Post on 20-Mar-2019
1
LARANGAN PERNIKAHAN SESUKU PADA SUKU
MELAYUDALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(STUDI KASUS DI KECAMATAN PERHENTIAN RAJA
KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh :
Subkhan Masykuri
211 11 023
JURUSAN AHWAL AL-SYAKSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
TAHUN 2016
2
3
NOTA PEMBIMBING
Lampiran : 4 Eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu‟alaikum Wr. Wb.
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya maka
bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi saudara:
Nama : Subkhan Masykuri
Nim : 211 11 023
Fakultas/Jurusan : Fakultas Syari‟ah/Ahwal Al-Syakshiyyah
Judul :“Larangan pernikahan sesuku pada suku melayu
dalam perspektif hukum islam (Studi kasus di
kecamatan Perhentian raja Kabupaten Kampar
Provinsi Riau)”
Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut di atas agar segera
dimunaqosyahkan.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan
sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Salatiga, Oktober 2016
Pembimbing
Muh. Hafidz, M.Ag.
NIP.19730801 200312 1003
4
5
PERNYATAAN KEASLIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Subkhan Masykuri
NIM : 211 11 023
Fakultas : Syari‟ah
Jurusan : Ahwal Al-Syakshiyyah
Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah
ditulis oleh orang lain atau pernah diterbitkan. Demikian juga skripsi
ini tidak berisi pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang
terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Salatiga, 22 September 2016
Subkhan Masykuri
211 11 001
6
7
MOTTO
“Bila Kamu Tak Tahan Lelahnya Belajar, Maka
Kamu Akan Menanggung Perihnya Kebodohan
(Imam Syafi’i)
8
PERSEMBAHAN
Karya Ilmiah berupa Skripsi ini ku persembahkan kepada :
1. Al-Magfurllah Simbah KH. Zoemri RWS beserta Keluarga yang
mendidikku di Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al Falah, untuk
menjadi orang yang lebih baik.
2. Kedua orang tua yang saya sayangi dan banggakan Bapak Muhammad
Busri dan Ibu Siti Munikah yang senantiasa mencurahkan kasih
sayangnya, dukungan serta doanya sehingga skripsi ini akhirnya selesai.
3. Kakakku Aneka Purnama Sari yang selalu mendukung dan membimbing
setiap langkahku.
4. Teman-temanku yang selalu menyemangatiku, Rohman, Arba‟, Lasin,
Dek Iis
5. Sahabat-sahabati Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota
Salatiga..
6. Semua santri Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al Falah.
7. Sahabat-sahabati Gerakan Angkatan 2011 (GANAS) PMII Kota Salatiga.
8. Keluarga besar COBRA Salatiga
9. Bolo Kurowo STAR C, Bang Jack, Fajar, Uut, Weni, Udin, Dina, Eko,
Aji, Romi
9
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Swt, yang senantiasa memberikan rahmat dan
hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dan Solawat serta
salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. Skripsi ini merupakan
salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ahwal Al-Syakshiyyah di
Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh bimbingan dan
pengarahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan
segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. Selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. Selaku Dekan Syari‟ah IAIN Salatiga.
3. Bapak Sukron Makmun, S.HI. M.Si. Selaku Kepala Jurusan Ahwal Al-
Syakshiyyah IAIN Salatiga.
4. Muh Hafidz, M.Ag, Selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu sabar
dalam membimbing penulis.
5. Evi Ariyani, M.H selaku dosen Pembimbing Akademik selama kuliah di
IAIN Salatiga.
6. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah menjadi perantara ilmu.
7. Bapak Syahid Ridwan, Bapak Abdul Aziz, Bapak Ahmad Jalaluddin,
Bapak Dzulfiddin, Iis Astriliani, Nelsum Febriani yang telah memberikan
10
sambutan yang hangat, membantu, dan memberikan informasi dalam
penelitian.
8. Pengasuh Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al Falah Al-Magfurllah
Simbah KH M Zoemri RWS beserta keluarga yang membina, mendidik,
mencurahkan ilmu kepada penulis dengan penuh tulus, ikhlas dan sabar,
dalam menuntut ilmu di pesantren.
9. Seluruh Asatidz dan Asatidzah Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al
Falah yang memberikan memberikan ilmunya dengan penuh keikhlasan.
10. Bapak Muhammad Busri dan Ibu Siti Munikah yang telah berkorban
dalam segala hal demi kebahagiaan putranya, serta terima kasih atas ridho,
do‟a, cinta dan kasih sayangnya sehingga putranya bisa menyelesaikan
studi S1.
11. Kakakku Aneka Purnama Sari yang selalu memberikan semangat dalam
kuliah di IAIN Salatiga
12. Teman-teman Ahwal Al-Syakshiyyahangkatan 2011 IAIN Salatiga yang
telah memberikan banyak cerita selama menempuh pendidikan.
13. Semua santri PPTI Al Falah yang memberikan semangat dalam penulisan
skripsi.
14. Teman-teman COBRA Salatiga
15. Semua pihak yang ikut serta memberikan motivasi dan dorongan dalam
penulisan skripsi ini.
11
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semuanya,
khususnya kepada penulis sendiri dan umumnya bagi para pembaca. Dan pada
akhirnya penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan
skripsi ini.
Salatiga, 22 September 2016
Penulis
Subkhan Masykuri
NIM 211 11 023
12
ABSTRAK
Subkhan Masykuri. 211 11 023. “Larangan Pernikahan Sesuku pada Suku
Melayu dalam Perspektif Hukum Islam(Studi kasus di Kecamatan
Perhentian RajaKabupaten kampar Provinsi Riau)”. Skripsi. Fakultas
Syari‟ah. Jurusan Ahwal Al-Syakshiyyah. Institut Agama Islam Negeri
Salatiga. Pembimbing Muh Hafidz, M.Ag.
Kata kunci : Larangan Pernikahan Sesuku
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam suku
bangsa, dan setiap suku bangsa mempunyai sistem perkawinan yang berbeda.
Sistem perkawinan menurut adat ada tiga, Pertama Exogami, yaitu seorang laki-
laki dilarang menikahi perempuan yang semarga atau sesuku dengannya. Ia harus
menikah dengan perempuan di luar Marganya (klan-Patrilineal). Kedua
Endogami, yaitu seorang laki-laki diharuskan menikah dengan perempuan dari
lingkungan kerabatnya (suku, klan atau famili) dan dilarang menikahi perempuan
diluar kerabat. Ketiga Eleutrogami, seorang laki-laki tidak lagidiharuskan atau
dilarang untuk menikah dengan perempuan diluar atau didalam lingkungan
kerabat atau suku, melainkan dalam batasan-batasan yang telah ditentukan hukum
Islam dan hukum perundang-undangan yang berlaku. Dari ketiga system, suku
melayu termasuk pada system perkawinan Exogami.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
lapangan dengan langsung ke masyarakat sehingga diperoleh data yang akurat,
jelas dan teknik pengumpulan data dengan cara wawancara bebas terpimpin,
observasi dan dokumentasi. Kemudian setelah seluruh data yangdibutuhkan
terkumpul maka selanjutnya dianalisis dengan menilai realita yang terjadi di
masyarakat apakah sesuai dengan hukum-hukum yang ada pada Agama Islam.
Larangan pernikahan sesuku yang ada pada suku melayu Riau telah ada
sejak zaman dahulu ketika penghulu adat dan para luluhur telah mengucapkan
Sumpah Sotih, maka secara otomatis seluruh masyarakat suku melayu tidak ada
yang berani melanggar atau melakukan pernikahan sesuku karena mereka takut
melanggar sumpah leluhur ataupun marabahaya yang akan dating dikemudian
harinya, baik itu menimpa pelaku pernikahan sesuku maupun anak cucu mereka
nantinya. Berdasarkan hasil analisis hukum Islam terhadap data penelitian maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa larangan pernikahan sesuku tidak sesuai dengan
ajaran Agama Islam karena didalam Al-Qur‟an dan Hadits tidak ditemukan
larangan pernikahan sesuku atau saudara sesuku tidak termasuk kedalam orang-
orang yang dilarang/haram untuk dinikahi, jadi hukum dari pernikahan sesuku
adalah Mubah (boleh) tetapi, alangkah baiknya pernikahan sesuku/kerabat dekat
untuk dihindari karena akan berdampak pada kualitas keturunan yang kurang
baik.
13
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................... i
NOTA PEMBIMBING .................................................................. ii
PENGESAHAN .............................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN ...................................................... iv
MOTTO ......................................................................................... v
PERSEMBAHAN ......................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................. vii
ABSTRAK ..................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................. xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................
B. Rumusan Masalah...........................................
C. Tujuan Penelitian ...........................................
D. Manfaat Penelitian .........................................
E. Penegasan Istilah .............................................
F. Metodologi Penelitian .....................................
G. Sistematika Penulisan ...................................
1
4
4
4
5
6
11
BAB II : PERNIKAHAN DAN LARANGAN PERNIKAHAN
14
DALAM ISLAM
A. Telaah Pustaka ..............................................
B. Pengertian dan Hukum Pernikahan………....
C. Tujuan Pernikahan………………………......
D. Rukun dan Syarat Pernikahan……………....
E. Wanita-wanita yang Haram Dinikahi dan Pernikahan
yang Dilarang dalam Islam…………………
13151923
25
BAB III :PRAKTEK PERNIKAHAN DALAM SUKU MELAYU
DI KEC. PERHENTIAN RAJA KAB. KAMPAR
A. Deskripsi wilayah ………….…………………
B. Keadaan pendidikan dan kehidupan beragama
masyarakat.
C. Keadaan sosial budaya…………………………
D. Adat istiadat dalam suku melayu ………….....
E. Factor-faktor dilarangnya pernikahan sesuku..
F. Proses pernikahan adat suku melayu…….......
29
30
32
35
37
41
BAB IV:LARANGANPERNIKAHAN SESUKU PADA SUKU
MELAYU DI KEC. PERHENTIAN RAJA DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Analisis pernikahan sesuku pada suku Melayu di
Kec. Perhentian Raja…………………………
B. Analisis pernikahan sesuku ditinjau dari perspektif
43
48
15
hukum Islam…………………………….........
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................
B. Saran .............................................................
53
55
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suatu pernikahan bermula dari adanya rasa kasih dan sayang yang
sangat besar antara dua orang individu berlainan jenis. Bermula dari
pernikahan itulah kemudian terjadi perkembangbiakan manusia di muka bumi
ini, sebagaimana firman Allah swt dalam surat An-Nisa ayat 1 berikut ini:
Artinya : Hai manusia, bertaqwalah kepada tuhan kemu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan
istrinya, dan daripada keduanya Allah telah memperkembang biakan laki-
laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang
dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,
dan (prliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.
Untuk memperbanyak jumlah kaum muslimin dan menjaga
kelangsungan hidup umat manusia secara umum dan kaum muslimin secara
khusus di muka bumi, serta untuk mengendalikan dorongan nafsu amarah
yang selalu mengajak manusia berbuat kejahatan, maka Rasulullah
mendorong, mengarahkan dan mengajarkan kepada kawula muda yang sudah
berkemampuan untuk menikah sebagaimana sabda Rasulullah saw berikut
ini:
17
“Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu mempunyai
kemampuan, maka segeralah menikah. Karena menikah itu dapat menahan
pandangan mata dan memelihara kehormatan dan barang siapa yang tidak
mampu hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa dapat mematahkan
rongrongan nafsu birahi”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Di dalam undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan
dengan jelas menyebutkan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan
membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan yang maha Esa”. Oleh karena itu perkawinan harus dipertahankan
oleh kedua belah pihak supaya tercapainya tujuan tersebut.
Tidak terlepas dari semuanya, untuk menjalani kehidupan berumah
tangga tidak kalah pentingnya dengan kemampuan seseorang untuk
menempatkan diri dalam suatu masyarakat yang akan ditempatinya, yang
tentunya akan terikat dengan ketentuan atau tatanan sosial budaya yang
berlaku.
