Post on 21-Oct-2021
Media dan Komunikasi Politik:
Telaah Jurnalis Politik dan Spin Doctor dalam Program
Acara Indonesia Lawyer Club TV One
Didik Haryadi Santoso, MA
Staf Pengajar FIKOM Universitas Mercu Buana Yogyakarta
didikharyadi.s@gmail.com
ABSTRAK
Relasi yang silang sengkarut antara politisi, jurnalis politik dan spin doctor berakibat tercampur aduknya masing-masing peran. Sebagian jurnalis politik tidak lagi berada ditengah-tengah politisi dan rakyat untuk menjadi wacthdog melainkan menjadi “politisi baru” sekaligus berperan sebagai spin doctor. Bagaimana sepak terjang “politisi baru” dan spin doctor tersebut? Tulisan ini berfokus pada program Indonesia Lawyer Club di TV One dengan tokoh sentral Karni Ilyas.
Simpulan dari tulisan ini yaitu, pertama, jurnalisme politik pada program ILC tidak melahirkan mediasi politik apapun melainkan menjadikan dirinya sebagai “politisi media” dengan berbagai opini publik yang dirancang oleh masing-masing aktor. Kedua, jurnalis politik pada program ILC dan aktor hukum serta politik merintis opini publik dengan memilih isu & menyeleksi fakta sesuai dengan opini yang akan dibangun. Hal ini persis dengan cara kerja spin doctor yang berupaya mempertahankan atau meniadakan isu berdasarkan
kepentingannya sendiri. Ketiga, menjelang pemilu 2014, akan banyak bermunculan spin doctor dengan propaganda opini publik yang hyper construct. Hal ini tentu bermuara pada menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia.
Kata Kunci: Jurnalisme Politik, Spin Doctor, Media
Pendahuluan
Ditengah silang sengkarut dunia hukum dan
perpolitikan Indonesia, ILC (Indonesia Lawyer Club) lahir dan
hadir sebagai program diskusi hukum dan politik. Forum
diskusi itu tidak hanya dihadiri oleh advokat dan politisi
melainkan juga dihadiri oleh pengelola-pengelola negara baik
hadir secara fisik maupun hadir secara digital teleconference.
Dengan kata lain, ILC merupakan sebuah program dialog
yang dikemas secara interaktif dan apik untuk memberikan
pembelajaran hukum bagi para pemirsanya.1 Jauh sebelum
berubah menjadi forum diskusi interaktif, ILC merupakan
perkumpulan para advokat sebagai wadah berdiskusi
mengenai isu-isu kontroversial dan dikupas secara lebih
1 www.tvonenews.tv diakses pada tanggal 25 Januari 2014.
mendalam. Forum tersebut bernama JLC (Jakarta Lawyer
Club).
Diskusi JLC (Jakarta Lawyer Club) yang semula
ditayangkan di SCTV, dipindah tayangkan ke TV One atas
permintaan Bakrie Grup. Karni Ilyas pun diminta menjadi
Direktur Pemberitaan sekaligus Pemred tv One. Tak lama
kemudian program JLC berganti nama menjadi Indonesia
Lawyers Club (ILC). Perubahan nama ini terkait dengan
upaya peningkatan status para advokat yang bersifat lokal
menjadi berstatus nasional. Hal ini juga dikarenakan program
ILC tidak hanya berdaya jangkau lokal melainkan juga
berdaya jangkau nasional.
Tidak ada masalah dengan lahir dan hadirnya ILC
sebagai program dialog interaktif dan menjadi jembatan
penghubung antar advokat, politisi dan jurnalis. Masalah
kemudian muncul ketika aktor-aktor yang terlibat didalamnya
tidak sekedar mengolah opini baru namun mencari legitimasi
dan dukungan dari publik atas persoalan politik. Tidak hanya
itu, penyerangan antar aktor diskusi berupa kecaman dan
hujatan juga kerap terjadi. Dengan kata lain, kalah di arena
persidangan lalu mencari dukungan dari program tayangan.
