Post on 30-Jun-2015
Makalah Ekonomi Pembangunan II !
OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI
KELOMPOK 3
NUR VADILAPUTRI
DEWI ANGGREANI
MUSYA
ADITYA PERDANA PUTRA
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2010/2011
A. Pengertian dan Konsep Desentralisasi
Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu
terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan
keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi akan diwujudkan dalam
pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan untuk melakukan pembelanjaan,
kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh
rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari
Pemerintah Pusat.
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di
definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan
Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena
dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di
Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan,
dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar
pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan
keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan
pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan
relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus
tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi
sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan
sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah
secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.
B. Sentralisasi dan Desentralisasi
Sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara adalah persoalan
pembagian sumber daya dan wewenang. Pembahasan masalah ini sebelum tahun 1980-an
terbatas pada titik perimbangan sumber daya dan wewenang yang ada pada pemerintah pusat dan
pemerintahan di bawahnya. Dan tujuan “baik” dari perimbangan ini adalah pelayanan negara
terhadap masyarakat.
Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan politik yang dianggap tepat
dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi merupakan jalan yang meyakinkan, yang akan
menguntungkan daerah. Pandangan ini diciptakan oleh pengalaman sejarah selama masa Orde
Baru di mana sentralisme membawa banyak akibat merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini
mengecilkan kesempatan dikembangkannya suatu diskusi yang sehat bagaimana sebaiknya
desentralisasi dikembangkan di Indonesia. Jiwa desentralisasi di Indonesia adalah “melepaskan
diri sebesarnya dari pusat” bukan “membagi tanggung jawab kesejahteraan daerah”.
Sentralisasi dan desentralisasi tidak boleh ditetapkan sebagai suatu proses satu arah dengan
tujuan pasti. Pertama- tama, kedua “sasi” itu adalah masalah perimbangan. Artinya, peran
pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan selalu merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak
ada rumusan ideal perimbangan. Selain proses politik yang sukar ditentukan, seharusnya ukuran
yang paling sah adalah argumen mana yang terbaik bagi masyarakat.
Masalah sentralisasi dan desentralisasi bukan lagi dipandang sebagai persoalan penyelenggara
negara saja. Pada akhirnya kekuatan suatu bangsa harus diletakkan pada masyarakatnya. Saat ini
di banyak wilayah, politik lokal dikuasai selain oleh orang-orang partai politik juga kelompok-
kelompok yang menjalankan prinsip bertentangan dengan pencapaian tujuan kesejahteraan
umum. Kekuatan kelompok pro pembaruan lemah di banyak daerah dan langsung harus
berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik lokal dengan kepentingan sempit.
Birokrasi sekali lagi adalah alat pemerintah pusat untuk melakukan perbaikan daerah.
Birokrasi, jika dirancang secara sungguh-sungguh, bisa berperan sebagai alat merasionalisasikan
masyarakat. Pemerintah pusat, misalnya, membantu pemerintah daerah dalam mendesain
pelayanan publik yang akuntabel. Pemerintah daerah sering pada situasi terlalu terpengaruh
dengan kepentingan perpolitikan lokal.
C. Otonomi Daerah dan Desentralisasi
Otonomi Daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka
pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
prinsip otonomi yang dianut adalah:
1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar
pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan
maju.
Menurut Halim (2001), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah
(1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan
kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan
keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan;
(2) Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus
menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat
dan daerah.
Dorongan desentralisasi yang terjadi di berbagai negara di dunia terutama di negara-negara
berkembang, dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya, latar belakang atau pengalaman suatu
negara, peranannya dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam pembangunan ekonomi,
tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat, tanda-tanda adanya disintegrasi di
beberapa negara, dan yang terakhir, banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan
sentralistis dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif.
Desentralisasi tidaklah mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan
dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan
sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, konsep desentralisasi
terdiri atas Desentralisasi Administratif (Administrative Decentralization); Desentralisasi Fiskal
(Fiscal Decentralization).
Desentralisasi Adminitratif, yaitu pelimpahan wewenang yang dimaksudkan untuk
mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan untuk
menyediakan pelayanan publik. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama menyangkut
perencanaan, pendanaan, dan pelimpahan manajemen fungsi–fungsi pemerintahan dari
Pemerintah Pusat kepada aparatnya di Daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan
otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu.
Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu :
(1). Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada
pejabat yang berada dalam garis hirarki dengan Pemerintah Pusat di Daerah.
(2). Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih
rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak Pemerintah Daerah mendapat
discretion yang tidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal tertentu dimana Pemerintah
Daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya, Pemerintah Pusat akan memberikan
supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya,
Pemerintah Daerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal dan diberikan
kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali sumber-sumber
penerimaan serta mengatur penggunaannya. Dekonsentrasi dan devolusi dilihat dari sudut
konsepsi pemikiran hirarki organisasi dikenal sebagai distributed institutional monopoly of
administrative decentralization.
(3). Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu : pelimpahan wewenang untuk
tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang dikontrol
secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur
dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang menerima wewenang mempunyai
keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang
terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereign-authority).
Berbagai argumen yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan oleh Tiebout (1956),
Oates (1972), Tresch (1981), Breton (1996), Weingast (1995), dan sebagaimana dikutip oleh
Litvack et al (1998) yang mengatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya
diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum karena :
a. Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya;
b. Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga
mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang
berasal dari masyarakat;
c. Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan
mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya.
Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses
implementasi, dukungan politis baik pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing
tingkat pemerintahan, maupun masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi
pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme koordinasi
untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi dalam
memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik.
Tujuan politis untuk meningkatkan tingkat responsifitas birokrasi terhadap keinginan masyarakat
dalam pemenuhan pelayanan publik dikaitkan dengan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan
penyediaan pelayanan tersebut, memerlukan setidak-tidaknya 7 (tujuh) persyaratan penting untuk
keberhasilan pelaksanaan desentralisasi:
1. Tahapan pelaksanaan desentralisasi harus realistis disesuaikan dengan pengembangan
institusi, sistem dan prosedur dan mekanisme koordinasi di lingkup pemerintahan, dan
pengembangan kemampuan sumber daya manusia.
2. Keselarasan antara proses penyerahan kewenangan fungsi-fungsi pemerintahan dari
Pemeritah Pusat kepada Pemerintah Daerah dengan pengalihan pembiayaan, sarana dan
prasarana, sumber daya manusia dan dokumen.
3. Disain dan kerangka kerja proses desentralisasi harus terkait dengan kemampuan keuangan
dan kewenangan fiskal yang dimiliki oleh Daerah untuk memberikan pelayanan publik
kepada masyarakatnya, sehingga keinginan rakyat yang diwakili oleh DPRD dalam
penyediaan barang publik diharapkan mampu didukung oleh partisipasi masyarakat dalam
menanggung biaya atas penyediaan barang publik tersebut.
4. Masyarakat lokal harus diberikan informasi yang transparan tentang beban yang mereka
tanggung sebagai konsekuensi atas penyediaan barang publik tersebut terutama melalui
sosialisi, debat publik dan dialog lainnya yang bermanfaat bagi peningkatan kebutuhan
barang publik sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat.
5. Masyarakat harus diberikan kesempatan untuk menyampaikan preferensinya dalam
penyediaan barang publik melalui suatu mekanisme yang memungkinkan kehendak
masyarakat tersebut dapat ditampung dalam proses pengambilan keputuan pada tingkat
Pemerintah Daerah dan DPRD yang menghasilkan suatu Peraturan Daerah tentang
penyediaan barang publik dan implikasi pembiayaannya.
6. Adanya jaminan sistem akuntabilitas publik, transparansi dan tersedianya informasi
keuangan dan pembangunan daerah yang memadai, sehingga memungkinkan masyarakat
untuk memantau kinerja aparat Pemda, dan memberikan kesempatan pada masyarakat
untuk merespon secara proporsional terhadap kinerja Pemda yang tidak sesuai dengan
aspirasi masyarakat. Lingkungan ini memungkinkan baik aparat Daerah maupun DPRD
dituntut untuk responsif terhadap aspirasi masyarakatnya.
7. Instrumen desentralisasi terutama yang menyangkut aspek ketentuan perundangan,
kelembagaan, struktur pelayanan yang menjadi tugas Pemda, maka mekanisme kontrol dan
dukungan pembiayaan harus didesain sedemikian rupa sehingga mampu untuk mendukung
keinginan politis dari masyarakat.
