Post on 04-Jul-2019
Halaman 1 dari 26
MODUL TUNARUNGUPENDALAMAN MATERI IDENTIFIKASI DAN ASESMEN
TUNARUNGU
Logo (Kosongkan)
Penulis
Dr. MURNI WINARSIH, M.Pd
PPG Dalam JABATANKementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Tahun 2018s
Halaman 2 dari 26
I. PendahuluanA. Rasionalisasi dan Deskripsi Singkat
Pendengaran adalah indera yang paling utama digunakan dalam mengakses
informasi. Kehilangan indera pendengaran berdampak kepada kehilangan
dalam segala sendi kehidupan, terlebih bagi individu yang mengalami
ketunarunguan sejak lahir.
Ketunarunguan yang dialami individu berakibat kepada tidak dialaminya masa
pemerolehan bahasa dan pengalaman berbahasa, miskin kosakata, tidak
mengenal lambang bunyi bahasa, dan tidak mampu berbahasa dan
berkomunikasi layaknya individu yang mendengar. Pada akhinya
ketunarunguan yang dialami membawa berbagai permasalahan dalam
kehidupan antara lain masalah dalam berbahasa dan berkomunikasi, masalah
persepsi, pendidikan,vokasional dan masalah sosial.
Untuk mengetahui lebih jelas terkait individu yang mengalami ketunarunguan
atau tidak perlu dilakukan identifikasi dan asesmen yang merupakan langkah
awal sebelum memberikan intervensi pedagogik. Modul ini membahas tentang
identifikasi dan asesmen kepada peserta didik yang diduga memiliki
kehilangan pendengaran atau tunarungu dengan cara-cara dan teknik
tradisional dan modern..
B.Relevansi
Seorang guru yang profesional hendaknya memiliki kemampuan dalam
melakukan identifikasi dan asesmen kepada peserta didiknya. Dengan
memiliki kemampuan ini diharapkan guru dapat memberikan layanan yang
tepat sesuai dengan karakteristik dari peserta didiknya.
Diharapkan setelah mempelajari modul ini peserta diklat PPG PLB dapat
mempraktikkan pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan identifikasi
dan asesmen sebelum melakukan pembelajaran, sehingga diperoleh hasil
yang optimal.
Halaman 3 dari 26
C. Petunjuk belajar
Modul ini adalah sumber belajar utama yang harus dipelajari oleh peserta diklat
PPG program studi Pendidikan Luar Biasa dengan bidang pendalaman materi
tunarungu. Sebaiknya modul ini dibaca dan dipahami secara utuh dan
berurutan mulai dari kegiatan Belajar 1 sampai Kegiatan Belajar 4 (KB 1-KB
4), sehingga diperoleh pemahaman yang menyeluruh.
II. Kegiatan BelajarA. KEGIATAN BELAJAR 3 : Konsep Identifikasi dan Asesmen Tunarungu
1. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan
Menguasai konsep teoritis identifikasi dan asesmen anakberkebutuhan khusus.
2. Sub Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan
1. Menganalisis konsep identifikasi dan asesmen peserta didik
tunarungu dari beberapa ahli
2. Menguasai jenis-jenis asemen pendengaran
3. Mampu melakukan identifikasi kepada peserta didik tunarungu
4. Mampu melakukan asesmen kepada peserta didik tunarungu
3. Pokok-Pokok Materi
1. Pengertian, tujuan, dan manfaat Identifikasi dan Asesmen
2. Jenis-jenis asesmen pendengaran
3. Pelaksanaan identifikasi berdasarkan ciri fisik peserta didik tunarungu
4. Pelaksanaan asesmen pendengaran secara tradisional dan modern
4. Uraian Materi
Untuk memudahkan pencapaian pembelajaran peserta diklat PPG
program studi Pendidikan Luar Biasa dapat mempelajari uraian materi
yang disampaikan dalam modul ini adalah sebagai berikut:
1. Pengertian Identifikasi
Halaman 4 dari 26
Istilah identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan atau proses
menemukan anak apakah mempunyai kelainan/masalah, atau proses
pendeteksian dini terhadap anak berkelainan. Identifikasi anak
berkelainan/anak bermasalah dimaksudkan sebagai upaya seseorang
(orang tua, anggota keluarga lainnya, guru maupun tenaga
kependidikan lainnya) untuk melakukan proses penjaringan atau
pendeteksian dini terhadap anak yang mengalami
kelainan/penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, emosional, tingkah
laku) dengan memperhatikan/memahami gejala awal secara seksama
dalam rangka pemberian intervensi sedini mungkin. Dapat pula
dikemukakan bahwa identifikasi adalah upaya yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan (guru/pendidikan, orang tua,
keluarga, masyarakat, tenaga ahli lainnya) untuk mengenal/memahami
seorang anak dengan meninjau gejala-gejala pada kondisi fisiknya dan
tingkah lakunya.
Secara umum tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi
apakah seorang anak mengalami kelainan/hambatan/penyimpangan
atau tidak. Disebut mengalami kelainan/hambatan/penyimpangan
tentunya harus dibandingkan dengan anak lain yang sebaya
dengannya.
