Post on 06-Dec-2014
description
SISTEM RESPIRASI
LAPORAN PBL
“MEROKOK”
OLEH : KELOMPOK I
TUTOR: dr. NUR INDAH PURNAMASARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013
SISTEM RESPIRASI
LAPORAN PBL
“MEROKOK”
OLEH :
KELOMPOK I
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI2013
SKENARIO
Seorang laki-laki 56 th datang ke rumah sakit karena batuk hebat & sesak napas. Ia
memiliki riwayat sesak berulang sejak 3 tahun lalu dan semakin memburuk terutama
selama 3 bulan terakhir. Hasil pemeriksaan tanda vital: suhu 37oC, denyut nadi adalah
104x/mnt, dan pernafasan 34x/menit yang tampak terengah-engah pada pemeriksaan
dada. Dokter melakukan tes spirometry dan hasilnya menunjukkan PEF 50% dari nilai
prediksi. Tes yang oksimetri 84%. Dia adalah seorang perokok berat yang mulai merokok
sejak ia berusia 15 tahun. Dia biasanya merokok 2 bungkus rokok per hari, tapi sejak
gejala penyakitnya makin berat ia hanya merokok 1 bungkus per hari.
KATA SULIT
Spirometry
Tes untuk mengukur aliran udara yang masuk dan keluar paru dan dicatat dalam
grafik volume per waktu dengan menggunakan alat spirometer. Nilai normal >75%.
PEF (Peak Ekspiration Flow)
Pengukuran jumlah aliran udara maksimal yang dpat dicapai saat ekspirasi paksa
Tes Oksimetri
Tes untuk memantau saturasi oksigen arteri. Nilai normalnya >95%.
KATA KUNCI
Laki-laki 56 tahun
Batuk hebat kronik
Sesak napas
Suhu normal
Takikardi
Takipneu
PEF 50%
Tes Oksimetri 84%
Riwayat merokok berat
PERTANYAAN
1. Sebutkan penyakit-penyakit apa saja yang secara umum dapat disebabkan dari
merokok ?
2. Apa saja bahan yang terkandung dalam rokok serta hubungannya dengan
penyakit respirasi?
3. Bagaimana patomekanisme gejala yang diakibatkan oleh rokok bardasarkan
scenario diatas ?
4. Jelaskan mengapa efek baru dirasakan 3 tahun yang lalu dan memberat sekarang
(3 bulan terakhir) ?
5. Apa indikasi dilakukan tes pemeriksaan respirasi pada scenario diatas ?
6. Mengapa perokok pasif lebih rentan untuk terkena penyakit respirasi akibat rokok
dibandingkan perokok aktif ?
7. Jelaskan penyakit-penyakit yang mungkin diserita pasien sesuai skanario diatas ?
8. Jelaskan proses imunologi ?
9. Bagaimana pencegahan dan upaya penghentian yang dapat dilakukan ?
ANALISIS PERTANYAAN
1. Berikut adalah beberapa penyakit yang secara umum dapat disebabkan oleh merokok
;
a. Penyakit paru: kanker paru-paru, penyakit paru obstruktif kronik, tuberkulosis paru,
pneumonia, dan lain-lain oleh gas-gas oksidan yang ada pada asap rokok.
b. Penyakit jantung: hipertensi dan penyakit jantung koroner oleh karena nikotin yang
mempersempit pembuluh darah dan karbon monoksida yang mengambil tempat
oksigen berikatan dengan Hb dalam darah.
c. Gastrointestinal: zat-zat kimia rokok mengganggu keseimbangan pengeluaran
asam lambung dan nikotin mengganggu pankreas dalam menetralisir asam di
lambung dan usus yang menyebabkan terjadinya tukak atau perdarahan.
d. Reproduksi: disfungsi ereksi atau biasa disebut impoten biasa terjadi pada pria
perokok akibat rokok yang bisa menyebabkan berkurangnya jumlah sperma dan
mempengaruhi mobilitas sperma.
e. Kulit: kanker kulit dan tampak tua dan keriput akibat zat-zat kimia rokok yang
merusak jaringan elastis.
2. Setiap rokok atau cerutu mengandung lebih dari 4.000 jenis bahan kimia dan 400 dari
bahan-bahan tersebut dapat meracuni tubuh sedangkan 40 dari bahan tersebut bisa
menyebabkan kanker. Beberapa contoh zat berbahaya di dalam rokok yang perlu
diketahui adalah sebagai berikut:
a. Nikotin
Menyebabkan ketergantungan. Nikotin menstimulasi otak untuk terus bertambah
jumlah nikotin yang dibutuhkan. Semakin lama, nikotin dapat melumpuhkan rasa
dan otak, serta meningkatkan adrenalin, yang menyebabkan jantung diberi
peringatan atas reaksi hormonal yang membuatnya berdebar lebih cepat dan
bekerja lebih keras. Artinya, jantung membutuhkan lebih banyak oksigen agar
dapat terus memompa. Nikotin juga menyebabkan pembekuan darah lebih cepat
dan meningkatkan resikko serangan jantung. Secara perlahan-lahan nikotin akan
mengakibatkan perubahan pada sel-sel otak perokok lebih banyak untuk
mengatasi gejala-gejala ketagihan. Kadar nikotin 4-6 mg yang diisap oleh orang
dewasa setiap hari sudah bisa membuat seseorang ketagihan. Di Amerika Serikat,
rokok putih yang beredar di pasaran memiliki kadar 8-10 mg nikotin per batang,
sementara di Indonesia berkadar nikotin 17 mg per batang. Kadar nikotin yang
diisap akan menyebabkan kematian, apabila kadarnya lebih dari 30 mg. Setiap
batang rokok mengandung 0,1-0,2 mg nikotin.
b. Karbon monoksida
Gas ini biasanya terdapat pada asap pembuangan mobil. Karbon monoksida
menggantikan sekitar 15% jumlah oksigen yang biasanya dibawa oleh sel darah
merah sehingga jantung si perokok menjadi berkurang suplai oksigennya. Karbon
monoksida juga merusak lapisan pembuluh darah dan menaikkan kadar lemak
pada dinding pembuluh darah yang dapat menyebabkan penyumbatan.
c. Timbal (Pb)
Timah hitam yang dihasilkan oleh sebatang rokok sebanyak 0,5 ug. Sebungkus
rokok (isi 20 batang) yang habis diisap dalam satu hari akan menghasilkan 10 ug.
Sementara ambang batas bahaya timah hitam yang masuk ke dalam tubuh adalah
20 ug per hari. Bisa dibayangkan, bila seorang perokok berat menghisap rata-rata
2 bungkus rokok per hari, berapa banyak zat berbahaya ini masuk ke dalam
tubuh.
d. Tar
Tar digunakan untuk melapisi jalan atau aspal. Tar adalah partikel penyebab
tumbuhnya sel kanker. Sebagian lainnya, berupa penumpuk zat kapur, nitrosmine
dan B-naphthylamine serta cadmium dan nikel. Tar mengandung bahan kimia
yang beracun yang dapat merusak sel paru dan menyebabkan kanker. Pada saat
rokok dihisap, tar masuk ke dalam rongga mulut sebagai uap padat. Setelah
dingin, akan menjadi padat dan membentuk endapan berwarna cokelat pada
permukaan gigi, saluran pernapasan, dan paru-paru. Pengendapan ini bervariasi
antara 3-40 mg per batang rokok, sementara kadar tar dalam rokok berkisar 24 –
45 mg.
e. Arsenic
Unsur kimia yang digunakan untuk membunuh serangga terdiri dari unsur-unsur :
1) Nitrogen Oksida
Unsur kimia yang dapat mengganggu saluran pernapasan, bahkan
merangsang terjadinya kerusakan dan perubahan kulit tubuh
2) Amonium karbonat
Zat yang bisa membentuk plak kuning pada permukaan lidah serta
mengganggu kelenjar makanan dan perasa yang terdapat pada permukaan
lidah
f. Amonia
Amonia sangat mudah memasuki sel-sel tubuh. Saking kerasnya racun yang
terdapat dalam zat ini, sehingga jika disuntikkan sedikit saja ke dalam tubuh bisa
menyebabkan seseorang pingsan .
g. Formic acid
Zat tersebut menyebabkan seseorang seperti merasa digigit semut.
Bertambahnya zat itu dalam peredaran darah akan mengakibatkan penapasan
menjadi cepat.
h. Acrolein
Zat tersebut sedikit banyak mengandung kadar alkohol. Cairan ini sangat
mengganggu kesehatan.
i. Hidrogen Cyanide
Sedikit saja cyanide dimasukkan ke dalam tubuh, maka dapat mengakibatkan
kematian.
j. Nitrous oksida
Gas ini tidak berwarna. Jika zat ini terisap maka dapat menimbulkan rasa sakit.
k. Formaldehyde
Zat ini digunakan sebagai pengawet dalam laboratorium
l. Phenol
Campuran yang terdiri dari destilasi beberapa zat orgaanik. Phenol terikat pada
protein dan menghalangi aktivitas enzim.
m. Acetol
Hasil pemanasan aldehyde (sejenis zat tidak berwarna yang bebas bergerak) dan
mudah menguap dengan alkohol.
n. Hydrogen sulfide
Sejenis gas beracun yang gampang terbakar dengan bau yang keras dan
menghalangi oksidasi enzim.
o. Pyridine
Cairan tidak berwarna dengan bau yang tajam. Digunakan untuk mengubah sifat
alkohol sebagai pelarut dan pembunuh hama.
p. Methyl chloride
Campuran dari zat-zat bervalensi satu yang unsur-unsur utamanya berupa
hidrogen dan karbon.
q. Methanol
Sejenis cairan ringan yang gampang menguap dan terbakar dapat mengakibatkan
kebutaan bahkan kematian.
3. Patomekanisme gajala pada scenario
a. Batuk
Batuk adalah salah satu cara tubuh membersihkan saluran napas. Serat afferent
dari refleks batuk terletak di saraf trigeminus, saraf glossofaring dan vagus. Ujung
saraf ini terdapat pada mukosa saluran pernapasan bagian atas sensitif terhadap
bahan atau benda asing rangsangan taktil dan termal dan bahan-bahan kimia.
Setelah itu dihantarkan pada medulla oblongata kemudian dihantarkan kembali ke
serat saraf efferent yaitu n.reccurent yang menyebabkan penutupan glotis, pada
N. frenicus yang menyebabkan kontraksi diagfragma dan saraf spinal yang
menyebabkan kontraksi otot pernapasan yang lain untuk melawan atau membuka
glotiss yang tertutup. Patofisiologi batuk:
1) Iritasi: masuknya iritan dan terjadi rangsangan reseptor oleh berbagai
stimulus.
2) Inspirasi: Glottis secara refleks terbuka akibat kontraksi m.abductor, car.
Arytaenoidea. Fase ini terjadi jika rangsangan reseptor di laring. Volume
paru besar - efisiensi mekanisme lebih baik - regangan otot ekspirasi
meningkat elastisitas paru dan aktivasi slow adapting pulmonary stretch
receptor - peningkatan usaha ekspirasi.
