Post on 29-Dec-2015
LAPORAN KASUS
KRANIOFARINGIOMA
Oleh:
Riri Kumala Sari
H1A 008 026
Pembimbing:
dr. Bambang Priyanto, Sp.BS
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN/SMF BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM/RSUP NTB
MATARAM – 2014
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Kraniofaringioma
Nama : Riri Kumala Sari
NIM : H1A 008 026
Laporan kasus ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian kepaniteraan Klinik
Madya pada Bagian/SMF Bedah Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat / Fakultas
Kedokteran Universitas Mataram.
Mataram, Februari 2014
Pembimbing,
dr. Bambang Priyanto, Sp.BS
1
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
a. Nama : Tn. S
b. Usia : 31 tahun
c. Jenis kelamin : Laki-laki
d. Suku : Sasak
e. Agama : Islam
f. Alamat : Sikur, Lombok Timur
g. Tanggal kunjungan : 24 Desember 2013
h. Tanggal pemeriksaan : 24 Desember 2013
B. Anamnesa
a. Keluhan Utama
Nyeri kepala
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan RSUD Selong dengan tumor serebri suspek kraniofaringioma
dengan hidrosefalus obstruktif. Pasien mengeluh nyeri kepala sejak 2 tahun yang
lalu, memberat sejak 1 minggu yang lalu (17/12/14). Nyeri kepala dirasakan pada
seluruh kepala terutama kepala bagian depan, nyeri dirasakan seperti tertekan.
Nyeri kepala dirasakan terus menerus, semakin lama semakin memberat. Nyeri
kepala tidak dipengaruhi oleh posisi. Nyeri dirasakan memberat pada pagi hari.
Nyeri kepala disertai dengan keluhan muntah sejak 1 minggu yang lalu. Muntah
dikeluhkan sebanyak dua kali. Muntah terutama dirasakan sejak pagi hari. Muntah
yang dirasakan pasien sangat hebat hingga pasien terbatuk-batuk.
Sejak 2 tahun yang lalu, badan sebelah kanan dirasakan kaku dan keras.
Badan sebelah kanan juga dirasakan sulit digerakkan. Selain itu, pasien terkadang
merasa lemas pada badan kanan, lemas dirasakan terutama saat pasien baru
bangun tidur. Pasien mengaku sulit melakukan aktivitas sehari-hari setelah pasien
kaku pada tubuh sebelah kanan. Pasien tidak pernah mengeluh kesemutan maupun
rasa tebal pada tubuh bagian kanan. Tidak terdapat rasa tebal pada wajah dan tidak
pernah mengalami kejang. Menurut istri pasien, tidak ada perubahan pada
kepribadian pasien setelah sakit.
2
Pasien juga mengeluh mata sebelah kiri kurang melihat sejak 2 tahun yang
lalu. Pandangan dirasakan kabur, tidak didapatkan penglihatan ganda maupun
penglihatan berbayang. Pasien juga mengeluh telinga sebelah kiri kurang
mendengar. Sejak 2 tahun yang lalu pasien juga berbicara pelo serta kurang jelas
dan mengeluh bibirnya tampak miring.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyatakan tidak pernah mengalami keluhan nyeri kepala hebat disertai
kaburnya penglihatan dan kurangnya pendengaran sebelumnya. Pasien tidak
memiliki riwayat tekanan darah tinggi maupun riwayat kencing manis. Pasien
tidak pernah mengalami trauma kepala maupun kejang.
d. Riwayat tumbuh kembang
Pasien tidak mengingat riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien saat masa
kanak-kanak. Namun pasien mengaku bersekolah sampai SMA. Saat bersekolah
pasien pernah mendapat peringkat atas pada saat SD. Pada saat SMP dan SMA
pasien tidak mendapat peringkat. Pasien mengaku saat masa sekolah perawakan
pasien termasuk sedang dibandingkan dengan teman-temannya.
e. Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya sering dibawa berobat ke dukun. Pasien sudah berobat ke RS
Selong kemudian dirujuk ke RSUP Mataram dengan tumor otak. Awalnya di
Selong pasien didiagnosis sebagai stroke non hemoragik dan telah diberikan obat
captopril dan aspilet.
f. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami riwayat tumor otak. Tidak terdapat
riwayat keluarga dengan tekanan darah tinggi maupun kencing manis.
C. Pemeriksaan Fisik
I. Status Generalis
Keadaan umum : Sedang
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 120/70 mmHg
3
Nadi : 88 x/menit, teratur, kuat angkat
Frekuensi napas : 16 x/menit, teratur, tipe pernapasan torako-abdominal
Temperatur axila : 36,8 oC
II. Pemeriksaan Fisik Umum
a. Kepala
Kepala : normocephali, masa (-), cephal hematoma (-).
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), reflex pupil (+/+)
isokor, bentuk regular ukuran 3 mm/3 mm.
Hidung : bentuk normal, deviasi septum (-), rinore (-).
Telinga : bentuk normal, otorrhea -/-, hematoma retroaurikula (-).
b. Leher
Jejas (-), deformitas tulang belakang leher (-), depresi tulang spinosum (-).
c. Thorax
Inspeksi : bentuk dan ukuran thorax normal, pergerakan dinding dada kanan
dan kiri simetris, iktus kordis tidak tampak, jejas (-).
Palpasi : pergerakan dinding dada kanan dan kiri simetris.
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru.
Auskultasi : cor : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
pulmo : suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
d. Abdomen
Inspeksi : distensi (-), jejas (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : massa (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani pada lapang abdomen
e. Ekstremitas
Ekstremitas atas
Kanan : spastik dengan posisi tangan fleksi dan jari-jari tangan tampak
menggenggam, jejas (-), hematom (-), edema (-), akral hangat
(+)
Kiri : spastik (-), jejas (-), hematom (-), edema (-), akral hangat (+)
Ekstremitas bawah :
Kanan : spastik (+), jejas (-), hematom (-), edema (-), akral hangat (+)
Kiri : spastik (-), jejas (-), hematom (-), edema (-), akral hangat (+)
III. Pemeriksaan Neurologis
4
GCS : E4V5M6
Kesadaran : Compos mentis
a. Pemeriksaan Saraf kranialis
Nervus kranialis I : normosmia, hiposmia (-), anosmia (-)
Nervus kranialis II :
Tajam penglihatan (visus) :
o OD : > 3/60 (bed site)
o OS : 3/60 (bed site)
Lapang pandang :
Tes konfrontasi normal dari segala arah
Nervus kranialis III
- Kontraksi muskulus levator palpebra dekstra dan sinistra dalam batas
normal
- Gerakan bola mata baik ke segala arah, nistagmus (+) horizontal,
gerakan cepat.
OD OS
- Refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)
- Refleks pupil akomodatif (+/+).
Nervus kranialis IV
- Kontraksi muskulus obliquus superior dekstra dan sinistra dalam batas
normal.
Nervus kranialis V
- Motorik
Muskulus temporalis
Dekstra Sinistra
Konsistensi otot Kenyal Kenyal
Kekuatan otot Sama kuat
Atrofi (-) (-)
Muskulus masetter
Dekstra Sinistra
5
Konsistensi otot Kenyal Kenyal
Kekuatan otot Sama kuat
Atrofi (-) (-)
- Sensorik:
N. V1 → +/+
N. V2 → +/+
N. V3 → +/+
Refleks kornea OD (+); Refleks Kornea OS (+).
Nervus kranialis VI
- Kontraksi muskulus rektus lateralis (mengakibatkan pergerakan
abduksi bola mata) dekstra dan sinistra dalam batas normal.
Nervus kranialis VII
- Motorik
Kontraksi otot wajah:
o Saat istirahat: asimetris (sudut bibir kanan tampak jatuh).
o Saat mengangkat alis: simetris.
o Saat menutup mata: kedua mata dapat dipejamkan, celah mata
kanan ± 2 mm, mata kiri tertutup rapat.
o Saat memperlihatkan gigi: asimetris (tampak bibir bagian
kanan masih menutupi gigi).
o Saat menarik sudut bibir ke bawah: asimetris (tak tampak
kerutan yang dibentuk oleh sudut nasolabial kanan).
