciptakan
manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. Secara aplikasi
pembelajaran PAI memberikan tuntunan bagaimana melakukan hubungan dengan
Allah (habl min Alla>h), bagaimana melakukan hubungan dengan manusia (habl
min al-Na>s) dan bagaimana melakukan hubungan dengan alam sekitar (habl min
78
al-‘A<lam).16 Kualitas hubungan dengan tiga unsur ini menjadi ukuran
keberhasilan Pendidikan Agama Islam.
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa Pendidikan Agama Islam secara
obyektif memiliki tanggungjawab moral untuk menanamkan nilai atau akhlak
karimah. Pendidikan Agama Islam menanamkan dua hal berkaitan dengan
kehidupan manusia yaitu ”Iman dan Amal”.17 Menurut Zainuddin, agama terbagi
menjadi dua: simbolik dan obyektif. Secara obyektif, agama memiliki peranan
untuk membangun akhlakul karimah, yakni kontekstualisasi sikap dan perilaku
kita pada tataran sosial dengan menyandarkan perilaku tersebut pada ajaran
agama. Agama subyektif dan obyektif sama halnya dengan konsep iman dan
amal. Iman bersifat personal tetapi amal merupakan aplikasi iman dalam
kehidupan sosial. Iman menjadi landasan perilaku baik dalam konteks hubungan
vertikal (habl min Alla>h) maupun hubungan horizontal (habl min al-Na>s wa
habl min al-‘A<lam). Sementara yang dimaksud dengan agama simbolik adalah
agama nisbi yang hadir karena tuntutan dari agama subyektif dan obyektif.
Zainuddin mengibaratkan jika agama subyektif dan obyektif adalah ruh dan jiwa,
maka agama simbolik adalah raganya. 18
Dari kerangka pemikiran hubungan vertikal (habl min Alla>h) maupun
hubungan horisontal (habl min al-Na>s wa habl min al-‘A<lam) ini Pendidikan
Agama Islam memiliki peran besar memperkuat maqa>s}id al-shari>‘ah dan
penanaman nilai akhlakul karimah.19 Artinya SK-KD pelajaran PAI diarahkan
tidak hanya untuk mencapai kompetensi yang diharuskan. Namun lebih jauh lagi
16Baca juga Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 4-5
17M. Zainuddin MA, Kesalehan Normatif dan Kesalehan Sosial, (Jakarta: UIN Press, 2007), 60
18M. Zainuddin MA, Kesalehan Normatif dan Kesalehan Sosial, 61. 19Rumusan hasil keputusan seminar pendidikan Islam se Indonesia tanggal 07 sampai
dengan 11 Mei 1960 di Cipayung, Bogor. “Tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan takwa dan akhlak serta menegakan kebenaran dalam rangka membentuk manusia berpribadi dan berbudi luhur menurut ajaran Islam.” Lihat juga Tujuan Pendidikan Nasional dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003
79
kompetensi tersebut harus juga “meninggalkan jejak” perbaikan akhlak siswa.
Dengan memperhatikan hubungan sosial - vertical dan horizontal menyangkut
bagaimana membangun akhlak siswa dengan sesama manusia dan lingkungan,
hubungan dengan Allah melalui SK-KD yang ada dalam pelajaran PAI.
Sebagai contoh SK-KD Kls VIII Semester I no 4 tentang: Menghindari
perilaku tercela dengan KD-KD yang meliputi: Pertama, menjelaskan pengertian
ana>niyah, ghad}ab, h}asad, ghi>bah, dan nami>mah. Kedua, menyebutkan
contoh-contoh perilaku ana>niyah, ghad}ab, h}asad, ghi>bah, dan nami>mah.
Ketiga, menghindari perilaku ana>niyah, ghad}ab, h}asad, ghi>bah, dan
nami>mah dalam kehidupan sehari-hari.
SK-KD ini jelas mendasarkan kepada guru dan siswa bagaimana
membangun sebuah komunikasi dengan sesama (habl min al-Na>s) yang baik.
Inilah yang dimaksud PAI harus “meninggalkan jejak” perbaikan akhlak kepada
siswa. Sebenarnya setiap aspek dalam PAI memiliki kaitan erat dengan
maqa>s}id al-shari>‘ah dan tiga model hubungan manusia dengan Allah,
manusia dan alam. Yang terpenting adalah bagaiman guru PAI bisa mengambil
simpul dan memotivasi siswa agar mereka memahami dan menerapkan jejak yang
telah dibuat bersama tersebut.
Istilah “meninggalkan jejak” dimaksudkan sebagai penanaman nilai
akhlak yang memang harus dibangun bersama antara guru dan siswa. Hal inilah
yang mendorong guru harus mampu membangun dan mendorong siswa untuk
terlibat dalam proses “pembangunan jejak” tersebut. Bentuk dorongan tersebut
adalah memberikan motivasi sesuai dengan kondisi siswa dan fase pembelajaran
yang dilakukan selama proses pembelajaran di kelas.
Senada dengan pendapat di atas (“meninggalkan jejak”), Pusat Kurikulum
merumuskan fungsi Pendidikan Agama Islam:20 (1) Penanaman nilai ajaran Islam
20Pusat Kurikulum Depdiknas, Standar Kompentensi Mata Pelajaran Agama Islam
Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyyah (Jakarta. Depdiknas 2004), 35.
80
sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; (2)
Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia
peserta didik seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam
lingkungan keluarga; (3) Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan
fisik dan sosial melalui pendidikan agama Islam; (4) Perbaikan kesalahan-
kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengamalan
ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari; (5) Pencegahan peserta didik
dari hal-hal negatif budaya asing yang akan dihadapinya sehari-hari; (6)
Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan
non nyata), sistem dan fungsionalnya; (7) Penyaluran siswa untuk mendalami
pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
Fungsi-fungsi tersebut mendapatkan tempat pada SK dan KD yang
kemudian diimplementasikan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas dan
pendidikan di luar kelas. Guru PAI memiliki peran besar untuk menanamkan dan
memfungsikan Pendidikan Agama Islam seperti yang digariskan atau diinginkan
oleh Permendiknas No 20 tahun 2006. Fungsi-fungsi yang ditekankan oleh Pusat
Kurikulum tersebut menjadi bagian penting yang perlu diselaraskan dengan
maqa>s}id al-shari>‘ah.
D. Beberapa Metode Pembelajaran PAI yang digunakan selama ini
Beberapa teori pembelajaran yang telah dikembangkan para pakar,
diantaranya adalah model koneksionisme yang dikembangkan Ivan Pavlov, model
Behaviorisme Watson, konstruktivis model Skiner.21 Teori-teori pembelajaran
tersebut memiliki karakter dan fokus yang berbeda dalam memodifikasi perilaku
siswa.
21Winfred. F. Hill, Theories Of Learning:Teori-teori Pembelajaran, Penerjemah:
M.Khozim (Jakarta: Nusa Media, 2009), 35-112.
81
Dalam pembelajaran, seorang guru harus memahami apa yang dimaksud
dengan pendekatan pembelajaran, metode pembelajaran, strategi pembelajaran,
model pembelajaran dan teknik pembelajaran. Pendekatan pembelajaran
sebagaimana dijelaskan oleh Abim Syamsudin dalam bukunya Psikologi
Pendidikan, merupakan titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses
pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang
sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan,
dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari
pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan
pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered
approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada
guru (teacher centered approach).22
Berbeda dengan Abim Syamsudin, Abuddin Nata menjelaskan bahwa
pendekatan pendidikan dilihat dari kepentingan pendidikan itu sendiri. Abuddin
menjelaskan pendekatan ditentukan atas kepentingan individu dan kepentingan
masyarakat, serta kepentingan yang menggabungkan kepentingan individu dan
masyarakat. Kepentingan-kepentingan inilah yang kemudian melahirkan
pendekatan-pendekatan dalam pendidikan. Seperti pendekatan individualistik,
pendekatan kelompok, pendekatan campuran dan pendekatan edukatif.23
Pendekatan dalam pembelajaran sendiri merupakan bagian proses yang
harus dirancang dan dianalisis oleh seorang guru sebelum melakukan
pembelajaran. Sebab menurut penulis bisa jadi dalam satu kegiatan belajar
mengajar bisa dilakukan lebih dari satu pendekatan pembelajaran. Hal ini
berkaitan dengan situasi, materi yang harus dikuasai siswa dan berbagai hal
pendukung yang melingkupi proses pembelajaran itu sendiri.
22Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Pendidikan (Bandung: Rosda Karya Remaja,
2003), 54. 23Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran (Jakarta: Kencana, 2009),
147-161.
82
Sedangkan metode pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk
mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata
dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Tayar Yusuf
sebagaimana dikutip Abuddin Nata menyatakan bahwa metode adalah cara atau
langkah-langkah yang digunakan dalam menyampaikan sesuatu gagasan atau
pemikiran atau wawasan yang disusun secara sistematis dan terencana serta
didasarkan atas teori, konsep, dan prinsip tertentu.24 Beberapa metode
pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi
pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4) simulasi;
(5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7) brainstorming; (8) debat, (9)
simposium, dan sebagainya.25 Sementara menurut Basyiruddin Usman, metode
mengajar adalah alat yang merupakan perangkat atau bagian dari suatu strategi
pengajaran. Menurutnya, antara strategi dan metode pembelajaran lebih luas
cakupan strategi pembelajaran.26
Strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus
dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif
dan efisien.27 Dalam strategi pembelajaran menurut R David, sebagaimana dikutip
Wina Senjaya terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada
dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan
diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran. Secara leksikal, strategi mepunyai
arti rencana atau kebijakan yang dirancang untuk mencapai suatu tujuan.
Ditinjau dari aspek strategi, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam
dua bagian pula, yaitu: (1) exposition-discovery learning dan (2) group-individual
learning. Dari aspek cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi
24Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, 176. 25Wina Senjaya, Strategi Pembelajaran;Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group,2008), 35. 26Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), 22. 27Wina Senjaya, Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan, 40.
83
pembelajaran dapat dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan strategi
pembelajaran deduktif. Sementara menurut Basyiruddin Usman strategi belajar
menunjukkan pada karakteristik antara perbuatan-perbuatan guru-siswa dalam
peristiwa belajar aktual tertentu.28
Sedangkan yang dimaksud teknik pembelajaran adalah cara yang
dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik.
Misalkan, penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah siswa yang
relatif banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan
berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya
terbatas.29
Menurut Akhmad Sudrajat dalam artikelnya30 model pembelajaran pada
dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir
yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran
merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan
teknik pembelajaran. Model menggambarkan tingkat terluas dari praktek
pendidikan dan berisikan orientasi filosofi pembelajaran. Model digunakan untuk
menyeleksi dan menyusun strategi pengajaran, metode, keterampilan, dan
aktivitas siswa untuk memberikan tekanan pada salah satu bagian pembelajaran
(topik konten).
Di bawah ini merupakan visualisasi model pembelajaran yang
diejawantahkan dalam bentuk pendekatan pembelajaran, metode dan teknik
pembelajaran di kelas: 31
28Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), 22. 29Udin S.Winataputra, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas
Terbuka 2003), 45. 30Ahmad Sudrajat, ”Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik dan Model
Pembelajaran”, dari www.akhamdsudrajat.blog (diakses tanggal 2 Januari 2010). 31Kiranawati, “Prinsip-prinsip kegiatan belajar mengajar: Panduan pembelajaran efektif”
(makalah), Januari 2008.
Gambar 3: Visualisasi model pembelajaran
Sumber : Kiranawati, ”Prinsip-prinsip kegiatan belajar mengajar”, Januari
2008
Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah
payung besar yang melingkup strategi pembelajaran, metode pembelajaran dan
keterampilan mengajar. Strategi pembelajaran di dalamnya ada unsur metode
pembelajaran dan keterampilan pembelajaran. Metode pembelajaran di dalamnya
mengandung kemampuan dalam hal keterampilan pembelajaran. Model
pembelajaran, strategi pembelajaran, metode pembelajaran dan keterampilan
pembelajaran masing-masing memiliki unsur yang cukup erat. Dalam
pelaksanaannya, satu model pembelajaran bisa menggunakan satu atau lebih
strategi pembelajaran. Satu strategi pembelajaran bisa menggunakan lebih dari
satu metode pembelajaran. Dari metode pembelajaran yang digunakan harus bisa
menggunakan keterampilan pembelajaran.
Sebenarnya sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Bruce Joyce dan
Marsha Weil32 sebagaimana dikutip oleh Dedi Supriawan dan A. Benyamin
32Marsha Weil, Bruce Joyce, Bridget Kluwin, Personal Models of Teaching; (Englewood:
Printece Hill, 1978),11.
84
85
Surasega, mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: (1)
model interaksi sosial; model ini menitik beratkan hubungan yang harmonis
antara individu dan masyarakat (learnig to life to gether)33 (2) model pengolahan
informasi; yang dimulai dari proses penyandian informasi (encoding), diikuti
dengan penyimpanan informas (storage), dan diakhiri dengan mengungkapkan
kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan (retrival),34 (3)
model personal-humanistik.35 dan (4) model modifikasi tingkah laku, yaitu
mengembangkan sistem yang efisien untuk mengurutkan tugas-tugas belajar dan
membentuk tingkah laku, dengan cara memanipulasi penguatan baik berupa
hadiah atau hukuman.36 Kendati demikian, seringkali penggunaan istilah model
pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi pembelajaran.
a. Metode-metode Pembelajaran
Metode digunakan oleh guru untuk mengkreasi lingkungan belajar dan
menkhususkan aktivitas di mana guru dan siswa terlibat selama proses
pembelajaran berlangsung. Biasanya metode digunakan melalui salah satu
strategi, tetapi juga tidak tertutup kemungkinan beberapa metode berada dalam
strategi yang bervariasi, artinya penetapan metode dapat divariasikan melalui
strategi yang berbeda tergantung pada tujuan yang akan dicapai dan konten proses
yang akan dilakukan dalam kegiatan pembelajaran.
33Rusdi Susilana, “Model-Model Pembelajaran Berdasarkan Teori Belajar, Fak. Ilmu
Pendidikan UPI Bandung”, makalah kuliah dalam bentuk power point, 2009. 34Terkait dengan model personal-humanistik, Asri Budiningsih dalam bukunya Belajar dan
Pembelajaran menjelaskan pengalaman emosional dan karakteristik khusus individu dalam belajar perlu mendapat perhatian guru dalam merancang pembelajaran. Karena seseorang akan dapat belajar dengan baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya dan dapat membuat pilihan secara bebas ke arah mana dia akan berkembang. Lihat Asri Budiningsing, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta, Rineka Cipta, 2005), 93
35Asri Budiningsing, Belajar dan Pembelajaran, 76. 36Rusdi Susilana, “Model-Model Pembelajaran Berdasarkan Teori Belajar, Fak. Ilmu
Pendidikan UPI Bandung”, makalah kuliah dalam bentuk power point, 2009.
86
Sebagai contoh metode ceramah bisa digabung dengan metode diskusi
dengan strategi pembelajaran interaktif atau eksperimen. Sebagai ilustrasi ketika
akan menerangkan tentang SK-KD T{aharah, guru bisa menggunakan metode
ceramah di awal kegiatan dan meneruskannya dengan metode inkuiri untuk
menemukan problem kesalahan yang terjadi ketika wudlu dengan meminta anak
mempraktekkan wudlu. Teknik yang digunakan bisa menggunakan teknik
demonstrasi atau pemodelan.
b. Keterampilan-keterampilan pembelajaran
Keterampilan merupakan perilaku pembelajaran yang sangat spesifik. Di
dalamnya terdapat teknik-teknik pembelajaran seperti teknik bertanya, diskusi,
pembelajaran langsung, teknik menjelaskan dan mendemonstrasikan. Dalam
keterampilan-keterampilan pembelajaran ini juga mencakup kegiatan perencanaan
yang dikembangkan guru, struktur dan fokus pembelajaran, serta pengelolaan
pembelajaran.
Strategi Pembelajaran dikelompokkan menjadi strategi langsung (direct)
yaitu pembelajaran dimana guru banyak menjelaskan konsep dengan
menggunakan metode ceramah, strategi tidak langsung (indirect) yaitu
pembelajaran yang menekankan pada rangsangan rasa ingin tahu siswa atau
inquiri, strategi interaktif (interactive) yaitu pelibatan siswa dalam proses
pembelajaran dominan, strategi melalui pengalaman (experiential), dan strategi
mandiri (independent).
Gambar 4 : Strategi Pembelajaran
Sumber : Kiranawati, ”Prinsip-prinsip kegiatan belajar mengajar”, Januari 2008
1. Strategi Pembelajaran Langsung (direct instruction)
Strategi pembelajaran langsung merupakan strategi yang kadar berpusat
pada gurunya paling tinggi, dan paling sering digunakan. Pada strategi ini
termasuk di dalamnya metode-metode ceramah, pertanyaan didaktik, pengajaran
eksplisit, praktek dan latihan, serta demonstrasi. Strategi pembelajaran langsung
ini efektif digunakan untuk memperluas informasi atau mengembangkan
keterampilan langkah demi langkah.
2. Strategi Pembelajaran Tidak Langsung (indirect instruction)
Pembelajaran tidak langsung memperlihatkan bentuk keterlibatan tinggi
siswa dalam melakukan observasi, penyelidikan, penggambaran inferensi
berdasarkan data, atau pembentukan hipotesis. Dalam pembelajaran tidak
langsung, peran guru beralih dari penceramah menjadi fasilitator, pendukung, dan
sumber personal (resource person). Guru merancang lingkungan belajar,
memberikan kesempatan siswa untuk terlibat, dan jika memungkinkan
memberikan umpan balik kepada siswa ketika mereka melakukan inkuiri. Strategi
87
88
pembelajaran tidak langsung mensyaratkan digunakannya bahan-bahan cetak,
non-cetak, dan sumber-sumber manusia.
3. Strategi Pembelajaran Interaktif (interactive instruction)
Strategi pembelajaran interaktif merujuk kepada bentuk diskusi dan saling
berbagi diantara peserta didik. Seaman dan Fellenz mengemukakan bahwa
diskusi dan saling berbagi akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
memberikan reaksi terhadap gagasan, pengalaman, pandangan, dan pengetahuan
guru atau kelompok, serta mencoba mencari alternatif dalam berpikir. Strategi
pembelajaran interaktif dikembangkan dalam rentang pengelompokkan dan
metode-metode interaktif. Di dalamnya terdapat bentuk-bentuk diskusi kelas,
diskusi kelompok kecil atau pengerjaan tugas berkelompok, dan kerjasama siswa
secara berpasangan.
4. Strategi Belajar Melalui Pengalaman (experiential learning)
Strategi belajar melalui pengalaman menggunakan bentuk tahapan
induktif, berpusat pada siswa, dan berorientasi pada aktivitas. Penekanan dalam
strategi belajar melalui pengalaman adalah pada proses belajar, dan bukan hasil
belajar. Guru dapat menggunakan strategi ini baik di dalam kelas maupun di luar
kelas. Sebagai contoh, di dalam kelas dapat digunakan metode simulasi,
sedangkan di luar kelas dapat dikembangkan metode observasi untuk memperoleh
gambaran pendapat umum.
5. Strategi Belajar Mandiri (independent study)
Strategi belajar mandiri merujuk kepada penggunaan metode-metode
pembelajaran yang tujuannya adalah mempercepat pengembangan inisiatif
individu siswa, percaya diri, dan perbaikan diri. Fokus strategi belajar mandiri ini
adalah merencanakan belajar mandiri siswa di bawah bimbingan atau supervisi
guru. Belajar mandiri menuntut siswa untuk bertanggungjawab dalam
merencanakan dan menentukan kecepatan belajarnya.
