Post on 05-Dec-2015
description
1. Pengertian PPh Badan.
PPh Badan, yaitu pajak atas penghasilan yang diperoleh atau diterima badan usaha
yang bertempat kedudukan di Indonesia. Besarnya PPh yang terutang bergantung pada
jumlah besarnya laba sebelum pajak. Laba sebelum pajak dapat diketahui secara akurat
jika pembukuan yang dilakukan oleh WP telah sesuai dengan ketentuan prinsip akuntansi
berlaku umum.
2. Pembukuan Sebagai Dasar Perhitungan Pajak.
Pembukuan sebagai dasar perhitungan pajak menurut UU No. 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU NO. 36 Tahun 2008,
dalam pasal 16 menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menghitung besarnya
penghasilan kena pajak adalah:
Penghasilan bruto dikurangi dengan biaya dan beban seperti yang dimaksud pada
pasal 4 ayat (1), pasal 6 dan pasal 9, dan untuk bentuk usaha tetap (BUT)
disebutkan pada pasal 5 ayat (2) dan ayat (3).
Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa dasar yang dapat digunakan untuk
memperoleh besaran laba kena pajak (penghasilan kena pajak) adalah dengan cara
penghasilan bruto dikurangi dengan biaya dan beban, cara demikian ini tidak lain adalah
pembukuan. Dalam pembukuan ini informasi yang terpenting untuk menghitung PPh yang
terutang, yaitu penghasilan dan biaya. Proses mat-ching antara penghasilan dengan biaya
terrefleksikan dalam laporan perhitungan Laba-Rugi Badan Usaha.
3. Klasifikasi Penghasilan Dan Biaya.
1. Penghasilan di dalam perpajakan dapat membedakan menjadi 3 kelompok, yaitu:
a. Penghasilan, Obyek Pajak Penghasilan.
b. Penghasilan, bukan Obyek Pajak Penghasilan.
c. Penghasilan Kena Pajak secara Final.
2. Sedangkan biaya dikalsifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu:
a. Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya.
b. Pengeluaran yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
copyright@siskapurwanti
PERTEMUAN 1 & PERTEMUAN 2
1. Subyek PPh Badan sebagai berikut.
1. PT (Perseroan Terbatas).
2. Perseroan Komanditer.
3. Perseroan lainnya.
4. BUMD dengan nama dan bentuk apa pun.
5. Firma.
6. Kongsi.
7. Koperasi.
8. Dana Pensiun.
9. Persekutuan (CV)
10. Perkumpulan.
11. Yayasan.
12. Organisasi Masa.
13. Organisasi Sosial Politik.
14. Lembaga
15. BUT (Bentuk Usaha Tetap).
16. Reksadana.
17. Dll.
2. Unit tertentu dari pemerintah yang memenuhi kriteria berikut ini adalah yang
tidak termasuk sebagai Subyek Pajak adalah:
1. Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN dan APBD.
3. Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat
maupun Daerah.
4. Pengawasannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
3. Pembagian Subyek Pajak Badan
Uraian SPDN
(Subyek Pajak Dalam Negeri)
SPLN
(Subyek Pajak Luar Negeri)
Definisi Badan yang didirikan atau Badan yang tidak didirikan
copyright@siskapurwanti
PERTEMUAN 3 & PERTEMUAN 4
bertempat kedudukan di Indonesia
Saat dimulainya
dan berakhirnya
kewajiban
subyektif
Dimulai pada saat badan tersebut
didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia
Dimulai secara otomatis pada
saat menjalankan usaha
melalui BUT ataupun pada
saat menerima dan
memperoleh penghasilan
Berakhir pada saat badan tersebut
dibubarkan atau tidak lagi
bertempat kedudukan di Indonesia
Berakhir pada saat tidak lagi
menjalankan usaha di
Indonesia dengan melalui BUT
atau tidak lagi menerima atau
memperoleh penghasilan
Obyek Pajak Penghasilan baik yang diterima
atau diperoleh dari Indonesia dan
dari luar Indonesia
Penghasilan yang berasal dari
sumber penghasilan di
Indonesia
Dasar Pengenaan
Pajak
Penghasilan netto dengan tarif
umum
Penghasilan bruto dengan tarif
pajak sepadan
Kewajiban
Pelaporan
Menyampaikan SPT sebagai
sarana untuk menetapkan Pajak
yang terutang dalam suatu tahun
pajak
Tidak wajib menyampaikan
SPT, karena kewajiban
pajaknya dipenuhi melalui
pemotongan pajak yang
bersifat final.
