LAPORAN KASUS

41
I. LAPORAN KASUS 1. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. S JenisKelamin : Laki-laki Usia : 40 tahun Pekerjaan : Petani Agama : Islam Alamat : Bebenggasu, Konawe Selatan Tanggal MRS : 12 April 2014 Tanggal Pemeriksaan : 12 April 2014 Rekam Medis : 39 41 48 2. ANAMNESA KeluhanUtama Nyeri seluruh lapang perut Riwayat Penyakit Sekarang Dialami sejak ± 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Nyeri ini timbul secara tiba-tiba. Awalnya dirasakan di sekitar daerah epigastrium, kemudian menyebar keseluruh lapang abdomen. Nyeri dirasakan terus menerus, memberat bila pasien bergerak, bernapas, batuk atau mengedan. Nyeri berkurang bila pasien berbaring. Selain 1

Transcript of LAPORAN KASUS

Page 1: LAPORAN KASUS

I. LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S

JenisKelamin : Laki-laki

Usia : 40 tahun

Pekerjaan : Petani

Agama : Islam

Alamat : Bebenggasu, Konawe Selatan

Tanggal MRS : 12 April 2014

Tanggal Pemeriksaan : 12 April 2014

Rekam Medis : 39 41 48

2. ANAMNESA

KeluhanUtama

Nyeri seluruh lapang perut

Riwayat Penyakit Sekarang

Dialami sejak ± 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk.

Nyeri ini timbul secara tiba-tiba. Awalnya dirasakan di sekitar daerah epigastrium,

kemudian menyebar keseluruh lapang abdomen. Nyeri dirasakan terus menerus, memberat

bila pasien bergerak, bernapas, batuk atau mengedan. Nyeri berkurang bila pasien

berbaring. Selain nyeri, pasien juga mengeluh badan terasa lemas dan nafsu makan

menurun. Demam dirasakan ± 15 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Mual dan muntah 4

kali ± 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit dengan warna muntah berwarna kehitaman.

Nafsu makan menurun dan badan terasa lemas. Berkemih lancar, namun berwarna pekat.

Pasien juga merasakan perut terasa kembung. Defekasi terakhir 1 hari sebelum masuk

1

Page 2: LAPORAN KASUS

Rumah Sakit dengan konsistensi pasta berwarna coklat. Sampai saat dilakukan anamnesis,

pasien belum pernah kentut maupun defekasi. Beberapa bulan terakhir os mengeluh sering

timbul nyeri atau rasa tidak nyaman pada ulu hati, dirasakan hilang timbul. Terutama sering

kambuh sejak 1 bulan terakhir. Nyeri ulu hati disertai rasa kembung atau perut terasa penuh.

Nyeri ulu hati biasanya muncul bila pasien terlambat makan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat Operasi

sebelumnya (-), Riwayat trauma atau operasi dibagian abdomen sebelumnya (-).

Pasien sering mengalami nyeri ulu hati sejak usia muda, sehingga pasien sering

mengkonsumsi jamu dan obat yang dibeli di warung. Dalam 1 bulan terakhir, pasien

mengkonsumsi jamu secara terus-menerus yang diracik sendiri oleh penjual jamu yang

dicampur dengan kencur dan kunyit dan obat-obatan lainnya.

3. PEMERIKSAAN FISIK UMUM

a. Status Present

Keadaan umum : Sakit berat, tampak lemah

Kesadaran : Compos Mentis

Vital sign :

Tekanan Darah : 100/70 mmHg

Nadi : 101 kali/menit

Frekuensi napas : 24 kali/menit

Suhu : 38,9 C axiller

2

Page 3: LAPORAN KASUS

b. Pemeriksaan Fisik Umum

Kepala-Leher

1. Kepala : Kulit pucat (-), normochepali, turgor kulit normal.

2. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva anemis -/-, sclera ikterus -/-, edema

palpebra (-)

3. THT : Otorea (-), rinorea (-)

4. Mulut : mukosa bibir pucat (+), kering (-), lidah kotor (-).

5. Leher : Massa (-), tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening.

Thorax

Pulmo :

Inspeksi : Bentuk simetris, gerakan dinding dada simetris, pelebaran sela

iga (-), tipe pernafasan thorakoabdominal.

