Post on 08-Dec-2015
description
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta alam
semesta, manusia, dan kehidupan beserta segala isinya, karena berkat pimpinan, bimbingan,
bantuan, izin serta bimbingan-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Bakteri
Patogen Pada Saluran Pernapasan” ini tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini, Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Ibu Ndaru Setyaningrum. S. Farm,. Apt selaku dosen mata kuliah Mikrobiologi
atas bimbingannya.
Topik pada makalah ini adalah bakteri patogen, khususnya mengarah pada pembahasan
mengenai bakteri penyebab infeksi pada saluran pernapasan. Kami mengumpulkan data-data dari
berbagai sumber seperti buku, internet, maupun orang-orang yang memiliki kemampuan lebih
mendalam mengenai topik yang kami bahas.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan wawasan yang lebih luas
kepada pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para
pembaca demi peningkatan kualitas makalah.
Yogyakarta, 20 April 2011
Eko Saputro
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .1
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .2
ABSTRAK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .3
BAB I. Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .4
I.1. Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .5
I.2. Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ... 5
I.3. Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
I.4. Metode Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
I.5. Sistematika Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
BAB II. Pembahasan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
II.1. Streptococcus . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .6
II.2. Mycobacterium tuberculosis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .10
II.3. Streptococcus pneumoniae . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .14
II.4. Haemophilus influenza . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . 16
II.5. Mycoplasma pneumoniae .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .19
II.6. Corynebacterium diphtheriae . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .23
II.7. Bordetella pertussis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . .. . . . . . .. . . 28
II.8. Legionella pneumophila . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .34
BAB III. Penutup . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . .. . .. . . . . . . . . . .38
III.1. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..38
III.2. Saran . . . . .. ... . . . .. .. .. .. . .. . . . . . . . . .. .. . . . . . . .. . . . . . . . .38
Daftar Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .39
ABSTRAK
Saluran pernafasan adalah pintu gerbang utama, tempat bakteri mungkin memasuki
tubuh. Dalam makalah ini tekanan diletakkan pada mikroorganisme yang menginvansi dengan
melalui saluran pernafasan serta penyakit yang ditimbulkannya.
Satu penjelasan tentang bagaimana saluran pernafasan bawah tetap bebas dari
mikroorganisme berpusat pada pelapisan salurannya, dengan silianya dan sel-sel yang
menyekresi lendir. Kerja sekresi lendir dan gerakan silia yang terkombinasi cenderung
menghasilkan “eskalator” mukosilia yang dengan efektif membuang setiap bakteri atau partikel
lain yang mungkin telah memperoleh jalan sampai saluran pernafasan bawah.
Hal lain yang perlu diperhatikan pula ialah bahwa dalam makalah ini tekanan diletakkan
pada mikroorganisme yang masuk terutama melalui saluran pernafasan . beberapa di antara
organisme ini mungkin mempunyai pintu gerbang masuk lainnya juga. Masih ada
organisme lain yang kadang-kadang memasuki tubuh dan menimbulkan penyakit melalui
saluran pernafasan yang tidak tercakup dalam makalah ini karena langkahnya sebagai penyebab
penyakit.
Kata Kunci : Streptococcus, Haemophilus influenza, Mycobacterium tuberculosis, Bardetela
pertussis, Streptococcus pneumoniae, Corynebacterium dipththeriae, Mycoplasma pneumonia,
Legionella pneumophila
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. LATAR BELAKANG
Bernapas adalah sebuah proses yang dilakukan oleh sebagian besar mahluk hidup di
muka bumi ini. Dalam prosesnya, bernapas juga memerlukan suatu sistem yang kita kenal
sebagai sistem pernapasan. Di dalam sistem pernapasan, kita memiliki apa yang disebut sebagai
saluran pernapasan. Saluran pernapasan merupakan sebuah saluran yang berawal dari hidung
ataupun mulut dan berakhir di paru-paru.
Saluran pernapasan kita terdiri dari saluran
hidung faring laring trakea bronkus bronkiolus alveolus. Saluran pernapasan
ini bisa dibagi menjadi dua yaitu saluran pernapasan atas dan juga saluran pernapasan bawah.
Saluran pernapasan atas dimulai dari saluran hidung hingga faring. Walaupun mempunyai sistem
pertahanan tersendiri pada saluran pernapasan, namun saluran pernapasan ini juga rentan
terhadap berbagai macam penyakit, misalnya saja yang sering kita kenal sebagai infeksi saluran
pernapasan.
Penyebab infeksi ini bisa bermacam-macam dan salah satunya adalah bakteri. Ada
berbagai macam bakteri yang bisa menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan. Bakteri-
bakteri ini bisa menular melalui berbagai cara seperti melalui udara, droplet, air, dan lain-
lain. Terdapat beberapa bakteri penyebab infeksi saluran pernapasan,
diantaranya Streptococcus, Mycobacterium tuberculosis, Streptococcus
pneumoniae,Haemophilus influenza, Corynebacterium diphtheriae, Mycoplasma
pneumonia,Bordetella pertussis, dan Legionella pneumophila.
I. 2. RUMUSAN MASALAH
Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap beberapa jenis bakteri patogen yang dapat
menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan.
I. 3. TUJUAN PENULISAN
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi ilmiah kepadasesama
mahasiswa farmasi khususnya dan masyarakat secara umum tentang jenis-jenis bakteri penyebab
infeksi saluran pernapasan. Selain itu juga diharapkan adanya pengembangan untuk pengobatan
penyakit berdasarkan informasi yang terdapat dalam makalah.
I. 4. METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan dalam menyusun makalah ini adalah metode pustaka
dan studi literatur. Dengan metode ini, penulis mencari dan mengumpulkan informasi penting
yang sesuai dengan topik penulisan dari berbagai sumber seperti beberapa buku, artikel dan
website atau situs-situs internet yang terkait.
I. 5. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari tiga bab, yaitu Bab I: Pendahuluan, terdiri
atas Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan, dan Sistematika
Penulisan. Bab II: Pembahasan, serta Bab III: Penutup, yang terdiri atas Kesimpulan dan Saran.
BAB II
PEMBAHASAN
II. 1. STREPTOKOKUS
Streptokokus adalah patogen penting karena banyak infeksi hebat yang disebabkannya dan
karena komplikasi yang mungkin terjadi setelah sembuh dari infeksi akut itu. Komplikasi yang
terjadi setelah infeksi streptokokus meliputi demam reumatik dan glomerulonefritis akut.
Ciri-ciri Utama
Mikroba bersifat Gram-positif, bentuk kokus dengan penataan tunggal, berpasangan atau
berantai. Lazimnya bersifat fakultatif anaerob, katalase-negatif dan fermentatif.
Mikroba ini banyak ditemukan di alam dan juga sebagai mikroba komensal pada
hewan. Streptococcus yang bersifat patogen dapat ditemukan pada kulit, mukosa mebran, traktus
genitalis dan saluran pencernaan.
Sifat Biakan
Beberapa galur Streptococcus hanya dapat tumbuh dalam keadaan anaerobik. Kelompok
ini agak berbeda dengan Streptococcus lainnya yang lazimnya bersifat anaerobik oleh karena
tidak dapat mensintesis senyawa “heme”. KelompokStreptococcus anaerobik ini tidak dapat
mensintesis sitokromdan dengan demikian tidak dapat melakukan fosforilasi oksidatif yang
ditengahi oleh sitokrom-ETS. Berdasarkan sifat ini, maka untuk
mengisolasi Streptococcus seringkali ditambahkan inhibitor sitokrom yaituNa-azide.
Hemolisis
Daya kerja Streptococcus pada eritrosit kuda merupakan salah-satu dasar identifikasi
kelompok ini. Pada umumnya galur yang bersifat patogen menghasilkan hemolisisn yang
melisiskan eritrosit kuda. Ini disebut beta-hemolisis dan ditandai oleh zone terang disekeliling
koloni pada biakan agar darah.
Pada kelompok vriridans akan terlihat hemofilis-alpha yang ditandai oleh perubahan
warna kehijauan di sekitar kolonisetelah 18-24 jam bila diinkubasikan pada suhu 370 C.
Bila Streptococcus kelompok ini kemudian diinkubasikan pada suhu yang rendah maka akan
terlihat zone jernih di luar zone kehiajauan. Zone hijau ini tidak akan berubah warna meskipun
diinkubasikan lebih lama.
Sifat hemolisis ini paling jelas terlihat pada koloni yang ditumbuhkan pada biakan agar
tuang.
Infeksi Biogenik
Kelompok bakteri yang terutama menghasilkan nanah adalah staphylococcus,
streptococcus dan corynebacterium. Bila bakteri piogenik merasuki jaringan maka akan terjadi
proses peradangan yang ditandai dilatasi vaskuler dan peningkatan jumlah neutrofil dan plasma.
