Post on 30-Jun-2015
PENDAHULUAN
Kota sebagai ekspresi kehidupan orang sebagai pelaku dan pembuatnya
adalah paling penting dan sangat perlu diperhatikan. Hal tersebut di sebabkan karena
permukiman perkotaan tidak memiliki makna yang berasal dari dirinya sendiri,
melainkan dari kehidupan di dalamnya. Kota memiliki sifat yang sangat
mempengaruhi kehidupan tempatnya. Di dalam arsitektur kota perlu memperhatikan
aspek-aspek fundamental, yaitu arti ruang kota, serta morfologinya. Sebuah
permukiman dapat dirumuskan sebagai sebuah kota bukan dari segi ciri-ciri
morfologis tertentu, atau bahkan kumpulan cirri-cirinya, melainkan dari segi suatu
fungsi khusus, yaitu menyusun sebuah wilayah dan menciptakan ruang-ruang efektif
melalui pengorganisasian sebuah daerah pedalaman yang lebih besar, berdasarkan
hierarki-hierarki tertentu.
Arsitek memandang kota dengan menaruh perhatian pada aspek-aspek
arsitektural bangunan-bangunan tunggal ataupun kelompok bangunan, ruang-ruang
terbuka di dalam dan sekitarnya, dan berbagai peraturan yang berkaitan dengan
perancangan dan pelaksanaan pembangunan.
A. DEFENISI KOTA
Kota adalah sebuah kumpulan artefak (pembuatan) beserta manusia. Ruang
kota terwujud di dalam dimensi fisik (nyata), social, serta mental, (psikis/psikologis).
Bentuk kota memperhatikan aspek morfologi kota secara fungsional, visual, dan
struKtural. Semua hal tersebuat membutuhkan sebuah pandangan terhadapnya dengan
memakai perspektif ‘dari atas’ (system politik/ ekonomi/budaya) serta ‘dari bawah’
(tindakan perilaku sehari-hari). Oleh sebab semua dimensi , aspek dan perspektif
tersebut, arsitektur kota tampil sebagai suatu produk maupun sebagai suatau proses
yang bersifat sosio-spasial. Produk dan prosesnya akan mempengaruhi artefak serta
manusia yang ada di dalam kota. Dinamika perkotaan yang sirkular tersebut
berlangsung berulang kali secara terus menerus.
Pendekatan daefenisi dari para ahli mengenai Kota ditinjau dari sudut
pandang Motfologi adalah sebagai berikut :
Menurut Kostof bahwa kota adalah tempat kumpulan bangunan dan
manusia. (cities are place made up of buildings and people)
Menurut Sandi Siregar, kota adalah artifak yang dihuni. Kota sebagai
lingkungan buatan manusia yang memperlihatkan karya anjiniring besar
dan kompleks, terdiri dari kumpulan bangunan (dan elemen-elemen fisik
lainnya) serta manusia dengan konfigurasi tertentu membentuk satu
kesatuan ruang fisik (physical-spatial entity)
Menurut E.N. Bacon bahwa kota adalah artikulasi ruang yang
memberikan suatu pengalaman ruang tertentu kepada partisipator. Oleh
karena itu, lingkup perhatian perancang kota akan lebih lengkap jika
meliputi bangunan, setting dan karakter kota.
Menurut Ali Madanipour bahwa kota adalah kumpulan berbagai bangunan
dan artefak (a collection of buildings and artefact) serta tempat untuk
berhubungan sosial (a site for social relationships). Morfologi kota
merupakan suatu geometri dari proses perubahan keadaan yang bersifat
sosio-spatial (the geometry of a socio-spatial continum).
Menurut Also Rossi18 bahwa kota adalah karya kolektif.
Menurut Paul D. Spereiregen juga menekankan pada pengertian kota
sebagai bentukan fisik yang secara keseluruhan saling mengisi satu sama
lainnya dan membentuk satu kesatuan penampilan kota.
Kota menurut Gallion and Eisner adalah suatu laboratorium tempat
pencarian kebebasan dilaksanakan dan percobaan-percobaan diuji
mengenai bentukan-bentukan fisik. Bentukan-bentukan fisik kota adalah
perwujudan kehidupan manusia ; polanya dijalin dengan pikiran dan
tangan yang dibimbing oleh suatu tujuan. Bentukan fisik kota terjalin
dalam aturan yang juga mengemukakan lambang-lambang pola-pola
ekonomi, sosial, politis dan spiritual serta peradaban masyarakatnya. Kota
adalah tempat mengaduk kekuatan-kekuatan budaya dan rancangan kota
merupakan ekspresinya.
