Post on 21-Jul-2016
description
1
Menghidupkan Aksi
Baca, Diskusi, Tuli(?)
Alikta Hasnah Safitri
2
Sekapur Sirih
Berkiprah dalam gerakan mahasiswa adalah pilihan yang
saya putuskan sejak tahun pertama saya menyandang status
sebagai mahasiswa. Bagi saya, gerakan mahasiswa bukan hanya
menjadi wadah untuk beraktualisasi, namun menjadi tempat
menempa kedewasaan diri, kawah candradimuka yang menguji
matang/tidaknya pola pikir dan pola sikap, serta rumah singgah
yang mengantarkan saya menemukan sahabat sejati.
Di bagian pertama, saya mencoba mengulik alasan
mengapa kita harus bergerak, sebagai mahasiswa sekaligus
sebagai manusia. Di bagian kedua, saya menyajikan beberapa
kumpulan renungan pemikiran dan interpretasi atas sebuah
persoalan di sekitar maupun diskusi/seminar. Pada bagian
terakhir, saya sajikan beberapa tulisan hasil pembacaan sederhana
yang saya lakukan terhadap beberapa buku pilihan.
Memang, tak butuh waktu lama untuk menghimpun
tulisan yang terserak ini. Namun, perlu dorongan yang sangat
besar untuk membaginya secara massif ke hadapan pembaca
sekalian.
3
Saya ucapkan terima kasih yang teramat atas kesempatan
untuk persahabatan yang bermakna bagi kakak-kakak di berbagai
organisasi eksternal kampus. Mas Zulfikar Ali dan Mba Sakina di
KAMMI, Kanda Tori Nuariza dan Adhytiawan di HMI, serta
Mba Ida di Muslimah HTI Solo Raya. Tak lupa, terima kasih
terhebat juga saya ucapkan pada kawan-kawan Badan Pengurus
Harian KAMMI Komisariat Sholahuddin Al Ayyubi UNS: Mas
Erick, Mas Apin, Mas Hendra, Mas Hafidh, Nugroho, Dek
Zulfikar, Mba Isna, Mba Rona, Mba Alifta, Mba Mila, Mba
Shofi, Maryam, Pepy, dan Titik.
Tulisan ini adalah cermin untuk berkaca pada masa lalu
yang penuh inkonsistensi, menyadarkan saya bahwa proses ini
belumlah usai, dan mungkin tak akan pernah selesai. Dengan
berbagi, saya berharap hati saya menjadi lapang untuk membuka
ruang penerimaan. Sekaligus, membuka ruang kritik dan koreksi
untuk memperbaiki kualitas diri.
Tak dapat saya berkata banyak. Semoga Alloh swt
menunjukkan kita ke jalan-Nya yang lurus.
4
Daftar Isi
Sekapur Sirih 2
Mengapa Kita Bergerak? 6
Metamorphosa Pemuda 7
Mahasiswa Hebat? Yakin? 11
Generasi Instan 15
Refleksi Sumpah Pemuda dan Mainstream Indonesiasentris 22
Refleksi Mendalam tentang Sejarah Kita 31
Jelang Orientasi Mahasiswa Baru 37
Membingkai Potret Intelektual Muda Indonesia, Sebuah
Refleksi 40
Leiden is Lidjen, Memimpin adalah Menderita Teladan
Kepemimpinan Haji Agus Salim 60
Menjelang Akhir Kepengurusan 64
Dari Renungan hingga Diskusi 68
Bijak Tanggap Isu 69
Baratayuda di Negeri Kita 74
5
Kumbakarna dan Wibisana: Tentang Sebuah Ikhtiar
Menghaluskan Rasa 81
Ekalaya dan Segala Hal tentang Strata 87
Pesta Tahun Baru, MEA, dan Ekstase Masyarakat Konsumer
93
Bedah Buku Waktunya Tan Malaka Memimpin 98
Derita Remaja dan Kapitalisme, Islam sebagai Solusi 105
Print Culture Ideologisasi Gerakan Tarbiyah di Indonesia 112
Demokrasi dalam Syariat Islam 120
Menjadi Ibu Peradaban 128
Dari Buku ke Buku 133
Mas Marco: Sama Rata Sama Rasa 134
Irrasional dalam Nalar 138
Menguatkan Keyakinan 141
Mukmin dan Ateis 144
Zainab Al Ghazali, Tentang Sebuah Keteguhan Hati 146
Islam dan Kesadaran Kebangkitan Nasional 150
Korupsi, Korupsi! 161
Bukan Pasar Malam 165
Bibliomania 168
6
Mengapa Kita Bergerak?
7
Metamorphosa Pemuda
“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi manusia, kalian
menyuruh (berbuat) kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran
dan kalian beriman kepada Allah” (QS. Ali imran Ayat 110)
Mengapa Mahasiswa?
Seorang pemikir Islam, Hasan Al-Banna pernah
mengatakan sejak dulu sampai sekarang pemuda adalah pilar
kebangkitan. Dalam setiap kebangkitan, pemuda adalah rahasia
kekuataannya. Dalam setiap fikroh, pemuda adalah pengibar
panji-panjinya.
Berbicara tentang pemuda (mahasiswa_red) berarti kita
membicarakan tentang masa depan dan perbaikan bangsa. Sebab,
mahasiswa-lah yang nantinya akan menjadi salah satu tonggak
perubahan masa depan. Membangun Peradaban. Ya, itulah yang
akan kita lakukan di kampus ini.
8
Mahasiswa memiliki sekian banyak potensi besar untuk
senantiasa bergerak. Mereka memiliki peluang untuk bergerak
menjangkau setiap elemen masyarakat baik secara vertikal
maupun horizontal, hingga kesempatan besar untuk menjamah
berbagai sektor, baik publik maupun privat. Meskipun tentu saja
kita tak bisa menafikan potensi yang ada dalam internal diri
mahasiswa itu sendiri yakni memiliki kekhasan dalam idealisme
dan daya saing, sehingga selain terbuka terhadap segala
informasi, mereka juga tetap menggunakan logika dalam
mengambil setiap keputusan.
Peran Strategis Mahasiswa dalam Membangun Kampus
Madani
“..Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang rabbani, karena kamu
selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap
mempelajarinya..” (QS Ali Imran :79)
Kita adalah da’i sebelum menjadi apapun. Sebagai
seorang da’i kita tidak boleh berdiam diri dengan kebathilan yang
kini kerap menyebar luas di Indonesia.
Seorang da’i hendaknya menjadi sumber inspirasi
perubahan, yang mampu memimpin dan melayani
9
lingkungannya, sehingga kehadiran citra positif terhadap nilai-
nilai Islam dapat terwujud.
Kita hadir bukan hanya untuk mengutuk fenomena-
fenomena yang kini terjadi, bahkan sekedar berdiam diri saja, kita
perlu bergerak dan menjadi bagian dari solusi. Sehingga, perlu
kiranya kita berhimpun dalam lingkungan kebaikan untuk
membentuk fokus kerja nyata dan dakwah langsung pada civitas
akademik kampus, maupun masyarakat pada umumnya.
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan” (QS. Al Mujadilah :11)
Di tengah berbagai persoalan yang dihadapi oleh
bangsa ini, mahasiswa sebagai kaum intelektul mendapat tugas
memberikan solusi terhadap problematika masyarakat dengan
mengkritisi dan menghasilkan solusi efektif. Mahasiswa
diharapkan lebih memainkan peranan sebagai problem solver
sehingga terciptalah gagasan dan produk baru yang bermanfaat
sebagai pertanggungjawaban kapasitas intelektual mahasiswa
dalam ranah akademik.
Pertanyaannya, bisakah kita menjadikan kampus
sebagai embrio dari sebuah peradaban madani dengan ilmu
pengetahuan sebagai landasan? Ada proyek pembaruan yang
10
mesti kita rampungkan. Proyek ini selamanya hanya akan menjadi
konsep yang terformat di dalam pikiran dan tertulis di memoar
kita, dan pada akhirnya usang dan lapuk oleh usia ketika tidak
segera direalisasikan.
Kita membutuhkan energi perjuangan untuk
melahirkan kekuatan perubahan. Kita membutuhkan pemuda
yang tangguh dan idealis untuk merealisasikannya. Maka, ambilah
peran sebagai creator of change itu, pencipta perubahan yang
mampu mentransformasikan kehidupan kampus agar tersibghah
dengan nilai-nilai rabbani.
Mulailah untuk melihat pada diri, komunitas mana
yang dapat menjadi ‘ladang amal’ bagimu. Apakah itu di kelas,
ataupun kelompok minat tertentu. Bergaul-lah dengan mereka,
jadikan mereka sahabat, buat sahabatmu percaya padamu, lalu
jadikan kepercayaannya instrumen untuk mengajaknya terus
melangkah dalam menjalani kebaikan.
11
Mahasiswa Hebat? Yakin?
Setelah melalui proses seleksi yang ketat dalam
SNMPTN, akhirnya saat ini kalian akan segera menyandang
predikat sebagai mahasiswa. Mahasiswa dalam tahap awalnya
memasuki dunia kampus memiliki orientasi awal yang berbeda-
beda. Ada yang menganggap kuliah sebagai keharusan
penuntasan jenjang pendidikan, ada yang hanya mengejar ijazah
sebagai orientasi karir di masa depan, ajang mencari jodoh, ada
pula yang mengorientasikan kuliahnya demi penuntasan hasrat
intelektual. Termasuk yang manakah diri kalian?
Pertanyaan selanjutnya, sudah yakinkah kalian dengan
jurusan/ program studi yang kalian pilih? Sebab, kalau kalian tak
merasa cocok di awal, bagaimana bisa menjalani masa kuliah
dengan penuh tanggung jawab? Ingat, masa kuliah tak akan
seindah seperti yang disajikan di layar kaca. Kalian akan
disibukkan dengan tugas kuliah, kompleksitas pergaulan dengan
rekan kuliah, rekan organisasi, dosen, hingga masyarakat sekitar
kampus.
12
Tidak percaya? Merasa hanya kuliah hanya tentang diri
kalian sendiri, atau paling banter ya tentang kalian dan orang tua?
Proses belajar yang akan segera kalian jalani bukan hanya
menyangkut tentang diri kalian, tetapi juga ratusan juta rakyat
Indonesia. Saat seleksi masuk perguruan tinggi, ada berapa ratus
ribu siswa yang mendaftar? Berapa banyak yang diterima?
Kasarnya, jika ada 800 orang yang mendaftar di program
studimu, lantas yang diterima hanya 80, kalian pikir berapa
banyak kawan kalian yang saat ini sedang berjuang menentukan
arah? Dengan perbandingan keketatan tiap orangnya adalah 1:10,
kalian memiliki tanggung jawab besar atas 9 orang yang gagal
mendapatkan kursi di perguruan tinggi.
Jika itu belum cukup, baiknya kalian cari tahu dari
mana asalnya subsidi untuk uang kuliah kalian. 20% APBN yang
dialokasikan oleh pemerintah untuk pendidikan, termasuk
perguruan tinggi dan beasiswa pemerintah diambil dari uang
rakyat, tidak peduli seberapa miskinnya ia. Ingat, 70% APBN
negara kita berasal dari pajak. Siapa yang membayar pajak?
Mereka adalah abang tukang becak, ibu penjual asongan, sopir
bus, kenet angkutan umum, dan sesiapapun yang terkena wajib
pajak. Ingatlah bahwa anonim manusia yang tak kalian kenal pun
turut andil dalam penentuan masa depan kalian (tentu dengan
asumsi bahwa dana pendidikan diambil dari pemasukan pajak
13
dan non pajak). Maka, kalian tak hanya bertanggung jawab
terhadap satu dua orang, tapi juga ratusan juta rakyat Indonesia.
Di awal perkuliahan, hampir pasti kalian akan
diingatkan dengan status keren kalian sekarang: (MAHA)SISWA.
Organisasi mahasiswa akan mencekoki kalian dengan ragam
label, dari mulai agen perubahan, moral force, iron stock, dan lain-
lain. Dosen akan mencekoki kalian dengan ragam tuntutan, bisa
dengan optimisme ataupun skeptisisme. Kalian sendiri akan
mulai membebani diri kalian dengan ragam pragmatisme dan
oportunisme yang disajikan di bangku kuliah maupun angan-
angan tentang lahan pekerjaan yang hendak kalian garap pasca
lulus.
Lantas, bagaimana wujud pertanggungjawaban kita
pada ratusan juta anonim manusia yang telah meringankan beban
kita? Masih enggan untuk serius dalam menekuni kompetensi
keahlian yang kita pilih saat ini? Masih apatis untuk sekedar
berbaur bersama rakyat dan berusaha memberdayakan mereka?
Katanya menjadi mahasiswa artinya juga menjadi kaum
intelektual. Ingat, terminologi intelektual bukanlah logika yang
sifatnya pasti dan hanya memiliki tafsir tunggal. Namun secara
umum, kata intelektual ditafsirkan sebagai kondisi dimana
seseorang berkutat secara tekun dan serius pada ilmu
profesionalnya, untuk selanjutnya mentranformasikan
14
pengetahuannya sebagai bentuk peran sosialnya dalam
menyelesaikan problematika umat. Kaum intelektual adalah
sosok yang mencerahkan, demikian kata Gramsci. Konsekuensi
logisnya, kaum intelektual wajib memberi fungsi pencerahan bagi
orang-orang disekitarnya dengan kapasitas keilmuan yang mereka
miliki.
Mahasiswa yang terlanjur tercitrakan sebagai kaum
intelektual mestinya mampu bergerak di ranah ini,
mempertemukan teori dan praksis guna memecahkan berbagai
problem sosial yang mengakar di masyarakatnya. Bukan hanya
memperkuat ilmu pengetahuan sesuai dengan basis akademis
untuk kebutuhan pribadi, tetapi juga berani untuk peka dan melek
pada realitas sosial, serta memberikan kebermanfaatan untuk
sesama. Jadi, mau memberikan kebermanfaatan apa kalian selama
menjalani studi di kampus?
15
Generasi Instan
Yang instan semakin banyak dan beragam. Berawal
dari mie, ikan yang dikalengkan, sampai akhirnya nyerempet juga
ke bumbu makanan. Di zaman sekarang, orang tidak usah repot-
repot nyiapin ubo rampe buat masak opor, rendang, sayur, nasi
goreng, cukup dengan beli si bumbu kemasan sachet, buka,
gunting, lalu campurkan ke bahan makanan pokok, panaskan
dengan api yang tinggal klik dari kompor, selesai saudara. Betapa
mudahnya.
Mungkin karena memang gampang dan menghemat
waktu dan biaya, bangsa kita jadi terbiasakan dengan pola-pola
instan seperti ini. Masyarakat kita jadi pelit menggunakan sedikit
nalar mereka untuk berfikir, jadi kikir pula soal penggunaan
energi mereka untuk bekerja lebih banyak.
Saya jadi miris dan menyesalkan hal ini. Lebih lanjut
lagi, pola hidup serba instan ini menyebabkan dampak yang lebih
parah, bukan hanya sebatas pada kebiasaan dan perilaku
penggunaan, tapi lebih kepada perubahan kepribadian bangsa.
Yang sayangnya, saya temukan di kalangan mahasiswa.
16
Beberapa waktu lalu, nomor handphone saya
dicantumkan menjadi salah satu contact person dalam sebuah
buletin. Sederhana kerjanya: menjawab pertanyaan. Tapi ternyata
tak sesederhana dan semudah itu.
Beberapa bertanya, “Mba, besok osmaru (orientasi
mahasiswa baru) pakai apa?” Saya bilang, “Lihat di website
resminya.”
Si adik ini bertanya lagi, “Lha mbak-nya udah tau kan?
Apa to mba? Kasih tau, saya males buka web-nya..” (Tidak hanya
satu dua orang yang memberikan tipe pertanyaan macam ini)
Beberapa lagi bertanya, “Mba tidak boleh pake jeans
ya?”, saya jawab, “Sudah baca yang di web?” Dia jawab: sudah.
Hallo? Lalu, untuk apa lagi bertanya? Usut punya usut,
ternyata adik yang satu ini menanyakan hal serupa ke beberapa
orang, di facebook, lewat sms. Dengan tujuan guna mendapatkan
jawaban Ya boleh. Hanya ingin menguatkan argumentasi dan
pembenaran yang ia harapkan.
Saya jadi ngeri dan takut membayangkan generasi
macam apa yang akan lahir dari rahim 2012 ini manakala
pertanyaan yang diajukan berkisar seperti yang saya sebutkan di
17
atas. Saya takut bangsa kita akan jadi bangsa yang mandul dalam
melahirkan karya-karya monumental yang bercita rasa tinggi.
Bukan karya (maaf) ecek-ecek yang hanya
menginginkan pengakuan dari museum rekor, tapi kemudian
hilang pengaruhnya bagi bangsa ini selain melahirkan budaya
konsumtif yang kian merajai panggung demokrasi.
Ah, mau mengeluhkan nasib bangsa ini dan
menyalahkan lahirnya generasi instan pada siapa rasanya juga tak
akan berefek apapun. Nyatanya, lahirnya generasi instan ini telah
dimotori juga oleh orang-orang yang mengaku sebagai aktivis.
Sebutlah aksi. Seringkali terjadi, saat mimbar-mimbar
ilmiah hilang suaranya, kajian kontemporer sunyi pengikutnya.
Mendadak undangan aksi menghampiri. Ramai. Lalu gempar.
Kita jadi kehilangan nilai sakral sebuah aksi hanya
karena ketidakpahaman kita soal isu yang hendak kita angkat ke
jalan. Lalu aksi hanya jadi sekadar luapan emosi tanpa rumusan
‘tuntutan’ dan ‘solusi’ yang jelas. Peserta aksi? Kadang mereka
pun tak mengerti, yang penting hafal lirik mars mahasiswa, darah
juang, selesai semua urusan.
Bah!
18
Generasi instan ternyata bisa lahir juga dari insan-insan
cendekia yang kritis dan ‘katanya’ diharapkan. Sekali lagi saya
bertanya: Buat apa?
“Kritik mendasar pada gerakan mahasiswa adalah
ekspresi reaksionernya pada berbagai isu. Bentuk reaksioner ini
mengindikasikan bahwa gerakan itu tidak memiliki agenda atau
termakan oleh agenda orang lain. Gerakan mahasiswa bukanlah
alat pukul politik yang disibukkan mencari musuh dan bergerak
sebagai watch dog. Gerakan mahasiswa adalah aset masa depan,
maka ia harus memiliki rencana masa depan bangsanya yang
kelak ia pun ikut andil dalam proses kepemimpinan bangsa ini.
Kompetensi dasar di atas itu merupakan wujud dari pengokohan
gerakan yang menjadikan dirinya lebih kontributif pada
pemecahan masalah umat dan bangsa.” (Manhaj Kaderisasi
KAMMI 1427 H)
Saya pernah bergiat di Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas. Setidaknya saya berharap begitu. bukan orang yang
hanya buat gagah-gagahan saja memakai jaket bertuliskan Badan
Eksekutif Mahasiswa. Yang muncul seperti spora di awal, lalu
kemudian berguguran di akhir, dan dengan rasa percaya diri yang
luar biasa masih berani mengatakan saya pengurus bem, Hidup
Mahasiswa. Saya tidak akan mengatakan padamu untuk keluar
saja dari BEM mengingat saya sering bilang :
19
Aktivis yang pragmatis juga banyak, ngapain sibuk mencerca
mahasiswa apatis!
Sering saya bertindak di luar batas, mencerca lembaga
sendiri, meski hanya ditanggapi dengan senyuman. Saya sadar
bahwa sejatinya tugas kita adalah menyalakan lilin, bukan
menyalahkan kegelapan, karena itu saya pantang bungkam.
Menjaga lidah itu pasti. Tapi siapa yang mau
mendengar kecaman dan tuntutan dari mahasiswa ‘biasa’, kalau
diawal para aktivis sendiri menaruh jarak luar biasa lebar dengan
mengatakan bahwa mahasiswa yang tak berorganisasi adalah
mahasiswa yang pragmatis dan apatis tanpa berkaca bahwa
kebanyakan dari kita pun adalah generasi-generasi instan yang
bukan hanya pragmatis dan apatis, tapi juga culas dan bermental
kancil.
Semestinya kritik dan koreksi itu lahir dari pribadi-
pribadi yang banyak belajar, banyak tahu, banyak mendengar,
yang katanya mau mengabdi untuk rakyat.
Agaknya barang instan ini jadi momok yang kian
mengkhawatirkan. Ketika semua orang berharap mendapat
sesuatu dengan kilat, ekstra cepat hingga melupakan substansi
yang pada dasarnya jauh lebih bermakna. Yang saya khawatirkan
20
adalah ketika pada akhirnya, orang-orang jadi begitu terlena pada
masa-masa kejayaan mahasiswa dulu hingga lupa bahwa
tantangan hari ini berbeda-tak lagi seromantis zaman-zaman lalu
yang sudah lapuk oleh usia
Saya sadar, saya bukanlah orang dengan segudang
keahlian meskipun saya yakin bahwa Allah menciptakan saya
dalam keadaan yang sebaik-baiknya sehingga saya tidak boleh
sekalipun menyalahkan siapapun atas apa yang tak saya miliki.
Saya iri pada mereka yang memiliki suara lantang dan
berwibawa, postur badan yang tegap, serta karisma yang
terpancar bahkan sebelum mereka bicara. Tapi, itu bukan
tindakan ksatria. Seorang ksatria pantang mengeluhkan keadaan,
pantang baginya mencerca diri. Karena sejatinya, seorang yang
bisa menghargai dan menghormati segala apa yang ada pada
dirinya adalah orang yang bisa menghargai orang lain.
Maka meski saya skeptis, saya bersyukur. Masih ada
orang-orang seperti kalian. Meski dengan segala kritik dan caci,
jangan pernah mundur. Jadikan pelecut diri untuk jadi pribadi
yang lebih baik.
Wahai aktivis!!
21
Jangan mau jadi generasi instan yang bergerak hanya
atas dasar ikut-ikutan, raihlah kefahaman dan capailah ketinggian.
Demi Tuhan yang menciptakan akal.
Atas nama ilmu pengetahuan.
22
Refleksi Sumpah Pemuda dan
Mainstream Indonesiasentris
Refleksi Sumpah Pemuda dan Karakter Pemuda Indonesia
Lahirnya sumpah pemuda 84 silam bukan saja
merupakan batu pijakan dari rangkaian proses sejarah yang
bertonggak pada kejemuan akan realitas penjajahan yang sarat
dengan penderitaan dan kesengsaraan, akan tetapi merupakan
hasil pergolakan sekaligus pembuktikan kualitas dan karakter
pemuda Indonesia kala itu.
Sumpah Pemuda membuktikan kuatnya karakter
pemuda kita sebagai pemuda yang Visioner dan Pemberani. Para
pemuda kita telah melompati mainstream pemikiran kedaerahan,
kesukuan, bahkan melampaui batas-batas rasial yang
membelenggu, membiarkannya merambah dalam wilayah-
wilayah universal, penolakan kolonialisme, dan keinginan
mewujudkan kesetaraan manusia. Keberanian meneriakkan
dengan lantang dan mengambil sikap melawan entitas penjajah
bukan merupakan hal yang main-main, mereka dengan berani
23
telah menyatakan persatuan bangsa Indonesia dan sebuah cita-
cita mulia untuk mendirikan sebuah bangsa yang merdeka dan
berdaulat.
Mari kita cukupkan romantisme sajarah tentang
heroisme pemuda dalam periode yang lalu. Pertanyaannya,
bagaimana dengan kondisi pemuda kita hari ini? Kebudayan
bangsa Indonesia yang bernilai luhur dan agung begitu saja
terkikis akibat hegemoni budaya asing. Konflik horizontal yang
marak terjadi pun semakin memperlihatkan dengan gamblang
disentegrasi bangsa.
Jika menilik lagi sejarah, barangkali memang pemuda
(dalam hal ini mahasiswa) mulai mabuk akan demonstasi pada
1998. Letih dengan demonstrasi, mahasiswa mabuk label
keilmiahan kemudian mengingkari semangat angkatan ’98 untuk
berteriak dan turun ke jalan memperjuangkan rakyat. Kini,
bukannya menempa pikir dalam kajian dan diskusi untuk mencari
solusi, mahasiswa malah asyik masyuk menjadi event organizer.
Beberapa mengklaim bahwa mereka memberi solusi pada
permasalahan bangsa, nyatanya solusi tersebut terongrong dalam
ego dan sikap elitis, selesai dalam ruang-ruang seminar dan kajian
akbar.
24
Menjamurnya berbagai lembaga dan organisasi
mahasiswa, mulai dari BEM, DEMA, Pers Mahasiswa, hingga
Unit Kegiatan Mahasiswa telah membentuk spektrum yang
mencerminkan karakter mahasiswa dalam skala yang relatif lebih
luas, sayangnya hal ini pun berdampak pada lemahnya
konsolidasi visi dan orientasi sehingga terjadi dikotomi dan
pelepasan tanggung jawab mengemban amanah reformasi yang
telah dititipkan oleh generasi sebelum kita.
Melakukan refleksi terhadap Sumpah Pemuda 84 tahun
silam semestinya bisa menumbuhkan spirit dan semangat
membangun karakter baru untuk berpikir visioner melampaui
mainstream pemikiran umum sehingga dengan berani kita bisa
memberikan sumbangsih ide, gagasan, dan tindakan untuk
perbaikan bangsa ini ke depan.
Pada hakikatnya, mahasiswa haruslah memiliki karakter
yang ideal, kuat dan cerdas. Akan tetapi bagaimanakah cara
menumbuhkan karakter ideal tersebut? Apakah ia akan tertanam
melalui seminar satu dua hari saja? Atau melalui kontribusi
konkrit dengan pengadaan event-event kepemudaan serta beribu
lembar karya ilmiah? Ataukah, karakter itu akan muncul saat kita
memilih untuk menempuh alternatif gerakan pecinta lingkungan
dan pengabdian pada masyarakat?
25
Agaknya, pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi
suatu hal yang sukar untuk dijawab lewat tiga sampai lima lembar
kertas saja, melainkan harus melalui penelaahan yang panjang
dan kontinyu sehingga dapat ditemukan pola kontruksi karakter
mahasiswa yang ideal untuk menjawab tantangan zaman.