- Sensorik
Sensasi kecap manis, asam, dan asin dalam batas normal
Refleks stapedial : tidak dilakukan
Tes schirmer : tidak dilakukan
Nervus kranialis VIII
- Pendengaran
Tes rinne: (+/+)
Tes weber lateralisasi ke telinga yang sehat
Tes schwabach: memendek
- Keseimbangan
- Tes Romberg (+) penderita jatuh ke sisi kanan
6
Nervus kranialis IX dan X
- Orofaring dan uvula dalam keadaan istirahat: arkus faring kanan lebih
rendah dari yang kiri.
- Orofaring dan uvula dalam keadaan berfonasi : uvula dan arkus faring
tertarik ke kiri.
- Refleks muntah (+).
- Disartria (+).
Nervus kranialis XI
- Muskulus trapezius
Dekstra Sinistra
Konsistensi otot Kenyal Kenyal
Kekuatan otot 5 5
Atrofi (-) (-)
- Muskulus sternokleidomastoideus
Dekstra Sinistra
Konsistensi otot Kenyal Kenyal
Kekuatan otot 5 5
Atrofi (-) (-)
Nervus kranialis XII
- Saat istirahat : atrofi (+) pada lidah kanan, deviasi lidah ke kiri,
fasikulasi (-), tremor (-)
- Saat menjulurkan lidah: atrofi (+) pada lidah kanan, deviasi lidah ke
kanan, fasikulasi (-), tremor (+)
b. Rangsangan meningeal
Kaku Kuduk : (-)
Kernig sign : (-)
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
c. Refleks fisiologis
Biseps : (+)↑/(+)
Triseps : (+)↑/(+)
KPR : (+)↑/(+)
APR : (+)↑/(+)
7
d. Refleks patologis
Babinsky : (-)/(-)
Chaddok : (-)/(-)
Oppenheim : (-)/(-)
Scaefer : (-)/(-)
Gordon : (-)/(-)
e. Motorik
Motorik Superior Inferior
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Pergerakan Terbatas normal terbatas normal
Kekuatan 4 5 4 5
Tonus otot spastik normal spastik normal
Bentuk otot normal normal normal normal
f. Sensorik:
Sensasi superfisial
Raba : + / +
Nyeri : + / +
Suhu : + / +
Sensasi dalam / proprioseptif
Terasa getaran : + / +
Rasa nyeri dalam otot : + / +
Taktil diskriminasi : + / +
Sensasi viseral
Lapar : + / +
g. Pemeriksaan serebelum
- Nose-finger-nose test jari telunjuk pasien tidak mampu
mencapai jari telunjuk pemeriksa tepat pada waktunya, terdapat
tremor beberapa saat sebelum jari pasien dapat mencapai jari
telunjuk pemeriksa.
Kesan : dismetria, tremor intensi
8
Gambar 1. Tampak wajah asimetris, wajah sebelah kanan tampak tertinggal.
D. RESUME
Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala, bersifat tumpul, terutama pada regio
frontal, nyeri kontinyu, progresif, tidak dipengaruhi oleh posisi, disertai dengan muntah yang
proyektil. Pasien juga merasa badan sebelah kanannya kaku dan sulit digerakkan serta lemas
pada badan kanan. Pandangan kiri kabur dan pendengaran kiri kurang. Pasien juga mengeluh
berbicara pelo dan kurang jelas serta mengeluh bibirnya tampak miring. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan keadaan umum sedang, tanda vital stabil, nistagmus (+), dismetria (+),
tremor intensi (+), hemiparese dekstra (+) tipe UMN, terdapat parese N. VII sentral, parese
N. VIII koklearis dan vestibularis, parese N. IX, X, parese N. XII sentral.
Problems list:
Cephalgia
Badan sebelah kanan kaku
Pandangan kiri kabur
Pendengaran kiri berkurang
Nistagmus, dismetria, tremor intensi
9
Hemiparese spastik dekstra tipe UMN
Multiple cranial nerves palsy tipe sentral
E. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis
Cephalgia
Nistagmus, dismetria dan tremor intensi
Hemiparese spastik dekstra tipe UMN
Multiple cranial nerves palsy tipe sentral
Diagnosis etiologis
Curiga proses intrakranial
Hidrosefalus
Tumor otak
Edema serebri
Abses otak
Diagnosis topis
Supratentorial dan infratentorial
F. PLANNING
1. Diagnostik
Pemeriksaan lanjutan :
Pemeriksaan refleks stapedial
Pemeriksaan schirmer
Pemeriksaan kalori
Pemeriksaan visus dengan Snellen chart
Pemeriksaan lapang pandang : kampimeter
Pemeriksaan funduskopi
Pemeriksaan audiometri
Pemeriksaan laboratorium :
DL, elektrolit, evaluasi hormon tiroid, ACTH, osmolaritas urin.
Pemeriksaan radiologi :
CT scan
MRI
2. Terapi
10
- Medikamentosa :
Paracetamol 3 x 500 mg
Asetazolamid 2 x 500 mg
3. Monitoring
- Keluhan : nyeri kepala, muntah, gangguan penglihatan dan pendengaran,
frekuensi kencing.
- Vital sign : tekanan darah, nadi, pernapasan dan suhu.
- Produksi urine
- Status neurologis
4. Edukasi
Menjelaskan pada pasien kemungkinan penyebab dari keluhan pasien adalah
suatu proses intrakranial. Terdapat beberapa kemungkinan penyebab yang dapat
menimbulkan gejala seperti yang dialami pasien, yaitu : hidrosefalus, tumor otak,
edema serebri dan abses otak. mengusulkan pada pasien untuk melakukan
pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan diagnosis yang dialami
pasien.
11
G. Hasil CT-scan kepala
Gambar 2. Hasil CT scan pasien
Kesan :
Massa kistik luas dengan kalsifikasi pada regio sella sampai suprasella dan parasella
kanan kiri terutama kiri sesuai gambaran kraniofaringioma.
Pendesakan aquaduktus sylvii, ventrikel IV, serebelum dan lobus temporal kiri
hidrosefalus obstruktif.
H. DIAGNOSIS
Kraniofaringioma
I. PLANNING
1. Terapi
- Medikamentosa :
Paracetamol 3 x 500 mg
Asetazolamid 2 x 500 mg
- Pembedahan : eksisi tumor
12
- Radioterapi
2. Monitoring
- Keluhan : nyeri kepala, muntah, gangguan penglihatan dan pendengaran,
frekuensi kencing.
- Vital sign : tekanan darah, nadi, pernapasan dan suhu.
- Produksi urine
- Status neurologis
- Laboratorium : DL, elektrolit, osmolaritas urin.
3. Edukasi
Menjelaskan pada pasien bahwa pasien mengalami tumor otak, yaitu
kraniofaringioma. Tumor ini yang menyebabkan penekanan pada struktur otak
sekitar sehingga menyebabkan keluhan-keluhan yang dialami pasien. Tatalaksana
untuk kraniofaringioma ini adalah tatalaksana dengan obat-obatan, pembedahan
dan radioterapi. Terapi pembedahan pada pasien ini juga berisiko tinggi karena
lokasi tumor yang berdekatan dengan struktur-struktur penting pada otak. Apabila
tumor dibiarkan, ukurannya dapat membesar dan semakin menekan struktur
sekitarnya.
J. PROGNOSIS
Dubia ad malam
13
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
A. 1 Anatomi Regio Sella
Fossa hipofisis dibatasi pada anterior, posterior dan inferior oleh struktur tulang sella
tursika. Batas anterior disebut tuberkulum sella. Batas posterior adalah dorsum sella. Pada
bagian anterior dan sedikit superior dari tuberkulum terdapat sulkus kiasmatikus yang
berujung pada tiap sisi foramen optikus. Batas superolateral dorsum sella membentuk struktur
bulat yang disebut prosesus clinoideus posterior yang merupakan tempat menempelnya dura.
prosesus clinoideus anterior memiliki fungsi yang sama dan berkaitan dengan sisi
anterolateral dari sella tursika (Amar dan Weiss, 2003).
