Post on 29-Nov-2015
description
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1. Pengertian Ulkus Dekubitus
Dekubitus adalah nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika
jaringan lunak tertekan diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal
dalam jangka waktu lama. (Potter & perry, 2005)
Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit,
bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada
suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah
setempat. (Kadir, 2010)
Dekubitus atau luka tekan adalah kerusakan jaringan yang terlokalisir yang
disebabkan karena adanya tekanan jaringan yang lunak diatas tulang yang
menonjol (bony prominence) dan adanya tekanan dari luar dalam jangka waktu
yang lama. (Wicaksono, 2013)
2.2 Etiologi
Menurut Braden dan Bergstrom (2000) ada dua hal utama yang
berhubungan dengan resiko terjadinya luka tekan, yaitu faktor tekanan dan
toleransi jaringan. Faktor yang mempengaruhi durasi dan intensitas tekanan diatas
tulang yang menonjol adalah imobilitas, inakitifitas, dan penurunan sensori
persepsi. Sedangkan faktor yang mempengaruhi toleransi jaringan dibedakan
menjadi dua yaitu faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik.
A. Faktor intrinsik:
penuaan (regenerasi sel lemah), Sejumlah penyakit yang menimbulkan
seperti DM, Status gizi, underweight atau kebalikannya overweight,
Anemia, Hipoalbuminemia, Penyakit-penyakit neurologik dan penyakit-
penyakit yang merusak pembuluh darah, Keadaan hidrasi/cairan tubuh.
B. Faktor Ekstrinsik:
Kebersihan tempat tidur, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau
peralatan medik yang menyebabkan penderita terfiksasi pada suatu sikap
tertentu, Duduk yang buruk, Posisi yang tidak tepat, Perubahan posisi
yang kurang.
Di bawah ini adalah penjelasan dari masing masing faktor diatas :
a. Mobilitas dan aktivitas
Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi
tubuh, sedangkan aktivitas adalah kemampuan untuk berpindah. Pasien
yang berbaring terus menerus ditempat tidur tanpa mampu untuk merubah
posisi beresiko tinggi untuk terkena luka tekan.
Imobilitas adalah faktor yang paling signifikan dalam kejadian luka tekan.
Penelitian yang dilakukan Suriadi (2003) di salah satu rumah sakit di
Pontianak juga menunjukan bahwa mobilitas merupakan faktor yang
signifikan untuk perkembangan luka tekan.
b. Penurunan sensori persepsi
Pasien dengan penurunan sensori persepsi akan mengalami penurunan
untuk merasakan sensari nyeri akibat tekanan diatas tulang yang menonjol.
Bila ini terjadi dalam durasi yang lama, pasien akan mudah terkena luka
tekan.
c. Kelembaban
Kelembapan yang disebabkan karena inkontinensia dapat mengakibatkan
terjadinya maserasi pada jaringan kulit. Jaringan yang mengalami maserasi
akan mudah mengalami erosi. Selain itu kelembapan juga mengakibatkan
kulit mudah terkena pergesekan (friction) dan perobekan jaringan (shear).
Inkontinensia alvi lebih signifikan dalam perkembangan luka tekan
daripada inkontinensia urin karena adanya bakteri dan enzim pada feses
dapat merusak permukaan kulit.
d. Tenaga yang merobek ( shear )
Merupakan kekuatan mekanis yang meregangkan dan merobek jaringan,
pembuluh darah serta struktur jaringan yang lebih dalam yang berdekatan
dengan tulang yang menonjol. Contoh yang paling sering dari tenaga yang
merobek ini adalah ketika pasien diposisikan dalam posisi semi fowler
yang melebihi 30 derajad. Pada posisi ini pasien bisa merosot kebawah,
sehingga mengakibatkan tulangnya bergerak kebawah namun kulitnya
masih tertinggal. Ini dapat mengakibatkan oklusi dari pembuluh darah,
serta kerusakan pada jaringan bagian dalam seperti otot, namun hanya
menimbulkan sedikit kerusakan pada permukaan kulit.
e. Pergesekan (friction)
Pergesekan terjadi ketika dua permukaan bergerak dengan arah yang
berlawanan. Pergesekan dapat mengakibatkan abrasi dan merusak
permukaan epidermis kulit. Pergesekan bisa terjadi pada saat penggantian
sprei pasien yang tidak berhati-hati.
f. Nutrisi
Hipoalbuminemia, kehilangan berat badan, dan malnutrisi umumnya
diidentifikasi sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya luka tekan.