4. Non Subyek Pajak
Non Subyek Pajak Badan, yaitu:
1. Badan Perwakilan Negara Asing
2. Organisasi-organsasi internasional dengan syarat:
- Indonesia menjadi salah satu organisasi tersebut.
- Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal
dari iuran para anggota.
copyright@siskapurwanti
Pertemuan ke 4
5. Obyek PPh Badan / Penghasilan Badan Usaha (Pasal 4 UU PPh).
Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang
dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dalam konteks wajib pajak
badan, maka berikut ini termasuk pengertian penghasilan meliputi.
1. Laba Usaha.
2. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta.
3. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
4. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang.
5. Deviden, dengan nama dan bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
6. Royalty
7. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
8. Keuntungan karena pembebasan utang.
9. Keuntungan karena selisih krus mata uang asing.
10. Keutungan lebih karena penilaian kembali aktiva.
11. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak.
12. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
No. Jenis Obyek Pajak Keterangan Tarif
1. Hadiah langsung Non Obyek Pajak -
2. Hadiah undian Dipotong PPh Final 25%
3.
Hadiah penghargaan sehubungan
dengan pekerjaan, kegiatan atau
perlombaan uang
diperoleh/diterima oelh WP
Orang pribadi.
Dipotong PPh Pasal 21 Tarif progresif
sesuai dengan
pasal 17 UU
PPh
copyright@siskapurwanti
4.
Hadiah/peghargaan sehubungan
dengan kegiatan, atau perlombaan
yang diperoleh/diterima oleh WP
Badan.
Dipotong PPh Pasal 23 15%
5.Hadiah penghargaan yang
diperoleh/diterima oleh WPLN.
Dipotong PPh Pasal 26 20%
6. Penghasilan Bukan Obyek Pajak.
1. Bantuan atau sumbangan, dan harta hibahan yang diterima.
2. Warisan.
3. Harta setoran tunai sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
4. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia.
5. Bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana.
6. Bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari
perusahaaan pasangannya.
7. Pengeluaran yang Dapat Dibebankan Sebagai Biaya.
Biaya adalah pengeluaran yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha
atau kegiatan usaha dalam rangka untuk memperoleh, mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan. Karena penghasilan ada yang dikelompokkan sebagai
penghasilan bukan obyek pajak, maka penghasilan yang dimasukkan dikurangi biaya ini
adalah penghasilan yang merupakan obyek pajak, dan pembebanannya dapat dilakukan
dalam tahun pengeluaran atau selama manfaat dari pengeluaran tersebut. Berikut
pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan mengurangi penghasilan bruto, meliputi.
1. Biaya untuk mendapatkan atau memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan.
2. Penyusutan.
3. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan.
4. Kerugian karena selisih krus mata uang asing.
5. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
6. Biaya beasiswa, magang, pelatihan.
8. Pengeluaran yang Tidak Diperkenankan Mengurangi Penghasilan Bruto.
copyright@siskapurwanti
Pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto atau tidak dapat
dibebankan sebagai biaya adalah pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan yang bukan merupakan obyek pajak, atau pengeluaran tidak
dilakukan tidak dalam batas-batas kewajaran sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang
baik. Berikut pengeluaran-pengeluaran yang tidak diperkenankan mengurangi penghasilan
bruto.
1. Pembagian laba dalam bentuk apapun.
2. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu/anggota.
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali bank, leasing dengan hak opsi,
usaha pertambangan, dan asuransi.
4. Premi asuransi yang dibayar oleh WP Orang Pribadi, kecuali dibayar pemberi kerja.
5. Pemberian dalam bentuk natura.
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pihak yang punya hubungan
istimewa dengan pekerjaan.
7. Harta yang dihibahkan, bantuan/sumbangan dan warisan.
8. PPh.
9. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi yang menjadi tanggungannya.
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan firma dan CV yang modalnya tidak
terbagi atas saham.
11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda di bidang perpajakan.
copyright@siskapurwanti
1. Wajib Pajak Badan.
Sebyek pajak badan dapat dikategorikan sebagai berikut.
a. Sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun tidak melakukan usaha.
b. Badan yang tidak didirikan/bertempat kedudukan di Indonesia dan beroperasi
melalui Badan Usaha Tetap (BUT).