Batas bawah dari fossa hipofiseal dibentuk oleh atap sinus sfenoideus, tergantung
ukuran sinus tersebut. Apabila sinus berukuran kecil, atapnya hanya membentuk dasar bagian
anterior dari sella tursika dan sisanya dibentuk oleh tulang sfenoid. Derajat pneumatisasi
tulang sfenoid dan ketebalan tulang yang memisahkan sinus sfenoid dari fosa hipofiseal
sangat bervariasi. Pola struktur tulang trabekula yang membagi sinus sfenoid juga tidak
konstan. Septum intrasinus menempel pada bagian tengah dinding sella anterior dan hanya
pada 20% kasus dan dapat pula tidak ada. Pada 20% kasus lain, perlekatan posterior dari
septum intrasinus adalah pada prominensia karotis (Amar dan Weiss, 2003).
Kontur dari sella juga sangat bervariasi. Meskipun konturnya bulat dan oval namun
dapat juga datar. Saat lahir, sella tursika terdiri dari depresi dangkal dan bagian dorsum
belum terosifikasi. Pada saat usia 4 tahun, bentuk sella menjadi semakin bulat. Dimensi
sagittal meningkat sebanyak 0,5 – 1 mm pertahun hingga masa pubertas (ketika bentuk sella
sudah definitif menjadi bulat). Rerata dimensi anteroposterior sella pada bidang midsagittal
adalah 1,07 cm, sedangkan rerata dalam dan dimensi transversumnya adalah 0,8 cm dan 1,21
cm. ukuran rerata sella sama pada pria maupun wanita (Amar dan Weiss, 2003).
Diafragma sella, yaitu lipatan dura dengan defek sentral akan membentuk atap tidak
komplit diatas sella tursika. Diafragma sella memisahkan lobus anterior dengan kiasma
optikus. Batas diafragma menempel pada tuberkulum sella, prosesus clinoid anterior, bagian
superior dorsum sella dan prosesus clinoid posterior. Pada bagian lateral, diafragma berlanjut
dengan lipatan dura yang menyusun dinding lateral fossa hipofisis (Amar dan Weiss, 2003).
Bagian sentral dari diafragma memiliki ukuran yang bervariasi, dari foramen kecil
hingga foramen besar. Ukuran apertura dan ketahanan diafragma merupakan faktor yang
penting dalam melindungi hipofisis dari pulsasi yang ditransmisikan dari pleksus koroideus
14
atau dalam melindungi jaras visual terhadap ekstensi suprasella dari tumor hipofisis (Amar
dan Weiss, 2003).
A. 2 Anatomi parasella dan suprasella
Lipatan duramater yang membentuk dinding lateral fossa hipofisis berisi sinus
kavernosus, yang terdiri dari kanal-kanal vena yang dipisahkan oleh trabekula fibrosa. Kedua
sinus saling berhubungan dari sinus interkavernosus anterior dan posterior / sinus sirkularis.
Sinus ini melintas pada diafragma sella di depan dan belakang infundibulum (Amar dan
Weiss, 2003).
Nervus okulomotorius, nervus troklearis dan nervus trigeminus divisi satu dan dua
terdapat pada dinding lateral sinus kavernosus, diantara perbatasan endotelial dan dura mater.
Sedangkan nervus abdusen terdapat pada sinus tersebut. Sinus kavernosus juga membungkus
satu bagian dari arteri karotid interna dan pleksus nervus simpatikus yang mengelilinginya.
Segmen kavernosus dari arteri karotid interna berjalan kedepan dekat dengan permukaan
superolateral tulang sfenoid pada lekukan yang disebut sulkus karotikus. Arteri ini kemudian
membelok ke superior, medial dari prosesus klinoid anterior, pada bagian akhir anterior
sulkus karotikus, dimana arteri ini menembus ke dura dan memasuki ruang subaraknoid
(Amar dan Weiss, 2003).
Hipofisis terletak dibawah hipotalamus dan jaras visual. Variabilitas perkembangan
permukaan superior dari tulang sfenoid yang letaknya anterior dari fossa hipofiseal
mengakibatkan variasi letak antara kelenjar hipofisis, infundibulum, diafragma sella, sulkus
kiasmatikus dan aparatus optikus. Terdapat empat pola yang ditemui : (Amar dan Weiss,
2003)
1. Pada beberapa kasus, tulang sfenoid berkembang sehingga sulkus kiasmatikus terletak
lebih inferior dari biasanya. Ini akan mengakibatkan posisi foramen optikus menjadi
lebih rendah sehingga kiasma optikus letaknya lebih dekat dengan diafragma sella. Batas
anterior kiasma berdekatan dengan sulkus kiasmatikus dan sering kali bersinggungan
dengan dinding posterior atas dari sinus sfenoideus. Nervus optikus di intrakranial
jarasnya relatif pendek dan infundibulum terletak posterior dari jaras ini dari
hipotalamus ke diafragma sella. Ekstensi tumor hipofisis suprasela dapat mengakibatkan
disetensi diafragma sella sehingga mengakibatkan tekanan tertinggi terdapat pada bagian
medial traktus optikus.
2. Pada kasus lain, jaras nervus optikus di intrakranial lebih panjang serta keseluruhan
kiasma optikus terletak pada bagian anterior diafragma sella. Infundibulum dengan jalur
15
vertikal melewati hipotalamus menuju ke apertura sentralis. Kiasma optikus merupakan
struktur yang paling rentan terhadap ekstensi tumor hipofisis ke suprasella. Struktur
kedua ini ditemukan pada 12% kasus.
3. Pada struktur ketiga ini, kiasma optikus terletak lebih posterior dibanding kedua struktur
sebelumnya, terletak pada aspek posterior dari diafragma sella dan pada bagian anterior
dorsum sella. Infundibulum terdapat di anterior dan melewati hipotalamus menuju ke
diafragma. Struktur ini ditemukan pada 75% kasus.
4. Pada struktur ini, kiasma optikus terletak pada dan dibelakang dorsum sella.
Infundibulum terdapat di depannya dan mengarah ke apertura sentralis. Struktur ini
terdapat padaa 4% - 11% kasus. Pada struktur ini, aspek medial dari nervus optikus
merupakan bagian yang paling rentan pada ekstensi tumor intrasella ke bagian
suprasella.
Variabilitas hubungan antar struktur di otak ini dengan jaras penglihatan dan arteri
serebralis anterior merupakan penentu yang penting adanya defisit visual akibat penyebaran
tumor hipofisis, terutama bila struktur arteri keras dan tidak memiliki komplians yang baik
(Amar dan Weiss, 2003).
A. 3 Anatomi kelenjar hipofisis
Hipofisis terletak pada bagian inferior diensefalon. Hipofisis melekat pada hipotalamus
melalui infundibulum dan disokong oleh sella tursika tulang sfenoid. Hipofisis memiliki
fungsi endokrin dan secara struktural dan fungsional dibagi menjadi bagian anterior yang
disebut adenohipofisis dan bagian posterior yang disebut neurohipofisis. Adenohipofisis
dibagi menjadi pars distalis (hipofisis anterior) dan pars tuberalis. Neurohipofisis terdiri dari
hipofisis posterior (Graff, 2001).
16
Gambar 3. Kelenjar hipofisis (a) Berlekatan dengan hipotalamus melalui infundibulum, terletak pada sella
tursika tulang sfenoid. (b) Diagram bagian-bagian hipofisis. (Graff, 2001)
Berat rerata kelenjar hipofisis saat lahir adalah sekitar 100 mg. pertumbuhan cepat
terjadi pada masa kanak-kanak, diikuti oleh pertumbuhan lebih lambat hingga dewasa. Saat
dewasa berat rerata hipofisis adalah sekitar 500 – 600 mg. Hipofisis dewasa berukuran
panjang 10 mm, lebar 10 – 15 mm dan tinggi 5 mm. Hipofisis pada wanita biasanya 20%
lebih berat dibandingkan dengan pria akibat perbedaan relatif ukuran pars distalis dan pada
saat kehamilan berat hipofisis bertambah sebanyak 12% - 100% akibat pembesaran pars
distalis. Volume hipofisis berkurang seiring penambahan usia (Amar dan Weiss, 2003).