Neutrofil akan melingkupi bakteri dengan proses fagositosis. Dalam proses fagositosis ini ada
bakteri yang dihancurkan tetapi ada juga bakteri yang resisten terhadap enzim lisozim dan
berkembang biak dalam neutrofil. Bakteri ini ada yang berbentuk toksin, sehingga
menghancurkan neutrofil. Enzim yang dikeluarkan oleh neutrofil akan menyebabkan pencairan
dari jaringan sel yang mati dan juga sel-sel fagosit. Sel dan jaringan yang mencair ini terlihat
sebagai nanah yang kental dan bewarna kuning. Sifat kental dari nanah ini disebabkan
deoksiribonukleoprotein dari inti sel yang rusak dan mati.
Berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh infeksi streptococcus dipengaruhi olehport
d’entrée, jenis hewan dan species streptococcus. Tiga macam penyakit yang memperlihatkan
gejala yang berbeda ialah “strangles” pada kuda, “jowl abcesses” pada babi dan anthritis. Infeksi
streptococcus biasanya bersifat setempat, namun demikian dapat terjadi kematian akibat
septicemia atau bakteriaemia.
Produk Metabolisme Streptococcus
1. Asam hialuronat
Faktor virulensi yang memberikan perlindungan terhadap fagositosis.
2. Protein-M
Penyebab sifat virulen, “type-specific immunity”.
3. Hemolisin
Streptolisin O dan S adalah penyebab beta-hemolisis. Antibodi terhadap streptolisin O
merupakan petunjuk yang baik terhadap adanya infeksi di masa lampau.
4. Streptokinase
Menyebabkan lisis dari gumpalan fibrin.
5. Streptodornase
Deoksiribonuklease yang menyebabkan sifat kental DNA berkurang.
BilaStreptococcus mengandung enzim ini maka nanahnya akan bersifat encer.
6. Hialuronidase
Keterkaitan antara produksi enzim ini dengan virulensi terlihat pada infeksi oleh S. cellulitis.
7. Toksin eritrogenik
Menyebabkan “rash” pada scarlet fever. Hanya dihasilkan oleh galuur yang bersifat lisogenik.
Infeksi Streptokokus Hemolitis Β Kelompok A
1. Sakit tenggorokan streptokokus
Sifat-sifat klinis infeksi streptokokus bermacam-macam. Tipe yang paling sering adalah infeksi
amandel dan faring. Pada anak-anak khususnya, sakit tenggorokan mungkin akut. Selaput lender
biasanya merah dan membengkak, mengeluarkan nanah. Kelenjar limfa leher mungkin
membesar dan suhu biasanya tinggi. Jumlah sel darah putih meningkat. Masa inkubasi bervariasi
dari 1 sampai 3 hari. Epidemic penyakit ini biasanya sebagai akibat kontak dengan orang yang
terinfeksi atau pembawa yang sehat. Studi epidemiologi menunujukan bahwa biasanya anak
sekolah yang membawa infeksi ini ke rumah dan menyebabkannya dalam keluarga.
2. Impetigo
Impetigo (juga disebut pioderma streptokokus) adalah infeksi kulit yang terjadi paling sering
pada anak-anak muda, terutama yang hidup dalam taraf sosioekonomi rendah yang padat.
Impetigo streptokokus diciri dengan terjadinya lepuh kecil pada kulit yang kemudian membentuk
kerak tipis berwarna kuning. Luka itu tidak sakit dan kesembuhan terjadi tanpa bekas.
3. Demam Skarlet
Demam skarlet mungkin disebabkan oleh tipe streptokokus kelompok apa saja, yang dapat
menyekresi salah satu toksin eritrogen. Terdapat tiga tipe berbeda dari toksin ini yang juga
disebut eksotoksin pirogen streptokokus yang masing-masing akan menyebabkan gatal kulit.
Terdapat cukup data yang menyarankan bahwa gatal yang sebenarnya adalah akibat reaksi
hipersensitivitas terhadap toksin. Jadi, demam skarlet adalah infeksi streptokokus (misalnya sakit
tengggorokan) yang di dalamnya terlibat galur yang memproduksi toksin eritirogen. Kini
diketahui bahwa seperti banyak bakteri yang memproduksi eksotoksin, streptokokus yang
memproduksi toksin eritrogen bersifat melisogen dan produksi toksin adalah hasil
lisogenisitasnya atau konversi lisogen. Streptokokus sendiri biasanya terbatas pada tenggorokan
dan nasofaring, tetapi pada beberapa hal organisme ini mungkin menginvasi darah untuk
menyebabkan infeksi streptokokus darah. Setelah mulainya sakit tenggorokan, biasanya gatal
kulit demam skarlet muncul dalam 2 hari.
4. Infeksi streptokokus kelompok A lain
Puerperal sepsis (infeksi kelahiran) adalah infeksi uterus yang telah meminta banyak korban jiwa
wanita setelah kelahiran. Untungnya, teknik asepsis telah mengeliminasi banyak infeksi tipe ini
di Negara maju. Streptokokus mungkin juga tersebar ke rongga hidung dan telinga tengah.
Komplikasi Nonsupuratif Lambat
1. Demam reumatik
Demam reumatik terjadi pada sejumlah kecil persentase infeksi streptokokus kelompok A
hemolitis β, yang tidak diobati. Kesembuhan dari demam reumatik terjadi tanpa kerusakan
permanen pada persendian, tetapi keterlibatan jantung adalah bagian terpenting penyakit ini,
karena dalam organ inilah kerusakan permanen mungkin terjadi. Mekanisme yang digunakan
streptokokus untuk menimbulkan demam reumatik masih belum jelas, tetapi banyak bukti
kejadian menunjukan bahwa demam reumatik adalah akibat reaksi imunologi.
2. Glomerulonefritis
Glomerulonefritislebih jarang sebagai akibat infeksi streptokokus daripada demam reumatik.
Glomerulonefritis diperkirakan sebagai penyakit autoimun yang di dalamnya streptokokus itu
memiliki atau menyintesis antigen yang bereaksi silang dengan membran dasar glomerulus
ginjal atau streptokokus menyimpan kompleks antigen-antibodi pada membran dasar.
Pengobatan infeksi kelompok A
Penisilin masih merupakan antibiotika pilihan tetapi kebanyakan, para pakar menyetujui
bahwa taraf penisilin tarapeutik harus dipertahankan untuk selama paling sedikit 8 sampai 10
hari untuk menjamin pemberantasan organisme seluruhnya. Terapi antibiotika yang intensif
hanya menolong sedikit untuk memperpendek jalannya infeksi tenggorokan
II. 2. MYCOBACTERIUM
Ciri Utama Mycobacteria
Mikroba yang termasuk kelompok ini bersifat tahan asam, berbentuk batang halus, tidak
bergerak, tidak membentuk spora dan bersifat aerobic. Penguraian karbohidrat dilaksanakan
melalui proses oksidasi.
Komponen Mycobacteria
Mikroba ini tidak menghasilkan eksotoksin. Kandungan lipidnya sangat tinggi (20-40%
dari berat kering) bahan ini diduga sebagai penyebab resistensi pertahanan humoral,
desinfektans, larutan asam dan basa.
Dinding sel yang tebal dari mycobacterium kaya akan asam mikolat dan asam lemak
lainnya, sehingga menyebabkan mikroba ini bersifat hidrofobik dan bersifat impermeable
terhadap zat warna.
Lipida yang terdapat pada mycobacterium ialah :
1. Asam Mikolat
2. LIlin D
3. Mikosida
4. Glikolipida
Mekanisme Infeksi Mycobacterium tuberculosis
Mikroba dikeluarkan melalui sputum dan saluran pernafasan. Infeksi terjadi melalui
muntahan atau saluran pernafasan. Lesion utama terjadi pada paru-paru dan limfoglandula.
Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Infeksi Tuberkulosis
1. Kepadatan jumlah hewan dalam satu kandang.
2. Faktor genetic
3. Kekebalan alami dan kekebalan perolehan
Gambar1.1 Penyebaran tuberculosis
Patogenesis
Manifestasi penyakit tergantung pada masuknya mikroba. Jika terjadi melalui inhalasi,
maka paru-paru dan limfoglandula tracheobronchial yang terserang. Jika melalui ingesti, maka
jalur infeksi terjadi melalui limfoglandula mesenterium, dinding usus dan hati melalui sistem
portal. Mikroba dari limfoglandula dapat mencapai duktus thorasikus melalui infeksi umum.