Sedangkan pengertian asesmen seperti yang telah diungkapkan oleh
Lerner (1988 dalam Patmonodewo, 2001) adalah: “Asesmen adalah
suatu proses pengumpulan informasi tentang seorang anak yang akan
digunakan untuk membuat pertimbangan dan keputusan yang
berhubungan dengan anak tersebut. Tujuan utama dari suatu asesmen
adalah untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam merencanakan program pembelajaran
bagi anak berkelainan/bermasalah. Hargrove dan Poteet (1984: 1)
menjelaskan mengenai asesmen sebagai berikut : asesmen
merupakan salah satu dari tiga aktivitas evaluasi pendidikan. Ketiga
Halaman 5 dari 26
aktivitas tersebut adalah (1) asesmen, (2) diagnostik, dan (3)
preskriptif. Dengan demikian asesmen dilakukan untuk menegakkan
diagnosis/dugaan, dan berdasarkan diagnosis tersebut dibuat
preskripsi. Preskripsi tersebut dalam bentuk aktualnya adalah berupa
program pendidikan individual (individualized educational programs).
Asemen dilakukan untuk lima keperluan, yaitu (1) screening
(penyaringan), (2) referal (pengalihtanganan), (3) classification
(klasifikasi), (4) instructional planning (perencanaan pembelajaran),
dan (5) monitoring pupil progress (pemantauan kemajuan belajar
anak).
Intervensi dini adalah suatu kegiatan edukatif degan memberikan
pengaruh dengan layanan-layanan khusus pada anak yang mengalami
masalah atau gangguan, sesuai dengan kebutuhan anak tersebut. Di
Indonesia istilah “Intervensi Dini” diawali dengan istilah “Stimulasi Dini”.
Stimulasi Dini tersebut merupakan tugas dokter, terapis, psikolog,
pendidik atau ahli lainnya saja, yang melakukan perubahan terhadap
anak dan tidak memandang anak sebagai manusia yang memiliki
potensi dan berbagai keinginan serta peran orangtua hanyalah untuk
mengikuti instruksi-instruksi yang diberikan oleh terapis, misalnya si
anak harus latihan sepuluh kali dan harus mengikuti apa yang
diperintahkan oleh terapis tersebut.
Hal ini berbeda dengan pandangan yang terjadi pada tahun 1980-an,
ketika keinginan-keinginan anak diperhatikan dan orangtua merupakan
bagian dari situasi yang dihadapi anak. Selain itu anggota keluarga
lainnya seperti kakak, adik, kakek atau nenek ikut membantu dalam
mengatasi masalah yang terjadi pada anak, bahkan guru pun ikut
terlibat dalam melakukan kegiatan itu. Guru harus dapat berempati
kepada anak, misalnya dalam menilai hasil kerja anak dan memberikan
pujian jika anak mengerjakannya dengan baik. Bila hasil kerja anak
tidak/kurang baik, maka dengan bijaksana guru memberitahukan
Halaman 6 dari 26
kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangannya, serta
memberikan solusi terhadap kesalahan-kesalahan atau kekurangan-
kekurangan yang dilakukan oleh anak tersebut. Program intervensi dini
pada tahun 1980-an atau yang disebut program “generasi kedua”
didasarkan atas penelitian mutakhir tentang bayi, khususnya hasil
penelitian tentang perkembanagan emosi dan komunikasi anak
(penulisnya termasuk Stern, Trewarthen, Tronick, Papouseko), dan
pendekatan berorientasi mediasi (misalnya Vygotsky, Feuerstein,
Klein). Program yang paling terkenal dari tradisi ini adalah program
ORION (Marte Meo) dari Belanda dan Program anak yang lebih cerdas
dan sensitif (MISC = More Intelligent and Sensitive Child) dari Israel.
Kelebihan dari program-program ini dibangun atas dasar deskripsi
spesifik dan bernuansa interaksi penting yang kualitas dalam penelitian
bayi dan anak. Program inipun bertitik tolak dari situasi sehari-hari yang
sesuai dengan pengalaman interaksi orangtuanya.
Zigler (1990) dalam Patmonodewo (2001) berpendapat bahwa
intervensi dini bertujuan membantu anak dalam keluarga dengan
harapan agar anak dapat bertahan dengan optimal dalam pertumbuhan
dan perkembangannya. Intervensi dini tidak hanya ditujukan kepada
anak yang berkelainan atau kepada anak yang tidak beruntung saja,
tetapi juga bagi anak yang beresiko tinggi termasuk juga terhadap anak
yang berada dalam lingkungan yang tidak kondusif. Intervensi dini
dapat diberikan oleh para orangtua baik yang kondisi sosial
ekonominya menengah ke bawah, maupun bagi keluarga dari latar
belakang sosial ekonomi tinggi, yang menginginkan anaknya tumbuh
dan berkembang secara optimal.
Menurut Meisels & Shonkoff (1990) dalam Patmonodewo (2001),
intervensi dini meliputi dua asumsi berikut :
Halaman 7 dari 26
1. Kegiatan yang bersifat interdisiplin (kedokteran, pendidikan,
pelayanan sosial, pengasuhan, kesehatan masyarakat dan
psikologi).
