tugas BS 2

94
1 BAB I Patologi Anatomi Inflamasi, Nekrosis, dan Adaptasi I. Inflamasi A. Definisi a) Peradangan atau inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal (Mitchel & Cotran, 2003). Inflamasi melaksanakan tugas pertahanannya dengan mengencerkan, menghancurkan atau menetralkan agen berbahaya (misalnya mikroba atau toksin). Inflamasi kemudian menggerakkan berbagai kejadian yang akhirnya menyembuhkan dan menyusun kembali tempat terjadinya jejas. Dengan demikian, inflamasi juga terkait erta dengan proses perbaikan, yang mengganti jaringan yang rusak dengan regenerasi sel parenkim, dan atau dengan pengisian setiap defek yang tersisa dengan jaringan parut fibrosa (Kumala et al., 1998; Mitchel & Cotran, 2003).

description

aaaaaaaaaaaaaaaaa

Transcript of tugas BS 2

1

BAB I

Patologi Anatomi

Inflamasi, Nekrosis, dan Adaptasi

I. Inflamasi

A. Definisi

a) Peradangan atau inflamasi adalah suatu respon protektif yang

ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta

membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh

kerusakan asal (Mitchel & Cotran, 2003). Inflamasi

melaksanakan tugas pertahanannya dengan mengencerkan,

menghancurkan atau menetralkan agen berbahaya (misalnya

mikroba atau toksin). Inflamasi kemudian menggerakkan

berbagai kejadian yang akhirnya menyembuhkan dan

menyusun kembali tempat terjadinya jejas. Dengan demikian,

inflamasi juga terkait erta dengan proses perbaikan, yang

mengganti jaringan yang rusak dengan regenerasi sel

parenkim, dan atau dengan pengisian setiap defek yang tersisa

dengan jaringan parut fibrosa (Kumala et al., 1998; Mitchel &

Cotran, 2003).

Pada saat respon radang meliputi suatu perangkat

kompleks berbagai kejadian yang sangat harmonis, garis besar

suatu inflamasi adalah sebagai berikut. Stimulus awal radang

memicu pelepasan mediator kimia dari plasma atau dari

jaringan ikat. Mediator terlarut itu, bekerja bersama atau secara

berurutan, memperkuat respon awal radang dan mempengaruhi

perubahannya dengan mengatur respon vaskular dan selular

berikutnya. Respon radang diakhiri ketika stimulus yang

membahayakan menghilang dan mediator radang telah hilang,

dikatabolisme atau diinhibisi (Mitchel & Cotran, 2003).

2

Pada bentuk akutnya ditandai oleh tanda klasik : nyeri

(dolor), panas (kolor), kemerahan (rubor), bengkak (tumor),

dan hilangnya fungsi (fungsiolesa). Secara histologis,

menyangkut rangkaian kejadian yang rumit, mencakup dilatasi

arteriol, kapiler, dan venula, disertai peningkatan permeabilitas

dan aliran darah; eksudasi cairan, termasuk protein plasma;

dan migrasi leukositik ke dalam fokus peradangan.

b) respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi

mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi

pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena

terbakar, atau terinfeksi

c) satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan

iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin,

bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang

dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di

dalam sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari

penyebaran infeksi.

B. Tanda-tanda cardinal inflamsi :

a. Rubor

Rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di

daerah yang mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan

timbul, terjadi pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke

daerah peradangan. Dengan demikian, lebih banyak darah

mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan

cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia

atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena

peradangan akut. Timbulnya hyperemia pada permulaan reaksi

peradangan diatur oleh tubuh baik secara neurogenik maupun

secara kimia, melalui pengeluaran zat seperti histamine.

3

b. Kalor

Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan dari

reaksi peradangan yang hanya terjadi pada permukaan tubuh,

yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 37 °C yaitu suhu

di dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih

panas dari sekelilingnya sebab darah yang disalurkan tubuh

kepermukaan daerah yang terkena lebih banyak daripada yang

disalurkan kedaerah normal. Fenomena panas lokal ini tidak

terlihat pada daerah-daerah yang terkena radang jauh di dalam

tubuh, karena jaringan-jaringan tersebut sudah mempunyai

suhu inti 37°C, hyperemia lokal tidak menimbulkan

perubahan.

c. Dolor ( nyeri )

Dolor atau rasa sakit, dari reaksi peradangan dapat dihasilkan

dengan berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi

lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf.

Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat

merangsang saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan

yang meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang.

Pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan

peningkatan tekanan lokal yang tanpa diragukan lagi dapat

menimbulkan rasa sakit.

d. Tumor

Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian

besar ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari

sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari

cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut

eksudat meradang. Pada keadaan dini reaksi peradangan

sebagian besar eksudat adalah cair, seperti yang terjadi pada

lepuhan yang disebabkan oleh luka bakar ringan. Kemudian

4

sel-sel darah putih atau leukosit meninggalkan aliran darah dan

tertimbun sebagai bagian dari eksudat.

C. Keuntungan dan kerugian radang

a. Keuntungan Radang :

a) Pengenceran toxin

b) Antibodi masuk jaringan ekstravaskuler

c) Transportasi obat

d) Pembentukan fibrin

e) Penyaluran nutrien

f) Stimulasi respons imun

g) Lokasi jaringan yang rusak

h)Persiapan untuk pemulihan jaringan

b. Kerugian radang :

a) Jaringan normal dirusak

b) Sembab:epilogtis, rongga

c) Nyeri : gangguan fungsi

d) Ruptura organ

e) Fistula

f) Reaksi imun kurang tepat

g) Akibat penyakit : Glomerulonefritis arthritis, bronchitis

h) Fibrosis berlebihan : keloid, obstruksi usus, steril.

II. Nekrosis

A. Definisi

Nekrosis merupakan kematian sel sebagai akibat dari adanya

kerusakan sel akut atau trauma (misalnya: kekurangan oksigen,

perubahan suhu yang ekstrem, dan cedera mekanis), di mana kematian

sel tersebut terjadi secara tidak terkontrol yang dapat menyebabkan

rusaknya sel, adanya respon peradangan dan sangat berpotensi

menyebabkan masalah kesehatan yang serius.

5

Nekrosis biasanya disebabkan karena stimulus yang bersifat patologis.

Selain karena stimulus patologis, kematian sel juga dapat terjadi

melalui mekanisme kematian sel yang sudah terprogram di mana

setelah mencapai masa hidup tertentu maka sel akan mati. Mekanisme

ini disebut apoptosis, sel akan menghancurkan dirinya sendiri (bunuh

diri/suicide), tetapi apoptosis dapat juga dipicu oleh keadaan iskemia.

B. Penyebab Nekrosis dan Akibat Nekrosis

a. Penyebab nekrosis

a) Iskhemi

Iskhemi dapat terjadi karena perbekalan (supply) oksigen

dan makanan untuk suatu alat tubuh terputus. Iskhemi

terjadi pada infak, yaitu kematian jaringan akibat

penyumbatan pembuluh darah. Penyumbatan dapat terjadi

akibat pembentukan trombus. Penyumbatan

mengakibatkan anoxia. Nekrosis terutama terjadi apabila

daerah yang terkena tidak mendapat pertolongan sirkulasi

kolateral. Nekrosis lebih mudah terjadi pada jaringan-

jaringan yang bersifat rentan terhadap anoxia. Jaringan

yang sangat rentan terhadap anoxia ialah otak.

b) Agens biologic

Toksin bakteri dapat mengakibatkan kerusakan dinding

pembuluh darah dan trombosis. Toksin ini biasanya

berasal dari bakteri-bakteri yang virulen, baik endo

maupun eksotoksin. Bila toksin kurang keras, biasanya

hanya mengakibatkan radang. Virus dan parasit dapat

mengeluarkan berbagai enzim dan toksin, yang secara

langsung atau tidak langsung mempengaruhi jaringan,

sehingga timbul nekrosis.

c) Agens kimia

Dapat eksogen maupun endogen. Meskipun zat kimia

merupakan juga merupakan juga zat yang biasa terdapat

6

pada tubuh, seperti natrium dan glukose, tapi kalau

konsentrasinya tinggi dapat menimbulkan nekrosis akibat

gangguan keseimbangan kosmotik sel. Beberapa zat

tertentu dalam konsentrasi yang rendah sudah dapat

merupakan racun dan mematikan sel, sedang yang lain

baru menimbulkan kerusakan jaringan bila konsentrasinya

tinggi.

d) Agens fisik

Trauma, suhu yang sangat ekstrem, baik panas maupun

dingin, tenaga listrik, cahaya matahari, tenaga radiasi.

Kerusakan sel dapat terjadi karena timbul kerusakan

potoplasma akibat ionisasi atau tenaga fisik, sehingga

timbul kekacauan tata kimia potoplasma dan inti.

e) Kerentanan (hypersensitivity)

Kerentanan jaringan dapat timbul spontan atau secara

didapat (acquired) dan menimbulkan reaksi imunologik.

Pada seseorang bersensitif terhadap obat-obatan sulfa

dapat timbul nekrosis pada epitel tubulus ginjal apabila ia

makan obat-obatan sulfa. Juga dapat timbul nekrosis pada

pembuluh-pembuluh darah. Dalam imunologi dikenal

reaksi Schwartzman dan reaksi Arthus.

b. Akibat Nekrosis

a) Sekitar 10% kasus terjadi pada bayi dan anak-anak.

a. Pada bayi baru lahir, nekrosis kortikalis terjadi

karena: persalinan yang disertai dengan abruptio

placentae - sepsis bakterialis.

b. Pada anak-anak, nekrosis kortikalis terjadi

karena:

infeksi

dehidrasi

syok

sindroma hemolitik-uremik.

7

b) Pada dewasa, 30% kasus disebabkan oleh sepsis

bakterialis. Sekitar 50% kasus terjadi pada wanita yang

mengalami komplikasi kehamilan:

a. abruptio placenta

b. placenta previa

c. perdarahan rahim

d. infeksi yang terjadi segera setelah melahirkan

(sepsis puerpurium)

e. penyumbatan arteri oleh cairan ketuban (emboli)

f. kematian janin di dalam rahim

g. pre-eklamsi (tekanan darah tinggi disertai

adanya protein dalam air kemih atau

penimbunan cairan selama kehamilan)

III. Adaptasi

A. Definisi

Adaptasi adalah proses dimana dimensi fisiologis dan psikososial

berubah dalam berespon terhadap stress. Karena banyak stressor tidak

dapat dihindari, promosi kesehatan sering difokuskan pada adaptasi

individu, keluarga atau komunitas terhadap stress.

B. Dimensi Adaptasi

Stres dapat mempengaruhi dimensi fisik, perkembangan, emosional,

intelektual, sosial dan spiritual.

Adaptasi Fisiologis

Tanda vital biasanya meningkat dan klien mungkin tampak

gelisah dan tidak mampu untuk beristirahat aberkonsentrasi.

Indikator ini dapat timbul sepanjang tahap stress.

Adaptasi Psikologis

Indikator emosional / psikologi dan perilaku stress :

- Ansietas

- Depresi

- Kepenatan

8

- Peningkatan penggunaan bahan kimia

- Perubahan dalam kebiasaan makan, tidur, dan pola

aktivitas.

- Kelelahan mental

- Perasaan tidak adekuat

- Kehilangan harga diri

- Peningkatan kepekaan

- Kehilangan motivasi.

- Ledakan emosional dan menangis.

- Penurunan produktivitas dan kualitas kinerja pekerjaan.

- Kecendrungan untuk membuat kesalahan (mis.

buruknya penilaian).

- Mudah lupa dan pikiran buntu

- Kehilangan perhatian terhadap hal-hal yang rinci.

- Preokupasi (mis. mimpi siang hari )

- Ketidakmampuan berkonsentrasi pada tugas.

- Peningkatan ketidakhadiran dan penyakit

- Letargi

- Kehilangan minat

- Rentan terhadap kecelakaan.

Adaptasi Perkembangan

Stres yang berkepanjangan dapat mempengaruhi kemampuan

untuk menyelesaikan tugas perkembangan

Adaptasi Sosial Budaya

Mengkaji stressor dan sumber koping dalam dimensi sosial

mencakup penggalian bersama klien tentang besarnya, tipe, dan

kualitas dari interaksi sosial yang ada. Stresor pada keluarga

dapat menimbulkan efek disfungsi yang mempengaruhi klien

atau keluarga secara keseluruhan

Adaptasi Spritual

Orang menggunakan sumber spiritual untuk mengadaptasi

stress dalam banyak cara, tetapi stress dapat juga

9

bermanifestasi dalam dimensi spiritual. Stress yang berat dapat

mengakibatkan kemarahan pada Tuhan, atau individu mungkin

memandang stressor sebagai hukuman. Stresor seperti penyakit

akut atau kematian dari orang yang disayangi dapat

mengganggu makna hidup seseorang dan dapat menyebabkan

depresi.

10

BAB II

Patologi Klinik

Pengambilan Spesimen dan Peran Perawat

I. Definisi

Pengambilan spesimen merupakan salah satu dari serangkaian

proses yang dilakukan sebelum melakukan pemeriksan laboratorium.