Hipersensitivitas dan kekebalan seluler digertak disertai dengan penghambatan
perkembangbiakan dan penyebaran mikroba. “Delayed hypersensitivity” yang disebabkan
jumlah antigen yang banyak menyebabkan kerusakan jaringan. Pada umumnya lokus infeksi
bersifat mikroskopik dan dapat menghilang dengan sendirinya. Namun, beberapa
mikroorganisme dapat bertahan sehingga mengakibatkan tuberkel yang bersifat karakteristik.
Patogenitas Mycobacterium tuberculosis
Mikroba ini dapat menginfeksi manusia, primata dan kera. Primata dan kera dapat ditulari
oleh manusia. Ternak disensitisasi oleh manusia. Pada babi infeksi terjadi melalui sisa makanan
tercemar, gejala terlihat pada limfoglandula di daerah kepala. Ayam jarang terinfeksi. Anjing dan
kucing dapat terinfeksi. Hewan percobaan, marmot bersifat peka terhadap infeksi M.
tuberculosis.
Cara Pemeriksaan
Perlakuan pada bahan terduga harus hati-hati karena kemungkinan penularan.
Pemeriksaan langsung pada bahan tersangka dilakukan dengan pewarnaan tahan-asam.
Isolasi
Diagnosis tuberkulosis sering kali didasarkan pada ditemukannya mikroba tahan-asam di
lesion yang bersifat karakteristik. Bila bahan terduga berupa nodula, maka digunakan ”mortar”
dengan pasir halus dan steril. Pada gerusan ditambahkan 10 ml 4% NaOH yang mengandung
merah fenol, kemudian pusingkan. Sedimen dinetralisasikan dengan HCl 2N selama paling lama
30 menit. Sedimen ini kemudian diinokulasikan ke medium LOewenstein-jensen dan
diinkubasikan pada 37ºC selama 6-8 minggu.
Identifikasi
Identifikasi didasarkan pada sifat biakan, pertumbuhan dan ciri biokimia. Peneguhan
biasanya dilakukan di laboratorium rujukan.
Sifat Biakan
Koloni terlihat kering, berbutir, dan subur. Permukaan koloni terlihat kasar dan bewarna
kuning. Pertumbuhan pada media padat dengan suhu inkubasi 37ºC terlihat setelah 2 minggu.
Resistensi
Pada umumnya mycobacteria bersifat resisten terhadap berbagai faktor fisik dan
desinfektan kimia. Resisten ini disebabkan oleh kandungan lipida dalam dinding sel. Bahan yang
mengandung tuberkulosis tetap hidup dalam karkas yang membusuk dan tanah lembab selam 1-4
tahun. Dalam tinja sapi yang kering mikroba ini dapat bertahan selam 150 hari. Pembekuan tidak
mempengaruhi daya hidup mikroba. Kekeringan mempengaruhi daya hidup mikroba bila
dilakukan bersamaan dengan sinar matahari. Mikroba ini resisten terhadap asam dan basa,
namun fenol (5%), lisol (3%), dan kresol berdya kerja sedang.
Pengobatan
Penggunaan obat mungkin tidak dapat diterapkan pada hewan. Obat yang paling ampuh
dalam pengobatan tuberculosis adalah isoniazid. Obat ini digunakan bersama para-aminosalisilat
atau ethambutol dan kadangkala bersama dengan streptomycin merupakan “triple therapy”.
Pengobatan dapat diberikan selam 3 tahun, namun untuk streptomycin pengobatan dilakukan
untuk beberapa bulan saja.
Beberapa galur dapat menjadi resisten terhadap streptomycin dan gangguan terhadap
syaraf pendengaran dapat terjadi. Selain itu terdapat pula galur yang resisten terhadap isoniazid.
Rifampin juga merupakan obat manjur dan dapat digabung dengan ioniazid. Penggabungan
kedua obat ini sering diberikan pada hewan penderita di kebun binatang.
Pencegahan
Di lapangan, diagnosis dilakukan dengan uji tuberkulin yang didasarkan pada “Delayed-
hypersensitivity”. Beberapa macam tuberculin dapat digunakan, semuanya mengandung protein
mycobacterium yang menyebabkan hewan terinfeksi menjadi hipersensitif . “Old Tuberculin”
menurut Koch merupakan filtrat dari biakan M. tuberculosis yang berumur 8 minggu.
Kekebalan
Meskipun antibody diproduksikan dalam tuberkulosis, imunitas terutama disebabkan
(Cell Mediated Immunity) CMI. Vaksin yang terutama digunakan ialah vaksin BCG yang
merupakan M. bovis yang hidup dan diatenuasikan dengan menumbuhkannya pada biakan
kentang-gliserin empedu dengan pemindahan berulang kali. Vaksin ini digunakan untuk
pencegahan penyakit pada pedet.
Hipersensitivitas terhadap tuberkulin menunjukan resistensi terhadap tuberkulin. Reaksi
ini terkadang bersifat negatif bila tingkat infeksinya parah ataupun bila terdapat kelemahan
tedapat pada CMI.
II. 3. Streptococcus pneumoniae (Pneumokokus)
Klasifikasi
Kingdom : Bakteri
Filum : Frimicutes
Kelas : Cocci
Ordo : Lactobacillales
Famili : Streptococcaceae
Genus : Streptococcus
Spesies : Streptococcus pneumoniae
Pada tahun 1881, George Sternberg dan Louis Pasteur menemukan bakteri ini dalam
saliva manusia di tempat yang terpisah. Walaupun mereka dapat membuat septikemia dengan
menyuntikkan kuman ini pada kelinci, namun mereka tidak menghubungkannya dengan penyakit
pneunomia. Kemudian pada tahun 1886 diketahui bahwa kuman ini dapat menyebabkan
pneumonia lobaris, oleh Frunkel dan Weischselbaum di tempat yang terpisah juga.
Koloni Kuman dan Sifat Biaka
Kuman ini merupakan positif Gram berbentuk diplokokus dan seperti lanset. Namun pada
perbenihan tua dapat nampak sebagai negatif Gram, tidak membentuk spora, tidak bergerak
(tidak berflagel). S. pneunomiae adalah anaerob fakultatif, larut dalam empedu dan merupakan
alfa hemolitis. Selubungnya terutama dibuat oleh jenis yang virulen.
S. pneunomiae tumbuh pada pH normal, yaitu 7,6-7,8, dan jarang terlihat tumbuh pada
suhu di bawah 25C dan di atas 41C, melainkan tumbuh dengan suhu optimum 37,5C. Glukosa
dan gliserin meningkatkan perkembangbiakannya, tapi bertambahnya pembentukan asam laktat
dapat menghambat dan membunuhnya, kecuali jika ditambahkan kalsium karbonat 1% untuk
menetralkannya. Dalam lempeng agar darah sesudah pengeraman selama 48 jam akan terbentuk
koloni yang bulat kecil dan dikelilingi zona kehijau-hijauan identik dengan zona yang dibentuk
oleh Streptococcus viridans.Perbedaan antara S. pneumoniae dengan S. viridans tersebut adalah
sifat S. viridansyang lisis dalam larutan empedu 10% (otolisis) atau natrium desoksikholat 2%
dalam waktu 5-10 menit. Pneumokokus dapat dibedakan dengan kokus lainnya, sebab kuman ini
dihambat pertumbuhannya oleh optokhin.
Pneumokokus tidak tahan terhadap sinar matahari langsung. Penyimpanan bakteri ini
adalah baik jika dalam keadaan liofil. Kuman ini lebih mudah mati dengan fenol, HgCl2, kalium
permanganat dan antiseptikum lainnya daripada Mikrokokus dan Streptokokus lain.
Pneumokokus juga rentan terhadap sabun, empedu, natrium oleat, zat warna dan derivat kuinin.
Sulfadiazin juga dapat menghambatnya, namun sering terjadi resistensi sesudah beberapa hari.
Manifestasi Klinis
Infeksinya pada manusia yang khas ialah menyebabkan penyakit pneumonia lobaris.
Penyakit lain yang disebabkannya juga adalah sinusitis, otitis media, osteomielitis, artritis,
peritonitis, ulserasi kornea, dan meningitis. Pneumonia lobaris dapat menyebabkan komplikasi
berupa septikemia, empiema, endokarditis, perikarditis, meningitis dan artritis.
Patologi
Angka kematian pada pneumonia tergantung pada ras, seks, umur dan keadaan umum
penderita, tipe kumannya, luasnya bagian paru-paru yang terkena, ada tidaknya septikemia, ada
tidaknya komplikasi, pemberian terapi spesifik, dan faktor-faktor lainnya.
