Post on 27-Jun-2015
PENGARUH APLIKASI HORMON IBA (Indole Butyric Acid) DAN
KOMPOSISI MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN STEK
BATANG TANAMAN NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Yogyakarta
untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Sains
Disusun Oleh:
Kurnia Verawati
06308144010
PROGRAM STUDI BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2010
MOTTO :
Tiada Keberhasilan tanpa Do‟a, Usaha, Ilmu, dan Tawakal
“Yaa Rob curahkan Rohmat-Mu pada Nabi Muhammad SAW
dan bukakan semua kebaikan yang tetutup”
”Yaa Rob curahkan Rohmat-Mu pada Nabi Muhammad SAW
dan sampaikan semua pada semua tujuan dan cita-cita”
(Al-Habib Ali Al-Habsyi)
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa syukur kepada Alloh SWT, karya kecil ini saya
persembahkan kepada:
Kedua orangtua untuk do‟a, samudera kasih sayang, dan perhatian
Para guru untuk do‟a, ilmu, dan nasehatnya
KakakQ tercinta
Sahabat-sahabatQ :Echy, Depy, Mitha, Susi, Yuni, Dhinz, Tina, Andri,
Hajim, Aas, Ulul.
Semua teman Pondok Pesantren Miftahussalam, Pon.Pes Sirau dan Pon.
Pes Wahid Hasyim, HISWAH, dan HISBAN
Semua temen-temen seperjuangan Bio NR „06
PENGARUH APLIKASI HORMON IBA (Indole Butyric Acid) DAN
KOMPOSISI MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN STEK
BATANG TANAMAN NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L)
Oleh
Kurnia Verawati
06308144010
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi hormon IBA dan
komposisi media tanam yang efektif untuk pertumbuhan stek batang tanaman
Nyamplung (Calophyllum inophyllum L).
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Kelompok (RALK)
2 faktor percobaan. Dalam penelitian ini terdapat 20 kombinasi perlakuan dengan
masing-masing 10 ulangan sehingga keseluruhan ada 200 batang stek. Variabel
bebas penelitian ini adalah konsentrasi hormon IBA (0 ppm, 1000 ppm, 2000
ppm, 3000 ppm, 4000 ppm) dan komposisi media tanam (tanah + pasir, tanah +
pupuk kandang, pasir + pupuk kandang, tanah + pasir + pupuk kandang). Variabel
tergayutnya persentase hidup, panjang akar, jumlah akar, bobot basah, bobot
kering, kandungan klorofil, dan serapan N. Faktor mikroklimat yang diukur
meliputi kelembaban udara, intensitas cahaya, kecepatan angin, suhu udara dan
faktor edafik yang diukur meliputi keasaman media, kelembaban media, N
tersedia, suhu media dan N tersedia. Pengukuran data dilakukan pada 20 MST
(minggu setelah tanam). Data hasil pengukuran dilakukan analisis varian
(ANAVA). Apabila hasilnya signifikan maka dilanjutkan uji DMRT untuk
melihat pengaruh sederhana pemberian konsentrasi hormon IBA dan komposisi
media tanam. Sedangkan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi hormon IBA
dan komposisi media tanam terhadap jumlah akar dilakukan uji Kruskall-Wallis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi hormon IBA yang efektif
untuk pertumbuhan stek batang nyamplung adalah 2000 ppm. Sedangkan
komposisi media tanam yang efektif dalam pertumbuhan stek batang tanaman
nyamplung adalah campuran tanah dan pupuk kandang
Kata kunci: Aplikasi Hormon IBA, Komposisi Media Tanam, Pertumbuhan
Stek Batang
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt atas petunjuk, kesempatan,
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis
menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya
bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
yang setulus-tulusnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.A. Rektor Universitas Negeri
Yogyakarta.
2. Bapak Dr. Ariswan, Dekan FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta atas
ijin yang diberikan untuk melakukan penelitian ini.
3. Bapak Ir. Suhandoyo, M.S. Ketua Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA
Universitas Negeri Yogyakarta.
4. Ibu Siti Umniyatie, M.Si. Ketua Program Studi Biologi FMIPA
Universitas Universitas Negeri Yogyakarta.
5. Bapak Dr. I Gusti Putu Suryadarma, M.S. Dosen Penasehat Akademik
yang telah memberikan bimbingan selama penulis kuliah.
6. Bapak Drs. Suyitno AL, MS dan Ibu Budiwati, M.Si. Dosen Pembimbing
yang telah memberikan bimbingan dan arahan mulai dari penyusunan
proposal sampai penulisan laporan skripsi.
7. Bapak. Prof. Dr. Djukri dan Bapak Sudarsono, MS. Dosen Penguji yang
telah memberikan masukan dalam penyusunan skripsi.
8. Seluruh staf Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemulian Tanaman
Hutan, khususnya Bapak Ir. Sugeng Pudjiono, M.P yang telah membantu
kegiatan penelitian selama di lapangan.
9. Bapak dan Ibu Dosen Jurdik Biologi FMIPA UNY yang telah memberikan
ilmu yang bermanfaat.
10. Seluruh staf Laboratorium Biologi FMIPA UNY, atas bantuannya dalam
menyediakan peralatan penelitian.
11. Bapak dan Ibu beserta keluarga besar Banyumas yang begitu mencintai
dan menyayangiku, terima kasih atas doa, pengorbanan, cinta dan kasih
sayang yang telah diberikan.
12. Kakakku tersayang, yang selalu memberikan semangat dan dukungannya,
serta selalu menemani sampai terselesaikannya penulisan Tugas Akhir
Skripsi ini.
13. Teman-teman Biologi Non Reguler ’06, atas persahabatan yang hangat
dan memberikan kenangan yang tak terlupakan.
14. Semua pihak yang telah memberikan bantuan sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena
itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis
berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Yogyakarta, Desember 2010
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv
HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN ............................................. v
ABSTRAK ...................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................... 6
C. Pembatasan Masalah .......................................................................... 7
D. Rumusan Masalah .............................................................................. 8
E. Tujuan Penelitian ............................................................................... 8
F. Manfaat Penelitian ............................................................................. 8
G. Definisi Penelitian .............................................................................. 9
BAB II. KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori................................................................................... 10
1. Nyamplung atau Bintangur ......................................................... 10
2. Pertumbuhan ............................................................................... 15
3. Stek ............................................................................................. 20
4. Faktor Penghambat Pertumbuhan Stek Batang .......................... 29
5. Hal-Hal Penting pada Penyetekan .............................................. 31
6. Peranan Hormon dalam Perakaran Stek ..................................... 32
7. Media Tanam .............................................................................. 36
8. Pupuk .......................................................................................... 39
9. Klorofil ........................................................................................ 45
10. Serapan Nitrogen oleh Tumbuhan dan peranannya bagi
Tumbuhan ................................................................................... 50
B. Penelitian yang Relevan ..................................................................... 52
C. Kerangka Berpikir .............................................................................. 55
D. Hipotesis penelitian ............................................................................ 57
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian ............................................................................... 58
B. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 59
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ........................................... 60
D. Variabel Penelitian ............................................................................. 60
E. Objek Penelitian ................................................................................. 61
F. Alat dan Bahan Penelitian .................................................................. 61
G. Prosedur Penelitian ............................................................................ 63
H. Teknik Analisis Data.......................................................................... 71
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .................................................................................. 72
1. Kondisi Fisik Lingkungan .......................................................... 72
2. Keberhasilan Stek Tanaman Nyamplung ................................... 73
a. Persentase Hidup Stek Tanaman Nyamplung ...................... 73
b. Tinggi Stek Tanaman Nyamplung ....................................... 75
c. Panjang Akar Stek Tanaman Nyamplung ............................ 77
d. Jumlah Akar Stek Tanaman Nyamplung ............................. 79
e. Bobot Basah Stek Tanaman Nyamplung ............................. 81
f. Bobot Kering Stek Tanaman Nyamplung ............................ 83
g. Kandungan Klorofil Stek Tanaman Nyamplung ................. 86
h. Serapan N Stek Tanaman Nyamplung ................................. 88
B. Pembahasan........................................................................................ 90
1. Kondisi Mikroklimat ................................................................... 90
2. Kondisi Edafik ............................................................................ 91
3. Pengaruh Pemberian Hormon IBA dan Komposisi Media
Tanam terhadap Pertumbuhan Stek Tanaman Nyamplung ........ 92
a. Persentase Hidup Stek Tanaman Nyamplung ...................... 92
b. Tinggi Stek Tanaman Nyamplung ....................................... 93
c. Panjang Akar Stek Tanaman Nyamplung ............................ 95
d. Jumlah Akar Stek Tanaman Nyamplung ............................. 97
e. Bobot Basah dan Kering Stek Tanaman Nyamplung .......... 99
4. Pengaruh Pemberian Hormon IBA dan Komposisi Media
Tanam terhadap Kandungan Klorofil Stek Tanaman
Nyamplung .................................................................................. 100
5. Pengaruh Pemberian Hormon IBA dan Komposisi Media
Tanam terhadap Serapan N Stek Tanaman Nyamplung ............. 102
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ........................................................................................ 106
B. Saran .................................................................................................. 106
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Komposisi Unsur Hara Pupuk Kandang ......................................... 42
Tabel 2. Kombinasi perlakuan pada masing-masing parameter ................... 58
Tabel 3. Lay out penelitian dari keseluruhan variasi perlakuan ................... 59
Tabel 4. Rata-rata Kondisi Mikroklimat Penelitian antara Bulan Juni –
Oktober 2010 ................................................................................... 72
Tabel 5. Kondisi Edafik Berbagai Media Tanam .......................................... 73
Tabel 6. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Hormon IBA terhadap Persentase
Hidup Stek Tanaman Nyamplung .................................................. 74
Tabel 7. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Komposisi Media Tanam
terhadap Persentase Hidup Stek Tanaman Nyamplung ................... 75
Tabel 8. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Hormon IBA terhadap Tinggi
Stek Tanaman Nyamplung .............................................................. 76
Tabel 9. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Komposisi Media Tanam
terhadap Tinggi Stek Tanaman Nyamplung .................................... 77
Tabel 10. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Hormon IBA terhadap Panjang
Akar Stek Tanaman Nyamplung ..................................................... 78
Tabel 11. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Komposisi Media Tanam
terhadap Panjang Akar Stek Tanaman Nyamplung ......................... 79
Tabel 12. Hasil Analisis Kruskall-Wallis pada Pemberian Hormon IBA dan
Komposisi Media Tanam terhadap Jumlah Akar Stek Tanaman
Nyamplung ...................................................................................... 81
Tabel 13. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Hormon IBA terhadap Bobot
Basah Stek Tanaman Nyamplung.................................................... 82
Tabel 14. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Komposisi Media Tanam
terhadap Bobot Basah Stek Tanaman Nyamplung .......................... 83
Tabel 15. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Hormon IBA terhadap Bobot
Kering Stek Tanaman Nyamplung .................................................. 85
Tabel 16. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Komposisi Media Tanam
terhadap Bobot Keringi Stek Tanaman Nyamplung........................ 85
Tabel 17. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Hormon IBA terhadap
Kandungan Klorofil Stek Tanaman Nyamplung ............................. 87
Tabel 18. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Hormon IBA terhadap Serapan N
Stek Tanaman Nyamplung .............................................................. 89
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pohon Nyamplung pada Sebaran Alami ................................ 14
Gambar 2. Daun dan Bunga Nyamplung .................................................... 15
Gambar 3. Buah yang Masih Muda dan Buah yang Sudah Mengering ...... 15
Gambar 4. Grafik Hasil Rerata Persentase Hidup Stek Tanaman
Nyamplung pada Umur 20 MST ................................................ 73
Gambar 5. Grafik Hasil Rerata Tinggi Stek Tanaman Nyamplung pada
Umur 20 MST ............................................................................. 75
Gambar 6. Grafik Hasil Rerata Panjang Akar Stek Tanaman Nyamplung
pada Umur 20 MST .................................................................... 77
Gambar 7. Grafik Hasil Rerata Jumlah Akar Stek Tanaman Nyamplung
pada Umur 20 MST .................................................................... 80
Gambar 8. Grafik Hasil Rerata Bobot Basah Stek Tanaman Nyamplung
pada Umur 20 MST .................................................................... 81
Gambar 9. Grafik Hasil Rerata Bobot Kering Stek Tanaman Nyamplung
pada Umur 20 MST .................................................................... 84
Gambar 10. Grafik Hasil Rerata Kandungan Klorofil Stek Tanaman
Nyamplung pada Umur 20 MST ................................................ 86
Gambar 11. Grafik Hasil Rerata Serapan N Stek Tanaman Nyamplung pada
Umur 20 MST ............................................................................. 88
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian ............................................................ 111
Lampiran 2. Data Pengukuran ...................................................................... 115
Lampiran 3. Hasil Analisis ANAVA Persentase Hidup Stek Tanaman
Nyamplung ............................................................................... 118
Lampiran 4. Hasil Analisis ANAVA Tinggi Stek Tanaman Nyamplung..... 120
Lampiran 5. Hasil Analisis ANAVA Panjang Akar Stek Tanaman
Nyamplung ............................................................................... 122
Lampiran 6. Hasil Analisis Kruskall-Wallis Jumlah Akar Stek Tanaman
Nyamplung ............................................................................... 124
Lampiran 7. Hasil Analisis ANAVA Bobot Basah Stek Tanaman
Nyamplung ............................................................................... 126
Lampiran 8. Hasil Analisis ANAVA Boobot Kering Stek Tanaman
Nyamplung ............................................................................... 128
Lampiran 9. Hasil Analisis ANAVA Kandungan Klorofil Stek Tanaman
Nyamplung ............................................................................... 130
Lampiran 10. Hasil Analisis ANAVA Serapan N Stek Tanaman
Nyamplung ............................................................................... 132
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nyamplung (Callophyllum inophyllum L.) merupakan salah satu
jenis tanaman hutan yang mempunyai banyak kegunaan baik kayu, getah,
maupun buahnya. Pohon nyamplung selama ini dimanfaatkan kayunya
sebagai bahan konstruksi, furnitur, pembuatan lemari, kapal, alat musik dan
lain-lain. Sedangkannya dapat dijadikan obat anti HIV. Akhir-akhir ini
berdasarkan beberapa penelitian buah nyamplung mempunyai potensi yang
cukup besar sebagai bahan baku biofuel (Sofwan Bustomi, dkk. 2008 : 2).
Menurut Sasanti Widiarsih (2008:3), perbanyakan tanaman
nyamplung dapat dilakukan dengan cara generatif dan vegetatif. Salah satu
cara perbanyakan yang akan dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan cara
stek. Stek merupakan cara perbanyakan tanaman secara vegetatif buatan
dengan menggunakan sebagian batang, akar, atau daun tanaman untuk
ditumbuhkan menjadi tanaman baru. Sebagai alternarif perbanyakan vegetatif
buatan, stek lebih ekonomis, lebih mudah, tidak memerlukan keterampilan
khusus dan cepat dibandingkan dengan cara perbanyakan vegetatif buatan
lainnya. Cara perbanyakan dengan metode stek akan kurang menguntungkan
jika bertemu dengan kondisi tanaman yang sukar berakar, akar yang baru
terbentuk tidak tahan stres lingkungan. Akhir-akhir ini perbanyakan vegetatif
tanaman nyamplung sering dilakukan dengan cara stek pucuk, sehingga pada
penelitian ini menggunakan stek batang.
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk keberhasilan pembiakan
vegetatif dengan stek antara lain: umur stek, media, drainase media, intesitas
cahaya, teknik pengguntingan dan konsentrasi hormon yang digunakan.
(Sugeng Pudjiono, 1996: 12)
Menurut Sugeng Pudjiono (1996: 11), pada dasarnya penanaman
stek memerlukan syarat-syarat tertentu yang perlu untuk dipenuhi. Syarat-
syarat tersebut antara lain: kelembaban tinggi > 80%, suhu 24-32 oC, dan
media mempunyai aerasi yang baik dan juga dapat menjaga kelembaban
media dengan baik. Persyaratan untuk masing-masing jenis tidak sama begitu
juga cara penyetekan juga berbeda, untuk tanaman nyamplung penanaman
dilakukan dengan menggunakan kantong plastik, yang mana kantong tersebut
diletakan di bawah sungkup plastik dengan diberi jaring naungan.
Pada saat mengambil bahan stek, pohon induk harus dalam keadaan
sehat dan tidak sedang bertunas, yang dijadikan stek biasanya adalah bagian
pangkal dan tengah dari cabang. Pemotongan cabang diatur kira-kira 0.5 cm
di bawah mata tunas yang paling bawah dan untuk ujung bagian atas sejauh 1
cm dari mata tunas yang paling atas. Kondisi daun pada cabang yang hendak
diambil sebaiknya berwarna hijau tua. Dengan demikian seluruh daun dapat
melakukan fotosintesis yang menghasilkan zat makanan dan karbohidrat.
Nantinya zat ini akan disimpan dalam organ penyimpanan,antara lain di
batang. Karbohidrat pada batang ini penting sebagai sumber energi
yangdibutuhkan pada waktu pembentukan akar baru. Ukuran besar cabang
yang diambil cukup sebesar kelingking. Diameter sekitar 1 cm dengan
panjang antara 10-15 cm. Cabang tersebut memiliki 3-4 mata tunas. Kondisi
batang pada saat pengambilan berada dalam keadaan setengah tua dengan
warna kulit batang biasanya coklat muda. Pada saat ini kandungan
karbohidrat dan auxin (hormon) pada batang cukup memadai untuk
menunjang terjadinya perakaran setek (Nugroho H. Prastowo, 2006: 31).
Pemilihan bahan dengan mengambil batang pada bagian cabang
tanaman nyamplung yang mempunyai mata tunas agar stek tersebut
menghasilkan akar. Menurut Dwidjoseputro (1989: 192-194), bahwa
sekalipun stek tidak mempunyai tunas, namun pembentukan akar dapat juga
terjadi apabila diberikan hormon IAA atau zat yang sejenis, untuk keperluan
perhutanan seperti nyamplung dapat diperoleh dalam bentuk larutan, pasta
atau serbuk yang dapat langsung dikenakan pada stek yang dikehendaki.
Menurut Telly Kurniasari (2003: 5), untuk bahan yang berukuran
sedang hingga besar (misalnya bakau, katapang dan nyamplung), penanaman
sebaiknya dilakukan secara langsung dalam polybag. Penanaman langsung
dinilai lebih efisien karena tidak memerlukan penyapihan. Stek tanaman
nyamplung ditancapkan sedalam 5-7 cm langsung ke dalam polybag.
Proses pemberian hormon harus memperhatikan jumlah dan
konsentrasinya agar didapatkan waktu tumbuh dan sistem perakaran yang
baik. Konsentrasi dan jumlah hormon tergantung pada faktor-faktor seperti
umur bahan stek, waktu/ lamanya pemberiaan hormon, cara pemberian
hormon, jenis tanaman dan sistem stek yang digunakan. Hormon auksin yang
baik untuk perakaran tanaman adalah kelompok IBA (Indole Butyric Acid).
Pertumbuhan tanaman juga dipengaruhi oleh komponen media tanam
terutama bibit. Media tanam tidak hanya sebagai tempat tumbuh bagi
tanaman tetapi sebagai sarang hama dan penyakit, sehingga pemilihan media
tanam yang tepat diharapkan dapat mendukung pertumbuhan tanaman. Hal
ini dikarenakan media dapat mempengaruhi ketersediaan unsur hara dan
penyedia lingkungan bagi perkembangan akar. Ada dua macam media murni
yang digunakan yaitu pasir dan tanah. Pasir digunakan dalam media murni
karena sifatnya yang cepat kering akan memudahkan proses pengangkatan
bibit tanaman yang dianggap sudah cukup umur untuk dipindahkan ke media
lain. Sementara bobot pasir yang cukup berat akan mempermudah tegaknya
setek batang. Selain itu, keunggulan media tanam pasir adalah kemudahan
dalam penggunaan dan dapat meningkatkan sistem aerasi serta drainase
media tanam dan media tanah ini digunakan sebagai media yang paling
familiar sebagai media pertumbuhan. Masalah yang kemudian muncul adalah
apakah media tanam tanah dan pasir ini dapat memenuhi kebutuhan unsur
hara tanaman, sehingga perlu diberikan pupuk sebagai penunjang.
Media tanam yang akan digunakan harus disesuaikan dengan jenis
tanaman yang ingin ditanam. Menentukan media tanam yang tepat dan
standar untuk jenis tanaman yang berbeda habitat asalnya merupakan hal
yang sulit. Hal ini dikarenakan setiap daerah memiliki kelembapan dan
kecepatan angin yang berbeda. Secara umum, media tanam harus dapat
menjaga kelembaban daerah sekitar akar, menyediakan cukup udara, dan
dapat menahan ketersediaan unsur hara.
Pertumbuhan yang sehat dicerminkan oleh status penyerapan hara
yang optimal, konsentrasi hara, serta besarnya nutrisi serapan dalam jaringan
tanaman. Untuk mendapatkan hasil tanaman yang tinggi diperlukan jumlah
hara yang cukup dan seimbang. Kandungan hara tanaman tergantung pada
hara yang tersedia di dalam tanah, sifat fisik tanah dimana tanaman tumbuh,
dan lingkungan. Unsur nitrogen sebagai salah satu unsur makro dibutuhkan
tanaman dalam jumlah besar karena nitrogen berperan sebagai pemacu
pertumbuhan tanaman vegetative bagi tanaman, sehingga dibutuhkan dalam
jumlah yang besar. Ketersediaan unsur ini dalam media tanam akan memacu
pertumbuhan tanaman. Curtis dan Clark (1950: 60-61) menyatakan bahwa
apabila kekurangan N dapat mengakibatkan turunnya jumlah klorofil yang
akan berpengaruh pada pertumbuhan
Dengan menggunakan media murni yaitu tanah dan pasir campuran
pupuk kandang diharapkan dapat diperoleh media yang paling baik bagi
tanaman nyamplung, karena media campuran mengandung bahan mineral dan
lingkungan yang lebih baik dari pada media murni, mengingat media tanaman
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan stek.
Untuk mendapatkan media tanam yang baik dan sesuai dengan jenis tanaman
yang akan ditanam, maka dalam penelitian ini perlu diketahui komposisi
media yang cukup asupan hara dan konsentrasi hormon yang paling efektif
untuk pertumbuhan tanaman nyamplung.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut.
1. Permasalahan yang berkaitan dengan tanaman nyamplung adalah saat ini
biji tanaman nyamplung belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
2. Permasalahan yang berkaitan dengan penyetekan sebagai berikut.
a) Keberhasilan pembiakan stek belum sepenuhnya terwujud atau
berhasil karena adanya keterbatasan pengetahuan masyarakat dalam
melakukan pembiakan vegetatif khususnya dengan cara stek batang
b) Kurangnya pengetahuan cara menanam bibit nyamplung yang baik
c) Kurangnya pengetahuan tentang kondisi batang stek yang baik
d) Belum tentu pemotongan batang untuk stek pada panjang tertentu
dapat menghasilkan bibit yang baik
e) Belum tentu kedalaman penanaman batang stek sama untuk tiap jenis
tanaman
3. Permasalahan yang berkaitan dengan media tanam adalah sebagai berikut.
a) Tidak semua jenis media cocok digunakan untuk penyetekan tanaman
nyamplung
b) Belum diketahui jenis media tanam yang paling efektif digunakan
untuk penyetekan tanaman nyamplung
4. Permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan mikroklimat adalah
belum diketahui pengaruh pencahayaan, kelembaban, dan suhu terhadap
pertumbuhan stek tanaman nyamplung
5. Permasalahan yang berkaitan dengan hormon penumbuh akar adalah
sebagai berikut.
a) Tidak semua jenis tanaman cocok dengan pemberian hormon
penumbuh akar yang sama
b) Lamanya perendaman batang pada konsentrasi hormon penumbuh
akar belum tentu pertumbuhan akar stek menjadi baik
6. Permasalahan yang berkaitan dengan unsur hara tanaman adalah
bagaimana ketersediaan nutrisi tanaman dan berapa besar kemampuan
tanaman untuk menyerap unsur hara yang tersedia
7. Permasalahan yang berkaitan dengan klorofil daun adalah adanya
hubungan antara serapan N dengan kandungan klorofil
C. Pembatasan masalah
Penelitian ini dibatasi pada usaha pembiakan vegetatif tanaman
nyamplung melalui stek batang yang diberi macam konsentrasi hormon
perakaran (IBA) yaitu 0 ppm, 1000 ppm, 2000 ppm, 3000 ppm, 4000 ppm
dan kombinasi media tanam (tanah + pasir, tanah + pupuk kandang, pasir +
pupuk kandang, tanah + pasir + pupuk kandang).
D. Perumusan Masalah
1. Berapakah konsentrasi hormon IBA yang efektif untuk pertumbuhan stek
batang tanaman nyamplung?
2. Komposisi media tanam yang bagaimana untuk pertumbuhan stek batang
tanaman nyamplung?
E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui konsentrasi hormon IBA yang efektif untuk pertumbuhan stek
batang tanaman nyamplung
2. Mengetahui komposisi media tanam yang efektif dalam pertumbuhan stek
batang tanaman nyamplung
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah.
1. Menambah wawasan keilmuan tentang pengaruh aplikasi hormon IBA
(Indole Butyric Acid) dan komposisi media tanam terhadap pertumbuhan
stek batang tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum L)
2. Memberikan sumbangan pengetahuan pada masyarakat tentang
perkembangbiakan nyamplung (Calophyllum inophyllum L) secara
vegetatif khususnya dengan stek batang
3. Sebagai bahan referensi bagi penelitian yang mendatang
G. Definisi Operasional
1. Aplikasi hormon adalah penerapan hormon sebagai perangsang penumbuh
akar supaya pertumbuhan tanaman yang diinginkan lebih cepat. Pemberian
hormon dilakukan dengan cara merendam bagian ujung batang ke larutan
hormon sedalam 2 cm dan selama 10 detik
2. Komposisi media tanam adalah campuran beberapa media tanam yang
digunakan untuk tempat tumbuh tanaman
3. Pertumbuhan stek batang adalah pembelahan yang menyebabkan
pertambahan dan peningkatan jumlah serta pembesaran sel tanaman pada
perbanyakan dengan stek batang
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori
1. Nyamplung atau Bintangur
Nyamplung (Callophyllum inophyllum L.) merupakan salah satu
jenis tanaman hutan yang mempunyai banyak kegunaan baik kayu, getah,
maupun buahnya. Pohon nyamplung selama ini dimanfaatkan kayunya
sebagai bahan konstruksi, furnitur, kapal, alat musik dan lainnya. Sedangkan,
getah dari kulit kayunya dapat dijadikan obat/ anti HIV. Akhir-akhir ini
berdasarkan beberapa penelitian buah nyamplung mempunyai potensi yang
cukup besar sebagai bahan baku biofuel (Sofwan Bustomi, dkk. 2008 : 2).
Menurut Sofwan Bustomi, dkk. (2008: 9-10), keunggulan
nyamplung sebagai sumberdaya terbarukan (renewable resources) adalah.
a. Tanaman nyamplung tumbuh dan tersebar secara alami hampir di seluruh
pantai berpasir Indonesia
b. Relatif mudah dibudidayakan, dapat ditanam secara monokultur atau
campuran dengan tanaman pertanian (tumpang sari), permudaan alami
banyak dan berbuah sepanjang tahun
c. Produktivitas biji lebih tinggi di bandingkan jenis lain sebesar 20 ton/ha
(jarak pagar: 5ton/ha; sawit: 6 ton/ha)
d. Pemanfaatan nyamplung sebagai biofuel tidak berkompetisi dengan
kebutuhan pangan
e. Hampir seluruh bagian tanaman nyamplung berdayaguna dan
menghasilkan bermacam produk yang memiliki nilai ekonomi, terutama
biji untuk bahan baku biofuel
f. Dapat ditanam sebagai tanaman pemecah angin (wind breaker) dan
konservasi sempadan pantai
Keunggulan biodiesel yang dihasilkan dari Nyamplung adalah
sebagai berikut.
a. Rendemen minyak nyamplung tergolong tinggi dibandingkan jenis
tanaman lain yang dapat mencapai 40 – 73 % (Jarak pagar: 40 – 60 %,
Sawit: 46 – 54 %)
b. Sebagian parameter biodiesel yang dihasilkan telah memenuhi standar
kualitas biodiesel Indonesia
c. Minyak biji nyamplung (biokerosene) memiliki daya bakar dua kali lebih
lama dibandingkan minyak tanah. Dalam uji untuk mendidihkan air,
ternyata minyak tanah yang di butuhkan 0,9 ml, sedangkan minyak biji
nyamplung hanya 0,4 ml
d. mempunyai keunggulan kompetitif di masa depan antara lain.