Spesimen yang memenuhi syarat adalah, jenisnya sesuai dengan

pemeriksaan yang akan dilakukan, volumenya mencukupi untuk tiap jenis

pemeriksaan, kondisinya layak untuk diperiksa (segar atau tidak

kadaluwarsa, tidak berubah warna, steril, tidak menggumpal),

antikoagulan yang digunakan sesuai, dan ditampung dalam wadah yang

memenuhi syarat.

Perawat mempunyai kontribusi dalam pengkajian status kesehatan

klien dengan mengumpulkan cairan tubuh. Semua klien rawat inap

menjalani paling sedikit satu kali pengumpulan spesimen laboraturium

selama dirawat di fasilitas pelayanan kesehatan. Pemeriksaan laboraturium

pada spesimen seperti urine, darah, feses, sputum, dan drainase luka dapat

memberikan informasi tambahan yang penting untuk mendiagnosis

masalah kesehatan dan mengukur respon terhadap terapi.

Tanggung jawab perawat dalam pengumpulan spesimen meliputi

hal-hal dibawah ini :

Berikan kenyamanan, privasi, dan keamanan bagi klien.

Jelaskan tujuan pengumpulan spesimen dan prosedur pengambilan

spesimen.

Gunakan prosedur yang benar untuk mendapatkan spesimen atau

pastikan klien atau staf mengikuti prosedur yang benar.

Perhatikan informasi yang relevan pada slip permintaan laboraturium,

contohnya, pengobatan yang sedang digunakan klien yang dapat

mempengaruhi hasil pemeriksaan.

Bawa spesimen ke laboraturium dengan segera. Spesimen yang segar

memberikan hasil yang lebih akurat.

11

Laporkan hasil pemeriksaan laboraturium yang abnormal kepada

tenaga kesehatan lain.

II. Pengambilan Spesimen Cairan Lambung

Mengambil cairan lambung digunakan untuk peeriksaan cairan

ataupun mengeluarkan zat racun dari lambung. Prosedur ini bertujuan

untuk menentukan aktivitas sekresi mukosa gaster, menganalisis

komponen sekresi dan asam hidroklorida, menganalisis cairan gaster pada

klien dengan obstruksi pilorus dan instesinal, dan untuk mengeluarkan

racun.

Prosedur pengambilan spesimen dilakukan dengan memposisikan

pasien posisi Fowler ditempat tidur dengan leher fleksi dan bersandar.

Kemudian memasang selang nasogastrik untuk menghisap semua getah

lambung. Amati, ukur dan catat apabila terdapat keabnormalan.

III. Pengambilan Spesimen Sputum

Sputum adalah sekret mukus yang dihasilkan dari paru-paru,

bronkus dan trakea. Individu yang sehat tidak memproduksi sputum. Klien

perlu batuk untuk memdorong sputum dari paru-paru, bronkus dan trakea

ke mulut dan mengeluarkan ke wadah penampung.

1. Pemeriksaan sputum dilakukan untuk:

a. Kultur (menentukan jenis mikroorganisme) dan tes sensitivitas

terhadap obat

b. Untuk sitologi dalam mengidentifikasi asal, struktur, fungsi dan

patologi sel. Spesimen untuk sitologi (mengidentifikasi kanker

paru-paru dan jenis selnya) seringkali dilakukan secara serial 3

kali dari sputum yang diambil di pagi hari.

c. Pemeriksaan bakteri tahan asam, juga diperlukan serial 3 hari

berturut-turut di pagi hari, untuk mengidentifikasi ada tidaknya

kuman tuberkulosis. Beberapa rumah sakit, menggunakan

wadah penampung khusus untuk pemeriksaan ini.

d. Menilai keberhasilan terapi

12

2. Waktu Pengambilan

Cara pengambilan umumnya di pagi hari, saat bangun tidur klien

mengeluarkan sputum yang diakumulasi sejak semalam. Bila klien

tidak dapat batuk, kadangkala diperlukan suksion faringeal.

Langkah sebagai berikut:

Lakukan perawatan mulut.

Minta klien untuk bernapas dalam lalu batuk, diperlukan

sputum sebanyak 15-30 mL

Lakukan kembali perawatan mulut.

IV. Pengambilan Spesimen Urine

1. Pemeriksaan Spesimen urine

Pemeriksaan urine merupakan pemeriksaan yang menggunakan bahan

atau spesimen urine, adapun tujuan dari pemeriksaan ini dapat

dilakukan untuk mendeteksi :

a. Bilirubin

Pemeriksaan yang bertujuan untuk mendeteksi penyakit

obstruksi saluran empedu, penyakit hepar, kanker hepar. Cara

pemeriksaan: gunakan ictotet, teteskan urin ± 5 tetes, masukkan

tablet dan tambahkan 2 tetes air, hasil positif jika warna biru

atau ungu, dan bila merah berarti hasilnya negatif.

b. Asam urat

Pemeriksaan asam urat bertujuan untuk mendeteksi berbagai

kelainan penyakit ginjal, eklamsia, keracunan timah hitam,

leukemia dengan diet tinggi purin, kolitis dan ulserativa.

c. Pemeriksaan Lain

Seperti urobilinogen untuk menentukan kadar kerusakan hepar,

penyakit hemolitik dan infeksi berat. Pemeriksaan urinalisis

seperti berat jenis urin, kadar glukosa, keton dan lain-lain.

Pemeriksaan kadar protein dalam urin untuk menentukan kadar

kerusakan glomerulus.

13

2. Pengambilan Spesimen Urine

a. Urine Bersih (Clean Voided Urine Specimen)

Urin bersih diperlukan untuk pemeriksaan urinalisa rutin.

Untuk pemeriksaan urinalisa rutin diperlukan:

Urin bersih, biasanya urin pertama pagi hari karena urin

pertama cenderung konsentrasinya lebih tinggi, jumlah

lebih banyak, dan memiliki pH lebih rendah.

Jumlah minimal 10 mL.

Tidak ada cara pengambilan khusus, klien dapat

melakukannya sendiri, dengan menampung urin pada

wadah yang disediakan, kecuali klien yang lemah,

mungkin memerlukan bantuan.

Spesimen harus bebas dari feses.

Diperlukan urin segar (pengambilan kurang dari 1 jam),

bila tidak dapat diperiksa dengan segera, urin harus

dimasukan dalam lemari es. Bila urin berada dalam suhu

ruangan untuk periode waktu lama maka kristal urin dan

sel darah merah akan lisis/hancur serta berubah menjadi

alkalin.

b. Urine Tengah (Clean - Catch or Midstream Urin Specimen)

Urin tengah merupakan cara pengambilan spesiman untuk

pemeriksaan kultur urin yaitu untuk mengetahui

mikroorganisme yang menyebabkan infeksi saluran kemih.

Sekalipun ada kemungkinan kontaminasi dari bakteri di

permukaan kulit, namun pengambilan dengan menggunakan

kateter lebih berisiko menyebabkan infeksi. Perlu mekanisme

khusus agar spesimen yang didapat tidak terkontaminasi.

Pengambilan dilakukan dengan cara:

Bersihkan area meatus urinarius dengan sabun dan air

atau dengan tisue khusus lalu keringkan.

Biarkan urin yang keluar pertama dimaksudkan untuk

mendorong dan mengeluarkan bakteri yang ada didistal,

14

beberapa waktu kemudian tampung urin yang ditengah.

Hati-hati memegang wadah penampung agar wadah

tersebut tidak menyentuh permukaan perineum.

Jumlah yang diperlukan 30-60 ml.

c. Urin Tampung (Timed Urin Specimen/Waktu Tertentu)

Beberapa pemeriksaan urin memerlukan seluruh produksi urin

yang dikeluarkan dalam jangka waktu tertentu, rentangnya

berkisar 1-2 jam – 24 jam. Urin tampung ini biasanya disimpan

di lemari pendingin atau diberi preservatif (zat aktif tertentu)

yang mencegah pertumbuhan bakteri atau mencegah

perubahan/kerusakan struktur urin. Biasanya urin ditampung di

tempat kecil lalu dipindahkan segera ke penampungan yang

lebih besar.

Adapun tujuan pemeriksaan yang menggunakan urin tampung

adalah:

Mengkaji kemampuan ginjal, dan mengkonsentrasikan

urin.

Menentukan penyakit gangguan metabolisme glukosa,

dan fungsi ginjal.

Menentukan kadar sesuatu dalam urin (misal: albumin,

amilase, kreatinin, hormon tertentu)

Hal yang perlu dilakukan perawat:

Periode pengumpulan jenis ini dimulai setelah klien

berkemih.

Beri wadah yang telah disiapkan oleh pihak laboratorium.

Setiap kali berkemih ,urin dikumpul dalam sebuah wadah

yang bersih lalu segera masukan dalam wadah yang lebih

besar.

Setiap spesimen harus bebas dari feses atau tisu toilet.

Perawat harus mengigatkan klien untuk berkemih

sebelum defekasi.

Wadah pengumpil urin perlu dimasukan dalam lemari es.

15

d. Spesimen Urin Acak

Spesimen urin rutin yang diambil secara acak dapat

dikumpulkan dari urin klien saat berkemih secara alami

atau dari kateter foley atau kantong pengumpul urin yang

mengalami diversi urinarius.

Spesimen harus bersih digunakan pada pemeriksaan

urinalisis.

Anjurkan klien untuk minum 30 menit sebelum prosedur

dilakukan,dan hanya 120 mL urin yang dibutuhkan untuk

pemeriksaan yang akurat.

Setelah spesimen dikumpilkan ,perawat m,emasang tutup

dengan ketat padsa wadah spesimen,membersihkan setiap

urin yang keluar mengenai bagian wadah,meletakan

wadah pada kantong plastik,dan kirim spesimem yang

telah diberi label ke laboratorium.

e. Spesimen Kateter Indwelling

Urin steril dapat diperoleh dengan mengambil urin melalui area

kateter yang khusus disiapkan untuk pengambilan urin dengan

jarum suntik. Klem kateter selama kurang lebih 30 menit jika

tidak diperoleh urin waktu pengambilan. Untuk kultur urin

diperlukan 3 mL, dan 30 mL untuk urinalisa rutin. Untuk kultur

urin, hati-hati dalam pengambilan agar tidak terkontaminasi.

V. Pengambilan Spesimen Feses

1. Pemeriksaan feses dilakukan untuk:

a. Melihat ada tidaknya darah. Pemeriksaan ini mudah dilakukan

baik oleh perawat atau klien sendiri. Pemeriksaan ini

menggunakan kertas tes Guaiac.

b. Analisa produk diet dan sekresi saluran cerna. Bila feses

mengandung banyak lemak (disebut: steatorrhea), kemungkinan

ada masalah dalam penyerapan lemak di usus halus. Bila

16

ditemukan kadar empedu rendah, kemungkinan terjadi obstruksi

pada hati dan kandung empedu.

c. Mendeteksi telur cacing dan parasit. Untuk pemeriksaan ini

dilakukan tiga hari berturut-turut. Mendeteksi virus dan bakteri.

Untuk pemeriksaan ini diperlukan jumlah feses sedikit untuk

dikultur. Pengambilan perlu hati-hati agar tidak terkontaminasi.

Pada lembar pengantar perlu dituliskan antibiotik yang telah

dikonsumsi.

2. Prosedur

a. Bayi (infant): segera setelah bayi BAB, ambil spesimen feses dari

popoknya.

b. Toddler: jika anak toddler sudah dapat melakukan toilet training,

kumpulkan fesesnya dari kursi toilet (potty chair). Jangan biarkan

urin bercampur dengan spesimen feses. Anjurkan anak BAK

terlebih dahulu untuk mengosongkan kandung kemihnya. Jika

anak tidak terlatih untuk BAB/BAK di toilet, kumpulkan feses

dari popoknya atau celana latihan (training pants) yang

digunakannya.

c. Older child: Ketika anak sudah siap untuk memiliki gerakan usus,

letakkan “toilet hat” untuk mengumpulkan feses. Angkat toilet

duduk, letakkan “toilet hat” lebih rendah kursi. Jangan biarkan

urin ke kontak spesimen. Jangan mengumpulkan spesimen dari

mangkuk toilet.

3. Dalam pengambilan spesimen gunakan sarung tangan bersih, jumlah

feses tergantung pemeriksaan, umumnya 2,5 cm untuk feses padat atau

15-30 mL untuk cair. Untuk kultur, gunakan swab yang steril, lalu

dimasukkan dalam kantung steril. Segera kirim spesimen ke lab untuk

segera diperiksa.

4. Peran Perawat

a. Sebelum pengambilan spesimen, perawat perlu mengingatkan

klien akan hal-hal berikut:

17

Defekasi pada bedpan yang bersih.

Bila memungkinkan, spesimen tidak terkontaminasi dengan

urin atau darah menstruasi.

Jangan meletakan tisue pembersih pada bedpan setelah

defekasi karena dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.

b. Dalam pengambilan spesimen gunakan sarung tangan bersih,

jumlah feses tergantung pemeriksaan, umumnya 2,5 cm untuk

feses padat atau 15-30 mL untuk cair. Untuk kultur, gunakan swab

yang steril, lalu dimasukkan dalam kantung steril. Segera kirim

spesimen ke lab untuk segera diperiksa.