3) Kompresi: Menutupnya glotis - otot abdominal dan iintercostal kontraksi -
tekanan intrapleural dan tekanan alveolar meningkat (300mmhg).
4) Ekspulsi: Disini terjadi fase teerbukanya glotis secara refleks oleh N.
Spinal.
b. Sesak
Penyumbatan (obstruksi) jalan napas, berkurangnya jaringan paru yang
berfungsi, berkurangnya elastisitas paru (stifflung), meningkatnya kerja
pernapasan, gangguan transfer oksigen (difusi), ventilasi tak seimbang dalam
kaitannya dengan perfusi (uneven ventilation), campuran darah vena (venosus
asmixture) atau “right to left shunting,cardiac output yang tidak memadai, anemia
dan gangguan kapasitas hemoglobin dalam mengangkut oksigen.
4. Pada skenario dijelaskan bahwa pasien perokok berat mengalami keluhan batuk
hebat dan sesak napas. Keluhan tersebut baru dirasakan sejak tiga tahun lalu dan
semakin memburuk terutama selama 3 bulan terakhir. Pasien dengan riwayat perokok
berat yang mulai merokok sejak ia berusia 15 tahun. Pada skenarioyang menjadi
pertanyaan kelompok kami bhwa mengapa pasien baru merasakangejala tersebut
padahak pasien telah merokok sejak usia 15 tahun. Berdasarkan hasil diskusi
kelompok serta membaca beberapa referensi didapatkan kesimpulan bahwa terlebih
dahulu kita harus menjabarkan efek patofisiologi dari merokok.
Pasien melakukan aktivitas merokok secara berulang atau terjadinya paparan
asap rokok kronis akan memberikan efek patofiologi secara bertahap kepada pasien,
yaitu :
a. Perubahan pada saluran napas sentral dan napas tepi.
Hal yang terjadi adalah perubahan histology pada sel epitel bronkus : silia
hilang (berkurang), hyperplasia kelenjar mucus, meningkatnya jumlah sel goblet.
Penelitian lain melaporkan terjadinya transformasi struktur sel epitel bila aktivitas
merokok terus menerus, yaitu perubahanbentuk sel epitel menjadi karsinoma
bronkogenik invasive.
Pada skenario pasien mengalaminya secara bertahap. Mula-mula yang dialami
yaitu kekurangan silia pada saluran pernapasan sehingga silia yang tersisa harus
bekerja lebih keras untuk menahan mikroorganisme yang masuk kemudian
semakin hari pasien tidak berhenti merokok mengakibatkan silia hilang yang
mengakibatkan hyperplasia kelenjar mucus. Berdasarkan hasil penelitian
perubahan yang dilami bergantung kembali pada kekerapan dan intensitas pada
jumlah rokok yang dikonsumsi tiap harinya.
b. Perubahan fungsi imunilogis
Peningkatan jumlah leukosit pada sistem perifer. Peningkatan terjadi sebagai
respon imun terhadap infeksi. Serta terjadi peningkatan jumlah oesinofil pada
sistem perifer yang akan menghambat untuk proses inflamasi. Dan terjadi
peningkatan IgE.
Karena terjadi gangguan pada sistem penapasan dan sistem imun secara
bertahap tersebut maka menyebabkan penderita menghasilkan gejala penyakit
yang terjadi secara bertahap pula.
Munculnya gejala penyakit tak lupa dipandng dari beberapa etiologi, yaitu
1) Gen
Faktor endogen yaitu faktor yang berasal dari dalam, kerentanan bawaan /
genetik. Hal ini dapat dilihat bahwa kepekaan host terhadap penyebab-
penyebab suatu penyakit. Misalnya, kanker paru, pada skenario kelompok
kami menyertakan diferential diagnosis tersebut akan tetapi kami
melakukan tolak ukur bahwa kerentanan terhadap karsinogen tergantung
lagi oleh p53.
2) Paparan
Dilihat dari skenario bahwa pasien merupakan perokok berat yang
merupakan penyebab terjadi perubahan secara bertahap pada saluran
pernapasan sentral dan tepi secara bertahap.
3) Usia
Pasien berusia 56 tahun menyebabkan pasien lebih cepat mengalami
gejala penyakit dibandingkan pada masa produktivitasnya. Dikarenakan
pertahanan tubuh paa saat tersebut masih baik. Pada masa produktivitas
pasien, dia belum mengalami inflamasi yang begitu berat.
5. Tes pemeriksaan fungsi respirasi
a. Spirometry
Adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur secara obyektif
kapasitas/fungsi paru (ventilasi) pada pasien dengan indikasi medis. Alat yang
digunakan disebut spirometer. Tujuan tes spirometri:
1) mengukur volume paru secara statis dan dinamik
2) menilai perubahan atau gangguan pada faal paru.
Prinsip spirometri adalah mengukur kecepatan perubahan volume udara di
paru-paru selama pernafasan yang dipaksakan atau disebut forced volume
capacity (FVC). Prosedur yang paling umum digunakan adalah subyek menarik
nafas secara maksimal dan menghembuskannya secepat dan selengkap
mungkin. Nilai FVC dibandingkan terhadap nilai normal dan nilai prediksi
berdasarkan usia, tinggi badan dan jenis kelamin. 8
Sebelum dilakukan spirometri, terhadap pasien dilakukan anamnesa,
pengukuran tinggi badan dan berat badan. Pada spirometer terdapat nilai prediksi
untuk orang Asia berdasarkan umur dan tinggi badan. Bila nilai prediksi tidak
sesuai dengan standar Indonesia, maka dilakukan penyesuaian nilai prediksi
menggunakan standar Indonesia. Volume udara yang dihasilkan akan dibuat
presentase pencapaian terhadap angka prediksi. Spirometri dapat dilakukan
dalam bentuk social vital capacity (SVC) atau forced vital capacity (FVC). Pada
SCV, pasien diminta bernafas secara normal 3 kali (mouthpiece sudah terpasang
di mulut) sebelum menarik nafas dalam-dalam dan dihembuskan secara
maksimal. Pada FVC, pasien diminta menarik nafas dalam-dalam sebelum mouth
piece dimasukkan ke mulut dan dihembuskan secara maksimal.
Pengukuran fungsi paru yang dilaporkan :
1) Forced vital capacity (FVC) adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan
secara paksa setelah inspirasi secara maksimal, diukur dalam liter.
2) Forced Expiratory volume in one second (FEV1) adalah jumlah udara yang
dapat dikeluarkan dalam waktu 1 detik, diukur dalam liter. Bersama dengan
FVC merupakan indikator utama fungsi paru-paru.
3) FEV1/FVC merupakan rasio FEV1/FVC. Pada orang dewasa sehat nilainya
sekitar 75% - 80%.
4) Peak Expiratory Flow (PEF), merupakan kecepatan pergerakan udara keluar
dari paru-paru pada awal ekspirasi, diukur dalam liter/detik.
5) FEF 50% dan FEF 75%, optional, merupakan rata-rata aliran (kecepatan)
udara keluar dari paru-paru selama pertengahan pernafasan (sering disebut
juga sebagai MMEF(maximal mid-expiratory flow).
Klasifikasi gangguan ventilasi (% nilai prediksi):8
1. Gangguan restriksi: Vital Capacity (VC) < 80% nilai prediksi; FVC <
80% nilai prediksi.
2. Gangguan obstruksi: FEV1 < 80% nilai prediksi; FEV1/FVC < 75% nilai
prediksi.
3. Gangguan restriksi dan obstruksi: FVC < 80% nilai prediksi; FEV1/FVC
< 75% nilai prediksi.
Bentuk spirogram adalah hasil dari spirometri. Beberapa hal yang
menyebabkan spirogram tidak memenuhi syarat:
a. Terburu-buru atau penarikan nafas yang salah
b. Batuk
c. Terminasi lebih awal
d. Tertutupnya glottis
e. Ekspirasi yang bervariasi
f. Kebocoran
Setiap pengukuran sebaiknya dilakukan minimal 3 kali. Kriteria hasil
spirogram yang reprodusibel (setelah 3 kali ekspirasi) adalah dua nilai FVC
dan FEV1 dari 3 ekspirasi yang dilakukan menunjukkan variasi/perbedaan
yang minimal (perbedaan kurang dari 5% atau 100 mL).8
b. Oksimetri
Oksimetri atau pulse oximetri adalah sebuah tes yang cepat dan non
invansif untuk mengukur kadar saturasi oksigen dalam darah. Alat ini juga
bisa dimanfaatkan untuk mengetahui cacat jantung bawaan. Pemeriksaan ini
lebih mudah dan sederhana dibandingkan dengan pemeriksaan ultrasound
(USG) di mid-trimester atau pemeriksaan rutin setelah bayi lahir.
6. Dampak rokok terhadap paru dan
Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan
jaringan paru-paru. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar (hipertrofi) dan
kelenjar mucus bertambah banyak (hiperplasia). Pada saluran napas kecil, terjadi
radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir.
Pada jaringan paru-paru, terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli.
Akibat perubahan anatomi saluran napas, pada perokok akan timbul perubahan
pada fungsi paru-paru dengan segala macam gejala klinisnya. Hal ini menjadi dasar
utama terjadinya penyakit obstruksi paru menahun (PPOM). Dikatakan merokok
merupakan penyebab utama timbulnya PPOM, termasuk emfisema paru-paru,
bronkitis kronis, dan asma.
Hubungan antara merokok dan kanker paru-paru telah diteliti dalam 4-5 dekade
terakhir ini. Didapatkan hubungan erat antara kebiasaan merokok, terutama sigaret,
dengan timbulnya kanker paru-paru. Bahkan ada yang secara tegas menyatakan
bahwa rokok sebagai penyebab utama terjadinya kanker paru-paru.
Partikel asap rokok, seperti benzopiren, dibenzopiren, dan uretan, dikenal sebagai
bahan karsinogen. Juga tar berhubungan dengan risiko terjadinya kanker.
Dibandingkan dengan bukan perokok, kemungkinan timbul kanker paru-paru pada
perokok mencapai 10-30 kali lebih sering.
Perokok Pasif adalah orang-orang yang tidak merokok, namun menjadi korban
rokok karena turut mengisap asap sampingan(di samping asap utama yang
dihembuskan balik oleh perokok). Ada dua macam asap rokok yang mengganggu
kesehatan. Asap utama (mainstream), adalah asap yang dihisap oleh si perokok.
Asap sampingan (sidestream), adalah asap yang merupakan pembakaran dari ujung
rokok, kemudian menyebar ke udara Asap sampingan memiliki konsentrasi yang lebih
tinggi, karena tidak melalui proses penyaringan yang cukup. Dengan demikian
pengisap asap sampingan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita gangguan
kesehatan akibat rokok. Perokok pasif memiliki resiko yang cukup tinggi atas kanker
paru-paru dan jantung koroner, serta gangguan pernafasan. Bagi anak-anak di bawah
umur, terdapat resiko kematian mendadak akibat terpapar asap rokok. Setidaknya
tercatat 4000 kematian perokok pasif per tahun di US.
