Post on 05-Apr-2019
i
LAJU PREDASI Drupella cornus (Roding,1798) PADA
BEBERAPA JENIS KARANG Acropora DI HATCHERY
PULAU BARRANGLOMPO
SKRIPSI
Oleh :
TARSAN
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
ii
ABSTRAK
TARSAN. Laju Predasi Drupella cornus (Roding,1798) Pada Beberapa Jenis Karang Acropora Di Hatchery Pulau Barranglompo. Dibimbing oleh Prof.Dr.Ir.Abdul Haris,M.Si. dan Dr.Syafyudin Yusuf, ST,M.Sc.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui luas pemangsaan dan laju pemangsaan D.cornus pada karang Genus Acropora (A.pulchra, A.yongei dan A.millepora) dan membandingkan laju pemangsaan D.cornus pada tiap hari pengamatan.
Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Mei 2015 diperairan sebelah Utara Pulau Barranglompo dan penelitian dilakukan pada bulan yang sama di Hatchery Marine Stasion Universitas Hasanuddin Pulau Barranglompo. Kondisi lokasi penelitian seperti persiapan bak pengamatan, penetrasi cahaya matahari ke bak (efek shedow), pengukuran parameter kualitas air (suhu,salinitas dan pH) pada wadah terkontrol dan dengan suplai air pada bak. Pengunaan sampel D.cornus untuk bahan penelitian yang seragam yaitu panjang cangkang 2-3 cm dan ukuran koloni karang disesuaikan dengan bak.
Hasil pegukuran luas pemangsaan total selama 3 hari pengamatan yaitu pada A.pulchra 1,11 ± 0,08 cm2, A.yongei 1,08 ± 0,19 cm2 dan pada A.millepora 1,38 ± 0,25 cm2. Laju pemangsaan rata-rata D.cornus pada karang yaitu: A.pulchra 0,37 ± 0,11 cm2/ind/hari, A.youngei 0,36 ± 0.07 cm2/indi/hari dan A.millepora 0,46 ± 0,11 cm2/indi/hari. Hasil Analisis laju pemangsaan harian dengan uji One Way Anova P≥0,05 untuk mengetahui beda nyata pemangsaan, menyatakan tidak ada perbedaan laju pemangsaan harian pada tiap jenis karang selama penelitian. sedangkan pada pengukuran parameter kualitas air didapatkan kisaran tiap parameter yaitu suhu 26-27 0C, salinitas 26-27‰ dan pH 7,5 dan dianggap sama pengaruhnya pada semua bak pengamatan.
Kata kunci: pemangsaan, Drupella cornus, Acropora
iii
LAJU PREDASI Drupella cornus (Roding,1798) PADA
BEBERAPA JENIS KARANG Acropora DI HATCHERY
PULAU BARRANGLOMPO
Oleh :
TARSAN
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Pada
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Laju Predasi Drupella cornus (Roding,1798) Pada
Beberapa Jenis Karang Acropora Di Hatchery Pulau
Barranglompo
Nama : Tarsan Stambuk : L11109255 Prorgam Studi : Ilmu Kelautan
Skripsi telah diperiksa
dan disetujui oleh:
Pembimbing utama
Prof.Dr.Ir. Abdul Haris, M.Si
Nip. 19651209 199202 1 001
Pembimbing Anggota
Dr.Syafyudin Yusuf, ST., M.Si
Nip. 19690719 199603 1 004
Mengetahui
Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Prof. Dr. Ir. Jamaluddin, M.Sc
Nip. 19670308 199003 1 001
Ketua
Departemen Ilmu Kelautan
Dr. Mahatma Lanuru, ST.,M.Sc
Nip.197001029 199503 1 001
Tanggal Ujian: 27 Juni 2016
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Sampela pada tangga 21 maret 1990
dari pasangan ayah Asis dan ibu Alisa, dan penulis
merupakan anak kelima dari 9 bersaudara. Penulis
lulus sekolah dasar pada tahun 2002 di SDN
Sampowatu Kaledupa, tamat sekolah menengah
MTsN I Kaledupa pada tahun 2005, dan tamat sekolah
menengah atas di SMAN I Kaledupa pada tahun 2009. Penulis diterima sebagai
mahasiswa baru di Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin program studi
Ilmu Kelautan pada tahun 2009. Kegiatan kelembagaan Penulis yaitu aktif di
Senat mahasiswa Ilmu dan teknologi Kelautan, Mushalla Bahrul „Ulum Jurusan
Ilmu Kelautan dan Marine Science Diving Club (MSDC) Jurusan Ilmu Kelautan.
Selain di lingkup Jurusan, penulis juga aktif pada UKM tingkat Universitas yaitu di
Unit Kegiatan mahasiswa Keilmuan dan Penalaran Ilmiah (UKM KPI-UH), dan
sebagai Koordinator Regional 5 wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua pada
Ikatan Lembaga Penelitian dan Penalaran Mahasiswa Indonesia (ILP2MI).
Selain itu penulis juga aktif pada kegiatan luar kampus, seperti penulis
pernah mengikuti kegiatan sebagai berikut:
1. Sertifikasi Selam CMAS tingkat 1 dan 2
2. Atlit selam Orientasi Bawah air (OBA) SULSEL 2011
3. Ekspedisi Baruna Jaya IV BPPT pada Sail Komodo 2013
4. Sertifikasi pelatih Selam Nasional (P1) Oleh POSSI SULSEL
5. Tim surveyor BPSL Makassar 2011, 2014
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senangtiasa
melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Penulis mengucapkan terimaksih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah terlibat dan banyak memberikan bantuan baik pikiran
dan materi kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan
skripsi ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Orang tua tercinta Asis dan Alisa untuk kasih sayang, doa dan
pengorbanan baik materi mupun non materi untuk ananda dan juga untuk
seluruh keluarga besar.
2. Bapak Prof.Dr.Ir.Abdul Haris M.Sc. dan bapak Dr.Syafyudin Yusuf,
ST., M.Si., selaku pembimbing yang begitu besar dedikasihnya dalam
membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Prof.Dr.Ir.Jamualuddin,M.Sc, bapak Dr.Ahmad Bahar, ST., M.Si
dan Ibu Dr. Inayah Yasir, M.Sc, selaku penguji yang telah meluangkan
waktunya pada semua rangkaian seminar penelitiaan dan ujian skripsi ini
serta untuk kritik dan saran yang sangat membantu penulis sehingga
laporan ini dapat disajikan.
4. Bapak Dr.Mahatma Lanuru, ST.M.Sc, selaku ketua Departemen Ilmu
kelautan fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
5. Ibu Dr.Ir.St.Aisjah Farhum, M.si. Selaku pembantu Dekan I Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
6. Bapak Prof.Dr.Ir.Jamualuddin Jompa, M.Sc, selaku Dekan Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
7. Seluruh staf Dosen untuk semua ilmu yang diberikan dan karyawan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan atas semua bantunnya
vii
8. Teman-teman angkatan 2009 (KOSLET) yang sangat menbantu penulis
sejak pertama masuk kuliah di Ilmu Kelautan dan terkhusus bagi teman-
teman yang setia hingga akhir.
9. Keluarga besar MSDC-UH, Senat Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Mushallah Bahrul „Ulmu atas semua ilmu dan pengalamannya.
10. Keluarga besar Unit Kegiatan Mahasiswa Keilmuan dan Penalaran Ilmiah
(UKM KPI-UH) atas ilmu dan pengalam yang sangat luarbiasa.
Akhirnya penulis menyampaikan semoga laporan ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca sekalian dan terutama bagi diri pribadi penulis.