VI. Pengambilan Spesimen Eksudat

1. Pengertian Pengambilan Spesimen Eksudat

Merupakan suatu proses pengambilan eksudat atau cairan luka

pada infeksi yang diderita oleh pasien sebagai bahan penelitian pada

laboratorium. Hal ini dilakukan agar mengetahui sejauh mana infeksi

yang dialami oleh pasien. Pengambilan speimen drainase luka

merupakan tindakan yang dilakukan untuk mendapatkan suatu bahan

penelitian dan dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada serta sesuai.

Indikasi pengambilan spesimen eksudat adalah, tindakan

pengambilan eksudat ini dilakukan kepada pasien yang mengalami

infeksi pada lukanya sehingga muncul pus pada luka yang di derita

oleh pasien. Tindakan ini harus dilakukan untuk mendapatkan bahan

atau sempel penelitian dalam meneliti eksudat yang ada pada luka

pasien yang berupa cairan baik itu serosa, purulen, ataupun

sanguinosa.

Tujuan dari pengambilan spesimen drainase luka adalah untuk

mendapatkan sempel dalam penelitian dan dapat mengkaji sejauh

mana mikroorganisme pada luka tersebut berkembang.

2. Pendelegasian

Pengambilan kultur luka merupakan suatu prosedur invasif yang

membutuhkan penerapan teknik steril, pengetahuan tentang

18

penyembuhan luka, dan kemampuan pemecahan masalah untuk

memastikan keamanan klien, dan oleh karena itu perawat yang perlu

melakukan teknik ini.

3. Peran Perawat

a. Pengkajian

Kaji penampilan luka dan jaringan sekitarnya. Cek karakter

dan jumah drainase luka. Apakah klien mengeluh nyeri pada

daerah luka.

Kaji tanda-tanda infeksi seperti demam, menggigil, atau

mengeluh jumlah sel darah putih.

b. Perencanaan

Sebelum mengambil spesimen drainase luka, tentukan:

Apakah luka harus dibersihkan sebelum mengambil spesimen.

Apakah tempat pengambilan spesimen ditetapkan.

c. Persiapan Pasien

Jelaskan kepada klien apa yang dimaksud dengan drainase

luka dan bagaimana cara pengambilannya secara singkat agar

klien dapat mengerti ketika pengambilan spesimen

berlangsung.

Sarankan pasien dalam posisi yang nyaman agar proses

pengambilan dapat berlangsung dengan baik.

Berikan analgesik selama 30 menit sebelum prosedur bila

klien mengeluh nyeri pada daerah luka.

d. Pelaksanaan

Cek permintaan medis untuk menentukan apakah spesimen

dikumpulkan untuk kultur aerob atau anaerob.

Berikan analgesik selama 30 menit sebelum prosedur bila

klien mengeluh nyeri pada daerah luka.

e. Pendokumentasian

Dokumentasikan semua inforamsi yang relevan.

Catat pada catatan tentang pengambilan spesimen dan

sumbernya.

19

Pendokumentasian meliputi tanggal dan waktu; tampilan luka,

warna, konsistensi, jumlah, dan bau dari drainase yang ada;

tipe kultur yang dikumpulkan dan ketidaknyamanan yang

dialami oleh klien.

Masukkan spuit 10 ml (tanpa jarum) steril ke dalam luka, dan

aspirasi 1-5ml drainase ke dalam spuit.

Pasang jarum ukuran 21 ke spuit, dan keluarkan semua udara

dari spuit dan jarum.

Segera injeksikan drainase ke dalam tabung kultur anaerob.

Atau bila tersedia penyumbat atau tutup karet, masukkan

jarum ke dalam penyumbat atau tutup karet tersebut untuk

mencegah udara masuk.

Beri label pada tabung atau spuit dengan benar.

Kirim tabung atau spuit drainase ke laboratorium dengan

segera, jangan mendinginkan spesimen.

f. Evaluasi

Bandingkan hasil pengkajian dan drainase luka saat ini

dengan pengkjian sebelumnya untuk menentukan adanya

perubahan.

Laporkan hasil kultur kepada dokter.

Lakukan tindakan lanjut yang sesuai seperti pemberian obat

yang diprogramkan.

20

BAB III

Radiologi

Prinsip Radiasi, Komplikasi, dan Peran Perawat

I. Definisi

Radioterapi adalah penggunaan partikel energi untuk

menghancurkan sel – sel dalam pengobatan penyakit. Sel mati akibat dari

reaksi kimia dalam sel yang menyebabkan perubahan DNA dan RNA,

mengurangi kemampuan sel untuk berfungsi. Jumlah kerusakan DNA dan

RNA sebuah sel tergantung dari radiosensitifitas sel.

Ada 4 faktor yang mempengaruhi radiosensitifits sel :

1. Oksigenisasi. Oksigen merupakan materi kimia peningkat

sensitifitas radiasi yang sangat potent, dengan efek potensiasi 2.5 -

3 kali. Mekanisme sensitisasi tersebut terjadi akibat terikatnya

oksigen oleh radikal bebas dan membentuk peroksidase yang lebih

stabil dan lebih lama dan lebih toksik dibanding radikal bebas

sendiri. Sehingga kerusakan yang akan terjadi menjadi lebih besar.

2. Fase-fase proliferasi. Sel dalam fase G2 dan M adalah kelompok

sel yang sangat radiosensitif. Hal ini diasumsikan berhubungan

dengan target utama kematian sel yaitu DNA, dimana pada fase-

fase tersebut didapatkan jumlah DNA yang terbanyak dan dalam

keadaan rentan. Teori lain mengatakan pula adanya kemampuan

repair maksimal sel adalah dalam fase G1 dan S.

3. Panas. Panas merupakan juga agen sitotoksik yang bekerja pada sel

yang radioresisten yaitu fase S, dan tidak dipengaruhi oleh

kandungan oksigen jaringan.

4. Bahan-bahan kimia. Beberapa bahan kimia yang akan terikat pada

proses sintesa DNA misalnya derivat uridin

(bromodeoxyuridine/iodode-oxyuridine), dapat mengakibatkan

kerapuhan dan peningkatan kepekaan DNA tersebut terhadap

radiasi.

21

Sel- sel yang sedang dalam kesenjangan fase 2 ( periode setelah

sintesis DNA sebelum mitosis) dari siklus sel merupakan fase sel

yang paling sensitive terhadap radioterapi. Differensiasi sel yang

buruk dan sel teroksigenasi baik juga sangat radiosensitive.

Umumnya jenis kanker yang paling sensitive pada radioterapi

adalah limfoma, seminoma, sel skuamosa daerah orofaring,kulit

dan sel epitel serviks. Sel normal yang paling sensitive terhadap

radioterapi adalah sel – sel darah yang dihasilkan dalam sum-sum

tulang, folikel rambut dan sel traktus gastrointestinal. Untuk

mengatasi kanker terapi radiasi digunakan sendiri atau dalam

kombinasi dengan pembedahan, kemoterapi dan/ immunoterapi.

II. Tujuan Radiologi

Kuratif, seperti penyakit Hodgkin, kanker seminoma testis, kulit,

serviks dan kanker laring.

Mengontrol penyakit baik jangka pendek maupun jangka panjang

seperti pada tumor otak, kanker kandung kemih, kanker ovarium dan

kanker paru

Faliatif untuk meningkatkan kwalitas hidup dengan menghilangkan

gejala dan mencegah komplikasi

III. Pemberian Terapi Radiasi

a. Radiasi Ekternal

Radiasi eksternal (teleterapi) menggunakan sebuah mesin terapi

yang di letakkan pada jarak tertentu dari tubuh pasien. Radiasi juga

dapat diberikan dengan menanam sumber radioaktif yang terbungkus

di dalam atau dekat daerah kanker untuk memberikan efek terapi local

(brakhiterapi). Materi radioaktif dapat disuntikkan secara intravena

atau secara oral untuk memberikan efek sistemik (sumber yang tidak

terbungkus). Zat-zat radioaktif kemudian mencapai daerah yang

diinginkan. Antibodi spesifik tumor yang telah digabungkan dengan

isotope radioaktif memberikan efek kombinasi imun dengan terapi

22

radiasi untuk memaksimalkan sekaligus memperkecil toksisitas

jaringan normal.

Terapi radiasi eksternal basanya diberikan setiap hari, Senin

sampai Jum’at, selama 2 sampai 8 minggu. Terapi palliative, seperti

untuk rasa nyeri pada metastasis tulang, dapat diberikan dengan dosis

harian yang lebih besar dalam jumlah terapi yang lebih sedikit. Terapi

yang sebenarnya memakan waktu 2 sampai 5 menit.

Ada bermacam-macam mesin yang digunakan pada terapi

radiasi, bergantung tipe dan luas tumor. Mesin-mesin ini berbeda

menurut energi yang dihasilkan serta partikel ion yang dihantarnya.

Akselerator linear sangat umum digunakan dalam terapi kanker.

Semakin besar energy yang dihasilkan oleh suatu mesin, semakin

dalam pula penetrasi pancaran radiasinya.Dengan energy yang lebih

besar dicapai efek yang maksimum di bawah permukaan kulit dan

dosis pajanan ke kulit dikurangi.

Oleh karena dosis tunggal yang besar terlalu toksik terhadap

jaringan normal, dosis radiasi total dibagi menjadi dosis harian yang

kecil atau dosis terbagi yang diberikan dari waktu ke waktu. Proses ini

disebut fraksinasi. Dosis yang diberikan biasanya sama setiap harinya.

Dengan dilakukannya fraksinasi dosis total, lebih banyak radiasi yang

dapat diberikan kepada tumor sementara mengurangi kerusakan pada

jaringan normal, karena fraksinasi memberikan kesempatan kepada sel

normal untuk pulih dari kerusakan yang kecil setelah dilakukannya

suatu terapi. Suatu terapi tertentu membutuhkan dua sampai tiga kali

sesi perhari dengan istirahat 5 sampai 6 jam di antara setiap fraksi, cara

ini disebut hiperfraksinasi.

b. Radiasi Internal

Radiasi internal menggunakan implan yang dimasukkan ke

tubuh pasien. Penggunaan implant radioaktif memberikan radiasi

dalam jumlah yang cukup besar kepada suatu tempat spesifik dalam

23

waktu yang pendek. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam

menggunakan radiasi internal antara lain :

Terapi Radioaktif Tanpa Selubung

Jika isotope radio aktif disuntikkan secara intravena atau secara oral

(sumber yang tidak terselubung), pasien dan sekresi tubuh dari

pasien akan bersifat radioaktif dan dibutuhkan perawatan yang

khusus kepada pasien yang bergantung pada isotope yang

digunakan. Pasien biasanya harus di isolasi karena radioaktivitasnya

masih ada selama 3 sampai 4 hari. Contoh isotope radioaktif yang

digunakan adalah : Iodine 131 dan 125, fosfor 32, Iridium 192,

Cesium 137, dan radium 226.

Meminimalkan Pajanan Radiasi kepada Perawat

Ketika seorang perawat bekerja dengan pasien yang menggunakan

implant radioaktif atau mendapat radiasi sistemik, ia haris

mengantisipasi kebutuhan pasien dan prinsip penggunaan waktu,

jarak pelindung untuk mengurangi pajanan radiasi.

Waktu

Minimalkan waktu yang dihabiskan untuk berada dekat dengan

pasien. Pajanan radiasi berhubungan langsung dengan waktu yang

dihabiskan dalam jarak tertentu dari sumber radioaktivitas.

Menggunakan waktu dengan efisien dengan mengatur aktivitas

perawatan pasien dan menyediakan hal-hal yang dibutuhkan

sebelum memasuki kamar pasien. Sebelum meninggalkan pasien,

letakkan alat-alat pribadi pasien pada tempat yang mudah dijangkau

untuk menghindari perawat masuk kembali ke kamar pasien.

Perawatan langsung biasanya dibatasi satu setengah jam per pasien

dalam satu giliran jaga.

Jarak

Maksimalkan jarak dari zat-zat radioaktif. Jumlah radiasi akan

berkurang menurut akar kuadrat. Jenguklah pasien dengan sering

pada pintu kamar pasien.

Pelindung

24

Jika diperlukan, gunakan pelindung untuk mengurangi pajanan

radiasi. Dengan penggunaan radium atau sesium, diperlukan

pemasangan pelindung timbal sebesar 1 inchi untuk membatasi

radiasi.

IV. Teknik Radiologi

Beberapa teknik radiologi yang sering digunakan :

1. Static radiation field technique. Teknik ini merupakan teknik yang masih

banyak digunakan dimana radiasi diberikan dengan menggunakan lapangan

radiasi yang static. Jumlah lapangan yang diberikan dapat bervariasi dari 2

lapangan hingga lapangan multipel. Semakin banyak jumlah lapangan yang

diberikan, maka semakin banyak jaringan sehat otak yang teradiasi dengan

dosis tinggi.