Pada setiap daerah mempunyai tradisi dan system sosial budaya yang
berbeda-beda, realitas tata tertib adat pernikahan antara masyarakat adat yang
satu dengan yang lain, antara suku satu dengan suku yang lain, antara
beragama islam satu dengan yang lain, begitu juga perbedaan antara
pernikahan adat perkotaan dengan pedesaan. Adat istiadat yang sudah ada dan
menjadi hukum adat setempat akan lebih kuat, karena bagi pelanggarnya akan
dikenai sanksi adat yang berlaku ditempat tersebut.
18
Seperti yang terjadi di dalam masyarakat atau beberapa adat bahwa
seseorang yang memiliki suku bangsa yang sama dilarang untuk melakukan
sebuah pernikahan, atau suatu suku satu dengan suku yang lain dilarang untuk
menjalin Hubungan pernikahan. Hal-hal demikian tidak diperbolehkan,
bahkan larangan keras, karena jika terjadi hal demikian menurut kepercayaan
setempat akan terjadi sebuah bencana yang akan menimpa pelaku pernikahan,
anak, cucu, bahkan akan berdampak buruk bagi kampung/desa.
Dalam hukum Islam Pernikahan dapat dilakukan kepada siapapun
seorang muslim dengan syarat tidak ada hubungan makhrom antara laki-laki
dan perempuan dan dalam pernikahan tersebut tidak ada unsur paksaan.
Sedangkan pernikahan dalam suku melayu, tidak diperbolehkan apabila
menikah dalam satu suku meskipun tidak ada hubungan makhrom antara
pihak laki-laki dan perempuan. Menurut kepercayaan warga setempat,
apabila terjadi pernikahan satu suku, maka akan menimbulkan suatu bahaya.
Apabila seorang laki-laki menikahi seorang gadis masih dalam satu marga
dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak baik, bagi keberlangsungan suami
dan istri tersebut dalam proses berumah tangga, juga bagi masyarakat Melayu
dalam satu suku tersebut.
Hukum nikah sangat erat hubungannya dengan mukallaf seorang
muslim sebagai pelakunya. Kalau ia (mukallaf) sudah dalam kondisi yang
sangat memerlukan dan berkemampuan, maka hukumnya wajib. Kalau ia
(mukallaf) tidak mampu, maka hukumnya menjadi makruh, jika ia berniat
untuk menyakiti istri, maka hukumnya haram. Sedang hukum asli dari nikah
19
adalah mubah atau diperbolehkan. Nikah hukumnyasunat bagi orang yang
memerlukannya.
Dari latar belakang tersebut maka penulis merasa tertarik untuk
meneliti lebih jauh mengenai pernikahan dalam suku melayu dengan judul
Larangan Pernikahan Sesuku Pada Suku Melayu Dalam Perspektif Hukum
Islam Studi Kasus Di kecamatan Perhentian Raja.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Praktik pernikahan pada suku Melayu?
2. Mengapa pernikahan Sesuku pada Suku Melayu Di Riau dilarang?
3. Bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai Larangan Pernikahan
Sesuku pada suku Melayu di Riau?
C. Tujuan Penelitian
Agar tidak menyimpang dari masalah-masalah yang diutarakan tersebut
di atas, dan penelitian yang dilakukan maka penulis sebutkan tujuan
penelitian. Adapun tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui praktik pernikahan pada suku Melayu
2. Untuk menjelaskan Faktor-faktor yang menyebabkan dilarangnya
pernikahan Sesuku pada Suku Melayu di Riau
3. Untuk mengetahui pernikahan pada suku Melayu ditinjau dalam
perspektif hukum Islam.
D. Manfaat Penelitian
1. Untuk mengetahui pandangan Islam tentang Pernikahan sesuku.
20
2. Sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk menambah wawasan ilmu
pengetahuan kususnya Pernikahan sesuku.
E. Penegasan Istilah
Untuk memudahkan kejelasan dari judul skripsi ini, penulis akan
menjelaskan istilah-istilah yang dipakai sehingga dapat diketahui gambaran
awal kemana arah tujuan skripsi ini dibuat, sebagai berikut:
1. Nikah
Nikah berasal dari bahasa Arab nakakha, yankikhu artinya kawin
atau nikah. Adalah suatu ikatan antera laki-laki dan perempuan yang sah
baik menurut hukum Islam maupun undang-undang. Dalam kamus besar
bahasa Indonesia nikah dapat diartikan Ikatan (akad) perkawinan yang
dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan agama.1
2. Marga/Sesuku
Adalah suatu kelompok garis keturunan yang sering disebut
dengan clan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia marga adalah
kelompok kekerabatanyang eksogamunilinear, baik secara matrilineal
maupun patrilineal.2
3. Suku
Adalah kesatuan social yang terjadi karena perbedaan
letakgeografis tempat tinggal, bahasa maupun kebudayaanya. Menurut
kamus besar bahasa Indonesia Suku dapat diartikan kesatuan social yang
1 Departemen Pendidikan Nasional.2002.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta:
Balai Pustaka.hlm. 782. 2 Ibid. hlm 775
21
dapat dibedakan dari kesatuan social lain berdasarkan kesadaran akan
identitas perbedaan kebudayaan, khususnya bahasa.3
F. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, agar data penulis mendapatkan data yang
akurat guna menyakinkan rumusan masalah di atas, maka penulis
menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pendekatan Penelitian
1) Pendektan Sosiologis
Adalah pendekatan yang dasar tujuannya permasalahan-
permasalahan yang ada dalam masyarakat, yang berkaitan
dengan permasalahan pernikahan secara umum dan juga
pernikahan dalam satu marga.
2) Pendekatan Yuridis
Adalah pendekatan yang berorientasi pada gejala-gejala
hukum yang bersifat normatif, lebih banyak bersumber pada
data kepustakaan dan hukum adat yang berlaku pada suku
melayu. Dengan pendekatan ini diharapkan sebagai usaha untuk
mempelajari ketentuan hukum Islam maupun hukum adat.
b. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan
3 Ibid. hlm 825
22
pendekatan yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami subjek peneliti misalnya perilaku, persepsi, motifasi,
tindakan dan lain-lain.4
2. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang
sangat penting, karena seorang peneliti secara langsung mengumpulkan
data yang ada di lapangan. Sedangkan status penelitian dalam hal
pengumpulan data, diketahui oleh informan secara jelas guna
menghindari kesalah pahaman diantara peneliti dan informan. Dalam
penelitian yang dilakukan ini, peneliti hanya sekedar mengumpulkan
data melalui wawacara dan observasi. Disini peneliti tidak termasuk
dalam suku melayu.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di desa Perhentian Raja (Pantai Raja),
kecamatan kampar kiri hilir, Kabupaten Kampar, Riau. Peneliti memilih
lokasi tersebut karena adat istiadat di desa tersebut masih kental.
4. Sumber Data
Data diperoleh dari informan yakni Ninik Mamak atau kepala Suku
Melayu. Selain itu juga para masyarakat yang bermukim di Pekanbaru
yang masih mempunyai garis keturunan Suku Melayu.
5. Prosedur Pengumpulan Data
4Lexi j Moleong. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
hal. 6.
23
Untuk mengumpulkan data guna mendapatkan keterangan yang
jelas mengenai obyek yang diteliti, maka penulis menggunakan hal-hal
berikut:
a. Wawancara (Interview)
Yaitu cara memperoleh data dengan menelusuri data
menggunakan wawancara dengan tetap berpijak pada catatan
mengenai pokok-pokok yang akan ditanyakan, sehingga masih
memungkinkan adanya variasi-variasi pertanyaan-pertanyaan yang
disesuaikan dengan situasi ketika wawancara dilakuka.5 Wawancara
ini dilakukan kepada kepala adat dan warga suku melayu asli Riau
serta tokoh adat.
b. Observasi
Observasi adalah suatu bentuk penerimaan data yang
dilakukan dengan cara merekam kejadian, menghitung, mengukur
dan mencatat sesuai prosedur yang berstandar.6 Dalam penelitian
yang kami lakukan, peneliti akan mengumpulkan data dari kepala
adat dan melihat secara langsung warga suku melayu yang
melakukan pernikahan satu marga ataupun yang melakukan
pernikahan dengan lain marga.
6. Analisis Data
5Sutrisno Hadi. 1981. Metodologi Recearch (Untuk Penulisan Paper, Skripsi, Thesis, dan
Disertasi). Yogyakarta : Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. hlm. 75.
6Suharsimi Arikunto. 1997. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek).
Jakarta:Rineka Cipta. hlm. 46.
24
Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan dianalisis secara
kualitatif. Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data
di lapangan secara berkesinambungan. Diawali dengan proses klarifikasi
data agar tercapai konsistensi, dilanjutkan dengan langkah abstraksi-
abstraksi teoritis terhadap informasi lapangan, dengan
mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat memungkinkan
dianggap mendasar dan universal. Gambaran atau informasi tentang
peristiwa atas objek yang dikaji tetap mempertimbangkan derajad
koherensi internal, masuk akal, dan berhubungan dengan peristiwa
faktual dan realistik. Dengan cara melakukan komparasi hasil temuan
observasi dan pendalaman makna, diperoleh suatu analisis data yang
terus-menerus secara simultan sepanjang proses penelitian.7 Metode
berfikir yang digunakan dalam menganalisis adalah berdasarkan pada
dasar-dasar yang bersifat umum kemudian meneliti persoalan-persoalan
yang bersifat khusus. Dari analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan
yang pada hakikatnya merupakan jawaban atas permasalahan.8
Dalam penelitian ini, penulis akan meninjau lebih jauh larangan
pernikahan satu marga pada suku melayu dalam perspektif hukum Islam.
Karena menurut peneliti pernikahan satu marga tersebut dilarang
sedangkan hukum Islam diperbolehkan.
7. Pengecekan Keabsahaan Data
7Burhan Bungin. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada. hlm. 154.
8Hadari Nawawi dan H.M. Martini Hadari. 1992. Instrumen penelitian Bidang Sosial.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Prss. hlm. 213.
25
Peneliti menggunakan triangulasi dengan sumber sebagai teknik
untuk mengeck keabsahan data. Menurut Moleong dalam bukunya yang
dikutip dari Patton, Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan
dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh
melalui waktu dan alat yang berada dalam penelitian kualitatif, hal itu
dapat dicapai dengan jalan membandingkan hasil wawancara dengan isi
suatu dokumen yang berkaitan.9
8. Tahap-Tahap Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti melakukan beberapa
tahapan, antara lain sebagai berikut:
a. Tahap Sebelum Lapangan
Yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh peneliti sebelum
melakukan penelitian, seperti peneliti menentukan topik penelitian,
mencari informasi tentang Suku Melayu, Adat istiadat peraturan
Suku Melayu, penyusunan proposal, menetapkan fokus penelitian
dan lain-lain.
b. Tahap Lapangan
Yaitu peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mencari
data-data yang diperlukan seperti wawancara kepada informan,
melakukan observasi.
c. Tahap Analisa Data
9Moleong, Op. Cit., hlm.330.
26
Yaitu ketika semua data telah terkumpul dan dirasa cukup
oleh peneliti, maka tahap selanjutnya adalah menganalisa data-data
tersebut dan menggambarkan hasil penelitian sehingga bisa memberi
arti pada objek yang diteliti.
d. Tahap Penulisan Laporan
Yaitu setelah semua data telah terkumpul, dianalisis
kemudian dikonsultasikan kepada dosen pembimbing, dan yang
terahir dilakukan penulisan hasi penelitian tersebut sesuai dengan
pedoman penulisan skripsi.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini untuk memberikan gambaran yang lebih jelas
mengenai judul diatas, maka akan dirumuskan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama pendahuluan, yang merupaakan abstraksi dari
keseluruhan isi skripsi, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, metodologi
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, bagian ini menjelaskan tentang pernikahan dan larangan
pernikahan dalam Islam yang meliputi pengertian dan hukum pernikahan,
tujuan pernikahan, rukun dan syarat pernikahan, wanita yang haram untuk
dinikahi dan pernikahan yang dilarang dalam hukum Islam.