B. BENTUK KOTA
Sesuatu kota selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
Perkembangan dalam hal ini menyangkut aspek aspek politik, social, budaya,
teknologi, ekonomi dan fisik. Khusus mengenai aspek yang berkaitan langsung
dengan penggunaan lahan kekotaan maupun lahan kedesaan adalah perkembangan
fisik khususnya perubahan arealnya.
Tinjauan terhadap morfologi kota ditekankan pada bentuk bentuk fisikal dari
lingkungan kekotaan dan hal ini dapat diamati dari kenampakan kota secara fisikal
yang antara lain tercermin pada system jalan jalan yang ada, blok blok bangunan baik
daerah hunian maupun bukan (perdagangan dan industry) dan juga bangunan
individual (Herbert, 1973). Sementara itu Smailes (1955) sebelumnya telah
memperkenalkan 3 unsur morfologi kota yaitu: (1) unsure unsure penggunaan lahan
(2) pola pola jalan dan (3) tipe tipe bangunan.
Berikut ini beberapa bentuk ekspresi keruangan morfologi kota:
Bentuk-bentuk Kompak
1) Bentuk bujur sangkar (the square cities)
Kota berbentuk bujur sangkar menunjukkan adanya kesempatan perluasan
kota ke segala arah yang relative seimbang dan kendala fisikal relative tidak
begitu berarti. Hanya saja adanya jalur transportasi pada sisi sisi
memungkinkan terjadinya percepatan pertumbuhan areal kota pada arah jalur
bersangkutan.
2) Bentuk empat persegi panjang (the rectangular cities)
Dimensi memanjang lebih besar daripada dimensi melebar. Hal ini
dimungkinkan timbul karena adanya hambatan hambatan fisikal terhadap
perkembangan areal kota pada salah satu sisi sisinya. Hambatannya antara lain
lereng yang terjal, perairan, gurun pasir, hutan dsb.
3) Bentuk kipas (fan shaped cities)
Bentuknya merupakan bentuk sebagian lingkaran. Dalam hal ini, kea rah luar
lingkaran kota yang bersangkutan mempunyai kesempatan berkembang yang
relative seimbang. Hambatannya dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian
yaitu, (1) hambatan alami, misalnya perairan, pegunungan (2) hambatan
artificial, misalnya saluran buatan, zoning, rings road.
4) Bentuk bulat (rounded cities)
Bentuk kota seperti ini merupakan bentuk paling ideal daripada kota. Hal ini
disebabkan karena kesempatan perkembangan areal ke arah luar dapat
dikatakan seimbang.
5) Bentuk pita (ribbon shaped cities)
Bentuknya mirip dengan rectangular city tetapi dimensi memanjangnya jauh
lebih besar daripada dimensi melebar maka bentuk ini menempati klasifikasi
sendiri. Bentuk seperti ini mungkin tercipta dari sepanjang lembah
pegunungan, sepanjang jalur transportasi darat utama.
6) Bentuk gurita/bintang (octopus/star shaped cities)
Peranan jalur transportasi pada bentuk ini juga sangat dominan. Hanya saja
pada bentuk ini jalur transportasi tidak hanya satu arah saja, tetapi beberapa
arah ke luar kota.hal ini mungkin apabila daerah hinter land dan pinggirannya
tidak memberikan halangan fisik yang berarti terhadap perkembangan areal
kekotaannya.
7) Bentuk yang tidak berpola (unpatternd cities)
Kota seperti ini merupakan kota yang terbentuk pada suatu daerah dengan
kondisi geografis yang khusus. Daerah dimana kota tersebut berada telah
menciptakan latar belakang dengan kendala kendala pertumbuhan sendiri.
B. Bentuk-bentuk tidak kompak (Non Compact Form)
Bentuk bentuk areal kekotaan yang tidak kompak pada umumnya merupakan
suatu daerah kekotaan yang mempunyai areal kekotaan yang terpisah pisah oleh
kenampakan bukan kekotaan. Pemisahnya dapat berupa kenampakan geografis
maupun kenampakan agraris.
