Post on 06-Aug-2015
Laporan Praktikum Tanggal: Senin / 10 Desember 2012M.K. TPPN PJP : dr. Nur Wulandari, STP, M.Si
Asisten : Wirayani Febi H, Amd
PENGOLAHAN DAN UJI HEDONIK TAHU
Oleh:
Kelompok 2/A-P1
Ardantyo Gunawan B J3E111002
Fadillah Hutami J3E111033
Rico Fernando T J3E111044
Aqmila Muthi Rafa J3E111066
Dina Crownia J3E111087
Humaira Rahmah J3E111096
PROGRAM KEAHLIAN SUPERVISOR JAMINAN MUTU PANGAN
DIREKTORAT PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Produk olahan kedelai dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu
makanan non-fermentasi dan makanan terfermentasi. Makanan terfermentasi
dapat berupa hasil pengolahan tradisional seperti tempe, kecap, dan taoco. Produk
non-fermentasi dan hasil industri tradisional adalah tahu dan kembang tahu
Tahu sebagai salah satu produk olahan dari kedelai merupakan sumber
protein yang sangat baik sebagai bahan substitusi bagi protein sari, daging dan
telur karena jumlah protein yang dikandungnya serta daya cernanya yang tinggi.
Tahu pertama sekali dibuat oleh seorang raja bangsa Cina kira-kira 200 tahun
yang lalu. Sejak saat itu maka tahu sebagai produk olahan kedelai diterima
sebagai suatu sumber kesehatan bagi orang Asia.
Proses pembuatan tahu dipengaruhi oelh beberapa faktor yang membentuk
rendemen dan mutu tahu, antara lain pemilihan bahan baku, bahan penggumpal,
cara penggilingan dan sanitasi proses pengolahan (Koswara, 1992). Kualitas tahu
dapat dilihat dari beberapa faktor, yaitu mutu, rendemen, kadar protein, dan daya
simpan tahu. Tahu yang memiliki mutu yang baik adalah tahu yang memiliki rasa
dan aroma yang enak, kandungan protein yang cukup tinggi, dan daya cerna yang
tinggi. Disamping itu tahu yang memiliki kualitas yang baik akan memiliki tekstur
lunak dan elastis (tidak mudah pecah jika ditekan dengan telunjuk) serta memiliki
warna putih atau kuning muda (Koswara, 1992).
1.2 Tujuan
Praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui tahap-tahap proses
pembuatan tahu dan mengetahui fungsi bahan-bahan yang digunakan dalam
proses pembuatannya.
BAB II
METODOLOGI
2.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah panci, timbangan, kompor,
blender, kain, termometer dan wajan. Bahan yang digunakan adalah kedelai, air,
dan penggumpal (Air tahu dan air asetat 1%).
2.2 Metode
Alat dan bahan disiapkan
Kedelai ditimbang dan direndam 2-3 jam
Kedelai digiling dengan blender dan ditambahkan air dengan rasio tertentu
Suspensi kedelai direbus hingga hampir mendidih
Disaring dengan kain saring
Dibiarkan selama 15’ atau sampai 700 C
Ditambahkan penggumpal sambil terus diaduk sampai terjadi penggumpalan
protein
Dibiarkan mengendap dan dibuang cairannya
Dibuang protein yang menggumpal dan dilakukan pencetakan
Tahu mentah digoreng
Dilakukan uji hedonik tahu mentah dan tahu goreng
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Uji Hedonik Tahu Mentah
Tabel 1. Hasil Rekapitulasi Uji Hedonik Tahu Mentah
3.1.2 Uji Hedonik Tahu Matang
Tabel 2. Hasil Rekapitulasi Uji Hedonik Tahu Matang
Keterangan:
Tahu Mentah Tahu Matang
231 = Kelompok 1 251 = Kelompok 4 [1] = Sangat tidak suka
324 = Kelompok 2 123 = Kelompok 5 [2] = Tidak suka
132 = Kelompok 3 567 = Kelompok 6 [3] = Biasa atau Netral
015 = Kelompok 4 [4] = Suka
226 = Kelompok 5 [5] = Sangat Suka
150 = Kelompok 6
3.2 Pembahasan
Pada praktikum ke 12 tanggal 10 Desember 2012, mahasiswa diminta
untuk membuat produk tahu. Tahu merupakan salah satu makanan tradisional
yang populer. Bahan makanan ini diolah dari kacang kedelai. Meskipun berharga
murah dan bentuknya sederhana, ternyata tahu mempunyai mutu yang istimewa
apabila dilihat dari nilai gizi. Tahu adalah makanan yang kaya protein sehingga
ideal untuk makanan diet, rendah kandungan lemak jenuh, bebas kolesterol, kaya
mineral serta vitamin (Koswara, 1992). Menurut Cahyadi (2009), tahu adalah
ekstrak protein kedelai yang telah digumpalkan dengan asam, ion kalsium, atau
bahan penggumpal lainnya. Tahu dibuat dari kacang kedelai yang difermentasikan
dan diambil sarinya.
Dasar pembuatan tahu adalah melarutkan protein yang terkandung dalam
kedelai dengan menggunakan air sebagai pelarutnya. Setelah protein tersebut
larut, diusahakan untuk diendapkan kembali dengan penambahan bahan
pengendap sampai terbentuk gumpalan-gumpalan protein yang akan menjadi tahu.
Salah satu cara pembuatan tahu ialah dengan menyaring bubur kedelai sebelum
dimasak sehingga cairan tahu terpisah dari ampasnya (Cahyadi, 2009).