Efek merokok pada perokok pasif adalah :
Pada dewasa:
a. Efek terhadap Otak dan Kejiwaan, Stroke
b. Rambut berbau tidak sedap
c. Mata berair, kebutaan
d. Iritasi hidung
e. Kanker paru, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), Asthma, Emphysema
f. Penyumbatan Pembuluh Arteri, Serangan jantung, Angina
g. Pada wanita hamil; Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), keguguran spontan, lahir
mati, komplikasi saat melahirkan.
Pada Anak-anak:
a. Rambut berbau tidak sedap
b. Berhubungan dengan tumor otak, yang berefek jangka panjang, dan berpengaruh
terhadap kejiwaan
c. Mata berair, kebutaan
d. Otitis Media Kronik
e. Pneumonia, Asthma, gejala saluran pernafasan kronik, dan penurunan fungsi paru
f. Menurunnya penyerapan oksigen
g. Meningkatnya penyerapan nikotin
h. Berhubungan dengan limfoma (kanker kelenjar getah bening)
7. Penyakit-penyakit respirasi yang mungkin diakibatkan oleh rokok
a. ASMA BRONKHIAL
Asma bronkial merupakan suatu gangguan inflamasi pada jalan napas yang
diperankan oleh banyak sel dan elemen sel khususnya sel mast, eosinofil, limfosit
T, makrofag, neutrofil, dan sel – sel epitel. Pada individu yang peka, inflamasi ini
menyebabkan episode berulang mengi, sulit bernapas, nyeri dada dan batuk
terutama di malam hari dan dini hari. Inflamasi juga menyebabkan
hiperresponsivitas bronchial yang sudah ada terhadap berbagai stimulus.
Etiologi
Penyebab asma masih belum jelas. Diduga yang memegang peranan penting
ialah reaksi berlebihan dari trakea dan bronchus (hiperreaktivitas bronchus). Asma
merupakan gangguan kompleks yang melibatkan factor autonom, imunologis ,
infeksi, endokrin dan psikologis.
Epidemiologi
Kira-kira 2-20% populasi anak dilaporkan pernah menderita asma. Belum ada
penyelidikan menyeluruh mengenai angka kejadian asma pada anak
Indonesia,namun diperkirakan berkisar antara 5-10%. Asma dapat timbul pada
segala umur;30% penderita bergejala pada umur 1 tahun,sedang 80-90% anak
asma mempunyai gejala pertama sebelum umur 4-5 tahun.
Patogenesis
Manifestasi penyumbatan jalan nafas pada asma disebabkan oleh
bronchokonstriksi,hipersekresi mucus, edema mukosa, infiltrasi seluler, dan
desquamasi sel epitel serta sel radang. Salah satu sel yang memegang peranan
penting pada patogenesis asma ialah sel mast. Sel mast dapat terangsang oleh
berbagai pencetus misalnya allergen,infeksi,exercise dan lain-lain. Sel ini akan
mengalami degranulasi dan mengeluarkan bermacam-macam mediator. Selain sel
mast,sel basofil dan beberapa sel lain dapat juga mengeluarkan mediator.
Bila allergen sebagai pencetus maka allergen yang masuk kedalam tubuh
merangsang sel plasma atau sel pembentuk antibodi lainnya untuk menghasilkan
antibody reagenik,yang disebut juga Imunoglobulin E (Ig E). Selanjutnya Ig.E akan
beredar dan menempel pada reseptor yang sesuai pada dinding sel mast. Sel
mast yang demikian disebut sel mast yang tersensitisasi. Apabila allergen yang
serupa masuk kedalam tubuh, allergen tersebut akan menempel pada sel mast
yang tersensitisasi dan kemudian akan terjadi degradasi dinding dan degranulasi
sel mast. Mediator dapat bereaksi langsung dengan reseptor di mukosa bronchus
sehingga menurunkan siklik AMP kemudian terjadi bronkokonstriksi. Mediator
dapat juga menyebabkan bronkokonstriksi dengan mengiritasi reseptor iritan.
Permeabilitas epitel juga meningkat karena infeksi,asap rokok dengan
peningkatan aktivitas reseptor iritan. Mediator dapat pula meninggikan
permeabilitas dinding kapiler sehingga IgE dan Leukosit masuk kedalam jaringan
ikat bronkus. Dapat juga terjadi reaksi komplek antigen-antibody kemudian terjadi
kerusakan leukosit,lisosom keluar,kerusakan jaringan setempat dan pengeluaran
prostaglandin serta mediator lainnya. Prostaglandin F2 (PGI F2) menurunkan siklik
AMP dan terjadi bronkokonstriksi.
Proses Imunologi pada pasien asma bronchial
Allergen dihadapkan ske sisitem imun oleh mak4rofag menyebabkan
teraktivasinya CD4 yg kemudian memproduksi interleukin, utamanya IL-2,
interferon,IL-4, 5 dan 8. Sitokin ini mengaktivasi sel2 lain termasuk limfosit
B, PMN, makrofag, dan eosinofil
Sel B menghassilkan IgE yang melekat ke reseptor sel mast dan
mengakibatkan degranulasi sel mast ; iritan dapat secara langsung
menstimulasi sel mast.
Degranulasi sel mast melepaskan berbagai mediator seperti hisstamin,
prostaglandin, leukotrien, dan sel kemotaktan inflamassi yang
menyebsabkan inflamasi jalan napas yang berat.
Inflamasi ini menyebabkan bronkokonstrikssi, sekresi mucus dan udem
mukosa yang mengkibatkan serangan akut
Eosinofil, limfossit, PMN dan makrofag menyebabkan cedera jaringan
secara langsung dan menstimulasi pelepasan sneuropeptida toksik yang
dapat menyebabkan deskuamasi lebih lanjut pada epitel bronchial
smengakibatkan peningkatan hiperresponsivitas bronchial.
Sitokin inflamasi juga mengubah fungsi resptor muskarinik mengibatkan
speningkatan kadar asetilkolin yang menyebsakan kontraksi otot polos
bronkus dan secresi mucus.
Pada penyakit alergi, bias terjadi respon asmatik lambat. Eosinofil
melepaskan sneuropeptida dan limfosit kemudian diaktivasi lebih lanjut
mengakibatkan kekambuhan bronkokonstriksi pada 4 sampai 12 jam
steralah serangan awal
Bukti menunjukkan bahwa asma yangs tidak ditangani dapatmenybabkan
deskuamais jangka panjang pada epitel bronkus dengan meningkatkan
hiperresponsivitas bronkus dan terjadinya jaringan parut pada jalan napas
dengan obstruksi jalan napas permanen, yaitu remodeling jalan napas
(osbstruksi jalan napas ksronis)
Klassifikasi Asma
No
.
Parameter klinis kebutuhan
obat dan faal paru
Asma episodic
jarang (asma
ringan)
Asma episodic
sering (Asma
sedang)
Asma
Persisten
(Asma berat)
- Frek. Serangan
- Lama serangan
- Intensitas serangan
- Diantara serangan
- Tidur dan aktivitas
- Pemeriksaan fisik diluar
serangan
- Obat pengendali (anti
inflamasi)
- Uji faal paru (diluar
serangan)
- Variabilitas faal paru
(bila ada serangan)
<1x/>
<>
Biasanya ringan
Tanpa gejala
Tidak terganggu
Normal
Tidak perlu
PEV/FEV 1>80%
Variabilitas >
15%
>1x/ bulan
> 1 minggu
Biasanya sedang
Sering ada
gejala
Sering terganggu
Mungkin
terganggu
Perlu,non steroid
PEF/FEV 1
60-80%
Variabilitas
>30%
Sering
Hampir
sepanjang
tahun tidak
ada remisi.
Biasanya
berat
Gejala siang
dan malam
Sangat
terganggu
Tidak pernah
normal.
Perlu,steroid
PEF/FEV 1 <>
Variabilitas >
50%
Diagnosis
Serangan batuk dan mengi (jenis ronkhi kering yang terdengar lebih musical atau
sonor dibanding dengan ronkhi kering lainnya) berulang yang lebih nyata pada
malam hari atau bila ada beban fisik.
Batuk malam yang menetap dan tidak berhasil diobati dengan obat batuk dan
kemudian cepat menghilang setelah mendapat bronkodilator,sangat mungkin
merupakan asma.
Diagnosa Banding
Korpus alienum
Penyakit paru Kronik
Bronkiolitis akut
Bronchitis
Pemeriksaan Penunjang
1) Uji faal paru.
Uji faal paru dikerjakan untuk menentukkan derajat obstruksi,menilai hasil
provokasi bronkus, menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan
penyakit. Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah
PEFR,FEV 1,PVC,FEV 1/FVC.
2) Foto rontgen thoraks.
Pada foto thoraks akan tampak corakan paru yang meningkat.
3) Pemeriksaan darah dan uji tuberculin.
Eosinofil dapat ditemukan pada darah tepi,secret hidung dan sputum.Bila
ada infeksi didapatkan pula leukositosis PMN.
Uji tuberculin diindikasikan karena jika terdapat tuberculosis dan tidak
diobati,maka asmanyapun akan sulit dikontrol.
4) Uji kulit alergi dan Imunologi.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara goresan atau tusukan.Alergen
yang digunakan adalah allergen yang banyak terdapat didaerahnya.
Komplikasi
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan
terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk thoraks yaitu
membungkuk kedepan dan memanjang. Pada asma kronik dan berat dapat terjadi
bentuk dada burung dara. Bila secret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat
tersumbat sehingga dapat terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai.Bila
atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada
infeksi akan terjadi bronchopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan
berlangsung beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obat
biasa disebut status asmatikus.
Pengobatan
Tujuan tata laksana
1) Pasien dapat menjalani aktivitas normal.
2) sedikit mungkin angka absensi sekolah.
3) Gejala tidak timbul siang atau malam hari.
4) Uji fungsi paru senormal mungkin.
5) Kebutuhan obat seminimal mungkin.
6) Efek samping obat dapat dicegah.
Asma episodic jarang.
Cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator B agonis
hirupan kerja pendek bila perlu saja.bila obat hirupan tidak ada
atau tidak dapat digunakan maka B agonis diberikan peroral.
Asma Episodik Sering.
Jika penggunaan B agonis hirupan sudah lebih dari 3 kali
perminggu,atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali
dalam sebulan , maka penggunaan anti inflamasi sudah
terindikasi. Anti inflamasi lapis pertama yang digunakan adalah
kromoglikat 10 mg 2-4 kali/hari diberikan selama 6-8 minggu,
kemudian evaluasi jika terkendali dapat dikurangi menjadi 2-3 kali
perhari.
Asma persisten
Asma berat.
Steroid hirupan biasanya efektif dengan dosis rendah. Dalam
penggunaan beklometason arau budesonide dengan dosis 200
ug/hari,dosis yang masih dianggap aman adalah 400 ug/hari.
Sebelum menaikkan dosis steroid hirupan, dapat dipertimbangkan
penambahan salah satu obat seperti B agonis kerja panjang atau
B agonis lepas terkendali,atau teofilin lepas lambat atau anti
leukotrien.
Asma sangat berat.