Mainstream Indonesiasentris
Indonesiasentris mengacu pada nilai-nilai dan
pandangaan yang mengacu pada sudut pandang Indonesia.
Sentrisme Indonesia ini adalah suatu bentuk reaksi terhadap
sikap elitis dan cara pandang parsial, salah satunya di bidang
pendidikan. Paulo Freire menyatakan bahwa pendidikan kita saat
ini jelas menerapkan gaya bank. Pendidikan kini bukan lagi
diletakkan sebagai proses memerdekakan manusia dari
penjajahan kebodohan, kebutaan akan hidup dan kehidupan.
Ruang-ruang pendidikan seperti sekolah dan universitas kini
menjadi pabrik yang mencetak generasi terbaik bangsa sebagai
pekerja, buruh di negeri sendiri.
Terbatasnya sikap keindonesiaan menyebabkan
keterpurukan pemuda dalam menjelaskan interpretasi dan
eksplanasi, sehingga mereka cenderung membuat generalisasi
berdasar narasi besar yang abstrak semata. Jarang pemuda kita
membuat konsep yang berbeda dari narasi umum yang ada.
26
Seolah apabila sedang bicara tentang nasionalisme maka kita
bicara soal bertempur dan melawan musuh. Padahal ada bentuk-
bentuk lain dari perjuangan dalam rangka nasionalisme. Pada
akhirnya, perlu kita sadari bersama bahwa masing-masing pihak
mempunyai cara sendiri tentang bagaimana berjuang.
Solusi yang bisa diupayakan untuk merekonstruksi
karakter mahasiswa yang ideal adalah dengan menanamkan
mainstream Indonesiasentris pada pola pikir yang berbasis pada
kesadaran.
Seringkali kita masih terhegemoni dengan romantisme
sejarah bahwasanya mahasiswa adalah tonggak sejarah perubahan
bangsa yang telah menumbangkan kekuasaan tiran dan
memperjuangkan nasib rakyat. Dan tentu saja, kini kita melihat
dengan nyata bahwa sejatinya, kita pun telah dikhianati oleh
segelintir oknum yang kala itu memperjuangkan nasib kita.
Kesadaran mengenai realita sejarah bermakna bahwa mahasiswa
kini harus mampu mengenali dirinya secara utuh sehingga
mampu menentukan langkah dan arah geraknya sendiri, tak mesti
menunggu untuk ditunggangi kepentingan-kepentingan yang
akan memposisikan dirinya sebagai bidak-bidak catur yang tak
punya daya dan upaya untuk bergerak sesuai nuraninya.
27
Dalam masyarakat industrial seperti sekarang ini, yang
mengatur bukan lagi orang tetapi sistem sehingga perseorangan
harus menyesuaikan diri terhadap sistem yang berlaku. Hal ini
menunjukkan pada kita bahwa rasionalitas modern telah
menempatkan individu sebagai pihak yang otonom dan bebas,
sehingga mereka dapat mengambil tindakan atau keputusan
terlepas dari kewibawaan institusi. Representasinya tercermin dari
sifat konsumerisme dan gaya hidup hedonisme yang kini
memiliki arti penting dalam praktek bermasyarakat.
Karakter mahasiswa ideal harus peka dalam
menghadapi tantangan ini dan mampu menempatkan diri sebagai
director of change. Bukan bermaksud untuk latah dengan
kembali mengulang stigma (semoga saja belum usang) bahwa
mahasiswa adalah ‘Agen Perubahan’, pemegang tahta tertinggi
dalam kancah pendidikan. Namun, seiring berkembangnya
jaman, lapuk pula-lah slogan itu. Sebuah paradigma baru (yang
entah siapa pembuatnya) mengantar orientasi berpikir mahasiswa
untuk menjadi si kaya yang bodoh dan sombong. Sombong
karena berani berkoar didepan umum dengan janji akan
menaklukan dunia di tangannya, tapi akhirnya binasa sebelum
melangkah ke medan laga.
28
Konstelasi ini harus dijawab oleh setiap individu
dengan menumbuhkan karakter yang utuh, tanpa terdistorsi
kepentingan-kepentingan personal maupun golongan tertentu.
Semestinyalah ada penerusan dari kesadaran individual
menuju kesadaran kolektif. Gambaran tentang masa depan tidak
saja berkaitan dengan kesadaran individu, melainkan juga secara
sosial/ kolektif dengan jalan mengintegrasikan diri dalam sebuah
komunitas masyarakat yang yang mempunyai agenda kebajikan di
tengah masyarakat luas. Sehingga individu-individu yang
terhimpun dapat saling mengeksplorasi pikiran tentang
Indonesia di masa yang akan datang.
Pada Akhirnya, Mari berbenah
Upaya untuk membangun karakter pemuda Indonesia
bukanlah semata-mata kerja seorang teoritisi. Proyek ini
merupakan tanggung jawab setiap elemen sosial yang melibatkan
kerja proaktif baik dari kalangan aktivis maupun akademisi.
Upaya selanjutnya adalah bagaimana menginstutisionalkan kerja-
kerja teknis dalam upaya penanaman mainstream
Indonesiasentris dalam diri pemuda Indonesia.
Pada tingkatan nasional misalnya, para aktivis dan
kaum intelektual yang bergerak di gerakan akar rumput harus
29
melampaui mainstream karakter perjuangan mahasiswa pada
umumnya yang sebatas melakukan aksi turun ke jalan tanpa
merumuskan solusi yang konkrit, menulis sejumlah proyek ilmiah
namun tak memberikan kontribusi yang berarti pada masyarakat,
serta terus menerus memberikan sumbangan materi pada
masyarakat miskin tanpa disertai dengan upaya pengabdian
sosial.
Perjuangan untuk menumbuhkan karakter
Indonesiasentris pada diri pemuda merupakan hal yang sangat
penting, karena dengan perhatian pada konfigurasi tatanan
pewaris masa depan Indonesia akan menjadi jalan untuk
menumbuhkan ulang semangat visioner dan pemberani yang
dimiliki oleh pemuda Indonesia dalam momentum 84 tahun
silam saat mereka mengikrarkan sumpah pemuda.
Beberapa di antara kita mungkin memaknai sumpah
pemuda dengan menjadikannya sebagai ritual yang kosong
dengan hanya sekedar berucap SELAMAT HARI SUMPAH
PEMUDA di jejaring sosial, mungkin pula hanya sekedar
menjadikannya pelengkap tema-tema diskusi, atau bisa jadi kita
mengambil momentum ini hanya sebagai tema aksi. Tanpa
pernah kita benar-benar merefleksikan releansi semangat sumpah
pemuda untuk menjawab tantangan masa depan bangsa
Indonesia.
30
Inilah saat kita berbenah, Pemuda Indonesia.
31
Refleksi Mendalam tentang Sejarah
Kita
Sejak awal penciptaanya, manusia dikenal sebagai
pribadi-pribadi yang senang menyederhanakan. Konsep lambang
bunyi yang arbitrer kemudian difungsikan dalam ragam bahasa
bunyi, penjabaran konsep eksak terwakili oleh simbol-simbol dan
lambang-lambang matematis, berbagai referensi buku pelajaran
senantiasa tersusun dalam sistematika yang runtut agar mudah
difahami. Lalu, bagaimana dengan sejarah? Fragmentasi
kesejarahan yang seringkali dipakai manusia seringkali tersistem
berdasarkan periodisasi waktu. Mengapa waktu? Sebab waktu
adalah ‘sesuatu’ yang begitu dekat dengan kita, bisa jadi malah
mencirikan eksistensi pokok keberadaan kita di alam semesta.
Sejarah telah membuktikan, disetiap kebangkitan suatu
bangsa terdapat pemuda sebagai rahasia kekuatannya. Revolusi
Perancis yang menumbangkan monarki dan gereja di abad
pertengahan digerakkan oleh kaum intelektual muda. Di dunia
Islam Asia-Afrika, para mahasiswa dan pemuda bangkit
32
mempelopori perlawanan terhadap penjajah di sepanjang paruh
pertama abad ke-20 sampai tahun 70-an.
Bagaimana dengan sejarah kebangkitan pemuda di
Indonesia?
Ketika belum ada seorangpun yang terpantik semangat
juangnya guna memperjuangkan tanah air, Pemuda Wahidin
Sudirohusodo telah melahirkan gagasan tentang kebangkitan
nasional pada tahun 1908. Pemuda Sukarno dan Hatta telah
merealisasikannya dengan ikrar kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945. Dalam rentang waktu tersebut terdapat
banyak kisah heroik perjuangan para pemuda Indonesia guna
mengabdi dan berbakti untuk negeri.
Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28
Oktober 1928 menjadi titik tolak persatuan bangsa. Satu nusa,
satu bangsa, satu bahasa. Siapa yang menyerukan narasi besar ini?
Pemuda. Uniknya, kesadaran persatuan ini tumbuh dan
berkembang secara sadar dan kolektif pada tiap elemen
kepemudaan. Jauh berbeda dengan sekarang, yang hanya
menggaungkan semangat persatuan ketika tim sepak bola kita
melawan tim negara lain.
33
Yang lebih menarik lagi adalah bahwa dalam
keterbatasan yang ada kala itu, dalam ketiadaan jaminan bahwa
gagasan besar yang mereka ikrarkan akan menjadi tonggak
perjuangan yang menyejarah, mereka tetap memperjuangkannya
dengan gigih dan semangat menyala. Bedakan dengan aksi
anarkis para pemuda kita sekarang, yang maunya menjadi ‘sejarah
yang menyejarah’, tapi pada akhirnya nol dalam hal kontribusi. Ya,
hanya meneriakan slogan kosong kaum oportunis semata.
Ini adalah zaman perubahan. Dari wacana menuju
realita. Kita sudah terlalu kenyang dengan aksi dan demonstrasi
melalui media(termasuk tulisan ini), kita sudah terlalu lama hanya
mendengar dan menggaungkan wacana-wacana tentang
kemiskinan, mahalnya biaya pendidikan, dan globalisasi. Ini
saatnya kita bertindak, dengan memberi kontribusi yang berarti.
Memang, kita tak bisa menafikan bahwa wacana adalah hal yang
juga urgen. Tapi apakah hanya akan kita gantungkan hidup mati
bangsa dalam sebuah wacana saja?
Sejarah selalu memperlihatkan bahwa perubahan selalu
mewujudkan keinginan-keinginan dasar yang merupakan cita-cita
bersama. Setiap semangat perubahan akan mengantarkan kita
pada mimpi yang terejawantahkan. Karena itulah, kita
membutuhkan pelaku perubahan yang senantiasa berjuang untuk
34
mengeksekusi gagasan-gagasan besar, yang merealisasikan setiap
impian menjadi narasi yang tersejarahkan.
Sekali lagi, mari telaah kembali sejarah kita.
Pada 1908, pemuda mulai membangun gagasan
kemerdekaan. Tahun 1928, gagasan itu dibingkai dalam semangat
persatuan. 1945, perwujudan gagasan itu teraktualisasikan secara
nyata dalam proklamasi kemerdekaan. Setelah kemerdekaan
berhasil dicapai, muncul masalah internal dalam tubuh bangsa.
Maka, pemuda lah yang kemudian kembali bertindak, pada 1966
pemuda menumbangkan rezim orde lama, dan keberhasilan pun
kembali dicetak ketika mereka menumbangkan rezim orde baru
pada 1998.
Sejarah selalu menyimpan kisah. Meski tak mungkin
sejarah bisa merangkum semua lini kehidupan secara utuh dan
sempurna. Euforia masa lalu dan dinamika keberhasilan masa
lampau bisa jadi meyebabkan sebagian dari kita beranggapan
inilah keberhasilan yang sesungguhnya dan akhir dari tujuan.
Pada satu sisi, kita memang mesti berterimakasih kepada para
pemuda era lalu. Tapi, itu tidak berarti kita mesti mengikat diri
pada kepuasan dan tak mengacuhkan cerita hari ini, serta enggan
menyusun gagasan esok hari.
35
Kebangkitan pemuda di masa lalu diwujudkan di
tengah cengkeraman penjajahan. Saat ini, kita hidup ditengah
kemerdekaan, namun sayang masih semu. Kita masih terjajah!
Bukan lagi berebut wilayah dan kekuasaan, tapi melalui destruksi
moral generasi, opini publik yang dikembangkan para pemilik
konsorsium yang menggurita, dan sketsa politik laba-laba yang
menyesatkan.
Lantas, apa sejarah yang akan kita bubuhkan dengan
tinta emas di atas persada khatulistiwa? Kita butuh para pelaku
sejarah yang gigih memperjuangkan cita-cita dan idealismenya.
Ketika idealisme pemuda mengendur, maka mengendur pula
zaman yang dilaluinya.
Ada proyek pembaruan yang mesti kita rampungkan.
Proyek ini selamanya hanya akan menjadi konsep yang terformat
di dalam pikiran dan tertulis di memoar kita, dan pada akhirnya
usang dan lapuk oleh usia ketika tidak segera direalisasikan. Kita
membutuhkan energi perjuangan untuk melahirkan kekuatan
perubahan. Kita membutuhkan pemuda yang tangguh dan idealis
untuk merealisasikannya.
Maka, ambilah peran. Jadilah pemuda itu.
Jadilah ‘sejarah yang menyejarah’.
36
Hidup Mahasiswa! Hidup Pemuda! Hidup Indonesia!
37
Jelang Orientasi Mahasiswa Baru
Bagi mahasiswa baru momen samaru (sambut
mahasiswa baru, biasanya dikenal dengan sebutan ‘ospek’) adalah
masa yang penting. Untuk pertama kalinya, mereka akan
menginjakkan kaki di kampus baru mereka, sekaligus mengurus
administrasi kemahasiswaanya.
Disisi lain, ada banyak pihak yang juga berkepentingan
dengan masa registrasi on desk tersebut. Lembaga internal kampus
layaknya organisasi mahasiswa akan mengambil kesempatan ini
untuk kepentingan mereka, entah untuk pelayanan semata,
pelayanan demi terciptanya citra yang baik (pencitraan), atau
pelayanan demi terciptanya citra yang baik (pencitraan) guna
perekrutan anggota.
Hal ini telah menjadi semacam rutinitas yang terjadi
setiap tahunnya, maka semaraklah kampus demi menyambut
para fresh graduated high school tersebut.
Saya pun pernah menjadi mahasiswa baru, dan saya
perkirakan, konsep yang sekarang diusung pun akan sama
38
dengan yang dulu. Hampir semua organisasi mahasiwa
menggunakan pendekatan-pendekatan persuasif yaitu dengan
cara melayani kebutuhan maru, utamanya dalam hal teknis di
lapangan. Misal: akses informasi (info kos, advokasi biaya kuliah,
dan lain sebagainya).
Bisa jadi, mereka pun mengusung pendekatan edukatif.
Amunisi-amunisi seperti leaflet, bulletin mini, sampai booklet
akan terlihat berserakan (yah, dibuang dan tak sempat dibaca
barangkali). Namun, yang lebih ditonjolkan dengan cara yang
kedua adalah ‘pendidikan organisasi’- pemberian stimulan-
stimulan tentang pentingnya mengembangkan kapasitas personal
secara intelektual lewat lembaga kampus.
Namun bagi saya, ada satu hal penting yang mestinya
menjadi corak berfikir para aktivis kampus. Bukan hanya
mengusung fungsi pelayanan, pencitraan, dan perekrutan
lembaga. Yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana
kita mengupayakan agar kampus tercitrakan sebagai basis moral
dan intelektual dalam ranah akademis.
Basis intelektual yang saya maksud adalah manifestasi
belajar secara luas, menyangkut spesialisasi ilmu yang diambil
oleh mahasiswa, maupun pembelajaran yang ia ambil guna
pengembangan dirinya melalui organisasi-organisasi
39
mahasiswa. Basis moral adalah hal yang mendasar untuk
membentuk karakter yang baik, kuat, dan cerdas.
Saya rasa kita harus menawarkan ruang aktualisasi
secara menyeluruh, untuk terus mengarahkan mahasiswa pada
platform, “Membangun integritas mahasiswa secara moral dan
intelektual.”
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Soe Hok Gie
dalam bukunya Catatan Seorang Demonstran: “Mimpi saya yang
terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia
berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-
pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia
yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi
hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai
seorang manusia.”
40
Membingkai Potret Intelektual
Muda Indonesia, Sebuah Refleksi
Hal yang menarik ketika kita bicara tentang ‘intelektual’
adalah karena dengannya kita seolah dipaksa untuk berkaca di
depan album waktu yang kita beri nama ‘sejarah’. Dalam studi
sejarah, Arnold Toynbee mengemukakan adanya recurrent pattern
atau kecenderungan berulangnya suatu pola dengan beragam
variasinya. Apakah kecenderungan ini pun berlaku ketika
memperbincangkan intelektual Indonesia dari masa ke masa?
Tentunya, ini akan menarik bila kita telaah bersama. Namun, saya
tidak akan membuat cerita ini menjadi panjang dengan
membaginya dalam periodisasi waktu yang baku, saya hanya akan
membiarkan tulisan ini mengalir sependek jalan pikiran saya yang
sederhana.
Sejarah modern pergerakan politik, ekonomi, sosial,
dan budaya nasional mencatat kaum terpelajar dalam dinamika
masyarakatnya memang amat menonjol. Bahkan terlihat sejak
menjelang akhir abad ke-19 dengan tampilnya sejumlah kalangan
terpelajar yang melakukan kritik pedas terhadap pemerintahan
41
kolonial. Tidak sedikit diantaranya malah yang sudah berani
mengajak rakyat bangkit melawan penjajahan. Perlawanan
menentang kolonialisme bukan hanya dilakukan oleh mereka
yang mengenyam pendidikan barat, tapi juga oleh kaum
terpelajar yang berlatar pendidikan Islam.1
Pada 16 Oktober 1965, seorang saudagar batik asal
Kampung Batik Laweyan bernama Hadji Samanhoedi
mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi
modern berasas Islam pertama di Hindia Timur, yang kelak
menjadi cikal bakal lahirnya organisasi pergerakan lain di
Indonesia. Selain memperdalam ilmu agama pada Kyai
Djodjermo di Surabaya, semasa kecil ia juga mengenyam
pendidikan di Inlandsche School dan Eerste Inlandsche School. Ini
membuktikan bahwa Hadji Samanhoedi bukan hanya seorang
pengusaha yang memegang teguh Islam, tetapi juga seorang
pejuang intelektual Islam yang anti terhadap segala bentuk
penjajahan.
Di era yang sama, kita mengenal RM Tirtoadhisoerjo,
murid STOVIA yang sering dikenal sebagai pelopor wartawan
Indonesia. Ia senantiasa melakukan kritik pedas terhadap
pemerintah kolonial melalui Medan Prijaji. Meskipun surat kabar
1 Yudha, D.P ; Peran Cendekiawan dalam Dinamika Masyarakat
42
tersebut bernama Medan Prijaji, surat kabar tersebut tidaklah
dimaksudkan hanya untuk kaum priyayi. Malah, ia yang
sebelumnya mendirikan Sjarikat Prijaji dan menjadi bagian dari
Boedi Oetomo menulis:
Aduh! Dalam programnya perkumpulan muda ini memang
memuat maksud yang begitu2, akan tetapi antara maksud dan
kesampaiannya maksud itu masih ada ruang lebar... tetapi yang demikian
juga tak dapat diharapkan, sebab anggota Boedi Oetomo juga ingin
berumah yang patut dan penghidupan senang, hingga masing-masing
hendak mencari pekerjaan yang baik, biar di kandang gubermen, biar di
halaman partikulir”3
Kehebatan tulisan itulah yang membuat Tirto harus
mengalami pembuangan ke Lampung. Namun, di masa
pembuangannya pun ia tak pernah berhenti menulis karangan-
karangan yang bertujuan membela rakyat kecil serta melawan
praktik buruk dari pemerintah kolonial setempat. Apa yang
dialami oleh Tirto dilukiskan indah oleh Pramoedya Ananta Toer
dalam tetralogi pulau buru-nya yang terkenal itu. Termasuk juga
kisah pertemuan antara Tirto, Mas Marco, serta Hadji Misbach.
2 maksudnya, melepaskan rakyat dari penderitaan akibat kolonilalisme
3 Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 180
43
Hadji Misbach mendirikan Medan Moeslimin pada
tahun 1915 dan Islam Bergerak pada tahun 1917. Salah satu
tulisannya yang dirilisnya dalam Medan Moeslimin berjudul
Sroean Kita mengundang ragam kontroversi. Ia menyindir umat
Islam yang kaya namun enggan bersedekah, juga umat Islam
yang memiliki ilmu agama namun enggan mengajarkannya pada
bangsanya, malah mereka gunakan untuk menipu bangsanya
sendiri.
“..itulah sebabnya bangsa kita yang muslim itu terjerumus
dengan tipu daya orang yang mengisep darah kita.. itulah sebabnya kita
kaum muslim harus melawan dengan sekeras-kerasnya.. contohlah
bergeraknya jujungan kita Kanjeng Nabi Muhammad saw yang
menjalankan perintah Tuhan dengan tidak mempedulikan payah susah
yang terdapat olehnya, tiada takut sakit mati untuk melawan perbuatan
sewenang-wenang.. Siapa yang merampas agama Islam, itu yang wajib kita
BINASAKEN!”4
Tulisan tersebut menjadi semangat dan gairah
keberagamaan yang baru. Agama tidak lagi menjadi anjuran
beramal shalih yang diterjemahkan hanya sebagai ibadah ritual,
4 Ibid, hal 182
Sumber asli: Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di
Jawa 1912-1926 hal 181
44
tetapi mampu menjadi alat melakukan transformasi sosial.
Selanjutnya, Hadji Misbach terus berusaha melakukan
propaganda dan memimpin beragam aksi pemogokan.
Langkahnya semakin masif setelah ia bergabung dengan Sarekat
Islam.5
Mas Marco Kartodikromo berada dalam sekoci yang
sama dengan Hadji Misbach dalam berjuang lewat propaganda
melalui tulisan. Ia menulis dalam novelnya, Student Hijo:
“...Tuan berkata orang Jawa kotor, tetapi Tuan toh mengerti
juga bila ada orang Belanda yang lebih kotor daripada orang Jawa...
“Orang Jawa bodoh”, kata Tuan, “Sudah tentu saja, memang pemerintah
sengaja membikin bodoh kepadanya. Mengapakah Regeering tidak
mengadakan sekolah secukupnya untuk orang Jawa of Orang Hindia,
sedang semua orang mengerti bahwa tanah Hindia itu yang membikin kaya
tanah kita Nederland?”6
Logika bahwa penduduk pribumi adalah bangsa
primitif, kotor, dan terbelakang inilah yang menjadi pembenaran
5 Kelak, Hadji Misbach mengalami perbedaan prinsip yang cukup besar
dengan kalangan SI sehingga ia keluar dan mendirikan Partai Komunis
Indonesia. Ini pelajaran berharga yang patut dicatat dalam sejarah,
bukan dihilangkan karena dianggap sebagai aib.
6 Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 189
45
bagi kaum penjajah melanggengkan kekuasaannya di tanah
Hindia. Hal ini juga yang membuat kaum terpelajar kita kala itu
‘menjauh’ dari akar masyarakatnya. Sebab, mereka pun tidak
ingin dikategorikan sebagai kaum kromo yang primitif, kotor,
dan terbelakang.
Multatuli, dalam roman yang ditulisnya berjudul Max
Havelaar menulis bagaimana dogma agama menjadi pembenaran
bagi Belanda menjajah bangsa Hindia dalam ceramah yang
dilakukan oleh Blatherer.
“Arahkan pandangan anda ke kepulauan di Samudera
Hindia, dihuni oleh berjuta-juta anak dari putra terkutuk-putra yang
sangat terkutuk-Nuh yang mulia7, yang menemukan rahmat di mata
Tuhan! Di sana dalam ketidaktahuan mereka merangkak di sekitar
sarang ular berhala yang menjijikan-di sana mereka menyembah kepala
hitam, keriting di bawah penindasan pendeta egois! Disana, mereka berdoa
kepada Tuhan, memohon pada nabi palsu yang merupakan kebencian di
dalam pandangan Tuhan...”8
7 Dikisahkan, kaum Hindia adalah keturunan Kanaan, putra nabi Nuh
yang enggan mengimani risalah yang dibawa ayahnya.
8 Multatuli, Max Havelaar halaman 165
46
Lebih lanjut, Blatherer menyampaikan enam tugas yang
ia klaim harus mereka lakukan guna menyelamatkan ‘para
penyembah berhala miskin’, yang di dalam salah satu poinnya
berisi: “Memerintahkan masyarakat Jawa agar dibawa ke Tuhan
dengan cara bekerja.”
Logika berpikir inilah yang membuat Tan Malaka
resah. Belanda memang memberikan kesempatan bagi kaum
pribumi untuk belajar (berhitung dan baca tulis), akan tetapi
tujuan pendidikan itu pun hanya mendapatkan buruh dengan
upah rendah. Tan yang resah kemudian mendirikan ‘Sekolah
Rakyat’9 bersama SI Semarang. Sekolah ini tak hanya
mengajarkan pada para muridnya agar memiliki keterampilan
untuk bekerja dan memenuhi hajat hidupnya, tapi juga
menanamkan kesadaran kemerdekaan dari segala bentuk
penjajahan dan penindasan.
Begitulah, kaum intelektual di zamannya
mentransformasikan ide dan gagasan yang mereka yakini dalam
praksis kehidupan berbangsa. Memang, ada saat dimana terjadi
pertentangan ide dan gagsan hingga menyebabkan konflik, baik
9 Tan Malaka tidak pernah menamai sekolah tersebut dengan nama
“Sekolah Kerakyatan”. Para sejarawan lah yang kemudian menamakan
dengan nama tersebut karena orientasi pendidikannya berakar pada
permasalahan dan kebutuhan rakyat.
47
konflik ideologis maupun politis, akan tetapi yang menarik untuk
dikaji lebih lanjut adalah kemampuan para cendekiawan kritis
masa itu mengatasi perbedaan yang ada. SI misalnya, pada rapat
di Purwokerto dikacaukan oleh Moeso lewat SI Merahnya. SI
pun pernah ribut dengan Muhammadiyyah karena tak senang
dengan sikap Muhammadiyyah yang non-politik dan hanya
bergerak di dalam agama. Konflik antara Semaoen dan HOS
Tjokroaminoto pernah terjadi, namun Semaoen memilih diam
dan Tjokro pun menganggap kelakuan Semaoen sebagai bentuk
gejolak kaum muda. Pun, konflik itu pernah terjadi antara kubu
Soekarno dan Hatta-Sjahrir. Soekarno yang lebih memilih
berjuang dengan agitasi masa lewat pidatonya, serta Hatta-Sjahrir
yang memilih berjuang dengan PNI-Baru (Pendidikan Nasional
Indonesia) yang berasas sosialis.