2. Anak usia dini yang mengikuti program intervensi dini tersebut
harus didekati melalui lingkungan keluarga, yang dipengaruhi oleh
suatu sistem sosial yang lebih luas yaitu lingkungan sosial budaya.
Intervensi dini merupakan kegiatan yang diberikan oleh beraneka
ragam disiplin ilmu yang ditujukan kepada anak-anak yang tidak
optimal perkembangannya (disebabkan kondisi lingkungan anak atau
karena anak mengalami kelainan/hambatan), sejak lahir sampai usia
sembilan tahun. Program intervensi dini tersebut dirancang guna
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak, meminimalkan
kesenjangan pertumbuhan (perkembangan) dengan potensi anak,
mengoreksi kemunduran dari perkembangan anak berkelainan dengan
meningkatkan penyesuaian diri anak terhadap lingkungan yang lebih
luas.
Hamburg (1987) dalam Patmonodewo (2001), berpendapat bahwa
intervensi dini yang dilakukan pada tahun-tahun pertama sejak
kelahiran anak dapat memberikan dasar kualitas untuk kehidupan
dalam waktu yang lama dan kesehatan jangka panjang. Kesehatan,
gizi dan pendidikan sangat berkaitan satu sama lain, intervensi yang
melibatkan tiga unsur tersebut dapat menghasilkan manusia yang
tegar, terampil, mudah menyeseuaikan diri dengan lingkungannya,
walaupun dalam lingkungan yang berubah-ubah sekalipun.
Dari berbagai pengertian tentang intervensi dini di atas, penulis
membatasi pengertian intervensi dini dari sudut pandang pendidikan
yaitu :
Intervensi Dini adalah suatu kegiatan campur tangan edukatif dalam
kehidupan seorang anak sejak usia dini atau sejak diketahui terjadinya
suatu hambatan/masalah pada diri anak, dengan melibatkan semua
Halaman 8 dari 26
pihak mulai dari orangtua, anggota keluarga dan pendidik, dengan
memperhatikan segala potensi yang dimiliki dan semua keinginan-
keinginan anak serta dengan menunjukkan empati, interaksi dan sikap
yang positif sebagai jembatan untuk mengadakan keterikatan terhadap
anak.
Sehubungan dengan itu intervensi dini sangat membutuhkan peran
dan bantuan serta adanya kerjasama yang baik antara anak, orangtua,
anggota keluarga dan pendidik sebagai tim yang saling membutuhkan
satu sama lain.
Istilah identifikasi dan asesmen sering dipergunakan secara
bergantian. Secara harfiah sesungguhnya identifikasi berbeda dengan
asesmen. Identifikasi lebih merupakan tahapan awal yang masih
bersifat kasar atau masih bersifat global dari asesmen yang bersifat
lebih rinci, detail dan halus serta lebih formal. Tujuan dan alat serta
petugas identifikasi dan asesmen juga berbeda. Hal ini menyangkut
masalah kompetensi dan profesionalisme.
Merujuk pada pengertian mengenai asesmen sebelumnya, maka
petugas atau orang yang melakukan asesmen erat sekali hubungannya
dengan masalah kompetensi (kemampuan) dan profesionalisme.
Dapat dipastikan sebagian besar orang tua tidak memiliki kemampuan
atau profesionalisme untuk melakukan asesmen yang prosedur dan
kegiatannya begitu rinci. Guru-guru tertentu yang telah dibekali
pengetahuan mengenai asesmen, dapat melakukannya di sekolah.
Program intervensi dini yang dilakukannya pun didasarkan pada hasil
asesmen.
2. Jenis – Jenis Asesmen pendengaran/Intervensi Dini Anak Tunarungu
Intervensi bagi anak tunarungu tidak akan berhasil tanpa kerjasama
antara dokter /tenaga ahli, pendidik dan orangtua. Dari dokter/tenaga
ahli, dapat diketahui seseorang mengalami gangguan pada organ
Halaman 9 dari 26
pendengarannya, pendidiklah yang melakukan pembelajaran
pemerolehan bahasa dan orangtua pun membantu anak tunarungu
dalam mengembangkan bahasa yang diperolehnya. Di bawah ini akan
dibahas jenis-jenis intervensi dini bagi anak tunarungu dari segi medis,
prostetik dan habilitatif
1. Intervensi Dini Secara Medis
Secara medis seorang anak dapat diketahui apakah mengalami
gangguan pendengaran atau ketunarunguan melalui seorang ahli:
dokter anak, dokter THTdan audiolog. Dari dokter THT ini, seeorang
dapat diketahui mengalami gangguan pendengran, kemudian oleh
audiolog diukur derajat ketuliannya melalui pengukuran pendengaran
dengan menggunakan alat audiometer dan alat pengukuran yang lain
seperti garpu tala, free fieldt test, conditined test.Pengukuran
pendengaran yang dilakukan pada bayi berbeda dengan pengukuran
pendengaran yang dilakukan pada anak kecil. Tujuan dari
pengukuran pendengaran ini untuk mengumpulkan informasi, data-
data yang berkaitan dengan kemampuan pendengaran seseorang,
sehingga dapat membantu untuk pemakaian alat bantu mendengar
yang sesuai dengan derajat ketuliannya. Skema intervensi dini secara
medis pada anak untuk mengetahui jenis kelainan yang dimiliki dapat
dilihat pada Gambar 1
Halaman 10 dari 26
Gambar 1. Deteksi Dini pada Anak untuk Mengetahui Jenis Kelainan
Pendengaran
a. Pengukuran Pendengaran Pada Bayi
1) Behavioral Observasi Audiometry (BOA)
Pengukuran behavioral observasi audiometry ini yaitu dengan
mengamati tingkah laku, reaksi atau perubahan sikap yang terjadi
pada bayi saat bayi diberikan rangsangan atau stimulus berupa
bunyi. Misalnya dengan menggunakan krincingan yang dibunyikan
dari arah samping atau belakang, diharapkan bayi menunjukkan
reaksi mata berkedip,mata melebar, tiba-tiba terdiam atau menoleh
ke arah sumber bunyi (Cox, 1980).
