Post on 23-Jun-2015
INOVASI MODEL DAN EVALUASI PEMBELAJARAN
Oleh : Lussy Dwiutami Wahyuni
Pengajar, desain pembelajaran, dan peserta didik adalah 3 (tiga) hal yang
selalu disebut saat kita ingin berbicara tentang proses pembelajaran. Mengapa
demikian ? karena sesungguhnya 3 (tiga) hal tersebutlah yang menjadi motor dalam
pergerakan sebuah roda pembelajaran.
Pengajar disini dapat diartikan secara luas, apalagi dalam era internetisasi
saat ini. Salah satu dampak yang ditimbulkannya pada dunia pendidikan adalah
munculnya metode-metode pembelajaran secara elektronik (elearning atau online
learning). Hal tersebut akhirnya berimbas pada cara guru dalam menyampaikan atau
membahasakan materi di kelas, dari yang sebelumnya bertutur atau lisan menjadi
tulisan. Namun demikian, peran guru atau pengajar di kelas tidak dapat tergantikan
karena tidak semua peserta didik mampu belajar dan memahami materi secara
mandiri. Untuk mengatasinya adalah dengan cara memblend antara metode klasikal
dan elektronik (adanya hybrid instruction).
Menurut Gagne, Briggs, & Wager (dalam Prawiradilaga, 2007) desain
pembelajaran membantu proses belajar seseorang, dimana proses belajar itu sendiri
memiliki tahapan segera dan jangka panjang. Mereka percaya proses belajar terjadi
karena adanya kondisi-kondisi belajar, internal maupun eksternal. Tapi menurut
Kemp, Morrison, & Ross (dalam Prawiradilaga, 2007) esensi disain pembelajaran
mengacu pada keempat komponen inti, yaitu siswa, tujuan pembelajaran, metode,
dan penilaian.
Peserta didik adalah semua individu yang menjadi audiens dalam suatu
lingkup pembelajaran. Biasanya penyebutan peserta didik ini mengikuti skup/ruang
lingkup dimana pembelajaran dilaksanakan, diantaranya : siswa untuk jenjang
pendidikan dasar dan menengah, mahasiswa untuk jenjang pendidikan tinggi, dan
peserta pelatihan untuk diklat.
Peserta didik adalah masukan mentah (raw input) dalam sebuah proses
pembelajaran yang harus dithreat agar output dan outcomesnya sesuai dengan yang
dicanangkan institusi (khususnya) dan dunia pendidikan Indonesia pada umumnya.
Agar keluarannya dapat beradaptasi dengan kemajuan zaman, maka sudah
sepatutnya materi dan cara pembelajarannyapun disesuaikan dengan dunia nyata
juga. Hal tersebut biasa dikenal dengan model pembelajaran inovatif.
Penilaianpun juga sudah melakukan terobosan atau inovasi. Terbukti, saat ini
paper and pen bukanlah satu-satunya cara untuk menilai keberhasilan belajar
peserta didik. Asesmen portofolio, autentik, dan lain-lain adalah sedikit dari banyak
inovasi cara menilai keberhasilan peserta didik yang lebih menitikberatkan pada
proses.
A. Model Pembelajaran Inovatif
Model pembelajaran inovatif lahir dari adanya keresahan terhadap cara
belajar klasikal. Dimana peserta didik tidak dapat terlibat aktif dalam hal intelektual
maupun fisik. Karena itu, dirancanglah sebuah model pembelajaran yang bisa
mengaktifkan seluruh indera dan intelektualitas peserta didiknya.
Yang termasuk ke dalam model pembelajaran inovatif adalah pembelajaran
berbasis quantum teaching, pembelajaran berbasis multiple intelegencies, elearning,
active learning, integrated learning, cooperative learning, pembelajaran berbasis
sumber, konteksual learning, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Selanjutnya yang akan dibahas disini adalah hanya model pembelajaran
inovatif berbasis elektronik (elearning) dan contextual learning.
1. Model Pembelajaran Berbasis Elektronik (Elearning)
a. Pengertian E-Learning
E-learning tersusun dari dua bagian, yaitu ‘e’ yang merupakan singkatan dari
‘electronica’ dan ‘learning’ yang berarti ‘pembelajaran’. Jadi e-learning berarti
pembelajaran dengan menggunakan jasa bantuan perangkat elektronika. Jadi dalam
pelaksanaannya, e-learning menggunakan jasa audio, video atau perangkat
komputer atau kombinasi dari ketiganya. Dengan kata lain e-learning adalah
pembelajaran yang dalam pelaksanaannya didukung oleh jasa teknologi seperti
telepon, audio, videotape, transmisi satelite atau komputer.(Tafiardi, 2005). Sejalan
dengan itu, Onno W. Purbo (dalam Amin, 2004) menjelaskan bahwa istilah “e”
dalam e-learning adalah segala teknologi yang digunakan untuk mendukung usaha-
usaha pengajaran lewat teknologi elektronik internet. Internet, satelit, tape
audio/video, tv interaktif, dan CD-ROM adalah sebagian dari media elektronik yang
digunakan. Pengajaran boleh disampaikan pada waktu yang sama (synchronously)
ataupun pada waktu yang berbeda (asynchronously).
