Post on 31-Oct-2015
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA
SPINABIFIDA, MIKROSEFALI, DAN SGB
(SINDROMA GUILLENA BARE)DOSEN PENGAMPU:
Chori Elsera,S.Kep.Ns
Disusun oleh:
Rini (104070) Tika (104077)
Roni (104071) Winda (104078)
Safrina (104072) Wiwin (104079)
Sughro (104073) Yorin (104080)
Sukri (104074) Yuli (104081)
Sulis (104075) Anggia (104082)
Ningsih (104076)
Stikes muhammadiyah klaten
(2011)
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang hingga saat
ini masih berkenan menyatukan roh dan jasad kita. Dan Nabi
Muhammad yang telah mengubah sebuah pandangan menjadi new
paradigma sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dalam hal
ini penyusun mencoba meramu dari berbagai literatur menjadi sebuah
makalah, sehingga tersedianya buku dalam jumlah yang cukup
merupakan faktor penting dalam penyusun makalah ini.
Makalah yang berjudul “ASKEP SPINA BIFIDA, mikrosefali dan
SGB” ini bertujuan agar mahasiswa dapat lebih memahami bagaimana
proses keperawatan pada pasien spina bifida.
Penyusun telah berupaya maksimal agar makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik walaupun demikian tentu masih ada
kekurangan. Untuk itu penyusun menerima dengan tangan terbuka
kritik dan saran dari berbagai pihak demi penyempurnaan makalah ini
pada tugas berikutnya.
Klaten, Mei 2011
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................... i
DAFTARISI....................................................................................... ii
BAB I SPINA BIFIDA.......................................................................... iii
A. Defenisi............................................................................. 1
B. Etiologi ............................................................................. 1
C. Patofisiologi ...................................................................... 1
D. Pathway............................................................................ 2
E. Manifestasi Klinik.............................................................. 2
F. Pemeriksaan Diagnostik.................................................... 3
G. Penatalaksanaan............................................................... 3
ASUHAN KEPERAWATAN........................................................ 5
BAB II ASUHAN KEPERAWATAN PADA MIKROSEFALI...................... 12
A. Definisi.............................................................................. 13
B. Etiologi.............................................................................. 13
C. Pathway............................................................................ 15
D. Patogenesis....................................................................... 16
E. Patologi............................................................................. 17
F. Manifestasi Klinis.............................................................. 17
G. Diagnosis.......................................................................... 17
H. Diagnosis Banding............................................................ 19
I. Terapi................................................................................ 19
J. Prognosis........................................................................... 20
K. Pencegahan...................................................................... 20
ASUHAN KEPERAWATAN........................................................ 21
BAB III SINDROM GUELLENA BARE.................................................. 23
A. Definisi.............................................................................. 24
B. Epidemiologi..................................................................... 24
C. Etiologi.............................................................................. 25
D. Patogenesa....................................................................... 26
E. Peran imunitas seluler...................................................... 27
iii
F. Patologi............................................................................. 28
G. Pathway............................................................................ 29
H. Klasifikasi.......................................................................... 30
I. Gambaran Klinis................................................................ 30
J. Gejala Klinis...................................................................... 31
K. Terapi................................................................................ 33
L. Kortikosteroid.................................................................... 33
M. Plasmaparesis................................................................... 34
N. Pengobatan imunosupresan............................................. 34
O. Prognosa........................................................................... 34
ASUHAN KEPERAWATAN........................................................ 36
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 42
iv
BAB I
SPINA BIFIDA
KONSEP MEDIS
A. Defenisi
Spina Bifida (Sumbing Tulang Belakang) adalah suatu celah
pada tulang belakang (vertebra), yang terjadi karena bagian dari
satu atau beberapa vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk
secara utuh. Keadaan ini biasanya terjadi pada minggu ke empat
masa embrio.
B. Etiologi
Penyebab yang pasti tidak diketahui, tetapi diduga akibat :
Genetik
Kekurangan asam folat dalam masa kehamilan
Ibu dengan epilepsi yang menderita panas tinggi dalam
kehamilannya dan mengkonsumsi obat asam valproic
C. Patofisiologi
Multifaktor (Idiopatik, genetik, dll)
Vertebra gagal menutup/gagal terbentuk secara utuh
Penonjolan dari korda spinalis dan akar saraf
Penurunan/gangguan fungsi pada bagian tubuh yang dipersarafi
Orang tua menjadi Kelumpuhan/kelemahan Ketidakmampuan
mengontrol cemas pada ekstremitas bawah keinginan berkemih
Kurang terpajan immobilisasi Inkontinensia Urin informasi
Resiko Kerusakan Integritas Kulit
Kurang pengetahuan
1
D. Pathways
E. Manifestasi Klinik
Terdapat beberapa jenis spina bifida:
Spina bifida okulta (tersembunyi) : bila kelainan hanya sedikit,
hanya ditandai oleh bintik, tanda lahir merah anggur, atau
ditumbuhi rambut dan bila medula spinalis dan meningens
normal.
Meningokel : bila kelainan tersebut besar, meningen mungkin
keluar melalui medula spinalis, membentuk kantung yang
dipenuhi dengan CSF. Anak tidak mengalami paralise dan mampu
untuk mengembangkan kontrol kandung kemih dan usus.
Terdapat kemungkinan terjadinya infeksi bila kantung tersebut
robek dan kelainan ini adalah masalah kosmetik sehingga harus
dioperasi.