2. Kewajiban perpajakan Wajib Pajak Badan.
a. Kewajiban mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak Badan.
Dalam hal ini mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP (Nommor Pokok Wajib
Pajak) dan apabila wajib pajak badan melakukan kegiatan penyerahan barang kena
pajak atau ekspor barang kena pajak yang terutang PPN berdasarkan UU PPN 1984,
maka wajib pajak badan tersebut memiliki kewajiban untuk dikukuhkan menjadi
pengusaha kena menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
b. Kewajiban untuk Menyelenggarakan Pembukuan.
Sebagaimana terdapat pada pasal 28 ayat (1) UU KUP, yaitu WP orang pribadi
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan WP badan di Indonesia, wajib
menyelenggarakan pembukuan.
Pembukuan:
Menurut UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
Pembukuan adalah proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mendapatkan
data & informasi keuangan yang meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang, modal,
penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang
terutang maupun tidak terutang PPN, yang dikenakan PPNdengan tariff 0% (nol persen)
dan dikenakan PPnBM, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca
dan perhitungan rugi/laba pada saat tahun pajak berakhir.
copyright@siskapurwanti
PERTEMUAN 5 & PERTEMUAN 6
Ketentuan Pembukuan:
Pembukuan tersebut harus diselenggarakan dengan:
a. Memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang
sebenarnya.
b. Harus diselenggarakan di Indonesia, dengan menggunakan huruf latin, angka Arab,
satuan maata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing yang
diizinkan oleh Menkeu.
c. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dengan stetsel akrual dan stetsel kas.
d. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun harus mendapatkan
persetujuan dari Dirjen Pajak.
Prinsip Taat Asas:
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan
tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah pergeseran laba atau rugi. Misalnya, dalam
penerapan : stetsel pengakuan penghasilan, tahun buku, metode penilaian, metode
penyusutan dan amortisasi.
3. Kewajiban Melakukan Pemotongan dan Pemungutan, diantarannya yaitu:
a. Kewajiban pajak sendiri (seperti PPh Pasal 25/29);
b. Kewajiban memotong atau memungut (pot/put) pajak atas penghasilan orang lain
misalnya, PPh pasal 21/26, PPh pasal 22, PPh pasal 23/26, dan PPh Final); dan
c. Kewajiban memungut PPN dan atau PPnBm (jika ada) yang khusus berlaku bagi
Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Jenis-jenis pajak yan menjadi kewajiban Wajib Pajak Badan secara umum bisa
diuraikan sebagai berikut.
1) PPh Pasal 21/Pasal 26, yaitu PPh yang wajib dipotong atas penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima atau diperoleh orang pribadi,
sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UU PPh. Wajib Pajak Badan wajib melakukan
pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan para karyawan yang bekerja di
perusahaan tersebut maupun penghasilan orang pribadi lainnya, seperti tenaga ahli
yang dibayar atau terutang oleh perusahaan. Dalam hal terdapat pembayaran
penghasilan, yang termasuk obyek PPh Pasal 21, kepada orang pribadi yang
copyright@siskapurwanti
berstatus WP luar negeri, PPh yang dipotong mengacu pada ketentuan pasal 26 UU
PPh atau berdasarkan tax treaty.
Kewajiban:
a) SPT Masa PPh pasal 21/26 pada setiap Masa Pajak. Merupakan pelaporan atas
PPh pasal 21 yang telah dihitung dan disetor oelh WP Pajak Badan, yang
terutang pada setiap masa pajak. PPh Pasal 26 yang terutang atas pembayaran
kepada orang pribadi yang berstatus Wajib Pajak Luar Negeri juga wajib
dilaporkan pada SPT Masa PPh Pasal 21. Pada dasarnya, PPh pasal 21 yang
dilaporkan dalam SPT masa merupakan angsuran atau pajak dibayar di muka
untuk PPh Pasal 21 yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.
b) SPT Masa PPh Pasal 21/26 pada setiap masa pajak.
Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah dihitung dan dilunasi pada
suatu tahun pajak, termasuk PPh pasal 26 yang terutang atas penghasilan orang
pribadi berstatus WP luar negeri. SPT masa PPh pasal 21 untuk akhir tahun
pajak sebenarnya merupakan perhitungan ulang atas PPh pasal 21 yang telah
dilaporkan dalam SPT Masa PPh pasal 21 untuk masa pajak Januari sampai
dengan Desember. Bisa jadi, pada SPT Masa PPh pasal 21 pada akhir tahun
pajak nantinya timbul kurang bayar, atau lebih bayar, atau mungkin juga nihil
(PPh Pasal 21 yang terutang).