Secara lebih singkat William Horton mengemukakan bahwa (dalam Sembel,
2004) e-learning merupakan kegiatan pembelajaran berbasis web (yang bisa diakses
dari internet). Tidak jauh berbeda dengan itu Brown, 2000 dan Feasey, 2001 (dalam
Siahaan, 2002) secara sederhana mengatakan bahwa e-learning merupakan kegiatan
pembelajaran yang memanfaatkan jaringan (internet, LAN, WAN) sebagai metode
penyampaian, interaksi, dan fasilitas yang didukung oleh berbagai bentuk layanan
belajar lainnya.
Selain itu, ada yang menjabarkan pengertian e-learning lebih luas lagi.
Sebenarnya materi e-learning tidak harus didistribusikan secara on-line baik melalui
jaringan lokal maupun internet. Interaksi dengan menggunakan internetpun bisa
dijalankan secara on-line dan real-time ataupun secara off-line atau archieved.
Distribusi secara off-line menggunakan media CD/DVD pun termasuk pola e-
learning. Dalam hal ini aplikasi dan materi belajar dikembangkan sesuai kebutuhan
dan didistribusikan melalui media CD/DVD, selanjutnya pembelajar dapat
memanfatkan CD/DVD tersebut dan belajar di tempat dimana dia berada (Lukmana,
2006).
b. Karakteristik E-Learning
Karakteristik e-learning ini antara lain adalah:
1) Memanfaatkan jasa teknologi elektronik. Guru dan siswa, siswa dan sesama
siswa atau guru dan sesama guru dapat berkomunikasi dengan relatif mudah
tanpa dibatasi oleh hal-hal yang bersifat protokoler.
2) Memanfaatkan keunggulan komputer (digital media dan computer networks)
3) Menggunakan bahan ajar bersifat mandiri (self learning materials) disimpan di
komputer sehingga dapat diakses oleh guru dan siswa kapan saja dan di mana
saja bila yang bersangkutan memerlukannya
4) Memanfaatkan jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar dan hal-
hal yang berkaitan dengan administrasi pendidikan dapat dilihat setiap saat di
komputer.
c. Syarat-Syarat Penggunaan E-Learning
Menurut Newsletter of ODLQC, 2001 (dalam Siahaan) syarat-syarat kegiatan
pembelajaran elektronik (e-learning) adalah :
1) kegiatan pembelajaran dilakukan melalui pemanfaatan jaringan dalam hal ini
internet.
2) tersedianya dukungan layanan belajar yang dapat dimanfaatkan oleh peserta
belajar, misalnya CD-ROM atau bahan cetak
3) tersedianya dukungan layanan tutor yang dapat membantu peserta belajar
apabila mengalami kesulitan
4) adanya lembaga yang menyelenggarakan/mengelola kegiatan e-learning
5) adanya sikap positif pendidik dan tenaga kependidikan terhadap teknologi
komputer dan internet
6) adanya rancangan sistem pembelajaran yang dapat dipelajari/diketahui oleh
setiap peserta belajar
7) adanya sistem evaluasi terhadap kemajuan atau perkembangan belajar peserta
belajar
8) adanya mekanisme umpan balik yang dikembangkan oleh lembaga
penyelenggara
Berbeda dengan yang telah diungkapkan di atas, dalam Sembel, 2004, lebih
menyoroti dari tenaga-tenaga ahli yang perlu ada untuk “menghidupkan” sebuah e-
learning adalah :
1) Subject Matter Expert (SME), merupakan nara sumber dari pembelajaran yang
disampaikan.
2) Instructional Designer (ID), bertugas untuk secara sistematis mendesain materi
dari SME menjadi materi e-learning dengan memasukkan metode pengajaran
agar materi menjadi lebih interaktif, lebih mudah, dan lebih menarik untuk
dipelajari.
3) Graphic Designer (GD), bertugas untuk mengubah materi teks menjadi bentuk
grafis dengan gambar, warna, dan layout yang enak dipandang, efektif, dan
menarik untuk dipelajari.
4) Learning Management System (LMS), bertugas mengelola sistem di website yang
mengatur lalu lintas interaksi antara instruktur dengan siswa, antarsiswa dengan
siswa lainnya, serta hal lain yang berhubungan dengan pembelajaran, seperti
tugas, nilai, dan peringkat ketercapaian belajar siswa.