Desentralisasi fiskal
Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Apabila
Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam
pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung
sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)
termasuk surcharge of taxes, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak,Pinjaman, maupun
Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan mempedomani hal-hal
sebagai berikut :
- Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement;
- Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan
pajak dan retribusi Daerah
D. Implementasi Kebijaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Seperti dimaklumi bahwa dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999
telah terjadi perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan Daerah,
khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dalam banyak literatur disebut intergovernment fiscal
relation yang dalam UU 25/1999 disebut perimbangan keuangan.
Sesuai Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Daerah diberikan kewenangan untuk
menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali kewenangan pemerintahan dalam
bidang pertahanan keamanan, politik luar negeri, fiskal dan moneter, peradilan, agama, dan
adminsitrasi pemerintahan yang bersifat strategis. Dengan pembagian kewenangan/fungsi
tersebut pelaksanaan pemerintahan di Daerah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
• Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada Daerah sesuai Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, perlu
diatur hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah yang dimaksudkan untuk membiayai
pelaksanaan fungsi yang menjadi kewenangannya.
• Dari sisi keuangan Negara, kebijaksanaan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah membawa
konsekuensi kepada peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar
E. Kebijaksanaan Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Sesuai dengan UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 bahwa perimbangan keuangan Pusat dan
Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal mengandung pengertian bahwa kepada
Daerah diberikan kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dan didukung
dengan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah.
Kebijaksanaan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah dilakukan dengan mengikuti
pembagian kewenangan atau money follows function. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan
antara Pusat dan Daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan
pengeluaran yang akan menjadi tanggungjawab Daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber
penerimaan yang ada.
Sejalan dengan pembagian kewenangan yang disebutkan di atas, maka pengaturan pembiayaan
Daerah dilakukan berdasarkan asas penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban APBD,
pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi
dilakukan atas beban APBN dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka tugas
pembantuan dibiayai atas beban anggaran tingkat pemerintahan yang menugaskan.
• Selanjutnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat
berdasarkan asas desentralisasi, kepada Daerah diberikan kewenangan untuk memungut
pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta
bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagai Dana Perimbangan.
Selain itu, Daerah juga diberikan kewenangan untuk melakukan pinjaman baik dari dalam negeri
maupun dari luar negeri. Pinjaman tersebut dapat berupa pinjaman jangka pendek untuk
membiayai kesulitan arus kas Daerah dan pinjaman jangka panjang untuk membiayai kebutuhan
pengeluaran untuk penyediaan sarana dan prasarana Daerah.
Sumber-sumber pembiayaan Daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiscal
meliputi:
a. Pendapatan Asli Daerah
Salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber
penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan
potensinya masing-masing. Kewenangan Daerah untuk memungut pajak dan retribusi
diatur dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan
dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya
dengan PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001
tentang Retribusi Daerah.
Berdasarkan UU dan PP tersebut, Daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11
jenis pajak dan 28 jenis retribusi. Penetapan jenis pajak dan retribusi tersebut didasarkan
pertimbangan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut di hampir
semua Daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktek
merupakan jenis pungutan yang baik.
Selain jenis pajak dan retribusi tersebut, Daerah juga diberikan kewenangan untuk
memungut jenis pajak (kecuali untuk Provinsi) dan retribusi lainnya sesuai kriteria-
kriteria tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang .
Ditinjau dari kontribusi pajak Daerah dan retribusi Daerah, sampai saat ini distribusi
kewenangan perpajakan antara Daerah dengan Pusat terjadi ketimpangan yang relatif
besar. Hal ini tercermin dalam jumlah penerimaan pajak yang dipungut Daerah hanya
sekitar 3,45% dari total penerimaan pajak (pajak Pusat dan Daerah). Demikian juga
distribusi pajak Daerah antar Daerah juga sangat timpang sekali dan bervariasi (ratio
PAD tertinggi dengan terendah mencapai 600). Peranan pajak dalam pembiayaan Daerah
yang sangat rendah dan sangat bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang
cukup besar dalam jumlah penduduk, kondisi geografis, dan kemampuan masyarakat.