Selain krincingan dapat juga digunakan tepukan tangan, suara
manusia, dentingan sendok pada gelas, gendang, bel atau alat-alat
lain yang dapat menghasilkan bunyi. Pada pengukuran ini,
pengamatan harus cermat, reaksi bayi harus betul-betul alami terjadi
bukan karena kebetulan bayi itu bergerak, lalu si pengukur atau
observer langsung mengambil kesimpulan bahwa ada reaksi dari
bayi.
Anak
IntervensiDini secara
Medis
DokterAnak
Dokter
THT
Audiolog
- Ketunarunguan
- Derajat Ketulian
Halaman 11 dari 26
2) Free Fields Test
Pengukuran pendengaran ini hampir sama dengan BOA yaitu
mengamati perubahan tingkah laku atau respon bayi terhadap
rangsangan atau stimulus berupa bunyi, perbedaannya terletak
pada penggunaan sumber bunyi. Pada Free Fields Test ini, sumber
bunyi yang digunakan sudah dikalibrasi intensitasnya
(kekuatannya).
Alat-alat yang digunakan sebagai sumber bunyi pada Free Fields
Test ini berupa baby reactometer, vianatone. Alat-alat ini
mengeluarkan bunyi dengan intensitas yang lemah hingga kuat,
secara otomatis dapat dilihat pada alat tersebut. Penggunaan alat
ini yaitu bayi diletakkan pada ruangan yang hening dalam keadaan
terjaga/tidak sedang tidur, kemudian dari jarak sekitar 1-2 meter alat
tersebut dibunyikan, sampai bayi tersebut menunjukkan reaksi.
Derajat ketulian (dB) diperoleh saat itu juga saat bayi menunjukkan
reaksi, pada alat akan tertera angka yang merupakan dB anak
tersebut (Cox,1980).
3) Brain Evoked Response Audiometry (BERA)
Dari dua jenis pengukuran diatas, Brain Evoked Response
Audiometry merupakan yang paling obyektif, menggunakan
perangkat komputer dan tidak membutuhkan pengamatan respon
dari anak. Pemeriksaan ini dilakukan saat bayi sedang tidur, lalu
dipasang alat BERA kemudian muncul pada layar komputer
gelombang cetusan potensial listrik yang terjadi sejak stimulus bunyi
diberikan sampai mencapai pusat pendengaran di otak (Cox, 1980).
Pengukuran ini dapat dilakukan di rumah sakit-rumah sakit besar
seperti Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di Jakarta, yang
dilakukan oleh tim medis atau dokter ahli. Hasil dari pengukuran
Halaman 12 dari 26
pendengaran ini juga dapat diketahui letak kerusakan/kelainan yang
terjadi .
b. Pengukuran Pendengaran Pada Anak
1) Conditoned Test
Pada pengukuran pendengaran ini, anak dikondisikan atau dilatih
terlebih dahulu dengan permainan sebelum pemeriksaan
dilakukan. Misalnya dengan memasukkan kelereng ke dalam kotak
setiap mendengar bunyi. Setelah anak mengerti instruksi yang
diinginkan, barulah pemeriksaan dapat dilakukan dengan
memberikan rangsangan bunyi.
Pengukuran jenis ini, bisa jadi tidak obyektif. Oleh karena itu
pengamatan yang jeli sangat dibutuhkan dalam melakukan
pemeriksaan ini. Konsentrasi anak juga sangat diperlukan dalam
pemeriksaan ini.
2) Test Berbisik
Tes ini bersifat kuantitatif, hasil dari pemeriksaan diperoleh derajat
ketulian(dB) secara kasar. Tes ini dilakukan pada ruangan yang
cukup tenang dan hening. Penggunaan kata-kata harus yang
sudah dikenal anak dan terdiri dari dua kata, telinga yang tidak
diperiksa harus ditutup. Pemeriksaan dimulai pada jarak enam
meter, kemudian pemeriksa maju setiap satu meter sampai si anak
dapat mengulangi kata-kata yang dibisikkan dengan benar.
Pada pengukuran ini, pemeriksa harus mengucapkan kata-kata
dengan berbisik tidak terlalu pelan juga tidak melebihi suara
percakapan biasa. Posisi anak yang diperiksa harus
membelakangi pemeriksa. Tes ini sangat sulit dilakukan dan
hasilnya pun kurang obyektif.