Ahli-ahli pendidikan dan ahli internet menyarankan beberapa hal yang perlu
diperhatikan sebelum seseorang memilih internet untuk kegiatan pembelajaran
(Hartanto dan Purbo dalam Tafiardi, 2002) antara lain:
1) Analisis Kebutuhan (Need Analysis). Dalam tahapan awal, satu hal yang perlu
dipertimbangkan adalah apakah memang memerlukan e-learning. Pertanyaan ini
tidak dapat dijawab dengan perkiraan atau dijawab berdasarkan atas saran
orang lain. Setiap lembaga menentukan teknologi pembelajaran sendiri yang
berbeda satu sama lain. Untuk itu perlu diadakan analisis kebutuhan atau need
analysis yang mencakup studi kelayakan baik secara teknis, ekonomis, maupun
sosial.
2) Rancangan Instruksional yang berisi tentang isi pelajaran, topik, satuan kredit,
bahan ajar/kurikulum.
3) Evaluasi yaitu sebelum program dimulai, ada baiknya dicobakan dengan
mengambil beberapa sampel orang yang dimintai tolong untuk ikut
mengevaluasi.
d. Fungsi E-Learning
Setidaknya ada 3 (tiga) fungsi pembelajaran elektronik terhadap kegiatan
pembelajaran di dalam kelas (classroom instruction), yaitu (dalam Siahaan, 2002) :
1) suplemen (tambahan)
Dikatakan berfungsi sebagai suplemen, apabila peserta didik mempunyai
kebebasan memilih, apakah akan memanfaatkan materi pembelajaran elektronik
atau tidak. Dalam hal ini, tidak ada kewajiban/keharusan bagi peserta didik untuk
mengakses materi pembelajaran elektronik. Sekalipun sifatnya opsional, peserta
didik yang memanfaatkannya tentu akan memiliki tambahan pengetahuan atau
wawasan.
2) komplemen (pelengkap)
Dikatakan berfungsi sebagai komplemen, apabila materi e-learning
diprogramkan untuk melengkapi materi pembelajaran yang diterima siswa di dalam
kelas (Lewis, 2002). Sebagai komplemen berarti materi e-learning diprogramkan
untuk menjadi materi enrichment (pengayaan) atau remedial bagi peserta didik di
dalam mengikuti kegiatan pembelajaran konvensional.
Sebagai enrichment, apabila peserta didik dapat dengan cepat
menguasai/memahami materi pelajaran yang disampaikan guru secara tatap muka
diberikan kesempatan untuk mengakses materi e-learning yang memang secara
khusus dikembangkan untuk mereka. Tujuannya agar semakin memantapkan tingkat
penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran yang disajikan guru di kelas.
Sebagai remedial, apabila peserta didik mengalami kesulitan dalam
memahami materi pelajaran yang disampaikan guru secara tatap muka di kelas.
Tujuannya agar peserta didik semakin lebih mudah memahami materi pelajaran
yang disajikan guru di kelas.
3) substitusi (pengganti)
Tujuan dari e-learning sebagai pengganti kelas konvensional adalah agar
peserta didik dapat secara fleksibel mengelola kegiatan perkuliahan sesuai dengan
waktu dan aktivitas lain sehari-hari. Ada 3 (tiga) alternatif model kegiatan
pembelajaran yang dapat diikuti peserta didik : (1) sepenuhnya secara tatap muka
(konvensional), (2) sebagian secara tatap muka dan sebagian lagi melalui internet,
atau bahkan (3) sepenuhnya melalui internet.
e. Manfaat E-Learning
E-learning mempermudah interaksi antara peserta didik dengan
bahan/materi pelajaran. Peserta didik dapat saling berbagi informasi atau pendapat
mengenai berbagai hal yang menyangkut pelajaran atau kebutuhan pengembangan
diri peserta didik. Selain itu, guru dapat menempatkan bahan-bahan belajar dan
tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik di tempat tertentu di dalam
web untuk di akses oleh peserta didik. Sesuai dengan kebutuhan, guru dapat pula
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengakses bahan belajar
tertentu maupun soal-soal ujian yang hanya dapat diakses oleh peserta didik sekali
saja dan dalam rentangan waktu tertentu pula (Website Kudos, 2002, dalam
Siahaan).
Secara lebih rinci, manfaat e-learning dapat dilihat dari 2 (dua) sudut, yaitu
dari sudut peserta didik dan guru :
1) sudut peserta didik
Dengan kegiatan e-learning dimungkinkan berkembangnya fleksibilitas
belajar yang tinggi. Menurut Brown, 2000 (dalam Siahaan) ini dapat mengatasi siswa
yang (1) belajar di sekolah-sekolah kecil di daerah-daerah miskin untuk mengikuti
mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diberikan oleh sekolahnya, (2) mengikuti
program pendidikan keluarga di rumah (home schoolers) untuk mempelajari materi
yang tidak dapat diajarkan oleh orang tuanya, seperti bahasa asing dan ketrampilan
di bidang komputer, (3) merasa phobia dengan sekolah atau peserta didik yang di
rawat di rumah sakit maupun di rumah, yang putus sekolah tapi berminat
melanjutkan pendidikannya, maupun peserta didik yang berada di berbagai daerah
atau bahkan yang berada di luar negeri, dan (4) tidak tertampung di sekolah
konvensional untuk mendapatkan pendidikan.