Palpasi : Pengembangan dinding dada simetris, fremitus raba sama, nyeri

tekan (-), krepitasi (-)

Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru.

Auskultasi : Vesikuler +/+, ronki -/-, whezing -/-

Abdomen

Inspeksi : Distensi abdomen (+), pelebaran vena colateral (-), Kaput medusa (-),

massa (-), darm contour (-), darm steifung (-).

Auskultasi : Peristaltik (+) kesan menurun

Perkusi : Hipertimpani (+), pekak hepar menghilang, nyeri ketuk (+)

Palpasi : Abdomen distensi (+) pada regio epigastrik, massa (-), hepar tak

teraba, lien tak teraba, defans muscular (+) seluruh kuadran abdomen.

3

Page 4: LAPORAN KASUS

Inguinal

Inspeksi : Hernia (-), Massa (-).

Ekstremitas atas:

Warna kulit normal, turgor kulit baik, edema -/-, akral hangat +/+.

Ekstremitas bawah:

Warna kulit normal, turgor kulit baik, edema -/-, akral hangat +/+.

Rectal Touche:

Inspeksi : Tidak tampak adanya massa, maupun hiperemis

Sfingter ani kurang mencekik

Ampulla tidak kolaps

Mukosa licin

Tidak teraba adanya feses

Nyeri tekan dinding rektum segala arah

Pada handscoen tidak terlihat adanya feses maupun darah

4

Page 5: LAPORAN KASUS

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG:

a. Labolatorium: Cek DR, KD

b. Foto BNO tegak

5. HASIL PEMERIKSAAN

a. DR

Pemeriksaan 12/04/14 15/04/14

Hb 15,6 11,8

RBC 4,99 3,79

HCT 45,8 35,1

MCV 91,8 92,6

MCH 31,3 31,3

MCHC 34,1 33,6

WBC 9,59 13,2

PLT 272 236

b. Kimia Klinik

Pemeriksaan 12/04/14

SGOT 37,8

SGPT 25,2

Kreatinin 1,63 H

5

Page 6: LAPORAN KASUS

GDS 118

Urea 98,7 H

c. Foto BNO tegak

Kesimpulan: Kesan pneumoperitoneum

6. RESUME

Pasien laki-laki, 40 tahun datang dengan keluhan nyeri seluruh lapang abdomen.

Nyeri seluruh lapang abdomen sejak 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit

Riwayat dyspepsia terutama memberat 1 bulan terakhir.

Demam +/- 15 jam sebelum masuk Rumah Sakit

Nafsu makan menurun

Muntah kehitaman

6

Page 7: LAPORAN KASUS

Riwayat defekasi berwarna coklat.

Dari status generalis didapat sakit berat, lemah, tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 101

kali/menit, pernapasan 24 kali/menit, suhu 38,9 C

Dari status lokalis didapatkan distensi abdomen, peristaltik menurun, pekak hepar

menghilang, defans muscular seluruh kuadran.

Rectal touché: Sfingter ani kurang mencekik, nyeri tekan dinding rektum segala arah,

tidak teraba adanya feses

Pemeriksaan penunjang radiologi kesan peneumoperitoneum

7. DIAGNOSIS PRE OPERATIF:

Peritonitis Generalisata et causa susp. Perforasi Gaster

8. DIAGNOSIS BANDING

Peritonitis generalisata et causa Perforasi duodenum

9. TERAPI

a. Terapi Simptomatik

• Observasi keadaan umum dan vital sign

• IVFD RL 20 tpm

• Pasang NGT

• Stop intake oral

• Pasang kateter urine

• Inj Ketorolac 1 ampul / 8 jam

• Inj Ranitidin 1 ampul / 8 jam

• Inj Ceftriaxone 1 gr / 12 jam

b. Terapi Definitif

7

Page 8: LAPORAN KASUS

Laparatomi:

8

Page 9: LAPORAN KASUS

Dilakukan insisi midline +/- 25 cm. Didapatkan perforasi pada duodenum pars I, usus

dilatasi dan peristaltik (-). Dilakukan pemasangan NGT 18 F dari gaster dan 12 F dari jejunum.

Dilakukan eksisi dan penjahitan pada perforasi duodenum (Repair duodenum).