1) Biodiesel nyamplung dapat digunakan sebagai pencampur solar
dengan komposisi tertentu, bahkan dapat digunakan 100 % apabila
teknologi pengolahan tepat.
2) Kualitas emisi lebih baik dari solar
3) Dapat digunakan sebagai biokerosene sebagai pengganti minyak tanah
Menurut Sofwan Bustomi, dkk. (2008 : 10), manfaat dari tanaman
Nyamplung adalah sebagai berikut.
1) Kayu, termasuk kayu komersial, dapat digunakan untuk bahan pembuatan
perahu, balok, tiang, papan lantai dan papan pada bangunan perumahan
dan bahan kontruksi ringan
2) Getah, dapat disadap untuk mendapatkan minyak yang di kenal dengan
nama minyak tamanu (Tahiti), minyak undi (India), minyak domba
(Afrika). Bahan aktif dari getah ini diindikasikan berkhasiat untuk
menekan pertumbuhan virus HIV
3) Daun, mengandung senyawa costatolide-A, saponin dan acid hidrocyanic
yang berkhasiat sebagai obat oles untuk sakit encok, bahan kosmetik
untuk perawatan kulit, menyembuhkan luka bakar dan luka potong
4) Bunga, dapat digunakan sebagai campuran pengharum minyak rambut
5) Biji, setelah diolah menjadi minyak bermanfaat untuk pelitur, minyak
rambut dan minyak urut, berkhasiat juga untuk obat rematik
Klasifikasi dan Persyaratan Tumbuh
Menurut Usnul (2007 : 2), tanaman nyamplung memiliki klasifikasi
sebagai berikut.
a. Klasifikasi :
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Guttiferales
Suku : Guttiferae
Marga : Calophyllum
Jenis : Calophyllum inophyllum L
b. Persyaratan Tumbuh
Menurut Sofwan Bustomi, dkk. (2008:11), tanaman nyamplung
tumbuh pada wilayah pantai berpasir yang toleran terhadap kadar garam
serta pada tanah yang mengandung liat berdrainase baik, pH 4-7,4.
Tumbuh baik pada ketinggian 0-200 m dpl, bertipe curah hujan A dan B
dengan curah hujan 1000-3000 mm/tahun, 4-5 bulan kering dan suhu rata-
rata 18-33oC. Sedangkan menurut Yetty Heryati (2007:1), tanaman
nyamplung juga dapat tumbuh pada ketinggian sampai 800 m dpl.
Karakteristik pohon
Menurut Sofwan Bustomi, dkk. (2008 : 3), karakteristik nyamplung
adalah sebagai berikut.
1) Pohon bertajuk rimbun menghijau dengan akar tunjang. Tinggi pohon
dapat mencapai 25 m dengan tinggi bebas cabang 4 – 10 m, diameter
dapat mencapai 150 cm (Gambar. 1)
2) Batang berkayu dengan percabangan mendatar dan jarang berbanir,kulit
batang bagian luar berwarna kelabu atau putih, beralur dangkal dan
mengelupas besar-besar tipis, pada kulit kayu terdapat saluran getah
berwarna kuning (Gambar. 1)
3) Daun tunggal bersilang-berhadapan bulat memanjang atau bulat telur,
ujung tumpul, pangkal membulat, tepi rata, pertulangan menyirip,
panjang 20- 21 cm, lebar 6- 11 cm, tangkai 1,5- 2,5 cm, daging daun
seperti kulit/ berlulang, warna hijau (Gambar. 2A)
4) Bunga majemuk, bentuk tandan diketiak daun yang teratas, berkelamin
dua, diameter 2- 3 cm, daun kelopak empat tidak beraturan, benang sari
banyak, tangkai putik membengkok, kepala putik berbentuk perisai, daun
mahkota empat, lonjong, putih (Gambar. 2 B)
5) Buah muda berwarna hijau dan yang sudah tua berwarna
kekuningkuningan, apabila dibiarkan lama, buah berwarna seperti kayu,
buah termasuk kategori buah batu, bulat seperti peluru, dengan mancung
kecil, didepannya, diameter antara 2,5 – 5 cm (Gambar. 3A)
6) Biji berbentuk bulat tebal dan keras, berukuran relatif besar berdiameter
2,5 – 4 cm, daging buah tipis dan biji yang telah kering dapat tahan
disimpan selama 1 bulan, inti biji mengandung minyak berwarna kuning
kecoklatan (Gambar. 3B)
Gambar 1. Pohon Nyamplung pada sebaran alami (Sofwan
Bustomi, dkk. 2008: 4)
2. Pertumbuhan
Pertumbuhan tanaman merupakan proses yang sangat penting dalam
kehidupan suatu organism. Pertumbuhan berlangsung terus-menerus
sepanjang daur hidup, terantung pada tersedianya meriste, hasil asimilasi,
hormone dan substansi pertumbuhan lainnya,serta lingkungan yang
mendukung. Pertumbuhan dapat diartikan sebagai pembelahan jumlah serta
pembesaran sel atau peningkatan ukuran (Gardener, et, al, 1991:248)
Gambar 2. Daun (A) dan bunga (B) Nyamplung (Sofwan
Bustomi, dkk. 2008: 4)
(A)
(A)
(B)
(B)
Gambar 3. Buah yang masih muda (A) dan buah yang Sudah
mengering (B) (Sofwan Bustomi, dkk. 2008: 4)
Pertumbuhan dinyatakan dalam pertumbuhan ruang atau volume
yang tidak dapat kembali lagi (irreversible increase in volume). Setelah
sunstrast (modal) awal habis digunakan, penyediaan substrat selanjutnya
tergantung pada luas daun dan efisiensinya memfiksasi CO2. Sejalan dengan
bertambahanya umur tanaman, luas daun akan meningkat, tetapi ini tidak
selalu diikuti peningkatan produksi karbohidrat yang proporsional karena
adanya penurunan efisiensi fiksasi CO2 khusunya pada tanaman yang tumbuh
dalam suatu komuniti yang cukup rapat. Penyediaan oleh daun sebagai
substrat karbohidrat untuk pembentukan biomassa tanaman harus diimbangi
aktivitas akar menyerap air dari unsur hara yang ditentukan oleh aktivitas
akar dan efisiensi akar menyerap bahan-bahan tersebut. Unsur hara tersebut
akan diangkut sampai ke daun bersama dengan aliran traspirasi dimana unsur
hara ini kemudian akan terlibat dalam proses metabolisme dasar seperti
sintesis asam amino (Bambang Guritno dan Sitompul. 1995:21-22).
a. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
Menurut Endang Saptiningsih (2007), pertumbuhan adalah
proses pertambahan ukuran sel atau organism yang bersifat kuantitatif /
terukur. Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu.
1) Faktor Suhu / Temperatur Lingkungan
Tinggi rendah suhu menjadi salah satu faktor yang menentukan
tumbuh kembang, reproduksi dan juga kelangsungan hidup dari
tanaman. Suhu yang baik bagi tumbuhan adalah antara 22-37oC.
Temperatur yang lebih atau kurang dari batas normal tersebut dapat
mengakibatkan pertumbuhan yang lambat atau berhenti. Hasan Bisri
(1992: 35) menyatakan bahwa untuk pertumbuhan tanaman diperlukan
suhu antara 15-40oC. Dibawah suhu 15
oC atau diatas suhu 40
oC
pertumbuhan tanaman menurun drastis.
2) Faktor Kelembaban Udara
Kadar air dalam udara mempengaruhi pertumbuhan serta
perkembangan tumbuhan. Tempat yang lembab menguntungkan bagi
tumbuhan karena lebih mudah mendapatkan air serta berkurangnya
penguapan sehingga pembentukan sel lebih cepat. Ance Gunarsih
Kartasapoetra (1993:44) menjelaskan bahwa pengaruh kelembaban
mendorong pertumbuhan dan membatasi hilangnya air bagi tumbuhan.
3) Faktor Cahaya Matahari
Cahaya matahari dibutuhkan tanaman untuk melakukan
fotosintesis (khususnya tumbuhan hijau). Jika suatu tanaman
kekurangan cahaya matahari, maka tanaman tampak pucat dan
warnanya kekuning-kuningan (etiolasi). Sebaliknya pada kecambah,
cahaya matahari justru dapat menghambat proses pertumbuhan.
4) Faktor Hormon
Hormon pada tumbuhan memegang peranan penting dalam
proses perkembangan dan pertumbuhan seperti hormon auksin untuk
membantu perpanjangan sel, hormon giberelin untuk pemanjangan
dan pembelahan sel, hormon sitokinin untuk menggiatkan pembelahan
sel dan hormon etilen untuk mempercepat buah menjadi matang.
b. Parameter Pertumbuhan
Pengetahuan mengenai pola pertumbuhan dibutuhkan untuk
mengetahui perilaku pertumbuhan dan perkembangan tanaman, hal ini bisa
dijadikan sebagai dasar dalam melakukan perlakuan (treatment) dan untuk
memperoleh pertumbuhan dan perkembangan tanaman optimal. Parameter
yang diukur untuk mengetahui pertumbuhan tanaman, antara lain.
1) Akar
Pada kebanyakan penelitian tanaman hutan, akar sangat jarang
diamati. Padahal akar merupakan kesatuan dari tanaman dan
mempunyai fungsi yang sangat penting terutama dalam pertumbuhan
tanaman, Bambang Guritno dan Sitompul (1995:96) menyatakan
bahwa peranan akar dalam pertumbuhan tanaman sama pentingnya
dengan tajuk. Tajuk berfungsi untuk menyediakan karbohidrat melalui
proses fotosintesissedangkan akar berfungsi menyediakan unsur hara
dan air yang diperlukan dalam metabolisme tanaman. Hal ini
membuktikan bahwa semakin banyak akar maka semakin tinggi
pertumbuhan tanaman tersebut.
Hasil pengamatan akar dapat dinyatakan persatuan tanaman,
persatuan volume tanah (media tumbuh) dan per satuan luas.
Parameter yang dapat diamati langsung untuk mengamati
pertumbuhan akar adalah berat akar, jumlah akar, dan panjang akar
(Bambang Guritno dan Sitompul 1995:228-229)
2) Daun
Pengamatan daun dilakukan berdasarkan fungsinya sebagai
organ produsen, indikator pertumbuhan, juga data penunjang untuk
proses pertumbuhan dan pembentukan biomassa. Atas dasar ini luas
daun menjadi pilihan parameter utama, karena laju fotosinteis
ditentukan oleh luas daun (Bambang Guritno dan Sitompul 1995:93)
3) Tinggi tanaman
Tinggi tanaman sering digunakan sebagai indikator
pertumbuhan yang mudah diamati, dilakukan tanpa merusak tanaman.
Namun akan kesulitan dalam penentuan batas-batasnya, baik bagian
atas maupun bagian bawah yang tergantung kedalaman penanaman
(Bambang Guritno dan Sitompul 1995:95)
4) Produksi Biomassa
Biomassa tanaman merupakan ukuran yang paling sering
digunakan untuk menggambarkan dan mempelajari pertumbuhan
tanaman. pengukuran biomassa tanman dapat dilakukan melalui
penimbangan bahan tanaman yang sudah dikeringkan. pengeringan
bahan, yang bertujuan untuk menghilangkan semua kandungan air
bahan, dilaksanakan pada suhu relative tinggi (800C) selama jangka
waktu tertentu (Bambang Guritno dan Sitompul 1995:89-91)
3. Stek
Stek merupakan cara perbanyakan tanaman secara vegetatif buatan
dengan menggunakan sebagian batang, akar, atau daun tanaman untuk
ditumbuhkan menjadi tanaman baru. Sebagai alternarif perbanyakan vegetatif
buatan, stek lebih ekonomis, lebih mudah, tidak memerlukan keterampilan
khusus dan cepat dibandingkan dengan cara perbanyakan vegetatif buatan
lainnya. Cara perbanyakan dengan metode stek akan kurang menguntungkan
jika bertemu dengan kondisi tanaman yang sukar berakar, akar yang baru
terbentuk tidak tahan stress lingkungan dan adanya sifat plagiotrop tanaman
yang masih bertahan. (Sasanti Widiarsih,dkk, 2008:1)
Menurut Sasanti Widiarsih,dkk (2008:2), faktor intern yang paling
penting dalam mempengaruhi regenerasi akar dan pucuk pada stek adalah
faktor genetik. Jenis tanaman yang berbeda mempunyai kemampuan
regenerasi akar dan pucuk yang berbeda pula. Untuk menunjang keberhasilan
perbanyakan tanaman dengan cara stek, tanaman sumber seharusnya
mempunyai sifat-sifat unggul serta tidak terserang hama dan/ataupenyakit.
Selain itu, manipulasi terhadap kondisi lingkungan dan status fisiologi
tanaman sumber juga penting dilakukan agar tingkat keberhasilan stek tinggi.
Menurut Hartmann et al, 1997 (Sasanti Widiarsih,dkk. 2008:2),
kondisi lingkungan dan status fisiologi yang penting bagi tanaman sumber
diantaranya adalah.
a. Status air. Stek lebih baik diambil pada pagi hari dimana bahan stek dalam
kondisi turgid
b. Temperatur. Tanaman stek lebih baik ditumbuhkan pada suhu 12°C -27°C.
c. Cahaya. Durasi dan intensitas cahaya yang dibutuhkan tamnaman sumber
tergantung pada jenis tanaman, sehingga tanaman sumber seharusnya
ditumbuhkan pada kondisi cahaya yang tepat
d. Kandungan karbohidrat. Untuk meningkatkan kandungan karbohidrat
bahan stek yang masih ada pada tanaman sumber bisa dilakukan
pengeratan untuk menghalangi translokasi karbohidrat. Pengeratan juga
berfungsi menghalangi translokasi hormon dan substansi lain yang
mungkin penting untuk pengakaran, sehingga terjadi akumulasi zat-zat
tersebut pada bahan stek. Karbohidrat digunakan dalam pengakaran untuk
membangun kompleks makromolekul, elemen struktural dan sebagai
sumber energi. Walaupun kandungan karbohidrat bahan stek tinggi, tetapi
jika rasio C/N rendah maka inisiasi akar juga akan terhambat karena unsur
N berkorelasi negatif dengan pengakaran stek.
Faktor lingkungan tumbuh stek yang cocok berpengaruh pada
terjadinya regenerasi akar dan pucuk. Lingkungan tumbuh atau media
pengakaran yang kondusif yaitu cukup lembab, evapotranspirasi rendah,
drainase dan aerasi baik, suhu tidak terlalu dingin atau panas, tidak terkena
cahaya penuh (200-100 W/m2) dan bebas dari hama atau penyakit.
Menurut Nugroho H. Prastowo (2006: 31-32), stek adalah
menumbuhkan bagian tanaman sehingga menjadi tanaman baru. Keuntungan
dan kerugian bibit dari stek adalah sebagai berikut.
a. Keuntungan bibit dari stek
1) Tanaman buah-buahan tersebut akan mempunyai sifat yang sama
dengan induknya, terutama bentuk buah, ukuran, warna dan rasanya
2) Tanaman asal stek bisa ditanam pada tempat yang permukaan air
tanahnya dangkal, karena tidak mempunyai akar tunggang
3) Perbanyakan tanaman buah dengan stek merupakan cara perbanyakan
yang praktis dan mudah dilakukan
4) Stek dapat dikerjakan dengan cepat, murah, mudah dan tidak
memerlukan teknik khusus seperti pada cara cangkok dan okulasi
b. Kerugian bibit dari stek
1) Perakaran dangkal dan tidak ada akar tunggang, saat terjadi angin
kencang tanaman menjadi mudah roboh
2) Apabila musim kemarau panjang, tanaman tidak tahan kekeringan
Menurut Kramer dan Kozlowski, 1979 (Mahfudz. 2009),
keberhasilan stek dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam
adalah semua faktor yang terdapat didalam bahan stek. Sedangkan faktor luar
adalah faktor lingkungan yang mendukung keberhasilan penyetekan. Faktor
dalam yang berpengaruh dalam penyetekan sebagaimana dikemukakan oleh
Hartman dan Kester (1997) adalah.
1. Kandungan makanan dalam jaringan stek.
Karbohidrat dan nitrogen yang diperoleh dari hasil fotosintesis
merupakan factor penting dalam merangasang pembentukan perakaran
stek. Persediaan makanan stek sering dinyatakan dalam perbandingan
karbohidrat (C) dan Nitrogen (N). perbandingan C/N yang tinggi dapat
mempercepat pembentukan akar primodia, sedangkan yang rendah dapat
mempercepat pembentukan tunas. Kandungan karbohidrat dalam stek
tergantung pada waktu pengambilan dan kesehatan pohon induk.
Pengambilan stek dianjurkan pada sore hari karena kandungan
karbohidrat dari hasil fotosintesis cukup banyak.
2. Umur tanaman / pohon induk.
Bahan stek yang diambil dari tanaman muda akan lebih mudah
berakar dari pada bahan stek dari tanaman tua karena kemampuan
pembelahan sel jaringan tanaman yang tua telah menurun sehingga bahan
stek yang diambil dari jaringan tua akan mengalami kesulitan dalam
pembentukan akar primodia.
3. Hormon endogen dalam jaringan stek.
Hormon tanaman didefinisikan sebagai senyawa organik bahan
nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil. Hormon tersebut dapat dibuat oleh
tanaman (fitohormon) dan dapat pula disintesa (hormon). Fitohormon
sering disebut hormon endogen, sedangkan hormon yang disintesis
disebut hormon eksogen. Jika hormon endogen telah cukup maka hormon
eksogen tidak perlu diberikan.
4. Jenis tanaman
Terdapat variasi diantara individu-individu pohon dalam spesies
dalam hal kemampuan untuk berakar. Kemampuan untuk berakar dan
menghasilkan tunas baru dari stek jula dipengaruhi faktor genetik.
Sedangkan faktor luar yang berpengaruh terhadap keberhasilan stek adalah.
1. Media perakaran
Media perakaran sangat berperan dalam menahan stek pada
kedudukannya, menjaga dan memasok air, mengatur kelembaban dan
aeasi disekeliling pangkal stek. Jenis media yang digunakan akan
menentukan keberhasilan stek untuk berakar.
2. Kelembaban
Kelembaban pada stek harus dipertahankan diatas 90% terutama
sebelum stek mampu membentuk berakar. Namun pada kelembaban dan
suhu tinggi media tidak steril akan memcu perkembangan mikroba
pathogen (cendawan dan bakteri). Oleh karena itu media yang akan
digunakan untuk media perkaran harus steril.
3. Ketersediaan air
Pemotongan bahan stek dari induknya akan menyebabkan
kekurangan air dan zat hara mineral terganggu, sehingga terjadi
kekurangan air sementara proses (evapotraspirasi) tetap berjalan normal.
Kehilangan air dapat dikurangi dengan cara pengaturan lingkungan stek,
misalnya stek diletakan dibawah sungkup dan pengurangan permukaan
traspirasi dengan cara memotong sebagian daun. Ketersediaan air
berfungsi untuk memperlancar proses metabolisme dalam bahan stek dan
menstabiliser ukuran sel. Traspirasi yang berlebihan menyebabkan
persediaan karbohidrat akan dipergunakan untuk pernafasan sehingga
ukuran sel dapat mengecil.
4. Suhu
Setiap jenis tanaman memerlukan suhu udara yang berbeda-beda
untuk merangsang pembentukan primordial akar. Kisaran suhu udara baik
didalam sungkup untuk pembentukan akar adalah 26- 29 0C, sedangkan
suhu yang baik untuk media tumbuh adalah 20-24 0C. Pengaturan suhu
tersebut dapat dikendalikan dengan penyiraman.
5. Intensitas cahaya
Cahaya merupakan faktor penting bagi berlangsungnya
fotosintesis. Karbohidrat hasil fotosintesis akan dipergunakan untuk
membangun jaringan dan organ-organ tanaman baru. Oleh karena itu
sungkup harus tembus sinar matahari agar proses fotosintesis dapat
berjalan dengan normal
6. Teknik penyiapan stek
Kegagalan stek untuk berakar dapat disebabkan faktor mekanis
terutama yang berkaitan dengan peralatan, misalnya pisau kurang tajam,
cara pemotongan, bahan stek terlalu kering, cara penerapan hormon
eksogen.
Macam-macam stek tanaman:
a) Stek Batang
Stek batang dilakukan dengan memotong batang dari tanaman
induk kemudian menanam pada media. Disebut stek batang karena bahan
tanamnya diambil dari batang atau cabang pohon induk. Cabang yang
terlalu tua tidak baik untuk bahan stek karena secara fisiologis sangat
sulit untuk menumbuhkan akar, yaitu regenerasi dari sel yang lambat.
Sementara cabang yang terlalu muda akan cepat layu dan mati
kekeringan karena penguapannya barlangsung cepat.
Menurut Hartmann et al, 1997 (Sasanti Widiarsih,dkk. 2008:2),
bahan awal perbanyakan berupa batang tanaman. Stek batang
dikelompokkan menjadi empat macam berdasarkan jenis batang
tanaman, yakni: berkayu keras, semi berkayu, lunak, dan herbaceous.
Menurut Hartmann et al, 1997 (Sasanti Widiarsih,dkk. 2008: 4),
bahan tanaman yang biasa diperbanyak dengan stek batang berkayu keras
antara lain: apel, pear, cemara, dan lain-lain, dengan perlakuan kimia
IBA atau NAA 2500 - 5000 ppm. Panjang stek berkisar antara 10-76 cm
atau dua buku (nodes). Stek batang semi berkayu, contohnya terdapat
pada tanaman Citrus sp, dengan perlakuan kimia yang sudah umum yaitu
IBA dan NAA 1000 – 3000 ppm dan panjang stek 7,5-15 cm. Pada stek
batang semi berkayu ini, daun-daun seharusnya dibuang untuk
mengendalikan transpirasi. Di samping itu, pelukaan sebelumnya
mungkin dapat membantu pengakaran. Untuk stek batang berkayu lunak,
contohnya terdapat pada tanaman Magnolia dengan perlakuan IBA atau
NAA 500-1250 ppm dan panjang stek 7,5-12,5 cm. Stek batang berkayu
lunak umumnya akar relatif cepat keluar (2-5 minggu).
b) Stek pucuk
Menurut Dwijoseputro seperti yang dikutip oleh Irwanto (2001),
stek yang akan ditanam harus mempunyai tunas, agar stek tersebut dapat
menghasilkan akar. Untuk stek pucuk yang diambil adalah tunas
orthotrop (tunas vertikal), bukan yang plagiotrop (tunas ke samping atau
cabang). Alasan pemilihan tunas orthotrop karena stek dari bahan
orthotrop akan selalu tumbuh orthotrop dan stek yang berasal dari
cabang plagiotrop hampir selalu tumbuh plagiotrop. Bibit yang berasal
dari tunas orthotrop pertumbuhan arsitekturnya sama dengan pohon
asalnya.
Keunggulan dari stek pucuk berdasarkan fenotipnya dimana yang
pokok dinilai adalah pertumbuhan batang lurus, panjang dan tidak
berlobang. Pengambilan stek pucuk dari tunas orthotrop perlu
memperhatikan dengan seksama tahap-tahap pertumbuhannya, dimana
hampir semua jenis stek pucuk tumbuh secara ritmis. Artinya selama
waktu tertentu tidak terbentuk daun baru, kemudian setelah waktu
istirahat ini beberapa daun baru muncul dan terbentuk batang baru yang
cukup panjang pada sumbuh pokok. Selama proses pembentukan daun
belum selesai dan daun paling atas masih belum cukup kuat maka tidak
boleh diambil stek dari pucuk/bibit tersebut . Stek yang diambil dalam
keadaan seperti ini akan mudah layu dan busuk. Jadi sebaiknya bahan
stek diambil dari pucuk yang dalam keadaan "istirahat". Pengambilan
stek pucuk pada bibit , harus tersisa satu atau dua daun pada batang
pokok dimana bahan stek diambil, supaya reetraisasi (pertunasan) baru
dapat terbentuk lagi, sedangkan pada steknya sendiri harus ada sedikit 2
atau 3 daun yang melekat. Peranan daun pada stek juga cukup besar,
karena daun akan melakukan proses asimilasi dan hasil asimilasi tentu
dapat mempercepat pertumbuhan akar, tetapi jumlah daun yang terlalu
banyak, mempunyai proses transpirasi yang besar.
c) Stek umbi
Menurut Hartmann et al, 1997 (Sasanti Widiarsih,dkk. 2008:3),
bahan awal untuk perbanyakan stek umbi yaitu: umbi batang, umbi akar,
umbi sisik, dan lain-lain. Sebagai bahan perbanyakan, umbi dapat
digunakan utuh atau dipotong-potong dengan syarat setiap potongannya
mengadung calon tunas. Untuk menghindari terjadinya busuk pada setiap
potongan umbi, maka umbi perlu dierandap dalam bakterisida dan
fungisida. Contoh tanaman yang bisa diperbanyak dengan stek umbi
antara lain: Solanum tuberosum, Ipomoea batatas, Caladium, Helianthus
tuberosus, Amarilis, dan lainnya.
d) Stek daun
Menurut Hartmann et al, 1997 (Sasanti Widiarsih,dkk. 2008: 3),
bahan awal perbanyakan yang dapat digunakan pada stek daun dapat
berupa lembaran daun atau lembaran daun beserta petiol. Bahan awal
pada stek daun tidak akan menjadi bagian dari tanaman baru.
Penggunaan bahan yang mengandung kimera periklinal dihindari agar
tanaman-tanaman baru yang dihasilkan bersifat true to type.
Akar dan tunas baru pada stek daun berasal dari jaringan meristem
primer atau meristem sekunder. Pada tanaman Bryophyllum, akar dan
tunas baru berasal dari meristem primer pada kumpulan sel-sel tepi daun
dewasa, tetapi pada tanaman Begonia rex, Saint paulia (Avrican violet),
Sansevieria, Crassula dan Lily, akar dan tunas baru berkembang dari
meristem sekunder dari hasil pelukaan.
Pada beberapa species seperti Peperomia, akar dan tunas baru
muncul dari jaringan kalus yang terbentuk dari aktivitas meristem
sekunder karena pelukaan. Masalah pada stek daun secara umum adalah
pembentukan tunas-tunas adventif, bukan akar adventif. Pembentukan
akar adventif pada daun lebih mudah dibandingkan pembentukan tunas
adventif.
Secara teknis stek daun dilakukan dengan cara memotong daun
dengan panjang 7,5-10 cm (Sansevieria) atau memotong daun beserta
petiolnya kemudian ditanam pada media.
4. Faktor penghambat pada pertumbuhan stek batang
Kadang-kadang setek batang yang ditanam sulit membentuk akar,
sehingga perlu diberikan perlakuan khusus, misalnya.
a) Mengerat batang.
Pengeratan dilakukan agar cabang yang disetek memiliki
kandungan karbohidrat dan auksin yang cukup untuk membentuk
akar. Pengeratan dilakukan 1-2 bulan sebalum cabang dipotong.
Caranya : buat keratan melingkar selebar 2-3 cm pada jarak 30-40
cm dari ujung cabang. Kulit cabang pada batang keratan dibuang, lalu
dibiarkan selam 1-2 bulan sampai muncul tonjolon yang menandakan
telah terjadi penumpukan karbohidrat dan auksin.
b) Mengetiolasi batang.