Pada posisi itu realitas sosial di persidangan ditarik kedalam
realitas media. Advokat tidak lagi menjadi advokat, jurnalis
pun tidak lagi berperan sebagai jurnalis. Semuanya melebur
menjadi “politisi baru” dalam riuh rendah dunia hukum dan
perpolitikan yang terjadi.
Tidak hanya itu, tidak jarang aktor-aktor yang terlibat
dalam ILC secara tidak langsung berperan menjadi spin
doctor yang mampu memilah dan memilih sekaligus
mengolah fakta dan memutarbalikkan wacana. Dengan
kemampuan retorika yang tinggi disertai silat lidah yang
canggih, persepsi audien digiring membentuk opini-opini yang
bermuara pada bangunan opini publik. Masing-masing aktor
memfokuskan opininya pada ruang yang seolah-olah publik
meskipun secara substantif bukan publik melainkan hanya
menjadi ruang-ruang pertarungan antar elit kekuasaan yang
berjubah advokat, politisi dan jurnalis. Pertanyaannya
kemudian adalah bagaimana sepak terjang “politisi baru” dan
spin doctor dalam program Indonesia Lawyer Club tersebut?
Pertanyaan tersebut menjadi benang merah dalam tulisan ini.
Pada bagian awal, akan dipaparkan tentang latar
belakang masalah beserta benang merah tulisan. Pada
bagian kedua, dijabarkan tentang kajian pustaka atau kajian
teoritik mengenai media dan remediasi ruang yang juga
menyinggung tentang ruang publik perspektif Jurgen
Habermas. Selanjutnya pada bagian ketiga merupakan isi
yang terdiri dari ILC antara Remediasi Ruang dan Politisasi
Ruang. Kemudian pembahasan selanjutnya difokuskan pada
pertarungan ruang & pertarungan opini dalam ILC. Terakhir,
kesimpulan dan penutup.
Media dan Remediasi Ruang
Media lahir dan hadir menghapus penghalang yang
ada pada media tradisional. Media khususnya media televisi
membawa berbagai macam ruang satu kedalam ruang
lainnya. Termasuk menggiring ruang politik kedalam ruang
pribadi, atau sebaliknya membawa ruang elit kedalam ruang
publik. Dalam beberapa kasus, tidak sedikit ruang sosial yang
tercipta di pengadilan tergiring kedalam bentuk ruang media,
dengan kata lain realitas sosial ditarik kedalam realitas media.
Ruang yang terbentuk dalam media lahir dan hadir
menjadi semacam ruang sosial. Menurut Henri Lafebvre
dalam tulisannya yang berjudul “The Production of Space”,
ruang sosial merupakan produk sosial yang diproduksi secara
sosial oleh pengguna ruang tersebut.2 Ruang sosial bentukan
media menjadi semacam arena atau sarana pertukaran
informasi dan pertukaran wacana. Tarik ulur ruang itu
diperantarai oleh media. Media memediasi ulang kedua
realitas dan kedua ruang. Mengenai remediasi ini, Jay David
Bolter & Richard Grusin berpendapat bahwa proses remediasi
akan lebih agresif lewat perantara digital.3 Sebagaimana yang
dipaparkan oleh Henri Lafebvre, bahwa ruang yang diciptakan
melalui produksi sosial seringkali dijadikan sebagai alat
kontrol, dominasi dan kekuasaan.4 Kekacauan itu diperparah
silang sengkarut kepemilikan media.
Melalui media, ruang-ruang sosial masuk kedalam
ruang digital dengan berbagai macam realitas media yang
tergiring kedalamnya. Media menjadi institusi sosial yang
memproduksi ruang-ruang sosial. Ruang sosial yang bersifat
2 Henri Lafebvre, The Production of Space, Basil: Blackwell, 1992,
hal 26 3 Jay David Bolter & Richard Grusin. Remediation; Understanding
Media, USA: MIT Press, 2000, hal 46. 4 Henri Lafebvre, The Production of Space, Basil: Blackwell, 1992,
hal 26
lokal dapat dengan mudah bergeser menjadi ruang sosial
yang menjadi lebih “publik”. Habermas menyebutnya dengan
polarisasi ruang sosial. Ruang sosial itu menjadi semacam
panggung sosial.