Makassar, Juli 2016
Penulis
viii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xii
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Tujuan dan Kegunaan ................................................................ 2
C. Ruang lingkup ............................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 3
A. Bioekologi Karang ...................................................................... 3
1. Karakteristik Karang .............................................................. 3
2. Lemak Karang ...................................................................... 4
B. Karakteristik Karang Genus Acropora ......................................... 5
1. Acropora pulchra .................................................................. 7
2. Acropora yongei .................................................................... 8
3. Acropora millepora ................................................................ 9
C. Ancaman Karang Secara Alami .................................................. 10
D. Biologi Drupella cornus ............................................................... 11
1. Morfologi dan Klasifikasi Drupella cornus .............................. 11
2. Reproduksi Drupella cornus .................................................. 12
E. Distribusi dan Dampak Drupella cornus ...................................... 13
1. Ditribusi Drupella cornus ....................................................... 13
2. Dampak Drupella cornus Pada Karang ................................ 14
3. Perbedaan bekas makan D.cornus dengan A.plancii ........... 15
F. Kualitas Air ................................................................................. 16
1. Kaitan Kualitas Air dengan Karang ....................................... 16
2. Kaitan D.cornus dengan Kualitas air ..................................... 17
III. METODE PENELITIAN .................................................................... 19
A. Waktu dan Tempat ................................................................ 19
B. Alat dan Bahan ..................................................................... 19
ix
C. Prosedur Penelitian ............................................................... 20
D. Pengukur Peubah dan Analisis Data ..................................... 36
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 25
A. Hubungan Drupella Cornus dengan Karang Acropora ................ 25
B. Luas pemangsaan Drupella cornus ............................................ 28
C. Laju pemangsaan Drupella cornus ............................................. 29
D. Parameter Kualitas Air ................................................................ 32
V. KESIMPULAN .................................................................................. 34
A. Simpulan .................................................................................... 34
B. Saran .......................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 34
LAMPIRAN ................................................................................................... 39
x
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1. Bentuk pertumbuhan karang Acropora ................................................... 6
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 1. Struktur Skeleton Karang ............................................................................ 3
Gambar 2. Skeleton A.pulchra ...................................................................................... 7
Gambar 3. Skeleton A.yongei ........................................................................................ 8
Gambar 4. Skeleton A.millepora .................................................................................... 9
Gambar 5. Drupella cornus ........................................................................................... 12
Gambar 6. Peta dan Desain Penelitian ...................................................................... 19
Gambar 7. Desain pengamatan ................................................................................... 22
Gambar 8. Pengukuran luas pemangsaan dengan CpCe. ...................................... 23
Gambar 9. D.cornus pada cabang karang ................................................................. 25
Gambar 10. Perbedaan pemangsaan malam (a) dan siang(b) .............................. 26
Gambar 11. Luas pemangsaan Total D.cornus ........................................................ 28
Gambar 12. Laju pemangsaan pada A.pulchra ......................................................... 29
Gambar 13. Laju pemangsaan pada A.yongei .......................................................... 30
Gambar 14. Laju pemangsaan pada A.millepora ...................................................... 31
Gambar 15. Laju Pemangsaan Total (H1,H2 dan H3) ............................................. 32
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Lampiran 1. Sampel Karang .............................................Error! Bookmark not defined.
Lampiran 2. Desain bak pengamatan .............................Error! Bookmark not defined.
Lampiran 3. Pemasangan waring (Efek shedow) .........Error! Bookmark not defined.
Lampiran 4. Perubahan skar selama pengamatan .......Error! Bookmark not defined.
Lampiran 5. Luas pemangsaan total cm2 .......................Error! Bookmark not defined.
Lampiran 6. Rata-rata Laju Pemangsaan Hari D.cornusError! Bookmark not
defined.
Lampiran 7. Uji One Way Anova laju pemangsaan harianError! Bookmark not
defined.
Lampiran 8. Pengukuran kualitas air ...............................Error! Bookmark not defined.
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara dengan potensi alam yang banyak seperti pada
perairan laut terdapat banyak organisme aquatik yang dapat hidup dan
berkembangbiak. Beberapa organisme yang hidup diperairan laut itu menjadi
indikator kesuburan perairan jika dalam kondisi sehat, seperti terumbu karang.
Pentingnya terumbu karang bagi ekosistem perairan adalah menjadi penyedia
habitat atau tempat hidup bagi organisme laut lainnya, memberi asupan nutrien
dan makanan, pelindung pantai, dan menjadi mata pencaharian bagi sebagian
manusia.
Kemunculnya beberapa pemangsa karang menjadi ancaman bagi ekosistem
terumbu karang seperti Mahkota Berduri (Acanthaster plancii) (Moran, 1988),
siput Prosobranch (Turner,1992), Landak laut (Lessions et al.,1984; McClanahan
& Kurtis, 1991; Glynn and Colgan, 1992).
Hewan Drupella sp. adalah jenis siput Prosobranch dari kelas Gastropoda
yaitu hewan lunak dengan cangkang tunggal pada bagian eksternal tubuhnya.
Berdasarkan hasil pengamatan kelompok hewan dari Genus Drupella terdapat
3 spesies yang teridentifikasi oleh Cumming (1999), setelah melakukan
pengrusakan karang di pulau Lizard Great Barrier Reef yaitu D.cornus, D.fragum
dan D. rugosa.
Ledakan populasi umumnya terjadi dalam kurung waktu yang cukup lama
dengan skala yang cukup luas seperti pemangsaan D.cornus di Ningaloo Reef
Australia Barat, dimana tutupan karang berkurang hingga 85 persen selama
rentang waktu dari tahun 1980 sampai awal tahun 1990 dengan kepadatan
D.cornus di beberapa lokasi mencapai 19 individu/m2, sementara Kasus
pemangsaan karang oleh D.cornus pada tahun 1993 di daerah yang sama
2
menyebabkan pemutihan karang hingga 22% dari luasan tutupan karang (Black
and Jonhson,1993).
Pengamatan distribusi dan kepadatan D.cornus di perairan indonesia pada
beberapa lokasi pengamatan ditemukan sebaran Drupella sp pada koloni karang
di Karimun Jawa, laut Banda dan Bunaken (Yulianda dkk., 2009), kepadatan
D.cornus di Spermonde Sulawesi selatan (Udhar, 2008) dan selat Tiworo (Riska,
2013). Dari seluruh laporan pengamatan tentang aktifitas D.cornus di perairan
Indonesia masih berupa laporan sebaran dan kepadatan tetapi belum ada
laporan tentang laju pemangsaan (predasi), sehingga mendorong penulis untuk
melakukan penelitian tetang laju predasi D.cornus pada karang khusunya pada
karang Genus Acropora.
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui luas dan laju pemangsaan siput
pemakan karang D.cornus pada karang A.pulchra, A.yongei dan A.millepora
serta membandingkan laju pemangsaan harian D.cornus pada tiap jenis karang.
Kegunaan penelitian ini yaitu untuk memberikan informasi tetang laju predasi
D.cornus pada beberapa jenis karang dari Genus Acropora di pulau
Barranglompo dan sebagai informasi pemangsaan D.cornus pada umumnya.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini yaitu studi referensi, penentuan lokasi,
pengambilan sampel, persiapan bak pengamatan, pengukuran luas
pemangsaan, pengukuran kualitas air (suhu, salinitas, pH) dan penyusunan
laporan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bioekologi Karang
1. Karakteristik Karang
Salah satu ekosistem perairan laut yang memegang peranan penting adalah
ekosistem terumbu karang yang memiliki banyak fungsi sebagai tempat mencari
makan, tempat tinggal, bertelur dan pembesaran bagi banyak organisme laut.
Secara morfologi karang menurut Suharsono (2008), merupakan binatang
sederhana berbentuk tabung dengan mulut berada diatasnya yang juga
berfungsi sebagai anus. Karang mempunyai sistem syaraf, jaringan otot dan
sistem reproduksi yang sederhana dan perkembangannya lebih baik. Jaringan
saraf karang tersebar di ektoderma dan endoderma serta mesoglea yang
dikoordinasi oleh sel junction yang bertugas sebagai pemberi respon baik
mekanis maupun khemis serta ketika adanya stimuli cahaya. Jaringan otot yang
berada diantara jaringan mesoglea bertanggung jawab atas gerakan polip untuk
mengembang atau mengkerut ketika mendapat respon syaraf. Sementara organ
reproduksi karang berkembang diantara mesentri filamen, pada daerah subtropis
organ reproduksinya dapat terlihat nyata dan dapat ditemukan sepanjang tahun.
Gambar 1.Struktur Skeleton Karang
4
Pengelompokan karang didasarkan pada struktur skeleton atau rangka yang
dari kapur dan menurut Suharsono (1996), struktur karang yang terdiri dari
lempeng dasar yang berfungsi sebagai pondasi dari septa yang disebut epiteka
(Epitheca) dengan keseluruhan skeleton yang terbentuk dari satu polip disebut
koralit (Corallite), sedangkan keseluruhan skeleton dibentuk oleh keseluruhan
polip dalam satu individu atau satu koloni yang disebut koralum (Corallum)
(Gambar 1).
2. Lemak Karang
Binatang karang mengandung lemak dalam jumlah banyak pada jaringan
tubuhnya, jenis lemak yang umum ditemukan adalah ada 6 kelas yaitu
phospholids, diacylglycerol, kolesterol, asam lemak bebas, triacyglycerol dan
max ester (Grottoli et al., 2004). Pada tiap jenis karang memiliki kandungan
lemak yang berbeda-beda, berdasarkan berbagai penelitian kadungan lemak
pada karang didaerah dangkal berkisar 6 - 47% dari berat total jaringan karang
(Harland et al., 1993; Grottoli et al., 2004).
Variasi total lemak dalam jaringan karang menurut Ward (1995), diduga
berhubungan erat dengan keseimbangan energi antara jumlah pasokan energi
yang berasal dari Zooxanthella dan luaran yang digunakan oleh binatang karang
untuk aktifitas respirasi, perbaikan sel, ataupun pengeluaran produk reproduksi.
