Post on 19-Apr-2017
I. LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
JenisKelamin : Laki-laki
Usia : 40 tahun
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Alamat : Bebenggasu, Konawe Selatan
Tanggal MRS : 12 April 2014
Tanggal Pemeriksaan : 12 April 2014
Rekam Medis : 39 41 48
2. ANAMNESA
KeluhanUtama
Nyeri seluruh lapang perut
Riwayat Penyakit Sekarang
Dialami sejak ± 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk.
Nyeri ini timbul secara tiba-tiba. Awalnya dirasakan di sekitar daerah epigastrium,
kemudian menyebar keseluruh lapang abdomen. Nyeri dirasakan terus menerus, memberat
bila pasien bergerak, bernapas, batuk atau mengedan. Nyeri berkurang bila pasien
berbaring. Selain nyeri, pasien juga mengeluh badan terasa lemas dan nafsu makan
menurun. Demam dirasakan ± 15 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Mual dan muntah 4
kali ± 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit dengan warna muntah berwarna kehitaman.
Nafsu makan menurun dan badan terasa lemas. Berkemih lancar, namun berwarna pekat.
Pasien juga merasakan perut terasa kembung. Defekasi terakhir 1 hari sebelum masuk
1
Rumah Sakit dengan konsistensi pasta berwarna coklat. Sampai saat dilakukan anamnesis,
pasien belum pernah kentut maupun defekasi. Beberapa bulan terakhir os mengeluh sering
timbul nyeri atau rasa tidak nyaman pada ulu hati, dirasakan hilang timbul. Terutama sering
kambuh sejak 1 bulan terakhir. Nyeri ulu hati disertai rasa kembung atau perut terasa penuh.
Nyeri ulu hati biasanya muncul bila pasien terlambat makan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat Operasi
sebelumnya (-), Riwayat trauma atau operasi dibagian abdomen sebelumnya (-).
Pasien sering mengalami nyeri ulu hati sejak usia muda, sehingga pasien sering
mengkonsumsi jamu dan obat yang dibeli di warung. Dalam 1 bulan terakhir, pasien
mengkonsumsi jamu secara terus-menerus yang diracik sendiri oleh penjual jamu yang
dicampur dengan kencur dan kunyit dan obat-obatan lainnya.
3. PEMERIKSAAN FISIK UMUM
a. Status Present
Keadaan umum : Sakit berat, tampak lemah
Kesadaran : Compos Mentis
Vital sign :
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 101 kali/menit
Frekuensi napas : 24 kali/menit
Suhu : 38,9 C axiller
2
b. Pemeriksaan Fisik Umum
Kepala-Leher
1. Kepala : Kulit pucat (-), normochepali, turgor kulit normal.
2. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva anemis -/-, sclera ikterus -/-, edema
palpebra (-)
3. THT : Otorea (-), rinorea (-)
4. Mulut : mukosa bibir pucat (+), kering (-), lidah kotor (-).
5. Leher : Massa (-), tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening.
Thorax
Pulmo :
Inspeksi : Bentuk simetris, gerakan dinding dada simetris, pelebaran sela
iga (-), tipe pernafasan thorakoabdominal.
Palpasi : Pengembangan dinding dada simetris, fremitus raba sama, nyeri
tekan (-), krepitasi (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru.
Auskultasi : Vesikuler +/+, ronki -/-, whezing -/-
Abdomen
Inspeksi : Distensi abdomen (+), pelebaran vena colateral (-), Kaput medusa (-),
massa (-), darm contour (-), darm steifung (-).
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan menurun
Perkusi : Hipertimpani (+), pekak hepar menghilang, nyeri ketuk (+)
Palpasi : Abdomen distensi (+) pada regio epigastrik, massa (-), hepar tak
teraba, lien tak teraba, defans muscular (+) seluruh kuadran abdomen.
3
Inguinal
Inspeksi : Hernia (-), Massa (-).
Ekstremitas atas:
Warna kulit normal, turgor kulit baik, edema -/-, akral hangat +/+.
Ekstremitas bawah:
Warna kulit normal, turgor kulit baik, edema -/-, akral hangat +/+.