Pertimbangkan penambahan salah satu obat :
- B agonis kerja panjang.
- B agonis lepas terkendali
- Teofilin lepas lambat
- Antileukotrien.
Prognosis
Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. Sebagian besar asma
anak hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur.
b. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
Penyakit Paru Obstruktif Menahun /PPOM (Chronic Obstructive Pulmonary
Disease/COPD) adalah suatu obstruktif saluran napas , perlambatan aliran udara
ekspirasi, progresif lambat dan irreversible. disebabkan oleh emfisema atau
bronkitis kronis. PPOM lebih sering menyerang laki-laki dan sering berakibat fatal.
PPOM juga lebih sering terjadi pada suatu keluarga, sehingga diduga ada faktor
yang diturunkan. Bekerja di lingkungan yang tercemar oleh asap kimia atau debu
yang tidak berbahaya, bisa meningkatkan resiko terjadinya PPOM. Tetapi
kebiasaan merokok pengaruhnya lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan
seseorang, dimana sekitar 10-15% perokok menderita PPOM. Angka kematian
karena emfisema dan bronkitis kronis pada perokok sigaret lebih tinggi
dibandingkan dengan angka kematian karena PPOM pada bukan perokok.
Sejalan dengan pertambahan usia, perokok sigaret akan mengalami penurunan
fungsi paru-paru yang lebih cepat daripada bukan perokok. Semakin banyak
sigaret yang dihisap, semakin besar kemungkinan terjadinya penurunan fungsi
paru-paru.
Penyebab
Emfisema adalah suatu pelebaran kantung udara kecil (alveoli) di paru-paru,
yang disertai dengan kerusakan pada dindingnya. Dalam keadaan normal,
sekumpulan alveoli yang berhubungan ke saluran nafas kecil (bronkioli),
membentuk struktur yang kuat dan menjaga saluran pernafasan tetap terbuka.
Pada emfisema, dinding alveoli mengalami kerusakan, sehingga bronkioli
kehilangan struktur penyangganya. Dengan demikian, pada saat udara
dikeluarkan, bronkioli akan mengkerut. Struktur saluran udara menyempit dan
sifatnya menetap.
Bronkitis kronis adalah batuk-batuk berdahak lebih dari 3 bulan minimal
dua tahun berturut-turut. (batuk menahun yang menetap), yang disertai dengan
pembentukan dahak dan bukan merupakan akibat dari penyebab yang secara
medis diketahui (misalnya kanker paru-paru). Pada saluran udara kecil terjadi
pembentukan jaringan parut, pembengkakan lapisan, penyumbatan parsial oleh
lendir dan kejang pada otot polosnya. Penyempitan ini bersifat sementara.
Adanya bahan-bahan iritan menyebabkan peradangan pada alveoli. Jika
suatu peradangan berlangsung lama, bisa terjadi kerusakan yang menetap. Pada
alveoli yang meradang, akan terkumpul sel-sel darah putih yang akan
menghasilkan enzim-enzim (terutama neutrofil elastase), yang akan merusak
jaringan penghubung di dalam dinding alveoli. Merokok akan mengakibatkan
kerusakan lebih lanjut pada pertahanan paru-paru, yaitu dengan cara merusak sel-
sel seperti rambut (silia) yang secara normal membawa lendir ke mulut dan
membantu mengeluarkan bahan-bahan beracun.
Tubuh menghasilkan protein alfa-1-antitripsin, yang memegang peranan
penting dalam mencegah kerusakan alveoli oleh neutrofil estalase. Ada suatu
penyakit keturunan yang sangat jarang terjadi, dimana seseorang tidak memiliki
atau hanya memiliki sedikit alfa-1-antitripsin, sehingga emfisema terjadi pada awal
usia pertengahan (terutama pada perokok).
Patogenesis
Phatogenesis bronchitis kronik
Iritasi bronkus (asap rokok, polusi)
paralisis bronkospasme hipertrofi, hyperplasia kelenjar mukus
statis mucus obstruksi saluran napas produksi mucus bertambah
infeksi kuman (sekunder)
erosi epitel, pembentukan jaringan parut, metaplasi skuamosa serta
penebalan lapisan mukosa
obstruksi saluran napas yang irreversible (stenosis)
Phatogenesis emfisema
Asap rokok dan iritasi lainnya
Sel epitel alveolar maghrophag MCP-1
CD8+lymphosyte
Neutrophil chemotactic factor, interleukin-8, leukotine B4
Neuthropil chemotactic factors,
interleukin-8, leukotriene B4
Neutrophil
protein inhibitor Proteases: neutrophil
elastase,cat hepsins, matrix metalloproteinases
alveolar – wall destruction( emphysema )
Faktor Resiko
Merokok
Polusi udara
Hiperresponsif saluran napas
Jenis kelamin laki-laki > perempuan
Ras : kematian pada kulit putih > status ekonomi
Faktor pekerjaan
Defisiensi alpha-1antitripsin
Gejala
Gejala-gejala awal dari PPOM, yang bisa muncul setelah 5-10 tahun merokok,
adalah batuk dan adanya lendir. Batuk biasanya ringan dan sering disalah-artikan
sebagai batuk normal perokok, walaupun sebetulnya tidak normal. Sering terjadi
nyeri kepala dan pilek. Selama pilek, dahak menjadi kuning atau hijau karena
adanya nanah. Lama-lama gejala tersebut akan semakin sering dirasakan. Bisa
juga disertai mengi/bengek. Pada umur sekitar 60 tahun, sering timbul sesak
nafas waktu bekerja dan bertambah parah secara perlahan. Akhirnya sesak nafas
akan dirasakan pada saat melakukan kegiatan rutin sehari-hari, seperti di kamar
mandi, mencuci baju, berpakaian dan menyiapkan makanan. Sepertiga penderita
mengalami penurunan berat badan, karena setelah selesai makan mereka sering
mengalami sesak yang berat sehingga penderita menjadi malas makan.
Pembengkakan pada kaki sering terjadi karena adanya gagal jantung. Pada
stadium akhir dari penyakit, sesak nafas yang berat timbul bahkan pada saat
istirahat, yang merupakan petunjuk adanya kegagalan pernafasan akut.
Diagnosis
1) Pemeriksaan fisis
Ekspirasi memanjang
Mengi
Tanda hiperinflasi
Ronki basah kasar
Sianosis
Untuk menunjukkan adanya sumbatan aliran udara dan untuk
menegakkan diagnosis, dilakukan pengukuran volume penghembusan
nafas dalam 1 detik dengan menggunakan spirometri.
Pada penderita PPOM akan terjadi penurunan aliran udara selama
penghembusan nafas.
Jika PPOM terjadi pada usia muda, dicurigai adanya kekurangan
alfa-1-antitripsin, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan darah untuk
mengetahui kadar afa-1-antitripsin dalam darah.
2) Pemeriksaan radiologi
a) Radiologi bronchitis kronik
Umumnya normal
21% corakan bronkoalveolar bertambah
b) Radiologi emfisema
Stadium awal normal
Stadium lanjut tanda-tanda hiperinflasi :
Radiolusen
Diafragma mendatar
Iga mendatar,sela iga lebar
Ruang retrosternal melebar
Jantung pendulum “eyedrop appearance”
Bullae multiple
Pengobatan
Karena merokok sigaret merupakan penyebab paling penting dari PPOM,
maka pengobatan utama adalah berhenti merokok. Menghentikan kebiasaan
merokok pada saat penyumbatan airan udara masih ringan atau sedang, akan
memperlambat timbulnya sesak nafas. Tetapi, berhenti merokok pada stadium
manapun dari penyakit ini, pasti akan memberikan banyak keuntungan. Penderita
juga harus mencoba untuk menghindari pemaparan terhadap bahan iritan lainnnya
di udara.
Unsur-unsur dari penyumbatan aliran udara yang bisa diperbaiki adalah kejang
otot, peradangan dan peningkatan jumlah lendir. Perbaikan dari unsur-unsur
tersebut akan mengurangi gejala-gejala. Kejang otot bisa dikurangi dengan
memberikan bronkodilator, termasuk agonis reseptor beta-adrenergik (albuterol
inhaler) dan theophylline per-oral (melalui mulut) yang diserap lambat.
Peradangan bisa dikurangi dengan memberikan corticosteroid, tetapi hanya 20%
penderita yang memberikan respon terhadap corticosteroid. Tidak ada
pengobatan terpercaya yang dapat mengurangi kekentalan lendir sehingga mudah
dikeluarkan melalui batuk. Tetapi menghindari dehidrasi bisa mencegah
pengentalan lendir. Minum cairan yang cukup untuk menjaga air kemih tetap encer
dan bening.
Pada PPOM yang berat, terapi pernafasan bisa membantu menghilangkan
lendir di dada. Terapi oksigen jangka panjang akan memperpanjang hidup
penderita PPOM yang berat dan penderita dengan kadar oksigen darah yang
sangat rendah. Oksigen diberikan 12 jam/hari. Hal ini akan mengurangi kelebihan
sel darah merah yang disebabkan menurunnya kadar oksigen dalam darah,
memperbaiki fungsi mental dan memperbaiki gagal jantung akibat PPOM. Terapi
oksigen juga bisa memperbaiki sesak nafas selama beraktivitas. Program latihan
bisa dilakukan di rumah. Program ini bisa meningkatkan kualitas hidup dan
kemandirian penderita, menurunkan frekuensi dan lamanya perawatan di rumah
sakit dan meningkatkan kemampuan berlatih meskipun fungsi paru-parunya belum
pulih sempurna. Untuk melatih kaki bisa dilakukan latihan sepeda statis, naik-
turun tangga dan berjalan. Untuk melatih lengan bisa dilakukan latihan angkat
beban.
Untuk penderita dengan kekurangan alfa-1-antitripsin yang berat, bisa
diberikan protein pengganti melalui pemberian protein melalui infus setiap minggu.
Pencangkokan paru-paru bisa dilakukan pada penderita dibawah usia 50 tahun.
Pada penderita dengan emfisema yang berat, bisa dilakukan pembedahan yang
disebut operasi reduksi volume paru-paru. Prosedurnya rumit dan penderita harus
berhenti merokok setidaknya 6 bulan sebelum pembedahan dan menjalani
program latihan intensif. Pembedahan akan memperbaiki fungsi paru-paru dan
kemampuan berlatih.
Prognosis
30% penderita PPOM dengan sumbatan yang berat akan meninggal dalam
waktu 1 tahun, dan 95% meninggal dalam waktu 10 tahun. Kematian bisa
disebabkan oleh kegagalan pernafasan, pneumonia, pneumotoraks (masuknya
udara ke dalam rongga paru), aritmia jantung atau emboli paru (penyumbatan
arteri yang menuju ke paru-paru). Penderita PPOM juga memiliki resiko tinggi
terhadap terjadinya kanker paru.
c. TB PARU
Defenisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang aerobik dan taham asam ini, dapat
merupakan organisme patogen maupun saprofit.
