Post on 13-Aug-2015
description
LAPORAN KASUS
CONGENITAL ERYTHROPOIETIC PORPHYRIA
Oleh :
VIVIA SUSTRIANA
NIM : 07.06.0035
Pembimbing :
dr. Yunita Hapsari, Sp.KK
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DI BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
RSUP NTB MATARAM
2013
Congenital Erythropoietic Porphyria
Laporan Kasus
Vivia Sustriana
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
FK UNIZAR/RSUP NTB
PENDAHULUAN
Porphyria adalah kelompok heterogen gangguan metabolisme yang timbul dari
defek dalam jalur biosintesis heme. Setiap porfiria ditandai dengan kekurangan enzim
parsial spesifik (gambar 1). Hal ini menyebabkan pola sintesis porfirin berubah dan
prekursor mereka, yang menumpuk dan berhubungan dengan manifestasi klinis.
Mayoritas haem tubuh diproduksi dalam sel erythroid dan liver. Tingkat sintesis
intermediate di jalur pertama, 5-aminolaevulinic acid (ALA), adalah penting dalam
mengendalikan pembentukan haem. Dalam hati, sintesis ALA oleh ALA sintase
meningkat dengan meningkatnya kebutuhan haem dan, pada gilirannya, ditekan oleh
haem. Pengendalian sintesis haem di sel erythroid lebih kompleks dan ALA sintase
tidak ditekan oleh haem. Secara klinis porfiria dapat muncul dengan gejala
neurovisceral akut, lesi kulit atau keduanya, tergantung pada kekurangan enzim
tertentu.4
Porphyria adalah suatu kelainan pada proses biosintesis heme, bagian dari
hemoglobin, komponen sel darah merah yang berfungsi mengikat oksigen dan
mengalirkannya ke seluruh tubuh. Pada penderita porphyria, terjadi peningkatan
ekskresi porphyrin, enzim yang berperan dalam sintesis heme. Penumpukan porphyrin
dalam jaringan tubuh menyebabkan urin berwarna merah keunguan, kulit sangat sensitif
terhadap sinar matahari, dan dalam beberapa kasus penderitanya mengalami anemia
parah.1
Porfiria adalah gangguan yang mengakibatkan penumpukan zat kimia yang
disebut porfirin dalam tubuh. Porfirin sebenarnya bahan kimia tubuh yang normal,
namun tidak normal jika jumlahnya bertambah banyak. 2
Frekuensi dari defek genetik yang menyebabkan porfiria tidak diketahui. Studi
surveillance ditujukan untuk keluarga dengan gejala mungkin bias prevalensi defek
genetik. Insiden yang tercantum dalam Tabel di bawah ini mengurangi bias surveilans.5
Prevalensi porfiria. Porphyria cutanea tarda: 10 kasus per 100.000 penduduk,
termasuk kedua jenis warisan dan sporadic. Akut intermiten porfiria, protoporphyria
erythropoietic, porfiria variegate: 1-10 kasus per 100.000 penduduk. Coproporphyria
Hereditary : < 1 kasus per 100.000 penduduk. defek asam Delta-aminolevulinic
dehidratase porfiria, congenital erythropoietic porfiria: sangat jarang. 6
Demografi. Berdasarkan usia; congenital erythropoietic porphyria : anak usia
dini. Erythropoietic protoporphyria: anak yang lebih tua. Akut intermiten porfiria,
variegate porfiria, coproporphyria herediter, deisiensi asam delta-aminolevulinic
porfiria dehidratase: dewasa muda. Porphyria cutanea tarda: biasanya setelah dekade
keempat. Berdasarkan jenis kelamin; protoporphyria erythropoietic, congenital porfiria
erythropoietic : pria dan wanita sama-sama terpengaruh. Porphyria cutanea tarda:
umumnya lebih sering terjadi pada laki-laki, namun, insiden perempuan meningkat
dalam hubungan dengan kontrasepsi oral dan penggunaan alcohol. Porfiria intermiten
akut, variegate porfiria, coproporphyria herediter, defek asam delta-aminolevulinic
porfiria dehidratase: lebih umum pada wanita. Berdasarkan ras; lebih umum di
