Post on 15-Oct-2021
28
Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38
Razi Ageng Pratama1, Buyung Hartiyo Laksono2, Arie Zainul Fatoni2
1PPDS Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK Universitas Brawijaya / RSUD dr. Saiful Anwar, Malang, Indonesia
2Konsultan Intensive Care Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK Universitas Brawijaya/ RSUD dr. Saiful Anwar, Malang,
Indonesia
PENDAHULUAN
Nyeri akut pasca kraniotomi sering
diasumsikan memiliki tingkat nyeri yang lebih
rendah dibandingan tindakan operasi lainnya.
Beberapa alasan yang mendasari yakni sedikitnya
jumlah reseptor nyeri dalam dura, ketidakpekaan
nyeri pada otak, berkurangnya densitas serat nyeri
di sepanjang garis sayatan operasi, dan
berkembangnya autoanalgesia. Oleh karena itu,
nyeri pasca kraniotomi sering kali diabaikan.1,2
Proses sayatan fisik, traksi dan hemostasis yang
digunakan dalam kraniotomi merangsang
penghentian saraf dan nosiseptor spesifik yang
menyebabkan nyeri pasca operasi. Dilaporkan 60-
84% pasien yang menjalani kraniotomi mengalami
nyeri bervariasi dari ringan hingga berat.3 Lebih
spesifik lagi, Tsaori tahun 2016 menjabarkan sekitar
60% pasien pasca kraniotomi yang mengalami nyeri
sedang atau berat berada pada periode akut pasca
SUMMARY
A craniotomy is a standard neurosurgical procedure that involves drilling a sufficient hole in the skull
(cranium) for optimal access to the intracranial. Post-craniotomy pain is a frequent complication of
neurosurgical procedures and is difficult to manage. Pain management is essential to avoid chronic
pain and complications such as hypertension and vomiting, increasing intracranial pressure or causing
intracranial bleeding, unfavorable patient outcomes, and increasing the length of hospitalization. The
selection of drugs in acute pain management for post-craniotomy patients is essential to determine
patient morbidity and mortality.
Keywords: craniotomy, pain management
RANGKUMAN
Kraniotomi adalah sebuah prosedur operasi umum divisi bedah saraf yang melibatkan pembuatan
lubang yang cukup pada tempurung kepala atau tengkorak (cranium) untuk akses optimal ke
intrakranial. Nyeri pasca kraniotomi adalah komplikasi berulang dari prosedur bedah saraf dan sulit
untuk dikelola. Manajemen nyeri akut sangat penting untuk menghindari terjadinya nyeri kronik
serta komplikasi seperti hipertensi dan muntah, yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial maupun perdarahan intrakranial, outcome pasien yang tidak baik, dan perpanjangan
masa rawat inap. Pemilihan obat dalam manajemen nyeri akut pasien pasca kraniotomi merupakan
hal yang sangat penting dikarenakan dapat menentukan morbiditas dan mortalitas pasien.
Kata kunci: kraniotomi, manajemen nyeri
Korespondensi:
dr. Razi Ageng
Pratama*
PPDS Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUB, Malang Indonesia
e-mail: ziianestesi@gmail.com
Tinjauan Pustaka
Journal of Anaesthesia and Pain, 2020, Volume: 1, No.3: 28-38 P-ISSN : 2722-3167 https://jap.ub.ac.id E-ISSN : 2722-3205
Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi Post-Craniotomy Acute Pain Management
29
Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38
operasi. Mordhorst tahun 2010 menunjukkan bahwa
dalam 24 jam pasca kraniotomi terdapat 87% pasien
yang melaporkan nyeri. Flexman tahun 2010
menjabarkan 80% pasien mengalami nyeri akut
pasca kraniotomi.2,4,5
Nyeri pasca kraniotomi merupakan
komplikasi berulang dari prosedur bedah saraf yang
sulit untuk ditangani. Perbedaan lokasi dan teknik
bedah dapat menyebabkan nyeri pasca kraniotomi
dengan intensitas yang berbeda.3,6 Manajemen nyeri
yang tidak adekuat mengakibatkan pasien
mengalami rasa sakit (seringkali parah) terus
menerus terutama pada jam pertama pasca operasi
yang dapat terjadi berkepanjangan hingga hari
pertama atau kedua pasca operasi. Selain itu,
beberapa komplikasi yang dapat terjadi seperti
agitasi, muntah, maupun hipertensi dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan
berpotensi mengakibatkan perdarahan intrakranial
sehingga outcome pasien menjadi tidak baik ,nyeri
kronik dan masa rawat inap yang lebih lama.1,5,6
Di sisi lain, upaya pengendalian nyeri
berlebihan dapat disertai dengan sedasi berlebihan
yang menyamarkan defisit neurologis onset baru
dan menghambat pemantauan respons neurologis.
Respirasi yang tertekan dapat menyebabkan
hiperkarbia yang meningkatkan volume darah otak
berakibat meningkatnya tekanan intrakranial (TIK).