Mielomeningokel : jenis spina bifida yang paling berat, dimana
sebagian dari medula spinalis turun ke dalam
meningokel.Gejalanya berupa:
2
Vertebra gagal menutup/gagal terbentuk secara
utuh
Vertebra gagal menutup/gagal terbentuk secara
utuh
Penonjolan dari korda spinalis
dan akar saraf
Penonjolan dari korda spinalis
dan akar saraf
Penurunan/gangguan fungsi pada bagian tubuh yang
dipersarafi
Penurunan/gangguan fungsi pada bagian tubuh yang
dipersarafi
Resiko Kerusakan Integritas KulitResiko Kerusakan Integritas Kulit
1. Penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai bawah
pada bayi baru lahir
2. Jika disinari, kantung tersebut tidak tembus cahaya
3. Kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki
4. Penurunan sensasi
5. Inkontinensia urin maupun inkontinensia tinja
6. Korda spinalis yang terkena rentan terhadap infeksi
(meningitis)
F. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil
pemeriksaan fisik.Pada trimester pertama, wanita hamil menjalani
pemeriksaan darah yang disebut triple screen. Tes ini merupakan tes
penyaringan untuk spina bifida, sindroma Down dan kelainan bawaan
lainnya. 85% wanita yang mengandung bayi dengan spina bifida,
akan memiliki kadar serum alfa fetoprotein yang tinggi. Tes ini
memiliki angka positif palsu yang tinggi, karena itu jika hasilnya
positif, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk memperkuat
diagnosis. Dilakukan USG yang biasanya dapat menemukan adanya
spina bifida.Kadang dilakukan amniosentesis (analisa cairan
ketuban).
Setelah bayi lahir, dilakukan pemeriksaan berikut:
- Rontgen tulang belakang untuk menentukan luas dan lokasi
kelainan.
- USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pda
korda spinalis maupun vertebra
- CT scan atau MRI tulang belakang kadang dilakukan untuk
menentukan lokasi dan luasnya kelainan.
G. Penatalaksanaan
Pembedahan dilakukan untuk menutup lubang yang terbentuk
dan untuk mengobati hidrosefalus, kelainan ginjal dan kandung
3
kemih serta kelainan bentuk fisik yang sering menyertai spina bifida.
Terapi fisik dilakukan agar pergerakan sendi tetap terjaga dan untuk
memperkuat fungsi otot. Untuk mengobati atau mencegah
meningitis, infeksi saluran kemih dan infeksi lainnya, diberikan
antibiotik..
Untuk mengatasi gejala muskuloskeletal (otot dan kerangka tubuh)
perlu campur tangan dari ortopedi (bedah tulang) maupun terapi
fisik. Kelainan saraf lainnya diobati sesuai dengan jenis dan luasnya
gangguan fungsi yang terjadi.
Kadang pembedahan shunting untuk memperbaiki hidrosefalus akan
menyebabkan berkurangnya mielomeningokel secara spontan .
4
5
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Pengumpulan Data
Orang tua klien mengungkapkan cemas
Orang tua klien meminta informasi tentang tindakan yang
dilakukan
Orang tua klien sering bertanya tentang penyakit anaknya
Orang tua tampak gelisah
Klien tidak dapat mengerakkan kakinya
Tampak penonjolan seperti kantung di punggung tengah klien
Orang tua klien mengeluh anaknya terus berkemih dalam
jumlah besar
Enuresis
Diurnal
Nokturnal
2. Klasifikasi Data
Data Subyektif Data Obyektif
Orang tua klien
mengungkapkan cemas
Orang tua klien mengeluh
anaknya terus berkemih
dalam jumlah besar
Enuresis
Diurnal
Nokturnal
Orang tua klien meminta informasi
tentang tindakan yang dilakukan
Orang tua klien sering bertanya
tentang penyakit anaknya
Orang tua tampak gelisah
Klien tidak dapat mengerakkan
kakinya
Tampak penonjolan seperti
kantung di punggung tengah klien
6
3. Analisa Data
N
o
Symptom Etiologi Problem
1 DS :
Orang tua klien
mengeluh anaknya
terus berkemih
dalam jumlah besar
DO :
Enuresis
Diurnal
Nokturnal
Penonjolan dari korda
spinalis dan akar saraf
Penurunan/gangguan
fungsi pada bagian
tubuh yang dipersarafi
Ketidakmampuan
mengontrol pola
berkemih
Inkontinensia Urin
Inkontinensia
Urin
2 DS :
Klien
mengungkapkan
cemas
DO :
Orang tua klien
meminta informasi
tentang tindakan
yang dilakukan
Orang tua klien
sering bertanya
tentang penyakit
Orang tua tampak
gelisah
Penurunan/gangguan
fungsi pada bagian
tubuh yang dipersarafi
Orangtua cemas
Kurang terpajan
informasi
Kurang Pengetahuan
Kurang
Pengetahuan
3 DS : -
DO : -
Penurunan/gangguan
fungsi pada bagian
tubuh yang dipersarafi
Kelumpuhan/
kelemahan pada
ekstremitas bawah
Resiko
Kerusakan
Integritas Kulit
7
Immobilisasi
Resiko Kerusakan
Integritas Kulit
B. Diagnosa Keperawatan
1. Inkontinensia urin berhubungan dengan ketidakmampuan
mengontrol keinginan berkemih, yang ditandai dengan :
DS :
Orang tua klien mengeluh anaknya terus berkemih dalam
jumlah besar
DO :
Enuresis
Diurnal
Nokturnal
2. Kurang pengetahuan orang tua tentang proses penyakit dan
penanganan penyakit anaknya berhubungan dengan kurang
terpajan informasi, yang ditandai dengan :
DS :
Klien mengungkapkan cemas
DO :
Orang tua klien meminta informasi tentang tindakan yang
dilakukan
Orang tua klien sering bertanya tentang penyakit anaknya
Orang tua tampak gelisah
3. Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
immobilisasi.