Menurut penelitian Guenter (2000) stadium tiga dan empat dari luka tekan
pada orangtua berhubungan dengan penurunan berat badan, rendahnya
kadar albumin, dan intake makanan yang tidak mencukupi.
g. Usia
Pasien yang sudah tua memiliki resiko yang tinggi untuk terkena luka
tekan karena kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan penuaan.
Penuaan mengakibatkan kehilangan otot, penurunan kadar serum albumin,
penurunan respon inflamatori, penurunan elastisitas kulit, serta penurunan
kohesi antara epidermis dan dermis. Perubahan ini berkombinasi dengan
faktor penuaan lain akan membuat kulit menjadi berkurang toleransinya
terhadap tekanan, pergesekan, dan tenaga yang merobek.
h. Tekanan arteriolar yang rendah
Tekanan arteriolar yang rendah akan mengurangi toleransi kulit terhadap
tekanan sehingga dengan aplikasi tekanan yang rendah sudah mampu
mengakibatkan jaringan menjadi iskemia. Studi yang dilakukan oleh
Nancy Bergstrom (1992) menemukan bahwa tekanan sistolik dan tekanan
diastolik yang rendah berkontribusi pada perkembangan luka tekan.
i. Stress emosional
Depresi dan stress emosional kronik misalnya pada pasien psikiatrik juga
merupakan faktor resiko untuk perkembangan dari luka tekan.
j. Merokok
Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan
memiliki efek toksik terhadap endotelium pembuluh darah. Menurut hasil
penelitian Suriadi (2002) ada hubungaan yang signifikan antara merokok
dengan perkembangan terhadap luka tekan.
k. Temperatur kulit
Menurut hasil penelitian Sugama (1992) peningkatan temperatur
merupakan faktor yang signifikan dengan resiko terjadinya luka tekan.
2.3. Patofisiologi
Menurut Potter & Perry tahun 2005 ada tiga elemen yang menjadi dasar
terjadinya dekubitus yaitu:
A. Intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler.
B. Durasi dan besarnya tekanan.
C. Toleransi jaringan.
Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antar waktu dengan tekanan
(Stortts, 1988 dalam Potter & Perry, 2005). Semakin besar tekanan dan durasinya,
maka semakin besar pula insidensinya terbentuknya luka ( Potter & Perry, 2005).
Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi pada
tekanan eksternal terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan menurunkan atau
menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi
hipoksia sehinggan terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari 32
mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka
pembuluh darah kolaps dan trombosis (Maklebust, 1987 dalam Potter & Perry,
2005). Jika tekanan dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan
akan pulih kembali melalui mekanisme fisiologis hiperemia reaktif, karena kulit
mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari otot,
maka dekubitus dimulai di tulang dengan iskemi otot yang berhubungan dengan
tekanan yang akhirnya melebar ke epidermis (Maklebust, 1995 dalam Potter &
Perry, 2005).
Pembentukan luka dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek
yang terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area sakral dan
tumit merupakan area yang paling rentan (Maklebust, 1987 dalam Potter & Perry,
2005). Efek tekanan juga dapat di tingkatkan oleh distribusi berat badan yang
tidak merata. Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan
tempatnya berada karena adanya gravitasi (Berecek, 1975 dalam Potter & Perry,
2005). Jika tekanan tidak terdistribusi secara merata pada tubuh maka gradien
tekanan jaringan yang mendapatkan tekanan akan meningkat dan metabolisme sel
kulit di titik tekanan mengalami gangguan.