Etiolasi dilakukan dengan membungkus bagian cabang stek
dengan kertas, plastik atau kain. Warna pembungkus sebaiknya hitam
agar cahaya matahari tidak dapat menembus kulit cabang yang
dibungkus sehingga zat klorofil hilang dan zat auksin berkumpul.
Perlakuan ini membuat akar cepat tumbuh setelah ditanam.
c) Menggunakan Hormon penumbuh akar
Secara alami tanaman menghasilakan hormon tumbuh
sendiri, yaitu auksin, namun kadang jumlahnya tidak mencukupi
untuk membantu pembentukan akar sehingga perlu tambahan auksin
dari luar untuk memacunya. Hormon auksin yang digunakan dapat
berupa IBA, IAA, atau NAA. Hormon-hormon ini berbentuk kristal
sehingga harus dilarutkan terlebih dahulu dalam larutan alkohol.
Pemberiannya bisa dilakukan dengan cara.
1) Celup cepat
Bahan pelarut yang digunakan adalah alkohol 50% dengan
konsentrasi tergantung jenis hormon yang digunakan. Jika hormon
yang digunakan IAA, konsentrasinya 500-1000 ppm atau 500-1000
mg IAA/ liter pelarut. Jika yang digunakan NAA, konsentrasinya
5000 ppm atau 5 g/l pelarut. Sementara itu, jika hormon yang
digunakan IBA, konsentrasinya 5000-10000 ppm atau 5-10 g/l
pelarut. Setelah itu batang-batang stek disatukan dan 2 cm bagian
pangkalnya dicelupkan selam 5-10 detik kedalam larutan hormon.
2) Perendaman
Hormon auksin dilarutkan terlebih dahulu dalam alkohol
95%, lalu ditambahkan akuades sesuai konsentrasi yang dibutuhkan.
Umumnya untuk stek batang tanaman buah, konsentrasinya 100 ppm
dengan lama perendaman 1-2 jam. Sementara itu, untuk tanaman
yang mudah berakar seperti beberapa jenis tanaman hias,
konsentrasinya hanya 5 ppm dengan lama perendaman 1-5 menit.
5. Hal-hal penting pada penyetekan
a) Besar stek tidak berhubungan dengan sukar mudahnya berakar, tetapi
ada hubungannya dengan banyaknya jumlah akar. Jumlah akar pada
cabang yang besar atau panjang lebih banyak dari pada cabang yang
kurus atau kecil.
b) Jumlah daun memudahkan berakar lebih banyak, tetapi kalau stek
mempunyai daun terlalu banyak, kuantitas penguapan besar sehingga
stek layu, hal ini berakibat berakar tidak baik.
c) Luas ujung potongan pada bagian dasar stek yang besar lebih baik
tetapi mengandung resiko pembusukan.
d) Untuk berakarnya stek perlu suhu tanah yang lebih tinggi dari suhu
permukaan. Suhu tanah tidak diperlukan dalam jangka waktu yang
lama. Umumnya pada tumbuhan yang berkembang pada suhu 10oC,
perlu diletakan 1 sampai beberapa hari pada suhu tanah 20-25oC.
e) Setelah penanaman stek sampai berakar perlu menjaga kelembaban,
menghindari kekeringan dan suhu yang terlalu tinggi.
f) Setelah berakar, mengurangi kuantitas penyiraman sedikit demi
sedikit agar dapat bertahan dalam penyapihan. (Sugeng Pudjiono,
1996:14-15)
6. Peranan Hormon atau Zat Pengatur Tumbuh dalam Perakaran Stek
Menurut Abidin, 1982 (Diana Nababan. 2009:21), hormon
tumbuh adalah zat organik yang dihasilkan oleh tanaman, yang dalam
konsentrsasi rendah dapat mengatur proses fisiologi. Hormon biasanya
bergerak dari bagian tanaman yang menghasilkan menuju tanaman
lainnya. Zat tumbuh pada tanaman (plant regulator) adalah senyawa
organik yang bukan hara , yang dalam sedikit dapat mendukung,
menghambat, dan merubah proses fisiologi tumbuhan. Zat pengatur
tumbuh dalam tanaman terdiri dari lima kelompok yaitu auksin,
giberalin, cytokinin, ethylene, dan inhibitor dengan ciri khas dan
pengaruh yang berlainan terhadap proses fisiologis
a) Manfaat Penggunaan Hormon IBA (Indole Butyric Acid)
Perangsangan pengakaran merupakan saah satu aplikasi
penggunakan auksin dalam pertanian, khususnya dalam perbanyakan
vegetatif. Dalam tanaman perkebunana dan hortikultura, penyediaan
bahan tanaman melalui setek merupakan hal yang umum. Setek adalah
bahan perbanyakan yang diambil dari organ tanaman dan dirangsang
untuk membentuk akar dan tunas agar menjadi tanaman baru (Sri
Setyati Harjadi, 2009: 27).
Menurut Sri Setyati Harjadi (2009: 28), pada tanaman berkayu
akar dapat berasal dari sel-sel floem sekunder yang masih muda,
kambium, atau empelur. Umumnya akar berasal dari dalam batang.
Pengakaran dapat terjadi lebih cepat bila diberi zat pengatur
tumbuh (ZPT). Menurut Sri Setyati Harjadi (2009: 31), salah satu
jenis auksin yang paling umum digunakan dan mempunyai efek paling
dalam menginduksi pengakaran adalah IBA (Indol Butyric Acid, atau
Asam Indol Butirat). Sebenarnya auksin jenis ini mempunyai aktifitas
yang lemah, tetapi pada tingkat konsentrasi tinggi IBA menyebabkan
sel mengalami kematian. Sifatnya persisten, artinya penguraiannya
oleh enzim-enzim tanaman dapat dikatakan sangat lambat. Demikian
juga translokasi (pengangkutan kebagian lain) IBA berjalan lambat,
sehinga IBA tetap berasa disekitar aplikasinya. Ketiga sifat tersebut
menyebabkan IBA efektif dalam induksi perakaran.
Umumnya, stek batang memberikan respon yang cukup baik
terhadap pemberian zat tumbuh IBA mupun NAA. Oleh karena itu,
umum digunakan dalam perangsangan pengakaran untuk menentukan
jenis , kosentrasi, dan campuran auksin yang tepat, perlu dilakukan
percobaan dengan dasar kosentrasi efektif pada tanaman yang sudah
berhasil dirangsang pengakarannya (Sri Setyati Harjadi, 2009: 34).
Hormon IBA termasuk salah satu hormon kelompok auksin dipakai
untuk merangsang perakaran, hormon IBA juga mempunyai manfaat
yang lain seperti menambah daya kecambah, merangsang
perkembangan buah, mencegah kerontokan, pendorong kegiatan
kambium dan lain-lainnya. IBA mempunyai sifat yang lebih baik dan
efektif dari pada IAA dan NAA. IBA juga dapat memacu
pembentukan akar stek (Hartmann, et al, 1990) dan memacu
pertumbuhan panjang akar (Sebanek & Jesko, 1989). Hal ini didukung
oleh pendapat Rismunandar (1988) yang menyatakan bahwa IBA
dapat mempercepat tumbuhnya akar baru pada tanaman (bibit yang
baru dipindahkan dari persemaian pada beberapa jenis tanaman keras.
Dengan demikian IBA paling cocok untuk merangsang aktifitas
perakaran, karena kandungan kimianya lebih stabil dan daya kerjanya
lebih lama. IBA yang diberikan kepada stek berada ditempat
pemberiannya, tetapi IAA biasanya mudah menyebar ke bagian lain
sehingga menghambat perkembangan pertumbuhan pucuk, sedangkan
NAA mempunyai kisaran (range) kepekatan yang sempit sehingga
batas kepekatan yang meracuni dari zat ini sangat mendekati
kepekatan optimum. Dengan semakin cepatnya pembentukan akar dari
stek yang diberikan perlakuan hormon IBA semakin lebih baik sistim
perakarannya sehingga air dan unsur-unsur hara dalam tanah yang
diserap stek akan lebih banyak (Irwanto,2003:9).
b) Keuntungan Penggunaan Hormon Penumbuh Akar
Konsentrasi auksin yang digunakan dalam segala metode
pemberian, berkisar antara 10-5000 ppm (Part Per Million= mg/l
larutan), tergantung pada keperluan. Untuk stek cemara Juniperus
digunakan IBA sekitar 4000 ppm. Pada umumnya, stek berbatang
lunak memerlukan auksin dalam jumlah yang sedikit. Dalam metode
celup tanaman berbatang lunak diberi auksin 100-1000ppm,
sedangkan stek berkayu diberikan auksin 1000-5000 ppm. Dapat juga
stek direndam dalam waktu yang lebih lama (sekitar 10 jam) dengan
konsentrasi auksin 10-100 ppm (Sri Setyati Harjadi. 2009: 35).
Menurut Sri Setyati Harjadi (2009: 37), dalam metode
perendaman, jika larutan yang dibuat encer maka waktu perendaman
harus lebih panjang. Bila digunakan kosentrasi tinggi antara 1000-
5000 ppm, waktu perendaman antara 5-10 detik. Bahan aktif akan
terserap kedalam jaringan melalui luka pada bekas pemotongan. Cara
ini mempunyai keuntungan sebagai berikut.
a. Jumlah ZPT yang menempel pada bagian pangkal sama untuk
semua stek
b. Perlakuan setiap stek sangat cepat
c. Cocok untuk membuat stek dalam jumlah besar
Hasil penelitian Nurul Sumiasri dan Ninik Setyowati Indarto
(2001: 3), semakin tinggi dosis IBA yang digunakan maka semakin
baik pengaruhnya terhadap persentase tumbuh yaitu pada penggunaan
hormon IBA dengan dosis 0.40% memberikan pengaruh terbaik yaitu
100%,. Hal ini sesuai dengan pendapat Lakitan (1995) bahwa aplikasi
IBA pada stek batang berkayu (hardwood) memerlukan dosis tinggi,
sedangkan batang lunak (softwood) memerlukan dosis rendah.
7. Media Tanam
Media tanam merupakan komponen utama dalam bercocok tanam.
Media tanam yang akan digunakan harus disesuaikan dengan jenis
tanaman yang ditanam. Menentukan media tanam yang tepat untuk jenis
tanaman yang berbeda habitat asalnya merupakan hal yang sulit. Hal ini
dikarenakan setiap daerah memiliki kelembaban dan kecepatan angin
yang berbeda. Secara umum, media tanam harus dapat menjaga
kelembaban daerah sekitar akar, menyediakan cukup udara, dan dapat
menahan ketersediaan unsur hara.
Jenis media tanam yang digunakan pada setiap daerah tidak sama.
Misalnya menggunakan media tanam berupa pecahan batu bata, arang,
sabut kelapa, kulit kelapa, atau batang pakis. Bahan-bahan tersebut juga
tidak hanya digunakan secara tunggal, tetapi bisa dikombinasikan antara
bahan satu dengan lainnya. Misalnya, pakis dan arang dicampur dengan
perbandingan tertentu hingga menjadi media tanam baru.
Media untuk perakaran stek biasanya dipilih yang memunyai sifat
menahan air besar untuk mempertahankan kelembaban pada masa
perakaran, sehingga pertumbuhan akar stek tidak terhambat. Media yang
digunakan untuk perakaran stek adalah pasir dan tanah dengan campuran
pupuk kandang yang sebelumnya telah disterilkan terlebih dahulu.
Untuk mendapatkan media tanam yang baik dan sesuai dengan
jenis tanaman yang akan ditanam, maka harus mengenai karakteristik
media tanam yang mungkin berbeda-beda dari setiap jenisnya. Berikut
jenis-jenis media tanam yang digunakan dalam penelitian ini:
a. Tanah (top soil)
Tanah sebagai media pertumbuhan dan perkembangan tanaman
tidak begitu saja menunjang keberhasilan usaha penanaman, ada
kalanya hasil usaha tanaman itu memuaskan, ada kalanya demikian
menyedihkan bahkan sampai kegagalan. Hal ini tidak lain karena
tanah memberikan berbagai pengaruh bagi kelangsungan pertumbuhan
tanaman. Pengaruh–pengaruh tersebut antara lain temperatur tanah,
kelembaban tanah, kesarangan tanah, permebialitas, tersedianya unsur
hara, kegiatan hidup jasad renik dan banyak sifat tanah lainnya.
kesemuanya itu demi menunjang kehidupan dan perkembangan
tanaman. Pengaruh-pengaruh dan sifat-sifat tanah lainnya perlu
diperhatikan dalam usaha penanaman kalau memang dari usaha ini
diharapkan adanya hasil yang memuaskan (Mul Mulyani. 2002:55).
Fungsi tanah untuk tanaman adalah sebagia media tempat
tumbuh, penyedia hara dan air dan lingkungan tempat akar dan batang
dalam tanah melaksanakan aktivitas fisiologinya. Untuk dapat tumbuh
baik dan berproduksi tinggi tanaman tidak hanya membutuhkan hara
yang cukup dan seimbang, tetapi juga memerlukan lingkungan fisik
tanah yang cocok supaya akar tanaman dapat berkembang dengan
bebas, proses-proses fisiologi bagian tanaman yang berada didalam
tanah dapat berlangsung dengan baik dan tanaman berdiri tegak, tidak
mudah rebah (Titiek Islami, dkk, 1995:273).
Menurut Mul, Mulyani (2002 :18-19), kesuburan tanah yang
terkandung pada lapisan tanah permukaan atau topsoil terjadi karena
pemupukan atau karena berlangsungnya proses pembentukan tanah
yang dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor iklim, jasad hidup,
bahan induk lainnya sehinggga hewan mati dan bahan organik lainnya
seperti sisa terangkut tanaman ketika penenan dan zat-zat tersebut
hasil pelapukan bahan induk tanah.
b. Pasir
Pasir dapat digunakan sebagai media tanam alternatif untuk
menggantikan fungsi tanah. Sejauh ini, pasir dianggap memadai dan
sesuai jika digunakan sebagai media untuk penyemaian benih,
pertumbuhan bibit tanaman, dan perakaran setek batang tanaman.
Sifatnya yang cepat kering akan memudahkan proses pengangkatan
bibit tanaman yang dianggap sudah cukup umur untuk dipindahkan ke
media lain. Sementara bobot pasir yang cukup berat akan
mempermudah tegaknya setek batang. Selain itu, keunggulan media
tanam pasir adalah kemudahan dalam penggunaan dan dapat
meningkatkan sistem aerasi serta drainase media tanam.
Pasir memiliki pori-pori berukuran besar (pori-pori makro)
sehingga mudah basah dan cepat kering oleh proses penguapan.
Kohesi dan konsistensi (ketahanan terhadap proses pemisahan) pasir
sangat kecil sehingga mudah terkikis oleh air atau angin. Dengan
demikian, media pasir lebih membutuhkan pengairan dan pemupukan
yang lebih intensif. Hal tersebut yang menyebabkan pasir jarang
digunakan sebagai media tanam tunggal.
Penggunaan pasir sebagai media tanam sering dikombinasikan
dengan campuran bahan anorganik lain, seperti kerikil, batu-batuan,
atau bahan organik yang disesuaikan dengan jenis tanaman. Pasir
pantai atau semua pasir yang berasal dari daerah yang bersersalinitas
tinggi merupakan jenis pasir yang harus dihindari untuk digunakan
sebagai media tanam, kendati pasir tersebut sudah dicuci terlebih
dahulu. Kadar garam yang tinggi pada media tanam dapat
menyebabkan tanaman menjadi merana. Selain itu, organ-organ
tanaman seperti, akar dan daun juga memperlihatkan gejala terbakar
yang selanjutnya mengakibatkan kematian jaringan (nekrosis)
(Anonim. 2002:2).
8. Pupuk
Pupuk adalah suatu bahan yang digunakann untuk mengubah sifat
fisik, kimia, atau biologi tanah sehinggga menjadi lebih baik bagi
pertumbuhan tanaman, namun dapat pula diartikan sebagai bahan yang
mengandung satu atau lebih unsur hara yang penting bagi tanaman.
Sumber utama bahan organik bagi tanah berasal dari jaringan tanaman,
baik berupa sampah-sampah tanaman atau sisa-sisa tanaman yang sudah
mati. sumber bahan ornaik lainnya adalah hewan. Limbah atau kotorannya
atau pun hewan yang sudah mati, kesemuannya ini merupakan bahan
organik yang diperlukan tanah-tanah pertanian. (Mul Mulyani
Sutejo.1995: 86), macam pupuk ada dua yakni pupuk organik dan pupuk
anorganik.
a. Pupuk organik
Dalam pupuk organik termasuk berbagai macam kotoran
binatang (kotoran sapi, babi, ayam dan lain-lain), hasil buangan dari
binatang dan tanaman (kompos dan endapan dari pembersihan air)
serta pupuk hijau. Pupuk organik mengandung berbagai macam zat
makanan tanaman yang sebagian terdapat didalam persenyawaan
kimia yang sama seperti pupuk buatan (Rinsema.W.T.1986:143).
1) Pupuk kandang
Salah satu pupuk organik yang digunakan untuk
pertumbuhan tanaman adalah pupuk kandang. Dalam
pemakainnya, pupuk kandang yang telah busuk lebih cepat
melapuk dalam tanah sehingga waktu pemakainnya dapat
dibedakan dengan pemakaian pupuk kandang yang masih segar
(Mul Mulyani Sutejo.1995: 96).
Pupuk kandang memang dapat menambah tersediannya
bahan makanan (unsur hara) bagi tanaman yang dapat diserapnya
dari dalam tanah. selain itu, pupuk kandang ternyata mempunyai
pengaruh yang positif terhadap sifat fisis dan kimiawi tanah,
mendorong kehidupan (perkembangan) jasad renik. Pupuk
kandang mempunyai kemampuan mengubah berbagai faktor
dalam tanah, sehingga menjadi faktor-faktor yang menjamin
kesuburan tanah (Mul Mulyani Sutejo.1995: 97).
Menurut Mul Mulyani Sutejo, (1995:108) pupuk kandang
mempunyai nilai yang sangat baik dibanding dengan pupuk alam
lainnya maupun dengan pupuk buatan. Walaupun cara kerjanya
kalau dibandingkan dengan cara kerja pupuk buatan dapat dikatan
lambat karena harus mengalami proses-proses perubahan terlebih
dahulu sebelum dapat diserap tanaman.
Pupuk kandang dalam tanah mempunyai pengaruh yang
baik terhadap sifat fisis tanah. Penguraian-penguraian yang terjadi
mempertinggi kadar bunga tanah (humus) yang sangat
berpengaruh baik terhadap sifat fisis tanah., Mempertahankan
struktur tanah, menjadikan tanah mudah diolah dan terisi oksigen
yang cukup. Pupuk kandang dianggap sebagai pupuk terlengkap
karena selain menimbulkan tersediannya unsur-unsur hara bagi
tanaman juga mengembangkan kehidupan mikroorganisme
didalam tanah. Jasad renik sangat penting bagi kesuburan tanah,
seresah dan sisa-sisa tanaman dapat diubahnya menjadi humus,
senyawa-senyawa tertentu disintesanya menjadi bahan-bahan
yang berguna bagi tanaman (Mul Mulyani Sutejo. 1995:108).
Tabel. 1 Komposisi Unsur Hara Pupuk Kandang
Material Sapi Kambing Unggas
Totol % N 2,4a 6,0
a
2,0b 1,5
b 5,0 b
Total % P 1,2a 4,0
a
1,5 b 1,5
b 3,0 b
Total % K 0,16 a 0,6
a
2,0 b 3,0
b 1,5 b
Total % Ca 4,0 b 2,0
b 4,0 b
Total % Mg 1,0 b 1,0
b
Total % S 0,5 b 2,0
Sumber : a. Milliar, 1955; Archer, 1985 dalam Tivy, 1991
b. Ignatief and Page, 1962 dalam Anonim, 1991
Macam-Macam Pupuk Kandang
a) Pupuk kambing
Pupuk kambing terdiri dari 67% bahan padat (faeces)
dan 33% bahan cair (urine). Sebagai pupuk kandang
komposisi unsur haranya 0,95% N, 0,35% P2O5, dan 1,00%
K2O, kadar N pupuk kambing cukup tinggi, kadar air lebih
rendah dari pupuk sapi. Keadaan ini merangsang jasad renik
melakukan perubahan-perubahan aktif, sehingga perubahan
berlangsung dengan cepat. Pada perubahan-perubahan ini
berlangsung pula pembentukan panas, sehingga pupuk
kambing dapat dicirikan sebagai pupuk panas. Pembenaman
pupuk dalam tanah sebaiknya dilakukan 1 atau 2 minggu
sebelum masa tanam (Mul Mulyani Sutejo. 1995: 103).
b) Pupuk sapi
Pupuk sapi merupakan pupuk padat yang banyak
mengandung air dan lendir. Bagi pupuk padat yang
keadaannya demikian bila berpengaruh oleh udara maka cepat
akan terjadi pergerakan-pergerakan sehingga keadaannya akan
menjadi keras, selanjutnya air tanah dan udara yang akan
melapukan pupuk itu menjadi sukar menembus/merembes ke
dalamnya. Dalam keadaan yang demikian peranan jasad renik
untuk mengubah bahan-bahan yang terkandung dalam pupuk
menjadi zat-zat hara yang tersedia dalam tanah untuk
mencukupi keperluan pertumbuhan tanaman mengalami
hambatan-hambatan, perubahan berlangsung secara perlahan-
ahan. Pada perubahan ini kurang sekali terbentuk panas.
Keadaan demikian mencirikan bahwa pupuk sapi adalah:
pupuk dingin (Mul Mulyani Sutejo. 1995: 102).
c) Pupuk unggas
Kotoran dari berbagai macam unggas termasuk pupuk
alam yang baik karena umumnya unggas pemakan tanaman
atau bagian-bagian tanaman utama (hasil tanaman, seperti
gabah atau beras, biji-bijian dan buah tanaman).
Kotoran ayam dan merpati termasuk pupuk yang
bernilai tinggi (hal ini menurut kenyataan, bukan karena ayam
dan merpati merupakan unggas peliharaan), sedangkan
kotoran bebek dan angsa yang termasuk pula unggas
peliharaan kurang nilainya apabila dijadikan pupuk alam.
Kotoran ayam selain banyak dimanfaatkan dalam usaha
bercocok tanam, pada masa kini banyak dimanfaatkan dalam
usaha perkembangan perikanan(khususnya perikanan darat)
(Mul Mulyani Sutejo. 1995: 142).
b. Pupuk Hijau
Pupuk hijau dibuat dari bahan-bahan pembentuk tanaman atau
bagian tanaman yang masih muda yang dibenamkan dalam tanah.
Dengan demikian yang dimaksud dengan pupuk hijau adalah:
tanaman atau bagian-bagian tanaman yang masih muda terutama
yang termasuk famili leguminosa, yang dibenamkan kedalam tanah
dengan maksud agar meningkatkan tersedianya bahan –bahan organik
dan unsur-unsur hara bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman
yang diusahakan (Mul Mulyani Sutejo. 1995: 111).
c. Pupuk anorganik
Menurut Mul Mulyani Sutejo (1995: 93-94), pupuk anorganik
atau pupuk buatan yang merupakan hasil industri atau hasil pabrik
pembuat pupuk. Pupuk-pupuk tersebut pada umumnya mengandung
unsur hara yang tunggi. Macam-macam pupuk anorganik adalah.
1). Pupuk nitrogen
Nitrogen dalam tanaman merupakan unsur sangat
penting untuk pembentukan protein, daun dan berbagai
persenyawaan organik lainnya (Rinsema.W.T.1986:41).
2). Pupuk fosfat
Menurut Rinsema.W.T (1986:69), pupuk fosfat
sederhana yang biasa dipakai umumnya hanya mengandung
kalium fosfat. Pada pupuk yang majemuk terdapat juaga
amonium fosfat.
3). Pupuk kalium
Karena beberapa tanaman tidak tahan terhadap ion Cl-
maka sebagian dari KCL secara kimiawi ditransformasikan
kedalam kalium sulfat (K2SO4). Hasilnya pupuk patenkali dan
kalium sulfat (pupuk kalium yang sangat kekurangan khlor)
(Rinsema.W.T.1986:83).
9. Klorofil
Menurut Ika Susanti Hendriyani, dan Nintya Setiari (2009:149),
klorofil merupakan zat hijau daun yang terdapat pada semua tumbuhan
hijau yang berfotosintesis. Berdasarkan penelitian, klorofil ternyata tidak
hanya berperan sebagai pigmen fotosintesis. Klorofil mempunyai manfaat
antara lain, sebagai obat kanker otak, paru-paru, dan mulut.
Kloroplas berasal dari proplastid kecil (plastid yang belum dewasa,
kecil dan hampir tak berwarna, dengan sedikit atau tanpa membran
dalam). Pada umumnya proplastid berasal hanya dari sel telur yang tak
terbuahi, sperma tak berperan disini. Proplastid membelah pada saat
embrio berkembang, dan berkembang menjadi kloroplas ketika daun dan
batang terbentuk. Kloroplas muda juga aktif membelah, khususnya bila
organ mengandung kloroplas terpanjang pada cahaya. Jadi, tiap sel daun
dewasa sering mengandung beberapa ratus kloroplas. Sebagian besar
kloroplas mudah dilihat dengan mikroskop cahaya, tapi struktur rincinya
hanya bisa dilihat dengan mikroskop elektron. (Salisbury dan Ross, 1995).
Menurut Campbell (2002:183), warna daun berasal dari klorofil,
pigmen warna hijau yang terdapat di dalam kloroplas. Energi cahaya yang
diserap klorofil inilah yang menggerakkan sitesis molekul makanan dalam
kloroplas. Kloroplas ditemukan terutama dalam sel mesofil, yaitu jaringan
yang terdapat di bagian dalam daun. Karbon dioksida masuk ke dalam
daun, dan oksigen keluar, melalui pori mikroskopik yang di sebut stomata.
Klorofil terdapat didalam kloroplas sebagai butir-butir hijau. Pada
umumnya klorplas berbentuk oval yang bahan dasarnya disebut stomata,
sedangkan butir-butir yang terkandung di dalamnya disebut grana. Pada
tanaman tingkat tinggi terdapat dua macam klorofil yaitu.
a. Klorofil a dengan rumus C55H72O5N4Mg dan berwarna hijau tua.
Klorofil a berperan sebagai penyusun pusat reaksi yang akan
menerima energi cahaya matahari yang diserap oleh pigmen antenna.
Klorofil a bertindak dalam pengkonversian energi radiasi menjadi
energi kimia
b. Klorofil b dengan rumus C55H70O6N4Mg dan berwarna hijau muda.
Klorofil b berperan dalam memperluas kisaran cahaya yang
digunakan oleh tumbuhan. Klorofil b meneruskan energi cahaya yang
diserap ke klorofil a kemudian menyimpan energy untuk kegiatan
reaksi terang (Dwidjoseputro, 1983:6)
Sifat fisik klorofil adalah fluoresen, artinya dapat menerima sinar
dan mengembalikannya dalam gelombang yang berlainan. Klorofil a
tampak hijau tus tetapi jika sinar direfleksikan akan tampak merah darah.
Sedangkan klorofil b akan tampak merah coklat pada fluoresensi. Klorofil
banyak menyerap sinar dengan panjang gelombang 400-700 nm
(Dwidjoseputro, 1994:17). Sifat kimia klorofil adalah sebagai berikut.
a. Klorofil merupakan molekul organik yang tidak larut dalam air,
melainkan dapat larut dalam etanol, methanol, eter, aseton, benzol,
dan kloroform.
b. Apabila klorofil terkena asam maka Mg akan tergeser oleh 2 atom H
sehingga membentuk persenyawaan yang disebut feofitin yang
berwarna coklat. Feofitin merupakan pigmen yang tidak aktif
terhadap fotosintesis.