Dengan tidak adanya pedoman berbasis bukti yang
kuat, manajemen nyeri pasca operasi yang tepat
pada kasus pasca kraniotomi sampai saat ini masih
sulit dilakukan. Sejumlah penelitian berbasis bukti
sering memberikan hasil kontradiktif sehingga
menyebabkan penggunaan tindakan terapeutik
tidak konsisten dan mengarah ke perawatan
suboptimal. Oleh karena itu, ulasan ini mencoba
untuk mengeksplorasi literatur yang relevan dan
berbagai pilihan terapeutik yang tersedia terkait
manajemen nyeri akut pasca kraniotomi.1,5
1. Definisi
1.1 Kraniotomi
Kraniotomi adalah sebuah prosedur operasi
umum divisi bedah saraf yang melibatkan
pembuatan lubang yang cukup pada tempurung
kepala atau tengkorak (cranium) untuk akses
optimal ke intrakranial. Kraniotomi dinamakan
sesuai dengan area tempurung kepala (cranium)
yang dibuka, dapat dilakukan secara intratentorial
maupun supratentorial, atau kombinasi dari
keduanya. Tindakan ini dilakukan sebagai terapi
pada tumor otak, hematoma, aneurisma, maupun
infeksi otak. Ukuran lebar kraniotomi bervariasi dari
beberapa milimeter (burr holes) sampai beberapa
sentimeter (keyhole), bergantung pada masalah dan
terapi yang dibutuhkan. Kraniotomi dilakukan
menggunakan pisau khusus, bagian cranium yang
telah dipotong (bone flap) dibuka agar pelindung
otak (dura) terlihat, dura kemudian juga dibuka
untuk mengekspos bagian otak. Di akhir prosedur,
bone flap diletakkan kembali dan ‘direkatkan’ pada
cranium menggunakan alat khusus.7
1.2 Nyeri akut pasca kraniotomi
Berdasarkan the International Headache
Society (IHS) nyeri pasca kraniotomi dibagi menjadi
acute postcraniotomy pain (ACP) dan chronic
postcraniotomy pain (CCP), tergantung durasi nyeri
yang dirasakan (lebih dari 3 bulan atau tidak). Acute
postcraniotomy pain / nyeri akut pasca kraniotomi
sebagian besar dirasakan terlokalisir pada area
insisi, sekitar regio oksipital dan leher, dan terutama
melibatkan otot perikranial serta jaringan lunak.
Intensitas waktu nyeri pasca kraniotomi paling berat
dirasakan dalam 48 jam pasca operasi.8,9 Adapun
kriteria nyeri akut pasca kraniotomi sesuai dengan
tabel 1.
Nyeri pasca kraniotomi biasanya berdenyut
atau pounding mirip dengan sakit kepala karena
tegang, terkadang bisa stabil dan berkelanjutan.
Kraniotomi infratentorial dikaitkan dengan penilaian
nyeri yang lebih tinggi dibandingkan pendekatan
supratentorial. Pada 25% kasus nyeri kepala pasca
kraniotomi berlanjut menjadi persisten dan biasanya
terletak di lokasi sayatan bedah (55%-79%),
meskipun beberapa menggambarkan nyeri bilateral
(36% -55%).1,9
30
Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38
Tabel 1. Klasifikasi nyeri pasca kraniotomi (Iturri dkk.,
2020)
Sakit kepala akut disebabkan oleh kraniotomi: Sakit
kepala bertahan kurang dari 3 bulan disebabkan
operasi kraniotomi
Kriteria diagnostik
A. Semua sakit kepala yang memenuhi kriteria C
dan D
B. Telah dilakukan operasi kraniotomi
sebelumnya
C. Sakit kepala yang dilaporkan berkembang
dalam 7 hari setelah salah satu kejadian
berikut:
Kraniotomi
Kesadaran kembali setelah kraniotomi
Penghentian obat-obatan
mengganggu kemampuan untuk
merasakan atau membuat sakit kepala
yang dilaporkan setelah kraniotomi
D. Salah satu dari:
Sakit kepala sembuh dalam 3 bulan
setelah onset
Sakit kepala tidak membaik tapi belum
melewati 3 bulan setelah onset
E. Tercatat tidak lebih baik dari diagnosis lain
pada International classification of headeache
Disorder (ICHD-3)
2. Anatomi dan persarafan tempurung otak
(cranium)
Tengkorak terdiri dari kerangka wajah dan
calvarium. Dasar tengkorak terbuka setelah
calvarium diangkat. Bagian dalam tengkorak terdiri
dari selaput fibrosa dan endokranium, yang
menyusun bagian luar dura yang berkelanjutan
dengan periosteum di permukaan luar tengkorak
dan menjadi perikranium. Kulit kepala terdiri dari
lima lapisan: kulit, jaringan subkutan, epikranium,
jaringan subaponeurotik areolar dan perikranium
(Gambar 1). Persarafan kulit kepala dan dura
meliputi: saraf trigeminal termasuk ganglionnya,
tiga divisi utama, dan cabang-cabangnya; tiga saraf
cervical bagian atas; batang simpatis cervical;
cabang minor dari vagus; cabang minor dari
hipoglosus dan beberapa saraf wajah serta
glosofaring. Serabut saraf katekolaminergik terdapat
dalam duramater cranium. Bagian basal lebih kaya
saraf dibandingkan calvarial (bagian atas dari
cranium). Selain itu, serabut saraf jauh lebih banyak
pada zona dural perivaskular dibandingkan zona
intervaskuler. Oleh karena itu, serabut saraf
katekolaminergik diduga terlibat dalam sakit
kepala.3,10,11
Dalam bentuk akut, sekitar 73% kasus
berupa nyeri superfisial, sedangkan 14% kasus
berupa nyeri superfisial dan dalam. Nyeri yang
bersifat superfisial diduga karena kurangnya
reseptor nyeri pada parenkim otak. Sehingga nyeri
pasca kraniotomi pasti berasal dari struktur
superfisial yaitu jaringan lunak dan jaringan
muskuler perikranial. Teori ini dibuktikan secara kuat
bahwa bagian subtemporal dan suboccipital
berhubungan dengan insiden tertinggi dari nyeri,
karena tekanan diberikan pada splenius capitis,
temporal, dan jaringan otot cervicis selama operasi.