2.4. Klasifikasi Ulkus Dekubitus
Menurut NPUAP (1995 dalam Potter & Perry, 2005) ada perbandingan
luka dekubitus derajat I sampai derajat IV yaitu:
A. Derajat I: Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang
diperbesar. Kulit tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi
indikator
B. Derajat II: Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan
dermis. Luka superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau
lubang yang dangkal.
C. Derajat III: Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan
atau nekrotik yang mungkin akan melebar kebawah tapi tidak melampaui
fascia yang berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang
yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
D. Derajat IV: Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif,
nekrosis jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga
misalnya kerusakan jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan
kapsul sendi.
2.5. Komplikasi Ulkus Dekubitus
Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun
dapat terjadi pada luka yang superfisial. Menurut subandar (2008) komplikasi
yang dapat terjadi antara lain:
A. Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun anaerobik.
B. Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteotitis,
osteomielitis, dan arthritis septik.
C. Septikimia
D. Anemia
E. Hipoalbuminea
F. Kematian.
2.6. Tempat-tempat Terjadinya Dekubitus
Beberapa tempat yang paling sering terjdinya dekubitus adalah sakrum,
tumit, siku, maleolus lateral, trokonter besar, dan tuberostis iskial (Meehan, 1994).
Menurut Bouwhuizen (1986) dan menyebutkan daerah tubuh yang sering terkena
luka dekubitus adalah:
A. Pada penderita pada posisi terlentang: pada daerah belakang kepala,
daerah tulang belikat, daerah bokong dan tumit.
B. Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala (terutama daun
telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki dan
bagian atas jari-jari kaki.
C. Pada penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang iga, dan
lutut.
2.7. Pengkajian Luka dan Resiko Ulkus Dekubitus
Menurut Arif widodo dalam jurnalnya yang berjudul Uji Kepekaan Instrumen
Pengkajian Risiko Dekubitus Dalam Mendeteksi Dini Risiko Kejadian Dekubitus
tahun 2007 Skala pengkajian risiko dekubitus adalah suatu alat yang dapat
mendeteksi dekubitus selama pasien dirawat di rumah sakit. Ada beberapa skala
pengkajian yang ada pada saat ini, tetapi ada empat skala yang sering digunakan
untuk mendeteksi dekubitus, terutama di negara-negara maju
seperti Amerika dan Inggris. Empat skala itu adalah : Norton Scale, The
Braden Scale, The Modified Norton Scale, dan The Waterlow Scale. Akan tetapi
yang paling sering digunakan adalah 2 skala berikut ini :
A. The Norton Scale(Skala Norton).
Pada awal tahun 1960, Norton memperkenalkan skala pengkajian
dekubitus untuk memprediksi timbulnya dekubitus pada pasien usia lanjut.
Skala ini diciptakan berdasarkan pengalaman klinik yang mencakup
lima variabel. Variabel tersebut adalah :
1) kondisi fisik
2) kondisi mental
3) aktifitas
4) mobilitas
5) inkontinensia
Maksimum skore yang dapat dicapai pada skala ini adalah 20. Skore lebih
dari 18 berarti risiko dekubitus masih rendah, 14-18 risiko sedang, 10-13
risiko tinggi dan kurang dari 10 termasuk kategori sangat tinggi. Validitas
skala ini juga sudah diteliti oleh beberapa studi dengan menampilkan
sensivitas dan spesifikasi pada area yang berbeda-beda. Keunggulan skala
ini adalah karena sangat simpel untuk digunakan dan tidak memerlukan
waktu yang lama untuk menggunakannya.