3) Garpu tala
Halaman 13 dari 26
Pengukuran pendengaran dengan garpu tala yaitu dengan
mencatat reaksi anak terhadap getaran-getaran bunyi yang
dihasilkan garpu tala. Penggunaan garpu tala ini sudah jarang
dilakukan karena banyak kelemahannya, seperti kekerasan bunyi
dari garpu tala tidak tetap, kekerasan bunyi garpu tala berkurang
dengan cepat, hanya dapat diperdengarkan satu nada saja.
Kelemahan yang terakhir dapat diatasi dengan mempergunakan
beberapa garpu tala dengan masing-masing frekuensi. Sedangkan
kelemahan yang lain tidak dapat diatasi karena kekerasan bunyi
garpu tala tidak dapat diukur waktu tes berlangsung.
Intervensi secara medis yang dilakukan oleh dokter atau tenaga
ahli yaitu dengan melakukan pemeriksaan–pemeriksaan organ
pendengaran dan melakukan pengukuran pendengaran terhadap
bayi dan anak sejak dini. Pengukuran pendengaran yang dilakukan
sedini mungkin dapat membantu anak dalam pemerolehan
bahasanya. Sedini mungkin anak diketahui derajat ketuliannya,
sedini mungkin pula penanganan terhadap hambatan anak
tunarungu dapat diatasi. Bila memungkinkan dapat dilakukan
pembedahan/operasi cochlea inplant untuk memfungsikan
kembali organ –organ pendengaran yang rusak.
Setelah dilakukan pemeriksaan dan pengukuran pendengaran,
maka anak dapat digolongkan kedalam kurang dengar atau tuli.
Sehingga dapat diberikan alat bantu mendengar yang sesuai
dengan derajat pendengarannya.
2. Intervensi dini Secara Prostetik
Halaman 14 dari 26
Intervensi dini secara prostetik yaitu dengan memberikan alat bantu
mendengar (ABM) sesuai dengan derajat ketulian anak. Intervensi
dini secara prostetik ini bertujuan membantu anak dalam
pemerolehan bahasa melalui penggunaan alat bantu mendengar
secara tepat dan benar.
Pemberian alat bantu mendengar tidak boleh sembarangan, namun
berdasarkan hasil pemeriksaan dokter dan tim medis. Penggunaan
alat bantu mendengar bukan berarti anak dapat langsung mendengar
dan bisa berbahasa. Alat bantu mendengar merupakan alat batu yang
berfungsi merangsang syaraf-syaraf pendengaran yang tidur agar
berfungsi kembali dalam menerima rangsang bunyi dari luar.
Penggunaan alat bantu mendengar harus dibiasakan sejak dini,
walaupun anak belum menyadari manfaat dari alat bantu mendengar
tersebut. Pengaturan volume hendaknya dari volume yang rendah
dahulu, kemudian rangsang anak dengan suara rabanan sampai
wajah anak menunjukkan reaksi (mendengar bunyi),lalu panggil
nama anak (tanyakan ada suara atau tidak), jika anak menyadari
sudah ada suara maka volume dapat dinaikkan sedikit.
Orangtua hendaknya dapat membujuk anak untuk menggunakan alat
bantu mendengar, serta dapat memasangkan alat bantu mendengar
dengan sabar dan teliti. Hal ini sangat membantu anak agar senang
dengan ABMnya. Setelah anak merasa senang dengan
menggunakan alat bantu mendengar, barulah anak diberikan latihan-
latihan untuk merangsang pendengarannya melalui suara anak itu
sendiri, suara guru, atau suara musik.
Intervensi dini prostetik dengan memberikan alat bantu mendengar
kepada anak tunarungu sangat penting. Tanpa penggunaan alat
bantu mendengar kondisi anak tunarungu tidak banyak berubah.
Karena tidak adanya rangsangan yang diterima oleh anak, sehingga
Halaman 15 dari 26
anak dapat menunjukkan reaksi terhadap bunyi yang diterimanya
(Nugroho, 2004).
3. Intervensi Dini Secara Habilitatif
Dengan adanya hambatan-hambatan yang dimiliki anak tunarungu,
maka intervensi dini dalam bidang pendidikan merupakan langkah
penting bagi upaya pemenuhan kebutuhan akan bahasa, dan untuk
mengatasi problema-problema akibat dari ketunarunguannya.
Intervensi dini secara habilitatif merupakan bentuk intervensi dengan
memberikan pengaruh secara edukatif dalam kehidupan seorang
anak sejak usia dini dan segera setelah diketahui ketunarunguannya
Nugroho, (2004).
Jenis intervensi dini secara habilitatif ini dengan memberikan
pemerolehan bahasa kepada anak melalui pendidikan yang sesuai
dengan hambatan yang dialami anak. Sekolah luar biasa bagian B
merupakan salah satu sekolah yang secara khusus menangani anak
tunarungu. Di lembaga ini anak tunarungu diberikan pembelajaran
pemerolehan bahasa, baik melalui percakapan maupun dengan
pengajaran wicara.