3.2.1 Bahan Dasar Pembuatan Tahu
Bahan baku yang diperlukan dalam proses pengolahan tahu adalah kedelai,
air, dan bahan penggumpal (Air tahu dan air asetat).
3.2.1.1 Kedelai
Bahan baku utama dalam proses pembuatan tahu adalah kedelai.
Hal ini disebabkan tahu merupakan ekstrak protein kedelai yang telah
digumpalkan dengan asam, ion kalsium, atau bahan penggumpal lainnya.
Kedelai adalah salah satu komoditi pangan utama setelah padi dan jagung.
Bahan baku tahu kedelai yaitu kedelai kuning. Kedelai kuning adalah
kedelai yang kulit bijinya berwarna kuning, putih, dan hijau.
Menurut Sundarsih (2009), protein merupakan komponen utama
dari kedelai kering. Kedelai utuh mengandung 35 – 40% protein, paling
tinggi dari segala jenis kacang–kacangan. Ditinjau dari segi mutu, protein
kedelai adalah yang paling baik mutu gizinya yaitu hampir setara dengan
protein daging. Diantara jenis kacang-kacangan, kedelai merupakan
sumber protein paling baik karena mempunyai susunan asam amino
esensial paling lengkap. Disamping itu kedelai juga dapat digunakan
sebagai sumber lemak, vitamin, mineral dan serat.
3.2.1.1 Air
Pada proses pembuatan tahu, air berperan dalam proses
perendaman, pencucian, penggilingan, pemasakan dan tahu. Pada proses
perendaman dilakukan dengan menggunakan air untuk mempermudah
proses penggilingan sehingga dihasilkan bubur kedelai yang kental. Selain
itu, perendaman juga dapat membantu mengurangi jumlah zat antigizi
(antitripsin) yang dapat mengurangi daya cerna protein pada produk tahu.
Pada proses penggilingan digunakan air untuk mendapatkan kekentalan
bubur yang diinginkan serta paat pendidihan, perlu ditambahkan air pada
bubur kedelai untuk mempermudah proses pemasakan karena sifat bubur
kedelai yang masih kental.
3.2.1.2 Asam Cuka
Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia
asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam
makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2 dan mengandung
cuka dan garam sehingga bersifat asam. Pada proses pembuatan tahu,
asam cuka berfungsi untuk mengedapkan atau memisahkan air dengan
konsentrat tahu sehingga membentuk endapan. Endapan tersebut terjadi
karena adanya koagulasi protein yang disebabkan adanya reaksi antara
protein dan asam yang ditambahkan. Endapan tersebut yang merupakan
bahan utama yang akan dicetak menjadi tahu.
3.2.1.3 Air Tahu
Air tahu merupakan bahan penggumpal sebagai air sisa
penggumpalan sari kedelai. Fungsi penambahan air tahu adalah
mengendapkan dan menggumpalkan protein tahu sehingga terjadi
pemisahan antara whey dengan gumpalan tahu. Endapan tersebut terjadi
karena adanya koagulasi protein yang disebabkan adanya reaksi antara
protein dan asam yang ditambahkan. Endapan tersebut yang merupakan
bahan utama yang akan dicetak menjadi tahu.
3.2.1.4 Garam
Penambahan garam pada tahu menyebabkan tahu menjadi makin
awet dan mempunyai rasa yang lebih lezat (gurih). Penambahan garam
juga membantu tingkat kekerasan (kepadatan) tahu yang cukup tinggi
(Suprapti, 2005). Selain itu garam juga berfungsi untuk mempertinggi
aroma serta sebagai pengawet karena fungsi garam yang mengikat air
sehingga pertumbuhan mikroba juga dapat dihambat.
Garam (NaCl) mampu meningkatkan tekanan osmotik substrat
yang menyebabkan terjadinya penarikan air dari dalam bahan pangan
sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh, ionisasi garam juga akan
menghasilkan ion khlor yang bersifat racun bagi mikroorganisme.
3.2.2 Proses Pembuatan Tahu
Tahu merupakan salah satu jenis makanan yang dibuat dari kedelai dengan
cara memekatkan protein kedelai dan mencetaknya melalui proses pengendapan
protein pada titik isoelektriknya, dengan atau tanpa penambah unsur-unsur lain
yang diizinkan (Suprapti, 2005). Sedangkan menurut Cahyadi (2009), tahu adalah
ekstrak protein kedelai yang telah digumpalkan dengan asam, ion kalsium, atau
bahan penggumpal lainnya.
Dasar pembuatan tahu adalah melarutkan protein yang terkandung dalam
kedelai dengan menggunakan air sebagai pelarutnya. Setelah protein tersebut
larut, diusahakan untuk diendapkan kembali dengan penambahan bahan
pengendap sampai terbentuk gumpalan-gumpalan protein yang akan menjadi tahu.
Salah satu cara pembuatan tahu ialah dengan menyaring bubur kedelai sebelum
dimasak sehingga cairan tahu terpisah dari ampasnya (Cahyadi, 2009).
Pada praktikum mengenai pembuatan tahu ini digunakan empat perlakuan
pengolahan, yaitu perlakuan kedelai basah dengan air tahu, perlakuan kedelai
basah dengan asam cuka, perlakuan kedelai kering dengan air tahu dan perlakuan
keledai kering dengan asam cuka. Perlakuan kedelai basah dilakukan dengan cara
kedelai terlebih dahulu direndam dengan air selama beberapa jam sedangkan
perlakuan kedelai kering dilakukan dengan cara menyiram kedelai dengan air
panas.