B. The Braden Scale(Skala Braden)
Skala Braden secara umum hampir sama dengan skala sebelumnya. Tetapi
ada beberapa tambahan komponen yang tidak dimiliki oleh skala
sebelumnya. Skala Braden diciptakan di Amerika pada area nursing home
(Braden, et all, 1987). Skala Braden terdiri dari 6 variabel yang meliputi
persepsi-sensori, kelembaban, tingkat aktifitas, mobilitas, nutrisi, dan
gesekan dengan permukaan kasur (matras). Skore maksimum pada skala
Braden adalah 23. Skore diatas 20 risiko rendah, 16-20 risiko sedang, 11-
15 risiko tinggi, dan kurang dari 10 risiko sangat tinggi. Seperti halnya
skala Norton, skala Braden juga sudah divalidasi oleh beberapa peneliti.
2.8. Prinsip Manajemen Perawatan Ulkus Dekubitus
Prioritas dalam perawatan luka lokal pada dasarnya adalah sama
dengan luka apapun juga yaitu dengan menggunakan SOP (standar
operasional prosedur) yang sudah baku, yaitu :
Mengatasi perdarahan (hemostasis)
Mengeluarkan benda asing, yang dapat bertindak sebagai fokus infeksi
Melepaskan jaringan yang mengalami devitalisasi, krusta yang tebal,
dan pus
Menyediakan temperature, kelembaban, dan pH yang optimal untuk
sel-sel yang berperan dalam proses penyembuhan
Meningkatkan pembentukan jaringan granulasi dan epitilialisasi dan
melindungi luka dari trauma lebih lanjut serta masuknya
mikroorganisme patogen (Morison,2003).
Tujuannya adalah untuk melindungi individu dari kerusakan fisiologis
lebih lanjut, untuk menyingkirkan penyebab aktual atau potensial yang
memperlambat penyembuhan, dan untuk menciptakan suatu lingkungan lokal
yang optimal juga untuk rekonstruksi dan epitelialisasi vaskular dan jaringan
ikat. Beberapa prinsip perawatan luka secara lokal meliputi debridemen,
pembersihan, dan pemberian balutan. Ulkus dengan jaringan nekrotik harus
dilakukan debridemen. Prinsip perawatan luka menurut Morison (2003) adalah :
1) Membuang jaringan mati. Adanya jaringan nekrotik dapat memperlambat
penyembuhan serta mendorong terjadinya infeksi, dan seringkali menutupi
luas yang sebenarnya dari kerusakan jaringan. Debridemen bedah dengan
anestesi umum atau lokal merupakan metode yang paling cepat untuk
memperoleh lapisan luka yang bersih. Meskipun demikian tindakan
tersebut mungkin tidak perlu bagi lansia atau pasien yang sangat lemah,
dimana metode lain dapat dicoba dilakukan (Potter, 2006). Metode
debridemen yang digunakan harus tergantung dengan metode yang
paling sesuai dengan kondisi klien dan tujuan perawatan. Perlu
diingat bahwa selama proses debridemen beberapa observasi luka
normal yang mungkin terjadi antara lain adalah adanya peningkatan
eksudat, bau dan bertambahnya ukuran luka. Setelah dekubitus berhasil
dilakukan debridemen dan mempunyai bagian dasar granulasi bersih,
maka tujuan perawatan luka lokal selanjutnya adalah memberikan
lingkungan yang tepat untuk penyembuhan luka dengan kelembaban
dan mendukung pembentukan jaringan granulasi baru.
2) Perawatan luka yang terinfeksi. Kebanyakan luka terbuka kronis didiami
oleh mikroorganisme yang sangat banyak yang tampaknya tidak
memperlambat proses penyembuhan. Sehingga hanya diperlukan
pengambilan hapusan luka guna mengidentifikasi mikroorganisme dan
menentukan sensitivitas mikroorgansme terhadap antibiotik, apabila luka
tersebut memperlihatkan tanda dan gejala klinis infek si, seperti nyeri
setempat dan eritema, edema lokal, eksudat berlebihan, pus dan bau busuk.
3) Perawatan luka dengan banyak eksudat. Sekalipun jaringan nekrotik dan
jaringan yang tampak jelas terinfeksi telah diangkat dari bidang luka,
luka dapat terus menghasilkan eksudat dalam jumlah banyak yang
dapat menembus non-oklusif dan meningkatkan resiko infeksi luka.