Bab ketiga menguraikan tentang praktek pernikahan dalam suku
Melayu di kecamatan Perhentian raja, kabupaten Kampar yang meliputi lima
sub bab. Sub bab yang pertama deskripsi wilayah Kecamatan Perhentian raja.
27
Sub kedua berisikan keadaan pendidikan dan kehidupan beragama
masyarakat kemudian pada sub bab ketiga menjelaskan tentang keadaan
Sosial budaya yang ada pada suku Melayu yang ada di Kecamatan Perhentian
raja. bab yang keempat yaitu adat istiadat suku Melayu yang meliputi Faktor-
faktor dilarangnya pernikahan Sesuku dan tata cara proses pernikahan Sesuku
pada Suku Melayu.
Bab keempat merupakan analisis pernikahan suku melayu yang
meliputi analisis pernikahan satu marga dalam suku melayu dan analisis
pernikahan satu marga dalam suku melayu ditinjau dari perspektif hukum
Islam.
Bab kelima merupakan penutup dari penyusunan skripsi ini yang
terdiri dari kesimpulan dari seluruh hasil penelitian dan saran-saran dalam
rangka meningkatkan pengetahuan tentang hukum-hukum islam khususnya
larangan pernikahan sesuku di Kecamatan Perhentian Raja Kabupaten
kampar Riau.
28
BAB II
PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM
A. Telaah Pustaka
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lukmanul Khakim
seorang mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Salatiga, beliau menganalisis
“Fatwa larangan nikah antar Santri di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil
Qur‟an (BUQ) Gading, Desa Duren, kecamatan Tengaran, Kabupaten
Semarang”. Beliau menjelaskan tentang pandangan santri, alumni dan
masyarakat sekitar Pondok Pesantren tentang larangan pernikahan antar santri
tersebut. Banyak dari mereka menaati aturan atau larangan tersebut
dikarenakan takut dengan Guru serta tidak manfaatnya ilmu dikemudian hari.
Tetapi yang menjadi alasan terkuat tidak dibolehkannya pernikahan antar
santri adalah, Seluruh santri BUQ Gading dianggap menjadi satu keluarga
yang dalam konsep Mahrom dilarang menikah.10
Penelitian yang dilakukan olehAdini Soraya yang berjudul
“Pemberian Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian
Kasang Kabupaten Padang Pariaman”. Dalam skripsi tersebut beliau
menjelaskan tentang adat minang kabau yang menentukan bahwa orang
Minangkabau dilarang kawin dengan orang dari suku yang Serumpun. Garis
keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis Ibu, maka suku
Serumpun disini dimaksudkan “serumpun menurut garis Ibu” yang disebut
10
Lukmanul Khakim. 2013. Fatwa larangan Nikah Antar Santri (studi Kasus Pondok
Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur‟an(BUQ) Gading, Desa Duren, Kecamatan Tengaran,
Kabupaten Semarang. Salatiga: STAIN Salatiga. Hlm. 84.
29
juga dengan istilah “eksogami matrilokal atau eksogami matrilineal”. Dan
dalam hal ini para ninik-mamak, alim ulama, cendikiawan, para pakar adat
dan pecinta adat Minangkabau dituntut untuk memberikan kata sepakat
mengenai rumusan (definisi) pengertian Serumpun yang akan diperlakukan
dalam perkawinan di Minangkabau. Beliau menjelaskan “pengertian
serumpun disamakan dengan Sesuduik. Yang dimaksudkan dengan Sesuduik
adalah satu kelompok dari beberapa Suku. Seperti Suduik nan5, terdiri dari 5
(lima) suku yaitu Suku Jambak, Suku Pitopang, Suku Kutianyir, Suku Salo
dan Suku Banuhampu. Kelima suku ini dianggap Serumpun, sehingga antara
kelima suku ini tidak boleh melakukan pernikahan. Kalau sampai terjadi
sebuah Perkawinan maka akan dikenai sanksi berupa dibuang sepanjng adat
karena dianggap sebagai perkawinan endogamy atau perkawinan didalam
serumpun sendiri.11
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Anif Khusnawati yang
berjudul “Larangan Pernikahan antara Saudara Sepupu Pancer Wali di
Kelurahan Ngantru Kecamatan/Kabupaten Trenggalek Dalam Perspektif
Hukum Islam.” Dalam skripsinya dijelaskan adat yang melarang pernikahan
antara saudara sepupu pancer wali tidak termasuk dalam orang-orang yang
haram untuk dinikahi menurut Al-qur‟an dan Hadis. Masyarakat mempunyai
keyakinan terhadap buruknya keturunan dari hasil pernikahan tersebut.
Sepupu pancer wali yaitu anak dari paman/bibi baik dari ayah maupun ibu,
11
Adini Soraya. 2010. Pemberian Sanksi Adat terhadap Perkawinan Sesuku dalam
Kenagarian Kasang Kabupaten Padang Pariaman. Pekanbaru: Universitas Islam Riau. Hlm. 79
30
kedudukannya sama dengan mahram, tidak batal wudhu jika bersentuhan,
jika terjadi pernikahan maka dilakukan fasakh nikah.12
Dari kajian yang telah kami lakukan bahwa karya-karya skripsi
tersebut berbeda dengan penelitian ini, karena dalam penelitian ini penulis
akan menitik beratkan pada Suku Melayu tepatnya di Daerah kota Pekanbaru,
Riau.
B. Pengertian Pernikahan dan Hukum Pernikahan
Pernikahan adalah sebuah upacara penyatuan dua jiwa menjadi sebuah
keluarga melalui akad perjanjian yang diatur oleh agama. Oleh karena itu
pernikahan menjadi sebuah upacara yang agung dan sakral. Menurut Imam
Syafi‟i13
, pernikahan adalah akad yang mengandung kebolehan untuk
melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna
dengan itu. Menurut Imam Hanafi yaitu akad yang memfaedahkan halalnya
melakukan hubungan suami istri antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan selama tidak ada halangan syara‟.14
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
pasal 1 merumuskan pengertian perkawinan sebagai berikut:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
12
Anif Khusnawati, 2007, Larangan Pernikahan antara Saudara Sepupu Pancer Wali di
Kelurahan Ngantru Kecamatan/Kabupaten Trenggalek Dalam Perspektif Hukum Islam,
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. Hlm. 95 13
Abdul Aziz Dahlan, 2001, Ensiklopedia Hukum Islam, jakarta: ichtiar Baru van Hoeve,
hal. 132 14
Ibid., Hlm. 133
31
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Slamet Abidin memberikan makna pernikahan sebagai suatu antara
seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua
belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat
yang telah ditetapkan oleh syara‟ untuk menghalalkan percampuran antara
keduanya sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu
sebagai teman hidup dalam rumah tangga.15
Hukum asal pernikahan adalah mubah, tetapi dapat berubah sesuai
dengan keadaan pelakunya, bisa menjadi wajib, sunat, makruh ataupun
haram.16
Hukum pernikahan asalnya adalah mubah.Mubah merupakan hukum
asal pernikahan, yaitu suatu perbuatan yang diperbolehkan mengerjakannya,
tidak diwajibkan dan tidak juga diharamkan. Bagi laki-laki yang terdesak
alasan-alasan mewajibkan segera menikah, atau alasan-alasan yang
menyebabkan ia harus menikah maka hukumnya mubah. Menurut ulama
Hanbali mubah hukumnya, bagi orang yang tidak mempunyai keinginan
untuk menikah.
Hukum pernikahan dapat berubah menjadi wajib, yaitu
apabilaSeseorang yang sudah mampu dari segi biaya dan nafsunya sudah
sangat mendesak untuk menikah, jika tidak menikah dikhawatirkan dirinya
15
Slamet Abidin dan H. Aminuddun, 1999, Fiqih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia.
Hlm. 11-12 16
Ibid., Hlm. 33
32
akan terjerumus dalam lembah perzinaan, untuk menjauhkan dirinya
dariperbuatan haram maka wajib baginya untuk menikah.
Imam Qurtuby berkata, “bujangan yang sudah mampu menikahdan
takut dirinya dan agamanya, sedangkan untuk menyelamatkan dirinya tidak
ada jalan lain, kecuali dengan pernikahan maka tidak ada perselisihan
pendapat tentang wajibnya ia menikah. Jika nafsunya mendesak, sedang ia
tidak mampu untuk menafkahi istrinya maka Allah nanti akan melapangkan
rezekinya.”
Ulama Malikiyyah mengatakan bahwa, “menukah itu wajib bagi yang
menyukainya dan takut terjerumus ke jurang perzinaan jika ia tidak menikah,
sedangkan berpuasa ia tidak sanggup.”
Hukum pernikahan dapat berubah menjadi sunnah. Melakukan
pernikahan hukumnya sunnah, apabila orang yang mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk menikah, tetapi jika ia tidak menikah tidak
dikhawatirkanakan terjerumus ke lembah perzinaan.
Ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah sepakat bahwa menikah itu sunnah
bagi orang yang menyukainya, tetapi tidak takut terjerumus ke lembah
perzinaan.Ulama Malikiyah berpendapat bahwa menikah itu Sunnah bagi
orang yang kurang menyukainya, tetapi menginginkan keturunan karena ia
mampumelakukan kewajiban dengan memberi rizki yang halal serta mampu
melakukan hubungan seksual.
33
Sedangkan ulama Syafi‟iyah mengangap bahwa menikah itu sunnah
bagi orang yang melakukanya dengan niat untuk mendapatkan ketenangan
jiwa dan melanjutkan keturunan.
Hukum pernikahan dapat menjadi makruh. Melakukan pernikahan
hukumnya makruh bagi orang yang lemah syahwat dan tidak mampu
memberi nafkah kepada istrinya walaupun tidak merugikanya karena ia kaya,
ataupun ia mempunyai kemampuan untuk menikah tetapi tidak mempunyai
kemauan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan
baik.
Menurut ulama malikiyyah, menikah itu hukumnya makruh bagi
seorang yang tidak memiliki keinginan dan takut kalau tidak mampu
memenuhi kewajibanya kepada istrinya.Sedangkan menurut ulama syafiiyah,
menikah itu hukumnya makruh bagi orang-orang yang mempunyai
kekhawatiran tidak mampu memberikan kewajiban kepada istrinya.
Hukum pernikahan dapat menjadi haram. Melakukan pernikahan
hukumnya haram bagi orang yang tidak mempunyai kemauan dan
kemampuan serta tidak mempunyau tanggung jawab untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan
pernikahan akan melenyarkan dirinya dan istrinya. Begitu juga jika seorang
menikah dengan tujuan menelatarkan orang lain, wanita yang dinikahi itu
tidak diurus hanya agar wanita itu tidak dapat menikah dengan orang lain.
Al-Qurtuby menyatakan bahwa jika seorang laki-laki tidak mampu
menafkahi istrinya dan membayar maharnya, serta tidak mampu memenuhi
34
hak-hak istrinya sebelum ia dengan terus terang menjelaskan keadaan itu
kepadanya atau sampau datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hal istrinya.
Begitu juga kalau karena suatu hal ia menjadi lemah tidak mampu mengauli
istrinya maka ia wajib menerangkan dengan terus terang agar calon isteri
tidak tertipu olehnya.