Selain itu peran suhu juga berpengaruh pada penentuan keseimbangan energi
pada karang (Oku et al., 2003). Sementara itu kandungan lemak dalam jaringan
karang dipengaruhi oleh cahaya, suhu perairan, ketersediaan pakan (Yamashiro
et al., 1999), dan juga kondisi karang (Yamashiro et al.,2001; Grottoli et al.,2004),
sementara kondisi karang seperti masa reproduksi dan masa spawning
berpengaruh pada jumlah lemak karang Ward (1995).
5
Pengamatan yang dilakukan oleh Leuzinger et al. (2003) menunjukan terjadi
penurunan kandungan lemak karang secara signifikan pada proses pelepasan
gamet, dan juga pada saat spawning. Kondisi ini menurut Parnet et al. (2002)
akan berbalik ketika memasuki masa produksi yaitu kandungan lemak akan
mengalami peningkatan.
Komposisi asam lemak berbeda pada beberapa Family karang seperti
penelitian yang dilakukan oleh Imbs et al. (2007) menunjukan jenis lemak seperti
pada Family Acroporidae dicirikan dengan komposisi asam lemak Gamma-
linolenic acid, Eicosapentaenoic acid (EPA), dan Docosapentaenoic acid (DPA),
Family Pociloporidae dicirikan oleh Podocarpic acid, Eicosatetraenoic acid (ETA),
Decosahexaenoic acid (DHA) dan Arachidonic acid (AA), sedangkan Family
Faviidae dicirikan dengan presentasi tinggi dari asam lemak Gamma-linolenic
acid (GLA) dan Docosapentaenoic acid (DPA).
Kandungan asam lemak pada karang pada umumnya memiliki sifat traktan
sebagai zat penarik atau perangsan makan beberapa pemangsa karang
khususnya pada hewan yang mencari makan dengan mekanisme kemoresepsi
seperti kelompok siput prosobranch misalnya D.cornus (Kohn,1961).
B. Karakteristik Karang Genus Acropora
Berdasarkan struktur skeleton Family Acroporidae dapat dibedakan menjadi
4 yaitu Genus Acropora, Montiopora, Anacropora dan Astreopora dengan ciri
koralit kecil yang hampir sama pada 3 Family karang (Acropora, Montiopora dan
Anacropora), sementara pada Family Astreopora sedikit berbeda yaitu dengan
koralit yang agak besar (Suharsono, 2008).
Secara umum Genus Acropora tersebar diseluruh perairan indonesia
yang terdiri dari 113 jenis dengan bentuk percabangan yang bervariasi dan
6
mempunyai ciri khas yaitu adanya axial dan radial koralit. Secara umum bentuk
pertumbuhan karang Genus Acropora seperti tertera pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Bentuk pertumbuhan karang Acropora
Bentuk Pertumbuhan keterangan
Acropora bentuk cabang
(Branching Acropora), bentuk
bercabang seperti ranting pohon.
Acropora meja (Tabulate
Acropora), bentuk bercabang
dengan arah mendatar dan rata
seperti meja.
Acropora merayap (Encrusting
Acropora), bentuk merayap,
biasanya terjadi pada Acropora
yang belum sempurna.
Acropora Submasif (Submassive
Acropora), percabangan bentuk
gada/lempeng dan kokoh.
Acropora berjari (Digitate
Acropora), bentuk percabangan
rapat dengan cabang seperti jari-
jari tangan
7
Penelitian laju pemangsaan D.cornus pada karang Acropora menggunakan 3
jenis sampel karang yaitu A.pulchra, A.yongei dan A.millepora, dan Suharsono
(2008) mendeskripsikan karakteristik dari 3 jenis karang tersebut sebagai berikut:
1. Acropora pulchra
Koloni karang A.pulchra berbentuk percabangan aboresen atau karimbosa
tergantung dimana karang tersebut tumbuh, misalnya pada daerah dangkal
koloni akan membentuk percabangan karimbosa yang tebal, sedangkan pada
tempat yang lebih dalam akan membentuk arboresen. Pada ujung axial coralit
berwarna putih dan kadang-kadang berwarna hijau atau biru dengan warnah
cabang dominan adalah warna coklat. Ukuran axial koralit A.pulchra menurut Dai
and Hong (2009) berkisar antara 2,0 – 3,5 mm sedangkan menurut Wallace and
Wolstenholme (1997), ukuran axial koralit A.pulchra berkisar 1,8 – 3,5 mm.
Gambar 2. Skeleton A.pulchra
Berdasarkan keberadaan axial dan radial koralit, pada axial koralit karang
A.pulchra berbentuk tabung pendek dan radial koralit campuran antara berbentuk
tabung dengan bukaan bibir bawah tebal dan radial koralit lain tenggelam, radial
koralit tersebar tidak merata. Karang A.pulchra tersebar diseluruh perairan
indoensia dan mudah dijumpai di rataan terumbu dan dekat tubir.
8
Klasifikasi jenis A.pulchra
Phylum : Cnidaria
Class : Anthozoa
Subclass : Hexacorallia
Order : Scleractinia
Family : Acroporidae
Genus : Acropora
Species : Acropora pulchra
2. Acropora yongei
Karang A.yongei memiliki bentuk petumbuhan arboresen yang tebal dan rapat
dengan cabang relatif pendek-pendek. Pada axial koralit berbentuk tabung dan
radial koralitnya berukuran seragam berbentuk tabung dengan ukuran axial
koralit menurut Dai and Hong berkisar 2,2 – 3,5 mm sedangkan menurut Wallace
and Wolstenholme (1997), axial koralit A.yongei berkisar 1,8 – 3,5 mm.
Gambar 3. Skeleton A.yongei
Pada pertumbuhannya karang jenis A.yongei dapat mendominasi
pertumbuhan karang disuatu daerah tertentu. Karang jenis ini dapat dijumpai
diseluruh perairan indonesia pada daerah yang dangkal dan relatif tenang.
9
Klasifikasi jenis A. yongei
Phylum : Cnidaria
Class : Anthozoa
Subclass : Hexacorallia
Order : Scleractinia
Family : Acroporidae
Genus : Acropora
Species : Acropora yongei
3. Acropora millepora
Karang A.millepora memiliki bentuk pertumbuhan karimbosa dengan
percabangan tegak pendek-pendek, pada habitat alaminya memiliki warna
bermacam-macam mulai dari hijau, putih kemerahan dan coklat muda. Pada
axial koralitnya berbentuk tabung pendek dengan bukaan kecil dengan ukuran
axial koralit menurut Dai and Hong (2009) berkisar 2,4 – 3,9 mm sedangkan
menurut Wallace and Wolstenholme (1997), kisaran ukuran axial koralit
A.millepora yaitu 1,2 - -3,9 mm.
Gambar 4. Skeleton A.millepora
Pada radial koralit membentuk roset yang teratur sehingga memberi kesan
seragam dari ujung hingga pangkal. Karang jenis A.millepora dapat dijumpai
10
tersebar diseluruh perairan indonesia dan biasa ditemukan pada daerah dangkal
atau bagian tubir terutama di daerah relatif tenang.
Klasifikasi karang jenis karang A. millepora
Phylum : Cnidaria
Class : Anthozoa
Subclass : Hexacorallia
Order : Scractinia
Family : Acroporidae
Genus : Acropora
Species : Acropora millepora
C. Ancaman Karang secara Alami
Secara umum menurut Guntur (2011), lingkungan alami memiliki dampak
positif yang cukup besar terhadap pertumbuhan dan dan perkembangan karang,
akan tetapi pada kondisi tertentu akan berdampak negatif. Beberapa kondisi
alami yang berdampak negatif dan mengancam kehidupan karang secara alami
yaitu :
1. Naiknya permukaan laut
Kenaikan permukaan laut akan berpengaruh langsun pada penetrasi cahaya
yang dibutuhkan oleh Zooxanthellae untuk berfotosintesi sehingga akan
menurunkan konsentrasi nutrien yang dibutuhkan karang khususnya pada
karang daerah tubir.
2. Kenaikan suhu
Kenaikan suhu permukaan laut berdampak buruk pada beberapa organisme
laut yang peka terhadap perubahan suhu seperti Zooxanthellae simbion karang,
pada suhu diatas normal akan mengakibatkan kematian yang mengakibatkan
karang akan tampak putih (Coral Bleaching).
11
3. Berkurangnya tingkat pengapuran
Emisi global dari efek rumah kaca adalah meningkatnya CO2 di atmosfer dan
laut yang dapat mengurangi tingkat pengapuran (kalsifikasi) pada karang.
4. Perubahan pola sirkulasi air laut
Perubahan pola arus air laut akan mempengaruh distribusi larva organisme
yang melakukan vertilisasi diluar dan aka menganggu jalur pertumbuhan karang
dunia.
5. Cuaca yang merusak
Kondisi cuaca seperti curah hujan dapat berpengaruh pada salinitas air laut
suatu habitat organisme, dampak lain seperti badai dan angin topan yang terjadi
pada suatu ekosistem laut akan mengakibatkan kerusakan yang besar.
