Post on 22-Dec-2015
description
LAPORAN KASUS
Selulitis Cruris Bilateral
PEMBIMBING :
dr. I Wayan Hendrawan M.Biomed, Sp. KK
Qamara Kalehismaningrat
H1A 009 046
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN/ SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2015
SELULITIS CRURIS BILATERAL
LAPORAN KASUS
Qamara Kalehismaningrat
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram – Rumah Sakit Umum Provinsi NTB
PENDAHULUAN
Selulitis adalah suatu kelainan kulit berupa infiltrat yang difus di daerah subkutan
dengan tanda – tanda radang akut 1. Keadaan ini biasanya diawali oleh adanya portal of the
entry yang berupa luka terbuka pada kulit yang bisa disebabkan karena: ulcus pressure,
gigitan serangga atau binatang, luka bedah, ulkus diabetikum, tinea pedis 2.
Selulitis bisa terjadi pada semua usia, namun lebih sering ditemukan pada anak-anak
dan orang tua. Banyak terdapat pada daerah tropis dan beriklim panas. Pada individu dengan
higienitas buruk, lingkungan berdebu dan kotor lebih berpotensi terjadi selulitis. Penyebab
utamanya ialah Staphylococcus aureus dan Streptococcus B hemolyticus, sedangkan
Staphylococcus epidermidis merupakan penghuni normal di kulit dan jarang menyerang
infeksi 3.
Selulitis sering di inisiasi dengan adanya portal of entry berupa ulkus, luka bedah,
gigitan binatang, tinea pedis dan lainnya. Adanya hal tersebut menjadikan bakteri masuk ke
jaringan kulit 4.
Manifestasi klinis selulitis menyebabkan kemerahan atau peradangan yang
terlokalisasi. Kulit tampak merah diffus, bengkak, disertai nyeri tekan dan teraba hangat.
Bisa disertai memar dan lepuhan-lepuhan kecil. Selulitis juga sering disertai adanya gejala
sistemik berupa demam, malaise, dan menggigil 4.
2
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S.
Umur : 43 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Pagesangan
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Waktu pemeriksaan : 12 Februari 2015
Nomor RM : 109062
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Nyeri dan bengkak pada kaki
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUP NTB dengan keluhan nyeri dan bengkak pada kedua kaki
sejak 2 minggu yang lalu SMRS. Nyeri yang dirasakan terus menerus dan semakin
nyeri hingga pasien susah untuk berjalan sehingga pasien dibawa ke rumah sakit.
Nyeri dirasakan berkurang jika pasien posisi tertidur. Bengkak pada kaki pasien
didahului pada kaki kirinya, setelah 2 hari baru muncul bengkak pada kaki
kanannya. Keluhan nyeri dan bengkak ini dirasakan secara tiba- tiba oleh pasien.
Pasien mengatakan tidak pernah terluka sebelumnya pada kedua kakinya. Selain itu,
pada kedua kaki pasien muncul berwarna merah yang menyebar dan kaki teraba
lebih hangat dibandingkan bagian lain. Keluhan pada kaki pasien juga disertai
dengan adanya demam, demam dirasakan terus menerus, namun saat ini demam
sudah tidak dikeluhkan oleh pasien. Mual dan muntah tidak dikeluhkan pasien, nafsu
makan menurun juga tidak dikeluhkan oleh pasien.
3
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan serupa tidak pernah dirasakan sebelumnya oleh pasien, luka pada kaki (-),
Pasien sebelum muncul keluhan dikakinya juga mengalami peradangan pada
payudara kirinya sejak 1 bulan yang lalu dan sudah pernah dibawa ke poli bedah,
saat ini luka pada payudara masih terbuka dan kadang masih mengeluarkan cairan
berwarna agak kekuningan. DM (-), HT (-), Asma (-).
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga maupun orang yang tinggal bersama pasien tidak ada yang mengalami
keluhan serupa, Asma (-), HT (-), DM (-), Alergi (-).
e. Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat atau makanan disangkal
f. Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat untuk keluhan kakinya tersebut, namun pasien sudah
mengobati sendiri dengan menggunakan kangkung yang ditumbuk, pasien merasa
nyeri agak berkurang jika menggunakan kangkung yang ditumbuk tersebut.
g. Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien saat ini merupakan seorang ibu rumah tangga dan jarang keluar rumah.
III. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalis
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : CM
GCS : E4V5M6
Vital sign :
- TD : 110/70 mmHg
- Nadi : 86 x / menit
- RR : 19 x / menit
4
- Temperatur : 37,0 oC.
Kepala – Leher :
- Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
- Telinga : sekret -/-
- Hidung : sekret -/-, darah -/-
- Mulut : mukosa bibir lembab (+)
- Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax
- Inspeksi : bentuk dada simetris kanan dan kiri
- Auskultasi
Pulmo : vesikuler +/+, wheezing -/-, ronki -/-
Cor : S1, S2 tunggal regular (-), murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : massa (-)
- Auskultasi : bising usus (+), normal
- Pembesaran KGB : (-)
Ekstremitas atas : akral hangat (+), edema (-)
Ekstremitas bawah : akral hangat (+), edema (+)
b. Status Dermatologis
Lokasi : Regio cruris dextra et sinistra
Effloresensi : Terdapat macula eritema, diffus, batas tidak tegas, jumlah multipel,
ukuran macula yang terkecil ±2x3,5 cm dan terbesar ±5x7 cm, teraba
hangat, nyeri tekan, dan udem, distribusi bilateral.
.
5
6
Gambar Kaki kiri pasien, A : perawatan tanggal 9-02-2015, B : perawatan tanggal 12-02-2015
Gambar Kaki kanan pasien, A : perawatan tanggal 9-02-2015, B : perawatan tanggal 12-02-2015
A
B
B
A
DIAGNOSA BANDING
Selulitis
Erisipelas
Dermatitis kontak alergi akut
Dermatitis stasis
Tromboplebitis/Deep Vein Thrombosis (DVT)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan Laboratorium
Parameter Tanggal 07/02/15 Tanggal 14/02/15 Nilai Rujukan
HGB 11,7 g/dl 10,5 g/dl 11,5 – 16,5 g/dL
RBC 4,67 10^6/uL 3,92 10^6/uL 4,0 – 5,0 x 106 /µL
HCT 36,9 % 34,3% 37,0 – 45,0 %
MCV 79,0 fL 80,7 Fl 82,0 – 92,0 fl
MCH 25,1 pg 24,7 pg 27,0 – 31,0 pg
MCHC 31,7 g/dl 30,6 g/dl 32,0 – 37,0 g/dL
WBC 15,25 10^3/uL 12,95 10^3/uL 4,0 – 11,0 x 103 /µL
PLT 440 10^3/uL 448 10^3.uL 150 – 400 x 103 /µL
GDS 156 mgl/dl - <160 mgl/dl
Kreatinin 0,6 mgl/dl - 0,6-1,1 mgl/dl
Ureum 21 mgl/dl - 10-15 mgl/dl
SGOT 36 mgl/dl - <40 mgl/dl
SGPT 45 mgl/dl - <41 mgl/dl
V. DIAGNOSIS KERJA
Selulitis Cruris Dextra et Sinistra
VII.TATALAKSANA
Planning Diagnosis
Pemeriksaan Gram dan kultur
Planning Terapi
7
Farmakologi
IVFD RL 20 tpm
Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam
Inj. Antrain 1 ampl/ 12 jam
Non farmakologis (KIE)
Elevasi kedua tungkai 15 derajat dengan menggunakan bantal
Menjaga higienitas kulit
VIII. PROGNOSIS
Qua ad Vitam: bonam
Qua ad Sanationam: bonam
Qua ad functionam : bonam
Qua ad Kosmetikam: bonam
8
PEMBAHASAN
Selulitis adalah suatu kelainan kulit berupa infiltrat yang difus di daerah subkutan
dengan tanda – tanda radang akut infeksi bakteri akut pada dermis dan jaringan subkutan1.