Inisiatif kaum muda yang brilian itu tak berhenti
sampai disana, generasi tua yang memegang tampuk
pemerintahan pasca proklamasi kini diimbangi dengan gerakan
kaum muda. Inisiatif brilian itu dilakukan jelang dua tahun
setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 5 Februari 1947
ketika pemuda Lafran Pane memprakarsai berdirinya Himpunan
Mahasiswa Islam. Kelahiran HMI erat kaitannya dengan realitas
kebangsaan, keagamaan, dan kemahasiswaan yang hidup di masa
tersebut. Realitas kebangsaan tersebut dapat dilihat dari upaya
48
HMI guna turut serta dalam mempertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia. Selain realitas kebangsaan, kehadiran HMI
terkait pula dengan realitas keagamaan dan kemahasiswaan,
dimana agama Islam saat itu tidak dilaksanakan secara konsisten
oleh umat Islam sendiri, terutama mahasiswa. Lafran Pane,
bersama kawan-kawannya di UII, melihat pentingnya kembali
menegakkan ajaran Islam di kalangan mahasiswa, seperti sholat
tepat waktu, dan lain-lain.
Dalam perkembangan selanjutnya, HMI secara aktif
terlibat dalam melakukan pengkaderan generasi muda bersama
PMII dan IMM (yang lahir setelahnya), serta beberapa organisasi
mahasiswa lain seperti GMNI, PMKRI, CGMI, dan lain-lain.
Sependek referensi yang pernah saya baca, saya
akhirnya mengenal beberapa ‘intelektual’ yang hidup di zaman
pasca kemerdekaan. Mereka menuliskan sepenggal perjalanan
hidupnya lewat catatan harian. Diantaranya, Soe Hok Gie
(Catatan Seorang Demonstran), dr.Sulastomo (Hari-Hari yang
Panjang 1963-1966), serta Ahmad Wahib (Pergolakan Pemikiran
Islam). Ketiga orang tersebut jelas adalah mahasiswa. Gie adalah
mahasiswa Ilmu Sejarah UI yang berafilisasi terhadap PSI.
Sulastomo adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran UI yang juga
merupakan Ketua Umum PB HMI tahun 1963-1966. Ahmad
49
Wahib adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Pasti dan Alam UGM
yang juga merupakan kader HMI.
Dari catatan harian yang mereka tuliskan, dapat kita
simak dengan jeli bagaimana mereka sebagai mahasiswa
memandang berbagai persoalan yang terjadi di pada tahun yang
diklaim bersejarah bagi gerakan mahasiswa di Indonesia (yang
katanya) menumbangkan kekuasaan tiran, yakni tahun 1965
ketika meletus peristiwa G-30 September. Saya tidak akan
mengulas lebih lanjut mengenai peristiwa itu. Akan tetapi,
ternyata ada hal menarik yang terjadi pada persepsi Sulastomo
dan Arief Budiman berkaitan dengan peristiwa tersebut.
Arief Budiman mengatakan bahwa pada 1965/1966
mahasiswa sebenarnya bukanlah kekuatan yang independen. Ia
menekankan agar mahasiswa tak berilusi bahwa orde baru
dilahirkan oleh mahasiswa. Tapi ya, hanya ilusi saja, dan tidak benar.
Sebab, yang terjadi sebenarnya saat itu adalah pertarungan antara
ABRI melawan PKI dengan gerakan mahasiswa sebagai ujung
tombak. Mahasiswa sendiri tidak mungkin bergerak tanpa
dukungan ABRI. Oleh karena itu, kemenangan mahasiswa ketika
itu sebenarnya merupakan bagian kecil dari pertarungan yang
lebih besar dan mungkin tidak kelihatan.10
10 Sulastomo, Hari-Hari yang Panjang Hal 115
50
Sulastomo secara bijak menanggapi pendapat yang
Arief Budiman katakan, “Sekali lagi memang salah apabila ada
anggapan Orde Baru dilahirkan oleh mahasiswa. Tetapi juga
tidak betul apabila mahasiswa digambarkan tidak berperan apa-
apa. Sebab, kekuatan Orde Baru adalah kekuatan rakyat yang
sedemikian luas, ya mahasiswa, ABRI, pemuda, dan lain-lainnya.
ABRI berperan besar dan menjadi pelopor adalah benar. Tetapi
memfokuskan persitiwa 1965/66 hanya pada pertarungan yang
besar antara PKI dan ABRI, dapat menimbulkan interpretasi
yang mungkin lain, yang mungkin juga kurang
menguntungkan.”11
Irawan Puspito menjabarkan secara lebih general
kemelut dan pertentangan garis politik yang terjadi di antara
organisasi-organisasi mahasiswa jelang persitiwa 30 September
1965:
Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis
Presiden Soekarno adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis ABRI
adalah HMI, PMKRI, dan SOMAL (Sekretariat Organisasi-Organisasi
Mahasiswa Lokal). Sedangkan yang mengikuti dan mendukung garis PKI
adalah CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia).12
11 Ibid, hal 121
12 Dynamics of Islamic Student Movements, hal 85
51
Mungkin, ingatan kita akan kembali pada adegan di
film Gie yang mengisahkan pertentangan pelik yang terjadi antar
organisasi mahasiswa tersebut, kemudian bersatunya mereka saat
berusaha menumbangkan kekuasaan Orde Lama. Namun, yang
patut kita cermati lebih lanjut adalah adegan saat Gie bertemu
kawannya yang telah menjadi anggota dewan pasca lahirnya Orde
Baru. Adegan tersebut memberi ilustrasi lahirnya calon borjuis
kecil yang diam-diam membina hubungan intim dengan
pemerintah hingga berimbas pada untung dan proyek, akhirnya
idealisme dan semangat militan pun dibonsai jadi kepatuhan pada
kenikmatan dan kemegahan. Gagasan demokrasi kemudian
dibunuh oleh para pejuangnya. Anak-anak muda yang dulu
antusias mengutuk rezim Soekarno duduk antusias di kursi
parlemen, berkoalisi menguras lebih dalam kekayaan bangsa
untuk kantong pribadi bersama rezim baru yang kini berkuasa.
Pasca diberlakukannya Normalisasi Kegiatan Kampus
dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada 1974,
praktis ruang gerak mahasiswa baik internal maupun ekstra
kampus mengalami pengebirian yang luar biasa. Dampaknya,
kampus menjadi tempat yang steril dari kegiatan politik
mahasiswa, dan semata difungsikan sebagai lembaga pengkajian
akademis. Kelesuan aktivisme mahasiswa yang terjadi
menyebabkan munculnya pola-pola gerakan baru yang
52
berkembang dalam kancah kemahasiswaan, khususnya gerakan
mahasiswa Islam. Diantaranya, 1) ormas kemahasiswaan yang
telah ada sebelumnya seperti HMI, IMM, dan PMII, 2)
kelompok mahasiswa Islam yang bersentuhan dengan pemikiran
Islam kiri, serta 3) munculnya aktivitas keislaman berbasis
masjid-masjid kampus.
Fenomena gerakan yang berbasis masjid kampus ini
dimotori oleh seorang tokoh HMI bernama Imaduddin
Abdulrahim. Melalui beliau, gerakan ini mengakar ke seluruh
kampus di Indonesia yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya
FSLDK (Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus). Telah
beberapa kali dilangsungkan pertemuan FSLDK guna membahas
khittah LDK agar tercipta kesamaan pemahaman dan kesamaaan
arah dalam melaksanakan strategi dakwah kampus, hingga pada
FSLDK Ke X di Malang para Aktivis Dakwah Kampus tersebut
menyadari perlunya respon terhadap kondisi perpolitikan
nasional yang begitu memprihatinkan. Selepas acara,
dideklarasikanlah kelahiran Front Aksi yang disepakati bernama
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pada 29
Maret 1998. Pada muktamar nasional pertama pada tanggal 1-4
Oktober 1998 dimulailah era baru bagi KAMMI, yakni
perubahan statusnya sebagai front aksi menjadi ormas yang
permanen.
53
Reformasi yang senantiasa digadang-gadang dengan
penuh kebanggaan bukanlah sejarah yang indah, sebab setelah
reformasi ternyata gerakan mahasiswa belum berhasil
membangun mimpinya akan sebuah negara yang ideal. Gerakan
mahasiswa berubah atributnya menjadi gerakan moral, masa
kepahlawanan selesai, ada sisi yang hilang karena
ketidakmampuan gerakan dalam menggalang massa. Gerakan
mahasiswa menjadi kebingungan membawa peran, saat mereka
pulang kandang ke kampusnya, mereka punya aturan-aturan
baru, namun kampus ternyata lebih dahulu membuat aturan-
aturannya sendiri.
Ide-ide para ‘pahlawan reformasi’ ini pun tidak hidup.
Konsep tanpa prinsip dan uang ternyata tak bisa terealisasi. Ide
mahasiswa menghantam kekuatan yang jauh lebih besar. Wujud
eksperimentasi gerakan mahasiswa dengan corak kiri-kanan yang
menggaungkan politik progresif pun digempur militer. Habislah
intelektual kampus. Mereka yang pintar akan masuk ke dalam
birokrasi, sementara yang radikal akan tersingkir. Mulai tahun
2001-2002, tradisi intelektual menjadi menurun. Disisi lain,
masyarakat mulai meragukan efek reformasi sebab demokrasi
nyatanya tak menjamin apa yang dulu dijamin oleh Soeharto
(meski diberikan dengan hutang luar negeri). Gerakan Mahasiswa
pun hanya hidup saat pergantian kepengurusan, pelantikan, dan
54
diskusi. Kita pun kian terjebak, antara keinginan untuk
melakukan pemberontakan atas tatanan dan ketidaktahuan
merumuskan alternatif. Mungkin karena itu kebanyakan
kemudian memilih pilihan pragmatis yang paling realistis:
mengadakan seminar, lomba ini itu, dan lain sebagainya.
Lantas, peran apa yang mestinya diambil oleh para
intelektual hari ini? Izinkan saya mengutip Manhaj Kaderisasi
KAMMI 1427 H, sebagai berikut:
Kritik mendasar pada gerakan mahasiswa adalah ekspresi
reaksionernya pada berbagai isu. Bentuk reaksioner ini mengindikasikan
bahwa gerakan itu tidak memiliki agenda atau termakan agenda orang
lain. Gerakan mahasiswa bukanlah alat pukul politik yang disibukkan
mencari musuh dan bergerak sebagai watch dog. Gerakan mahasiswa
adalah aset masa depan, maka ia harus memiliki rencana masa depan
bangsanya yang kelak ia pun ikut andil dalam proses kepemimpinan
bangsa ini. Kompetensi dasar atas itu merupakan wujud dari pengokohan
gerakan yang menjadikan dirinya lebih kontributif pada pemecahan
masalah umat dan bangsa.
Menjadi proaktif (tidak reaksioner) bukan berarti abai
terhadap permasalahan, kemudian menjadi permisif dan enggan
turun tangan. Kaum intelektual wajib menjunjung tinggi dasar
ilmiah sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pilihan sikapnya.
55
Pers pernah menjadi alat perjuangan yang mematikan
guna melawan kaum penjajah, saat ini pers berubah menjadi
penjajah baru yang mematikan intelektualitas dan moral bangsa,
kaum intelektual muda memiliki tanggung jawab yang besar
untuk membuat arus baru pers yang mencerdaskan. Ragam
organisasi pernah didirikan sebagai bentuk ijtihad para founding
fathers guna mewujudkan cita-cita besar kemerdekaan Indonesia
(dan mereka berhasil), kaum terdidik kita hari ini pun memiliki
organisasi untuk mewujudkan cita-cita bersama (Indonesia yang
lebih baik), maka pendidikan kader dan penanaman ideologi yang
persisten dan konsisten mesti kita jaga dan tanamkan baik-baik,
disamping turut andil berbuat dan berkarya untuk menjadi solusi
permasalahan umat dan bangsa.
Jumlah perguruan tinggi hari ini semakin banyak.
Pertemuan mahasiswa semakin mudah, tukar menukar gagasan
pun semakin mudah. Yang perlu kita ciptakan adalah momentum
dan kesempatan mengambil peran. Sebelum menuju kesana, yang
perlu kita perhatikan benar adalah memulihkan kembali
kepercayaan publik pada gerakan mahasiswa. Produksi ide kita
harus lebih banyak, harus lebih autentik dan genuine. Bukan
berdasar kata senior ataupun pendapat mainstream para ilmuwan
sosial yang kini lebih memilih menjadi ‘pelayan pembangunan’
ketimbang penggerak perubahan.
56
Gerakan pemuda harus mengakar pada kebutuhan
rakyat, dan kita hanya akan bisa mengerti apa yang diinginkan
rakyat manakala kita mengidentifikasi diri sebagai rakyat, bukan
bagian terpisahkan yang menempatkan diri dengan narsis sebagai
agent of change, agent of social control, iron stock, moral force, dan lain-
lainnya. Sebutan langitan ini membuat mahasiswa berada pada
posisi yang berbeda dengan rakyat secara umum, ‘merasa’ lebih
intelek-lah, lebih rasional-lah, lebih inilah, itulah. Karena
mahasiswa adalah rakyat, maka tiap langkah yang kita ayun, tiap
jejak yang kita buat, tiap goresan tinta yang kita torehkan,
merupakan tindakan sadar kita sebagai bagian himpunan
bernama rakyat.
Kita menyadari inferoritas kita ditengah superioritas
mitologi yang membangun kerangka diri kita selama ini,
menyadari sepenuhnya bahwa sebagai rakyat kita memiliki hak
dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mudah-mudahan
dengan menghidupkan kesadaran ini, tidak akan lagi terjadi
dikotomi yang terbangun antara diri dengan rakyat, sebab kita
sendiri pun harusnya menempatkan diri sebagai bagian inheren
dari rakyat, tanpa menafikan kapasitas keilmuan yang kita miliki
secara teori maupun praksis yang kita dapat di perguruan tinggi.
Pada akhirnya, selain mengidentifikasi diri sebagai
bagian kolektif dari rakyat, tak bisa tidak, kita mesti
57
mengidentifikasi diri sebagai individu, sebagai pribadi. Sebagai
pribadi, kita bisa berkaca pada Hadji Misbach yang
menggaungkan semangat perlawanan pada kekuasaan yang
menggurita atas nama Tuhan. Kita bisa berkaca pada Tan Malaka
yang membangkang terhadap otoritas pendidikan di zamannya
dengan membuat sistem pendidikan yang memerdekaan,
merakyat, dan membebaskan. Kita bisa berkaca pada RM
Tirtohadiserjo yang menolak kemapanan sistem dan memilih
bergerak dengan kekuatan pena. Apabila kita tak merasa nyaman
dengan mengidentifikasi pada sosok-sosok tersebut, yakinlah
bahwa kita bisa memainkan peran kita sendiri, tanpa menunggu
naskah maupun skenario dari sutradara. Mengambil peran adalah
kebutuhan tak terbantah bagi mereka yang mengaku sebagai
kaum intelektual!
Akhirul kalam,
Ihdinaashhirotholmustaqiim. Tunjukilah kami jalan yang
lurus Ya Tuhan kami..
Sumber Bacaan:
Islam, R. J. (2013, November 15). Jejak Islam untuk Bangsa.
Retrieved Oktober 4, 2014, from Hari-Hari Terakhir
58
Hadji Samanhoedi; Pejuang yang Ter(Di)Lupakan:
http://www.jejakislam.net/?p=225
Multatuli. (2008). Max Havelaar. Jakarta: Penerbit Narasi.
Prasetyo, E. (2008). Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin.
Yogyakarta: Resist Book.
Puspito, I. (2009). IMM sebagai Mata Rantai Intelektual Muslim.
In C. N. Saluz, Dynamics of Islamic Student Movements (pp.
77-103). Yogyakarta: Resist Book.
Raharjo, M. D. (1996). Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan
Negara: Wacana Lintas Kultural. In Kebebasan
Cendekiawan, Refleksi Kaum Muda. Jakarta: Pustaka
Republika.
Sulastomo. (2000). Hari-Hari yang Panjang 1963-1966. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Wahib, A. (2013). Pergolakan Pemikiran Islam. Jakarta: Pustaka
LP3ES.
Yudha, D. P. (1996). Peran Cendekiawan dan Dinamika
Masyarakat, Sebuah Refleksi. In Kebebeasan Cendekiawan,
59
Refleksi Kaum Muda (pp. 60-74). Yogyakarta: Pustaka
Republika.
60
Leiden is Lidjen, Memimpin adalah
Menderita
Teladan Kepemimpinan Haji Agus
Salim
Pasca transisi kepemimpinan, Indonesia masih
dihadapkan pada pelbagai persoalan yang tak kunjung usai. Alih-
alih beradu argumen ideologis guna menyelesaikan persoalan
bangsa, elite politik kita malah asyik berebut pengaruh dan
kekuasaan. Pembusukan institusi legislasi tak terhindarkan.
Kepercayaan rakyat pada para wakilnya tak pelak musti pupus
bahkan sebelum mereka ‘bergerak’.
Sebagai himpunan besar bernama ‘rakyat’, sudah pasti
kita kecewa. Lantas, kita pun bertanya, “Mengapa pentas politik
menampilkan lakon wayang yang tak menarik?”, “Apakah
padang kurusetra berpindah di ruang dewan?”, “Tidak adakah
figur pemimpin yang patut jadi teladan bagi rakyatnya?”
Agaknya mereka lupa. Bisa jadi kita enggan membaca.
Bahwa Republik pernah lahirkan tokoh pemimpin besar di masa
61
lalu. Bahwa fakta sejarah itu tak hanya patut diperingati, apalagi
berakhir di hafalan para pelajar sekolah negeri. Tanpa berniat
lakukan glorifikasi, penulis ingin hadirkan kembali ia yang
berikan teladan terbaik kepemimpinan.
Terlahir dengan nama Masjhudul Haq (Pembela
Kebenaran), agaknya menjadi spirit bagi dirinya untuk selalu
konsisten membela bangsanya dari penjajah. Spirit itu ia wariskan
pada para pemuda Islam yang kelak lanjutkan jejak
perjuangannya. Natsir, Roem, Kasman, Soeparno, dan banyak
aktivis JIB (Jong Islamieten Bond) menjadikannya Bapak tempat
bertanya dan menempa diri. Ia mendidik, bukan mengajari. Ia
menyederhanakan persoalan, bukan membuatnya makin rumit. Ia
tak mendikte solusi, tapi memberi ruang untuk setiap
kemungkinan alternatif jawaban.
Di awal berdirinya Republik, ia tampil penuh percaya
diri di panggung dunia. Ia lakukan lawatan ke negara-negara
Timur Tengah demi pengakuan kedaulatan atas negara yang terus
mengalami invasi militer pihak Belanda. Karena diplomasi
seorang poliglot (seorang yang mampu menguasai banyak
bahasa) yang brilian ini, sejumlah negara Arab berturut-turut
mendukung pengakuan kedaulatan Indonesia. Tak pelak,
Soekarno menjulukinya, The Grand Old Man.
62
Dalam konteks politik, Haji Agus Salim pernah terlibat
dalam situasi yang pelik. Intrik dan konflik internal melanda
Sarikat Islam- Partai Sarikat Islam, ketika ia menjabat dalam
struktur kepengurusan pusat. Hal ini akibat infiltrasi yang
dilakukan Partai Komunis Indonesia. Ia selesaikan konflik dalam
partai dengan cara yang beradab: adu argumen dan debat
terbuka. Akhirnya, disiplin partai diterapkan. Mereka yang
komunis tersingkir, purifikasi ideologi dilakukan dengan mantap.
Meski menghendaki Islam sebagai dasar negara, Haji Agus Salim
tidak bertindak agresif. Dengan kepala dingin, ia menjadi
penengah kubu nasionalis dan kubu Islamis dalam Panitia
Sembilan saat rumuskan dasar negara.
Diakui lawan politiknya, Willem Schermerhorn, hanya
satu kelemahan Haji Agus Salim, yaitu “selama hidupnya selalu
melarat dan miskin”. Deliar Noer, sejarawan Indonesia
menguatkan pendapat ini: “Sampai akhir hayatnya, salim tak
pernah hidup mewah, tidak mengeluh dengan keadaan dan tanpa
mengurangi gairah perjuangan.”
Bagaimana tidak? Sampai akhir hayatnya, ia tak
memiliki rumah tinggal yang tetap. Tanpa lelah dan keluh kesah,
ia, istri, dan ketujuh anaknya berkali-kali pindah rumah
kontrakan, sempat ia hanya mampu mengontrak satu kamar saja.
Saat anaknya meninggal, ia bahkan tak memiliki uang guna
63
membeli kafan. Ia cuci taplak meja dan kelambu untuk
mengkafani anaknya.
Leiden is Lidjen, Memimpin adalah Menderita.
Demikian keteladanan yang Haji Agus Salim ajarkan dengan
tindakan. Bukan semata lewat spanduk dan iklan. Apalagi
pencitraan murahan yang jadi bahan cemooh dan ejekan.
Semoga kita belajar..
64
Menjelang Akhir Kepengurusan
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS al-Anfal
[8]: 27).
Pergantian kepengurusan dalam sebuah organisasi
adalah suatu keniscayaan sekaligus menjadi bukti bahwa denyut
organisasi masih berdetak. Adalah merupakan sunatullah, jika
silih berganti aktivis datang dan pergi mengisi pos-pos struktural
kelembagaan untuk berkontribusi dengan memaksimalkan
potensi yang dimilikinya, karena di sanalah ia ditempa untuk
mempersembahkan totalitas perjuangan dan pengorbanannya
demi tercapinya visi dan misi lembaga.
Perjalanan mengemban amanah ini tak selamanya
mulus. Ada onak, duri, serta berbagai rintangan yang
menghalangi. Karena itulah, seorang aktivis diharapkan bisa
menjadi sebuah pisau belati yang selalu terasah tajam, yang
memiliki semangat pengabdian, perjuangan, serta pengorbanan
65
secara maksimal dalam setiap bidang kelembagaan tempat ia
beramanah
Jika ada pengurus baru yang menggantikan pengurus
lama, ini berarti bahwa mereka tengah mendapat kepercayaan
total untuk mengemban amanah agar ditunaikan dengan penuh
totalitas, profesionalitas, dan dedikasi. Pengurus lama yang
lengser dari jabatan strukturalnya, bukan berarti kehilangan
amanahnya, meskipun secara formal memang Ya. Pasca
kepengurusan, diharapkan mereka tetap menggafiliasikan
idealisme dan pemikirannya untuk keberlangsungan dakwah.
Jadi, tidak terbatas pada struktur kelembagaan semata.
Kita memikul amanah dari orangtua kita untuk
mengoptimalkan potensi fikriyah kita dalam konteks akademis,
yakni kuliah. Di sisi lain, kita ingin menembangkan soft-skills kita
dengan berorganisasi, yang dengan otomatis membuat kita
‘beramanah’. Dalam konteks ini kita dituntut untuk bisa
menyeimbangkan keduanya sesuai proporsi dan porsi yang tepat.
Ironisnya, terkadang sikap kekanakkan kita muncul,
banyak mengeluh karena amanah yang begitu banyak dengan
waktu yang begitu terbatas. Juga rasa lelah yang mencekik dan
membuat sesak di dada.
66
Seringnya, hal ini menjadi alasan dan dalih kita untuk
mengesampingkan kedua amanah yang dipercayakan pada kita.
Menjadikan kesibukan berorganisasi sebagai alasan ketika
mendapat IPK rendah, atau malah sebaliknya, menjadikan
akademis sebagai dalih untuk melalaikan tugas kelembagaan.
Allah tidak akan membebankan pada seseorang suatu
ujian yang diluar kesanggupannya. Jika kita bisa melakukan hal
yang nilainya (misal saja) A, namun yang kita dapatkan adalah B.
Maka, adalah suatu yang lumrah ketika dipertanyakan, “ apa jeda
yang memisahkan antara A dan B?”
Kita adalah sopir. Apakah kita mampu membuat
kendaraan kita mempercepat laju menuju tujuan, atau malah
sebaliknya. Kembali pada kita, inti dari pergerakan ini. Seberapa
kita mengenal kendaraan kita, mampukah mengoperasikannya
dengan baik, dan apakah kita tahu apa yang mesti dilakukan
manakala chaos terjadi padanya. Ya memang benar. Kembali
pada kita, sang pengendara.
Di sinilah saatnya kita merefleksikan diri. Benarkah
Allah sebagai tujuan? Jika demikian, sesulit apapun medan,
takkan jadi penghalang. Sungguhkah ikhlas sebagai landasan
perjuangan? Bila begitu, tiada pantas keluhan demi keluhan
terlontarkan. Da’wah memang indah, Kawan. Ia mempesona kita
67
bukan dengan fasilitas yang ditawarkan namun justru oleh
tantangan yang memayahkan. Tapi Allah Mahaadil. Ia sediakan
jiwa-jiwa penghangat perjuangan, Ia Berikan tangan-tangan yang
kan raih kita saat hendak terjatuh. Ia sediakan saudara seiman,
dan itulah yang buat manisnya perjuangan.
68
Dari Renungan hingga Diskusi
69
Bijak Tanggap Isu
Dalam menyongsong mihwar daulah, ada beberapa hal
yang nampak jelas terlihat. Jika pada mihwar sebelumnya ikhwah
sangat intens dengan kajian yang berkaitan dengan akidah,
ibadah, serta materi-materi lain yang menumbuhkan pemahaman
mengenai tandzim, di era setelahnya persoalan yang menyangkut
amal siyasi mau tak mau mendapat porsi yang cukup banyak.
Dengan catatan, di era sebelumnya amal siyasi memang selalu
menyertai setiap aktivitas dakwah. Misal, di mihwar muasasi,
gerakan dakwah telah memiliki rakizah siyasiyah, yakni
penekanan kerja di bidang politik.