2. Multileaf colimator (conformal) technique. Teknik ini merupakan perbaikan

teknik dari Static radiation field technique yang konvensional, dimana

digunakan kolimator yang selalu berubah pada setiap posisi lapangan radiasi,

sesuai dengan bentuk tumor (secara 3 dimensi) pada posisi lapangan radiasi

tersebut.

3. Rotation technique. Teknik ini menggunakan lapangan static dengan jumlah

tidak terbatas (secara rotasi) dalam jarak arkus tertentu. Dengan menggunakan

teknik ini akan didapat daerah isodosis berbentuk lingkaran dengan daerah

tumor didalamnya, sehingga akan lebih mengurangi jaringan sehat yang

teradiasi dengan dosis tinggi.

4. Stereotactic radiosurgery. Teknik ini menggunakan lapangan kecil (<20 - 30

mm), multipel, dari berbagai arah dan berbagai bidang (3 dimensi), dosis

radiasi tunggal dan tinggi, menggunakan stereotactic device. Teknik ini dapat

menggunakan sumber radiasi cobalt32, 33, 34 (gamma knife) atau berkas foton

dari linier accelerator (X knife)31, 35, 36. Keuntungan dari teknik ini adalah

disamping mengurangi jaringan sehat yang teradiasi dengan dosis tinggi, juga

secara radiobiologis akan didapat efek biologik yang tinggi dengan

penggunaan dosis radiasi perkali yang tinggi, sehingga menjadi persyaratan

25

jarak yaitu <5mm dari organ kritis disekitar target radiasi misalnya chiasma

opticum.

5. Fractionated stereotactic radiotherapy. Tujuan teknik ini adalah perbaikan dari

teknik 4 dalam usaha mengurangi kerusakan berat dari jaringan sehat dengan

diberikan radiasi dalam terfraksi.

VII. Komplikasi Radiasi

Komplikasi tergantung pada lokasi penyinaran, jumlah dosis yang

diberikan, dan organ-organ sensitive yang terkena. Komplikasi radiasi pada

umumnya bersifat lokal, misalnya perubahan kulit menjadi kemerahan sampai

hitam, pengelupasan kulit, rambut rontok, mual/muntah dan mencret, penurunan

kadar hemoglobin (Hb) serta sel darah putih, dan lain-lain. Kadang-kadang timbul

gejala umum, misalnya pusing dan demam. Sesuai dengan gejala di atas, prinsip

terapi radiasi harus mencapai efek optimal pada daerah kanker dan efeknya pada

jaringan atau organ sehat disekitar tumor atau daerah penyinaran minimal.

VIII. Peran Perawat

Prioritas hal-hal yang perlu diajarkan kepada pasien:

o Pasien Terapi Radiasi Eksternal

Menginstruksikan kepada pasien dan keluarga mengenai:

Penggunaan terapi radiasi untuk mengobati kanker

Kejadian yang timbul sebelum, selama, dan setelah sesi terapi radiasi:

konsultasi, simulasi, terapi harian, evaluasi rutin selama terapi, dan

tindak lanjut.

Faktor: lamanya simulasi, lamanya terapi harian, lamanya sesi terapi

radiasi.

Informasi lingkungan: gambaran sekitar, ruang terapi, dan mesin yang

digunakan.

Efek radioterapi dan efek samping(umum dan spesifik)

Bahwa terapi radiasi merupakan terapi local dan efek samping yang

timbul dapat bersifat umum dan spesifik pada lokasi terapi.

26

Apa yang terjadi pada pasien setelah dilakukan terapi dan menjelaskan

mengapa hal tersebut bias terjadi.

Berapa lama efek tersebut dan kapan akan menghilang.

Jika tubuh pasien tidak bersifat radioaktif; tidak perlu melakukan isolasi

terhadap keluarga dan teman-temannya.

Tindakan yang dapat dilakukan pasien dan keluarganya untuk

meminimalkan atau mencegah efek samping.

Efek umum: perawatan kilit, nutrisi, konservasi energy.

Efek samping lokal.

o Pasien Terapi Radiasi Internal (Terbungkus dan Tidak Terbungkus)

Menginstruksikan kepada pasien dan keluarganya mengenai:

Penggunaan terapi radiasi internal untuk mengobati kanker.

Persiapan pasien sebelum terapi

Prosedur terapi

Pembatasan kunungan: harus > 18 tahun, tidak dalam keadaan hamil.

Persyaratan isolasi: isolasi sementara, pasien tetap di kamar, perawatan

kesehatan untuk aktivitas yang penting saja, pembatasan waktu

pelayanan jarak dekat. Jika pasien yang memakai sumber radioaktif

tidak terbungkus diperbolehkan ke kamar mandi, instruksikan pasien

untuk membilas sebanyak 2 sampai 3 kali.

Aktivitas pasien dapat dibatasi bergantung pada prosedur; aktivitas

seperti menonton televisi atau membaca buku sangat direkomendasikan.

Pemulangan pasien: mengawasi efek lambat seperti kelelahan, pada

penggunaan implant pelvis: diare, gejala gangguan saluran kemih

seperti infeksi saluran kandung kemih, wanita diinstruksikan untuk

melakukan dilatasi vagina 3 kali seminggu sampai 1 tahun setelan

pemberian implant.

27

BAB IV

Farmakologi

Toksikologi

I. DEFINISI DAN ISTILAH DALAM TOKSIKOLOGI

Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang efek merugikan

berbagai bahan kimia dan fisik pada semua sistem kehidupan. Dalam istilah

kedokteran, toksikologi didefinisikan sebagai efek merugikan pada manusia akibat

paparan bermacam obat dan unsur kimia lain serta penjelasan keamanan atau

bahaya yang berkaitan dengan penggunaan obat dan bahan kimia tersebut.

Toksikologi sendiri berhubungan dengan farmakologi, karena perbedaan

fundamental hanya terletak pada penggunaan dosis yang besar dalam eksperimen

toksikologi. Setiap zat kimia pada dasarnya adalah racun, dan terjadinya

keracunan ditentukan oleh dosis dan cara pemberian. Salah satu pernyataan

Paracelsus menyebutkan “semua substansi adalah racun; tiada yang bukan

racun. Dosis yang tepat membedakan racun dari obat”. Pada tahun 1564

Paracelsus telah meletakkan dasar penilaian toksikologis dengan mengatakan,

bahwa dosis menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun (dosis sola facit

venenum). Pernyataan Paracelcus tersebut sampai saat ini masih relevan. Sekarang

dikenal banyak faktor yang menyebabkan keracunan, namun dosis tetap

merupakan faktor utama yang paling penting.

Toksisitas merupakan istilah dalam toksikologi yang didefinisikan sebagai

kemampuan bahan kimia untuk menyebabkan kerusakan/injuri. Istilah toksisitas

merupakan istilah kualitatif, terjadi atau tidak terjadinya kerusakan tergantung

pada jumlah unsur kimia yang terabsopsi. Sedangkan istilah bahaya

(hazard) adalah kemungkinan kejadian kerusakan pada suatu situasi atau tempat

tertentu; kondisi penggunaan dan kondisi paparan menjadi pertimbangan utama.

Untuk menentukan bahaya, perlu diketahui dengan baik sifat bawaan toksisitas

unsur dan besar paparan yang diterima individu. Manusia dapat dengan aman

28

menggunakan unsur berpotensi toksik jika menaati kondisi yang dibuat guna

meminimalkan absopsi unsur tersebut. Risiko didefinisikan sebagai kekerapan

kejadian yang diprediksi dari suatu efek yang tidak diinginkan akibat paparan

berbagai bahan kimia atau fisik.

Istilah toksikokinetik merujuk pada absopsi, distribusi, ekskresi dan

metabolisme toksin, dosis toksin dari bahan terapeutik dan berbagai metabolitnya.

Sedangkan istilah toksikodinamik digunakan untuk merujuk berbagai efek

kerusakan unsur tersebut pada fungsi fital.

ETIOLOGI

Pada dasarnya tidak ada batas yang tegas tentang penyebab dari keracunan

berbagai macam obat dan zat kimia, karena praktis setiap zat kimia mungkin

menjadi penyebabnya. Secara ringkas klasifikasi keracunan sebagai berikut:

Menurut cara terjadinya

1. Self poisoning

Pada keadaan ini pasien makan obat dengan dosis berlebihan tetapi

dengan pengetahuan bahwa dosis ini tidak membahayakan. Self

poisoning biasanya terjadi karena kekurang hati-hatian dalam

penggunaan. Kasus ini bisa terjadi pada remaja yang ingin coba-

coba menggunakan obat, tanpa disadari bahwa tindakan ini dapat

membahayakan dirinya.

2. Attempted poisoning

Dalam kasus ini, pasien memang ingin bunuh diri, tetapi bisa

berakhir dengan kematian atau pasien sembuh kembali karena

salah tafsir dalam penggunaan dosis.

3. Accidental poisoning

29

Kondisi ini jelas merupakan suatu kecelakaan tanpa adanya unsur

kesengajaan sama sekali. Kasus ini banyak terjadi pada anak di

bawah 5 tahun, karena kebiasaannya memasukkan segala benda ke

dalam mulut.

4. Homicidal piosoning

Keracunan ini terjadi akibat tindak kriminal yaitu seseorang

dengan sengaja meracuni seseorang.

Menurut waktu terjadinya keracunan

1. Keracunan kronis

Diagnosis keracunan ini sulit dibuat, karena gejala timbul perlahan

dan lama sesudah pajanan. Gejala dapat timbul secara akut setelah

pemajanan berkali-kali dalam dosis yang relatif kecil.

2. Keracunan akut

Keracunan jenis ini lebih mudah dipahami, karena biasanya terjadi

secara mendadak setelah makan atau terkena sesuatu. Selain itu

keracunan jenis ini biasanya terjadi pada banyak orang (misal

keracunan makanan, dapat mengenai seluruh anggota keluarga atau

bahkan seluruh warga kampung). Pada keracunan akut biasanya

mempunyai gejala hampir sama dengan sindrom penyakit, oleh

karena itu harus diingat adanya kemungkinan keracunan pada sakit

mendadak.

Menurut alat tubuh yang terkena

Keracunan digolongkan menurut organ tubuh yang terkena, misal racun

pada SSP, racun jantung, racun hati, racun ginjal dan sebagainya. Suatu

organ cenderung dipengaruhi oleh banyak obat, sebaliknya jarang terdapat

obat yang mempengaruhi /mengenai satu organ saja.

30

Menurut jenis bahan kimia

1. Alkohol

2. Fenol

3. Logam berat

4. Organofosfor

Pengklasifikasian bahan toksik yang menjadi penyebab keracunan adalah sebagai

berikut:

Menurut keadaan fisik : gas, cair, debu

Menurut ketentuan label : eksplosif, mudah terbakar, oksidizer

Menurut struktur kimiawi : aromatik, halogenated, hidrokarbon,

nitrosamin

Menurut potensi toksik : super toksik, sangat toksik sekali, sangat toksik,

toksik, agak toksik

METODE KONTAK DENGAN RACUN

Jalur masuk bahan kimia ke dalam tubuh berbeda menurut situasi

paparan. Metode kontak dengan racun melalui cara berikut:

Tertelan

Efeknya bisa lokal pada saluran cerna dan bisa juga sistemik. Contoh

kasus: overdosis obat, pestisida

Topikal (melalui kulit)

Efeknya iritasi lokal, tapi bisa berakibat keracunan sistemik. Kasus ini

biasanya terjadi di tempat industri. Contoh: soda kaustik, pestida

organofosfat

Topikal (melalui mata)

Efek spesifiknya pada mata dan bisa menyebabkan iritasi lokal. Contoh :

asam dan basa, atropin

31

Inhalasi

Iritasi pada saluran nafas atas dan bawah, bisa berefek pada absopsi dan

keracunan sistemik. Keracunan melalui inhalasi juga banyak terjadi di

tempat-tempat industri. Contoh : atropin, gas klorin, CO (karbon

monoksida)

Injeksi

Efek sistemik, iritasi lokal dan bisa menyebabkan nekrosis. Masuk ke

dalam tubuh bisa melalui intravena, intramuskular, intrakutan maupun

intradermal.

EFEK TOKSIK

Penilaian keamanan suatu obat atau zat kimia merupakan bagian penting dalam

toksikologi, karena setiap zat kimia yang baru akan digunakan harus diuji

toksisitas dan keamanannya. Seabelum suatu obat dapat digunakan untuk indikasi

tertentu, harus diketahui dulu efek apa yang akan terjadi terhadap semua organ

tubuh yang sehat. Jarang obat yang hanya mempunyai satu jenis efek, hampir

semua obat mempunyai efek tambahan dan mampu mempengaruhi berbagai

macam organ dan fungsi fital. Efek yang menonjol, biasanya merupakan

pegangan dalam menentukan penggunaan, sedangkan perubahan lain merupakan

efek samping yang bahkan bisa menyebabkan toksik. Biasanya reaksi toksik

merupakan kelanjutan dari efek farmakodinamik. Karena itu, gejala toksik

merupakan efek farmakodinamik yang berlebihan.