Pengobatan
Penisilin merupakan obat yang sangat efektif. Yang berbahaya bila terjadi infeksi
sekunder oleh Stafilokokus yang resisten terhadap penisilin dan antibiotika lainnya. Dosis yang
lebih tinggi diperlukan untuk mengobati meningitis agar dapat mencapai selaput otak. Namun,
akhir-akhir ini pneumokokus sudah resisten terhadap banyak preparat antibiotika, misalnya
tetrasiklin, eritromisin, dan linkonmisin. Peningkatan resistensi terhadap penisilin juga terlihat
pada Pneumokokus yang diisolasi dari New Guinea.
II. 4. Haemophilus influenzae
Klasifikasi
Divisi : Bakteri
Kelas : Schizomicetes
Ordo : Eubacteriales
Famili : Haemophilunaceae
Genus : Haemophilus
Spesies : Haemophilus influenzae
Bakteri H. influenzae pertama kali ditemukan oleh Richard Pfeiffer (1892) ketika sedang
terjadi wabah influenza. H. influenzae disalah artikan sebagai penyebab influenza sampai tahun
1933, ketika etiologi virus flu menjadi jelas.
Koloni Kuman dan Sifat Biakan
H. influenzae mempunyai ukuran (1 µm X 0.3 µm). Bakteri ini berbentuk cocobacillus
negatif Gram dan merupakan anaerob fakultatif. Pada 1930, bakteri ini dibagi menjadi 2 jenis,
yaitu koloni R yang dibentuk oleh kuman-kuman tak bersimpai (NTHi) dan koloni S yang
dibentuk oleh kuman-kuman bersimpai.
Kuman-kuman koloni S dianggap virulen dan secara serologik dibagi dalam 6 tipe
berdasarkan simpainya: a,b,c,d,e, dan f. Penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwaH.
influenzae tak bersimpai (rough) biasa diasosiasikan dengan penyakit saluran pernafasan kronik,
terutama pada orang dewasa. Sedangkan H. influenzae bersimpai merupakan penyebab penyakit-
penyakit invasif seperti meningtis, piartrosis, sellulitis, pneumonia, perikarditis, dan epiglotitis
akut. Salah satu jenis dari kuman bersimpai ini adalah H. influenzae tipe b (Hib), yang
merupakan penyebab sebagian besar penyakit invasif, termasuk penyakit pneunomia dan
meningitis bakterial akut pada bayi dan anak-anak.
Sesuai dengan namanya, H. influenzae membutuhkan faktor-faktor pertumbuhan yang
terdapat di dalam darah yang dilepaskan ketika sel darah merah mengalami lisis (haemo=darah,
philos=menyukai). Faktor-faktor tersebut adalah faktor X (hemin), suatu derivat haemoglobin
yang termostabil, dan faktor V (nicotinamide-adenine-dinucleotide)yang termolabil. Spesies ini
memerlukan salah satu atau kedua faktor pertumbuhan tersebut.
H. influenzae sangat peka terhadap disinfektan dan kekeringan. Kuman ini tumbuh
optimum pada suhu 37C dan pH 7,4-7,8 dalam suasana CO2 10%. Kuman ini juga tumbuh
subur sebagai satelit Stafilokokus karena Stafilokokus menghasilkan faktor V.
Penyeberan
Infeksi oleh H. influenzae terjadi setelah mengisap droplet yang berasal dari penderita
baru sembuh, atau carrier, yang biasanya menyebar secara langsung saat bersin atau batuk. H.
influenzae menyebabkan sejumlah infeksi pada saluran pernafasan bagian atas seperti faringitis,
otitis media, dan sinusitis yang terutama penting pada penyakit paru kronik. Meningitis
karena H. influenzae jarang terjadi pada bayi berumur kurang dari 3 bulan dan tidak umum
dijumpai pada anak-anak diatas umur 6 tahun. Pada anak-anak, selain meningitis, H.
influenzae tipe b juga menyebabkan penyakit bacterial epiglottitisakut.
Manifestasi Klinis
Gejala-gejala klinis yang disebabkan penyakit ini cukup banyak, tergantung letak infeksi
dan jenis penyakit yang disebabkannya. Anak-anak mungkin memiliki gejala klinis yang berbeda
tiap pribadi, namun jika disimpulkan, gejala klinis tersebut adalahIrritability (kekurangan
makanan dan nutrisi saat bayi, demam (pada bayi prematur temperaturnya dibawah normal),
sakit kepala, muntah, sakit di leher, sakit di punggung, posisi badan yang tidka biasa, kepekaan
terhadap cahaya, epiglottitis, dyspnoea (sulit bernafas), dysphagia (sulit menelan), septic
arthritis, cellulitis, pneumonia, sepicaemia, osteomyelitis, bacteramia, dan empyema. Kasus Hib
jarang terjadi pada bayi di bawah 3 bulan atau di atas 6 tahun. Biasanya terjadi pada umur 4-18
bulan.
Diagnosis
Dalam mendiagnosis penyakit ini, dapat dipergunakan cairan serebrospinal, sputum, dan
cairan telinga sebagai bahah pemeriksaan. Dari bahan ini dibuat preparat Gram, dan ditanam
pada perbenihan agar coklat yang dieramkan dalam suasana CO210%. Ada 3 cara untuk
mendiagnosanya, yaitu dengan Staphylococcus streak technique, untuk mengasingkan H.
influenzae, terutama dari bahan-bahan yang tidak terkontaminasi dengan kuman-kuman lain
seperti cairan serebrospinal dan darah. Cara lain adalah dengan reaksi Quellung yang khas sangat
membantu diagnosis, kecuali untuk kuman-kuman tak bersimpai. Sedangkan untuk menegakkan
diagnosis meningitis, digunakan deteksi antigen polisakarida simpai di dalam cairan tubuh.
Pengobatan
Pemilihan antibiotika yang akan digunakan dapat ditentukan dengan tes kepekaan secara
in vitro. Kebanyakan H. influenzae peka terhadap ampisilin, khloramfenikol, tetrasiklin,
sulfonamida dan kotrimoksasol, dan terapi dengan salah satu atau kombinasi obat-obat ini,
namun kepekaan kumannya sendiri dan hasil suatu terapi tidak dapat diperkirakan. Terapi untuk
anak atau bayi yang terinfeksi meningitis karena Hbi dapat diberikan dexamethasone atau
campuran dari cefotaxime sodium/ceftriaxone sodium/ampicillin dengan chloramphenicol.
Sementara untuk pencegahannya, dapat digunakan vaksin khas polisakarida simpai
(vaksin PRP). Disarankan juga untuk menjaga pola hidup bersih di daerah yang padat penduduk.
II. 5. Mycoplasma pneumoniae
Klasifikasi
Kingdom : Bacteria
Divisi : Firmicutes
Kelas : Mollicutes
Ordo : Mycoplasmatales
Famili : Mycoplasmataceae
Genus : Mycoplasma
Spesies : Mycoplasma pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae merupakan salah satu
penyebab infeksi saluran nafas akut (ISNA) pada anak-anak dan dewasa muda. Pada awalnya
penyakit ini dikenal dengan Pneumonia Atypical Primer (PAP) karena gambarannya tidak
menyerupai bakteri tipikal dari pneumonia, gambaran radiologis paru tidak spesifik dan angka
kematian yang rendah. Tetapi kemudian ditemukan kesamaan antara bakteri ini dengan bakteri
penyebab pneuropneumonia pada ternak oleh Eaton dkk. Maka sejak saat itu disebut Eaton egent
atau Pleuropneumonia-Like Organism (PPLO).
Mycoplasma dapat tumbuh atau berkembang biak dalam perbenihan tanpa sel, dan
pertumbuhannya dihambat oleh antibodi spesifik. Kuman ini mempunyai afinitas selektif untuk
sel epitel saluran nafas misalnya bronkus, bronkiolus, dan alveolus yang akan menghasilkan
hidrogen peroksida (H2O2). Pada umumnya bersifat anaerob fakultatif dengan suhu pertumbuhan
optimal 36-37° C dan pH optimum 7. Untuk pertumbuhannya diperlukan kolesterol dan asam
lemak rantai panjang, sedangkan sumber energi utama didapatkan dari glukosa atau arginin.
Koloni Kuman
Mikroorganisme ini mempunyai struktur yang sangat primitif dan merupakan prokariota
yang paling kecil yang masih dapat melakukan self replication. Bersifat sangat pleomorf karena
spesies ini tidak memiliki dinding sel peptidoglikan, ia memiliki tiga lapismembran sel yang
menggabungkan senyawa sterol, mirip dengan sel-sel
eukariotik.Mycoplasma pneumoniae merupakan bakteri gram negatif dengan ukuran panjang 1
mm - 2 μm dan lebar 0,1 mm - 0,2 μm, berbentuk bundar agak datar, pinggirnya bening
(transculent), bagian tengah keruh dan granuler. Kuman tumbuh jauh ke dalam agar dan
membentuk penampilan fried egg. Permukaan koloni dapat mengadsorpsi sel darah merah,
membentuk zona hemolisis. Pertumbuhannya sangat lambat antara 5-10 hari atau lebih.
