Kong Ruen

Post on 20-Feb-2016

223 views 0 download

description

cc

Transcript of Kong Ruen

TEOREMA KEKONGRUENAN SEGITIGA SSS DAN AAA

PADA GEOMETRI RIEMANN GANDA

SKRIPSI

YUNI TANGKE

PROGRAM STUDI MATEMATIKA

JURUSAN MATEMATIKA DAN STATISTIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI PAPUA

MANOKWARI

2013

ABSTRAK

Geometri Euclid adalah geometri pada bidang datar. Sedangkan geometri

Riemann ganda merupakan geometri pada permukaan bola. Pada geometri Euclid

dan geometri Riemann, dua buah segitiga dikatakan kongruen jika sudut-sudut

yang bersesuaian sama besar dan panjang sisi-sisi yang bersesuaian sama.

Teorema kekongruenan yang digunakan pada geometri Euclid yaitu SAS (Side

Angle Side), ASA (Angle Side Angle) dan SSS (Side Side Side).

Sedangkan pada geometri Riemann teorema kekongruenan yang digunakan adalah

SSS (Side Side Side) dan AAA (Angle Angle Angle).

TEOREMA KEKONGRUENAN SEGITIGA SSS DAN AAA

PADA GEOMETRI RIEMANN GANDA

YUNI TANGKE

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains dari Universitas Negeri Papua

PROGRAM STUDI MATEMATIKA

JURUSAN MATEMATIKA DAN STATISTIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI PAPUA

MANOKWARI

2013

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas

kasih dan perlindungaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan dan

penyusunan skripsi ini dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada

Bpk. Haryanto, S.Pd, M.Sc selaku dosen pembimbing pertama dan kepada Ibu

Jeinne Mumu, S.Pd, M.Sc selaku dosen pembimbing kedua yang dengan penuh

kasih telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam penulisan

skripsi ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada bapak dan ibu

dosen yang telah memberikan banyak pengetahuan kepada penulis dalam bangku

perkuliahan.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua dan kakak-

kakakku atas segala doa dan kasih sayangnya. Kepada teman-teman yang telah

memberikan motivasi dan perhatian, penulis ucapkan banyak terima kasih.

Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberkati dan menyertai kita

semua.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Manokwari, Agustus 2013

Yuni Tangke

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Nabire tanggal 14 Juni 1990 sebagai anak kelima dari

lima bersaudara dari ayah bernama Yulius Tangke dan ibu bernama Herlina

Pabuntang.

Penulis memulai pendidikan formal di Taman Kanak-kanak Kartika pada

tahun 1994 dan tamat pada tahun 1995. Penulis melanjutkan pendidikan pada

Sekolah Dasar Negeri 1 Nabire dan tamat pada tahun 2001. Pada tahun 2004

penulis menamatkan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 4

Nabire. Penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Menengah Umum Negeri 1

Nabire dan tamat pada tahun 2007.

Pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Jurusan

Matematika dan Statistika FMIPA UNIPA Manokwari.

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ………………………………………………………………. i

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….... ii

DAFTAR SIMBOL ……………………………………………….…….…. v

I. PENDAHULUAN …………………………………….……….…….. 1

1.1 Latar Belakang …………………………………………….……... 2

1.2 Tujuan Penelitian ……………………………………………..….. 2

1.3 Manfaat Penelitian …………………………………………….…. 2

1.4 Metode Penelitian …………………………………………….….. 2

II. LANDASAN TEORI ………………………………………….…….. 3

2.1 Geometri Euclid

2.2 Geometri Riemann ……………………………………………….. 21

III HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………….. 29

3.1 Kekongruenan Segitiga pada Geometri Riemann Ganda ………... 29

IV PENUTUP ………………………………………………………….… 41

4.1 Kesimpulan ………………………………………………………. 41

4.2 . Saran

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 42

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Titik A………………………………………………………………... 3