Nyeri pasca kraniotomi termasuk nyeri nosiseptif
dan diinduksi oleh insisi dan refleksi dari otot
perikranial.8,11,12
(Lutman dkk., 2018)
Gambar 1. (a) potongan melintang dari kepala
(lapisan kulit kepala); (b) persarafan kulit kepala; (c)
pembuluh darah kulit kepala.
Beberapa variasi nyeri pasca kraniotomi
dapat dimengerti dengan memahami struktur
anatomi yang berkaitan. Suplai saraf yang mengarah
ke kulit kepala berasal dari cabang saraf pleksus
31
Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38
cervical dan nervus trigeminal. Pada supraorbital
dan supratrochlear saraf yang melewatinya adalah
dari nervus frontal (bagian dari saraf trigeminal)
yang menginervasi bagian anterior dari kulit kepala.
Pada zygomaticotemporal (bagian maxila dari
nervus trigeminal), saraf temporomandibular dan
saraf auriculotemporal (bagian mandibula dari saraf
trigeminal) mensuplai kulit kepala sisi temporal.
Cabang pleksus cervical, termasuk saraf auricular
yang lebih besar dan saraf yang lebih kecil, dan
lebih sedikit, dan sedikit bagian dari saraf oksipital
menginervasi kulit kepala oksipital. Percabangan
tersebut mendampingi arteri-arteri meningeal yang
menginervasi dura mater. Ujung saraf bebas dan
nosiseptor ini yang bertanggung jawab terhadap
nyeri. Nyeri pada kraniotomi adalah nyeri somatik
primer dan berasal dari kulit kepala, otot-otot
prekranial dan jaringan lunak. Manipulasi yang
dilakukan pada duramater selama proses operasi
mengaktivasi jalur nyeri. Stimulasi fisik yang
disebabkan oleh insisi dan traksi yang digunakan
dalam kraniotomi menstimulasi saraf terminal dan
nosiseptor spesifik mengakibatkan nyeri pasca
operasi. Nyeri pasca kraniotomi biasanya terkolalisir
pada tempat sayatan dan jaringan lunak di
sekitarnya, sedangkan yang bersifat generalisata
berasal dari dura.11,12
(Santos dkk., 2020)
Gambar 2. Manajemen nyeri akut pasca kraniotomi
Ya
Tidak
Perioperatif Pendekatan Intraoperatif Pendekatan Pascaoperasi
Pregabalin Box 1 Infiltrasi
intradermal scalp
dengan
bipuvacaine 0,5%
atau lidocaine 2%
Cryotherapy* Potensi
tromboemboli
atau hematoma
intracranial?
Gunakan Opioid
Gunakan NSAID
Moderate pain Severe pain
Codeine 30 – 60 mg
setiap 4-6 jam +
tramadol 50-100
mg setiap 4 – 6 jam
Morfin 10 mg
setiap 4 jam, dapat
disesuaikan dengan
intensitas nyeri
Mempertimbangka
n pemeriksaan
psikologi dan
rehabilitasi
fisioterapi
Acetaminophen dan
dipyrone (lihat box 2)
Tanpa perbaikan,
pertimbangkan box 1
Box 1
Pregabalin 150 mg tiap
hari,
atau 300 mg pada kasus
refraktori dan
pertimbangkan obat
kedua. Misalnya
gabapentin,
carbamazepine,
duloxetine
Box 2
PO Acetaminophen: 1 g tiap 6-8 jam
(maks. 4 g/hari)
IV acetaminophen: <50 kg , 15 mg/kg
tiap 6 jam dan ≥ 50 kg 1g tiap 6 jam
Atau
PO atau IV dipyrone: 500-1000 mg
tiap 6-8 jam
32
Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38
3. Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi
Manajemen nyeri akut yang ideal pasca
tindakan bedah saraf harus mampu meredakan
nyeri, memiliki kemampuan anti-inflamasi, tidak
mempengaruhi fungsi sistem saraf pusat, tidak
menghambat kesadaran maupun penilaian
neurologis, tidak menyebabkan depresi jantung dan
pernafasan, tidak membuat ketagihan dan tidak
memiliki efek samping seperti muntah, mual,
epilepsi, atau perdarahan lokal. Sayangnya, tidak
ada obat yang sesuai dengan kategori ini. Dalam
sebuah studi dari Inggris ditemukan bahwa hanya
65% dari pusat bedah saraf yang memiliki protokol
analgesik dan selama beberapa dekade morfin
merupakan analgesik lini pertama yang digunakan,
diikuti oleh parasetamol (84%) dan nonsteroidal
anti-inflammatory drugs (NSAID) (52%).