1) Bentuk terpecah (fragmented cities)
Kota jenis ini pada awal pertumbuhannya mempunyai bentuk yang kompak
dalam skala wilayah yang kecil. Dalam perkembangan selanjutnya perluasan
areal kekotaan baru yang tercipta ternyata tidak langsung menyatu dengan
kota induknya, tetapi cenderung membentuk “exclaves” pada daerah daerah
pertanian di sekitarnya.
2) Bentuk berantai (chained cities)
Kota ini juga sebenarnya merupakan bentuk terpecah, namun karena
terjadinya hanya disepanjang rute tertentu, kota ini seolal olah mata rantai
yang dihubungkan oleh rute transportasi.
3) Bentuk terbelah (split cities)
Sebenarnya jenis kota ini merupakan kota yang kompak, namun berhubung
ada perairan yang cukup lebar membelah kotanya, maka seolah olah kota
tersebut terdiri dari 2 bagian yang terpisah. Biasanya masing masing bagian
mempunyai nama yang berbeda dengan bagian yang lain.
4) Bentuk Stellar (stellar cities)
Kondisi morfologi kota seperti ini biasanya terdapat pada kota kota besar yang
dikelilingi oleh kota kota satelit. Dalam hal ini terjadi gejala penggabungan
antar kota besar utama dengan kota kota satelit di sekitarnya, sehingga
kenampakan morfologi kotanya mirip “telapak katak pohon” dimana pada
ujung ujung jarinya terdapat bulatan bulatan.
C. KOTA MALANG
Malang sebagai salah satu kota di Jawa Timur mempunyai letak geografis
yang strategis, sekaligus juga indah. Inilah salah satu modal bagi kota kecil di
pedalaman ini untuk tumbuh menjadi kota kedua terbesar di Jawa Timur setelah
Surabaya. Pada tahun 1900 Malang masih merupakan kota kabupaten kecil di
pedalaman. Sampai tahun 1900-an Malang adalah ibukota Kabupaten Malang, yang
merupakan bagian dari Karisidenan Pasuruan. .
Pada tahun 1800, jumlah penduduknya hanya 12.040 jiwa, dan pada tahun
1905 baru 29.541 jiwa (Karsten, 1935: 66). Jadi selama 105 tahun jumlah
penduduknya hanya bertambah 2,45 kali lipat. Bandingkan selama 10 tahun (1920-
1930) penduduk kota Malang bertambah lebih dari 2 kali lipat, yaitu pada tahun 1920
sebesar 42.981 jiwa, dan pada tahun 1930 berjumlah 86.645 jiwa
(Karsten, 1935:66) . Luas wilayahnya pada tahun 1914 baru mencapai 1503 Ha
(Staadsgemeente Malang, 1939).
Perkembangan yang pesat telah menggeser citra Malang sebagai kota terindah
di Hindia Belanda sebelum perang dunia kedua. Kini bertebaran pusat-pusat
perdagangan (commercial centre) bernuansa modern. Penataan kawasan cenderung
menghilangkan bangunan-bangunan kuno yang mempunyai nilai sejarah.Dengan
perkembangan tersebut mendorong pengembanganwilayah ke arah pinggiran kota
yang disertai dengan infrastruktur kotayang dibutuhkan.
Namun dalam tahapannya harus memperhatikanperkembangan Kota Malang
yang sudah ada.Untuk itu perlu mengetahui perkembangan Kota Malang danproduk-
produk rencananya agar penataan ruang tahap selanjutnyaberkesinambungan.
Rangkaian proses perkembangan tata ruang sangat mempengaruhi struktur tata ruang
yang ada sekarangmaupun yang akan datang. Ada pun pengaruh tersebut terlihat pada
pola penggunaan lahan, struktur tata ruang, model tata ruang, pola pergerakan dan
pola pengembangan.
D. PERKEMBANGAN KOTA MALANG
Berdasarkan Algemeen jaarlijsch verslang 1823, dapatdiketahui bahwa Kota
Malang saat itu merupakan bagian dariKarisidenan Pasuruan yang meliputi
Kabupaten Pasuruan,Kabupaten Bangil dan Kabupaten Malang berdasarkan
Staadsblad1819 nomor 16 (Widomoko, 1987: 49).
Pemerintahan Kolonial pada tahun 1882 membuat alun-alun sebagai pusat
kekuasaan administrasi kolonial. Selain itu, juga untukkepentingan ekonomi
kolonial, yaitu sebagai tujuan produksi dankontrol perkembangan ekonomi masa itu.