Kaukasia dari pada Afrika-Amerika atau Asia. Berdasarkan genetic; ketujuh porfiria
membentuk kelompok gangguan metabolik bawaan, dengan yang paling umum porfiria
kutanea tarda. Mayoritas (80%) dari pasien memiliki bentuk (tipe 1) sporadis porfiria
cutanea tarda, di mana defek UROD dibatasi untuk hati. Familial (tipe 2) porfiria
cutanea tarda menyumbang sekitar 20%, dan dapat dibedakan dari kasus sporadis
dengan mengukur aktivitas UROD eritrosit atau dengan analisis molekuler dari gen
UROD. Empat porfiria tambahan (porfiria intermiten akut, porfiria variegate,
coproporphyria herediter, dan protoporphyria erythropoietic) terutama diwariskan
secara autosomal dominan, meskipun pola yang lebih kompleks warisan terlihat di
beberapa keluarga. Kedua porfiria resesif autosomal, congenital porfiria erythropoietic
dan defisiensi asam delta-aminolevulinic porfiria dehidratase, sangat jarang. Sejumlah
penyakit tertentu mutasi gen telah diidentifikasi di setiap yang menyandikan defek
enzim dalam porfiria. Pengujian gen mengidentifikasi mutasi pada 90% atau lebih dari
individu yang terkena dengan bentuk warisan berbagai porfiria. Gen pengubah
tambahan, seperti gen HFE untuk hemochromatosis, berhubungan dengan beberapa
bentuk porfiria, di porfiria khususnya cutanea tarda. Skrining keluarga dan konseling
genetik merupakan aspek penting dari manajemen untuk masing-masing porfiria, dan
membutuhkan rujukan ke spesialis genetik. Berdasarkan geografi; porfiria mencat
memiliki insiden yang lebih tinggi secara substansial di Afrika Selatan dari 3 per 1000;
kebanyakan kasus telah dilacak ke kesatuan tunggal antara dua pemukim Belanda pada
tahun 1680.6
Tujuh jenis utama dari porfiria kini diakui yang meliputi bentuk akut dan
cutaneous. Jenis akut porfiria mempengaruhi sistem saraf, sedangkan jenis cutaneous
terutama mempengaruhi kulit. Dua bentuk congenital porfiria, coproporphyria dan
porfiria variegate mungkin dapat baik akut atau cutaneous, atau keduanya.7
Porphyria berasal dari kata Yunani, porphura yang artinya warna ungu.
Nama ini mengacu pada perubahan warna beberapa cairan tubuh menjadi ungu, salah
satunya urin. Porphyria terdiri dari beberapa tipe dengan beragam gejala. Tidak
semua jenis porphyria memperlihatkan gejala ke-‘vampir’-an. Secara umum, porphyria
dibagi dua: acute porphyria dan cutaneous porphyria. Acute porphyria menyerang sistem
saraf, dengan gejala nyeri di bagian perut, muntah, konstipasi, diare, lemah otot,
demam, dan halusinasi. Cutaneous porphyria menyerang neuron saraf kulit,
menyebabkan kulit penderitanya sangat sensitif dan mudah melepuh jika terkena
sinar ultraviolet. Porphyria jenis inilah yang sering diidentikkan dengan ciri-ciri
vampir.1
Ada beberapa orang terkenal yang diduga kuat menderita porphyria, antara
lain: George William III (raja Inggris 1760-1820), Mary Stuart (sepupu George III, ratu
Skotlandia 1542-1567), Vincent Van Gogh (pelukis impresionis), dan Nebukadnezar II
(raja Babylonia 605-562 SM). 1
Jika dicurigai suatu porfiria akut, maka dilakukan pengukuran kadar asam
delta-aminolevulenat dan porfobilinogen dalam air kemih. Jika diduga suatu porfiria
kutaneus, dilakukan pemeriksaan kadar porfirin dalam plasma darah. Pemeriksaan
lainnya (termasuk pengukuran enzim sel darah merah) dilakukan jika hasil dari salah
satu tes penyaringan tersebut abnormal. 1
Diagnosis porfiria sangat sulit karena berbagai gejala yang sangat umum
banyak gangguan dan interpretasi tes kompleks. Setiap bentuk diperlakukan berbeda.