Adalah bukan kapasitas saya berkomentar mengenai
berbagai isu yang saat ini berkembang di media massa maupun
obrolan ringan di sudut-sudut kampus mengenai hasil Pemilu
2014. Namun, artikel ini
(http://polhukam.kompasiana.com/politik/2014/04/14/harusn
ya-pks-tidak-seperti-itu–647710.html) memang sukses membuat
saya tersenyum-senyum sendiri. Segera saya membuka catatan
tasqif saya beberapa tahun silam dan menemukan beberapa
catatan menarik.
70
Memang, sebagai follower, over-reaktif dalam
menghadapi isu bukanlah tindakan yang bijak. Mungkin hal
tersebut memang bertujuan baik, untuk tabayun, agar yang kita
anggap sebagai kebenaran dapat tersampikan. Akan tetapi,
kekaburan kader dalam menyampaikan informasi dengan data
yang tak valid dan sama sekali tak akurat justru akan
memperkeruh isu negatif yang berkembang.
Sayyid Muhammad Nuh sendiri dalam bukunya Terapi
Mental Aktivis Harakah pernah mengatakan bahwa tabayun
adalah kewajiban qiyadah. Sebagai jundiyah, kita semestinya tidak
tergesa-gesa dalam menguatkan suatu pendapat, baik dengan
over-reaktif men-share-kannya secara terus menerus maupun
memberi komentar-komentar yang berdasar dari asumsi pribadi.
Mengutip Ust Eko Novianto dalam bukunya, Dakwah dan
Manajemen Isu:“..tabayun, keterbukaan, ketepatan respon qiyadah,
kajian kebijakan, dan integritas struktur dakwah bukanlah tugas kita
sebagai individu, akan tetapi merupakan tugas struktur dakwah.”
Hal tersebut seharusnya akan ditaati dan dilakukan
secara bijak oleh mereka yang memahami konsekuensi dari
menggabungkan diri dalam sebuah harokah Islamiyah. Ust Fathi
Yakan dalam bukunya, Komitmen Muslim kepada Harokah
Islamiyah menegaskan bahwa seorang mukmin adakalanya tak
mengetahui tanda-tanda adanya bahaya (fitnah), sehingga ia tak
71
menyadarinya kecuali itu benar-benar telah terjadi. Oleh karena
itu, seorang Mukmin harus berhati-hati dalam berucap, berbuat,
dan bersikap agar tidak mendatangkan bencana bagi orang-orang
yang beriman.
Perkara ini kembali diingatkan oleh Sayyid Muhammad
Abdul Halim Hamid, dalam bukunya Karakteristik dan Perilaku
Tarbiyah, beliau berpesan, “Memberikan perhatian kepada
perkataan yang buruk dan cepat mengambil keputusan atas isu
dan praduga tidak akan menghasilkan apapun kecuali semakin
membuat ia durhaka dan menjauh.” Hal ini berlaku baik untuk
mereka yang berada dalam internal gerakan dakwah, maupun
mereka yang berada di eksternal gerakan, bahkan musuh-musuh
dakwah. “Janganlah kita menghancurkan jembatan antara kita
dan lainnya, meskipun mereka berbuat jelek dan menjelek-
jelekkan.”
Pernah, saya coba ingatkan kawan yang cenderung
senang mengumbar data-data yang kurang valid, menyerang rival
politik, dan melakukan klarifikasi tak berdasar, namun atas alasan
tsiqah pada berita/info yang ia miliki, ia tak gubris yang saya
katakan. Lalu, saya pun bertanya-tanya, apa sebenarnya makna
dari tsiqah?
72
Ust Fathi Yakan mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan tsiqah adalah kepercayaan seorang prajurit akan
kemampuan dan keikhlasan komandannya secara mendalam
sehingga membuahkan kecintaan, penghargaan, penghormatan,
serta ketaatan.
Sayyid Abdul Halim Hamid mengungkapkan bahwa
tsiqah adalah ketenangan hati tanpa adanya keragu-raguan.
Kebutuhan akan tsiqah menjadi prioritas yang penting saat ini.
Lebih lanjut, beliau menerangkan mengenai bentuk-bentuk
tsiqah.
Pertama, tsiqah kepada Allah swt. Ketika terjadi perang
dengan tentara kebatilan, dan para tentara mendapat desakan
keras, maka tsiqah pada kebersamaan Allah dan dukungan serta
pertolongan-Nya dapat meringankan kerasnya tekanan yang
dihadapi.
Kedua, tsiqah kepada diri sendiri. Tsiqah ini
berlandaskan pada keyakinan bahwa segala sesuatunya ia
serahkan hanya kepada Allah swt.
Ketiga, tsiqah kepada manhaj (sistem) dengan
konsisten selama sistem bersumber dari sumber Islam,
73
diturunkan dari sumber Islam, serta pada substansinya secara
keseluruhan dan terperinci.
Keempat, tsiqah kepada kepemimpinan, selama ia
memimpin atas sistem kebenaran, memberi contoh dengan
komitmen, ketekunan, dan bermujahadah di jalannya.
Kelima, tsiqah kepada prajurit yang merupakan hak
tentara atas kewajibannya memberi, berkarya, dan berkorban
terhadap pemimpin.
Keenam, tsiqah antar individu asalkan mereka adalah
kelompok kaum mukminin yang merupakan ahli agama serta
senang menciptakan perdamaian. Akan tetapi, yang perlu diingat
bahwa kepercayaan ini kadang dimanfaatkan oleh orang-orang
yang munafik dan perekayasanya.
Maka dari itu, kehati-hatian dalam mencerna ragam
informasi yang disajikan di media merupakan keharusan bagi tiap
muslim dimanapun berada.
74
Baratayuda di Negeri Kita
Pasca deklarasi pencapresan Jokowi-JK dan Prabowo-
Hatta, media mulai ramai dibanjiri pemberitaan mengenai kedua
sosok tersebut. Masing-masing kader maupun simpatisan seolah
memiliki energi tak terbatas guna menggali latar belakang
masing-masing tokoh, dari mulai orangtua, anak, prestasi yang
pernah diperoleh, hingga berderetnya kasus yang masih belum
tuntas hingga saat ini.
Sebagai orang awam yang baru mulai belajar untuk
melek politik, saya tak ingin banyak berasumsi macam-macam.
Entah dengan memberi dukungan pada salah satu calon, maupun
menistakan calon yang lainnya dengan argumen yang saya
ragukan kebenarannya. Tidak, saya tak mau melakukan hal yang
(menurut saya) konyol itu. Hanya saja, melihat beberapa hari
belakangan beranda facebook, blog, dan twitter saya ramai, saya pun
mulai gatal dengan sesekali menandai ‘suka’, meski menahan diri
untuk tidak menshare, me-reblog, maupun meretweetnya.
Alih-alih teori, saya malah jadi ingat akhir perang
Baratayuda yang tragis. Lho? Kok bisa? Bukannya kebaikan
75
menang atas kejahatan? Pandhawa menang! Ya, memang
Pandhawa menang, akan tetapi peniadaan kurawa hingga ke akar-
akarnya, nyatanya tak membawa pada kejayaan yang agung dan
diidamkan. Kematian para Kurawa membuat daya hidup
Pandhawa juga habis. Memang, Pandhawa berhasil menguasai
Astina, tapi apa gunanya itu semua ketika seluruh keturunan
Pandhawa pun berhasil dimusnahkan (dengan perkecualian
Parikesit)? Hingga pada akhirnya, Pandhawa pun harus
menghadapi kematian serupa di puncak Mahameru, menyisakan
Yudhistira dan anjingnya dalam perjalanan panjang
menemukan hakikat.
Mungkin, dialog antara Arjuna dan Kresna di awal
perang besar itu patut menjadi renungan bagi kita. Sesaat
sebelum perang berkecamuk, Arjuna berkata kira-kira begini,
“Mungkinkah kepemilikan suatu negara seimbang dengan
korban-korban sedemikian besar?” Jika saja Kresna menyepakati
perkataan Arjuna dan memilih menyarankan membatalkan
pertempuran di detik-detik terakhir, (toh Pandhawa telah hidup
damai di Amarta). Jika pun Kresna tetap memberikan saran yang
sama untuk tetap melanjutkan pertempuran, toh Arjuna bisa
menolak, dan bisa jadi kematian ratusan ribu nyawa di medan
pertempuran urung terjadi, tak ada kisah tragis yang begitu
memilukan ini.
76
Hanya saja, selama ini kita telah dicekoki dengan begitu
mudahnya bahwa kebaikan akan selalu menang dari kejahatan.
Dengan mudah, kita memberi label “BAIK” dan “BURUK”
pada masing-masing golongan. Jika sesuai dengan selera, kita
katakan BAIK, jika tidak, maka sebaliknya. Tapi, disinilah akan
kita lihat uniknya Mahabharata. Kita tidak akan dengan
mudahnya memberi label BAIK dan BURUK pada tokoh yang
membangun cerita ini. Setiap peran memiliki kompleksitas dan
ambiguitas wataknya. Kita betul-betul akan kesulitan menarik
garis tegas yang memisahkan antara hitam dan putih, antara baik
dan buruk. Jika pihak Kurawa melambangkan kebengisan,
kejahatan, dan keangkaramurkaan, disana kita temukan tokoh
Bhisma Dewabrata, Resi Durna, Prabu Salya, dan Karna. Mereka
adalah para satria utama. Jika kita ingin melambangkan kebaikan,
keadilan, dan kepahlawanan pada para Pandhawa, toh egoisitas
mereka memilih korbankan nyawa tak berdosa untuk sebidang
tanah patut pula dipertanyakan. Itu baru di level pihak yang
terlibat dalam pertempuran, belum sampai pada level pribadi.
Tak ada yang meragukan watak satria Bhisma
Dewabrata. Ia adalah seorang panglima yang dihormati baik oleh
Kurawa maupun Pandawa. Tentu saja ia akan memihak pada
kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Lantas, mengapa ia memilih
berada di pihak Kurawa? Bukankah seorang satria harus memilih
77
yang benar, yang baik, dan yang adil? Tapi di lain pihak, ia adalah
seorang satria yang wajib membela tanah airnya, Astina.
Bukankah seorang satria memang harus mempertahankan setiap
jengkal tanah airnya ketika orang lain ingin merebutnya? Lantas,
bagaimana kita akan menghakiminya saat ia mati di tengah
pertempuran oleh panah Srikandi? Surga atau Neraka? Begitu
pikirmu?
Sengkuni memang terkenal culas dan licik, ia dituding
sebagai pengobar perang Baratayuda. Tapi bagaimana dengan
Kresna? Sosok yang kita kenal sebagai moksa Dewa Wisnu inilah
yang mengipasi api agar menyala lebih ganas dan membara!
Sebagai seorang satria, ia pun melakukan penipuan terhadap
Durna dalam peperangan dengan mengabarkan berita bohong
bahwa Aswatama, anaknya, telah mati (padahal yang mati gajah
bernama Aswatama). Yudhistira memang terkenal arif dan bijak,
tapi kalau bukan karena persetujuannya berjudi dengan Kurawa,
Pandhawa tak akan terusir dari Astina begitu saja! Karna
mungkin dianggap khianat pada saudara seibunya, tapi ia setia
guna membalas budi atas kebaikan Duryudana.
Terjebak dalam moralitas murahan baik dan buruk ini
akan membuat kita kehilangan kemanusiaan kita. Mungkin kau
akan berkata, yang haq telah jelas, demikian pula dengan
yang bathil, tapi selesaikah sampai disana? Gambaran dunia
78
bukan hanya hitam dan putih, begitu banyak warna yang
membentuk selengkung pelangi, dunia juga
demikian. Judgement asal-asalan bukan hal yang bijak.
Sebagaimana Kurawa dan Pandhawa yang
mencerminkan sifat khas manusia dengan ambiguitas dan
ambivalensinya, demikian pula pribadi kita. Maka, sembari
menonton perang di dunia maya ini, saya pun merenung dan
berkaca, (mungkin kau juga berminat melakukannya), bahwa baik
dan buruk bukanlah suatu hal yang dengan mudahnya dapat
diputuskan kadarnya, lebih apik lagi jika kita mau mawas diri.
Tokoh yang kita kenal dalam cerita pewayangan sudah
memiliki karakter khasnya masing-masing, kita tahu bijak
sekaligus liciknya Durna, kita paham kejumawaan sekaligus
kedewasaan Antasena dan Antareja, kita tahu watak satria Arjuna
meski dia pernah pula berselingkuh dengan Dresnala. Tapi,
dalam dunia nyata, watak kita tak tergambarkan sejelas itu.
Apakah kita lebih dekat dengan tokoh Sengkuni ataukah Bima?
Apakah kita lebih pantas disejajarkan dengan Bambang Ekalaya
ataukah Prabu Salya? Jika saja kita mau jujur, barangkali dalam
hati kita pun hidup ragam sosok itu, bukan hanya satu-dua,
terjadi lebih dari sekedar paradoks dan ambiguitas. Kita ingin
menjadi seorang pembelajar sejati macam Ekalaya, tapi apakah
setelah sukses kita malah berubah menjadi Salya yang
79
mencampakkan kawan seperguruannya? Kita mungkin akan
menelusup dalam batin kita terdalam untuk menemukan hakikat,
lalu setelah merasakan damai itu, apa yang akan kita pilih? Bima
memutuskan kembali dan menjalani pertempuran, sementara
Wisanggeni memilih hidup dalam jagad cilik bersama isterinya.
Bagaimana dengan kita? Ada Baratayuda yang berkecamuk dalam
tiap diri kita, meskipun dalam perang besar ini kita tak lebih
keberadaannya dari prajurit maupun penonton.
Sebagai prajurit, kita akan dengan mudahnya membuat
rasionalisasi atas perjuangan kita. Kulakukan ini karena yakin
akan kebenaran, kulakukan ini atas dasar nasionalisme, kulakukan
ini untuk cintaku. Sebagai penonton wayang, kita pun membuat
rasionalisasi mengapa Kurawa harus kalah dan Pandhawa
memang layak menang. Itu sah-sah saja. Sungguh, saya pun
kesulitan menemukan motif saya (termasuk dalam tulisan ini),
apakah ia murni merupakan refleksi dan saya berharap orang lain
membaca serta memberikan pendapatnya mengenai tulisan ini,
ataukah tercampur pula kebencian serta dukungan tersamar?
Adakah pamrih? Seberapa besar? Hanya Tuhan yang tahu.
Tulisan ini tak bermaksud membuat pelabelan tertentu,
bahwa salah satu pasangan capres adalah Kurawa, sementara
yang lainnya adalah Pandhawa. Yang ingin saya katakan adalah,
dalam Baratayuda, ada ratusan ribu ‘Baratayuda” yang
80
berkecamuk dalam tiap diri lakonnya. Dalam kehidupan nyata,
sudah pasti kita akan dihadapkan dengan situasi yang menuntut
kita memilah dan memilih, lantas memberi keputusan. Tak jarang
rasa bimbang menyergap, sebab baik buruk hilang batasnya,
tercampur baur! Akan tetapi, pada akhirnya, kita lah yang akan
mempertanggungjawabkan tiap keputusan yang kita ambil.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip perkataan salah
seorang mursyid ‘Am Ikhwanul Muslimin, Syekh Hasan Al
Hudhaibi: “Kami adalah juru dakwah, bukan hakim.” Pernyataan
ini beliau sampaikan sebagai respon atas munculnya golongan
takfiri di kalangan Ikhwanul Muslimin puluhan tahun silam.
Semoga kita terhindar.
Ya Allah, Tuhan kami, tunjukilah kami jalan yang
lurus.
81
Kumbakarna dan Wibisana: Tentang
Sebuah Ikhtiar Menghaluskan Rasa
Malam ini saya menonton Sendratari Ramayana di
Balekambang. Langit cerah, purnama merekah, lenggak lenggok
gemulai lakon Shinta di pentas nampak indah. Untuk sejenak,
saya terpukau oleh suasana magis yang melingkupi sekitar
sebelum beberapa orang mulai ramai
mengeluarkan smartphone/tabnya untuk mengambil gambar
hingga menutupi pandangan saya ke arah tempat pagelaran
berlangsung.
Sembari menonton, saya iseng menguraikan jalan cerita
seperti yang sebelumnya saya baca dari kisah tragis Ramayana
pada kawan yang duduk di sebelah saya. Ia manggut-manggut
saja, namun sepertinya ocehan saya mengganggu fokusnya, jadi
saya sadar diri dan memilih diam, ikut memperhatikan.
Memang, jika dibandingkan dengan Ramayana, saya
lebih suka Mahabharata. Alasannya sederhana: kompleksitas
karakter yang berperan dalam membangun kisah Mahabharata.
Akan tetapi, itu bukan berarti Ramayana bebas dari ambiguitas
82
peran serta kategorisasi lakon hitam-putih, jahat-baik, penjahat-
ksatria.
Rahwana menculik Shinta, dia berdiri di sisi ‘yang
bersalah’. Rama datang ke Alengka untuk menjemput kekasih
yang dicintanya, Shinta, dia berdiri di sisi ‘yang terzalimi’. Tapi,
apa yang dilakukan Rama setelah kembali ke negerinya pada
Shinta juga merupakan bentuk kezaliman lainnya. Banyak yang
tak tahu bahwa setelah Rama kembali ke negerinya, Rama
meragukan kesucian Shinta, terpaksalah Shinta harus melakoni
ritual untuk membuktikan kesetiaan dan kesuciannya dengan
menceburkan diri ke dalam kobaran api yang menyala-nyala.
Apakah setelah Shinta selamat Rama tetap meyakini kesucian dan
kesetiaan Shinta? Tidak! Rama mengusirnya dalam keadaan
tengah mengandung! Kezaliman apa yang lebih menyedihkan
dibanding pengusiran seorang suami pada isterinya yang tengah
mengandung buah hati mereka? Adakah jawaban?
Tapi, tulisan ini tak akan meributkan perkara
percintaan Rama-Shinta, kalau sudah menyangkut soal cinta dan
kepercayaan, itu akan jadi bahasan lain. Nah, jadi begini. Ada dua
tokoh dalam kisah Ramayana yang sedang jadi role model saya
dalam mengambil sikap, dan selama pertunjukan tadi
berlangsung, saya belum juga bisa memutuskan akan memilih
bersikap sebagai siapa manakala diminta untuk memilih:
83
Kumbakarna atau Wibisana? Keduanya sama-sama adik
Rahwana, keduanya sama-sama mencela tindakan penculikan
Rahwana terhadap Shinta, tetapi sikap yang mereka ambil toh
berlawanan.
Saat Wibisana memilih bergabung bersama Rama atas
nama kebenaran, Kumbakarna memilih setia mempertahankan
tanah airnya, Alengka, hingga kematian yang tragis datang
menjemputnya di medan pertempuran. Keduanya tercatat
sebagai satria utama, akan tetapi siapa yang sejatinya mengambil
sikap yang benar?
Pilihan Wibisana untuk bergabung bersama Rama
bukan hanya perkara soal benar-salah. Saya membayangkan,
ketidakinginan Wibisana menjadi bagian yang dieksklusi di dalam
negeri karena perbedaan sikapnya dengan sang kakak pun
‘memaksanya’ turut menyeberang menjadi pendukung Rama.
Pertanyaannya, apakah setelah ia hijrah dengan begitu mudah ia
mendapat kepercayaan dari Rama dan pengikutnya? Menurut
saya, jelas tidak semudah itu. Secara politik, di pihak Rama, ia
pun akan tereksklusi sebagai orang asing, sebagai alien. Barulah ia
akan diterima apabila telah memberikan pengorbanan yang
setimpal.
84
Kumbakarna sendiri tak serta merta turut andil dalam
melawan penyerbuan ke Alengka. Sebelumnya, ia melarikan diri
dengan bersemadi. Barulah ia mengambil sikap untuk menyerang
balik pasukan Rama manakala keadaan tentara Rahwana semakin
mengkhawatirkan.
Betapa sulitnya menilai benar-salah dengan tetek
bengek logika menjengkelkan ini. Entahlah, saya ingin menilai
semua itu dengan rasa, hanya rasa. Mengabaikan segala logika
yang mungkin, juga ketajaman analisa dalam melihat
kompleksitas persoalan.
Tiga pekan yang lalu, saya misuh-misuh gara-gara
membaca curhatan Jean Couteau di Kompas yang menurut saya
terlalu subjektif dan hanya berpedoman pada olah rasa, olah
intuisi, sehingga tentu saja tidak dapat dipertanggungjawabkana.
Mungkin memang dimaksudkan demikian, sebab JC sendiri pun
memberi judul tulisan itu Igauan “identiter” di Bandara Doha.
“Mengapa mereka yang berlalu-lalang itu semuanya
merasa harus berbeda, mengikuti gaya tampilan khas warisan dari
suku, agama, atau bangsanya masing-masing? Sementara mereka
dan saya pun tak lebih dari tetesan air di aliran sungai
besar…Apakah itu cukup sebagai tanda jati diri? Saya melihat
85
“Babel” sekeliling saya. Jelas tidak cukup!” Tulisnya di udar rasa
tersebut.
Akan tetapi, di bawah tulisan itu kok dia langsung
menilai sifat orang, kemudian mengidentikkannya dengan tokoh
lain, dengan hanya melihat tampilan luarnya saja, bukan tampilan
luar malah, dari tiket yang ia beli!
Sayangnya, meskipun misuh-misuh, saya baru sadar
bahwa selama ini pun saya telah melakukan dosa tak terampuni
itu: menilai dengan begitu mudahnya orang-orang di sekitar
hanya dari tampilan mereka, bagaimana mereka
memperlakukan gadget yang mereka miliki,
status facebook mereka, link-link yang mereka share. Tanpa mau
menyelami lebih dalam karakter dari tiap pribadi dengan
melakukan interaksi secara intens untuk menghaluskan rasa.
Mungkin (hanya mungkin) dengan kembali
merenungkan sikap yang diambil oleh Wibisana dan
Kumbakarna, kita kembali belajar, bukan untuk menggurui
tentang benar-salah, atau sekadar mengingatkan tentang norma-
norma, pesan moralitas, apalagi sekadar pembenaran penentuan
sikap, tapi untuk kembali berkaca pada diri, siapkah kita
mengambil keputusan secara sadar dan bertanggungjawab?
86
Sekali lagi, betapa sulitnya menilai benar-salah dengan
tetek bengek logika yang menjengkelkan. Betapa inginnya saya
menilai semua itu dengan rasa, hanya rasa, mengabaikan segala
logika yang mungkin, juga ketajaman analisa dalam melihat
kompleksitas persoalan. Tapi, bijakkah?
Tanya hatimu saja.
87
Ekalaya dan Segala Hal tentang Strata
Di tengah sinar rembulan, dengan ditemani nyala api
obor yang remang-remang, seorang ksatria dengan wajah yang
penuh kesedihan tengah memahat pada sebuah batu besar,
membentuk sebuah sosok tubuh dengan wajah peyot tua, dengan
tangan kanan memegang tasbih di depan perut, sementara tangan
kirinya memegang gandewa panah.
“Mengapa seorang Pengembara tidak layak berguru? Mengapa
seorang gelandangan dilarang belajar?” Kata-kata itu lirih ia ucapkan
sembari tangannya tak henti membuat guratan-guratan pada batu
besar itu, suara yang hampir-hampir tak terdengar oleh sebab
dikalahkan suara desah nafasnya sendiri.
Masih terngiang dalam ingatannya waktu-waktu yang
telah terlewati. Saat ia meninggalkan kerajaan kecilnya yang
berada di wilayah Atasangin, Paranggelung, beserta isteri yang
sangat dikasihinya, Dewi Anggraeni, untuk berguru pada
Begawan Durna. Betapa ia bersunggguh-sungguh dan dengan
kebulatan tekad melakukan perjalanan selama lebih dari dua
88
warsa agar bisa bertemu dengan sosok Guru yang
didambakannya.
Masih terlintas dalam benaknya, penolakan demi
penolakan yang dilontarkan Begawan Durna saat ia memohon
untuk diizinkan berguru dengannya. Masih terlintas jua dalam
pikirannya, hinaan dan cacian yang Begawan Durna ucapkan saat
ia memergokinya tengah mencuri dengar saat Sang Begawan
tengah memberikan ajarannya pada Permadi.
Dan disinilah ia kini, dengan raut wajah yang tak bisa
digambarkan dengan kata sederhana. Wajah sedih yang
mengguratkan semangat dan keingian belajar yang begitu
memuncak, dengan kelelahan yang makin menjadi, serta
ketulusan yang tak terperi.
“Salam hormat saya, Guru. .” Ujarnya sambil
melakukan penghormatan di depan wujud patung Sang Begawan,
Resi Durna.
“Izinkan hamba berguru pada ruh Guru. Biarkan
hamba mengabdi dengan keteguhan hati berkhayal terhadap
sosok Anda, Guru.” Lanjutnya.
Maka hari demi hari, ia terus-menerus berlatih,
ditemani sosok patung Sang Begawan yang telah ia anggap
89
sebagai guru sejatinya. Tiga purnama pun berlalu, mengantarkan
sosok ksatria pemahat menjadi seorang ksatria utama yang
memiliki kemampuan memanah dan olah kanuragan yang luar
biasa.
Hingga di suatu kesempatan, ia memberanikan diri
memperlihatkan olah kesaktiannya pada Sang Begawan saat ia
dan Permadi tengah berlatih di tepi hutan. Saat itulah, sang
Ksatria mampu memperlihatkan kepandaian memanahnya yang
setara dengan kemampuan yang dimiliki Permadi. Karena takjub
atas kesaktian seorang ksatria yang belajar secara otodidak
tersebut, Resi Durna dan Permadi mengikuti sang ksatria
menembus hutan, hingga diperlihatkanlah pada Sang Begawan
itu sebuah patung batu yang sama persis dengan sosok tubuhnya.
Mendapati sosok ksatria dengan kemauan keras dan
keikhlasan yang luar biasa tersebut, nampak jelas Durna begitu
kagum pada sosoknya. Namun di sisinya, Permadi
memperlihatkan wajah iri yang tampak tersirat dari sorot
matanya.
Melihat raut perasaan itu di wajah murid
kesayangannya, Resi Durna berkata, “Karena sungguh berat
kewajiban murid kepada seorang Guru, saatnya engkau
90
memberikan bhaktimu padaku. Potong ibu jari tangan kananmu
dan berikan padaku!”