2) guru
Menurut Soekartawi (dalam Siahaan) beberapa manfaat yang diperoleh guru
adalah bahwa guru dapat : (1) lebih mudah melakukan pemutakhiran bahan-bahan
yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan tuntutan perkembangan keilmuan
yang terjadi, (2) mengembangkan diri atau melakukan penelitian guna peningkatan
wawasannya karena waktu luang yang dimiliki realtif lebih banyak, (3) mengontrol
kegiatan belajar peserta didik. Bahkan guru juga dapat mengetahui kapan peserta
didiknya belajar, topik apa yang dipelajari, berapa lama sesuatu topik dipelajari,
serta berapa kali topik tertentu dipelajari ulang, (4) mengecek apakah peserta didik
telah mengerjakan soal-soal latihan setelah mempelajari topik tertentu, dan
(5) memeriksa jawaban peserta didik dan memberitahukan hasilnya kepada peserta
didik.
Dari berbagai pengalaman dan juga dari berbagai informasi yang tersedia di
literatur, memberikan penjelasan tentang manfaat penggunaan internet, khususnya
dalam pendidikan terbuka dan jarak jauh (Soekartawi dalam Tafiardi, 2002 : 94-95),
antara lain dapat disebutkan sbb:
a) Tersedianya fasilitas e-moderating. Guru dan siswa dapat berkomunikasi secara
mudah melalui fasilitas internet secara regular atau kapan saja kegiatan
berkomunikasi itu dilakukan tanpa dibatasi oleh jarak, tempat dan waktu.
b) Guru dan siswa dapat menggunakan bahan ajar atau petunjuk belajar yang
terstruktur dan terjadwal melalui internet, sehingga keduanya bisa saling menilai
sampai berapa jauh bahan ajar dipelajari.
c) Siswa dapat belajar atau me-review bahan ajar setiap saat dan di mana saja
kalau diperlukan mengingat bahan ajar tersimpan di komputer.
d) Bila siswamemerlukan tambahan informasi berkaitan dengan bahan yang
dipelajarinya, ia dapat melakukan akses di internet secara lebih mudah.
e) Baik guru maupun siswa dapat melakukan diskusi melalui internet yang dapat
diikuti dengan jumlah peserta yang banyak, sehingga menambah ilmu
pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.
f) Berubahnya peran siswa dari yang biasanya pasif menjadi aktif
g) Relatif lebih efisien. Misalnya bagi mereka yang tinggal jauh dari perguruan
tinggi atau sekolah konvensional, bagi mereka yang sibuk bekerja, bagi mereka
yang bertugas di kapal, di luar negeri, dsb-nya.
f. Kelebihan E-Learning
E-learning dapat dengan cepat diterima dan kemudian diadopsi adalah
karena memiliki kelebihan/keunggulan sebagai berikut (Effendi, 2005)
1) Pengurangan biaya
2) Fleksibilitas. Dapat belajar kapan dan dimana saja, selama terhubung dengan
internet.
3) Personalisasi. Siswa dapat belajar sesuai dengan kemampuan belajar mereka.
4) Standarisasi. Dengan e-learning mengatasi adanya perbedaan yang berasal dari
guru, seperti : cara mengajarnya, materi dan penguasaan materi yang berbeda,
sehingga memberikan standar kualitas yang lebih konsisten.
5) Efektivitas. Suatu studi oleh J.D Fletcher menunjukkan bahwa tingkat retensi dan
aplikasi dari pelajaran melalui metode e-learning meningkat sebanyak 25 %
dibandingkan pelatihan yang menggunakan cara tradisional
6) Kecepatan. Kecepatan distribusi materi pelajaran akan meningkat, karena
pelajaran tersebut dapat dengan cepat disampaikan melalui internet.
g. Keterbatasan E-Learning
Terakhir yang harus diperhatikan masalah yang sering dihadapi yaitu:
1) Masalah akses untuk bisa melaksanakan e-learning seperti ketersediaan jaringan
internet, listrik, telepon dan infrastruktur yang lain.
2) Masalah ketersediaan software (piranti lunak). Bagaimana mengusahakan piranti
lunak yang tidak mahal.
3) Masalah dampaknya terhadap kurikulum yang ada.
4) Masalah skill and knowledge
Walaupun demikian pemanfaatan internet untuk pembelajaran atau e-
learning juga tidak terlepas dari berbagai kekurangan antara lain:
1) Kurangnya interaksi antara guru dan siswa atau bahkan antar siswa itu sendiri.
Kurangnya interaksi ini bisa memperlambat terbentuknya values dalam proses
belajar dan mengajar.
2) Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial dan sebaliknya
mendorong tumbuhnya aspek bisnis
3) Proses belajar dan mengajarnya cenderung ke arah pelatihan bukan pendidikan.