Dwidjoseputro (1983:17), menyebutkan bahwa rumus bangun
klorofil berupa cincin porfirin yang terdiri atas 4 pirol dengan Mg sebagai
inti. Pada porfirin melekat ekor hodrokarbon yang berinteraksi dengan
daerah hidrofobik protein dalam membrane tilakoid. Klorofil b berbeda
dengan klorofil a hanya dalam salah satu gugus fungsional yang diikat
pada porfirin ini. Pada klorofil terdapat suatu rangkaian yang disebut fitil
yang dapat terlepas menjadi fitol C20H39OH apabila terkena air (hidrolisis)
dan karena pengaruh enzim klorofilase.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan klorofil meliputi
faktor dalam dan faktor luar dari suatu tumbuhan.
a) Faktor dalam
1) Umur daun
Sejalan dengan pertumbuhan daun, kemampuannya untuk
berfotosintesis juga meningkat sampai daun berkembang penuh
kemudian mulai menurun secara perlahan. Daun tua yang hampir
mati, menjadi kuning dan tidak mampu berfotosintesis karena
rusaknya klorofil dan hilangnya fungsi kloroplas (Salisbury dan
Ross, 1995:82).
2) Genetik
Pembentukaan klorofil dibawa oleh suatu gen tertentu
didalam kromosom. Gen secara tidak langsung menentukan
jumlah klorofil yang akan dibentuk karena faktor ini secara
langsung menentukan jumlah protoklorofil yang merukan
prekusor klorofil. Apabila gen tersebut tidak ada maka tumbuhan
akan tampak putih. (Dwidjoseputro, 1983:18).
b) Faktor luar
Menurut Dwidjoseputro (1983:18-19), faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pembentukan klorofil antara lain:
1) Cahaya
Pada tumbuhan yang mengandung protoklorofil yang mirip
klorofil a. Protoklorofil mengandung kurang 2 atom H dari pada
klorofil a. Reduksi protoklorofil untuk menjadi klorofil a
memerlukan cahaya dan cahaya ini diserap sendiri oleh
protoklorofil untuk mengubah dirinya menjadi klorofil a. Oleh
karena itu, pada tumbuhan yang ditumbuhkan dalan gelap tidak
berhasil membentuk klorofil. Cahaya yang berlebihan juga member
pengruh buruk pada klorofil.
2) Oksigen
Oksigen diperlukan dalam sintesis klorofil karena klorofil b
terjadi dari klorofil a yang telah teroksidasi sehingga gugus CH3
pada cicin H dalam klorofil a berubah menjadi gugus –COH pada
klorofil b. Pada keadaan tanpa oksigen tumbuhan yang mengalami
etiolasi akan gagal membentuk klorofil meskipun diberi cukup
cahaya.
3) Temperatur
Temperatur antara 30C-48
0C merupakan kondisi yang baik
dalam pembentukan klorofil pada kebanyakan tumbuhan. Akan
tetapi, temperatur optimum bagi sintesis klorofil adalah 26oC-30
0C.
pembentukan klorofil akan gagal pada 440C-48
0C.
4) Air
Kekurangan air akan mengakibatkan disintegrasi klorofil
seperti yang terjadi pada rumput dan pepohonan di musim kering.
5) Karbohidrat
Karbohidrat terutama dalam bentuk gula sangat menentukan
keberhasilan pembentukan klorofil pada daun-daun yang tumbuh di
tempat gelap. Dengan tidak adanya gula, daun-daun tidak mampu
menghasilkan klorofil meskipun faktor-faktor lain tersedia.
6) Nitrogen, magnesium, besi
Unsur-unsur N, Mg, dan Fe merupakan bahan utama
pembentuk klorofil dan merupakn suatu condition sine qua non
(keharusan). kekurangan akan salah satu dari zat-zat tersebut
mengakibatkan klorosis pada tumbuhan
7) Mn, Cu, dan Zn
Unsur Mn, Cu, dan Zn membantu pembentukan klorofil.
Tanpa unsur-unsur tersebut tanaman akan mengalami klorosis.
10. Serapan Nitrogen oleh Tumbuhan dan Peranannya bagi Tumbuhan
Nitrogen merupakan unsur hara yang sangat sering membatasi
hasil tumbuhan. Nitrogen sangat penting dalam kehidupan tumbuhan,
karena merupakan komponen protein, asam nukleat dan beberapa bahan
penting lainnya. Sebagai penyusun protein, nitrogen sangat penting
keberadaannya dalam kehidupan tumbuhan. Nitrogen yang diserap
tumbuhan berada dalam bentuk NH4+
(ammonium) dan NO3-(nitrat). Cara
utama nitrogen masuk ke dalam tanah adalah melalui kegiatan jasad renik,
baik yang hidup bebas maupun yang bersimbiosis dengan
tumbuhan,akibat loncatan listrik di udara, serta terbawa oleh air hujan
dalam bentuk nitrat (Gardner, dkk. 1991:146).
Menurut Henry, Foth D. (1994:259), atmosfer mengandung 79 %
nitrogen (menurut volume) karena gas N2 yang lamban menolak bereaksi
dengan unsur-unsur lainnya untuk membuat suatu bentuk nitrogen yang
dapat digunakan oleh sebagian tanaman. Peningkatan persediaan nitrogen
dalam tanah untuk tanaman terdiri atas peningkatan jumlah fiksasi biologi
atau penambahan pupuk nitrogen.
Kelimpahan nitrogen mendorong pertumbuhan yang cepat dengan
perkembangan daun dan batang hijau tua yang lebih besar. Meskipun salah
satu fungsi nitrogen yang paling menyolok adalah dorongan pertumbuhan
vegetative diatas tanah, pertumbuhan ini tidak dapa berlangsung kecuali
dengan adanya cukup banaya fosfor, kalium, dan unsure-insur utama
lainnya yang tersedia (Henry, Foth D. 1994:265-267).
Menurut Henry, Foth D. (1994:267), persediaan nitrogen yang
cukup dapat digunakan selama kehidupan awal tanaman mungkin
merangsang pertumbuhan dan menghasilkan kedewasaan yang lebih awal.
Akan tetapi, adanya kelebihan nitrogen sepanjang musim pertumbuhan
tanaman sering memperpanjang masa pertumbuhan.
Keperluan nitrogen lebih banyak ditunjukan oleh penampilan daun-
daun yang hijau muda sampai kuning. Gejala kekurangan nitrogen
biasanya di tandai dengan daun-daun di bagian bawah yang lebih tua mulai
berubah menjadi hijau muda, kemudian berubah menjadi kuning
diujungnya. Daun itu seluruhnya mungkin berubah menjadi kuning,
meskipun jaringan-jaringanya masih hidup dan penuh (Henry, Foth
D.1994:267). Sedangkan menurut Salisbury dan Ross (1995:143),
tumbuhan yang terlalu banyak mendapatkan nitrogen biasanya mempunyai
daun berwarna hijau tua dan lebat, dengan sistem akar yang kerdil.di
jelaskan juga oleh Tisdale et al. (1990: 57), bahwa nitrogen adalah unsur
hara makro yang sangat diperlukan tanaman. Bila dalam keadaan
kekurangan akan menghambat pertumbuhan vegetatif tanaman dan
sebaliknya akan memperpanjang fase pemasakan buah. Nitrogen adalah
unsur makro primer yang merupakan komponen utama berbagai senyawa
dalam tubuh tanaman. Tanaman yang tumbuh harus mengandung nitrogen
dalam membentuk sel-sel baru. Fotosintesis menghasilkan karbohidrat dan
O2, namun proses tersebut tidak bisa berlangsung untuk menghasilkan
protein dan asam nukleat bilamana nitrogen tidak tersedia. Nitrogen yang
tersedia bagi tanaman dapat mempengaruhi pembentukan protein, dan
disamping itu juga merupakan bagian integral dari klorofil (Nyakpa dkk.,
1988: 86).
B. Penelitian yang Relevan
1. Penelitian Irwanto (2003) dalam “Pengaruh Hormon IBA (indole butyric
acid) terhadap Persen jadi Stek Pucuk Meranti putih (Shorea
montigena)”, diperoleh hasil bahwa pemberian hormon IBA dengan
tingkat konsentrasi 2000 ppm meningkatkan “persen jadi” stek batang
Gofasa (Vitex cofassus Reinw), dimana rata-rata persen jadi stek yang
berakar mencapai 85 %.
2. Penelitian Sri Ramadiana (2007) dalam “Respon Pertumbuhan Setek
Lidah Mertua (Sansevieria trifasciata var. Lorentii) pada Pemberian
Berbagai Konsentrasi IBA dan Asal Bahan Tanam”, diperoleh hasil
bahwa aplikasi 0 dan 1000 ppm IBA menghasilkan waktu muncul tunas
lebih cepat 14-17 hari dibandingkan 2000 dan 4000 ppm IBA, dan
konsentrasi IBA 2000 ppm menghasilkan pertumbuhan akar terbaik pada
variabel waktu muncul akar dan jumlah akar sedangkan IBA 0 ppm
menghasilkan pertumbuhan terbaik pada variabel waktu muncul tunas,
persen setek bertunas dan bobot basah tunas.
3. Hasil penelitian Delima Nababan (2009) dalam “Penggunaan Hormon
IBA Terhadap Stek Ekaliptus Klon IND 48” diperoleh bahwa
pemberian hormone IBA yang tepat pada konsentrasi 2000 ppm karena
hormone IBA yang tidak tepat dapat menghambat pertumbuhan tanaman.
4. Hasil penelitian Dyan Yoseph Mardani (2005) dalam “Pengaruh Jumlah
Ruas dan Komposisi Media Tanam terhadap Pertumbuhan Bibit Stek
Nilam (Pogostemon cablin. Benth)” tentang komposisi media tanam pada
stek tanaman nilam adalah:
Perlakuan Persentase hidup
Tanah+pasir (1:1) 68.072 %
Tanah+pupuk kandang (1:1) 74.072 %
Pasir+pupuk kandang(1:1) 81.480 %
Tanah+pasir+pupuk kandang (1:1:1) 83.332 %
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi media tanam
memberikan pengaruh yang baik terhadap persentase hidup.
5. Hasil dari penelitian I Gede Tirta (2006) dalam “Pengaruh Beberapa
Jenis Media Tanam dan Pupuk Kandang terhadap Pertumbuhan Vegetatif
Anggrek Jamrud (Dendrobium macrophyllum A. Rich.)”. Diperoleh hasil
Interaksi perlakuan berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap
pertumbuhan anggrek D. macrophyllum. Media campuran pakis dan
kadaka yang ditambah dengan pupuk kandang meningkatkan
pertambahan berat kering total tanaman (54,81%), pertambahan berat
basah total tanaman (67,48%), pertambahan panjang akar
(41,63%)pertambahan jumlah daun (70,73%), pertambahan tinggi
tanaman (59,01%) dan jumlah tunas (72,22%).
6. Dalam penelitian Praptiningsih (2009) dalam “Serapan N, Kandungan
Klorofil dan Laju Fotosintesis Polytrias sp Menurut Faktor Jarak Tempat
Tumbuh dari Pusat Letupan Lumpur Garam Bledug Kuwu Grobogan”.
Diperoleh hasil bahwa serapan N tumbuhan Polytrias sp memiliki
hubungan regresi secara positif yang signifikan dengan kandungan
klorofil. Kandungan klorofil berhubungan kuat dengan laju fotosintesis.
Serapan N daun dan kandungan klorofil berkorelasi positif dengan laju
fotosintesis.
7. Hasil penelitian Andriyono (2010) dalam “Uji Provenan Tanaman
Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) pada Tingkat Persemaian di
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
(BBPBPTH) Purwobinangun Yogyakarta”. Diperoleh hasil bahwa
kandungan N jaringan daun tinggi maka kandungan klorofil juga tinggi
disebabkan oleh tanaman Nyamplung yang berkemampuan dalam
penyerapan air dan unsur hara (N,Mg,Fe).
C. Kerangka Berpikir
Media tanam merupakan komponen utama dalam bercocok tanam.
Media tanam yang akan digunakan harus disesuaikan dengan jenis tanaman
yang ingin ditanam. Menentukan media tanam yang tepat dan standar untuk
jenis tanaman yang berbeda habitat asalnya merupakan hal yang sulit. Hal ini
dikarenakan setiap daerah memiliki kelembapan dan kecepatan angin yang
berbeda. Secara umum, media tanam harus dapat menjaga kelembaban sekitar
akar, menyediakan cukup udara, dan dapat menahan ketersediaan unsur hara.
Media tanam tidak hanya sebagai tempat tumbuh bagi tanaman tetapi
sebagai sarang hama dan penyakit, sehingga pemilihan media tanam yang
tepat diharapkan dapat mendukung pertumbuhan tanaman. Media tanam
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman
terutama bibit. Hal ini dikarenakan media dapat mempengaruhi ketersediaan
unsure hara dan penyedia lingkungan bagi perkembangan akar. Ada dua
macam media murni yang digunakan yaitu pasi dan tanah. Pasir digunakan
dalam media murni karena sifatnya yang cepat kering akan memudahkan
proses pengangkatan bibit tanaman yang dianggap sudah cukup umur untuk
dipindahkan ke media lain. Sementara bobot pasir yang cukup berat akan
mempermudah tegaknya setek batang. Selain itu, keunggulan media tanam
pasir adalah kemudahan dalam penggunaan dan dapat meningkatkan sistem
aerasi serta drainase media tanam dan media murni tanah ini digunakan
sebagai media yang paling familiar sebagai media pertumbuhan
Penggunakan media campuran pupuk kandang diharapkan dapat
diperoleh media yang paling baik bagi tanaman nyamplung. Karena media ini
mengandung bahan mineral, unsur hara dan lingkungan yang lebih baik dari
pada media murni. Karena menurut Henry Foth D. 1994:265-267,
kelimpahan nitrogen mendorong pertumbuahn yang cepat dengan
perkembangan daun dan batang hijau tua yang lebih besar. Henry Foth D.
(1994:267) menyatakan bahwa persediaan nitrogen yang cukup dapat
digunakan selama kehidupan awal tanaman mungkin merangsang
pertumbuhan dan menghasilkan kedewasaan yang lebih awal.
Perbanyakan bibit nyamplung secara vegetatif dengan stek merupakan
teknik yang telah lama diterapkan. Untuk mempercepat perakaran stek
diperlukan perlakuan khusus yaitu dengan permberian hormon dari luar.
Kelompok auksin yang baik untuk perakaran terutama untuk tanaman
kehutanan adalah kelompok IBA (Indole Butyric Acid).
Berdasarkan penjelasan di atas maka dilakukan penelitian tentang
pengaruh aplikasi hormon IBA dan komposisi media tanam terhadap
pertumbuhan stek batang tanaman nyamplung.
D. Hipotesis Penelitian
1. Pemberian hormon IBA (Indole Butyric Acid) pada konsentrasi 2000 ppm
akan memberikan pengaruh optimal terhadap pertumbuhan stek batang
tanaman nyamplung.
2. Komposisi media tanam yang tepat akan memberikan pengaruh optimal
terhadap pertumbuhan stek batang tanaman nyamplung.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Kelompok
(RALK) 2 faktor percobaan yaitu konsentrasi hormon IBA dan komposisi
media tanam. Pemberian hormon IBA dilakukan dengan 5 konsentrasi
hormon yang berbeda yaitu 0 ppm, 1000 ppm, 2000 ppm, 3000 ppm, dan
4000 ppm. Sedangkan media tanam yang digunakan terdiri dari 4 jenis
komposisi yaitu (tanah + pasir), (tanah + pupuk kandang), (pasir + pupuk
kandang), (tanah + pasir + pupuk kandang). Sehingga dalam penelitian ini
terdapat 20 kombinasi perlakuan seperti pada Tabel 2:
Tabel 2. Kombinasi perlakuan pada masing-masing parameter
Konsentrasi
Hormon IBA
Komposisi media tanam
M0 M1 M2 M3
H0 M0 H0 M1 H0 M2 H0 M3 H0
H1 M0 H1 M1 H1 M2 H1 M3 H1
H2 M0 H2 M1 H2 M2 H2 M3 H2
H3 M0 H3 M1 H3 M2 H3 M3 H3
H4 M0 H4 M1 H4 M2 H4 M3 H4
Keterangan :
H0 = 0 ppm
H1 = 1000 ppm
H2 = 2000 ppm
H3 = 3000 ppm
H4 = 4000 ppm
M0 = tanah + pasir M1 = tanah + pupuk kandang M2 = pasir + pupuk kandang M3 = tanah + pasir + pupuk kandang
Dari 20 kombinasi perlakuan masing-masing dilakukan 10 ulangan, sehingga
keseluruhan ada 200 batang stek tanaman nyamplung dengan lay out
penelitian seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Lay out penelitian dari keseluruhan variasi perlakuan
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di lapangan dan di laboratorium yang meliputi.
1. Penelitian lapangan, dilakukan di Balai Besar Penelitian Bioteknologi
dan Pemuliaan Tanaman Hutan (B2PBPTH) Purwobinangun Yogyakarta
Jalan Palagan Tentara Pelajar KM. 15 Telp.(0274)895954, 896080
2. Penelitian laboratorium, dilakukan di Laboratorium Biologi FMIPA
UNY dan Institut Pertanian (INSTIPER)
Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Oktober 2010
(M0H0)1 (M2H3)8 (M3H0)10 (M3H2)3 (M3H1)8 (M1H1)1 (M0H4)1 (M0H2)10 (M2H0)7 (M3H3)5
(M3H3)6 (M0H0)2 (M2H4)5 (M1H1)9 (M3H2)4 (M3H2)5 (M1H4)10 (M2H0)6 (M0H4)3 (M1H0)9
(M1H0)10 (M1H3)9 (M0H0)3 (M1H3)1 (M3H4)6 (M3H1)9 (M2H0)5 (M0H4)2 (M2H4)1 (M0H4)4
(M0H4)5 (M3H4)3 (M3H4)4 (M0H0)4 (M0H2)7 (M2H0)4 (M1H1)2 (M3H1)1 (M1H0)8 (M1H3)7
(M1H3)8 (M3H3)7 (M2H3)9 (M1H4)7 (M0H0)5 (M1H4)9 (M3H2)6 (M3H4)9 (M1H4)2 (M2H0)8
(M2H0)9 (M2H0)10 (M1H1)8 (M0H1)10 (M1H3)2 (M0H0)6 (M0H1)3 (M1H0)7 (M3H1)2 (M1H4)3
(M2H3)7 (M2H4)4 (M3H2)2 (M3H4)5 (M2H0)3 (M3H4)7 (M0H0)7 (M1H1)3 (M3H2)8 (M3H2)9
(M3H2)10 (M1H1)7 (M0H1)9 (M0H2)6 (M1H4)8 (M0H2)8 (M2H4)9 (M0H0)8 (M3H3)4 (M1H1)5
(M1H1)6 (M1H4)5 (M3H3)8 (M2H0)2 (M1H2)6 (M0H1)2 (M1H0)6 (M1H3)5 (M0H0)9 (M3H1)3
(M3H1)4 (M2H1)6 (M0H2)5 (M2H4)6 (M0H3)3 (M0H4)10 (M1H3)4 (M3H2)7 (M1H1)4 (M0H0)10
(M2H1)5 (M0H1)8 (M2H0)1 (M3H1)7 (M0H1)1 (M2H2)6 (M0H2)9 (M0H1)4 (M1H3)6 (M2H2)10
(M0H3)9 (M3H2)1 (M0H4)7 (M2H3)10 (M2H4)7 (M1H0)5 (M2H3)3 (M2H2)8 (M0H1)5 (M2H4)2
(M1H4)4 (M0H3)10 (M3H1)6 (M2H1)8 (M2H1)9 (M1H3)3 (M2H2)7 (M3H3)3 (M3H4)10 (M0H1)6
(M0H1)7 (M3H0)9 (M0H3)1 (M2H2)4 (M1H0)4 (M0H3)4 (M3H3)2 (M3H0)5 (M2H2)9 (M0H3)8
(M2H4)3 (M0H4)6 (M2H1)7 (M0H3)2 (M2H3)1 (M2H1)10 (M3H0)4 (M1H4)1 (M2H1)3 (M1H2)1
(M1H2)2 (M3H1)5 (M2H2)3 (M1H0)3 (M2H2)5 (M2H3)2 (M0H3)5 (M2H3)4 (M3H0)6 (M3H4)1
(M3H4)2 (M0H2)4 (M1H3)10 (M0H4)8 (M1H1)10 (M3H0)3 (M1H2)8 (M0H3)6 (M2H3)5 (M2H1)4
(M3H0)8 (M2H2)2 (M1H0)2 (M1H2)5 (M0H4)9 (M2H4)8 (M3H4)8 (M2H1)2 (M1H2)10 (M0H2)2
(M0H2)3 (M1H2)3 (M1H4)6 (M3H3)9 (M3H0)2 (M3H3)1 (M2H1)1 (M2H4)10 (M0H3)7 (M2H3)6
(M2H2)1 (M1H0)1 (M1H2)4 (M3H0)1 (M3H3)10 (M1H2)7 (M3H1)10 (M1H2)9 (M0H2)1 (M3H0)7
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Aplikasi Hormon merupakan penerapan hormon sebagai perangsang
pertumbuhan akar dengan menggunakan konsentrasi yang berbeda yaitu 0
ppm, 1000 ppm, 2000 ppm, 3000 ppm, dan 4000 ppm
2. Komposisi Media yaitu campuran beberapa media tanam yang digunakan
sebagai tempat tumbuh tanaman meliputi (tanah + pasir), (tanah + pupuk
kandang), (pasir + pupuk kandang), dan (tanah + pasir + pupuk kandang)
3. Pertumbuhan stek meliputi panjang akar, tinggi tanaman, kandungan
klorofil, dan serapan N jaringan daun
D. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
a) Konsentrasi Hormon IBA
H0 = 0 ppm
H1 = 1000 ppm
H2 = 2000 ppm
H3 = 3000 ppm
H4 = 4000 ppm
b) Komposisi Media Tanam
M0 = tanah + pasir
M1 = tanah + pupuk kandang
M2 = pasir + pupuk kandang
M3 = tanah + pasir + pupuk kandang
2. Variabel tergayut
a) Persentase hidup stek nyamplung
b) Panjang akar yang tumbuh
c) Jumlah akar
d) Bobot basah
e) Bobot kering
f) Kandungan klorofil
g) Serapan N jaringan
E. Obyek penelitian
Obyek dalam penelitian ini adalah stek tanaman Nyamplung
F. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat dan Bahan Kegiatan di lapangan
a. Pembuatan media tanam
1) Alat yang digunakan adalah Polybag ukuran 18x15 cm
2) Bahan yang digunakan meliputi tanah, pasir, dan pupuk kandang
3) Fungisida dengan menggunakan antracol
b. Pengukuran faktor mikroklimat dan edafik
1) Hygrometer (Sato Kerryoki, SK 110 THR type 1)
2) Thermometer (Sato Kerryoki)
3) Lux meter (NT 1332 Nakamura Scientific Japan)
4) Soil tester (Demetra Pat. 193478E. M System Soil Tester Tokyo)
5) Anemometer
c. Pengukuran tinggi tunas dengan penggaris
d. Pengambilan sampel dengan menggunting bagian pangkal daun
(dengan kriteria yang telah ditentukan). Alat yang digunakan meliputi.
1) Gunting
2) Kantong plastik 1 kg
3) Spidol
4) Kertas label
2. Alat dan Bahan Kegiatan di laboatorium
a. Pembuatan kosentrasi hormon IBA
1) Alat yang digunakan
a) Bekker glass 500 ml
b) Timbangan digital (a&d company limited 0,001 gr)
c) Tabung ukur
d) Pipet
e) Kertas saring
2) Bahan yang digunakan meliputi.
a) Etanol 96%
b) Hormon IBA
b. Pengukuran kadar klorofil
1) Alat yang digunakan meliputi .
a) Spektrofotometer type spektronik 20 D
b) Cuvet
c) cawan (lumping porselen)
d) Mortar
e) Tabung reaksi( Pyrex. Iwaki) 250 ml
f) Timbangan digital (A&D Company limited 0,001 gr)
g) Pengaduk kaca
h) Pipet
i) Kertas saring
j) Aluminium foil
2) Bahan yang digunakan meliputi.
a) Daun Nyamplung
b) Etanol 96 %
c. Pengukuran berat basah dan berat kering
1) Alat yang digunakan meliputi:
a) Oven pengering
b) Timbangan digital
c) Amplop
2) Bahan yang digunakan adalah stek tanaman Nyamplung
G. Prosedur Penelitian
a. Parameter mikroklimat
1) Suhu udara dengan menggunakan thermometer udara
2) Kelembaban udara dengan menggunakan hygrometer
3) Intensitas cahaya matahari dengan menggunakan lux-meter
4) Kecepatan angin dengan menggunakan anemometer
b. Parameter edafik
1) Keasaman (pH) dan kelembaban media menggunakan Soil tester
2) Suhu media dengan menggunakan thermometer tanah
3) N tersedia media diukur di Laboratoium Tanah INSTIPER
c. Tempat atau lahan stek
1) Membuat tempat penyetekan berupa sungkup yang terbuat dari bambu
dan penutup plastik dengan tinggi 1 meter
2) Mengatur intensitas cahaya matahari dengan memasanag penghalang
paranet hitam di atas sungkup
d. Pembuatanan media tanam
1) Menyiapkan media tanam
a) M0 campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 1:1
b) M1 campuran tanah dan pupuk dengan perbandingan 1:1
c) M2 campuran pasir dan pupuk dengan perbandingan 1:1
d) M3 campuran tanah, pasir, dan pupuk dengan perbandingan 1:1:1
2) Memasukan media tanam kedalam polybag hingga penuh
3) Media tanam kemudian di siram dengan fungisida untuk mematikan
jamur atau mikroorganisme
e. Pengambilan stek
1) Menentukan tanaman induk yang sehat dan cukup umur untuk diambil
batangnya sebagai bahan stek batang
2) Memilih batang yang memenuhi kriteria yaitu tumbuh sehat yang
memiliki mata tunas, diameter sekitar 1-2 cm dan panjang 10 cm
3) Menyiapkan alat potong gunting stek yang tajam dan steril
4) Memotong batang dengan kriteria 2-4 daun sempurna, daun dipotong
1/3 bagian untuk mengurangi proses transpirasi
5) Membersihkan pisau atau gunting stek setiap selesai melakukan
pemotongan ke dalam alkohol 96% untuk mengurangi penularan dan
persebaran penyakit tanaman
6) Batang stek direndam di dalam ember yang berisi air agar tidak layu
7) Memotong sedikit ujung pangkal batang stek
f. Pembuatan Hormon IBA
Menurut Sri Setyati Harjadi. (2009: 35) bahwa untuk stek berkayu
diberikan auksin 1000-5000 ppm
1) Menyiapkan zat pengatur tumbuh IBA
a. Larutan hormon dibuat dengan cara bubuk hormon dilarutkan
kedalam 1 ml etanol
b. Untuk 1000 ppm dibuat dari 1000 mg dicampur akuades hingga
mencapai 1000 ml
c. Untuk 2000 ppm dibuat dari 2000 mg dicampur akuades hingga
mencapai 1000 ml
d. Untuk 3000 ppm dibuat dari 3000 mg dicampur akuades hingga
mencapai 1000 ml
e. Untuk 4000 ppm dibuat dari 4000 mg dicampur akuades hingga
mencapai 1000 ml
2) Mencelupkan bagian pangkal stek sedalam 2 cm selama 10 detik
3) Menanamkan kedalam media yang sudah disiapkan sedalam 5 cm
g. Tahap pemeliharaan
Menyiram media tanam secara teratur untuk menjaga kelembaban
h. Pengukuran
1) Persentase hidup stek nyamplung dihitung menggunakan rumus
%100stek alJumlah tot
hidup yangstek Jumlah Hidup % x
2) Panjang akar yang tumbuh yaitu mengukur akar terpanjang mulai dari
pangkal sampai ujung akar tanaman nyamplung
3) Jumlah akar yaitu menghitung seluruh jumlah akar induk yang tumbuh
pada batang tanaman nyamplung
4) Bobot basah yaitu penimbangan tanaman segar dengan timbangan
digital
5) Bobot kering yaitu penimbangan tanaman yang sudah dikeringkan
dengan oven pengering pada suhu 1000C. Sebelum dimasukan oven,
tanaman dimasukan dalam amplop agar tetap utuh
6) Pengukuran kandungan klorofil daun nyamplung menggunakan
spektrofotometer di Laboratorium Biologi FMIPA UNY. Kandungan
klorofil diukur menggunakan Metode Winterman dan De Mots dengan
cara sebagai berikut.
a. Penyiapan Larutan Klorofil
(1) Menimbang sampel daun nyamplung sebanyak 0,1 gram dan
diekstrak (digerus menggunakan cawan porselin) dengan sedikit
pelarut ethanol 96%
(2) Sampel daun yang telah digerus disaring dengan kertas saring
untuk diambil filtratnya
(3) Memasukkan filtrat ke dalam tabung reaksi, kemudian
ditambahkan dengan pelarut ethanol sehingga volume larutan
menjadi 10 ml
b. Kalibrasi Transmittan
(1) Menghidupkan spektrofotometer sebelum digunakan untuk
mengukur agar alat tersebut stabil
(2) Menuangkan pelarut ethanol 96% ke dalam tabung cuvet sampai
tanda batas
(3) Membersihkan dan mengeringkan tabung cuvet
(4) Mengatur panjang gelombang spektrofotometer yaitu 649 nm
(klorofil a) dan 665 nm (klorofil b)
(5) Memasukkan tabung cuvet ke dalam spektrofotometer,
kemudian membuat nilai “transmittan” menjadi 100% dengan
memutar tombol pengatur sinar
c. Pengukuran Klorofil
(1) Menuangkan larutan klorofil ke dalam tabung cuvet sampai
garis batas
(2) Membersihkan permukaan tabung cuvet dengan tisu dan
dimasukkan ke dalam spektrofotometer
(3) Mencatat nilai absorbansi untuk setiap panjang gelombangnya
d. Menghitung kandungan klorofil total masing-masing sampel dengan
menggunakan formula:
Klorofil a (mg/l) = 13,7 (abs 665) – 5,67 (abs 649)
Klorofil b (mg/l) = 25,8 (abs 649) – 7,60 (abs 665)
Klorofil total (mg/l) = 20,0 (abs 649) + 6,10 (abs 665)
7) Pengukuran N jaringan daun dilakukan di laboratorium Tanaman,
INSTIPER Yogyakarta dengan cara sebagai berikut.
a. Memasukkan 200 mg cuplikan daun nyamplung ke dalam labu
destruksi, ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat dan dibiarkan selama 24
jam, kemudian ditambahkan 2,5 ml H2O2 pekat, dipanaskan dalam
blok degister atau hot plate (270 °C selama 30 menit) sampai jernih,
kemudian angkat dan didinginkan
b. Jika cairan belum jernih ditambahkan 5 tetes H2O2 pekat, kemudian
dipanaskan kembali selama 10 menit, diangkat dan didinginkan.