Rectal Touche:
Inspeksi : Tidak tampak adanya massa, maupun hiperemis
Sfingter ani kurang mencekik
Ampulla tidak kolaps
Mukosa licin
Tidak teraba adanya feses
Nyeri tekan dinding rektum segala arah
Pada handscoen tidak terlihat adanya feses maupun darah
4
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG:
a. Labolatorium: Cek DR, KD
b. Foto BNO tegak
5. HASIL PEMERIKSAAN
a. DR
Pemeriksaan 12/04/14 15/04/14
Hb 15,6 11,8
RBC 4,99 3,79
HCT 45,8 35,1
MCV 91,8 92,6
MCH 31,3 31,3
MCHC 34,1 33,6
WBC 9,59 13,2
PLT 272 236
b. Kimia Klinik
Pemeriksaan 12/04/14
SGOT 37,8
SGPT 25,2
Kreatinin 1,63 H
5
GDS 118
Urea 98,7 H
c. Foto BNO tegak
Kesimpulan: Kesan pneumoperitoneum
6. RESUME
Pasien laki-laki, 40 tahun datang dengan keluhan nyeri seluruh lapang abdomen.
Nyeri seluruh lapang abdomen sejak 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit
Riwayat dyspepsia terutama memberat 1 bulan terakhir.
Demam +/- 15 jam sebelum masuk Rumah Sakit
Nafsu makan menurun
Muntah kehitaman
6
Riwayat defekasi berwarna coklat.
Dari status generalis didapat sakit berat, lemah, tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 101
kali/menit, pernapasan 24 kali/menit, suhu 38,9 C
Dari status lokalis didapatkan distensi abdomen, peristaltik menurun, pekak hepar
menghilang, defans muscular seluruh kuadran.
Rectal touché: Sfingter ani kurang mencekik, nyeri tekan dinding rektum segala arah,
tidak teraba adanya feses
Pemeriksaan penunjang radiologi kesan peneumoperitoneum
7. DIAGNOSIS PRE OPERATIF:
Peritonitis Generalisata et causa susp. Perforasi Gaster
8. DIAGNOSIS BANDING
Peritonitis generalisata et causa Perforasi duodenum
9. TERAPI
a. Terapi Simptomatik
• Observasi keadaan umum dan vital sign
• IVFD RL 20 tpm
• Pasang NGT
• Stop intake oral
• Pasang kateter urine
• Inj Ketorolac 1 ampul / 8 jam
• Inj Ranitidin 1 ampul / 8 jam
• Inj Ceftriaxone 1 gr / 12 jam
b. Terapi Definitif
7
Laparatomi:
8
Dilakukan insisi midline +/- 25 cm. Didapatkan perforasi pada duodenum pars I, usus
dilatasi dan peristaltik (-). Dilakukan pemasangan NGT 18 F dari gaster dan 12 F dari jejunum.
Dilakukan eksisi dan penjahitan pada perforasi duodenum (Repair duodenum).
10. DIAGNOSIS POST OPERATIF:
Peritonitis Generalisata et causa Perforasi Duodenum Pars I
11. PROGNOSIS
Ad vitam: Dubia ad bonam
Ad functionam: Dubia ad bonam
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan
dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau
kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu
kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis
sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila
tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary
peritonitis. (Fauci et al, 2008)
2. Anatomi dan Fisiologi
Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel mesothel yang dipisah dari
jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrane basalis. Ia membentuk kantong tertutup
dimana visera dapat bergerak bebas didalamnya. Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai
peritoneum parietalis dan melekuk ke organ sebagai peritoneum viseralis (Marshall, 2003).
10
Luas permukaannya mendekati luas permukaan tubuh yang pada orang dewasa mencapai
1,7m2. Ia berfungsi sebagai membrane semipermeabel untuk difusi 2 arah untuk cairan dan
partikel. Luas permukaan untuk difusi seluas ± 1m2 (Heemken, 1997).
Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat ± 100cc cairan peritoneal yang mengandung
protein 3 g/dl. Sebagian besar berupa albumin. Jumlah sel normal adalah 33/mm3 yang terdiri
dari 45% makrofag, 45% sel T, 8% sisanya terdiri dari NK, sel B, eosinofil, dan sel mast serta
sekretnya terutama prostasiklin dan PGE2. Bila terjadi peradangan jumlah PMN dapat
meningkat sampai > 3000/mm3 (Marshall, 2003).
Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe diafragma
sedang sisanya melalui peritoneum parietalis (Evans, 2001).
Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan partikel termasuk
bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel difragma yang berhubungan dengan
lacuna limfe untuk bergerak le limfe substernal. Kontraksi diafragma menutup stomata dan
mendorong limfe ke mediastinum (Hau, 2003).
Oleh karena itu, sangat penting menjamin berlangsungnya pernapasan spontan yang baik
agar clearance bakteri peritoneum dapat berlangsung (Evans, 2001).
Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis dan mencegah terjadinya
perlekatan. Peritoneum menangani infeksi dengan 3 cara:
a. Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma
Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri kearah stomata. Oleh
karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah, bakteri yang turut dalam aliran
dapat bersarang di bagian atas dan dapat menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu nyeri
perut atas yang disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii (Evans, 2001).
Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan intersisiel ke rongga
peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu, asam lambung, dan enzim pancreas
memperbesar pergeseran cairan ini (Heemken, 1997).
b. Penghancuran bakteri oleh sel imun
Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil, makrofag, sel mast, dan
limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi (Iwagaki, 1997).
11
Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi zat vasoaktif yang
mengandung histamine dan prostaglandin. Histamine dan prostaglandin yang dilepas sel mast
dan makrofag menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum
sehingga menimbulkan eksudasi cairan kaya komplemen, immunoglobulin, faktor pembekuan,
dan fibrin (Marshall, 2003).
Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan respon mediator pro-
inflamasi di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan dimana mulai timbul mediator anti-
inflamasi yang menghentikan proses pro-inflamasi. Keadaan ini menunjukkan adanya
keseimbangan fungsi antara respon pro- dan anti-inflamasi. Tetapi pada keadaan tertentu dapat
terjadi ketidakseimbangan dimana salah satu yaitu: pro-inflamasi atau anti-inflamasi atau
bahkan keduanya sekaligus meningkat hebat diluar kebutuhan penderita. Dalam keadaan ini
kedua mediator yang bertentangan dapat menimbulkan kerusakan organ hebat sehingga terjadi
kegagalan organ (Marshall, 2003).
c. Lokalisasi infeksi sebagai abses
Pada peningkatan permeabilitas venula terjadi eksudasi cairan kaya protein yang
mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan tromboplastin yang mengubah protrombin
menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin akan menangkap bakteri dan
memprosesnya hingga terbentuk abses. Hal ini dimaksud untuk menghentikan penyebaran
bakteri dalam peritoneum dan mencegah masuknya ke sistemik. Dalam keadaan normal fibrin
dapat dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak berfungsi (Evans,
2001).
3. Etiologi
Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:
· Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari rongga
peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis
dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.
12
· Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster
dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat
divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus (Brian,2011).
Tabel 1. Penyebab Peritonitis Sekunder
Regio Asal Penyebab
Esophagus
Boerhaave syndromeMalignancyTrauma (mostly penetrating)Iatrogenic*
Stomach
Peptic ulcer perforationMalignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal stromal tumor)Trauma (mostly penetrating)Iatrogenic*
DuodenumPeptic ulcer perforationTrauma (blunt and penetrating)Iatrogenic*
Biliary tract
CholecystitisStone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or common ductMalignancyCholedochal cyst (rare)Trauma (mostly penetrating)Iatrogenic*
PancreasPancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)Trauma (blunt and penetrating)Iatrogenic*
Small bowel
Ischemic bowelIncarcerated hernia (internal and external)Closed loop obstructionCrohn diseaseMalignancy (rare)Meckel diverticulumTrauma (mostly penetrating)
Large bowel and appendix
Ischemic bowelDiverticulitisMalignancyUlcerative colitis and Crohn diseaseAppendicitisColonic volvulusTrauma (mostly penetrating)Iatrogenic
13
Uterus, salpinx, and ovaries
Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo-ovarian abscess, ovarian cyst)Malignancy (rare)Trauma (uncommon)
· Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat tindakan
operasi sebelumnya
Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis)
dan localized (abses intra abdomen).
4. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak
dapat mengakibatkan obstuksi usus (Fauci et al, 2008).
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka
dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin,
dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya
dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara
retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi
awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia (Fauci et
al, 2008).
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
tersebutmeninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta
oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan
lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan
penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi (Fauci et al, 2008).
14
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,
aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus
yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi
usus (Fauci et al, 2008).
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung
dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul
mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam
lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan
nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase
peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritoneum berupa
mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara
sampai kemudian terjadi peritonitis bacteria (Fauci et al, 2008).
15
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalamibendungan,makin lama
mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem
bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan
akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general (Fauci et al, 2008).
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat
mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra
peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut,
mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia
onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya
didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi
gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi
gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24 jam
timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum (Fauci et al, 2008).
5. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam rongga
abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya penyakit,
perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta
tingkat kesehatan penderita secara umum (Cole et al,1970).