89
Melihat teori-teori dan pendapat dari berbagai pakar di atas, pembelajaran
Pendidikan Agama Islam yang dilaksanakan di kelas sedikit banyaknya mencoba
mengadopsi pendapat-pendapat di atas. Basyiruddin Usman menyebut metode
pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran PAI menggunakan metode
konvensional seperti : metode ceramah, diskusi, tanya jawab, demonstrasi dan
eksperimen, resitasi, kerja kelompok, sosio-drama, karyawisata, drill dan lain
sebagainya.37
Namun demikian dalam sebuah proses pembelajaran, bisa dilakukan
secara berbarengan, model, strategi, dan metode pembelajaran yang berubah-
rubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa. Hal ini melihat pekembangan
yang terjadi di kelas, baik dari sisi ketersediaan bahan dan media pembelajaran
atau faktor psikologis lainnya. Contoh ketika seorang guru menghadapi di
kelasnya tidak memiliki peralatan langsung maka dia bisa menggunakan system
pembelajaran langsung dengan mengkolaborasikan metode ceramah, demonstrasi
dan pertanyaan kuis kepada siswa.
Menurut Abuddin Nata,38 pembelajaran Pendidikan Agama Islam dapat
dilakukan dengan model-model antara lain: Pertama, Model pendekatan cara
belajar siswa aktif (CBSA) dan keterampilan proses yaitu model pelibatan
pembelajaran siswa secara fisik, intelektual dan emosional dengan
mengembangkan keterampilan : untuk mengetahui (to know), mengerjakan (to
do), menginternalisasikan ke dalam diri (to be), dan menggunakannya dalam
kegiatan di masyarakat (to live together). Secara konsep, CBSA sangatlah bagus
karena memadukan semua aspek yang dibutuhkan seorang anak bagaimana
mereka memperoleh pengetahuan, bagaimana mereka mempraktekkan
pengetahuan tersebut dan bagaimana mereka mengaplikasikannhya di kehidupan.
Sayangnya konsep tersebut tidak mendapat moment yang tepat untuk
mendapatkan keberlangsungan baik secara konsep atau kebijakan. Yang terjadi
37Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, 31-59. 38Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, 217-279.
90
adalah perubahan konsep atau merupakan replikasi atau perubahan bentuk dan
nama dari CBSA menjadi PAKEM atau contekstual teaching and learning (CTL).
Karena secara substansi PAKEM dan CTL sama dengan model pembelajaran
CBSA.
Kedua, Model Pembelajaran Quantum Teaching (QT) yaitu model
pendekatan pengajaran untuk membimbing peserta didik agar mau belajar.
Dengan berprinsip pada “bawalah dunia mereka ke dunia kita dan antarkan dunia
kita ke dunia mereka”. Pada prakteknya, hingga saat ini model QT belum banyak
dilaksanakan karena belum banyak dipahami oleh para guru PAI. Secara konsep
model QT memadukan kecerdasan-kecerdasan yang dimiliki anak seperti yang
disarankan oleh Gardner dengan multiple intelegance-nya.39
Ketiga, Model Problem Based Learning (PBL) yaitu model pembelajaran
yang berpusat pada peserta didik dengan cara menghadapkannya dengan berbagai
masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Model PBL ini menurut
penulis sangat bisa dilakukan dalam pembelajaran PAI dan sangat mungkin
menggabungkannya dengan memberikan motivasi yang harus ditanamkan oleh
guru PAI kepada siswa. Sebab materi PAI yang didasarkan atas SK-KD memiliki
basis keterkaitan dengan problem kehidupan sehari-hari siswa.
Keempat, Model Pembelajaran Kooperatif dan interactive learning yaitu
model pembelajaran yang terjadi sebagai akibat dari adanya pembelajaran yang
bersifat kelompok. Guru dalam model pembelajaran ini adalah sebagai fasilitator,
pendorong, penggerak dan pembimbing agar pembelajaran mengarah kepada
terciptanya masyarakat belajar (learning society).
39Multiple Intelegence menurut Howard Gardner, sebagimana dikutip oleh Anna Yulia,
menjelaskan delapan kecerdasan yang dimiliki anak yaitu kecerdasan Linguistik: Word Smart, kecerdasan Logis- Matematis: Number Smart, kecerdasan Spasial: Picture Smart, kecerdasan Kinestetik-Jasmani: Body Smart, kecerdasan Musikal: Music Smart, kecerdasan Antar Pribadi: People Smart, kecerdasan Intra Pribadi: Self Smart, kecerdasan Naturalis: Nature Smart. Lihat Anna Yulia, Working Mom & Kids (Jakarta, Elex Media Komputindo, 2007), 58-59.
91
Pendapat Abuddin ini bukan barang baru dalam teori pembelajaran, atau
bahkan menjadi bagian dari teori-teori pembelajaran yang dikembangkan selama
ini. Secara natural pembelajaran PAI dalam arti klasik adalah model sorogan dan
wetonan yang dikembangkan di dunia pesantren. Namun demikian, kontribusi
Abuddin dalam hal ini memberikan sumbangsih cukup berarti dalam Pendidian
Agama Islam. Apa yang disampaikan Abuddin menurut penulis bisa dijadikan
model pengembangan dalam model pembelajaran yang selama ini digunakan oleh
guru PAI.
Sementara model-model pembelajaran menurut Taufiq Ahmad Mar’i dan
Muhammad Mahmud Alhilliyah adalah sebagai berikut : مج لمبر ا لتعليم ا (al-ta‘
li>m al-mubarmaj / Program instruction), ب سو لحا ا م ا تخدس با لتعليم ا (Al-ta‘li>m
biistikhda>m al- h}a>su>b / Computer Assisted Instruction) سة ر لمما ا و ين لتمر ا
(Al-tamri>n wa al-muma>rasah / Drill and Practics) لبحتة ا لتعليمية ا مج ا لبر ا (Al-
bara>mij al-ta‘li>miyah al-bah}tah / Tutorial Programs) للعب ا مج ا بر
(Bara>mij al-la‘ab/ Gaming Program) ة آا لمحا ا مج ا بر (Bara>mij al-
muh}a>ka>h / Simulation Programs), ت لمشكلا ا حل مج ا بر (Bara>mij h}ill al-
mushkila>t / Problem solving Programs), ا لفيضيو ا
عل لمتفا (Al-fi>diyu> al-mutafa>‘il / Interactive Video), ا ف ا شر لاء ا م نظا
ف صو لمو ا التعليم ,(Niz}a>m al-ishra>f al-sam‘i> / Audio Tutorial System) لسمعى
د للفر (Al-ta‘li>m al-maus}u>f lilfard / Individually Prescribed Instruction), نظا
لشخصى ا لتعليم ا م (Niz}a>m al-ta‘li>m al-shakhshi> / Personal System of
Interaction), لتعليميه ا لب لحقا ا (Al-haqa>lib al-ta‘li>mi>yah / Instructional
Package), لتعليميه ا ت لمجميا ا (Al-mujammi‘ya>t al-ta‘li>mi>yah / Modular
Instruction).40
Penulis sendiri melihat bahwa model dan strategi pembelajaran PAI harus
melihat beberapa hal antara lain: Pertama, keluasan dan kedalaman SK-KD PAI.
40Taufiq Ahmad Mar’i dan Muhammad Mahmud Alhilliyah, {T>{}ara>iq al-Tadri>s al-‘Ammah (Kairo: Dar al-Mu‘a>s}irah, 2005), 344.
92
Hal ini untuk memudahkan dalam menentukan metode pembelajaran yang tepat.
Dan terpenting adalah agar mudah memadukan model motivasi yang akan
diberikan dalam setiap metode tersebut. Sebagai contoh SK-KD tentang Aqidah:
mengenal Allah dengan mengetahui dan memahami sifat-sifat-Nya, maka metode
pembelajaran yang tepat menurut penulis adalah kolaboratif dari semua metode
pembelajaran. Karena mungkin saja pembelajaran interaktif dilakukan setelah
guru memberikan pemahaman tentang konsep dengan metode ceramah. Disini
ditemukan bahwa tidak mutlak satu metode atau satu strategi dilaksanakan untuk
satu SK-KD. Justru kolaboratif dari berbagai metode dan strategi dalam
pembelajaran harus dilakukan guru.
Kedua, model pembelajaran baik sisi metode dan strategi harus melihat
“jejak yang akan ditinggalkan/penanaman nilai” kepada siswa. Dengan
mendasarkan pada maqa>s}id al-shari>‘ah dan implementasinya dalam
kehidupan berupa bagaimana mereka mengimplementasikan dengan Allah (habl
min Alla>h), dengan manusia (habl min al-nnas) dan dengan alam (habl min al-
‘Alam).
Ketiga, pemerintah sendiri dalam hal ini Kementerian Pendidikan
Nasional telah mengharuskan proses pembelajaran harus menyenangkan dan
mengembangkan potensi-potensi peserta didik. Hal tersebut dijelaskan dalam
Peraturan Pemerintah No. 19 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Undang-
Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini
menjadikan proses pembelajaran yang dilakukan di kelas harus berorientasi
kepada siswa (student center).
E. Gap Analisys Pengajaran Pendidikan Agama Islam
Pada bab terdahulu telah dijelaskan bahwa “Negara” memiliki kepentingan
dalam pendidikan agama yang dituangkan dalam tujuan nasioanl pendidikan.
Kepentingan tersebut diejawantahkan dalam politik pendidikan melalui Undang-
93
undang dan atau peraturan pemerintah tentang pendidikan. Pada kasus ini
kepentingan tersebut memiliki korelasi dan siginifikansi dengan kepentinga
masyarakat banyak.
Kepentingan nasional pendidikan yang berhubungan dengan pendidikan
agama berbunyi.. ” ….Membentuk manusia yang beriman dan bertakwa
terhadap Tuhan yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur dan menghormati agama
lain dalam hubungan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan
Persatuan Nasional....”. 41 Rumusan ini menurut penelitian Interfidei Jogja bukan
didasarkan atas kepentingan siswa atau bukan berorientasi kepada siswa (student
center). Tetapi berorientasi kepada kepentingan nasional tadi.42
Kepentingan nasional yang dijabarkan Undang-Undang Sisdiknas No 20
tahun 2003 tersebut di break down dalam berbagai Peraturan Menteri Pendidikan
Nasioanl (Permendiknas). Seperti Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang
Standar Isi, Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses,
Permendiknas tentang Standar Kelulusan, Permendiknas tentang Standar Pendidik
dan Tenaga Kependidikan, Permendidknas tentang Standar Sarana dan Prasarana,
Standar Pembiayaan, Standar Pengelolaan dan Standar Penilaian. Menurut penulis
beberapa Peraturan Menteri Pendidikan Nasional seperti Standar Pengelolaan dan
Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, mencoba memberikan dorongan
kepada pengelola, praktisi pendidikan dan stake holder untuk lebih
mengoptimalkan potensi yang ada, termasuk pendidikan yang berorientasi kepada
siswa. Sebagai contoh system Managemen Berbasis Sekolah (MBS) yang
beberapa dekade terakhir dimunculkan adalah untuk menjawab sentralisasi
pendidikan yang dianggap sebagai bagian dari politik kepentingan nasional tadi.
Contoh lain adalah dikeluarkannya Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang
41Penjelasan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 39 42Interfidei, Ringkasan Laporan : “Penelitian Problematikan Pendidikan Agama:
Penelitian di sekolah-sekolah SD, SMP, SMA dan SMK di Jogja 2004-2006”, (Jogjakarta : Interfidei, 2006), 5.
94
Standar Proses menurut penulis adalah dalam kerangka memberikan ruang
kreativitas pengembangan siswa (student center).
Sejak tahun 2006 pemerintah gencar mensosialisasikan KTSP pada tingkat
satuan pendidikan atau sekolah. Konsep KTSP ini sebagai implementasi dari
model MBS. Bahkan untuk persoalan MBS ini, banyak lembaga donor luar negeri
ikut membantu peningkatan mutu pendidikan. Sebut saja AUSAID (Austrai
Agency for International Development), USAID (United State Agency for
International Development),, JICA (Japan International Cooperation Agency),
World Bank dan lembaga donor lainnya. Lembaga-lembaga tersebut melakukan
penguatan peningkatan mutu pendidikan Indonesia dengan memberikan bantuan
dalam berbagai bentuk,43 melalui program basic education : AIBEP (Australia
Indonesia Basic Education Program, AUSAID), DBE (Decentralisasi Basic
Education, USAID), JICA dengan project Madrasahnya, dan berbagai program
pendidikan lainnya yang diadakan oleh lembaga-lembaga tadi.
Namun diakui, pada prakteknya, masih ada problem atau gap (jurang
pemisah) antara apa yang diharapkan (das sein) dan kenyataan (das sollen).
Sebagai contoh, konsep pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) sebagai implementasi dari MBS (management berbasis sekolah) adalah
untuk meningkatkan manajemen pengelolaan sekolah yang melibatkan seluruh
stake holder. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Diah Harianti, Kepala Pusat
Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan, Depdiknas. Menurutnya ada
distorsi terhadap sosialisasi KTSP sebagai bagian dari implementasi MBS,
walaupun tidak besar.44
Diah Harianti memaparkan gap analisysnya terhadap pemahaman KTSP,
pemahaman Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang
termasuk pada kajian dokumen dan gap analisys yang berhubungan dengan kajian
43Bantuan tersebut bisa berupa loan, grant atau hibah. 44Diah Harianti, Naskah Akademik Kebijakan Kurikulum Pendidikan Agama, (Jakarta :
Depdiknas 2007), 14.
95
lapangan. Dari kajian lapangan yang dilakukan Diah, ditemukan gap tentang
pemahaman guru PAI mengenai KTSP, yaitu: 1) Pemahaman guru PAI terhadap
isi dari KTSP baik dokumen 1 dan 2 masih belum memadai. 2) Kemampuan guru
dalam melakukan analisis materi pembelajaran, pengembangan materi,
menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam Standar Isi dan kemampuan
mengintegrasikannya dengan mata pelajaran lain belum memuaskan. 3) Keterkaitan
antara visi, dan misi sekolah yang dituliskan dalam KTSP masih belum sinkron.
Sementara dari sisi pemahaman guru PAI yang berkaitan dengan
pemahaman Standar Kompetensi (SK) danKompetensi Dasar (KD) menurut Diah
adalah sebagai berikut: 1) Sebagian guru pendidikan agama belum memahami
metode pencapaian SK dan KD yang seharusnya dikembangkan di dalam silabus.
Bagi sekolah kategori baik, seharusnya materi standar yang terdapat di Standar Isi
dikembangkan lebih dalam dan luas sesuai dengan tingkat kemajuan sekolahnya.
2) Pemahaman guru dan tenaga kependidikan terhadap pengembangan kurikulum
termasuk tingkat gradasi materi atau keilmuannya belum memadai.45
Menariknya lagi Diah menemukan gap analisys terhadap proses
pembelajaran Pendidikan Agama di sekolah-sekolah. Penemuannya tersebut
menurutnya didasarkan atas kajian lapangan yang telah dilakukan berdasarkan
naskah silabus yang dikembangkan dan disusun oleh tingkat satuan pendidikan.
Berdasarkan kajian lapangan dan pengamatan guru-guru pendidikan agama
terhadap naskah silabus yang disusun satuan pendidikan, diperoleh informasi
antara lain sebagai berikut: 1) Isi silabus yang disusun guru belum
menggambarkan pengembangan materi atau kompetensi yang seharusnya menjadi
ciri dan potensi masing-masing sekolah, akan tetapi dikembangkan masih sebatas
pada standar isi tanpa ada pengembangannya, sehingga bagi sekolah yang
mutunya kategori baik (akreditasi A) muncul pandangan terjadinya pendangkalan
terhadap materi. 2) Pemahaman sebagian tenaga pendidik dalam menyusun dan
45Diah Harianti, Naskah Akademik Kebijakan Kurikulum Pendidikan Agama, 15.
96
merumuskan perencanaan pembelajaran perlu mendapat perhatian pembinaan
pemerintah setempat. Diperoleh informasi bahwa banyak guru yang belum
mengikuti sertifikasi atau belum memiliki kompetensi memadai. 3) Pengetahuan
dasar agama peserta didik sangat beragam. Diperoleh informasi, bahwa ada
sebagian peserta didik belum memiliki bekal agama yang memadai. 4) Minimnya
sarana dan prasarana pembelajaran pendidikan agama, misalnya alat peraga,
termasuk tempat ibadah, terutama pada Sekolah Dasar. 5) Sejak tahun 2006,
pemerintah pusat telah melakukan sosialisasi kurikulum tingkat satuan pendidikan
Namun minimnya sosialisasi tentang penerapan KTSP menyebabkan pemahaman
terhadap kurikulum menjadi kendala bagi guru untuk mengimplementasikannya.
6) Kurangnya perangkat administrasi, misalnya buku absen, dan buku daftar
nilai.46
Yang menarik dari kajian lapangan sebagai argumentasi dari Naskah
Akademik ini adalah pernyataan bahwa ada unsur psikologis, antropologis dan
sosilogis yang memungkinkan peserta didik mudah untuk memahami materi
pelajaran dan mengapresiasi potensinya. Dan ini diabaikan oleh guru. Menurut
penulis sendiri gap analisys yang ditemukan oleh Diah ini bisa menyebabkan
problem pengajaran PAI menjadi tidak maksimal. Hal lain yang mungkin timbul
adalah kemampuan guru untuk memotivasi siswa dalam proses pembelajaran pun
semakin kurang, karena kemampuan memahami kurikulum dengan segala
aspeknya terbatas. Bahwa persoalan motivasi belajar siswa berhubungan dengan
unsur psikologis siswa menjadikan guru PAI harus memahami konteks
pelaksanaan kurikulum yang sesuai dengan psikologis siswa. Hal inilah yang
menjadi tantangan bagi guru agama untuk meningkatkan kapasitas dan
kemampuannya dalam membangun motivasi belajar siswa ketika terjadi proses
pembelajaran PAI .
46Diah Harianti, Naskah Akademik Kebijakan Kurikulum Pendidikan Agama, 16.
97
Penulis sendiri setuju dengan problem yang dikemukakan oleh Diah
Harianti. Ada distorsi pemahaman dalam pengembangan Standar Isi oleh guru
agama. Dimana pengembangan Standar Isi ke dalam silabus masih belum
mengembangkan dan mengakomodir potensi sekolah dan konteks pembelajaran
yang sesuai dengan keadaan sekolah dan siswa. Menurut penulis, dalam hal
pengembangan Standar Isi ke dalam silabus perlu mencermati beberapa masukan
Muhaimin dari UIN Malang. Menurutnya ada ketidaksinkronan kelanjutan setiap
standar kompetensi dari semua jenjang. Muhaimin mencontohkan pada aspek Al-
Quran dan Hadits, pelajaran Al-Quran (termasuk didalamnya Tajwid) lebih
mendominasi dibanding Hadits. Di SD/MI dan SMA/MA sama sekali tidak
menyinggung pelajaran Hadits. Menurut Muhaimin hal ini menunjukkan adanya
ketidaksinkonan antara SKL dan SK/KD.47
Dalam makalahnya, Muhaimin menyoroti aspek Aqidah, Fiqih, Akhlak,
Tarikh dalam Standar Isi, termasuk kata kerja operasional yang digunakan dalam
SK dan KD). Menurut Muhaimin, rumusan kata kerja operasional KD
“menyebutkan” sulit dirinci indikatornya. Kata “menyebutkan” yang dijadikan
kata kerja operasional di KD tidak layak dijadikan kompetensi dasar pada jenjang
SMP/MTs dan SMA/MA. Karena menurutnya kata kerja tersebut pada tataran
kognitif yang paling rendah.48
Jika Diah menjelaskan gap atau jurang pemisahnya pada tataran aplikasi
dilapangan, Muhaimin memfokuskan analisisnya pada substansi dari
Permendiknas. Dari sini dapat ditarik sebuah benang merah bahwa pelaksanaan
pembelajaran PAI di lapangan sangat berpengaruh terhadap pemahaman substansi
terhadap peraturan yang berkenaan dengan pendidikan di sekolah yang
47Muhaimin, “Analisis Kritis Terhadap Permendiknas No. 23/2006 tentang SKL & No.