10. DIAGNOSIS POST OPERATIF:

Peritonitis Generalisata et causa Perforasi Duodenum Pars I

11. PROGNOSIS

Ad vitam: Dubia ad bonam

Ad functionam: Dubia ad bonam

9

Page 10: LAPORAN KASUS

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut

(peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan

dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau

kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu

kegawat daruratan  yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis

sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila

tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary

peritonitis. (Fauci et al, 2008)

2. Anatomi dan Fisiologi

      Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel mesothel yang dipisah dari

jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrane basalis. Ia membentuk kantong tertutup

dimana visera dapat bergerak bebas didalamnya. Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai

peritoneum parietalis dan melekuk ke organ sebagai peritoneum viseralis (Marshall, 2003).

10

Page 11: LAPORAN KASUS

      Luas permukaannya mendekati luas permukaan tubuh yang pada orang dewasa mencapai

1,7m2. Ia berfungsi sebagai membrane semipermeabel untuk difusi 2 arah untuk cairan dan

partikel. Luas permukaan untuk difusi seluas ± 1m2 (Heemken, 1997).

      Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat ± 100cc cairan peritoneal yang mengandung

protein 3 g/dl. Sebagian besar berupa albumin. Jumlah sel normal adalah 33/mm3 yang terdiri

dari 45% makrofag, 45% sel T, 8% sisanya terdiri dari NK, sel B, eosinofil, dan sel mast serta

sekretnya terutama prostasiklin dan PGE2. Bila terjadi peradangan jumlah PMN dapat

meningkat sampai > 3000/mm3 (Marshall, 2003).

      Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe diafragma

sedang sisanya melalui peritoneum parietalis (Evans, 2001).

      Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan partikel termasuk

bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel difragma yang berhubungan dengan

lacuna limfe untuk bergerak le limfe substernal. Kontraksi diafragma menutup stomata dan

mendorong limfe ke mediastinum (Hau, 2003).

      Oleh karena itu, sangat penting menjamin berlangsungnya pernapasan spontan yang baik

agar clearance bakteri peritoneum dapat berlangsung (Evans, 2001).

      Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis dan mencegah terjadinya

perlekatan. Peritoneum menangani infeksi dengan 3 cara:

a. Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma

Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri kearah stomata. Oleh

karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah, bakteri yang turut dalam aliran

dapat bersarang di bagian atas dan dapat menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu nyeri

perut atas yang disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii (Evans, 2001).

Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan intersisiel ke rongga

peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu, asam lambung, dan enzim pancreas

memperbesar pergeseran cairan ini (Heemken, 1997).

b. Penghancuran bakteri oleh sel imun

Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil, makrofag, sel mast, dan

limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi (Iwagaki, 1997).

11

Page 12: LAPORAN KASUS

Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi zat vasoaktif yang

mengandung histamine dan prostaglandin. Histamine dan prostaglandin yang dilepas sel mast

dan makrofag menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum

sehingga menimbulkan eksudasi cairan kaya komplemen, immunoglobulin, faktor pembekuan,

dan fibrin (Marshall, 2003).

Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan respon mediator pro-

inflamasi di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan dimana mulai timbul mediator anti-

inflamasi yang menghentikan proses pro-inflamasi. Keadaan ini menunjukkan adanya

keseimbangan fungsi antara respon pro- dan anti-inflamasi. Tetapi pada keadaan tertentu dapat

terjadi ketidakseimbangan dimana salah satu yaitu: pro-inflamasi atau anti-inflamasi atau

bahkan keduanya sekaligus meningkat hebat diluar kebutuhan penderita. Dalam keadaan ini

kedua mediator yang bertentangan dapat menimbulkan kerusakan organ hebat sehingga terjadi

kegagalan organ (Marshall, 2003).

c. Lokalisasi infeksi sebagai abses

Pada peningkatan permeabilitas venula terjadi eksudasi cairan kaya protein yang

mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan tromboplastin yang mengubah protrombin

menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin akan menangkap bakteri dan

memprosesnya hingga terbentuk abses. Hal ini dimaksud untuk menghentikan penyebaran

bakteri dalam peritoneum dan mencegah masuknya ke sistemik. Dalam keadaan normal fibrin

dapat dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak berfungsi (Evans,

2001).

3. Etiologi

Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:

·        Peritonitis primer (Spontaneus)

Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari rongga

peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial

peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis

dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.