Walaupun kewenangan pemajakan telah diberikan kepada daerah, namun dengan melihat
basis pajak-pajak yang besar telah dikuasai oleh Pusat (yang tentunya dilakukan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu), pemberian kewenangan tersebut tidak
akan berdampak besar terhadap peningkatan PAD. Selama ini, PAD dalam pembiayaan
kebutuhan Daerah di sebagian besar Daerah kurang dari 10% dan sangat bervariasi antar
Daerah dari 10% hingga 50%.
• Penguasaan sumber-sumber penerimaan pajak oleh Pemerintah Pusat pada dasarnya
dengan pertimbangan, antara lain, perlunya power yang besar dalam pemungutan
pajak, dan perlunya efisiensi ekonomi (dalam kaitannya dengan administrasi
pemungutan, mobilitas objek pajak, fungsi stabilisasi dan distribusi dari pajak). Hal ini
menjadi alasan yang kuat bagi Pemerintah Pusat untuk memiliki basis pajak-pajak
yang besar.
• Sejalan dengan pemberian kewenangan kepada Daerah untuk mengenakan pungutan
baru selain yang ditetapkan UU Nomor 34 Tahun 2000 jo PP Nomor 65 Tahun 2001
tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, telah
banyak menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya. Dengan kewenangan
tersebut, banyak Daerah telah menghidupkan kembali pungutan-pungutan yang
dulunya telah dihapus/dilarang dengan UU Nomor 18 Tahun 1997. Tindakan tersebut
sebenarnya tidak perlu terjadi apabila Daerah mematuhi ketentuan yang berlaku,
dimana telah ditetapkan secara tegas kriteria dari pajak dan retribusi yang dapat
dipungut oleh Daerah.
Sesuai ketentuan yang berlaku, Menteri Keuangan dapat merekomendasikan kepada
Menteri Dalam Negeri agar Peraturan Daerah (Perda) tentang pungutan yang
bertentangan dengan kententuan yang ada agar dibatalkan. Untuk sebanyak 1.129 Perda
yang telah disampaikan kepada Pemerintah Pusat, Menteri Keuangan telah
merekomendasikan sebanyak 80 Perda untuk dibatalkan. Menteri Dalam Negeri
menindaklanjuti rekomendasi pembatalan Perda tersebut dengan menganjurkan kepada
Daerah untuk meninjau kembali Perda tersebut dan untuk dibatalkan sendiri.
Permasalahan lain yang berkaitan dengan PAD adalah kewenangan perpajakan (taxing
power) Daerah yang sangat terbatas yang tercermin dari rendahnya kontribusi PAD
terhadap APBD (rata-rata kurang dari 10%). Keadaan ini kurang mendukung
akuntabilitas dari penggunaan anggaran Daerah, dimana keterbatasan dana transfer dari
Pusat untuk membiayai kebutuhan Daerah idealnya dapat ditutup oleh Daerah dengan
menyesuaikan basis pajak atau tarif pajak Daerahnya. Hal ini hanya dapat dilakukan
apabila taxing power dari Daerah diperbesar.
b. Dana Perimbangan
Bagian Daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan (Revenue Sharing)
Untuk menambah pendapatan Daerah dalam rangka pembiayaan pelaksanaan fungsi yang
menjadi kewenangannya dilakukan dengan pola bagi hasil penerimaan pajak dan bukan
pajak (SDA) antara Pusat dan Daerah. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999, pola
bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas
Daerah penghasil (by origin).
Bagi hasil penerimaan negara tersebut meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan bagi hasil sumber daya alam (SDA)
yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan
perikanan. Bagi hasil penerimaan tersebut kepada Daerah dengan prosentase tertentu yang diatur
dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 dan PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan
sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 84 Tahun 2001.
Dana Alokasi Umum
Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak
antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara Pusat
dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25% dari Penerimaan
Dalam Negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan
kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai
kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya.
Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah (Provinsi,
Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal Gap,
dimana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan atas kebutuhan Daerah (fiscal needs)
dengan potensi Daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk
menutup celah yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi dari potensi penerimaan
Daerah yang ada.
Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang
memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang
mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar.
Dengan konsep ini sebenarnya daerah yang fiscal capacitynya lebih besar dari fiscal
needs hitungan DAUnya akan negatif.
Variabel-variabel kebutuhan Daerah dan potensi ekonomi Daerah. Kebutuhan Daerah
paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan
geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok
masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi Daerah dicerminkan dengan potensi
penerimaan Daerah seperti potensi industri, potensi SDA, potensi SDM, dan PDRB.