Gejala klinis porfiria akut : serangan sakit perut akut (sembelit, diare), mual, muntah,
kelemahan pada tungkai dan punggung, dan berbagai keluhan neuropsikiatri (kejang,
halusinasi, dsb). Variegate porfiria dan hereditary coproporfiria menunjukkan
perubahan kulit menjadi fotosensitive. Sedangkan pada porfiria kutaneus seluruh gejala
klinis tampak pada kulit yang sangat fotosensitive. 4 Diagnosis porfiria dilakukan
melalui analisis spektroskopi dan biokimia darah, urine, dan tinja. Urine tes skrining
telah dilakukan untuk mendeteksi penyakit porfiria. Biokimia tes digunakan untuk
mengidentifikasi penyakit ginjal. 1 Urine porfirin merupakan andalan dalam diagnosis
serangan porfiria akut. Pasien dengan eksaserbasi akut porfiria memiliki peningkatan
logaritmik (5-100 kali) dalam prekursor metabolik (ALA, PBG, dll). Peningkatan
minimal dari prekursor yang bukan diagnostic dan tidak spesifik. ALA meningkat
secara signifikan dan PBG dalam urin memiliki spesifisitas 100% untuk akut intermiten
(hati) porfiria, porfiria variegate, dan coproporphyria. 5 Porfiria akut diobati dengan
suntikan glukosa intravena, khusus minuman glukosa yang tinggi dan obat-obatan heme
seperti Panhematin. Beta karoten antioksi dan digunakan untuk mengurangi kerusakan
jaringan dari pemaparan dari reaksi kimia yang membantu mengurangi gejala porfiria
kulit. Hormonal pengobatan dilakukan pada wanita yang memiliki penyakit porfiria.
Porphyria kejang perawatan digunakan untuk menyembuhkan beberapa gejala. Ambil
diet tinggi karbohidrat untuk menyembuhkan porfiria. Menghindari over exposure
dengan sinar matahari. Beberapa obat yang berbeda dapat digunakan dalam pengobatan
Porphyria yang terdiri dari klorpromazin, chlorpromanyl, largactil,
novochlorpromazine, ormazine, Thora-Dex,Thorazine, SR dll Thorazine. 1
Berdasarkan uraian diatas, berikut akan dibahas kasus mengenai Congenital
Erythropoietic Porphyria. Sinonim : Gunthe’s disease. Penyakit ini sangat jarang;
sekitar 50 kasus dilaporkan dalam studi biomolekuler. 3 Pembahasan akan tebatatas pada
bagaimana mendiagnosis dan mengelola pasien yang menderita Congenital
Erythropoietic Porphyria.
LAPORAN KASUS
An. R.A, laki-laki, 4 tahun, agama Islam, alamat Sumur Pande Jaye, Sesait,
Kayangan-KLU (Tanggal Pemeriksaan : 11 Feberuari 2013).
Anamnesis yang didapatkan dari ibu pasien (heteroanamnesis); pasien rujukan
Puskesmas Kayangan dengan diagnosis erisepelas, furunkulosis, dan suspect
imunokompromise. Oleh ibunya dikeluhkan kemerahan disertai gelembung berisi cairan
pada lengan atas kiri sejak 4 hari sebelum dirujuk ke RSUP NTB. Gelembung berisi
cairan tersebut dikatakan mudah pecah (melepuh) dan setiap kali gelembung tersebut
melepuh disertai dengan demam. Kemudian gelembung yang berisi cairan muncul pada
tungkai kiri, tungkai kanan, lengan kanan dan wajah. Keluhan pertama kali muncul
sejak pasien berusia 7 hari setelah lahir. Kemerahan yang disertai gelembung berisi
cairan muncul dan melepuh di daerah wajah dan berbau. Oleh ibunya dibawa ke dokter
umum kemudian diberikan obat berupa sirup dan salep (ibu lupa nama obatnya). 1 bulan
kemudian sembuh, namun keluhan yang sama muncul kembali di seluruh badan dan
oleh ibunya dibawa ke dokter umum yang sama dan diberikan obat yang sama pula. 5
bulan kemudian sembuh. Selanjutnya saat pasien berusia 7 bulan, kemerahan yang
disertai gelembung berisi cairan muncul kembali, di kaki sebelah kiri sebanyak 2 buah,
sebesar ibu jari, kemuian melepuh dan oleh ibunya langsung dibawa ke Puskesmas
kemudian diberikan obat berupa pil dan salep (ibu lupa nama obatnya). 1 minggu
kemudian sembuh. Namun dikatakan oleh ibu pasien setiap kali obat habis keluhan
yang sama akan muncul kembali hingga seperti saat ini. Selain itu keluhan yang muncul
pada kulitnya, terutama diperberat oleh paparan sinar matahari pada saat pasien sedang
bermain di luar rumah. Saat tersebut pasien langsung merasa gatal dan kulit akan
langsung kemerahan. Selain itu ibu pasien juga mengeluhkan setiap kali kencing
berwarna merah terang hingga merah kecokelatan. Gigi pasien berwarna cokelat
kehitaman sejak mulai tumbuh gigi. BAB (+) 2-3 kali sehari, konsistensi sedang, warna
sesuai dengan makanan yang dimakan. Keluhan sakit perut berupa konstipasi atau
mencret disangkal oleh ibu pasien. Oleh ibunya pasien dikatakan pernah mengalami hal
serupa pada saat berusia 7 hari setelah lahir, selain itu ibu pasien juga mengatakan
pasien pernah mengalami sesak pada saat pasien berusia 6 bulan dan dirawat di RSUP
NTB sebanyak 2 kali, keluhan sesak dikatakan tiba-tiba dan disertai dengan demam.