17
Regulasi neural fungsi hipofisis terjadi akibat dua mekanisme, yaitu : (Amar dan Weiss,
2003)
1. Proyeksi langsung hipotalamus ke neurohipofisis mengandung terminal akson yang
berakhir pada lobus posterior dan melepaskan produk neurosekretori langsung ke aliran
darah.
2. Regulasi adenohipofisis via hormon tropik yang diproduksi di hipotalamus dan diteruskan
ke lobus anterior via sistem vena porta.
Kelenjar hipofisis mendapat suplai darah dari dua kelompok arteri, yaitu arteri
hipofiseal superior (AHS) yang memberikan suplai primer ke lobus anterior dan arteri
hipofiseal inferior (AHI) yang memberiksan suplai ke pars nervosa. AHS berasal dari arteri
karotid interna (AKI) atau dari arteri komunikans posterior sedangkan AHI berasal dari
trunkus meningohipofiseal, cabang dari segmen kavernosa AKI. AHS terdiri dari pembuluh
darah kecil yang keluar dari bagian inferomedial AKI dibawah nervus optikus. Mereka
memperdarahi infundibulum, adenohipofisis dan permukaan inferior nervus optikus dan
kiasma. Arteri-arteri kecil ini beranastomosis dengan bagian sisi kontralateralnya dan dengan
AHI untuk membentuk pleksus yang mengelilingi eminensia media dan bagian atas
infundibulum. Eminensia media menerima ujung-ujung sel hipotalamik yang memproduksi
faktor pelepas dan inhibisi yang berkaitan dengan kontrol fungsi adenohipofiseal. Cincin
vaskular ini terbagi menjadi pleksus primer kapiler yang berfenestra yang bercabang melalui
jaringan-jaringan dan menerima faktor regulatori yang disekresikan oleh jaringan. Kapiler-
kapiler bergabung menjadi venula dan membentuk vena porta hipofiseal. Telah diestimasi
bahwa konsentrasi peptida hipotalamus yang meregulasi hipofisis 10 kali hingga 1000 kali
lebih tinggi pada aliran vena porta hipofisis dibandingkan dengan sirkulasi perifer. Vena
porta melewati infundibulum menuju ke pars tuberalis dan pars distalis lobus anterior,
dimana terdapat pleksus sekunder kapiler sinusoid dibentuk. Setelah mentransmisikan faktor
regulatori menuju adenohipofisis dan menerima hormon yang disekresi lobus anterior,
kapiler-kapiler ini kemudian bergabung menjadi vena hipofiseal lateral eferen yang
mendrainase sinus kavernosus (Amar dan Weiss, 2003).
Lobus posterior mendapat suplai darah dari cabang AHI. Pembuluh darah ini melewati
bagian medial dari asalnya dibawah diafragma sella untuk memasuki lekukan diantara pars
distalis dan pars nervosa. Pada lokasi ini, terbagi menjadi cabang asendens dan desendens
yang bergabung dengan cabang lainnya dari AHI kontralateral dan membentuk cincin arteri.
Anastomosis ini kemudian membentuk arteriol dan kapiler yang bercabang sepanjang pars
nervosa, menerima produk neurosekretori dari akson terminal. Cabang lain memberi suplai
18
ke kapsul pars nervosa dan infundibulum. Drainase vena lobus posterior juga secara primer
oleh sinus kavernosus dan sinus sirkularis (Amar dan Weiss, 2003).
Lobus intermedius relatif avaskular, namun dapat diperdarahi suplai kolateral dari
hubungan anastomosis antara kapiler lobus anterior dan posterior (Amar dan Weiss, 2003).
Gambar 4. Gambaran skematik anatomi vaskularisasi hipofisis (Amar dan Weiss, 2003)
B. Embriologi
Kelenjar hipofisis berasal dari dua bagian perkembangan embrio yang berbeda, yaitu :
1. Rathke’s pouch yaitu evaginasi dorsal dari stomodenum yang letaknya anterior dari
membran bukofaringeal.
2. Infundibulum yaitu perluasan ventral dari diensefalon yang letaknya kaudal dari
kiasma optikus.
(Amar dan Weiss, 2003)
Evaginasi dorsal lain dari stomodenum, pouch of Sessel , terdapat pada posterior
membran bukofaringeal. Struktur ini penting terhadap pembentukan hipofisis pada hewan
vertebrata namun tidak pada primata. Namun terkadang dapat tetap dan tidak berinvolusi
pada manusia serta dapat menjadi asal dari beberapa jenis tumor (Amar dan Weiss, 2003).
19
Gambar 5. Embriogenesis kelenjar hipofisis (Amar dan Weiss, 2003)
Rathke’s pouch dan infundibulum merupakan derivat dari lapisan ektodermal sel
germinativum, namun memiliki perbedaan pola histologi yang nyata. Rathke’s pouch
kemudian berdiferensiasi menjadi epitel glandular yang merupakan karakteristik organ
endokrin lain, sedangkan infundibulum kemudian menjadi struktur jaringan eksokrin tanpa
saluran. Perkembangan hipofisis dimulai ketika primordium glandular dan neural diinduksi
oleh ujung anterior dari notochord, yang terletak kaudal dari stomodeum. Interaksi resiprokal
antara kedua struktur tersebut akan membuat embriogenesis berikut (Amar dan Weiss, 2003).
Selama minggu ketiga gestasi, infundibulum berkembang sebagai divertikulum ventral
pada dasar ventrikel tiga. Infundibulum terbentang dari eminensia mediana sebagai
infundibular stem dan berakhir pada ekspansi yang disebut prosesus infundibularis. Secara
stimultan, ectodermal placode muncul pada bagian atas dari stomodeum dan berinvaginasi
untuk membentuk Rathke’s pouch yang akan berkembang ke bagian dorsal. Pada bulan kedua
perkembangan, Rathke’s pouch mendatar disekitar permukaan anterior dan lateral
infundibulum dan dua struktur ini kemudian akan berintegrasi (gambar 5) (Amar dan Weiss,
2003).
Hubungan antara Rathke’s pouch dengan kavitas oris terdapat diantara pusat
kondrifikasi dari tulang presfenoid dan basis sfenoid yang berkembang. Ekspansi mesenkim
sfenoid pada minggu keenam kehamilan mengakibatkan koneksi ini beregresi pada sebagian
besar kasus. Pada sekitar 1% dari tulang tengkorak bayi baru lahir terdapat sisa dari
20
hubungan ini yang disebut kanalis basifaringeus. Sisa dari Rathke’s pouch juga dapat terdapat
pada bagian atas orofaring sebagai hipofisis faringeal (gambar 6) (Amar dan Weiss, 2003).
Gambar 6. Sisa Rathke’s pouch dapat tetap terdapat pada bagian atas orofaring sebagai faringeal hipofisis atau
pada tulang sfenoid sebagai kanalis basifaringeal. (Amar dan Weiss, 2003)
Pada perkembangan lebih lanjut, sel pada dinding anterior Rathke’s pouch (pars
distalis) berproliferasi dengan cepat dan membentuk lobus anterior hipofisis yang disebut
adenohipofisis (gambar 7) (Amar dan Weiss, 2003).
Gambar 7. Potongan midsagital hipofisis dewasa menunjukkan konstituens adenohipofisis, lobus intermedius
dan neurohipofisis.