Sang Ksatria sadar, memotong ibu jari tangan kanan,
bagi seorang pemanah adalah sama dengan menghilangkan
seluruh kemampuan memanahnya. Namun, tanpa berpikir dua
kali, tanpa ragu, diambillah sebuah belati yang ia sarungkan di
pinggangnya, kemudian dengan tangan kirinya, ditebaslah ibu jari
tangan kanannya itu.
Sembari berlutut dan menunduk, dihaturkanlah ibu jari
itu pada Sang Begawan. Tak sedikitpun raut sesal terlintas di
benaknya, bahkan saat Sang Begawan dan Permadi
meninggalkannya tanpa sepatah kata pun.
Adalah Bambang Ekalaya, sosok ksatria yang saya
kisahkan dalam cerita di atas. Bagiku pribadi, Ekalaya telah
mengajarkan, bahwa sebagai seorang ksatria ia bukan
sekedar menerima ilmu, tapi benar-benar menjalani proses belajar
yang keras dalam kehidupan yang ia lakoni. Meski mengalami
penolakan berulang kali, ia tidak menyerah, dalam pahitnya
berjuang, ia tetap konsisten dengan komitmennya dan dengan
sungguh-sungguh berlatih keras untuk mewujudkannya.
91
Ekalaya juga memberikan teladan mengenai bagaimana
menjadi Murid Sejati. Ia mungkin tak mendapat pengajaran
langsung dari Durna yang baginya merupakan Guru Terbaik,
namun konsistensinya untuk belajar telah memperlihatkan proses
pembelajaran yang sesungguhnya.
Di zaman ini, banyak orang tua yang berkeinginan
menyekolahkan anaknya di sekolah terbaik agar mendapat guru
dan pengajaran yang terbaik, rela merogoh kocek dalam-dalam
untuk mewujudkan hal tersebut. Akan tetapi, hal itu kadang
membuat mereka lupa mengenai proses pembelajaran yang
sesungguhnya.
Sekolah elit tak memberikan jaminan bahwa anak-anak
kita akan mendapat pengetahuan terbaik tentang kehidupan. Rasa
iri yang ditunjukan Permadi menggambarkan kesombongannya
sebagai ksatria pilihan yang merasa jauh lebih baik dibanding
Ekalaya yang tak mengenyam pendidikan yang sama dengannya.
Ini adalah penyakit kronis yang mematikan.
“Mengapa seorang Pengembara tidak layak berguru? Mengapa
seorang gelandangan dilarang belajar?” Kata Bambang Ekalaya.
“Mengapa Pak Bagyo (yang jualan nasi goreng di
depan kos saya) disebut Tukang Nasi Goreng, sementara para
92
tukang masak di restoran yang juga menyajikan menu yang sama
disebut chef? Atau mengapa para pemain musik di jalanan
disebut Pengamen yang tidak disukai kedatangannya, sedang para
penjaja suara di layar kaca disebut Penyanyi yang selalu dinanti
hadirnya? Atau mengapa seorang tukang bangunan yang sama-
sama membuat rancangan rumah sederhana di desa terpencil
tidak disebut arsitektur seperti mereka yang juga membuat
bangunan besar di kota-kota?”
Ah, betapa hidup ini penuh absurditas yang tak mampu
saya pahami dengan sederhana.
93
Pesta Tahun Baru, MEA, dan Ekstase
Masyarakat Konsumer
Perayaan tahun baru di Kota Solo tahun ini dirundung
kelabu. Beberapa hari jelang momen pergantian tahun, Pasar
Klewer yang merupakan salah satu jantung perekonomian Kota
Solo habis dilalap api. Demi nama kemanusiaan, dan tentu saja
atas nama solidaritas, gaung kemeriahan tahun baru pun turut
dipadamkan. Akan tetapi, antusiasme warga Solo untuk
memeringati momen ini nyatanya tak turut padam. Ribuan orang
memadati jalan Slamet Riyadi mulai sejak ba’da isya hingga lepas
tengah malam jelang hari pertama di tahun 2015.
Saya termasuk salah satu orang yang turut berjubel
memadati Slamet Riyadi malam itu. Turut menyaksikan dengan
mata kepala saya sendiri begitu banyak anonim manusia yang
duduk berjejer di sepanjang trotoar, membentuk ratusan
lingkaran kecil di tengah jalan, ataupun menyantap ragam kuliner
yang dijual berjejer sepanjang Purwosari-Gladak. Meski tak
meriah, dan bahkan cukup lengang karena matinya listrik,
94
kembang api beberapa kali dinyalakan menghias langit malam
yang gerimis.
Ada perasaan hampa yang menerpa saya demi melihat
momen pergantian tahun yang hening ini. Di tengah temaramnya
pencahayaan yang hanya hadir dari gedung-gedung bertingkat di
kanan kiri jalan, saya melihat wajah-wajah lelah yang
memimpikan harap akan datangnya matahari baru di tahun
mendatang. Terwujud atau tidak harapan itu, hanya Tuhan yang
kan menjawab. Bukankah manusia memang hanya bisa berupaya
sebaik-baiknya?
Akhir tahun mendatang, saya dan ribuan anonim
manusia yang memadati Slamet Riyadi ini akan menghadapi
MEA (Masyarakat Ekonomi Asean). Kami semua harus siap
melihat ketimpangan yang lebih besar. Bukan hanya ketimpangan
pasar yang terbakar dan meriahnya sekaten di alun-alun. Kami
harus siap melihat betapa yang besar akan semakin besar,
sementara yang kecil semakin tergilas. Kami harus mengelus
dada saat menyaksikan penghasilan kelompok atas dan
menengah lepas bebas, sementara kelompok kecil akan selalu di
atur dan di tekan serendah-rendahnya. Potret buram in akan
hasilkan kesenjangan antara mereka yang termanjakan oleh
fasilitas mewah dan mereka yang terhimpit dan tertindih titik
nadir kesusahan.
95
Perluasan dan integrasi pasar yang tercermin dari
diberlakukannya MEA sedikit banyak telah terlihat dampaknya.
Perilaku konsumtif masyarakat telah muncul di berbagai kategori
usia, lapisan, dan kelompok. Hal ini tercermin dari lenyapnya
dimensi moral, kehangatan spiritual, dan makna kemanusiaan itu
sendiri. Sekali lagi, persoalan MEA bukan hanya persoalan
ekonomi, tetapi juga gesekan lapisan moral, sosial, dan
kebudayaan.
Perayaan malam tahun baru kemarin adalah perayaan
yang pertama saya ikuti sejak saya lulus dari bangku Sekolah
Dasar. Saya berharap akan mendapati ribuan orang yang saling
berbagi kisah refleksi tentang satu tahun yang telah terlewati dan
resolusi yang mereka canangkan satu tahun mendatang. Saya kira
akan melihat orang-orang yang saling menggenggam tangan erat
untuk ucapkan maaf dan terima kasih atas kebersamaan yang
penuh makna sepanjang tahun. Namun, yang saya lihat di
hadapan saya adalah orang-orang yang detik demi detiknya sibuk
berpose di depan kamera, mengunggahnya ke jejaring sosial, dan
saling berbagi cerita dengan kawan mayanya.
Fenomena ini kerap diklaim sebagai salah satu bentuk
ekstasi. Ekstasi, menurut Jean Baudrillard, adalah kondisi mental
dan spiritual di dalam diri setiap orang yang berpusar secara
spiral, sampai pada satu titik ia kehilangan setiap makna, dan
96
memancar sebagai sebuah pribadi yang hampa. Seseorang yang
tenggelam di dalam pusaran siklus hawa nafsunya, pada titik
ekstrem menjadi hampa akan makna dan nilai-nilai moral.
Ekstasi dalam masyarakat kita hari ini tercermin dalam
suntikan ekstasi yang pragmatik dan narsistik. Yasraf Amir
Piliang membaginya dalam banyak term. Tiga diantaranya adalah
ekstasi komunikasi, ekstasi sosial, dan ekstasi internet. Ekstasi
komunikasi adalah esktasi dalam berkomunikasi tanpa merasa
perlu adanya pesan dan makna komunikasi. Ekstasi sosial yakni
ekstasi dalam bersosialisasi secara global tanpa merasa perlu
berinteraksi secara fisik. Dan, ekstasi internet, yakni sosialisasi
global yang membuat dunia bergerak mengelilingi kita melalui
internet. Bentuk-bentuk ekstasi ini mengantarkan masyarakat kita
menjadi masyarakat konsumer yang senang bertamasya menuju
siklus trance/ pencerahan semu.
Masyarakat kita saat ini menjadikan jejaring sosial
sebagai gaya hidup yang menggoda. Jejaring sosial ini
menawarkan penampakan ilusi, kenyamanan, kegairahan,
prestasi, dan ekstasi. “Saya mengunggah foto di facebook yang di-like
oleh ratusan orang, saya eksis, saya berhasil.” Namun, berhasil dalam
hal apa? Jumlah like atau komentar kah? Prestasi jumlah like ini
adalah prestasi semu yang menenggelamkan manusia dalam
ekstasi pengalaman puncak narsistik yang terdalam. Sebab,
97
sejatinya tak ada nilai guna dari jumlah like dan komentar selain
citraan narsistik pada diri.
Citraan semu ini terus dikejar demi mendapat
pengalaman puncak, ilusi akan keberhasilan yang tercipta dari
banyaknya like dan komentar di jejaring sosial. Maka, tak heran
citraan semu ini menjadi pasar untuk dijajah komoditi. Tak
cukup menggunakan efek cantik lewat aplikasi gratis di internet,
demi mendapat penampilan sempurna di layar kamera, seseorang
rela melakukan perawatan wajah senilai jutaan rupiah. Maka
tubuh pun kini hanya jadi seonggok daging terbungkus kulit yang
padanya dipakaikan baju yang sesuai mode dan ragam aksesoris
yang memikat.
Yang perlu kita sadari adalah bahwa perubahan sistem
nilai budaya demi terwujudnya consumen culture adalah pilihan
rasional ekspansi pasar ke negara berkembang agar tindakan
konsumtif tetap terjaga. Selain menggunakan iklan sebagai media
advertensi, ekstase narsistik masyarakat juga dipupuk menjadi
lahan subur serbuan komoditas asing.
Pertanyaan besar yang belum terjawab adalah, sejauh
mana kesiapan kita menghadapi era pasar bebas di akhir tahun
mendatang jika kita belum jua bisa lepas dari budaya ekstasi
masyarakat konsumer ini?
98
Bedah Buku Waktunya Tan Malaka
Memimpin
Tan Malaka adalah sosok yang jarang dikenal oleh
generasi saat ini. Sekalipun, saat orde lama ia pernah ditepakan
sebagai pahlawan nasional oleh Soekarno, akan tetapi foto,
biografi, dan kisah kepahlawanannya seolah tenggelam selama
berpuluh tahun lamanya seiring dengan keberjalanan Republik
Ini. Saat mengetahui ada sebuah buku berjudul ‘Waktunya Tan
Malaka Memimpin’, yang kemudian menjadi pertanyaan
adalah. Siapa Tan Malaka? Mengapa Tan Malaka? Dan sejauh
mana relevansi gagasannya berpengaruh di era sekarang?
Penulis-Eko Prasetyo, menguraikan alasan mengapa ia
menulis buku ini dalam bedah buku yang diselenggarakan LPM
Kentingan, 10 Juni 2013 dalam tiga poin berikut.
Pertama, karena tokoh kiri tak pernah diangkat dalam
sejarah Indonesia. Memang, sejauh yang saya ketahui, saat
melanjutkan studi di Rijks Kweekschool Belanda pada 1913, ia
mengenal beragam pemikiran, termasuk Marxisme-Leninisme
99
yang kemudian diadopsinya sehingga relevan diterapkan bagi
bangsa Indonesia.
Kedua, karena gagasan Tan Malaka masih sangat
relevan. “Kemerdekaan 100%” yang menjadi cita-cita Tan
Malaka merupakan inspirator perdana lahirnya konsep negara
yang berdaulat pasca kemerdekaan, dimana istilah Republik
Indonesia pertama kali dicetuskan olehnya, empat tahun sebelum
pledoi Indonesia Merdeka Muhammad Hatta. Gagasan yang
kemudian pun diwariskan pada ‘binaan’nya, Bung Tomo, yang
seperti kita ketahui bersama, begitu berapi-api dalam orasinya
saat perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ketiga, di tengah miskinnya visi aktivis pergerakan,
dimana setiap kali diskusi menemui jalan buntu, maka lagi-lagi
kalimat yang muncul adalah “Mari kita kembali ke Pancasila”,
atau “Mari kita kembali ke manhaj..”, bla bla bla. Ia menolak
jalan-jalan diplomasi yang ia yakini sebagai jalan yang tidak
meyakinkan. Keyakinan untuk merebut kemerdekaan dengan
tangan sendiri, ia buktikan sebagai jalan juangnya membela
Republik.
“Sejarah hidup Tan Malaka adalah jalan hidup seorang
martir. Begitu tegar. Asketisme yang luar biasa. Ia begitu
meyakini kekuatan agama dengan spirit Islam”, Demikian
100
Ungkap Eko Prasetyo, sang Penulis buku ‘Saatnya Tan Malaka
Memimpin’ itu.
Memang, salah satu tesis Tan yang terkenal adalah
integrasi semangat Pan Islamisme dan komunisme guna melawan
rezim kapitalisme, yang ia sampaikan dalam pidato mewakili PKI
di Rusia tahun 1920. Ia meyakinkan komunis Rusia bahwa Islam
adalah agama untuk pembebasan rakyat dari kolonialisme yang ia
dasari pada perkembangan Sarekat Islam di Hindia Belanda
(Meskipun SI pada saat itu pecah menjadi dua, hingga pada
akhirnya PKI lahir).
Tan sendiri, selain senantiasa menyuarakan kesadaran
kolektif massa dan persatuan guna melawan imperialisme juga
menyuarakan ketidakpercayaannya pada sistem parlementer yang
menurutnya hanya berpihak pada mereka yang memiliki
kekuasaan. Ia mengusulkan agar negara dikelola oleh organisasi
konvensional, misal: organisasi sosial, bukan Parpol. Sehingga,
pengelolaan negara digantikan oleh perwakilan blok-blok.
Menyoroti pemilihan umum raya di berbagai kampus
di PTN/PTS di Indonesia, agaknya memang mengkhawatirkan.
Pemilihan ketua BEM didasarkan pada suara mayoritas dengan
mekanisme yang sama sebagaimana ditetapkan dalam Pilkada.
Mahasiswa seolah tak memiliki gagasan genuine dalam berpolitik,
101
tertampilkan jelas lewat bagaimana foto calon dan orasi-orasinya
yang tak jauh berbeda dengan para politikus yang berebut suara
di Pilkada. Memprihatinkan!
Bagi Tan Malaka, kemerdekaan 100% harus
ditegakkan, dengan parameter : semua sektor penting harus
dikuasai oleh negara, termasuk pendidikan. Nah, pertanyaanya
bagaimana pendidikan ala Tan ini diterapkan?
“Pendidikan harus menghasilkan tiga aspek ini lahir
pada diri siswa : Rasionalitas, kemauan yang keras, dan
menghaluskan perasaan.”
Perlu diketahui pula bahwa sebelum ia berangkat ke
pembuangannya, ia telah mendirikan sekolah-sekolah rakyat
dengan menguraikan dasar tujuannya yaitu: dikuasainya ilmu
alam dan bahasa, pendidikan berorganisasi, serta pendidikan yang
berpihak pada kepentingan masyarakat.
Panelis Bedah buku kali ini, Kanda Ekanada Shofa
(Dosen FISIP UNS), mengungkapkan tangggapannya atas buku
‘Waktunya Tan Malaka Memimpin’. Selain mengomentari
tampilan buku yang menarik karena disertai dengan kartun dan
ilustrasi yang memikat, ia juga berkomentar soal substansi buku
tersebut.
102
“Ide-ide Tan Malaka harus memimpin sebab ide yang
ia kemukakan masih sangat relevan di era sekarang dimana lawan
yang kita hadapi bukan hanya imperealisme kapitalis, tetapi juga
mentalisme feodal.”
Setelah pemaparan dari Eko Prasetyo dan tanggapan
dari Kanda Eka, saya pun mengajukan pertanyaan: “Salah satu
alasan Pak Eko menulis buku Tan Malaka ini adalah karena skeptis
terhadap visi aktivis pergerakan yang setiap kali menemui jalan buntu,
maka dikembalikan pada kalimat normatif seperti kembali ke pancasila
atau ideologi organisasinya. Tan Malaka menyegarkan kita dengan
tesisnya mengenai integrasi antara Pan-Islamisme dan Komunisme. Nah,
disini ada yang aneh. Pan Islamisme itu kanan mentok, sedang komunisme
itu kiri njeglek, bagaimana proses integrasi itu bisa terjadi, dan apa
implementasinya bagi aktivis pergerakan di era sekarang?”
Eko Prasetyo beranggapan bahwa komunisme dan
Islam itu memiliki banyak persamaan. Pertama, sama-sama
membenci akumulasi yang dikutuk (kapitalisme). Kedua,
memiliki semangat militansi yang sama. Ketiga, kelangsungan
hidupnya dipertaruhkan pada revolusi. Nah, bagaimana
mengimplementasikan dalam dunia aktivis? Pertama, jadilah
aktivis yang radikal dan ekstrem. Kedua, Bukalah dialog dengan
membuka kran komunikasi. Ini waktunya membuka diri dengan
komunikasi untuk melawan imperialisme.
103
Sementara itu, dalam menyoroti dunia aktivisme
pergerakan mahasiswa di era sekarang, Kanda Eka berkomentar
mengenai ‘narsisme’ aktivis kampus dan pergerakan. Minimnya
semangat membaca menyebabkan miskinnya gagasan dan ide-ide
segar untuk melakukan transformasi.
“Kalau belum baca buku, belum aktivis namanya. Tan
Malaka saja saat dalam pembuangannya bawa satu peti buku
untuk dibaca!”
Padahal, seringkali aktivis kampus banyak turun ke
jalan untuk menyuarakan aksi. Tanpa membawa data dan solusi
yang relevan, sekedar ingin diliput media, selesai. Itu hal yang
naïf. Bukannya kesadaran kritis yang dihasilkan, melainkan
kesadaran magis. Pun, setelah aksi, evaluasi tak ada (kalaupun
ada, tak pernah menyiapkan langkah konkret pasca aksi).
Mestinya, saat kita tahu bahwa kapitalisme-yang
menjadi musuh kita bersama semakin besar, kita bisa
menginisiasi untuk membuat aliansi strategis, membuka kran-
kran diskusi sesama organisasi mahasiswa, baik itu intra maupun
eksternal kampus.
104
Sayangnya, kita seringkali memiliki ego sektoral yang
berlebih, sektarianisme organisasi, sehingga yang ada saat
mengangkat isu bersama adalah kontestasi bendera dan massa.
105
Derita Remaja dan Kapitalisme,
Islam sebagai Solusi13
Judul di atas saya ambil dari paparan orator pertama
dalam sebuah acara yang digelar oleh Muslimah Hizbut Tahrir
Solo Raya dengan judul yang sama. Orator pertama dalam
seminar ini berbicara mengenai Derita Remaja dan Kapitalisme
dengan menyinggung mengenai kondisi remaja di berbagai
belahan dunia termasuk Indonesia dalam menghadapi berbagai
problematika akibat krisis multidimensi yang terus menghinggapi
bangsa.
Kapitalisme dinilai telah menyebabkan degradasi moral
yang luar biasa di kalangan pemuda dengan mengatasnamakan:
kebebasan perilaku, ekspresi jiwa, dan mengukuhkan eksistensi
diri. Sehingga, sadar tidak sadar kini remaja telah dieksploitasi
dalam segala sisi kehidupannya. Akibatnya, lahirlah generasi yang
13 Khilafah Melindungi dan Menyejahterakan Remaja adalah tema dari
kegiatan yang diselenggarakan oleh Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
DPD HTI Kota Surakarta Ahad, 16 Desember 2012 di Gedung YPAC
Surakarta untuk para pelajar dan mahasisa se-solo raya.
106
lemah secara pemikiran, rusak kepribadiannya, dan mengalami
split personality (galau).
Yang saya garis bawahi dengan mantap dari yang
dipaparkan oleh orator pertama adalah mengenai model
pendidikan di Indonesia yang sarat dengan sekularisme.
Diantaranya adalah pemisahan agama dari kehidupan akademis
sekolah dan lebih fokusnya pendidikan untuk menghasilkan
tenaga kerja yang serba ‘terbatas’ dengan upah yang jauh dati
kelayakan.
Untuk bisa menikmati pendidikan yang berkualitas,
remaja harus menguras kantong orang tua dengan biaya
pendidikan yang luar biasa mahal, sedang yang tidak mampu
hanya bisa berharap dari serpihan bantuan yang disebut dengan
beasiswa, setelah memenuhi syarat yang sangat menyulitkan dan
merendahkan: menyatakan berasal dari keluarga miskin.
Memang, saya pun merindukan hal yang sama. Dimana
para pemuda dan remaja Islam bangkit dan maju dengan
ketinggian syakhsiyah dan tsaqofahnya. Sebab, remaja/ pemuda-
red adalah garda terdepan untuk mengembalikan Islam secara
kaffah.
107
Bagaimana caranya? Acara ini mengklaim bahwa hal ini
akan terwujud apabila model Negara yang menerapkan Islam
sebagai minhajul hayyah, Khilafah Islamiyah menjadi jalan
politik.
Konsep ini lahir dari interpretasi terhadap Shiroh
Nabawiyah, dimana Rasulullah dalam perjuangannya
menegakkan Islam membentuk kelompok politik (kutlah siyasi).
Kutlah siyasi adalah kelompok atau partai politik yang berjuang
di tengah-tengah umat untuk mewujudkan syariat Allah swt di
muka bumi yang dimulai dengan melakukan pembinaan intensif
(haqlah murazakkazah) dalam rangka mewujudkan kader yang
bersyakhsiyah Islamiyah dengan tsaqofah yang memadai. Tahap
berikutnya adalah dengan melakukan pembinaan umat (tatsqif
jama’i) secara luas guna terbentuknya kesadaran umum
masyarakat (al wa’yu al amy) yang benar tentang Islam sehingga
memunculkan kebutuhan dan terlibat aktif memperjuangkan
tegaknya khillafah. Yang ketiga adalah dengan melalui
pembesaran tubuh jamaah (tanmiyatu jizmi) agar kegiatan
pengkaderan dan pembinaan umum dapat dilakukan dengan
lebih intensif hingga terbentuklah kekuatan politik (al quwwatu al
siyasiya). Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang memiliki
kesadaran politik islam. Yakni kesadaran bahwa kehidupan
bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariat Islam
108
sehingga massa umat dalam jumlah besar tersebut akan
menuntut perubahan ke arah Islam. Didukung oleh al quwwah
(polisi, militer, dsb) yang mendukung perjuangan syariat dan
khilafah maka sungguh kekuatan politik ini tak akan terbendung.
Khilafah adalah sebuah model daulah yang melindungi
dan menyejahterakan. Sebab dalam khilafah islamiyah Negara
bertanggungjawab terhadap urusan seluruh rakyatnya dengan
menerapkan seluruh hukum Islam dan menyampaikan Islam ke
seluruh muka bumi. Bahkan, daulah islamiyah pun memiliki
sistem kebijakan strategis dan menyeluruh.
Bahwa khilafah adalah satu-satuya solusi guna
meluruskan tatanan jahiliyah menuju kebenaran Islam yang
abadi. Karena sesungguhnya tidak akan pernah mungkin
kebaikan dan kejahiliyahan akan dapat hidup berdampingan.
Meskipun, beberapa orang menganggap bahwa sejatinya
pertempuran antara kebaikan dan kebathilan musykil terjadi
hingga satu diantara dua sebab ini terjad : orang yang
mempertempurkan itu dalam hatinya mati, atau dunia ini kiamat.
Dalam bukunya, Ma’alim Fi Ath-Thariq, Sayyid Qutbh
menjelaskan bahwa konsepsi Islam bersifat teoritis sekaligus
realistis. Konsepsi Islam bukanlah teori yang lepas dari realitas,
akan tetapi tercermin dalam realitas yang dinamis. Kita tidak akan
109
mampu menegakkan konsepsi Islam dan juga mencapai
kehidupan Islami, kecuali dengan cara menempuh manhaj
pemikiran yang Islami.
Sudah pasti, Islam datang untuk mengembalikan
manusia juga alam semesta yang melingkupi manusia kepada
kedaulatan Allah-Rabb semesta alam. Upaya untuk
menghancurkan kejahiliyahan dan mengembalikan kedaulatan
kepada Allah semata tidaklah akan bisa dilaksanakan tanpa
menggunakan hukum Allah.
Dan, kedaulatan Allah sungguhlah hanya akan bisa
ditegakkan apabila syariat Allah menjadi pemerintahnya, dan
sumber ketentuanya ada di tangan Allah sesuai dengan aturan
yang jelas yang telah ditetapkan-Nya. Bahkan, siapapun yang
mengaku dirinya mempunyai otoritas menetapkan undang-
undang bagi manusia, berarti ia telah mengklaim ketuhanan
dirinya secara implisit maupun eksplisit, entah ia mengklaim itu
dengan ucapan ataupun tanpa ucapan.
Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Konsekuensinya,
Islam tidak boleh berhenti pada batas-batas geografis, tidak pula
mengisolasi diri dalam sekat-sekat etnis. Maka, adalah hal yang
menjadi suatu keniscayaan bahwa Islam mulai mengambil
inisaiatif gerakan pembaharu guna menegakkan kalimatullah di
110
muka bumi ini. Individu-individu yang hatinya telah murni
terhadap penghambaan kepada Allah dan steril dari
penghambaan selain kepada Allah, semestinyalah bersatu dan
bergabung dalam sebuah komunitas Islam.
Tatkala aqidah sudah berlainan maka terurailah satu
ikatan kerabat dan terbagilah yang satu, karena yang menjadi kata
kunci dari terbentuknya Darul Islam/ Khilafah Islamiyah adalah
ikatan aqidah.