Selulitis bisa terjadi pada semua usia, namun lebih sering ditemukan pada anak-anak dan
orang tua. Banyak terdapat pada daerah tropis dan beriklim panas. Pada individu dengan
higienitas buruk, lingkungan berdebu dan kotor lebih berpotensi terjadi selulitis 3. Hal ini,
sesuai dengan keadaan pasien yang tinggal di daerah di mataram yang merupakan daerah
tropis, namun belum diketahui apakah pasien tinggal di lingkungan yang higienitasnya buruk
atau tidak.
Pada pasien terjadi selulitis pada kedua ekstremitas bagian bawah. telah dilaporkan
adanya peningkatan kasus selulitis sebesar 88% dari tahun 1997 hingga 2005 di Amerika
Serikat. Kejadian terbanyak selulitis pada ekstremitas inferior terjadi pada 71,56% kasus,
12,19% pada ekstremitas superior, 13,08% pada daerah kepala-leher, dan 3,12% pada daerah
badan 6. Kejadian terbanyak yang dilaporkan pada ekstremitas inferior berkaitan dengan
pengaruh gravitasi dimana, terjadi aliran balik darah yang lambat sehingga lebih mudah
terjadinya infeksi oleh bakteri yang ikut dengan darah. Selain itu, pada orang dewasa paling
sering di ekstremitas karena berhubungan dengan riwayat seringnya trauma di ekstremitas.
Dalam keadaan normal, di permukaan kulit terdapat beberapa jenis bakteri yang
umum disebut flora normal. Kulit yang intak merupakan pertahanan agar bakteri flora normal
tersebut tidak masuk dalam tubuh dan menyebabkan infeksi. Pada kulit yang luka,
merupakan penyebabkan masuknya mikroorganisme sehingga menyebabkan infeksi pada
dermis dan subkutan. Beberapa hal yang dapat menjadi portal of entry dari selulitis ini adalah
adanya luka karena pembedahan, tato, gigitan serangga atau binatang, ulkus, eksema, luka
bakar, dan tinea pedis. Adanya trauma pada tubuh, diabetes, kelainan vena, imunosupresi,
dan limfoedema juga merupakan faktor predisposisi terjadinya selulitis2,4,5,7. Pada pasien ini,
tidak mengalami luka pada daerah kakinya ataupun mempunyai riwayat luka sebelum
mengalami keluhannya. Namun, pasien memiliki riwayat luka pada payudara kirinya akibat
pembedahan yang dilakukan beberapa minggu yang lalu sebelum muncul keluhan pada
9
kakinya. Hal ini, bisa menjadi presdiposisi terjadinya keluhan pada kaki pasien yang
merupakan sumber infeksi.
Penyebab selulitis paling sering pada orang dewasa adalah Staphylococcus aureus
dan Streptokokus beta hemolitikus grup A sedangkan penyebab selulitis pada anak adalah
Haemophilus influenza tipe b (Hib), Streptokokus beta hemolitikus grup A, dan
Staphylococcus aureus. Streptococcuss beta hemolitikus group B adalah penyebab yang
jarang pada selulitis. Selulitis pada orang dewasa imunokompeten banyak disebabkan oleh
Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus sedangkan pada ulkus diabetikum dan
ulkus dekubitus biasanya disebabkan oleh organisme campuran antara kokus gram positif
dan gram negatif aerob maupun anaerob. Bakteri mencapai dermis melalui jalur eksternal
maupun hematogen. Pada imunokompeten perlu ada kerusakan barrier kulit, sedangkan pada
imunokopromais lebih sering melalui aliran darah 4,7.