22/2006 tentang Standar Isi PAI di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA”, Makalah disampaikan pada Workshop Penilaian PAI pada Sekolah Depag, (Bogor, Depag, 2007), 15.
48Muhaimin, “Analisis Kritis Terhadap Permendiknas No. 23/2006 tentang SKL & No. 22/2006 tentang Standar Isi PAI di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA”, 16.
98
dikeluarkan pemerintah. Pemahaman ini membawa implikasi kepada pelaksanaan
peraturan tersebut di lapangan dalam hal ini di ruang-ruang kelas atau sekolah.
Penulis sendiri menyimpulkan masih banyak gap atau jurang pemisah
dalam proses pelaksanaan pembelajaran PAI di kelas, antara lain sebagai
berikut:49
Aspek pemahaman kurikulum : Standar Isi, masih banyak guru PAI yang
belum melakukan analisis terhadap Standar Isi yang dibreakdown menjadi silabus
dan RPP. Kebanyakan guru PAI melakukan copy paste terhadap silabus yang ada.
Analisis Standar Isi dimaksudkan untuk menentukan strategi pembelajaran,
metode, model pembelajaran, system penilaian yang tepat, alokasi waktu,
penyesuaian program semester dan tahunan, kegiatan pengayaan, remedial dan
ulangan atau semester. Apa yang dijelaskan oleh Muhaimin maupun Diah
Harianti betul-betul terjadi pada guru PAI. Kemampuan guru untuk melakukan
analisis Standar Isi dan diterjemahkan ke dalam silabus masih rendah.
Aspek pemahaman Standar Proses, Guru PAI belum banyak memahami
bagaimana implementasi Standar Proses yang mengharuskan pemikiran : apa
yang harus dilakukan oleh siswa dalam setiap proses pembelajaran. Guru PAI
belum memahami bagaimana implementasi kegiatan siswa pada setiap fase
eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi.
Aspek proses pembelajaran, guru PAI masih banyak yang menggunakan
metode ceramah sebagai satu-satunya metode yang digunakan dalam
pembelajaran. Belum banyak implementasi pembelajaran yang dilakukan Guru
PAI dengan mengkolaborasikan metode, model, media dan strategi pembelajaran
yang tepat bagi siswa. Pembelajaran juga belum mengembangkan atau
memperhatikan potensi yang dimiliki oleh siswa sesuai dengan taksonomi Bloom.
49Yang disebutkan di bawah ini hanya sebagain dari problem pembelajaran PAI yang bisa
diidentifikasi. Masih banyak problem pembelajaran PAI yang berpengaruh terhadap proses di kelas seperti, aspek system manajement sekolah, kelengkapan sarana prasarana, latar belakang siswa dan lainnya.
99
Aspek penggunaan ICT dan alat peraga, Sedikit dari Guru PAI yang
menggunakan ICT atau alat peraga sebagai media pembelajaran. Kebanyakan dari
Guru PAI masih menggunakan model ceramah, membaca dan menulis di papan
tulis dalam menyampaikan pembelajaran.
Aspek system penilaian, penilaian yang digunakan masih fokus pada
kognitif dengan model pilihan ganda, esai atau pertanyaan lisan. Jarang sekali
guru menggunakan penilaian berdasarkan tuntutan SK dan KD yang memiliki
karakter pada penguatan aspek afektif atau psikomotor. Bahkan untuk penilaian
psikomotor pun sering kali Guru PAI menggunakan model penilaian kognitif
dengan mengajukan berbagai pertanyaan tulis atau lisan. Hal ini bisa dilihat dari
perencanaan silabus atau di RPP nya.
Aspek perhatian terhadap motivasi siswa, guru PAI belum memberikan
perhatian yang serius terhadap aspek yang mendorong munculnya motivasi
belajar siswa. Kemampuan membangun motivasi belajar siswa pada setiap fase
pembelajaran perlu mendapat penguatan.
Aspek system komunikasi, Pengajaran sering kali dilakukan satu arah, tidak
dialogis. Guru PAI belum menjadi sahabat bagi siswa, masih memposisikan diri
sebagai orang yang wajib dihormati. Guru PAI juga belum memberikan apresiasi
baik verbal maupun non verbal dalam bentuk kontak fisik yang positif terhadap
siswa.
Aspek posisi dan waktu, dibanding mata pelajaran yang di UN, mata
pelajaran PAI dianggap hanya sebagai pelengkap saja. Bahkan pada jaman
Sukarno, PAI hanya jadi pelajaran pilihan. Dari sisi waktu, PAI hanya diberikan
dalam waktu 2 jam pertemuan dalam satu minggu. Dengan tingkat harapan
masyarakat yang tinggi terhadap mata pelajaran PAI, waktu tersebut menjadi
bagian dari hal yang harus disiasati oleh guru dalam penanaman nilai di luar jam
pelajaran.
100
Aspek harapan terhadap hasil belajar PAI, harapan masyarakat termasuk
orangtua siswa terhadap PAI cukup besar, terutama ketika berhubungan dengan
persoalan akhlak siswa. Guru PAI selalu menjadi aktor yang paling pertama dicari
ketika terjadi persoalan akhlak siswa. Padahal hal tersebut bukan hanya menjadi
tanggungjawab guru PAI.
Aspek fokus pengajaran, sistem pembelajaran PAI terkesan doktrinal,
padahal nilai-nilai Islam adalah universal yang memungkinkan peserta didik
berkembang secara bebas dan tidak terkait atau terkungkung dalam fanatisme
sempit dengan tetap memiliki pijakan aqidah yang kuat.
Aspek pengembangan diri guru, guru PAI jarang mendapatkan
kesempatan untuk mendapatkan pelatihan atau pengembangan kemampuan
professional dalam hal pembelajaran dibanding dengan mata pelajaran yang di
UN kan.
Aspek penanaman nilai, Pendidikan Agama Islam di sekolah sedikit sekali
menjadi bagian dari penanaman nilai terhadap anak didik. Padahal hal tersebut
menjadi tugas utama dari Pendidikan Agama Islam sebagai gerbang pembinaan
akhlak siswa.
Aspek sikap siswa, sikap siswa sendiri terhadap PAI berbeda dengan mata
pelajaran lain, khususnya yang di UN kan. Siswa lebih memberikan perhatian
terhadap mata pelajaran yang di UN kan dibanding terhadap mata pelajaran PAI.50
Dilihat dari paparan di atas, baik analisys yang dilakukan Diah Harianti
atau Muhaimin, tidak secara spesifik menjelaskan problem motivasi yang harus
dibangun oleh guru PAI dalam proses pembelajarannya. Mereka lebih
memperhatikan aspek-aspek pengelolaan kurikulum, proses pembelajaran dan
pemahaman terhadap SK dan KD.
50Pengalaman penulis mengajar di SMPN 280 Jakarta dan berbagai kegiatan pelatihan
Guru PAI.
101
Gap yang terjadi dalam proses pembelajaran PAI berhubungan dengan
motivasi belajar siswa adalah guru PAI belum mengetahui bagaimana mendorong,
melakukan upaya, menerapkan strategi, model, metode, media pembelajaran yang
bisa menumbuhkan minat belajar siswa. Bagaimana seorang guru PAI piawai
memunculkan motivasi belajar siswa.
BAB IV
PROSEDUR DAN LANGKAH PENERAPAN
MOTIVASI DAN LEARNING CYCLE DALAM PEMBELAJARAN
Motivasi yang diberikan oleh guru masih bersifat ekstrinsik atau faktor
yang mempengaruhi motivasi belajar siswa dari luar diri individu siswa. Motivasi
yang diberikan oleh guru tersebut sangat bergantung kepada kemampuan guru
untuk menyesuaikan materi pembelajar dengan strategi, metode, model, alat atau
media pembelajaran yang dilakukan.
Pengukuran motivasi belajar siswa, lebih didasarkan pada aspek eksternal
yang dibangun atau dimodifikasi oleh guru dengan berbagai stimulusnya.
Stimulus yang dimaksud adalah segala upaya baik secara administratif seperti
Silabus, RPP, LKS, penilaian maupun behavior seperti cara berkomunikasi
(verbal atau non verbal), alat peraga, praktek, based on experiences (berdasarkan
problem/pengalaman keseharian) yang dilakukan guru untuk mempengaruhi
perilaku belajar siswa.
Stimulus tersebut bisa sekaligus berupa respon seperti bentuk komunikasi
yang dilakukan oleh guru. Baik stimulus atau respon tersebut memberikan
pengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Hal ini didasarkan atas pendapat
Richard Kindsvatter1 yang berpendapat bahwa penggunaan feedback (umpan
balik) dengan penguatan verbal dan non verbal dan penggunaan pujian yang
efektif dapat memberikan pengaruh terhadap siswa.
Siswa akan terbangun motivasi belajarnya ketika apa yang dilakukan oleh
guru menarik. Dan hal tersebut masih sangat mungkin diusahakan oleh guru.
Berdasarkan penelitian lapangan sederhana yang dilakukan oleh penulis tentang
kemampuan guru meningkatkan motivasi belajar siswa ada korelasi positif bahwa
motivasi siswa meningkat ketika guru mampu menampilkan pembelajaran yang
1Richard Kindsvatter, Wilen dan Margaret Ishler, Dynamics Of Effective Teaching, (New York : Longman publishers, 1996), 53
102
aktif dengan strategi dan metode pembelajaran yang tepat, dan didukung oleh
media atau alat pembelajaran yang tepat.
Yang terakhir ini sangat menentukan ketertarikan siswa untuk mengikuti
proses pembelajaran. Pendapat dari Richard Kindsvatter inilah yang dijadikan
dasar pengukuran indikator faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi motivasi
belajar siswa. Faktor-faktor eksternal tersebut diejawantahkan dalam indikator
respon guru yang mempengaruhi motivasi belajar siswa di kelas.2
A. Model Pendekatan Motivasi dan Learning Cycle
Model pendekatan Motivasi dan Learning Cycle yang dimaksud adalah
upaya seorang guru untuk mengoptimalkan proses pembelajaran di kelas dengan
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar siswa.
Pengukuran motivasi belajar siswa, lebih didasarkan pada aspek eksternal yang
dibangun atau dimodifikasi oleh guru dengan berbagai stimulusnya. Stimulus
yang dimaksud adalah segala upaya baik secara administratif seperti Silabus, RPP,
LKS, penilaian maupun perilaku seperti cara berkomunikasi (verbal atau Non
verbal), alat peraga, praktek, based on experiences (berdasarkan
problem/pengalaman keseharian) yang dilakukan guru untuk mempengaruhi
perilaku belajar siswa.
Stimulus atau respon tersebut bisa merupakan feedback baik dalam bentuk
komunikasi verbal atau non verbal yang dilakukan oleh guru. Feedback yang
diberikan tersebut memberikan pengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Hal ini
didasarkan atas pendapat Richard Kindsvatter3 yang berpendapat bahwa
penggunaan feedback (umpan balik) dengan penguatan verbal dan Non verbal dan
penggunaan pujian yang efektif dapat memberikan pengaruh terhadap siswa.
2Lihat tabel 4 : Jenis Stimulus dan Respon Guru
3Richard Kindsvatter, William Wilen dan Margaret Ishler, Dynamics Of Effective Teaching, (New York : Longman, USA, 1996), 53.
103
Pemberian feedback terhadap siswa memberikan pengaruh terhadap
konsep diri siswa. Guru harus berhati-hati memberikan umpan balik untuk
perbaikan atau koreksi atas kekeliruan yang dilakukan siswa. Kekurangsesuaian
jenis umpan balik yang diberikan akan berdampak kepada perasaan tidak enak,
pesimistis, tidak memiliki motivasi, atau tidak memiliki harga diri karena selalu
mendapat teguran guru. Belum mampunya guru memberikan penghargaan dan
pengakuan atas setiap upaya (proses) yang dilakukan siswa dalam mencapai
tujuan pembelajaran berdampak pada ketidakjelasan konsep diri yang dimiliki
siswa.4
Model pendekatan Motivasi dan Learning Cycle yang dibangun adalah sebagai
berikut :
• Pendekatan Komunikasi (verbal dan non verbal)
Pendekatan komunikasi yang menjadi bagian dari model Motivasi dan
Learning Cycle
dimaksudkan untuk membangun sebuah proses komunikasi interpersonal antara
guru dan siswa. Dimana guru memberikan perhatian yang lebih terhadap faktor-
faktor interpersonal siswa. Ini dimaksudkan agar siswa bisa memahami diri
mereka sendiri dan memiliki rasa tanggungjawab terhadap diri sendiri maupun
kelompoknya.5
Komunikasi yang dibangun oleh guru bisa berupa stimulus atau respon
seperti : mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan siswa, membantu individu
siswa, membantu kelompok diskusi, komunikasi verbal positif (memuji individu,
memuji kelompok : bertepuk tangan, memuji hasil kerja kelompok, menyebut
4Makalah Didin Budiman, “Perbandingan Pengaruh Pemberian Umpan Balik Positif (positive feedback) dan umpan balik betral (neutral feedback) dalam Pembelajaran Penjas Terhadap Pembentukan Konsep Diri Yang Positif Siswa SD”, diakses dari http://file.upi.edu/Direktori/FFPOK/JUR.PEND.OLAHRAGA/DIDINBUDIMAN/Journalsept08.pdf pada tanggal 17 Juni 2010. Menurut budiman hal terpenting lagi adalah guru tetap memiliki pendirian yang konsisten terhadap ucapan dan perilakunya. Guru yang baik adalah guru yang selalu berupaya mendengarkan dan memperhatikan segala hal yang diutarakan siswa untuk memperbaiki kinerja pembelajaran.
5Rudi Susilana, “Model-Model Pembelajaran berdasarkan Teori Belajar, Makalah kuliah FAK Ilmu Pendidikan”, dalam bentuk power point, (Bandung: UPI, 2009).
104
nama siswa, memberi perhatian kepada individu siswa : tentang kesehatan,
kondisi di rumah dsb, memberikan humor, menghimbau individu), komunikasi
verbal negative (menghardik, menegur individu), Komunikasi non verbal
(berkeliling kelas, tersenyum, kontak fisik secara positif, kontak fisik secara
negative, kontak mata/ice contact), memberi kesempatan kepada siswa untuk
bertanya/mengemukakan pendapat/menjawab, menyiapkan alat/media
pembelajaran yang berkaitan dengan materi, memberi kesempatan untuk
menceritakan pengalaman pribadi siswa yang berkaitan dengan pelajaran/materi,
menghubungkan dengan problem yang biasa dialami sehari-hari /problem based
learning), memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan sendiri (praktek).6
Stimulus atau respon yang diberikan oleh guru tersebut mendorong
munculnya faktor motivasi belajar siswa, seperti : guru mengajukan pertanyaan
akan mendorong self efficacy siswa, menjawab pertanyaan siswa memunculkan
self efficacy dan self esteem, komunikasi verbal memunculkan motivasi self
efficacy, self esteem, goal orientation. Memberi kesempatan kepada siswa untuk
bertanya/mengemukakan pendapat/menjawab memunculkan motivasi self
efficacy, self esteem. Menyiapkan alat/media pembelajaran yang berkaitan dengan
materi memunculkan motivasi self regulation, goal orientation. Memberi
kesempatan untuk menceritakan pengalaman pribadi siswa yang berkaitan dengan
pelajaran/materi memunculkan motivasi self efficacy, self esteem.
Menghubungkan dengan problem yang biasa dialami sehari-hari (problem based
learning) memunculkan motivasi self regulation, goal orientation, memberi
kesempatan kepada siswa untuk melakukan sendiri (praktek) memunculkan
motivasi self regulation, goal orientation.
Stimulus dan respon guru tersebut dalam kerangkan Teori Wayne Harlen
& Ruth Deakin Creek adalah termasuk bagian dari motivasi eksternal. Penulis
sendiri lebih mendefinisikan stimulus dan respon sebagai motivasi eksternal jenis
teacher support. Namun perlu diperjelas bahwa untuk stimulus atau respon guru
6Sumber : Pengembangan dari teori Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick
105
sebenarnya menjadi bagian dari perilaku yang bisa dikatagorikan perilaku atau
kemampuan individu guru yang berhubungan dengan karakter guru dan
kemampuan pedagogynya. Kemampun lain yang dilihat adalah dengan melihat
hasil analisys RPP, alat peraga, LKS dan jalannya diskusi yang mempengaruhi
motivasi belajar siswa.
Sebagai contoh, sikap atau perilaku guru dalam hal : komunikasi verbal,
komunikasi non verbal adalah kemampuan komunikasi individu guru yang
mempengaruhi motivasi belajar siswa. Dan kemampuan ini dikatagorikan sebagai
kemampuan intrinsik (lebih bersifat kerpibadian/performance pribadi guru).
Sementara kemampuan ekstrinsik dari guru adalah kemampuan guru dalam
membuat RPP, LKS (lembar kerja siswa), penggunaan ICT, menghubungkan
dengan problem keseharian dan pengalaman siswa, adalah kemampuan pedagogy
guru. Sementara guru membantu diskusi, dan memberi tugas termasuk kepada
teacher support.
Menurut Hasibuan yang dikutip oleh Sintya Pujiastuti, pola pembelajaran
yang efektif adalah pola pembelajaran yang di dalamnya terjadi interaksi dua arah
antara guru dan siswa. Selain itu guru juga mendorong keberanian siswa baik
untuk mengeluarkan idenya atau sekedar hanya untuk bertanya. Sintya
menjelaskan bahwa pertanyaan merupakan suatu stimulus yang mendorong anak
untuk berpikir dan belajar sehingga anak akan lebih mudah menguasai materi atau
konsep yang diberikan dan kemampuan berpikir siswa akan lebih berkembang.
Hal ini didasarkan atas pendapat Blosser dalam bukunya yang berjudul “Research
Matters-to the Science Teacher No.9001. Using Question In Science Classrooms”
yang dikutip Syntia bahwa salah satu metode untuk merangsang siswa
berkomunikasi dan terlibat secara aktif dalam pembelajaran adalah dengan
pertanyaan.7
7Syntia Pujiastuti, ”Pentingnya Pertanyaan dalam Proses Pembelajaran”, diakses dari
http://www.sd-binatalenta.com/arsipartikel/artikel_tya.pdf pada tanggal 15 Juni 2010.
106
Dengan demikian, keberanian dan jumlah siswa yang mengajukan
pertanyaan bisa dijadikan indikator adanya motivasi belajar siswa. Secara spesifik
keberanian bertanyaan atau menjawab dari siswa berhubungan dengan self
efficacy siswa. Self efficacy ini berhubungan dengan faktor intrinsik dari motivasi
belajar siswa.
Membantu individu atau kelompok ketika berdiskusi atau mengerjakan
tugas menjadi hal yang dapat mendorong atau meningkatkan motivasi belajar
siswa. Dengan melakukan bantuan atau bimbingan individu atau kelompok, guru
bisa mengetahui problem belajar yang dihadapi oleh siswa. Sehingga guru mampu
memberikan bantuan yang tepat.
Dari sisi komunikas verbal dan non verbal, menurut penulis bisa
mendorong motivasi belajar siswa. Seorang guru yang memberika pujian,
bertepuk tangan atas hasil kerja atau jawaban/pertanyaan siswa, memberikan
perhatian tentang kesehatan, kondisi di rumah, memberikan humor, memberikan
dampak yang besar terhadap proses pembelajaran. Termasuk komunikas non
verbal seperti tersenyum, kontak mata secara positif, kontak fisik secara positif
atau berkeliling kelas, juga memberikan pengaruh terhadap motivasi belajar siswa.