C. Intervensi Keperawatan
8
1. Inkontinensia urin berhubungan dengan ketidakmampuan
mengontrol keinginan berkemih
Tujuan:
Inkontinensia urin dapat berkurang/teratasi dengan kriteria:
Enuresis, diurnal dan nokturnal berkurang/tidak ada
Klien berkemih dalam jumlah dan frekuensi yang normal
Intervensi:
1) Kaji pola berkemih dan tingkat inkontinensia klien
Rasional :
Sebagai data dasar untuk intervensi selanjutnya
2) Berikan perawatan pada kulit klien yang basah karena urin
(dilap dengan air hangat kemudian dilap kering dan diberi
bedak)
Rasional :
Perawatan yang baik dapat mencegah iritasi pada kulit klien
3) Anjurkan ibu klien untuk sering memeriksa popok klien, jika
basah segera diganti
Rasional :
Popok yang selalu basah dapat menimbulkan iritasi dan lecet
pada kulit
4) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat (misalnya:
Antikolinergik)
Rasional :
Obat antikolinergik diperlukan untuk menghilangkan kontraksi
kandung kemih tak terhambat
2. Kurang pengetahuan orang tua tentang proses penyakit dan
penanganan penyakit anaknya berhubungan dengan kurang
terpajan informasi
Tujuan:
Orang tua klien dapat memahami proses penyakit dan prosedur
penanganan penyakit anaknya,dengan kriteria:
Orang tua klien tampak tenang
9
Orang tua klien dapat menjelaskan proses penyakit dan
prosedur penanganan penyakit anaknya
Intervensi:
1) Kaji tingkat pengetahuan orang tua klien tentang proses
penyakit dan penanganan penyakit anaknya
Rasional :
Sebagai data dasar dalam emnentukan intervensi selanjutnya
2) Berikan kesempatan kepada orang tua klien untuk bertanya
Rasional :
Memberikan jalan untuk mengekspresikan perasaannya dan
mengetahui pemahaman orang tua klien tentang penyakit
anaknya
3) Jelaskan dengan baik kepada orang tua tentang proses
penyakit dan prosedur penanganannya
Rasional :
Menigkatkan pemahaman orang tua klien tentang penyakitnya
anaknya
4) Berikan dukungan positif kepada orang tua klien
Rasional :
Dukungan yang positif dapat memberikan semangat kepada
orang tua untuk menerima penyakit anaknya dan membantu
proses perawatan.
3. Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
immobilisasi
Tujuan:
Kerusakan integritas kulit tidak terjadi dengan kriteria:
Kulit tampak halus dan lembut
Tidak ada iritasi/lecet, dekubitus
Intervensi:
1) Kaji tingkat keterbatasan gerak (immobilisasi) klien
Rasional :
Sebagai data dasar untuk intervensi selanjutnya
10
2) Rubah posisi klien setiap dua jam
Rasional :
Penekanan yang lama pada salah satu bagian tubuh dapat
menyebabkan terjadinya dekubitus
3) Jaga pakaian dan linen tetap kering
Rasional :
Pakaian dan linen yang basah dapat mengiritasi kulit
4) Ajarkan pada orang tua klien untuk memassage daerah yang
tertekan, gunakan lotion
Rasional :
Memperlancar peredaran darah, meningkatkan relaksasi dan
mencegah iritasi
D. Implementasi
mengkaji tingkat pengetahuan orang tua klien tentang proses
penyakit dan penanganan penyakit anaknya
memberikan kesempatan kepada orang tua klien untuk bertanya
menjelaskan dengan baik kepada orang tua tentang proses
penyakit dan prosedur penanganannya
memberikan dukungan positif kepada orang tua klien
E. Evaluasi
Mengkaji kembali tindakan yang telah di laksanakan, adapun kriteria
hasil adalah, sebagai berikut:
Memberikan pendidikan pada orang tua pasien untuk
Orang tua klien tampak tenang
Orang tua klien dapat menjelaskan proses penyakit dan
prosedur penanganan penyakit anaknya
Inkontinensia urin berhubungan dengan ketidakmampuan
mengontrol keinginan berkemih
Tujuan:
Inkontinensia urin dapat berkurang/teratasi dengan kriteria:
11
Enuresis, diurnal dan nokturnal berkurang/tidak ada
Klien berkemih dalam jumlah dan frekuensi yang normal
Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
immobilisasi
Tujuan:
Kerusakan integritas kulit tidak terjadi dengan kriteria:
Kulit tampak halus dan lembut
Tidak ada iritasi/lecet, dekubitus
12
BAB II
ASUHAN KEPEAWATAN
PADA
MIKROSEFALI
13
Mikrosefali
A. Definisi
Mikrosefali adalah cacat pertumbuhan otak secara menyeluruh
akibat abnormalitas perkembangan dan proses destruksi otak selama
masa janin dan awal masa bayi. Ukuran kepala lebih dari 3 standart
deviasi di bawah rata-rata. 2
Mikrosefali adalah kasus malformasi kongenital otak yang paling
sering dijumpai. Ukuran otak pada kasus ini relatif amat kecil, dan
karena pertumbuhannya terhenti maka ukuran tengkorak sebagai
wadahnya pun juga kecil (sebenarnya nama yang lebih tepat adalah
mikroensefalus). Perbandingan berat otak terhadap badan yang
normal adalah 1 : 30, sedangkan pada kasus mikrosefalus,
perbandingannya dapat menjadi 1 : 100. Bila kasus bisa hidup
sampai usia dewasa, biasanya berat otaknya hanya kurang dari 900
gram (bahkan ada yang hanya 300 gram). 1
Otak mikrosefalik selalu lebih ringan, dapat serendah 25 % otak
normal. Jumlah dan kompleksitas girus korteks mungkin berkurang.