Bakteri patogen yang menembus lapisan luar menimbulkan infeksi pada permukaan
kulit atau menimbulkan peradangan. Gambaran klinis eritema lokal pada kulit dan sistem
vena serta limfatik pada ekstremitas atas dan bawah. Pada pemeriksaan ditemukan
kemerahan yang karakteristik hangat, nyeri tekan, demam dan bakterimia. Setelah menembus
lapisan luar kulit, infeksi akan menyebar ke jaringan-jaringan dan menghancurkannya,
10
hyaluronidase memecah substansi polisakarida, fibrinolysin mencerna barrier fibrin, dan
lecithinase menghancurkan membran sel 4,11. Secara umum, patofisilogi selulitis dapat
dijelaskan dengan bagan berikut:
Bakteri patogen (streptokokus piogenes, streptokokus grup A, stapilokokus aureus)
Menyerang kulit dan jaringan subkutan
Meluas ke jaringan yang lebih dalam
Menyebar secara sistemik
Terjadi peradangan akut
Eritema lokal pada kulit
Edema kemerahan
Lesi
Nyeri tekan
Kerusakan integritas kulit
Gangguan rasa nyaman dan nyeri
Selulitis yang tidak berkomplikasi paling sering disebabkan oleh streptokokus grup A,
streptokokus lain atau staphilokokus aereus, kecuali jika luka yang terkait berkembang
bakterimia, etiologi mikrobial yang pasti sulit ditentukan, untuk abses lokalisata yang
mempunyai gejala sebagai lesi kultur pus atau bahan yang diaspirasi diperlukan. Meskipun
etiologi abses ini biasanya adalah stapilokokus, abses ini kadang disebabkan oleh campuran
bakteri aerob dan anaerob yang lebih kompleks. Bau busuk dan pewarnaan gram pus
menunjukkan adanya organisme campuran.
Ulkus kulit yang tidak nyeri sering terjadi. Lesi ini dangkal dan berindurasi dan dapat
mengalami infeksi. Etiologinya tidak jelas, tetapi mungkin merupakan hasil perubahan
peradangan benda asing, nekrosis dan infeksi derajat rendah 4,11.
11
Diagnosis selulitis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis.
Selulitis menyebabkan kemerahan atau peradangan yang terlokalisasi. Kulit tampak merah
diffus, bengkak, disertai nyeri tekan dan teraba hangat. Bisa disertai memar dan lepuhan-
lepuhan kecil. Selulitis juga sering disertai adanya gejala sistemik berupa demam, malaise,
dan menggigil, dapat disertai limfangitis dan limfadenitis. Berbeda dengan erisipelas,
selulitis memberikan kesan klinis berupa kemerahan pada kulit yang difus sedangkan pada
erisipelas kemerahan berbatas tegas1,2,4,7. Berdasarkan anamesis dan pemeriksaan fisik pada
pasien sudah dapat ditegakkan pasien mengalami selulitis. Pada anamnesis dikeluhkan pasien
nyeri, bengkak, dan warna kemerahan pada kedua kakinya dan pada pemeriksaan fisik
terdapat macula eritema, diffus, batas tidak tegas, tepi ireguler, jumlah multipel, ukuran
macula yang terkecil ±2x3,5 cm dan terbesar ±5x7 cm, teraba hangat, nyeri tekan, dan udem,
distribusi bilateral pada kedua kaki pasien. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
peningkatan leukosit yang menunjukkan adanya tanda terjadinya infeksi pada pasien.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut 4,5,9:
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat diketahui adanya kelainan yang berkaitan dengan
selulitis. Peningkatan leukosit menunjukkan adanya infeksi oleh mikroorganisme.
Peningkatan kadar kreatinin serum dimungkinkan karena adanya infeksi Streptokokus
grup A, mionekrosis klostridial, atau karena toxic syock syndrome. Kadar glukosa darah
yang tinggi bisa menunjukkan adanya penyakit pencetus yaitu diabetes mellitus.
Kultur dan uji sensitivitas
Kultur bertujuaan untuk melihat bakteri penyebab infeksi dan terapi yang tepat sesuai uji
sensitivitas. Kultur dapat diambil dari swab luka atau aspirasi.
Radiologi
Pemeriksaan radiologis tidak diperlukan dalam kebanyakan kasus selulitis. Ketika sulit
untuk membedakan selulitis dari necrotizing fasciitis, Magnetic Resonance Imaging
(MRI) dapat membantu. Pada necrotizing fasciitis akan didapati inflamasi hingga ke
fascia yang ditunjukkan dengan adanya penumpukan cairan dan adanya penebalan,
gambaran tersebut tidak didapati pada selulitis. USG dan CT-scan tidak dapat
membedakan necrotizing fasciitis dari selulitis, tetapi USG dapat membantu dalam
12
mendeteksi akumulasi pus pada subkutan sebagai komplikasi selulitis dan dapat
membantu dalam melalukan aspirasi.