2) PPh pasal 23, yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa deviden, royalty,
bunga, hadiah dan penghargaan selain yang telah dikenakan PPh pasal 21, sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, serta imbalan jasa
sehubungan dengan jasa-jasa seperti jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan,
dan jasa lain, yang ditetapkan dalam ketentuan pasal 23 UU PPh.
3) PPh pasal 26, yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa deviden: bunga,
royalty, sewa dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta, imbalan
sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, serta
pension dan pembayaran berkala lainnya yang diterima/diperoleh WP luar negeri.
Ketentuan ini diatur dalam pasal 26 UU PPh.
Perhitungan dan penyetoran PPh pasal 26 sebaiknya tetap dilakukan secara
tersendiri, meskipun untuk pelaporannya digabungkan dengan PPh pasal 21 atau
PPh pasal 23, tergantung pada jenis obyek pajaknya serta penerima penghasilannya;
copyright@siskapurwanti
a) Jika obyek pajaknya cenderung sama dengan PPh pasal 21 dan peneria
penghasilannya adalah orang pribadi berstatus WP luar negeri, maka
pelaporannya melalui SPT Masa PPh pasal 21 dan atau Pasal 26;
b) Jika penerima penghasilannya berbentuk badan dan berstatus WP Luar negeri,
pelaporannya melalui SPT Masa PPh Pasal 23 dan atau Pasal 26.
4) PPh Final, yaitu PPh yang dipotong atas jenis penghasilan tertentu atau jenis usaha
tertentu yang diatur secara khusus (special treatment) melalui peraturan pemerintah.
Misalnya, PPh final atas persewaan tanah dan atau bangunan. Jadi, seandainya WP
Badan menyewa gedung dari pihak lain untuk dipergunakan sebagai kantor, maka
WP Badan wajib memotong, menyetor, dan melaporkan PPh Final yang terutang
atas sewa kantor tersebut.
5) PPh Pasal 25, yaitu pembayaran angsuran PPh dalam tahun berjalan yang harus
dibayar sendiri oleh WP untuk setiap bulan. Besarnya PPh pasal 25 yang wajib
disetor setiap bulan dihitung berdasarkan ketentuan pasal 25 UU PPh beserta
ketentuan pelaksanaannya.
6) PPh Pasal 29, yaitu kewajian untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang
terutang pada akhir tahun pajak, dengan memperhitungkan kredit pajak berupa
angsuran PPh pasal 25 yang telah disetor setiap bulan dan PPh telah
dipotong/dipuntut oleh pihak lain.
7) PPN, yaitu pemungutn pajak atas penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) atau JKP
(Jasa Kena Pajak) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) di dalam
Daerah Pabean, yang meliputi suatu masa pajak. Dalam hal BKP tergolong barang
mewah, terdapat Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn Bm) yang juga terutang
sesuai dengan ketentuan berlaku.
7. Kewajiban Menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT).
8. Kewajiban Membayar dan Menyetorkan Pajak.
9. Kewajiban Membuat Faktur Pajak.
10. Kewajiban Melunasi Bea Materai.
11. Kewajiban menaati pemeriksaaan pajak.
copyright@siskapurwanti
KASUS PERHITUNGAN KOMPENSASI KERUGIAN
PT Sejahtera
Laba-Rugi fiskal
Tahun 2000-2007
Tahun
PajakLaba/Rugi Rp
Kompensasi Kerugian
2000 2001 2002
2000 (1.100.000.000) - - -
2001 ( 300.000.000) (1.100.000.000) - -
2002 ( 150.000.000) (1.100.000.000) (300.000.000) -
2003 100.000.000 (1.000.000.000) (300.000.000) (150.000.000)
2004 200.000.000 (800.000.000) (300.000.000) (150.000.000)
2005 300.000.000 (500.000.000) (300.000.000) (150.000.000)
2006 400.000.000 - - (50.000.000)
2007 500.000.000 - - -
Penjelasan:
RUGI FISKAL TAHUN 2000
Rugi fiskal tahun 2000 mulai dikompensasikan di tahun 2001, karena tahun 2001-
2002 PT Sejahtera masih mengalami rugi, sisa rugi fiskal 2000 diakhir tahun 2000
masih tetap Rp1.100.000.000,00.