Epidemiologi
Infeksi M. Pneumoniae dapat dijumpai di seluruh dunia dan bersifat endemik. Prevalensi
kasus yang paling banyak dijumpai biasanya pada musim panas sampai ke awal musim gugur
yang dapat berlangsung satu sampai dua tahun. Infeksi menyebar luas dari satu orang ke orang
lain dengan percikan air liur (droplet) sewaktu batuk. Itulah sebabnya infeksi ini lebih mudah
tersebar pada populasi penduduk yang padat.
Patologi
Baru sedikit informasi yang diperoleh mengenai gambaran histopatologi infeksi M.
Pneumoniae ini pada manusia, penyakit ini jarang menyebabkan kematian. Pada beberapa
kematian yang pernah dilaporkan, ditemui gambaran interstitial pneumonia dan bronkiolitis yaitu
penebalan dinding bronkus karena edeme, penyempitan pembuluh darah, dan infiltrat dari
mononuklear.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari Mycoplasma pneumoniae sangat bervariasi dari yang ringan hingga
berat, bahkan ada yang dapat menimbulkan kematian, tetapi hal ini jarang ditemukan. Demam
dan batuk merupakan manifestasi klinik yang biasanya terjadi, ditambah infeksi saluran
pernapasan atas disertai myringitis, faringitis, bronkitis, atau kombinasi ketiganya. Namun
terkadang juga sering terjadi manifestasi klinis lain, misalnya infeksi telinga kira-kira 20% terdiri
dari otitis media, otitis externa dan bullous myringitis.
Komplikasi pulmonal yang paling sering terjadi adalah Pleural effusi ringan, sedangkan
komplikasi berat menyebabkan bronkiolitis obliterans dan respiratori distress sindrom pada
orang dewasa yang dapat menyebabkan kematian. Komplikasi gastrointestinal jarang terjadi,
gejala ringan berupa diare, mual, muntah, dan anoreksia. Pada darah, hemolitik anemi dapat
terjadi pada pasien yang memiliki titer Aglutinin dingin yang sangat tinggi, penurunan angka
hematrokrit hingga 50% juga dapat terjadi pada minggu ke 2-3 perjalanan penyakit. Komplikasi
pada kulit jarang terjadi dan bersifat sementara, terlihat rash yang bervariasi dari makular,
vesikular, dan eritema multiforme mayor (Stevens-Johnson Symdrome)
Infeksi Mycoplasma pneumoniae pada kulit
Diagnosis
Secara umum, terdapat beberapa cara untuk mendiagnosis M. Pneumoniae pada pasien
terinfeksi, namun hanya beberapa cara yang efektif. Gambaran radiologik paru dapat digunakan,
tetapi tidak dapat digunakan sebagai patokan karena tidak ada kelainan yang patognomomik dan
cepat membaik dalam waktu yang relatif singkat kurang dari seminggu. Pemeriksaan
laboratorium dengan menghitung leukosit, namun biasanya leukosit penderita berada pada
tingkat normal atau sedikit meninggi. Kemudian dapat pula dengan kultur dari sputum atau
hapusan tenggorokan, namun diperlukan waktu 2-3 minggu hingga terdapat pertumbuhan
kuman. Lalu dengan pemeriksaan serologik yang umum digunakan saat ini adalah pemeriksaan
terhadap antibodi IgM spesifik, antibodi IgG spesifik, antibodi fluoresense, inhibisi
pertumbuhan, fiksasi komplemen, dan Aglutinin dingin. Metode yang dipakai untuk pemeriksaan
serologik adalah Efisa (Enzyme linked immunosorbent assay) atau EIA (Enzyme Immuno
Assay). Namun dari semuanya, diagnosis M. Pneumoniae cepat dapat dilakukan dengan DNA
probe test yang mempunyai sensitivitas 76% dan sensitivitas 91,7% dibandingkan dengan
kultur.
Pengobatan
1. Antibiotika
M. Pneumoniae secara invitro memperlihatkan sensitivitas terhadap Eritromisin dan
Tetrasiklin sebagai obat pilihan untuk infeksi M. Pneumoniae. Pada anak dengan usia kurang
dari 10 tahun, obat pilihan adalah Eritromisin, sedangkan Tetrasiklin tidak dianjurkan karena
memiliki efek samping pada anak. Rincian dosisnya adalah sebagai berikut.
Dewasa dengan berat badan ≥ 26 kg :
Tetrasiklin 1000 mg/hari dibagi 4 dosis
Erotromisin 1500 mg/hari dibagi 4 dosis
Anak-anak dengan berat badan ≤ 25 kg :
Tetrasiklin 25 mg/kg BB/hari dalam 4 dosis
Eritromisin 30-50 mg/kg BB/hari
Diberi selama 2-3 minggu
Pemberian obat di atas dalam jangka waktu pendek menunjukkan hasil yang baik, tapi
mikroorganisme ini bisa tidak segera hilang dari sputum atau hapusan tenggorokan, sehingga
dapat mempengaruhi fungsi paru di kemudian hari. Obat baru yang sekarang ini banyak dipakai
adalah Roxytromycin, yang ternyata cukup efektif terhadapM. Pneumoniae dengan sedikit efek
samping. Dosis yang diberikan 5-10 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis secara oral, diberikan
selama 7-14 hari.
2. Simtomatik, yaitu :
a. Istirahat
b. Analgetik atau Antipiretik
c. Antitussive
d. Asupan cairan
Pencegahan
Tidak ada cara spesifik untuk mencegah pertumbuhan penyakit ini. Cara yang dapat
ditempuh hanya berupa menjaga kebersihan diri, terutama kebiasaan mencuci tangan,
serta menghindari kontak langsung dengan pasien yang terinfeksi.
II. 6. Corynebacterium diphtheriae
Klasifikasi
Kingdom : Bakteri
Filum : Actinobacteria
Kelas : Actinobacteria
Order : Actinomycetales
Keluarga : Corynebacteriaceae
Genus : Corynebacterium
Spesies : Corynebacterium diphtheriae
Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri patogen yang menyebabkan difteri berupa
infeksi akut pada saluran pernapasan bagian atas. Ia juga dikenal sebagai basil Klebs-Löffler,
karena ditemukan pada tahun 1884 oleh bakteriolog Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan
Friedrich Löffler (1852-1915).
Ada tiga strain C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat keparahan
penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu gravis, intermedius, dan mitis. Ketiga
subspesies sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia seperti kemampuan
metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi dari tiga strain dapat dikaitkan dengan
kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan
tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis memiliki waktu generasi (in vitro) dari 60
menit; strain intermedius memiliki waktu generasi dari sekitar 100 menit, dan mitis memiliki
waktu generasi dari sekitar 180 menit.. Dalam tenggorokan (in vivo), tingkat pertumbuhan yang
lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras pasokan besi lokal lebih cepat dalam
menyerang jaringan.
Morfologi dan Sifat Biakan
Kuman difteri berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um, tidak berspora,
tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C. Diphtheriaebersifat anaerob
fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob. Pembiakan kuman dapat
dilakukan dengan perbenihan Pai, perbenihan serum Loeffler atau perbenihan agar darah. Pada
perbenihan-perbenihan ini, strain mitis bersifat hemolitik, sedangkan gravis dan intermedius
tidak. Dibanding dengan kuman lain yang tidak berspora, C. Diphtheriae lebih tahan terhadap
pengaruh cahaya, pengeringan dan pembekuan. Namun, kuman ini mudah dimatikan oleh
desinfektan.
Epidemiologi
Difteri terdapat di seluruh dunia dan sering terdapat dalam bentuk wabah. Penyakit ini
terutama menyerang anak umur 1-9 tahun. Difteri mudah menular dan menyebar melalui kontak
langsung secara droplet. Banyak spesies Corynebacteria dapat diisolasi dari berbagai tempat
seperti tanah, air, darah, dan kulit manusia. Strain patogenik dari Corynebacteria dapat
menginfeksi tanaman, hewan, atau manusia. Namun hanya manusia yang diketahui sebagai
reservoir penting infeksi penyakit ini. Bakteri ini umumnya ditemukan di daerah beriklim sedang
atau di iklim tropis, tetapi juga dapat ditemukan di bagian lain dunia.
Penentu Patogenitas
Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup dua fenomena yang berbeda, yaitu
1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan proliferasi bakteri
berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme kepatuhan terhadap difteriC.
diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa jenis pili. Toksin difteri juga mungkin terlibat
dalam kolonisasi tenggorokan.