6. Pemangsaan
Karang sebagai organisme laut juga memiliki pemangsa yang pada kondisi
ekstrim atau ledakan populasi pemangsa akan merusak koloni karang. Beberapa
pemakan karang yaitu mahkota berduri (Acanthaster planci), D.cornus dan ikan
pemakan karang.
D. Biologi Drupella cornus
1. Morfologi dan Klasifikasi Taksonomi
Secara umum D.cornus terdapat pada Order Neogastropoda merupakan
Order yang terakhir dari Subkelas Prosobranchia yang terdiri dari
Archaegastropoda dan Mesogastropoda. D.cornus memilki ciri-ciri yang berbeda
dari jenis lainnya. Natan (2002) menjelaskan beberapa ciri D.cornus yang
membedakan dengan jenis lainya yaitu pada cangkang D.cornus tidak memiliki
lapisan nakreas, bentuk radulanya, saluran makanan dan jaringan kelenjar
oesophagus.
12
Klasifikasi D. cornus (Roding,1798) adalah:
Kingdom : Mollusca
Class : Gastropoda
Subclass : Prosobranchia
Order : Neogastropoda
Family : Thaididae
Genus : Drupella
Species : Drupella cornus
Gambar 5. Drupella cornus
Hewan Drupella cornus dewasa umumnya memiliki ukuran panjang 2-3 cm
dan bagian eksternal tubuh D.cornus berwarna putih kecoklatan yang pada
habibat alami cangkang D.cornus berwarna merah keungguan karena ditutupi
oleh alga merah (coralline algae).
2. Reproduksi
Siput dari jenis D.cornus bereproduksi secara internal dengan jumlah telur
yang dihasilkan sekitar 200 telur perinduk. D.cornus mencapai kematangan
seksual pada 2,5 hingga 3,5 tahun dan dapat hidup selama 5 tahun, tetapi dapat
mencapai ukuran asymptotic hingga akhir 45 tahun (Black and Johnson, 1994).
Proses reproduksi D.cornus menurut Jasin (1992), diawali dengan proses
kopulasi (perkawinan) secara internal. Dari hasil pembuahan, telur kemudian
dilepaskan dan melekat pada substrat karang atau lainnya dalam bentuk kapsul,
telur menetas dan menjadi veliger masih berlangsung di dalam kapsul, setelah
13
itu kapsul robek dan keluar menjadi planktonik dalam bentuk veliger. Veliger ini
bermetamorfosis menjadi hewan bentik kemudian menjadi juwana. Perubahan
bentuk tubuh secara sempurna terjadi ketika larva D.cornus membentuk 4 ulir
lingkaran pada tubuhnya dengan panjang 1250-1300 µm dan lebar 800-850 µm
(Hughes, 1986).
E. Distribusi dan dampak D.cornus
1. Distribusi D.cornus
Berdasarkan pengelompokan D.cornus merupakan salah satu jenis siput
yang memangsa karang, keberadaan D.cornus pada cabang karang dipengaruhi
oleh adaptasi D.cornus pada cabang karang yaitu berupa pemilihan makan yang
secara khusus ditemukan pada karang bercabang seperti Genus Acropora,
Montiopora, Seriatopora dan Pocillopora (Turner, 1994; Hoeksema et al., 2013).
Peningkatan secara periodik D.cornus terjadi di seluruh Samudra Pasifik
seperti pada pengamatan sejak tahun 1980 di Australia Barat terjadi peningkatan
D.cornus sebanyak 4 kali lipat hingga pertengahan tahun 1994 (Turner, 1994).
Didaerah Jepang dan Filipina juga terjadi peningkatan populasi D.cornus pada
pengamatan antara tahun 1970-1980 (Enlow and Moyers 1982). Pada lokasi lain
seperti kawasan laut merah pada pengamatan tahun 1995 dari pantai Eritrea
bagian selatan menunjukan terjadi peningkatan yang berimplikasi pada
kerusakan karang (McClanahan, 1997). Sementara di Hong Kong menurut
Cumming (1998), D.cornus ditemukan memangsa karang Platigira dikarenakan
didaerah tersebut karang Pocillopora dan Acropora sangat langka dan di telut
Eirat, Israel Safir (2008) menemukan Drupella pada Turbinaria, Pavona,
Millepora dan Porites setelah karang bercabang mati.
Pada kondisi karang yang rusak akibat fenomena alam ditemukan terjadi
peningkatan pemangsaan seperti di daerah Great Barrier Reff terjadi
14
peningkatan jumlah Drupella setelah topan Ivor menghantam daerah tersebut
(Ayling, 1992).
Pada studi terumbu Kenya menunjukkan bahwa populasi Drupella meningkat
di sepanjang 250 km dari terumbu karang tepi (Reef crest) dengan populasi
tertinggi ditemukan pada terumbu dengan tingkat penangkapan ikan pemangsa
D.cornus yang cukup tinggi seperti kelompok ikan dari Family Balistidae yang
mengakibatkan menurunnya preferensi yang mengendalikan tingkat populasi
D.cornus (McClanahan, 1994).
Di wilayah Indonesia laporan keberadaan D.cornus ditemukan pada koloni
karang seperti di daerah Karimun Jawa, Laut Banda dan Bunaken (Yulianda
dkk., 2009), Selat Tiworo Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara (Riska, 2013),
kawasan Spermonde Sulawesi selatan pengamatan distibusi D.cornus di lakukan
oleh Udhar (2008), dengan 2 pulau sebagai lokasi pengamatan yaitu
Barranglompo dan Samalona dengan tingkat kepadatan D.cornus di pulau
Barranglompo lebih tinggi pada setiap transek.
2. Dampak
Dampak langsung kerusakan dan kematian koloni karang akibat pemangsaan
oleh D.cornus dari beberapa lokasi, seperti pengamatan yang dilakukan oleh
Braid (1999) yang mendokumentasikan karang di Great Barrier Reef dimana
70% karang Acropora mati pada tahun 1998. Hoeksema et al. (2013)
menyatakan bahwa kepadatan Drupella pada tahun 2008-2010 di Koh Tao,
Thailand pada karang Acropora dan Pocillopora menyebabkan kehilanggan 60%
tutupan karang pada kedalam 3-6 meter
Selain penyebab kematian karang, D.cornus juga membantu penyebaran
penyakit karang Brown Band (BrB), berdasarkan laporan pengamatan yang
dilakukan oleh Nicolet et al. (2013) pada percobaan transmisi penyakit BrB pada
15
cabang karang melalui pemangsaan ikan dan pemangsaan D.cornus. Hasil
pengamatan ini menunjukan bahwa pada bekas pemangsaan ikan pemakan
karang tidak terjadi transmisi penyakit BrB sedangkan pada bekas pemangsaan
D.cornus terjadi transmisi (saluran) penyakit karang ini. Hal serupa juga terjadi
lebih besar pada bekas pemangsaan oleh A.plancii seperti pengamatan Nugues
and Bak (2009) menyebutkan pengamatan sementara terjandinya transmisi
penyakit BrB lebih besar pada bekas pemangsaan oleh A.plancii.
3. Perbedaan bekas pemangsaan D.cornus dengan A.plancii
Pemangsa karang pembentuk terumbu seperti D.cornus sangat potensial
mengancam karang seperti pada beberapa laporan penyebab kerusakan karang
di Great Barrier Reef dan memiliki dampak yang sama dengan mahkota berduri
(A.plancii) (Cuming, 2009).
Secara umum kedua jenis pemangsa karang ini masuk dalam ancaman
kerusakan karang dan untuk lebih mengenali ciri-ciri kematian karang oleh dua
jenis pemangsa D.cornus dan A.plancii, pengamatan yang dilakukan oleh
Cumming (2000) menyebutkan beberapa ciri bekas pemangsaan sebagai
berikut:
1. Bagian bekas makan D.cornus selalu mulai dari bagian pinggir koloni untuk
menghindari kontak langsung dengan koloni karang yang masih hidup dan
biasa ditemukan mengelompok pada cabang karang mati, sementara bagian
bekas makan A.planci dapat dilihat pada bagian tengah koloni yang dikelilingi
oleh bagian karang yang masih hidup.
2. Bekas makan A.planci terjadi pada satu titik dalam satu bekas lokasi makan
dan dalam beberapa waktu akan ditutupi oleh alga yang seragam dan
berbentuk bulat, sedangkang pada bekas makan D.cornus dalam beberapa
waktu akan ditutupi oleh alga dengan pola yang rapi sementara untuk
16
mengetahui bekas makan masih baru atau lama dapat dilihat dengan adanya
cabang karang yang berwarna putih dan bagian lainnya berwarna gelap
karena tertutup alga yang tebal.
3. Hewan D.cornus memulai makan dari cabang dasar karang dan jarang
ditemukan pada ujung cabang karang, sementara A.planci memulai makan
dari ujung cabang karang.