Negara Islam diperuntuhkan bagi orang yang mau
menerima syariat Islam sebagai tatanan, meski ia bukan seorang
muslim. Islam tidak didasarkan pada hubungan tanah kelahiran
atau kesukuan, tidak pada ikatan keturunan ataupun pernikahan,
dan tidak pula jalinan kabilah ataupun kerabat. Islam tidak akan
tegak di bumi yang tidak dikendalikan oleh Islam dan syariatnya.
Dalam marhalah amal, Ikhwanul Muslimin,
pembentukan Negara Islam adalah salah satu capaian sebelum
terbentuknya khilafah Islamiyah dan menjadikan Islam sebagai
soko guru peradaban. Sehingga, pasca Negara dan bangsa ini
telah bertunduk dalam hukum-hukum Islam dan Negara-negara
yang lain diseluruh dunia mengazzamkan hal yang sama. Maka
yakinlah bahwa gelombang besar itu akan terus bergolak dan
melaju penuh gairah, diusung oleh para pemuda Islam yang yakin
111
dengan hati mereka yang tulus bahwa hanya Islam-lah satu-
satunya solusi perjuangan.
Maka, saya sangat mengapresiasi siapapun mereka yang
mengafiliasikan dirinya dalam suatu wadah pergerakan pemuda
Islam. Sebab saya yakin mereka mencita-citakan hal yang sama.
Sama baiknya (setidaknya begitu). Gerakan apapun sama saja
dalam manhaj Islam ini, asalkan proaktif berupaya melepaskan
manusia dari pengabdian (ubudiyah) kepada hamba menuju
pengabdian kepada Allah semata. Selayaknya KAMMI yang
bercita-cita mewujudkan bangsa dan Negara yang Islami dan
HMI yang berazzam mewujudkan masyarakat adil makmur yang
diridhoi oleh Allah swt. Dan HTI yang dengan menggebu gebu
mengatakan tiga baris kalimat yang menggetarkan: Tiada
kemuliaan tanpa Islam, Tiada Islam tanpa syariah, Tiada Syariah tanpa
daulah khilafah.
Namun, apakah benar bahwa hanya ada satu macam
negara yang bisa menopang pemerintahan yang Islami, yaitu
negara Islam (Darul Islam)?
112
Print Culture Ideologisasi Gerakan
Tarbiyah di Indonesia
Gerakan Tarbiyah atau usroh merupakan
sebuah prototype gerakan-gerakan sejenis yang telah lama
berkembang di berbagai belahan dunia Islam. Lebih lanjut,
model gerakan ini cenderung mengadopsi pola gerakan Ikhwanul
Muslimin yang lahir pada tahun 1928 sebagai representasi
gerakan pemikiran serta perpolitikan Islam yang didirikan oleh
Imam kharismatik, Hasan Al Banna di Mesir. Ciri khas gerakan
ini adalah sistem kaderisasi yang terstruktur, bersifat urban dan
berbasis perkotaan, serta menjadikan kampus sebagai basis
gerakan.
Tulisan ini akan membahas mengenai ideologisasi yang
dilakukan gerakan tarbiyah di Indonesia dan peran media
sebagai print culture dalam upaya transfer ideologi.
Lahirnya Gerakan Tarbiyah
Hadirnya gerakan ini di Indonesia tak lepas dari
pengaruh rezim otoriterian orde baru yang represif melalui
113
marginalisasi tokoh-tokoh muslim beraliran ‘kanan’ serta
pembubaran gerakan-gerakan yang disinyalir fundamental,
termasuk penerapan Pancasila sebagai asas tunggal dalam
organisasi sosial-keagamaan.
Menjalankan Islam secara menyeluruh dalam setiap
aspek kehidupan yang dianggap materialistik dan sekuler
merupakan keinginan yang muncul dari sebagian masyarakat
Islam Indonesia yang kala itu merasa menjadi ‘korban’ atas
kebijakan-kebijakan politik orde baru yang represif dan tidak
memihak pada Islam sebagai golongan mayoritas di Indonesia.
Maka, model gerakan Islam yang sebelumnya lebih
mengedepankan mobilisasi massa pun beralih melalui proses
internalisasi melalui halaqah-halaqah yang beranggotakan tak
lebih dari 12 orang, yang melakukan rekruitmen dan kaderisasi
dengan hati-hati. Yakni melalui gerakan underground yang
mengadakan pertemuan rutin yang berpindah-pindah setiap
pekannya dari satu masjid ke masjid yang lain, maupun dari satu
rumah ke rumah yang lain. Kebanyakan dari mereka bukan
berasal dari pesantren dan sejenisnya. Mereka belajar agama
Islam secara instan saat menempuh kuliah di pendidikan tinggi,
sehingga rasa peningkatan kesadaran beragama tersebut kadang
membuat mereka kaku dan merasa berbangga diri dengan
identitas kesantrian mereka.
114
Gerakan ini pun melesat pamornya di beberapa
sekolah negeri, menyusup dalam organisasi Islam (Rohis) dan
melakukan pengkaderan di sana. Pola pengkaderan yang
dilakukan pun cenderung teratur dan sistematis, sebab seorang
yang telah dibina selama misal 1 tahun dan dirasa memiliki
kepahaman yang cukup akan didaulat menjadi mentor (murobbi)
dan bertugas untuk mencari adik binaan dengan ‘ajakan yang
baik’. Terus begitu hingga selanjutnya, kader-kader terekrut akan
dibina dan nantinya menjadi kader inti pada saat melanjutkan
studi di pendidikan tinggi.
Materi kajian yang dibahas bukanlah seperti yang
dilakukan oleh limited group yang dilakukan beberapa aktivis
Himpunan Mahasiswa Islam yang dimotori oleh Achmad Wahib,
Dawam Raharjo, dan Djohan Effendi guna pembredelan Islam
dilihat dari kacamata filsafat dan sejenisnya, akan tetapi lebih
menanamkan pada beberapa aspek seperti aqidah, ibadah, dan
akhlak guna menanamkan nilai-nilai dasar ideologi (fikrah).
Mereka kerap menggunakan kosa kata bahasa Arab pada saat
penggunaan bahasa Indonesia, seperti :Afwan, syukron, Jazakallah,
La ba’tsa, dan lain-lain. Kelompok ini menyebut diri mereka
sebagai akhi/ikhwan untuk para pria, dan ukhti atau akhawat
untuk para wanita.
Ideologisasi Gerakan Tarbiyah melalui Media
115
Seiring dengan makin luas dan diterimanya gerakan ini
di masyarakat, maka kebutuhan akan materi-materi yang lebih
kompleks guna mengideologisasikan tujuan dan cita-cita jangka
panjang pun semakin meningkat.
Ismatu Ropi dalam essainya yang
berjudul “Membangun Masyarakat Islami dan Ideologisasi
Gerakan Tarbiyah di Indonesia” menyatakan bahwa adalah hal
yang tak terbantah bahwa gerakan Tarbiyah di Indonesia (sedikit
banyak atau bisa jadi sedemikian besar) mengadopsi dalam batas-
batas tertentu ideologi Ikhwanul Muslimin yang dikenal militan
dan sangat tertarik dengan hal-hal praktis keseharian. Jikapun
dikatakan bahwa gerakan Tarbiyah dan IM masing-masing tak
saling berkaitan maka keduanya tetaplah akan saling memberi
dukungan disebabkan adanya kesamaan motif dan tujuan.
Akan tetapi, seperti yang saya sampaikan di atas, latar
belakang para anggota yang bukan berasal dari pesantren
maupun perguruan tinggi Islam menghambat transfer ideologi
ini. Maka, disinilah peran media cetak sebagai print culture
memberikan andil besar dalam proses transmisi gerakan.
Maka, dengan modal jaringan dan mobilisasi massa dan
dana yang memadai, diterjemahkanlah berbagai bentuk karya
islam klasik dan kontemporer besutan para akademisi lulusan
116
timur tengah atau mereka yang memiliki pandangan ideologis
yang relative sama, sehingga pemilihan yang selektif terhadap
buku-buku bernuansa Islam pun laris manis diterbitkan oleh
beberapa penerbit seperti: Gema Insani Press, Pustaka Al
Kautsar, Rabbani Press, Asy-Syamil, dan yang terkahir Era
Intermedia. Penulis dan buku yang dijadikan sumber referensi
yang diterbitkan diilhami oleh karya-karya tokoh ikhwanul
muslimin seperti Sayyid Quthb, Hasan Al Banna, Hasan Al
Hudhaybi, dan Yusuf Al Qardhawi.
Tak hanya melalui media cetak, ideologisasi yang
dilakukan pun memanfaatkan sejumlah perangkat modern
melalui dunia maya, seperti jejaring sosial (akun facebook dan
twitter) dan website (dakwatuna.com, eramuslim.com).
Media yang digunakan untuk propaganda isu
kontemporer pun lumayan beragam, dari penerbitan beberapa
majalah seperti Tarbawi, Sabili, dan Ummi, serta pemanfaatan
media elektronik yang tersedia.
Disini kentara terlihat bahwa kelompok ini bukanlah
kelompok fundamental anti-modernitas. Sebagai kaum
intelegensia santri baru, mereka menempatkan diri sebagai anak-
anak zaman yang menggunakan modernitas yang dihasilkan oleh
peradaban barat untuk mensubordinasikannya dengan standar
117
ortodoksi keagamaan yang mereka yakini sebagai ideologi
sekaligus untuk melawan hegemoni barat itu sendiri.
Menyoroti Print Culture Ideologi Tarbiyah
Adalah hal yang luar biasa ketika jumlah penerbitan
buku-buku Islam yang menyokong ideologisasi jamaah ini begitu
berlimpah di lapangan. Akan tetapi, cobalah perhatikan! Di titik
inilah terjadi disorientasi dan stagnasi, dimana buku-buku yang
ada hanya mengautentikkan pemikiran khas Ikhwanul Muslimin
tanpa mengkolaborasikan dengan unsur kearifan lokal khas
Indonesia, bukan hanya dari segi politik, tapi juga sosial dan
kultur. Sehingga yang terjadi seolah hanyalah perpindahan
ideologi dari Timur Tengah ke Indonesia. Padahal, seperti yang
kita ketahui bangsa Indonesia pun memiliki kearifan lokal
tersendiri dengan konteks historis, politik, budaya, dan
keagamaannya.
Disini, penulis akan menganalisa kajian yang dilakukan
oleh Robert Wuthnow terkait gagasan reformasi protestan yang
dimulai pada tahun 1520-an oleh Martin Luther. Ia berpendapat
bahwa dinamika hubungan antara lingkup sosial dan ideologi
akan berperan penting dalam proses reformasi. Situasi inilah yang
akan memunculkan proses artikulasi gagasan dari aktor-aktor
yang terlibat di dalamnya.
118
Proses ini dibagi menjadi tiga tahap: Pertama, tahap
produksi dimana ide-ide bermunculan melalui kerja-kerja
penulisan dengan print material berupa buku, jurnal, pamphlet,
dan sebagainya. Kedua, seleksi dimana para pemikir dan penulis
memilih apa yang akan dituliskan sehingga mulai terbentuklah
beragam school of thought. Ketiga, adalah proses
institusionalisasi dimana mekanisme rutin untuk menyebarkan
ide sehingga menjadikan diskursus lebih terlembaga. Dalam
pelembagaan inilah akan tercipta komunitas yang diwarnai
diskursus yang beragam dari ideologi yang saling berkompetisi.
Dan untuk menjawab tantangan itu, berani dan
mampukah kita sebagai kader dari Jamaah Tarbiyah melakukan
desakralisasi terhadap ideologi kita dan mulai membuka kajian-
kajian yang lebih terbuka guna konteksualisasi ideologi dengan
kondisi historis, politik, budaya, dan keagamaan bangsa
Indonesia dengan tetap berjalan pada koridor AlQur’an dan Al-
Hadits?
Sampai hatikah kita-sebagai pembangun rumah-
kemudian melupakan pondasi yang telah ditanamkan oleh kakek-
nenek kita terdahulu dan mengingkari pernyataan yang sangat
asasi bahwa kita adalah bagian dari masyarakat Indonesia?
Sumber Bacaan:
119
Ismatu Ropi dalam essainya yang berjudul Membangun
Masyarakat Islami dan Ideologisasi Gerakan Tarbiyah di
Indonesia mengutip hasil penelitian Tim Peneliti Pusat Bahasa
dan Budaya (PBB) IAIN Jakarta :Radikalisme Agama di
Indonesia yang laporannya tidak diterbitkan.
Robert Wuthnow, Communities of Discourse: Ideology and
Social Structure in The Reformation, the Enlightment and
European Socialism (Cambridge : Harvard University Press,
1989), hal 9-10
120
Demokrasi dalam Syariat Islam14
Pertanyaan mengenai bagaimana Islam memandang
demokrasi senantiasa menjadi topik menarik untuk
diperbincangkan dalam berbagai obrolan ringan, selentingan di
media sosial, diskusi klasikal, hingga tema dalam berbagai
seminar yang diselenggarakan ormas Islam. Hal ini pula yang
menjadi fokus kajian sebuah seminar yang dimotori oleh
Lembaga Kajian dan Pendampingan Sosial Kholif@h beberapa
waktu silam.
Bapak M.Dian Nafi, salah satu fasilitator seminar ini
melakukan telaah mengenai hakikat manusia, spirit dalam ajaran
Islam untuk memperbaiki demokrasi, serta kemungkinan umat
14 Pada 2 Februari 2014 kemarin, saya mengikuti seminar
nasional bertema Demokrasi dalam Syariat Islam yang diselenggarakan
oleh Lembaga Kajian dan Pendampingan Sosial Kholif@h di Ruang
Sidang Gedung DPRD Kota Surakarta atas ajakan kakak saya di
KAMMI.
121
Islam menjadi pelopor dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Beliau menekankan pentingnya kebersamaan untuk
membangun kebajikan bersama guna membangun peradaban
sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah saw. Dengan kesadaran
tersebut, ia berpendapat sudah sepatutnyalah manusia mau dan
mampu menerima amanat dan ikut memperbaiki keadaan,
bukannya malah menarik diri dari kehidupan komunalnya,
termasuk peran sertanya dalam memperbaiki demokrasi.
Lebih lanjut, ia berpandangan bahwa sebagai cara
bernegara, demokrasi tidak bisa dilaksanakan secara seragam oleh
negara tempat umat Islam berada dikarenakan berbagai faktor,
baik itu dari segi geografi, kependudukan, dan sejarah masing-
masing. Ada demokrasi yang menjamin umat Islam hidup dalam
syariatnya meski tidak diterapkan sebagai hukum positif, ada
yang masih terus bergerak dinamis, ada pula yang masih terjebak
pertikaian politik yang berlarut-larut.
Namun secara substansial, beliau berpesan bahwa umat
Islam haruslah mampu menjadi pelopor dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dimanapun berada.
Umat Islam haruslah mampu menjadi pengawal dan teladan
122
demokrasi sesuai dengan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Sementara itu, fasiliator kedua, Bapak Ihsan Saifuddin,
membahas mengenai bagaimana memilih pemimpin dalam Islam
dalam perspektif Qur’an, sunnah, dan sejarah.
Dalam eksistensi kepemimpinannya, manusia haruslah
berkaca pada sosok pemimpin paripurna, Nabi Muhammad saw.
Diantara sekian banyak kriteria seorang pemimpin, beliau
meringkasnya dalam satu kesimpulan yaitu: pemimpin yang
memiliki karakter yang kuat.
Karakter yang kuat ini mencakup: kuat fisik dan kuat
ilmu/mental (basthotan fil ilmi wa jismi). Interpretasi kuat
mental adalah sifat kebaikan yang menyeluruh dengan poros
utamanya yaitu taqwa, kuat fisik artinya tidak memiliki cacat fisik
dan penyakit yang mengakibatkan lemah kepemimpinannya.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa di era kini seorang
pemimpin haruslah orang yang melek teknologi.
Pembicara ketiga, Bapak Abdullah Faishol, membahas
mengenai Islam dan Demokrasi di Indonesia. Beliau mengawali
pembahasannya dengan mengingatkan kembali pada sejarah
pasang surut politik di Indonesia dari masa pra-kemerdekaan
123
hingga era sekarang yang begitu kompleks. Sejurus kemudian, ia
mengaitkannya dengan pertanyaan Hefner, yang salah satunya:
Apakah Islam sejalan dengan demokrasi? Lalu, bagaimana
kontribusi Islam dan demokrasi di Indonesia di masa yang akan
datang?
Bagi beliau, Indonesia memiliki kapasitas untuk
berbicara bagaimana Islam dapat bersenyawa dengan sistem
demokrasi yang memiliki nilai-nilai kulturalnya. Namun, yang ia
garisbawahi adalah bagaimana menjadikan Islam sebagai sebuah
nilai dalam menjalankan sistem budaya Indonesia yang
demokratis. Menurutnya, agama dan politik adalah dua entitas
yang berbeda, dimana agama bersifat profan dan politk bersifat
menindas. Apabila agama dijadikan alat sebagai legitimasi
kekuasaan, maka pengalaman pahit sejarah akan kembali
terulang.
Lebih lanjut, beliau menawarkan nilai Islam dalam
sistem demokrasi yang mampu mendukung penguatan budaya
demokrasi, seperti: musyawarah, pemufakatan, dan ijtihad. Hal
tersebut pada akhirnya akan berorientasi pada bangunan
masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Dari perspketif
historis, lantas beliau mengisahkan contoh tata kelola
pemerintahan dalam Islam pada masa Abu Bakar, Umar, Usman,
Ali, dan Umar Ibn Abdul Aziz.
124
Sebagai penutup, beliau menyatakan bahwa demokrasi
bersifat universal sehingga tidak bisa dilabeli dengan agama
manapun. Prinsip Islam haruslah dipakai untuk menyokong
sistem demokrasi di Indonesia, bukan dijadikan sebagai alat
untuk memenuhi nafsu politik.
Dalam sesi diskusi, muncul beberapa pertanyaan,
diantaranya: Mampukah umat Islam menjadi pelopor demokrasi?
Bagaimana dengan kepemimpinan non-muslim? Siapakah yang
disebut ulil amri?
Menurut Bapak Dian Nafi, pemimpin Indonesia tak
mesti memenuhi semua kriteria pemimpin yang ditetapkan dalam
fiqih, maka Nahdatul Ulama menyebut ulil amri sebagai Pengampu
urusan umat sementara’. Bagaimana halnya dengan pemimpin
perempuan? Presiden RI tidak dapat berdiri sendiri. Jabatan
presiden berimplikasi komunal, sehingga akan melibatkan pejabat
pemerintah yang lain. Bagaimana dengan kepemimpinan non
muslim? Mengutip pendapat Imam Malik atas sengketa yang
pernah terjadi di zamannya saat raja yang zalim terpilih menjadi
penguasa, beliau berkata: ‘kita ikut saja yang menang’. Ada upaya
sebelum pemilihan, dan keberikutan setelah pemilihan.
Menurut Ibn Khaldun, negara dibentuk dengan 3
pertimbangan pokok: Pertama, yang kuat yang menjadi raja
125
dengan implikasi siapa yang bisa membeli suara rakyat dia yang
akan menang. Kedua, yang sifatnya siyasi dengan implikasi ia
mendapat suara terbanyak kehendak rakyat, dapat mengendalikan
rakyat, dan mampu mewakili aspirasi rakyat. Ketiga, memiliki
filsafat tertentu/nilai-nilai yanng berbasiskan ketuhanan. Negara
Indonesia adalah negara falsafi. Ia berbeda dengan negara
sekuler!
Bapak Ihsan menyatakan agar pertanyaan itu harus
dikembalikan pada firman Allah yang termaktub dalam Al
Qur’an dalam surat Ali Imran ayat 28 dan surat An-Nisaa ayat
139 dan 144.
Menurut Bapak Faishol, demokrasi hanyalah sebuah
wadah, yang mengisi bukanlah sebuah label, tapi makna.
Sebaiknya umat Islam jangan terkooptasi partai tertentu.
Menurut Ibn Katsir, ulil amri adalah ulama, bukan pemimpin
sebagaimana yang kita ketahui sekarang.
Saya jadi teringat apa yang Al Ghazali Hide Wulakada
sampaikan dalam bukunya Al-Qur’an sebagai Parameter
Peradaban Indonesia mengatakan. Ia menyampaikan bahwa
demokrasi adalah buatan orang-orang barat sudah tidak relevan
lagi dipakai dalam penguatan wacana pemberlakuan hukum
126
syariah di Indonesia. Sebab, pemberlakuan hukum syariah Islam
akan berjalan seiring kesiapan masyarakat Islam.
Abdul Munir Mulkhan dalam suara Muhammadiyah
tahun 2002 silam menulis: Penempatan rekayasa kekuatan anti
Islam sebagai penyebab kekalahan partai Islam atau partai
berbasis umat Islam, belum pernah melahirkan strategi efektif
karena yang disebut kekuatan anti Islam itu tidak pernah bisa
dirumuskan secara jelas dan kongkrit, kecuali kategori-kategori
primordial dan simbolis.
Dalam buku Pembentukan Partai Politik Islam (Hizb
At Tahrir), Ust Taqqiyuddin An Nabhani berkata bahwa falsafah
hakiki untuk mewujudkan kebangkitan bertolak dari adanya suatu
ideologi yang menggabungkan fkrah dan thariqah secara terpadu.
Ketika seseorang menginternalisasikan sebuah ideologi dalam
dirinya maka ideologi itu akan mendorongnya untuk
mendakwahkannya. Ketika sebuah partai berbasiskan ideologi
yang benar, dan ia mampu mempertahankan dirinya dari segala
macam benturan dan memenangkan pemikiran umat, maka
fikrah partai menjadi fikrah umat dan aqidah partai menjadi
aqidah umat.
Dalam benak saya, partai politik berideologi Islam
maupun berbasis umat Islam sah-sah saja, bahkan saya akan turut
127
sertakan afiliasi saya di dalamnya. Hanya saja, pemberlakuan
hukum positif formal untuk pemberlakuan syariat Islam agaknya
masih menjadi hal yang patut dipertimbangkan kembali. Karena
Islam itu universal, maka sudah semestinya ia tak mengambil
jarak dengan relasi kekuasaan. Nilai-nilai Islam haruslah dijiwai
sebagai metode untuk mewujudkan kesejahteraan, masyarakat
adil makmur yang diridhoi Allah swt.
128
Menjadi Ibu Peradaban
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS At-
Tahrim : 6)
Keluarga adalah madrasah pertama bagi seorang anak
guna pembinaan aqidah, kepribadian, penguasaan dasar-dasar
tsaqofah Islam melalui pengalaman hidup sehari-hari. Sehingga,
diharapkan anak-anak yang lahir dari rahim ibunda bisa menjadi
generasi yang tangguh dan berkualitas dalam mengusung peran
strategisnya sebagai pejuang yang akan memperjuangkan Islam
dengan seluruh jiwa dan raganya.
Bagi sebuah peradaban, keluarga adalah benteng
terakhir yang mana harus benar-benar dijaga dan tak boleh
lengah dari penjagaan. Keluarga adalah tempat dimana kebiasaan,
nilai-nilai, dan cita-cita dipancangkan. Berawal dari ini pula-lah,
seluruh proses pendewasaan disemai dan ditumbuhsuburkan.
Namun, jika kita lihat potret generasi sekarang yang
justru didominasi oleh tingginya angka kejahatan, depresi,
129
kemalasan, gaya hidup konsumtif dan hedonis. Masih layakkah
kita bermimpi bahwa anak-anak akan jadi tulang punggung
kejayaan Islam dan ditangan mereka-lah kewajiban atas
kesejahteraan umat ini diembankan?
Saya masih optimis bahwa jawaban dari pertanyaan
tersebut adalah: Ya, Harapan itu masih ada. Berawal dari
kesadaran untuk menyehatkan tatanan kehidupan keluarga
dengan nuansa Islami, sehingga lahirlah generasi soleh, cerdas,
taat pada orang tua, juga taat pada Allah dan Rasul-Nya.
Tanggungjawab inilah yang dilimpahkan pada sosok
seorang wanita bernama : istri/ibu. Mereka-lah yang memegang
kendali dalam pembinaan keluarga. Mereka-lah yang memiliki
peran besar untuk menjadi ibu generasi. Serangkaian hukum
syariat telah Allah siapkan demi mengatur peran, posisi, dan hak-
hak mereka dalam kehidupan sesuai dengan kodrati tersebut.
Yusuf Al Qardhawi dalam Fiqih Wanita menyatakan
bahwa Rumah adalah kerajaan besar bagi wanita. Di sini wanita
sebagai pengelolanya, istri dari suaminya, partner hidupnya,
pelipur laranya, dan ibu bagi anak-anaknya. Islam
mempersiapkan profesi wanita untuk mengatur rumah dan
memelihara urusan suami dan mendidik anak-anak dengan baik
sebagai bentuk ibadah dan jihadnya. Sehingga, setiap sistem yang
130
berupaya mencabut wanita dari ‘kerajaannya’ dan merampas
suami dan buah hatinya atas nama ‘kebebasan’ adalah musuh
baginya. Beliau menambahkan, Islam mengizinkan wanita
bekerja diluar rumah selama pekerjaannya itu sesuai tabiat,
spesialisasi, dan kemampuannya serta tidak meghilangkan naluri
kewanitaannya.
Sungguh, semua kebaikan dan harapan akan lahir dari
peran dan kontribusi besar seorang ibu. Tak semua pekerjaan
rumah harus dikerjakan sendiri, karena ada pekerjaan yang bisa
dilimpahkan pada yang lain. Akan tetapi, menananamkan nilai-
nilai, mengajarkan etika, dan mempelajari ruh agama adalah tugas
utama seorang ibu, sehingga Rumah sebagai pilar peradaban
utama itu akan menghasilkan generasi tangguh yang berkualitas.
Ibu peradaban bukan hanya soal mengajarkan anak
bisa belajar membaca dan menulis. Lebih dari itu, buatlah anak
belajar membaca dan menulis kehidupan dari ibunya. Yang
belajar untuk bersabar dalam menghadapi beratnya cobaan
hidup, yang belajar makna perjuangan dan pengorbanan dalam
mengarungi belantara kehidupan.