Saat itu keluhan batuk, pilek dan nafas berbunyi “ngik” disangkal oleh ibu pasien. Sesak
dikatakan tidak dipengaruhi oleh suhu, debu, maupun faktor makanan tertentu. Riwayat
alergi makanan, riwayat alergi obat-obatan, riwayat gula darah tinggi dan riwayat
kejang sebelumnya disangkal oleh ibu pasien. Ibu pasien juga menyangkal adanya
keluhan yang serupa dengan pasien pada salah satu anggota keluarga, riwayat sesak,
riwayat alergi makanan atau obat-obatan, riwayat gula darah tinggi, riwayat kejang, dan
riwayat penyakit kulit lainnya pada salah satu anggota keluarga juga disangkal oleh ibu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, keadaan umum baik, kesadaran compos
mentis, berat badan 22 kg. Pada pemeriksaan dermatologis didapatkan scaring alopesia
pada regio parietal dextra, sunburn facies, cribiform scars pada wajah, fisura pada bibir,
ekspose area (tangan dan kaki) tampak eritema, vesikobulosa hemoragik, dan erosi, nail
dystrophy, hirsutisme. Pada ekstrakutaneus didapatkan erythrodontia dan urin yang
berwarna merah terang hingga merah kecokelatan (gelap).
Gambar 1 : Scaring Alopesia pada regio parietal dextra
Gambar 2 : Sunburn Facies, cribiform scar
Gambar 3 : Fisura pada bibir dan erythrodontia (extracutaneous symptom)
Gambar 4 : ekspose area pada kedua ekstremitas atas dan kedua ekstremitas bawah
tampak eritema, vesikobulous hemoragik dan erosi
Gambar 5 : Nail Dystrophy
Gambar 6 : Urin yang berwarna merah-cokelat (gelap)
Adapun diagnosis banding dari kasus di atas adalah erythropoietic
protoporphyria (EPP), dan porphyria cutanea tarda (PCT).
Penunjang diagnosis pada kasus di atas telah direncanakan untuk dilakukan
pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap, kimia klinik berupa
bilirubin total, bilirubin direk, SGOT, SGPT, albumin, ureum dan kreatinin. Selain itu
juga direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan terhadap plasma porfirin, urin porfirin
dan feses porfirin. Namun karena keterbatasan terhadap ketersediaan pemeriksaan
porfirin yang ada di laboratorium RSUP NTB maupun di laboratorium lainnya, maka
pada kasus di atas hanya dapat dilakukan pemeriksaan terhadap darah lengkap dan
kimia klinik yang hasilnya akan diuraikan sebagai berikut. Pemeriksaan darah lengkap
dilakukan pada tanggal 23-2-2013 dan didapatkan hasil : HB 11,2 g/dL, RBC 4,88 x
106/uL, HCT 33,9 %, MCV 69,5 fL, MCH 23,0 pg, MCHC 33,0 g/dL, WBC 7,04 x
103/uL, PLT 491.000/uL. Pada pemeriksaan kimia klinik didapatkan hasil : bilirubin
total 0,35 mg %, bilirubun direk 0,07 mg %, SGOT 55 u/L, SGPT 41 u/L, albumin 37 gr
%, ureum 12 mg %, kreatinin 0,2 mg %. Pada pemeriksaan apus darah tepi di dapatkan
hasil : kesan eritrosit mikrositik hipokromik, kesan leukosit jumlah cukup, eosinofilia,
limfosit atipik, kissing cell, kesan trombosit jumlah meningkat, penyebaran tidak
merata, clumps (+), trombosit besar. Kesimpulan dari pemeriksaan apus darah tepi
adalah gambaran proses inflamasi dan disertai proses infeksi viral dan trmbositosis.