C. Tujuan Pernikahan
Pernikahan sebagai amal perbuatan yang disunnahkan tentu
mengandung beberapa tujuan. Secara umum tujuan pernikahan ada
beberapa hal. Pertama, Membentuk keluarga sakinnah mawaddah
dan rohmah. Tujuan utama pernikahan adalah untuk memperoleh
kehidupan yang tenang (sakinah,) cinta (mawaddah) dan kasih sayang
(rohmah) yang dapat tercapai jika semua tujuan sudah terpenuhi
dengan kata lain, tujuan lain sebagai pelengkap untuk memenuhi
tujuan utama ini. Tujuan untuk memperoleh kehidupan yang tenang
(sakinnah) cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rohmah) ini terdapat
dalam firman Allah yang berbunyi:17
Artinya: Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-
17
Khoiruddin Nasution.2005. hukum Perkawinan Indonesia. Yogyakarta:Academia &
tazzafa. Hlm. 38
35
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya kepada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.18
Kedua, mendapatkan dan melangsungkan keturunan. Setiap
pasangan yang telah melaksanakan pernikahan tentu mempunyai
keinginan untuk mendapatkan anak/keturunan yang sah. Walaupun
kehidupan rumah tangga yang serba berkecukupan, tetapi tidak
mempunyai keturunan, kehidupan rumah tangga belum sempurna,
serta terasa sepi dan hampa. Keinginan untuk mendapatkan keturunan
ini disebabkan anak-anak itulah yang diharapkan dapat membantu
ibu dan bapaknya pada hari tuanya kelak. Setiap orangtua tentu
mengharapkan anak-anak yang soleh dan berbakti kepada orang
tuanya.19
Dapat diambil pengertian bahwa anak merupakan penolong bagi
orang tua baik baik bagi kehidupanya didunia maupun diakhirat
kelak. Selain itu anak juga merupakan penerus generasi, penyambung
keturunan yang akan selalu berkembang untuk meramaikan dan
memakmurkan bumi.
Karena manusia mempunyai pikiran, perasaan, kesopanan,
kesusilaan, serta mempunyai hak dan kewajiban, maka untuk
menyambung keturunan hanya dengan melaksanakan ikatan
18
Ar-Rum (30) : 21 19
Soemiyati. 2004. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-undang Perkawinan. Yogyakarta:
Liberti.hal.13-14.
36
perkawinan yang sah yang mempunyai peraturan-peraturan yang telah
ditentukan.
Ketiga, Pemenuhan kebutuhan Biologis (Seks). Hal ini
dijelaskan dalam surat Al-Baqarah yang berbunyi:
Artinya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan isteri-isteri kalian; mereka itu adalah pakaian bagi
kalian, dan kalianpun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah
mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang
campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah
untuk kalian, dan makan minumlah hingga terangbagi kalian benang
putih dari benang hitam, yaitufajar. Kemudian sempurnakanlah puasa
itu sampai datang malam, tetapi janganlah kalian campuri mereka itu
sedang kalian beri’tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka
janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.20
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa seorang pria (suami)
merupakan pakaian bagi istri-istrinya dan begitu juga sebaliknya.
Allah Awt tidak menyukai pria dan wanita yang menyalurkan naluri
seksualnya sama seperti makhluk lainnya. Oleh karena itu Allah Swt
mengatur hubungan pria dan wanita sedemikian rupa dalam sebuah
pernikahan yang sah. Disamping pernikahan untuk pengatur naluri
20
Al-Baqarah (2) : 187
37
seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih dikalangan pria dan
wanita secara harmonis dan bertanggung jawab.
Keempat, Menjaga kehormatan. Menjaga kehormatan sejalan
dengan pemenuhan kebutuhan biologis. Artinya pernikahan tidak
hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis tetapi juga untuk menjaga
kehormatan. Manusia bisa saja mencari pasangan atau lawan jenis
untuk memenuhi kebutuhan biologis tetapi ia akan kehilangan
kehormatannya. Dengan pernikahan kebutuhan biologis terpenuhi dan
kehormatan terjaga.21
Pemenuhan kebutuhan biologis tanpa pernikahan akan
menimbulkan kerusakan dirinya sendiri ataupun orang lain bahkan
masyarakat, karena manusia mempunyai nafsusedangkan nafsu
condong mengajak kepada perbuatan buruk.
Kelima, Ibadah. Melakukan pernikahan adalah bagian dari
ibadah, karena telah menjalankan perintah dan anjuran agama. Dalam
sebuah hadis, Nabi Muhammad Saw mempunyai harapan pribadi
yaitu umatnya berjumlah banyak pada akhir zaman nanti. Melakukan
sunnah Nabi berarti sama dengan malakukan ibadah. Karena itu
melakukan pernikahan sebagian dari melakukan sunnah Nabi
Muhammad Saw berarti juga melakukan ibadah.22
D. Rukun dan Syarat Pernikahan
21
Khoiruddin Nasution.2005. hukum Perkawinan Indonesia. Yogyakarta:Academia &
tazzafa. Hlm 47 22
Ibid. hlm 47
38
Sebelum membahas tentang rukun dan syarat pernikahan, alangkah
baiknya diketahui terlebih dahulu syarat dan rukun itu sendiri. Rukun adalah
sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan.
Rukun merupakan bagian dari sesuatu, yang sesuatu itu tidak akan ada
kecuali dengan bagian itu. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang mesti ada
dan tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan.23
Rukun pernikahan adalah sesuatu yang menjadi sarana bagi
terlaksananya pernikahan atau sesuatu yang menjadikan dapat
dilaksanakannya pernikahan itu bila sesuatu itu ada, jika sesuatu itu tidak ada
maka pernikahan itu tidak akan bisa terlaksana. Akan tetapi bukan berarti
apabila salah satu dari unsur-unsur tersebut sudah ada pernikahan dapat
dilangsungkan, demikian juga sebaliknya jika salah satu rukunnya tidak ada
maka pernikahan juga tidak akan bisa terlaksana.24
Oleh karena itu rukun pernikahan itu harus lengkap, tidak boleh kurang
dari unsur-unsurnya. Adapun rukun pernikahan yaitu Suami, Istri, Wali, Dua
orang saksi dan sighat.25
Di samping rukun harus terpenuhi, juga harus dipenuhi syarat-
syaratnya. Syarat-syarat suami ada beberapa hal. Syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh suami ada empat macam. Pertama, Beragama Islam.
Maksudnya seorang calon suami yang akan melaksanakan pernikahan
beragama Islam sehingga dia dapat membimbing keluarganya kelak sesuai
23
Abd. Rahman Ghazaly. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta. Kencana prenada media gorup.
Hlm. 45-46 24
A. Zuhdi Muhdlor. 1994. Memahami Hukum Perkawinan “Nikah, Talak, Cerai dan
Rujuk”. Yokyakarta. Al-Bayan. Hlm. 52 25
Ibid. Hlm. 55
39
dengan ajaran agama Islam. Kedua, Laki-laki (bukan banci). Maksudnya
calon suami terlahir berstatus sebagai laki-laki sejak lahir dan bukan
dikarenakan Pergantian atau operasi Kelamin.Ketiga, Jelas orangnya.
Maksudnya asal usul seorang calon suami harus jelas baik tempat tinggal atau
domisilinya. Keempat, Tidak tekena halangan pernikahan. Seorang calon
suami bukan sanak famili atau saudara sesusuan(dengan calon istri) yang
dapat menghalangi pernikahan.
Sementara syarat-syarat istri dalam pernikahan sebagaimana ijtihad
para ulama adalah beragama islam atau ahli kitab, perempuan (bukan banci),
jelas orangnya, halal bagi suaminya, tidak dipaksa, tidak dalam ikatan
pernikahan dan tidak dalam masa iddah (bagi janda).
Sementara syarat-syarat wali dalam pernikahan juga harus terpenuhi.
Syarat-syarat wali yaitu laki-laki, dewasa, mempunyai hak atas perwaliannya,
dan tidak terkena halangan untuk menjadi wali.26
Untuk perwalian Umat Islam di Indonesia menggunakan mazhab Imam
Syafi‟i yaitu: ayah, kakek dan seterusnya ke atas, saudara laki-laki
sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara sekandung,
anak laki-laki dari saudara seayah, paman sekandung, paman seayah, anak
laki-laki paman seayah, hakim,
Adapun syarat-syarat saksi adalah minimal dua orang laki-laki,
beragama Islam, dewasa, mengerti maksud dari akad pernikahan. Sedang
26
Abd. Rahman Ghazaly. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta. Kencana prenada media gorup.
Hlm. 54-55
40
syarat-syarat Sighat adalah antara ijab dan qabul jelas, antara ijab dan qabul
bersambungan.27
E. Wanita yang Haram untuk Dinikahi
Dalam Al-Qur‟an dan Hadits sudah diatur sedemikian rupa tentang
perkawinan dan telah dijelaskan bahwa tidak semua wanita halal untuk
dinikahi, melainkan ada larangan-larangan tertentu sehingga wanita itu haram
untuk dinikahi. Secara garis besar, wanita-wanita yang haram dinikah
menurut syariat hukum Islam dibagi dua, yaitu: haram selamanya dan haram
sementara.28
Yang haram selamanya yaitu wanita-wanita yang tidak boleh
dinikani oleh seorang laki-laki sepanjang masa. Sedangkan yang harang
sementara yaitu wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi oleh seorang laki-
laki selama waktu tertentu dan dalam keadaan tertentu. Jika keadaanya sudah
berubah, maka keharamannya hilang dan menjadi halal.
Wanita-wanita yang haram untuk dinikah selamanya ada tiga
macam.29
pertama, Karena Nasab/ keturunan. Dalam Al-Qur‟an surat An-
Nisa‟ (4): 23 telah dijelaskan beberapa wanita-wanita yang haram untuk
dinikah, yaitu:
a. Ibu kandung, yaitu ibu yang telah melahurkannya, nenek dari ibu/bapak
dan seterusnya keatas.
b. Anak perempuan kandung, termasuk cucu dan seterusnya kebawah sesuai
garis lurus.
27
Soemiyati. 2004. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan.Yokyakarta.
Liberti. Hlm. 51-52 28
Abd. Rahman Ghazaly. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta. Kencana prenada media gorup.
Hlm. 102 29
Ibid. Hlm. 102
41
c. Saudara perempuan, yaitu semua perempuan sebapak dan seibu atau
sebapak/ibu saja.
d. Bibi dari pihak bapak, yaitu semua perempuan yang menjadi saudara
bapak/kakek, baik yang lahir dari kakek dan nenek maupun dari salah satu
dari keduanya.
e. Bibi dari pihak ibu, semua perempuan yang menjadi saudara ibu atau
nenek, baik yang lahir dari kakek dan nenek maupun dari salah satu dari
keduanya.
f. Anak perempuan saudara laki-laki baik sekandung maupun tiri.
g. Anak perempuan saudara perempuan baik sekandung maupun tiri.
Kedua, Karena Pernikahan/Pembesanan. Maksudnya karena hubungan
kerabat semenda. Ada beberapa wanita yang haram untuk dinikah karena
Hubungan pernikahan/pembesanan, yaitu:30
a. Ibu istri (mertua) yaitu ibu kandung atau ibu sesusuannya baik sudah
dicampuri ataupun belum dicampuri.
b. Anak tiri perempuan yang ibunya sudah dicampuri dalam jalinan
pernikahan yang sah.
c. Istri anak kandung atau istri cucu baik dari jalur laki-laki atau perempuan,
baik sudah dicampuri maupun belum dicampuri.
d. Istri bapak(ibu tiri), istri kakek dan seterusnya keatas, baik sudah
dicampuri ataupun belum dicampuri.
30
Daly, Pounoh. 1998. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta. Bulan Bintang
42
Ketiga, Karena Sesusuan. Diharamkannya nikah karena sesusuan
sama halnya nikah dengan senasab. Karena itu ibu susuan hukumnya sama
seperti ibu kandung, dan diharamkan bagi laki-laki yang disusui menikah
dengan ibu yang menyusui dan semua wanita yang haram dinikahi dari ibu
kandung. Jadi wanita-wanita yang haram dinikahi sebagai berikut:31
a. Ibu susuan, nenek susuan dan seterusnya keatas
b. Saudara perempuan dari ibu susuan, semua anak perempuan yang
menyusu pada ibu susuan, yang menyusu pada cucu perempuan dari ibu
susuan, yang menyusu pada istri anak laki-laki bapak susuan dan
seterusnya kebawah baik melalui nasab ataupun susuan.
c. Saudara perempuan sesusuan, yaitu semua perempuan yang disusui oleh
ibu kandung, ibu tiri, yang dilahirkan ibu susuan dan anak perempuan dari
bapak susuan.
d. Bibi susuan, yaitu saudara perempuan dari bapak susuan termasuk saudara
perempuan kakek baik karena nasab ataupun susuan.
e. Bibi susuan, yaitu saudara perempuan dari ibu susuan termasuk saudara
perempuan nenek baik karena nasab ataupun susuan.
f. Anak perempuan dari saudara laki-laki sesusuan dan anak perempuan
sesusuan dan seterusnya kebawah baik karena nasab maupun karena
susuan.