Reaksi toksik berbeda secara kualitatif, tergantung durasi paparan. Paparan

tunggal atau paparan berulang yang berlangsung kurang dari 14 hari disebut

paparan akut. Paparan yang terjadi kurang dari 14 hari merupakan paparan sub-

akut. Paparan sub-kronis bila terpapar selama 3 bulan dan disebut paparan kronis

bila terpapar secara terus-menerus selama lebih dari 90 hari. Efek toksik pada

paparan kronis dapat tidak dikenali sampai setelah paparan terjadi berulang kali.

32

Kemunculan efek toksik sesudah paparan akut dapat terjadi secara cepat maupun

terjadi setelah interval tertentu. Efek yang seperti ini disebut sebagai delayed

toxicity(toksisitas tertunda). Adapun efek berbahaya yang timbul akibat kontak

dengan konsentrasi rendah bahan kimia dalam jangka waktu lama disebut low

level, long term-exposure (paparan jangka lama, tingkat rendah). Efek berbahaya,

baik akibat paparan akut maupun kronis, dapat bersifat reversibel maupun

ireversibel. Riversibilitas relatif efek toksik tergantung daya sembuh organ yang

terkena.

Manusia bisa melakukan kontak dengan beberapa bahan kimia berbeda secara

bersamaan ataupun sekuensial. Efek biologis akibat paparan campuran beberapa

bahan dapat digolongkan sebagai adiktif, sinergitik, potensiasi, antagonistik dan

toleransi. Pada potensiasi, satu dari dua bahan tidak menimbulkan toksik, namun

ketika terjadi paparan kedua bahan tersebut, efek toksik dari bahan yang aktif

akan meningkat. Kondisi sinergistik dua bahan yang mempunyai sifat toksik sama

atau salah satu bahan memperkuat bahan yang lain, maka efek toksik yang

dihasilkan lebih bahaya. Antagonistik merupakan dua bahan toksik yang

mempunyai kerja berlawanan, toksik yang dihasilkan rendah/ringan. Toleransi

merupakan keadaan yang ditandai oleh menurunnya reaksi terhadap efek toksik

suatu bahan kimia tertentu.Biasanya efek toksik campuran bahan kimia bersifat

aditif.

INDEK TERAPEUTIK

Indek terapeutik adalah rasio antara dosis toksik dan dosis efektif. Indek ini

menggambarkan keamanan relatif sebuah obat pada pengunaan biasa. Indeks

terapeutik suatu dosis diperlukan, karena terapi yang dijalankan dapat

menimbulkan efek. Diperkirakan sebagai rasio LD 50 (dosis letal pada 50 %

kasus) terhadap ED 50 (dosis efektif pada 50% kasus). Dalam praktik, sebuah

substansi dikatakan memiliki indeks terapeutik “tinggi” atau “rendah”.

Penggunaan terapi obat sebaiknya mempunyai ED yang lebih besar daripada LD.

Obat yang mempunyai indek terapeutik lebar biasanya tidak memerlukan

pemantauan obat terapeutik. Pemantauan obat terapeutik biasanya dilakukan pada

33

obat yang mempunyai indek terapeutik sempit.Tujuan dari pemantauan obat

terapeutik adalah:

Mengevaluasi kepatuhan klien terhadap terapi yang diberikan

Untuk mengetahui apakah obat lain sudah mengubah konsentrasi obat

Untuk menentukan respon tidak efektif terhadap obat tertentu

Untuk menentukan kadar obat dalam serum apabila dosis obat diubah.

Setiap zat kimia, bila diberikan dengan dosis yang cukup besar akan menimbulkan

gejala-gejala toksis. Gejala-gejala ini pertama-tama harus ditentukan pada hewan

coba melalui penelitian toksisitas akut dan subkronik. Penelitian toksisitas akut

diutamakan untuk mencari efek toksik, sedangkan penelitian toksisitas kronik

untuk menguji keamanan obat. Penilaian keamanan obat dapat dilalukan melalui

tahapan berikut:

Menentukan LD 50

Melakukan percobaan toksisitas akut dan kronik untuk menentukan no

effect level

Melakukan percobaan karsinogenisitas, teratogenesis dan mutagenisitas.

PENATALAKSANAAN DAN IMPLIKASI KEPERAWATAN

Orang sering menghubungkan racun dengan antidotnya, padahal sebenarnya

hanya ada sedikit antidot spesifik. Penanganan yang tepat dan hati-hati akan

mencegah kondisi korban menjadi lebih fatal. Seorang perawat dalam menangani

kasus keracunan ini bisa berperan dalam proses pengkajian, perencanaan,

implementasi sampai evaluasi. Pada pengelolaan pasien keracunan yang paling

penting adalah penilaian klinis, meskipun sebab keracunan belum diketahui. Hal

ini disebabkan karena pengobatan simtomatis sudah dapat dilakukan terhadap

gejala-gejalanya. Diantaranya yang sangat penting pada permulaan keracunan

adalah penilaian kesadaran dan respirasi. Kesadaran merupakan petunjuk penting

tentang beratnya keracunan. Tingkat kesadaran dalam toksikologi dapat dibagi

menjadi 4 tingkat, yaitu:

34

Tingkat I : penderita ngantuk tapi mudah diajak bicara

· Tingkat II : penderita dalam keadaaan sopor, dapat dibangunkan dengan

rangsang minimal, misalnya bicara keras-keras atau

menggoyang lengan

· Tingkat III : penderita dalam keadaan soporokoma, hanya dapat bereaksi

dengan rangsang maksimal, yaitu dengan menggosok

sternum dengan kepalan tangan.

· Tingkat IV : penderita dalam keadaan koma, tidak ada reaksi sedikitpun

terhadap rangsang maksimal.

Rencana tindakan untuk pasien keracunan meliputi:

Stabilisasi

Perawatan pasien keracunan diarahkan untuk stabilisasi masalah-masalah

mendesak jalan nafas yang mengancam hidup, pernafasan dan

sirkulasi.Langkah-langkah stabilisasi adalah sebagai berikut:

1. Kaji dan tangani jalan nafas

2. Kaji dan kontrol perdarahan. Cegah dan tangani syok dengan

pemberian produk darah jika perlu.

3. Kaji terhadap adanya cidera yang berkaitan dengan proses penyakit

lain

4. Kaji, tetapkan, tangani status asam basa dan elektrolit.

5. Kaji status jantung

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan singkat, dengan penekanan pada

wilayah-wilayah yang mungkin memberi petunjuk ke arah diagnosis

toksikologi, meliputi:

1. Tanda-tanda vital

35

Evaluasi yang teliti terhadap tanda-tanda vital yang meliputi

tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu dan tingkat kesadaran.

2. Mata

Mata merupakan sumber informasi yang penting untuk

toksikologis, karena beberapa kasus toksikologis menyebabkan

perubahan pada mata. Tetapi dalam menentukan prognosis

keracunan gejala ini tidak bisa dijadikan pegangan.

3. Mulut

Mulut mungkin menunjukkan tanda-tanda terbakar yang

disebabkan oleh unsur korosif atau mungkin menunjukkan bekas

tertentu yang menjadi cirikas dari suatu bahan toksik.

4. Kulit

Kulit sering menunjukkan adanya kemerahan atau keluar keringat

yang berlebihan.

5. Abdomen

Pemeriksaan abdomen bisa menunjukkan adanya ileus, bising usus

yang hiperaktif, dan kejang abdomen. Perubahan bising usus

biasanya menyertai perubahan tingkat kesadaran. Pada kesadaran

tingkat III biasanya bising usus negatif, dan pada tingkat IV selalu

negatif, sehingga pemeriksaan ini bisa dipakai untuk mencocokkan

tingkat kesadaran, misalnya pada orang yang bersimulasi.

6. Sistem saraf

Seizure fokal atau defisit motorik menunjukkan adanya lesi

struktural daripada toksik atau ensefalopati metabolik.

36

Pada intinya penanganan awal pada kasus keracunan adalah menangani masalah

ABC, bukan mencari penyebab keracunannya apa, baru setelah kondisi stabil

dicari penyebab keracunan.

Riwayat umum

Setelah pasien berhasil distabilkan, upaya-upaya untuk mendapatkan

riwayat pemajanan bisa dilakukan. Riwayat tersebut bisa diperoleh dari

pasien sendiri, angota keluarga, teman-teman, para penyelamat dan saksi.

Hal terpenting adalah mengidentifikasi bahan toksik, jumlah dan waktu

pemajanan, alergi atau penyakit yang mendasari, dan apakah tindakan

pertolongan pertama yang telah dilakukan.

Identifikasi keberadaan sindrom toksik

Adanya sindrom toksik dapat membantu menegakkan diagnosa banding

dengan mengusulkan berdasarkan kelas dari racun yang mungkin

mengenai korban. Lima sindrom toksik yang sering muncul adalah sebagai

berikut:

1. Kolinergik

Gejala : tanda vital menurun, salivasi berlebihan, lakrimasi,

urinasi, emesis dan diaforesis, depresi sistem saraf, bradikardi,

kejang.

Penyebab : insektisida organofosfat dan karbamat, beberapa jamur

2. Opiat/hipnotik sedatif

Gejala : TTV menurun, koma, depresi pernafasan, miosis,

hipotensi, bradikardi, penurunan bising usus, edema pulmonal.

Penyebab : narkotik, benzodiazepam, barbiturat, etanol, klonidin

3. Antikolinergik

37

Gejala : delirium, kering, ruam kulit, pupil melebar, suhu tinggi,

retensi urine, bising usus menurun, takikardi, kejang

Penyebab ; antihistamin, atropin, agen antidepresan, beberapa

tanaman jamur

4. Simpatomimetik

Gejala : delusi, paranoia, takikardia, hipertensi, midriasis, kejang

Penyebab : kokain, teofilin, kafein, amfetamin, fenipropanolamin

5. Gejala putus obat

Gejala : diare, midriasis, takikardia, halusinasi, kram

Penyebab : alkohol, barbiturat, narkotik, benzodiazepin

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kasus keracunan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu:

Penatalaksanaan umum

Penatalaksanaan tingkat lanjut

Penatalakasanaan umum

Langkah ini termasuk tindakan pertolongan pertama yang diberikan untuk

mencegah absopsi agen dan jika memungkinkan untuk menyingkirkan pemajanan

berlanjut atau berulang.

Properti fisiokimia obat atau toksik, banyaknya, dan waktu pemajanan dapat

menentukan tipe dan beratnya dekontaminasi. Dekontaminasi melibatkan

pengeluaran toksik dari kulit, saluran cerna, inhalasi, dan okular.

Pemajanan okuler

38

Dalam kasus ini , dekontaminasi dicapai dengan pengaliran air suam-suam

kuku atau normal saline segera setelah pemajanan. Menggunakan gelas

besar atau mandi pancur bertekanan rendah, mata akan terus-menerus

tergenangi selama 15 sampai 30 menit sambil mengedip mata, memejam

dan membuka mata. Jika gejala dari iritasi okuler belum mereda setelah

dilakukan dekontaminasi, maka diperlukan pemeriksaan mata lanjutan.

Pemajanan dermal

Setelah melepas pakaian yang terkontaminasi, dekontaminasi kulit

dilakukan dengan merendam kulit dalam air suam-suam kuku selama 15

sampai 30 menit dan kemudian secara lembut mulai membersihkan bagian

yang terkontaminasi dengan air dan sabun, membilas dengan menyeluruh.

Kasus penyerapan toksin secara dermal, pemberi perawatan kesehatan

dapat berisiko terhadap toksisitas jika terjadi kontaminasi dermal

sementara membantu korban untuk dekontaminasi. Netralisasi asam basa

pada kulit dianjurkan untuk pemberi perawatan.

Pemajanan inhalasi

Langkah pertama yang dilakukan adalah memindahkan korban ke tempat

yang udaranya segar sambil memastikan bahwa penolong tidak terpajan

toksik yang menyebar di udara. Jalan nafas yang paten harus dibuat dan

status pernafaasan dikaji. Pernafasan buatan diperlukan jika korban tidak

bernafas spontan.

Ingesti

Dilusi dengan susu dan air dilakukan pada menelan iritan atau kaustik.

Pada orang dewasa dapat didilusi dengan satu gelas susu atau air,

sedangkan pada anak-anak dapat diberikan 2 sampai 8 ons cairan,

berdasarkan pada ukurannya.

Penatalaksaanaan Tingkat Lanjut

39

Langkah ini mengacu pada modalitas tindakan yang khusus, yang dapat mencakup

langkah-langkah pencegahan lebih lanjut terhadap absorpsi, peningkatan

eliminasi, pemantauan pasien, pemberian antidotum, dan perawatan simtomatik

dan suportif.Cara ini meliputi:

Emetik

Merupakan tindakan mengeluarkan kembali obat atau toksik yang tertelan

dengan merangsang muntah. Pada umumnya tindakan ini dilakukan dalam

4 jam setelah kejadian, lebih cepat lebih baik. Muntah yang ditimbulkan

tidak akan mengosongkan lambung seluruhnya, hanya sekitar 30 % isi

lambung yang dapat dikeluarkan. Biasanya emetik yang digunakan adalah

sirup ipecac. Sirup ini harus diberikan sesegera mungkin setelah ingesti

(dalam 30 menit) dan diikuti dengan air dan meningkatkan aktivitas fisik

pasien. Jika dosis awal gagal untuk mendapatkan hasil dalam waktu 20

sampai 30 menit, dapat diulang satu kali dengan dosis sama. Apabila

emesis sudah selesai, tunda makan minum selama satu sampai dua jam

untuk menenangkan lambung.