Pada tahun 2003 sisa rugi fiskal tahun 2000 berkurang menjadi sebesar
Rp1.000.000.000,00.
Untuk tahun 2004 rugi fiskal tahun 2000 juga menurun menjadi Rp800.000.000,00,
karena laba fiskal PT Sejahtera sebesar Rp200.000,00.
Untuk tahun 2005 rugi fiskal tahun 2000 menurun lagi menjadi Rp500.000.000,00,
karena laba fikal PT Sejahtera sebesar Rp300.000.000,00.
Untuk tahun 2006, sisa rugi fiskal tahun 2000 sebesar Rp500.000.000,00 tidak bisa
diperhitungkan lagi karena pengompensasiannya sudah lebih dari 5 tahun.
copyright@siskapurwanti
PERTEMUAN 10 & PERTEMUAN 11
RUGI FISKAL TAHUN 2001
Rugi fiskal tahun 2001 mulai bisa dikompensasikan di tahun 2002.
Pada tahun 2003-2005 sisa rugi fiskal masih tetap Rp300.000.000,00 meskipun tahun
2004-2005 PT Sejahtera sudah mengalami laba. Akan, tetapi laba tersebut sudah
terpakai untuk menutupi kerugian fiskal tahun 2000.
Pada tahun 2006 sisa rugi fiskal 2000 sebesar Rp300.000.000,00 habis terpakai karena
dikompensasikan ke laba tahun 2006 yang nilainua Rp400.000.000,00.
RUGI FISKAL TAHUN 2002
Rugi fiskal tahun 2002 mulai dapat dikompensasikan pada tahun 2003 dan baru
berkurang menjadi Rp50.000.000,00. Pada tahun 2006 karena sisa laba fiskal tahun
2006 setelah dikompensasikan dengan rugi fiskal 2001 sebesar Rp100.000.000,00.
Pada tahun 2007 rugi fiskal telah habis dikompensasikan dan PT Sejahtera sudah
harus membayar PPh Badan.
copyright@siskapurwanti
1. Laba Fiskal adalah laba yang dihitung berdasarkan ketentuan dan peraturan undang-
undang perpajakan. Laba fiskal ini juga dikenal sebagai laba kena pajak atau penghasilan
kena pajak. Laba kena pajak ini digunakan untuk menghitung pajak penghasilan yang
terutang.
2. Koreksi Fiskal, bertujuan untuk menyesuaikan laba komersial (yaitu, laba yang dihitung
menurut Prinsip Akuntansi Berlaku Umum/PABU) dengan ketentuan-ketentuan
perpajakan sehingga diperoleh laba fiskal. Laporan perhitungan laba-rugi yang dibuar
perusahaan merupakan laporan keuangan yang disusun berdasarkan PABU. Oleh karena
itu, agar dapat agar dapat menghitung besarannya pajak penghasilan yang terutang,
perusahaan harus melakukan penyesuaian laporan perhitungan laba-rugi tersebut agar
sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan perpajakan. Langkah
penyesuaian ini dilakukan dengan cara mencari pos-pos rekening yang berbeda perlakuan
antara prinsip akuntansi berlaku umum dengan ketentuan peraturan undang-undang
perpajakan. Pos-pos rekening ini yang berlaku dilakukan koreksi fiskal.
3. Timbulnya Koreksi Fiskal, hal-hal yang menimbulkan perbedaan antara PABU dengan
UU Perpajakan antara lain:
a. Perbedaan Konsep Penghasilan;
Contoh:
(1) Deviden yang diterima oleh PT, Yayasan, Koperasi, BUMN, BUMD,
(2) Sisa cadangan kerugian piutang bagi Bank, Leasing, dan Asuransi.
b. Perbedaan Cara Pengukuran Penghasilan.
Contoh :
Penjualan diukur sebesar jumlah yang dibebankan kepada pembeli tidak melihat apakah
ada hubungan istimewa atau tidak.
c. Perbedaan Konsep Biaya.
Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah semua pengorbanan ekonomis
dalam rangka memperoleh barang dan jasa. Tidak terbatas hanya biaya untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan saja. Singkatannya, biaya menurut
copyright@siskapurwanti
PERTEMUAN 10 & PERTEMUAN 11
pajak adalah pengeluaran-pengeluaran yang ada kaitan langsung dengan perolehan
penghasilan.
d. Perbedaan Cara Pengukuran Biaya.