Penggunaan kodein berkurang dari 90% menjadi
70% selama periode waktu yang sama.13 Santos
dalam publikasinya tahun 2020 menyajikan diagram
yang dapat dijadikan pertimbangan dalam
pemilihan tatalaksana nyeri akut pasca kraniotomi
(Gambar 2).3 Adapun tatalaksana nyeri akut pasca
kraniotomi dapat dibagi menjadi enam kelompok,
yakni:
1.1 Opioid
Opioid yang umum digunakan pada
manajemen nyeri pasca kraniotomi adalah morfin,
kodein, fentanil, dan tramadol. Mekanisme
farmakologis dimediasi melalui reseptor opioid
spesifik di sistem saraf pusat dan perifer. Efek
samping yang dapat terjadi yakni depresi
pernapasan, sedasi, hiperkarbia, peningkatan
tekanan intrakranial, dan penundaan penyapihan
dari ventilator. Meskipun demikian, opioid sistemik
seringkali dibutuhkan untuk meredakan nyeri secara
adekuat setelah kraniotomi. Pemberian opioid dapat
berupa parenteral maupun enteral. Adapun
beberapa penelitian pendahuluan yang menilai
penggunaan opioid sebagai manajemen nyeri akut
pasca kraniotomi dirangkum pada tabel 2.
Sementara panduan dosis opioid sebagai
manajemen nyeri pasca kraniotomi disajikan oleh
Roka tahun 2019 seperti pada tabel 3.1,3,7,13
1.1.1 Parenteral
a. Morfin
Morfin merupakan opioid yang memiliki efek
analgesik lebih baik dibanding opioid lainnya
dengan dosis lebih rendah. Morfin dapat diberikan
secara intravena (termasuk PCA (patient controlled
analgesia)) atau intramuskular. PCA memfasilitasi
pasien untuk mengontrol rasa sakit sendiri dan juga
mengurangi konsumsi opioid secara keseluruhan.
Penurunan penilaian nyeri, kepuasan pasien yang
lebih tinggi, dan tidak adanya efek samping
(pemberian bersamaan dengan antiemetik dan
observasi) adalah keuntungan yang diperoleh
dengan analgesia ini. Akan tetapi kebutuhan akan
sensorium dan kewaspadaan yang utuh adalah
batasan yang menghalangi aplikasi ekstensif
perangkat PCA. Dosis yang direkomendasikan
dalam 4 jam tidak melebihi 40 mg. Pemberian
morfin berupa intramuskular memiliki kekurangan
berupa onset yang lebih lambat, penyerapan
sistemik yang berbeda, dan nyeri di tempat
suntikan.1,3
b. Fentanil
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
kontrol nyeri lebih baik ketika fentanil digunakan
melalui PCA baik sendiri atau digunakan bersamaan
dengan NSAID.1
c. Tramadol
Pemberian berulang tidak menyebabkan
ketergantungan maupun depresi pernapasan.
Penambahan tramadol bersama dengan narkotika
lain dalam rejimen analgesia pasca operasi telah
terbukti mengurangi nyeri pasca operasi dan
mengurangi efek samping opioid lain.1,3,13
1.1.2 Enteral
a. Codein
Tidak menyebabkan depresi pernapasan dan
tidak mengganggu evaluasi neurologis, tetapi
memberikan manajemen nyeri yang kurang
optimal.9
33
Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38
1.2 Non-opioid
Golongan non-opioid yang umum digunakan pada
manajemen nyeri pasca kraniotomi yakni
parasetamol, nonsteroidal anti-inflammatory drugs
(NSAID), dan cyclooxygenase (COX). Adapun
beberapa penelitian pendahuluan yang
membandingkan efektivitas non-opioid sebagai
manajemen nyeri akut pasca kraniotomi ditampilkan
pada tabel 4, sedangkan panduan dosis pemberian
non-opioid pada nyeri pasca kraniotomi disajikan
oleh Roka tahun 2019 seperti pada tabel 3.13
a. Parasetamol
Mekanisme kerja parasetamol dengan
menghambat pusat sintesis prostaglandin. Bagian
dari aksi analgesiknya mungkin disebabkan oleh aksi
sentral lainnya, seperti penghambatan hiperalgesia
spinal yang disebabkan oleh aktivasi reseptor
NMDA; aktivasi jalur serotonergik yang
menghambat transmisi nyeri; atau aktivasi
mekanisme hipoalgesik yang dimediasi oleh oksida
nitrat. Parasetamol memiliki manfaat potensial yang
cukup besar dalam pengobatan nyeri pasca
kraniotomi, karena tidak menghasilkan sedasi atau
depresi pernapasan. Meskipun parasetamol dapat
mengurangi penggunaan opioid namun tidak efektif
bila digunakan tunggal sebagai pengendali nyeri.