Perbedaan pertumbuhan sel-sel relatif terhadap mesenkim sekitar akan mengakibatkan
bentukan struktur seperti baki yang terbuka pada bagian atas dan terpisah menjadi dua
kompartemen oleh septum median. Masing-masing kompartemen atau fossa Atwell awalnya
terisi oleh mesenkim. Fossa-fossa ini kemudian akan menghilang sebagai akibat proliferasi
21
selular derivat Rathke’s pouch. Septum median membentuk pars medialis, sedangkan bagian
lateral membentuk pars lateralis lobus anterior. Migrasi elemen mesenkim dari fossa Atwell
menuju permukaan anterior infundibulum membawa elemen mesodermal akan membentuk
pembuluh darah sistem portal hipofiseal (Amar dan Weiss, 2003).
Sel bagian dinding posterior Rathke’s pouch tidak berproliferasi dengan ekstensif,
namun berdiferensiasi menjadi lobus medial hipofisis, pars intermedia. Kavitas Rathke’s
pouch diantara lobus anterior dan media akan menghilang pada sebagian besar kasus dengan
terjadinya inkorporasi sel dari dinding anterior dan posterior. Namun kavitas ini dapat
menetap sebagai lekukan dangkal (lumen residual yang disebut fissura hipofisis) (Amar dan
Weiss, 2003).
Bersama dengan pars tuberalis, batang infundibulum tersusun atas tangkai hipofisis.
Prosesus infundibulum kemudian membentuk lobus posterior kelenjar hipofisis yang disebut
pars nervosa / neurohipofisis. Lobus ini tersusun dari sel neuroglia (pituisit) dan serabut saraf
dan bagian terminal sel yang berasal dari nuklei hipotalamus. Pituisit secara spesifik
mendukung sekresi dan transpor hormon yang diproduksi oleh neurohipofisis. Selain itu
pituisit juga memiliki komponen fagositik. Lumen infundibulum berobliterasi selama
perkembangan, namun cekungan kecil pada bagian proksimal, resesus infundibulum akan
tetap ada pada basis ventrikel tiga. Ini dapat dilihat pada gambar 7 (Amar dan Weiss, 2003).
C. Kraniofaringioma
1. Definisi
Tumor otak adalah lesi oleh karena ada desakan ruang baik jinak maupun ganas yang
tumbuh di otak, meningen dan tengkorak. Kraniofaringioma adalah tumor dari sel epitel
embrionik dari duktus craniofaringeal yang terletak di area hipotalamus di atas sella tursica
atau bagian infundibulum. Kraniofaringioma adalah, tumor kistik yang berkalsifikasi, ekstra-
aksial, epitel-skuamosa, dan tumbuh dengan lambat yang timbul dari sisa-sisa duktus
kraniofaringeal dan / atau celah Rathke dan menempati bagian (supra) sellar (Komotoar,
Kellner dan Bruce, 2010).
2. Epidemiologi
Insidensi kraniofaringioma menempati 4% dari tumor intrakranial. Distribusi usia pada
tumor ini puncaknya adalah pada usia 5-14 tahun dan 50-60 tahun. Insidensi tumor ini yaitu
0,5 hingga 2,5 per 1.000.000 populasi. Tidak ada variasi jenis kelamin ataupun ras. Tidak ada
22
hubungan genetik yang diidentifikasi dan kasus keturunan pada keluarga jarang ditemukan
(Demonte et al, 2007).
Lokasi kraniofaringioma yang paling sering ditemukan adalah pada regio suprasella.
Kraniofaringioma merupakan 13% dari keseluruhan tumor suprasella dan 56% tumor
suprasella pada anak-anak dimana merupakan 5% - 10% dari keseluruhan tumor intrakranial
pada anak (Demonte et al, 2007). Kraniofaringioma berasal dari sisa jaringan embrional, 50%
usia pasien kurang dari 20 tahun (Komotoar, Kellner dan Bruce, 2010).
3. Etiologi
Kraniofaringioma berasal dari sel skuamosa sisa kantung Rathke yang terletak antara
adenohipofisis dan neurohipofisis (Powell, Lightman dan Laws, 2003).
Dua hipotesis telah disusun untuk menjelaskan etiologi kraniofaringioma, yaitu teori
embriogenik dan teori metaplastik (Demonte et al, 2007).
Teori embriogenik berkaitan dengan perkembangan adenohipofisis dan transformasi sel
yang tersisa dari duktus kraniofaringeal dan kantung Rathke. Pada minggu keempat
kehamilan, infundibulum yang merupakan evaginasi diencephalon kearah bawah, kontak
dengan kantung Rathke yang merupakan invaginasi dari cavitas “orissto primitive”
(stomodenum). Tangkai dari kantung ini merupakan duktus craniopharyngeus yang lama
kelamaan akan menyempit, menutup dan terpisah dari stomodenum pada akhir gestasi bulan
kedua. Vesikel yang baru terbentuk ini kemudian akan rata dan mengelilingi infundibulum
dan dindingnya akan membentuk struktur hipofisis. Vesikel tersebut kemudian akan
berinvolusi. Dari sel embriologik yang menyusun duktus kraniofaringeus atau kantung
Rathke inilah terbentuk kraniofaringioma (Demonte et al, 2007).
Teori metaplastik menyatakan bahwa terdapat kemungkinan kraniofaringioma berasal
dari metaplasia sel squamosal dan sel epitel residual yang berasal dari stomodenum primitive
dan normalnya terdapat pada adenohipofisis. Kedua teori ini dapat diterima dan dapat
menjelaskan spektrum histopatologis dari kraniofaringioma (Demonte et al, 2007).
4. Patogenesis
Kraniofaringioma dianggap didapat secara kongenital dan timbul dari sisa-sisa
kantong Rathke's di persimpangan batang infundibular dan hipofisis. Kraniofaringioma
adalah tumor epitel yang jinak. Sel-sel skuamosa yang ditemukan menunjukkan gambaran
metaplastik dan dapat menetap untuk suatu jangka masa yang signifikan sebelum
transformasi terjadi. Terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa tumor ini berasal dari
23
malformasi dari sel embrio yang terlalu lama menetap di daerah tersebut dan tidak diserap
sewaktu janin sehingga menyebabkan pertumbuhan yang abnormal. Pada saat tumor telah
mencapai diameter 3 sampai 4 cm, hampir selalu menjadi kistik dan sebagian terkalsifikasi.
Biasanya terletak di atas sella tursika dan menekan kiasma optik hingga ke ventrikel ketiga.
Tumor yang besar dapat menghambat aliran CSF (Demonte et al, 2007).
5. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis kraniofaringioma bergantung dari lokasi tumor, ukuran, pola
pertumbuhan dan kaitannya dengan struktur serebral yang lain. Manifestasi kraniofaringioma
dapat dilihat dari tabel 1 (Zoicas and Schofl, 2012).
Kraniofaringioma biasanya secara umum tumbuh dengan lambat, gejala dapat timbul
secara gradual sehingga manifestasi klinis dapat timbul 1- 2 tahun diantara gejala onset dan
diagnosis. Pada dewasa, gejala klinis yang paling sering muncul adalah defisit lapang
pandang dan tanda hipohipofisis. Pada sekitar 40-80% pasien dengan ekstensi tumor
suprasella yang menekan kiasma optikus dapat mengakibatkan gangguan pada tajam
penglihatan dan gangguan pada lapang pandang (hemianopsia bitemporal asimetris). Pada
penelitian dari 78 pasien dewasa, 57% pasien wanita melaporkan menstruasi yang tidak
teratur atau amenore dan 28% pasien mengeluh adanya gangguan fungsi seksual. Gejala lain
seperti nausea dan muntah (26%), kekurangan energi (32%) dan letargi (26%) juga sering
pada pasien dewasa. Gejala-gejala ini indikatif merupakan gejala disfungsi hipofisis anterior
(Zoicas and Schofl, 2012).
Secara umum, defisiensi hormon pertumbuhan sering ditemukan, diikuti oleh defisiensi
gonadotropin, hormon adenokortikotropin (ACTH), tiroid stimulating hormone (TSH).
Kompresi infundibulum dapat mengakibatkan diabetes insipidus (DI) dengan gejala poliuria
dan polidipsia pada 17-38,5% kasus. Keterkaitan hipotalamus dapat mengakibatkan
peningkatan berat badan signifikan yang merupakan manifestasi klinis dari 13-15,4% pasien.