12

Page 13: LAPORAN KASUS

·        Peritonitis sekunder

Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster

dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat

divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus (Brian,2011).

Tabel 1. Penyebab Peritonitis Sekunder

Regio Asal Penyebab

Esophagus

Boerhaave syndromeMalignancyTrauma (mostly penetrating)Iatrogenic*

Stomach

Peptic ulcer perforationMalignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal stromal tumor)Trauma (mostly penetrating)Iatrogenic*

DuodenumPeptic ulcer perforationTrauma (blunt and penetrating)Iatrogenic*

Biliary tract

CholecystitisStone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or common ductMalignancyCholedochal cyst (rare)Trauma (mostly penetrating)Iatrogenic*

PancreasPancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)Trauma (blunt and penetrating)Iatrogenic*

Small bowel

Ischemic bowelIncarcerated hernia (internal and external)Closed loop obstructionCrohn diseaseMalignancy (rare)Meckel diverticulumTrauma (mostly penetrating)

Large bowel and appendix

Ischemic bowelDiverticulitisMalignancyUlcerative colitis and Crohn diseaseAppendicitisColonic volvulusTrauma (mostly penetrating)Iatrogenic

13

Page 14: LAPORAN KASUS

Uterus, salpinx, and ovaries

Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo-ovarian abscess, ovarian cyst)Malignancy (rare)Trauma (uncommon)

·        Peritonitis tertier

Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat tindakan

operasi sebelumnya

Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis)

dan localized (abses intra abdomen).

4. Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.

Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel

menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan biasanya

menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak

dapat mengakibatkan obstuksi usus (Fauci et al, 2008).

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran

mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka

dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin,

dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya

dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara

retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi

awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia (Fauci et

al, 2008).

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami

oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ

tersebutmeninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta

oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan

retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan

suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan

lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan

penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi (Fauci et al, 2008).

14

Page 15: LAPORAN KASUS

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi

menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,

aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan

meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,

gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus

yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi

usus (Fauci et al, 2008).

Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di

epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung

dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang

mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul

mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam

lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan

nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase

peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritoneum berupa

mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara

sampai kemudian terjadi peritonitis bacteria (Fauci et al, 2008).

15

Page 16: LAPORAN KASUS

Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh

hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi

tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalamibendungan,makin lama

mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan

sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang

mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem

bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti

dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan

akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general (Fauci et al, 2008).

Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat

mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra

peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut,

mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia

onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya

didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi

gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi

gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24 jam

timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum (Fauci et al, 2008).

5. Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam rongga

abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya penyakit,

perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta

tingkat kesehatan penderita secara umum (Cole et al,1970).

            Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari awal

peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen,

nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum

peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum

parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi,

berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi

syok (Doherty, 2006).

16

Page 17: LAPORAN KASUS

a. Gejala

·        Nyeri abdomen

Nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu ada pada peritonitis. Nyeri biasanya

dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi nyerinya

didapatkan pada seluruh bagian abdomen (Doherty, 2006).

Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada henti-

hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa

pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari

nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah

meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis

(Schwartz et al, 1989).

·        Anoreksia, mual, muntah dan demam

Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan muntah.

Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam sering diikuti dengan

menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40 OC

(Schwartz et al, 1989).

·        Facies Hipocrates

Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk ekspresi

yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan

muka yang tampak pucat (Cole et al,1970).

Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada stadium

pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan dan

respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada

abdomen (Schwartz et al, 1989).

Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat kematian yang

tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan perawatan yang lebih baik,

angka kematian dapat lebih banyak berkurang (Cole et al,1970).

·        Syok

Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor. Pertama akibat

perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang

kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata (Cole et al,1970).

17

Page 18: LAPORAN KASUS

Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram negative

diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena

ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang

dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang terlihat

pada manusia (Cole et al,1970).

b. Tanda

·        Tanda Vital

Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi yang timbul

pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang

lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan

normal. Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat

menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan

pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian

khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk (Schwartz et al, 1989).

·        Inspeksi

Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi dari abdomen.

Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis,

terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari

baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan

eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik (Cole et al,1970).