Untuk menghindari kemungkinan penurunan kemampuan Daerah dalam membiayai
beban pengeluaran yang sudah menjadi tanggung jawabnya, maka perhitungan DAU
disamping menggunakan formula Fiscal Gap juga menggunakan Faktor Penyeimbang
(sesuai PP Nomor 104 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah direvisi dengan PP
Nomor 84 Tahun 2001). Dengan adanya Faktor Penyeimbang, alokasi DAU kepada
Daerah ditentukan dengan perhitungan formula Fiscal Gap dan Faktor Penyeimbang.
Dana Alokasi Khusus
• Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN,
yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Pengalokasian
DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
• Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah (i)
kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam
pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di
kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di
kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang
merupakan komitmen atau prioritas nasiona l.
Implementasi konsep DAK di Indonesia mencakup pula alokasi dana untuk kegiatan penghijauan
dan reboisasi, dimana pembiayaannya berasal dari penerimaan Dana Reboisasi (DR) dalam
APBN yang diberikan 40%-nya kepada Daerah penghasil. Pembiayaan dari DAK-DR sejalan
dengan keinginan Pemerintah untuk melibatkan Pemerintah Daerah penghasil DR dalam
kegiatan penghijauan dan reboisasi kawasan hutan di Daerahnya, dimana kegiatan tersebut
merupakan salah satu kegiatan yang menjadi prioritas nasional.
Adapun Pedoman Umum Pengelolaan DAK-DR untuk Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan
Lahan Tahun 2001 diatur dalam Surat Edaran Bersama Departemen Keuangan, Departemen
Kehutanan, Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, dan Bappenas Nomor :
SE-59/A/2001, Nomor: SE-720/MENHUT-II/2001, Nomor : 2035/D.IV/05/2001, dan Nomor :
SE-522.4/947/5/BANGDA.
c. Pinjaman Daerah
Untuk membiayai kebutuhan Daerah berkaitan dengan penyediaan prasarana yang dapat
menghasilkan (pengeluaran modal), Daerah juga dapat melakukan pinjaman baik dari dalam
negeri (Pusat dan Lembaga Keuangan) maupun dari luar negeri dengan persetujuan Pusat.
Sumber Pinjaman adalah dari dalam negeri (dari pemerintah Pusat, atau dengan penerbitan
obligasi) dan dari Luar Negeri, dengan persetujuan dan melalui Pemerintah Pusat.
Penggunaan :
1. Pinjaman jangka panjang, untuk membiayai pembangunan prasarana yang
merupakan aset Daerah, yang dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran
pinjaman ybs., serta memberikan manfaat bagi pelayanan umum.
2. Pinjaman jangka pendek, hanya dapat dilakukan dalam rangka pengelolaan kas
Daerah.
Kebijakan Pemerintah terhadap pinjaman luar negeri (penerusan pinjaman) dalam
kerangka desentralisasi fiskal saat ini merupakan permasalahan yang mendesak dan perlu
segera diselesaikan, mengingat hal-hal sebagai berikut :
1. sebagian besar perjanjian pinjaman luar negeri untuk Pemerintah Daerah telah
ditandatangani, namun belum dapat disalurkan karena mekanismenya belum
diatur secara jelas;
2. sebagian pinjaman tersebut, proyek-proyeknya sedang berjalan (on-going);
3. mekanisme untuk repayment/disbursement terhadap pokok pinjaman, bunga dan
resiko terhadap perubahan nilai kurs (foreign exchange risk) belum diatur secara
rinci;
4. jaminan terhadap pinjaman daerah masih belum jelas;
5. akuntabiltas terhadap pemanfaatan pinjaman daerah belum jelas;
Undang-Undang Nomor 22 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, merupakan
perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembagian
kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam mengelola pemerintahan serta
keuangan Daerah namun tidak secara eksplisit menjelaskan mengenai pinjaman Daerah
yang bersumber dari luar negeri melalui mekanisme on-lending.