Lobus frontalis adalah yang paling parah, serebelum sering kali
membesar tak seimbang. Pada mikrosefali akibat penyakit perinatal
dan postnatal dapat terjadi kehilangan neuron dan gliosis korteks
serebri.
Mikrosefali yang paling parah cenderung terjadi pada bentuk
yang diwariskan resesif. Penderita anak memperlihatkan dahi yang
landai ke belakang dan telinga yang besar tak sebanding.
Perkembangan motorik sering kali baik, tetapi retardasi mental
secara progresif makin nyata dan sering kali berat. 2
B. Etiologi
Berbagai kondisi dalam tabel 1 harus dipertimbangan dalam
diagnosis banding bayi atau anak mikrosefali. Dahi yang landai ke
14
belekang, telinga yangbesar, dan pertalian darah pada orang tua,
mengarah pada diagnosis mikrosefali herediter. Kemungkinan
mikrosefali akibat fenilkeonuria maternal harus selalu diteliti dengan
pemeriksaan kemih ibu yang tepat. Radiogram kranium, pungsi
lumbal, tes serologis berguna dalam diagnosis mikrosefali akibat
infeksi intrauterin. Kalsifikasi serebrum difus sering kali ditemukan
pada toksoplasma kongenital, kalsifikasi periventrikular lebih sering
pada penyakit virus sitomegalo. Sindroma alkohol janin harus
dipertimbangkan pada anak mikrosefalik dari ibu dengan riwayat
alkoholisme. 2
Tabel I. Sebab-sebab Mikrosefali 4
Cacat Perkembangan
Otak
Infeksi
Intrauterin
Penyakit
Postnatal dan
Perinatal
Mikrosefali herediter
(resesif)
Rubela
kongenital
Anoksia intra
uterin atau
neonatal
Mongolisme dan
sindroma trisoma
lainnya
Infeksi virus
sitomegali
Malnutrisi berat
pada awal masa
bayi
Paparan radiasi ionisasi
pada janin
Toksoplasma
kongenital
Infeksi virus
herpes neonatal
Feniketonuria maternal Sifilis kongenital
Cebol seckel
Sindroma cornelia de
lange
Sindroma rubinstein-
15
taybi
Sindroma smith-lemli-
opitz
Sindroma alkohol janin
Ada yang membedakan etiologi mikro-sefali sebagai berikut :
1. Genetik
2. Didapat, yaitu disebabkan :
a. Antenatal pada morbili, penyinaran, sifilis, toksoplasmosis,
kelainan sirkulasi darah janin atau tidak diketahui
penyebabnya.
b. Intranatal akibat perdarahan atau anoksia.
c. Pascanatal dan setelah ensefalitis, trauma kepala dan
sebagainya.
C. Pathways
16
terbentuknya neural tube yaitu induksi daerah dorsal yang
terjadi pada minggu ke 3 masa gestasi
kelainan congenital seperti kranioskisis,totalis,dsb
terjadi proliferasi neuron yang terjadi pada masa gestasi. Gangguan pada
masa ini dapat menyebabkan mikrosefali
D. Patogenesis
Bakal serebrum mulai terlihat sebagai struktur yang dapat
dikenali pada embrio kehamilan 28 hari, saat ujung anterior tuba
neuralis mengalami suatu ekspansi globular, prosensefalon. Dalam
beberapa hari berikutnya, prosensefalon membelah menjadi 2
perluasan lateral yang merupakan asal hemisferium serebri dan
ventrikel lateralis. Dinding ventrikel pada stadium ini dibentuk oleh
lapisan benih neuroblas yang aktif membelah. Neuroblas yang baru
terbentuk bermigrasi dari dinding ventrikel ke permukaan
hemisferium primitif, berakumulasi dan membentuk korteks serebri.
Pendatang pertama membentuk lapisan bawah korteks, dan
pendatang selanjutnya melewati lapisan ini, membentuk lapisan-
lapisan atas. Diferensiasi neuroblas membentuk neuron ekstensi sel
yang bertambah panjang dan akhirnya membentuk akson dengan
lumen ventrikel melalui ekstensi sel yang bertambah panjang dan
akhirnya membentuk akson substansi alba subkortikal. Akson yang
menyeberang dari 1 hemisferium ke hemisferium lainnya untuk
membentuk korpus kalosum, pertama kali aterlihat pada kehamilan
bulan ketiga, korpus kalosum terbentu lengkap pada bulan ke-5.
Pada saat inilah permukaan akorteks mulai memperlihatkan identasi
yang terbentuk progresif selama trimester terakhir, sehingga pada
aterm, sulkus dan girus utama telah berbatas tegas.
Otak bayi aterm memiliki seluruh komplemen neuron dewasa,
tetapi beratnya hanya sekitar sepertiga otak dewasa. Peningkatan
berat postnatal adalah akibat mielinisasi substansia alba subkortikal,
perkembangan penuh prosesus saraf, baik dendrit maupun akson
serta peningkatan selb glia.
Secara umum pengaruh abnormal sebelum kehamilan bulan ke-6
cenderung mempengaruhi pertumbuhan struktur makroskopik otak
dan mengurangi jumlah neuron total. Pengaruh perubahan patologik
17
pada periode perinatal cenderung lebih ringan, seperti
keterlambatan mielinisasi dan berkurangnya pembentukan dendrit.