18

Page 19: LAPORAN KASUS

·        Auskultasi

Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus dapat bervariasi

dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hamper tidak terdengar suara

bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang

terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada

tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari

usus yang mengalami strangulasi (Cole et al,1970).

·        Perkusi

Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa. Hilangnya

pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini menandakan adanya udara

bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami perforasi.

Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis (Cole et al,1970).

Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara akan menumpuk di

bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan ditemukan pekak hepar yang

menghilang (Schwartz et al, 1989).

·        Palpasi

Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi ini. Kaidah

dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang terdapat nyeri tekan

sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan

pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri membuat semua

pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada

wanita yang sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk

menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling

penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri

tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter.

Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan

kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul

akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada

apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat.

Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik

peradangan yang maksimal (Cole et al,1970).

19

Page 20: LAPORAN KASUS

Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme secara

involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat

berat seperti papan (Schwartz et al, 1989).

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit

dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel

darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari

20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat

infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya (Cole et al,1970).

Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh

polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak

menunjukkan peningkatan yang nyata (Schwartz et al, 1989).

Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan ginjal

dapat dilakukan (Doherty, 2006).

b. Radiologi

Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto thorak PA

dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat memperlihatkan proses pengisian

udara di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto

polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara

bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen (Cole et

al,1970).

Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar

mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto polos abdomen paling

tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau

keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan

memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus halus (Cole et al,1970).

20

Page 21: LAPORAN KASUS

7. Tata Laksana

Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol

operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik (Doherty, 2006).

a. Penanganan Preoperatif

Resusitasi Cairan

Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan perpindahan cairan

ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial (Schwartz et al, 1989).

Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat

diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat

anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red

Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti

cairan yang hilang (Doherty, 2006).

Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler,

tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi

membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal

(Schwartz et al, 1989).

Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah

adekuat dan urin telah diprodukasi (Doherty, 2006).

21

Page 22: LAPORAN KASUS

Antibiotik

Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob yaitu E.

Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang

tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting

dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob

atau anaerob yang menginfeksi peritoneum (Schwartz et al, 1989).

Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat

diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika

penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel

darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan

hasil dari uji sensitivitas (Cole et al,1970).

Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1) besar

kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada

tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik

harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi (Schwartz et al, 1989).

Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera diberikan.

Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma.

Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram

negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai

didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif

terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik

daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi (Cole et al,1970).

Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida sama

baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua (Schwartz et al, 1989).

Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif,

metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob (Doherty, 2006).

Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada pemilihan terapi

tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan dalam

kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena

gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH

intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan

22

Page 23: LAPORAN KASUS

sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang normal

(Doherty, 2006).

Oksigen dan Ventilator

Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup diperlukan,

karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya

gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi

seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan

meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan

PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal (Schwartz et al, 1989).

Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik

Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah

muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan

kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital

(temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi

biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali

fosfatase dan urinalisis (Schwartz et al, 1989).

b. Penanganan Operatif

Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk

mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi

usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang

spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang

bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung

dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen (Schwartz et al,

1989).

Kontrol Sepsis

Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua

material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah

komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik

23

Page 24: LAPORAN KASUS

operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau

nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh

permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit

primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung

empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur

cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah

memasuki kavum peritoneum (Doherty, 2006).

Peritoneal Lavage

Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat

menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan

antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat

memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan secara

parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek

tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan

aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok

obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua

cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan

lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit

menghancurkan bakteri (Doherty, 2006).

Peritoneal Drainage

Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal dengan

cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering

dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang

dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat

mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase

berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan

untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi (Doherty, 2006).

24

Page 25: LAPORAN KASUS

c. Pengananan Postoperatif

Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil.

Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital.,

dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan

selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai

dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan

keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan

keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat

menurunkan resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006).

8. Komplikasi

Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan

sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan

fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang persisten,

edema generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan

indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut

misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ

yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun (Doherty, 2006).

9. Prognosis

Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang

mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya,

keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan

awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau

apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien

yang terdiagnosis lebih awal (Doherty, 2006).