Melalui intervensi dini habilitatif ini, kemampuan bahasa yang sudah
ada pada anak tunarungu ini ditingkatkan kembali, dan dikembangkan
hingga anak tunarungu dapat berkomunikasi secara lisan dengan
menggunakan bicara/verbal. Bentuk intervensi dini habilitatif ini, lebih
menekankan proses pemerolehan bahasa dalam setting
pembelajaran di sekolah. Melalui interaksi guru dengan anak
tunarungu, pemerolehan bahasa diberikan.
Dalam pembelajaran yang dilakukan guru berperan sebagai orangtua
yang mengajak anaknya bercakap, melalui pemberian stimulasi atau
rangsangan kepada anak tunarungu. Motivasi, kreatifitas, kesabaran
dan loyalitas yang tinggi sangat dibutuhkan dalam mengajar anak
Halaman 16 dari 26
tunarungu, terlebih anak tunarungu usia dini. Pembelajaran
pemerolehan bahasa harus dilakukan dengan menyenangkan,
ditunjang dengan media konkrit (misalnya dalam percakapan
membicarakan tentang balon, maka harus ada balon yang
sebenarnya, jika tidak ada harus divisualisasikan dalam gambar balon
yang menarik).
Intervensi dini habilitatif yang diberikan dalam proses pembelajaran
pemerolehan bahasa di kelas hendaknya menjadi pembelajaran yang
bermakna bagi anak tunarungu (Nugroho, 2004). Bermakna disini
menjadikan anak tunarungu mengetahui dan merasakan apa yang
sudah diperolehnya dalam pembelajaran, bisa melalui dramatisasi
atau bermain peran. Misalnya memerankan profesi seorang
pramugari dalam pesawat, memperagakan orang yang sedang
kesakitan, dan memerankan aktifitas lainnya. Anak tunarungu
hendaknya dapat mengerti dan memahami serta merasakan bahasa
yang sudah diperolehnya, sehingga anak tunarungu dapat
mewujudkan impiannya yaitu dapat berbahasa dan berkomunikasi
secara verbal.
3. Pelaksanaan proses Identifikasi pada Tunarungu
Proses Identifikasi perlu dilakukan secara berkisenambungan antara
orangtua, anggota keluarga lainnya, dan guru. Orang tua, anggota
keluarga lainnya dan guru perlu mengadakan pemeriksaan guna
melakukan identifikasi yang ditujukan untuk mengetahui penglihatan,
pendengaran, bicara dan bahasa, keterampilan motorik, keterampilan
menolong diri sendiri, kematangan sosial, emosional dan
perkembangan kognitif anak.
Minimal ada lima bidang yang hendaknya diperiksa seperti
dikemukakan oleh Lerner (1988 dalam Nugroho, 2004), yaitu : 1)
ketajaman sensoris, misalnya ketajaman penglihatan, pendengaran;
Halaman 17 dari 26
2) perkembangan motorik, misalnya kemampuan memegang pensil,
menulis, menendang; 3) penguasaan konsep-konsep dasar, misalnya
penjumlahan, pengurangan, perkalian; 4) keterampilan bahasa,
misalnya menyusun kata menjadi kalimat; serta 5) keterampilan sosial
dan emosi, misalnya kemampuan memahami orang lain.
Berdasarkan hal tersebut, penulis mencoba mengemukakan alat
identifikasi berkenaan dengan anak tunarungu (Gambar 2), yakni
berupa daftar checklist tentang gejala yang diamati dan hasil
pengamatannya. Contoh alat identifikasi di atas sifatnya masih
sangat sederhana, namun dapat dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan. Identifikasi dilakukan juga untuk mengetahui kemampuan
dan ketidakmampuan anak sebelum diberikannya program intervensi.
Sehingga intervensi dini yang diberikan pada anak sesuai dengan
kebutuhannya.
Alat Identifikasi Anak Berkelainan
Nama Anak : ……………………………………………………………..
Tempat Tanggal Lahir: ……………………………………………………………..
No. Gejala yang diamatiHasil Pengamatan
KeteranganYa Tidak
1 Tidak mampu mendengar
Halaman 18 dari 26
Gambar 2: Contoh alat identifikasi
Kegiatan identifikasi dengan alat seperti ini dapat dilakukan oleh orang tua
atau anggota keluarga lainnya di rumah. Lebih spesifik lagi guru di sekolah
dapat melakukan identifikasi dengan mengecek berbagai
kesalahan/kekeliruan dalam membaca lisan yang berkaitan dengan
perkembangan bahasa anak, seperti pada contoh daftar di bawah ini
(Tabel 1).