Diagnosis kerja untuk kasus di atas adalah congenital erythropoietic porphyria.
Adapun management yang dilakukan pada kasus di atas adalah dilakukan terapi
non farmakologi dan terapi farmakologi. Terapi non farmakologi dengan memberikan
KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) kepada ibu pasien tentang penyakit dan
pencegahan yang dapat memperburuk dari penyakit pasien tersebut. Adapun KIE yang
diberikan adalah bahwa penyakit yang dialami oleh pasien merupakan penyakit yang
salah satunya disebabkan oleh mutasi gen yang mensintesis enzim ferochelatase
sehingga menyebabkan kelainan pada kulit seperti yang dialami oleh pasien sendiri
pada saat ini, kemudian dijelaskan juga bahwa penyakit tersebut merupakan penyakit
yang sulit disembuhkan karena penyebabnya adalah mutasi gen seperti yang dijelaskan
sebelumnya namun penyakit tersebut hanya dapat dicegah progresitifitasnya salah
satunya dengan menghindari sinar UV. Terapi farmakologi yang diberikan parasol
lotion SPF 30, gentamicin cream, Vit. A dan Vit. B kompleks, dan β-karoten. Selain itu
pasien juga disarankan untuk control setiap 6 bulan terhadap mata dan kulitnya dan cek
DL, LFT, RFT, plasma porfirin, urin porfirin dan feses porfirin jika memungkinkan.
Prognosis dari kasus di atas adalah 1-5 % dari pasien yang menderita kasus di
atas akan menyebabkan insufisensi liver yang berat.
PEMBAHASAN
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
serta pemeriksaan penunjang. Identitas pasien ini yaitu seorang anak laki-laki dengan
usia 4 tahun, bila dibandingkan dengan literatur yang ada mengenai data epidemiologi
untuk congenital erythropoietic porphyria akan ditemukan kesesuaian. Pada penyakit
ini jarang ada gejala pada saat lahir dan gejala sering terlihat segera setelah terpapar
sinar UV. 3
Dari anamnesis didapatkan keluhan timbul kemerahan yang disertai gelembung
berisi carian yang mudah melepuh pada lengan kiri sejak 4 hari sebelum di rujuk ke
RSUP NTB. Yang kemudian kemerahan yang disertai gelembung berisi cairan yang
mudah melepuh tersebut timbul pada kaki kiri, kaki kanan, lengan kanan serta wajah.
Hal ini menunjukkan bahawa congenital erythropoietic porphyria sangat photosensitive
terhadap area tubuh yang terekspose sinar matahari, misalnya pada wajah dan
ekstremitas, seperti yang dialami pasien. Selain itu juga dikeluhkan oleh ibu pasien
bahwa rambut pada kepala sebagian ada yang hilang (rontok), gigi dari awal tumbuh
berwarna coklat kehitaman, bibir pecah-pecah, kuku menebal dan terlihat rusak, kulit
berwarna lebih gelap karena pertumbuhan rambut di seluruh badan yang lebat,
dikatakan juga oleh ibunya bahwa keluhan yang muncul pada kulit pasien, terutama
diperberat oleh paparan sinar matahari pada saat pasien sedang bermain di luar rumah.
Saat tersebut pasien langsung merasa gatal dan kulit akan langsung kemerahan. Selain
itu ibu pasien juga mengeluhkan setiap kali kencing berwarna merah terang hingga
merah kecokelatan. Hal tersebut sesuai dengan gejala-gejala baik itu pada kulit maupun
ekstrakutan pada congenital erythropoietic porphyria. 3 Pasien sudah pernah berobat ke
dokter umum dan puskesmas dan diberi obat berupa sirup, pil dan salap, namun oleh
ibunya lupa nama obat yang pernah diberikan. Dan dikatakan oleh ibu pasien setiap kali
obat habis maka keluah yang sama akan muncul kembali pada kulit yakni berupa
kemerahan diseartai gelembung berisi cairan yang mudah pecah pada permukaan kulit.