4) Berubahnya peran guru dari yang semula menguasai teknik pembelajaran
konvensional, kini juga dituntut menguasai teknik pembelajaran yang
menggunakan internet.
5) Siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar tinggi cenderung gagal
6) Tidak semua tempat tersedia fasilitas internet (mungkin hal ini berkaitan dengan
masalah tersedianya listrik, telepon ataupun komputer).
7) Kurangnya tenaga yang mengetahui dan memiliki keterampilan bidang internet
dan kurangnya penguasaan bahasa komputer.
h. Kendala-Kendala
Kendala atau hambatan dalam penyelenggaraan e-learning, yaitu (Effendi,
2005) :
1) Investasi. Walaupun e-learning pada akhirnya dapat menghemat biaya
pendidikan, akan tetapi memerlukan investasi yang sangat besar pada
permulaannya.
2) Budaya. Pemanfaatan e-learning membutuhkan budaya belajar mandiri dan
kebiasaan untuk belajar atau mengikuti pembelajaran melalui komputer.
3) Teknologi dan infrastruktur. E-learning membutuhkan perangkat komputer,
jaringan handal, dan teknologi yang tepat.
4) Desain materi. Penyampaian materi melalui e-learning perlu dikemas dalam
bentuk yang learner-centric. Saat ini masih sangat sedikit instructional designer
yang berpengalaman dalam membuat suatu paket pelajaran e-learning yang
memadai.
2. Model Pembelajaran Berbasis Konteks (Contextual and Teaching Learning
(CTL))
Fenomena pembelajaran yang berkembang di lapangan adalah masih banyak
pengajar yang mengajar hanya sekedar menyelesaikan materi tanpa memikirkan
apakah yang diberikannya itu bermakna ataupun ada keterkaitan dengan dunia
nyata. Yang mengakibatkan fenomena ini terjadi, salah satunya adalah karena
banyaknya materi yang harus diselesaikan tetapi waktu yang tersedia kurang.
Akibatnya, materi yang tersampaikan tidak ada yang terinternalisasi dalam diri
peserta didik, kalau boleh dikatakan secara ekstrim adalah lewat begitu saja tanpa
meninggalkan bekas apapun di kepala.
Beranjak dari fenomena itulah pembelajaran berbasis konteks atau CTL
muncul. Intinya CTL adalah pembelajaran yang menggabungkan isi/materi dengan
pengalaman harian individu, kehidupan di dalam masyarakat dan alam pekerjaan.
Diharapkan dengan pembelajaran secara konteks, peserta didik dapat memahami
materi secara konkrit. Dikatakan konkrit karena tangan dan “kepala” mereka ikut
terlibat secara aktif dalam mempelajari dan memahami materi yang disampaikan.
Hal ini biasa disebut dengan hands on and minds on activity.
Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai
tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada
memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja
bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu
yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran
guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Suatu pembelajaran
dikatakan CTL, jika didalamnya terdapat komponen-komponen sebagai berikut
(dikdasmen) :
a. Konstruktivisme, dalam hal ini peserta didik dikondisikan agar mampu
membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada
pengetahuan awal yang telah mereka miliki. Jadi pembelajaran harus dikemas
menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan.
b. Inquiry, disini peserta didik belajar mencari (melalui pengamatan) dan
menemukan sendiri hal-hal yang harus diketahui dari sebuah topik yang
disodorkan kehadapan mereka. Disini peserta didik belajar menggunakan
keterampilan berpikir kritis
c. Questioning (Bertanya), dengan bertanya pengajar mendorong, membimbing
dan menilai kemampuan berpikir siswa terhadap topik/materi. Bagi siswa,
kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis
inquiry.
d. Learning community (masyarakat belajar), disini peserta didik berkumpul dengan
peergroupnya untuk saling berbagi ide, curah pendapat, dan tukar pengalaman.
Masyarakat belajar sangat membantu sekali untuk mengokohkan pemahaman
mereka terhadap pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya.
e. Modeling (pemodelan), tujuan adanya pemodelan adalah agar peserta didik
mempunyai gambaran nyata tentang apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
Yang memberikan pemodelan ini biasanya adalah pengajarnya.
f. Reflection (refleksi), pada tahap ini peserta didik diminta untuk mencatat setiap
kejadian yang telah mereka lalui, memikirkannya, dan merefleksikannya. Semua
hal itu digunakan peserta didik untuk mengevaluasi pembelajaran yang telah
mereka laksanakan.
g. Authentic assessment (penilaian yang sebenarnya), yaitu penilaian yang
dilakukan tidak terbatas secara kognitif (melalui paper and pen test) saja, tapi
lebih holistic, yaitu penilaian proses dan produknya. Apakah sudah relevan dan
kontekstual ?