F. Kualitas Air
1. Kaitan kualitas air dengan karang
Beberapa faktor kualitas air yang mempengaruhi kehidupan hewan karang yaitu:
a. Suhu
Suhu optimun pertumbuhan hewan karang berkisar antara 250 C - 290 C
dengan suhu minimum adalah 20 0C dan maksimun 36 0C, hal ini yang
menyebabkan penyebaran karang hanya pada daerah tropis (Patria, 2009).
Organisme karang yang berada di daerah substropis seperti di daerah jepang,
karang dapat hidup sampai pada suhu 110 C dengan tingkat kehidupan sekitar
25% dari seluruh organisme karang dan sekitar 50% dari spesies karang hidup
pada temperetur perairan laut pada penurunan berkelanjutan musim dingin
sampai pada suhu 14 0C.
b. Salinitas
Keadaan Salinitas air berpengaruh pada proses kalsifikasi karang, organisme
karang hidup dengan sangat baik pada salinitas 35‰ atau rata-rata salintas laut
samudra. Kisaran salinitas pada umumnya karang dapat hidup pada salinitas
antara 27‰ sampai 40‰ dan pertumbuhan yang baik yaitu pada kisaran 34‰
sampai 36‰.
17
c. Kecepatan arus
Pergerakan massa air akan berpengaruh pada distibusi zat terlarut dalam air,
misalnya seperti oksigen yang sangat dibutuhkan oleh biota dan selain itu pada
daerah dengan pergerakkan massa air (arus,gelombang dan ombak) yang baik
sangat berpengaruh pada pertumbuhan karang dibandingkan daerah dengan
pergerakkan massa air yg kurang atau daerah terlindung (Sukarno, 1983).
d. Intensitas cahaya matahari
Kecerahan air sangat penting bagi alga yang bersimbiosis dengan karang
untuk melakukan fotosintesis, berkurangnya intensitas cahaya matahari akan
mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis alga dan secara tidak langsung
akan berpengaruh pada karang dan pada intensitas cahaya matahari yang tinggi
akan mengakibatkan Zooxanthella mati akibat peningkatan suhu air
(Sukarno,1984).
e. pH air
Sebagian besar biota aquatik sensitif terhadap perubahan pH, nilai pH
sangat mempengaruhi proses Nitrifikasi pada biota, seperti pada penurunan dari
pH normal atau pH rendah akan mengakibatkan proses nitrifikasi berhenti dan
dan biota aquatik menyukai nilai pH sekitar 7- 8,5. (Hutabarat dan Evans, 1995)
2. Kaitan D.cornus dengan kualitas air
a. Suhu
Secara umum hewan kelompok Gastropoda rentang terhadap perubahan
suhu seperti pernyataan Hutabarat dan Evans (1995) bahwa perubahan suhu
perairan dapat mempengaruhi aktifitas metabolisme maupun perkembangbiakan
hewan Gastropoda. Pengaruh perubahan suhu menyebabkan perbedaan
komposisi dan kelimpahan Gastropoda, bahkan keberadaan suhu terhadap
komunitas cenderung dapat menjadi faktor pembatas bagi beberapa fungsi
18
biologis dari Gastropoda. Kenaikan suhu 4-6 0C dapat menimbulkan
kehancuran suatu komunitas.
b. Salinitas
Salinitas dapat mempegaruhi penyebaran organisme baik secara vertikal
maupun secara horizontal dalam perairan. Kelompok hewan Gastropoda memiliki
toleransi terhadap perubahan salinitas dan mentolerir salinitas sampai pada
kisaran 25-40‰.
c. pH
Organisme perairan mempunyai kemampuan yang berbeda terhadap
pengaruh pH (asam dan basa), kematian organisme sering terjadi pada pH yang
rendah daripada pH yang tinggi. Gastropoda dapat bertahan hidup pada pH
kisaran 5,7-8,4. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH
dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5 (Wijayanti, 2007).
19
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari - Mei 2015 di Hatchery
Marine Station Universitas Hasanuddin Pulau Barranglompo Kecamatan Ujung
Tanah Kota Makassar (Gambar 6).
Ket : A = Peta Hatchery Pulau Barranglompo B = Desain Lokasi Pengamatan C = contoh pengukuran
Gambar 6. Peta dan Desain Penelitian
B. Alat dan bahan
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu: alat dasar selam sebagai
alat bantu pada saat pengamatan dan mengambilan sampel, Thermometer untuk
mengukur suhu air bak, Salinometer untuk mengukur salinitas air, pH meter
untuk mengukur pH air, jangka sorong untuk mengukur panjang dan lebar
D.cornus, rak platik untuk memindahkan sampel karang dari lokasi pengambilan
sampel ke Hatchery dan kamera sebagai alat dokumentasi, Sedangkan bahan
A
C
B
20
yang digunakan yaitu bak yang terdiri dari 2 jenis bak, yaitu 1 bak besar untuk
menstabilkan suhu air diluar bak kecil dan 9 buah bak ukuran kecil sebagai bak
pengamatan, hewan D.cornus, dan koloni karang dari 3 jenis karang Genus
Acropora yaitu A.pulchra, A.yongei dan A.millepora (Lampiran 1).
C. Prosedur penelitian
a. Studi pustaka
Survei distribusi dan kepadatan D.cornus pada umumnya sudah banyak
penelitian di Indonesia seperti di daerah Spermonde (Barranglompo dan
Samalona), Selat Tiworo dan Bunaken, sementara untuk pengamatan laju
pemangsaan D.cornus hanya beberapa lokasi yang melakukan seperti di Great
Barrier Reef dan Koh Tao Thailand.
b. Survei Awal
Dari studi pustaka khusus di daerah Spermonde yaitu di pulau Barranglompo
dan Samalona sudah dilakukan pengamatan tentang distribusi dan kepadatan
D.cornus (Udhar, 2008), sehingga perlu dilakukan survei pendahuluan untuk
memastikan keberadaan pemangsa karang (D.cornus). Pengamatan dilakukan
dengan snorkling pada daerah rataan terumbu di sebelah utara pulau
Barranglompo dengan target pengamatan karang bercabang, dan dari hasil
pengamatan ditemukan beberapa ekor siput D.cornus yang berada disela-sela
cabang Acropora, sehingga lokasi cocok untuk pengambilan sampel karang dan
D.cornus.
c. Penentuan lokasi penelitian
Penelitian laju pemangsaan ini adalah penelitian terkontrol sehingga harus
dilakukan pada lokasi yang mudah diakses sehingga lokasi pengamatan
dilakukan di Laboratorium Basah Hatchery Unhas Barranglompo sementara
21
sampel karang dan D.cornus diambil dari rataan terumbu sebelah utara pulau
Barranglompo sesuai survei awal.
d. Perlakuan penelitian
- Pengambilan dan adaptasi sampel
Lokasi pengambilan sampel karang yaitu di sebelah utara pulau
Barranglompo dengan kriteria koloni karang yang akan dijadikan sampel yaitu
pada sela cabang koloni karang terdapat D.cornus dan pada cabang lainnya
yang belum dimangsa yang akan dijadikan sampel, pengambilan ini dilakukan
secara acak, sementara hewan D.cornus diambil pada cabang karang yang
dijadikan sampel pada lokasi yang sama. Sampel karang dan D.cornus disimpan
pada wadah yang berbeda selama ± 2 hari untuk adaptasi.
- Persiapan lokasi pengamatan
Dari 2 jenis bak, bak yang besar diisi dengan air laut sampai ¾ terisi,
kemudian bak kecil sebanyak 9 buah diisi dengan air laut setinggi air pada bak
besar dan pada tiap bak dipasangkan pipa air untuk mensuplai air ke dalam bak
dan dari dalam bak dipasang pipa untuk sirlkulasi air pembuangan untuk tetap
mengontrol air dalam bak kecil sama dengan tinggi air diluarnya (Lampiran 2).
Untuk mengontrol Intensitas cahaya matahari secara langsung pada bak
terutama siang hari dilakukan pemasangan waring diatas bak dengan tinggi ± 1
meter dengan asumsi penetrasi cahaya sedalam 5 meter di habitat alami ( efek
shedow) (Lampiran 3). Untuk mempermudah pengukuran, pada dasar bak
dipasang mistar untuk skala pada pengukuran luasan pemangsaan nantinya
(Gambar 7).
- Perlakuan sampel
Sampel karang A.pulchra, A.yongei dan A.millepora masing-masing 3 koloni
dimasukkan ke masing-masing bak kecil, sehingga terdapat 9 bak yang terisi
22
koloni karang. Sementara D.cornus sebelum dimasukkan dalam bak terlebih
dahulu diukur panjang dan lebarnya untuk mendapatkan D.cornus dewasa
kisaran 2,1 - 2,6 cm sebanyak 90 ekor dan dimasukkan ke masing-masing bak
sebanyak 10 ekor perbak (Gambar 7).