Penggunaannya bersama dengan opioid dan NSAID
lain sangat mengurangi skor nyeri.1,3,9
Tabel 2. Penelitian pendahuluan tentang opioid pada manajemen nyeri pasca kraniotomi
Goldsack et al., 1996 Morfin dan
kodein
Double
blind trial
membandingkan penggunaan morfin intramuskular 10mg
dan kodein intramuskular 60mg : morfin lebih efektif
disbanding kodein dalam hal meredakan nyeri, dosis
morfin yang digunakan lebih rendah, dan tidak ada pasien
yang mengalami depresi napas, sedasi, konstriksi pupil
maupun efek cardiovascular yang tidak diinginkan14
.
Hassani et al., 2015 Fentanil,
Paracetamol
dan Morfin
RCT Satu kelompok diberikan infus sufentanil (0,0015 µg / kg /
menit), kelompok kedua diberikan infus parasetamol
intermiten (15 mg / kg setiap 6 jam), dan kelompok ketiga
diberikan 5 mg morfin subkutan. Temuan menunjukkan
bahwa sufentanil adalah agen yang tepat untuk mengatasi
manajemen nyeri pasca kraniotomi. Pasien dalam
kelompok yang diberikan parasetamol melaporkan skor
nyeri terbesar dari skala analog visual dan detak jantung
dengan kejadian mual dan muntah terendah.
Tingkat mual dan muntah tertinggi pada pasien kelompok
morfin. Dengan demikian, disimpulkan bahwa sufentanil
memberikan hasil yang lebih baik untuk mengurangi mual
dan muntah, pengendalian nyeri, dan stabilitas
emodinamik relatif terhadap morfin15
.
Rahimi et al., 2010 Tramadol dan
kodein
RCT Membandingkan penggunaan tramadol dan obat narkotik:
tramadol dapat menurunkan durasi rawat inap,
mengurangi nyeri (sesuai penilaian visual analog scale
(VAS)), dan kebutuhan terhadap morfin dibandingkan
kelompok yang tidak menggunakan tramadol (kelompok
kontrol: pada penelitian ini menggunakan narkotik dan
parasetamol)16
.
Sudheer et al., 2007 Morfin,
tramadol dan
kodein
Efek penghilang nyeri lebih baik pada kelompok yang
diberikan morfin dibanding kodein dan tramadol serta
tidak terdapat perbedaan bermakna terkait lama sedasi
maupun depresi pernapasan17
.
34
Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38
b. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs
(NSAID).
Obat NSAID merupakan pilihan dalam
manajemen nyeri pasca kraniotomi karena
mengurangi nyeri dan penggunaan morfin hingga
25-50% dan mengurangi efek samping yang
diinduksi opioid. Penghambatan prostaglandin yang
disebabkan oleh agen ini mengurangi rasa sakit dan
peradangan. NSAID mengurangi agregasi trombosit
dan penggunaannya menimbulkan risiko hematoma
intrakranial pasca operasi. Dosis 100 mg Diklofenak
rektal dapat digunakan setiap 18 jam jika ada
masalah perdarahan atau insufisiensi ginjal.3
Tabel 3. Dosis obat non-opioid untuk nyeri pasca kraniotomi (Roka dkk., 2012)
Obat Dosis awal dan interval
<50 kg (mg/kg) > 50 kg dan dewasa (mg dosis tetap)
Ketorolac 0,5mg/kg IM/IV setiap 6jam maximal bisa mencapai 72
jam
15-30mg tiap 6 jam, tidak boleh melebihi
120mg/hari, maximal bisa mencapai 72jam
Ibuprofen 5-10mg/kg per oral, tidak boleh melebihi 40mg/hari 200-800mg per oral tiap 6jam
Acetaminofen Oral
Neonatus
Dosis : 10-15mg/kg Per oral setiap 6-8jam
Maksimal : 60mg/kg/hari
Bayi/anak
Dosis : 10-15mg/kg per oral setiap 6-8jam
Maksimal : 75mg/kg/hari sampai 1gr/4
jam atau 4gr/hari
>12tahun
Dosis : 325-650mg per oral setiap 4-6jam
Maksimal : 1gr/4jam dan 4gr/hari
IV
12,5mg/kg IV setiap 4jam
atau
15mg/kg IV setiap 6jam
tidak melebihi 750mg/dosis dan
80mg/kg/hari
Oral
325mg per oral setiap 4-6jam
atau
500mg per oral setiap 6-8jam
atau
625mg per oral setiap 8jam
tidak melebihi 4g/hari
IV
650mg IV setiap 4jam
atau
1000mg IV setiap 6jam tidak melebihi 4gr/hari
Clonidine Oral dan Transdermal
1µg/kg/dosis setiap 4jam per oral
Oral dan Transdermal
1µg/kg/dosis setiap 4jam per oral
Diazepam Oral