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari awal
peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen,
nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum
peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum
parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi,
berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi
syok (Doherty, 2006).
16
a. Gejala
· Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu ada pada peritonitis. Nyeri biasanya
dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi nyerinya
didapatkan pada seluruh bagian abdomen (Doherty, 2006).
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada henti-
hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa
pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari
nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah
meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis
(Schwartz et al, 1989).
· Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan muntah.
Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam sering diikuti dengan
menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40 OC
(Schwartz et al, 1989).
· Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk ekspresi
yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan
muka yang tampak pucat (Cole et al,1970).
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada stadium
pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan dan
respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada
abdomen (Schwartz et al, 1989).
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat kematian yang
tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan perawatan yang lebih baik,
angka kematian dapat lebih banyak berkurang (Cole et al,1970).
· Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor. Pertama akibat
perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang
kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata (Cole et al,1970).
17
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram negative
diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena
ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang
dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang terlihat
pada manusia (Cole et al,1970).
b. Tanda
· Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi yang timbul
pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang
lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan
normal. Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat
menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan
pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian
khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk (Schwartz et al, 1989).
· Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi dari abdomen.
Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis,
terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari
baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan
eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik (Cole et al,1970).
18
· Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus dapat bervariasi
dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hamper tidak terdengar suara
bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang
terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada
tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari
usus yang mengalami strangulasi (Cole et al,1970).
· Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa. Hilangnya
pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini menandakan adanya udara
bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami perforasi.
Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis (Cole et al,1970).
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara akan menumpuk di
bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan ditemukan pekak hepar yang
menghilang (Schwartz et al, 1989).
· Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi ini. Kaidah
dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang terdapat nyeri tekan
sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan
pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri membuat semua
pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada
wanita yang sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk
menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling
penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri
tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter.
Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan
kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul
akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada
apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat.
Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik
peradangan yang maksimal (Cole et al,1970).
19
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme secara
involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat
berat seperti papan (Schwartz et al, 1989).
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit
dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel
darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari
20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat
infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya (Cole et al,1970).
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh
polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak
menunjukkan peningkatan yang nyata (Schwartz et al, 1989).
Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan ginjal
dapat dilakukan (Doherty, 2006).
b. Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto thorak PA
dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat memperlihatkan proses pengisian
udara di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto
polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara
bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen (Cole et
al,1970).
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar
mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto polos abdomen paling
tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau
keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan
memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus halus (Cole et al,1970).
20
7. Tata Laksana
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol
operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik (Doherty, 2006).
a. Penanganan Preoperatif
Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan perpindahan cairan
ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial (Schwartz et al, 1989).
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat
diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat
anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red
Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti
cairan yang hilang (Doherty, 2006).
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler,
tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi
membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal
(Schwartz et al, 1989).
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah
adekuat dan urin telah diprodukasi (Doherty, 2006).
21
Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob yaitu E.
Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang
tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting
dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob
atau anaerob yang menginfeksi peritoneum (Schwartz et al, 1989).
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat
diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika
penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel
darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan
hasil dari uji sensitivitas (Cole et al,1970).
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1) besar
kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada
tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik
harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi (Schwartz et al, 1989).
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera diberikan.
Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma.
Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram
negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai
didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif
terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik
daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi (Cole et al,1970).
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida sama
baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua (Schwartz et al, 1989).
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif,
metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob (Doherty, 2006).
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada pemilihan terapi
tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan dalam
kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena
gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH
intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan
22
sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang normal
(Doherty, 2006).
Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup diperlukan,
karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya
gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi
seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan
meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan
PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal (Schwartz et al, 1989).
Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah
muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan
kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital
(temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi
biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali
fosfatase dan urinalisis (Schwartz et al, 1989).
b. Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk
mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi
usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang
spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang
bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung
dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen (Schwartz et al,
1989).
Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua
material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah
komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik
23
operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau
nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh
permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit
primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung
empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur
cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah
memasuki kavum peritoneum (Doherty, 2006).
Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan
antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat
memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan secara
parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek
tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan
aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok
obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua
cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan
lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit
menghancurkan bakteri (Doherty, 2006).
Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal dengan
cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering
dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang
dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat
mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase
berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan
untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi (Doherty, 2006).
24
c. Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil.
Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital.,
dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan
selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai
dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan
keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan
keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat
menurunkan resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006).
8. Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan
sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan
fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang persisten,
edema generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan
indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut
misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ
yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun (Doherty, 2006).
9. Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya,
keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan
awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau
apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien
yang terdiagnosis lebih awal (Doherty, 2006).
25
III. ANALISIS KASUS
Anamnesis yang terarah sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Gejala klinis
perforasi saluran pencernaan adalah nyeri hebat yang datang tiba-tiba seperti ditikam, nausea,
muntah, perut terasa kembung. Nyeri ini timbul mendadak, terutama dirasakan di daerah
epigastrium yang menyebar ke kanan bawah, kemudian ke seluruh perut. Pasien dapat
mengeluh nyeri seluruh lapang perut karena adanya rangsangan peritoneum di permukaan
bawah diafragma.
Penderita dengan perdarahan, perforasi, atau obstruksi lambung duodenum sering
datang dalam keadaan gawat. Kemungkinan adanya peritonitis akibat perforasi dicurigai
tampak pernafasan torakal pada penderita abdomennya terlihat tegang. Distensi perut bagian
atas, palpasi untuk menentukan kelainan lambung dan duodenum dipandu oleh anamnesis
tentang nyeri. Defans muskular menunjukkan adanya iritasi peritoneum, misalnya karena
perforasi, perut tegang dengan palpasi. Pekak hati yang hilang pada perkusi menunjukkan
adanya udara bebas di bawah diafragma, dan ini menandakan terjadinya perforasi saluran cerna.
Pada peritonitis akibat perforasi, peristaltis sering lemah atau hilang sama sekali karena
terjadi ileus paralitik. Pada pasien ini peristaltik kesan menurun.
Pemeriksaan penunjang kadang perlu untuk mempermudah pengambilan keputusan.
Beberapa uji laboratorium dilakukan, nilai hemoglobin dan hematokrit untuk melihat
kemungkinan adanya perdarahan atau dehidrasi.
26
Foto polos perut posisi tegak dengan arah sinar horizontal membantu untuk menegakkan
diagnosis pada keadaan yang lebih lanjut, misalnya sumbatan atau perforasi. Pada foto
abdomen posisi tegak didapatkan tanda-tanda pneumoperitonium.
Perforasi pada pasien ini terjadi akibat tukak peptik yang dideritanya. Secara prinsip
tukak adalah kerusakan mukosa akibat ketidakseimbangan antara faktor pertahanan mukosa dan
faktor perusak asam lambung dan pepsin. Keadaan akan menjadi lebih buruk dengan
mengkonsumsi nikotin, kopi, alkohol, salisilat, NSAID. Pada pasien ini memiliki riwayat
dispepsia sejak lama dan mengkonsumsi jamu-jamuan yang dijual bebas yang tidak diketahui
dengan jelas komposisinya.
Gastroduodenitis yang disebabkan oleh H. Pylori dianggap penyebab penting yang
menyebabkan terjadinya tukak. Sekitar 7 % penderita tukak peptik mempunyai tukak
duodenum dan tukak lambung pre-pyloric. Penderita dengan tukak kombinasi dianggap
mempunyai etiologi yang sama dengan tukak duodenum.
27
DAFTAR PUSTAKA
Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal Sepsis. Diakses pada 22 April 2014.
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#aw2aab6b2b4aa
Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. Appelton-Century Corp,
Hal 784-795
Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment 12ed.
USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized Disease) is not An
Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients with Intra Abdominal Infection.
Surgical Infection (Larchmt); 2(4) : 255-63
Fauci et al, 2008, Harrison’s Principal Of Internal Medicine Volume 1, McGraw Hill,
Peritonitis halaman 808-810, 1916-1917
Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci; 33: 131-4
Heemken, R. 1997. Peritonitis: Pathophydiology and Local Defense Mechanisms.
Hepatogastroenterology; Jul-Aug; 44(16): 927-36
Iwagaki, H. 1997. Clinical Value of Cytokine Antagonists in Infectious Complications. Res
CommunMol Pathol Pharmacol; Apr: 96(1): 25-34
Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection. Critical Care
Medicine; 31(8) : 2228-37
Schwartz et al. 1989. Priciple of Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill, Hal 1459-1467
28
LAPORAN KASUS
PERITONITIS GENERALISATA
et causa PERFORASI DUODENUM PARS I
OLEH
SUHARDIMANSYAH, S.Ked
K1A1 09 003
PEMBIMBING
dr. H. SYAMSUL RIJAL, Sp.B
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2014
29