Media memiliki andil menciptakan panggung-
panggung sosial. Panggung-panggung sosial yang tadinya
miskin perhatian, oleh media mendadak berubah menjadi
terkenal hanya dengan perantara digital disertai dengan
perubahan format dialog biasa menjadi diskusi yang interaktif.
Namun demikian, tidak jarang diskusi publik menjadi forum-
forum politis dengan daya dukung pendapat dari publik
mengenai topik-topik tertentu. Mengenai hal ini, Jurgen
Habermas memaparkan bahwa beberapa stasiun-stasiun
media, penerbit dan asosiasi-asosiasi tertentu telah mampu
merubah panggung diskusi menjadi sesuatu yang dapat
dikonsumsi sekaligus menjadi sebuah bisnis yang
menjanjikan.5
5 Jurgen Habermas, The Structural Transformation Of Public
Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, terj. Yudi Santoso, Yogyakarta: Kreasi Wacana, hal. 230
Hukum-hukum pasar masuk kedalam ruang-ruang
sosial baik di wilayah politik, hukum maupun pada wilayah
kebudayaan. Ruang-ruang sosial hasil garapan media itu
memiliki kecenderungan menjadi ruang-ruang konsumsi, baik
konsumsi informasi maupun konsumsi wacana bagi publik.
Singkat kata, media dan ragam kepentingannya secara
langsung atau tidak langsung mampu melubangi ruang-ruang
sosial bahkan ruang-ruang privat menjadi ruang yang seolah-
olah publik. Habermas mengistilahkannya dengan privat semu
dan pseudo public.
ILC: antara Remediasi Ruang dan Politisasi Ruang
Melalui Indonesia Lawyer Club, publik mendapatkan
ruang lain untuk mengakses informasi dan wacana tentang
hukum dan politik. Wacana tentang hukum dan politik, disatu
sisi dibawa dari ruang peradilan kedalam ruang politik
berbasis media. Disisi yang lain, media televisi membawa
ruang elit politik itu kedalam ruang-ruang pribadi milik audien.
Melalui media, kontur ruang elit hukum dan politik
Indonesia Lawyer Club ditata ulang dari diskusi serius dan
kaku para advokat menjadi diskusi yang membawa nilai
pertunjukan dan dapat dikonsumsi oleh khayalak. Tata ulang
pola diskusi dalam ILC memungkinkan publik
mempersepsikan drama kehidupan dunia politik dengan
persepsi multidimensi yang dimiliki masing-masing individu.
Pemindahan ruang pengadilan kedalam ruang sosial lalu
dilanjutkan kedalam ruang media. Hal ini menjadikan realitas
didalam program ILC tidak lagi sekedar menjadi realitas sosial
akan tetapi bergerak menjadi realitas media.
“ini pola diskusi yang kesannya memindahkan arena pengadilan untuk membuat justifikasi ulang. Menurut saya, itu hanya bagian dari ketidakpercayaan pengacara ketika membela didalam, maka perlu dukungan diluar secara opini publik. Yang diupayakan bagaimana publik membela dan mendukung, sehingga pembelaan menjadi maksimal. Sementara publik tidak mendapatkan honor apapun dari dukungan itu”.6
Pendapat diatas membantu pemetaan tentang
beberapa ruang yang termediasi oleh media. Diantaranya
yaitu ruang persidangan sebagai ruang sosial, media sebagai
ruang elit dan audien sebagai publik. Ruang persidangan
6 Gede Pasek Suardika dalam program ILC yang ditayangkan pada
12 Maret 2014 dengan tema “Anas Siap digantung di Monas”. Diakses dari www.youtube.com pada tanggal 27 Januari 2014.
ditarik kedalam ruang elit berbasis media untuk kemudian
dipindahkan ke dalam ruang publik, meskipun secara
substansial ruang itu hanya seolah-olah publik, pseudo public.