Untuk membuat tahu kedelai dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu
pencucian, perendaman, penggilingan, pendidihan, penyaringan, penggumpalan,
dan pencetakan. Setelah kedelai dicuci kemudian kedelai direndam selama 8-12
jam. Perendaman kedelai dimaksudkan agar kedelai menyerap air sehingga lebih
lunak dan kulitnya mudah dikupas. Perendaman juga dilakukan untuk
mempermudah proses penggilingan sehingga dihasilkan bubur kedelai yang kental
dan dapat membantu mengurangi jumlah zat antigizi (antitripsin) yang ada pada
kedelai (Anonim, 2010).
Zat antigizi yang ada dalam kedelai ini dapat mengurangi daya cerna
protein pada produk tahu sehingga perlu diturunkan kadarnya. Selama
perendaman kedelai akan menyerap air sampai mencapai batas kejenuhan dan
menghasilkan kedelai yang lunak sehingga mempermudah proses pengilingan.
Selain itu manfaat dari perendaman adalah memperbaiki komposisi kimia kedelai,
dapat memberikan dispersi yang lebih baik dari bahan padat pada kedelai yang
digiling dan diekstraksi, dan juga dapat mengurangi bau khas (langu) dari kedelai
itu sendiri. Selanjutnya kedelai dicuci kembali sambil diremas-remas sehingga
kulit ari terlepas dan mudah dipisahkan dari kedelai.
Setelah dilakukan perendaman, kedelai pun dilakukan proses penggilingan.
Proses penggilingan dilakukan dengan menggunakan blender dengan tenaga
penggerak dari motor lisrik. Tujuan penggilingan yaitu untuk memperoleh bubur
kedelai yang kemudian dimasak sampai mendidih (Shinta, 2012). Saat proses
penggilingan digunakan air untuk mendapatkan kekentalan bubur yang
diinginkan. Pada proses penggilingan, keping-keping kedelai digiling sampai
halus sehingga menjadi bubur putih.
Setelah digiling, bubur kedelai tadi dididihkan. Pendidihan ini bertujuan
untuk menonaktifkan zat antinutrisi kedelai dan meningkatkan nilai cerna. Selain
itu proses ini juga dilakukan untuk mendenaturasi protein dari kedelai sehingga
protein mudah terkoagulasi saat penambahan asam. Saat pendidihan, perlu
ditambahkan air pada bubur kedelai karena sifat bubur kedelai yang masih kental.
Selama proses pendidihan, bubur kedelai akan mengeluarkan busa. Oleh karena
itu bubur diaduk perlu selalu diaduk agar busa tidak tumpah. Titik akhir
perebusan ditandai dengan timbulnya gelembung-gelembung panas (hampir
mendidih) pada suhu 900C.
Setelah bubur kedelai direbus dan mengental, dilakukan proses
penyaringan dengan menggunakan kain saring. Menurut Inggit (2012), tujuan dari
proses penyaringan ini adalah memisahkan antara ampas atau limbah padat dari
bubur kedelai dengan filtrat yang diinginkan. Pada proses penyaringan ini bubur
kedelai yang telah mendidih dan sedikit mengental kemudian dialirkan melewati
kain saring yang ada diatas bak penampung.
Saat penyaringan secara terus-menerus dilakukan penambahan air dengan
cara menuangkan pada bagian tepi saringan agar tidak ada padatan yang tersisa di
saringan. Penuangan air diakhiri ketika filtrat yang dihasilkan sudah mencukupi.
Kemudian saringan yang berisi ampas diperas sampai benar-benar kering. Ampas
hasil penyaringan disebut ampas yang kering, dan dapat untuk makanan ternak
ataupun dijual untuk bahan dasar pembuatan tempe gembus/bongkrek (Anonim,
2010).
Proses ekstraksi susu kedelai dipengaruhi oleh suhu, ekstrak dapat
dilakukan dengan air dingin dan air panas (80-1000C). Umumnya pada suhu
ekstraksi semakin tinggi maka kecepatan dan banyaknya bahan yang terekstraksi
semakin besar. Dalam pembuatan tahu ini, bahan diekstraksi dengan panas yang
dapat membuat protein terdenaturasi dan sulit larut dalam air. Ekstraksi panas
akan menghasilkan rendemen protein lebih dari 80% dan mencegah aktivitas
enzim lipoksigenase yang menyebabkan bau langu pada kedelai.
Denaturasi protein adalah proses perubahan struktur lengkap dan
karakteristik bentuk protein akibat dari gangguan interaksi sekunder, tersier, dan
kuaterner struktural seperti suhu, penambahan garam, enzim dll. Denaturasi akibat
panas menyebabkan molekul-molekul yang menyusun protein bergerak dengan
sangat cepat. sehingga sifat protein yaitu hidrofobik menjadi terbuka. Akibatnya,
semakin panas, molekul akan bergerak semakin cepat dan memutus ikatan
hidrogen didalamnya (Winarno, 2004)
Selanjutnya, sari kedelai dibiarkan pada suhu panas sampai mencapai
700C. Pada proses ini, sari kedelai ditambah dengan air tahu atau air cuka
sehingga terjadi penggumpalan. Penggumpalan ini berlangsung selama 10 menit
agar mendapatkan protein yang sempurna. Koagulasi adalah menggumpalkan
protein yang sebelumnya dilakukan pendinginan filtrat kedelai. Koagulasi protein
yang paling cepat terjadi bila pada titik isoelektik yaitu pH tertentu dimana
muatan gugus asam amino akan saling menetralkan dengan gugus karboksil bebas
sehingga molekul bermuatan nol.