Sama dengan cara pengukuran penghasilan, jika ada transaksi yang tidak wajar karena
hubungan istimewa maka transaksi tersebut harus dikoreksi.
e. Perbedaan Cara Pembebanan atau Alokasi Biaya.
Contoh :
(1) Penyusutan, hanya metode garis Lurus dan Saldo Menurun dengan tarif yang telah
ditentukan.
(2) Pengakuan kerugian piutang hanya dengan metode langsung.
(3) Penilaian persediaan hanya menggunakan metode rata-rata dan FIFO.
f. Adanya penghasilan yang kena pajak penghasilan secara final. Penghasilan yang
dikenakan pajak secara final berarti telah diperhitungkan pajak penghasilannya
sehingga tidak perlu diperhitungkan lagi dalam menghitung pajak penghasilan di akhir
tahun maka harus dikeluarkan dari laporan perhitungan laba-rugi.
4. Jenis Koreksi Fiskal.
a. Koreksi Fiskal Positif.
Koreksi fiskal positif (FKP) adalah koreksi fiskal yang menambah besarnya laba kena
pajak.
b. Koreksi Fiskal Negatif.
Koreksi fiskal negatif (FKN) adalah koreksi fiskal yang mengurangi laba kena pajak.
5. Kertas Kerja
No. Nama RekeningLap. Keu
Komersial
Koreksi Fiskal Lap. Keu.
FiskalPositif Negatif
copyright@siskapurwanti
6. Contoh Kasus
PT MICHELIN Tbk yang berdiri 1 Januari 2005 berusaha di bidang pertemuan. Berikut
ini laporan laba-rugi yang berakhir 31 Desember 2009:
PT MICHELIN Tbk
Laporan Perhitungan Laba-Rugi
Per 31 Desember 2009
Penjualan Rp765.300.000,00
HPP (450.000.000,00)
Laba Kotor Rp315.300.000,00
Total Biaya Usaha (212.900.000,00)
Laba Sebelum Pajak Rp102.400.000,00
Pajak Penghasilan ( 13.220.000,00)
Laba Setelah Pajak Rp 89.180.000,00
Total Biaya Usaha tersebut teridiri dari :
a. Gaji Karyawan Rp120.000.000,00
b. Penyusutan mesin Rp 10.000.000,00
c. Penyusutan gedung Rp 25.000.000,00
d. Penyusutan tanah Rp 2.000.000,00
e. Biaya pengeluaran saham Rp 500.000,00
f. Premi asuransi kebakaran Rp 200.000,00
g. Sumbangan korban Merapi Rp 100.000,00
h. Piutang ragu-ragu Rp 500.000,00
i. Cadangan umum Rp 20.000.000,00
j. Deviden yang dibayar Rp 30.000.000,00
k. PPh Pasal 25 yang dibayar Rp 4.600.000,00
Rp212.900.000,00
Informasi Tambahan:
1) Dalam jumlah gaji karyawan sebesar Rp120.000.000,00 termasuk juga pengeluaran
pribadi direktur utama sebesar Rp150.000,00 sebulan untuk biaya sopir dan iuran
copyright@siskapurwanti
asuransi kecelakaan dan kematian karyawan Rp10.000.000,00 dan beras yang
dibagikan kepada karyawan Rp2.000.000,00.
2) Hasil stock opname ditemukan nilai persediaan akhir lebih tinggi Rp50.000.000,00
dari nilai yang dilaporkan dalam laporan laba-rugi.
3) Harga perolehan mesin adalah Rp50.000.000,00 dan disusutkan setahun 20% (metode
saldo menurun), mesin tersebut memiliki masa manfaat 4 tahun.
4) Gedung dengan harga perolehan Rp250.000.000,00 disusutkan sebesar 10% setahun
(metode garis lurus).
5) Tanah disusutkan 2% setahun (metode garis lurus).
6) Piutang ragu-ragu dihapuskan karena yang bersangkutan ternyata telah meninggalkan
Indonesia untuk selamanya tanpa diketahui alamatnya.
7) Cadangan umum adalah penyisihan laba untuk tujuan umum (merupakan
pembentukan cadangan).
Diminta : buatlah laporan rekonsiliasi fiskal, dan hitunglah PPh yang masih harus dibayar.