Volume eksudat berkurang pada waktunya, tetapi sampai stadium tersebut
diperlukan balutan yang bisa menyerap dan tidak melekat.
4) Perawatan luka dalam yang bersih dengan sedikit eksudat. Bila jumlah
eksudat sudah berkurang, maka silastic foam merupakan suatu cara
pembalutan yang sangat bermanfaat khususnya pada luka dalam yang
bersih dan berbentuk cawan, atau dekubitus luas di daerah sakrum.
5) Perawatan luka superfisial yang bersih dengan sedikit eksudat. Banyak
balutan yang sesuai untuk menangani luka superficial yang bersih.
Memberikan lingkungan yang lembab dengan terus menerus akan dapat
mendorong epitelialisasi yang cepat dan mengurangi rasa nyeri serta
melindungi permukaan luka dari kerusakan mekanis lebih lanjut dan
kontaminasi. Balutan yang ideal adalah balutan yang dapat dibiarkan tidak
terganggu selama beberapa hari.
2.9. Prosedur Rawat luka Dekubitus
1. Atur posisi yang nyaman bagi klien sehingga area dekubitus dan kulit
disekitar dapat dijangkau dengan mudah.
2. Sediakan peralatan yang diperlukan disamping tempat tidur. Buka set steril
dan botol cairan topical.
a. Baskom untuk mencuci, air hangat, washlap dan handuk.
b. Obat pembersih
c. Obat topical sesuai resep dokter : untuk luka terinfeksi dan nekrotik.
Jangan gunakan pada luka bersih dan tidak terinfeksi.
Luka Nekrotik
Enzim : kolagenase, fibrinolisin, deoksiribonuklease atau
sutilain.
Luka Terinfeksi
Antiseptic : providone-iodine ( salep atau
cairan), merbromin ( cairan 5% atau 10%), atau
sodium hipoklorit (cairan 1:2 atau 1:20)
Obat-obat yang dapat mengoksidasi : benzoyl
peroksida (20%) atau hydrogen peroksida
(setengah kuat)
Butir-butir dekstranomer : debrisan.
d. Balutan steril
e. Plester hipoalergenik atau kain balutan adhesive
f. Sarung tangan bersih
g. Pasta protektif ( mis. Zink oxide )
h. Alat-alat untuk mengukur :
o Film transparan dan marker
o Penggaris metrik
o Kamera
3. Sisihkan alat tenun pasien agar tidak terkena ulkus.
4. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan.
5. Kaji dekubitus dan kulit sekitarnya
a. Catat dan dokumentasikan warna dan keadaan kulit disekitar ulkus.
b. Ukur diameter ulkus.
c. Ukur kedalaman ulkus.
6. Cuci perlahan-lahan kulit disekitar ulkus dengan air hangat.
7. Bilas seluruh area dengan air.
8. Keringkan dengan hati-hati menggunakan kasa.
9. Bersihkan luka dengan normal saline.
a. Gunakan alat irigasi yang menghasilkan tekanan antara 4 sampai 15
psi untuk ulkus yang dalam.
b.
Pemilihan balutan untuk dekubitus
Decubitus bukan hanya persoalan ‘lubang’ pada tubuh pasien tapi
merupakan issu yang sangat sensitive karena memberikan gambaran bagaimana
institusi kesehatan memberikan pelayanan dan bagaimana pasien menerima
pelayanan tersebut. Keberadaan decubitus (non avoidable) pada unit pelayanan
bisa menjadi gambaran kualitas asuhan keperawatan di unit tersebut. Saat ini
ratusan hingga ribuan jenis dressing tersedia, oleh karena itu dibutuhkan
keterampilan dan kemampuan perawat dalam memilih jenis dressing berdasarkan
kebutuhan luka dan kemampuan pasien. Pemilihan dan penggunaan dressing yang
tepat akan memfasiltiasi proses penyembuhan. Beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan dressing antara lain (Whitney., et al 2006):
a. Faktor luka (infeksi, nekrosis).
b. Luas, kedalaman dan keberadaan undermining atau tunneling.
c. Lokasi.
d. Jenis jaringan dasar luka.
e. Eksudat dan drainase luka.
f. Kondisi tepi luka.
g. Tujuan perawatan.
h. Kebutuhan pasien (kontrol nyeri, kontrol bau).
i. Biaya.
j. Ketersediaan.
k. Kemudahan dalam penggunaan.