2.2 Garis ℓ .................................................................................................. 3

2.3 Sinar AB……………………………………………………………… 4

2.4 Garis Lengkung……………………………………………………… 4

2.5 Ruas garis 𝐶𝐷 membagi dua 𝐴𝐵 ……………………………….......... 5

2.6 Titik Kolinear………………………………………………………... 6

2.7 Sudut A ……..…………………………………………………….…. 7

2.8a Sudut siku-siku………………………………………………….…… 7

2.8b Sudut lancip………………………………………………….……..... 7

2.8c Sudut tumpul ………………………………………………………… 8

2.8d Sudut lurus…………………………………………………………… 8

2.8e Sudut refleks………………………………………………….……… 8

2.9 Sudut berdampingan 𝛼 dan 𝛽…………………………………….….. 9

2.10 Sudut komplementer ……………………………………………….... 9

2.11 Sudut-sudut suplementer………………………………………….…. 10

2.12 Lingkaran ……………………………………………………………. 10

2.13 Poligon ………………………………………………………………. 12

2.14 Segitiga ABC…………………………………………………………. 12

2.15 Segitiga tidak sama sisi…………………………………………….… 13

2.16 Segitiga sama kaki………………………………………………….... 13

2.17 Segitiga sama sisi …………………………………………………… 14

2.18 Segitiga siku-siku……………………………………………………. 14

2.19 Segitiga tumpul………………………………………………….…… 15

2.20 Segitiga lancip………………………………………………….……. 15

2.21 ∆𝐴𝐵𝐶 Kongruen dengan ∆𝐷𝐸𝐹……………………………………... 16

2.22 ∆ 𝐴𝐵𝐶 dan ∆ 𝐷𝐸𝐹 ……………………………….…………………… 17

2.23 ∆ 𝐴𝐵𝐶 dan ∆ 𝐷𝐸𝐹………………………….………………………... 18

2.24 ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐷𝐸𝐹 dengan titik G pada 𝐴𝐶…………………………… 18

2.25 ∆𝐴𝐵𝐶 ……………………………..….………………………………. 19

2.26 ∆𝐴𝐵𝐶 kongruen dengan ∆𝐷𝐸𝐹…...……………………………...…... 20

2.27 ∆𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆𝐷𝐸𝐹 ………...………….……………………..………..... 21

2.28 Garis L dan Garis M………………………………………………...... 22

2.29 Model geometri Riemann ganda………….………………………...... 24

2.30 Model geometri Riemann tunggal…………………..…………….…. 24

2.31 Titik P………….……………..…….................................................... 25

2.32 Garis L dan garis M………………………………….………………. 26

2.33 Bidang 𝐵……………………………………………………………... 26

2.34 Ruas garisOP...………………………………………………….…… 27

2.36 Sudut 𝛼……………………..………………………………….…….. 28

2.37 Segitiga ∆𝐴𝐵𝐶…………………………………………….…………. 28

3.1 ∆𝐴𝐵𝐶 kongruen dengan ∆𝐴′𝐵′𝐶′……………………………………. 29

3.2 ∆𝐴𝐵𝐶 simetris dengan ∆𝐴′𝐵′𝐶′……………………………………… 30

3.3 Sudut dihedral………………………..…………………………….… 30

3.4 Sudut Trihedral………………………………………………….…… 31

3.5 Sudut Trihedral Kongruen dan Simetris………………………….….. 32

3.6 Kutub K ……………………………………………………..….…... 33

3.7 ∠𝐴𝑃𝐵 = 𝐴′𝐵′ ……………………………………...……………..…. 34

3.8 P dan Q kutub dari A dan B……………………………………….… 35

3.9 Segitiga polar …………………………………………………….….. 36

3.10 ∆𝐴′𝐵′𝐶′ segitiga polar dari ∆𝐴𝐵𝐶…………………………….…….. 36

3.11 𝐴′ kutub dari𝐵𝐶………………………………………………….….. 37

3.12a ∠𝑂𝐴𝐵𝐶 kongruen dengan ∠𝑂𝐴′𝐵′𝐶′…………………...…………..… 38

3.12b ∠𝑂𝐴𝐵𝐶 simetris dengan ∠𝑂𝐴′𝐵′𝐶′……………………………….…. 38

3.13a ∆𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆𝐷𝐸𝐹…………………………………………………….… 39

3.13b ∆𝐴𝐵𝐶 simetris dengan ∆𝐷𝐸𝐹……………………………...……… 39

DAFTAR SIMBOL

: Titik

𝐴𝐵 : Garis AB

𝐴𝐵 : Sinar AB

𝐴𝐵 : Ruas Garis AB

∠A : Sudut A

≅ : Kongruen

∠𝛼 ≅ ∠𝛽 : Sudut 1 kongruen dengan sudut 2

⊥ : Tegak Lurus

𝐶𝐷 ⊥ 𝐴𝐵 : Ruas Garis CD tegak lurus terhadap ruas garis AB

∆ 𝐴𝐵𝐶 : Segitiga ABC

∆ 𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆ 𝑃𝑄𝑅 :Segitiga ABC kongruen dengan segitiga PQR