(a) Buatlah kertas kerja koreksi untuk menghitung laba-rugi fiskal PT MICHELIN Tbk
per 31 Desember 2009!
(b) Tentukan besarnya PPh yang terutang dan PPh yang masih harus dibayar oleh PT
MICHELIN Tbk untuk masa pajak 2009!
copyright@siskapurwanti
Tarif pajak PPh Badan digunakan untu menghitung PPh Badan terutang. Tarif paja PPh
Badan adalah berdasarkan pasal 17 dan pasal 31 E UU No. 36 Tahun 2008 tentang pajak
penghasilan, yaitu sebagai berikut.
- Tarif pajak untuk tahun pajak 2009 adalah sebesar 28%.
- Tariff pajak untuk tahun pajak 2010 dan 2011 serta tarif pajak penghasilan badan (PPh
Badan) SPT Tahunan PPh Badan 2012 dan seterusnya adalah sebesar 25%.
- Wajib pajak dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40%
(empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di
bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperolej
tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif tersebut yang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
- Wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan
tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif tersebut (28% atau 25%) yang
dikenakan atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus rupiah).
- Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah penghasilan kena pajak dibulatan ke
bawah dalam ribuan rupiah penuh.
copyright@siskapurwanti
PERTEMUAN 12 & PERTEMUAN 13
1. Untuk peredaran usaha bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 tarif PPh Badan
dikenakan sebesar 25% x 50% x Penghasilan Kena Pajak.
Contoh Perhitungan:
PT ABC yang bergerak dibidang perdagangan dalam Tahun Pajak 2012 mempunyai
data sebagai berikut.
Peredaran Bruto dari Penghasilan yang :
- Dikenai PPh bersifat final 1.500.000.000,00
- Bukan obyek pajak 500.000.000,00
- Dikenai PPh tidak bersifat final 2.500.000.000,00
Jumlah 4.500.000.000
Kompensasi kerugian tahun 2011 700.000.000
Kredit Pajak:
- PPh Pasal 22
- PPh Pasal 23
- PPh Pasal 25
22.000.000
25.000.000
3.000.000
Jumlah 50.000.000,00
Maka Perhitungan PPh Badan adalah sebagai berikut.
Peredaran Bruto dari Penghasilan yang :
- Dikenai PPh bersifat final 1.500.000.000,00
- Bukan obyek pajak 500.000.000,00
- Dikenai PPh tidak bersifat final 2.500.000.000,00
Jumlah 4.500.000.000
Biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan usaha
yang:
- Dikenai PPh bersifat final ( 450.000.000,00)
- Bukan obyek pajak ( 200.000.000,00)
- Dikenai PPh tidak bersifat final (1.350.000.000,00)
Jumlah (2.000.000.000,00)
copyright@siskapurwanti
PERTEMUAN 14 & PERTEMUAN 15
Laba Usaha (Penghasilan Netto Usaha) 2.500.000.000,00
Penghasilan dari Luar Usaha yang:
- Dikenai PPh bersifat final 50.000.000,00
- Dikenai PPh tidak bersifat final 100.000.000,00
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan dari luar usaha
yang:
- Dikenai PPh bersifat final ( 25.000.000,00)
- Dikenai PPh tida bersifat final ( 50.000.000,00)
Penghasilan neto dari luar usaha 75.000.000,00
Jumlah Seluruh Penghasilan Netto 2.575.000.000
Koreksi Fiskal:
Peredaran bruto dari penghasilan yang dikenai
PPh bersifat final
(1.500.000.000,00)
Peredaran bruto dari penghasilan yang bukan
obyek pajak
( 500.000.000,00)
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan usaha yang dikenai
PPh bersifat final.
450.000.000,00
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan usaha bukan obyek
pajak.
200.000.0000,00
Peredaran dari luar usaha yang dikenai PPh
bersifat final
( 50.000.000,00)
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan dari luar usaha yang
dikenai PPh bersifat final.
25.000.000,00
Jumlah (1.375.000.000,00)
Jumlah seluruh penghasilan netto setelh
koreksi fiskal
1.200.000.000
Kompensasi kerugian (700.000.000)
PKP 500.000.000,00
PPh terutang (50% x 25%) x 500.000.000,00 62.500.000,00
Kredit Pajak :
- PPh Pasal 22
- PPh Pasal 23
22.000.000,00
25.000.000,00
copyright@siskapurwanti
- PPh Pasal 25 3.000.000,00
Jumlah 50.000.000,00
PPh Kurang Bayar/PPh Pasal 29
(62.500.000 ,00 – 50.000.000,00)
12.500.000,00
- Untuk peredaran Usaha di atas Rp4.800.000.000,00 sampai dengan
Rp50.000.000.000,00.