Keterangan:
a. D.Cornus
b. A.Milepora
c. Mistar
Gambar 7. Desain pengamatan
e. Pengukuran Luas dan Laju Pemangsaan
Pengukuran luas pemangsaan D.cornus pada penelitian ini dilakukan setiap
pagi selama 3 hari. Penentuan lama waktu pengamatan berdasarkan 2 asumsi
yaitu yang pertama bahwa setelah 2 hari adaptasi D.cornus sudah melakukan
pemangsaan normal pada jaringan karang dan yang kedua pengamatan selama
3 hari cukup untuk keterwakilan pengaruh siang dan malam terhadap pola makan
D.cornus, dan hal ini sejalan dengan pengamatan pemangsaan jaringan karang
oleh D.cornus pada tahun 1993 dan 1994 pada 2 jenis karang yaitu A.elsyi dan
A.microphthalma selama 3 hari pengamatan (Cumming,2009).
Pengukuran luas pemangsaan dilakukan dengan pengambilan gambar pada
tiap koloni karang setiap pengukuran (Gambar 7), kemudian luasan skars pada
gambar dihitung dengan sofeware CPCe. Luas pemangsaan D.cornus yang
dihitung adalah luas area skars pada cabang karang dengan bantuan perangkat
lunak CPCe (Coral Point Count with Excel extentions). Bagian karang yang
B A
c
23
dimangsa pada gambar dengan mudah dikenali dari perbedaan warna, yaitu
warna putih menunjukan cabang karang tersebut sudah dimangsa oleh D.cornus
dan untuk memastikan bahwa perubahan warna pada cabang karang adalah
akibat pemangsaan, gambar yang akan dianalisis dibandingkan dengan gambar
sebelum dilakukan perlakuan.
Gambar 8. Pengukuran luas pemangsaan dengan CpCe.
Perhitungan luas pemangsaan yang tampak adanya skars pada gambar di
input kedalam sofeware CPCe dengan ketentuan gambar harus memiliki patokan
ukuran yang didapat dari mistar sebagai skala (Gambar 10a), sehingga akan
muncul nilai luas total gambar dalam cm2 (Gambar 10b). Tahap selanjutnya
pendigitan skars (bintik putih) pada gambar sehingga muncul nilai luas yang
didigit (Gambar 10c) atau lebih jelasnya akan muncul nilai seperti gambar 10d.
a b
c
f
e
d
24
Dari semua skars yang didigit akan muncul nilai luasanya seperti gambar 10e
dan pada kalkulasi total nilai akan dimunculkan dalam view data (Gambar 10f).
f. Pengukuran kondisi lingkungan perairan
- Suhu
Pengukuran suhu dilakukan pada bak pengamatan pada tiap pagi selama 3
hari dengan menggunakan thermometer.
- Salinitas
Pengukuran salinitas dilakukan pada bak setiap pagi hari selama 3 hari
pengamatan dengan menggunakan salinometer.
- pH
Pengukuran derajat keasaman (pH) pada bak dilakukan setiap hari selama 3
hari pengamatan dengan menggunakan pH meter.
D. Pengukur peubah dan analisis data
Laju pemangsaan harian adalah pengurangan luas pemangsaan hari ke n
dikurangi hari hari ke sebelumnya atau peubah;
Laju pemangsaan =
keterangan Hn = luas pemangsaan hari Ke n
Ho = luas pemangsaan sebelumnya
t = waktu/hari
Sementara untuk perbedaan laju pemangsaan harian dilakukan uji satu arah
(One Way Anova).
25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hubungan D.cornus Dengan Karang Acropora
1. Adaptasi D.cornus pada cabang karang Acropora
Secara umum D.conus hidup berlindung pada karang yaitu pada cabang mati
karang atau di celah-celah cabang karang, cangkang D.cornus pada cabang
karang akan terlihat berwarna merah muda karena ditutupi kapur alga merah.
Cara ini merupakan cara kamuflase yang baik (Gambar 8), untuk menghindari
pemangsaan. Ciri-ciri cabang karang yang dimangsa oleh D.cornus yaitu dengan
adanya bintik putih pada cabang karang (skars) umumnya pada cabang yang
baru dimakan dan pada bagian dasar cabang karang yang sudah dimangsa
setelah beberapa hari akan berubah warna jika sudah ditutupi turf algae.
Gambar 9. D.cornus pada cabang karang
2. Adaptasi makan D.cornus
Keberadaan D.cornus pada suatu koloni karang tergantung pada pemilihan
makan seperti yang dijelaskan Morton et al. (2002), bahwa kondisi karang seperti
aksesibilitas jaringan, nilai gizi, produksi lendir, dan pertahan sel penyegat
karang (Nematocyt) sangat menentukan posisi D.cornus pada cabang karang.
Cara D.cornus mendeteksi keberadaan makanan dengan mekanisme
26
kemoresepsi yaitu proses pengecapan untuk mendeteksi zat traktan yang
dikeluarkan oleh binatang karang yang berasal dari asam lemak karang.
Hasil pengamatan Ward (1995), menunjukan asam lemak berhubungan erat
dengan keseimbangan energi antara jumlah pasokan energi yang berasal dari
Zooxanthella dan pengaruh suhu pada siang hari. Pengamatan pengaruh suhu
oleh Oku et al. (2003), juga menyebutkan suhu membantu keseimbangan
pembentukan asam lemak. Aktifitas pembentukan asam lemak dominan terjadi
pada siang hari yang dipengaruhi oleh cahaya, suhu perairan, ketersediaan
pakan dan juga kondisi karang sehingga pada malam hari jumlah asam lemak
total akan meningkat dan memberi efek traktan yang merangsan D.cornus untuk
makan. Pada malam hari asam lemak karang meningkat sehingga menimbulkan
efek traktan yang besar, selain itu aktifitas pemangsaan pada malam hari ini
kemungkinan oleh D.cornus untuk menghindari predator.
Gambar 10. Perbedaan pemangsaan malam (a) dan siang(b)
Pada pemangsaan cabang karang, D.cornus memulai pemangsaan dengan
menduduki jaringan karang yang mati atau pada daerah baru bekas luka, hal ini
dilakukan untuk menghindari kontak langsung dengan sel penyengat pada
cabang karang hidup. Untuk mencapai target mangsaan serta mengurangi
kontak langsung dengan Nematokis karang, maka D.cornus melakukan tes polip
karang dengan kaki dan belalai untuk menempatkan mulut D.cornus pada polip
karang hidup yang akan dimangsa. Cara makan seperti ini memungkinkan hanya
a b
27
ada satu atau beberapa cabang karang saja yang akan dimakan secara
bergiliran dari satu kelompok D.cornus, sementara pada D.cornus dewasa akan
memangsa sampai keujung cabang karang seperti terlihat pada pengamatan
malam hari (Gambar 9a), D.cornus dewasa atau yang paling besar berada
sampai pada ujung karang sementara siput yang lain berada pada cabang
karang yang baru dimakan. Kondisi ini berbeda dengan aktifitas pada siang hari
(Gambar 9b) dimana D.cornus hanya mengelompok dibawah cabang karang
yang sudah mati atau cabang yang sudah dimangsa.
Mekanisme makan D.cornus diatas menyebabkan sedikit sebaran
pemangsaan, akan tetapi luasan pemangsaan saja yang terus bertambah,
misalnya pada pemangsaan karang jenis A.yongei (Lampiran 4), dimana hanya
terdapat beberapa kelompok skars yang tiap hari berubah luas dan inilah cara
adaptasi D.cornus pada cabang karang.
Keberhasilan D.cornus memakan jaringan polip karang didukung juga oleh
struktur mulut dan gigi (radula) yang mampu menembus pertahan Nematocis
karang, Seperti yang dijelskan oleh Fujioka (1982) yang mengamati tingkah laku
pemangsaan D.cornus terhadap jaringan polip karang dengan otot mulut
D.cornus mampu menjulur untuk mengambil jaringan polip hidup karang dengan
bantuan lender yang melapisi tubuhnya sehingga sel penyengat (Nematokis)
karang tidak menembus jaringan halus D.cornus.
Pada bekas pemangsaan D.cornus terlihat berwarna putih dikarenakan
jaringan polip karang sudah dimakan, hal ini berbeda dengan pemangsaan oleh
D.rogusa berdasarkan pengamatan Morton (2009), dimana D.rogusa hanya
memakan jarigan atau konesteum karang saja yang dalam beberapa waktu akan
pulih sedangkan bekas D.cornus dalam beberapa waktu akan berubah warna
karena ditutupi alga.
28
B. Luas pemangsaan
Berdasarkan hasil perhitungan dari program CPCe, luas pemangsaan rata-
rata D.cornus pada karang jenis A.pulchra adalah sebesar 1,11 ± 0,30 cm²,
sedikit lebih besar dari pada A.yongei yaitu sebesar 1,08 ± 0,19 cm², sedangkan
pada A.millepora lebih besar dari pada kedua jenis karang lainnya yaitu 1,38 ±
0,25 cm² (Lampiran 5).