: Terbukti

≇ : Tidak kongruen

AB : Busur AB

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Geometri berasal dari kata Latin “Geometria” ,Geo yang berarti tanah dan

metria berarti pengukuran. Menurut sejarahnya geometri tumbuh pada zaman jauh

sebelum masehi. Hal ini untuk keperluan pengukuran tanah setiap kali sesudah

banjir di Mesir yang diakibatkan oleh meluapnya air sungai Nil. Secara umum

Geometri didefinisikan sebagai cabang matematika yang mempelajari titik, garis,

bidang, ruang serta sifat-sifat, ukuran-ukuran dan hubungannya satu sama lain.

Ditinjau dari aksioma, geometri yang pertama kali muncul adalah geometri

Euclid. Geometri tersebut pertama kali diperkenalkan oleh seorang

matematikawan Yunani bernama Euclid. Geometri Euclid adal`ah geometri pada

bidang datar. Euclid mengusulkan berbagai aksioma dan teorema, salah satunya

menyatakan bahwa dua garis yang tegak lurus dengan garis yang sama akan

sejajar. Geometri yang menentang aksioma tersebut disebut geometri non Euclid

(Walter P dan Meyer, 1965).

Geometri Riemann merupakan salah satu geometri non Euclid. Geometri

ini diperkenalkan oleh G.F.B Bernhard Riemann dari Jerman (Moeharti, 1986).

Postulat kesejajaran Riemann menyatakan bahwa tidak ada garis-garis yang

sejajar dengan garis lain, dua garis selalu berpotongan pada satu titik. Geometri

Riemann dibagi menjadi dua yaitu geometri Riemann tunggal dan geometri

Riemann ganda. Sebarang dua garis yang berpotongan tepat pada satu titik, tetapi

tidak ada garis yang memisahkan bidang dan dua titik yang diametral dianggap

sebagai satu titik (A = A’) disebut geometri Riemann tunggal. Sedangkan

geometri Riemann ganda menyatakan bahwa dua garis berpotongan tepat pada

dua titik, dan setiap garis memisahkan bidang (Walter P dan Meyer, 1965).

Konsep kekongruenan pada geometri Euclid berkaitan dengan dua buah

bangun yang mempunyai bentuk yang sama dan ukurannya sama. Dua buah

segitiga dikatakan kongruen jika memenuhi syarat-syarat kekongruenan yaitu

sudut-sudut yang bersesuaian sama besar dan panjang sisi-sisi yang bersesuaian

sama. Teorema kekongruenan segitiga pada geometri Euclid adalah teorema SAS

(Side Angle Side), ASA (Angle Side Angle) dan SSS (Side Side Side)

(Berele dan Goldman, 2001).

Pada geometri Riemann juga dikenal dengan adanya teorema-teorema

kekongruenan segitiga. Dua diantaranya adalah teorema kekongruenan SSS (Side

Side Side) dan AAA (Angle Angle Angle). Dalam penelitian ini penulis akan

membuktikan kedua teorema kekongruenan segitiga SSS (Side Side Side) dan

AAA (Angle Angle Angle).

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan membuktikan teorema kekongruenan segitiga

AAA (Angle Angle Angle) dan SSS (Side Side Side) pada geometri Riemann

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi setiap pembaca

yang ingin mempelajari ilmu Geometri khususnya geometri Riemann. Penelitian

ini juga memberikan banyak pengetahuan kepada penulis tentang geometri

Riemann.

1.4 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan berdasarkan studi pustaka yaitu mengumpulkan

teori-teori dari buku-buku dan jurnal-jurnal yang terkait kekongruenan segitiga

pada geometri Euclid dan geometri Riemann.

II LANDASAN TEORI

2.1 Geometri Euclid

Pada subbab ini akan dibahas titik, garis, bidang, sudut, lingkaran,

segitiga, definisi kekongruenan dan teorema kekongruenan segitiga. Konsep

tentang titik, bidang, sudut, dan lingkaran secara keseluruhan dikutip dari buku

“Geometri” karya Barnet Rich, 2002. Sedangkan definisi dan teorema-teorema

kekongruenan segitiga dikutip dari buku “Geometry Theorems and Constructions”

karya Berele dan Goldman, 2001.