Langkah ini diulangi sampai cairan menjadi jernih (bahan organik
sudah hancur semua)
c. Setelah dingin, isi labu destruksi dituangkan melalui corong gelas ke
dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan aquades sampai batas
tanda, ditutup dan goyangkan agar homogen
d. Mengambil 25 ml larutan (c) dan dimasukkan ke dalam tabung
destilasi, kemudian ditambahkan 20 ml NaOH 45% untuk destilasi
e. Destilat ditampung pada erlenmeyer yang berisi 4 ml Asam Borat
4% dengan indikator campuran BCG-MR sampai volume 200 ml
f. Titrasi destilat dengan menggunakan H2SO4 0,05 N hingga berubah
warna. Volume titrasi dicatat sebagai data
g. Melakukan langkah-langkah seperti diatas untuk blanko (tanpa
sampel)
Formula yang digunakan adalah:
N %1001425/10042)(
xcontohmg
xxSOxNHBT
Keterangan:
T = cc H2SO4 dalam titrasi baku
B = cc H2SO4 dalam titrasi blanko
N H2SO4 = Normalitas H2SO4
8) Pengukuran N tersedia media tanam dilakukan di laboratorium tanah
INSTIPER Yogyakarta dengan cara sebagai berikut:
a. Memasukan 200 gram sampel tanah yang sudah diketahui kadar
airnya kedalam labu kyeldahl (500 cc), kemudian menambah 0,5 -
0,7 gram Ca(OH)2 atau setengah sendok teh, 200 cc air suling,
beberapa tetes minyak mineral dan sedikit kelereng gelas (pecahan
batu apung)
b. Menghubungkan labu dengan alat destilasi. Ujung tabung pendingin
dicelupkan kedalam 25 cc asam borat 4% yang mengandung 4 tetes
larutan indikator campuran.
c. Hidrolisa alkalin dengan Ca(OH)2 dijalankan pada temperatur didih
selama 30 menit (waktu dihitung dari mulai mendidih).
d. Menyuling amonia yang terbebas masuk kedalam larutan asam borat.
Mula-mula indikator dalam larutan penampung berwarna semu
jambon. Dengan bertambah banyak jadi hijau bebiruan. 22 cc larutan
asam borat 4% mampu menangkap 48 mg N (58 mg NH3)
e. Setelah selesai penyulingan larutan penampung diangkat sehabis
ujung tabung pendingin disemprot bersih dengan air suling. Asam
borat yang terpakai menampung NH3 dititrasi kembali dengan
larutan H2SO4 ¼ N (regensia No. 4). Sampai warna indikator tepat
hilang
f. Mengerjakan hidrolisa blanko dengan cara yang sama seperti diatas
menggunakan kertas saring sebagai pengganti tanah.
Formula yang digunakan adalah:
%N dalam tanah = t
xNxBT 4,1)( , dimana
T = cc H2SO4 dalam titrasi baku
B = cc H2SO4 dalam titrasi blanko
N = Normalitas H2SO4
t = berat contoh tanah kering mutlak (t = 100/100+ Ka x b)
Kg/ha
N dalam lapis olah = %N x dx b.v x 1000, dimana
%N = kadar n dari perhitungan diatas
d = tebal lapis dalam cm
b.v = berat volume lapis olah
H. Teknik Analisis Data
Rancangan penelitian ini adalah Analisis varian faktorial 4x5, untuk
mengetahui ada tidaknya efek interaksi antara konsentrasi hormon IBA
dengan komposisi media tanam terhadap pertumbuhan tanaman Nyamplung
berdasarkan tinggi tanaman, panjang akar, bobot basah dan kering, N jaringan
dan kandungan klorofil. Apabila hasilnya signifikan maka dilakukan uji Jarak
Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test-DMRT) untuk melihat
efek sederhana faktor konsentrasi hormon IBA dan komposisi media tanam
yang berbeda terhadap pertumbuhan tanaman Nyamplung. Sedangkan untuk
mengetahui pengaruh konsentrasi hormon IBA dan komposisi media tanam
terhadap jumlah akar dilakukan uji Kruskall-Wallis.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan salah satu usaha untuk memilih jenis
komposisi media tanam dengan pemberian konsentrasi hormon IBA yang
optimal bagi pertumbuhan stek batang tanaman Nyamplung.
1. Kondisi Fisik Lingkungan
Pada penelitian ini, kondisi fisik lingkungan yang diukur meliputi
kondisi mikroklimat dan kondisi edafik. Kondisi mikroklimat mencakup
suhu udara, kelembaban udara, intensitas cahaya dan kecepatan angin.
Sedangkan kondisi edafik yang diukur sesuai dengan perlakuan media
mencakup pH media, kelembaban, dan kadar N tersedia. Tabel 4
pengambilan data dilakukan pada pagi hari berkisar 09.00-11.00 WIB.
Tabel.4 Rata-rata Kondisi Mikroklimat pada Penelitian antara Bulan
Juni-Oktober 2010
No Parameter Hasil Pengukuran
1 Suhu udara 31oC
2 Kelembaban udara 80%
3 Intensitas cahaya 4850 Lux
4 Kecepatan Angin 46,5 m/s
Penelitian dilakukan di B2BPTH Purwobinangun yang terletak
pada ketinggian 420 dpl, dengan curah hujan 1878 mm/tahun.
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa keadaan mikroklimat daerah
penelitian memiliki kondisi lingkungan yang baik bagi pertumbuhan
Nyamplung. Menurut Sofwan Bustomi (2008:11), suhu yang baik bagi
pertumbuhan Nyamplung dalam rentang 18-330C.
Tabel 5. Kondisi Edafik Berbagai Media Tanam
Parameter Hasil pengukuran
M0 M1 M2 M3
pH media 6 6,3 6,7 6,5
Kelembaban
tanah 39,9% 39,5% 39,5% 39%
Suhu tanah 260 C 27
0 C 27
0 C 28
0 C
N tersedia (%) 19,634 29,574 39,699 30,860
Berdasarkan Tabel 5 ditunjukkan adanya perbedaan kandungan hara pada
masing-masing media tanam. Penambahan pupuk kandang pada media
cenderung meningkatkan pH media. Media yang mengandung pupuk
kandang memiliki kandungan N tersedia yang lebih tinggi dibandingkan
media tanpa campuran pupuk kandang.
2. Keberhasilan Stek Tanaman Nyamplung
a. Persentase Hidup Stek Tanaman Nyamplung
Pengaruh perbedaan konsentrasi hormon IBA dan komposisi
media tanam terhadap rerata persentase hidup stek nyamplung dapat
dilihat pada grafik berikut.
Gambar 4. Grafik Hasil Rerata Persentase Hidup Stek Tanaman
Nyamplung pada Umur 20 MST.
Berdasarkan Gambar 4 ditunjukkan bahwa rerata persentase hidup
stek batang nyamplung pada perlakuan hormon IBA lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol. Pada konsentrasi 1000-2000 ppm
mengalami peningkatan, sedangkan pada konsentrasi 3000-4000 ppm
mengalami penurunan tingkat stimulasinya.
Hasil analisis varian (Lampiran 3) ditunjukkan bahwa
perbedaaan rerata persentase hidup stek tanaman nyamplung pada
konsentrasi hormon IBA maupun komposisi media tanam berbeda
nyata (p<0,05). Hal itu berarti persentase hidup tanaman dipengaruhi
oleh faktor hormon IBA dan faktor komposisi media tanam.
Tabel 6. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Konsentrasi Hormon IBA
terhadap Persentase Hidup Stek Tanaman Nyamplung
Hormon IBA N Rata-rata
H0 4 42.50a
H1 4 57.50b
H2 4 65.00c
H3 4 57.50b
H4 4 55.00b
Keterangan : Nilai rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom
menunjukkan tidak ada beda nyata pada taraf α = 0,05
menurut analisis DMRT.
Berdasarkan hasil analisis DMRT di atas ditunjukkan bahwa rerata
persentase hidup pada perlakuan pemberian hormon IBA lebih tinggi
dari kelompok kontrol. Nilai rerata persentase hidup paling optimal
dicapai pada konsentrasi hormon IBA 2000 ppm (H2). Hal ini berarti
faktor hormon IBA memacu persentase hidup stek Nyamplung.
Tabel 7. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Komposisi Media Tanam
terhadap Persentase Hidup Stek Tanaman Nyamplung
Hormon IBA N Rata-rata
M0 5 50.00a
M1 5 60.00b
M2 5 54.00a b
M3 5 58.00b c
Berdasarkan hasil analisis DMRT di atas ditunjukkan bahwa rerata
persentase hidup stek pada perlakuan komposisi media tanam lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol. Retata tinggi stek mengalami
peningkatan hingga M1, namun tingkat stimulasi menurun pada
media diatas M1. Hal ini berarti komposisi media tanam memacu
terhadap tinggi stek Nyamplung terutama pada M1
b. Tinggi Stek Tanaman Nyamplung
Hasil rerata tinggi stek tanaman Nyamplung sebagai respon
terhadap faktor jenis hormon IBA dan komposisi media tanam
disajikan dalam grafik berikut.
Gambar 5. Grafik Rerata Tinggi Stek Tanaman Nyamplung pada
Umur 20 MST.
Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa rerata tinggi stek tanaman
nyamplung pada perlakuan hormon IBA lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol. Pada konsentrasi 2000 ppm (H2) mengalami
peningkatan rerata, namun tingkat stimulasinya menurun pada
konsentrasi IBA diatas konsentrasi 2000 ppm. Hal ini berarti hormon
IBA dapat memacu tinggi stek tanaman Nyamplung.
Hasil analisis varian (Lampiran 3) ditunjukkan bahwa rerata
tinggi stek tanaman nyamplung pada konsentrasi hormon IBA
maupun komposisi media tanam berbeda nyata (p<0,05). Hal itu
berarti tinggi tanaman dipengaruhi oleh faktor hormon IBA dan
faktor media tanam.
Tabel 8. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Hormon IBA terhadap
Tinggi Stek Tanaman Nyamplung
Hormon IBA N Rata-rata
H0 12 12.67a
H1 12 15.08ab
H2 12 23.08d
H3 12 19.92c
H4 12 15.58b
Berdasarkan hasil analisis DMRT di atas ditunjukkan bahwa rerata
tinggi stek tanaman nyamplung pada perlakuan hormon IBA lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol. Rerata tinggi stek pada
perlakuan pemberian hormon IBA mengalami peningkatan hingga
H2, namun tingkat stimulasi menurun pada konsentrasi hormon IBA
diatas H2. Hal ini berarti faktor hormon IBA dapat memacu tinggi
stek tanaman Nyamplung.
Tabel 9. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Komposisi Media Tanam
terhadap Tinggi Stek Tanaman Nyamplung
Media Tanam N Rata-rata
M0 15 16.00a
M1 15 19.13b
M2 15 17.20a b
M3 15 16.73a
Berdasarkan hasil analisis DMRT di atas ditunjukkan bahwa rerata
tinggi stek pada perlakuan komposisi media tanam lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol. Retata tinggi stek mengalami
peningkatan hingga M1, namun tingkat stimulasi menurun pada
media diatas M1. Hal ini berarti komposisi media tanam memacu
terhadap tinggi stek Nyamplung terutama pada M1.
c. Panjang Akar Stek Tanaman Nyamplung
Hasil rerata panjang akar stek tanaman Nyamplung sebagai
respon terhadap faktor jenis hormon IBA dan komposisi media tanam
disajikan dalam grafik berikut.
Gambar 6. Grafik Hasil Rerata Panjang Akar Stek Tanaman
Nyamplung Pada Umur 20 MST.
Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa rerata panjang akar stek tanaman
nyamplung pada perlakuan hormon IBA lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol. Hal itu berarti hormon IBA dapat memacu
pertumbuhan akar tanaman Nyamplung. Rerata panjang akar tertinggi
yaitu 17,66 cm dicapai pada media (M1) pada konsentrasi hormon
2000 ppm (H2), namun pada konsentrasi 3000-4000 ppm mengalami
penurunan tingkat stimulasinya. Hal itu berarti hormon IBA dapat
memacu panjang akar stek tanaman Nyamplung.
Hasil analisis varian (Lampiran 3) menunjukan bahwa rerata
panjang akar stek tanaman nyamplung pada kosentrasi hormon IBA
maupun komposisi media tanam berbeda nyata (p<0,05). Hal itu
berarti panjang akar dipengaruhi oleh faktor hormon IBA dan faktor
media tanam.
Tabel 10 Hasil Analisis DMRT Pengaruh Hormon IBA terhadap
Panjang Akar Stek Tanaman Nyamplung
Hormon IBA N Rata-rata
H0 12 6.67a
H1 12 8.50a b
H2 12 14.75c
H3 12 9.83b
H4 12 8.08a b
Berdasarkan hasil analisis DMRT di atas ditunjukkan bahwa rerata
panjang akar stek tanaman nyamplung pada perlakuan hormon IBA
lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Pada rerata panjang akar
stek pada perlakuan pemberian hormon IBA mengalami peningkatan
hingga H2, namun tingkat stimulasi menurun pada konsentrasi
hormon IBA diatas H2. Hal ini berarti faktor hormon IBA dapat
memacu panjang akar stek tanaman Nyamplung.
Tabel 11. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Komposisi Media Tanam
terhadap Panjang Akar Stek Tanaman Nyamplung
Berdasarkan tabel 10 hasil analisis DMRT di atas ditunjukkan bahwa
rerata panjang akar stek pada perlakuan komposisi media tanam lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol. Retata panjang akar stek
mengalami peningkatan hingga M1, namun tingkat stimulasi menurun
pada media M2. Sedangkan pada media M3 menghambat panjang
akar stek. Hal ini berarti komposisi media tanam memacu terhadap
panjang akar stek Nyamplung dan menghambat pada media M3.
d. Jumlah Akar Stek Nyamplung
Hasil rerata jumlah akar stek tanaman Nyamplung sebagai
respon terhadap faktor jenis hormon IBA dan komposisi media tanam
disajikan dalam grafik berikut.
Media Tanam N Rata-rata
M0 15 8.67a b
M1 15 12.47c
M2 15 9.93b
M3 15 7.20a
Gambar 7. Grafik Hasil Rerata Jumlah Akar Stek Tanaman
Nyamplung pada Umur 20 MST.
Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa rerata jumlah akar stek
tanaman nyamplung pada perlakuan hormon IBA lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol. Hal itu berarti hormon penumbuh akar
dapat memacu pertumbuhan stek Nyamplung. Pada perlakuan
hormon IBA dengan konsetrasi 1000-2000 ppm mengalami
peningkatan, dan konsentrsi 3000-4000 ppm mengalami penurunan
tingkat stimulasinya. Namun rerata jumlah akar yang paling banyak
adalah pada konsentrasi 2000 ppm (H2) yaitu sebanyak 8 akar dan
dicapai pada kombinasi media tanah dengan pupuk kandang (M1).
Hal itu berarti hormon penumbuh akar dapat memacu jumlah akar
tanaman Nyamplung.
Hasil analisis varian (Lampiran 3) menunjukan bahwa rerata
jumlah akar stek tanaman nyamplung pada antar konsentrasi hormon
maupun komposisi media tanam adalah berbeda nyata (p<0,05). Hal
itu berarti jumlah akar tanaman dipengaruhi oleh faktor hormon IBA
dan faktor media tanam.
Tabel. 12 Hasil Analisis Kruskall Wallis Pemberian Konsentrasi
Hormon IBA dan Komposisi Media Tanam terhadap
Jumlah Akar Atek Tanaman Nyamplung
komposisi media tanam kosentrasi hormon
Mean Rank Assymp
Sig. Mean Rank Assymp
Sig M0 M1 M2 M3 H0 H1 H2 H3 H4
22.70 38.50 26.23 34.57 0.044 15.79 33.25 46.54 32.08 24.83 0.000
Dari tabel 12 ditunjukkan bahwa pemberian konsentrasi hormon IBA
dan komposisi media tanam memberikan pengaruh yang signifikan
(p<0,05) terhadap jumlah akar. Hal ini berarti kedua faktor
berpengaruh terhadap jumlah akar.
e. Bobot Basah Stek Tanaman Nyamplung
Hasil rerata bobot basah stek tanaman nyamplung sebagai
respon terhadap faktor jenis hormon penumbuh akar dan komposisi
media tanam disajikan dalam Gambar 8.
Gambar 8. Grafik Bobot Basah Stek Tanaman Nyamplung pada
Umur 20 MST.
Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa rerata bobot basah stek tanaman
nyamplung pada perlakuan hormon IBA lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol. Hal itu berarti hormon IBA dapat memacu
pertumbuhan stek tanaman Nyamplung. Perlakuan hormon IBA
dengan konsentrasi 1000-2000 ppm rerata bobot basah mengalami
peningkatan, sedangkan pada konsentrsi 3000-4000 ppm mengalami
penurunan tingkat stimulasinya. Namun rerata bobot basah yang
paling optimal pada konsentrasi 2000 ppm (H2) yaitu 20,256 gr dan
dicapai pada kombinasi media tanah dengan pupuk kandang (M1).
Hal ini berarti hormon IBA dan komposisi media tanam dapat
memacu bobot basah tanaman Nyamplung.
Hasil analisis varian (Lampiran 3) ditunjukkan bahwa rerata
bobot basah stek tanaman nyamplung pada antar konsentrasi hormon
IBA maupun komposisi media tanam adalah berbeda nyata (p<0,05).
Hal itu berarti bobot basah tanaman dipengaruhi oleh faktor hormon
IBA dan faktor media tanam.
Tabel. 13 Hasil Analisis DMRT Pengaruh Hormon IBA terhadap
Bobot Basah Stek Tanaman Nyamplung
Berdasarkan hasil analisis DMRT di atas ditunjukkan bahwa rerata
bobot basah pada perlakuan hormon IBA lebih tinggi dibandingkan
Hormon IBA N Rata-rata
H0 12 6.80983a
H1 12 9.38717b
H2 12 17.76258d
H3 12 13.65858c
H4 12 11.14742b
dengan kontrol. Meskipun tingkat stimulasinya menurun pada
konsentrasi 3000- 4000 ppm, namun pada konsentrasi ini masih dapat
memacu pertumbuhan stek tanaman Nyamplung. Pada kosentrasi
2000 ppm (H2) mempunyai nilai rerata yang paling optimal. Hal ini
berarti faktor hormon IBA dapat memacu rerata bobot basah stek
tanaman Nyamplung.
Tabel 14. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Komposisi Media Tanam
terhadap Bobot Basah Stek Tanaman Nyamplung
Media Tanam N Rata-rata
M0 15 11.32413a
M1 15 14.02760b
M2 15 10.02773a
M3 15 11.63300a
Berdasarkan tabel 13 hasil analisis DMRT di atas ditunjukkan bahwa
rerata bobot basah stek pada perlakuan komposisi media tanam lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol. Retata bobot basah stek
mengalami peningkatan hingga M1, namun tingkat stimulasi menurun
pada media M3. Sedangkan pada M2 menghambat pertumbuhan stek.
Hal ini berarti komposisi media tanam memacu terhadap rerata bobot
basah stek Nyamplung dan menghambat pada media M2.
f. Bobot Kering Stek Tanaman Nyamplung
Hasil rerata bobot kering stek tanaman nyamplung sebagai
respon terhadap faktor jenis hormon penumbuh akar dan komposisi
media tanam disajikan dalam grafik berikut.
Gambar 9. Grafik Hasil Rerata Bobot Kering Stek Tanaman
Nyamplung pada Umur 20 MST.
Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa rerata bobot kering stek tanaman
nyamplung pada perlakuan hormon IBA lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol. Pada konsentrasi 1000-2000 ppm rerata bobot kering
mengalami peningkatan, sedangkan pada konsentrasi 3000-4000 ppm
tingkat stimulasinya mengalami penurunan. Rerata bobot kering
paling optimal dicapai pada konsentrasi 2000 ppm (H2) pada
kombinasi media tanah dengan pupuk kandang (M1). Hal ini berarti
hormon IBA dan komposisi media tanam dapat memacu rerata bobot
kering stek tanaman Nyamplung.
Hasil analisis varian (Lampiran 3) ditunjukkan bahwa rerata
bobot kering stek tanaman nyamplung pada antar konsentrasi hormon
IBA maupun komposisi media tanam adalah berbeda nyata (p<0,05).
Hal itu berarti bobot kering tanaman dipengaruhi oleh faktor hormon
IBA dan faktor media tanam.
Tabel 15. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Hormon IBA terhadap
Bobot Kering Stek Tanaman Nyamplung
Hormon IBA N Rata-rata
H0 12 1.94600a
H1 12 2.65267b
H2 12 4.85342d
H3 12 3.59500c
H4 12 3.00500b
Berdasarkan hasil analisis DMRT di atas ditunjukkan bahwa rerata
bobot kering pada perlakuan hormon IBA lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol. Tingkat stimulasi menurun pada konsentrasi 3000-
4000 ppm, namun masih dapat memacu pertumbuhan stek tanaman
Nyamplung. Pada kosentrasi 2000 ppm (H2) mempunyai nilai rerata
yang paling optimal. Hal ini berarti faktor hormon IBA dapat
memacu rerata bobot kering stek tanaman Nyamplung.
Tabel 16. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Komposisi Media Tanam
terhadap Bobot Kering Stek Tanaman Nyamplung
Media tanam N Rata-rata
M0 15 3.35607b
M1 15 3.68860b
M2 15 2.60593a
M3 15 3.19107b
Berdasarkan tabel 16 hasil analisis DMRT di atas ditunjukkan bahwa
rerata bobot kering stek pada perlakuan komposisi media tanam lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol. Retata bobot basah stek
mengalami peningkatan hingga M1, namun menghambat
pertumbuhan stek pada media diatas M1. Hal ini berarti komposisi
media tanam memacu terhadap rerata bobot kering stek Nyamplung,
terutama pada M1.
g. Kandungan klorofil Stek Tanaman Nyamplung
Hasil rerata kandungan klorofil stek tanaman nyamplung
sebagai respon terhadap faktor jenis hormon IBA dan komposisi
media tanam disajikan dalam grafik berikut.
Gambar 10. Hasil Rerata Kandungan Klorofil Stek Tanaman
Nyamplung pada Umur 20 MST.
Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa rerata kandungan klorofil stek
tanaman nyamplung pada perlakuan hormon IBA lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol. Hal itu berarti hormon penumbuh akar
dapat memacu pertumbuhan stek tanaman Nyamplung. Pada
perlakuan hormon IBA dengan kosentrasi 1000-2000 ppm rerata
kandungan klorofil mengalami peningkatan. Sedangkan konsentrsi
3000-4000 ppm mengalami penurunan tingkat stimulasinya. Namun
nilai rerata yang paling optimal pada kosentrasi 2000 ppm (H2). Hal
itu berarti hormon penumbuh akar dapat memacu pertumbuhan stek
tanaman Nyamplung.
Hasil analisis varian (Lampiran 3) ditunjukkan bahwa rerata
kandungan klorofil stek tanaman nyamplung pada antar konsentrasi
hormon adalah berbeda nyata (p<0,05) dan tidak berbeda nyata
(p>0,05) menurut komposisi media. Hal itu berarti kandungan
klorofil tanaman dipengaruhi oleh faktor hormon IBA namun tidak
dipengaruhi oleh faktor media tanam.
Tabel 17. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Hormon IBA terhadap
Rerata Kandungan Klorofil Stek Tanaman Nyamplung
Hormon IBA N Rata-rata
H0 12 12.50767a
H1 12 13.94233ab
H2 12 16.32417c
H3 12 15.28058b c
H4 12 14.18167a b
Berdasarkan hasil analisis DMRT di atas ditunjukkan bahwa rerata
kandungan klorofil stek tanaman nyamplung pada perlakuan hormon
IBA lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Pada rerata
kandungan klorofil stek pada perlakuan pemberian hormon IBA
mengalami peningkatan hingga H2, namun tingkat stimulasi menurun
pada konsentrasi hormon IBA diatas H2. Hal ini berarti faktor hormon
IBA dapat memacu kandungan klorofil stek tanaman Nyamplung.
h. Serapan N Stek Tanaman Nyamplung
Hasil rerata serapan N stek tanaman nyamplung sebagai
respon terhadap faktor jenis hormon IBA dan komposisi media tanam
disajikan dalam grafik berikut.
Gambar 11. Grafik Hasil Rerata Serapan N Stek Tanaman
Nyamplung pada Umur 20MST.
Pada gambar 11 dapat dilihat bahwa rerata serapan N stek tanaman
nyamplung pada perlakuan hormon IBA lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol. Hal itu berarti hormon IBA dapat memacu
pertumbuhan stek tanaman Nyamplung.