Nyeri kepala berat juga sering kali dijumpai (56%) dan dapat merupakan akibat dari
peningkatan tekanan intrakranial akibat masa tumor tersebut, maupun akibat hidrosefalus
obstruksi akibat kompresi ventrikel tiga atau akibat kebocoran masa kista yang dapat
mengakibatkan iritasi meningeal (Zoicas and Schofl, 2012).
24
Tabel 1. Manifestasi klinis pada kraniofaringioma
(Zoicas and Schofl, 2012)
Manifestasi klinis kraniofaringioma biasanya timbul perlahan-lahan. Terdapat interval
1-2 tahun antara onset gejala dengan diagnosis. Regio suprasella dikelilingi oleh struktur-
struktur saraf yang berpotensi untuk menampilkan gejala defisit neurologis seperti gangguan
penglihatan, gangguan endokrin, peningkatan tekanan intrakranial serta gangguan psikiatri.
Manifestasi klinis kraniofaringioma dibagi menjadi : (Demonte et al, 2007; Garnett et al,
2007)
Manifestasi akibat peningkatan tekanan intrakranial akibat obstruksi pada foramen
Monro (American Brain Tumor Association, 2012).
o Nyeri kepala
Nyeri kepala dilaporkan pada 55% - 86% pasien. Nyeri kepala bersifat tumpul namun
memberat secara progresif, bersifat terus menerus dan kadang-kadang bersifat
posisional. Penyebab nyeri kepala adalah akibat peningkatan tekanan intracranial
akibat hidrosefalus sekunder atau kompresi sella duramater atau sella diafragma.
o Muntah
25
Gangguan visual
Gangguan visual akibat kompresi nervus optikus, kiasma optikus atau traktus
optikus terjadi pada 40%-70% pasien. Gangguan visual juga dapat terjadi akibat
papilledema. Papilledema disebabkan oleh hidrosefalus akibat obstruksi pada ventrikel 3
oleh tumor. Defek lapang pandang yang terjadi yaitu bitemporal hemianopia (Demonte
et al, 2007).
Disfungsi endokrin
Sering kali pada kraniofaringioma timbul manifestasi nonendokrin, namun
sering terjadi kegagalan fungsi hipofisis anterior. Defisiensi hormon pertumbuhan
sering ditemui (Powell, Lightman dan Laws, 2003). Manifestasi lain yang sering
muncul adalah hipotiroid, yang terjadi pada 40% pasien. Manifestasi insufisiensi
adrenal juga dapat muncul. Sekitar 20% pasien mengalami diabetes insipidus. Delapan
puluh persen pasien dewasa mengeluh penurunan libido. Impotensi dan amenorea
sering dijumpai (Demonte et al, 2007).
Terdapat tiga sindrom klinis yang berkaitan dengan lokasi anatomis tumor. Bila tumor
terletak prechiasma, maka terdapat manifestasi seperti penurunan tajam penglihatan progresif
dan konstriksi dari lapang pandang serta dapat dijumpai atrofi optik. Bila tumor terletak di
retrokiasma maka akan terjadi manifestasi peningkatan tekanan intrakranial dan hidrosefalus.
Bila tumor terletak intrasella maka pasien biasanya mengeluh nyeri kepala dan terdapat
endokrinopati (Demonte et al, 2007 ; Kaye, 2005).
Pertumbuhan tumor ekstensif ke frontal atau lobus temporal dapat menimbulkan
anosmia atau kejang, ke fosa posterior akan menyebabkan abnormalitas fungsi saraf otak IV
dan VI, traktus piramidalis dan serebelum. Jarang sekali kraniofaringioma menimbulkan
defisit neurologis yang berat seperti disfungsi N. VIII (Satyanegara, 2010).
Ekstensi tumor parasella dengan infiltrasi sinus kavernosus dapat mengakibatkan
kelumpuhan nervus kranialis dengan diplopia dan paresis otot okuli. Keterlibatan lobus
temporal dapat mengakibatkan kejang dan pada orang tua tumor ukuran besar dapat
mengakibatkan gangguan kemampuan kognitif dan perubahan kepribadian (Zoicas and
Schofl, 2012).
26
6. Diagnosis
Diagnosis pasien dengan kraniofaringioma adalah berdasarkan temuan klinis (gejala
neurologis dan endokrin) dan radiologi (massa solid yang calcified / kistik), dan kemudian
dikonfirmasi dengan temuan histologis yang khas.
Tabel 2. Pendekatan diagnosis kraniofaringioma
(Zoicas and Schofl, 2012)
Evaluasi pasien dengan kraniofaringioma dapat dilihat pada tabel 2. Evaluasi tersebut
terdiri dari:
a. Radiologi
Tampilan klasik dari kraniofaringioma adalah separuh bagian Sellar/para Sellar yang
padat, dan separuhnya bagian cyctic calcified mass lesion. Tumor ini terjadi pada daerah
supra Sellar (75%), supra dan infra Sellar (20%) dan infra Sellar (5%). Tumor supra
Sellar ini dapat dibagikan lagi kepada subkelompok tergantung pada hubungan mereka ke
ventrikel III dan optik kiasma (Demonte et al, 2007).
CT scan sangat sensitif untuk melihat kalsifikasi, yang terdapat pada 85% pasien
dengan kraniofaringioma. Kalsifikasi lebih sering terjadi pada anak-anak (90%)
disbanding dewasa (50%). CT scan juga berguna untuk melihat kista pada tumor. Hingga
75% kraniofaringioma merupakan masa kistik. Kista biasanya memiliki densitas yang
sama dengan cairan serebrospinal. Bagaimanapun, Magnetic resonance imaging (MRI)
dengan kapasitas gambar yang multiplanar, sangat penting untuk menentukan anatomi
local dan merupakan pemeriksaan radiologi terbaik untuk perencanaan pembedahan dan
27
follow up pasien. Namun karena MRI tidak dapat menunjukkan kalsifikasi dengan baik,
CT scan digunakan untuk membantu diagnosa (Demonte et al, 2007).
Gambar 8. CT scan tumor suprasella + hidrosefalus (Howlett, 2012)
Gambar 9. Kraniofaringioma
b. Evaluasi Endokrin
Evaluasi endokrin harus meliputi evaluasi hormon-hormon hipofisis anterior , yaitu
terdiri dari hormon pertumbuhan, hormon tiroid, serta luteinising hormon dan follicle-
stimulating hormon harus diukur bersama-sama dengan tingkat kortisol dan penilaian
terhadap serum dan osmolalitas urin. Selain itu, perkiraan usia tulang dan, untuk wanita
muda, USG ovarium sangat berguna. Idealnya, setiap kelainan harus diperbaiki pra-
bedah, paling tidakpun, tingkat kortisol yang rendah dan diabetes insipidus harus
ditangani sebelum prosedur bedah (Kaye, 2005).
28
c. Evaluasi Oftalmologi
Sebagian besar pasien dewasa dengan kraniofaringioma memiliki manifestasi defisit
lapang pandang. Pemeriksaan lapang pandang dan ketajaman visual harus dinilai. Sellain
itu, visualisasi dari diskus optikus, untuk menyingkirkan papilloedema, dan visual evoked
potential harus dilakukan (Kaye, 2005).
d. Patologi anatomi
Kraniofaringioma merupakan suatu tumor suprasellar yang mengandung dua komponen
yaitu padat dan kistik. Bagian padatnya merupakan suatu masa dengan permukaan rata,
lunak, dan berwarna abu kemerahan, sedangkan bagian kistiknya lebih lunak lagi, di mana
konsistensi dan warnanya tergantung dari ketebalan dindingnya. Adanya deposit kalsium
dapat menjadikan tumor itu mengeras. Adanya perubahan degenerative menyebabkan kista
tumor ini membesar, dinding dalamnya dapat mengandung papil-papil dan terisi cairan
kecoklatan seperti lumpur yang mengandung kristal-kristal kolesterol. Gambaran
mikroskopik bagian padat kraniofaringioma terdiri dari jaringan epitel kolom atau kuboid
dengan lapisan tengahnya mengandung sel-sel polygonal serta massa sentral sel epitel.