Hilangnya substansi otak akibat lesi destruktif dapat terjadi pada
akhir masa janin dan awal masa bayi, baik secara terpisah ataupun
bersama cacat perkembangan lain. 2
E. Patologi
Secara patologis terdapat kelainan seperti hipoplasia serebri,
pakigiria, mikrogiria, porensefali, atrofi serebri. 6 Biasanya ditemukan
penutupan fontanel dan sutura-sutura tengkorak sebelum waktunya
(premature closure). Anak dengan microgyria dapat hidup sampai
dewasa. 1,8 Yang berukuran kecil biasanya tidak menutupi serebelum
dan corak girus-girus kortikalnya abnormal. Arsitektur korteks
menunjukkan sel-sel primitif. Sistem ventrikel biasanya membesar
serta biasanya dibarengi oleh porensefalus, lissensefalus, tidak
adanya korpus kalosum serta heterotropia.
F. Manifestasi Klinis
Kepala lebih kecil dari pada normal, sekunder akibat jaringan
otak yang tidak tumbuh. Kadang-kadang ubun-ubun besar terbuka
dan kecil. Didapatkan retardasi mental. Mungkin didapatkan pula
gejala motorik berupa diplegia spastik, hemiplegia dan sebagainya.
Terlambat bicara dan kadang-kadang didapatkan kejang.
Tampilan kasus mikrosefallus yang khas adalah tulang frontal
dan fosa anterior yang kecil.
G. Diagnosis
Diagnosis berdasarkan dari manifestasi klinis dan radiologis.
Tabel 2 menunjukkan diameter biparietal standar dari rata-rata
diameter biparietal pada USG.
Tabel 2.18
BPD vs Age (and Standar Deviations The Mean)
Age Mean -1SD -2SD -3SD -4SD -5SD
20 48 45 42 40 37 34
21 51 48 46 43 40 37
22 54 52 49 46 43 41
23 57 55 52 49 46 44
24 61 58 55 52 49 47
25 64 61 58 55 53 50
26 67 64 91 58 56 53
27 69 67 64 61 58 56
28 72 70 67 64 61 59
29 75 72 69 67 64 61
30 78 75 72 69 67 64
31 80 77 74 72 69 66
32 82 79 77 74 71 68
33 84 81 79 76 73 70
34 86 83 80 73 75 72
35 87 85 82 79 76 74
36 89 86 83 80 78 75
19
37 90 87 84 82 79 76
38 91 88 85 83 80 77
39 92 89 86 83 81 78
40 92 89 87 84 81 78
Atau bisa menggunakan kurva dari Nellhaus.
Untuk menegakkan etiologinya dapat dilakukan pemeriksaan
laboratorium misalnya TORCH, VORL, CT, MRI.
H. Diagnosis Banding
Mikrosefali harus dibedakan dari ukuran kepala yang kecil
sekunder dari sinostosis sutura sagitalis dan koronarius.2
Sinostosis biasanya terjadi pranatal dan diketahui setelah
dilahirkan. Perubahan bentuk tengkorak disebabkan ekspansi
jaringan otak yang tumbuh terhalang oleh penutupan sutura. Pada
stadium permulaan perubahan bentuk tengkorak merupakan
kompensasi untuk mencegah tekanan intrakranial yang meninggi.
Pada brakisefali dan skafosefali keadaan kompensasi ini bisa
berlangsung lama sampai berbulan-bulan, namun pada oksisefali
tekanan intrakranial sudah meninggi dalam minggu pertama sesudah
lahir. Akibat tekanan intrakranial yang meninggi akan terlihat
iritabilitas, muntah, eksoftalmus akibat tekanan pada orbita,
retardasi mental dan motorik, kejang. Gangguan visus dapat terjadi
akibat tertariknya N II atau sebagai akibat papil N II karena tekanan
intrakranial yang meninggi. 5
20
I. Terapi
Tak satupun bentuk mikrosefali dapat diobati,1 pengobatan yang
dilakukan yaitu simptomatik. Untuk kejang diberi antikonvulsan.
Selanjutnya dilakukan fisioterapi, speech therapy dan sebagainya. 5
J. Prognosis
Bayi yang dilahirkan dengan mikrosefali biasanya tidak bisa
hidup lama, beberapa langsung meninggal setelah lahir, 1 dan
kebanyakan dari mereka yang masih bisa hidup mengalami retardasi
mental dan kelainan motorik seperti hemiplegia, diplegia spastik.5
Mikrosefali biasanya disertai dengan kelainan-kelainan lain sebagai
suatu sindrom.
K. Pencegahan
Mikrosefali tidak dapat diobati, sehingga pencegahan sangat
penting. Pencegahan meliputi bimbingan dan penyuluhan genetika,
pencegahan bahaya infeksi terutama selama kehamilan, obat-obatan
21
Asuhan Keperawatan Penderita Mikrosefali
A. Pengkajian
Data Subyektif:
Orang tua si bayi mengeluh kepala buah hatinya memiliki ukuran
kepala yang kecil dari bayi yang lain
Keadaan bayi lemah daripada bayi yang lain
Data Obyektif:
gejala motorik berupa diplegia spastik, hemiplegia dan
sebagainya.
Terlambat bicara dan kadang-kadang didapatkan kejang. 5
Tampilan kasus mikrosefallus yang khas adalah tulang frontal dan
fosa anterior yang kecil.
B. Intervensi
Perencanaan yang mungkin dapat dilaksanakan adalah dalam
bentuk kolaborasi dengan im medis lain untuk memberikan asupan
gizi, pengurangan tingkat kekejangan pada bayi. Perencanaan
dengan tim medis untuk membereikan obat simptomatik, dan
antikonvulsan.
C. Implementasi
Memberikan bimbingan dan penyuluhan genetika, pencegahan
bahaya infeksi terutama selama kehamilan, obat-obatan.
Pengobatan simptomatik. Untuk kejang memberi antikonvulsan.
Selanjutnya melakukan fisioterapi, speech therapy dan sebagainya
D. Evaluasi
Mengkaji kembali atas tindakan keperawatan yang telah
diberikan. Dengan kriteria hasil, sebagai berikut:
22
Tingkat kekejangan pada bayi berkurang, walaupun penyakit ini
belum ada obatnya.