Pada media tanam M1 dengan konsentrasi hormon 1000 ppm
(H1) menghambat pertumbuhan stek. Nilai rerata yang paling optimal
pada konsentrasi 2000 ppm (H2) dan mengalami penurunan tingkat
stimulasi hingga konsentrasi hormon 4000 ppm (H4). Pada media
tanam M2 mengalami peningkatan nilai N hingga konsentrasi hormon
4000 ppm (H4). Sedangkan untuk media tanam M3 dengan
konsentrasi 1000 ppm akan menghambat pertumbuhan stek. Nilai
rerata paling optimal pada konsentrasi 2000 ppm (H2) dan mengalami
penurunan tingkat stimulasi hingga konsentrasi hormon 4000 ppm
(H4). Dari keempat komposisi media tanam rerata paling optimal
yaitu pada media tanah dan pupuk kandang (M1) dan dicapai pada
konsentrasi hormon 2000 ppm (H2). Hal itu berarti hormon IBA
dapat memacu serapan N stek Nyamplung.
Hasil analisis varian (Lampiran 3) ditunjukkan bahwa rerata
serapan N pada konsentrasi hormon IBA berbeda nyata (p<0,05) dan
menurut komposisi media tidak berbeda nyata (p>0,05). Hal itu
berarti serapan N tanaman dipengaruhi oleh faktor hormon IBA dan
tidak dipengaruhi faktor media tanam.
Tabel 18. Hasil Analisis DMRT Pengaruh Hormon IBA terhadap
Rerata Serapan N Stek Tanaman Nyamplung
Hormon IBA N Rata-rata
H0 5 1.38075a b
H1 5 1.32425a
H2 5 1.55700b
H3 5 1.51450b
H4 5 1.55000b
Berdasarkan hasil analisis DMRT di atas ditunjukkan bahwa rerata
serapan N pada perlakuan hormon IBA lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol. Pada H1 mengalami penurunan rerata serapan N,
sehingga serapan N terhambat. Nilai rerata paling optimal pada H2.
Rerata serapan N mengalami penurunan tingkat stimulasi pada
konsentrasi hormon IBA diatas H1. Hal ini berarti faktor hormon IBA
dapat memacu serapan N stek tanaman Nyamplung.
B. PEMBAHASAN
1. Kondisi Mikroklimat
Media tanam merupakan salah satu syarat utama bagi
tumbuhan untuk dapat melangsungkan kehidupannya yaitu tumbuh dan
berkembang. Oleh karena itu media tanam harus banyak mengandung
unsur mikro dan unsur makro untuk pertumbuhannya. Media untuk
perakaran stek biasanya dipilih yang memunyai sifat menahan air besar
untuk mempertahankan kelembaban pada masa perakaran, sehingga
pertumbuhan akar stek tidak terhambat.
Pada penelitian ini suhu rata-rata adalah 310C dengan
kelembaban udara sebesar 80%, intensitas cahaya 4850 Lux dan
kecepatan angin sebesar 46,5 m/s. Suhu udara yang tinggi
menyebabkan adanya penguapan air laut. Selanjutnya uap-uap ini
dibawa oleh angin dari laut kedaratan sehingga mengakibatkan
kelembaban udara di sekitarnya tinggi. Semakin tinggi daratan maka
semakin tinggi kelembabannya. Intensitas cahaya matahari di lokasi
penelitian cukup tinggi. Perubahan itensitas cahaya mengakibatkan
perubahan pada suhu udara. Selain itu, kelembaban udara yang cukup
tinggi dapat menyebabkan permukaan tanah lebih dingin (kelembaban
tanah tinggi) sehingga suhu tanah pun rendah. Kecepatan angin cukup
kencang disebabkan sedikitnya tanaman-tanaman pelindung di sekitar
daerah penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sofwan Bustomi
(2008:11), suhu yang baik bagi pertumbuhan Nyamplung dalam
rentangan 18-330C. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang
menunjukan bahwa suhu sebesar 31oC. Dengan suhu yang tidak terlalu
tinggi, tanaman Nyamplung mampu bertahan hidup.
2. Kondisi Edafik
Adanya penambahan pupuk kandang memberikan pengaruh
yang berbeda terhadap kondisi edafik. Berdasarkan Tabel 5,
penambahan pupuk kandang cenderung menyebabkan meningkatnya N
tersedia. Hal ini karena pupuk kandang mengembangkan kehidupan
mikroorganisme yang diubah menjadi humus dan senyawa-senyawa
yang disintesanya menjadi bahan makanan yang berguna bagi tanaman.
Kondisi ini sesuai dengan pendapat Mul Mulyani Sutejo (1995: 97)
bahwa pupuk kandang dapat menambah tersediannya bahan makanan
(unsur hara) bagi tanaman.
Pada Tabel 5 tampak adanya keterkaitan antara kelembaban
media, suhu, dan N tersedia. Suhu media semakin menurun diikuti
kenaikan kelembaban media. Hal ini karena kelembaban udara yang
tinggi menyebabkan permukaan media menjadi dingin sehingga suhu
media menjadi rendah. Peningkatan derajat keasaman atau pH juga
mempengaruhi N tersedia. Berdasarkan fakta yang ada, pH media
meningkat dengan penambahan pupuk kandang. Hal ini ditegaskan oleh
Mul Mulyani Sutejo (1995: 67) bahwa pada pH 6,5 -7,5, unsur-unsur
hara tersedia cukup banyak.
3. Pengaruh Pemberian Hormon IBA dan Komposisi Media Tanam
terhadap Pertumbuhan Stek Tanaman Nyamplung
a. Persentase Hidup Stek Tanaman Nyamplung
Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian hormon IBA
cenderung memiliki pengaruh yang sama dengan komposisi media
tanam terhadap kehidupan stek Nyamplung. Hal ini diduga karena
media tanam yang terbatas dalam pengakaran sehingga kerja akar
terbatas.
Dari Gambar 4 pemberian hormon IBA cenderung memacu
persentase hidup stek tanaman nyamplung. Dari kelima perlakuan
pemberian hormon IBA yang pengaruhnya paling optimal dalam
memacu persentase hidup stek adalah pada konsentrasi 2000 ppm
(H2). Hal ini disebabkan hormon auksin yang berasal dari tanaman
sudah cukup untuk proses pertumbuhannya, sehingga jika diberikan
hormon dengan konsentrasi yang lebih tinggi akan menyebabkan
residu bagi tanaman itu sendiri, ataupun menghambat pertumbuhan.
Di tegaskan oleh pernyataan Kusumo (1994 : 34) pada kadar rendah
akan mendorong pertumbuhan tanaman, sementara pada kadar yang
lebih tinggi akan menghambat pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Sri Setyati Harjadi (2009: 31) bahwa pada tingkat
konsentrasi tinggi hormon IBA menyebabkan sel mengalami
kematian. Namun dalam penelitian ini pada konsentrasi 3000-4000
ppm masih memacu pertumbuhan stek, meskipun mengalami
penurunan tingkat stimulasi.
Perlakuan komposisi media cenderung tidak memberikan
pengaruh terhadap persentase hidup stek tanaman Nyamplung.
Namun pada media tanah dengan campuran pupuk kandang (M1)
mempunyai persentase tertinggi. Hal tersebut dikarenakan campuran
pupuk kandang akan menambah unsur hara dan tanah merupakan
media yang mampu menahan air, sehingga kelembaban akan terjaga.
Menurut Mul Mulyani Sutejo (1995: 97) bahwa media dengan
campuran pupuk kandang lebih baik untuk pertumbuhan, karena
pupuk kandang dapat menambah tersediannya bahan makanan
(unsur hara) bagi tanaman yang dapat diserapnya dari dalam tanah.
selain itu, pupuk kandang ternyata mempunyai pengaruh yang positif
terhadap sifat fisis dan kimiawi tanah, mendorong kehidupan
(perkembangan) jasad renik.
b. Tinggi Stek Tanaman Nyamplung
Pertumbuhan tanaman didefinisikan sebagai proses
pembelahan (peningkatan sel) dan pemanjangan sel. Salah satu
petunjuk memberikan ciri pertumbuhan adalah tinggi tanaman
(Gardner, F. P, et all. 1991:248). Pada penelitian ini, terlihat
perbedaan perlakuan pemberian hormon IBA dan komposisi media
terhadap tinggi stek. Pada perlakuan hormon IBA cenderung
memacu tinggi stek Nyamplung dibandingkan pada kelompok
kontrolnya. Hal tersebut karena tanaman pada perlakuan hormon
IBA akan mempercepat penyerapan hara dari media yang akan
meningkatkan tinggi tanaman. Apabila pertumbuhan akar lambat
maka penyerapan hara pun juga terhambat. Hal ini dijelaskan oleh
Frank B Salisbury, et all (1992: 142), tumbuhan menggapai
kuranganya pasokan unsur esensial dengan gejala yang khas, gejala
yang terlihat meliputi terhambatnya pertumbuhan akar, batang dan
daun serta klorosis atau nekrosis pada berbagai organ.
Pada kosentrasi hormon H2 (2000 ppm) memiliki tinggi
tanaman yang cenderung lebih optimal di antara perlakuan hormon
IBA yang lainnya. Pada konsentrasi 3000-4000 ppm mengalami
sedikit penurunan tingkat stimulasinya. Konsentrasi 3000-4000 ppm
dianggap dalam kadar rendah, sehingga masih dapat memacu tinggi
tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Kusumo (1994 : 34) bahwa
pada kadar hormon IBA yang lebih tinggi akan menghambat
pertumbuhan tanaman.
Nilai rerata tinggi stek tanaman Nyamplung pada perlakuan
komposisi media tanam lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.
Pada media M1 mempunyai rerata tinggi paling optimal, karena
media campuran dengan pupuk kandang banyak mengandung unsur
hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Hal ini sependapat dengan Mul
Mulyani Sutejo (1995:108) bahwa pupuk kandang dianggap sebagai
pupuk terlengkap karena selain menimbulkan tersediannya unsur-
unsur hara bagi tanaman juga mengembangkan kehidupan
mikroorganisme didalam tanah. Dengan demikian pada penelitian ini
rerata tinggi yang paling banyak adalah media tanah dan pupuk
kandang (M1)
c. Panjang Akar Stek Tanaman Nyamplung
Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian hormon
penumbuh akar cenderung memacu panjang akar stek Nyamplung
dibandingkan dengan kontrol. Pada konsentrasi 2000 ppm (H2)
mempunyai rerata panjang akar paling optimal, karena konsentrasi
ini masih baik untuk pertumbuhan akar yaitu tidak terlalu tinggi dan
tidak terlalu rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sri Setyati
Harjadi (2009: 34) bahwa kosentrasi hormon yang baik tidak terlalu
rendah dan tidak terlalu tinggi antara 2000 -4000 ppm. Hal itu di
buktikan oleh Hasil penelitian Sri Rama Diana (2007: 229) yang
menyatakan bahwa Konsentrasi IBA 2000 ppm menghasilkan
pertumbuhan akar terbaik pada variabel panjang akar dan jumlah
akar. Hormon IBA juga dapat memacu pembentukan akar stek
(Hartmann, et al, 1990) dan memacu pertumbuhan panjang akar
(Sebanek & Jesko, 1989). Hal ini didukung oleh pendapat
Rismunandar (1988) yang menyatakan bahwa IBA dapat
mempercepat tumbuhnya akar baru pada tanaman (bibit yang baru
dipindahkan dari persemaian pada beberapa jenis tanaman keras).
Nyamplung adalah tanaman yang menghendaki media tanam
yang dapat memberikan kondisi fisik, kimia dan biologi yang kondusif
sehingga dapat mendukung pertumbuhan akar pada khususnya dan
tanaman secara keseluruhan (Kurniawan Budiarto et all. 2005: 16).
Pada Gambar 6 media M3 cenderung menghambat, kemungkinan itu
disebabkan oleh suhu tanah meningkat dan rendahnya kelembaban
media. Menurut Kurniawan Budiarto et all. (2005: 16) bahwa media
perakaran untuk stek biasanya dipilih yang mempunyai sifat menahan
air yang besar untuk mempertahankan kelembaban pada masa
perakaran dan porus, sehingga pertumbuhan akar stek tidak terhambat.
Apabila tanaman ditempatkan pada media yang kering maka akarpun
juga tidak akan muncul. Hal itu sesuai dengan hasil penelitian ini
bahwa pemberian komposisi media tanam tanah dengan campuran
pupuk kandang (M1) cenderung memacu terhadap rerata panjang akar
stek Nyamplung secara optimal, karena tekstur tanah yang lembut
dan berpori sangat kecil sehingga memiliki sifat menahan air yang
baik. Memiliki pH cenderung netral yang merupakan syarat tumbuh
tanaman Nyamplung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sofwan
Bustomi (2008:11), bahwa tanaman Nyamplung dapat tumbuh pada
pH 4-7,5. Dengan campuran pupuk kandang pada media tanah akan
menambah unsur hara yang diperlukan tanaman. Sesuai dengan
pernyataan Mul Mulyani Sutejo (1995:108) bahwa pupuk kandang
menimbulkan tersediannya unsur-unsur hara bagi tanaman. Semakin
cepatnya pembentukan akar dari stek yang diberikan perlakuan
hormon IBA semakin lebih baik sistim perakarannya sehingga air dan
unsur-unsur hara dalam tanah yang diserap stek akan lebih banyak.
(Irwanto. 2003:9)
d. Jumlah Akar Stek Tanaman Nyamplung
Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian hormon
penumbuh akar cenderung meningkatkan jumlah akar stek
Nyamplung. Pada Gambar 4 ditunjukkan pengaruh hormon IBA dan
komposisi media tanam yang bervariasi, rerata jumlah akar yang
optimal pada konsentrasi 2000 ppm (H2) karena konsentrasi ini
masih efektif untuk pertumbuhan akar terutama untuk jumlah akar.
Hal itu dijelaskan pada Hasil penelitian Sri Rama Diana (2007: 229)
yang menyatakan bahwa Konsentrasi IBA 2000 ppm menghasilkan
pertumbuhan akar terbaik pada variabel jumlah akar. Ditegaskan
pula oleh Sri Setyati Harjadi (2009: 34) bahwa kosentrasi hormon
yang baik tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi antara 2000-
4000 ppm. Selain itu hormon IBA juga bersifat persisten, artinya
penguraiannya oleh enzim-enzim tanaman dapat dikatakan lambat.
Demikian juga translokasi (pengangkutan kebagian lain) IBA
berjalan lambat, sehingga IBA tetap berada disekitar tempat
aplikasinya. Kedua sifat tersebut menyebabkan IBA efektif dalam
induksi pengakaran.
Pemberian komposisi media tanam tanah dengan campuran
pupuk kandang (M1) cenderung memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap rerata jumlah akar stek Nyamplung, hal ini
dikarenakan tanah memiliki sifat menahan air yang baik. Hal itu
seperti yang di jelaskan oleh Kurniawan Budiarto et all (2005: 16),
bahwa media perakaran untuk stek biasanya dipilih yang mempunyai
sifat menahan air yang besar untuk mempertahankan kelembaban
pada masa perakaran dan porus, sehingga pertumbuhan akar stek
tidak terhambat. Apabila tanaman ditempatkan pada media yang
kering maka akar tidak akan muncul. Hal tersebut ditegaskan oleh
Frank B Salisbury (1992: 103), jika tumbuhan ditempatkan dalam
kondisi atmosfir yang cukup kering atau di tanah yang
kelembabannya rendah, maka tekanan akar tidak muncul sebab air
dalam batangnya berada di bawah tegangan dan bukan dibawah
tekanan.
Daya serap tanaman terhadap zat hara dalam media
tergantung pada permukaan akar yang aktif, kapasitas pertukaran ion
dari akar, produksi H+
dan HCO3 dan energi yang tersedia. Selain itu
keadaan mikroklimatik sangat berpengaruh terhadap penyerapan
hara oleh akar tanaman, seperti yang dikemukakan oleh Ridwan Al-
Huda (2006: 28), keadaan media yaitu zat hara, persediaan O2,
temperatur, cahaya dan pH sangat mempengaruhi penyerapan hara.
e. Bobot Basah dan Bobot Kering Stek Tanaman Nyamplung
Dalam Penelitian ini dilakukan pengukuran bobot basah dan
bobot kering tanaman. Hasil penelitian diperoleh bahwa pada
perlakuan komposisi media tanam cenderung lebih meningkatkan
nilai rerata dibandingkan kontrol. Pada media tanah dan pupuk
kandang (M1) rerata bobot basah dan bobot kering paling optimal
dibandingkan dengan media lain. Media ini mempunyai cukup unsur
hara dan dapat menahan air sehingga mudah tersedia bagi tanaman.
Bobot basah tanaman tergantung dari kadar air dalam tanaman yang
di absorbsi akar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Garner et all
(1991: 98) bahwa jaringan tanaman yang tumbuh cepat terutama
terdiri dari air. Kandungan air suatu tanaman sangat bervariasi antara
70 hingga 90 %, tergantung dari umur, spesies, jaringan tertentu
serta lingkungan sekitar. Air akan diserap oleh akar tanaman yang
dipengaruhi oleh kondisi edafik media terutama kelembaban media.
Sedangkan pada media (M2) cenderung menghambat.
Kemungkinan pada media (M2) memiliki pasokan unsur hara dan N
tersedia serta kelembaban tanah yang kurang sehingga bobot basah
dan bobot kering menjadi rendah. Ditegaskan pula oleh Djukri dan
Purwoko (2003:1), pertumbuhan tanaman erat kaitannya dengan hara
yang diserap dari dalam tanah, termasuk nitrogen. Penurunan kadar
nitrogen tanaman berpengaruh terhadap fotosintesis baik lewat
kandungan klorofil maupun enzim fotosintetik sehingga menurunkan
fotosintat (pati) yang terbentuk, akibatnya menurunkan bobot basah
dan bobot kering tanaman.
Pemberian hormon IBA cenderung memacu pertumbuhan,
meskipun pada konsentrasi 3000-4000 ppm mengalami penurunan
tingkat stimulasinya. Namun pada masing-masing media bobot
basah dan bobot kering yang paling optimal pada perlakuan
konsentrasi hormon 2000 ppm. Hal ini terjadi karena pemberian
konsentrasi hormon yang sesuai, dimana tidak terlalu tinggi dan
tidak terlalu rendah. Serta meningkatkan jumlah akar dan panjang
akar, sehingga bertambahnya tinggi dan ada banyak daun yang
terbentuk. Hal itu menyebabkan meningkatnya bobot basah dan
bobot kering tanaman. Hasil ini didukung oleh Gardner, et all (1991:
71), yang melaporkan berat kering tanaman penimbunan hasil
asimilasi CO2 sepanjang masa.
4. Pengaruh Pemberian Hormon IBA dan Komposisi Media tanam
Terhadap Kandungan Klorofil Stek Tanaman Nyamplung
Pada penelitian ini, perlakuan komposisi media tanam
cenderung meningkatkan rerata kandungan klorofil dibandingkan
dengan kontrol. Perbedaan kandungan klorofil disebakan adanya
perbedaan kemampuan dalam penyerapan air dan unsur hara (N, Mg,
Fe). Media tanah dan pupuk kandang (M1) serta pasir dan pupuk kadang
(M2) memliki kemampuan penyerapan air dan unsur hara dengan baik,
hal ini didukung oleh penambahan pupuk kandang dalam media.
Salisbury dan Ross (1995:297), menambahkan bahwa pada potensial air
yang sedikit, pembentukan klorofil akan terhambat. Dijelaskan pula
oleh Mul Mulyani Sutejo (1995:108) bahwa pupuk kandang
menimbulkan tersediannya unsur-unsur hara bagi tanaman juga
mengembangkan kehidupan mikroorganisme didalam tanah.
Pembentukan klrofil juga di pengaruhi beberapa faktor seperti:
gen, pembentukan klorofil seperti halnya dengan pembentukan pigmen-
pigmen lain pada hewan dan manusia yang dikontrol oleh suatu gen
tertentu di dalam kromosom. Apabila susunan materi genetik di dalam
gen tersebut tetap atau tidak berubah karena faktor luar maka,
pembentukan klorofil tidak akan terganggu. Cahaya, diperlukan dalam
reduksi protoklorofil untuk menjadi klorofil a dan sinar ini diserap
oleh protoklorofil untuk menjadi klorofil a. Pada penelitian ini, stek
tanaman Nyamplung cukup mendapatkan cahaya matahari sehingga
pembentukan klorofil tetap berjalan dengan baik. Oksigen (O2),
diperlukan dalam sintesis klorofil karena klorofil b terjadi dari
klorofil a yang telah teroksidasi sehingga gugus CH3 pada cincin II
dalam klorofil a berubah menjadi gugus –COH pada klorofil b.
Kekurangan air akan mengakibatkan disintegrasi klorofil. Selain itu
aerasi dan air berkaitan erat dengan aktivitas mikroorganisme tanah
yang berperan dalam penyediaan unsur hara yang ikut mendukung
biosintesis klorofil. Dalam penelitian ini, stek tanaman nyamplung
cukup mendapat O2 dan air yang digunakan untuk membentuk klorofil.
Temperatur, antara 300C-48
0C merupakan suatu kondisi yang baik
untuk pembentukan klorofil pada kebanyakan tanaman, akan tetapi
yang paling baik adalah pada suhu 260C-30
0C. Namun dalam penelitian
ini temperatur udara 310C, sehingga masih dalam kondisi yang baik
untuk membentuk klorofil. Seperti ditegaskan oleh Dwidjoseputro
(1983:18-19) pembentukan klorofil dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain gen, cahaya, oksigen, air dan temperatur.
5. Pengaruh Pemberian Hormon IBA dan Komposisi Media Tanam
terhadap Serapan N Stek Tanaman Nyamplung
Nitrogen merupakan unsur hara yang sangat sering membatasi
hasil tumbuhan. Nitrogen sangat penting dalam kehidupan tumbuhan
karena merupakan komponen protein, asam nukleat dan beberapa bahan
penting lainnya. Sebagai penyusun protein, nitrogen sangat penting
keberadaannya dalam kehidupan tumbuhan. Nitrogen yang terbawa
oleh air hujan di serap tumbuhan berada dalam bentuk NH4+
(ammonium) dan NO3-(nitrat). Hal ini di tegaskan oleh Gardner, et all.
(1991:146) bahwa cara utama nitrogen masuk ke dalam tanah adalah
melalui kegiatan jasad renik, baik yang hidup bebas maupun yang
bersimbiosis dengan tumbuhan, akibat loncatan listrik diudara, serta
terbawa oleh air hujan dalam bentuk nitrat.
Penyerapan hara oleh permukaan akar tanaman dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu tanah (media tanam), kandungan air tanah,
kerapatan dan distribusi akar. Serapan N menggambarkan kadar N yang
dapat diangkut oleh tanaman dari dalam tanah, sehingga dalam
penelitian ini dilakukan uji kadar serapan N jaringan tanaman.
Hasil penelitian menunjukkan kadar serapan N dipengaruhi
secara nyata oleh perlakuan konsentrasi hormon dan tidak secara nyata
oleh komposisi media tanam. Namun meningkatnya serapan N terkait
dengan meningkatnya jumlah N tersedia dalam tanah dan suhu media.
Suhu media tinggi maka nitrogen akan berkurang. Hasil analisis N
jaringan diketahui tanaman yang dapat menyerap secara optimal pada
media (M1) dengan kadar N tersedia yang cukup. Sedangkan kadar
serapan N jaringan pada tanaman yang lain hampir sama. Kadar serapan
N paling rendah terjadi pada media dan konsentraasi hormon (M3H1)
yaitu 1,183 % dan yang paling optimal pada (M1H2) yaitu 1,747 %.
Kadar serapan N termasuk rendah karena menurut Rosmarkam, A dan
Nasih. W, (2002: 51) kandungan serapan N tanaman rata-rata 2-6%.
Kekurangan nitrogen dapat terlihat dimulai dari daunnya, warna yang
hijau agak kekuning-kuningan selanjutnya berubah menjadi kuning
lengkap. Jaringan daun mati dan inilah yang menyebabakan daun
selanjutnya menjadi kering dan berwarna merah kecoklatan. Menurut
Mul Mulyani Sutejo (1995:70-71) bahwa kandungan unsur N yang
rendah menimbulkan daun penuh dengan serat, karena menebalnya
membran sel daun, sedangkan selnya berukuran kecil.
Penyerapan hara yang maksimal terjadi karena lingkungan atau
media mendukung dan menyediakan hara tersebut. Penggunaan
berbagai komposisi media tanam menyebabkan pH media bervariasi.
pH media dari berbagai komposisi media tanam berkisar antara 6-6,7.
Keadaan ini hampir mendekati netral sehingga nitrogen menjadi lebih
tersedia dan lebih mudah diserap akar, karena pada pH ini unsur hara
lebih mudah larut dalam air. Penurunan serapan N oleh tumbuhan
disebabkan karena lingkungan panas dapat mengakibatkan kehilangan
nitrogen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Otto Soemarwoto (1992:
225) bahwa kehilangan nitrogen dipengaruhi oleh berbagai faktor antara
lain pH tanah yang rendah, kondisi kering dan panas, serta angin yang
kuat. Hal ini ditegaskan pula oleh Mul Mulyani Sutejo (1995: 43).
Nitrogen yang berasal dari bahan organik tertentu dengan proses
aminisasi (peristiwa senyawa organik diubah menjadi amina dengan
bantuan mikrobia) – amonifikasi – nitrifikasi. Proses nitrifikasi (proses
perubahan amonium menjadi nitrat (NO3-) yang dilakukan oleh bakteri
oksidas enzimatis) dan amonifiksasi (proses perubahan amina menjadi
amonium) akan terhambat pada tanah yang memilki pH rendah. Hal ini
disebabkan karena proses tersebut membutuhkan pH yang mendekati
netral (6,5-7,5).
Tanah masam mengakibatkan terhambatnya proses nitrifikasi
dan amonifikasi, sehingga kandungan nitrogen tersedia dalam tanah
rendah dan diikuti serapan N jaringan juga rendah. Proses yang
dipengaruhi oleh kondisi tersebut adalah proses nitrifikasi, karena
bakteri Nitrobacter dan Nitrosomonas yang dibutuhkan dalam proses
tersebut jumlahnya turun dan kerjanya kurang efektif. Hal tersebut di
tegaskan oleh Henry Foth. D. (1994: 88) bahwa mikroorganisme
perombak bahan organik menjadi nitrogen hidup dalam tanah dengan
pH antara 6-8.
Kadar serapan N yang tinggi membuat tanaman tumbuh
dengan baik karena unsur N membantu pertumbuhan vegetatif tanaman.
Seperti dikatakan Gardener et all (1991: 432), bahwa N berperan dalam
pertumbuhan vegetatif tanaman karena salah satu fungsi N adalah
sebagai pembentuk klorofil daun yang berfungsi dalam proses
fotosintesis. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Praptiningsih (2009:
89) bahwa peningkatan kandungan N daun diikuti dengan
meningkatnya kandungan klorofil.
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Konsentrasi hormon IBA yang efektif sampai 20 MST dalam memacu
pertumbuhan stek batang nyamplung adalah 2000 ppm
2. Komposisi media tanam yang efektif sampai 20 MST dalam pertumbuhan
stek batang tanaman nyamplung adalah campuran tanah dan pupuk
kandang (M1) dengan perbandingan 1:1
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka bagi peneliti lain yang ingin
mengembangkan penelitian ini disarankan untuk mencoba variasi hormon
penumbuh akar yang lain, variasi konsentrasi hormon yang digunakan,
menggunakan komposisi media tanam dengan variasi jenis pupuk yang
digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 1982 Dasar-Dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh.
Angkasa. Bandung.
Ance Gunarsih Kartasapoetra. 1993. Klimatologi (Pengaruh Iklim Terhadap
Tanah dan Tanaman). Jakarta: Bumi Aksara.
Anonim. 1991. Kesuburan Tanah. Jakarta: Penerbit Direktorat Pendidikan Tinggi.
_______. (2005). Dalam www.kebonkembang.com/panduan-dan-tip-rubrik-
35/145-ragam-media-tanam.html, diakses pada tanggal 24 Juli 2010, jam
15.00 WIB.
Bambang G, Sitompul M. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta :
UGM
Campbell, dkk. 2002 Biologi Edisi Kelima Jilid 1. Jakarta : Erlangga.