Respon guru dalam hal komunikasi ini berpengaruh terhadap suasana
diskusi dan suasana kelas. Di kelas yang guru-gurunya memberikan apresiasi
terhadap hasil kerja siswa, suasana diskusi dan suasana kelas sangat aktif. Siswa
terlihat asik mengerjakan tugas dari guru dengan bantuan LKS serta memberikan
respon yang positif terhadap apa yang ditugaskan kepada mereka dalam
kelompok. Sementara di kelas-kelas yang tidak banyak memberikan apresiasi
terhadap hasil kerja siswa, siswa terlihat pasif untuk terlibat langsung dalam
setiap kegiatan kelompok.
Hal yang jarang dilakukan oleh guru adalah memberi perhatian secara
individu menyangkut hal kesehatan, kondisi di rumah, hambatan dalam
pembelajaran di kelas dan disekolah. Padahal menurut penulis, perhatian terhadap
individu siswa memberikan efek yang besar terhadap siswa secara psikologis. Ini
107
berkaitan dengan upaya guru untuk mengetahui hambatan-hambatan belajar yang
dialami oleh siswa.8
Hal yang juga jarang dilakukan oleh guru-guru adalah menyelipkan humor
dalam proses pembelajaran. Bagian untuk mendorong motivasi belajar siswa juga
adalah memberikan humor cerdas. Sebagaimana dikatakan oleh Ron Burgess yang
dikutip Michael G. Lovorn, mengatakan :
”tertawa dan humor akan menarik perhatian anak-anak, sehingga membantu mereka menyimpan informasi belajar mereka. Humor juga membantu mengurangi ketegangan di anak-anak dan Anda (guru). Tertawa adalah penghilang stress. Hal ini dapat membuat hari-hari sekolah tampak lebih pendek dan meringankan beban Anda. Ini dapat membantu Anda mengatasi krisis, istirahat dari aktivitas yang monoton, dan hidup lebih lama”.9
Persoalannya memang tidak semua guru memiliki kelebihan atau kemampuan
untuk membuat humor yang cerdas.
Pendekatan komunikasi ini berpengaruh terhadap motivasi intrinsik siswa
seperti self esteem, self efficacy, self regulation, goal orientation dan motivasi
intrinsik lainnya. Kemampuan komunikasi guru menempatkan guru sebagai
motivator dan sekaligus menjadi kanselor bagi siswa. Pada posisi ini guru
diharapkan bisa memberikan solusi terhadap problem yang dihadapi siswa.
Stimulus dan respon sebagai bentuk feedback dalam proses pembelajaran
tersebut mempengaruhi persepsi siswa terhadap guru. Persepsi siswa tersebut
berkaitan dengan respon siswa selama proses pembelajaran. Respon yang
diberikan tersebut seperti : mengajukan pertanyaan (self efficacy), menjawab
8 Makalah Hidayat :” Identifikas hambatan Perkembangan Belajar dan Pembelajaran”,
disampaikan pada Workshop "Pengenalan & Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) & Strategi Pembelajarannya“ (Balikpapan 25 Oktober 2009 – Hotel Pacific). Dalam makalahnya Hidayat menjelaskan Hambatan perkembangan belajar yang banyak dialami oleh siswa Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah itu disebabkan oleh faktor internal pada diri anak yang tentu saja berimplikasi kepada kesulitan belajar membaca, menulis, dan berhitung. Sehingga dalam memecahkan permasalahan belajar anak seperti ini, kita harus mulai dari kondisi dalam diri (internal) anak.
9Michael G. Lovorn, “Humor in the Home and in the Classroom: The Benefits of Laughing While We Learn”, (Journal of Education and Human Development: California State University, Long Beach, Volume 2, Issue 1, 2008, ISSN 1934-7200), 6.
108
pertanyaan siswa/guru (self efficacy), mengerjakan tugas dari guru (goal
orientation), merlibat aktiv dalam diskusi (self esteem), inisiatif dan aktif (self
esteem), tertarik dengan startegi, metode pembelajaran yang disampaikan guru,
berani bercerita (self efficacy), melakukan praktek langsung (goal orientation),
rasa percaya diri tinggi (self efficacy), berorientasi kepada penguasaan
materi/keinginan untuk bisa (goal orientation), berorientasi kepada hasil
nilai/keinginan untuk mendapat nilai bagus (goal orientation), pengaturan diri :
kemampuan untuk memahami tugas dan menyesuaikan dengan tugas (self
regulation), pendekatan model, strategi, metode dan keterampilan pembelajaran
yang digunakan guru (penerapan LC)
Seperti dijelaskan pada Bab 1 bahwa pembelajaran yang digunakan adalah
menggunakan model learning cycle (LC). LC melalui kegiatan dalam tiap fase
mewadahi pebelajar untuk secara aktif membangun konsep-konsepnya sendiri
dengan cara berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun sosial. Dengan
demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer pengetahuan dari guru
ke siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi merupakan proses
pemerolehan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan
langsung. Proses pembelajaran demikian akan lebih bermakna dan menjadikan
skema dalam diri siswa menjadi pengetahuan fungsional yang setiap saat dapat
diorganisasi oleh siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi.10
Implementasi LC dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan
kontruktivis yaitu: siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara
bermakna dengan bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman
siswa, informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa.
Informasi baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu, orientasi
pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan
masalah.
10Artikel diakses dari http://library.um.ac.id/images/stories/lptk/suw/Penerapan ”Model
Siklus Belajar” pada tanggal 18 Juni 2010.
109
Dari proses pembelajaran yang menggunakan LC guru bisa
mengembangkan pembelajaran dengan berbagai macam model pembelajaran.
Model pembelajaran yang berorientasi kepada aktivitas siswa berpengaruh
terhadap motivasi belajar siswa. Dalam pembelajaran yang menggunakan LC,
guru memikirkan apa yang harus dilakukan oleh siswa dalam setiap fase LC.11
Proses pembelajaran berbasis LC juga menyangkut bagaimana guru
mengelola proses diskusi yang dilakukan oleh siswa. Ini berkaitan degan
bagaimana siswa belajar aktif secara bermakna dengan bekerja dan berfikir.
Dalam pengelolaan diskusi kelompok berkaitan erat dengan cara pembagian
kelompok, penamaan kelompok, cara membagikan LKS, alat bantu diskusi yang
tersedia, suasana kerja kelompok dan cara siswa mempresentasikan.
Keberhasilan penerapan LC, dipengaruhi oleh perangkat pembelajaran
yang disiapkan oleh guru. Dalam hal ini, guru menyiapkan lembar kerja siswa
yang menjadi guidance, bagi guru dan siswa dalam melaksanakan proses
pembelajaran. LKS ini menjadi penting dalam kerangkan menerapkan
pembelajaran berbasis LC. Penggunaan LKS ini berkaitan dengan strategi belajar
menggunakan pemecahan masalah (problem solving).
B. Prosedur dan Langkah Penerapan Motivasi dan Learning Cycle
Pelakasanaan pendekatan motivasi dan learning cycle dalam
pembelajaran membutuhkan persiapan yang matang dari guru bersangkutan.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Untuk menerapkan
motivasi dan learning cycle tersebut, guru perlu melakukan beberapa persiapan
dan perencanaan sebelum masuk kelas. Diantaranya sebagai berikut :
1. Menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
11Lihat catatan kaki no 69 pada Bab II.
110
Clarck dan Lampert sebagaimana dikutip Richard I Arends menjelaskan
bahwa perencanaan guru adalah determinan utama dari apa yang diajarkan di
sekolah.12 Masih menurut Richard, perencanaan yang baik melibatkan kegiatan
mengalokasikan penggunaan waktu, memilih metode pengajaran yang tepat guna,
menciptakan minat siswa dan membangun lingkungan belajar yang kondusif.
Sementara menurut Richard Kindsvatter, 13 menjelaskan bahwa “ plans are
guiding students involvement in learning activities”. Dimana RPP yang dibuat
guru menjadi petunjuk bagi keterlibatan dan aktivitias siswa dalam pembelajaran.
Menurut penulis, apa yang dijelaskan oleh Richard I Arend dan Richard
Kindsvatter tersebut sesuai dengan Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang
Standar Proses yang didalamnya mengatur tentang pembuatan RPP. Selain itu,
dalam penyusunan RPP menurut Richard disebutkan bagian dari RPP adalah
menciptakan minat siswa. Ini berarti, perencanaan pembelajaran juga menyentuh
aspek motivasi yang dibangun oleh guru dalam proses pembelajarannya.
Dalam membuat RPP, berdasarkan Permendiknas No 41 tahun 2007
mencakup tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu ; kegiatan pendahuluan,
kegiatan inti dan penutup. Dalam kegiatan pendahuluan menyangkut kegiatan
apersepsi. Dalam kegiatan apersepsi seperti pernah dijelaskan pada Bab III dengan
melihat apa yang dilakukan oleh guru-guru di sekolah yang ada di Indramayu dan
Subang, guru belum mengeksplor kegiatan apersepsi. Padahal sebagai bagian dari
kegiatan mendorong motivasi awal untuk belajar, apersepsi dilakukan untuk
mengantarkan siswa kepada topik atau kompetensi yang akan dipelajari. Kegiatan
apersepsi sendiri bisa menggunakan beberapa cara, seperti permainan,
menjelaskan langsung kompetensi, mengajukan pertanyaan dan lain sebagainya.
Untuk mengantarkan sebuah kompetensi dalam kegiatan apersepi, guru
bisa menggunakan sejumlah daftar pertanyaan yang ringan. Seperti pertanyaan
“apa yang kamu pikirkan ketika melihat sebuah sajadah”, atau ”ketika mendengar 12Richard I Arends, Learning to Teach, terjemahan Helly Prajitno Sortjipto, Sri Mulyantini Soetjipto, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2008), 97.
13Richard Kindsvatter, William Wilen, Margaret Ishler, Dynamics of Effective Teaching, 143
111
adzan”, atau “ketika melihat orang berwudhu”. Pertanyaan tersebut mengantarkan
siswa untuk berfikir mengenai tema awal yang berkaitan dengan materi yang akan
disampaikan.
Dalam menyusun RPP, guru juga memperhatikan maqāṣid al-sharī’at
yang akan sesuai dengan materi. Hal ini berkaitan dengan penanaman nilai yang
ingin ditanamkan kepada siswa sebagai bagian dari tujuan pembelajaran
Pendidikan Agama Islam. Untuk menentukan atau memilih maqāṣid al-sharī’at
yang sesuai, guru harus melihat karakteristik dari Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar (SK/KD) yang akan disampaikan. Sebab setiap SK dan KD
memiliki nilai akhlak yang ingin ditanamkan kepada siswa. Satu SK atau KD bisa
mencakup lebih dari satu maqāṣid al-sharī’at.14
Penentuan maqāṣid al-sharī’at ini berhubungan dengan aktivitas yang
akan dilakukan oleh siswa pada kegiatan inti. Seperti diketahui dalam kegiatan
inti seperti yang dijelaskan oleh Permendiknas No. 41 tahun 2007, mencakup tiga
fase, eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Menurut penulis, kegiatan inti dalam
Permendiknas No. 41 tahun 2007 ini mengadopsi konsep learning cycle seperti
yang telah dijelaskan dalam Bab II. Setiap SK dan KD memiliki kata kerja
operasional yang perlu diperhatikan. Kata kerja operasional tersebutlah yang akan
menentukan aktivitas apa saja yang harus dilakukan oleh siswa.
Permendiknas No. 41 tahun 2007, berorietasi kepada student center.
Berdasarkan hal ini, penting untuk dipikirkan dalam pembuatan RPP oleh guru
adalah apa yang harus dilakukan oleh siswa dalam setiap fase eksplorasi, elaborasi
dan konfirmasi. Dalam menentukan aktivitas yang akan dikerjakan oleh siswa
harus berdasarkan pada kata kerja operasional yang ada dalam SK dan KD. Selain
itu guru juga harus menyesuaikan dengan maqāṣid al-sharī’at yang akan
14Lihat catatan kaki no 13 pada Bab II
112
ditanamkan. Kata kerja operasional yang ada dalam SK dan KD juga
menunjukkan apa yang akan dicapai sesuai dengan taksonomi Bloom.15
Dalam membuat RPP, Richard Kindsvatter, membagi dua RPP, yaitu unit
plan dan daily lesson plan formats. Keduanya masuk dalam katagori short and
long range planning. Unit plans, adalah tahap dasar dari perencanaan
pembelajaran. Unit plans digunakan untuk dasar pengembangan set perencanaan
pengajaran/pembelajaran harian, dan bisa perpanjang mulai dari satu samapi enam
minggu atau lebih.16
Daily plans adalah sekedul pendekatan guru dan gambaran aktivitaas
pembelajaran siswa dengan beberapa keterangan yang detil. Masih menurut
Richad Kindsvatter, RPP yang disediakan guru dengan pengorganisasian dan
perintah/penugasan harian yang spesifik.17
RPP berdasar unit plans yang dibuat Richads Kindsvatter memiliki unsur
sebagai berikut : 1) tujuan (goals) 2) Topik yang akan disampaikan (topics) 3)
Prosedur pelaksanaan (intuctional procedures) 4) evaluasi (evaluation) 5) Sumber
atau resources. Sebagai contoh, penulis akan sajikan contoh unit plans dan Daily
lesson-Plan Formats yang dibuat Richard Kindsvetter .18
Model unit plans atau daily lesson-plans formats yang digunakan oleh
Richard Kindsvatter seperti di bawah ini :
Unit Plan Richard Kindsvatter
Unit focus : Aging
Grade : 6
15Richard Kindsvatter, William Wilen, Margaret Ishler, Dynamics of Effective Teaching, ,161-163, baca juga Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta : Kencana 2004), 140.
16Richard Kindsvatter, William Wilen, Margaret Ishler, Dynamics of Effective Teaching,151
17Richard Kindsvatter, William Wilen, Margaret Ishler, Dynamics of Effective Teaching,151, Lihat lampiran C
18Richard Kindsvatter, William Wilen, Margaret Ishler, Dynamics of Effective Teaching,152-155
113
Subject : Multidisciplinary, with emphasis on reading
Unit Duration : 2 weeks
I. Goals
The students will :
Become familiar with varety of personalities of the elderly; infer the importance of art as a neabs to bring togethers the older and younger generations.
Understand the role adverstisements plqy in stereotyping the elderly, determine how current music has depicted the elderly.
Analyze the ways in which the elderly interact with ather members of the family.
Realize the possibilities for a productive life in old age.
Understand the contributions of the elderly from a historical perspective.
Realize how young and old people can relate socially.
Become aware of how people deal with the death of a loved one and one’s own dying.
Speculate how people in their homes and community can help and learn from the elderly.
II. Topics
Different kinds of grandparents
Art as a bridge to understnding being old
Stereotyping of the elderly through advertising
Elderly in today’s music
Elderly in family settings
Creativity in old age
Famaous oldsters
Relating to the elderly
Death and dying
Helping the elderly
III. Instructional Procedures
a. Discussion based on student’s differing perceptions, ideas, and feeling related to the issues and personalities in the book Grandpa.
114
b. Student create their own self portraits using a variety of art mediums and draw pictures of hat they ecpect to look like when they are about 70 years of age. Individual discussions with students on differences between portraits.
c. Students locate advertise
d. ments that show how the society depics the elderly, share with the group, make judgements about stereotyping, and speculate how the adverstisements could be changed to a more positive view of the elderly.
e. A variety of songs will be played related to the elderly (“when I’am 64 – beatles ,”old folks” etc), student will share their opinions through discussion about the meanings of th e words and how the elderly are depcted.
f. Role playing will be used to depict the elderly and analyze how the elderly interact with members of the family. Several reenactments will take place based on students’ impressions, opinions, positive and negative stereotypes, and perceptions of reality.
g. Individual students reports on famaous eldsters including inferences about their motivations to be productive and creative beyond 70 years of age. Optional activity is student sharing of reports to class.
h. Student will view the film “Peege” about an elderly woman experiencing isolation in a nursing home. After the students respond individually to the questions in written form about the film, snall groups will be formed for students to share responses, experiences, and attitudes.
i. Student read the book “About dying”. Discussion on the feelings about the characters, their opinion about the book, and their own personal experiences with death such as with a relative, friend, or pet.
j. Unit culmination; review of students’ learnings and appeal to students to become actively involved in activities and programs related to the elderly in the community. Perhaps the inquiry method can be used in the class perceives an issues that they care to investigate formally or a problem their wish to attempt to solve.
IV. Evaluation
Informal observation of students within large – and small group discussions and during listening (record), viewing (film), and doing (art) activities.
Formal evaluation of students’ written reports on famaos oldsters. Students’ advertisements brought to school will also be graded.
115
V. Resources
a. Books “Grandpa”, Barbara Borack’ “About Dying”, Sara Bonnett Stein; “The Family at Sunday Dinner”, Marcia Cameron,”Age and Youth in Action”, Gray Panthers, “Getting Beyond Streotypes”, George Maddox.
b. Records, “When I’m 64”, bettles, “Old Folks”, from Jacques Brel Is Alive and Well and Living in Paris, etc
c. Film “Peege”, Phoenix Films.
Contoh Daily lesson-Plan Formats
Form 1 (lectures)
I. Objectives
II. Instructional approach
a. Entry; preparation for learning
b. Presentation
c. Closure; review of learning
III. Evaluation
Form 2 (inquiry)
I. Objectives
II. Intructional approach
a. Entry; preparation and clarification of a problem, issue, or query
b. Formation of hypotheses
c. Collection of data
d. Test hypotheses
e. Closure; drawing conclusions
III. Evaluation
Form 3 (discussion);
I. Objectives
II. Intructional approach
a. Entry; identification of problems, issue, or topic
116
b. Clarification
c. Investigation
d. Closure; summary, integration, application
III. Evaluation
Form 4 (simulation gamming);
I. Objectives
II. Intructional approach
a. Entry; orientation
b. Participant preparation
c. Simulation/enactment operations
d. Closure; debriefing discussion
III. Evaluation
Dari contoh unit plans atau daily lesson-plans formats yang digunakan
oleh Richard Kindsvatter, tergambar bahwa aspek mendorong motvasi belajar
siswa dengan menggunakan pendekatan pembelajaran yang berbasis LC
digunakan. Menurut penulis tema yang disebutkan dalam tujuan pembelajaran
(goals) dalam unit plan merupakan nilai-nilai karakter yang ingin ditanamkan
dalam pembelajaran tentang usia tua (manula).
Penanaman nilai tersebut dikemas dalam topik-topik pembelajaran untuk
memahami aspek social, ekonomi dan psikologis usia manula. Seperti topik
tentang peran (mungkin) artis yang sudah tua dalam pentas musik saat ini, posisi
manula dalam keluarga, artis lama (manula) yang masih terkenal, hal-hal yang
berubungan dengan manula, kematian dan membantu para manula.