Etiologi
1) Mycobacterium Tuberculosis
Mycobacterium tuberculosis merupakan mikroorganisme yang
menyebabkan penyakit TB paru, berbentuk basil sedikit melengkung, dan
sifatnya aerob. Kuman ini memiliki dinding sel dengan penyusun struktur
dinding sel paling tinggi adalah lipid. Pada pengecatan gram, kuman ini
resisten, namun dengan pegecatan fuchsin, kuman ini dapat menyerap warna
dan tidak mudah diuraikan warnanya dengan asam-alkohol. Oleh karena itu,
bakteri ini disebut sebagai bakteri tahan asam.
Mycobacterium tuberculosis cepat mati dengan sinar matahari langsung
tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembek.
Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dorman selama beberapa tahun.
Kuman dapat disebarkan dari penderita TB BTA positif kepada orang yang
berada disekitarnya, terutama yang kontak erat.
Mycobacterium tuberculosis hidup dan berkembang biak pada tekanan
O2 sebesar 140 mm H2O di paru dan dapat hidup di luar paru dalam lingkungan
mikro aerofilik.
Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui droplet yang berada di
udara yang dihasilkan oleh orang yang terinfeksi dengan gejala TB pulmoner
ataupun laryngeal, seperti batuk, bersin, berbicara, atau bernyanyi. Partikel
tersebut, memiliki ukuran 1-5 micrometer, dapat tetap berada di udara pada
waktu yang lama.
2) Cara Penularan
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak
berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah
percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh
kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab.
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut.
Epidemiologi
Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-
1993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 –
0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TBC Global yang
dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002
mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya
diperkirakan merupakan kasus baru. Perkiraan prevalensi, insidensi dan kematian
akibat TBC dilakukan berdasarkan analisis dari semua data yang tersedia, seperti
pelaporan kasus, prevalensi infeksi dan penyakit, lama waktu sakit, proporsi kasus
BTA positif, jumlah pasien yang mendapat pengobatan dan yang tidak mendapat
pengobatan, prevalensi dan insidens HIV, angka kematian dan demografi.
Saat ini Survei Prevalensi TBC yang didanai GFATM telah dilaksanakan oleh
National Institute for Health Research & Development (NIHRD) bekerja sama
dengan National Tuberculosis Program (NTP), dan sedang dalam proses
penyelesaian. Survei ini mengumpulkan data dan dilakukan pemeriksaan dahak
dari 20.000 rumah tangga di 30 propinsi. Studi ini akan memberikan data terbaru
yang dapat digunakan untuk memperbarui estimasi insidensi dan prevalensi,
sehingga diperoleh perkiraan yang lebih akurat mengenai masalah TBC.
Dari data tahun 1997-2004 [Attachment: Tabel Identifikasi Kasus 1997-2004
dan Tingkat Pelaporan 1995 – 2000] terlihat adanya peningkatan pelaporan
kasus sejak tahun 1996. Yang paling dramatis terjadi pada tahun 2001, yaitu
tingkat pelaporan kasus TBC meningkat dari 43 menjadi 81 per 100.000
penduduk, dan pelaporan kasus BTA positif meningkat dari 25 menjadi 42 per
100.000 penduduk. Sedangkan berdasarkan umur, terlihat angka insidensi TBC
secara perlahan bergerak ke arah kelompok umur tua (dengan puncak pada 55-64
tahun), meskipun saat ini sebagian besar kasus masih terjadi pada kelompok
umur 15-64 tahun. [Attachment : Age Specific Notification Rate 2004]
Patogenesis
1) Tuberkulosis primer
Ketika Mycobacterium tuberculosis masuk pada paru-paru, hal ini
akan menginisiasi sistem imun non-spesifik melalui sel efektor makrofag
alveolar. Hal ini akan menimbulkan TB Paru primer. Dan kerentanan
seseorang akan infeksi Mycobacterium tuberculosis ditentukan oleh
beberapa faktor, seperti status imun seseorang dan genetik.
Pada beberapa orang dengan gen NRAMP-1 (Natural Resistance
associated macrophage protein-1), akan memudahkan seseorang untuk
terinfeksi dan menyulitkan terapi. Bakteri ini bermultiplikasi secara
intraseluler di dalam makrofag jika sel imun tidak dapat menghancurkan
atau tidak dapat menginhibisi bakteri tersebut. Proses ini terjadi secara
berulang-ulang, dan pada akhirnya akan memasuki kelenjar limfe regional
dan berlanjut pada kelenjar limfe hilus dan menyebabkan limfadenopati
daerah hilus (Robins, 2004). Ketika sistem imun spesifik mulai
berkembang, efektivitas sistem imun untuk membatasi daerah infeksi
maupun multiplikasi menjadi semakin baik. Makrofag yang telah
tersensitisasi akan berkembang menjadi histiosit epitelial. Histiosit dan sel
T-Limfosit akan beragregasi menjadi gumpalan kecil sehingga akan
membentuk granuloma. Di dalam granuloma, sel T-limfosit CD4 akan
mensekresikan sitokin, seperti Interferon-gamma, yang akan merangsang
makrofag untuk lebih aktif dalam membunuh kuman. Sel T-limfosit CD8
juga dapat langsung membunuh sel yang terinfeksi dengan kuman
Mycobacterium tuberculosis. Dapat pula terbentuk pusat nekrosis yang
terjadi di dalam granuloma (Aditama, 2006). Pada tahap ini, pasien
asimptomatik dan bisa menyembuh, namun beberapa basil yang
mengalami masa dorman, dan dapat hidup selama bertahun-tahun, hal ini
disebut TB latent yang dapat dideteksi dengan protein purified derivative
tuberculin skin test atau melalui identifikasi kalsifikasi pada fokus infeksi
maupun di limfonodus regional.
2) Tuberkulosis post-primer
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan
munculbertahun-yahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi
tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer). Mayoritas reinfeksi menjadi
90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun, seperti
malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS dan gagal ginjal.
Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di
regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus paru dan superior atau
inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru (Sudoyo et al,
2007)
Hipersensitivitas tipe lambat yang terjadi dapat menyebabkan
terjadinya nekrosis kaseosa yang sangat khas untuk gambaran TB Paru.
Terjadinya hipersensitivitas ini menyebabkan matinya bakteri, namun juga
menyebabkan kerusakan jaringan (Robins, 2004).
Gejala Penyakit TB paru
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang
timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu
khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan
diagnosa secara klinik.
Gejala sistemik/umum:
Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul
Penurunan nafsu makan dan berat badan
Perasaan tidak enak (malaise), lemah
Gejala khusus:
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat
penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan
suara “mengi”,suara nafas melemah yang disertai sesak.
Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat
disertai dengan keluhan sakit dada.
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang
yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada
kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah
demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat
terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa.
Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru
dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan
– 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa
dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan
pemeriksaan serologi/darah.
Diagnosis TB Paru
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang
perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
Rontgen dada (thorax photo).
Uji tuberkulin.
Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan
sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak
dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga
sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu
menunjukkan aktifitas penyakit.
Uji Tuberkulin
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin yaitu dengan cara mono
dengan salep, dengan goresan disebut patch test cara von pirquet, cara
mantoux dengan menyuntikan intrakutan dan multiple puncture metode
dengan 4 – 6 jarum berdasarkan cara Heat and Tine. Uji kulit Mantoux
adalah injeksi intradermal 0.1 mL yang mengandung 5 unit tuberculin
( UT ) derivate protein yang dimurnikan ( PPD ) yang distabilkan dengan
Tween 80 (Alatas, 2007).
Sampai sekarang cara Mantoux masih dianggap sebagai cara yang
paling dapat dipertanggung jawabkan karena jumlah tuberkulin yang
dimasukkan dapat diketahui banyaknya. Reaksi lokal yang terdapat pada
uji Mantoux terdiri atas (Alatas, 2007) :
a) Eritema karena vasodilatasi perifer
b) Edema karena reaksi antara antigen yang dimasukkan
dengan antibodi
c) Indurasi yang dibentuk oleh sel mononukleus.
Reaksi positif palsu terhadap tuberculin dapat disebabkan oleh
sensitisi silang terhadap antigen mikobakteria non tuberculosis. Reaksi
silang ini biasanya sementaraselama beberapa bulan sampai beberapa
tahundan menghasilkan indurasi kurang dari 10 – 12 mm. Vaksinasi
sebelumnya ( BCG ) juga dapat menimbulkan reaksi terhadap uji kulit
tuberculin. Sekitar setengah dari bayi yang mendapat vaksin BCG tidak
pernah menimbulkan uji kulit tuberculin reaktif, dan reaktivitas akan
berkurang 2 – 3 tahun kemudian pada penderitayang pada mulanya
memiliki uji kulit positif.
Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang
praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang
membutuhkan biaya lebih dibanding pemeriksaan sputum, tapi dalam
beberapa hal pemeriksaan radiologis memberikan beberapa keuntungan
seperti tuberkulosis pada anak – anak dan tuberkulosis millier. Pada kedua
hal tersebut diagnosa dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologi dada,
sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.
Pada anak dengan uji tuberkulin positif dilakukan pemeriksaan
radiologis. Gambaran radiologis paru yang biasanya dijumpai pada
tuberkulosis paru:
Kompleks primer dengan atau tanpa pengapuran.
Pembesaran kelenjar paratrakeal.
Penyebaran milier.
Penyebaran bronkogen
Atelektasis
Pleuritis dengan efusi.
Pemeriksaan radiologis pun saja tidak dapat digunakan untuk
membuat diagnosis tuberkulosis, tetapi harus disertai data klinis lainnya.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang –
kadang meragukan. Pada saat tuberkulosis baru dimulai ( aktif ) akan
didapatkan sedikit leukosit yang sedikit meningkat. Jumlah limfosit
masih normal. Laju Endap Darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai
sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan laju endap darah mulai
turun kearah normal lagi.
2. Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya
kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping
itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap
pengobatan yang sudah diberikan, tetapi kadang – kadang tidak mudah
untuk menemukan sputum terutama penderita yang tidak batuk atau
pada anak –anak. Pada pemeriksaan sputum kurang begitu berhasil
karena pada umumnya sputum langsung ditelan, untuk itu dibutuhkan
fasilitas laboratorium berteknologi yang cukup baik, yang berarti
membutuhkan biaya yang banyak. Adapun bahan – bahan yang
digunakan untuk pemeriksaan bakteriologi adalah:
Bilasan lambung
Sekret bronkus
Sputum
Cairan pleura
Liquor cerebrospinalis
Cairan asites
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang – kurang nya
ditemukan tiga batang kuman BTA pada suatu sediaan. Dengan kata lain
diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml sputum.
Pengendalian atau penanggulangan TB yang terbaik adalah
mencegah aga tidak terjadi penularan maupun infeksi. Pencegahan TB
pada dasarnya adalah :
1) Mencegah penularan kuman dari penderita yang terinfeksi
2) Menghilangkan atau mengurangi faktor risiko yang menyebabkan
terjadinya penularan.
Tindakan mencegah terjadinya penularan dilakukan dengan berbagai
cara, yang utama adalah memberikan obat anti TB yang benar dan
cukup, serta dipakai dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat.