Meningkatnya daya asupan gizi pada pasien
E. KESIMPULAN
1. Mikrosefali adalah cacat pertumbuhan otak secara menyeluruh
akibat abnormalitas perkembangan dan proses destraksi otak
selama masa janin dan awal masa bayi. Ukuran kepala lebih dari
3 standar deviasi di bawah rata-rata.
2. Etiologi mikrosefali yaitu cacat perkembangan otak, infeksi
intrauteri, anoxia intrauterin atau neonatal, malnutrisi berat pada
awal masa bayi, infeksi virus herpes neonatal.
3. Patologi didapatkan mikrogiria, pakigiria, porensefali, atrofi
serebri. Biasanya ditemukan premature closure, corak giras-giras
kortikalnya. Abnormal. Arsitektur kortek menunjukkan sel-sel
yang besar dan didominasi oleh sel-sel primitif. Sistem ventrikel
biasanya membesar, serta biasanya dibarengi oleh porensefalus,
lissencefalus, tidak adanya corpus collosum serta heterotropia.
4. Diagnosis berdasarkan manifestasi klinis dan radiologis.
Manifestasi klinis kepala lebih kecil dari normal, premature
closure. Ubun-ubun besar terbuka dan kecil, retardasi mental,
hemiplegia, diplegia, terlambat bicara dan kejang.
5. Diagnosis bandingnya yaitu kraniosinostosis.
6. Terapi.
Terapi bersifat simptomatik yaitu antikonvulsan, fisio terapi,
speech terapi.
7. Prognosa.
Ada yang langsung meninggal, sedangkan yang hidup biasanya
mengalami retardasi mental, kelainan motorik dan kelainan-
kelainan sebagai suatu sindrom.
8. Pencegahan sangat penting.
23
Meliputi bimbingan dan penyuluhan genetika, mencegah penyakit
infeksi selama kehamilan, obat-obatan dan radiasi.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA
SGB (SINDROM GUILLENA BARE)
24
SINDROM GUILLAIN BARRE
A. Definisi
Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis
yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut
berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah
saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch, 1998 ) SGB
mempunyai banyak sinonim, antara lain :
polineuritis akut pasca infeksi
polineuritis akut toksik
polineuritis febril
poliradikulopati,dan
acute ascending paralysis.
B. Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua
musim. Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir
musim panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus
influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit
ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun,
sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan
Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai
1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun
Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan
insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara
usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia
dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3
bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama
jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83%
penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia
dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
25
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum
banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak
di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan
jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan
penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki
dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi
pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan
kemarau.
C. Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui
dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
Infeksi
Vaksinasi
Pembedahan
Penyakit sistematik:
o keganasan
o systemic lupus erythematosus
o tiroiditis
o penyakit Addison
Kehamilan atau dalam masa nifas
Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB
Infeks
i
Definite Probable Possible
Virus CMVEBV HIVVaricella-
zosterVaccinia/smallpox
InfluenzaMeaslesMump
s
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
26
Echo
Bakteri CampylobacterJejeniMy
coplasma
Pneumonia
Typhoid Borrelia
BParatyphoidBrucellosis
Chlamydia
Legionella
Listeria
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara
56% – 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi
timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi
gastrointestinal
Salah satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan
reaksi autoimun yang menyerang mielin saraf perifer.
Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB Infeksi Definite Probable
Possible Virus CMVEBV HIV Varicella-zoster Vaccinia/smallpox
Influenza Measles Mumps
D. Patogenesa
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain
yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih
belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan
bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui
mekanisme imunlogi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme
yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler
(celi mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf
tepi.
2. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
27
3. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari
peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan
proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh
respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh
berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi
virus.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon
imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai
peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.
E. Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang
peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit
berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang
mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan
limfoid dan peredaran.
28
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi
antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag.
Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh
virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen
tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC).
Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4).
Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker
dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta
alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang
dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam
membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan
pengambilan makrofag. Makrofag akan mensekresikan protease
yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF
dan komplemen. Patofisiologi
F. Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran
pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak
perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang
terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul
pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima,
terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada
hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas.
Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara
progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks
dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang
terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh
darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti
demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan
berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin
29
disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan
melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.
G. Pathway
30
H. Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat
diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia
I. Gambaran Klinis
Penyakit infeksi dan keadaan prodromal :
Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi
ringan saluran nafas atau saluran pencernaan, 1-3 minggu
sebelumnya. Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah suatu
pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi
bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi
influensa.
Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang
mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa
31
laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari (4).
Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.
Keluhan utama
Keluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung
ekstremitas, kelumpuhan ekstremitas atau keduanya. Kelumpuhan
bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada
keempat anggota gerak.
J. Gejala Klinis
1. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot
ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar
penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah
kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak
atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat
anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke
badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan
diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat
kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian
distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih
berat dari bagian proksimal (2,4).
2. Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas,
muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral . Defisit
sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi
seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif
lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri
otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3. Saraf Kranialis
32
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII.
Kelumpuhan otot- otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi
kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan
berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali
N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau
N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan
berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat
menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.
4. Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9
. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus
bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau
hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic
profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang
dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari
satu atau dua minggu.
5. Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang
dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan
pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan
kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33
persen penderita.
a. Variasi klinis
Di samping penyakit SGB yang klasik seperti di atas, kita
temui berbagai variasi klinis seperti yang dikemukakan oleh
panitia ad hoc dari The National Institute of Neurological and
Communicate Disorders and Stroke (NINCDS) pada tahun 1981
adalah sebagai berikut :
Sindroma Miller-Fisher
Defisit sensoris kranialis
Pandisautonomia murni
Chronic acquired demyyelinative neuropathy
33
b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian
kadar protein dalam cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh
peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut
disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan
otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan
mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel
mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada
sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar
protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa
meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita
yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate
Antidiuretik Hormone).
c. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis
SGB adalah :
Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
Distal motor retensi memanjang
Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan
perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.
Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan
elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis
penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan
bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh
sempurna .
K. Terapi
Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan
medis dan pasien diatasi di unit intensif care. Pasien yang
mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang
kadang-kadang dalam waktu yang lama.
34
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir.
Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan
bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu
perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup
tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi
khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat
penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).
L. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat
steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
M.Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk
mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain
plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa
perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang
lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14
hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset
gejala (minggu pertama).
N. Pengobatan imunosupresan:
1. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih
menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek
samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4
gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
2. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
6 merkaptopurin (6-MP)
35
Azathioprine
Cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual
dan sakit kepala.
O. Prognosa
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi
pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai
gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu
3 bulan bila dengankeadaan antara lian:
- pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
- mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
- progresifitas penyakit lambat dan pendek
- pada penderita berusia 30-60 tahun
36
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Data subjektif:
Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan
Sebelumnya dia mengalami diare-diare dan demam kira-kira 1
minggu sebelumnya
Tidak mampu menelan air liurnya
Sebelum sakit sangat aktif baik dalam pekerjaannya, olahraga lari
pagi, berkebun, mengendarai kendaraan dan merawat dirinya
Data Objektif:
Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda objektif yang
menunjukakan stroke
Kelemahan pada kedua ekstrmitas atasnya dan akhirnya
menggunakan alat bantu pernapasan (ventilator)
Hasil lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan protein tinggi
dan tekanan meningkat, leukositosis
2. Analisa Data
Data Masalah Etiologi
DS:
Tidak mampu menelan air liurnya
DO:
Pernapasan cepat , dangkal, dan ireguler
Bunyi paru wheezing +/+
Pengembangan dada tidak maksimal
GDA kurang dari normal
menggunakan ventilator Pola napas dan pertukaran gas tidak
efektif Kelemahan otot-otot bantu pernapasan
37
DS:
Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan
DO:
Kelemahan pada kedua ekstremitas atasnya
Kekuatan otot
1. imobilisasi Paralisis
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif b.d Kelemahan
otot-otot pernapasan
b. Kerusakan Mobilitas fusik b.d kerusakan neuromuskuler
3. Implementasi dan intervensi keperawatan
1. Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif b.d Kelemahan otot
pernapasan
Tujuan :
Membuat / mempertahankan pola pernafasan efektif melalui
ventilator
Kriteria Hasil :
Tidak terdapat sianosis , Saturasi oksigen dalam rentang
normal
Tindakan keperawatan
Selidiki Etiologi gagal pernapasan
R/ Pemahaman penyebab masalah pernapasan penting untuk
perawatan pasien
Observasi pola napas. Catat frekuensi pernapasan, jarak antara
pernafasan spontan dan napas ventilator
R/ Pasien pada ventilator dapat mengalami hiperventilasi/
hipoventilasi, dispnea/ lapar udara dan berupaya memperbaiki
kekurangan dengan bernapas berlebihan
38
Auskultasi dada secara periodik catat adanya/tak adanya dan
kualitas bunyi napas, bunyi napas tambahan, juga simetrisitas
gerakan dada
R/ Memberikan informasi tentang aliran udara melalui
trakeobronkial dan adanya /tidak adanya cairan
Periksa selang terhadap obstr,uksi . Contoh terlipat atau
akumulasi air . Alirkan selang sesuai indikasi , hindari aliran ke
pasien atau kembali kedalam wadah
R/ Lipatan selang mencegah penerimaan volume adekuat dan
meningkatkan tekanan jalan napas . Air mencegah distribusi
gas dan pencetus pertumbuhan bakteri
Periksa fungsi alaram Ventilator, Jangan matikan alaram ,
meskipun untuk penghisapan, Yakinkan bahwa alaram
terdengar ke kantor perawat
R/ Sangat penting apabila terdapat tanda- tanda distres
pernafasan atau henti napas
Pertahankan tas resusitasi disamping tempat tidur dan
ventilasi manual kapanpun diindikasikan
R/ Memberikan / menyediakan ventilasi adekuat bila pasien
atau masalah menuntut pasien sementara dilepas dari
ventilator
Kolaborasi
Kaji susunan ventilator secra rutin dan yakinkan sesuai indikasi
R/ Mengontrol /menyusun alat sehubungan dengan penyakit
utama pasien dan hasil pemeriksaan diagnostik untuk
mempertahankan parameter dalam batas benar
Cbservasi persentasi konsentrasi oksigen , yakinkan bahwa
aliran olsigen tepat , awasi analisa oksigen atau lakukan
analisa oksigen periodik
R/ Nilai untuk mempertahankan persentase oksigen yang dapat
diterima dan saturasi untuk kondisi pasien ( 21% sampai 100%.
Karena mesin tidak selalu akurat, analiser oksigen dapat
39
digunakan untuk memastikan apakah pasien menerima
konsentrasi oksigen yang diinginkan
Kaji volume tidal ( 10-15 ml /kg ) Yakinkan fungsi spirometer
baik . Catat perubahan dari pemberian volume yang terbaca
pada komputer
R/ Mengawasi jumlah udara inspirasi dan ekspirasi . Perubahan
dapat menunjukkan gannguan komplain paru atau kebocoran
melalui mesin.