Alun-alun kota Malang secara tipologi sama dengan kota-kota kabupaten di Jawa
padaumumnya.
Seiring dengan pertumbuhannya, pada tanggal 1 April 1914pemerintah
Hindia Belanda memutuskan membentuk Kota Malangsebagai kotamadya
(Gemeente). Seperti umumnya kota di Jawa, padatahun 1914 pola permukiman di
Kota Malang dibagi menjadipermukiman Eropa, Timur Asing dan pribumi.
Perkembanganpenduduk Eropa yang cepat di Kota Malang menyebabkan
permukimanorang Eropa kian menjauhi pusat kota. Hal inimenyebabkan Kota
Malang berbentuk seperti pita memanjang (ribbon shaped cities).
Perkembangan Kota Malang tahun 1914-1929
Antara tahun 1914-1916, pihak kotamadya lebih meningkatkan prasarana,
antara lain air bersih dan listrik. Perluasan pembangunan kota selanjutnya terbagi
menjadi delapan tahap:
Bouwplan I, karena tidak mencukupi pekembangan bagigolongan Eropa,
maka perkembangannya diarahkan kesepanjang jalan Tjelaket-Lowokwaru.
Saat ini bisa dilihat pada Jl.Dr. Cipto, RA. Kartini, DR. Soetomo,
Diponegoro, MH. Thamrin,Cokroaminoto.
Bouwplan II ditandai dengan diputuskannya membuat daerahpusat pemerintah
baru, karena yang lama terlalu berbau Indisch,dan terealisasi pada tahun 1922
yang dinamakan Gouvener-Generaalbuurt (alun-alun Bunder).
Bouwplan III, perluasan ini berupa pembangunan komplekpemakaman bagi
orang Eropa yang terletak di daerah Sukundan di Klonjenlor.
Bouwplan IV diperuntukkan bagi kalangan menengah ke bawahyang
dilengkapi prasarana sendiri, antara lain makam, sekolahdan lapangan
olahraga. Yang dilaksanakan di daerah antarasungai Brantas dan jalan ke
Surabaya yaitu pada daerah antaraKampung Celaket dan Lowokwaru.
Bouwplan V, guna mencegah bentuk kota yang memanjang kearah utara-
selatan, dilakukan pembangunan daerah perumahanbagi golongan Eropa di
sebelah barat Kota Malang. Sekarangdikenal dengan Jl. Kawi, Ijen, Semeru
atau dikenal sebagaidaerah Bergenbuurt (daerah gunung-gunung).
Bouwplan VI diarahkan pada bagian tenggara kota yaitu darialun-alun ke
selatan dari sawahan ke timur dan barat yangbertujuan untuk tidak
meninggalkan daerah Pecinan. Jalan-jalanyang ada, antara lain Jl. Lombok,
Sumba, Flores, Madura, Bali,Kangean, Bawean, Sapudi dan Seram.
Bouwplan VII diarahkan untuk perumahan elit (villa) dan sebuah pacuan
kuda. Sekarang dikenal dengan sekitar LapanganMalabar dan simpang
Balapan.
Bouwplan VIII berupa pembangunan daerah industri di daerahdekat
emplasemen kereta api dan trem di selatan kota. Sekarang jalan Perusahaan
dan sekitarnya.
Kota Malang semakin luas, yang akhirnya memunculkanrencana perluasan
Kotamadya Malang pada tahun 1935 (rencanatambahan global Kotamadya Malang
tahun 1935 oleh Karsten). Maksud utama tambahan global oleh Ir. Herman Thomas
Karsten,secara umum adalah untuk memberikan arah pertumbuhan kota dimasa
mendatang (kurang lebih 25 tahun).
Dalam rencana tersebut Karsten membagi kotamadya menjadi lingkungan-
lingkungan dengan tujuan/peruntukkan tertentu,yaitu daerah untuk bangunan dan
gedung, daerah untuk jalan lintas kota, daerah untuk penghijauan, daerah untuk
industri serta daerah untuk agraris. Pembangunan villa dan perumahan kecil oleh
Karsten dibiarkan berkembang ke arah barat kota, sedangkan komplek kampung baru
ditempatkan di bagian selatan utara tanah kotamadya.Perbaikan kampung baru ini
pada dasarnya untuk kepentingan Belanda agar keamanan dan keselamatan mereka
tidak terganggu.