Pencegahan dilakukan dengan cara mengurangi atau menghilangkan
faktor risiko, yakni pada dasarnya adalah mengupayakan kesehatan
perilaku dan lingkungan, antara lain dengan pengaturan rumah agar
memperoleh cahaya matahari, mengurangi kepadatan anggota keluarga,
mengatur kepadatan penduduk, menghindari meludah sembarangan,
batuk sembarangan, mengkonsumsi makanan yang bergizi yang baik dan
seimbang.
Dengan demikian salah satu upaya pencegahan adalah dengan
penyuluhan.. Penyuluhan TB dilakukan berkaitan dengan masalah
pengetahuan dan perilaku
Masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan peranserta masyarakat dalam penanggulangan
TB.
Terapi atau Pengobatan penderita TB dimaksudkan untuk; 1)
menyembuhkan penderita sampai sembuh, 2) mencegah kematian, 3)
mencegah kekambuhan dan 4) menurunkan tingkat penularan.
Prinsip Pengobatan
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan,
maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :
Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk
mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed
Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
kekebalan obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu.
Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
(dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
Regimen Pengobatan
Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah
antibotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium. Aktifitas
obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri,
aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah
Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok
obat ini disebut sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten
dalam hal membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin.
Rifampisin dan pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. Sedangkan
obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino Salisilat,
Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin. Natrium
Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin
umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat
primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai
alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB.
Rejimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap
dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan
kombinasi OAT dengan dosis tetap. Contoh : 2HRZE/4H3R3 atau 2HRZES/5HRE
Kode huruf tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni :
H = Isoniazid
R = Rifampisin
Z = Pirazinamid
E = Etambutol
S = Streptomisin
Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau frekwensi.
Angka 2 didepan seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan selama 2 bulan, tiap
hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf, seperti
pada “4H3R3” artinya dipakai 3 kali seminggu ( selama 4 bulan).
Sebagai contoh, untuk TB kategori I dipakai 2HRZE/4H3R3, artinya :
Tahap awal/intensif adalah 2HRZE : Lama pengobatan 2 bulan, masing
masing OAT (HRZE) diberikan setiap hari.
Tahap lanjutan adalah 4H3R3 : Lama pengobatan 4 bulan, masing masing
OAT (HR) diberikan 3 kali seminggu.
Kategori 1 • 2HRZE/4H3R3
• 2HRZE/4HR
• 2HRZE/6HE
Kategori 2 • 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
• 2HRZES/HRZE/5HRE
Kategori 3 • 2HRZ/4H3R3
• 2HRZ/4HR
• 2HRZ/6HE
Paduan OAT Yang Digunakan Di Indonesia
Paduan pengobatan yang digunakan oleh Program Nasional
Penanggulangan TB oleh Pemerintah Indonesia :
• Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3.
• Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3.
• Kategori 3 : 2 HRZ/4H3R3.
• Disamping ketiga kategori ini, disediakan paduan obat sisipan
(HRZE)
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan
tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. 1 paket untuk 1 penderita dalam
1 masa pengobatan.
Obat Paket Tuberkulosis ini disediakan secara gratis melalui
Institusi pelayanan kesehatan milik pemerintah, terutama melalui
Puskesmas, Balai Pengobatan TB paru, Rumah Sakit Umum dan Dokter
Praktek Swasta yang telah bekerja sama dengan Direktorat
Pemberantasan Penyakit Menular Langsung Depkes RI.
KATEGORI-1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan.
Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan
tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.
Obat ini diberikan untuk:
Penderita baru TB Paru BTA Positif.
Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif yang “sakit
berat”
Penderita TB Ekstra Paru berat
KATEGORI -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan
dengan HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari.
Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE
yang diberikan tiga kali dalam seminggu.
Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya
pernah diobati, yaitu:
• Penderita kambuh (relaps)
• Penderita gagal (failure)
• Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
KATEGORI-3 (2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan
diberikan 3 kali seminggu.
Obat ini diberikan untuk:
• Penderita baru BTA negatif dan röntgen positif sakit ringan,
• Penderita TB ekstra paru ringan.
OAT SISIPAN (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif
dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan
kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat
sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.
d. KANKER PARU
Etiologi
Seperti umumnya kanker yang lain penyebab yang pasti daripada kanker
paru belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang
bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping adanya faktor
lain seperti kekebalan tubuh, genetik, dan lain-lain. Dari beberapa kepustakaan
telah dilaporkan bahwa etiologi kanker paru sangat berhubungan dengan
kebiasaan merokok. Terdapat hubungan antara rata-rata jumlah rokok yang
dihisap perhari dengan tingginya insiden kanker paru. Dikatakan bahwa, 1 dari 9
perokok berat akan menderita kanker paru.
Diperkirakan terdapat metabolit dalam asap rokok yang bersifat karsinogen
terhadap beberapa organ tubuh. Etiologi laiin dari kanker paru yang pernah
dilaporkan adalah:
1) Yang berhubungan dengan zat karsinogen, seperti:
Asbestos, sering menimbulkan mesotelioma
Radiasi ion pada pekerja tambang uranium
Radon, arsen, kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon, vinil klorida
2) Polusi udara
3) Genetik
4) Teori onkogenesis, yaitu terjadinya kanker paru didasari dari tampilnya
gen supresor tumor dalam genom (onkogen).
5) Diet
Epidemiologi
Prevalensi kanker paru sangat tinggi,di USA tahun 2002 dilaporkan terdapat
169.400 kasus baru (merupakan 13% dari dari semua kanker baru yang
terdiagnosis) dengan 154.900 kematian (merupakan 28% dari seluruh kematian
akibat kanker). Di inggris prevalensi kejadiannya mencapai 40.000/tahun, di
Indonesia menduduki peringkat 4 kanker terbanyak. Di RS Dharmais Jakarta
tahun 1998 kanker paru menduduki urutan ke-3 sesudah kanker payudara dan
leher rahim. Angka kematian akibat kanker paru di seluruh dunia mencapai kurang
lebih 1.000.000 penduduk tiap tahunnya karena system pencatatan kita yang
belum baik prevalensi pastinya belum diketahui. Di negara berkembang lain
dilaporkan insidennya naik dengan cepat antara lain karena konsumsi rokok yang
berlebihan seperti di Cina yang mengkonsumsi 30% rokok dunia. Sebagian besar
kanker paru mengenai pria 65% life time risk: 1:13 dan pada perempuan 1:20.
Patogenesis
masa tumor dalam bronkus penyumbatan pendesakan
- hipersekresi kelenjar mukosa ventilasi terganggu
- bronkospasme
gangguan faal paru restriktif obstruktif
perubahan alveoli
Gejala klinis
Gambaran klinik penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit
paru lainnya, terdiri dari keluhan subyektif dan gejala obyektif. Dari anamnesis
akan didapat keluhan utama dan perjalanan penyakit, serta faktor–faktor lain yang
sering sangat membantu tegaknya diagnosis. Keluhan utama dapat berupa :
Batuk-batuk dengan / tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen)
Batuk darah
Sesak napas
Suara serak
Sakit dada
Sulit / sakit menelan
Benjolan di pangkal leher
Sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan
rasa nyeri yang hebat.
Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat
metastasis di luar paru, seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di
otak, pembesaran hepar atau patah tulang kaki.
Gejala dan keluhan yang tidak khas seperti :
Berat badan berkurang
Nafsu makan hilang
Demam hilang timbul
Sindrom paraneoplastik, seperti "Hypertrophic pulmonary
osteoartheopathy", trombosis vena perifer dan neuropatia.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologis
Hasil pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan
penunjang yang mutlak dibutuhkan untuk menentukan lokasi tumor primer
dan metastasis, serta penentuan stadium penyakit berdasarkan sistem
TNM. Pemeriksaan radiologi paru yaitu Foto toraks PA/lateral, bila mungkin
CT-scan toraks, bone scan, Bone survey, USG abdomen dan Brain-CT
dibutuhkan untuk menentukan letak kelainan, ukuran tumor dan
metastasis.
a) Foto toraks : Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat
dilihat bila masa tumor dengan ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda
yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler, disertai
identasi pleura, tumor satelit tumor, dll. Pada foto tumor juga dapat
ditemukan telah invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikar dan
metastasis intrapulmoner. Sedangkan keterlibatan KGB untuk
menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks saja.
Kewaspadaan dokter terhadap kemungkinan kanker paru pada
seorang penderita penyakit paru dengan gambaran yang tidak khas
untuk keganasan penting diingatkan. Seorang penderita yang
tergolong dalam golongan resiko tinggi (GRT) dengan diagnosis
penyakit paru, harus disertai difollow up yang teliti. Pemberian OAT
yang tidak menunjukan perbaikan atau bahkan memburuk setelah 1
bulan harus menyingkirkan kemungkinan kanker paru, tetapi lain
masalahnya pengobatan pneumonia yang tidak berhasil setelah
pemberian antibiotik selama 1 minggu juga harus menimbulkan
dugaan kemungkinan tumor dibalik pneumonia tersebut.
Bila foto toraks menunjukkan gambaran efusi pleura yang luas
harus diikuti dengan pengosongan isi pleura dengan punksi berulang
atau pemasangan WSD dan ulangan foto toraks agar bila ada tumor
primer dapat diperlihatkan. Keganasan harus difikirkan bila cairan
bersifat produktif, dan/atau cairan serohemoragik.
b) CT-Scan toraks : Tehnik pencitraan ini dapat menentukan kelainan di
paru secara lebih baik daripada foto toraks. CT-scan dapat
mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih
tepat. Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar
secara lebih baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus,
tumor intra bronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak masif dan
telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa
gejala. Lebih jauh lagi dengan CT-scan, keterlibatan KGB yang sangat
berperan untuk menentukan stage juga lebih baik karena pembesaran
KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga ketelitiannya
mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner.
c) Pemeriksaan radiologik lain : Kekurangan dari foto toraks dan CT-
scan toraks adalah tidak mampu mendeteksi telah terjadinya
metastasis jauh. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan radiologik lain,
misalnya Brain-CT untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala /
jaringan otak, bone scan dan/atau bone survey dapat mendeteksi
metastasis diseluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen dapat
melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ
lain dalam rongga perut.
Pemeriksaan histopatologi
a) Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah pemeriksan dengan tujuan diagnostik
sekaligus dapat dihandalkan untuk dapat mengambil jaringan atau
bahan agar dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas. Pemeriksaan
ada tidaknya masa intrabronkus atau perubahan mukosa saluran
napas, seperti terlihat kelainan mukosa tumor misalnya, berbenjol-
benjol, hiperemis, atau stinosis infiltratif, mudah berdarah.