Dari proses penyaringan diperoleh filtrat putih seperti susu yang kemudian
akan diproses lebih lanjut. Filtrat yang didapat kemudian ditambahkan asam cuka
atau air tahu dalam jumlah tertentu. Fungsi penambahan asam cuka dan air tahu
adalah mengendapkan dan menggumpalkan protein tahu sehingga terjadi
pemisahan antara whey dengan gumpalan tahu. Setelah ditambahkan asam cuka
terbentuk dua lapisan yaitu lapisan atas (whey) dan lapisan bawah (filtrat atau
endapan tahu). Endapan tersebut terjadi karena adanya koagulasi protein yang
disebabkan adanya reaksi antara protein dan asam yang ditambahkan. Endapan
tersebut merupakan bahan utama yang akan dicetak menjadi tahu.
Proses pencetakan dan pengepresan merupakan tahap akhir pembuatan
tahu. Cetakan yang digunakan terbuat dari kayu yang diberi lubang berukuran
kecil di sekelilingnya. Lubang tersebut bertujuan untuk memudahkan air keluar
saat proses pengepresan. Sebelum proses pencetakan yang harus dilakukan adalah
memasang kain saring tipis di permukaan cetakan. Setelah itu, endapan yang telah
dihasilkan pada tahap sebelumnya dipindahkan dengan menggunakan ke dalam
cetakan secara perlahan.pean-pelan. Selanjutnya kain saring ditutup rapat dan
kemudian diletakkan kayu yang berukuran hampir sama dengan cetakan di bagian
atasnya. Setelah itu, bagian atas cetakan diberi beban untuk membantu
mempercepat proses pengepresan tahu.
Setelah didiamkan beberapa saat, maka jadilah tahu yang diinginkan. Tahu
mentah yang telah diolah dapat dijadikan tahu goreng dengan proses
penggorengan. Penggorengan merupakan proses termal kimia yang menghasilkan
karakteristik makanan goreng dengan warna coklat keemasan, tekstur,
penampakan, flavor, yang diinginkan sehingga makanan gorengan menjadi
popular (Warner, 2002). Selama penggorengan terjadi hidrolisa, oksidasi, dan
dekomposisi minyak yang dipengaruhi oleh bahan pangan dan kondisi
penggorengan.
3.2.3 Uji Hedonik Tahu Mentah
Uji hedonik merupakan salah satu jenis uji penerimaan atau dalam bahasa
Inggrisnya disebut acceptance test atau preference test. Soekarto (1985)
mengatakan bahwa uji hedonik menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat
atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenanginya. Menurut
Rahardjo (1998) bahwa pada uji hedonik, panelis mengemukakan tanggapan
pribadinya yaitu berupa kesan yang berhubungan dengan kesukanan atau
tanggapan senang atau tidaknya terhadap sfat sensori atau kualitas yang dinilai.
Pada praktikum ini, dilakukan pengujian hedonik terhadap aroma, tekstur,
dan warna tahu yang berbeda. Panelis disediakan enam sampel tahu yang telah
dibuat oleh semua kelompok dan disajikan secara acak. Panelis disediakan enam
contoh uji serbuk jahe dengan kode berbeda yaitu “231” [Kelompok 1], “324”
[Kelompok 2], “132” [Kelompok 3], “015” [Kelompok 4], “226” [Kelompok 5],
dan “150” [Kelompok 6]. Setelah itu panelis diminta untuk menyatakan
kesukaaan tahu. Adapun skala hedonik atau skala numerik yang diberikan, yaitu
sangat suka [5], suka [4], biasa [3], tidak suka [2], dan sangat tidak suka [1]. Hal
ini bertujuan untuk melihat kesan pertama yang timbul saat panelis melakukan
penilaian terhadap karakteristik mutu yang diujikan.
3.2.3.1 Uji Hedonik Warna Tahu Mentah
Penilaian warna dalam produk pangan memiliki peranan yang
sangat penting. Pada umumnya panelis sebelum mempertimbangkan
paramneter lain terlebih dahulu tertarik dengan warna bahan. Kesan
pertama dalam penilaian bahan pangan adalah warna yang akan
menentukan penerimaan atau penolakan panelis terhadap produk.
Pada praktikum ini, dilakukan pengujian uji hedonik terhadap
warna ketiga produk tahu mentah dari enam kelompok. Panelis disediakan
enam contoh uji tahu mentah dengan kode berbeda yaitu, “231”
[Kelompok 1], “324” [Kelompok 2], “132” [Kelompok 3], “015”
[Kelompok 4], “226” [Kelompok 5], dan “150” [Kelompok 6]. Panelis
diminta untuk melihat warna keenam tahu mentah tersebut lalu
memberikan penilaian berupa “suka” atau “tidak suka” terhadap tekstur
ketiga tahu mentah tersebut pada kolom respon form uji. Adapun skala
hedonik atau skala numerik yang diberikan, yaitu sangat suka [5], suka [4],
biasa [3], tidak suka [2], dan sangat tidak suka [1].