Tabel 1. Daftar Cek Berbagai Kesalahan/Kekeliruan dalam Membaca
Lisan
No. Jenis KekeliruanCek
Ket.Ya Tdk
Halaman 19 dari 26
1 Semua huruf vokal tidak dapat dilafalkan oleh anak(a,i,e,o,u)
2 Tidak dapat melapalkan beberapa huruf vokal
3 Huruf konsonan semuanya tidak dapat dilafalkan olehanak (b,c,d,f, dst)
4Anak tidak dapat melafalkan beberapa hurufkonsonan (Konsonan yang tidak dapat dilafalkanditulis pada kolom keterangan)
5 Anak tidak dapat melafalkan huruf diftong (ny, ng)
6
Anak tidak dapat melafalkan gabungan hurufkonsonan-vokal, misalnya ku-da, ba-pa, bola(gabungan konsonan-vokal yang tidak dapatdilapalkan, misalnya ku-da, ku tidak dapat, da dapat,maka hasil pengecekannya konsonan vokal ku ditulispada kolom keterangan )
7 Anak tidak dapat melafalkan gabungan huruf diftong-vokal (nyo, ngu, ….)
8 Anak tidak dapat melafalkan vokal rangkap (ia, oi, ua,hei, dsb.)
9 Anak tidak dapat melafalkan gabungan konsonanvokal konsonan (ka-pak, bam-bu)
10 Anak tidak dapat melafalkan gabungan vokal-konsonan (am-bil, as-pal)
11Anak tidak dapat membedakan huruf yang bentuknyahampir sama, misalnya huruf b dengan huruf d, hurufp dengan huruf q, huruf m dengan huruf w, dst)
12
Anak melakukan penghilangan
huruf atau kata misalnya. “Buku gambar itu baru”,dibaca “Buku itu baru”
13 Penyisipan kata (“Rumah Bibi di Bekasi” dibaca“Rumah Bibi ada di Bekasi”)
Halaman 20 dari 26
14 Penggantian kata, makna tetap (“Ayah menulis surat”dibaca “Bapak menulis surat”)
15 Penggantian kata, makna berbeda (“Itu kucing Ali”dibaca “Itu kacang Ali”)
16 Pengucapan kata yang salah, makna sama (“Hatisaya senang” dibaca “Hati saya seneng”)
17 Pengucapan kata yang salah, tidak bermakna (“Mamabeli nenas” dibaca “Mama beli emas”)
18 Pengucapan kata anak dengan bantuan guru (“Kudaitu lari kencang” dibaca “Kuda itu lari …. Kencang”)
19 Pengulangan (“Wati main bola” dibaca “Wati ma-ma-ma-in bo-bo-la”)
20 Pembalikan kalimat, subjek, predikat, objek, (“Bajusaya dicuci bibi” dibaca “Baju saya bibi dicuci”)
21Anak tidak memperhatikan tanda baca (“Bapak danibu pergi ke kantor. Saya pergi ke sekolah” dibaca“Bapak dan ibu pergi ke kantor saya pergi ke sekolah”)
22
Anak membaca salah, namun kemudianmembetulkan kesalahannya sendiri (“Duku itu manis”dibaca “Buku itu manis”, dibetulkan sendiri “Duku itumanis”.
23Anak merasa ragu-ragu dalam membaca (“Iwanbermain layang-layang “ dibaca “Iwan … bermain…layang … layang)
24Sewaktu membaca anak mengucapkannya dengantersendat-sendat (“Bu Ita guru Nani” dibaca “Bu I…tagu …gu…ru Na…na..ni”)
25 Anak tidak dapat mengurutkan susunan bacaanContoh daftar di atas berkaitan dengan keterampilan bahasa yang
mencakup reseptif dan ekspresif. Artikulasi dapat diperiksa dengan
meminta anak mengucapkan beberapa kata, misalnya 10 kata yang
berbeda-beda. Pemeriksaan juga dapat dilakukan dengan menyuruh atau
meminta anak untuk menirukan pola tepukan tangan, mengulang angka
Halaman 21 dari 26
dan kalimat yang diucapkan oleh pemeriksa, menjawab pertanyaan-
pertanyaan pemecahan masalah, menyebut namanya, menyebut umur,
dan sebagainya. Bila kita telah mengetahui bahwa anak tersebut
menunjukkan gejala tunarungu, akan nampak sekali keterlambatan dalam
pemerolehan bahasa.
Anak tunarungu mungkin bicaranya tidak jelas, bahkan tidak ada
suaranya, atau suaranya aneh/monoton. Hal ini akan memberikan
pengaruh yang besar sekali pada perkembangan anak tersebut, sehingga
dapat ditentukan prioritas masalah atau hambatan yang akan diintervensi.
4. Pelaksanaan Proses Asesmen/Intervensi Dini pada Tunarungu
Untuk melaksanakan proses asesmen maka langkah-langkah yang harus
di lakukan adalah:
1. Melaksanakan identifikasi
Untuk proses identifikasi langkapnya sama seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya
2. Menentukan prioritas masalah/hambatan yang akan diintervensi
Dalam menentukan prioritas/hambatan yang akan diintervensi
sebaiknya dilakukan pada cara-cara yang komprehensif. Dalam
kegiatan ini perlu ditentukan beratnya masalah, kemungkinan
penyebab, dan sistem pemberian intervensi yang sesuai bagi anak.
Untuk menjelaskan pemahaman mengenai penentuan prioritas
masalah/hambatan yang dihadapi, di bawah ini digambarkan alur
berpikir untuk melakukan intervensi dini (Gambar 3).