0,25-0,3mg/kg setiap 6-8jam
Oral
2-10mg/kg/hari setiap 6-8jam
IV
0,05-0,1mg/kg setiap 4-6jam
IV
2-10mg IV/IM setiap 3-4jam
tidak lebih dari 30mg setiap 8jam
Gabapentin 3-12tahun
10-15mg/kg/hari terbagi tiap 8jam
>12tahun
300mg per oral setiap 8jam ,bisa mencapai 600mg
per oral tiap 8jam
300mg per oral sebelum tidur, bertahan dan
yang biasa ditoleransi mencapai 300mg setiap
8jam
Amitriptyline Load
0,1mg/kg per oral sebelum tidur,
peningkatan dosis dapat ditoleransi sampai
2-3minggu
Load
75mg/hari per oral
Maintenance
0,5-2mg/kg per oral sebelum tidur
Maintenance
150-300mg/hari per oral dalam dosis tunggal
atau terbagi
Keamanan penggunaan obat NSAID seperti ketorolak dan ibuprofen pada anak dibawah usia 3-6 bulan belum dapat ditentukan
35
Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38
Tabel 4. Penelitian pendahuluan tentang opioid pada manajemen nyeri pasca kraniotomi
Verchere et al., 2002 Paracetamol,
Tramadol
RCT Memberikan penilaian nyeri yang sama dengan
pemberian tramadol, namun kejadian mual muntah
pasca operasi lebih tinggi pada kelompok tramadol.18
Molnar et al., 2015 Diklofenak,
placebo
RCT Konsumsi diklofenak mengurangi skor nyeri dan
konsumsi opioid secara signifikan pada 5 hari
pertama pasca operasi. Pemberian diklofenak tidak
berbuhungan dengan komplikasi saluran cerna,
disfungsi ginjal, maupun perdarahan.19
Wiliam et al., 2011 Parecoxib dan
placebo
RCT Tidak ada perbedaan dalam intensitas nyeri, kejadian
mual muntah pasca operasi dan penggunaan
morfin.20
Dilmen et al., 2016 Morfin,
dexketoprofen,
metamizol
Double
blind
trial
Pemberian morfin mencegah nyeri berat pasca
kraniotomi supratentorial dibandingkan pemberian
dexketoprofen dan metamizol.21
c. Cyclooxygenase (COX)
Obat-obatan ini mampu mengurangi nyeri
kraniotomi pasca operasi tanpa peningkatan risiko
perdarahan pasca operasi. Cyclooxygenase-2
inhibitors (COXIB) efektif dalam analgesik
perioperatif untuk berbagai prosedur pembedahan
dan menimbulkan efek sparring morfin dari 30%
hingga 50%. Kekurangan penggunaan obat ini
terkait dengan peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular akibat kejadian tromboemboli.3
3.3 Anestesi lokal
Anestesi lokal secara rutin digunakan untuk
infiltrasi kulit intraoperatif dan blokade kulit kepala.
Analgesia dapat dicapai dengan blokade enam
saraf: saraf supraorbital, saraf supratroklear, saraf
auriculotemporal, saraf zygomaticotemporal, saraf
oksipital mayor, dan saraf oksipital minor. Blok kulit
kepala dapat dilakukan sebelum operasi untuk
menumpulkan respon hemodinamik terhadap
rangsangan bedah, termasuk menjepit kepala dan
sayatan kulit, serta memberikan analgesia pasca
operasi tanpa risiko sedasi atau depresi pernapasan.
Komplikasi blok kulit kepala jarang terjadi; namun,
injeksi intravaskular dapat menyebabkan toksisitas
anestesi lokal, termasuk gejala neurologis, disritmia
jantung, atau henti jantung.7
Guilfolye tahun 2013 meneliti penggunaan
scalp block atau skin infiltration pada 302 pasien
yang menjalani kraniotomi, didapatkan skor nyeri
berkurang pada 1 jam pasca operasi dan konsumsi
opioid berkurang pada 24 jam pasca operasi.22
Hansen tahun 2011 menunjukkan bahwa infiltrasi
kulit kepala dapat menurunkan skor nyeri yang
signifikan, tetapi hanya segera setelah operasi
selesai. Meskipun infiltrasi kulit kepala tampaknya
tidak efektif untuk pengobatan nyeri pasca
kraniotomi akut setelah beberapa jam namun
bermanfaat untuk rehabilitasi pasien bedah saraf
dan meningkatkan kualitas hidup karena dapat
membatasi perkembangan nyeri menjadi persisten,
terutama nyeri neuropatik.23
3.4 Gabapentin
Merupakan antiepilepsi generasi baru yang
memiliki sifat antinosiseptif dan antihiperalgesik.