Uji hedonik tahu mentah untuk parameter warna berdasarkan pada
Tabel 1 panelis menyukai sampel Tahu mentah “231” dengan rataan
penilaian kesukaan yang diberikan sebesar 2,90. Tahu mentah “015”
dengan rataan penilaian kesukaan yang diberikan sebesar 3,76. Tahu
mentah “150” dengan rataan penilaian kesukaan yang diberikan sebesar
3,72. Tahu mentah “324” dengan rataan penilaian kesukaan yang diberikan
sebesar 3,10. Tahu mentah “226” dengan rataan penilaian kesukaan yang
diberikan sebesar 3,69, dan Tahu mentah “132” dengan rataan penilaian
kesukaan yang diberikan sebesar 3,34. Berdasarkan hasil penilaian, dapat
dikatakan bahwa dari segi parameter warna tahu mentah “015” paling
disukai diantara warna tahu mentah yang lain karena memiliki penilaian
tertinggi, yaitu 3,76 dengan skala kriteria penilaian antara [biasa] dan
[suka].
Warna putih yang dihasilkan pada pembutan tahu berasal dari
warna biji kedelai yaitu kedelai kuning. Kedelai kuning adalah kedelai
yang kulit bijinya berwarna kuning, putih, dan hijau (Anonim, 2010). Kulit
biji kedelai yang berwarna putih inilah yang menyebabkan timbulnya
warna putih pada tahu mentah. Saat proses penggilingan, keping-keping
kedelai digiling sampai halus sampai menjadi bubur berwarna putih.
3.2.3.2 Uji Hedonik Tekstur Tahu Mentah
Tekstur merupakan sensasi tekanan yang dapat di amati dengan
mulut (pada waktu digigit, dikunyah dan ditelan) ataupun perabaan dengan
jari manis. Penilaian biasanya dilakukan dengan menggosokkan jari dari
bahan yang dinilai diantara kedua jari (Winarno, 1997).
Pada praktikum ini, dilakukan pengujian uji hedonik terhadap
tekstur ketiga produk tahu mentah dari enam kelompok. Panelis
disediakan tiga contoh uji tahu mentah dengan kode berbeda yaitu, “231”
[Kelompok 1], “324” [Kelompok 2], “132” [Kelompok 3], “015”
[Kelompok 4], “226” [Kelompok 5], dan “150” [Kelompok 6]. Panelis
diminta untuk merasakan tekstur keenam tahu mentah tersebut lalu
memberikan penilaian berupa “suka” atau “tidak suka” terhadap tekstur
ketiga tahu mentah tersebut pada kolom respon form uji. Adapun skala
hedonik atau skala numerik yang diberikan, yaitu sangat suka [5], suka [4],
biasa [3], tidak suka [2], dan sangat tidak suka [1].
Uji hedonik tahu mentah untuk parameter tekstur berdasarkan pada
Tabel 1 panelis menyukai sampel Tahu mentah “231” dengan rataan
penilaian kesukaan yang diberikan sebesar 1,97. Tahu mentah “015”
dengan rataan penilaian kesukaan yang diberikan sebesar 3,59. Tahu
mentah “150” dengan rataan penilaian kesukaan yang diberikan sebesar
3,55. Tahu mentah “324” dengan rataan penilaian kesukaan yang diberikan
sebesar 2,17. Tahu mentah “226” dengan rataan penilaian kesukaan yang
diberikan sebesar 3,38, dan Tahu mentah “132” dengan rataan penilaian
kesukaan yang diberikan sebesar 2,93. Berdasarkan hasil penilaian, dapat
dikatakan bahwa dari segi parameter tekstur tahu mentah “015” paling
disukai diantara tekstur tahu mentah yang lain karena memiliki penilaian
tertinggi, yaitu 3,59 dengan skala kriteria penilaian antara [biasa] dan
[suka].
Proses pembutan tahu yang mengalami penekanan akan
menghasilkan tekstur tahu yang lebih keras, sedangkan tahu yang tidak
mengalami penekanan akan menghasilkan tekstur tahu yang lebih lembut
sehingga tahu pada kode 123 lebih disukai panelis. Salah satu faktor yang
mempengaruhi hasil rendemen dan tektur dari tahu adalah kougulan.
Menurut Obatolu (2007) dalam Koswara (1992), hasil dan kualitas tahu
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu mutu dan varietas kedelai, jumlah
pengadukan, koagulan yang digunakan, dan besar dan lama penekanan
curd. Selain itu, koagulasi susu kedelai sangat mengandalkan hubungan
intern antara tipe kedelai, suhu pemasakannya, volume, kandungan
padatan, pH, tipe dan jumlah koagulan, serta waktu koagulasi. Semua
faktor itu akan mempengaruhi profil tekstur curd yang dihasilkan pada
produk akhir seperti kekerasan. Kekerasan tahu dapat bervariasi dari lunak
ke keras dengan kandungan air sekitar 70-90% dan kandungan protein
sekitar 5-16%, dan hal itu tergantung dari jenis dan jumlah koagulan,
pengadukan selama koagulasi serta penekanan yang diaplikasikan terhadap
curd (DeMan et al, 1986 yang dikutip Koswara, 1992).
Obatolu (2007) dalam Koswara 1992, menyatakan bahwa tahu
lunak digolongkan melalui rasa yang lunak dan tekstur yang halus dengan
kadar air berkisar antara 84-90%. Kekerasan kemungkinan dikarenakan
oleh kepadatan dan kerapatan struktur dari tahu. Sehingga dapat
diasosiasikan bahwa rendahnya kemampuan menahan air (Water Holding
Capacity) akan menyebabkan tahu memiliki kekerasan yang tinggi,
sehingga tahu memiliki tekstur yang padat dan penampakan yang kasar.
Sebaliknya, tingginya kemampuan struktur tahu dalam menahan air akan
menyebabkan tahu memiliki kekerasan yang rendah, sehingga tahu
memiliki tekstur yang lembut dan penampakan yang halus. Pada tahu
matang suhu yang digunakan pada saat menggoreng mempengaruhi
tekstur dari tahu selain itu lamanya menggoreng untuk menjadikan tektur
tahu tidak alot saat dimakan juga mempengaruhi dalam tekstur tahu.