31
Ibid, hlm 182-183
43
BAB III
PRAKTEK PERNIKAHAN SUKU MELAYU
DI KEC. PERHENTIAN RAJA KAB. KAMPAR
A. Deskripsi Wilayah
44
Secara geografis Perhentian Raja terletak diantara kecamatan Siak
Hulu dan Kampar Kiri Hilir. Perhentian Raja juga merupakan salah satu
kecamatan yang berada didaerah Kampar propinsi Riau. Kabupaten Kampar
dilalui oleh dua buah sungai besar dan beberapa sungai kecil, diantaranya
Sungai Kampar yang panjangnya 413,5 km dengan kedalaman rata-rata 7,7 m
dan lebar 143 m dan pada umumnya kabupaten Kampar beriklim tropis.
Kecamatan Perhentian Raja ini terletak lebih kurang 27 km dari kota
Pekanbaru. Kabupaten Kampar terletak lebih kurang 61 km dari pekanbaru.
Kabupaten Kampar terbagi dalam 21 kecamatan, diantaranya: Kampar Kiri,
Kampar Kiri Hilir, Perhentian Raja, Kampar Kiri Hulu, Kampar Kiri Tengah,
Gunung Sahilan, Koto Kampar XIII, Koto Kampar Hulu, Kuok, Tapung,
Tapung Hulu, Tapung Hilir, Bangkinang, Bangkinang Sebrang, Kampar,
Kampar Timur, Rumbio Jaya, Kampar Utara, Tambang, Siak Hulu
Secara administratif batas-batas Kecamatan Perhentian Raja dapat
dilihat pada tabel berikut :
TABEL I
BATAS-BATAS WILAYAH
No Letak Batas Kecamatan Lokasi
1 Utara Kecamatan Siak Hulu
2 Selatan Kecamatan Kampar Kiri Hilir
3 Barat Kampar Kiri Tengah
4 Timur Kecamatan Siak Hulu
Sumber: Dokumen Kecamatan Perhentian Raja
45
Luas wilayah Perhentian Raja adalah 112,39 km2 yang terdiri dari 5
desa, seperti terdapat pada tabel berikut:
TABEL II
DESA-DESA DI KECAMATAN PERHENTIAN RAJA
No Desa Luas (km2)
1 Desa Sialang Kubang 22,13
2 Desa Hangtuah 24,80
3 Desa Perhentian Raja 29,12
4 Desa Kampung Pinang 21,00
5 Desa Lubuk Sakat 15,34
Sumber: Dokumen Kecamatan Perhentian Raja
Masyarakat Perhentian Raja pada umumnya bercocok tanam. Karena
secara geografis Perhentian Raja berupa persawahan dan perkebunan yang
sangat luas sehingga Kecamatan Perhentian Raja termasuk daerah penghasil
tanaman pangan, karet dan kelapa sawit di Kabupaten Kampar.
B. Keadaan Pendidikan dan Kehidupan Beragama Masyarakat
Adapun fasilitas pendidikan yang terdapat di kecamatan Perhentian
Raja dapat dilihat pada tabel berikut:
TABEL III
FASILITAS PENDIDIKAN
No Fasilitas Pendidikan Jumlah Fasilitas
1 SDN 8
46
2 SLTP 2
3 MTs 2
4 SMA 2
Jumlah
Sumber: Dokumen Kecamatan Perhentian Raja
Dengan melihat tabel di atas pendidikan di Kecamatan Perhentian Raja
masih minim, hal ini terbukti karena Daerah tersebut masih minim fasilitas
Pendidikannya.
Masyarakat Kecamatan Perhentian Raja mayoritas mengatut agama
Islam. Menurut data yang telah penyusun dapatkan ada dua agama lain yang
berkembang di sana yaitu Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
TABEL IV
PERSENTASE PENDUDUK BERDASARKAN AGAMA
No Nama kepercayaan Persentase
1 Islam 95 %
2 Kristen protestan 3 %
3 Kristen katolik 2 %
Total 100%
Sumber: Dokumen Kecamatan Perhentian Raja
Di Kecamatan Perhentian Raja terdapat 9 masjid, 14 musholla dan 3
gereja. Selain dijadikan tempat beribadah, masjid dan mushola juga dijadikan
tempat untuk kegiatan keagamaan seperti wirid, pengajian, mempelajari Al-
47
Quran dll. Perhentian Raja juga memiliki Madrasah Diniyah
Awwaliyah(MDA), yaitu pendidikan non formal yang dimulai sejak dini
untuk menambah wawasan keagamaan anak.ada kurang lebih 8 bangunan
MDA di Perhentian Raja. Pendidikan di mulai pukul 14.00 WIB hingga
16.30 WIB. Kegiatan keagamaannya seperti Aqidah Akhlak, Fiqih, Alqur‟an
Hadist, Sholawatan, Imlak,Bahasa Arab. Pada malam hari juga ada
pendidikan Al-quran di masjid-masjid. Dan pada bulan Ramadhan atau hari
besar Islam diadakanya kegiatan-kegiatan keagamaan yang menambah
wawasan keagamaan mereka seperti diadakanya Pesantren kilat, lomba
Adzan, cerdas cermat, Kaligrafi, pidato.
C. Keadaan Sosial Budaya
Seperti halnya desa dikecamatan yang lainnya kecamatan Perhentian
Raja juga aktif dalam kegiatan sosialnya terutama dalam adat istiadat.
Adapun kegiatan yang biasa dilakukan adalah mandi balimau, pacu jalur,
pencak silat, turun mandi (pemberian nama pada anak), doa tolak bala, doa
sebelum masuk bulan Ramadhan, dan doa menegakkan rumah.
Berikut adalah tabel persentase berdasarkan suku yang ada di
kecamatan Perhentian Raja.
TABEL V
PERSENTASE PENDUDUK BERDASARKAN SUKU BANGSA
No Nama suku Jumlah persentase
1 Suku Melayu 45,2%
48
2 Suku jawa 21,4%
3 Suku sunda 2%
4 Suku batak 3%
5 Suku minang 2,4%
Sumber: Dokumen Kecamatan Perhentian Raja
Menurut AJ seorang Tokoh Masyarat Suku Melayu Kecamatan
Perhentian Raja terdapat beberapa suku seperti: suku domo, suku pitopang,
suku pilliang, suku mandailing suku chaniago. Setiap suku memiliki Datuk
masing-masing
TABEL VI
JABATAN KEPEMIMPINAN ADAT
No Persukuan Penghulu Menti Dubalang Tangganai
1 Mandailing Dt. Maruanso Dt.Mangkuto Dubalang
Batu
Dt. Pitunggul
2 Piliang Dt.Baginda
Perkaso
Mangkuto
Balang
Dt. Rantau Dt. Langka
3 Pitopang Dt. Pakomo Mangkuto
Marajo
Godang
Jalelo
Dt.Rajo
Kinayan
4 Chaniago Dt. Topo Dt. Lipati Halontung
Sati
Dt Tomo
Pernikahan itu sendiri adalah perjanjian antara dua orang yaitu laki
laki dan perempuan untuk menjadi suami istri. Sesuku maksudnya ialah
49
pernikahan sebangsa berdasarkan garis keturunan,dalam hal ini garis
keturunan berdasarkan kepada ibu. Jadi yang dimaksud perkawinan sesuku
ialah tidak bolehnya dua orang laki-laki dan perempuan melakukan perjanjian
menjadi suami istri dengan yang masih berhubungan pertalian saudara dari
ibu.agar lebih mudah dipahami penulis akan memberikan contoh.
A B
C D
E F G H
Dari contoh diatas maksudnya F dan G tidak diperbolehkan menikah
begitu juga sampai keturunan berikutnya. Hal ini dikarenakan pada zaman
dahulu masyarakat masih sedikit,agar lebih berkembang maka diharuskan
menikah dengan di luar suku.
Pada Suku Melayu Di Kecamatan Perhentian Raja dikenal istilah
Mamak yaitu saudara ibu yang laki laki, dia sangat berperan penting dalam
urusan adat pernikahan. Seperti mengurus surat pernikahan di KUA meminta
izin pernikahan kepada kepala suku dan menentukan calon pasangan
keturunan dan saudaranya.
50
Menurut NF saah seorang masyarakat Melayu ,
“Jika terjadi hal diluar keinginan misalnya calon mempelai hamil
diluar nikah dan ternyata mereka sesuku kemudian untuk menjaga
kemaslahatan sianak maka pernikahan KUA tetap berjalan tetapi
pernikahan adat tidak, dan ninik mamak tidak dapat dihadirkan dan
mereka yang menikah sesuku harus keluar dari kampung dikarenakan
aib.”
“Selain itu ada istilah Bako yaitu Ayah/ semua keluarga dari pihak
ayah, merekalah yang mengurusi masalah pesta/perhelatan jika ada
perkawinan atau khitanan. Jadi, jika terjadi pernikahan sesuku maka
posisi Mamak dan Bako sama, maka tidak aka nada yang mengurus
administrasi nikah ataupun tempat untuk resepsi pernikahannya.
Selain itu, jika suatu saat terjadi persengketaan akan sulit untuk
menyelesaikannya karena mamaknya sama.”
Dalam adat dikenal pula istilah Bapillin tigo yaitu tiga hal dalam adat
yang harus dipatuhi masyarakat karena tiga hal tersebut sejalan. Peraturan
bapillin tigo tersebut adalah peraturan pemerintah, peraturan agama dan
peraturan adat istiadat. Jika melanggar adat berarti melanggar peraturan
pemeritah dan agama begitu juga sebaliknya.
D. Adat Istiadat dalam Suku Melayu
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam suku
bangsa, dan setiap suku bangsa mempunyai sistem perkawinan yang berbeda.
Sistem perkawinan menurut adat ada tiga, Pertama Exogami, yaitu seorang
laki-laki dilarang menikahi perempuan yang semarga atau sesuku dengannya.
Ia harus menikah dengan perempuan di luar Marganya (klan-Patrilineal).
Kedua Endogami, yaitu seorang laki-laki diharuskan menikah dengan
perempuan dari lingkungan kerabatnya (suku, klan atau famili) dan dilarang
51
menikahi perempuan diluar kerabat. Ketiga Eleutrogami, seorang laki-laki
tidak lagidiharuskan atau dilarang untuk menikah dengan perempuan diluar
atau didalam lingkungan kerabat atau suku, melainkan dalam batasan-batasan
yang telah ditentukan hukum Islam dan hukum perundang-undangan yang
berlaku. Dari ketiga sistem, Suku Melayu termasuk pada sistem perkawinan
Exogami.
Menurut Dz, Dt. Baginda Perkaso dari suku Piliang menuturkan
bahwa, adat istiadat dalam Suku Melayu lebih condong memihak
kaum wanita. Hal ini dikarenakan adanya sebuah hadits yang
menjelaskan bahwa surga dibawah telapak kaki ibu, maka sudah
sepantasnya kedudukan seorang wanita sangat dijunjung tinggi dalam
tanah Melayu.
Masyarakat Suku Melayu di Provinsi Riau khususnya di Kota
Pekanbaru kecamatan Perhentian Raja masih terikat kesatuan keturunan yang
ditarik dari garis keturunan Ibu atau Perempuan dengan kata lain bentuk
kesatuan keturunan itu disebut sistem Matrilinial.
“Sedangkan menurut AZ, Dt, Topo dari suku Chaniago “alasan yang
paling mendasar kenapa dalam adat Melayu sangat menjunjung tinggi
kaum wanita adalah pengorbanan dan jasa seorang ibu yang telah
berjuang mengandung dan melahirkan seorang anak.”
Menurut SR, Dt. Maruanso dari suku Mandailing “kedudukan seorang
wanita di tanah Melayu riau memanglah tinggi namun hal ini tidak
berarti bahwa perempuanlah yang memiliki kekuasaan lebih kuat
dibanding laki-laki, karena kekuasaan yang dimiliki oleh perempuan
adalah kekuasaan yang berhubungan dengan peranan dalam
kelangsungan keturunan dan tidak menempatkanya dalam kekuasaan
pada system pemerintahan.”