Gambar 11. Luas pemangsaan Total D.cornus
Luas pemangsaan oleh D.cornus pada karang Genus Acropora berbeda
dengan D.rogusa berdasarkan pengamatan oleh Cumming (2009), dimana pada
pemangsaan karang A. elseyi oleh D.rogusa dengan jumlah siput yang sama
yaitu 10 individu tercatat luas pemangsaan rata-rata selama 3 hari pengukuran
yaitu 3,03 cm2 dan 2,27 cm2 dan pada A.microphthalma sebesar 2,18 cm2. Dari
hasil pengukuran tersebut dapat diketahui bahwa luas pemangsaan D.rogusa
lebih besar dampaknya dari D.cornus pada karang Acropora sp, akan tetapi dari
banyak informasi menyebutkan bahwa ledakan populasi sering terjadi pada
D.cornus dibandingkan Drupella yang lain.
1.11 1.08
1.38
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
A.pulchra A.yongei A.millepora
Lu
as p
em
an
gsaan
(cm
2)
Jenis Karang
29
C. Laju Pemangsaan D.cornus Pada Karang
Secara umum laju pemangsaan D.cornus sangat erat kaitannya dengan
adaptasi pada cabang karang, pada kondisi normal pemangsaan hanya pada
satu bagian karang dan akan terus melebar dan termasuk pemangsaan
berkelompok. Laju pemangsaan D.cornus pada jaringan karang merupakan
besaran luas area cabang karang yang kehilangan jaringan dan nampak
berwana putih atau disebut skars dalam kurung waktu pengamatan yaitu 1 kali
dalam 24 jam.
Dari 3 jenis karang Genus Acropora yang menjadi sampel pengamatan yaitu
A.pulchra,A.yongei dan A.millepora memiliki tipe dan bentuk pertumbuhan yang
berbeda-beda akan tetapi sama dalam memberi respon pada D.cornus hal ini
berkaitan dengan bentuk dan ukuran koralit karang Acropora yang tidak berbeda.
1. A.pulchra
Gambar 12. Laju pemangsaan pada
Rata-rata laju pemangsaan pada karang jenis A.pulchra pada pengamatan
hari pertama 0,17 ± 0,01 cm²/ind/hari dan meningkat pada hari kedua sebesar
0,57 ± 0,14 cm²/ind/hari sedangkan pada hari ketiga terjadi penurunan
pemangsaan menjadi 0,37 ± 0,17 cm²/ind/hari (Gambar 11). Penurunan
0.17
0.57
0.37
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
H1 H2 H3
Laju
pem
angsaan (
cm
2/ind/h
ari)
Hari Ke
A.pulchra
30
pemangsaan pada hari ketiga kemungkinan besar akibat pemangsaan hari
kedua yang terlalu tinggi sehingga pada hari ketiga D.cornus istirahat makan
(Lampiran 6a).
2. A.yongei
Gambar 13. Laju pemangsaan pada A.yongei
Rata-rata laju pemangsaan pada karang jenis A.yongei sedikit berbeda
dengan laju pemangsaan karang A.pulchra. Pada karang A.yongei pemangsaan
hari pertama dan kedua cenderung kecil yaitu pada hari pertama sebesar 0.07 ±
0.01 cm²/ind/hari dan pada hari kedua hanya 0.25 ± 0.03 cm²/ind/hari, akan tetapi
pada hari ke tiga pengukuran laju pemangsaan D.cornus meningkat menjadi
sebesar 0,76 ± 0.17 cm²/ind/hari (Gambar 12). Peningkatan pemangsaan pada
hari ketiga kemungkinan disebabkan D.cornus lapar akibat rendahnya
pemangsaan hari pertama dan kedua sehingga pada hari ketiga pemangsaan
meningkat (Lampiran 6b).
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
1.00
H1 H2 H3
La
ju p
em
an
gsa
an (
cm
2/in
d/h
ari
)
Hari Ke
A.yongei
31
3. A.millepora
Gambar 14. Laju pemangsaan pada A.millepora
Rata-rata laju pemangsaan D.cornus pada karang jenis A.millepora terjadi
peningkatan setiap harinya seperti pada pemagsaan hari pertama terjadi
pemangsaan sebesar 0,20 ± 0,16 cm²/ind/hari dan terus meningkat pada hari
kedua 0,46 ± 0,11 cm²/ind/hari dan hari ketiga yaitu sebesar 0,73 ± 0,07
cm²/ind/hari (Gambar 14). Peningkatan laju pemangsaan pada karang jenis
A.millepora berkaitan dengan bentuk pertumbuhan karang yang rapat sehingga
memudahkan D.cornus berpindah tempat dari cabang satu kecabang yang lain
jika mengalami kesulitan memangsa cabang sebelumnya (Lampiran 6c).
4. Laju pemangsaan total
Laju pemangsaan harian pada semua jenis karang (A.pulchra,A.yongei dan
A.millepora), seperti terlihat pada gambar 15, berdasarkan uji searah (One Way
Anova) tidak ada perbedaan laju pemangsaan harian D.cornus terhadap karang
(P≥0.05) yang diuji coba pada hari perama, kedua dan ketiga (Lampiran 7).
0.20
0.46
0.73
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
H1 H2 H3
La
ju P
em
an
gsa
an
(cm
2/in
d/h
ari
)
Hari Ke
A.millepora
32
Gambar 15. Laju Pemangsaan Total (H1,H2 dan H3)
Laju pemangsaan D.cornus pada karang Acropora tidak berbeda nyata pada
semua ulangan dan jenis karang disebabkan beberapa hal seperti bentuk
pertumbuhan karang dimana tipe pertumbuhan karang A.pulchra, A.yongei
berbentuk Arborescent (Veron, 2000) sementara A.millepora berbentuk
corymbose (Veron, 2000), dari semua tipe pertumbuhan ini mudah bagi D.cornus
untuk adaptasi dan memangsa jaringan karang. Selain itu, ukuran koralit karang
Acropora yaitu ukuran axial dan radial koralit dari semua sampel mirip dan sesuai
dengan ukuran mulut D.cornus, sehingga mudah bagi D.cornus untuk mengerus
polip karang. Menurut Dai and Hong (2009) berkisar antara 2,0 – 3,5 mm,
A.yongei berkisar 2,2 – 3,5 mm dan A. millepora berkisar 2,4 – 3,9, sedangkan
menurut Wallace and Wolstenholme (1997), ukuran axial koralit A.pulchra
berkisar 1,8 – 3,5 mm, A.yongei berkisar 1,8 – 3,5 mm dan A.millepora yaitu 1,2 -
-3,9 mm. ukuran Axial koralit tidak berbeda jauh dengan ukuran radial koralit
pada semua sampel karang, hal ini yang memudahkan adaptasi dan laju
pemangsaan yang tidak jauh berbeda oleh D.cornus pada cabang karang.
D. Parameter Kualitas air
Pada penelitian dengan wadah terkontrol ini, kualitas air seperti suhu, salinitas
dan pH cenderung sama selama peneltian sehingga dampak yang ditimbulkan
dianggap sama dalam mempengaruhi pemangsaan karang oleh D.cornus.
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
H1 H2 H3
Laju
Pem
angsaan (
cm
2/ind/h
ari)
Waktu Pengamatan (Hari)
A.pulchra
A.yongei
A.millepora
33
Kisaran parameter kualitas air masih pada ambang batas yang dapat ditolerir
oleh karang dan D.cornus, seperti suhu pada kisaran 26 0C – 27 0C, salinitas
26‰ - 27‰ dan pH 7,5 ppm (Lampiran 8).
34
V. KESIMPULAN
1. SIMPULAN
Berdasarkan tujuan penelitian laju pemangsaan D.cornus pada 3 jenis karang
acropora dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Luas pemangsaan D.cornus pada karang A.pulchra adalah 1,11 ± 0,30 cm2 ,
A.yongei 1,08 ± 0,09 cm2/ dan A.millepora 1,38 ± 0,25 cm2, dan laju
pemangsaan harian yaitu A.pulchra 0,37 ± 0,11 cm2/ind/hari, A.youngei 0,36
± 0.07 cm2/indi/hari dan A.millepora 0,46 ± 0,11 cm2/indi/hari.
2. Laju pemangsaan harian (hari 1, hari 2 dan hari ke 3) D.cornus Terhadap
Karang A. Pulchra, A.yongei dan A. millepora tidak berbeda nyata.
2. SARAN
Penelitian ini adalah penelitian laboratoriun yang terkontrol seperti pengaruh
kualitas air dianggap sama yang jika dibandingkan dengan kondisi di alam
kualitas air akan berbeda-beda sehingga nilai laju pemangsaan akan sangat
berbeda dengan pengamatan di bak. Pada penelitian berikutnya perlu dilakukan
juga pengamatan di habit alam sebagai data pembanding dan waktu
pengamatan ditambah lebih lama.
35
DAFTAR PUSTAKA
Ayling, A.M. & Ayling, A.L. 1992, „Preliminary information on the effects of Drupella grazing on the Great Barrier Reef‟, pp. 37-42 in Drupella cornus: a synopsis: Proceedings of a Workshop held at the Department of Conservation and Land Management (CALM), Western Australia, 1991, ed S. Turner, CALM Occ Pap 3/92.