Segala hal yang telah dijabarkan di atas bila disintesiskan akan menghasilkan
karakteristik CTL, sebagai berikut :
a. kerjasama
b. saling menunjang
c. menyenangkan, tidak membosankan
d. belajar dengan bergairah
e. pembelajaran terintegrasi
f. menggunakan berbagai sumber
g. siswa aktif
h. sharing dengan teman
i. siswa kritis guru kreatif
j. dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar,
artikel, humor dan lain-lain
k. laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan
hasil praktikum, karangan siswa dan lain-lain
Dari 2 (dua) model pembelajaran yang telah dijabarkan di atas dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa untuk membelajarkan peserta didik dengan
sesungguhnya belajar sangatlah sulit. Dibutuhkan pemikiran kritis, kreatif, dan
mendalam untuk mewujudkannya.
B. Evaluasi Pembelajaran
Tidak lazim dan sayang rasanya bila model pembelajaran yang diberikan
sangat inovatif, tapi cara penilaiannya masih biasa-biasa saja. Karena tes tradisional
cenderung hanya mengukur kemampuan kogitif peserta didik saja dan terkadang
hasil tes tersebut tidak murni (bila peserta didik menyontek). Padahal, dalam
pembelajaran inovatif peserta didik dituntut untuk lebih berproses secara aktif
dalam pembelajaran.
Evaluasi pembelajaran merupakan usaha-usaha terarah, terencana, dan
sistematis untuk meneliti proses pembelajaran. Objek evaluasinya antara lain tujuan
pembelajaran, perencanaan dan pengelolaan pembelajaran, serta penyelenggaraan
evaluasi hasil belajar.
Evaluasi dikatakan penting karena mempunyai tujuan utama sebagai berikut
(Gronlund, 2003) :
1. Feedback untuk peserta didik, dengan adanya evaluasi yang dilakukan secara
berkala peserta didik menjadi tahu kelebihan dan keterbatasannya dalam
memahami materi. Sebisa mungkin, feedback yang diberikan kepada peserta
didik harus serinci mungkin, agar mereka dapat menilai apakah hasil yang
mereka dapat memang karena kemampuan/pemahamannya atau hanya sekedar
suatu kebetulan.
2. Feedback untuk guru, fungsi evaluasi terpenting bagi pengajar adalah untuk
menilai seberapa efektifkah pembelajaran yang telah ia laksanakan ? Apakah
peserta didik mampu menyerapnya ?
3. Informasi untuk orang tua, hasil dari tes yang telah dilaksanakan peserta didik
menghasilkan skor yang dapat menggambarkan kemampuan mereka terhadap
materi. Kumpulan-kumpulan angka tersebut dapat menginformasikan orang tua
bagaimanakah kemampuan anaknya di sekolah.
4. Informasi untuk seleksi, biasanya skor yang didapat dari setiap evaluasi adalah
untuk membuat keputusan/seleksi apakah peserta didik tersebut perlu remedial
materi sampai dengan keputusan apakah peserta didik perlu tinggal kelas atau
tidak ?
5. Informasi untuk akuntabilitas. Biasanya nilai/skor yang didapat siswa dapat
digunakan pula untuk mengevaluasi guru, performansi sekolah oleh pihak-pihak
terkait.
6. Evaluasi sebagai insentif, maksudnya evaluasi dapat berfungsi sebagai hadiah
atas segala usaha yang telah dilakukan oleh peserta didik.
Telah disampaikan sebelumnya bahwa model pembelajaran yang inovatif
harus dinilai secara inovatif pula. Penilaian tersebut biasa dikenal dengan asesmen.
Alasan mengapa pengajar menggunakan asesmen, karena asesmen dapat :
1. Mendiagnosis kelebihan dan kelemahan peserta didik
2. Memonitor kemajuan belajar peserta didik
3. Memberikan grade pada peserta didik
4. Memberikan batasan bagi efektivitas pengajaran
5. Mengevaluasi guru
6. Meningkatkan kualitas pengajaran
Berhubung penilaian/asesmen banyak ragamnya, maka penjabarannya
dibatasi hanya pada asesmen autentik dan asesmen portofolio.
1. Asesmen Autentik
Adalah asesmen hasil belajar yang menuntut peserta didiknya dapat
menunjukkan hasil belajar berupa kemampuan dalam kehidupan nyata, bukan
sesuatu yang dibuat-buat atau yang hanya diperoleh di kelas, tetapi tidak dikenal
dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, dalam hal ini peserta didik bukan memilih atau
menjawab jawaban dari sederet kemungkinan jawaban yang sudah tersedia.
Asesmen autentik sering disamakan dengan asesmen kinerja dan sebaliknya.