2. Diagnosa keperawatan : Kerusakan Mobilitas fisik berhubungan
dengan kerusakan Neuromuskuler
Tindakan keperawatan (implemetasi)
Kaji kekuatan motorik / kemampuan secara fungsional dengan
menggunakan skala 0-5.
R/ Menentukan perkembangan/ munculnya kembali tanda yang
menghambat tercapainya tujuan / harapan pasien
Berikan posisi pasien yang menimbulkan rasa nyaman .
Lakukan perubahan posisi dengan jadwal yang teratur sesuai
kebutuhan secara individual
R/ Menurunkan kelelahan , meningkatkan relaksasi .
Menurunkan resiko terjadinya iskemia / kerusakan pada kulit
Sokong ekstrimitas dan persendian dengan bantal
R/ Mempertahankan ekstrimitas dalam posisi fisiologis ,
mencegah kontraktur.
Lakkukan latihan rentang gerak pasif . Hindari latihan aktif
selama fase akut
R/ Menstimulasi sirkulasi., meningkatkan tonus otot dan
meningkatkan mobilisasi sendi
Koordinasikan asuhan yang diberikan dan periode istirahat
tanpa gangguan
40
R/Penggunaan otot secara berlebihan dapat meningkatkan
waktu yang diperlukan untuk remielinisasi , arenanya dapat
memperpanjang waktu untuk penyembuhan
Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan
dan bergantung pada toleransi secara individual
R/ Kegiatan latihan pada bagian tubuh yang terkena yang
ditingkatkan secara bertahap / terprogram , meningkatkan
fungsi organ secara normal dan memiliki efek psikologis yang
positif
Berikan lubrikasi / minyak artifisial sesui kebutuhan
R/ Mencegah dari kekeringan tubub klien.
Kolaborasi
Konfirmasikan dengan/ rujuk kebagian terapi fisik/ terapi
okupasi
R/ Bermanfaat dalam menciptakan kekuatan otot secara
individual/latihan terkondisi dan program latihan berjalan dan
mengidentifikasi alat bantu untuk mempertahankan mobilisasi
dan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari- hari
4. Evaluasi
Untuk mempertahankan posisi fungsi dengan tak ada komplikasi
( kontraktur, dekubitus )
Kriteria Hasil ;
Klien dapat meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian yang sakit
Dx Kriteria hasil Keterangan skala
1 a. Pengetahuan tentang resiko
b. Monitor lingkungan yang dapat
menjadi resiko
c. Monitor kemasan personal
d. Kembangkan strategi efektif
pengendalian resiko
1 = tidak adekuat
2 = sedikit adekuat
3 = kadang-kadan
adekuat
4 = adekuat
5 = sangat adekuat
41
e. Penggunaan sumber daya
masyarakat untuk pengendalian
resiko
2 a. Suhu tubuh dalam rentang normal
b. Nadi dan RR dalam rentang normal
c. Tidak ada perubahan warna kulit
dan tidak warna kulit dan tidak
pusing
1. : ekstrem
2 : berat
3 : sedang
4 : ringan
5 : tidak ada
gangguan
3 a. TD sistolik dbn
b. TD diastole dbn
c. Kekuatan nadi dbn
d. Tekanan vena sentral dbn
e. Rata- rata TD dbn
1 = Ekstrem
2 = Berat
3 = Sedang
4 = Ringan
5 = tidak terganggu
4 a. Keluarga menyatakan pemahaman
tentang penyakit kondisi prognosis
dan program pengobatan
b. Keluarga mampu melaksanakan
prosedur yang dijelaskan secara
benar
c. Keluarga mampu menjelaskan
kembali apa yang dijelaskan
perawat/ tim kesehatan lainya
1. Tidak pernah
dilakukan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang
dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan
42
DAFTAR PUSTAKA
Behrmen, Kligmen, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Jakarta :
EGC
Carpenito, Lynda Jual. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan.
Jakarta : EGC
Hamilton, PM. 1987. Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas. Jakarta
: EGC
Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit.
www. wikipedia.com
www.medikamentosa.com
www. hanna’s world.com
http://albarlukman.blogspot.com/2009/06/askep-spina-bifida.html
Satyanagara; Cacat Otak Bawaan Dalam Ilmu Bedah Syaraf, ed III,
Jakarta, 1998, Gramedia Pustaka Utama, 253-270.
Haslam, R.A.H; Congenital Anomalies of Central Nervous System
dalam Nelson, W.E; Behrman, R.E; Kligman, R.M; Arvin, A.M (eds) :
Nelson Textbook of Pediatric 15th edition, Philadelphia, 1996, WB
Saunders Company, 1680-1683.
Mardjono, M dan Sidharta, P; Pokok-Pokok Dari Mekanisme
Penyakit Saraf Herediter; Dalam Neurologi Klinis Dasar ed VII,
Jakarta, 1998, Dian Rakyat, 390-400.
Anonim : Smith-Lemli-Opitz Syndroma, http://www.Rosckstrom @
JMR. PP. SE.
Hasan, R dan Alatas, H (ed); Neurologi Dalam Ilmu Kesehatan
Anak, Buku Jilid II, Jakarta, 1991, Infomedia, 847-884.
Tjahjadi, G; Susunan Saraf Dalam Himawan, S (ed) Dalam
Kumpulan Kuliah Patologi ed I, Jakarta, 1992, Bina Rupa Aksara,
388-420.
Delong G, R dan Adams R, D; Development And Congenital
Abnormalitas of The Nervous System Dalam Isselbacher, K. J; et al
43
(eds) : Harrison’s Principle of Internal Medicine II, eleventh,
edition, USA, 1989, Donnelley And Sons.
Romero, J; Obstetrical Ultrasound ed I, New York, 1986, Mc Graw
International, 107-III.
44