Sedangkan pada literatur dikatakan bahwa terapi obat pada congenital erythropoietic
porphyria adalah kontroversial. Dan terapi yang diberikan berupa pencegahan dari sinar
UV, mencegah trauma, dengan menjelaskan kepada orangtua dan pasien untuk
menurunkan angka mutilasi, hidroxyurea dan vegetal carbon untuk menurunkan sintesis
porfirin, biophosphonates untuk menurunkan osteolisis, transplantasi sum-sum tulang
dari donor yang cocok, terapi genetik masih di bawah penelitian. 3
Pada pemeriksaan fisik terutama status dermatologis didapatkan scaring alopesia
pada regio parietal dextra, sunburn facies, cribiform scars pada wajah, fisura pada bibir,
ekspose area (tangan dan kaki) tampak eritema, vesikobulosa hemoragik, dan erosi, nail
dystrophy, hirsutisme. Pada ekstrakutaneus didapatkan erythrodontia dan urin yang
berwarna merah terang hingga merah kecokelatan. Lokasi terjadinya lesi maupun ujud
kelainan kulit pada pasien sesuai dengan literature dimana terjadi di area yang
terekspose sinar matahari seperti wajah dan ekstremitas berupa eritema, vesikel, bula,
erosi, dan dapat dengan ulserasi, scaring, dalam keadaan yang lebih berat dapat terjadi
amputasi (hidung, bibir, dan jari-jari), hirsutisme, calcinosis cutaneous, nail disthropy
dan scaring alopecia. Selain itu gejala pada ekstrakutaneus akan didapatkan
erythrodontia, conjungtivitis yang rekuren dengan scar dan bentuk pterygium,
scleromalacia perforance, urin gelap dan akan tampak berwarna merah di bawah lampu
wood, anemia dengan jaundice, splenomegali, gangguan hepar dan gangguan ginjal,
acro-osteolysis, osteoporosis dan fraktur patologik selama deposit porfirin pada jaringan
tulang. 3
Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini sudah seseuai dengan tanda
dan gejala klinis dari congenital erythropoietic porphyria. Meskipun tidak semua gejala
ada pada pasien, namun tidak menyingkirkan kemungkinan pada pasien menderita
congenital erythropoietic porphyria. CEP (Congenital Erythropoietic Porphyria), atau
dikenal sebagai penyakit Gunther’s adalah untungnya sangat langka. Kedua jenis
kelamin yang sama-sama terpengaruh dan pasien datang dengan photosensitivity parah,
biasanya dalam beberapa bulan pertama hidup. Sebagai akibat dari fotosensitivitas
mereka mengalami kerapuhan kulit yang mendalam, mengeluhkan sebagai kulit lepuh,
erosi dan jaringan parut di daerah terpapar matahari. Ini dapat berkembang menjadi
deformitas dan mutilasi terutama pada wajah, tangan dan kulit kepala, selain itu dapat
berkembang menjadi infeksi sekunder. Pasien mungkin juga mengalami perubahan
pigmen, okular scaring, erythrodontia (gigi berwarna merah) karena kandungan porfirin
dan hyperkeratosis wajah. Hemolisis adalah yang biasanya terjadi, menyebabkan
anemia dan splenomegali sekunder. Selain itu pemeriksaan penunjang dapat dilakukan
dengan pemeriksaan lampu wood dan laboratorium darah rutin, kimia darah, plasma
porfirin, urin porfirin dan feses porfirin. Pemeriksaan lampu wood sangat berguna untuk
mendeteksi adanya kasus berat, sedangkan pemeriksaan laboratorium untuk
menemukan kelainan berupa anemia, gangguan hepar dan ginjal. Pada pasien ini
dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium darah lengkap, kimia darah dan
morfologi darah tepi. Dan hasilnya didapatkan HB 11,2 g/dL, RBC 4,88 x 106/uL, HCT
33,9 %, MCV 69,5 fL, MCH 23,0 pg, MCHC 33,0 g/dL, WBC 7,04 x 103/uL, PLT
491.000/uL. Pada pemeriksaan kimia klinik didapatkan hasil : bilirubin total 0,35 mg %,
bilirubun direk 0,07 mg %, SGOT 55 u/L, SGPT 41 u/L, albumin 37 gr %, ureum 12
mg %, kreatinin 0,2 mg %. Pada pemeriksaan apus darah tepi di dapatkan hasil : kesan
eritrosit mikrositik hipokromik, kesan leukosit jumlah cukup, eosinofilia, limfosit atipik,
kissing cell, kesan trombosit jumlah meningkat, penyebaran tidak merata, clumps (+),
trombosit besar. Kesimpulan dari pemeriksaan apus darah tepi adalah gambaran proses
inflamasi dan disertai proses infeksi viral, trmbositosis.