Kontraindikasi untuk tindakan emesis:

1. Depresi status mental

2. Tidak ada reflek muntah

3. Kejang

4. Ingesti agen yang dapat menimbulkan serangan depresi pada SSP

5. Agen kaustik yang tertelan telah dicerna

6. Setelah menelan substansi korosif

7. Setelah minum turunan petrolium

Lavage lambung

Merupakan metode alternatif yang umum untuk pengosongan lambung,

dimana cairan seperti normal saline dimasukkan ke dalam lambung

melalui orogastrik atau nasogastrik dengan diameter besar dan kemudian

40

dibuang dalam upaya untuk membuang bagian agen yang mengandung

toksik.

Indikasi lavage lambung adalah:

1. Depresi status mental

2. Tidak ada reflek muntah

3. Gagal dengan terapi emesis

4. Pasien dalam keadaan sadar

Kontraindikasi lavage lambung:

1. Ingesti kaustik

2. Kejang yang tidak terkontrol

Untuk tindakan ini pasien dibaringkan dalam posisi dekubitus lateral

sebelah kiri, dengan bagian kepala lebih rendah daripada kaki. Masukkan

cairan 150 sampai 200 ml air atau saline (pada anak 50 sampai 100 ml) ke

dalam lambung. Prosedur ini diulang sampai keluar cairan yang jernih atau

sedikitnya menggunakan 2 liter air. Intubasi nasotrakeal atau endotrakeal

diperlukan untuk melindungi jalan udara. Prosedur ini dilakukan 4 jam

setelah obat ditelan.

Komplikasi lavage lambung:

1. Perforasi esofagus

2. Aspirasi pulmonal

3. Ketidakseimbangan elektrolit

4. Tensi pneumothorak

41

5. Hipotermia pada anak-anak bila menggunakan lavage yang dingin

Adsorben

Adsorben merupakan bahan padat yang mempunyai kemampuan menarik

dan menahan pada permukaannya bahan lainnya. Pasien diberi karbon

aktif yang berupa bubur ditambah air, yang komposisinya terdiri atas

karbon aktif 1 bagian dengan 8 bagian air (1:8) sampai 1:10. karena ikatan

karbon-toksik lemah, maka harus segera dikeluarkan dari saluran cerna

dengan menggunakan laksatif. Penggunaan adsorben harus hati-hati pada

pasien dengan bising usus rendah, dan menjadi kontraindikasi untuk

pasien dengan gangguan usus.

Katartik

Pemberian agen katartik dapat mempercepat eliminasi toksin dari saluran

cerna dan mengurangi absorpsi. Katartik diberikan per oral atau dengan

selang nasogastrik pada semua kasus keracunan di mana arang obat

dianjurkan, kecuali pada anak kecil. Pada anak-anak kurang dari 1 tahun,

katartik tidak diberikan untuk menghindari dehidrasi.

Peningkatan eliminasi

Setelah prosedur diagnostik dan dekontaminasi serta pemberian antidot

dilakukan dengan tepat, penting untuk mempertimbangkan langkah

peningkatan eliminasi, seperti diuresis paksa, dialisis atau tranfusi tukar.

Diuresis paksa adalah tindakan memberi caairan parenteral dalam jumlah

besar (0,5-1,5 liter sejam) untuk mempercepat ekskresi obat melalui

ginjal.Syarat diuresis paksa adalah sebagai berikut:

1. Keracunan harus berat

2. Obat harus larut dalam air

3. Berat molekul obat kecil

42

4. Obat tidak diikat oleh protein maupun lemak

5. Obat tidak dikumulasi dalam suatu rongga atau organ tubuh

6. Obat tidak diekskresi lebih cepat melalui jalan lain, misal paru atau

usus.

Tindakan ini mudah dilakukan tetapi mengandung bahaya yang tidak

boleh diabaikan karena itu hanya dilakukan bila ada indikasi yang baik dan

memenuhi syarat-syaratnya. Kontraindikasi untuk diuresis paksa adalah:

1. Gagal jantung

2. Insufisiensi ginjal

3. Syok

Semula diuresis paksa sangat populer, tetapi karena tidak terbukti

manfaatnya, cara ini jarang digunakan, karena bisa mengakibatkan

ketidaknormalan elektrolit.

Hemodialisis merupakan proses perubahan komposisi terlarut darah

dengan difusi menembus dinding semipermiabel antara darah dan larutan

garam. Metode ini digunakan bila metode konservatif tidak berhasil.

Sedangkanhemoperfusi adalah metode pembuangan obat dan toksin dari

darah, dengan memompakan darah melewati bahan adsorben dan

kemudian disirkulasikan kembali ke dalam tubuh pasien. Antikoagulasi

seperti heparin diperlukan untuk mencegah pembekuan darah. Tranfusi

tukar merupakan pembuangan bagian darah pasien dan menggantikan

dengan darah lengkap yang segar,cara terakhir ini sangat jarang dilakukan.

Pemantauan Pasien Keracunan

Pasien yang keracunan akan memerlukan pemantauan kontinue selama berjam-

jam atau berhari-hari setelah pemajanan. Peralatan diagnostik serta tanda-tanda

gejala akan memberikan informasi tentang perkembangan pasien dan arah

43

pengobatan serta penatalaksanaan keperawatan. Poemantauan toksikologi

meliputi:

1. Elektrokardiografi

EKG dapat memberikan bukti-bukti dari obat-obat yang menyebabkan

penundaan disritmia atau konduksi.

2. Radiologi

Banyak substansi adalah radioopak, dan cara ini juga untuk menunjukkan

adanya aspirasi dan edema pulmonal.

3. Analisa Gas Darah, elektrolit dan pemeriksaan laboratorium lain

Keracunan akut dapat mengakibatkan ketidakseimbangan kadar elektrolit,

termasuk natrium, kalium, klorida, magnesium dan kalsium. Tanda-tanda

oksigenasi yang tidak adequat juga sering muncul, seperti sianosis,

takikardia, hipoventilasi, dan perubahan status mental.

4. Tes fungsi ginjal

Beberapa toksik mempunyai efek nefrotoksik secara lengsung.

5. Skrin toksikologi

Cara ini membantu dalam mendiagnosis pasien yang keracunan. Skrin

negatif tidak berarti bahwa pasien tidak keracunan, tapi mungkin racun

yang ingin dilihat tidak ada. Adalah penting untuk mengetahui toksin apa

saja yang bisa diskrin secara rutin di dalam laboratorium, sehingga

pemeriksaannya bisa efektif.

BEBERAPA CONTOH ANTIDOTUM

Antidotum merupakan ramuan/obat untuk melawan atau menawarkan kerja

racun.Berikut ini adalah contoh beberapa antidotum yang ada:

44

TOKSIN ANTIDOTUM

Opiat

Metanol, etilen glikol

Antikolinergik

Organofosfat/insektisida karbamat

Beta bloker

Digitalis, glikosida

Benzodiazepin

Karbon monoksida

Nitrit

Asetaminofen

Cianida

Penghambat saluran kalsium

Nalokson

Etanol

Fisostigmin

Atropin, piridoksin

Glukagon

Digoksin-fragmen antibodi

tertentu

Flumazenil

Oksigen

Metilen biru

N-asetilsistein

Amil nitrit

Natrium nitrit

Natrium tiosulfat

Kalsium glukonat

45

BAB V

Microbiologi + Parasitologi

Infeksi nosocomial dan proteksi

DEFINISI

Infeksi Nosokomial (Nosocomial Infections atau Hospital-Acquired

Infections) adalah suatu infeksi yang diperoleh/dialami pasien selama dia dirawat

di rumah sakit dan infeksi itu tidak ditemukan/diderita pada saat pasien masuk

rumah sakit

Infeksi Nosokomial sangat nyata merupakan penyebab kesakitan dan

kematian. Infeksi nosokomial dapat terjadi oleh karena tindakan instrumenisasi

ataupun intervensi pada saat dirawat di rumah sakit, misalnya pemasangan kateter,

infus, tindakan-tindakan operatif lainnya.

Infeksi nosokomial transmisi berasal dari dokter, perawat dan pelayan

medik yang lain bisa berasal dari tangan yang tidak steril, infeksi dari makanan,

minuman atau ventilasi, kateter dan alat endoscope ataupun tindakan invasif yang

lain.

Infeksi Nosokomial mempunyai angka kejadian 2 – 12% (rata-rata 5%)

dari semua penderita yang dirawat di rumah sakit. Angka kematian 1-2 % dari

semua kasus yang dirawat di rumah sakit di USA 1,5 juta pertahun dan meninggal

15.000 orang.

PENTINGNYA INFEKSI NOSOKOMIAL

Survei prevalensi (jumlah pasien penyakit tertentu) infeksi rumah sakit

pada banyak negara, menunjukkan bahwa kira-kira seorang dalam sepuluh pasien

di rumah sakit telah memperoleh infeksi dan sejumlah infeksi yang serupa yang

diperoleh masyarakat. Infeksi nosokomial utama yang diperoleh adalah saluran

urin, luka bedah, saluran nafas bagian bawah, pneumonia, bakterimia dan kulit.

Frekuensi dan keparahan beragam dengan umur pasien, jenis operasi dalam kasus

bedah, lama waktu katerisasi (urin dan vaskular), pengobatan imuno supresif

(penghambatan reaksi imunitas, pencegahan atau usaha pengurangan respon

rentan, misalnya dengan penyinaran).

46

Pentingnya infeksi rumah sakit dapat dipertimbangkan, berkenaan dengan

kesakitan pasien dan dengan perpanjangan hospitalisasi. Kesakitan disebabkan

infeksi rumah sakit dewasa ini jarang menyebabkan kematian, walaupun hal ini

dapat trejadi pada pasien dengan resistensi yang lemah (misalnya, pasien dengan

luka bakar yang luas) atau dari organisme sangat patogen (misalnya, beberapa

strain virus hepatitis B). Biaya suatu perpanjangan tinggal di rumah sakit adalah

suatu ukuran biaya infeksi yang baik, walaupun itu menunjukkan pengurangan

sejumlah tempat tidur yang tersedia bagi pasien daftar tunggu daripada suatu

biaya sebenarnya yang meningkat pada rumah sakit (Siregar, 2004).

CONTOH INFEKSI NOSOKOMIAL

Terdapat 4 macam infeksi nosokomial yang menonjol yaitu infeksi

luka operasi (ILO), infeksi saluran kencing (ISK), pneumonia dan

bakteremia.

1. Infeksi Saluran Kencing / Urinary Tract Infections (ISK/UTI)

Infeksi ini merupakan kejadian tersering, infeksinya dihubungkan

dengan penggunaan kateter urin. Walaupun tidak terlalu berbahaya,

tetapi dapat menyebabkan terjadinya bakteremia dan mengakibatkan

kematian.

Bakteri yang sering menyebabkan infeksi ini antara lain:

E. Coli

Enterococcus sp.

Klebsiella sp.

Pseudomonas aeruginosa

Proteus mirabilis

Penyebaran mikroorganisme yang terdapat pada permukaan ujung

kateter yang masuk ke dalam uretra menyebabkan terjadinya infeksi

saluran kencing. Pencegahannya antara lain dengan cara kateterisasi

dengan teknik benar dam hindari jika tidak perlu. Kemudian

pemasangan kateter secara asepsis, pengambilan sampel urin secara

steril, serta alat yang digunakan harus di sterilkan terlebih dahulu.

Dipastikan bahwa alat-alat tersebut steril dan tidak terkontaminasi oleh

47

alat-alat yang tidak steril. Petugas harus mencuci tangan sebelum dan

sesudah memakai sarung tangan.

2. Infeksi Luka Operasi / Surgical Site Infections (ILO/SSI)

Sebanyak 14-16% dari keseluruhan infeksi nosokomial sehingga

menempati Infeksi Luka Operasi di posisi kedua setelah Infeksi

Saluran Kencing. Infeksi Luka Operasi (ILO) atau Infeksi Tempat

Pembedahan (ITP)/Surgical Site Infection (SSI) adalah infeksi pada

luka operasi atau organ/ruang yang terjadi dalam 30 hari paska

operasi atau dalam kurun 1 tahun apabila terdapat implant.

Sumber bakteri pada ILO dapat berasal dari pasien, dokter dan

tim, lingkungan, dan termasuk juga instrumentasi.

Prinsip pencegahan ILO adalah dengan :

1. Mengurangi resiko infeksi dari pasien.

2. Mencegah transmisi mikroorganisme dari petugas, lingkungan,

instrument dan pasien itu sendiri.