2. Toxigenesis: produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel eukariotik dan
jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin bertanggung jawab atas gejala-
gejala penyakit mematikan, virulensi dari C. diphtheriaetidak dapat dikaitkan dengan toxigenesis
saja, sejak fase invasif mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan. Namun, belum
dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses penjajahan karena efek
jangka pendek di lokasi kolonisasi.
Patogenesis
Organisme ini menghasilkan toksin yang menghambat sintesis protein seluler dan
bertanggung jawab atas kerusakan jaringan lokal dan pembentukan membran. Toksin yang
dihasilkan di lokasi membran diserap ke dalam aliran darah dan didistribusikan ke jaringan
tubuh. Toksin yang bertanggung jawab atas komplikasi utama dari miokarditis dan neuritis dan
juga dapat menyebabkan rendahnya jumlah trombosit (trombositopenia) dan protein dalam urin
(proteinuria).
Penyakit klinis terkait dengan jenis non-toksin umumnya lebih ringan. Sementara kasus
yang parah jarang dilaporkan, sebenarnya ini mungkin disebabkan oleh strain toksigen yang
tidak terdeteksi karena contoh koloni tidak memadai.
Gambaran klinis
Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan klinis, akan lebih mudah untuk
mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa manifestasi, tergantung pada tempat penyakit.
1) Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen (berisi baik lendir dan
nanah) yang mungkin darah menjadi kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di
lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.
2) Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan tonsil. Awal gejala termasuk
malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap.
Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari.
Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah submandibular dan leher anterior
bersama dengan limfadenopati.
3) Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala termasuk demam, suara serak, dan
batuk menggonggong. membran dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
4) Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat oleh ruam atau ulkus dengan
batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah
vulvo-vagina, serta kanal auditori eksternal.
Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh
toksin terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering adalah miokarditis
difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan dapat menyebabkan
gagal jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal, sering berakibat fatal. Neuritis paling
sering mempengaruhi saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan
kelumpuhan diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu kelima penyakit.
Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena obstruksi jalan
napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk difteri adalah 5% -10%,
dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri
telah berubah sangat sedikit selama 50 tahun terakhir.
Diagnosis
Diagnosis klinik difteri tidak selalu mudah ditegakkan oleh klinikus-klinikus dan sering terjadi salah
diagnosis. Hal ini terjadi karena strain C. Diphtheriae baik yang toksigenik maupun nontoksigenik sulit
dibedakan, lagipula spesies Corynebacterium yang lain pun secara morfologik mungkin serupa.
Karena itu bila pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan kuman khas difteri, maka hasil
presumtif adalah: ditemukan kuman-kuman tersangka difteri. Hal ini menunjukkan pentingnya
dilakukan diagnosis laboratorium secara mudah, cepat, dan dengan hasil yang dipercaya untuk
membantu klinikus. Walaipun demikian, diagnosis laboratorium harus dianggap sebagai
penunjang bukan pengganti diagnosis klinik agar penanganan penyakit dapat cepat dilakukan.
Hapusan tenggorok atau bahan pemeriksaan lainnya harus diambil sebelum pemberian obat
antimikroba, dan harus segera dikirim ke laboratorium.
Pengobatan
Antitoksin Difteri
Antitoksin difteri diproduksi dari kuda, yang pertama kali digunakan di
Amerika Serikat pada tahun 1891. Pengobatan difteri dilakukan dengan
pemberian antitoksin yang tepat jumlahnya dan juga cepat. Antitoksin
dapat diberikan setelah diagnosis presumtif keluar, tanpa perlu
menunggu diagnosis laboratorium. Hal ini dilakukan karena toksin
dapat dengan cepat terikat pada sel jaringan yang peka, dan sifatnya
irreversibel karena ikatan tidak dapat dinetralkan kembali. Jadi
penggunaan antitoksin bertujuan untuk mencegah terjadinya ikatan
lebih lanjut dari toksin dalam sel jaringan yang utuh dan akan mencegah
perkembangan penyakit.
Selain antitoksin, umumnya diberi Penisilin atau antibiotik
lain seperti Tetrasiklin atau Eritromisin yang bermaksud untuk
mencegah infeksi sekunder (Streptococcus) dan pengobatan bagi carrier penyakit ini. Pengobatan
dengan eritromisin secara oral atau melalui suntikan (40 mg / kg / hari, maksimum, 2 gram / hari) selama 14 hari,
atau penisilin prokain G harian, intramuskular (300.000 U / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau kurang dan
600.000 U / sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama 14 hari.
Pencegahan
Pencegahan infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan tidak
melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu, imunisasi aktif juga perlu
dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi berusia 2-3 bulan dengan pemberian 2 dosis
APT (Alum Precipitated Toxoid) dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis.
Dosis kedua diberikan pada saat anak akan bersekolah.Imunisasi pasif dilakukan
dengan menggunakan antitoksin berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal yang sering
berhubungan dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya harus dibatasai pada keadaan
yang memang sanagt gawat. Tingkat kekebalan seseorang terhadap penyakit difteri juga dapat
diketahui dengan melakukan reaksi Schick.
II. 7. Bordetella pertussis
Klasifikasi Kingdom : Eubacterium Filum : Coccobacillus Kelas : Bacillus Ordo : Coccobacillus Famili : Alcaligenaceae
Genus : Bordetella Spesies : Bordetella pertussis
Penyakit pertusis atau batuk rejan (whooping chough) atau batuk seratus hari merupakan
penyakit akut saluran pernapasan yang ditandai dengan batuk paroksismal. Di dunia terjadi
sekitar 30 sampai 50 juta kasus per tahun, dan menyebabkan kematian pada 300.000 kasus (data
dari WHO). Penyakit ini biasanya terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. 90 persen kasus
ini terjadi di negara berkembang dan merupakan penyakit yang menular.
Penyakit ini disebabkan oleh Bordetella pertussis yang untuk pertama kalinya diasingkan
oleh Bordet dan Gengou pada tahun 1906. Penyakit-penyakit serupa berhasil ditemukan
kemudian, yaitu yang disebabkan oleh Bordetella parapertussis dan Bordetella bronchiseptica.
Standarisasi waksin serta penggunaannya secara luas sangat menurunkan morbiditas dan
mortalitas penyakit ini. Bakteri ini mengandung beberapa komponen yaituPeitusis Toxin (PT),
Filamentous Hemagglutinin (FHA), Aglutinogen, endotoksin, dan protein lainnya.
Morfologi dan Fisiologi
Boredetella pertussis berbentuk coccobacillus kecil-kecil, terdapat sendiri-sendiri,
berpasangan, atau membentuk kelompok-kelompok kecil. Pada isolasi primer, bentuk kuman
biasanya uniform, tetapi setelah subkultur dapat bersifat pleomorfik.Bentuk koloni pada biakan
agar yaitu smooth, cembung, mengkilap, dan tembus cahaya. Bentuk-bentuk filament dan
batang-batang tebal umum dijumpai. Simpai dibentuk tapi hanya dapat dilihat dengan pewarnaan
khusus, dan tidak dengan penggabungan simpai. Kuman ini hidup aerob, tidak membentuk H2S,
indol serta asetilmetilkarbinol. Bakteri ini merupakan gram negative dan dengan pewarnaan
toluidin biru dapat terlihat granula bipolar metakromatik.
Pada Bordetella pertussis ditemukan dua macam toksin yaitu
Endotoksin yang sifatnya termostabil dan terdapat dalam dinding sel kuman. Sifat
endotoksin ini mirip dengan sifat endotoksin-endotoksin yang dihasilkan oleh kuman negative
gram lainnya.
Protein yang bersifat termolabil dan dermonekrotik. Toksin ini dibentuk di dalam
protoplasma dan dapat dilepaskan dari sel dengan jalan memecah sel tersebut atau dengan jalan
ekstraksi memakai NaCl.
Baik endotoksin maupun toksin yang termolabil tersbeut tidak dapat memancing
timbulnya proteksi terhadap infeksi Bordetella pertussis. Peranan yang pasti daripada kedua
toksin ini dalam pathogenesis pertusis belum diketahui.
Berbeda dengan spesies-spesies Hemophilus, kuman Bordetella dapat tumbuh tanpa
adanya hemin (factor X) dan koenzim I (factor V). Pembiakan dilakukan pada perbenihan
Bordet-gengou, dimana kuman-kuman ini tumbuh dengan membentuk koloni yang bersifat
smooth, cembung, mengkilat, dan tembus cahaya. Kuman ini membentuk zona hemolisis. Sifat-
sifat ini dapat ebrubah tergantung lingkungan dimana kuman ini dibiakkan, yang diikuti oleh
perubahan-perubahan sifat antigenic serta virulensinya.