Relasi tiga ruang itu kemudian membentuk imajinasi wacana
yang berbeda-beda.
Jika meminjam kacamata Benedict Andersen, dalam
Indonesia Lawyer Club, wacana luaran mengenai hukum dan
politik merupakan sebuah wacana luaran yang imajinatif
terbayang. Kata terbayang merujuk pada substansi makna
bahwa sesuatu dapat dibayangkan atau diimajinasikan
meskipun dalam kenyataanya antara objek satu tidak pernah
saling kenal dan saling bertemu. Anderson mencontohkan
imagined political community, dimana komunitas yang empirik
dapat bertransformasi menjadi komunitas politik yang
imajinatif ketika konsep komunitas alami itu dipengaruhi oleh
konsep “sebuah bayangan atau imajinasi tentang
kebersamaan mereka”.7
7 Benedict Andersen, Imagined Communities Komunitas Komunitas
Terbayang, Insist Press: Yogyakarta, 2001, hal xxxi.
Gambar 2. Suasana Diskusi Hukum & Politik di ILC
Komunitas dengan imajinasi wacana hukum dan politik
itu bertemu dalam bentuk fisik dan tentu dalam bentuk digital
mengingat penikmat dan pengkonsumsi wacana ILC tidak
hanya berhenti pada media televisi melainkan juga pada
dunia virtual. Hal itu menjadikan tipe komunikasi dalam
Indonesia Lawyer Club menjadi dua macam yaitu, pertama
tipe komunikasi face to face di dunia empirik nyata dan kedua,
tipe komunikasi yang termediasi secara digital. Remediasi
dalam bentuk digital inilah yang merintis kesadaran para
advokat, politisi dan audien yang secara bersama-sama
membayangkan tentang kebersamaan mereka meskipun
hanya didalam ruang-ruang wacana
Remediasi ruang seperti yang telah dipaparkan diatas,
dalam beberapa contoh program ILC tidak berhenti pada
kategori re-mediasi ruang akan tetapi juga masuk kedalam
kategori hype tepatnya hypermediasi ruang. Hal ini berangkat
dari dua hal, pertama, pembahasan yang dipaparkan di ILC
tidak jarang melebihi pembahasan di area persidangan.
Disatu sisi hal ini baik karena dapat memberikan fakta-fakta
baru dan informasi serta wacana baru yang tidak diungkapkan
di meja persidangan. Namun disisi yang lain, perintisan opini
publik tersebut selain dapat menjadi salah satu bentuk
perlawanan terhadap ruang persidangan juga dapat
digunakan memutar balikkan wacana sekaligus menggalang
simpati dan dukungan dari audien atau publik. Kalah secara
hukum akan tetapi diusahakan menang melalui dukungan
publik. Kedua, pembahasan diskusi wacana tentang hukum
dan politik dalam ILC tidak jarang berbelok masuk kedalam
materi-materi yang trivial. Artinya, diskusi bergeser menjadi
pembahasan tentang hal-hal yang remeh temeh dan jauh dari
substansi akar permasalahan yang sedang dibahas.
Penyerangan dan pembunuhan karakter terhadap lawan
politik juga kerap terjadi. Sebagai contoh, perdebatan antara
Ruhut Sitompul dan Hotman Paris Hutapea yang menyeret
aib dan persoalan pribadi atau pelecehan pengacara
Nazaruddin terhadap Anas Urbaningrum dengan
menggunakan istilah “abu jahal”.
Gambar 3. Salah Satu Scene ILC Edisi “Anas Siap digantung di Monas”.8
8 www.youtube.com. Diakses pada tanggal 27 Januari 2014.
Mengenai beberapa kasus pelecehan dan hujatan,
Indonesia Lawyers Club mendapat teguran tertulis dari Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) tertanggal 4 September 2012,
lantaran dinilai sarat hujatan dan kecaman. Pada posisi ini ILC
menjadi panggung diskusi kritis, akan tetapi juga menjadi
panggung pertunjukan wacana sekaligus menjadi pertarungan
silat Lidah. Pada muaranya, remediasi ruang hukum dan
politik dalam program ILC tidak melahirkan mediasi hukum &
politik apapun melainkan menjadikan dirinya sebagai “politisi
media” dengan berbagai rancangan opini publik yang dirintis
dan dirancang oleh masing-masing aktor hukum dan politik
yang terlibat didalamnya.