52
Dalam adat Melayu peran seorang wanita sangatlah penting terutama
dalam penerus garis keturunan. Selain itu peranan seorang wanita dalam
pembagian harta waris yang lebih besar dari bagian anak laki-laki yaitu 2:1.
Namun kedudukan yang diberikan kepada kaum wanita pada Suku Melayu
hanyalah sebatas kedudukan dalam ruang lingkup adat dan untuk kedudukan
pada sebuah kepemerintahan tetap dipegang alih oleh laki-laki.
E. Faktor-faktor LaranganPernikahan Sesuku
Pernikahan sesuku ini adalah istilah dari adat istiadat yang ada pada
masyarakat Perhentian Raja yang mengandung makna yaitu: larangan adalah
sebuah perintah agar tidak melakukan sesuatu atau tidak memperbolehkannya
berbuat sesuatu. Sedangkan pernikahan itu sendiri adalah perjanjian antara
laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri, sedangkan sesuku disini
maksudnya adalah dengan sesama suku (bangsa)nya, sama asal
(keturunan)nya, dan dalam hal ini garis keturunan yang diambil menurut garis
keturunan Ibu(Matrilinial). Jadi, larangan pernikahan sesuku adalah ketidak
bolehan melakukan perjanjian antara laki-laki dan perempuan yang masih
mempunyai Hubungan pertalian dari ibu untuk bersuami istri.
Menurut Dz, Dt. Maruanso dari suku Mandailing“faktor yang
menyebabkan dilarangnya pernikahan sesuku dalam Suku Melayu di
Riau ada empat hal. Pertama, Dikhawatirkan merusak silaturrahmi.
Dikarenakan pernikahan sesuku akan mengakibatkan rancu, jika
berkumpul dengan keluarga pihak suami/istri. Hal ini akan
menyebabkan kesulitan menentukan siapa Bako dan siapa Mamak dari
anak yang dilahirkan.Tidak hanya itu saja bagi pelaku pernikahan
53
sesuku kelak jika ada pertemuan atau ada masalah yang terjadi
pendapatnya tidak akan didengar dan apabila terjadi perceraian akan
merusak silaturrahmi yang telah terjalin padahal mereka bersaudara.
Kedua, Menganggap sesuku itu saudara dan menentukan mana dusanak
(saudara) dan mana yang tidak saudara. Kuatnya rasa persaudaraan
pada zaman dahulu sehingga mengharuskan menikahi suku lain. Zaman
dulu jumlah suku masih sedikit sehingga pernikahan bertujuan untuk
menambah silaturrahmi.
Ketiga, Mendidik rasa malu. Dalam Hubungan persaudaraan diharuskan
utuk saling menghormati. Sesuku berarti bersaudara, mereka harus
mempunyai rasa malu terhadap saudaranya dan harus dapat menjaga
persaudaraannya tersebut.
Keempat, Patuh terhadap sumpah nenek moyang terdahulu. Sumpah
sotih (sumpah setia) yang diucapkan kepala adat saat berdirinya
Kecamatan Perhentian Raja dahulu. Sumpah tersebut didahului dengan
bacaan takbir dan syahadat. Adapun bunyi dari sumpah sotih sebagai
berikut:
Bismillahirrohmanirrohim……………
Walaahi, Tallahi, walillahi……………
Kami berjanji bahwa kami akan melaksanakanaturan dan pengaturan
adat kepada anak, kemenakan kami, dengan penuh kearifan dan
kebijaksanaan……………………
Bagi yang melanggar jonji, makan jonji…….
Bagi yang melanggar buek, makan buek…….
Disumpah oleh Al-Qur’an 30 Juz……
Hidup seperti karokok tumbuh dibatu, kebawah tidak baurek, kaate
indak bapucuk, tongah-tongah dimakan kumbang…..
Sumpah tersebut berisi barang siapa yang melanggar sumpah dengan
menikah sesuku, maka hidupnya akan sengsara, melarat, masalah
datang berkepanjangan, dan rumah tangga tidak akan bahagia bahkan
jika memiliki keturunan diyakini akan lahir cacat/ tidak sempurna.dan
54
masyarakat Perhentian Raja sangat meyakini hal itu. Pada zaman
dahulu hal ini benar benar terjadi dikarenakan sikap fanatik yang
berlebihan. Sebagian besar masyarakat masih sangat percaya dengan
hal itu terbukti dengan sedikitnya yang melakukan pernikahan sesuku.”
Menurut Dz, Dt Baginda Perkaso dari suku Piliang “Selain pernikahan
sesuku ada juga pernikahan yang dilarang pada adat Suku Melayu di
Perhentian Raja tersebut, seperti :
1. Menikahi perempuan yang sesuku dengan istri pertamanya
dikarenakan istri pertama meninggal kemudian ia menikahi perempuan
yang sama sukunya dengan istri pertamanya.
2. Jika seorang pria dari suku lain misalnya suku Jawa ingin menikahi
perempuan Melayu maka harus mencari induk semang/ibu angkat.
3. Jika seseorang sudah masuk dan mempunyai suku maka tidak
dapat menikahi perempuan dengan suku yang sama.
4. Keyakinan yang kuat bahwa akan terjadi hal buruk terhadap
keturunan.”
Menurut AZ, Dt. Topo dari suku Chaniago menjelaskan bahwa“Semua
masyarakat masih sangat meyakini sumpah leluhur mereka bahwa yang
melanggar sumpah akan terkena kutukan sebagaisanksi terhadap
pernikahan sesuku. Adanya larangan menikah sesuku sudah ada sejak
zaman dahulu. Mereka meyakini jika terjadi pernikahan sesuku akan
berdampak besar bagi diri sendiri, keluarga dan masa depan mereka.
Adapun sangsi bagi mereka yang melanggar pernikahan sesuku adalah
diusir dari kampung, tidak memiliki ninik mamak (suku), denda satu
ekor kerbau, dilabuh golek golek (dibunuh), dikucilkan dikampung.
Kecamatan Perhentian Raja memiliki cukup banyak tempat beribadah
dan menjunjung tinggi nilai Islam, tetapi mereka juga sangat mematuhi dan
55
menghargai adat istiadat nenek moyang yang telah ada sejak zaman dahulu.
Hanya saja menurut AJsalah satu tokoh adat di Kecamatan Perhentian
Rajabahwa,
“pernikahan sesuku ini tidak bersifat mutlak, bagi yang melanggar
diperbolehkan akan tetapi harus bersedia menerima sanksi. Mereka
sangat menghormati adat istiadat yang telah dibuat nenek moyang
mereka, tetapi mereka takut malapetaka menghampiri mereka, jika
melanggar adat yang sudah ada sejak zaman dahulu itu.”
Menurut NF salah seorang masyarakat “kepercayaan dan kepatuhan
kepada adat istiadat yang telah diajarkan oleh orang tua ataupun
leluhurnya adalah suatu keharusan, termasuk pada aturan dilarangnya
menikahi perempuan yang masih menjadi kerabat sesukunya.”
Berbeda dengan IA yang tidak mempercayai apa yang telah dipercayai
oleh orang tua dan leluhurnya terdahulu, ia hanya menyerahkan segala
kepada Allah termasuk soal jodoh, ia menambahkan bahwa,
“jika memang jodohnya kelak adalah pemuda yang sesuku dengannya
maka ia siap dengan konsekwensi sanksi yang akan ia terima dari adat.”
Sanksi bagi pelaku pernikahan sesuku adalah dibunuh, diusir dari
kampung, dikucilkan oleh masyarakat setempat.Dengan adanya sanksi
tersebut masyarakat Perhentian Raja akan takut melakukan pernikahan
sesuku.Namun seiring berkembangnya zaman hukuman dibunuh sudah tidak
lagi digunakan di Kecamatan Perhentian Raja, karena dianggap tidak
manusiawi.
F. ProsesiPernikahan Suku Melayu
56
Setip daerah pasti memiliki adat atau tradisi sebelum pernikahan,
menurut NF ada beberapa tradisi yang biasa dilakukan di Perhentian
Raja. Pertama, Menggantung. Maksudnya ialah mempelai perempuan
tidak diperbolehkan bertemu dengan mempelai laki-laki. Jika dalam
adat jawa dikenal dengan istilah dipingit. Hari menggantung dimulai
dari 5 hari sebelum acara pernikahan berlangsung. Kemudian dimulai
memasang tenda dll. Kedua, Malam bainai. Adalah malam dimana
calon pengantin memasang inai dan memakai pakaian yang senada.
adapun kelengkapan inainya adalah : tepak sirih berisi sirih lengkap,
inai yang sudah digiling halus secukupnya, lilin lebah untuk menutup
kuku, bedak sejuk, kain lap/ serbet / kertas tisu, lilin untuk dinyalakan,
sabun mandi dan seutuhnya ditata dalam piring beralas serbet.
Ketiga, Berandam. Upacara berandam dilakukan pagi hari setelah
malam bainai dilakukan oleh kedua calon pengantin dikediaman masing
masing yang dipimpin oleh mak andam(dukun pengantin). Dilakukan
saat matahari terbit dengan harapan pengantin akan bercahaya dan
secerah matahari. Berandam ini adalah mencukur bulu halus diwajah
dan membentuk alis serta mencukur anak rambut dibagian belakang.
Keempat, Akad nikah. Setelah ijab qobul dilakukan para pengantin
melakukan sungkem meminta restu kepada kedua orang tua.Kelima,
Berinai lebai. Setelah selesai meminta restu orang tua kedua pengantin
melakukan upacara tepung tawar. Ini menunjukkan jika mereka telah
sah menjadi suami istri. Keenam, Upacara khatam Al-qur‟an. Mempelai
laki-laki membacakan beberapa ayat Al-quran. Ini menunjukkan bahwa
laki-laki sebagai imam dan harus dapat membaca Al-quran.Ketujuh,
Hari bersanding. Adalah hari dimana pengantin laki-laki diarak menuju
rumah pengantin perempuan. Setelah tiba dirumah pengantin
perempuan diadakan acara seperti : pencak silat, tari persembahan,
berbalas pantun, tukar sirih, dan lempar beras kuning
57
BAB IV
LARANGAN PERNIKAHAN SESUKU
PADA SUKU MELAYU DI KEC. PERHENTIAN RAJA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
58
C. Analisis Pernikahan Sesuku pada Suku Melayu di Kec. Perhentian Raja
Pada bab III, penyusun telah menjelaskan faktor-faktor yang
menyebabkan dilarangnya pernikahan sesuku beserta sanksi yang akan
dikenakan terhadap pelakunya. Penyusun juga telah menguraikan kondisi
keseluruhan wilayah Kecamatan Perhentian raja baik secara tata letak
geografis hingga sosial budayanya. Pada bab ini penyusun akan membahas
pandangan hukum islam tentang larangan pernikahan sesuku pada Suku
Melayu yang ada di Kecamatan Perhentian raja.
Masyarakat Suku Melayu Riau khususnya yang bertempat di
Kecamatan Perhentian raja menganut tiga aturan hukum atau yang sering
disebut Bapilin tigo, yaitu seluruh masyarakat Melayu harus senantiasa
memegang teguh pada nilai-nilai ajaran Islam tanpa sedikitpun meninggalkan
Adat /tradisi yang dibawa leluhurnya terdahulu, selain itu mereka juga
melaksanakan aturan-aturan pemerintah termasuk tata aturan pernikahan
secara nasional yang berlaku hingga saat ini, dengan kata lain mereka harus
mematuhi ketiga hukum yaitu: Agama, Adat, dan Pemerintah. Jika
melanggar salah satunya maka sama halnya melanggar ketiga hukum
tersebut. Namun hukum yang tertinggi adalah hukum adat, kemudian hukum
agama dan yang terakhir hukum pemerintahan.