Selanjutnya, mengingat mekanisme on-lending yang merupakan mekanisme pinjaman
Daerah yang bersumber dari luar negeri melalui Pemerintah Pusat saat ini belum terdapat
pengaturan yang jelas, maka Pemerintah Pusat diharuskan menetapkan suatu kebijakan
transisi terhadap perjanjian pinjaman yang telah ditandatangani. Hal ini perlu segera
diselesaikan mengingat terhadap perjanjian pinjaman tersebut Pemerintah diwajibkan
membayar front-end fee dan commitment charge.
Guna penyelesaian permasalahan on-lending sebagaimana tersebut di atas, Pemerintah
segera mengantisipasi dengan mengambil langkah-langkah penyelesaian sebagai berikut:
1. Merumuskan kebijakan Pemerintah terhadap pinjaman luar negeri dalam kerangka
desentralisasi fiskal; dan
2. Menyusun “mapping” kapasitas Daerah dalam rangka melakukan pinjaman.
Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, Ditjen Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah, bersama Ditjen Anggaran dan Ditjen Lembaga Keuangan sedang melakukan
pembahasan dengan instansi-instansi terkait guna merumuskan kebijakan mengenai on-
lending, dan menyampaikan konsep kebijakan tersebut kepada Menteri Keuangan untuk
mendapat penetapan. Selanjutnya, dalam rangka melaksanakan kebijakan tersebut juga
sedang disiapkan mapping terhadap daerah untuk mengklasifikasi Daerah menjadi
kelompok-kelompok daerah mampu, kurang mampu, atau tidak mampu dalam melakukan
pinjaman.
Pemikiran ke Depan tentang Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal
Meskipun perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah telah disempurnakan sejalan dengan
paradigma baru yang berkembang dewasa ini (UU Nomor 25 Tahun 1999) dan mengingat
Indonesia tergolong negara dalam usia yang relatif muda, kita harus banyak belajar dari sukses
dan kegagalan negara-negara lain khususnya negara maju. Oleh karena itu system disentralisasi
fiskal yang baru, masih memerlukan peninjauan secara teratur untuk menjamin kepekaannya
terhadap perubahan-perubahan baik yang menyangkut aspek sosial, politik, ketatanegaraan,
ekonomi dalam negeri, maupun pengaruh globalisasi politik dan ekonomi dunia.
Tujuan umum pelaksanaan desentralisasi fiskal harus dapat: (1) meningkatkan efisiensi
pengalokasian sumber daya nasional maupun kegiatan Pemerintah Daerah; (2) dapat memenuhi
aspirasi dari Daerah, memperbaiki struktur fiskal, dan memobilisasi pendapatan secara regional
maupun nasional; (3) meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan di tingkat Daerah; (4) memperbaiki keseimbangan fiskal antar Daerah
dan memastikan adanya pelayanan masyarakat yang berkualitas di setiap Daerah; (5)
menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat.
Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal diperlukan keberadaan Pemerintah Pusat yang kapabel
dalam melakukan pengawasan dan enforcement.
Prinsip money follows function harus dilaksanakan secara konsisten dan secara eksplisit tertuang
didalam pasal-pasal baik pada revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun revisi UU Nomor 25
Tahun 1999. Hal ini untuk menghindari terjadinya transfer sumber keuangan yang sudah
dikuasai oleh Daerah tetapi tidak diikuti oleh tugas desentralisasi yang menjadi tanggung jawab
Daerah (seperti yang diungkapkan oleh Roy Bahl, 2001 “Fix the Assigment of Expenditure, then
Assign Revenues in amount that will Correspond to the Expenditure Needs”)
Desentralisasi fiskal harus mempertimbangkan kebijakan fiskal khususnya untuk mendukung
kebijakan makro ekonomi antara lain yang berkaitan dengan fiscal sustainability dan tetap
memberikan ruang bagi Pemerintah Pusat untuk mengadakan koreksi atas ketimpangan antar
Daerah, sehingga taxing power yang diberikan kepada Daerah tetap tidak terlalu besar
Dampak Positif dan Negatif dari desentralisasi
Kelebihan dari sistem desentralisasi yaitu Pemerintah yang memilih desentralisasi
memandang bahwa dengan penerapan desentralisasi dapat meningkatkan stabilitas politik dan
kesatuan bangsa karena masing-masing daerah memiliki kebebasan dalam pengambilan
keputusan sehingga dapat meningkatkan keterlibatan dalam sistem politik. Dengan adanya
desentralisasi ini, maka Pemerintah Daerah diberikan wewenang lebih besar dalam pengambilan
keputusan bagi daerahnya dengan pendekatan yang lebih sesuai. Pemberlakuan desentralisasi
juga dapat mengurangi biaya atas penyediaan layanan publik dengan menekan diseconomy of
scale.