Tampakan yang abnormal sebaiknya di ikuti dengan tindakan biopsi
tumor/dinding bronkus, bilasan, sikatan atau kerokan bronkus.
b) Biopsi aspirasi jarum
Apabila biopsi tumor intrabronkial tidak dapat dilakukan,
misalnya karena amat mudah berdarah, atau apabila mukosa licin
berbenjol, maka sebaiknya dilakukan biopsi aspirasi jarum, karena
bilasan dan biopsi bronkus saja sering memberikan hasil negatif.
c) Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)
TBNA di karina, atau trakea 1/1 bawah (2 cincin di atas karina) pada
posisi jam 1 bila tumor ada dikanan, akan memberikan informasi
ganda, yakni didapat bahan untuk sitologi dan informasi metastasis
KGB subkarina atau paratrakeal.
d) Transbronchial Lung Biopsy (TBLB)
Jika lesi kecil dan lokasi agak di perifer serta ada sarana untuk
fluoroskopik maka biopsi paru lewat bronkus (TBLB) harus
dilakukan.
a. Biopsi Transtorakal (Transthoraxic Biopsy, TTB)
Jika lesi terletak di perifer dan ukuran lebih dari 2 cm, TTB dengan
bantuan flouroscopic angiography. Namun jika lesi lebih kecil dari 2
cm dan terletak di sentral dapat dilakukan TTB dengan tuntunan
CTscan.
b. Biopsi lain
Biopsi jarum halus dapat dilakukan bila terdapat pembesaran KGB
atau teraba masa yang dapat terlihat superfisial. Biopsi KBG harus
dilakukan bila teraba pembesaran KGB supraklavikula, leher atau
aksila, apalagi bila diagnosis sitologi/histologi tumor primer di paru
belum diketahui. Biopsi Daniels dianjurkan bila tidak jelas terlihat
pembesaran KGB suparaklavikula dan cara lain tidak menghasilkan
informasi tentang jenis sel kanker. Punksi dan biopsi pleura harus
dilakukan jika ada efusi pleura.
c. Torakoskopi medik
Dengan tindakan ini massa tumor di bagaian perifer paru, pleura
viseralis, pleura parietal dan mediastinum dapat dilihat dan dibiopsi.
d. Sitologi sputum
Sitologi sputum adalah tindakan diagnostik yang paling mudah dan
murah. Kekurangan pemeriksaan ini terjadi bila tumor ada di perifer,
penderita batuk kering dan tehnik pengumpulan dan pengambilan
sputum yang tidak memenuhi syarat. Dengan bantuan inhalasi NaCl
3% untuk merangsang pengeluaran sputum dapat ditingkatkan.
Semua bahan yang diambil dengan pemeriksaan tersebut di atas
harus dikirim ke laboratorium Patologi Anatomik untuk pemeriksaan
sitologi/histologi. Bahan berupa cairan harus dikirim segera tanpa
fiksasi, atau dibuat sediaan apus, lalu difiksasi dengan alkohol absolut
atau minimal alkohol 90%. Semua bahan jaringan harus difiksasi
dalam formalin 4%.
Pengobatan
Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti
terapi). Kenyataanya pada saat pemilihan terapi, sering bukan hanya diharapkan
pada jenis histologis, derajat dan tampilan penderita saja tetapi juga kondisi non-
medisseperti fasiliti yang dimilikirumah sakit dan ekonomi penderita juga
merupakan faktor yang amat menentukan.
1) Pembedahan
Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk KPKBSK stadium
I dan II. Pembedahan juga merupakan bagian dari “combine modality
therapy”, misalnya kemoterapi neoadjuvan untuk KPBKSK stadium IIIA.
Indikasi lain adalah bila ada kegawatan yang memerlukan intervensi
bedah, seperti kanker paru dengan sindroma vena kava superiror berat.
Prinsip pembedahan adalah sedapat mungkin tumor direseksi lengkap
berikut jaringan KGB intrapulmoner, dengan lobektomi maupun
pneumonektomi. Segmentektomi atau reseksi baji hanya dikerjakan jika
faal paru tidak cukup untuk lobektomi. Tepi sayatan diperiksa dengan
potong beku untuk memastikan bahwa batas sayatan bronkus bebas
tumor. KGB mediastinum diambil dengan diseksi sistematis, serta diperiksa
secara patologi anatomis.
Hal penting lain yang penting dingat sebelum melakukan tindakan
bedah adalah mengetahui toleransi penderita terhadap jenis tindakan
bedah yang akan dilakukan. Toleransi penderita yang akan dibedah dapat
diukur dengan nilai uji faal paru dan jika tidak memungkin dapat dinilai dari
hasil analisis gas darah (AGD) :
Syarat untuk reseksi paru
a) Resiko ringan untuk Pneumonektomi, bila KVP paru kontralateral baik,
VEP1>60%
b) Resiko sedang pneumonektomi, bila KVP paru kontralateral > 35%,
VEP1 > 60%
2) Radioterapi
Radioterapi pada kanker paru dapat menjadi terapi kuratif atau
paliatif. Pada terapi kuratif, radioterapi menjadi bagian dari kemoterapi
neoadjuvan untuk KPKBSK stadium IIIA. Pada kondisi tertentu, radioterapi
saja tidak jarang menjadi alternatif terapi kuratif.
Radiasi sering merupakan tindakan darurat yang harus dilakukan
untuk meringankan keluhan penderita, seperti sindroma vena kava
superiror, nyeri tulang akibat invasi tumor ke dinding dada dan metastasis
tumor di tulang atau otak.
Penetapan kebijakan radiasi pada KPKBSK ditentukan beberapa faktor
o Staging penyakit
o Status tampilan
o Fungsi paru
Bila radiasi dilakukan setelah pembedahan, maka harus diketahui :
1. Jenis pembedahan termasuk diseksi kelenjar yang dikerjakan
2. Penilaian batas sayatan oleh ahli Patologi Anatomi (PA)
Dosis radiasi yang diberikan secara umum adalah 5000 – 6000
cGy, dengan cara pemberian 200 cGy/x, 5 hari perminggu.
Syarat standar sebelum penderita diradiasi adalah :
1. Hb > 10 g%
2. Trombosit > 100.000/mm3
3. Leukosit > 3000/dl
Radiasi paliatif diberikan pada unfavourable group, yakni :
1. PS < 70.
2. Penurunan BB > 5% dalam 2 bulan.
3. Fungsi paru buruk.
4. Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker paru. Syarat
utama harus ditentukan jenis histologis tumor dan tampilan (performance
status) harus lebih dan 60 menurut skala Karnosfky atau 2 menurut skala
WHO. Kemoterapi dilakukan dengan menggunakan beberapa obat
antikanker dalam kombinasi regimen kemoterapi. Pada keadaan tertentu,
penggunaan 1 jenis obat anti kanker dapat dilakukan.
Prinsip pemilihan jenis antikanker dan pemberian sebuah regimen
kemoterapi adalah:
1. Platinum based therapy ( sisplatin atau karboplatin)
2. Respons obyektif satu obat antikanker s 15%
3. Toksisiti obat tidak melebihi grade 3 skala WHO
4. harus dihentikan atau diganti bila setelah pemberian 2 sikius pada
penilaian terjadi tumor progresif.
Regimen untuk KPKBSK adalah :
1. Platinum based therapy ( sisplatin atau karboplatin)
2. PE (sisplatin atau karboplatin + etoposid)
3. Paklitaksel + sisplatin atau karboplatin
4. Gemsitabin + sisplatin atau karboplatin
5. Dosetaksel + sisplatin atau karboplatin
Umumnya kemoterapi diberikan sampai 6 sikius/sekuen, bila
penderita menunjukkan respons yang memadai. Evaluasi respons terapi
dilakukan dengan melihat perubahan ukuran tumor pada foto toraks PA
setelah pemberian (sikius) kemoterapi ke-2 dan kalau memungkinkan
menggunakan CT-Scan toraks setelah 4 kali pemberian.
Evaluasi dilakukan terhadap
3. Respons subyektif yaitu penurunan keluhan awal
4. Respons semisubyektif yaitu perbaikan tampilan, bertambahnya berat
badan
5. Respons obyektif
6. Efek samping obat
Respons obyektif dibagi atas 4 golongan dengan ketentuan
1. Respons komplit (complete response , CR) : bila pada evaluasi
tumor hilang 100% dan keadan ini menetap lebih dari 4 minggu.
2. Respons sebagian (partial response, PR) : bila pengurangan ukuran
tumor > 50% tetapi < 100%.
3. Menetap {stable disease, SD) : bila ukuran tumor tidak berubahatau
mengecil > 25% tetapi < 50%.
4. Tumor progresif (progresive disease, PD) : bila terjadi petambahan
ukuran tumor > 25% atau muncul tumor/lesi baru di paru atau di
tempat lain.
Imunologis
Sel kanker dikenal sebagai nonself yang bersifat antigenik pada sistem
imunitas tubuh manusia sehingga ia akan menimbulkan respons imun secara
seluler maupun humoral. Respons sistem imun terhadap sel kanker dapat dibagi
dua yaitu humoral dan seluler.
1) Sistem Imun Humoral
Peranan sistem imun humoral terhadap sel kanker Imunitas humoral lebih
sedikit berperan daripada imunitas seluler dalam proses penghancuran sel
kanker, tetapi tubuh tetap membentuk antibodi terhadap antigen tumor. Dua
mekanisme antibodi diketahui dapat menghancurkan target kanker yaitu :
a) Antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). Pada ADCC
antibodi IgG spesifik berikatan terhadap Tumor Associated Antigen (TAA)
dan sel efektor yang membawa reseptor untuk bagian Fc dari molekul Ig.
Antibodi bertindak sebagai jembatan antara efektor dan target.
Antibodi yang terikat dapat merangsang pelepasan superoksida
atau peroksida dari sel efektor. Sel yang dapat bertindak sebagai efektor di
sini adalah limfosit null (sel K), monosit, makrofag,Lekosit PMN
(polimorfonuklear) dan fragmen trombosit. Ini akan mengalami lisis optimal
dalam 4 sampai 6 jam
b) Complement Dependent Cytotoxicity, Di sini pengikatan antibodi ke
permukaan sel tumormenyebabkan rangkaian peristiwa komplemen klasik
dari C' 1,4,2,3,5,6,7,8,9. Komponen C' akhir menciptakan saluran
atau kebocoran pada permukaan sel tumor. IgM lebih efisien dibanding
IgM dalam merangsang proses complement dependent citotoxicity
2) Sistem Imun Seluler
Peranan sistem imun seluler sel kanker Pada pemeriksaan patologi-
anatomik tumor, sering ditemukan infiltrat sel-sel yang terdiri atas sel fagosit
mononuklear, limfosit, sedikit sel plasma dan sel mastosit. Meskipun pada
beberapa neoplasma, infiltrasi sel mononuklear merupakan indikator untuk
prognosis yang baik, pada umumnya tidak ada hubungan antara infiltrasi sel
dengan prognosis. Sistem imun yang nonspesifik dapat langsung
menghancurkan sel tumor tanpa sensitisasi sebelumnya. Efektor sistem imun
tersebut adalah sel Tc, fagosit mononuklear, polinuklear, Sel NK ,Aktivasi sel
T melibatkan sel Th dan Tc. Sel Th penting pada pengerahan dan aktivasi
makrofag dan sel NK.
a) Sitotoksitas melalui sel T
Sitotoksitas melalui sel T Kontak langsung antara sel target dan limfosit T
menyebabkan interaksi antara reseptor spesifik pada permukaan sel T
dengan antigen membran sel target yang mencetuskan induksi kerusakan
membran yang bersifat lethal. Peningkatan kadar cyclic Adenosine
Monophosphate (cAMP) dalam sel T dapat menghambat sitotoksisitas dan
efek inhibisi Prostaglandin (PG) E 1 dan PGE2 terhadap sitotoksisitas
mungkin diperantarai cAMP. Mekanisme penghancuran sel tumor yang
pasti masih belum diketahui walaupun pengrusakan membran sel target
dengan hilangnya integritas osmotik merupakan peristiwa akhir. Pelepasan
Limfotoksin (LT), interaksi membran-membran langsung dan aktifitas T cell
associated enzyme seperti phospholipase diperkirakan merupakan
penyebab rusaknya membran. Interleukin (IL), interferon (IFN) dan sel T
mengaktifkan pul asel Natural Killer (NK). Sel ini berbentuk large
granulocytic lymphocyte (LGL). Kebanyakan sel ini mengandung reseptor
Fc dan banyak yang mengekspresikan antigen sel T. Lisis sel target dapat
terjadi tanpa paparan pendahuluan dan target dapat dibunuh langsung. Sel
NK menunjukkan beberapa spesifisitas yang lebih luas terhadap target
tumor yang biasanya dibunuh lebih cepat dibanding sel normal. Kematian
sel tumor dapat sebagai akibat paparan terhadap toxin yang terdapat
dalam granula LGL, produksi superoksida atau aktivitas protease serine
pada permukaan sel efektor. Sel NK diaktivasi IFN dan II-2 in vitro.