Kondisi luka harus dimonitor setiap penggantian dressing dan dikaji secara
berkala untuk menentukan apakah jenis dressing diganti atau dipertahankan.
Hydrocoloid direkomendasikan untuk dekubitus kategori II dan III dengan
kedalaman minimal (NPUAP/EPUAP, 2009). Hydrocoloid juga terbukti jauh
lebih efektif dibandingkan kasa dalam hal penurunan luas luka (Heyneman, Beele,
Vanderwee, and Defloor (2008) dan mempercepat laju penyembuhan bila
dibandingkan dengan kasa NaCl (Bouza, Saz, Munoz, and Amate 2005).
Payne, et. al (2009) menemukan bahwa penggunaan foam dressing pada
decubitus kategori II lebih murah cost efektif dan frekuensi penggantian balutan
menjadi berkurang bila dibandingkan dengan kasa NaCl.Dibutuhkan keterampilan
perawat dalam mengambil keputusan klinis dalam memilih balutan untuk
perawatan luka decubitus. Status luka dan masalah pada luka seperti eksudat,
nyeri, perdarahan, kondisi tepi luka merupakan faktor yang perlu diperhatikan
selain itu ketersediaan dan daya beli pasien jangan diabaikan. Bagaimanapun juga
dalam perawatan luka tidak ada satupun jenis balutan yang superior satus ama
lain, yang paling penting adalah keterampilan dan kemampuan perawat dalam
memilih balutan berdasarkan masalah dan kebutuhan luka termasuk
mempertimbangkan daya beli pasien.
Tabel 1. Balutan Luka Untuk Ulkus Dekubitus
No Jenis Balutan Mekanisme Kerja
Derajat Ulkus
Dekubitus
I II III IV
1 Balutan kasa
kering
menyerap drainase dari
permukaan luka√ √
2 Kasa basah/lembab
mempertahankan kelembapan
lingkungan luka, menyerap
√ √
drainase dari permukaan luka
3 Barier
transparan
mempertahankan kelembapan
lingkungan luka, menyerap
drainase dari permukaan luka
√ √
4 Hidrokoloid oklusif mencegah lingkungan
basah dan melindungi dari
kotoran, mempertahankan
kelembapan lingkungan luka
√ √ √
5 Hidrogel Mekanisme kerja:
mempertahankan kelembapan
lingkungan luka
√ √
6 Alginate mempertahankan kelembapan
lingkungan luka,
mengabsorbsieksudat
√ √
2.10.
Catatan
1. Kata pengantar tolong disusun lebih baik
2. Bab I tambahkan tujuannya dan cari sumber yang tepat, kalau ingin
pinjam khusus sumber dekubitus bisa hubungi bapak
3. Bab II tambahkan sesuai tujuan di Bab I dan tambahan masukan dari
bapak, khususnya harus tahu cara mengkaji risiko dekubitus dan
prinsip manajemennya. Beberapa bagian tinjauan pustaka sudah bagus
dengan diisi sumber pustakanya… tetap pertahankan evidence basednya
4. Bab III tolong ditambah ya.. tambahkan kasus dan gambarnya.. bisa di
cari diinternet dan bisa di deskripsikan sendiri cerita atau riwayatnya
5. Bab IV adalah kesimpulan dan saran sesuai dengan tujuan di bab I
6. Mohon segera kembali dikonsulkan dan mencari jadwal untuk
presentasi biar bs mengatur jadwal. Terima kasih