Asam asetat bahkan memberikan performa yang lebih baik
dibandingkan dengan asam laktat, karena dapat mengkoagulasikan protein
sebanyak 67.8% dari total protein, ketika pH diturunkan menjadi 4.5, di
mana asam laktat hanya mampu mengkoagulasikan 55% dari total protein
kedelai.
3.2.4 Uji Hedonik Tahu Matang
Uji hedonik merupakan salah satu jenis uji penerimaan atau dalam bahasa
Inggrisnya disebut acceptance test atau preference test. Soekarto (1985)
mengatakan bahwa uji hedonik menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat
atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenanginya. Menurut
Rahardjo (1998) bahwa pada uji hedonik, panelis mengemukakan tanggapan
pribadinya yaitu berupa kesan yang berhubungan dengan kesukanan atau
tanggapan senang atau tidaknya terhadap sfat sensori atau kualitas yang dinilai.
Pada praktikum ini, dilakukan pengujian hedonik terhadap aroma, tekstur,
rasa, dan warna tahu matang yang berbeda. Panelis disediakan iga sampel tahu
yang telah dibuat oleh semua kelompok dan disajikan secara acak. Panelis
disediakan enam contoh uji serbuk jahe dengan kode berbeda yaitu “251”
[Kelompok 4], “123” [Kelompok 5], dan “567” [Kelompok 6]. Setelah itu panelis
diminta untuk menyatakan kesukaaan tahu. Adapun skala hedonik atau skala
numerik yang diberikan, yaitu sangat suka [5], suka [4], biasa [3], tidak suka [2],
dan sangat tidak suka [1]. Hal ini bertujuan untuk melihat kesan pertama yang
timbul saat panelis melakukan penilaian terhadap karakteristik mutu yang
diujikan.
3.2.4.1 Uji Hedonik Warna Tahu Matang
Penilaian warna dalam produk pangan memiliki peranan yang
sangat penting. Pada umumnya panelis sebelum mempertimbangkan
paramneter lain terlebih dahulu tertarik dengan warna bahan. Kesan
pertama dalam penilaian bahan pangan adalah warna yang akan
menentukan penerimaan atau penolakan panelis terhadap produk.
Pada praktikum ini, dilakukan pengujian uji hedonik terhadap
warna ketiga produk tahu matang dari tiga kelompok. Panelis disediakan
tiga contoh uji tahu matang dengan kode berbeda yaitu, “567” [Kelompok
4], “251” [Kelompok 5], dan “123” [Kelompok 6]. Panelis diminta untuk
merasakan warna ketiga tahu matang tersebut lalu memberikan penilaian
berupa “suka” atau “tidak suka” terhadap tekstur ketiga tahu matang
tersebut pada kolom respon form uji. Adapun skala hedonik atau skala
numerik yang diberikan, yaitu sangat suka [5], suka [4], biasa [3], tidak
suka [2], dan sangat tidak suka [1].
Uji hedonik tahu matang untuk parameter warna berdasarkan pada
Tabel 2 panelis menyukai sampel Tahu matang “567” dengan rataan
penilaian kesukaan yang diberikan sebesar 3,90. Tahu matang “251”
dengan rataan penilaian kesukaan yang diberikan sebesar 3,83, dan Tahu
matang “123” dengan rataan penilaian kesukaan yang diberikan sebesar
4,00. Berdasarkan hasil penilaian, dapat dikatakan bahwa dari segi
parameter warna tahu matang “123” paling disukai diantara warna tahu
matang yang lain karena memiliki penilaian tertinggi, yaitu 4,14 dengan
skala kriteria penilaian antara [suka] dan [sangat suka].
Penggorengan merupakan proses thermal kimia yang menghasilkan
karakteristik makanan goreng dengan warna coklat keemasan, tekstur,
penampakan, flavor, yang diinginkan (Warner, 2002). Selama
penggorengan terjadi hidrolisa, oksidasi, dan dekomposisi minyak yang
dipengaruhi oleh bahan pangan dan kondisi penggorengan.
Selama proses penggorengan bahan mengalami perubahan fisik,
kimia, dan sifat sensoris. Hal itulah yang menyebabkan warna tahu setelah
pengalami penggorengan berubah menjadi kuning kecoklatan. Ketika
bahan makanan digoreng pada minyak goreng panas pada suhu yang
tinggi, banyak reaksi komplek yang terjadi di dalam minyak dan produk
pangan.
Warna tahu goreng dapat disebabkan oleh adanya reaksi maillard
selama penggorengan. Reaksi Maillard adalah reaksi antara karbohidrat
pada tahu khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer (Catrien,
2008). Reaksi Maillard diawali dengan adanya reaksi gugus amino pada
asam amino, peptida, atau protein dengan gugus hidroksil glikosidik pada
gula. Rangkaian reaksi diakhiri dengan pembentukan polimer nitrogen
berwarna cokelat.
Rasio gula terhadap asam amino sangatlah berpengaruh terhadap
reaksi pembentukan warna. Semakin meningkat jumlah asam aminonya,
semakin banyak terjadi pembentukan warna. Gugus karbonil dari gula
pereduksi dengan gugus asam amino bebas merupakan komponen penting
dalam reaksi Maillard. Asam amino lisin lah yang menyebabkan adanya
pencoklatan pada produk pangan (Silmi, 2011). Sehingga dapat diketahui
pada pengujian kali ini asam amino lisin berperan dalam pembentukan
warna cokelat pada tahu goreng.