Masyarakat melayu merupakan masyarakat adat yang memiliki
system pernikahan yang berbeda dengan daerah-daerah yang ada di
Indonesia. Mengenai system pernikahan yang ada disana termasuk kedalam
kategori exsogami, yaitu seorang pria dilarang menikahi wanita yang
59
semarga atau yang sesuku dengannya, ia harus menikah dengan wanita diluar
marganya.
Dalam adat Suku Melayu keturunan diambil dari garis Ibu
(matrilineal), seorang anak laki-laki maupun perempuan tidak termasuk
dalam suku ayahnya melainkan sesuku dengan ibunya. Sebagaimana hasil
wawancara penyusundengan penghulu adat di kecamatan Perhentian raja
tepatnya di desa Perhentian raja, bahwa faktor penyebab dilarangnya nikah
sesuku ialah rancunya Hubungan/silsilah kekerabatan, dikhawatirkan
merusak Hubungan silaturrahim, dikhawatirkan akan terjadinya pernikahan
antar saudara kandung dan akan sulit membedakan anrata saudara dengan
yang tidak., mendidik rasa malu, kepatuhan pada sumpah sotih serta
keyakinan yang kuat bahwa akan terjadi hal-hal buruk kelak pada keturunan.
Berkaitan dengan rancunya Hubungan silsilah kekerabatan, bahwa
keturunan dari pelaku pernikahan sesuku ialah sulitnya menentukan Bako,
Sumondo, dan Ninik mamak, hal ini akan menjadi masalah jika kelak anak
keturunannya akan menikah atau pada acara adat lainya. Sebagai contoh,
dalam sebuah pernikahan Ninik mamak sangat berpern penting dalam
pengurusan administrasi pernikahan , jika tidak tau siapa ninik mamaknya
maka akan sulit untuk mengurus administras pernikahan tersebut, sementara
dalam Islam yang berperan penting dalam hal ini adalah bapak/wali.
Pernikahan sesuku dikhawatirkan akan merusak Hubungan
silaturrahmi jika terjadi perceraian, karena perceraian terjadi bukan karena
sesuku ataupun tidak tetapi tergantung pada diri masing-masing. Jika
60
pasangan tersebut sudah memahami arti penting sebuah pernikahan serta
dapat melaksanakan kewajibannya sebagai suami istri dengan benar, maka
rumah tangga mereka akan sakinah, mawaddah dan rahmah walaupun
mereka sesuku.
Masyarakat Melayu menganggap sesuku itu sama halnya dengan
saudara yang tidak dibenarkan untuk menikah. Saudara yang tidak
dibenarkan menurut masyarakat Suku Melayu ialah sebagai berikut:
A B
C D
E F G H
F dan G adalah saudara menurut garis keturunan dari ibu, oleh karena
itu mereka dilarang melakukan pernikahan. Menurut Dt. Fulan, tokoh
masyarakat Suku Melayu, hal ini didasarkan pada sebuah hadist yang
berisikan anjuran untuk tidak menikah dengan kerabat.
F dan G memang mempunyai Hubungan berdasarkan garis keturunan
dari ibu yaitu saudara sepupu, namun apakah Hubungan nasab seperti itu oleh
Islam dilarang untuk melaksanakan pernikahan atau tidak. Hal ini dapat
61
dilihat pada surat An-Nisa (4) : 23, yaitu ibu kandung dan seterusnya keatas,
anak perempuan kandung dan seterusnya kebawah, saudara perempuan, bibi,
anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari saudara
perempuan.
Selain dikarenakan Hubungan nasab, dalam surat An-Nisa (4) : 23,
juga menjelaskan tentang larangan menikahi karena Hubungan Musaharah,
yaitu ibu istri(Mertua), anak tiri yang ibunya sudah dicampuri, istri anak
kandung atau istri cucu, istri bapak(ibu tiri), istri kakek dan seterusnya
keatas.
Selanjutnya dalam surat An-Nisa (4) : 23 juga menerangkan bahwa
Haram untuk dinikahi/ dilarang untuk dinikahi perempuan-perempuan dari
hubungan persusuan yaitu ibu susuan dan seterusnya keatas, anak perempuan
dari ibu susuan, saudara perempuan sesusuan, bibi susuan(yaitu saudara
perempuan dari bapak susuan dan ibu susuan), anak perempuan saudara laki-
laki sesusuan, anak perempuan saudara perempuan sesusuan dan seterusnya
kebawah baik karena nasab ataupun sesusuan, anak perempuan susuan dari
istri jika ibunya sudah dicampuri.
Menurut keterangan diatas telah jelas bahwa tidak ada disebutkan
bahwa saudara dari garis keturunan ibu(Sesuku) adalah kerebat dekat yang
Haram/dilarang untuk dinikahi.
Pada zaman dahulu penghulu adat dan para luluhur telah
mengucapkan Sumpah Sotih, maka secara otomatis seluruh masyarakat Suku
Melayu tidak ada yang berani melanggar atau melakukan pernikahan sesuku
62
karena mereka takut melanggar sumpah leluhur ataupun marabahaya yang
akan dating dikemudian harinya, baik itu menimpa pelaku pernikahan sesuku
maupun anak cucu mereka nantinya. Seperti, kehidupan yang tidak tentram,
perasaan bersalah ataupun hal-hal yang mungkin akan terjadi pada anak cucu
mereka yaitu IQ rendah, cacat mental, mendapatkan penyakit yang sulit
untuk disembuhkan. Dulunya pernah terjadi hal-hal demikian pada mereka
pelaku pernikahan sesuku . dalam Islam dijelaskan bahwa segala hal buruk
berupa musibah yang menimpa seseorang merupakan kehendak dan
ketetapan Allah.
Pada dasarnya setiap peraturan yang dilanggar pasti ada sanksinya,
begitu pula adanya peraturan larangan pernikahan sesuku yang ada pada
Suku Melayu ini. Adapun sanksi untuk pelaku pernikahan ini adalah dilabuh
golek-golek/dibunuh, diasingkan atau diusir dari kampong serta tidak akan
dianggap saudara oleh Suku Melayu, dicap tak beradab oleh masyarakat
membayar denda satu ekor kambing(bagi yang melakukan pernikahan sesuku
namun belum terjadi hamil diluarnikah), dan satu ekor kerbau (bagi pelaku
nikah sesuku namun sudah hamil diluar nikah) , semua ini telah ditetapkan
oleh penghulu adat(kepala suku) terdahulu. Meskipun demikian, sebagian
masyarakat kecil ada yang melanggar aturan ini.
Pada Al-Qur‟an ataupun Hadis tidak ditekukan mengenai sanksi bagi
pelaku pernikahan sesuku dan juga tidak ditemukan adanya larangan nikah
sesuku seperti yang ada pada Suku Melayu, jadi sanksi-sanki untuk pelaku
63
nikah sesuku ini hanya ada dan dibuat oleh penghulu adat(kepala suku)
terdahulu, dan telah disepakati oleh leluhur dan Masyarakat melayu.
D. Analisis Pernikahan Sesuku Ditinjau dari Perspektif Hukum Islam
Masyarakat melayu sangat menjunjung tinggi adat istiadat dan rasa
malu, hal ini dapat dilihat pada masyarakat di Perhentian raja yang masih
menjalankan atau mempercayai larangan pernikahan sesuku. Ini akan
menjadi masalah ketika agama membolehkan sedangkan adat melarang,
disini adatlah yang lebih kuat dibandingkan dengan Agama, yang seharusnya
agamalah yang lebih dijunjung tinggi daripada adat.
Dalam Al-Qur‟an telah diatur masalah pernikahan yang mencakup
rukun, Syarat, tujuan serta pernikahan-pernikahan yang dilarang dalam Islam.
Hal ini terlah dijelaskan pada bab II, selain itu juga sudah dijelaskan wanita-
wanita yang haram untuk dinikahi. Dalam surat An-Nisa (4) : 22-24 wanita-
wanita yang haram untuk dinikahi ada dua yaitu haram sementara dan haram
selamanya.
Adapun pernikahan yang haram/dilarang selamanya yaitu: sebab
nasab, sebab semenda dan sebab sesusuan. Sedangkan pernikahan yang
dilarang sementara yaitu: mengumpulkan dua orang perempuan semahram,
istri yang sudah di talak tiga, nikah lebih dari 4 orang istri, nikah dengan istri
orang lain, nikah masih dalam masa „iddah, nikah dengan perempuan
musyrik.
64
Berdasarkan keterangan diatas dapat dilihat bahwa tidak ada larangan
pernikahan yang berdasarkan Hubungan darah dari pihak ibu maupun ayah
selain yang telah dijelaskan pada halaman 45.
Dalam KHI juga sudah diatur diatur dalam pasal 39-44 tentang larangan
perkawinan/pernikahan.32
Adapun larangan tersebut pertama, karena nasab
yakni pernikahan dengan wanita yang mehirkan atau menurunkannya atau
keturunannya, pernikahan dengan wanita keturunan ayah atau ibu, dan
pernikahan dengan saudara yang melahirkannya. Kedua, karena pertalian
semenda. Yakni pernikahan dengan wanita yang melahirkan istrinya atau
bekas istrinya, pernikahan dengan wanita bekas istri orang yang
menurunkannya, pernikahan dengan seorang wanita keturunan istri atau
bekas istri, kecuali putus Hubungan pernikahannya dengan bekas istrinya
Qobla dukhul, pernikahan dengan wanita bekas istri keturunannya. Ketiga,
Karena pertalian sesusuan. Yaitu pernikahan dengan wanita yang
menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus keatas, pernikahan dengan
wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah, pernikahan
dengan wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan kebawah,
pernikahan dengan wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan keatas, dan
pernikahan dengan anak yang yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.
Pada pasal selanjutnya juga disebutkan larangan pernikahan antara pria
dan wanita dikarenakan beberapa sebab, yaitu:
1. Karena dalam keadaan tertentu
32
Kompilasi Hukum Islam buku islam I tentang perkawinan pasal 39-44
65
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat pernikahan
dengan pria lain
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan
pria lain
c. Seorang wanita yang tidak beraga islam
2. Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang
mempunyai Hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istrinya
yaitu:
a. Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya
b. Wanita dengan bibi atau kemenakannya
Larangan ini tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalak roj‟I,
tetapi masih dalam masa iddah.
3. Seorang pria yang masih mempunyai 4(empat) orang istri dan
keempat-empatnya masih terikat dalam pernikahan atau masih
dalam masa iddah talak roj‟I atau salah satu dari mereka masih
terikat pernikahan sedangkan yang lainya dalam masa iddah talak
roj‟I, maka pria itu dilarang melakukan pernikahan dengan wanita
yang lain.
4. Seorang pria juga dilarang melakukan pernikahan:
a. Dengan wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali, kecuali
bekas istri tersebut telah menikah dengan pria lain. Kemudian
pernikahan tersebut telah putus ba‟da dukhul dan telah habis
masa iddahnya.
66
b. Dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili‟an.
5. Seorang wanita juga dilarang melakukan pernikahan dengan pria
yang tidak beragama islam.
Dalam system perundang-undangan Indonesiaseperti dalam KHI juga
tidak ditemukan menganai larangan pernikahan sesuku atau berdasarkan garis
keturunan dari ibu.
Pada zaman dahulu masyarakat melayu diri Riau masih sangat sedikit,
jika terjadi pernikahan sesuku maka masyarakat tidak akan berkembang.
Selain itu mereka sangat dekat seperti halnya saudara sendiri jadi jika
melakukan pernikahan tidak akan menimbulkan kasih saying, ini merupakan
hikmah yang tidak tersampaikan oleh para penghulu adat terdahulu. Namun
seiring bergantinya waktu, saat ini masyarakat telah berkembang. Masyarakat
sudah bertambah banyak sehingga sulit untuk membedakan mana yang
sesuku dan mana yang bukan sesuku. Kemaslahan yang ada pada zaman dulu
tidak sama dengan kemaslahatan yang ada pada zaman sekarang, oleh karena
itu hukum akan berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Jadi dari beberapa uraian uraian sebelumnya dapat ditarik kesimpul
bahwa:
1. Tidak adanya ayat Al-Qur‟an dan Hadits yang mewajibkan atau
melarang pernikahan sesuku.