Aktivitas NK dapat dirangsang secara in vitro dengan pemberian IFN,
inducer atau imunostimulan seperti Bacille Calmette Guerin (BCG) dan
Corynebacterium (C) parvum. Penghambatan aktivasi sel NK terlihat pada
beberapa PG (PGE1, PGE2, PGA1 dan PGA2), phorbol ester,
glukokortikoid dan siklofosfamid. Pada banyak kasus, agen ini langsung
mempengaruhi aktivitas NK, sel supresor juga dapat mempengaruhi sel
NK. Sel NC (Natural Cytotoxic) juga teridentifikasi menghancurkan sel
tumor. Berbeda dengan sel NK, sel NC kelihatannya distimulasi oleh IL-3
dan relatif tahan terhadap glukokortikoid dan siklofosfamid. Populasi LAK
(lymphocyte activated killer) cell dapat tumbuh di bawah pengaruh IL-2.
b) Sitotoksisitas melalui makrofag
Makrofag yang teraktivasi berikatan dengan sel neoplastik lebih cepat
dibanding dengan sel normal. Pengikatan khusus makrofag yang
teraktivasi ke membran sel tumor adalah melalui struktur yang sensitif
terhadap tripsin. Pengikatan akan bertambah kuat dan erat dalam 1
sampai 3 jam dan ikatan ini akan mematikan sel. Sekali pengikatan terjadi,
mekanisme sitotoksisitas melalui makrofag berlanjut dengan transfer enzim
lisosim, superoksida, protease, faktor sitotoksis yang resisten terhadap
inhibitor protease dan yang menyerupai LT.Sekali teraktivasi, makrofag
dapat menghasilkan PG yang dapat membatasi aktivasinya sendiri.
Makrofag yang teraktivasi dapat menekan proliferasi limfosit, aktivitas NK
dan produksi mediator. Aktivasi supresi dapat berhubungan dengan
pelepasan PG atau produksi superoksida. Sebagai tambahan, makrofag
dapat merangsang dan juga menghambat pertumbuhan sel tumor, yang
bergantung dengan bagian yang rentan dari sel tumor, ratio makrofag
dengan sel target dan status fungsional makrofag. Indometasin dapat
menghambat efek perangsangan makrofag pada pertumbuhan tumor
ovarium yang diperkirakan prostaglandin mungkin berperan sebagai
mediatornya. Macrophage derived factor dapat merangsang pertumbuhan
tumor dan menekan imunitas sel T. Akumulasi makrofag dalam tumor
mungkin menggambarkan interaksi makrofag kompleks dari beberapa
faktor dan juga kinetik produksi monosit oleh sumsum tulang. Jadi status
fungsional makrofag dalam tumor juga berperan selain jumlahnya.
Makrofag bila diaktifkan oleh limfokin, endotoksin, RNA dan IFN akan
menunjukkan aktivasi berupa adanya perubahan morfologik, biokimiawi
dan fungsi sel. Makrofag yang diaktifkan biasanya menjadi sitotoksik
nonspesifik terhadap sel tumor in vitro. Makrofag dapat pula berfungsi
sebagai efektor pada ADCC terhadap tumor. Di samping itu makrofag
dapat menimbulkan efek negatif berupa supresi yang disebut makrofag
supresor. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tumor itu sendiri atau akibat
pengobatan.
8. Pencegahan dan upaya penghentian yang dapat dilakukan
Terapi Henti Merokok
Tujuan terapi henti merokok adalah mengusahakan agar supaya perokok aktif
berhenti merokok saat ini juga, bagi yang belum meroko dan bekas perokok tidak
merokok agar supaya paparan asap rokok pada individu perokok aktif maupun
perokok pasif tidak terjadi lagi. Tujuan lanjut adalah membuat agar supaya asap rokok
tidak menjadi polutan udara napas tiap-tiap individu untuk menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas PPOK dan penyakit-penyakit lain akibat merokok.
Terapi henti merokok terdiri atas tiga tahapan :persiapan, intervensi, dan
mempertahankan (maintenance). Tahap persiapan bertujuan untuk meningkatkan
motivasi perokok-peroko agar dapat mencapai keberhasilan berhenti merokok. Tahap
intervensi yaitu melakukan eberapa usaha (atau kombinasi usaha) untuk membantu
perokok agar dapat berhenti merokok. Tahap mempertahankan tetap berhenti
merokok, meliputi dukungan berbagai pihak, adanya undang-undang atau peraturan
pelindung, misalnya peraturan untuk tidak merokok di tempat umum, dan contoh tidak
merokok atau menjadi panutan untuk tidak merokok. Tahap terakhir amat penting
untuk bisa behenti merokok permanen.
Dalam kepustakaan dijelaskan ada berbagai metode berhenti merokok, yang dapa
dilaksanakan oleh diri sendiri (perokok), organisasi sukarela, organisasi formal, klinik
berhenti merokok dan sebagainya, yang telah banyak dilakukan di luar negeri. Di
Indonesia terapi henti rokok masih terbatas dan dilakukan atas inisiatif perokok
sendiri.
Beberapa metode terapi henti rokok:
Pengobatan mandiri (self-care). Perokok tentunya sudah ada keinginan untuk
berhenti merokok, atas inisiatif sendiriatas hasil motivasi lingkungannya. Pihak lain
hanya membantu dengan alat-alat bantu aar perokok berhenti merokok. Alat bantu
tadi misalnya: Sistem filter rokok, kit henti merokok, audiotapes, video dan program
computer untuk diikuti perokok dan sebagainya.
Metode klinik dan kelompok. Ini merupakan metode henti merokok secara
formal, dilaksana oleh unit-unit tertentu, ada yang dasarya sukarela, dan ada yang
melakukannya dengan program komersial. Peserta umumnya terdiri atas kelompok-
kelompok dan menjalani program henti merokok berdasarkan nprogram yang telah
disiapkan dengan baik. Suatu contoh, di Amerika Serikat , ACS helping smoker quit
clinic, merupakan klinik henti merokok menerapkan pendeatan adukasional
terstandardisasi dengan pemandu henti merokok khusus, petunjuk tercetak, film dan
presentant terlatih sukarea.
Metode Medikasi (pengobatan). Disini obat-obatan diperlukan untuk membantu
perokok berhenti merokok dan mengatasi akibat merokok, Misalnya pengunaan obat
Lobelin untuk henti merokok disertai dengan program edukasi atau kerjasama dengan
klinik henti merokok tertentu. Lobelin adalah obat untuk substitusi nikotin dalam
bentuk tablet, lozenges, permen atau injeksi. Pada metode ini yan terkenal adala
nicotine replacement therapy. Terapi ini dipakai untuk mengatasi sementara akibat
dari henti merokok (efek psikologis dan keterantngan nikotin). Contoh, Nicotine
polacrilex gum, obat berisi 2 mg nikotin yang dapat mengeluarkannikotin bertahap
(show release of nicotine). Pengunaannya hanya dalam waktu 3 bulan. Bentuk obat
lain yang mengeluarkan nikotin adalah : bentuk plester (pemberian transdermal),
nikotin hirup, nasal nicotine solution, dan sebagainya. Hendaknya pengguanaan
nikotin ini atas petunjuk dokter erhubungan adanya indikasi ataupu keterbatasan
(indikasi kontra). Terapi henti rokok dapat juga dengan menggunakan obat yang
bernama Varenicline. Varenicline adalah obat tidak bernikotin pertama yang secara
khusus diciptakan untuk berhenti merokok. Obat ini bekerja sebagai reseptor yang
dapat mengurangi gejala kecanduan. Varenicline memiliki cara kerja yang unik
dengan menghalangi nikotin yang menempel pada otak. Varenicline juga mampu
mengurangi rasa nikmat yang ditimbulkan oleh rokok jika seorang pasien merokok
kembali. Terapi ini dilakukan melalui beberapa tahap yaitu; untuk tahap awal, pasien
diberikan dosis awal Varenicline sebanyak 0,5 mg selama beberapa hari. Setelah itu
dilanjutkan dengan 1 mg Varenicline hingga dosis tetap Varenicline yang harus
diminum dua kali sehari.
Metode perilaku merokok. Terapi modifikasi perilaku merokok untuk
menghentikan merokok dengan mengubah perilaku merokok, yang dapat dilakukan
oleh peroko sendiri (self-management technique). Contoh, misalnya perokok
mengkonsumsi rokok dengan kandungan nikotin dikurangi bertahap : 30%, 60% dan
90% dalam jangka waktu 3 minggu, kemudian berhenti tidak merokok. Hasilnya kurng
memuaskan.
Nasehat oleh dokter. perokok diharapkan berhnti merokok dengan bantuan
nasehat dokter, yaitu terhadap perokok-perokok yang kebetulan menjadi pasiennya.
Dalam hal ini dokter selain mempunyai kemampuan juga motivasi untuk
mempengaruhi, mendidik pasiennya sehingga mau berhenti merokok. Selain itu,
perawat, dokter gigi, farmasis, atau respiratory therapist juga dianggap mempunyai
kemampuan membantu pasiennya untuk berhenti merokok.
Metode program mass media dan komunitas. Ini merupakan cara yang penting
untuk motivasi sejumlah besar perokok untuk berhenti meokok dengan bantuan radio
dan televise, ataupun Koran. Anjuran bagi perokok dapat ditampilkan pada media
tersebut. Program komunitas untuk mengajak para perokok untuk tidak atau berhenti
merokok misalnya dilakukan dengan kampanye anti merokok, membuat larangan
merokok di tempat umum dan kalau dilanggar terkena denda dan sebagainya.