Topik-topik tersebut dalam unit plan dilaksanakan (langkah-langkah
pembelajaran) dalam bentuk diskusi kelompok setelah membaca buku
“Grandpa”. Diskusi berdasarkan buku tersebut dibedakan atau dikelompokkan
117
berdasarkan persepsi siwa, ide-ide dan perasaan yang berhubungan dengan isu-isu
dan kepribadian yang ada dalam buku “Grandpa” .19
Selain siswa diminta untuk membaca buku, siswa juga melaksanakan
pembelajaran melalui bernyanyi tentang music-musik lama yang dibawakan oleh
The Beatles, melakukan permainan (role playing), membuat laporan, setelah
melihat tayangan film “Peege” dan sebagainya. Ini menunjukkan rangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh siswa mencakup semua aspek yang ada dalam
learning cycle, eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Sementara Richard I Arends
dalam bukunya learning to teach menambahkan adanya time table yaitu peta
kronologis yang menunjukkan bagaimana serangkaian kegiatan pengajaran
dilaksanakan dari waktu ke waktu.20
Penilaian yang dilakukan oleh guru pun tidak dilakukan dalam bentuk
daftar pertanyaan, namun dalam bentuk informal observasi ketika siswa
melakukan diskusi, sejak mereka mulai membaca, mendengar musik, menonton
film dan melakukan berbagai macam aktivitas. Penilaian juga dilakukan melalui
penulisan laporan tentang artis manula yang terkenal
Sementara jika melihat daily lesson-plan formats, terlihat hanya besaran-
besaran (semacam guidance line) tentang topic atau aktivitas yang akan dilakukan
dari rencana pembelajaran pada setiap sesi. Dimana setiap sesi memiliki
penajaman aktivitas seperti membaca (lecture), menemukan pemahaman atau
konsep (inquiry), diskusi kelompok, dan simulasi permainan. Setiap tahapan tadi
selalu menyertakan evaluasi.
Format rencana pembelajaran yang digambarkan oleh Richard Kindsvatter
memang tidak lazim digunakan di Indonesia. Jika dibandingkan dengan model 19Bandingkan Unit Plan yang dibuat oleh Richard I Arend, Learning to Teach, terjemahan Helly Prajitno Sortjipto, Sri Mulyantini Soetjipto, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2008), 124. Unit Plans yang dibuat oleh Richard I Arends memuat 1) nama unit 2) alasan untuk mengerjakan unit tersebut 3) konsep inti/pertanyaan esensial/pemahaman”abadi”4) tujuan umum unit yang mengandung tujuan spesifik 5) isi unit 6) sintaksis untuk unit 7) bahan dan sumber daya yang dibutuhkan 8) tugas utama dan 9) asesmen dan evaluai.
20Richard I Arend, Learning to Teach, 125. Lihat juga Lampiran C
118
RPP yang biasa digunakan oleh guru-guru di Indonesia, RPP Richard Kindsvatter
relatif lebih sederhana, dianding RPP yang biasa digunakan oleh guru di
Indonesia. RPP yang dibuat oleh guru di Indonesia mengacu kepada
Permendiknas No. 41 tahun 2007.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN ( RPP )
SMP : Negeri 280
Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam
Kelas / Semester : IX / I
Standar Kompetensi
: 5. Memahami hukum Islam tentang penyembelihan hewan
Kompetensi Dasar
: 5.1. Menjelaskan tata cara penyembelihan hewan
Alokasi Waktu : 2 x 40 menit ( 1 x pertemuan)
A. Tujuan Pembelajaran
1. Siswa dapat menyebutkan pengertian penyembelihan menurut bahasa dan istilah
2. Siswa dapat membedakan penyembelihan tradisional dan mekanik
3. Siswa dapat menyebutkan tata cara penyembelihan
4. Siswa dapat menentukan hewan yang halal disembelih
5. Siswa dapat membaca dalil tentang hokum penyembelihan
B. Materi Pembelajaran
Penyembelihan menurut bahasa adalah = penyembelihan. Penyembelihan menurut istilah adalah mematikan hewan dengan cara memotong dileher dan memutus urat nadi sesuai dengan ketentuan agama (syara)
Cara penyembelihan.
1. Tradisional :
a. Mernyembelih dengan cara orang yang bekerja
b. Menyiapkan peralatan untuk penyembelihan
119
c. Hewan yang akan disembelih dibaringkan kekiri sehingga menghadap kiblat, lehernya diletakkan diatas lubang penampungan darah yang sudah disiapkan
d. Kaki diikat, dipegang kuat-kuat, kepala ditekan kebawah agar tanduknya menancap ketanah.
e. Mengucap basmallah, kemudian alat penyembelihan yang sudah disiapkan langsung digoreskan pada leher binatang yang disembelih sehingga jalan makan, minum dan napas serta urat nadi kanan kiri leher putus.
f. Kemudian tali pengikat dilepas agar mudah dan cepat proses kematiannya
2. Mekanik
a. Sebelum binatang disembelih terlebih dahulu binatang dipingsankan dengan cara ditotok urat sarafnya atau disetrum dengan aliran listrik.
b. Setelah pingsan disembelih dengan alat penyembelihan yang sudah disiapkan
Syarat alat penyembelihan :
a. Tajam
b. Tidak runcing dan tidak tumpul
c. Terbuaat dari besi dan baja, batu, bambu dan kaca
d. Bukan kuku, gigi dan tulang.
Sunnah penyembelihan :
a. Menghadap kiblat
b. Menyembelih pada pangkal leher
c. Menggunakan alat yang tajam
d. Membpercepat dalam penyembelihan
e. Melepaskan tali pengikat setelah disembelih
f. Berlaku baik dalam penyembelihan, tidak kasar.
Dalil naqli yang terkait dengan penyembelihan
C. Metode Pembelajaran
1. Diskusi kelompok
2. Kunjungan ke tempat penjagalan (studi kasus)
120
3. Belajar kelompok
D. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
1. Pendahuluan
a. Memberi salam dan memulai pelajaran dengan membaca basmalah dan berdo’a
b. Membaca ayat-ayat Al-Qur’an selama 5 – 10 menit
c. Memberi apersepsi dengan memberikan pertanyaan tentang “tukang ayam” atau “tukang daging”. Apa yang ada dalam pikiran siswa jika mendengar kata “tukang ayam” atau “tukang daging” atau “tukang jagal”
2. Kegiatan Inti
1. Siswa menelaah literature tentang penyembelihan hewan.
2. Siswa berdiskusi dengan KFC/rumah jagal tentang tatacara penyembelihan hewan
3. Siswa membuat resume hasil diskusi
4. Shopping hasil diskusi dan saling memberi komentar
5. Penguatan
4. Penutup
- Guru memberi tugas siswa untuk menulis dalil naqli dibuku catatan siswa dan dikumpulkan.
- Guru menyuruh salah satu siswa untuk membaca haditsnya dan yang lain mendengarkan.
- Guru menyuruh salah satu siswa kedepan untuk membaca arti dari hadits yang dibaca temannya
E. Alat / Sumber Belajar
1. Al-Quran dan terjemahan
2. Buku paket Pendidikan Agama Islam
3. Film tentang penyembelihan hewan
4. Buku-buku lainnya yang relevan
F. Penilaian
121
Indikator Pencapaian Kompetensi
Jenis Penilaian
Bentuk Penilaian
Instrumen
1. Menjelaskan pengertian penyembelihan hewan dan dasar hukumnya.
Tes tulis Jawaban singkat
1. Apa dasar hukum dilakukannya penyembelihan hewan?
2. Menjelaskan tatacara penyembelihan hewan yang baik dan benar.
Tes lisan Jawaban singkat
1. Jelaskan secara singkat tentang tata cara penyembelihan hewan yang benar menurut hukum Islam!
3. Menunjukkan dalil naqli terkait dengan penyembelihan hewan.
Penugasan Proyek 1. Carilah ayat-ayat al-Quran yang terkait dengan penyembelihan hewan lalu tuliskan dalam buku kerja kalian!
Dari RPP yang dibuat sesuai dengan Permendiknas No. 41 tahun 2007
memiliki perbedaan dengan model unit plan yang dibuat oleh Richard I Arends
dan Richard Kindsvatter, sebagai berikut :
a. Aspek goals/tujuan pembelajaran :
Dalam model RPP berdasarkan Permendiknas No. 41 tahun 2007, tujuan
pembelajaran lebih spesifik yang dikembangkan dari kata kerja operasional SK
dan KD. Sementara dalam model Unit Plan Richard Kindsvatter memiliki
kejelasan dalam penanaman nilai yang ingin dicapai, tujuan dikembangkan dari
subjek yang tidak dibatasi oleh kata kerja operasional, tujuan pembelajaran lebih
menekankan kepada nilai-nilai yang bisa capai sebagai kompetensi yang ingin
dicapai.
b. Aspek materi/topik :
Dalam model RPP berdasarkan Permendiknas No. 41 tahun 2007, materi
dijabarkan langsung menjadi item-item yang harus dipelajari. Seperti tatacara 122
penyembelihan, pembelihan tradisional dan mekanik, dalil-dalil yang
beruhubungan dengan penyembelihan dan sunah penyembelihan. Sementara
dalam model Unit Plan Richard Kindsvatter, materi tidak disampaikan secara
spesifik, namun disesuaikan dengan goals yang ingin dicapai, materi berupa topik
atau tema yang disesuaikan dengan goals, seperti berhubungan dengan musik,
seni, hubungan social, topik kematian dan sekarat, membantu manula serta topik
yang sesuai dengan tujuan.
c. Aspek langkah pembelajaran/instructional procedure :
Dalam model RPP Permendiknas No. 41 tahun 2007, ada kegiatan
pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. Selain itu langkah pembelajaran
mengadopsi learning cycle : eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Sementara
model Unit Plan Richard Kindsvatter, siswa melakukan berbagai aktivitas
pembelajaran yang didasarkan pada analisa, pengembangan konsep tentang tema
yang ingin dicapai dengan berbagai macam aktivtas. Seperti diskusi,
menggambar, mendengarkan musik, menonton film dan lainnya. Yang ditekankan
pada kegiatan pembelajaran adalah siswa menemukan sendiri pemahaman
terhadap setiap topik yang dipelajari dengan berbagai macam kegiatan
pembelajaran.
d. Aspek evaluasi :
Model RPP Permendiknas No. 41 tahun 2007, evaluasi dilakukan untuk
mengukur kompetensi yang ingin dicapai, evalusi berbentuk soal-soal dalam
bentuk tes lisan dan ada juga yang berbentuk penugasan dan ada rubrik penilaian
ketika mereka melakukan kunjungan ke tempat penjagalan, atau ketika diskusi
kelompok. Sementara Unit Plan Richard Kindsvatter, ada penilaian yang
didasarkan atas kegiatan yang dilakukan siswa, penilaian dilakukan dengan
meminta siswa untuk membuat laporan.
e. Aspek Sumber belajar :
Sumber belajar pada model RPP Permendiknas No. 41 tahun 2007, sangat
terpaku kepada buku cetak. Sementara, pada model Unit Plan Richard
123
Kindsvatter, sumber belajar diberikan kebebasan (memfaslitasi) kepada siswa
untuk membaca buku-buku yang berkaitan dengan topik. Selain itu guru juga
menyediakan media pembelajaran yang berkaitan dengan topik.21
Dari analisis di atas dapat dijelaskan bahwa kedua model RPP atau unit
plan tersebut memiliki aspek untuk mendorong munculnya motivasi belajar siswa.
Bahwa masing-masing model memiliki kelemahan dan kelebihan, penulis sendiri
memiliki pendapat bahwa RPP akan sangat berhubungan dengan kemampuan
guru memahami persoalan yang akan disampaikan, memiliki kreativitas dalam
memperkaya aktivitas siwa, kreativitas untuk memperkaya sumber belajar dan
memperkaya topik serta nilai yang ingin dicapai.
Dua model RPP dan unit plan di atas telah mengadopsi pembelajaran
berbasis learning cycle. Dari sisi pembelajaran berbasis LC ini, motivasi belajar
siswa cukup terdorong. Pasalnya jika langkah-langkah pembelajaran tersebut bisa
dilaksanakan, dorongan motivasi belajar dalam bentuk keterlibatan siswa dalam
setiap kegiatan pembelajaran akan terlihat.
2. Menyiapkan lembar kerja siswa (LKS) dan media pembelajaran
Untuk mendorong munculnya motivasi belajar siswa, guru dianjurkan
menyiapkan lembar kerja siswa (LKS) berikut alat peraga yang sesuai dengan
topik atau materi yang akan disampaikan. LKS tersebut berfungsi untuk
memberikan petunjuk bagi siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran.
Sementara media pembelajaran menurut I Wayan Santyasa menjelaskan
bahwa dalam era perkembangan Iptek yang begitu pesat dewasa ini,
profesionalisme guru tidak cukup hanya dengan kemampuan membelajarkan
siswa, tetapi juga harus mampu mengelola informasi dan lingkungan untuk
memfasilitasi kegiatan belajar siswa. Konsep lingkungan meliputi tempat belajar,
metode, media, sistem penilaian, serta sarana dan prasarana yang diperlukan untuk
21Sumber : Analisis RPP berdasarkan Permendiknas No. 41 tahun 2007 dan Unit Plan,
Richard Kindsvatter.
124
mengemas pembelajaran dan mengatur bimbingan belajar sehingga memudahkan
siswa belajar.22
Lembar Kerja Siswa (LKS) adalah panduan pekerjaan atau kegiatan yang
akan dilakukan oleh siswa untuk satu Standar Kompetensi tertentu. LKS ini berisi
informasi tentang SK dan KD, Materi yang akan dibahas, bahan untuk disukusi,
panduan pengerjaan, tugas untuk masing-masing siswa/kelompok, instrument
penilaian/pengamatan.23
LKS inilah yang mendeskripsikan apa saja yang harus dilakukan oleh
siswa dalam kerangka model learning cycle. Model pembelajaran atau metode
serta strategi yang digunakan selama proses pembelajaran akan terlihat dari
instruksi yang ada dalam LKS. LKS berfungsi sebagai guidance bagi siswa untuk
mengerjakan sesuatu, sementara bagi guru LKS berfungsi untuk menentukan
model, metode dan strategi pembelajaran yang dilakukan.
3. Menggunakan komunikasi verbal dan non verbal yang positif
Komunikasi yang dimaksudkan adalah komunikas yang positif dan dua
arah antara guru dan siswa. Komunikasi yang dilakukan oleh guru bisa berupa
komunikas verbal dan non verbal. Seperti yang telah dijelaskan pada Bab III,
bagian B. Komunikasi positif ini juga dianjurkan oleh Dave Foley. Menurut Dave
dalam bukunya Ultimate Classroom Control handbook, guru disarankan
menggunakan bahasa yang positif ketika berbicara kepada siswa yang melakukan
kesalahan. Kata yang digunakan untuk siswa yang melakukan kesalahan yang
disarankan oleh Dave Foley seperti “ saya berharap kamu untuk…”,”saya
membutuhkan kamu….”, “berhenti melakukan hal itu….”. Jika siswa tidak
mengerjakan tugas, kata yang bisa digunakan adalah “bisa saya bantu kamu untuk
22I Wayan Santyasa, Makalah “Landasaran Konseptual Media Pembelajaran”, disajikan dalam Worh Shop Media Pembelajaran bagi Guru-Guru SMAN Banjarangkan Klungkung. Baca juga Asnawir dan Basyiruddin Usman, Media Pembelajaran, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), 20
23Lihat catatan kaki no 15 s.d. 21 pada Bab IV.
125
mengerjakan tugasmu…”,”kenapa belum kamu kerjakan tugasmu…...” dan lain
sebagainya.24
Untuk meningkatkan komuniasi yang positif juga, menurut Dave Foley,
seorang guru dianjurkan mendapat simpati dari siswa dengan empat cara, yaitu :
1) bagaimana mengetahui siswa 2) mendapatkan respek dari siswa 3) perlakukan
siswa dengan setara dan 4) tunjukan bahwa anda (guru) memberikan perhatian.25
4. Memberi perhatian positif
Memberikan perhatian yang positif dilakukan oleh guru kepada semua
siswa. Baik ketika mereka melakukan kesalahan atau membuat keributan di kelas.
Perhatian yang positif menurut Dave Foley bukan berarti tidak bertindak tegas.
Ketegasan yang dibarengi perhatian menjadi alat yang efektif untuk membangun
sedikit kebaikan dengan memberikan komentar tentang bagaimana guru
menghargai perilaku baik siswanya.26
5. Menggunakan system hadiah dan hukuman
Guru menyepakati dengan siswa untuk perilaku yang telah disepakati akan
mendapatkan hadiah27. Jika perilaku tersebut baik, guru memberikan hadiah
sebaliknya jika ada perilaku yang tidak disepakti atau dilanggar siswa, guru bisa
memberi hukuman yang juga telah disepakti bersama. Seperti jika siswa tidak
beranjak dari kursi selama mengerjakan tugas, maka kelas tersebut akan
mendapatkan hadiah menonton film yang berkaitan dengan tema pelajaran. Guru
juga bisa memberikan sedikir kelonggaran untuk belajar di luar kelas sebagai
hadiah dari hal-hal yang telah disepakati.
6. Menentukan nilai yang akan ditanamkan
24Dave Foley, Ultimate Classroom Control handbook, (Indianapolis : Harvard University, 2007),7.
25Dave Foley, Ultimate Classroom Control handbook, 121
26Dave Foley, Ultimate Classroom Control handbook, 107
27 Dave Foley, Ultimate Classroom Control handbook, 111
126
Seperti pernah dijelaskan pada Bab II, bahwa Tujuan Pendidikan Nasional
adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa terhadap Tuhan YME, berakhlak mulia. Ini berarti bahwa guru
dalam proses pembelajaran memiliki kewajiban untuk bisa menanamkan nilai
sesuai dengan tuntutan Sistem Pendididkan Nasioanal.
Penanaman nilai tersebut tetap harus memperhatikan SK dan KD yang
akan diajarkan. Jika kita menggunakan model RPP yang ditawarkan Richard
Kindsvatter, maka penanaman nilai tersebut bisa diintegrasikan dengan topik yang
dibangun. Sementara jika kita menggunakan RPP yang biasa digunakan di
Indonesia, maka penanaman nilai tersebut dilakukan dengan pembiasaan, praktek,
dan aktivitas belajar lainnya.
C. Penerapan Motivasi pada Fase Engagment, Eksploration, Expand,
Elaboration dan Evalution.
Di atas telah dijelaskan, bahwa seorang guru berdasarkan tuntutan dari
Permendiknas No. 41 tahun 2007 harus berfikir apa yang harus dilakukan oleh
siswa dalam setiap fase : eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Hal ini di dasari
oleh konsep student center, dimana aktivitas siswa menjadi bagian penting dalam
proses pembelajaran.
Pertanyaan tersebut relevan dengan pengembangan Motivasi dan Learning
Cycle atau pengembangan motivasi yang harus dilakukan oleh guru. Pasalnya jika
Permendiknas No. 41 tahun 2007 harus berorientasi kepada siswa, maka Motivasi
dan Learning Cycle harus berorientasi kepada bentuk-bentuk motivasi,
bagaimana cara memberikan motivasi, dan bagaimana itu dilakukan dalam setiap
fase pembelajaran. Itu semua harus dilakukan oleh guru.
Perilaku guru atau siswa dalam proses pembelajaran memberikan
pengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Sebagai contoh perilaku guru dari sisi
komunikasi verbal memberikan pengaruh terhadap persepsi siswa (motivasi
127
belajar siswa) dari sisi kemauan untuk bertanya, kemauan menjawab,
mengerjakan tugas. Dari pengamatan di kelas didapat bahwa perilaku atau sikap
guru dalam hal berkomunikasi verbal seperti memuji, menyebut nama, menghibur
(humor) sangat sedikit. Hal ini berpengaruh terhadap kecilnya self esteem, goal
orientation, dan self regulation siswa.
Pada Bab I telah dijelaskan model LC 6E yang digunakan dalam learning
cycle.28 Yaitu engagment, exploration, explanation, expand, elaboration dan
evaluation. Model LC 6 E ini lebih lengkap dibanding model LC yang diadopsi
oleh Permendiknas No. 41 tahun 2007. Hakekat dari LC adalah bagaimana siswa
menemukan sendiri pemahaman baru berdasarkan berbagai aktivitas yang
dikerjakannya dalam proses belajar mengajar.29
Sehingga proses pembelajaran harus mengacu kepada aktivitas yang harus
dikerjakan oleh siswa atau berorientasi kepada student center. Dalam fase-fase LC
tersebut, seorang guru harus memperhatiakn apa yang bisa dilakukan dalam
mendorong munculnya motivasi belajar. Stimulus dan respon yang harus
digunakan guru mengarah kepada tumbuhnya minat belajar siswa, termasuk di
dalamnya adalah persiapan RPP, LKS dan alat atau media pembelajaran.