Asesmen kinerja setidak-tidaknya harus memiliki 3 (tiga) cirri utama, yaitu
(Zainul, 2005) :
a. Multi kriteria, kinerja peserta didik harus dinilai dengan penilaian lebih dari satu
kriteria. Misalkan kemampuan peserta didik dalam berbahasa Inggris harus
memiliki dasar penilaian dari aspek aksen, sintaksis, dan kosa kata.
b. Standar kualitas yang spesifik (dalam artian tidak ambigu dan jelas), masing-
masing kriteria kinerja peserta didik dapat dinilai secara jelas dan eksplisit dalam
memajukan evaluasi kualitas kinerja peserta didik.
c. Adanya judgement penilaian, asesmen kinerja membutuhkan penilaian yang
bersifat manusiawi untuk menilai bagaimana kinerja siswa dapat diterima secara
nyata (real).
Berikut contoh-contoh tugas yang termasuk dalam asesmen autentik :
a. Computer adaptive testing (sepanjang tidak berbentuk objektif), yang menuntut
peserta didik untuk mengekspresikan diri sehingga dapat menunjukkan tingkat
kemampuan yang nyata
b. Tes pilihan ganda yang diperluas
c. Extended response atau open ended question (asal tidak hanya menuntut adanya
satu jawaban “benar” yang terpola.
d. Group performance assessment, yaitu tugas yang harus dikerjakan oleh peserta
didik secara berkelompok
e. Individual performance assessment, yaitu tugas yang harus diselesaikan secara
mandiri
f. Interview, yaitu siswa harus merespon pertanyaan lisan dari pengajar
g. Nontraditional test items, yaitu butir soal yang tidak bersifat objektif tetapi
merupakan suatu perangkat respon yang mengharuskan peserta didik memilih
berdasarkan kriteria yang ditetapkan
h. Observasi, meminta peserta didik melakukan suatu tugas. Selama melaksanakan
peserta didik tersebut peserta didik diobservasi baik secara terbuka maupun
tertutup.
i. Portofolio, suatu kumpulan hasil karya peserta didik yang disusun berdasarkan
urutan waktu maupun urutan kategori kegiatan.
j. Project, exhibition, or demonstration, yaitu penyelesaian tugas-tugas yang
kompleks dalam suatu jangka waktu tertentu yang dapat memperlihatkan
penguasaan kemampuan sampai pada tingkatan tertentu pula
k. Short answer, open ended menuntut jawaban singkat dari siswa, tetapi bukan
memilih jawaban dari sederet kemungkinan jawaban yang disediakan.
Asesmen autentik/kinerja memiliki dua bentuk utama yaitu tugas (task) dan
skala penilaian (rubric). Tugas-tugas kinerja harus memperlihatkan kemampuan
siswa menangani hal-hal yang kompleks melalui penerapan pengetahuan dan
keterampilan tentang sesuatu dalam bentuk yang paling nyata. Sedangkan, rubric
merupakan panduan untuk member skor yang jelas dan disepakati oleh peserta
didik dan pengajar. Dengan bentuk asesmen autentik/kinerja ini diharapkan peserta
didik dan pengajar ada upaya memperbaiki proses pembelajaran.
2. Asesmen Portofolio
Asesmen portofolio adalah asesmen yang terdiri dari kumpulan hasil karya
peserta didik (bisa berasal dari asesmen autentik) yang disusun secara sistematik,
sehingga menunjukkan dan membuktikan upaya, hasil, proses, dan kemajuan
(progress) belajar yang dilakukan peserta didik dalam jangka waktu tertentu.
Portofolio bisa bertindak hanya sebagai koleksi/kumpulan hasil karya peserta
didik, tetapi bisa juga bertindak sebagai asesmen. Hal yang harus diperhatikan, jika
kita ingin menggunakan portofolio sebagai instrument asesmen adalah :
a. Hendaknya memiliki kriteria penilaian yang jelas
b. Informasi atau hasil karya yang didokumentasikan dapat berasal dari semua
orang yang mengetahui peserta didik secara baik, seperti : guru, rekan sesama
siswa, guru mata pelajaran lain, dan sebagainya
c. Dapat terdiri dari berbagai bentuk informasi, seperti : karangan, hasil lukisan,
skor tes, foto hasil karya, dll
d. Kualitas portofolio harus senantiasa ditingkatkan dari waktu ke waktu
berdasarkan hasil karya yang memenuhi kriteria
e. Setiap mata pelajaran mungkin mempunyai bentuk portofolio yang sangat
berbeda dengan mata pelajaran lainnya
f. Harus terbuka bagi orang-orang yang secar langsung berkepentingan dengan
hasil karya, seperti : guru, sekolah, orang tua siswa, dan siswa itu sendiri.
Setiap portofolio yang digunakan sebagai instrumen asesmen hasil belajar,
secara langsung dapat dijadikan landasan pengembangan kegiatan pembelajaran
berikutnya. Dengan demikian, portofolio dapat dijadikan sebagai dasar perencanaan
bagi pengajar maupun peserta didik.
Pada dasarnya asesmen portofolio memiliki 3 (tiga) prinsip, yaitu koleksi,
seleksi, dan refleksi. Dalam implementasinya ketiga prinsip tersebut memiliki
keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.