Pertarungan Ruang & Opini dalam ILC
Kompleksitas hukum dan politik di Indonesia menjadi
bahan yang menarik untuk didiskusikan. Indonesia Lawyer
Club menangkap kompleksitas hukum dan politik itu selain
menjadi program diskusi yang menawarkan ruang
“pertarungan” opini. Dalam pada itu, pertarungan ruang dan
pertarungan opini dijembatani oleh tokoh-tokoh pembentuk
opini dari berbagai kalangan baik advokat, politisi maupun
masyarakat. Meskipun pada prakteknya ruang bicara dan
berpendapat untuk masyarakat sangat minim jika
dibandingkan dengan ruang untuk para elit hukum dan elit
politik. Masyarakat sebagai audien lebih sering menjadi
pengkonsumsi wacana ketimbang menjadi bagian dari aktor
dalam diskusi.
Tokoh-tokoh pembentuk opini publik dalam Indonesia
Lawyer Club selain dari aktor media TV One juga melibatkan
tokoh-tokoh jago debat yang berperan layaknya spin doctor.
Sebagian besar berasal dari tim lawyer dan anggota partai-
partai politik. Relasi antara aktor media, lawyer, dan politisi
membawa ketiganya kedalam bentuk hubungan saling
ketergantungan yang baru. Artinya, pelaku media, lawyer dan
politisi mendapatkan hubungan simbiosis mutualisme yang
saling bergantung dan saling menguntungkan satu sama
lainnya. Akan tetapi dalam hubungan yang saling
menguntungkan itu, antara instrumen elit dan instrumen
kultural bercampur aduk dalam riuh rendah pertarungan
hukum dan politik. Instrumen kultural berbentuk individu-
individu masyarakat lahir dan hadir secara natural dalam
diskusi. Namun secara perlahan tereduksi oleh instrumen elit
dengan berbagai ragam kepentingannya, termasuk
kepentingan politik, ideologis dan pasar. Tentu kepentingan
pasar dalam hal ini tidak hanya berdimensi finansial akan
tetapi terminologi pasar yang lebih mendekati ruang gerak ILC
yaitu pasar dalam dunia hukum dan politik.
Publik dalam panggung diskusi ILC hanya menjadi
pelengkap dan hanya sebagai pengkonsumsi informasi dan
pengkonsumsi wacana. Ruang-ruang diskusi wacana hukum
dan politik diciptakan seolah-olah publik meskipun sejatinya
hanya merupakan ciptaan dan hasil rekonstruksi para elit
yang terlibat didalamnya. Ruang diskusi publik tidak lagi
menjadi untuk publik, melainkan menjadi arena pertarungan
antar elit namun atas nama publik. Pertarungan antar elit
tersebut, pada akhirnya hanya menjadi pertarungan yang
semu. Semu karena publik hanya menjadi penonton pasif
yang turut melegitimasi opini publik yang telah dibangun oleh
para elit-elit yang bertarung.
Mengenai hal ini, Jurgen Habermas mengistilahkannya
dengan istilah pseudo public. Lebih jauh Habermas
memaparkan bahwa, peristiwa pseudo public yang disisipi
oleh berbagai ragam kepentingan termasuk politik seperti
yang terjadi dalam ruang diskusi ILC bukanlah hal yang baru.