Diagnosis banding pada pasien ini adalah erythropoietic protoporphyria karena
manifestasi klinis hampir sama. EPP adalah jenis porfiria kedua yang paling umum dan
biasanya terjadi pada awal masa kanak-kanak dengan photosensitivity menyakitkan.
Manifestasi klinis penyakit ini adalah lesi urtikaria, edema dan petechiae kadang-
kadang menyakitkan. Perubahan kronis termasuk jaringan parut linear dan penebalan
lilin dari kulit. Komplikasi sistemik mungkin muncul seperti anemia, cholelithiasis, dan
disfungsi hati, yang jarang dapat mengakibatkan kegagalan hati. Manifestasi klinis
hampir sama dengan congenital erythropoietic porfiria. Hal ini perlu dipastikan dengan
pemeriksaan penunjang untuk menemukan adanya komplikasi yang terjadi, namun pada
pasien ini pemeriksaan penunjang menghasilkan hasil yang tidak begitu khas. Sehingga
dapat disingkirkan berdasarkan manifestasi klinis dimana pada congenital
erytrhopoietic porphyria ditemukan adanya erythrodontia, dan pada pasien ini juga
ditemukan, namun tidak ditemukan pada erythropoietic protoporphyria.
Diagnosis banding lain pada pasien ini adalah porphyria cutaneous tarda. PCT
adalah porfiria kulit yang paling umum dengan kejadian diperkirakan 1 dalam 10,000
(yang bervariasi antara negara-negara). Dalam PCT kekurangan dalam hasil
dekarboksilase hati uroporphyrinogen dalam akumulasi jumlah besar photoactive
porphyrins yang dilepaskan ke sirkulasi. Ini bisa menjadi warisan atau lebih umum
penyakit diperoleh dan diwujudkan sebagai kerapuhan kulit dan lecet pada daerah yang
terpajan cahaya, erosi, jaringan parut, alopecia, perubahan pigmen, dan hipertrikosis.
Penyakit hati, termasuk karsinoma hepatocellular umum. Faktor pencetus yang dikenal
untuk PCT termasuk alkohol, obat-obatan yang mengandung estrogen, infeksi virus
(hepatitis C, HIV), toksisitas kimia dan gangguan sistemik lainnya misalnya lupus
eritematosus sistemik dan limfoma. Secara keseluruhan, semua pasien memiliki
peningkatan besi yang sustainable dalam hati. Manifestasi klinis hampir sama dengan
congenital erythropoietic porfiria. Hal ini perlu dipastikan dengan pemeriksaan
penunjang untuk menemukan adanya komplikasi yang terjadi, namun pada pasien ini
pemeriksaan penunjang menghasilkan hasil yang tidak begitu khas. Sehingga dapat
disingkirkan berdasarkan anamnesis bahwa pada pasien tidak ada faktor pencetus
seperti riwayat alkohol, obat-obatan yang mengandung estrogen, infeksi virus (hepatitis
C, HIV), toksisitas kimia dan gangguan sistemik lainnya misalnya lupus eritematosus
sistemik dan limfoma. Selain itu pada manifestasi klinis dimana pada congenital
erytrhopoietic porphyria ditemukan adanya erythrodontia, dan pada pasien ini juga
ditemukan, namun tidak ditemukan pada erythropoietic cutaneous tarda (PCT).