Kedua hal di atas dapat dilakukan pada tahap pra operatif,

intra operatif, ataupun paska operatif. Pencegahan ILO pada pasien

dilakukan dengan perawatan praoperasi, pencukuran rambut bila

mengganggu operasi, cuci dan bersihkan daerah sekitar tempat insisi

dengan antiseptik pada kulit secara sirkuler ke arah perifer yang harus

cukup luas. Antibiotik profilaksis terbukti mengurangi kejadian

ILO dan dianjurkan untuk indakan dengan resiko infeksi yang tinggi

seperti pada infeksi kelas II dan III. Selain itu, antibiotik profilaksis

juga diberikan jika diperkirakan akan terjadi infeksi dengan resiko

yang serius seperti pada pemasangan implan, penggantian sendi, dan

operasi yang lama. Selain itu, pada saat praoperatif harus juga

diperhatikan mengenai tindakan antiseptik pada lengan tim bedah,

gaun operasi dan drapping.

Pada tahap intra operatif, yang harus diperhatikan adalah

bahwa semakin lama operasi, resiko infeksi semakin tinggi,

tindakan yang mengakibatkan terbentuknya jaringan nekrotik harus

48

dihindarkan, pencucian luka operasi harus dilakukan dengan baik,

dan bahan yang digunakan untk jahitan harus sesuai kebutuhan

seperti bahan yang mudah diserap atau monofilamen.

Paska operasi, hal yang harus diperhatikan adalah perawatan

luka insisi dan edukasi pasien. Perawatan luka insisi berupa

penutupan secara primer dan dressing yang steril selama 24-48 jam

paska operasi. Dressing luka insisi tidak dianjurkan lebih dari 48 jam

pada penutupan primer. Tangan harus dicuci sebelum dan sesudah

penggantian dressing. Jika luka dibiarkan terbuka pada kulit, maka

luka tersebut harus ditutup dengan kassa lembab dengan dressing yang

steril.

3. Pneumonia Nosokomial (PNO)

Bakteri adalah penyebab yang tersering dari Pneumonia

nosokomial. Jenis kuman penyebab ditentukan oleh berbagai faktor

antara lain berdasarkan imunitas pasien, tempat dan cara pasien

terinfeksi. Kuman penyebab PNO sering berbeda jenisnya antara di

ruangan biasa dengan ruangan perawatan intensif (ICU): infeksi

melalui slang infus sering berupa Staphylococcus aureus sedangkan

melalui ventilator Ps. aeruginosa dan Enterobacter. PNO bakteril

dapat dibagi atas onset awal yaitu 48-72 jam pemasangan intubasi

trakheal, bakteri penyebabnya adalah Staphylococcus aureus,

Haemophylus influenzae, Streptococcus pneumoniae. Onset lebih

lanjut yaitu lebih dari 72 jam sering disebabkan oleh basil gram negatif

seperti Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, escherichia

coli, Serratia marcescens. Penyebab lain PNO diantaranya virus dan

fungus yaitu Candida albicans, Aspergillus fumigatus. Penyebaran

Infeksi karena adanya kolonisasi bakteri pada traktus aerodigestive dan

aspirasi sekret yang terkontaminasi di saluran napas bawah.

Faktor resiko terjadinya infeksi ini adalah:

Tipe dan jenis pernapasan

Perokok berat

49

Tidak sterilnya alat-alat bantu

Obesitas

Kualitas perawatan

Penyakit jantung kronis

Penyakit paru kronis

Beratnya kondisi pasien dan kegagalan organ

Tingkat penggunaan antibiotika

Penggunaan ventilator dan intubasi

Penurunan kesadaran pasien

4. Bakteremia (CRBSI)

Infeksi ini berisiko tinggi. Karena dapat menyebabkan kematian.

Organisme penyebab infeksi : Terutama disebabkan oleh bakteri

yang resistan antibiotika seperti Staphylococcus dan Candida.

Penyebaran : Infeksi dapat muncul di tempat masuknya alat-alat

seperti jarum suntik, kateter urin dan infus.

Penyebab : Panjangnya kateter, suhu tubuh saat melakukan

prosedur invasif, dan perawatan dari pemasangan kateter atau

infus.

BERBAGAI FAKTOR YANG TERLIBAT DALAM INFEKSI RUMAH

SAKIT

Kejadian dan berbagai efek infeksi rumah sakit, pada dasarya bergantung

pada mikrorganisme, tuan rumah (pasien dan staf), lingkungan dan pengobatan.

1. Mikroorganisme agen infeksi

Walaupun sebenarnya, setiap infeksi dapat diperoleh dari pasien atau staf

rumah sakit, ada beberapa organisme patogen tertentu yang terutama berkaitan

dengan infeksi rumah sakit dan beberapa yang jarang menyebabkan infeksi dalam

lingkungan lain. Peranan mereka sebagai penyebab infeksi rumah sakit,

bergantung pada patogenitas aau virulensi (kemampuan dari spesies atau strain

menyebabkan penyakit), dan pada jumlah mereka, juga bergantung pada

ketahanan pasien, dan karena banyak pasien dalam rumah sakit yang resistensinya

50

kurang, disebabkan oleh penyakit atau pengobatan mereka, organisme yang relatif

tidak berbahaya pada orang sehat dapat menyebabkan penyakit dalam rumah

sakit. Organisme oportunistik demikian (misalnya Pseudomonas aeruginosa)

biasanya resisten terhadap banyak antibiotik dan mampu tumbuh dengan subur

dibawah kondisi yang di dalamnya kebanyakan organisme penyebab penyakit

tidak dapat berkembang.

Pada pasien yang sangat rentan, pasien yang menglami transplantasi,

pasien yang terinfeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan pasien

yang memerlukan kemoterapi yang diperpanjang, beberapa mycobacteria, fungi

(misalnya, Candida albicans, Aspergilli, dan Cryptococcus neoformans), virus

(misalnya, Herpes simplex dan cytomegalovirus) dan protozoa (misalnya,

Pneumocystis carinii) adalah penyebab infeksi berat dan sering menimbulkan

kematian. Cryptosporidia adalah penyebab diare berat pada pasien dengan infeksi

HIV.

Perjangkitan infeksi (infeksi epidemik) dapat disebabkan oleh agen (zat,

kekuatan atau prinsip yang dapat menimbulkan efek) penyakit infeksi tertentu,

biasanya disebabkan masuknya pasien terinfeksi atau hadirnya suatu pembawa

dalam ruang perawatan. Perjangkitan infeksi ini dapat juga terjadi melalui

kesalahan luar biasa dalam suplai aseptis atau steril (misalnya kontaminasi tetes

mata atau cairan infus).

Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama ia rawat di

rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak

selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat

menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Kemungkinan terjadinya infeksi

tergantung pada:

karakteristik mikroorganisme

resistensi terhadap zat-zat antibiotika

tingkat virulensi

banyaknya materi infeksius

Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat

menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh

mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan

51

oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan

infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor eksternal,

yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan benda atau

bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini

kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada

manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang

normal.

a. Bakteri

Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang

sehat. Keberadaan bakteri disini sangat penting dalam melindungi tubuh dari

datangnya bakteri patogen. Tetapi pada beberapa kasus dapat menyebabkan

infeksi jika manusia tersebut mempunyai toleransi yang rendah terhadap

mikroorganisme. Contohnya Escherichia coli paling banyak dijumpai

sebagai penyebab infeksi saluran kemih. Bakteri patogen lebih berbahaya

dan menyebabkan infeksi baik secara sporadik maupun endemik. Contohnya

:

Anaerobik Gram-positif, Clostridium yang dapat menyebabkan gangren

Bakteri gram-positif: Staphylococcus aureus yang menjadi parasit di kulit

dan hidung dapat menyebabkan gangguan pada paru, pulang, jantung dan

infeksi pembuluh darah serta seringkali telah resisten terhadap antibiotika.

Bakteri gram negatif: Enterobacteriacae, contohnya Escherichia coli,

Proteus, Klebsiella, Enterobacter. Pseudomonas sering sekali ditemukan

di air dan penampungan air yang menyebabkan infeksi di saluran

pencernaan dan pasien yang dirawat. Bakteri gram negatif ini bertanggung

jawab sekitar setengah dari semua infeksi di rumah sakit.

Serratia marcescens, dapat menyebabkan infeksi serius pada luka bekas

jahitan, paru, dan peritoneum.

b. Virus

Banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan oleh berbagai macam

virus, termasuk virus hepatitis B dan C dengan media penularan dari

transfusi, dialisis, suntikan dan endoskopi. Respiratory syncytial virus

(RSV), rotavirus, dan enteroviruses yang ditularkan dari kontak tangan ke

52

mulut atau melalui rute faecal-oral. Hepatitis dan HIV ditularkan melalui

pemakaian jarum suntik, dan transfusi darah. Rute penularan untuk virus

sama seperti mikroorganisme lainnya. Infeksi gastrointestinal, infeksi traktus

respiratorius, penyakit kulit dan dari darah. Virus lain yang sering

menyebabkan infeksi nosokomial adalah cytomegalovirus, Ebola, influenza

virus, herpes simplex virus, dan varicella-zoster virus, juga dapat ditularkan.

c. Parasit dan Jamur

Beberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular dengan mudah ke

orang dewasa maupun anak-anak. Banyak jamur dan parasit dapat timbul

selama pemberian obat antibiotika bakteri dan obat immunosupresan,

contohnya infeksi dari Candida albicans, Aspergillus spp, Cryptococcus

neoformans, Cryptosporidium.

d. Infection by direct or indirect contact

Infeksi yang terjadi karena kontak secara langsung atau tidak langsung

dengan penyebab infeksi. Penularan infeksi ini dapat melalui tangan, kulit

dan baju, seperti golongan staphylococcus aureus. Dapat juga melalui cairan

yang diberikan intravena dan jarum suntik, hepatitis dan HIV. Peralatan dan

instrumen kedokteran. Makanan yang tidak steril, tidak dimasak dan diambil

menggunakan tangan yang menyebabkan terjadinya cross infection.

2. Tuan Rumah (Pasien atau Anggota Staf)

Kerentanan tuan rumah dan virulensi (derajat patogenitas suatu

mikroorganisme, diukur dengan derajat kemajuan menimbulkan penyakit).

Seorang pasien dapat memiliki resistensi umum yang lemah, misalnya pada bayi,

sebelum antibodi terbentuk dan apabila jaringan yang menghasilkan antibodi

belum sempurna dikembangkan, atau resistensi lemah mungkin berhubungan

dengan penyakit (seperti diabetes atau leukemia yang tidak terkendali atau luka

bakar yang parah), atau dengan gizi yang buruk, atau dengan bentuk pengobatan

tertentu, seperti penggunaan obat-obat imunosupresif yang diberikan untuk

mencegah penolakan organ yang ditransplantasi atau kemoterapi kanker.

Resistensi umum juga dapat dikurangi oleh infeksi, contoh ekstrim adalah infeksi

HIV.

53

Pasien dapat juga mempunyai resistensi lokal yang lemah karena suplai

darah yang tidak sempurna ke jaringan, atau karena kehadiran jaringan mati atau

pembekuan darah dan bakteri dapat hidup tanpa gangguan pertahanan alami,

benda asing termasuk benang bedah dan prosthesis (pengganti alat tubuh yang

hilang dengan alat palsu) juga meningkatkan kerentanan jaringan terhdap sepsis

lokal. Operasi bedah dan operasi instrumentasi (misalnya kateterisasi)

memungkinkan masuknya bakeri ke jaringan yang biasanya dilindungi terhadap

kontaminasi. Beberapa dari ini, terutama dalam rongga mata, meninges, tulang

sendi, endokardium, dan saluran urin, mempunyai resisensi yang rendah terhadap

infeksi dengan organisme oportunistik.

Tidak saja pasien, tetapi staf (termasuk staf laboratorium) dapat terpapar

pada bahaya khusus infeksi dengan organisme virulen. Resiko infeksi diantara

anggota staf melalui kontaminasi dengan darah dan eksudat (campuran serum, sel

atau sel yang rusak yang keluar dari pembuluh darah ke dalam jaringan, biasanya

akibat radang), pasien dengan hepatitis B (HBV) atau HIV telah mendapat

perhatian dalam tahun-tahun terakhir ini. Risiko dalam kebanyakan rumah sakit

sangat rendah, tetapi ketakutan terhadap AIDS telah dikaitkan dengan suatu

respon yang berlebihan.

Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon tubuh

pasien adalah:

Umur

status imunitas penderita

penyakit yang diderita

Obesitas dan malnutrisi

Orang yang menggunakan obat-obatan immunosupresan dan steroid

Intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa dan

terapi.

Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh

terhadap infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit

kronis seperti tumor, anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal dan AIDS.

Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi tubuh terhadap infeksi dari

54

kuman yang semula bersifat opportunistik. Obat-obatan yang bersifat

immunosupresif dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Banyaknya

prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi,

intubasi dan tindakan pembedahan juga meningkatkan resiko infeksi.

3. Lingkungan

Tempat ketika pasien ditangani mempunyai suatu pengaruh penting pada

kemungkinan infeksi yang diperolehnya serta pada sifat infeksi demikian. Suatu

keragaman mikroorganisme yang luas, termasuk strain virulen, mungkin ditemui

dalam rumah sakit tempat banyak orang, termasuk beberapa dengan infeksi,

dikumpulkan. Organisme ini kemungkinan mencakup sebagian besar bakteri

resisten antibiotika yang dapat tumbuh dengan subur yang penggunaan antibiotika

ditujukan untuk penindasan bakteri yang peka.