Langkah-langkah yang harus dilalui dalam mengimplementasikan asesmen
portofolio, yaitu :
a. Tahap persiapan
1) Mengidentifikasi atau menetapkan tujuan pembelajaran yang akan diases
dengan asesmen portofolio
2) Menjelaskan kepada peserta didik bahwa akan dilaksanakan asesmen
portofolio untuk mengases tujuan tertentu atau keseluruhan tujuan
pembelajaran
3) Menjelaskan bagian mana dan seberapa banyak kinerja dan hasil karya yang
secara minimal harus tercantum atau disertakan dalam portofolio, dalam
bentuk apa, dan bagaimana kinerja atau hasil kerja itu akan diases
4) Menjelaskan bagaimana hasil karya tersebut harus disajikan
b. Tahap pelaksanaan
1) Guru mendorong dan memotivasi peserta didik
2) Guru melakukan pertemuan secara rutin dengan peserta didik guna
mendiskusikan proses pembelajaran yang akan menghasilkan karya peserta
didik, sehingga setiap langkah peserta didik dapat memperbaiki kelemahan
yang mungkin terjadi
3) Memberikan umpan balik secara berkesinambungan kepada peserta didik
4) Memamerkan keseluruhan hasil karya yang disimpan dalam portofolio
bersama-sama dengan karya keseluruhan peserta didik yang menjadi peserta
mata pelajaran tersebut
c. Tahap penilaian
1) Menegakkan kriteria penilaian yang akan dilakukan bersama-sama atau
partisipasi peserta didik
2) Kriteria yang disepakati diterapkan secara konsisten, baik oleh pengajar atau
peserta didik
3) Arti terpenting dari tahap penilaian ini adalah self-assessment yang
dilakukan oleh peserta didik, sehingga peserta didik menghayati dengan baik
kekuatan dan kelemahannya
4) Hasil penilaian dijadikan tujuan baru bagi proses pembelajaran berikutnya.
C. Kesimpulan
Model pembelajaran dan evaluasi saling terkait satu sama lain. Model
pembelajaran yang dilaksanakan akan semakin baik, bila dalam
pengimplementasiannya selalu memperhatikan hasil evaluasi yang telah dilakukan.
Jadi bisa dikatakan, evaluasi hadir salah satunya untuk menilai keberhasilan model
pembelajaran yang telah dilaksanakan.
Model pembelajaran yang baik adalah yang dapat mengakomodir dan
mengaktifkan peserta didik (yang heterogen), baik dari segi fisik maupun
intelektualitasnya. Begitu juga dengan cara penilaiannya, diharapkan menggunakan
instrumen yang tidak hanya mengukur potensi kognitifnya saja.
D. Daftar Pustaka
Anonymous. Pengenalan pembelajaran secara kontekstual. http://myschoolnet.ppk.kpm.my/bhn_pnp/modul_psv/09kontekstual.pdf. Diakses pada 23 Februari 2008 pada 12.57.
__________. Pembelajaran secara kontekstual. http://219.94.96.174/sainsmath2002/pedagogi%20ubahsuai/Kontekstual.pdf . Diakses 23 Februari 2008 pada 1.18 pm.
__________. Kaidah pembelajaran kontekstual. http://www.tutor.com.my/lada/tourism/edu-kontekstual.htm. Diakses 23 Februari 2008 pada 1.03 pm.
Dikdasmen. Pengembangan model pembelajaran yang efektif. http:// www.dikdasmen.org/files/KTSP/SMP/PENGEMMODEL%20PEMBEL%20YG%20EFEKTIF-SMP.doc. Diakses 23 Februari 2008 pada 1.00 pm.
Effendi, Empy, “E-Learning : Pelatihan di era informasi”, http://www.freshmindsgroup.com/resources/index.php?option=com_content&task=view/&i
Lukmana, Lukas, ”Dukungan industri software dalam implementasi e-Learning di dunia pendidikan”,
http://www.wahanakom.com/infotek/elearning.htm, dikunjungi 10 Juli 2006.
Prawiradilaga, Dewi Salma. Prinsip Disain Pembelajaran : Instructional Design Principles. Jakarta : Kencana, 2007.
Siahaan, Sudirman, “E-Learning (pembelajaran elektronik) sebagai salah Satu Alternatif Kegiatan Pembelajaran”, http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/42/sudirman.htm, dikunjungi 16 Februari 2006.
______, “Penelitian penjajagan tentang kemungkinan pemanfaatan internet untuk pembelajaran di SLTA di wilayah jakarta dan sekitarnya”, http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/39/Penelitian%20Penjajagan%20tentang.htm, dikunjungi 16 Februari 2006.
Tafiardi, “Meningkatkan mutu pendidikan melalui e-learning”, Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005,
http://www1.bpkpenabur.or.id/jurnal/04/085-097.pdf, dikunjungi 10 Juli 2006
Zainul, Asmawi & Agus Mulyana. Tes dan Asesmen di SD. Jakarta : Universitas Terbuka, 2005.