RINGKASAN
Pasien An. R.A, laki-laki, 4 tahun datang dengan dikeluhkan oleh ibunya kemerahan
disertai gelembung berisi cairan pada lengan atas kiri sejak 4 hari sebelum dirujuk ke
RSUP NTB. Gelembung berisi cairan tersebut dikatakan mudah pecah (melepuh) dan
setiap kali gelembung tersebut melepuh disertai dengan demam. Kemudian gelembung
yang berisi cairan muncul pada tungkai kiri, tungkai kanan, lengan kanan dan wajah.
Keluhan pertama kali muncul sejak pasien berusia 7 hari setelah lahir. Ibu mengatakan
setiap kali keluhan muncul ibu membawa pasien ke tempat dokter praktek umum dan
puskesmas. Tapi setiap kali obat habis keluhan yang sama akan muncul kembali seperti
hingga saat ini. Selain itu keluhan yang muncul pada kulitnya, terutama diperberat oleh
paparan sinar matahari pada saat pasien sedang bermain di luar rumah. Saat tersebut
pasien langsung merasa gatal dan kulit akan langsung kemerahan. Selain itu ibu pasien
juga mengeluhkan setiap kali kencing berwarna merah terang hingga merah
kecokelatan. Gigi pasien berwarna cokelat kehitaman sejak mulai tumbuh gigi. BAB (+)
2-3 kali sehari, konsistensi sedang, warna sesuai dengan makanan yang dimakan.
Keluhan sakit perut berupa konstipasi atau mencret disangkal oleh ibu pasien. Riwayat
alergi makanan, riwayat alergi obat-obatan, riwayat gula darah tinggi dan riwayat
kejang sebelumnya disangkal oleh ibu pasien. Ibu pasien juga menyangkal adanya
keluhan yang serupa dengan pasien pada salah satu anggota keluarga, riwayat sesak,
riwayat alergi makanan atau obat-obatan, riwayat gula darah tinggi, riwayat kejang, dan
riwayat penyakit kulit lainnya pada salah satu anggota keluarga juga disangkal oleh ibu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, keadaan umum baik, kesadaran compos
mentis, berat badan 22 kg. Pada pemeriksaan dermatologis didapatkan scaring alopesia
pada regio parietal dextra, sunburn facies, cribiform scars pada wajah, fisura pada bibir,
ekspose area (tangan dan kaki) tampak eritema, vesikobulosa hemoragik, dan erosi, nail
dystrophy, hirsutisme. Pada ekstrakutaneus didapatkan erythrodontia dan urin yang
berwarna merah terang hingga merah kecokelatan (gelap).
Diagnosis yang diajukan pada pasien adalah congenital erythropoietic porphyria
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan diagnosis
erythropoietic protoporphyria (EPP), dan porphyria cutaneous tarda (PCT).
Adapun management yang dilakukan pada kasus di atas adalah dilakukan terapi
non farmakologi dan terapi farmakologi. Terapi non farmakologi dengan memberikan
KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) kepada ibu pasien tentang penyakit dan
pencegahan yang dapat memperburuk dari penyakit pasien tersebut. Terapi farmakologi
yang diberikan parasol lotion SPF 30, gentamicin cream, Vit. A dan Vit. B kompleks,
dan β-karoten. Selain itu pasien juga disarankan untuk control setiap 6 bulan terhadap
mata dan kulitnya dan cek DL, LFT, RFT, plasma porfirin, urin porfirin dan feses
porfirin jika memungkinkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. (http://www.scribd.com/doc/57371199/porfiria; FK JAMBI, 2009/2012
REFERAD).
2. (http://health.detik.com/read/2011/09/07/094135/1717077/770/porfiria-kulit-
melepuh-terkena-sinar-matahari).
3. Happle, Rudolf. 2006. Atlas Of Genodermatosis : Metabolisme desease. Hal 330-
332. Taylor dan Fracis Group. Germany
4. Porphyrias. MM. 2011/11. Super Reliagre Laboratories. RL Global Knowledge
Forum 2011/11. Available at http://www.srlworld.com/medimail/Porphyrias-
MM.pdf. Accessed on 1 Maret 2013.
5. Porphyria Bulletin. British Porphyria Association July 2008. Available at
www.wmic.wales.nhs.uk/pdfs/porphyria/porphyriasafelist.pdf. accessed on 1 Maret
2013
6. Porphyria. Clinical Key Elsevier 2012. Available at
https://www.clinicalkey.com/topics/hematology/porphyria.html#603147.