Bagian kistiknya mempunyai dinding dengan ketebalan yang bervariasi yang histologisnya
sama dengan bagian yang padat. Ada membrana basalis yang membentuk suatu perbatasan
antara tumor dengan jaringan otak atau meningen sekitarnya (Satyanegara, 2010).
Terdapat dua varian histologis dari kraniofaringioma yaitu adamantinomatosa yang
sering dijumpai pada anak-anak dan squamous papilomatosa yang dijumpai pada dewasa.
Adamantinomatosa berasal dari transformasi neoplastik sisa epitel dari duktus
craniofaringeus, yang berinvolusi saat perkembangan embriologis adenohipofisis. Squamous
papilomatosa berasal dari proses metaplastik yang berkenaan dengan sel adenohipofiseal
pada pars tuberalis, yang dapat mengakibatkan terbentuknya kumpulan sel squamous
(Pettorini et al, 2010; Aguiar, Laws and Aires, 2010).
7. Tatalaksana
Tatalaksana kraniofaringioma membutuhkan penanganan dari beberapa aspek yaitu
bedah saraf, endokrin, neurooftalmologi, neuropsikologi dan radiasi onkologi. Pemeriksaan
endokrin sangat dibutuhkan. Gangguan endokrin seperti hipotiroid , insufisiensi adrenal dan
diabetes insipidus harus diperhatikan karena hal ini dapat meningkatkan morbiditas
intraoperative dan postoperative. Insufisiensi adrenal harus ditatalaksanai dengan terapi
steroid sebelum dilakukan terapi terhadap hipotiroid karena terapi hormone tiroid sebelum
terapi steroid dapat mempresipitasi insufisiensi adrenal akut. Hidrosefalus akut simptomatik
29
perlu ditatalaksanai dengan pemasangan drainase ventrikel. Adanya hidrosefalus yang tidak
ditangani dapat memperburuk prognosis pasien (Demonte et al, 2007).
Pembedahan merupakan terapi pilihan pada kraniofaringioma, pembedahan secara
transfenoideal bila memungkinkan, namun karena tumor ini juga memiliki komponen
ekstrasella, rekurensi setelah pembedahan sering dijumpai. Mayoritas pasien memerlukan
radioterapi setelah pembedahan. Konsekuensi terapi bervariasi berkaitan dengan luas dan
lokasi tumor. Diabetes insipidus dan kegagalan hipofisis anterior sering ditemukan setelah
pembedahan dan hal ini bersifat permanen. Evaluasi ACTH dan TSH serta keseimbangan
cairan harus dilakukan setelah pembedahan (Powell, Lightman dan Laws, 2003).
Ada dua jalur manajemen utama berkaitan dengan pengobatan tumor, yaitu : (Demonte
et al, 2007)
Reseksi total dari tumor
Morbiditas dan mortalitas reseksi total tumor yang menyerang hipotalamus yaitu
sebesar 12%-20%, dengan tingkat rekurensi hingga 20%. Morbiditas tersebut
dipertimbangkan dalam hal disfungsi hipotalamus dan perubahan profil
neuropsikologi. Pendekatan bedah untuk reseksi kraniofaringioma meliputi pterional,
orbitocranial, subfrontal, transsfenoideal dan transcallosal. Pada situasi tertentu,
kombinasi beberapa pendekatan ini diperlukan (Demonte et al, 2007).
Operasi yang lebih terbatas, debulking tumor untuk mengurangi efek massa pada jalur
optik dan / atau untuk membangun kembali jalur cairan cerebrospinal (CSF), dan
diikuti oleh radioterapi dengan dosis 54-55 Gy yang diberikan 1,8 Gy per fraksi.
Insidensi progresi tumor setelah dilakukannya hal ini adalah sebesar 12%-25%,
jumlah yang hampir sama dengan reseksi tumor total dan radioterapi. Morbiditas yang
berkaitan dengan pengobatan kraniofaringioma yaitu kejang, defisit visual yang
memberat, kerusakan hipotalamus, stroke dan kebocoran CSF. Endokrinopati sering
dijumpai. Diabetes insipidus permanen terjadi pada 65%-75% pasien. penggunaan
terapi sulih hormon diperlukan pada 80%-90% pasien. Obesitas terjadi pada 50%
pasien. Terapi lain yang dapat digunakan, terutama untuk kraniofaringioma yang
rekuren yaitu aspirasi kista intermiten. Dapat juga ditambah dengan injeksi bleomycin
atau radioisotope intrakista. Injeksi ini jarang digunakan karena adanya kemungkinan
kebocoran obat yang dapat menyebabkan arachnoiditis dan kerusakan pada otak atau
nervus kranialis (Demonte et al, 2007).
Teknik pembedahan yang dipilih berdasarkan lokasi, ukuran dan tipe tumor. Terdapat
tiga struktur penting yang harus diperhatikan dalam pembedahan kraniofaringioma agar tidak
30
terjadi kerusakan pada struktur-struktur ini, yaitu pituitary stalk, hipotalamus dan arteri
(Aguiar, Laws and Aires, 2010).
Pola pertumbuhan berkaitan dengan asal tumor, di atas atau di bawah dari diafragma
sella. Pada kraniofaringioma dengan pertumbuhan prekiasma, reseksi tumor harus dilakukan
dengan menggunakan teknik transfenoideal. Untuk kraniofaringioma dengan pertumbuhan
retrokiasma yang tidak ditutupi oleh sella diafragmatika dan berhubungan langsung dengan
jaringan otak, dengan mudah dapat robek bila dilakukan traksi, sehingga harus dilakukan
kraniotomi. Kraniotomi merupakan pembedahan standar yang dilakukan selama bertahun-
tahun. Kraniotomi diindikasikan untuk tumor suprasella dan memungkinkan visualisasi
nervus optikus, kiasma optikus dan hubungan tumor dengan struktur ini. Untuk tumor ukuran
kecil yang predominan terletak pada sella, teknik transfenoideal adalah pilihan. Namun
apabila tumor terletak pada infundibulum, pendekatan pterional atau subfrontal dan
craniotomi orbitofrontal (dengan endoskopi atau bantuan mikroskop) dapat dilakukan. Lesi
kecil intraventrikel dapat diraih melalui lamina terminalis atau transventrikular ( pendekatan
transkalosal atau transventrikular) (Aguiar, Laws and Aires, 2010).
Teknik yang digunakan untuk tumor ukuran besar adalah pterional, subfrontal
transbasal, bifrontal, orbitozigomatik, temporopolar, fronto orbitozigomatik (Aguiar, Laws
and Aires, 2010).
Pada pasien dengan tumor rekuren, pembedahan lanjutan diperlukan dengan
marsupialisasi komponen kistik, internal atau eksternal shunting dan injeksi radionukleotida
ke kista tersebut. Pemantauan jangka panjang adalah yang utama dari tatalaksana pasien
dengan tumor rekuren. Sebagian besar pasien memerlukan terapi sulih hormon total,
termasuk desmopresin dan hormon pertumbuhan (Powell, Lightman dan Laws, 2003).
31
Gambar 10. Prosedur pembedahan kraniofaringioma (Aguiar, Laws and Aires, 2010)
8. Prognosis
Kelangsungan hidup lima tahun secara keseluruhan adalah 80% tetapi adalah lebih baik
pada anak-anak (85% untuk kelangsungan hidup 5 tahun) dibandingkan pada orang dewasa
yang lebih tua (40% untuk kelangsungan hidup 5 tahun). Ketahanan hidup, bagaimanapun,
dapat berhubungan dengan keadaan adanya cacat (Demonte et al, 2007).