Pikiran saya menerawang, terpesona dan terkagum
pada sosok muslimah yang menjadi pembicara dalam sebuah
konfrensi beberapa waktu yang lalu. Mereka sungguh adalah
131
cerminan wanita yang cerdas, yang membekali akalnya dengan
pengetahuan dan makna hidup terbaik. Luas cakrawala ilmu
mereka membuat saya sadar bahwa saya harus cepat-cepat melek,
membuka mata saya lebar-lebar pada semua diskursus yang pada
hakikatnya sangat utama diketahui oleh seorang muslimah. Mulai
dari sejarah Islam, hingga berbagai pengetahuan modern terkait
ekonomi, kesehatan, ideologi, sastra, dan lain-lain. Sungguh, saya
yakin bahwa dengan kecerdasan tersebut, seorang ibu akan dapat
menjalankan tugasnya dengan keilmuan yang memadai.
Anak adalah Penerus Mimpi. Begitu kata seorang
teman sore kemarin. Ya, itu benar. Taurits. Pewarisan cita-cita,
mimpi, dan harapan. Pewarisan kecintaan dan kebermanfaatan.
Pewarisan akan harapan terwujudnya nilai-nilai Islam dalam
kehidupan. Pewarisan keimanan dan keistiqomahan yang akan
dengan teguh ia pegang sebagai pondasi dalam menjalani
kehidupan.
Jadilah seorang ibu tempat berbagi suami dan buah hati.
Jadilah ibu cerdas yang selalu mendengar, mengerti, dan
berempati.
Jadilah seorang ibu bagi terbitnya kembali harapan bagi
mereka yang tak lagi
132
berharap.
Jadilah ibu yang selalu mengatakan : ‘nahnu du’at qobla kulli
syai`in’
Ah, seketika tergelitik, terketuk, dan tertohok.
Bagaimana memulainya? Diri sendiri pun belum baik.
Masih suka mengeluh dan menggerutu, masih senang asal dan
tak tau aturan. Bagaimana bisa?
Kata seorang ustadzah, islahu an nafs. Mulailah dari
diri sendiri. Tuh, selamatkan aqidahmu, benarkan ibadahmu,
kokohkan akhlaqmu, luaskan wawasanmu, kuatkan fisikmu,
mandiri belum neng? Bisa mengendalikan nafsu pada kefanaan
belum? Rapikan urusuanmu, perhatian sama waktumu. dan
sudahkah kau memberikan kemanfaatan pada orang-orang
disekitarmu?
Sungguh, perbaikan diri adalah titik pangkal dari
seluruh perbaikan yang lainnya.
133
Dari Buku ke Buku
134
Mas Marco: Sama Rata Sama Rasa
Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan (Sebuah
Catatan Awal) yang disusun oleh Bapak Sapardi Djoko
Damono merupakan sebuah buku yang menarik. Buku ini
membahas mengenai kapan sastra Indonesia lahir dan
perkembangannya. Hal ini penyusun telusuri dari media cetak
yang berkembang sekitar pertengahan abad ke 19 yang umumnya
berupa puisi agama (Nasrani) berbahasa Melayu. Namun, seiring
dengan pengaruh kebudayaan barat, para penulis puisi kita
mempertimbangkan cara penulisan baru yang kemudian
melahirkan angkatan Pujangga Baru dengan segala
inkonsistensinya. Meskipun demikian, tradisi lisan yang kuat
menyebabkan bentuk-bentuk seperti syair dan pantun menjadi
pilihan penting penulisan puisi.
Salah satu yang menarik dari buku ini adalah ketika
penyusun membahas mengenai Mas Marco Kartodikromo, seorang
yang selama ini saya kenal sebagai tokoh awal pendiri Partai
Komunis Indonesia dalam buku Zaman Bergerak karya Takashi
Shiraishi.
135
Saya akhirnya membaca Marco dari perspektif ‘lain’
dari yang selama ini saya ketahui. Selain aktif menjadi wartawan,
ternyata ia juga seorang novelis dan sastrawan.
Setelah Medan Prijaji mati, pada tahun 1914 ia
menerbitkan mingguannya sendiri yang ia beri nama Dunia
Bergerak. Lewat mingguan ini, ia menyuarakan pembelaannya
terhadap kaum pribumi jawa yang miskin. Meskipun awalnya
menyuarakan kritik lewat beberapa surat dan artikel, pada
akhirnya sastra-lah yang dipilih Mas Marco sebagai alat
perjuangan.
Ia pernah menerbitkan buku puisi berjudul Syair
Rempah-rempah sebagai bentuk tanggapannya terhadap situasi
sosial politik pada tahun 1918. Buku yang berisi delapan syair itu
menunjukkan keburukan pemerintah kolonial di Hindia Belanda
yang menyebabkan kesengsaraan rakyat. Salah satu syair dalam
buku tersebut berjudul Sama Rasa dan Sama Rata
….
Dulu kita suka kroncongan
Tapi sekarang suka terbangan
Dalam SI Semarang yang aman
136
Pergerak keras ebeng-ebengan
Ini sair nama: Sama Rasa
Dan sama Rata itulah nyata
Tapi bukan sair bangsanya
Yang menghela kami di penjara
Syair di atas ditujukan pada orang-orang Sarekat Islam
untuk menyadarkan mereka bahwa prinsip sama rasa sama rata
harus diterapkan di dunia ini. Tentu ini berlandaskan pada
kenyataan bahwa Marco memang aktif sebagai anggota dari
Sarekat Islam. Dalam karyanya, Mas Marco menekankan
pandangan hidup orang Jawa yang menyatakan bahwa watak
satria dan pandita harus menyatu dalam diri kita. Selain mesti
berani berperang dan berjuang, seseorang haruslah memberikan
perhatian pada hal-hal rohaniah.
Jalan kemardika’an amat susah
Buat orang yang hatinya lemah
Dan berjalan setengah-setengah
Tidak bisa dapat yang diarah
137
Dalam syair tersebut, Mas Marco memberikan
semangat pada pembaca untuk berani melakukan perjuangan
demi kemerdekaan. Ia menyarankan pada pembacanya agar
berani menghadapi bahaya. Meskipun, dalam beberapa nasehat
yang ia sampaikan pun, ia tak menampik bahwa “Saya hanyalah
berkata saja/ Tak tentu bisa melakukannya”
138
Irrasional dalam Nalar
Seorang kawan sedang membaca Dunia Sophie. Ia
meminta pendapat saya mengenai Descartes. Kata saya: Dia
menciptakan yang irrasional di dalam nalar.
Saya pernah membaca sebuah buku yang berkata
kurang lebih begini: sebagian orang menyatakan bahwa Descartes
adalah peletak dasar-dasar filsafat subjektivisme. Argumentasinya
mengarah pada terciptanya kepuasan dan terbentuk dalam
format wacana pembuktian induktif. Setiap orang boleh saja
berkata: “Saya berpikir, maka saya ada”, akan tetapi kata-kata itu
jelas lebih bermakna dari sebuah ungkapan. Sebab, ungkapan
tersebut telah menjelaskan sebuah usaha untuk membangun
konsep subjektivisme atau konsep ego sebagai subjek berpikir
secara orisinil. Dari sini, kita bisa ambil kesimpulan bahwa filsafat
Descartes dibangun di atas kekaburan antara rasio dan irrasio. Itu
kata Michael Foucault.
Hari ini saya membaca buku berjudul Rindu yang
Berujung Surga karya Abul Miqdad Al-Madany. Buku ini saya
beli pada 1 November 2010. Sudah beberapa kali saya baca, tapi
139
hari ini entah kenapa saya ingin membacanya lagi. Buku ini berisi
kisah perjalanan para ulama salaf baik itu berupa pesan, ucapan
maupun tindakan yang mereka telah lakukan untuk kemudian
direnungkan diambil hikmahnya.
Salah satu bab dalam buku ini berkisah mengenai
murid Imam As Syafi’iy yang bernama Al Muzany. Ia pernah
bertanya pada gurunya mengenai keraguannya tentang tauhid.
Setelah menanyakan hal-hal yang bisa Al Muzany indra namun
belum ia pahami dengan baik, As Syafi’iy menjawab: “Sesuatu yang
dapat engkau lihat dengan mata kepalamu sendiri saja engkau tak
mengetahuinya, lalu bagaimana mungkin engkau ingin tahu bahkan
meragukan tentang Allah yang tidak dapat engkau lihat dengan mata
kepalamu sendiri?”
Beliau kemudian bertanya mengajukan pertanyaan
mengenai wudhu, namun Al Muzany salah menjawabnya. Beliau
pun berkata, “Sungguh mengherankan, sebuah perkara yang engkau
butuhkan lima kali sehari saja tidak engkau ketahui, lalu engkau
memaksa diri menggugat tentang Allah, Sang Khaliq?” Kemudian
beliau menyarankan membaca QS Al Baqarah: 163-164.
Keraguan memang selalu menggoda. Beberapa
menganggapnya tamasya intelektual, beberapa lainnya
menganggap sebagai keharusan seorang cendekiawan. Nalar
140
Descartes bertujuan untuk mendapatkan kepastian mengenai
hakikat kehidupan, dia ingin memulai dengan menyatakan bahwa
pertama-tama orang harus meragukan segala sesuatu.
Descartes merasa, ia harus membebaskan dirinya dari
pengetahuan yang diwarisi atau diterima sebelum ia menyusun
filsafatnya sendiri. Lebih lanjut, ia malah bertambah ragu, sebab
ia mulai tak dapatmempercayai indera-indera yang dimilikinya
sebab mungkin mereka memperdayanya.
Pada akhirnya, yang ia yakini adalah bahwa saat ia ragu,
maka ia sedang berpikir, dan saat ia sedang berpikir pastilah ia
makhluk yang berpikir. Cogito, ergo sum. Bedanya, kita telah
menemukan posisi subjektif kita atas dasar tauhid yang melandasi
keimanan kita pada kitabullah yang menjadi pedoman dalam
menjalani kehidupan dan menjawab segala pertanyaan.
Semoga keraguan itu mampu mengantar kita untuk
menyadari bahwa akal (sebagaimana anggota tubuh lainnya)
memiliki kelemahan dan keterbatasan. Di luar batas
jangkauannya, ia tak akan sanggup bekerja, dan itulah saat-saat
terindah dalam hidup, saat kita menyerahkan segalanya pada
Sang Mahasegala, Allah Azza wa jalla.
141
Menguatkan Keyakinan
Buku At Tauhid wat Tawakal yang dibahas oleh
Syekh Zuhair Syafiq al Kubbiy merupakan referensi penting
untuk menjelajahi pemikiran seorang filsuf besar Islam, Imam Al
Ghazali. Buku ini membahas mengenai pemikiran Imam Al
Ghazali, khususnya mengenai tawakal.
Menarik ketika Al Ghazali memaparkan mengenai
bagaimana keyakinan itu didapatkan. Baginya, keimanan
merupakan pembenaran, setiap pembenaran yang dilakukan oleh
hati adalah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dalam intensitas
yang kuat itu akan menjadi keyakinan. Akan tetapi, gerbang
keyakinan sangat banyak, maka disini Al Ghazali mengambil satu
bentuk keyakinan yang diatasnya bisa dibangun konsep tawakal,
yaitu: tauhid.
Tauhid merupakan sebuah konsep pokok yang akan
menjadi ilmu pembuka rahasia transedental. Menurut Al Ghazali,
ada empat strata dalam tauhid. Pertama, tauhid seorang manusia
yang mengucapkan kalimah syahadat akan tetapi hatinya lalai
dalam ucapan itu. Ini disebut munafik. Kedua, jika hatinya
142
membenarkan arti dari perkataan tersebut sebagaimana yang
dilakukan kaum muslimin pada umumnya. Ini disebut keyakinan
orang awam. Ketiga, jika ia dapat mempersaksikan semua itu
dengan metode kasyaf (terbukanya ilmu transdental), dimana
mereka merasakan ketunggalan Allah SWT meskipun ia melihat
segala sesuatu yang beragam di dunia ini. Ini disebut keyakinan
kaum muqarrabiin. Keempat, jika ia tak memandang perwujudan
kecuali hanya satu saja. Kaum sufi menyebutnya ‘peleburan diri’
dalam tauhid. Konsepsi tawakal hanya bisa didirikan diatas
landasan strata ketiga.
Setelah membahas mengenai kemanunggalan wujud,
penulis membahas mengenai kondisi tawakal dan tingkatannya.
Pertama, adalah jika kita berada dalam hak Allah, percaya dengan
tanggungan dan pertolongan-Nya. Kedua, merupakan tawakal
yang kuat, yaitu bila keberadaan kita bersama Allah seperti
kebersamaan seorang anak kecil pada ibunya. Ketiga, merupakan
bentuk tawakal yang paling tinggi, yaitu jika kita selalu merasa
berada di hadapan Allah di dalam segala gerak dan diamnya,
seperti seorang mayat di tangan orang yang memandikannya.
Dalam ranah praksis, penulis membahas mengenai
amalan orang-orang yang bertawakal dan tawakalnya orang-orang
yang berkeluarga.
143
Pada akhirnya, interpretasi tawakal dalam sudut
pandang yang relevan dengan tuntutan tauhid, dalil naqly, dan
syariat, berada dalam kedalaman dan kesukaran kecuali bagi para
ulama yang dianugrahkan Allah cahaya hikmah sehingga mereka
dapat melihat, menyatakan dan kemudian mengucapkan dengan
fasih apa yang telah mereka saksikan jika mereka diminta untuk
bicara.
144
Mukmin dan Ateis
“Seorang mukmin tidak dapat melepaskan sikap
kebertuhanan dari paham ateisme.” Demikian diungkapkan oleh
Dr. Ali Harb dalam essaynya mengenai Mukmin dan Ateis.
Saya kira pandangan ini bukan hal baru lagi. Beberapa
kawan saya di Himpunan Mahasiswa Islam juga pernah berujar
dengan candaan bahwa sebelum kita menjadi seorang muslim,
terlebih dahulu kita harus meniadakan semua bentuk penuhanan
kepada nalar, akal, bahkan teks. Ateis kan? Nah, setelahnya baru
kita menuhankan satu Dzat yang pada-Nya lah tempat kita
bergantung dan memohon pertolongan.
“Begitulah nalar syahadat. Jadi Al, mereka yang ateis
itu saudara dekat kita yang tauhid.”
“Kita tidak mungkin mengingkari Ateisme kita.” Kata
Harb
Ya Alloh, kata mereka para ateis tidak akan
membunuh-Mu untuk menghindari semua bentuk kepercayaan.
Kata mereka, para ateis adalah pencari kebenaran yang paling
145
hakiki sebab kepercayaan mereka pada kebenaran amatlah besar.
Kata mereka, orang-orang yang memiliki posisi subjektif dalam
memandang kebenaran tentang-Mu dalam ketunggalan yang
mutlak adalah orang-orang fanatik dan eksklusif.
Tapi aku percaya, yang mereka cari bukanlah
kebenaran.
Kekerasan yang diekspresikan Nietzshe, sang cikal
bakal ateisme telah menjiwai teks dan wacana yang ia ungkapkan.
Sama halnya saat ketika ia mengumumkan kematian tuhan. Sama
halnya ketika ia mengingkari Tuhan yang selamanya menjelma
dalam bentuk yang diingkarinya.
Harb sendiri mengatakan bahwa pengingkaran yang
Nietzshe lakukan adalah pengingkaran di atas pengingkaran. Tapi
ia tetap saja ia berargumen bahwa kadangkala Nietzshe menjadi
sangat teologis dan lebih memasuki dunia malaikat daripada para
teolog itu sendiri.
Saya hanya berpikir: Bagaimana mungkin sikap ateis
seseorang disamakan dengan seorang mukmin? Bagaimana bisa
persaksian seorang yang meyakini keesaan Tuhan disamakan
dengan perjalanan pencarian kebenaran orang mabuk?
146
Zainab Al Ghazali, Tentang Sebuah
Keteguhan Hati
Mulanya, saya mengenal tokoh pejuang wanita
bernama Zainab Al Ghazali dari buku berjudul Kontribusi
Muslimah di Mihwar Daulah karya Sumaryatin Zarkasyi. Buku ini
merupakan salah satu seri dari seratus seri buku pengokohan
Tarbiyah terbitan Era Intermedia.
Salah satu bab di buku tersebut menerangkan
kontribusi muslimah dalam marotibul ‘amal kelima yakni islahu al
hukumah. Penulis memaparkan kisah hidup Sayidah Zainab Al
Ghazali sebagai percontohan bagi wanita muslimah untuk
berperan aktif dalam ranah publik dan politik dengan
mengadvokasi masyarakat untuk memperoleh hak-hak yang
dirampas oleh pemerintah.
Zainab Al Ghazali adalah seorang yang sepanjang
hidupnya telah membentuk dirinya sebagai pribadi yang memiliki
ambisi yang kuat dan tekad yang membara. Ia adalah sosok
147
muslimah yang cerdas dan kuat pendiriannya dalam
memperjuangkan apa yang ia yakini sebagai kebenaran.
Beberapa hari lalu, seorang kawan meminjamkan saya
buku yang sayidah tulis berjudul Perjuangan Wanita Ikhwanul
Muslimin. Buku ini mengisahkan perjuangan hidupnya sebagai
Ketua Umum Jamaah Muslimat di Mesir saat rezim Gamal
Abdul Naser berkuasa.
Kisah dalam buku ini dimulai saat Zainab Al Ghazali
harus menjalani perawatan di rumah sakit karena ‘kecelakaan’ lalu
lintas yang dialaminya pada bulan Februari 1964, saat itu
pemerintah membuat surat keputusan pembubaran Jamaah
Muslimat yang ditolaknya mentah-mentah. Penolakan itu
membuat pemerintah memaksanya untuk melakukan
penggabungan organisasi Jamaah Muslimat ke dalam Front
Persatuan Sosialis.
Setelah siasat yang dilakukannya untuk menggagalkan
rencana Dinas Intelejen Mesir berhasil, ia kembali mendapat
bujukan dari Dinas Intelejen mesir. Namun seperti yang sudah-
sudah, ia berkata lantang dan tegas: TIDAK! untuk sebuah rezim
tiran.
148
Jamaah Muslimat yang didirikan tahun 1358 H
mendapat tawaran dari Asy Syahid Hasan Al Banna untuk
melebur ke dalam Ikhwanul Muslimin sebagai bagian Wanita
Muslimat, akan tetapi permintaan fusi tersebut ditolaknya
meskipun ia tetap sepakat untuk mempererat hubungan kedua
lembaga tersebut.
Namun, sehari setelah pembubaran Ikhwanul
Muslimin tahun 1948 Zainab Al Ghazali berbaiat pada Allah di
hadapan Hasan Al Banna untuk berjuang melancarkan dakwah
Islam sebagaimana yang dicita-citakan oleh Ikhwanul Muslimin.
Tak lama setelahnya, Hasan Al Banna pun syahid menemui
Tuhannya dan jabatan mursyid ‘am Ikhwanul Muslimin
dilimpahkan pada Imam Hasan Al Hudhaibi.
Ketika pada pertengahan 1956 gelombang tahanan
pemerintahan Abdul Naser dibebaskan, Zainab Al Ghazali
beserta beberapa anggota Wanita Ikhwanul Muslimin
menggalang bantuan dana demi meringankan beban para
tahanan yang tersiksa, terutama anak-anak dan para yatim.
Kemudian, pada 1958 bersama Abdul Fattah Ismail ia memulai
menyusun konsep pengkaderan pertamanya yang meletakkan
metode pendidikan Islam, yaitu pendidikan individu muslim yang
sadar akan kewajibannya untuk Tuhannya, penataan masyarakat
muslim yang sadar akan diri dan kewajiban yang diembannya
149
serta terpisah dari masyarakat jahiliyah. Konsep ini semakin
dimatangkan ketika pada tahun 1962 Sayid Qutb memberikan
berkas berjudul Ma’alim fii Thariq yang ditulisnya dari dalam
penjara untuk dijadikan pedoman dalam proses pendidikan,
pembentukan, persiapan, dan penanaman aqidah tauhid dalam
jiwa para pemuda yang dibinanya secara sembunyi-sembunyi
dalam kumpulan antara 5-10 orang pemuda.
Rencananya, pendidikan ini akan berlangsung selama
tiga belas tahun. Setelah 13 tahun berlalu, maka akan diadakan
survei kembali di seluruh negeri untuk mencatat pengikut
dakwah Islam. Apabila 75% jumlahnya, maka mereka akan
mencanangkan penerapan hukum Islam di negara. Apabila hanya
25%, maka mereka akan mengulang pendidikan kader selama 13
tahun lamanya. Zainab Al Ghazali meyakini bahwa ia tidak boleh
menghentikan upaya pendidikan Islam ini dari generasi ke
generasi.
Membaca dua bab kisah Zainab Al Ghazali yang tetap
berdiri tegak ketika para intelejen datang untuk menundukkannya
membuat saya merinding dan tercengang. Saya melihat sinar
kecerdasan yang terpancar dari tatapan dan tutur katanya. Saya
melihat ketegaran tanpa banding yang tak berkarat oleh waktu, ia
tetap berdiri dan tetap teguh dengan pendiriannya
memperjuangkan kebenaran atas nama dakwah illallah.
150
Islam dan Kesadaran Kebangkitan
Nasional
Islam Sebagai Simbol Nasionalisme
Kondisi penjajahan dan penindasan yang telah
dilakukan oleh Barat melahirkan pemahaman bagi rakyat
Indonesia bahwa Islam identik dengan kebangsaan atau
Nasionalisme, sedangkan imperialisme atau penjajahan itu identik
dengan kristenisasi. Oleh karena itu, Islam menjadi Simbol
Nasionalisme Bangsa Indonesia pada saat itu.
Menyikapi hal ini, pemerintah kolonial Belanda merasa
perlu berupaya memadamkan cahaya Islam, sebab imperialisme
yang dilakukan terhalang oleh kehadiran Islam yang sudah
terlebih dahulu menyebar di nusantara.
Upaya yang dilakukan oleh Belanda antara lain: 1) De-
Islamisasi penulisan sejarah Indonesia yang menafsirkan bahwa
setelah jatuhnya kerajaan Hindu-Budha di Nusantara berdampak
menimbulkan kemunduran bangsa Indonesia. 2) Penelitian
Arkeologi yang menerangkan bahwa masa lalu nenek moyang
151
bangsa Indonesia adalah manusia purba yang tergolong ‘manusia
kera’. Sehingga, secara politis mengarah pada pemahaman bahwa
bangsa kulit putih adalah manusia beradab yang berhak menjajah
bangsa kulit berwarna. 3) Kehadiran pakar Belanda: Snouck
Hurgronje (meneliti Islam di Aceh) dan Van Vollenhove yang
berusaha kembali menghidupkan hukum adat untuk
menggantikan hukum Islam. 4) Mengembangkan aliran
kebatinan (Kedjawen) di kalangan para priyayi dan pejabat
pribumi yang berpihak pada Belanda. 5) Membangkitkan
kesadaran sejarah Hindu-Budha di Nusantara agar pengaruh
ajaran Islam melemah, dan ditargetkan penganut Hindu-Budha
akan memihak pada pemerintah kolonial Belanda. 6) Distorsi
peta bumi
Disadarkan pada kritik yang dilemparkan oleh Conrad
Th van Deventer dalam majalah De Gids yang berjudul ‘Utang
Kehormatan’ yang berisi bahwa kemajuan kerajaan protestan
Belanda dan pemerintah kolonial Belanda diperoleh dengan
pengorbanan bangsa Indonesia. Hal ini merupakan utang
kehormatan yang wajib dibayar dengan memajukan kehidupan
pribumi. Dalam menjawab kritik dari kalangan liberal, Kerajaan
Protestan menciptakan tiga macam kebijakan politik : Politik
pintu terbuka, politik etis, dan politik asosiasi. Politik pintu
terbuka membawa implikasi dibukanya nusantara Indonesia bagi
152
penanaman modal asing di bidang perkebunan, pertambangan,
dan transportasi yang ditandai dengan dibuatnya Undang-
Undang Bumi tahun 1870 M. Pelaksanaan politik pintu terbuka
ini memerlukan tenaga kerja terdidik, sehingga diberlakukanlah
politi etis pada tahun 1901 M dengan triloginya : Edukasi, Irigasi,
dan Emigrasi.
Dengan pemberlakukan sistem edukasi yang tidak
berdasar kurikulum pesantren, lahirlah generasi yang berorientasi
budaya barat. Selain itu, pendidikan juga didiskriminasi dengan
diberlakukannya startifikasi sosial dalam sekolah, yaitu sekolah
Eropa, Bangsawan, Cina, dan Ambon, sehingga kaum bangsawan
dipisahkan hubungannya dengan rakyat. Menyikapi hal ini,
diperlukanlah politik asosiasi, yaitu suatu politik yang bertujuan
menciptakan sikap keterbukaan generasi muda Islam:
kebergantungan pada budaya Barat.
Emigrasi dilakukan untuk melahirkan generasi yang
cacat budaya dan cacat kepahaman tentang Islam. Namun, hal ini
gagal terjadi. Sebab, dengan adanya program ini justru
terbentuklah kesadaran sesama muslim, yang lahirkan kesadaran
sesama musuh yang satukan Islam untuk lawan imperialisme
barat.
Pemikiran Islam dan Nasionalisme
153
Namun, muncullah pertanyaan, benarkah politik etis
yang membangkitkan kesadaran nasional pada abad ke 20 M?
tentu tidak. Jiwa gerakan tersebut datang dari pengaruh Timur
Tengah, India, Cina, dan Jepang.
Beberapa konstruktor pemikiran gerakan islam yang
berpengaruh tersebut diantaranya adalah: Jamalludin Al Afghani
(1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905), Gerakan
Nasionalisme Mesir yang ditandai dengan pemberontakan
terhadab Arbi Pasha, dan Rashid Ridha (1865-1935 M) yang
menekankan purifikasi pada pemikiran Islam yang ia tuangkan
dalam majalah Al Mannar.
Akan tetapi, Imperialisme Barat tak tinggal diam.
Mereka merekayasa gerakan nasionalis menjadi gerakan
pembebasan diri dari kesultanan Turki. Mereka juga
membenturkan antar gerakan puritanisme, sekulerisme,
pluralism, dan liberalism sehingga terpecahlah gerakan-gerakan
ini untuk saling serang satu sama lain dan mengalami disorientasi
untuk melawan imperialism barat.
Faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
kebangkitan nasional adalah terbentuknya integritas nasional
dalam ‘Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia’ oleh Kahin
dipengaruhi oleh factor berikut: 1)Terbentuknya kesatuan agama
154
bangsa Indonesia dengan keyakinan Islam 2) Islam menjadi
simbol terhadap penjajahan asing barat dengan masuknya raja-
raja hindu budha ke Islam akibat adanya invasi katolik Portugis
di Indonesia. 3) Perkembangan bahasa melayu pasar berubah
menjadi bahasa persatuan Indonesia akibat pelarangan bahasa
Belanda untuk dipakai masyarakat Islam Indonesia. 4) Sjarikat
Dagang Islam yang didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh
Hadji Samanhudi ini dinilai oleh para sejarawan sebagai pelopor
Kebangkitan kembali kesadaran Nasional Indonesia.
Keberhasilan SDI adalah lambang awal keberhasilan gerakan
pembaruan system organisasi Islam melalui pasar sebagai lahan
operasi aktivitasnya. Guna menjaga kontinuitas gerakan,
diterbitkanlah Taman Pewarta sebagai media komunikasi yang
bertahan selama 13 tahun.
Ditambah lagi, dengan diadakannya kerjasama antar
pribumi Islam dan Cina dengan nama organisasi niaganya, Kong
Sing. Belanda merasa perlu membangun organisasi tandingan
yang di gawangi oleh RMT Adhisoerjo dengan membentuk
Sarekat Dagang Islamiyah di Bogor dengan medianya Medan
Prijaji. Namun, pada 1911 M, Sarekat Dagang Islamiyah
dibubarkan dan diserahkan kepemimpinannya pada Haji
Samanhudi.
Pergerakan Islam dan Kebangkitan Nasional
155
Realitas sejarah tentang adanya eksistensi kekuasaan
politik Islam di Nusantara semenjak abad ke-9 hingga 20 Masehi
digunakan oleh para ulama dan santri untuk menyadarkan
kembali kebangkitan politik umat Islam Indonesia. Hal ini
dilakukan melalui pembantukan organisasi modern sebagai
wahana mobilitas dan mendinamikakan semangat juang umat
Islam Indonesia.
Fakta sejarah diatas memberi gambaran bahwa
kebangkitan Islam memberikan jawaban sesuai dengan tantangan
zaman. Sehingga, dalam waktu yang relative singkat ulama
berhasil membangun berbagai organisasi kerakyatan yang
memiliki karakter nasionalis. Akan tetapi, Pemerintah Belanda
tidak tinggal diam, diberlakukanlah politik pecah belah dengan
mempertentangkan perbedaan antara ajaran kejawen, kesundan
dengan ajaran Islam, serta mengembangkan pertentangan
prasangka etnis.
Menyoal Sarekat Islam dan PKI
Perpecahan yang paling rentan memang yang yang
terjadi pada SI, sebab SI merupakan organisasi yang benar-benar
mendapatkan dukungan masa riil dari berbagai strata sosial dan
ulama. Yang terjadi di SI ini memang menarik, sebab dengan
156
menggunakan orang Belanda bernama Sneevliet mereka
membelah keutuhan SI.
Aksi mereka diawali dengan membina pimpinan muda
SI Semarang pada 1916 M dalam Sarekat Buruh Kereta Api dan
Trem (VSTP). Disini, dibinalah seorang buruh KA bernama
Semaoen, Darsono, Alimin, dan Tan Malaka yang menjadi kader
ISDV dan VSTP. Pada National Congres CSI di Surabaya,
kelompok kader ini mulai berani menyerang pimpinan SI untuk
mengganti ideology Islam dengan Marxist.
Namun, usaha mereka gagal meskipun dicoba kembali
digaungkan pada konggres di Jogja dua tahun kemudian.
Akibatnya, Semaoen dan Darsono mengubah SI Semarang
menjadi Perserikatan Komunis di India (PKI) pada 23 Mei 1920.
Pada 1923, diresmikanlah adanya disiplin partai yang
memutuskan menolak ideology Marxist yang dikembangkan PKI
dan tidak membenarkan merangkap pimpinan PKI dan SI
sekaligus. Konggres juga membentuk partai politik yang pertama,
Partai Sarekat Islam. (dua puluh lima tahun kemudian, pada kudeta
madiun tahun 1948, PKI membalasnya dengan pembunuhan terhadap
ulama dan santri)
157
Bisa dibayangkan. SI yang semula hanya menghadapi
Kristenisasi, Kapitalisme, dan Kebatinan selanjutnya juga harus
melawan Komunisme dan fitnah Korupsi.
Disorientasi Sejarah
Dalam buku-buku sejarah, kita akan menemukan
bahwa momen kebangkitan nasional bertolak dari kebangkitan
pemuda yang diorganisir oleh organisai Boedi Oetomo pada
tahun 1908. Dari persfektif nasionalis hal ini tentu benar dan
sangat menguntungkan, tetapi tentunya hal ini merupakan salah
satu sudut pandang saja tentang periode sejarah awal kebangkitan
nasional. Bahwa Boedi Oetomo pada saat itu banyak membantu
menyemaikan rasa nasionalisme Indonesia dengan banyak
mendirikan sekolah-sekolah memang benar. Tetapi pertanyaan
selanjutnya, apakah hanya Boedi Oetomo saja yang menjadi
tulang punggung penyebaran kesadaran terhadap penjajah pada
sat itu? Dari pertanyaan inilah kita bisa meluruskan sejarah awal
pergerakan pemuda.
Buku Ahmad Mansur Suryanegara yang berjudul Api
Sejarah menguraikan secara detail secara runtut kronologis
peristiwa yang terjadi di zaman pergerakan nasional sebagaimana
yang telah saya paparkan di muka.
158
Ia menceritakan bagaimana peran besar Syarikat Islam
(SI) untuk menyuemaikan benih-benih kesadaran rasa
Nasionalisme yang diikat oleh akidah Islam. Dengan kesaaran
nasionalisme yang disatukan dalam bingkai akidah Islam ini SI
menjdai organisasi yang paling besar, baik dari sisi anggota
ataupun gerakan. Di bandingkan dengan Boedi Oetomo yang
hanya digerakan oleh segelintir pemuda lulusan Belanda, SI telah
menyebar ke hampir setiap pelosok, dan mempunyai
pimpinannya masing-masing hampir di setiap daerah.
Di sisi lain, Boedi Oetomo lebih bersifat organisasi
primordial Suku Jawa, karena lebih mengakomodir orang-orang
yang berasal dari suku Jawa, begitupun bahasa yang digunakan
adalah bahasa Jawa. Berbeda dengan Syarikat Islam, walaupun
notabene bercorak dan mempunyai ideologi perjuangan politik
ekonomi Islam, tetapi bahasa yang digunakan merupakan bahasa
melayu yang pada saat itu telah menjadi bahasa pergaulan
nusantara. Dengan demikian bila dilihat dari sepak terjang,
gerakan, bahasa, yang seharusnya dijadikan pijakan kebangkitan
pemuda atau kebangkitan nasional seharusnya bertolak dari
gerakan Syarikat Islam bukan Boedi Oetomo. Disinilah rasa
keaberislaman para sejarawan Islam Indonesia diuji. Termasuk
kita sebagai pemuda Islam harus berani membantah
kekuranglurusan sejarah tersebut. Forum seperti diskusi yang kita
159
lakukan saat ini adalah salah satu media efektif untuk peyebaran
kesadaran sejarah ini.
Refleksi
Demikian penggalan sejarah yang coba penulis angkat
untuk dijadikan pelajaran bagi kita yang hidup di era kini.
Perjuangan para ulama (cendekiawan muslim) kala itu adalah
perjuangan yang bersumber dari hati nurani. Perjuangan luhur
yang berupaya mengentaskan manusia dari penjajahan
kolonialisme menuju kemerdekaan yang hakiki.
Sudahkah kita bisa belajar dari apa yang telah
diperjuangkan para pendahulu kita? Atau malah lalai dan lari dari
tanggungjawab sebagai seorang cendekiawan muslim yang
memiliki tanggungjawab besar guna mengentaskan diri kita dari
perbudakan terhadap kesewenangan tiran dan menciptakan
tuhan baru atas nama popularitas dan jabatan.
Benarlah Ali Syariati dalam bukunya “Tanggung Jawab
Cendekiawan Muslim” yang menyatakan bahwa pandangan
simbolisasi manusia shaleh tidak bisa dipandang dari sisi bentuk
formalitasnya saja, sebab manusia yang tercerahkan adalah “ia
dengan tangan yang sama menuliskan ayat-ayat suci dari langit serta
terbenam dalam genangan lumpur dan mengayunkan kayu untuk
160
menyuburkan tanah yang kering, ia berdiri tegak memperjuangkan ayat-
ayat Allah dan hak-hak masyarakat”
161
Korupsi, Korupsi!
Bakir, nama pak tua itu. Sudah dua puluh tahun ia
menjadi pegawai. Hanya sepeda tua berkarat yang jadi kawannya.
Ia butuh uang untuk anak-anaknya yang akan melanjutkan
sekolah, juga untuk mengusir keluarga Tionghoa yang menyewa
beberapa kamar di rumahnya sebagai warung yang saban hari
hadirkan keributan.
Kebutuhan akan uang itulah yang membuatnya gelisah
siang malam. Ia butuh sumber penghasilan yang memungkinkan.
Namun, ia hanya pegawai biasa yang andalkan kenaikan sedikit
gaji tiap tahunnya. Tak akan cukup. Tak akan cukup. Hingga
akhirnya, terbetiklah dalam hatinya, seperti sudah jamak di masa
kini: korupsi! Berdengung kata itu di tiap dinding dan tiap benda
di kamarnya: korupsi! Korupsi!
Hatinya sakit mengingat betapa selama ini kejujuran
telah membuat ia dihargai sebagai pribadi yang bermartabat akan
lenyap begitu saja, berganti dengan keculasan dan kecurangan
yang ia niatkan. Dengung kata Korupsi itu ternyata lebih
berkuasa dan merobohkan pertahanan idealismenya. Berawal dari
162
hasil pencurian persediaan alat tulis kantor yang ia jual pada
tauke sebesar dua puluh rupiah, semakin menjadi lah hasrat Bakir
untuk lakukan korupsi, lagi dan lagi.
Isteri yang telah setia mendampinginya belasan tahun
melihat gelagat itu. Ia ingatkan suaminya agar tak berbuat lebih
jauh. Namun, apa mau dikata, uang telah membuat Bakir silau. Ia
pun lakukan korupsi dalam jumlah yang lebih besar. Isterinya
berang. Karyawan setianya, Sirad, mulai curiga. Karena
senantiasa diliputi kecemasan bahwa tindakannya diketahui
orang, ia melarikan diri pada pelukan seorang dara belia bernama
Sutijah.
“Kalau engkau sungguh-sungguh tak mau dicegah dalam
niatmu, besok lusa engkau jual benteng pertahananmu dengan uang.
Kemudian engkau kawin lagi. Kemudian engkau menjauhi atau dijauhi
kawan-kawanmu. Engkau mendapat kawan-kawan baru yang semua ada
di dalam ketakutan. Engkau jadi binatang perburuan. Engkau harus lari,
terus lari, terus sampai akhirnya rebah sendiri tiada bertenaga.”
Bagaikan kutukan, kata-kata isterinya tersebut satu per
satu terlaksana. Bakir tinggalkan isteri dan tiga anaknya demi
Sutijah. Mereka tinggal di kawasan Puncak, Bogor. Ia tak lagi
berkawan dengan rekan-rekan sejawatnya di kantor. Ia punya
komunitas elite sendiri, pelaku pezinahan, koruptor, dan seperti
163
binatang perburuan, ia terus lari, terus, sampai akhirnya rebah
sendiri tiada bertenaga.
“Dapatlah aku mengetahui bahwa jalan kembali bagiku masih
tersedia, hanya saja aku yang tak berani kembali. Tidak berani! Tidak
berani! Dan tambah lama tambah tidak berani. Tambah tua aku menjadi
tambah penakut menghadapi kebenaran dan menerimanya sebagai milik
sendiri..”
Agaknya, kegelisahan yang sempat ia rasa mesti ia
semaikan sebelum lakukan perbuatan kotor itu. Bakir, dalam
kegelisahan sebelum melangkah lebih jauh menjadi budak
nafsunya pernah berkata: Apakah yang sebenarnya betul: manusia
yang mencari kebahagiaan ataukah kebahagiaan telah memperkudanya?
Belasan tahun lampau ia berkata bahwa kebahagiaan adalah harta
terbesar yang selalu diimpikan manusia, tapi sekaligus harta
benda yang begitu dekat, begitu tak teraba, begitu tak
disadarinya, bahwa itulah sesungguhnya yang diimpikannya.
Dibalik jeruji besi, Bakir hanya bisa menyesali nasib:
betapa pengetahuan dan kesadaran ini terlampau mahal untuk ia beli.
Membaca novel Pram ini membuat saya terus
menghela nafas. Kita seolah telah kehabisan kata, daya, dan
upaya dalam upaya pemberantasan korupsi. Berbagai upaya telah
164
dilakukan, mulai dari gerakan sosial antikorupsi, penafsiran
teologi anti korupsi, pembuatan aturan perundangan anti korupsi
setiap kali ada kasus korupsi yang dinilai baru, serta pembentukan
lembaga yang khusus menangani masalah korupsi. Namun
nyatanya, korupsi tetap ada, mengakar, dan membudaya.
Benarlah apa yang dikatakan Cak Nun dalam salah satu
artikel lepasnya; “Orang lebih tertarik kekayaan dibanding kesalehan.
Orang lebih terpikat oleh uang banyak daripada digniti kepribadian.
Orang lebih tergiur pada kejayaan materi dibanding kemuliaan hidup.”
Agaknya, pabila segala daya dan upaya memang tiada
guna. Minimal, diri ini sadari bahwa kalau kita mencuri, kita
mencuri harta milik Tuhan, di bumi yang jadi milik Tuhan. Meski
kita membawa harta curian kita lari, mentransfernya,
menginvestasikannya, Sang Penadah Agung tetaplah pemilik
sahnya. Harta Tuhan saja tak pernah pergi kemana pun, apalagi
diri kita yang tak berdaya ini. Melarikan diri kemana pun jua
adalah jalan kembali pada asal usul kita yang sejati.
Ya, hidup adalah pergi untuk kembali. Kata Ello.
Inna lilahi wa inna ilaihi roji’un.
Ingatlah bahwa kita akan mati, akan pulang, dan
mempertanggungjawabkan apa yang telah kita amalkan.
165
Bukan Pasar Malam
"Mengapa kemudian kita harus bercerai berai dalam maut.
Seorang. Seorang. Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang
lagi. Mengapa orang-orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai
mati? Aku ingin dunia ini seperti pasar malam." (h.95)
Seorang pelayat bertanya dalam suasana duka oleh
sebab kawan main judinya mati. Pertanyaan itu tak mendapat
jawaban. Yang mendengar tertawa. Yang bicara pun tertawa.
Mungkin yang bicara pun tak mengerti apa yang telah
diucapkannya. Kemudian, percakapan itu mati.
Pramoedya Ananta Toer, seperti lazimnya ia,
mengisahkan dengan apik kisah keperwiraan seorang dalam
revolusi yang pada akhirnya melunak ketika dihadapkan pada
kenyataan sehari-hari; pesakitan yang meregang nyawa,
kemiskinan yang mendarah daging, serta ketidakberdayaan yang
syahdu.
Berpotong-potong kisah itu terbingkai dalam sebuah
perjalanan yang hadirkan kembali kenangan yang pernah dilalui.
Kenangan-kenangan itu sewenang-wenang menyerbu dalam
166
kepalanya tanpa permisi. Membuatnya tersenyum saat sadari
bahwa memang terkadang manusia terlampau kuat dan
menenggelamkan kesadarannya.
Hari-hari yang dibayangi maut membuatnya sadar;
sama seperti berlalunya malam, demikian pula hidup manusia
yang lenyap sedetik demi sedetik tanpa disadari. Meninggalkan
berbagai persoalan yang bukannya menua, malah meremaja
bersama pusaran arus waktu.
Membaca Bukan Pasar Malam karya Pramodya Ananta
Toer ini membuat saya kembali mendefinisikan diri, hidup,
keberadaan saya di dunia, dan akhir cerita hidup saya kelak.
Jelang dua puluh satu tahun masa usia yang telah
terlewati, saya telah menjalani hidup seperti wanita kebanyakan,
tak ada yang istimewa, tak banyak hal berbeda kecuali hal-hal
yang detail. Pada intinya, saya adalah orang yang biasa-biasa saja,
yang tak pernah berpikir untuk lakukan hal-hal besar, atau
bertindak layaknya pahlawan yang mewujudkan hal-hal besar.
Banyak orang suka membaca, saya salah satunya. Dan
saat saya membaca, saya seperti melihat diri saya tengah berperan
dalam skenario cerita yang ditulis dalam buku-buku. Saya telah
membaca sedikit dari jutaan buku yang ada, namun cerita hidup
167
saya sama membosankannya seperti dalam roman-roman usang
yang mudah dicari referensinya. Tak ada yang istimewa.
"Mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri
pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak
manusianya? Dan kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan
orang itu pun mencintai kita.." (h.95)
Ah, betapa indahnya hidup yang singkat ini bila kita
bisa dicintai seorang manusia dengan sungguh-sungguh. Tidak
hanya berdasarkan perasaan, akan tetapi juga pada kenyataan
yang apa adanya tentang diri dengan segenap paradoks dan
ambiguitas yang melekat.
Saya tak lagi harapkan cinta yang berakhir indah dan
romantis sebagaimana tertulis dalam buku-buku. Dalam
kehidupan nyata, kisah itu berakhir dramatis dan tragis. Kita
dipaksa menangis sejadi-jadinya, jatuh sedalam-dalamnya,
menerima seperih-perihnya. Itulah hidup. Hidup yang hanya
menunda kekalahan, kata Chairil.
168
Bibliomania
Allison Hoover Bartlett patut bangga. Novel
investigasinya berjudul The Man Who Loved Books Too Much
mendapat penghargaan sebagai salah satu buku terbaik tahun
2009 versi Library Journal, setelah sebelumnya artikel mengenai
tokoh utama novel ini, John Gilkey, dimasukkan dalam Best
American Crime Reporting tahun 2007.
John Gilkey memang sosok yang memikat. Atas dasar
kecintaannya pada buku, ia menjadi pencuri buku-buku langka
koleksi para agen di seluruh penjuru negeri dengan bermodal
nomor kartu kredit dan telepon umum hotel. Dan, Bartlett
berhasil memukau pembacanya dengan detail yang amat teliti
mengenai manuskrip-manuskrip bersejarah serta humor satir
untuk menarasikan kisah Gilkey.
Inspirasinya untuk mencuri buku muncul saat ia masih
kanak-kanak. Bukan hanya karena alasan cinta, melainkan juga
dampak memiliki buku itu terhadap dirinya. Terlahir dalam
keluarga miskin membangkitkan fantasinya akan kehormatan dan
penghargaan sebagai orang yang berbudaya dan terpelajar apabila
169
ia memiliki koleksi buku langka. Ia mendapatkan buku-buku
koleksinya dengan mencuri, tentu saja.
Anehnya, meskipun Gilkey sadar bahwa mencuri buku
adalah tindakan ilegal, namun baginya ilegal tidak sama dengan
salah. Saat ia berkali-kali ditahan oleh polisi, bukannya merasa
bersalah, ia justru menyalahkan orang lain yang dianggapnya
menghalanginya untuk mendapatkan itu. Gilkey adalah orang
yang percaya bahwa mengoleksi amat banyak buku langka adalah
ekspresi terbesar identitasnya, dan dengan cara apapun ia
mendapatkannya itu bernilai adil dan benar. Seperti Bartlett, aku
pun bertanya-tanya: bagaimana rasanya memandang dunia
dengan cara seperti itu, merasa berhak mendapatkan semua yang
diinginkan dan membenarkan cara apapun untuk meraihnya.
Namun, Gilkey ternyata pribadi yang tak sesederhana itu. Dibalik
kegilaannya mengoleksi buku, ia pun sedang berupaya keras
membangun citra dirinya sebagai pria terhormat. Dia
mempelajari filsafat, meneliti pengarang buku, membaca sastra,
bahkan menulis esai dan naskah dramanya sendiri.
Namun, buku ini tak hanya berkisah soal obsesi gila
Gilkey untuk membuat perpustakaan raksasa dengan ribuan
koleksi langka di rumahnya. Bartlett pun berkisah tentang Ken
Sanders, seorang yang menyebut dirinya bibliodick (penjual buku
yang merangkap detektif) yang memiliki obsesi besar untuk
170
menangkap John Gilkey lewat jaringannya di Asosiasi Pedagang
Buku Amerika.
Mengesankan membaca bagaimana Bartlett meletakkan
kecintaan dua orang ini pada buku dalam konteks yang lebih
besar, tak hanya berkutat soal kejar mengejar antara detektif dan
maling, tetapi juga mengeksplorasi secara mendalam tentang
gairah terhadap buku selama berabad-abad, meskipun terkadang
nyaris menyiratkan seksualitas platonian.
Kecintaan fanatik yang cukup intim ini dituliskan oleh
Eugene Field dalam The Love Affairs of a Bibiliomaniac pada
1896, “Terlalu sedikit orang yang sepertinya menyadari bahwa
buku memiliki perasaan. Tetapi aku tahu sesuatu hal lebih baik
dari pada orang lain, yaitu buku-bukuku mengenalku dan
mencintaiku. Ketika suatu pagi aku terbangun, aku melempar
pandangan ke sekeliling ruangan untuk melihat harta benda yang
kucintai, dan ketika dengan gembira aku berseru kepada mereka,
‘Apa kabar teman-temanku yang baik!’ mereka akan berseri-seri
dengan indah, gembira aku sudah bangun!”
Buku, bagi beberapa orang merupakan catatan pribadi
satu bab kehidupan mereka. Secara fisik, ia menjadi saksi bisu
pengalaman pembacanya, artefak sejarah tempat berkumpulnya
kenangan, misal tentang siapa yang memberi buku itu pada kita,
171
dimana kita saat membacanya, berapa usia kita saat asyik
membuka lembar demi lembarnya, dan lain sebagainya.
Ada banyak buku yang saya baca saat kecil. Meskipun
mencoba mengingatnya dengan keras, terkadang saya pun lupa,
buku mana yang lebih dulu saya baca. Namun, bagi saya, buku
yang paling penting (dan berharga) di masa kecil saya adalah
Little Women karya Alcott.
Tidak seperti kebanyakan buku yang saya baca di masa
itu, yang selalu berkisah tentang sekumpulan bocah laki-laki yang
hobi berpetualang, saya merasa, buku ini berkisah tentang diri
saya dalam tokoh Jo.
Jo, seorang maniak buku yang ceplas ceplos, apa
adanya, menyukai seni bermain peran, tokoh yang selalu saya
kagumi hingga menjadi role model saya hingga hari ini. Saya masih
ingat bagaimana membuka lembar demi lembar halaman yang
telah menguning di kamar tidur saya kala itu. Saya rasa, buku
memang bukan hanya sebuah kendaraan yang mengantarkan
isinya pada pembaca, tetapi juga pada kehidupan di saat kita
tengah membacanya.
Ketika Gilkey bertemu Jo dan Faqih
172
Saya sedang membayangkan bagaimana jadinya bila
hari ini John Gilkey bertemu dengan Jo. Apa yang akan mereka
obrolkan? Koleksi buku-buku klasik yang mereka miliki?
Kesepakatan bahwa Jo akan memainkan naskah drama yang
ditulis Gilkey? Ah, akan lebih baik jika Profesor Bhaer (suami Jo)
turut serta dalam obrolan mereka. Mungkin, dia akan
memberikan Jo dan Gilkey saran bacaan, atau memberikan
bukunya secara cuma-cuma untuk Gilkey agar dia tak mencuri
lagi. Bukankah Jo dan Profesor Bhaer mendidik anak-anak
mereka dengan baik? Saya rasa, Jo dan Bhaer bisa membujuk
Gilkey untuk bertaubat.
Ah, tapi bagaimana jika Gilkey malah bertemu dengan
Faqih. Apa yang akan mereka obrolkan? Mungkin, mereka akan
ngobrol soal penghancuran buku yang dilsayakan dari masa ke
masa: pembakaran beribu koleksi kesusastraan China pada tahun
213 SM, pembakaran buku-buku sastra oleh Nazi,
penenggelaman buku-buku karya para ulama Muslim di laut
Merah, pelarangan buku-buku di zaman Orde Baru, dan semakin
sedikitnya buku tentang pemikiran Islam setiap tahunnya.
Faqih akan katakan bahwa semakin minimnya buku
tentang pemikiran Islam merupakan pertanda kemunduran
Islam. Sebab, mereka yang katakan bahwa Al Qur’an dan Hadist
adalah sumber pedoman satu-satunya justru menunjukkan
173
ketidakyakinan dan kebuntuan mereka dalam mengartikulasikan
apa yang Al Qur’an dan Hadits sampaikan tentang masalah yang
mereka hadapi hari ini. “We never doing any reading process and too
afraid for break the streamlines..”
Gilkey akan menepuk pundak Faqih dan berkata, “Jangan
khawatir, akan selalu ada kami, para kolektor buku, penyelamat
peradaban, yang sedia mengumpulkan buku-buku terlarang
sebagai wujud penghargaan kami terhadap ilmu pengetahuan.
Sejarah sudah membuktikan. Buku-buku merangkai sebenar-
benarnya kisah. Tugas kita adalah menemukan dan melakukan
interpretasi secara objektif.” Mungkin demikian.
174
Tentang Penulis
Alikta Hasnah Safitri lahir 28 Februari 1994 di Kemangkon,
Purbalingga, Jawa Tengah. Jenjang pendidikan yang telah
ditempuhnya, yaitu: MI Muhammadiyyah Senon, SMP Negeri 1
Kemangkon, dan SMA Negeri 1 Purbalingga. Saat ini ia masih
menempuh studi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret. Sembari menempuh studi, ia juga
terlibat aktif dalam kepengurusan Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia Komisariat Sholahuddin Al Ayyubi.
Selama menetap di Kota Solo, ia sering berlama-lama membaca
di perpustakaan, mengikuti berbagai seminar, serta menonton
pertunjukan seni.
Saran dan kritik dapat disampaikan pada penulis ke
aliktahasnahsafitri@gmail.com. Tulisannya yang lain bisa diakses
di blog pribadinya: aliktahassa.wordpress.com