Berbagai lokasi rumah sakit yang berbeda mempunyai bahaya infeksi

tersendiri. Dalam meja bedah, terdapat suatu bahaya khusus infeksi luka karena

pemaparan sering dalam beberapa jam dan jaringan yang rentan, dan kehadiran

sejumlah kemungkinan sumber manusia serta benda mati. Dalam ruangan, pasien

dapat terpapar pada kontaminan untuk beberapa minggu, luka bedah terbuka,

biasanya dilindungi oleh suatu bentuk tutup. Walaupun hal ini tidak sempurna

pada banyak pasien, terutama pasien dengan drainase (suatu bahan kasa atau

selang karet untuk mengeluarkan cairan keluar dari suatu luka atau rongga).

Bahaya khusus terdapat dalam ruang neonatus melalui kemungkinan

kontaminasi makanan, alat penyedotan dan resusitasi (usaha menghidupkan

kembali dengan nafas buatan atau pijat dan rangsang jantung), dll., dan karena

penanganan bayi yang sering dan berbagai masalah yang sama terdapat dalam unit

pelayanan intensif dan ruang perawatan luka bakar. Dalam rumah sakit penyakit

infeksi, terdapat suatu bahaya khusus infeksi rumah sakit dengan agen penyakit

menular akut. Suatu tujuan dalam pengendalian infeksi rumah sakit adalah untuk

memaparkan semua pasien kepada lingkungan yang paling sedikit bebas dari

bahaya mikrobia, seperti yang mereka dapati di luar rumah sakit.

55

PENCEGAHAN TERJADINYA INFEKSI NOSOKOMIAL

Pencegahan dari infeksi nosokomial ini diperlukan suatu rencanan yang

terintegrasi, monitoring dan program yang termasuk:

Membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien dengan cara mencuci

tangan dan penggunaan sarung tangan, tindakan dan aseptic, strerilisasi dan

desinfektan.

Mengontrol resiko penularan dari lingkungan

Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang

cukup dan vaksinasi.

Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasive.

Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya.

1) Dekontaminasi tangan

Transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan hiegene dari

tangan. Tetapi pada kenyataannya, hal ini sulit dilakukan dengan benar,

karena banyaknya alasan seperti kurangnya peralatan, alergi produk pencuci

tangan, sedikitnya pengetahuan mengenai pentingnya hal ini, dan waktu

mencuci tangan yang lama. Selain itu, penggunaan sarung tangan sangat

dianjurkan bila akan melakukan tindakan atau pemeriksaan pada pasien

dengan penyakit-penyakit infeksi. Hal yang perlu diingat adalah: memakai

sarung tangan ketika akan mengambil atau menyentuh darah, cairan tubuh,

atau keringat, tinja, urin, membrane mukosa dan bahan yang kita anggap

telah terkontaminasi, dan segera mencuci tangan setelah melepas sarung

tangan.

2) Instrumen yang sering digunakan Rumah Sakit

Simonsen et al (1999) menyimpulkan bahwa lebih dari 50% suntikan yang

dilakukan di Negara berkembang tidaklah aman (contohnya jarum, tabung

atau keduanya yang dipakai berulang-ulang) dan banyaknya suntikan yang

tidak penting (misalnya penyuntikan antibiotika). Untuk mencegah

penyebaran penyakit melalui jarum suntik maka diperlukan:

Pengurangan penyuntikan yang kurang diperlukan

56

Pergunakan jarum steril

Penggunaan alat suntik yang disposable.

Masker, sebagai pelindung terhadap penyakit yang ditularkan melalui udara.

Begitu pun dengan pasien yang menderita infeksi saluran nafas, mereka harus

menggunakan masker saat keluar dari kamar penderita

Sarung tangan, sebaiknya digunakan terutama ketika menyentuh darah,

cairan tubuh, feses maupun urine. Sarung tangan harus selalu diganti untuk

tiap pasiennya. Setelah membalut luka atau terkena benda yang kotor, sarung

tangan harus segera diganti.

Baju khusus juga harus dipakai untuk melindungi kulit dan pakaian selama

kita melakukan suatu tindakan untuk mencegah percikan darah, cairan tubuh,

urin dan feses.

3) Mencegah penularan dari lingkungan rumah sakit

Pembersihan yang rutin sangat penting untuk meyakinkan bahwa rumah sakit

sangat bersih dan benar-benar bersih dari debu, minyak dan kotoran. Perlu

diingat bahwa sekitar 90 % dari kotoran yang terlihat pasti mengandung

kuman. Harus ada waktu yang teratur untuk membersihkan dinding, lantai,

tempat tidur, pintu, jendela, tirai, kamar mandi, dan alat-alat medis yang telah

dipakai berkali-kali.

Pengaturan udara yang baik sukar dilakukan di banyak fasilitas kesehatan.

Usahakan adanya pemakaian penyaring udara, terutama bagi penderita

dengan status imun yang rendah atau bagi penderita yang dapat menyebarkan

penyakit melalui udara. Kamar dengan pengaturan udara yang baik akan

lebih banyak menurunkan resiko terjadinya penularan tuberkulosis. Selain

itu, rumah sakit harus membangun suatu fasilitas penyaring air dan menjaga

kebersihan pemrosesan serta filternya untuk mencegahan terjadinya

pertumbuhan bakteri. Sterilisasi air pada rumah sakit dengan prasarana yang

terbatas dapat menggunakan panas matahari.

Toilet rumah sakit juga harus dijaga, terutama pada unit perawatan pasien

diare untuk mencegah terjadinya infeksi antar pasien. Permukaan toilet harus

selalu bersih dan diberi disinfektan.

57

Disinfektan akan membunuh kuman dan mencegah penularan antar pasien.

Disinfeksi yang dipakai adalah:

Mempunyai kriteria membunuh kuman

Mempunyai efek sebagai detergen

Mempunyai efek terhadap banyak bakteri, dapat melarutkan minyak dan

protein

Tidak sulit digunakan

Tidak mudah menguap

Bukan bahan yang mengandung zat yang berbahaya baik untuk petugas

maupun pasien

Efektif

tidak berbau, atau tidak berbau tak enak

4) Perbaiki ketahanan tubuh

Di dalam tubuh manusia, selain ada bakteri yang patogen oportunis, ada pula

bakteri yang secara mutualistik yang ikut membantu dalam proses fisiologis

tubuh, dan membantu ketahanan tubuh melawan invasi jasad renik patogen

serta menjaga keseimbangan di antara populasi jasad renik komensal pada

umumnya, misalnya seperti apa yang terjadi di dalam saluran cerna manusia.

Pengetahuan tentang mekanisme ketahanan tubuh orang sehat yang dapat

mengendalikan jasad renik oportunis perlu diidentifikasi secara tuntas,

sehingga dapat dipakai dalam mempertahankan ketahanan tubuh tersebut

pada penderita penyakit berat. Dengan demikian bahaya infeksi dengan

bakteri oportunis pada penderita penyakit berat dapat diatasi tanpa harus

menggunakan antibiotika.

5) Ruangan Isolasi

Penyebaran dari infeksi nosokomial juga dapat dicegah dengan membuat

suatu pemisahan pasien. Ruang isolasi sangat diperlukan terutama untuk

penyakit yang penularannya melalui udara, contohnya tuberkulosis, dan

SARS, yang mengakibatkan kontaminasi berat. Penularan yang melibatkan

virus, contohnya DHF dan HIV. Biasanya, pasien yang mempunyai resistensi

rendah eperti leukimia dan pengguna obat immunosupresan juga perlu

58

diisolasi agar terhindar dari infeksi. Tetapi menjaga kebersihan tangan dan

makanan, peralatan kesehatan di dalam ruang isolasi juga sangat penting.

Ruang isolasi ini harus selalu tertutup dengan ventilasi udara selalu menuju

keluar. Sebaiknya satu pasien berada dalam satu ruang isolasi, tetapi bila

sedang terjadi kejadian luar biasa dan penderita melebihi kapasitas, beberapa

pasien dalam satu ruangan tidaklah apa-apa selama mereka menderita

penyakit yang sama.

Tugas Sehari-Hari Perawat Pengendali Infeksi

Tugas sehari-hari perawat pengendali infeksi dapat mencakup berbagai hal berikut

1. Mengidentifikasi secepat mungkin bahaya infeksi yang mngkin dalam pasien,

staf, atau peralatan.

2. Mengumpulkan berbagai rekaman pasien yang terinfeksi dari pemberitahuan

ruang, catatan kasus, laporan laboratorium, dan informasi yang dikumpulkan

dalam unjungan dan diskusi rutin.

3. Mengatur pengisolasian dengan cepat, pasien yang terinfeksi (bekerja sama

dengan perawat petugas ruang dan konsultan yang mempunyai tanggung

jawab mula) sesuai dengan kebijakan rumah sakit dan memastikan bahwa ada

fasilitas yang memadai untuk mengisolasi pasien, melakukan tindakan lain

yang diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi atau organisme yang

sangat resisten terhadap antibiotika.

4. Mengecek dengan menginspeksi bahwa prosedur pengendalian infeksi dan

aseptik telah dilaksanakan sesuai dengan kebijakan rumah sakit.

5. Menghubungkan antara laboratorium dan staf ruang; memberi informasi pada

kepala bagian dan memberikan nasihat tentang masalah pengendalian infeksi.

6. Melakukan kerjasama dengan staf kesehatan okupasi (occupational health

staf) dalam pemeliharaan rekaman infeksi staf medis, perawat, katering,

domestik, dan berbagai golongan staf lainnya yang terinfeksi; memastikan

spesimen bersihan (Clearance spesiments) diambil sebelum staf terinfeksi

kembali bertugas.

7. Melakukan kerjasama dengan dan memberi petunjuk kepada perawat

komunitas tentang berbagai masalah infeksi.

59

8. Memberi informasi segera melalui telepon, tentang penyakit yang harus

diberitahukan (notifiable) kepada petugas kesehatan masyarakat.

9. Memberitahu berbagai rmah sakit lain, praktisi lain, dan lain-lain yang

berkepentingan ketika pasien yang terinfeksi dibebaskan dari rumah sakit atau

dipindahkan ke tempat lain, dan menerima informasi yang relevan dari rumah

sakit lain atau dari komunitas apabila perlu.

10. Melakukan partisipasi dalam edukasi dan demonstrasi praktis tentang teknik

pengendalian infeksi kepada staf medis, perawat domestik, katering,

pembantu, dan staf lainnya.

11. Memberitahu perawat tentang masalah dan kesulitan praktis dalam

melaksanakan prosedur rutin yang berkaitan dengan aspek perawatan

pengendalian infeksi.

12. Menghadiri berbagai komite relevan yang biasanya mengendalikan infeksi

dari berbagai komite prosedur perawatan.

13. Melakukan perundingan dengan pimpinan pelayanan steril, tentang infeksi

tertentu dalam rumah sakit (misalnya HBV = Hepatitis B virus).

Perawat pengendali infeksi bekerjasama dengan berbagai komite anggota

tim investigasi perjangitan (outbreak) penyakit, mengadakan survey, mengunjungi

dapur dan perusahaan katering, memantau unit khusus, mengumpulkan sampel

mikrobiologi, menyiapkan laporan untuk komite pengendalian infeksi, klinis,

pimpinan rumah sakit, dan membantu dalam proyek penelitian.

60

DAFTAR PUSTAKA

Katzung, B.G. 2004. Farmakologi: Dasar dan Klinik. Edisi 8. Jakarta: Salemba

Medika

Tambayong, J. 2002. Farmakologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Widya Medika

Ducel, G. et al. Prevention of hospital-acquired infections, A practical guide. 2nd

edition. World Health Organization. Department of Communicable disease,

Surveillance and Response; 2002

Pohan, HT. Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine. Pusat

Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,

Jakarta;2004

Wenzel. Infection control in the hospital,in International society for infectious

diseases, second ed, Boston; 2002

Depkes RI. 2002. Pedoman Umum Hygene Sarana dan Bangunan Umum. Jakarta

Nugroho, Agung Endro. 2012. Prinsip Aksi & Nasib Obat Dalam Tubuh. Pustaka

Pelajar : Yogyakarta

Nurachmah, Elly & Ratna S. Sudarsono. 2005. Buku Saku Prosedur Keperawatan

Medikal-Bedah. EGC : Jakarta.

Patel, Pradip R. 2007. Lecture Notes Radiologi. Jakarta: Erlangga Medical Series

Pringgoutomo, Sudarto, Sutisna Himawan, dan Achmad Tjarta. 2002. Patologi I

(Umum), edisi 1. Jakarta: Sagung Seto.

Smeltzer, C. Suzanne, Bare, G. Brenda. Brunner and Suddarth’s Text Book of

Medical Surgical Nursing. 8th vol 2 alih bahasa Kuncoro, Andry Hartono,

Monica Ester, dan Yasmin Asih. 2001. Jakarta: EGC.