Identifikasi AnakKemungkinanPenyebabnya
Beratnya
Kelainan/Masalah
Merancang
Kegiatan Intervensi Dini
Yang Sesuai Bagi Anak
Halaman 22 dari 26
Gambar 3. Langkah-langkah untuk Melakukan Intervensi dini
3. Merancang program intervensi dini
Program intervensi dini harus dirancang setelah terlebih dahulu
dilaksanakan identifikasi. Setelah pelaksanakan identifikasi maka
dapat ditentukan prioritas masalah/hambatan yang akan diintervensi.
Prioritas masalah atau hambatan yang akan diintervensi antara lain
penglihatan, pendengaran, bicara dan bahasa, keterampilan motorik,
keterampilan menolong diri sendiri, kematangan sosial, emosional dan
perkembangan kognitif. Rancangan khusus sesuai dengan topik buku
ini akan diuraikan pada bahasan mengenai Intervensi Dini melalui
Pengajaran Wicara.
4. Melaksanakan intervensi
Intervensi dini bagi anak berkelainan/bermasalah dapat dilakukan oleh
orang tua anak dan guru Taman Kanak-kanak di bawah bimbingan ahli
Pendidikan Luar Biasa, guru Taman Latihan dan Observasi (TLO) atau
guru Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB), guru Sekolah Dasar
Hasil Intervensi Dini
Evaluasi Program Intervensi Dini
Melaksanakan Kegiatan
Intervensi Dini
Halaman 23 dari 26
Luar Biasa (SDLB) di Sekolah Luar Biasa (SLB), serta tenaga ahli
identifikasi dan intervensi dini di Pusat Layanan/Klinik Identifikasi dan
Intervensi Dini. Tempat intervensi dapat di rumah, di Sekolah Luar
Biasa (SLB) pada satuan pendidikan (TK, TLO/TKLB, dan SDLB), di
pusat kesehatan anak (antara lain di Posyandu) dan di Pusat-pusat
pelayanan identifikasi dan intervensi dini.
5. Mengevaluasi program intervensi.
Untuk menentukan berhasil tidaknya, atau efektif tidaknya program
intervensi dini yang telah dirancang dan dilaksanakan maka perlu ada
evaluasi. Evaluasi program intervensi dini merupakan kegiatan untuk
mengumpulkan informasi tentang bekerjanya kegiatan intervensi dini.
Selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif
yang tepat dalam mengambil keputusan mengenai keefektifan program
intervensi dini yang telah dilaksanakan baik oleh orang tua, guru,
maupun tenaga ahli intervensi dini.
Penentuan keberhasilan program intervensi dini yang telah
dilaksanakan, dilakukan dengan membandingkan keterampilan anak
atau perubahan tingkah laku anak ke arah perubahan yang positif,
sebelum dan sesudah mengikuti program intervensi. Evaluasi program
tersebut dapat dilakukan pada waktu proses atau pada saat program
dirancang dan diakhir kegiatan intervensi dini atau pada akhir program
(Gambar 4.).
Program Inetevensi Dini
Hasil dan Evaluasi
Intervensi Dini
Membandingkan KeterampilanAnak Sebelum dan Sesudah
Mengikuti Program Intervensi Dini
Halaman 24 dari 26
6.Rangkuman
Dari berbagai uraian materi di atas, maka dapat dirangkum tentang
identifkasi dan asesmen bagi tunarungu sebagai berikut:
Identifikasi merujuk pada kegiatan upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak
yang berkepentingan (guru/pendidikan, orang tua, keluarga, masyarakat,
tenaga ahli lainnya) untuk mengenal/memahami seorang anak dengan
meninjau gejala-gejala pada kondisi fisiknya dan tingkah lakunya.
Asesmen adalah suatu proses pengumpulan informasi tentang seorang
anak (tunarungu) yang akan digunakan untuk membuat pertimbangan dan
keputusan yang berhubungan dengan anak tersebut. Tujuan utama dari
suatu asesmen adalah untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan program
pembelajaran bagi anak tunarungu.
Intervensi Dini adalah suatu kegiatan campur tangan edukatif dalam
kehidupan seorang anak sejak usia dini atau sejak diketahui terjadinya
suatu hambatan/masalah pada diri anak, dengan melibatkan semua
pihak mulai dari orangtua, anggota keluarga dan pendidik, dengan
memperhatikan segala potensi yang dimiliki dan semua keinginan-
keinginan anak serta dengan menunjukkan empati, interaksi dan sikap
yang positif sebagai jembatan untuk mengadakan keterikatan terhadap
anak.
Gambar 4. Evaluasi Program Intervensi Dini
Halaman 25 dari 26
DAFTAR PUSTAKA
Boothroyd, Arthur (1982), Hearing Impairments in Young children, Prentice Hall, Inc.Englewood Cliffs, New York
Cox TC, A (1980), Audiologi, Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial(DNIKS), Jakarta
Nugroho, Bambang (2002), Program Kelas Transisi (Observasi) SLB-B YayasanPangudi Luhur, Jakarta.
Patmonodewo, Soemiarti (2001), Psikologi Perkembangan Pribadi, UniversitasIndonesia Press, Jakarta
Winarsih, Murni (2007), Intervensi Dini Tunarungu dalam Pemerolehan Bahasa. Dikti. Jakarta