25

Page 26: LAPORAN KASUS

III. ANALISIS KASUS

Anamnesis yang terarah sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Gejala klinis

perforasi saluran pencernaan adalah nyeri hebat yang datang tiba-tiba seperti ditikam, nausea,

muntah, perut terasa kembung. Nyeri ini timbul mendadak, terutama dirasakan di daerah

epigastrium yang menyebar ke kanan bawah, kemudian ke seluruh perut. Pasien dapat

mengeluh nyeri seluruh lapang perut karena adanya rangsangan peritoneum di permukaan

bawah diafragma.

Penderita dengan perdarahan, perforasi, atau obstruksi lambung duodenum sering

datang dalam keadaan gawat. Kemungkinan adanya peritonitis akibat perforasi dicurigai

tampak pernafasan torakal pada penderita abdomennya terlihat tegang. Distensi perut bagian

atas, palpasi untuk menentukan kelainan lambung dan duodenum dipandu oleh anamnesis

tentang nyeri. Defans muskular menunjukkan adanya iritasi peritoneum, misalnya karena

perforasi, perut tegang dengan palpasi. Pekak hati yang hilang pada perkusi menunjukkan

adanya udara bebas di bawah diafragma, dan ini menandakan terjadinya perforasi saluran cerna.

Pada peritonitis akibat perforasi, peristaltis sering lemah atau hilang sama sekali karena

terjadi ileus paralitik. Pada pasien ini peristaltik kesan menurun.

Pemeriksaan penunjang kadang perlu untuk mempermudah pengambilan keputusan.

Beberapa uji laboratorium dilakukan, nilai hemoglobin dan hematokrit untuk melihat

kemungkinan adanya perdarahan atau dehidrasi.

26

Page 27: LAPORAN KASUS

Foto polos perut posisi tegak dengan arah sinar horizontal membantu untuk menegakkan

diagnosis pada keadaan yang lebih lanjut, misalnya sumbatan atau perforasi. Pada foto

abdomen posisi tegak didapatkan tanda-tanda pneumoperitonium.

Perforasi pada pasien ini terjadi akibat tukak peptik yang dideritanya. Secara prinsip

tukak adalah kerusakan mukosa akibat ketidakseimbangan antara faktor pertahanan mukosa dan

faktor perusak asam lambung dan pepsin. Keadaan akan menjadi lebih buruk dengan

mengkonsumsi nikotin, kopi, alkohol, salisilat, NSAID. Pada pasien ini memiliki riwayat

dispepsia sejak lama dan mengkonsumsi jamu-jamuan yang dijual bebas yang tidak diketahui

dengan jelas komposisinya.

Gastroduodenitis yang disebabkan oleh H. Pylori dianggap penyebab penting yang

menyebabkan terjadinya tukak. Sekitar 7 % penderita tukak peptik mempunyai tukak

duodenum dan tukak lambung pre-pyloric. Penderita dengan tukak kombinasi dianggap

mempunyai etiologi yang sama dengan tukak duodenum.

27

Page 28: LAPORAN KASUS

DAFTAR PUSTAKA

Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal Sepsis. Diakses pada 22 April 2014.

http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#aw2aab6b2b4aa

Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. Appelton-Century Corp,

Hal 784-795

Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment 12ed.

USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized Disease) is not An

Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients with Intra Abdominal Infection.

Surgical Infection (Larchmt); 2(4) : 255-63

Fauci et al, 2008, Harrison’s Principal Of Internal Medicine Volume 1, McGraw Hill,

Peritonitis halaman 808-810, 1916-1917

Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci; 33: 131-4

Heemken, R. 1997. Peritonitis: Pathophydiology and Local Defense Mechanisms.

Hepatogastroenterology; Jul-Aug; 44(16): 927-36

Iwagaki, H. 1997. Clinical Value of Cytokine Antagonists in Infectious Complications. Res

CommunMol Pathol Pharmacol; Apr: 96(1): 25-34

Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection. Critical Care

Medicine; 31(8) : 2228-37

Schwartz et al. 1989. Priciple of Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill, Hal 1459-1467

28

Page 29: LAPORAN KASUS

LAPORAN KASUS

PERITONITIS GENERALISATA

et causa PERFORASI DUODENUM PARS I

OLEH

SUHARDIMANSYAH, S.Ked

K1A1 09 003

PEMBIMBING

dr. H. SYAMSUL RIJAL, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2014

29