Struktur antigen
Proteksi terhadap infeksi oleh Bordetella pertussis merupakan respon imunoloik
terhadap antigen (antigen-antigen) kuman. Sifat antigen protektif kuman ini tidak diketahui.
Walaupun demikian, penelitian serologic yang ekstensif telah berhasil menemukan antigen-
antigen yang penting. Diketahui adanya antigen permukaan O yang termostabil pada smooth
strains dan rough strains Bordetella pertussis. Antigen O ini berupa protein, mudah diekstraksi
dari sel dan terdapat di dalam cairan supernatant biakan kuman.
Antigen-antigen serta factor-faktor lainnya seperti HLT (heat-labile toxin),
lipopolisakarida (endotoksin), HSF (histamine-sensitizing factor), LPF (lymphocytosis-
promoting factor), MPF (mouse-protective factor), hemaglutinin dan agaknya juga IAP (islet-
activating protein) adalah sangat erat kaitannya dengan infeksi, penyakit dan kekebalan.
Epidemiologi
Penyakit pertusis tersebar di seluruh dunia dan mudah sekali menular. Manusia
merupakan satu-satunya sumber Bordetella pertussis, dan penyebaran penyakit ini hampir selalu
disebabkan oleh orang-orang dengan infeksi aktif. Banyak kasus terjadi pada anak-anak di
bawah 5 tahun, sebagian besar meninggal pada usia 1 tahun.
Penularan
Pertusis menular melalui droplet batuk dari pasien yg terkena penyakit ini dan kemudian
terhirup oleh orang sehat yg tidak mempunyai kekebalan tubuh, antibiotik dapat diberikan untuk
mengurangi terjadinya infeksi bakterial yg mengikuti dan mengurangi kemungkinan
memberatnya penyakit ini (sampai pada stadium catarrhal) sesudah stadium catarrhal antibiotik
tetap diberikan untuk mengurangi penyebaran penyakit ini, antibiotik juga diberikan pada orang
yg kontak dengan penderita, diharapkan dengan pemberian seperti ini akan mengurangi
terjadinya penularan pada orang sehat tersebut.
Patogenesis
Setelah menghisap droplet yang terinfeksi, kuman akan berkembang biak di dalam
saluran pernafasan. Gejala sakit hampir selalu timbul dalam 10 hari setelah kontak, meskipun
masa inkubasi bervariasi antara 5-21 hari. Penyakit ini terbagi dalam 3 stadium.
Stadium prodromal (kataral) berlangsung selama 1-2 minggu. Selama stadium ini,
penderita hanya menunjukkan gejala-gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas yang ringan
seerti bersin, keluarnya cairan dari hidung, batuk dan kadang-kadang konjungtivitis.
Pemeriksaan fisik tidak memberikan hasil yang menentukan. Masa ini merupakan masa
perkebmangbiakan kuman di dalam epitel pernafasan.
Stadium kedua biasanya berlangsung selama 1-6 minggu dan ditandai dengan
peningkatan batuk paroksismal. Suatu batuk paroksismal yang khas adalah dimana dalam
jangka waktu 15-20 detik terjadi 5-20 batuk beruntun biasanya diakhiri dengan keluarnya
lender/muntah serta tidak ada kesempatan untuk bernafas diantara batuk-batuk tersebut.
Tarikan nafas setelah batuk biasanya menimbulkan bunyi yang keras.
Stadium ketiga berupa stadium konvalessen. Batuk dapat berlangsung sampai beberapa
bulan setelah permulaans akit. Beratnya penyakit bervariasi.
Sindrom respiratorik ringan yang disebabkan oleh Bordetella pertussis tidak mungkin dikenal
atas dasar klinik saja. Kurang lebih 20% infeksi pertusis diperkirakan sebagai penyakit-penyakit atipik
dan penderita-penderita ini berbahaya bagi orang lain. Komplikasi yg dapat mengikuti keadaan ini
adalah pneumonia, encephalitis, hipertensi pada paru, dan infeksi bakterial yg mengikuti.
Diagnosis laboratorium
Diagnosis yang pasti tergantung pada diasingkannya Bordetella pertussis dari penderita.
Hasil isolasi tertinggi diperoleh pada stadium kataral, dan kuman pertusis biasanya tidak dapat
ditemukan lagi setelah 4 minggu pertama sakit. Bahan pemeriksaan berupa usapan nasofaring
penderita atau dengan menampung batuk secara langsung pada perbenihan. Isolasi Bordetella
pertussis dari bahan klinik sangat bergantung pada transportasi dan pengolahan bahan tersbeut.
Bila diperlukan lebih dari 2 jam sebelum bahan tersebut sampai di laboratorium,
sebaiknya bahan pemeriksaan tadi ditanam pada perbenihan Stuart (dimodifikasikan).
Penambahan penicillin 0,25-0,5 unit/ml di dalam perbenihan kedua adalah berguna untuk
menghambat pertumbuhan kuman positif gram saluran pernafasan, tanpa mengurangi
pertumbuhan kuman pertusis.
Selain reaksi-reaksi biokimiawi, identifikasi Bordetella pertussis secara serologic akan
memastikan isolasi tersebut. Pewarnaan antibody fluoresensi (AF) telah dipakai untuk
mengidentifikasi Bordetella pertussis pada preparat langsung hapusan nasofaring dan untuk
mengidentifikasi kuman-kuman yang tumbuh pada perbenihan Bordet-gengou. Cara AF ini tidak
dapat menggantikan isolasi kuman, namun dapat mengidentifikasi kuman secara lebih cepat.
Pengobatan dan pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan cara mencegah kontak langsung dengan penderita dan
dengan imunisasi. Dilakukan vaksinasi aktif pada bayi. Setiap bayi sebaiknya menerima 3
suntikan dari vaksin pertusis selama 1 tahun pertama diikuti serum tambahan sampai jumlah
keseluruhan.
Pada saat ini, eritromisin merupakan obat pilihan. Pemberian antibiotika ini akan
menyingkirkan kuman-kuman tersebut dari nasofaring dan karenanya dapat mempersingkat masa
penularan/penyebaran kuman.
Selain eritromisin, tetrasiklin, kloramfenikol dan ampisilin juga bermanfaat. Cara
pencegahan terbaik terhadap pertusis adalah dengan imunisasi dan dengan mencegah kontak
langsung dengan penderita. Proteksi bayi terhadap pertusis dengan vaksinasi aktif adalah penting
karena komplikasi-komplikasi berat serta morbiditas tertinggi terdapat pada usian ini.
Antibodi yang masuk melalui plasenta tidak cukup memberikan proteksi. Vaksin yang
dipergunakan biasanya merupakan kombinasi toksoid difteri dan tetanus dengan vaksin pertusis
(vaksin DPT). Imunitas yang diperoleh baik karena infeksi alamiah maupun karena imunisasi
aktif, tidak berlangsung untuk seumur hidup.
Jika penyakit berat, penderita biasanya dirawat di rumah sakit. Mereka ditempatkan di
dalam kamar yang tenang dan tidak terlalu terang. Keributan bisa merangsang serangan batuk.
Bisa pula dilakukan pengisapan lender dari tenggorokan. Pada kondisi yang berat, oksigen
diberikan langsung ke paru-paru melalui selang yang dimasukkan ke trakea. Untuk
menggantikan cairan yang hilang karena muntah, dan bayi biasanya tidak dapat makan karena
batuk, maka diberikan cairan melalui infus. Gizi yang baik sangat penting dan sebaiknya
makanan diberikan dalam porsi kecil namun sering.
Prognosis
Sebagian besar penderita mengalami pemulihan total, meskipun berlangsung lambat. Sekitar
1-2% anak yang berusia dibawah 1 tahun meninggal. Kematian terjadi karena
berkurangnya oksigen ke otak (ensefalopati anoksia) dan bronkopneumonia.
II. 8. Legionella pneumophila
Klasifikasi
Kingdom : Bacteria Filum : Proteobacteria Kelas : Gamma proteobacteria Ordo : Legionellales Famili : Legionellaceae
Genus : Legionella Spesies : Legionella pneumophila
Legionella adalah bakteri tipis, pleomorfik, berflagel dan merupakan bakteri gram
negative. Bakteri yang berasal dari genus legionella ini merupakan bakteri yang menyebabkan
penyakit legionellosis. Legionellosis adalah suatu penyakit infeksi bakteri akut yang bersifat
new emerging disease. Secara keseluruhan baru dikenal 20 spesies.
Bakteri ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1976, namun kasus-kasus sebelumnya
telah dikonfirmasikan sejak tahun 1947. Pertama kali wabah legionellosis ini terjadi di
Philadelphia, AS pada tahun 1976 dengan jumlah kasus mencapai 182 dan dengan jumlah
kematian mencapai 29 orang. Di Indonesia sendiri kasus ini ada di sejumlah tempat antara lain
seperti di Bali (1996), di Karawaci, Tangerang (1999) dan di sejumlah kota lainnya.