Penelitian dilakukan oleh Ture tahun 2009,
menunjukkan bahwa pemberian gabapentin
(3x400mg), 7 hari sebelum operasi memiliki hasil
pasca operasi yang menguntungkan dalam bentuk
penurunan skor nyeri, konsumsi opioid yang lebih
rendah, dan insiden mual dan muntah yang lebih
rendah. Namun pada sisi lain, memberikan efek
samping berupa tingkat sedasi yang lebih tinggi
dan ekstubasi trakea yang tertunda. Ada literatur
yang menunjukkan bahwa antiepilepsi memiliki sifat
antinosiseptif dan antihiperalgesik.1,24
36 Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38
3.5 NMDA Receptor Antagonist
Reseptor n-methyl-d-aspartate (NMDA)
adalah saluran ion channel yang memungkinkan
masuk dan keluarnya kalsium, natrium, kalium ke
dalam sel. Reseptor ini terlibat dalam modulasi nyeri
di tingkat sumsum tulang belakang dan sensitisasi
nosiseptor. Antagonis reseptor NMDA memiliki sifat
analgesik intrinsik yang sedikit, namun efek
analgesiknya dimediasi melalui penghambatan
sensitisasi sentral. Tinjauan sebelumnya telah
menunjukkan penurunan nyeri pasca operasi dan
kebutuhan analgesik menggunakan
dekstrometorfan dan ketamin. Ketamin merupakan
antagonis reseptor NMDA yang memodulasi nyeri
tulang belakang dan sensitisasi nosiseptor, sehingga
mengurangi nyeri pasca operasi dan kebutuhan
opioid. Namun, memiliki kecenderungannya untuk
meningkatkan aliran darah otak dan tekanan
intrakranial, serta terkait dengan gangguan kognitif,
pengalaman negatif, dan gangguan penglihatan
(penglihatan kabur dan pusing), yang dapat
mengubah penilaian neurologis pasca operasi.
Meskipun ketamin secara tradisional diyakini dapat
meningkatkan tekanan intrakranial dan oleh karena
itu mengubah hemodinamik otak, penelitian terbaru
menunjukkan bahwa ketamin bahkan dapat
meningkatkan perfusi otak. Namun, karena
kontroversi ini dan ketersediaan analgesik lain yang
tidak mempengaruhi perfusi otak, ketamin tidak
dianjurkan dalam bedah saraf.1,10
3.6 𝛼-2 Adrenoreceptor Agonist
Dexmedetomidine merupakan atagonis
adrenoreseptor 𝛼-2 presinaptik kuat yang
memberikan sedasi tanpa mempengaruhi
pernapasan. Investigasi yang melibatkan
dexmedetomidine mengklaim pengurangan
konsumsi opioid pasca operasi sebanyak 60%.
Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan
efek menguntungkan obat tersebut pada nyeri akut
pasca kraniotomi dengan pengendalian nyeri yang
baik, pengurangan penggunaan morfin pasca
operasi meskipun waktu ekstubasi tidak berbeda.
Bradikardia merupakan efek samping signifikan dari
penggunaan obat ini.9,10
3.7 Cryotherapy
Metode terapi ini masih sangat baru,
dilakukan oleh Shin et al pada tahun 2009
menunjukkan bahwa cryotherapy berguna untuk
mengontrol nyeri pasca kraniotomi melalui
pemberian kantong es pada luka operasi dan
kantong gel dingin pada area periorbital, dimulai 3
jam setelah operasi, selama 3 hari, selama 20 menit
per jam. Studi ini memperhitungkan 97 pasien yang
menjalani kraniotomi supratentorial elektif,
dipisahkan dalam kelompok cryotherapy dan
kontrol. Tingkat nyeri (skor VAS) 3 jam setelah
kraniotomi sama pada kedua kelompok, tetapi
cryotherapy secara signifikan mengurangi nyeri 3
hari setelah operasi.3,25
KESIMPULAN
Nyeri akut pasca kraniotomi adalah masalah
yang yang sulit dikelola dan harus dimanajemen
dengan baik untuk mencegah morbiditas,
mortalitas, serta pemanjangan masa inap.
Berdasarkan beberapa literatur, tatalaksana nyeri
akut dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu
opioid, non-opioid, cyclooxygenase, anestesi lokal,
NMDA receptor antagonist, 𝛼-2 adrenoreceptor
agonist, dan cryotheraphy. Dengan pemberian terapi
dan dosis serta kombinasi yang tepat diharapkan
komplikasi dapat diminimalkan dan outcome pasca
operasi kraniotomi menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA 1. Haldar R, Kaushal A, Gupta D, Srivastava S, Singh PK. Pain following Craniotomy: Reassessment of the Available
Options. Biomed Res Int. 2015;2015. doi:10.1155/2015/509164
2. Tsaousi GG, Logan SW, Bilotta F. Postoperative Pain Control Following Craniotomy: A Systematic Review of
Recent Clinical Literature. Pain Pract. 2017;17(7):968-981. doi:10.1111/papr.12548
3. Santos CMT, Pereira CU, Chaves PHS, Tôrres PTR de L, Oliveira DM da P, Rabelo NN. Options to manage
postcraniotomy acute pain in neurosurgery: no protocol available. Br J Neurosurg. 2020;0(0):1-8.