3.2.4.3 Uji Hedonik Tekstur Tahu Matang
Tekstur merupakan sensasi tekanan yang dapat di amati dengan
mulut (pada waktu digigit, dikunyah dan ditelan) ataupun perabaan dengan
jari manis. Penilaian biasanya dilakukan dengan menggosokkan jari dari
bahan yang dinilai diantara kedua jari (Winarno, 1997).
Pada praktikum ini, dilakukan pengujian uji hedonik terhadap
tekstur ketiga produk tahu matang dari tiga kelompok. Panelis disediakan
tiga contoh uji tahu matang dengan kode berbeda yaitu, “567” [Kelompok
4], “251” [Kelompok 5], dan “123” [Kelompok 6]. Panelis diminta untuk
merasakan tekstur ketiga tahu matang tersebut lalu memberikan penilaian
berupa “suka” atau “tidak suka” terhadap tekstur ketiga tahu matang
tersebut pada kolom respon form uji. Adapun skala hedonik atau skala
numerik yang diberikan, yaitu sangat suka [5], suka [4], biasa [3], tidak
suka [2], dan sangat tidak suka [1].
Uji hedonik tahu matang untuk parameter tekstur berdasarkan pada
Tabel 2 panelis menyukai sampel Tahu matang “567” dengan rataan
penilaian kesukaan yang diberikan sebesar 3,93. Tahu matang “251”
dengan rataan penilaian kesukaan yang diberikan sebesar 3,66, dan Tahu
matang “123” dengan rataan penilaian kesukaan yang diberikan sebesar
4,14. Berdasarkan hasil penilaian, dapat dikatakan bahwa dari segi
parameter tekstur tahu matang “123” paling disukai diantara tekstur tahu
matang yang lain karena memiliki penilaian tertinggi, yaitu 4,14 dengan
skala kriteria penilaian antara [suka] dan [sangat suka].
Penggorengan merupakan suatu proses pemanasan bahan pangan
menggunakan medium minyak goreng sebagai pengantar panas (Muchtadi,
2008 dalam Anonim, 2010). Selama proses penggorengan bahan
mengalami perubahan fisik, kimia, dan sifat sensoris. Metode
penggorengannya yaitu deep fat frying. Proses ini dilakukan dengan cara
merendamkan produk pangan pada minyak goreng bersuhu tinggi. Metode
ini banyak digunakan di industri makanan ringan, industri mi instan,
nugget, dan lain-lain (Hariyadi, 2008 dalam Anonim, 2010). Pada saat
frying juga terjadi denaturasi protein dan reaksi maillard. Denaturasi
protein dapat meningkatkan daya cerna. Reaksi maillard merupakan reaksi
antara gugus reduksi dari karbohidrat pada pati dengan gugus amino pada
protein. Reaksi ini menimbulkan aroma yang khas dan perubahan warna
yang cenderung lebih gelap dan berbentuk kaku (Anonim, 2010)
Pada proses penggorengan kadar air produk menurun akibat
penguapan selama penggorengan. Produk hasil penggorengan juga
menggandung minyak yang sebagian besar meresap setelah penggorengan
(Bouchon et al, 2005 dalam Anonim, 2010). Parameter mutu produk
tergantung pada waktu penggorengan atau lamanya produk tersebut
digoreng dan suhu minyak goreng. Waktu penggorengan dipenggaruhi
oleh laju pindah panas dari minyak goreng ke produk yang digoreng. Laju
pindah panas dari minyak goreng ke produk dipengaruhi oleh suhu minyak
di sekitar produk. Semakin tinggi suhu minyak goreng, koefisien pindah
panas dari minyak ke bahan juga semakin tinggi akibat adanya boiling
heat transfer secara konveksi dari minyak goreng ke produk (Farkas, 1996
dalam Anonim, 2010). Keadaan suhu minyak goreng disekitar produk
dipengaruhi oleh desain penggoreng. Parameter desain yang paling
berpengaruh adalah tingginya minyak goreng dan elemen pemanas dalam
wadah penggoreng.
3.2.4.4 Uji Hedonik Rasa Tahu Matang
Rasa pada makanan atau minuman merupakan faktor kedua yang
mempengaruhi cita rasa setelah penampilan makanan atau minuman itu
sendiri. Rasa meruapakan tanggapan atas adanya rangsangan kimiawi yang
sampai di indera pengecap lidah, khususnya jenis rasa dasar manis, asin,
asam dan pahit.
Pada praktikum ini, dilakukan pengujian uji hedonik terhadap rasa
ketiga produk tahu matang dari tiga kelompok. Panelis disediakan tiga
contoh uji tahu matang dengan kode berbeda yaitu, “567” [Kelompok 4],
“251” [Kelompok 5], dan “123” [Kelompok 6]. Panelis diminta untuk
mencicipi rasa ketiga tahu matang tersebut lalu memberikan penilaian
berupa “suka” atau “tidak suka” terhadap rasa ketiga tahu matang tersebut
pada kolom respon form uji. Adapun skala hedonik atau skala numerik
yang diberikan, yaitu sangat suka [5], suka [4], biasa [3], tidak suka [2],
dan sangat tidak suka [1].