Curtis, O. F and Clark, D. G. 1950. An Introduction to Plant Physiology. London:
Mc Graw Hill Book Company Inc.
Diana Nababan. 2009. Penggunaan Hormon IBA Terhadap Stek Ekaliptus Klon
IND 48. Medan: Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara.
Djukri dan Purwoko, B. S. (2003). Pengaruh Naungan Paranet terhadap Sifat
Toleransi Tanaman Talas (Colocasoa esculenta (L.) Sgcott.). Dalam
http://desktop.tp.ac.id. Diakses 6 November 2010 jam 17.02 WIB.
Dwidjoseputro. 1989. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka.
Endang Saptiningsih. 2007. “Peningkatan Produktivitas Tanah Pasir untuk
Pertumbuhan Tanaman Kedelai dengan Inokulasi Mikorhiza dan
Rhizobium”. Semarang: UNDIP. Jurnal. Vol. 9, No. 2, Desember 2007(
Hal. 58 – 61).
Foth D. Henry . 1994. Dasar- Dasar Ilmu Tanah. Edisi Keenam. Alih Bahasa
Soenartono Adisoemarto. Jakarta: Erlangga.
Gadner .F. P, B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1991 Fisiologi Tanaman
Budidaya (Herawati Susilo Terjemahan). Jakarta: UII Press.
Hasan Basri Jumin. 1992. Ekologi Tanaman (Suatu Pendekatan Fisiologis).
Jakarta: Rajawali Press.
Hartmann, H.T., D.E. Kester, F.T. Davies, and R. L. Geneve. 1997. Plant
propagation principles and practices. 6th ed. Prentice Hall, Englewood
Cliffs, N.J. Dalam Sasanti Widiarsih, dkk. (2008). “Perbanyakan Tanaman
Secara Vegetatif Buatan”. Halm. 1-14.
I Gede Tirta. 2006. Pengaruh Beberapa Jenis Media Tanam dan Pupuk Kandang
terhadap Pertumbuhan Vegetatif Anggrek Jamrud (Dendrobium
macrophyllum A. Rich.). Bali: UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun
Raya “Eka Karya” Bali, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Jurnal. Volume 7, Nomor 1 Januari 2006 Halaman: 81-84.
Ika Susanti Hendriyani, dan Nintya Setiari. 2009. “Kandungan Klorofil dan
Pertumbuhan Kacang Panjang (vigna Sinensis) pada Tingkat Penyediaan
Air yang Berbeda”. Jurnal Sains & Mat. (Vol. 17 No. 3, Juli 2009 ) Hlm.
145-150.
Irwanto. 2001. Pengaruh Hormon IBA (Indole Butyric Acid) terhadap Persen jadi
Stek Pucuk Meranti Putih (Shorea montigena). Ambon. Dalam
www.irwantoshut.com.Diakses tanggal 24 Februari 2010, jam15.00 WIB.
____. 2003. “Pengaruh Hormon IBA (Indole Butyric Acid) terhadap
Keberhasilan Stek Gofasa(Vitex cofassus Reinw)”. Ambon. Dalam
www.irwantoshut.com. Diakses tanggal 24 Februari 2010, jam 15.00 WIB.
Kurniawan Budiarto dan Yoyo Sulto. 2005. Proses Produksi “Panduan Budidaya
Krisan”. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat
Penelitian dan Pengembangan Holtikultura Balai Penelitian Tanaman Hias.
Lakitan, B. 1995. Hortikultura. Teori Budidaya & PascaPanen. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Mahfudz. 2005. ”Potensi dan Peluang Nyamplung sebagai Bahan Baku Biodisel
di Indonesia”. Dalam fudz1.multiply.com/journa. Diakses tanggal 24
Februari 2010, jam 15.00 WIB.
______. 2009. Pengaruh Ketuaan dan Posisi Cabang Pada Tajuk Pohon Induk
Terhadap Keberhasilan Okulasi Dan Produksi Stek Pucuk Jati (Tectona
grandis L.f). Yogyakarta: Badan Litbang Kehutanan (B2BPTH).
Mul Mulyani. S, & A.G Kartasapoetra. 2002. Pengantar Ilmu Tanah. Jakarta:
Rineka Cipta.
Mul Mulyani Sutejo. 1995. Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nugroho H. Prastowo,dkk. 2006. “Teknik Pembibitan dan Perbanyakan Vegetatif
Tanaman Buah”. Bogor: World Agroforestry Centre
(ICRAF)&WinrockInternational.Dalamhttp://www.worldagroforestry.org/
units/Library/books/pdfs/Prastowo%202006.pdf)Diaksestanggal 5 april
2010, jam 15.30 WIB.
Nurul Sumiasri dan Ninik Setyowati-indarto. (2001). “Tanggap Stek Cabang
Bambu Betung (Dendrocalamus asper) Pada Penggunaan Berbagai Dosis
Hormon IAA dan IBA”. Jurnal Natur Indonesia III (2).Hlm 121 – 128 .
Nyakpa, Y.M., A.A. Lubis., M.A. Pulung, A.G. Amrah, A. Munawar, B.H. Go,
dan N. Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Lampung: Universitas Lampung.
Otto Soemarwoto. 1992. Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan. Jakarta :
Gramedia.
Praptiningsih. 2009. Serapan N, Kandungan Klorofil dan Laju Fotosintesis
Polytrias sp Menurut Faktor Jarak Tempat Tumbuh dari Pusat Letupan
Lumpur Garam Bledug Kuwu Grobogan. Skripsi. Yogyakarta: Jurusan
Biologi FMIPA UNY.
Ridwan Al-Huda. 2006. Pengaruh Macam dan Dosis Pupuk Organik pada
Pertumbuhan Bibit jambu Mete (Anacardium occidentale L) Dalam
Polybag. Yogyakarta: Skripsi Fakultas Pertanian UST. (Tidak
dipublikasikan).
Rismunandar, 1988. Hormon Tanaman dan Ternak. PS Penebar Swadaya.
Jakarta.
Rinsema, W.T. 1986. Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta: Bhratara Karya
Aksara.
Rosmarkam, A dan Nasih. W. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Yogyakarta:
Kanisius.
Sebanek, J. & T. Jesko. 1989. Hormonal control of growth and development of the
root and the shoot in Kolek, J. & V. Kozinka. 1989. Physiology of the
plant root system. Kluwer Academic Publisher. The Netherlands: 27-30.
Sri Rama Diana. 2007. Respon Pertumbuhan Setek Lidah Mertua (Sansevieria
trifasciata var. Lorentii) pada Pemberian Berbagai Konsentrasi IBA dan
Asal Bahan Tanam. Jurusan Budidaya
PertanianUNILA:Lampung.Dalamwww.lemlit.unila.ac.id/file/arsip%2020
09/PROSIDING%20dies%20ke43%20UNILA%202008/ARTIKEL%20Pdf/
SRI%20RAMA%20DIANA%20224-229.pdf. Diakses tanggal 16 juni 2010,
pukul 11.00.
Sri Setyati Harjadi. 2009. Zat Pengatur Tumbuh (Pengenalan dan Petunjuk pada
Tanaman). Jakarta: Penebar Swadaya.
Sugeng Pudjiono. 1996. Dasar-dasar Umum Pembuatan Setek Pohon Hutan.
Yogyakarta: Badan Litbang Kehutanan (B2BPTH).
Suyetno. 2008. Pengaruh Jenis Hormon Penumbuh Akar Terhadap akeberhasilan
apembibitan aakrisan (Chrysanthemum morifolium R) dengan Stek yang
di Tanam Pada Media Arang Sekam. Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Biologi
FMIPA UNY.
Sofwan Bustomi., T. Rostiwati, R. Sudradjat, B. Leksono, A.S. Kosasih, I.
Anggraeni, D. Syamsuwida, Y. Lisnawati, Y. Mile, D. Djaenudin,
Mahfudz, E.Rahman. 2008. Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.)
Sumber Energi Biofuel yang Potensial. Jakarta: Pusat Informasi
Kehutanan.
Telly Kurniasari. 2003. Mempersiapkan Bibit di Persemaian. Bogor: Wetlands
International.
Titiek Islami dan Wani Hadi Utomo. 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman.
Semarang: IKIP Semarang Press.
Tisdale, S.L., E.L. Nelson, and J.D. Beaton. 1990. Soil Fertility and Fertilizer.
Fourth edition. New York: Mc Millan Pub. Co.
Yetty Heryati. 2007. Nyamplung. Bogor: Departemen Kehutanan Badan Litbang
Kehutanan.
Gambar 1. Pengukuran Tinggi Stek Gambar 2. Pengukuran Panjang Akar (cm)
Gambar 5. Hasil Stek pada Media M2 Gambar 6. Hasil Stek pada Media M3
Gambar 4. Hasil Stek pada Media M1 Gambar 3. Hasil Stek pada Media M0
LAMPIRAN 1
Dokumentasi Penelitian
1000
ppm
2000
ppm
3000
ppm
4000
ppm
1000
ppm
2000
ppm
0
pp
m
3000
ppm
4000
ppm
1000
ppm
2000
ppm
0
pp
m
3000
ppm
4000
ppm
1000
ppm
2000
ppm
0
pp
m
3000
ppm
4000
ppm
1000
ppm
2000
ppm
0
pp
m
3000
ppm
4000
ppm
Gambar 9. Persiapan Lahan
Gambar 7. Larutan Konsentrasi Hormon IBA
Gambar 8. Hasil Ekstrak Klorofil Daun
Gambar 10. Pembuatan Media Tanam
Gambar 11. Media Siap Tanam Gambar 12. Media Tanam dengan Sungkup
0 p
pm
1000
ppm
3000
ppm
3000
ppm
4000
ppm
2000
ppm
1000
ppm
0 p
pm
Gambar 13. Pembuatan Hormon IBA
............ Gambar 14. Penggerusan Daun
Nyamplung
Gambar 18. Stek Batang Nyamplung
Gambar 19. Perendaman dalam
Hormon IBA Gambar 20. Penanaman Stek
Nyamplung
Gambar 17. Pemotongan Batang Nyamplung
Gambar 24. Timbangan Digital untuk
Menimbang Bahan Kimia
Gambar 23. Timbangan Digital untuk
Menimbang Bobot Tanaman
Gambar 22. Termometer, Hygrometer,
dan Lux meter Gambar 21. Alat-alat untuk Membuat
Hormon IBA
Gambar 20. Spektrofotometer Gambar 19. Alat-alat untuk Mengukur
Kandungan Klorofil
LAMPIRAN 2. DATA PENGUKURAN
Data Pengukuran Tinggi Stek Batang Nyamplung
Minggu ke -2 Tanggal : 29 Mei 2010
No Perlakuan Tinggi (cm)
1 M0 H0 1,3 1,2 1,4 1,0 1,0 1,4 1,3 1,2 1,2 1,0
M0 H1 1,2 1,5 1,2 1,2 1,7 1,5 1,6 1,5 1,6 1,5
M0 H2 2,3 2,0 2,0 1,5 2,3 2,2 1,5 1,8 2,2 2,0
M0 H3 1,2 1,5 1,8 1,7 1,8 2,0 1,7 1,2 1,5 1,5
M0 H4 1,2 1,0 1,0 1,2 1,5 1,2 1,2 1,4 1,3 1,0
2 M1 H0 1,1 1,2 1,3 1,0 1,2 1,0 1,0 1,7 1,2 1,4
M1 H1 1,5 1,3 1,2 1,5 1,6 1,5 1,7 2,0 1,8 1,9
M1 H2 2,0 2,8 1,8 2,7 1,5 2,3 1,8 1,6 2,1 1,2
M1 H3 2,3 1,0 2,4 1,8 2,0 1,5 1,2 1,9 1,5 1,7
M1 H4 1,5 2,3 1,5 1,7 1,2 1,8 2,1 1,5 1,2 2,0
3 M2 H0 1,3 1,1 1,2 1,0 1,5 1,2 1,0 1,0 1,5 1,3
M2 H1 1,6 1,5 1,3 1,2 1,3 1,4 1,2 1,3 1,5 1,0
M2 H2 2,0 2,2 1,5 2,6 2,0 2,3 2,1 1,5 1,9 1,8
M2 H3 1,9 2,0 1,2 1,5 1,8 2,2 1,5 1,7 1,8 2,0
M2 H4 1,5 1,8 1,4 1,4 1,6 1,4 1,6 1,5 1,5 1,4
4 M3 H0 1,2 1,2 1,1 1,0 1,0 1,2 1,4 1,3 1,2 1,0
M3 H1 1,2 1,6 1,4 1,5 1,2 1,3 1,5 1,6 1,7 1,5
M3 H2 2,2 2,4 2,2 2,0 2,2 2,0 2,4 2,5 1,6 2,0
M3 H3 2,2 2,2 2,0 1,8 2,4 1,8 1,9 2,0 1,5 1,8
M3 H4 1,2 1,0 1,2 1,0 1,5 1,3 1,4 1,2 1,0 1,2
Keterangan :
M0 = tanah + pasir H0 = 0 ppm
M1 = tanah + pupuk kandang H1 = 1000 ppm
M2 = pasir + pupuk kandang H2 = 2000 ppm
M3 = tanah + pasir + pupuk kandang H3 = 3000 ppm
H4 = 4000 ppm
Minggu ke -4 Tanggal : 12 Juni 2010
No Perlakuan Tinggi (cm)
1 M0 H0 2,6 2,4 2,8 2,1 - 2,8 2,5 2,4 2,4 2,0
M0 H1 2,4 2,9 2,4 2,4 3,3 3,0 3,2 3,0 3,2 3,0
M0 H2 4,7 4,0 4,0 3,0 4,6 4,5 3,0 3,7 4,4 3,8
M0 H3 2,4 3,0 3,7 3,5 3,6 3,8 3,3 2,4 3,0 3,0
M0 H4 2,5 2,2 - 2,4 3,0 2,4 2,4 2,9 2,6 2,0
2 M1 H0 2,3 2,4 2,7 2,0 2,4 2,2 - 3,3 2,4 2,8
M1 H1 3,0 2,7 2,4 3,1 3,3 3,0 3,4 4,0 3,6 3,8
M1 H2 4,0 5,6 3,8 5,4 3,0 4,5 3,5 3,1 4,3 2,4
M1 H3 4,6 - 4,7 3,7 4,0 3,0 2,4 3,8 3,0 3,4
M1 H4 3,0 4,7 3,0 3,3 2,4 3,5 4,2 3,0 2,4 4,0
3 M2 H0 2,7 2,3 2,4 - 2,9 2,4 2,0 2,0 3,0 2,6
M2 H1 3,3 3,0 2,7 2,4 2,7 2,8 2,4 2,7 3,1 -
M2 H2 4,0 4,5 3,0 5,2 4,0 4,5 4,3 3,0 4,0 3,7
M2 H3 3,8 4,0 2,4 3,0 3,6 4,3 3,0 3,4 3,6 4,0
M2 H4 3,0 3,6 2,8 2,9 3,2 2,8 3,3 2,9 3,0 2,7
4 M3 H0 2,5 2,4 2,3 2,0 2,0 2,4 2,8 2,7 2,4 2,0
M3 H1 3,5 3,2 2,9 3,0 2,6 2,8 2,5 3,3 3,4 3,0
M3 H2 4,3 4,8 4,4 3,9 4,3 4,0 4,8 5,0 3,2 4,0
M3 H3 4,5 4,4 4,1 3,6 4,7 3,6 3,8 4,0 3,0 3,7
M3 H4 2,5 - 2,4 2,2 2,9 2,6 2,8 2,4 2,3 2,5
Keterangan :
M0 = tanah + pasir H0 = 0 ppm
M1 = tanah + pupuk kandang H1 = 1000 ppm
M2 = pasir + pupuk kandang H2 = 2000 ppm
M3 = tanah + pasir + pupuk kandang H3 = 3000 ppm
H4 = 4000 ppm
Minggu ke -6 Tanggal : 26 Juni 2010
No Perlakuan Tinggi (cm)
1 M0 H0 4,0 3,6 4,2 3,2 - 4,2 3,8 3,6 3,6 3,0
M0 H1 3,6 4,4 3,6 3,6 5,0 4,5 4,8 4,5 4,7 4,5
M0 H2 7,0 6,0 6,0 4,5 6,9 6,8 4,5 5,5 6,6 5,8
M0 H3 3,6 4,5 5,6 5,2 5,4 5,8 4,9 3,6 4,6 4,5
M0 H4 3,8 3,4 - 3,6 4,5 3,6 3,6 4,4 3,9 3,0
2 M1 H0 3,4 3,6 4,1 3,0 3,6 3,2 - 5,0 3,6 4,3
M1 H1 4,5 4,0 3,6 4,7 4,9 4,5 5,0 6,0 5,5 5,7
M1 H2 6,0 8,5 5,6 8,2 4,5 6,8 5,2 4,7 6,4 3,6
M1 H3 7,0 - 7,0 5,6 6,2 4,5 3,6 5,7 4,5 5,2
M1 H4 4,6 7,0 4,5 4,9 3,6 5,3 6,4 4,5 - 6,2
3 M2 H0 4,0 3,5 - 3,0 4,4 3,6 3,0 3,0 4,5 3,9
M2 H1 4,9 4,5 4,0 3,6 4,2 4,3 3,6 3,8 4,6 -
M2 H2 6,0 6,7 4,5 7,8 6,0 6,8 6,5 4,5 6,0 5,6
M2 H3 5,8 6,2 3,6 4,5 6,0 6,5 4,5 5,2 5,3 6,0
M2 H4 4,5 5,5 4,2 4,4 4,8 4,2 5,0 4,4 4,5 4,0
4 M3 H0 3,7 3,6 3,5 - 3,0 3,6 4,2 4,0 3,6 3,0
M3 H1 5,0 4,8 4,4 4,6 4,8 4,2 4,6 5,0 5,2 4,5
M3 H2 6,5 7,3 6,6 5,8 6,5 6,0 7,2 7,6 4,8 6,0
M3 H3 6,7 6,6 6,2 5,4 7,0 5,4 5,8 6,0 - 5,6
M3 H4 3,7 - 3,6 3,2 4,4 4,0 4,2 3,6 3,5 3,8
Keterangan :
M0 = tanah + pasir H0 = 0 ppm
M1 = tanah + pupuk kandang H1 = 1000 ppm
M2 = pasir + pupuk kandang H2 = 2000 ppm
M3 = tanah + pasir + pupuk kandang H3 = 3000 ppm
H4 = 4000 ppm
Minggu ke -8 Tanggal : 10 Juli 2010
No Perlakuan Tinggi (cm)
1 M0 H0 5,4 4,8 5,6 4,2 - 5,6 5,0 4,8 4,8 4,0
M0 H1 4,8 5,8 4,8 5,0 6,6 6,0 6,5 6,0 6,2 -
M0 H2 9,4 8,0 8,1 6,0 9,3 9,0 6,0 7,3 8,8 7,7
M0 H3 4,8 6,0 7,5 7,0 - 7,7 6,6 4,8 6,2 6,0
M0 H4 5,0 4,6 - 4,8 6,0 4,8 4,8 5,8 5,3 4,0
2 M1 H0 4,6 4,8 5,5 4,0 4,8 4,3 - 6,6 4,8 5,7
M1 H1 6,0 5,3 4,8 6,2 6,6 6,0 6,7 8,0 7,3 7,8
M1 H2 8,0 11,3 7,5 11,0 6,0 9,0 7,0 6,2 8,5 4,8
M1 H3 9,3 - 9,4 7,4 8,2 6,0 4,8 7,7 6,0 6,8
M1 H4 6,2 9,4 6,0 6,6 4,8 7,0 8,5 6,0 - 8,2
3 M2 H0 5,3 4,6 - 4,0 5,8 4,8 - 4,0 6,0 5,3
M2 H1 6,6 6,0 5,4 4,8 5,5 5,7 4,8 5,1 6,2 -
M2 H2 8,0 8,9 6,0 10,5 8,0 9,0 8,6 6,0 7,9 7,4
M2 H3 7,8 8,2 4,8 6,0 7,3 8,6 6,0 7,0 7,2 8,0
M2 H4 6,0 7,3 5,6 5,8 6,4 5,6 6,5 5,9 6,0 5,5
4 M3 H0 4,9 4,8 4,6 - 4,0 4,8 5,6 5,4 4,8 4,0
M3 H1 6,6 6,5 5,8 6,1 5,8 5,5 - 6,6 7,0 6,0
M3 H2 8,7 9,7 8,8 7,8 8,6 8,0 9,6 10,0 6,4 7,9
M3 H3 9,0 8,9 8,2 7,2 9,4 7,2 7,8 8,0 - 7,4
M3 H4 4,9 - 4,8 4,3 5,8 5,3 5,6 4,8 4,6 5,0
Keterangan :
M0 = tanah + pasir H0 = 0 ppm
M1 = tanah + pupuk kandang H1 = 1000 ppm
M2 = pasir + pupuk kandang H2 = 2000 ppm
M3 = tanah + pasir + pupuk kandang H3 = 3000 ppm
H4 = 4000 ppm
Minggu ke -10 Tanggal : 24 Juli 2010
No Perlakuan Tinggi (cm)
1 M0 H0 6,7 6,0 7,0 5,3 - 7,0 6,3 6,0 6,0 5,0
M0 H1 6,0 7,3 6,0 6,2 8,3 - 8,1 7,5 7,9 -
M0 H2 11,8 10,0 10,2 7,5 11,6 11,3 7,5 9,2 11,0 9,7
M0 H3 - 7,5 9,4 8,7 - 9,7 8,3 6,0 7,7 7,5
M0 H4 6,4 5,7 - 6,0 7,6 6,0 6,0 7,3 6,6 5,0
2 M1 H0 5,7 6,0 6,8 5,0 6,0 5,4 - 8,3 6,0 7,1
M1 H1 7,5 6,7 6,0 7,8 8,2 7,5 8,4 10,0 9,2 9,6
M1 H2 10,0 14,0 9,4 13,6 7,5 11,3 8,7 7,8 10,7 6,0
M1 H3 11,6 - 11,8 9,3 10,2 7,5 6,0 9,6 7,5 8,6
M1 H4 7,7 - 7,5 8,3 6,0 8,8 10,6 7,5 - 10,2
3 M2 H0 6,6 5,8 - 5,0 7,3 6,0 - 5,0 7,5 6,6
M2 H1 8,2 7,5 6,7 6,0 6,8 7,1 6,0 6,4 7,8 -
M2 H2 10,0 11,2 7,5 13,0 10,0 11,3 10,8 7,5 10,0 9,3
M2 H3 9,6 10,2 6,0 7,5 9,2 10,8 7,5 8,7 8,9 10,0
M2 H4 7,5 9,1 7,0 7,3 8,0 - 8,2 7,4 7,5 6,8
4 M3 H0 6,2 6,0 5,8 - 5,1 6,0 7,0 6,8 6,0 5,0
M3 H1 - 8,1 7,3 7,7 8,2 6,9 - 8,3 8,6 7,5
M3 H2 10,8 12,2 11,0 9,8 10,8 10,0 12,0 12,6 8,0 9,9
M3 H3 11,2 11,1 10,3 9,0 11,7 9,0 9,7 10,0 - 9,3
M3 H4 6,2 - 6,0 5,4 7,3 6,6 7,0 6,0 5,8 6,4
Keterangan :
M0 = tanah + pasir H0 = 0 ppm
M1 = tanah + pupuk kandang H1 = 1000 ppm
M2 = pasir + pupuk kandang H2 = 2000 ppm
M3 = tanah + pasir + pupuk kandang H3 = 3000 ppm
H4 = 4000 ppm
Minggu ke -12 Tanggal : 7 Agustus 2010
No Perlakuan Tinggi (cm)
1 M0 H0 8,0 - 8,4 6,3 - 8,5 7,6 - 7,2 6,0
M0 H1 7,2 8,8 7,2 7,3 10,0 - 9,7 9,0 9,5 -
M0 H2 14,0 12,0 12,2 9,0 14,0 13,5 9,0 11,0 13,2 11,6
M0 H3 - 9,0 11,2 10,4 - 11,6 9,9 7,2 9,2 9,0
M0 H4 7,6 6,8 - 7,2 9,0 7,2 7,2 8,8 7,9 -
2 M1 H0 6,8 - 8,2 6,0 7,2 6,5 - 10,0 7,2 8,5
M1 H1 - 8,0 7,2 9,3 9,8 9,0 10,0 12,0 11,0 11,5
M1 H2 12,0 17,0 11,3 16,3 9,0 13,6 10,5 9,4 12,8 -
M1 H3 14,0 - 14,1 11,2 12,2 9,0 7,2 11,5 9,0 10,3
M1 H4 9,2 14,0 9,0 9,9 7,2 10,5 12,7 9,0 - 12,2
3 M2 H0 7,8 6,9 - 6,0 8,8 7,2 - - 9,0 8,0
M2 H1 9,8 9,0 8,0 7,2 8,2 8,5 7,2 7,7 9,3 -
M2 H2 - 13,4 9,0 15,7 12,0 13,6 12,9 9,0 11,8 11,1
M2 H3 11,5 12,2 7,2 9,0 11,0 - 9,0 10,4 10,7 -
M2 H4 9,0 10,9 8,4 8,7 9,6 - 9,8 8,9 9,0 8,2
4 M3 H0 7,4 7,2 6,9 - 6,2 7,2 8,4 8,1 - 6,0
M3 H1 - 9,7 8,7 9,2 7,2 8,3 - 9,9 10,3 9,0
M3 H2 13,0 14,6 13,2 11,7 12,9 - 14,4 15,2 9,6 11,8
M3 H3 13,4 13,3 12,4 10,8 14,2 10,8 11,6 12,0 - 11,1
M3 H4 7,4 - 7,2 6,5 8,7 7,9 8,4 7,2 6,9 7,5
Keterangan :
M0 = tanah + pasir H0 = 0 ppm
M1 = tanah + pupuk kandang H1 = 1000 ppm
M2 = pasir + pupuk kandang H2 = 2000 ppm
M3 = tanah + pasir + pupuk kandang H3 = 3000 ppm
H4 = 4000 ppm
Minggu ke -14 Tanggal : 21 Agustus 2010
No Perlakuan Tinggi (cm)
1 M0 H0 9,4 - 9,8 7,4 - 9,8 8,8 - 8,4 -
M0 H1 8,4 10,2 - 8,5 11,6 - 11,3 10,5 11,0 -
M0 H2 16,5 14,0 14,2 10,5 16,2 15,8 - 12,8 15,4 13,5
M0 H3 - 10,5 13,2 12,2 - 13,5 11,6 - 10,7 10,5
M0 H4 8,8 8,0 - 8,4 10,6 8,4 8,4 10,2 9,2 -
2 M1 H0 7,9 - 9,6 - 8,4 7,6 - 11,6 8,4 10,0
M1 H1 - 9,3 8,4 10,8 11,5 10,5 11,8 - 12,8 13,4
M1 H2 14,0 19,7 13,2 19,0 10,5 15,8 12,3 10,9 15,0 -
M1 H3 16,3 - 16,5 13,0 14,3 - 8,4 13,4 10,5 12,0
M1 H4 10,8 16,4 - 11,6 8,4 12,3 14,8 10,5 - 14,3
3 M2 H0 9,3 8,0 - 7,0 10,2 8,4 - - 10,5 9,2
M2 H1 11,5 10,5 9,8 - 9,6 10,0 8,4 8,9 10,8 -
M2 H2 - 15,6 10,5 18,4 14,0 15,8 15,0 - 13,8 12,9
M2 H3 13,4 14,3 - 10,5 12,8 - 10,5 - 12,5 14,0
M2 H4 - 12,7 9,8 10,2 11,2 - 11,4 10,5 10,5 9,6
4 M3 H0 8,6 8,4 8,0 - 7,1 8,4 9,8 9,5 - -
M3 H1 - 11,3 10,2 10,7 8,4 9,7 - 11,5 12,0 10,5
M3 H2 15,2 17,0 15,4 13,6 15,0 - 16,8 17,6 11,2 13,8
M3 H3 15,7 15,5 14,5 - 16,5 12,6 13,6 - - 12,9
M3 H4 8,6 - 8,4 7,6 10,2 9,2 9,8 - 8,0 8,8
Keterangan :
M0 = tanah + pasir H0 = 0 ppm
M1 = tanah + pupuk kandang H1 = 1000 ppm
M2 = pasir + pupuk kandang H2 = 2000 ppm
M3 = tanah + pasir + pupuk kandang H3 = 3000 ppm
H4 = 4000 ppm
Minggu ke -16 Tanggal : 4 September 2010
No Perlakuan Tinggi (cm)
1 M0 H0 10,7 - - 8,4 - 11,3 10,0 - 9,6 -
M0 H1 - 11,7 - 9,8 13,2 - 12,9 - 12,6 -
M0 H2 18,8 - 16,2 - 18,6 18,0 - 14,6 17,6 15,4
M0 H3 - - 14,9 14,0 - 15,4 13,2 - 12,2 -
M0 H4 10,2 9,2 - 9,6 12,0 - - 11,7 10,6 -
2 M1 H0 9,0 - 11,0 - 9,6 8,6 - 13,3 - 11,4
M1 H1 - 10,6 9,6 12,4 13,2 - 13,4 - 14,6 15,5
M1 H2 - 22,6 15,0 21,8 - 18,0 14,0 12,5 17,2 -
M1 H3 18,6 - 18,8 14,8 16,3 - 9,6 15,4 - 13,8
M1 H4 12,2 18,7 - 13,2 - 14,0 16,9 - - 16,3
3 M2 H0 10,6 9,2 - 8,0 11,7 - - - - 10,6
M2 H1 13,2 - 10,7 - 11,0 11,4 - 10,2 12,4 -
M2 H2 - 17,8 - 20,9 16,0 18,0 17,2 - 15,8 14,8
M2 H3 15,4 16,3 - 12,0 14,6 - - - 14,2 -
M2 H4 - 14,6 - 11,6 - - 13,0 11,8 12,0 11,0
4 M3 H0 9,8 9,6 9,2 - 8,2 - - 10,8 - -
M3 H1 - 12,9 11,6 12,2 9,6 11,0 - 13,2 13,8 -
M3 H2 17,4 19,4 - 15,6 17,2 - 19,2 20,2 - 15,8
M3 H3 17,9 17,8 16,4 - 18,8 - 15,5 - - 14,8
M3 H4 9,8 - - 8,6 11,6 10,6 11,2 - 9,2 10,0
Keterangan :
M0 = tanah + pasir H0 = 0 ppm
M1 = tanah + pupuk kandang H1 = 1000 ppm
M2 = pasir + pupuk kandang H2 = 2000 ppm
M3 = tanah + pasir + pupuk kandang H3 = 3000 ppm
H4 = 4000 ppm
Minggu ke -18 Tanggal : 18 September 2010
No Perlakuan Tinggi (cm)
1 M0 H0 12,0 - - 9,4 - 12,8 11,3 - - -
M0 H1 - 13,1 - 11,0 14,8 - 14,6 - 14,2 -
M0 H2 21,2 - 18,3 - 20,9 20,3 - 16,5 19,8 17,4
M0 H3 - - 16,8 15,7 - 17,4 14,8 - 13,7 -
M0 H4 11,4 10,3 - - 13,6 - - 13,2 11,9 -
2 M1 H0 10,3 10,8 12,3 - - 9,7 - 15,0 - 12,8
M1 H1 - 12,0 - 14,0 14,8 - 15,2 - 16,5 17,3
M1 H2 - 25,4 17,0 24,5 - 20,3 15,7 14,0 19,3 -
M1 H3 21,0 - 21,2 16,7 18,4 - - 17,3 - 15,5
M1 H4 13,9 21,0 - 14,8 - 15,7 19,0 - - 18,4
3 M2 H0 12,0 10,4 - - 13,2 - - - - 11,8
M2 H1 14,8 - 12,0 - 12,3 12,8 - 11,5 14,0 -