32
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki usia 31 tahun datang dengan keluhan nyeri kepala, bersifat tumpul,
terutama pada regio frontal, nyeri kontinyu, progresif, tidak dipengaruhi oleh posisi, disertai
dengan muntah yang proyektil. Pasien juga merasa badan sebelah kanannya kaku dan sulit
digerakkan serta lemas pada badan kanan. Pandangan kiri kabur dan pendengaran kiri kurang.
Pasien juga mengeluh berbicara pelo dan kurang jelas serta mengeluh bibirnya tampak
miring. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, tanda vital stabil,
nistagmus (+), dismetria (+), tremor intensi, terdapat parese N. VII sentral, parese N. VIII
koklearis dan vestibularis, parese N. IX, X, parese N. XII sentral.
Nyeri kepala dapat disebabkan oleh berbagai etiologi, namun pada kasus ini dari
pemeriksaan neurologis yang telah dilakukan etiologi yang menyebabkan nyeri kepala adalah
gangguan pada sistem saraf pusat. Nyeri kepala disebabkan oleh peningkatan tekanan
intrakranial akibat hidrosefalus obstruktif yang dialami oleh pasien akibat penekanan masa
tumor ke aquaduktus Sylvii dan ventrikel IV. Selain nyeri kepala, gejala terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial juga ditunjukkan dari adanya muntah pada pasien. Gejala
hemiparese dekstra yang dialami pasien menunjukkan adanya penekanan massa tumor ke
pedunkulus serebri. Gejala penglihatan kabur, penurunan pendengaran, bicara pelo serta
parese pada N. VII, VIII, IX, X dan XII disebabkan oleh pendesakan masa tumor pada
perjalanan jaras nervus kranialis yang bersangkutan.
Adanya keluhan diatas yang bersifat kronik menunjukkan terjadinya proses intrakranial
yang kronik dan progresif, yaitu tumor intrakranial. Terdapat beberapa jenis tumor
intrakranial, yaitu tumor yang berasal dari jaringan neuroepitel, tumor meningens, germ cell
tumor, tumor pada bagian sella dan tumor metastasis dari organ lain. Dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik, tidak dapat dibedakan jenis tumor-tumor tersebut, namun dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik dapat diketahui lokasi tingkat obstruksi yang disebabkan oleh tumor
tersebut. Berdasarkan lokasinya, tumor otak dapat dibedakan menjadi supratentorial dan
infratentorial Pada kasus ini kemungkinan asal tumor awalnya berada pada supratentorial
(sella) dan telah mengalami ekspansi ke bagian-bagian lain di supratentorial (suprasella,
parasella dan pedunkulus serebri) serta ke bagian infratentorial (serebelum dan batang otak).
Hal ini ditunjukkan dengan adanya gangguan visual pada pasien ini yang kemungkinan
disebabkan oleh penekanan pada jaras nervus optikus pada regio sella serta akibat edema
papil akibat komplikasi sekunder yaitu hidrosefalus yang dialami pasien ini. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan tes Romberg (+), nose-finger-nose test (+), dismetria (+) dan
33
tremor intensi yang menunjukkan gangguan fungsi serebelum, kemungkinan masa tumor
sudah menekan serebelum. Selain itu paresis pada saraf kranialis VII motorik sentral
menunjukkan lesi sudah mendesak inti motorik N. VII yang terletak di pons. Paresis N. VIII
akustikus sentral juga menunjukkan lesi yang mendesak pada jaras N. VIII yaitu pada
perjalanannya menuju ke korteks auditori pada pons. Paresis N. IX, X menunjukkan lesi yang
mendesak pada nukleus N. IX,X yaitu nukleus ambigus pada batang otak. Paresis N. XII
sentral dan hemiparese dekstra menunjukkan lesi yang mendesak pada pedunkulus serebri.
Untuk mengetahui jenis tumor dan ekspansi tumor, perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang seperti CT scan dan MRI. Pada pasien ini, setelah dilakukan CT scan, didapatkan
masa kistik luas dengan kalsifikasi pada regio sella sampai suprasella dan parasella kanan kiri
(terutama kiri), masa mendesak aquaduktus sylvii, ventrikel IV, serebelum dan lobus
temporal kiri. Gambaran ini sesuai dengan gambaran kraniofaringioma. Pada CT scan juga
didapatkan pons dan cerebelum yang terdesak ke kanan, hal ini sesuai dengan pemeriksaan
fisik pasien yaitu tes Romberg (+) dan nose-finger-nose test (+) yang menunjukkan
terganggunya fungsi serebelum dan paresis pada N. VII, VIII, IX, X dan XII dimana sebagian
besar saraf kranialis ini berdekatan strukturnya dengan pons.
CT scan juga menunjukkan sulkus kortikalis dan fisura lateralis Sylvii kanan kiri sempit
serta pelebaran ventrikel lateral dan III yang mengindikasikan adanya hidrosefalus obstruktif
akibat penekanan tumor yang berperan dalam peningkatan tekanan intrakranial.
Jadi, pasien ini didiagnosis dengan kraniofaringioma. Tatalaksana pada pasien ini
adalah dengan pengobatan simptomatik dan pembedahan untuk mengangkat tumor. Sebelum
dilakukan pembedahan, dapat dilakukan MRI untuk membantu mengetahui posisi dan ukuran
tumor dengan lebih tepat.
Prognosis pada pasien ini dubia ad malam karena tumor pada pasien ini sudah
mengakibatkan komplikasi-komplikasi seperti hidrosefalus obstruktif, paresis multipel saraf
kranialis dan mengakibatkan gangguan fungsi serebelum.
34
DAFTAR PUSTAKA
Aguiar PHPD, Laws E and Aires R. 2010. Management of Craniopharyngioma. Available
from : www.abta.org, accessed at : December 30th, 2013.
Amar AP, Weiss MH. 2003. Pituitary Anatomy and Physiology. USA : Elsevier.
American Brain Tumor Association. 2012. Brain Tumors. Available from :
http://www.abta.org/secure/about-brain-tumors-a-primer.pdf, accessed at : December
30th, 2013.
Demonte F, Gilbert MR, Mahajan A, McCutheon IE. 2007. Tumors of the Brain and Spine.
USA : Springer Science.
Garnett MR, Puget S, Grill J and Sainte-Rose C. 2007. Craniopharynioma. Available from :
http://www.OJRD.com/content/2/1/18, accessed at : December 30th, 2013.
Graff, Van De. 2001. Human Anatomy, 6th ed. New York : Mc Graw Hill
Greenberg, Mark S. 2006. Handbook of Neurosurgery. New York : Thieme.
Howlett, William P. 2012. Intracranial Tumour. Available from :
www.uib.no/cih/en/resources/neurology-in-africa, accessed at : December 30th, 2013.
Kaye, Andrew H. 2005. Essential Neurosurgery, third edition. USA : Blackwell Publishing,
Inc.
Komotoar RJ, Kellner CP, Bruce JN. 2010. Update on Surgical Management of
Craniopharyngioma. New York : Columbia University Medical Center.
Larkin, Sarah J and Ansorge, Olaf. 2012. Pathology and Pathogenesis of
Craniopharyngioma. Available from :
http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs11102-012-0418-4, accessed at :
December 30th, 2013.
Moore AJ and Newell DW. 2005. Neurosurgery Principles and Practice. London : Springer.
Pettorini BL, Frassanito P, Caldarelli M, Tamburrini G, Massimi L and Rocco CD. 2010.
Molecular Pathogenesis of Craniopharyngioma : switching from a surgical approach
to a biological one. Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20367353,
accessed at : December 30th, 2013.
35
Powell MP, Lightman SL, Laws ER. 2003. Management of Pituitary Tumors, second edition.
New Jersey : Humana Press Inc.
Rhoton, Albert L. 2001. Diagnosis and Management of Pituitary Tumour. Tolowa : Humana
Press Inc.
Satyanegara, 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. Jakarta: PT Gramedia.
Zoicas, Flavius and Schofl, Christ. 2012. Craniopharyngioma in Adults. Available from :
http://www.frontiersin.org/Pituitary_Endocrinology/10.3389/fendo.2012.00046/
abstract, accessed at : December 30th, 2013.
36