a. Segi Ekonomi
Dari segi ekonomi banyak sekali keutungan dari penerapan sistem desentralisasi ini
dimana pemerintahan daerah akan mudah untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya,
dengan demikian apabila sumber daya alam yang dimiliki telah dikelola secara maksimal maka
pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat akan meningkat.
b. Segi Sosial Budaya
Dengan diadakannyadesentralisasi akan memperkuat ikatan sosial budaya pada suatu
daerah. Karena dengan diterapkannya sistem desentralisasi ini pemerintahan daerah akan dengan
mudah untuk mengembangkan kebudayaan yang dimiliki oleh daerah tersebut. Bahkan
kebudayaan tersebut dapat dikembangkan dan di perkenalkan kepada daerah lain. Yang nantinya
merupakan salah satu potensi daerah tersebut.
c. Segi Keamanan dan Politik
Dengan diadakannya desentralisasi merupakan suatu upaya untuk mempertahankan kesatuan
Negara Indonesia, karena dengan diterapkannya kebijakna ini akan bisa meredam daerah-daerah
yang ingin memisahkan diri dengan NKRI, (daerah-daerah yang merasa kurang puas dengan
sistem atau apa saja yang menyangkut NKRI).
Disamping memiliki kelebihan desentralisasi juga memiliki Kelemahan. Kelemahan dari
desentralisasi daerah yaitu :
Karena jumlah organ-organ pemerintah bertambah banyak sejalan dengan
kewenangan yang dimiliki daerah, maka struktur pemerintahan bertambah kompleks
sehingga mempersulit koordinasi.
Hubungan keseimbangan dan keserasian antara berbagai macam kepentingan daerah
mudah terganggu.
Desentralisasi teritorial dapat mendorong timbulnya ”sentimen kedaerahan”
(etnocentries).
Pengambilan keputusan memerlukan waktu yang lama karena melalui perundingan
yang rumit.
Penyelenggaraan desentralisasi memerlukan biaya yang lebih banyak dan sulit
dilaksanakan secara sederhana dan seragam.
Pada tahun 2004, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 direvisi karena tidak sesuai
dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah
di Indonesia saat sekarang ini dengan dilaksanakannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah. Diberlakukannya Undang-undang yang baru ini
mempertimbangkan;
a. Bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sesuai dengan amanat
UUD RI tahun 1945, Pemerintah Daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan
suatu daerah dalam sistem negera kesatuan republik Indonesia.
b. Bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan Daerah perlu ditingkatkan
dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan
antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan
persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah
dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah dan DPRD berpedoman pada asas umum
penyelenggaraan negara yang terdiri dari asas; Kepastian hukum, Tertib penyelenggara negera,
Kepentingan umum, Keterbukaan, Proporsionalitas, Profesionalitas, Akuntabilitas, Efisiensni
dan Efektivitas.
Dalam pasal 22 UU Nomor 32 Tahun 2004 ini juga telah disebutkan mengenai kewajiban
daerah dalam menyelenggarakan otonomi, di antaranya ;
a. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional serta
keutuhan negara republik Indonesia.
b. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
c. Mengembangkan kehidupan demokrasi.
d. Mewujudkan keadilan dan pemerataan, dan seterusnya
Namun di satu sisi penerapan undang-undang ini mengalami satu kemunduran, karena
tidak lagi disebutkan adanya pembentukan forum perkotaan sebagaimana yang diatur dalam
undang-undang sebelumnya. Sedangkan di sisi yang lain, terdapat kemajuan yang pantas dicatat,
yaitu diberlakukannya pemilihan secara langsung oleh masyarakat untuk memilih kepala daerah
(gubernur/ wakil gubernur ataupun bupati/ wakil bupati dan walikota/ wakil walikota). Artinya
dengan pemilihan langsung ini memberikan legitimasi demokrasi yang lebih kuat karena
pimpinan daerah dipilih langsung oleh masyarakat bila dibanding dengan dipilih secara
perwakilan oleh anggota DPRD yang berjumlah 45 orang angota dewan.