Karakteristik
Legionella termasuk bakteri gram negative batang yang tidak meragi D-glukosa, dan
juga tidak meragi nitrat menjadi nitrit. Koloni bakteri ini hidup subur menempel di pipa-pipa
karet dan plastic yang berlumut dan tahan kaporit dengan konsentrasi klorin 26 mg/l. legionella
dapat hidup pada suhu antara 5,7oC – 63
oC dan tumbuh subur pada suhu 30
oC – 45
oC.
Bakteri ini termasuk bakteri aerobic dan tidak mampu menghidrolisis gelatin ataupun
memproduksi urease. Bakteri ini juga termausk bakteri yang nonfermentatif. Bakteri ini juga
tidak berpigmen dan tidak berautofluoresensi. Selain itu bakteri ini juga merupakan enzim yang
mengkatalis proses redoks atau bisa juga disebut sebagai katalase positif dan menghasilkan beta-
laktamase.
Epidemiologi
Bakteri ini ditemukan secara alami di alam, biasanya di air. Bakteri ini tumbuh subur di
air hangat, seperti di kolam air panas, menara pendingin, atau bagian dari system pendingin
bangunan besar. Bakteri ini ditemukan di sungai dan juga kolam, keran air panas dan dingin,
tangki air panas, dan juga tanah di lokasi penggalian.
Patogenesis
Legionellosis yang disebabkan oleh Legionella pneumophila bisa menjadi penyakit
pernafasan ringan atau dapat cukup parah untuk dapat menyebabkan kematian. Penyakit ini bisa
menjadi sangat serius dan menyebabkan kematian dari 5%-30% kasus yang ada. Dari 10%-40%
orang dewasa yang sehat memiliki antibody menunjukkan paparan sebelumnya terhadap
organism, namun hanya sebagian kecil yang memiliki riwayat pneumonia sebelumnya.
Pada manusia, legionella pneumophila menyerang dan replikasi di dalam bentuk
makrofag. Internalisasi dari bakteri dapat ditingkatkan dengan adanya antibody dan system
komplemen namun tidak mutlak diperlukan. Terdapat sebuah pseudopod koil di sekitar bakteri
dalam bentuk fagositosis yang unik. Begitu diinternalisasi, bakteri mengelilingi diri dalam
membrane vakuola yang terikat yang tidak bereaksidengan lisosom yang akan menurunkan
bakteri. Dalam kompartemen yang terlindungi ini, bakteri akan berkembang biak. Bakteri
menggunakan system sekresi tipe IV B yang dikenal sebagai ICM/Dot untuk menyuntikkan
protein efektor ke dalam host. Efektor ini terlihat dalam meningkatkan kemampuan bakteri untuk
bertahan hidup dalam sel inang. Tingkat bertahan hidup ditingkatkan oleh protein efektor (Ank
protein) karena mereka mengganggu fusi dari legionella yang mengandung vakuola dengan
degradasi inang endosom
Penularan
Penyakit ini tampaknya menyebar melalui udara dari tanah atau sumber air. Semua
penelitian hingga saat ini telah menunjukkan bahwa penularan dari orang ke orang tidak terjadi.
Orang dari segala usia dapat terkena penyakit ini. Namun yang biasanya terkena adalah orang-
orang dengan usia lanjut ( diatas 65 tahun) ataupun orang-orang dengan system imun yang lemah
terhadap penyakit. Terkadang perokok, orang-orang yang mengalami penyakit paru yang kronis
(misal emfisema), dan orang-orang yang menggunakan obat penekan system kekebalan (misal
setelah operasi transplantasi) juga mempunyai resiko lebih tinggi terkena penyakit ini. Penyakit
ini jarang terjadi pada orang yang sehat.
Wabah ini terjadi ketika dua atau lebih orang menjadi sakit di tempat yang sama pada
waktu yang sama, seperti pasien di rumah sakit terkena penyakit ini. Bangunan Rumah Sakit
memiliki sistem air yang kompleks, dan banyak orang di rumah sakit telah memiliki penyakit
yang meningkatkan resiko mereka untuk infeksi legionella.
Penularan pada manusia antara lain melalui aerosol di udara, atau minum air yang
mengandung Legionella. Selain itu dapat pula terjadi melalui aspirasi air yang terkontaminasi,
inokulasi langsung melalui peralatan pernafasan atau melalui pengompresan luka dengan air
yang terkontaminasi. Contoh lain adalah dengan menghirup uap dari sauna di spa atau hotel yang
tidak dibersihkan secara seksama dengan desinfektan.
Gejala
Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 1 sampai 10 hari, namun biasanya berkisar
antara 5 sampai 6 hari. Penyakit ini dapat memiliki gejala seperti bentuk lain dari pneumonia
sehingga sulit untuk mendiagnosis pada awalnya. Tanda-tanda penyakit ini bisa mencakup
demam tinggi, menggigil dan batuk. Bahkan pada beberapa orang ada yang menderita nyeri otot
dan sakit kepala.
Infeksi ringan yang disebabkan oleh sejenis bakteri legionella disebut Pontiac Fever.
Gejala Demam Pontiac biasanya berlangsung selama 2 sampai 5 hari dan bisa juga menyertakan
demam, sakit kepala, dan nyeri otot, namun tidak ada pneumonia. Gejala pergi sendiri tanpa
pengobatan dan tanpa menyebabkan masalah lebih lanjut.
Diagnosis
Legionellosis sering menyebabkan gejala yang mirip dengan yang disebabkan oleh
organisme lain, termasuk jenis virus influenza dan bakteri pneumonia lainnya. Selain itu tes
laboratorium khusus diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis tidak selalu diminta. Diagnosis
tergantung pada tes laboratorium yang sangat khusus yang melibatkan dahak pasien atau
mendeteksi organism dalam urin. Tes laboratorium rutin tidak akan mengidentifikasi bakteri
Legionella.
Sedangkan sera (serum) telah digunakan baik untuk studi aglutinasi serta untuk
mendeteksi langsung dari bakteri dalam jaringan dengan menggunakan antibody fluorescent-
labelled. Antibody spesifik pada pasien juga dapat ditentukan dengan uji antibody fluoresen
tidak langsung. ELISA dan ter mikroaglutinasi juga telah berhasil ditetapkan.
Pencegahan dan Pengobatan
Pengobatan legionellosis dengan menggunakan antibiotic seperti eritromisin, levaquin
atau azitromisin bisa dikatakan cukup efektif dalam menangani penyakit ini. Sedangkan
makrolid (azitromisin) atau fluoroquinolones (moxifloxacin) merupakan pengobatan standar
untuk pneumonia legionella pada manusia
Pencegahan perkembangan bakteri legionella bisa dilakukan dengan cara minimal
seminggu sekali dilakukan pemeriksaan penampungan air terhadap kerusakan fisik, bau dan zat
organic serta keberadaan serbuk-serbuk yang mengandung legionella.
BAB III
PENUTUP
III.1. KESIMPULAN
Singkatnya, materi pembelajaran pada bakteri yang memasuki tubuh melalui saluran
pernafasan ini merupakan materi dasar yang wajib untuk dipelajari dan dipahami secara
mendalam. Materi yang secara umum mencakup Streptococcus, Haemophilus influenza,
Mycobacterium tuberculosis, Bardetela pertussis, Streptococcus pneumoniae, Corynebacterium
dipththeriae, Mycoplasma pneumonia, Legionella pneumophila merupakan bakteri yang dpaat
menyebabkan penyakit pada saluran pernafasan. Materi-materi dasar dalam pelajaran
mikrobiologi ini berguna untuk mempelajari materi selanjutnya yang tentu saja lebih rumit.
Dalam makalah ini materi duraikan secara singkat agar para pembaca lebih mudah
memahaminya.
III.2. SARAN
Dengan adanya makalah sederhana ini, penyusun mengharapkan agar para pembaca
dapat memahami materi bakteri yang memasuki tubuh melalui saluran pernafasan ini dengan
mudah. Saran dari penyusun agar para pembaca dapat menguasai materi singkat dalam makalah
ini dengan baik, kemudian pembaca dapat mengetahui cara pencegahan dari penyakit yang
disebabkan oleh bakteri yang memasuki saluran pernafasan dan mengetahui cara mengobatinya.
DAFTAR PUSTAKA
Lay, Bibiana. W, dan Hastowo Sugoyo 1992. MIKROBIOLOGI. Jakarta : CV Rajawali.
Wheller dan Volk. 1990. Mikrobiologi Dasar Edisi Kelima Jilid 2. Jakarta : P.T. Gelora Aksara
Pratama