M2 H2 - 20,0 - 23,6 - 20,3 19,4 - 17,8 16,7
M2 H3 17,3 18,4 - - 16,5 19,4 - 15,7 16,0 -
M2 H4 - 16,5 - 13,0 - - 14,7 13,3 - 12,3
4 M3 H0 11,0 - 10,6 - 9,2 - - 12,2 - -
M3 H1 - 14,6 13,0 13,8 - 12,4 - 14,8 15,6 -
M3 H2 19,5 21,8 - 17,6 19,4 - 21,6 22,7 - 17,8
M3 H3 20,2 20,0 18,5 21,2 - 17,5 - - 16,7
M3 H4 11,0 - - 9,7 13,1 11,8 - - 10,4 11,3
Keterangan :
M0 = tanah + pasir H0 = 0 ppm
M1 = tanah + pupuk kandang H1 = 1000 ppm
M2 = pasir + pupuk kandang H2 = 2000 ppm
M3 = tanah + pasir + pupuk kandang H3 = 3000 ppm
H4 = 4000 ppm
Minggu ke -20 Tanggal : 2 Oktober 2010
No Perlakuan Tinggi (cm)
1 M0 H0 13,4 - - 10,5 - 14,1 12,6 - - -
M0 H1 - 14,6 - 12,2 16,5 - 16,2 - 15,8 -
M0 H2 23,5 - 20,3 - 23,2 22,5 - 18,3 - 19,3
M0 H3 - - 18,7 17,4 - 19,3 16,5 - 15,3 -
M0 H4 12,7 11,4 - - 15,1 - - 14,6 13,2 -
2 M1 H0 11,4 - 13,7 - - 10,8 - 16,6 - 14,2
M1 H1 - 13,3 - 15,5 16,4 - 16,8 - 18,3 19,2
M1 H2 - 28,2 18,8 27,2 - 22,6 17,5 15,6 21,4 -
M1 H3 23,3 - 23,5 18,5 20,4 - - 19,2 - 17,2
M1 H4 15,4 23,4 - 16,5 - 17,5 21,2 - - 20,4
3 M2 H0 13,3 11,5 - - 14,6 - - - - 13,2
M2 H1 16,4 - 13,4 - 13,7 14,2 - 12,8 15,5 -
M2 H2 - 22,3 - 26,2 - 22,6 21,5 - 19,8 18,5
M2 H3 19,2 20,4 - - 18,3 21,6 - 17,4 17,8 -
M2 H4 - 18,2 - 14,5 - - 16,3 14,8 - 13,7
4 M3 H0 12,3 - 11,5 - 10,2 - - 13,5 - -
M3 H1 - 16,2 14,5 15,3 - 13,8 - 16,5 17,2 -
M3 H2 21,7 24,3 - 19,5 21,5 - 24,0 25,2 - 19,8
M3 H3 22,4 22,2 20,5 - 23,6 - 19,4 - - 18,5
M3 H4 12,3 - - 10,8 14,5 13,2 - - 11,5 12,5
Keterangan :
M0 = tanah + pasir H0 = 0 ppm
M1 = tanah + pupuk kandang H1 = 1000 ppm
M2 = pasir + pupuk kandang H2 = 2000 ppm
M3 = tanah + pasir + pupuk kandang H3 = 3000 ppm
H4 = 4000 ppm
DATA PENGUKURAN TINGGI, PANJANG AKAR DAN JUMLAH
AKAR
No Perlakuan Parameter
Tinggi (cm) Panjang Akar (cm) Jumlah Akar
1 M0 H0 13,4 10,5 14,1 6,4 4,4 7,2 3 2 5
M0 H1 14,6 12,2 16,2 7,2 6,5 8,3 4 3 6
M0 H2 23,5 19,3 23,2 12,3 9,2 13,5 6 5 8
M0 H3 19,3 17,4 15,3 12,5 8,4 10,1 4 6 3
M0 H4 12,7 15,1 13,2 5,3 8,4 10,3 2 4 3
2 M1 H0 11,4 16,4 14,2 8,2 10,4 7,4 4 6 4
M1 H1 16,4 13,3 18,3 12,3 11,5 14,2 8 7 6
M1 H2 27,2 28,2 15,6 18,6 21,7 11,7 8 9 7
M1 H3 23,5 19,2 23,3 12,7 13,8 9,5 7 4 6
M1 H4 15 24 21 10,2 12,3 12,5 4 5 4
3 M2 H0 13,3 11,5 13,2 6,5 5,5 8,0 2 2 3
M2 H1 16,4 14,2 13,4 9,8 6,7 5,5 6 4 3
M2 H2 26,2 22,3 21,5 15,6 23,6 13,8 7 6 4
M2 H3 19,2 20,4 17,2 12,7 10,8 8,5 6 5 4
M2 H4 14,5 18,2 16,3 6,5 8,0 7,5 8 4 5
4 M3 H0 12,3 10,2 11,5 6,2 4,6 5,3 4 2 5
M3 H1 15,3 16,2 14,5 8,5 5,2 6,3 4 7 6
M3 H2 24,0 24,3 21,7 17,8 10,4 8,8 7 8 6
M3 H3 22,4 22,2 19,4 6,5 5,3 7,2 5 5 7
M3 H4 12,3 13,2 11,5 5,4 6,4 4,2 4 5 6
Keterangan :
M0 = tanah + pasir H0 = 0 ppm
M1 = tanah + pupuk kandang H1 = 1000 ppm
M2 = pasir + pupuk kandang H2 = 2000 ppm
M3 = tanah + pasir + pupuk kandang H3 = 3000 ppm
H4 = 4000 ppm
H4 = 4000 ppm
DATA PENGUKURAN BOBOT BASAH DAN BOBOT KERING
Hari / tanggal :
No Perlakuan Parameter
Bobot Basah (gr) Bobot Kering (gr)
1
M0 H0 6,539 5,674 7,865 2,038 1,933 2,334
M0 H1 12,174 9,008 7,673 3,654 2,558 2,022
M0 H2 14,360 15,892 16,534 4,354 4,642 5,952
M0 H3 16,38 10,805 14,174 5,438 2,484 3,832
M0 H4 9,975 12,905 9,904 2,576 3,802 2,722
2 M1 H0 7,854 10,110 12,099 3,139 2,185 3,165
M1 H1 10,479 10,839 15,156 3,364 3,027 4,466
M1 H2 21,428 17,654 18,299 5,729 4,323 4,762
M1 H3 16,936 15,854 11,763 4,062 3,352 3,256
M1 H4 15,813 13,888 12,424 3,690 3,334 3,475
3 M2 H0 5,231 5,208 5,293 1,347 1,302 1,446
M2 H1 9,420 6,087 8,461 2,242 1,518 2,564
M2 H2 17,943 16,991 13,283 4,640 4,370 3,517
M2 H3 8,564 13,158 11,256 2,374 2,805 2,929
M2 H4 11,158 9,702 8,661 3,185 2,621 2,229
4
M3 H0 4,611 4,670 6,564 1,101 1,345 2,017
M3 H1 8,717 8,375 6,257 2,089 2,509 1,819
M3 H2 19,369 17,695 23,703 5,129 4,435 6,392
M3 H3 14,236 11,519 19,258 3,538 3,408 5,662
M3 H4 9,701 9,540 10,280 2,416 2,919 3,091
Keterangan :
M0 = tanah + pasir H0 = 0 ppm
M1 = tanah + pupuk kandang H1 = 1000 ppm
M2 = pasir + pupuk kandang H2 = 2000 ppm
M3 = tanah + pasir + pupuk kandang H3 = 3000 ppm
H4 = 4000 ppm
DATA RATA-RATA PARAMETER UNTUK SETIAP PERLAKUAN
No Perlakuan
Parameter
%
Hidup Tinggi
Panjang
Akar
Jumlah
Akar
Bobot
Basah
Bobot
Kering
Klorofi
l Total
N
Jaringan
1 M0 H0 40,00 12,667 6,000 3,333 6,693 2,102 9,761 1,409
M0 H1 50,00 14,333 7,333 4,333 9,618 2,745 13,455 1,465
M0 H2 60,00 22,000 11,667 6,333 15,595 4,983 14,965 1,522
M0 H3 50,00 17,333 10,333 4,333 13,786 3,918 14,856 1,493
M0 H4 50,00 13,667 8,000 3,000 10,928 3,033 13,688 1,522
2 M1 H0 50,00 14,000 8,667 4,667 10,021 2,830 13,298 1,324
M1 H1 60,00 16,000 12,667 7,000 12,158 3,619 14,686 1,212
M1 H2 70,00 23,667 17,667 8,000 19,127 4,938 17,360 1,747
M1 H3 60,00 22,000 12,000 5,667 14,851 3,557 16,113 1,550
M1 H4 60,00 20,000 11,667 4,333 13,981 3,500 15,215 1,691
3 M2 H0 40,00 12,667 6,667 2,333 5,244 1,365 13,984 1,381
M2 H1 60,00 14,667 7,333 4,333 7,989 2,108 14,118 1,437
M2 H2 60,00 23,333 17,333 5,667 16,072 4,176 16,846 1,437
M2 H3 60,00 19,000 10,667 5,000 10,993 2,703 15,360 1,550
M2 H4 50,00 16,333 8,333 5,667 9,840 2,678 14,143 1,578
4 M3 H0 40,00 11,333 5,333 3,667 5,282 1,488 12,988 1,409
M3 H1 60,00 15,333 6,667 5,667 7,783 2,139 13,510 1,183
M3 H2 70,00 23,333 15,333 7,000 20,256 5,317 16,126 1,522
M3 H3 60,00 21,333 10,000 5,667 15,004 4,203 14,793 1,465
M3 H4 60,00 12,333 11,000 5,000 9,840 2,809 13,681 1,409
Keterangan :
M0 = tanah + pasir H0 = 0 ppm
M1 = tanah + pupuk kandang H1 = 1000 ppm
M2 = pasir + pupuk kandang H2 = 2000 ppm
M3 = tanah + pasir + pupuk kandang H3 = 3000 ppm
H4 = 4000 ppm
Lampiran 3. Hasil Analisis ANAVA Persentase Hidup Stek Tanaman
Nyamplung
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Persentase Hidup
Source Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1365.000a 7 195.000 18.000 .000
Intercept 61605.000 1 61605.000 5686.615 .000
Media 295.000 3 98.333 9.077 .002
Hormon 1070.000 4 267.500 24.692 .000
Error 130.000 12 10.833
Total 63100.000 20
Corrected Total 1495.000 19
a. R Squared = ,913 (Adjusted R Squared = ,862)
a. Analisis varian konsentrasi hormon IBA terhadap persentase hidup
Homogeneous Subsets
Persentase Hidup
Hormon
IBA N
Subset
1 2 3
Duncana,,b
H0 4 42.50
H4 4 55.00
H1 4 57.50
H3 4 57.50
H2 4 65.00
Sig. 1.000 .327 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 10,833.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
b. Alpha = ,05.
b. Analisis varian komposisi media tanam terhadap persentase hidup
Homogeneous Subsets
Persentase Hidup
Media
Tanam N
Subset
1 2 3
Duncana,,b
M0 5 50.00
M2 5 54.00 54.00
M3 5 58.00 58.00
M1 5 60.00
Sig. .079 .079 .356
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 10,833.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.
b. Alpha = ,05.
Lampiran 4. Hasil Analisis ANAVA Tinggi Stek Tanaman Nyamplung
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Tinggi Tanaman
Source Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 916.067a 7 130.867 15.620 .000
Intercept 17888.267 1 17888.267 2135.095 .000
Media 80.667 3 26.889 3.209 .030
Hormon 835.400 4 208.850 24.928 .000
Error 435.667 52 8.378
Total 19240.000 60
Corrected Total 1351.733 59
a. R Squared = ,678 (Adjusted R Squared = ,634)
Estimated Marginal Means
1. Media Tanam
Dependent Variable:Tinggi Tanaman
Media
Tanam Mean Std. Error
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
M0 16.000 .747 14.500 17.500
M1 19.133 .747 17.634 20.633
M2 17.200 .747 15.700 18.700
M3 16.733 .747 15.234 18.233
2. Hormon IBA
Dependent Variable:Tinggi Tanaman
Hormon
IBA Mean Std. Error
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
H0 12.667 .836 10.990 14.343
H1 15.083 .836 13.407 16.760
H2 23.083 .836 21.407 24.760
H3 19.917 .836 18.240 21.593
H4 15.583 .836 13.907 17.260
a. Analisis DMRT konsentrasi hormon IBA terhadap tinggi stek tanaman
nyamplung
Tinggi Tanaman
Hormon
IBA N
Subset
1 2 3 4
Duncana,,b
H0 12 12.67
H1 12 15.08
H4 12 15.58
H3 12 19.92
H2 12 23.08
Sig. 1.000 .674 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 8,378.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12,000.
b. Alpha = ,05.
b. Analisis DMRT komposisi media tanam terhadap tinggi stek tanaman
nyamplung
Tinggi Tanaman
Media
Tanam N
Subset
1 2
Duncana,,b
M0 15 16.00
M3 15 16.73
M2 15 17.20 17.20
M1 15 19.13
Sig. .291 .073
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 8,378.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 15,000.
b. Alpha = ,05.
Lampiran 5. Hasil Analisis ANAVA Panjang Akar Stek Tanaman
Nyamplung
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Panjang Akar
Source Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 688.567a 7 98.367 11.312 .000
Intercept 5491.267 1 5491.267 631.506 .000
Media 224.333 3 74.778 8.600 .000
Hormon 464.233 4 116.058 13.347 .000
Error 452.167 52 8.696
Total 6632.000 60
Corrected Total 1140.733 59
a. R Squared = ,604 (Adjusted R Squared = ,550)
Estimated Marginal Means
1. Media Tanam
Dependent Variable:Panjang Akar
Media
Tanam Mean Std. Error
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
M0 8.667 .761 7.139 10.194
M1 12.467 .761 10.939 13.994
M2 9.933 .761 8.406 11.461
M3 7.200 .761 5.672 8.728
2. Hormon IBA
Dependent Variable:Panjang Akar
Hormon
IBA Mean Std. Error
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
H0 6.667 .851 4.959 8.375
H1 8.500 .851 6.792 10.208
H2 14.750 .851 13.042 16.458
H3 9.833 .851 8.125 11.541
H4 8.083 .851 6.375 9.791
a. Analisis DMRT konsentrasi hormon IBA terhadap panjang akar stek
tanaman nyamplung
Panjang Akar
Hormon
IBA N
Subset
1 2 3
Duncana,,b
H0 12 6.67
H4 12 8.08 8.08
H1 12 8.50 8.50
H3 12 9.83
H2 12 14.75
Sig. .157 .176 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 8,696.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12,000.
b. Alpha = ,05.
b. Analisis DMRT komposisi media tanam terhadap panjang akar stek
tanaman nyamplung
Panjang Akar
Media
Tanam N
Subset
1 2 3
Duncana,,b
M3 15 7.20
M0 15 8.67 8.67
M2 15 9.93
M1 15 12.47
Sig. .179 .245 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 8,696.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 15,000.
b. Alpha = ,05.
Lampiran 6. Hasil Analisis Kruskall-Wallis Jumlah Akar Stek Tanaman
Nyamplung
a. Analisis Kruskal-Wallis jumlah akar terhadap konsentrasi hormon IBA
Descriptive Statistics
N Mean Std.
Deviation Minimum Maximum
Percentiles
25th
50th
(Median) 75th
Jumlah Akar 60 5.05 1.770 2 9 4.00 5.00 6.00
Hormon IBA 60 3.00 1.426 1 5 2.00 3.00 4.00
Ranks
Hormon
IBA N Mean Rank
Jumlah Akar H0 12 15.79
H1 12 33.25
H2 12 46.54
H3 12 32.08
H4 12 24.83
Total 60
Test Statisticsa,b
Jumlah Akar
Chi-Square 20.934
df 4
Asymp. Sig. .000
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Hormon IBA
b. Analisis Kruskal-Wallis jumlah akar terhadap komposisi media tanam
Descriptive Statistics
N Mean Std.
Deviation Minimum Maximum
Percentiles
25th
50th
(Median) 75th
Jumlah Akar 60 5.05 1.770 2 9 4.00 5.00 6.00
Media Tanam 60 2.50 1.127 1 4 1.25 2.50 3.75
Ranks
Media
Tanam N Mean Rank
Jumlah Akar M0 15 22.70
M1 15 38.50
M2 15 26.23
M3 15 34.57
Total 60
Test Statisticsa,b
Jumlah Akar
Chi-Square 8.095
df 3
Asymp. Sig. .044
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Media Tanam
Lampiran 7. Hasil Analisis ANAVA Bobot Basah Stek Tanaman
Nyamplung
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Bobot Basah
Source Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 966.972a 7 138.139 29.109 .000
Intercept 8288.145 1 8288.145 1746.474 .000
Media 125.230 3 41.743 8.796 .000
Hormon 841.742 4 210.435 44.343 .000
Error 246.773 52 4.746
Total 9501.890 60
Corrected Total 1213.745 59
a. R Squared = ,797 (Adjusted R Squared = ,769)
Estimated Marginal Means
1. Media Tanam
Dependent Variable:Bobot Basah
Media
Tanam Mean Std. Error
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
M0 11.324 .562 10.195 12.453
M1 14.028 .562 12.899 15.156
M2 10.028 .562 8.899 11.156
M3 11.633 .562 10.504 12.762
2. Hormon IBA
Dependent Variable:Bobot Basah
Hormon
IBA Mean Std. Error
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
H0 6.810 .629 5.548 8.072
H1 9.387 .629 8.125 10.649
H2 17.763 .629 16.501 19.024
H3 13.659 .629 12.397 14.920
H4 11.147 .629 9.886 12.409
a. Analisis DMRT konsentrasi hormon IBA terhadap bobot basah stek
tanaman nyamplung
Bobot Basah
Hormon
IBA N
Subset
1 2 3 4
Duncana,,b
H0 12 6.80983
H1 12 9.38717
H4 12 11.14742
H3 12 13.65858
H2 12 17.76258
Sig. 1.000 .053 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 4,746.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12,000.
b. Alpha = ,05.
b. Analisis DMRT komposisi media terhadap tanam pada panjang akar
stek tanaman nyamplung
Bobot Basah
Media
Tanam N
Subset
1 2
Duncana,,b
M2 15 10.02773
M0 15 11.32413
M3 15 11.63300
M1 15 14.02760
Sig. .061 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 4,746.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 15,000.
b. Alpha = ,05.
Lampiran 8. Hasil Analisis ANAVA Boobot Kering Stek Tanaman
Nyamplung
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Bobot Kering
Source Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 66.827a 7 9.547 19.194 .000
Intercept 618.407 1 618.407 1243.311 .000
Media 9.235 3 3.078 6.189 .001
Hormon 57.593 4 14.398 28.948 .000
Error 25.864 52 .497
Total 711.098 60
Corrected Total 92.691 59
a. R Squared = ,721 (Adjusted R Squared = ,683)
Estimated Marginal Means
1. Media Tanam
Dependent Variable:Bobot Kering
Media
Tanam Mean Std. Error
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
M0 3.356 .182 2.991 3.721
M1 3.689 .182 3.323 4.054
M2 2.606 .182 2.241 2.971
M3 3.191 .182 2.826 3.556
2. Hormon IBA
Dependent Variable:Bobot Kering
Hormon
IBA Mean Std. Error
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
H0 1.946 .204 1.537 2.355
H1 2.653 .204 2.244 3.061
H2 4.853 .204 4.445 5.262
H3 3.595 .204 3.186 4.004
H4 3.005 .204 2.596 3.414
a. Analisis DMRT konsentrasi hormon IBA terhadap bobot kering stek
tanaman nyamplung
Bobot Kering
Hormon
IBA N
Subset
1 2 3 4
Duncana,,b
H0 12 1.94600
H1 12 2.65267
H4 12 3.00500
H3 12 3.59500
H2 12 4.85342
Sig. 1.000 .227 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,497.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12,000.
b. Alpha = ,05.
b. Analisis DMRT komposisi media tanam terhadap bobot kering stek
tanaman nyamplung
Bobot Kering
Media
Tanam N
Subset
1 2
Duncana,,b
M2 15 2.60593
M3 15 3.19107
M0 15 3.35607
M1 15 3.68860
Sig. 1.000 .073
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,497.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 15,000.
b. Alpha = ,05.
Lampiran 9. Hasil Analisis ANAVA Kandungan Klorofil Stek Tanaman
Nyamplung
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Klorofil
Source Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 133.401a 7 19.057 3.605 .003
Intercept 12523.440 1 12523.440 2369.071 .000
Media 33.744 3 11.248 2.128 .108
Hormon 99.657 4 24.914 4.713 .003
Error 274.884 52 5.286
Total 12931.724 60
Corrected Total 408.284 59
a. R Squared = ,327 (Adjusted R Squared = ,236)
Estimated Marginal Means
1. Media Tanam
Dependent Variable:Klorofil
Media
Tanam Mean Std. Error
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
M0 13.345 .594 12.154 14.536
M1 15.334 .594 14.143 16.526
M2 14.890 .594 13.699 16.081
M3 14.220 .594 13.028 15.411
2. Hormon IBA
Dependent Variable:Klorofil
Hormon
IBA Mean Std. Error
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
H0 12.508 .664 11.176 13.840
H1 13.942 .664 12.610 15.274
H2 16.324 .664 14.992 17.656
H3 15.281 .664 13.949 16.612
H4 14.182 .664 12.850 15.514
a. Analisis DMRT konsentrasi hormon IBA terhadap kandungan klorofil
stek tanaman nyamplung
Klorofil
Hormon
IBA N
Subset
1 2 3
Duncana,,b
H0 12 12.50767
H1 12 13.94233 13.94233
H4 12 14.18167 14.18167
H3 12 15.28058 15.28058
H2 12 16.32417
Sig. .097 .185 .271
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 5,286.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12,000.
b. Alpha = ,05.
b. Analisis DMRT komposisi media tanam terhadap kandungan klorofil
stek tanaman nyamplung
Klorofil
Media
Tanam N
Subset
1 2
Duncana,,b
M0 15 13.34507
M3 15 14.21967 14.21967
M2 15 14.89007 14.89007
M1 15 15.33433
Sig. .087 .217
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 5,286.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 15,000.
b. Alpha = ,05.
Lampiran 10. Hasil Analisis ANAVA Serapan N Stek Tanaman Nyamplung
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:N Jaringan
Source Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .213a 7 .030 2.668 .065
Intercept 42.942 1 42.942 3766.290 .000
Media .033 3 .011 .958 .444
Hormon .180 4 .045 3.951 .029
Error .137 12 .011
Total 43.292 20
Corrected Total .350 19
a. R Squared = ,609 (Adjusted R Squared = ,381)
Estimated Marginal Means
1. Media Tanam
Dependent Variable:N Jaringan
Media
Tanam Mean Std. Error
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
M0 1.482 .048 1.378 1.586
M1 1.505 .048 1.401 1.609
M2 1.477 .048 1.373 1.581
M3 1.398 .048 1.294 1.502
2. Hormon IBA
Dependent Variable:N Jaringan
Hormon
IBA Mean Std. Error
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
H0 1.381 .053 1.264 1.497
H1 1.324 .053 1.208 1.441
H2 1.557 .053 1.441 1.673
H3 1.515 .053 1.398 1.631
H4 1.550 .053 1.434 1.666
a. Analisis varian pada serapan N terhadap konsentrasi hormon
N Jaringan
Hormon
IBA N
Subset
1 2
Duncana,,b
H1 4 1.32425
H0 4 1.38075 1.38075
H3 4 1.51450
H4 4 1.55000
H2 4 1.55700
Sig. .469 .051
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,011.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
b. Alpha = ,05.
b. Analisis varian pada serapan N terhadap komposisi media tanam
N Jaringan
Media
Tanam N
Subset
1
Duncana,,b
M3 5 1.39760
M2 5 1.47660
M0 5 1.48220
M1 5 1.50480
Sig. .167
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,011.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.
b. Alpha = ,05.