37 Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38
doi:10.1080/02688697.2020.1817852
4. Mordhorst C, Latz B, Kerz T, et al. Prospective assessment of postoperative pain after craniotomy. J Neurosurg
Anesthesiol. 2010;22(3):202-206. doi:10.1097/ANA.0b013e3181df0600
5. Flexman AM, Ng JL, Gelb AW. Acute and chronic pain following craniotomy. Curr Opin Anaesthesiol.
2010;23(5):551-557. doi:10.1097/ACO.0b013e32833e15b9
6. Shah A, Jung H. Management of post-operative pain after craniotomy. Acta Neurochir (Wien).
2015;157(12):2125-2126. doi:10.1007/s00701-015-2524-3
7. Dunn LK, Naik BI, Nemergut EC, Durieux ME. Post-Craniotomy Pain Management: Beyond Opioids. Curr Neurol
Neurosci Rep. 2016;16(10). doi:10.1007/s11910-016-0693-y
8. Giammalva GR, Iacopino DG, Graziano F, Gulì C, Pino MA, Maugeri R. Clinical and radiological features of
Forestier’s disease presenting with dysphagia. Surg Neurol Int. 2018;9(1). doi:10.4103/sni.sni
9. Iturri F, Valencia L, Honorato C, Martínez A, Valero R, Fàbregas N. Narrative review of acute post-craniotomy
pain. Concept and strategies for prevention and treatment of pain. Rev Española Anestesiol y Reanim (English
Ed. 2020;67(2):90-98. doi:10.1016/j.redare.2019.09.004
10. de Gray LC, Matta BF. Acute and chronic pain following craniotomy: A review. Anaesthesia. 2005;60(7):693-704.
doi:10.1111/j.1365-2044.2005.03997.x
11. Lutman B, Bloom J, Nussenblatt B, Romo V. A Contemporary Perspective on the Management of Post-
Craniotomy Headache and Pain. Curr Pain Headache Rep. 2018;22(10). doi:10.1007/s11916-018-0722-4
12. Chowdhury T, Garg R, Sheshadri V, et al. Perioperative factors contributing the post-craniotomy pain: A
synthesis of concepts. Front Med. 2017;4(MAR):1-5. doi:10.3389/fmed.2017.00023
13. Roka YB. Review in The Management of Post-Craniotomy Pain. Nepal J Neurosci. 2019;16(1):3-9.
doi:10.3126/njn.v16i1.24423
14. Goldsack C, Scuplak SM, Smith M. A double-blind comparison of codeine and morphine for postoperative
analgesia following intracranial surgery. Anaesthesia. 1996;51(11):1029-1032. doi:10.1111/j.1365-
2044.1996.tb14997.x
15. Sane S, Tolumehr A, Hassani E, Mahoori A. Comparison the effects of paracetamol with sufentanil infusion on
postoperative pain control after craniotomy in patients with brain tumor. Adv Biomed Res. 2015;4(1):64.
doi:10.4103/2277-9175.152610
16. Rahimi SY, Alleyne CH, Vernier E, Witcher MR, Vender JR. Postoperative pain management with tramadol after
craniotomy: Evaluation and cost analysis: Clinical article. J Neurosurg. 2010;112(2):268-272.
doi:10.3171/2008.9.17689
17. Sudheer PS, Logan SW, Terblanche C, Ateleanu B, Hall JE. Comparison of the analgesic efficacy and respiratory
effects of morphine, tramadol and codeine after craniotomy. Anaesthesia. 2007;62(6):555-560.
doi:10.1111/j.1365-2044.2007.05038.x
18. Verchère E, Grenier B, Mesli A, Siao D, Sesay M, Maurette P. Postoperative pain management after
supratentorial craniotomy. J Neurosurg Anesthesiol. 2002;14(2):96-101. doi:10.1097/00008506-200204000-
00002
19. Molnár C, Simon É, Kazup Á, et al. A single preoperative dose of diclofenac reduces the intensity of acute
postcraniotomy headache and decreases analgesic requirements over five postoperative days in adults: A single
center, randomized, blinded trial. J Neurol Sci. 2015;353(1-2):70-73. doi:10.1016/j.jns.2015.04.005
20. Williams DL, Pemberton E, Leslie K. Effect of intravenous parecoxib on post-craniotomy pain. Br J Anaesth.
2011;107(3):398-403. doi:10.1093/bja/aer223
21. Dilmen OK, Akcil EF, Tunali Y, et al. Postoperative analgesia for supratentorial craniotomy. Clin Neurol
Neurosurg. 2016;146:90-95. doi:10.1016/j.clineuro.2016.04.026
22. Guilfoyle MR, Helmy A, Duane D, Hutchinson PJA. Systematic Review and Meta-Analysis. 2013;116(5):1093-
1102. doi:10.1213/ANE.0b013e3182863c22
23. Hansen MS, Brennum J, Moltke FB, Dahl JB. Pain treatment after craniotomy: Where is the (procedure-specific)
evidence? A qualitative systematic review. Eur J Anaesthesiol. 2011;28(12):821-829.
doi:10.1097/EJA.0b013e32834a0255
24. Anesthesiology N, Tu H, Sayin M, Karlikaya G, Bingol CA, Aykac B. The Analgesic Effect of Gabapentin as a
38 Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38
Prophylactic Anticonvulsant Drug on Postcraniotomy Pain : 2009;109(5):1625-1631.
doi:10.1213/ane.0b013e3181b0f18b
25. Shin YS, Lim NY, Yun SC, Park KO. A randomised controlled trial of the effects of cryotherapy on pain, eyelid
oedema and facial ecchymosis after craniotomy. J Clin Nurs. 2009;18(21):3029-3036. doi:10.1111/j.1365-
2702.2008.02652.x
Untuk menyitir artikel ini: Pratama, RA, BH Laksono, AZ Fatoni. Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi. Journal of
Anaesthesia and Pain. 2020;1(3):28-38. doi:10.21776/ub.jap.2020.001.03.04