Diagosis banding dari sellulitis ini diantaranya1,4,7 :
Erisipelas
Erisipelas adalah penyakit akut yang ditandai dengan eritema berwarna merah cerah
dan berbatas tegas disertai gejala konstitusi seperti demam, malaisse, dan
pembengkakan. Lapisan kulit yang diserang adalah epidermis dan dermis. Erisipelas
adalah bentuk selulitis superfisialis.
Dermatitis kontak alergi akut
Pada dermatitis kontak alergi akut biasanya didapati rasa gatal, namun tidak didapati
rasa nyeri pada area yang terkena. Biasanya terjadi tidak hanya pada satu area saja.
Dermatitis statis
Dermatitis stasis biasanya kronis dan terjadi bilateral pada ektremitas inferior,
gejalanya lesi berwarna merah atau coklat bilateral, kronik, pitting edema tidak nyeri.
Pada dermatitis statis terjadi patogenesis insufisiensi vena
kronisedemaekstravasasi eritrositoksigenasi jaringan berkurangperubahan
mikrovaskular dan mikrotrombus,
Tromboplebitis/Deep Vein Thrombosis (DVT)
Manifestasi berupa betis yang nyeri, eritem, biasanya tidak disertai dengan demam,
pada pemeriksaan USG didapati vena yang abnormal.
Penatalakasaan selulitis secara sistemik dapat diberikan penisilin dosis tinggi untuk
selulitis karena streptokokus dapat diberikan Penisilin dosis tinggi 1,2-2,4 juta unit selama
14-21 hari, Eritromisin 4x1gram selama 14-21 hari. Antibiotik spektrum luas seperti
golongan sefalosporin dan golongan amoksisilin 4 kali sehari selama 5-7 hari. Pada selulitis
karena H. Influenza diberikan Ampicilin untuk anak (3 bulan sampai 12 tahun) 100-200
mg/kg/d (150-300 mg), >12 tahun seperti dosis dewasa. Pada selulitis yang ternyata
penyebabnya bukan staphylococcus aureus penghasil penisilinase (non SAPP) dapat diberi
penisilin. Pada yang alergi terhadap penisilin, sebagai alternatif digunakan eritromisin
(dewasa: 250-500 gram peroral; anak-anak: 30-50 mg/kgbb/hari) tiap 6 jam selama 10 hari.
Dapat juga digunakan klindamisin (dewasa 300-450 mg/hari PO; anak-anak 16-20
13
mg/kgbb/hari). Pada yang penyebabnya SAPP selain eritromisin dan klindamisin, juga dapat
diberikan dikloksasilin 500 mg/hari secara oral selama 7-10 hari. Terapi kombinasi antara
antibiotik dengan anti-inflamasi memberikan perbaikan yang lebih cepat dibanding dengan
terapi menggunakan antibiotik saja. Diuretik juga dapat diberikan jika ada edema yang
berlebih. Pada pengobatan topical dapat diberikan kompres dengan antiseptic seperti
providon yodium 5-10%. Selain itu dapat dilakukan meninggikan dan mengistirahatkan
ekstremitas yang mengalami keluhan untuk mengurangi edema dan nyeri 1,3,4,9,11. Pada pasien
diberikan antibiotic golongan sefalospori yaitu cefadroxil. Pada pasien belum dilakukan
kultur jadi diberikan antibiotic yang memiliki spectrum luas. Selain itu juga pada pasien
diberikan obat analgetik karena pasien mengeluh sangat nyeri sekali, pasien diberikan obat
antrain yang kandungannya adalah Na Metamizole. Selain itu pada pasien dilakukan untuk
meninggikan dan mengistirahatkan ekstremitas yang mengalami keluhan untuk mengurangi
edema dan nyeri.