Uji hedonik tahu matang untuk parameter rasa berdasarkan pada
Tabel 2 panelis menyukai sampel Tahu matang “567” dengan rataan
penilaian kesukaan yang diberikan sebesar 4,10. Tahu matang “251”
dengan rataan penilaian kesukaan yang diberikan sebesar 3,86, dan Tahu
matang “123” dengan rataan penilaian kesukaan yang diberikan sebesar
4,93. Berdasarkan hasil penilaian, dapat dikatakan bahwa dari segi
parameter rasa tahu matang “567” paling disukai diantara rasa tahu matang
yang lain karena memiliki penilaian tertinggi, yaitu 4,10 dengan skala
kriteria penilaian antara [suka] dan [sangat suka].
Rasa tahu matang berasal dari penambahan garam, garam akan
memberikan rasa asin pada tahu. Pada rasa asin, ion sodium (Na+) yang
menyentuh ujung apikal dari sel pencecap melalui saluran ion pada
mikrovili akan menimbulkan rangsangan sensasi rasa asin. Garam yang
asalnya berbentuk kristal yang merupakan kumpulan atau ikatan antar
molekul NaCl, ketika masuk ke dalam air akan terpecah membentuk ion-
ion yang bentuknya sangat kecil dan masuk meresap ke dalam pori-pori
tahu yang akan menyebabkan adanya cita rasa dalam tahu.
Selain itu rasa tahu juga dapat berasal dari rasa tahu yang khas
yaitu rasa langu. Adanya rasa langu pada tahu disebabkan proses
perendaman kedelai yang kurang optimal. Kedelai yang di rendam selama
8-12 jam selain akan memperbaiki tekstur nantinya akan dapat
mengurangi rasa langu dari kacang kedelai.
Menurut Winarno (2004) rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen
rasa lain yaitu komponen rasa primer. Akibat yang ditimbulkan mungkin
peningkatan intensitas rasa atau penurunan intensitas rasa (test
compensation). Minyak goreng merupakan sumber lemak (lemak pada
pada suhu ruang) yang ditambahkan ke dalam mie. Penambahan lemak
berfungsi untuk menambah kolesterol serta memperbaiki cita rasa dari
bahan pangan.
Selain dipengaruhi oleh minyak yang digunakan untuk
menggoreng tahu, rasa gurih yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh
penambahan garam. Penambahan garam pada bubur tahu yang akan
dicetak menyebabkan tahu menjadi makin awet dan mempunyai rasa yang
lebih lezat (gurih).
Komponen karbonil yang terbentuk selama penggorengan dapat
bereaksi dengan asam amino, amin, dan protein akan menghasilkan flavor
yang diinginkan. Menurut Warner (2002), flavor hasil penggorengan yang
diinginkan dapt terbentuk pada suhu dan waktu penggorengan yang
optimum. Komponen flavor pada makanan yang digoreng sebagian besar
adalah komponen volatil dari asam linoleat dan dienal, alkenals, lactones,
hydrocarbon, dan komponen cyclic (Warner, 2002).
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum pengolahan tahu, dapat disimpulkan bahwa
kombinasi kedelai, air, jenis bahan penggumpal, suhu pemasakan suspensi tahu,
dan perlakuan perendaman serta penggorengan tahu akan memberikan pengaruh
terhadap pembentukan sifat organoleptik yang akan dihasilkan pada tahu mentah
dan tahu goreng.
Pada hasil uji hedonik tahu matang, Tahu Matang “226” [Kelompok 5]
memiliki aroma tahu yang paling disukai. Sedangkan Tahu Matang “015”
memiliki rasa dan warna tahu yang paling disukai. Pada hasil uji hedonik tahu
goreng, Tahu Goreng “123” [Kelompok 5] memiliki warna, aroma, dan tesktur
paling disukai. Sedangkan Tahu Goreng “567” memiliki rasa tahu goreng yang
paling disukai.
4.2 Saran
Bahan-bahan yang akan digunakan sebaiknya diperiksa kualitas dan
ketersediaannya terlebih dahulu sehingga permen bermutu tinggi. Formula yang
akan digunakan harus dibuat berbeda dalam komposisi dan bahan baku yang akan
digunakan agar produk yang didapat lebih beragam. Waktu perendaman kedelai
sebaiknya tidak melebihi 8 jam untuk menghindari terjadinya kegagalan
praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Proses Pembuatan Tahu. http://lordbroken.wordpress.com [14
Desember 2012]
Cahyadi. 2009. Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara
Catrien, Ertanto. 2008. Reaksi Mailard Pada Produk Pangan. Bogor: Institut
Pertanian Bogor
Inggit. 2012. Proses Pembuatan Tahu. inggit-bm.blogspot.com [[14 Desember
2012]
Koswara. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadikan Makanan Bermutu.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Rahardjo. 1998.Uji Inderawi. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman.
Shinta. 2012. Pembuatan Tahu. blog.ub.ac.id [14 Desember 2012]
Silmi.2011. Reaksi Pencoklatan. http://hurulsilmi.blogspot.com [14 Desember
2012]
Soekarto. 1985. Penelitian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Jakarta: Bhatara Karya Aksara
Sundarsih dan Y. Kurniaty. 2009. Pengaruh Waktu dan Suhu Perendaman
Kedelai. Semarang: Universitas Diponegoro
Suprapti. 2005. Klasifikasi Kedelai. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Warner, K. 2002. Chemistry of Frying Oil. New York: Marcell Dekker. Inc
Winarno, F G. 1997. Pangan Gizi Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tahu Matang
Gambar 1. Tahu Matang
Lampiran 2. Tahu Mentah
Gambar 2. Tahu Mentah
Lampiran 3. SNI Tahu (SNI 01-3142-1998)
Tabel 3. Spesifikasi Syarat Mutu Tahu