Adat istiadat yang ada pada Suku Melayu tentang larangan menikah
sesuku ini dilandasi atas keyakinan yang ada secara turun temurun
dari generasi kegenerasi. Mereka mempercayai dan berpegang teguh
67
pada sumpah yang di ucapkan oleh para penghulu adat terdahulu.
Masyarakat melayu mengetahui bahwa tidak ada ayat ataupun
hadits yang melarang, namun larangan tersebut sangat dipercayai
dan dan takut akan hal buruk yang akan menimpanya serta mereka
takut terhadap sanksinya.
2. Tidak adanya hukum yang mengatakan bahwa pernikahan sesuku
itu haram atau halal. Dengan demikian pada dasarnya pernikahan
sesuku atau aturan tersebut adalah mubah boleh dilakukan siapa
saja. Dan pandangan masyarakat tentang dampak buruk dari
pernikahan sesuku perlu diluruskan kembali agar kemubahan atas
larangan pernikahan sesuku ini terjaga.
3. Larangan pernikahan sesuku ini tidak ditemukan dalam criteria
wanita-wanita yang haram untuk dinikahi menurut islam baik itu
sementara maupun seamanya. Selain itu aturan ini tidak berlaku
untuk umum melainkan hanya untuk Suku Melayu di Riau.
4. Dalam system perundang-undangan Indonesia seperti Kompilasi
Hukum Islam (KHI) juga tidak di temukan mengenai larangan
pernikahan sesuku.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari Larangan pernikahan sesuku yang telah penyusun
uraikan adalah sebagai berikut:
68
4. Pernikahan menurut masyarakat suku melayu adalah pernikahan yang
dilakukan oleh perempuan dari suku Melayu dengan laki-laki yang tidak
memiliki Hubungan pertalian dari ibu si calon istri. Namun jika ada
seorang pria dari suku lain ingin menikahi seorang wanita dari suku
Melayu misalnya suku Jawa ingin menikahi perempuan Melayu maka
harus mencari induk semang/ibu angkat.Selain itu seseorang yang sudah
masuk dan mempunyai suku maka tidak dapat menikahi perempuan
dengan suku yang sama.
5. Masyarakat Melayu menganggap sesuku itu sama halnya dengan saudara
yang tidak dibenarkan untuk menikah. faktor yang menyebabkan
dilarangnya pernikahan sesuku dalam suku Melayu di Riau ada empat
hal. Pertama, Dikhawatirkan merusak silaturrahmi. Dikarenakan
pernikahan sesuku akan mengakibatkan rancu, jika berkumpul dengan
keluarga pihak suami/istri. Hal ini akan menyebabkan kesulitan
menentukan siapa Bako dan siapa Mamak dari anak yang dilahirkan.
Tidak hanya itu saja bagi pelaku pernikahan sesuku kelak jika ada
pertemuan atau ada masalah yang terjadi pendapatnya tidak akan
didengar dan apabila terjadi perceraian akan merusak silaturrahmi yang
telah terjalin padahal mereka bersaudara.
Kedua, Menganggap sesuku itu saudara dan menentukan mana dusanak
(saudara) dan mana yang tidak saudara. Kuatnya rasa persaudaraan pada
zaman dahulu sehingga mengharuskan menikahi suku lain. Zaman dulu
69
jumlah suku masih sedikit sehingga pernikahan bertujuan untuk
menambah silaturrahmi.
Ketiga, Mendidik rasa malu. Dalam Hubungan persaudaraan diharuskan
utuk saling menghormati. Sesuku berarti bersaudara, mereka harus
mempunyai rasa malu terhadap saudaranya dan harus dapat menjaga
persaudaraannya tersebut.
Keempat, Patuh terhadap sumpah nenek moyang terdahulu. Sumpah sotih
(sumpah setia) yang diucapkan kepala adat saat berdirinya Kecamatan
Perhentian Raja dahulu.
6. Dalam Al-Qur‟an dan Hadits tidak ditemukan mengenaikewajiban atau
melarang pernikahan sesuku.Adat istiadat yang ada pada suku melayu
tentang larangan menikah sesuku ini dilandasi atas keyakinan yang ada
secara turun temurun dari generasi kegenerasi. Mereka mempercayai dan
berpegang teguh pada sumpah yang di ucapkan oleh para penghulu adat
terdahulu. Masyarakat melayu mengetahui bahwa tidak ada ayat ataupun
hadits yang melarang, namun larangan tersebut sangat dipercayai dan dan
takut akan hal buruk yang akan menimpanya serta mereka takut terhadap
sanksinya. Selain itu aturan ini tidak berlaku untuk umum melainkan
hanya untuk suku melayu di Riau. Dalam system perundang-undangan
Indonesia seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak di temukan
mengenai larangan pernikahan sesuku.
Tidak adanya hukum yang mengatakan bahwa pernikahan sesuku itu
haram atau halal. Dengan demikian pada dasarnya pernikahan sesuku
70
atau aturan tersebut adalah mubah boleh dilakukan siapa saja. Dan
pandangan masyarakat tentang dampak buruk dari pernikahan sesuku
perlu diluruskan kembali agar kemubahan atas larangan pernikahan
sesuku ini terjaga.
B. Saran-saran
1. Hendaknya para ulama, tokoh masyarakat dan penghulu adat melakukan
musyawarah dan pengkajian ulang mengenai larangan pernikahan sesuku
yang sedah ada pada zaman dahulu, karena peran para ulama, tokoh
masyarakat dan penghulu adat sangat penting untuk untuk kesejahteraan
masyarakat terutama dalam pembaharuan aturan dan anggapan masyarakat
mengenai larangan pernikahan yang ada dalam hukum islam serta
meluruskan paham masyarakat mengenai tradisi yang sudah ada sejak
turun temurun.
2. Para orang tua sekiranya mendidik dan member semangat penuh kepada
anak cucu mereka agar memperkaya ilmu dan pengetahuan yang luas agar
tidak terjadinya sebuah pemikiran sempit ataupun sebuah pemahaman
yang setengah-setengah.
3. Para generasi muda hendaknya lebih memperdalam ilmu pengetahuan
khususnya hukum-hukum islam. Serta tidak langsung menghukumi suatu
perkara bahkan ikut serta menjalankannya tanpa mengetahui asal muasal
suatu perkara atau kejadiantersebut dan mengetahui dasar hukumnya.
71
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan H. Aminuddun. 1999. Fiqih Munakahat. Bandung: Pustaka
Setia.
Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek).
Jakarta:Rineka Cipta
Bungin, Burhan. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada
Dahlan, Abdul Aziz. 2001. Ensiklopedia Hukum Islam. jakarta: ichtiar Baru van
Hoeve.
Daly, Pounoh. 1998. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta. Bulan Bintang
72
Departemen Pendidikan Nasional. 2002.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Hadi, Sutrisno. 1981. Metodologi Recearch (Untuk Penulisan Paper, Skripsi,
Thesis, dan Disertasi). Yogyakarta : Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi
UGM.
Khakim, Lukmanul. 2013. Fatwa larangan Nikah Antar Santri (studi Kasus
Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur‟an(BUQ) Gading, Desa Duren,
Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Salatiga: STAIN Salatiga.
Khusnawati. Anif 2007. Larangan Pernikahan antara Saudara Sepupu Pancer
Wali di Kelurahan Ngantru Kecamatan/Kabupaten Trenggalek Dalam
Perspektif Hukum Islam. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Moleong, Lexi j. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Nasution, Khoiruddin. 2005. hukum Perkawinan Indonesia.
Yogyakarta:Academia & tazzafa.
Nawawi, Hadari dan H.M. Martini Hadari. 1992. Instrumen penelitian Bidang
Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Prss.
RahmanGhazaly, Abd. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta. Kencana prenada media
gorup. Hlm. 45-46
Soraya, Adini. 2010. Pemberian Sanksi Adat Terhadap Perkawinan sesuku dalam
kenagarian kasang kabupaten padang pariaman. Pekanbaru: Universitas
Islam Riau.
Soemiyati. 2004. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-undang Perkawinan.
Yogyakarta: Liberti.
Zuhdi Muhdlor. A. 1994. Memahami Hukum Perkawinan “Nikah, Talak, Cerai
dan Rujuk”. Yokyakarta. Al-Bayan.
Wawancara denganBpk Syahid Ridwan, Dzulfiddin, Abdul Aziz
Penghulu Adat Mandailing, Piliang, Chaniago di Kecamatan Perhentian Raja
Pada tanggal 22 mei 2016
1. Bagaimana system pernikahan Adat melayu menurut anda?
2. Bagaimanakah kondisi masyarakat melayu di kecamatan Perhentian Raja
secara geografis, perekonomian, dan keagamaannya?
73
3. Ada berapakah bagian suku pada suku melayu di kec. Perhentian Raja?
4. Bagaimanakah sejarah adanya Larangan pernikahan Sesuk?
5. Apa penyebab dilarangnya Pernikahan Sesuku?
6. Apa Sanksi bagi pelanggar pernikahan Sesuku?
7. Adakah bencana atau petaka yang akan terjadi jika dilakukannya
pernikahan sesuku?
8. Bagaimana menurut anda mengenai larangan pernikahan sesuku?
Wawancara denganBpk Ahmad Jalaluddin
Tokoh Masyarakat Melayu di Kecamatan Perhentian Raja
Pada tanggal 24 mei 2016
1. Menurut bapak apa yang dimaksud dengan pernikahan Sesuku?
74
2. Menurut bapak faktor apa yang melatarbelakangi terjadinya larangan
nikah Sesuku?
3. Didalam sebuah pengajian atau musyawarah apakah sudah pernah ada
materi tentang Fiqih munakahat kepada masyarakat?
4. Apakah masyarakat disini masih menggunakan dan mematuhi aturan-
aturan adat seperti larangan nikah sesuku?
5. Bagaimana pandangan hukum islam terhadap larangan pernikahan
tersebut?
6. Jika ada seorang pemuda ingin menikahi perempuan melayu apakah
ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi?
Wawancara denganNelsum Febriani dan Iis Astriliani
Masyarakat Melayu di Kecamatan Perhentian Raja
75
Pada tanggal 25 mei 2016
1. Bagaimana pandangan anda mengenai larangan nikah sesuku?
2. Faktor apakah yang melatar belakangi larangan tersebut?
3. Jika saudara anda melakukan pernikahan sesuku, apa yang akan anda
lakukan?
4. Seperti apakah upacara pernikahan pada suku melayu?
5. Bagaimanakah pendapat anda mengenai larangan pernikahan tersebut?
6. Bagaimanakah pandangan masyarakat sekitar tentang anda atau
keluarga anda.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Subkhan Masykuri
Tempat,Tanggal Lahir : Sei simpang Dua, 29 Mei1993
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
76
Alamat : Dusun Mekarsari, Desa Sei simpang Dua, Rt.14/Rw.06,
Kec.Kampar Kiri Hilir, Kab.Kampar, Prov. Riau
Nama orang Tua
Ayah
Ibu
:
:
Muhammad Busri
Siti Munikah
Anak Ke : Dua, dari empat Dua Bersaudara
Jenjang Pendidikan : 1. SDN011 Sei simpang Dua,Kampar, lulus tahun 2005
2. MTs An-Nur Hangtuah, lulus tahun 2008
3. MA Wmmatan Wasathan Pesantren Teknologi Riau lulus
tahun 2011
4. IAIN Salatiga sampai sekarang
Pengalaman Organisasi : 1. Bendahara PPTI Al Falah 2012/2013
2. Keamanan PPTI Al Falah 2013/2014
3. Bendahara COBRA Salatiga 2015
4. Humas COBRA Salatiga 2015
Salatiga, 22 September 2016
Penulis
77
Malam Bainai atau malam pelepasan gadis menuju kepernikahan yang
ditandai dengan memakai inai.
78
Arak-arakan menuju kepelaminan
Sungkem/Minta do’a Restu kepada bapak Mertua
79
Hantaran dari Mempelai Pria untuk diserahkan kepada mempelai wanita
Simbolis penyerahan seserahan
80