Habermas mencontohkan ruang publik dunia sastra yang
ternyata juga telah memiliki karakteristik “politis”, yang
membuat dunia sastra tercerabut dari ruang reproduksi
sosial.9
Sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh Jurgen
Habermas, bahwa diskusi politik sebagian besar terbatas
pada kalangan tertentu, yang bagaimanapun lebih banyak
menciptakan iklim yang homogen bagi pembentukan opini.10
Apa yang terjadi pada program ILC merupakan pertarungan
ruang para elit sekaligus pertarungan opini untuk
mendapatkan simpati publik dengan memilih isu & menyeleksi
fakta sesuai dengan opini yang akan dibangun. Hal ini persis
dengan cara kerja spin doctor yang berupaya
mempertahankan atau meniadakan isu berdasarkan
kepentingannya sendiri.
9 Jurgen Habermas, Opcit, hal.225
10 Ibid., hal.298
Kesimpulan & Penutup
Tidak mudah memang mendiskusikan ruang dalam
media televisi. Terlebih tercampurnya ruang antara
kepentingan media dan kepentingan politik. Bahkan tidak
jarang kepentingan politik dibalut oleh keterampilan
permainan media. Hal ini buah dari silang sengkarutnya
kepemilikan media khususnya media televisi. ILC berada di
dalam riuh rendah itu. Dimana ruang diskusi hukum dan politik
ditata ulang dari diskusi serius dan kaku para advokat menjadi
diskusi yang membawa nilai pertunjukan dan dapat
dikonsumsi oleh khayalak.
Dalam pada itu, ILC tidak hanya memindahkan dan
memediasi ruang pengadilan kedalam ruang sosial. Akan
tetapi juga membawa ruang sosial masuk ke dalam ruang
media yang secara substansial merupakan ruang elit. Realitas
pun tidak lagi menjadi murni realitas sosial melainkan tergiring
kedalam realitas media. Percampuran multidimensi itu
diwarnai dengan lahir dan hadirnya tokoh-tokoh pembentuk
opini publik termasuk aktor media, advokat, politisi serta spin
doctor dari tim lawyer dan partai politik. Relasi antara aktor
media, lawyer, dan politisi membawa ketiganya kedalam
bentuk hubungan saling ketergantungan sekaligus saling
menguntungkan.
Berangkat dari pemaparan diatas, setidaknya tulisan
ini memiliki tiga simpulan sementara diantaranya yaitu,
pertama, jurnalisme politik pada program ILC tidak melahirkan
mediasi politik apapun melainkan menjadikan dirinya sebagai
“politisi media” dengan berbagai opini publik yang dirancang
oleh masing-masing aktor yang terlibat didalamnya. Kedua,
jurnalis politik pada program ILC merintis opini publik dengan
memilih isu & menyeleksi fakta sesuai dengan opini yang
akan dibangun. Hal ini persis dengan cara kerja spin doctor
yang berupaya mempertahankan atau meniadakan isu
berdasarkan kepentingannya sendiri. Ketiga, menjelang
pemilu 2014, akan banyak bermunculan spin doctor dengan
propaganda opini publik yang hyper construct. Hal ini tentu
bermuara pada menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson Benedict,(2001), Imagined Communities
Komunitas Komunitas Terbayang. Insist Press, Yogyakarta.
Baudrillard Jean,(2004), Masyarakat Konsumsi. Penerj. Wahyunto, Yogyakarta, Kreasi Wacana.
Bolter Jay David & Grusin Richard,(2000), Remediation;Understanding Media, USA: MIT Press.
Calabrese Andrew,(2004), Toward a Political
Economy of Culture Capitalism and
Communication in the Twenty-First Century.
United Kingdom, Rawman & Littlefield
Publisher.
Gigi Durham Meenakshi & M.Kellner Douglas, (2006). Media & Cultural Studies. UK, Blackwell Publishing.
Habermas Jurgen, The Structural Transformation
Of Public Sphere: An Inquiry into a
Category of Bourgeois Society. terj. Yudi
Santoso, Yogyakarta, Kreasi Wacana
Lafebvre Henri,( 1992), The Production of Space. Basil: Blackwell.
Littlejohn Stephen W, Foss Karen A,(2009), Encyclopedia of Communication Theory. London, Sage Publication.
Website:
www.tvonenews.tv diakses pada tanggal 25
Januari 2014.
www.youtube.com. Diakses pada tanggal 27
Januari 2014.