Ketika guru melakukan fase engagment, yaitu sebuah fase dimana guru
menciptakan situasi teka-teki yang sesuai dengan topik yang akan dipelajari siswa.
Guru dapat mengajukan pertanyaan (misalnya: mengapa hal ini terjadi?
Bagaimana cara mengetahuinya? dll) dan jawaban siswa digunakan untuk
mengetahui hal-hal apa saja yang telah diketahui oleh mereka. Fase ini dapat pula
digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa. Bentuk motivasi yang bisa
dikembangkan untuk mendorong siswa belajar adalah dalam bentuk pertanyaan,
menunjukkan sesuatu gambar yang tidak biasa, unik atau bentuk lainnya yang
sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai.
28Lihat halaman 18 pada Bab I. 29Lihat teori konstruktivisme catatan kaki no 3 pada Bab I.
128
Pertanyaan yang diajukan atau menunjukkan gambar sesuatu yang unik atau
tidak biasa bisa menggunakan media, laptop, gambar, puzzle dan lain sebagainya.
Kegiatan engagement ini adalah kegiatan awal untuk mengajak dan memancing
motivasi siswa untuk memulai proses pembelajaran. Pada proses ini dibutuhkan
kreativitas guru dalam menyiapkan berbagai macam bentuk pertanyaan yang
memancing keingintahuan siswa.
Kegiatan engagement ini bisa menarik minat belajar siswa atau
menumbuhkan motivasi intrinsic sense of self as learner atau kesadaran sebagai
pembelajaran. Faktor kesadara akan pembelajaran bisa muncul bila stimulus yang
diberikan oleh guru dalam fase engagement ini berhasil memancing
keingintahuan siswa. Fase engagement juga menguatkan apa yang akan dicapai
(goal orientation) dalam proses pembelajaran.
Pada fase Exploration (Eksplorasi), siswa harus diberi kesempatan untuk
bekerja sama dengan teman-temannya tanpa arahan langsung dari guru. Fase ini
menurut teori Piaget merupakan fase “ketidakseimbangan” dimana siswa harus
dibuat bingung. Fase ini merupakan kesempatan bagi siswa untuk menguji
hipotesis atau prediksi mereka, mendiskusikan dengan teman sekelompoknya dan
menetapkan keputusan.
Bentuk motivasi yang bisa diberikan oleh guru adalah pemberian Lembar
Keja Siswa (LKS). Pada fase ini guru bisa membagikan kit/alat/ bahan untuk
diskusi dalam sebuah amplop plastik untuk semua kelompok. Setiap amplop
plastik sudah ada kartu peran yang berbeda warna untuk setiap kelompok, LKS,
materi, gunting, lem dsb.
Tabel 3 : Model intervensi kegiatan untuk memotivasi belajar siswa dalam
setiap fase learning cycle.
No Motivasi yang diberikan
Guru
Jenis LC (learning
cycle)
Jenis Motivasi
11 Guru memulai dengan Engagement Apersepsi
129
salam
22 Guru menanyakan pelajaran
yang lalu
Engagement Apersepsi
33 Guru membagi kartu puzle
berwarna merah, hijau dan
kuning secara acak
Kemudian siswa diminta
untuk berkumpul sesuai
dengan warna yang mereka
pegang. Setiap warna
memiliki karakteristik tugas
kelompok
- Hijau adalah kelompok
yang bertugas mencari
literatur di laptop
- Kuning adalah kelompok
yang bertugas melakukan
wawancara dengan
narasumber di luar kelas
- Merah adalah kelompok
yang bertugas
mengerjakan
percobaan/praktek.
Engagement Skill pedagogy
(eksternal
motivation)
44 Guru kemudian
menjelaskan materi yang
akan dipelajari dan
membagikan LKS.
Setiap siswa berperan sesuai
Eksplorasi dan
elaborasi
Self efficacy, self
esteem, self
regulation dan
goal orientation
serta assasment
130
dengan tugas yang ada di
LKS. Setiap kegiatan
dibatasi waktunya, dan
kelompok beralih ke peran
kelompok lainnya (bertukar
peran). Sementara guru
membantu dan memberikan
penilaian selama proses
berlangsung
practices
5
5
Setiap siswa menjelaskan
setiap hasil kerja
kelompoknya dan
memajangnya di dinding
kelas. Penjelasan ini
dipandu dengan pertanyaan
dari guru dan dijawab oleh
kelompok (jika tidak bisa
dilempar ke kelompok lain)
Elaborasi Self
efficacy, goal
orientation, skill
pedagogy
66 Guru memberi penguatan
setelah semua kelompok
mengerjakan tugas dan
menempelnya di dinding
kelas.
Konfirmasi Skill
pedagogy
7 LKS dan alat peraga
11 LKS yang di buat lengkap :
ada tugas masing-masing
anggota, tugas kelompok.
Alat peraga sesuai dengan
materi
Elborasi Skill pedagogy,
berhubungan
dengan
kemampuan guru
menyiapkan
131
materi
pembelajaran
yang
menyenangkan
ini bagi siswa
termasuk faktor
eksternal yang
mempengaruhi
motivasi
belajarnya
8 Jalannya Diskusi
11 Setiap kelompok telah
memiliki nama sesuai
dengan materi pembahasan.
Siswa bekerja sesuai dengan
apa yang ditugaskan di
LKS. Siswa
mempresentasikan hasil
diskusi kelompoknya. Siswa
saling melihat hasil kerja
kelompok lain
Elaborasi Self efficacy, self
regulation dan
goal orientation
Sumber : pengalaman pribadi penulis mengajar di SMP Negeri 280 dan hasil kunjungan field research.
D. Membangun Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik Siswa
Membangun motivasi intrinsik siswa perlu dilakukan oleh guru. Self
esteem, self efficacy, self regulation, sense as self learner, mendorong self effort30
30Sense as learner dan self effort memang belum diteliti langsung di kelas oleh penulis.
Kedua jenis motivasi intrinsik ini tidak dijadikan objek penelitian di kelas mengingat keterbatasan waktu dan instrument.
132
serta lainnya harus menjadi perhatian seorang guru. Bahwa Self esteem, self
efficacy, self regulation, goal orientation, sense as self learner, mendorong self
effort serta lainnya, bisa ditumbuhkan oleh guru melalui pembelajaran yang
menyenangkan. Pembelajaran yang menyenangkan tersebut disiapkan dengan
perangkat pembelajaran yang memadai mulai dari penyiapan RPP, LKS dan alat
peraga serta skenario pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas.
Secara sederhana self efficacy bagi siswa adalah kepercayaan diri siswa
ketika mengajukan pertanyaan, dan keterlibatan dalam proses pembelajaran. Self
regulation bagi siswa adalah sikap untuk menyesuaikan diri dengan segala tugas
yang diberikan oleh guru. Goal orientation bagi siswa adalah segala upaya yang
dilakukan untuk memahami materi yang diberikan oleh guru.
Self esteem bagi siswa adalah kemampuan dan kemauan untuk
mengeksplorasi bahan-bahan yang diberikan oleh guru dalam bentuk
mengerjakan tugas. Sense as Learner adalah sikap siswa yang menyadari
terhadap tujuannya dating kesekolah untuk belajar. Sehingga dia memiliki
motivasi yang tinggi untuk menguasai materi. Sense as learner ini juga
dipengaruhi oleh keinginan dalam jangka panjang (cita-cita) siswa.
Teacher support yaitu segala sesuatu atau upaya guru yang membantu
siswa baik secara verbal atau non verbal. Skill pedagogy atau kemampuan guru
dalam mengajar berkaitan dengan penggunaan model, strategi, metode dan
keterampilan mengajar guru.
Jika mengacu kepada definisi sederhana tentang unsur yang termasuk
dalam motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik, maka seorang guru bisa
memberikan dorongan motivasi kepada siswa dalam berbagai bentuk. Yang paling
sederhana dorongan motivasi tersebut dilakukan dengan melihat Tabel 5 : Jenis
stimulus atau respon guru yang memotivasi belajar siswa atau Tabel 6 : Jenis
133
stimulus atau respon siswa yang bisa dijadikan indikator adanya motivasi
belajar31.
Selain itu, tabel-tabel tersebut hanya menjadi acuan untuk mendorong dan
menumbuhkan motivasi siwa. Hal lain yang perlu diperhatikan oleh guru adalah
kemampuan mengelola pembelajaran. Semakin bagus guru dalam penguasaan
pedagogynya maka semakin besar motivasi belajar siswa atau sebaliknya.
Semakin kurang kemampuan pedagogy guru dalam mengajar, maka motivasi
belajar siswa pun relatif turun. Kemampuan guru dalam mengajar berkaitan
dengan penggunaan model, strategi, metode dan keterampilan mengajar guru.
Kemampuan tersebut berkaitan dengan motivasi ekstrinsik dari guru.
Mendorong motivasi intrinsik dan ekstrinsik, harus melihat SK dan KD
dari mata pelajaran. Dalam mata pelajaran PAI yang memiliki karakteristik
berbeda maka pemberian motivasi ini sangat berkaitan dengan maqāṣiḍu al-
shari’aṭ yang sesuai dengan SK dan KD32. Untuk hal ini memang diperlukan
analisis SK dan KD dari mata pelajaran PAI yang memiliki kandungan maqāṣiḍu
al-shari’aṭ. Namun demikian yang terpenting adalah bagaimana guru PAI bisa
menanamkan nilai-nilai yang menjadi tuntutan maqāṣiḍu al-shari’aṭ dan dan
tuntutan Permendiknas No. 22 tahun 2006 yang dikemas dalam kemampuan
membuat LKS, menyediakan alat peraga yang tepat, model, metode dan strategi
pembelajaran yang tepat. Selain itu guru PAI juga dituntut untuk menunjukkan
wajah yang familiar dalam hal komunikasi verbal dan non verbal.
Menurut Paul R. Pintrich dan Dale H Schunk menjelaskan bahwa motivasi
intrinsik siswa dapat dipengaruhi oleh empat sumber, yaitu : 1) kesempatan 2)
rasa ingin tahu 3) kontrol dan 4) fantasi. Sementara menurut Waynne Harlen dan
Ruth Deakin Crick menjelaskan motivasi intrinsik adalah pelajar/siswa
31Bentuk motivasi yang tergambar dalam table 5 dan 6 tersebut masih bisa ditambahkan lagi oleh guru. Bentuk-bentuk komuniksi verbal dan non verbal tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap motivasi belajar siswa. Sebagai contoh jika guru sering memberikan senyum, memberikan humor cerdas, sering memuji siswa dan memberikan bantuan dalam proses pembelajaran atau diskusi, siswa akan terdorong untuk belajar. Pada tataran ini, tabel 5 dan 6 bisa digunakan untuk semua mata pelajaran termasuk PAI.
32Lihat Bab 2 bagian A.2. Karakteristik Matapelajaran PAI.
134
menemukan ketertarikan (interest) dan kesenangan dalam hal apa yang mereka
pelajari dan dalam proses pembelajaran itu sendiri. Sementara motivasi ekstrinsik
menggambarkan perilaku siswa yang terlibat dalam pembelajaran.33
Menurut penulis membangun motivasi intrisnik dan ekstrinsik dalam hal
belajar siswa perlu memperhatikan fitur-fitur kelas yang ditawarkan oleh Richard
I Arends. Pasalnya, kelas sebagai sebuah realitas memiliki karakter seperti yang
disampaikan Richard dalam fitur kelasnya. Sehingga seorang guru yang
memahami kondisi sosial dan psikologis kelas seperti yang tergambar dalam fitur
kelas, akan relatif mudah mengelola kelas dan membangun motivasi belajar siswa.
Menumbuhkan motivasi intrinsik siswa bisa dilakukan guru dengan cara
mengetahui latarbelakang, kesukaan, perhatian, dan minat siswa. Hal ini bisa
dilakukan dengan berbagai cara seperti menyapa ketika bertemu mereka
dimanapun, melempar canda yang menjadi perhatian mereka, menjadi bagian dari
pertemanan diantara siswa.
Dave Foley menjelaskan bahwa mengetahui kesukaan, latar belajang
siswa, dan minat siswa dalam rangka meningkakan lingkungan pembelajaran.
Menurut Dave Foley, ada beberapa hal yang bisa dilakukan seorang guru untuk
meningkatkan lingkungan pembelajaran. Diantaranya dengan berhubungan
langsung dengan siswa secara personal.34
Menghargai siswa sebagai individu juga bisa meningkatkan motivasi
intrinsik siswa dalam belajar. Termasuk memperlakukan siswa secara adil dan
menunjukkan perhatian terhadap siswa memberikan pengaruh besar terhadap
motivasi intrinsik belajar siswa. Hal ini berkaitan dengan peran guru untuk
membangun persahabatan dan menjadi seseorang yang menaruh perhatian
terhadap persoalan mereka.35 Hal ini berkaitan dengan karakteristik siswa seperti
33Waynne Harlen and Ruth Deakin Crick, “Testing and Motivation for Learning,
Graduate School of Education, Assessment in Education”, (Journal Assassment in Education Vol.10, No.2 July, 2003),182
34Dave Foley, Ultimate Classroom Control handbook, (Indianapolis : Harvard University, 2007),119
35Dave Foley, Ultimate Classroom Control handbook,124-125.
135
136
yang dijelaskan Paul R. Pintrich dan Dale H. Schunk. Menurut mereka
karakteristik siswa berhubungan dengan bakat, kemampuan umum, keahlian
khusus, minat, sikap, dan kepribadian. Dan hal ini berkaitan dengan self efficacy
for learning siswa.36
36Paul R. Pintrich and Dale H. Schunk, Motivation in Education, Theory, Research, and
Application, (New Jersey USA, 1996),177.
Bab V
PENERAPAN MODEL MOTIVASI DAN LEARNING CYCLE
DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Setelah kita mengetahui bagaimana pengembangan Motivasi dan
Learning Cycle dalam pembelajaran, selanjutnya pada bab ini akan
didiskusikan bagaimana Motivasi dan Learning Cycle diterapkan atau
dikembangkan dalam {Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Seperti
diketahui bahwa Pendidikan Agam Islam memiliki lima aspek : Al-Quran,
Aqidah-Akhlak, Fiqih dan aspek Tarikh atau sejarah. Aspek-aspek tersebut
memiliki karakteristik berbeda seperti pada aspek Al-Quran menurut Zakiah
Daradjat adalah keterampilan membaca dengan baik sesuai dengan kaidah
(Tajwid) karena berkaitan dengan kegiatan ibadah shalat. Dimana dalam shalat
wajib membaca ayat Al-Quran. Namun demikian, Zakiah menambahkan bahwa
aspek memahami kandungan Al-Quran menjadi penting untuk di pelajari.1
Termasuk aspek lainnya memiliki kekhususan maksud tertentu dalam
memelaharinya.
A. Penerapan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Al-Quran.
Seperti diketahui dalam Al-Quran menjadi bagian yang terpenting dalam
kehidupan umat Islam. Al-Quran menjadi petunjuk bagi orang-orang yang
beriman.2 Pengajaran Al-Quran khususnya dalam hal kemampuan membaca Al-
1Zakiah Dardjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam,(Jakarta: Bumi
Aksara, 2008)92-93 2Q.S. Al-Baqarah:2
137
Quran sudah ditekankan sejak dini. Ada banyak metode yang diterapkan dalam
mengajarkan kemampuan membaca Al-Quran. Seperti di bawah ini.3
1. Metode Baghdadiyah4.
Disebut metode Baghdadiyah karena berasal dari Baghdad ketika masa
pemerintahan khalifah Bani Abbasiyah. Tidak diketahui secara pasti siapa
penyusunnya, namun telah lama berkembang secara merata di tanah air.
Karakteristik dari metode Baghdadiyah adalah: materi-materinya diurutkan dari
yang kongkrit ke abstrak, dari yang mudah ke yang sukar, dan dari yang umum
kepada materi yang terinci (khusus). Metode ini diajarkan secara klasikal
maupun privat.
Kelebihan metode Bagdadiyah antara lain : peserta didik diperkenalkan
nama-nama huruf hijaiyyah sejak awal pembelajaran, huruf Hijaiyah selalu
ditampilkan secara utuh dalam setiap langkah pembelajaran, sebagai penguat
memori dan dasar pijakan untuk melangkah pada tahap berikutnya, setiap huruf
dan kalimat disusun dengan struktur (wazan) yang rapi sehingga mudah untuk
dipelajari, sangat menonjolkan keterampilan meng-eja sehingga secara
psikologis memberikan kesan mudah bagi pelajar pemula, materi tajwid secara
mendasar terintegrasi dalam setiap langkah.
2. Metode Iqro’ .5
Metode Iqro’ disusun oleh As'ad Humam dari Kotagede Yogyakarta dan
dikembangkan oleh AMM (Angkatan Muda Masjid dan Musholla) Yogyakarta
melalui pendirian Taman Kanak-kanak Al-Qur’an (TKA) dan Taman
Pendidikan Taman Kanak Al-Qur’an (TPA).
Metode Iqro’ terdiri dari 6 jilid dengan variasi warna cover yang
3Kementerian Agama RI,Panduan Pengelenggaraan Kegiatan Tuntas Baca Tulis Al-Quran di Sekolah Menengah Pertama (SMP), (Jakarta: Kemenag RI,2010), 20-26
4Chairani Idris dan Tasyrifin Karim, Buku Pedoman Pembinaan dan Pengembangan Taman Kanak-kanak/Taman Pendidikan Al-Qur’an, (Jakarta : DPP BKPRMI Masjid Istiqlal Kamar 13, 1996)
5Ahmad Darka AW, Methodologi Pengajaran Iqra’, Sebuah Pengalaman Mengajar dan Menatar,(Jakarta : Pustaka Alivia, 2000).
138
memikat perhatian peserta didik. Beberapa karakteristik dan kelebihan metode
Iqro’ adalah : menekankan pada kemampuan membaca secara langsung tanpa
harus menghafal nama-nama huruf, peserta didik dapat belajar secara mandiri,
karena metode Iqra’ sudah dilengkapi dengan petunjuk praktis hampir di setiap
halamannya, peserta didik yang telah menguasai tingkat kemampuan yang lebih
tinggi dapat diberdayakan untuk membimbing peserta didik yang berada di
bawahnya (Asistensi), metode Iqra’ disusun dalam beberapa jilid buku yang
praktis dan mudah dipelajari, metode Iqra’ dapat dipelajari oleh semua tingkatan
usia, baik anak-anak maupun orang tua, metode Iqra’ menggunakan prinsip
belajar tuntas (mastery learning), dimana setiap peserta didik tidak dapat
melanjutkan ke tingkat kemampuan yang lebih tinggi sebelum lulus uji
kompetensi. Metode Iqro mempunyai 10 sifat, antara lain: 1) Bacaan langsung.
2) CBSA (Cara Belajar Santri Aktif). 3) Privat/Klasikal. 4) Modul. 5)
Asistensi. 6) Praktis. 7) Sistematis. 8) Variatif. 9) Komunikatif. 10) Fleksibel.
3. Metode Qiro’ati6
Metode baca Al-Qur’an ’an Qira'ati ditemukan Dachlan Salim Zarkasyi
dari Semarang, Jawa Tengah. Metode yang disebarkan sejak awal 1970-an, ini
memungkinkan anak-anak mempelajari al-Qur’an secara cepat dan mudah.