Tariff PPh Badan dikenakan sebesar:
1. Bagian peredaran usaha bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00.
25% x 50% x penghasilan kena pajak (bagian peredaran bruto
Rp4.800.000.000,00)
2. Bagian peredaran usaha bruto di atas Rp4.800.000.000,00 sampai dengan
Rp50.000.000.000,00.
25%% x PKP (bagian peredaran usaha bruto di atas Rp4.800.000.000,00 sampai
dengan Rp50.000.000.000,00)
Contoh :
PT ABC yang bergerak dibidang perdagangan dalam tahun pajak 2012 mempunyai data
sebagai berikut.
Peredaran Bruto dari Penghasilan yang :
- Dikenai PPh bersifat final 1.500.000.000,00
- Bukan obyek pajak 500.000.000,00
- Dikenai PPh tidak bersifat final 5.500.000.000,00
Jumlah 7.500.000.000,00
Kompensasi kerugian tahun 2011 700.000.000,00
Kredit Pajak:
- PPh Pasal 22
- PPh Pasal 23
- PPh Pasal 25
22.000.000,00
25.000.000,00
3.000.000,00
Jumlah 50.000.000,00
Maka Perhitungan PPh Badan adalah sebagai berikut.
Peredaran Bruto dari Penghasilan yang :
copyright@siskapurwanti
- Dikenai PPh bersifat final 1.500.000.000,00
- Bukan obyek pajak 500.000.000,00
- Dikenai PPh tidak bersifat final 5.500.000.000,00
Jumlah 7.500.000.000,00
Biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan usaha
yang:
- Dikenai PPh bersifat final ( 450.000.000,00)
- Bukan obyek pajak ( 200.000.000,00)
- Dikenai PPh tidak bersifat final ( 3.350.000,00)
Jumlah (4.000.000.000,00)
Laba Usaha (Penghasilan Netto Usaha) 3.500.000.000,00
Penghasilan dari Luar Usaha yang:
- Dikenai PPh bersifat final 50.000.000,00
- Dikenai PPh tidak bersifat final 100.000.000,00
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan dari luar usaha
yang:
- Dikenai PPh bersifat final (25.000.000,00)
- Dikenai PPh tida bersifat final (50.000.000,00)
Penghasilan neto dari luar usaha 75.000.000,00
Jumlah Seluruh Penghasilan Netto 3.575.000.000,00
Koreksi Fiskal:
Peredaran bruto dari penghasilan yang dikenai
PPh bersifat final
(1.500.000.000,00)
Peredaran bruto dari penghasilan yang bukan
obyek pajak
( 500.000.000,00)
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan usaha yang dikenai
PPh bersifat final.
450.000.000,00
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan usaha bukan obyek
pajak.
200.000.000,00
copyright@siskapurwanti
Peredaran dari luar usaha yang dikenai PPh
bersifat final
( 50.000.000,00)
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan dari luar usaha yang
dikenai PPh bersifat final.
25.000.000,00
Jumlah (1.375.000.000,00)
Jumlah seluruh penghasilan netto setelh
koreksi fiskal
2.200.000.000,00
Kompensasi kerugian ( 700.000.000,00)
PKP 1.500.000.000,00
PPh terutang (50% x 25%) x
((4.800.000.000/5.500.000.000) x
1.500.000.000)) = XY
XY +YZ
XYZ
Kredit Pajak :
- PPh Pasal 22
- PPh Pasal 23
- PPh Pasal 25
22.000.000,00
25.000.000,00
3.000.000,00
Jumlah 50.000.000,00
PPh Kurang Bayar/PPh Pasal 29 (XYZ –
50.000.000,00)
PPh Pasal 29
- Untuk peredaran usaha bruto di atas Rp50.000.000.000,00.
Tarif PPh Badan dikenakan sebesar :
25% x PKP
Setelah dihitung dan diketahui nilai PPh Badan yang masih harus dibayar maka hasil
perhitungan tersebut dapat dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan 2012 paling lambat 30
April 2012.
copyright@siskapurwanti