Prognosis bergantung pada kecepatan penanganan dan kemungkinan komplikasi yang
dapat terjadi. Dapat juga terjadi penyebaran melalui system limfatik dan aliran darah jika
tidak ditatalaksanakan dengan cepat. Pasien yang lebih tua mungkin bisa berkomplikasi
terjadinya tromboflebitis. Pada pasien yang terjadi edema kronik penyembuhannya dapat
lebih lambat 4. Pada pasien ini prognosis Quo ad vitam adalah bonam karena penyakit ini
tidak mengancam jiwa, sebab dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda
komplikasi. Prognosis Quo ad sanationam adalah bonam karena dengan perawatan yang teliti
dan memperhatikan higiene memberi prognosis yang baik. Prognosis Quo ad functionam
adalah bonam karena fungsi bagian tubuh yang terkena tidak terganggu setelah dilakukan
pengobatan selama 9 hari, pasien dapat berjalan tanpa rasa nyeri. Prognosis Qua ad
Kosmetikam adalah bonam karena pada pasien tidak terjadi komplikasi pada kulit yang
menyebabkan kosmetik buruk, pembengkakan dan warna merah pada kedua kaki dapat
hilang tanpa meninggalkan bekas.
KESIMPULAN
14
Selulitis adalah suatu kelainan kulit berupa infiltrat yang difus di daerah subkutan
dengan tanda – tanda radang akut. Dilaporkan satu kasus selulitis cruris pada wanita berusia
43 tahun yang diagnosisnya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dikeluhkan pasien nyeri, bengkak, dan warna
kemerahan pada kedua kakinya dan pada pemeriksaan fisik terdapat macula eritema, diffus,
batas tidak tegas, tepi ireguler, jumlah multipel, ukuran macula yang terkecil ±2x3,5 cm dan
terbesar ±5x7 cm, teraba hangat, nyeri tekan, dan udem, distribusi bilateral pada kedua kaki
pasien. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan leukosit. Berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang ini pasien dapat didiagnosa menderita selulitis
cruris.
Pasien dirawat di RSUP NTB selama 9 hari dan mendapatkan terapi medikamentosa
dan non medikamentosa berupa IVFD RL 20 tpm, Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam, Inj. Antrain 1
ampl/ 12 jam, elevasi kedua tungkai 15 derajat dengan menggunakan bantal, penjagaan
higienitas kulit. Pada pasien perlu dilakukan rawat inap karena keadaan umum pasien saat
datang yang tidak baik serta untuk mencegah agar tidak terjadinya komplikasi lebih lanjut
seperti sepsis.
Pada pasien ini prognosis Quo ad vitam adalah bonam, Prognosis Quo ad sanationam
adalah bonam, Prognosis Quo ad functionam adalah bonam, Prognosis Qua ad Kosmetikam
adalah bonam.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. William DJ, et al. 2011. Andrews’ Diseases of the Skin - Clinical Dermatology.
British: Saunders Elsevier
3. Siregar R.S. 2005. Atlas Berwarna SARIPATI PENYAKIT KULIT. Palembang:
EGC.
4. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7thed. 2008. New York: Mc Graw Hill
5. Phoenix, G., Das, S., & Joshi, M. 2012. Diagnosis and management of cellulitis.
BMJ, 345(7869), 38-42.
6. Hadzovic-Cengic, M., Sejtarija-Memisevic, A., Koluder-Cimic, N., Lukovac, E.,
Mehanic, S., Hadzic, A., & Hasimbegovic-Ibrahimovic, S. 2012. Cellulitis–
Epidemiological and Clinical Characteristics. Med Arh, 66(3 suppl 1), 51-53.
7. Concheiro J, Loureiro M, González-Vilas D, et al. 2009. Erysipelas and cellulitis:
a retrospective study of 122 cases. 100(10): 888-94
8. Herchline TE. 2011. Cellulitis. Wright State University, Ohio, United State of
America.
9. Thomas, K. S., et al. 2013. Penicillin to prevent recurrent leg cellulitis. New England
Journal of Medicine, 368(18), 1695-1703.
10. Eron, L. J. 2009. Cellulitis and soft-tissue infections. Annals of Internal Medicine,
150(1), ITC1-1.
11. Swartz, M. N. 2004. Cellulitis. New England Journal of Medicine, 350(9), 904-912.
16