Pada awalnya metode ini disusun untuk keperluan pembelajaran anak usia 4 - 6
tahun (Taman Kana-kanak). Namun dalam perkembangannya, sasaran metode
Qiraati kian diperluas sehingga dapat digunakan untuk anak-anak hingga
dewasa.
4. Metode Al-Barqy
Metode ini ditemukan pada tahun 1965 oleh Muhadjir Sulthon, dosen
Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya dan dibukukan pada 1978, dengan
judul “Cara Cepat Mempelajari Bacaan al-Qur’an al-Barqy”. Dalam
perkembangannya, metode ini ternyata cukup efektif digunakan bagi siapa saja
6Umdzatul Faizah,”Pembelajaran Membaca Alqur’an dengan Metode Qira’ati pada
Anak Prasekolah di TK Islam Hidayatullah Semarang,” Skripsi Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang,2006 (tidak diterbitkan)
139
mulai anak-anak hingga orang dewasa.
5. Metode Tilawati.
Metode Tilawati disusun pada tahun 2002 oleh Tim yang terdiri dari
Hasan Sadzili, Ali Muaffa dkk. Karakteristik dan keunggulan metode Tilawati
antara lain: menyeimbangkan pendekatan pembelajaran secara klasikal dan
individual, metode ini disusun secara praktis sehingga mudah dipelajari,
menekankan pada kemampuan peserta didik untuk dapat membaca al-Qur’an
secara tartil, menggunakan variasi lagu-lagu tilawah dalam membaca al-Qur’an
sehingga tidak membosankan, metode ini menggunakan sistem sima’an
(menyimak)sehingga peserta didik mampu membenarkan/mengoreksi bacaan
al-Qur’an peserta didik yang lain.
6. Metode Iqro Dewasa dan Terpadu7
Kedua metode ini disusun oleh Tasrifin Karim dari Kalimantan Selatan.
Iqro terpadu merupakan penyempurnaan dari Iqro Dewasa. Kelebihan Iqro
Terpadu dibandingkan dengan Iqro Dewasa antara lain bahwa Iqro Dewasa
dengan pola 20 kali pertemuan sedangkan Iqro Terpadu hanya 10 kali
pertemuan dan dilengkapi dengan latihan membaca dan menulis. Kedua metode
ini diperuntukkan bagi orang dewasa.
7. Dirosa (Dirasah Orang Dewasa)
Dirosa merupakan sistem pembinaan Islam berkelanjutan yang diawali
dengan belajar baca Al-Qur’an. Panduan Baca Al-Qur’an pada Dirosa disusun
tahun 2006 yang dikembangkan oleh Wahdah Islamiyah Gowa. Panduan ini
khusus orang dewasa dengan sistem klasikal 20 kali pertemuan.
8. Metode Al-Jabari
Metode Al-Jabari merupakan bimbingan praktis membaca dan menulis
Al-Quran. Pelajaran pertama dalam metode ini adalah tanda fatah dengan lafal
A, sebagaimana arti dari kata Jabar dari bahasa Parsi yang berarti fatah. Hal ini
7Tasyrifin Karim dkk., Buku Pedoman Penyelenggaraan TQA (Ta’limul Quran Lil Aulad), (Jakarta :LPPTKA BKPRMI Masjid Istiqlal Kamar 13, 1995)
140
diulang terus sehingga dalam 2-3 kali pertemuan sudah hapal. Selanjutnya akan
disusun olahan kata-kata dan secara otomotis olahan kata tersebut dapat
dimengerti.
9. Metode LIBAT (Lihat, Baca, Tulis)
Metode ini ditemukan oleh Juhaya S. Praja, dosen IAIN Sunan Gunung
Djati Bandung. Ide metode ini diilhami oleh buku Tuntunan yang ditulis oleh
gurunya di Pesantren Gontor Ponorogo Jawa Timur, yaitu K.H. Imam Zarkasyi.
Perumusan metode ini dimulai sejak uji coba kepada sejumlah mahasiswa yang
buta huruf Al-Qur’an sekitar tahun 1976. Dalam waktu 10 jam, para mahasiswa
tersebut mampu membaca dan menulis Al-Qur’an.
Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan anatomi huruf,
pendekatan budaya, disertai dukungan CBSA. Pendekatan anatomi huruf artinya
proses pembelajaran dengan memperlihatkan bentuk-bentuk huruf yang saling
berkaitan. Kemampuan dan ketidakmampuan menulis huruf tertentu akan
mengakibatkan kemampuan dan ketidakmampuan menuliskan huruf-huruf
lainnya. Pendekatan budaya ialah mempertimbangkan dan menyesuaikan
dengan latar belakang budaya peserta.
10. Metode Hattaiyah
Metode ini penggagasnya adalah Muhammad Hatta bin Usman dari
Riau.Huruf pertama yang dikenalkan “L” baru diikuti tanda baca A – I – U -
AN – IN – UN – Sukun dan Tasydid. Selanjutnya latihan membaca dan menulis
rata-rata 3 huruf yang sudah dikombinasikan ke dalam berbagai bunyi dan huruf
lainnya. Waktu yang digunakan 75% siswa aktif , dan 25% untuk guru
membimbing.
11. Metode An-Nur
Perintisnya adalah H.M. Rosyadi. Lahir belakangan dibandingkan
metode yang sudah dibahas sebelumnya, yaitu menjelang tahun 2000. Metode
An-Nur mampu memberi jaminan dua jam bisa membaca Al-Qur’an (dianggap
metode tercepat di dunia). Mampu merangsang orang ingin tahu apakah benar
141
terbukti dalam waktu singkat dapat baca tulis Al-Qur’an. Salah satu
keistimewaannya, menghafal huruf Hijaiyah dengan urut, dibalik, diacak dan
ditulis. Kemudian memahami huruf yang berubah bentuk, tanda titik dan tanda
baca.
12. Metode Qira’ah
Metode Qira’ah ini dirancang dengan berbasis ke Indonesiaan karena
banyak latihan bacaannya yang berbunyi bahasa Indonesia tapi bertuliskan arab
sehingga sangat mudah dicerna bagi anak-anak khususnya anak generasi
Indonesia. Keunggulan metode qira’ah adalah: memakai media gambar, sekali
dituntun langsung tahu, ada keseimbangan penguasaan dari semua huruf, hanya
memperkenalkan kunci-kunci/pola bacaan, latihannya berbunyi bahasa
Indonesia, langsung belajar ilmu tajwid.
Dari metode-metode yang disebut di atas, dapat diambil sebagai bagian
dari metode learning cycle dalam pembelajaran Al-Quran. Metode-metode
tersebut memang digunakan untuk siswa yang belum memiliki kemampuan
membaca yang memadai. Metode membaca yang dijelaskan di atas, dapat
dikolaborasikan dengan model problem base learning dalam menjelaskan
kandungan Al-Quran.
Model Motivasi dan Learning Cycle yang bisa dikembangkan dalam
pembelajaran Al-Quran bisa menggunakan salah satu dari metode membaca di
atas dengan menyesuaikan konteks tema yang sedang di bahas dalam materi Al-
Quran. Sebagai contoh dalam Standar Kompetensi Membaca Surat At-Tiin pada
kelas IX jenjang SMP bisa menggunakan sistim Iqra bagi siswa yang belum
bisa membaca dan model merangkai puzzle bagi yang sudah mampu membaca.
Sementara dari sisi motivasi yang dikembangkan tetap mengacu kepada
maqa>s}id al-shari>‘ah yang sesuai dengan SK dan KD8. Sebagai contoh tema
dalam surat At-Tiin adalah Penciptaan manusia yang sempurna dan proses
kejatuhan manusia. Seorang guru bisa mengajak siswa untuk menggali kasus-
8Lihat Bab 2 bagian A.2. Karakteristik Matapelajaran PAI.
142
kasus yang melibatkan pejabat atau orang-orang terkenal. Model pembelajaran
yang bisa digunakan adalah information research.9
Materi Al-Quran pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMP
baru sebatas mengenalkan Ilmu Tajwid. Seperti pada semester 1 kelas VII baru
mengenalkan bagaimana “Menerapkan hukum bacaan “Al” Syamsiyah dan
“Al” Qamariyah” dan pada semester II kelas VII materi Al-Quran menjelaskan
tentang “Menerapkan hukum bacaan nun mati/ tanwin dan mim mati”.
Di kelas VIII materi Al-Quran masih menerangkan tentang Tajwid, yaitu
menjelaskan tentang “Menerapkan hukum bacaaan Qalqalah dan Ra” pada
semester 1 dan “Menerapkan hukum bacaaan Mad dan Waqaf” pada semester 2.
Baru di kelas IX materi Al-Quran mulai menjelaskan makna dan nilai yang
terkandung dalam Al-Quran, yaitu “Memahami ajaran Al- Quran surat At-Tin”
pada semester 1 dan semester 2 tentang “Memahami Al Qur’an surat Al-
Insyirah”.
Melihat materi dan target materi yang ada dalam Stándar Kompetensi
dan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Islam di SMP menunjukkan capaian
yang diinginkan hanya pada aspek membaca sesuai ilmu Tajwid khususnya
pada memahami hukum bacaan Al-Syamsiah dan Al-Qomariah, hukum bacaan
Mad, hukum bacaan Nun Mati atau Tanwin, Qolqolah dan Ra. Dan pada aspek
nilai-nilai atau kandungan ayat yang terdapat pada surat At-Tiin dan surat Al-
Insyirah. Hal ini menunjukkan capaian aspek kognitif dan afektif pada materi
Al-Quran di SMP menjadi fokus pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam
di SMP.
Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya penerapan Motivasi dan
Learning Cycle dilakukan dengan beberapa pendekatan dan persiapan. Seperti
menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), menyiapkan Lembar
9Hisyam Zaini, Bermawy Munthe, Sekar Ayu Aryani,Strategi Pembelajaran Aktif,
(Yogyakarta : Insan Madani, 2008), 43, 139-155.
143
Kerja Siswa, menentukan media yang sesuai, menentukan nilai yang akan
ditanamkan dan sebagainya.10
Penerapan motivasi dan learning cycle pada aspek Al-Quran dalam mata
pelajaran Pendidikan Agama Islam menurut penulis lebih untuk menguatkan
self efficacy dan self esteem siswa. Menguatkan kepercayaan diri siswa untuk
mampu membaca Al-Quran dan memunculkan kemampuan dan kemauan untuk
mengeksplorasi bahan-bahan yang diberikan oleh guru dalam bentuk
mengerjakan tugas.11
Pada aspek Al-Quran khususnya menyangkut materi Tajwid, maka
maqa>s}id al-shari>‘ah yang ingin dikuatkan adalah h}ifz} al-di>n dan h}ifz}
al-‘aql.12 Selain menguatkan pengetahuan siswa untuk memahami materi
Tajwid, sekaligus memberikan basis kecintaan kepada siswa terhadap Al-Quran.
Aspek maqa>s}id al-shari>‘ah ini akan dielaborasi dalam proses pembelajaran
yang menggunakan learning cycle berikut tahapannya.
Motivasi dan learning cycle yang bisa digunakan dalam pembelajaran
Al-Quran, khususnya pada aspek membaca bisa menggunakan metode-metode
membaca yang disebutkan di atas : metode Iqra dan sebagainya. Namun
demikian, metode-metode tersebut hanya menjadi bagian dari learning cycle
yang bisa digunakan dan disesuaikan dengan kondisi siswa/kelas dalam
pembelajaran membaca Al-Quran. Aspek motivasi yang diberikan dalam setiap
fase learning cycle, sangat bergantung kepada metode yang digunakan dan
situasi kelas.13
10Lihat Bab IV sub bab Prosedur dan Langkah Penerapan motivasi dan learning cycle. 11Lihat Bab II hal 36-37 tentang self efficacy dan self esteem. 12Lihat pengertian h}ifz} al-di>n dan h}ifz} al-‘aql pada Bab III hal 72-75. 13Lihat table model intervensi kegiatan untuk memotivasi belajar siswa dalam setiap fase
learning cycle pada Bab IV hal 125-127
144
Pada materi Tajwid, menggunakan metode puzzle menjadi alternatif
yang bisa digunakan dalam proses pembelajaran.14 Sementara intervensi
motivasi yang bisa digunakan adalah 1) dari sisi administratif guru harus
menyiapkan RPP dan LKS yang mengajak keikursertaan siswa untuk terlibat
aktif dengan menggunakan metode puzzle 2) dari sisi komunikasi guru harus
menjadi bagian pembelajaran yang memungkinkan siswa lebih terbuka
berkomunikasi dan bertanya serta memberikan perhatian-perhatian personal dan
pendekatan persuasif terhadap siswa.15
B. Penerapan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Aqidah dan
Akhlak.
Aspek Aqidah-Akhlak dalam Pendidikan Agama Islam menjadi bagian
yang dituntut realisasinya dalam kehidupan sehari-hari pasca siswa belajar.
Sebab aspek ini menjadi bagian dari penguatan aspek afektif selain aspek
kognitif. Aspek Aqidah dan Akhlak juga berkaitan dengan maqa>s}id al-
shari>‘ah. Sekaligus menjadi penanda keberhasilan penanaman nilai yang
menjadi tuntutan masyarakat.
Aspek maqa>s}id al-shari>‘ah yang harus terlihat dalam pembelajaran
aspek Aqidah dan Akhlak adalah penguatan pada h}ifz} al-Di>n. Termasuk
didalamnya adalah menjaga h}ifz} al-Nafs. Karena perilaku seseorang
memberikan pengaruh terhadap persepsi positif dan negatif orang lain terhadai
diri seseorang. Sehingga menjadi penting penguatan aspek Aqidah dan Akhlak
dalam Pendidikan Agama Islam.
Selain itu, aspek Aqidah dan Akhlak juga akan tercermin dalam tata
pergaulan seseorang dengan sesama manusia, dengan lingkungan dan dengan
Allah. Aplikasi pembelajaran PAI memberikan tuntunan bagaimana melakukan
hubungan dengan Allah (habl min Alla>h), bagaimana melakukan hubungan
14Penggunaan metode sangat bergantung kepada kreatifitas dan kemampuan guru dalam
merancang pembelajaran. Lihat Bab III sub bab Beberapa Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang digunakan hal 74 dan
15Lihat Bab IV sub bab Prosedur dan Langkah Penerapan motivasi dan learning cycle
145
dengan manusia (habl min al-Na>s) dan bagaimana melakukan hubungan
dengan alam sekitar (habl min al-‘A<lam).16 Kualitas hubungan dengan tiga
unsur ini menjadi ukuran keberhasilan Pendidikan Agama Islam.
Muhammad Abdul Salam Al-A’jami< menjelaskan bahwa pembelajaran
Pendidikan Agama Islam bisa menggunakan metode keteladanan, dengan
bercerita, dengan contoh yang baik dan dengan nasehat.17 Model
Pengembangan Motivasi dan Learning Cycle yang bisa dilakukan dalam aspek
Aqidah-Akhlak ini bisa dalam bentuk billboard ranking (urutan nilai luhur),
learning contract (kontrak nilai) serta pembelajaran berbasis masalah.18
Pada dasarnya, Motivasi dan Learning Cycle yang dikembangkan dalam
aspek Aqidah-Akhlak akan mengacu kepada karakteristik SK dan KD yang ada
dalam aspek Aqidah-Akhlak tersebut. Hal ini berkaitan dengan nilai yang akan
ditanamkan oleh guru kepada siswa. Sehingga variasi model Motivasi dan
Learning Cycle yang akan dikembangkan bisa menyesuaikan dengan nilai yang
ingin ditanamkan. Sementara dari sisi materi pembelajaran Aqidah dan Akhlak,
mengacu kepada SK dan KD yang telah ditentukan.
Di SMP, aspek Aqidah dan Akhlak menjadi satu bagian yang beriringan.
Seperti pada semester 1 dan 2 kelas VII menjelaskan tentang materi Aqidah
dalam bentuk SK dan KD ” Meningkatkan keimanan kepada Allah Swt.
melalui pemahaman sifat-sifat-Nya”, ” Memahami Asmaul Husna”,
“Membiasakan perilaku terpuji : tawadhu, taat, qana’ah, dan sabar”.
Dari SK dan KD Aqidah dan Akhlak yang ada pada kelas VII semester 1
menunjukkan ada penguatan maqa>s}id al-shari>‘ah khususnya penguatan
pada aspek h}ifz} al-Di>n. Selain itu bagaimana melakukan hubungan dengan
16Baca juga Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru, 4-5 17Muhammad Abdul Salam Al-A’jami<, Al-tarbi<yat Al-islamiyat}, (Mesir: Al-Azhar,
2000),131-139 18Hisyam Zaini, Bermawy Munthe, Sekar Ayu Aryani,Strategi Pembelajaran Aktif,
(Yogyakarta : Insan Madani, 2008), 64, 78.
146
Allah (habl min Alla>h), dan bagaimana melakukan hubungan dengan manusia
(habl min al-Na>s) menjadi bagian yang ingin ditanamkan dalam aspek Aqidah
dan Akhlak ini.
Bentuk motivasi yang digunakan dalam aspek Aqidah dan Akhlak
seperti yang pernah dijelaskan pada bab sebelumnya bisa beragam sesuai
dengan nilai yang terkandung dalam setiap SK dan KD. Pada SK dan KD
keimanan kepada asmaul husna dan akhlak terpuji, motivasi yang bisa
dikembangkan bisa merujuk kepada pendapat Al-Ghazali yang dikutip Y.
Suyitno. Menurut Al-Ghazali materi pembelajaran harus memperhatikan tingkat
daya pikir anak. Dalam menjelaskan aspek Aqidah guru memulai dengan
menjelaskan hal-hal yang konkrit baru kemudian menjelaskan hal yang abstrak.
Sementara pada aspek akhlak, metode keteladanan dan nasehat menjadi hal
yang harus ditekankan oleh guru.19
Merujuk kepada pemberian motivasi pada setiap fase learning cycle
maka pemberian pertanyaan20 yang memicu rasa ingin tahu siswa bisa
digunakan ketika menjelaskan persoalan-persoalan Aqidah dan Akhlak.
Pertanyaan tersebut tentu harus aktual dan menggelitik rasa ingin tahu siswa.
Sebagai contoh ketika menjelaskasn “Iman kepada hari akhir”, guru bisa
mengajukan pertanyaan, tentang persoalan bencana yang banyak terjadi. Pada
proses selanjutnya, motivasi yang diberikan akan terlihat dari metode yang
digunakan dan LKS yang disiapkan guru.
C. Penerapan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Fiqih
Menurut Zakiah Daradjat, pembelajaran Fiqih adalah pengajaran yang
bersifat amaliah dan harus mengandung unsur teori dan praktek.21 Pada
19Y. Suyitno , “Tokoh-Tokoh Pendidikan Dunia (Dari Dunia Timur, Timur Tengah dan
Barat)” (Pasca UPI Bandung, 2009),22
20Lihat fase engagement pada bab IV hal 125 21Zakiah Dardjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam,(Jakarta: Bumi
Aksara, 2008),85.
147
tingkatan permulaan menurut Zakiah, pengajaran Fiqih diberikan melalui materi
sederhana, tidak banyak menggunakan dalil-dalil, lebih praktis dan mudah
diamalkan.
Model Motivasi dan Learning Cycle yang bisa dilakukan adalah model
penguatan pada aspek psikomotorik seperti dalam taksonomi Bloom.22 Bentuk
motivasi yang spesifik adalah mendorong siswa untuk melakukan sendiri
berbagai aktivitas yang berkaitan dengan aspek Fiqih. Seperti berwudlu, shalat
berjama’ah, praktek zakat, haji dan sebagainya.