Black, R. and Johnson M.S. 1994.Growth Rates in Outbreak Population of The
Corallivorous Gastropoda Drupella Cornus (Roding 1798) at Ningaloo Reef, western Australia. Coral reff 13:145-150.
Braid, A. 1999. “A large aggregation of Drupella rugosa following the mass
bleaching of corals on the Great Barrier Reef”. Reef research. Townsville, 9(2), 6-7.
Cumming, R. L., 1999. Predation on reef-building corals: multiscale variation in
the density of three corallivorous gastropods, Drupella spp. Coral Reefs 18: 147–157.
Cumming, R. L. & D. McCorry, 1998. Corallivorous gastro-pods in Hong Kong.
Coral Reefs 17: 178. Cumming, R.L. 2000. Distinguishing Predation Injuries Inflected by Drupella and
Achanthaster.Reef Encounter 27. Dai, C and Hong, S., 2009. Scleractinia Fauna of Taiwan. I. The Complex
Group. National Taiwan University. Taiwan Devantier, L. M., De‟ath, G., Turak, E., Done, T. J., & Fabricius, K. E. (2006).
Species richness and community structure of reef-building corals on the nearshore Great Barrier Reef. Coral Reefs, 25(3), 329-340.
Enlow, D. H. and Moyers, R. E., 1982. Handbook of facial growth, WB Saunders
Company. Fujioka, Y. and Yamazato, K., 1983. Host selection of Some Okinawan Coral
Associated Gastropoda Belonging to Thegenere Drupella,coralliophila, and quoyula. Galaxea 2:59-73.
Glynn, P.W. and Colgan M.W., 1992. ”Sporadic Disturbances in luctuating Coral
Reef Environments: El-Nino and Coral Reef Development in the Eastern Pacific. 2001.
Grottoli, A.L., Rodrigues, and Juarez, C., 2004. Lipids and stable carbon
isotopes in two species of Hawaiian corals Porites compressa and Montipora verrucosa, following a bleaching event. Mar. Biol. 145: 621-631.
Guntur, 2011. Ekologi karang pada Terumbu Buatan. Bogor. Ghalia, Indonesia.
36
Harland A.D., Navarro, J.C., Davies, P.S. andFixer, P.S., 1993. Lipids of some Caribbean and Red Sea corals: total lipid, wax esters, triglycerids and fatty acids. Mar. Biol. 117(1): 113–117.
Hoeksema, B. W., Scott, C. and True, J. D., 2013. "Dietary shift in corallivorous
Drupella snails following a major bleaching event at Koh Tao, Gulf of Thailand."Coral Reefs 1-6.
Hughes, N.R., 1986. Life History and Population Dynamics of Early Successal
Coral. Prociding 5th int. Coral Reef congrs.pp.101-106. Hutabarat, S dan Evans, S.M. 1995. Pengantar Oseanografi. Universitas
Indonesia Press.Jakarta 123-124pp. Imbs, A.B., D.A., Demidkova, Y.Y., Latypov and Pham, L.Q., 2007. Application
of fatty acids for chemotaxonomy of reef-building corals. Lipids 42: 1035–1046.
Jasin, 1992. Zoologi Invertebrata. Penerbit Sinar Wijaya . Surabaya 278 hal. Kohn, A. J. (1961). Chemoreception in gastropod molluscs. American Zoologist,
291-308. Lession, H.A., Robertson, D.R., Cubit, J.D., 1984. Spread Od Diadema Mass
Mortality Throungh the Caribben, scien 226:335-337. Leuzinger, S., Anthony, K. R., and Willis, B. L. (2003). Reproductive energy
investment in corals: scaling with module size. Oecologia, 136(4), 524-531.
Nicolet, K.J., Hoogemboom,M.O.,Gardiner,N.M., Pratchett,M.S, and Willis,B.L.
(2013). The corallivorous invertebrate Drupella aids in transmission of brown band disease on the Great Barrier Reef.Coral reef, 23(2),585-595.
Nugues M.M, Bak R.P.M (2009). Brown-band syndrome on feedingscars of the
crown-of-thorn starfish Acanthaster planci. CoralReefs 28:507–510. McClanahan, T.R., and Kurtis, J. D. (1991). Population regulation of the rock-
boring sea urchin Echinometra mathaei (de Blainville). Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, 147(1), 121-146.
McClanahan, T.R., 1994. Coral-eating snail Drupella cornus population increases
in Kenyan coral reef lagoons. MarineEcology Progress Series 115: 131–137.c
McClanahan, T.R. 1997. Dynamics Of Drupella Cornuspopulations On Kenyan
Coral Reefs.
Moran, P. J., Bradbury, R. H., & Reichelt, R. E. (1988). Distribution of recent outbreaks of the crown-of-thorns starfish (Acanthaster planci) along the Great Barrier Reef: 1985–1986. Coral Reefs, 7(3), 125-137.
37
Morton, B., Blackmore, G., Kwok, C. T., 2002. Corallivory and prey choice by
Drupella rugosa (Gastropoda: Muricidae) in Hong Kong. Journal of Molluscan Studies 68: 217–223.
Morton, B. and Blackmore, G., 2009. Seasonal variations in the density of and
corallivory by Drupella rugosa and Cronia margariticola (Caenogastropoda: Muricidae) from the coastal waters of Hong Kong: „plagues‟ or „aggregations‟ Journal of the Marine Biological Association of the United Kingdom 89: 147–159.
Oku, H., Yamashiro, H., Onaga, K., Sakai, K., Iwasaki, H., 2003. Seasonal changes in the content and composition of lipids in the coral Goniastrea aspera. Coral Reefs 22: 83-85.
Pernet, V.V., Gavino, G., Gavino, Ancti M., 2002. Variations of lipid and fatty
acid contents during the reproductive cycle of the anthozoan Renilla koellikeri. J. Comparative Physiology B Biochemical Systemic and Environmental Physiology 172 (6): 455-465.
Patria, 2009. "Terumbu Karang dan Karang" http://www.terangi.or.id/publication/pdf/terumbukarang.pdf. Riska, 2013. Kelimpahan Drupella pada perairan Terumbu Karang di Pulau
Belan-Belan Besar Selat Tiworo Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. [skripsi]. Unhalu. Kendari.
Shafir, S., Gur, O., Rinkevich, B., 2008. A Drupella cornus outbreak in the northern Gulf of Eilat and changes in coral prey. Coral Reefs 27: 379.
Suharsono, 1996. Wisata Bahari Pulau Belitung. P3O-LIPI. Jakarta. hlm 49-55. Suharsono, 2008. Jenis-Jenis Karang Di Indonesia. LIPI. Jakarta. iv+372 hlm. Turak, E., Hose, G., & Waddell, N. (2002). Australia-wide Assessment of River
Health: New South Wales Bioassessment Report. Environment Australia. Turner, S.J. 1992, ed. „Drupella cornus: a synopsis‟, Proceedings of a workshop
held at the Department of Conservation and Land Management (CALM), Como, Western Australia, 21-22 November 1991. CALM Occasional Paper No 3/92.
Turner, S. J. 1994. "Spatial Variability in The Abundance Of The Corallivorous
Gastropod Drupella cornus in Coral Reefs." Udhar,R. 2008. Distribusi dan Kepadatan Siput Pemangsa Karang Drupella
Cornus (Roding,1798) di Perairan Pulau Barranglompo dan Samalona Kota Makassar Kaitannya dengan Faktor Lingkungan.[Skripsi]. UNHAS.Makassar.
Yamashiro, H., Oku, H., Higa, I. Chinen, and Sakai, K., 1999. Composition of
lipids, fatty acids and sterols in Okinawan corals, Comparative Biochemistry and Physiology Part B: Biochemistry and Molecular Biology, 12: 397-407.
38
Yamashiro, Oku H., Onaga, K., Iwasaki, H., Takara, K., 2001. Coral tumors store reduced level of lipids. Journal of Exp. Mar Biol Ecol 265 (2): 171-179.
Yulianda, F., Pratiwi N.T.M., Mayalanda, Y. dan Cordova, M.R., 2009. Prosiding
seminar Nasional Moluska 2. IPB International Convention Center Botani Square. Bogor.
Wallace, C.C., and Wolstenholme, J., 1997. Revision of the coral Genus
Acropora (Scleractinia: Astrocoeniina: Acroporidae) in Indonesia. Museum of Tropical Queensland, 70-84 Flinders St., Zwnsville, 481 0, Australia.
Ward, S. 1995. Two patterns of energy allocation for growth, reproduction
and lipid storage in the scleractinian coral Pocillopora damicornis. Coral Reefs, 14 (2): 87-90.
Wijayanti, H.M., 2007. kajian Kualitas Perairan di Kota Bandar Lampung
Berdasarkan Komunitas Hewan Makrobentos.Program pasca Sarjana Universitas Diponegoro.Semarang.