Dengan aktivitas yang langsung dilakukan siswa, guru menjelaskan
makna dasar dari setiap aktivitas tersebut, kenapa hal tersebut penting dilakukan
dan apa yang bisa diambil manfaat dari aktivitas-aktivitas tersebut. Penjelasan
ini bisa dilakukan dengan metode modeling the way (membuat contoh praktek),
practice-rehearsal pairs (praktek berpasangan), atau catatan terbimbing.23
Dilihat dari Taksonomi Bloom, aspek Fiqih lebih menekankan pada
aspek psikomotor dan kognitif. Maka model Bloom tipe yang bisa ditekankan
adalah pada kemampuan P2 dan P3, peniruan dan pembiasaan.24 Namun
demikian aspek pemahaman yang ada pada ranah kognitif juga harus menjadi
perhatian. Sebab aspek psikomotor P2 dan P3 belum bisa terlaksana bila siswa
belum memahami konsep dasar tentang materi Fiqih.25
Sebagai contoh SK kelas VII semester 1 tentang “Memahami ketentuan-
ketentuan thaharah (bersuci)” siswa diajak untuk memahami lebih dulu tentang
pengertian thaharah atau kompetensi C226 dan kemudian siswa diharapkan
22Kenneth D. Moore merumuskan beberapa indikator menyangkut tiga taksonomi
Bloom dalam Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta : Kecana 2004), 140, baca juga Richard Kindsvatter, William Wilen, Margaret Ishler :Dynamics of Effective Teaching, (New York : Longman Publisher, 1996), 161-163
23Hisyam Zaini, Bermawy Munthe, Sekar Ayu Aryani,Strategi Pembelajaran Aktif, (Yogyakarta : Insan Madani, 2008), 32, 76, 81. Baca juga Thoifur, Menjadi Guru Inisiator, (Kudus : Rasail, 2008), 55-70.
24Lihat Bab II hal. 55 25Lihat Bab II hal 53-54. 26Lihat Bab II hal 53
148
mampu mengerjakan sendiri tatacara thaharah setelah melihat, meniru dan
kemudian membiasaan atau kemampuan P2 dan P3.
Motivasi yang bisa diterapkan dalam kegiatan learning cycle adalah
memberikan reward bagi siswa yang bisa memeragakan tatacara bersuci dengan
benar. Sementara model learning cycle yang bisa digunakan adalah pemodelan
pada fase eksplorasi dan elaborasi.27 Hal tersebut perlu diperkuat juga dengan
LKS yang harus disiapkan guru untuk memandu aktivitas siswa.
D. Penerapan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Tarikh
Dalam pembelajaran sejarah, maka aspek interpretasi, analisis, kritik
interen dan ekstern serta sintesis dari fakta sejarah menjadi penting dilakukan.28
Seorang guru dalam melaksanakan pembelajaran sejarah atau tarikh harus
memperhatikan hal tersebut. Siswa didorong atau dimotivasi untuk menemukan
interpretasi dari fakta-fakta sejarah yang mereka temukan melalui bacaan.
Intrepretasi tersebut dilakukan dengan melakukan analisis atas fakta sejarah
tersebut secara objektif.
Merujuk pada Taksonomi Bloom, aspek Tarikh dalam mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam di SMP, lebih menekankan pada aspek kognitif dan
afektif. Lebih khusus lagi sebenarnya adalah bagaimana siswa dipandu untuk
menemukan makna dan spirit dari berbagai peristiwa sejarah yang terjadi.
Sebagai contoh “Memahami sejarah Nabi Muhammad Saw” pada
semester 1 kelas VII memiliki nilai untuk menanamkan semangat perjuangan
Nabi Muhammad yang menyebarkan persamaan derajat dan rahmatan lil
alamin. Aspek sejarah memang memiliki keunikan tersendiri dalam proses
pembelajaran. Guru dituntut untuk memiliki kemampuan menyampaikan
27Lihat bab II sub bab learning cycle hal 43-45, baca juga LC 5E Rodge W Bybe, et all,
The BSCS 5E Instructional Model : Origins, Effectiveness, and Application, 3 28Makalah Mukhlis :”Prawacana Metode dan Pembelajaran Sejarah” diakses dari
http://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/prawacanapenelitian-dan-pembelajaran-sejarah.pdf pada tanggal 2 September 2010.
149
150
semangat atau spirit dan makna yang terkandung di dalamnya dengan cermat.
Pasalnya, dalam materi sejarah hanya ada teks yang berbicara tentang peristiwa-
peristiwa yang terjadi. Sementara spirit dan maknanya harus digali sendiri oleh
guru dan siswa.
Aspek C1, C2 dan C3 termasuk C429 diharapkan bisa dikuatkan sebagai
bagian dari aspek kognitif dalam pembelajaran sejarah ini. Motivasi dan
learning cycle yang bisa diterapkan dalam pembelajaran aspek sejarah bisa
dilakukan dengan berbagai macam kegiatan. Seperti role play, kecakapan
berpikir sintesis kreatif model jurnal kata, peta konsep, portofolio bernotasi dan
lainnya.30
Strategi, metode dan model pembelajaran yang digunakan tersebut tetap
merujuk kepada penguatan nilai yang ingin ditanamkan kepada siswa.
Sementara motivasi yang dibangun adalah menangkap spirit dari setiap
peristiwa sejarah yang terjadi. Termasuk di dalamnya adalah pelaksanaan
learning cycle melalui berbagai aktivitas yang diintegrasikan LKS.
Aspek Tarikh dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMP
memiliki tugas untuk menguatkan maqa>s}id al-shari>‘ah khususnya
menyangkut hubungan manusia dengan agamanya, dengan nabinya, dengan
Allah, dan dengan sesama manusia termasuk dengan tanah airnya. Dalam
konteks hubungan vertikal (habl min Alla>h) maupun hubungan horizontal
(habl min al-Na>s wa habl min al-‘A<lam), termasuk h}ifz} al-wat}an adalah
bagian dari maqa>s}id al-shari>‘ah.31
29Lihat Bab II hal 53-54 30Hisyam Zaini, Bermawy Munthe, Sekar Ayu Aryani,Strategi Pembelajaran Aktif,
(Yogyakarta : Insan Madani, 2008), 158-171. 31Lihat Bab III hal 72
159
BIOGRAFI
N a m a : Mahnan Marbawi
Tempat Tanggal Lahir : Cirebon, 31 Oktober 1973
Tempat Tugas : SMP Negeri 280 Jakarta
Jl. Cilacap No 5 Menteng Jakarta Pusat
Istri : Komariah (32)
Anak : Ishfahani Qotrun Nada (10), Nur Ainun Nufus (4)
Muhammad Zidan Afriansyah (1,5)
Pendidikan :
1. SD Negeri Lewidingding tahun 1986
2. MTs AI Mertapada Cirebon tahun 1989
3. MAAI Mertapada Cirebon tahun 1992
4. STAIN Cirebon tahun 1999
Pengalaman Organisasi :
1. Fasilitator pada program AIBEP (Australi Indonesia Basic Education Program) tahun 2007-2010
2. Tim Teknis pada Direktorat Pembinaan SMP Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2007-2009
3. Sekretaris Jenderal DPP AGPAII (Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia) tahun 2007-2012.
Pedoman Transliterasi Arab-Latin dan Singkatan
A. Translitersi = ء = ز ` z ق = q = ب b س = s ك = k = ت t ش = sh ل = l = ث th ص = ṣṢ م = m = ج j ض = ḍḌ ن = n = ح ḥḤ ط = ṭṬ و = w = خ kh ظ = ẓẒ ه = h = د d ع = y = ي ‘= ذ dh غ = gh ة = t
= ر r ف = f Mad dan Diftong a panjang = ā آ 1 i panjang = Ī إي 2 u panjang = ū او 34 diftong أو = Au uw = اوّ Ai = أيْ Iy = إيّ
“ ditulis al-Ḥamdu 5. Huruf ”الحمد“ ditulis al- seperti ”ال6. Nama orang, nama-nama dan istilah-istilah yang sudah dikenal di Indonesia
tidak masuk dan tidak terkait dengan pedoman ini, contoh: Fatimah, fitnah, shalat, dan lain-lain.
B. Singkatan-singkatan:
H. = Hijrīyat M. = Masehi ra = Raḑīyallāhu‘anhu t.th. = tanpa tahun Saw. = Ṣallallāhu ‘alaihi wasallam t.p. = tanpa penerbit SWT. = Subhānahū wa Ta’ālā t.t. = tanpa tempat
x
153
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zaenal. “Motivasi dalam Strategi pembelajaran Dengan Pendekatan ARCS, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta”. Journal SUHUF, Vol. XVIII, No. 02/Nopember 2006.
Ahmad, Muhammad Abduh, & Ibrahim, Mustofa Abdullah, Tadri<s al-tarbi<yat} al-diniyat} al-islamiyat} bi al-ta’li<m al-am wa al-azhari falsafatuhu. Mesir: Al-Azhar, 2000.
Arends, Richard I. Learning to Teach, terjemahan, Helly Prajitno Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta : Logos, 2002.
Bandura, A., Barbaranelli, C., Caprara, G. V., and Pastorelli, C. Multifaceted impact of self efficacy beliefs on academic functioning. Child Development, 1996.
Boeree, George, Abraham Maslow (1908-1970), Personality Theories. Pennsylvania : Shippenburg University,2006.
Brown, James Dean. “What Issues Affect Likert Scale Questionnaire Formats?”, University of Hawaii at Manoa : Journal JALT & Evaluation SIG Newsletter, April, 2000.
Budianingsih, Asri, Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Budiman, Michael dan Albert, Daniel Y. A. “Student E-Learning Intrinsic Motivation”. Journal CAIS, 2007, volume 19.
Budiman, Didin. “Perbandingan Pengaruh Pemberian Umpan Balik Positif (positive feedback) dan umpan balik betral (neutral feedback) dalam Pembelajaran Penjas Terhadap Pembentukan Konsep Diri Yang Positif Siswa SD”, diakses dari http://file.upi.edu/Direktori/FFPOK/JUR.PEND.OLAHRAGA/DIDINBUDIMAN/Journalsept08.pdf pada tanggal 17 Juni 2010.
Bybee, Rodger W. & Taylor, Joseph A. et all,. The BSCS 5E Instructional Model: Origins, Effectiveness, and Applications. Colorado :Springs, BSCS, 2006.
Coon, Denis. Introduction to Psychology : Exploration and Application. Ottawa : St Paul, 1983,
Daradjat, Zakiah Dkk. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta :Bumi Aksara, 2008.
154
Djunaedi, Achmad. “Pengantar : Apakah Penelitian Itu?, makalah mata kuliah Pengantar Metodologi Penelitian pascasarjana,” http://mpkd.ugm.ac.id/weblama/homepageadj/support/materi/metlit-i/a01-metlit-pengantar.pdf diakses tanggal 10 Mei 2010.
Foley, Dave, Ultimate Classroom Control handbook, Indianapolis : Harvard
University, 2007 Goldberg. “A developmental investigation of intrinsic motivation : Correlates,
causes, and cosequenses in high ability students”. Doctoral dissertation, University of Virginia, 1994.
Gredler. Learning and instruction : Theory into practice. (4nd ed.). Prentice-Hall, Inc., Upper Saddle River, New Jersey. In Broussard, S. C. 2002). The Relationship Between Classroom Motivation and Academic Achievement in First and Third Graders. Graduate thesis, The School of Human Ecology, Louisiana State University, 2002). Internet Access : etd.lsu.edu/docs/available/etd-1107102185505 /unrestricted / Broussard_thesis.pdf diakses pada tanggal 10-11-09
Harianti, Diah. “Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Pendidikan Agama,” bagian D. Prinsip Pelaksanaan Kurikulum, poin 1, (Puslitbang Pusat Kurikulum Depdiknas, 2007.
Harlen, Wayne & Crick, Ruth Deakin. “Testing and Motivation for Learning, Graduate School of Education, Assessment in Education”, Journal Assassment in Education Vol.10, No.2 July, 2003.
Harsiati, Titik. “Learning Cycle dalam workshop AIBEP (Australia Indonesia Basic Education Programs)”, 2007.
Hidayat. “Identifikas hambatan Perkembangan Belajar dan Pembelajaran, disampaikan pada Workshop "Pengenalan & Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) & Strategi Pembelajarannya“ (Balikpapan 25 Oktober 2009 – Hotel Pacific).
Hill, Winfred. F. Theories Of Learning : Teori-teori Pembelajaran, Terj; M.Khozin. Jakarta: Nusa Media, 2009.
Interfidei, “Ringkasan Laporan : Penelitian Problematikan Pendidikan Agama: Penelitian di sekolah-sekolah SD, SMP, SMA dan SMK di Jogja 2004-2006”, Jogjakarta : Interfidei, 2006.
Ibrahim, Abu Ishak bin Musa, Ál-muwaffaqat, Kairo, Da>r al-fikr,790 H
Karwono, “Pengaruh Pemberian Umpan Balik dan Locus of Control Terhadap Kemampuan Mahasiswa dalam Mengelola Pembelajaran Mikro (Studi Eksperimen pada Mahasiswa FKIP Universitas Muhammadiyah Metro
155
Lampung)”, hasil penelitian ini disampaikan pada seminar nasonal UMM Lampung.
Kerlinger, Fred N. Asas-Asas Penelitian Behavioral.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
Kiranawati. Makalah : Prinsip-prinsip kegiatan belajar mengajar : panduan pembelajaran efektif, Januari, 2008.
Kolb, David A. & Boyatzis, Richard E. Experiential Learning Theory: Previous Research and New Directions. dalam R. J. Sternberg and L. F. Zhang (Eds.), Perspectives on cognitive, learning, and thinking styles. NJ: Lawrence Erlbaum, 2000.
Kristianty, Theresia. “Pandangan-pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme tentang Pemerolehan Bahasa Pertama”. Journal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006.
Kurniahadi, Kusdian. “Penelitian : Pengaruh Metode Perubahan Konseptual (Conceptual Change Methodes) dalam Setting Model 5 E Terhadap Pemahaman Konsep Siswa SMA Lan Undhiksha Singaraja”. Fak.Pendidikan MIPA Univ. Udayana, 2006.
Lovorn, Michael G. “Humor in the Home and in the Classroom: The Benefits of Laughing While We Learn”, Journal of Education and Human Development: California State University, Long Beach, Volume 2, Issue 1, 2008, ISSN 1934-7200, 6.
Makmun, Abin Syamsuddin. Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Remaja, 2003.
Mar’i, Taufiq Ahmad. dan Alhilliyah, Muhammad Mahmud, T{arāiq al-Tadrīs al-Ammat. Kairo, Darul Masirāt, 2005.
Muflihin, Muh. Hizbul. “Aplikasi dan Implikasi Teori behaviorisme Dalam Pembelajaran (Analisis Strategi Inovasi Pembelajaran”. Khazanah Pendidikan : Journal Ilmiah Pendidikan, Vol I, No. 1, Maret 2009.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo, 2009.
Muhaimin, “Analisis Kritis Terhadap Permendiknas No. 23/2006 tentang SKL & No. 22/2006 tentang Standar Isi PAI di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA”, Makalah disampaikan pada Workshop Penilaian PAI pada Sekolah Depag. Bogor, Depag, 2007.
156
Nasution, Harun. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran.Bandung : Mizan, 1995.
Nata, Abuddin. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta : Kencana Prenada Media Group,2009.
Nevin, John A. “Analyzing Thorndike’s Low Of Effect: The Question of Stimulus-Respons”, Journal of The Experimental Analysis Of Behavior, University of New Hampshire, 1999.
Othman , Abdul Jalil dan Omar Bahtiar. “Aplikasi Pembelajaran Secara Konstruktivisme Dalam Pengajaran Karangan Berpadu”. Jurnal “Masalah Pendidikan”, Universitas Malaya, 2005.
Pintrich, Paul R. dan Schunk Dale H. Motivation in Education, Theory, Research, and Applications. Ohio : Prentice-Hall Columbus Ohio, 1996.
Pujadi, Arko. ”Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar Mahasiswa”, Journal Bussines & Management Bunda Mulia Volume 3, No 2 September 2007
Pujiastuti, Syntia. ”Pentingnya Pertanyaan dalam Proses Pembelajaran”, diakses dari http://www.sd-binatalenta.com/arsipartikel/artikel_tya.pdf pada tanggal 15 Juni 2010.
Pusat Kurikulum Depdiknas, Standar Kompentensi Mata Pelajaran Agama Islam Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyyah. Jakarta: Depdiknas, 2004.
Rosyada, Dede. Paradigman Pendidikan Demokratis : Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2004.
Sagala, Syaiful. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta, 2008.
Santyasa, I Wayan. Makalah “Landasaran Konseptual Media Pembelajaran” , disajikan dalam Worh Shop Media Pembelajaran bagi Guru-Guru SMAN Banjarangkan Klungkung.
Sardiman, A.M. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2008.
Senjaya, Wina. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008.
Setiawan Wawan,& Indrawati. “Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan Untuk SD”, Jakarta: P4TK IPA, 2009.
Settlage, John &, Shotherland, Sherry A. Teaching Science to every Child : Using Culture as a starting Point. Wasingthin, D.C. : The National Academios Press, 2007.
157
Siberman, Melvin L. Active Learning: 101 Strategia to Teach Any Subject, penerjemah Sarjuli dkk.Yogyakarta : Pustaka Insan Madani-Yappendis, 2002.
Sihombing, Sabrina Oktaria, “Hubungan Sikap dan Perilaku Memilih satu Merek : Komparasi antara Theory of Planned Behavior and Theory of Trying”, Disertasi Universitas Gajah Mada, 2004.
Soekamto, Toeti dan Winataputra, Udin Saripudin. Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas, 1997.
Solihatin, Etin & Raharjo. Cooperative Learning; Analisis Model Pembelajaran IPS, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Stavraki, Maria G.The role of affect in attitude change through advertising. Athens University of Economics & Business : Department of Marketing & Communication, 2007.
Subandowo, M. “Peningkatan Produktivitas Guru dan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan pada Era Global”. Khazanah Pendidik ; Journal Ilmiah Kependidikan, Vol 1, No. 2 Maret 2009.
Sudrajat, Ahmad. ”Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik dan Model Pembelajaran”, www.akhamdsudrajat.blog diakses tanggal 2 Januari 2010.
Supriawan, Dedi dan Surasega. A. Benyamin. “Strategi Belajar Mengajar”, Diktat Kuliah. Bandung: FPTK-IKIP Bandung, 1990.
Susilana, Rudi. “Model-Model Pembelajaran berdasarkan Teori Belajar”, Makalah kuliah FAK Ilmu Pendidikan, dalam bentuk power point”. Bandung: UPI, 2009.
Sutikno, M. Sobri. ”Peran Guru dalam Membangkitkan Motivasi Belajar Siswa”, makalah seminar pendidikan.
Syaerozi, Arwani. Makalah : “Para Pionir Kajian maqāṣiḍu al-shari’at”, Cirebon : Fahmina Institute Cirebon,2007.
Tafsir, Ahmad. Makalah Pendidikan Agama Islam di Sekolah, tanpa keterangan tempat dan tahun.
Thoifur. Menjadi Guru Inisiator. Jakarta : Rasail Media Group, 2007.
USAID, What Is Active Learning (WIAL) Panduan untuk Fasilitator, DBE 2008, hal 15.
Usman, Basyiruddin. Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Jakarta : Ciputat Pers, 2002.
Usman, Basyiruddin. Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Jakarta : Ciputat Pers, 2002.
158
Vroom, Victor. “Motivation and Management, Expectancy Theory’s Vroom”, diakses dari www.valuebasedmanagement.com pada tanggal 12 Desember 2008.
Wilen, William & Ishler, Margareth. Dynamics of Effective Teaching. New York : Longman Publisher, 1996.
Yulia, Anna. Working Mom & Kids. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2007.
Zaini, Hisyam dkk,. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta : Pustaka Insan Madani, 2008.
Zainuddin, M. Kesalehan Normatif dan Kesalehan Sosial. Jakarta: UIN Press, 2007.