Definisi 2.1.1

Titik dilambangkan dengan bulatan kecil (dot) hanya mempunyai posisi. Titik

tidak mempunyai panjang, lebar ataupun ketebalan.

Gambar 2.1 merupakan contoh dari titik A.

A

Gambar 2.1 Titik A

Definisi 2.1.2 (Lilian Gareth, 2010)

Garis adalah himpunan titik-titik yang hanya mempunyai panjang. Garis ditulis

dengan simbol 𝐴𝐵 .

Gambar 2.2 menunjukkan garis ℓ

B

A

Gambar 2.2 Garis ℓ

Suatu garis bisa lurus, melengkung, maupun kombinasi dari keduanya. Garis

lurus terbentuk oleh suatu titik yang selalu bergerak kearah yang sama. Suatu

garis lurus dapat diperpanjang kesegala arah secara tidak terbatas. Bagian-bagian

dari garis yaitu sinar, garis lengkung dan ruas garis lurus.

Definisi 2.1.2.1

Sinar adalah bagian dari garis lurus yang dimulai pada suatu titik tertentu dan

diperpanjang secara tidak terbatas ke suatu arah. Sinar AB ditulis dengan simbol

𝐴𝐵 .

Gambar 2.3 merupakan contoh dari sinar AB

B

A

Gambar 2.3 Sinar AB

Definisi 2.1.2.2

Garis lengkung terbentuk oleh suatu titik yang bergerak dengan arah yang selalu

berubah-ubah.

Gambar 2.4 merupakan contoh dari garis lengkung dengan titik A yang

arahnya selalu berubah.

A

Gambar 2.4 Garis lengkung

Definisi 2.1.2.3

Ruas garis lurus adalah bagian dari garis lurus yang berada diantara dua titik

pada garis lurus tersebut, termasuk kedua titik tersebut. Ruas garis lurus ditulis

dengan 𝐴𝐵 .

Jika suatu ruas garis dibagi menjadi bagian-bagian maka

1. Panjang keseluruhan ruas garis sama dengan jumlah dari panjang semua

bagiannya.

2. Panjang keseluruhan ruas garis lebih besar dari panjang bagiannya yang

manapun.

3. Dua ruas garis yang mempunyai panjang sama dikatakan kongruen. Jadi, jika

AB = CD maka 𝐴𝐵 kongruen dengan 𝐶𝐷 sehingga ditulis 𝐴𝐵 ≅ 𝐶𝐷 .

Jika suatu ruas garis dibagi menjadi dua bagian yang sama maka

1. Titik baginya adalah titik tengah ruas garis tersebut.

2. Garis yang memotong pada titik tengah dikatakan membagi dua ruas garis

tersebut.

Perhatikan Gambar 2.5. Titik M adalah titik tengah 𝐴𝐵 . Ruas garis 𝐶𝐷

membagi dua 𝐴𝐵 . Ruas garis-ruas garis yang sama dapat diberi tanda dengan

garis-garis pendek yang berjumlah sama yang memotong ruas garis-ruas garis

tersebut. Perhatikan bahwa 𝐴𝑀 dan 𝑀𝐵 dipotong oleh satu garis pendek.

C

A M B

D

Gambar 2.5 Ruas garis CD membagi dua AB

3. Pada Gambar 2.6, jika tiga titik A, B, dan C terletak pada satu garis maka

ketiganya disebut kolinear. Jika A, B, dan C kolinear dan AB + BC = AC

maka B terletak diantara A dan C.

C

B

A

Gambar 2.6 Titik kolinear

Definisi 2.1.3

Bidang adalah suatu permukaan dengan suatu garis yang menghubungkan dua

titik pada permukaan tersebut secara keseluruhan akan terletak pada permukaan

tersebut. Bidang mempunyai panjang dan lebar tetapi tidak mempunyai

ketebalan.

Berikut ini akan dibahas definisi sudut dan jenis-jenis sudut

Definisi 2.1.4

Sudut adalah suatu gambar yang terbentuk oleh dua sinar yang mempunyai titik

akhir yang sama. Sinar-sinar tersebut merupakan sisi-sisi sudut, sementara titik

akhirnya merupakan titik sudut. Sudut dapat dinyatakan dengan simbol∠atau ∡.

Perhatikan Gambar 2.7, 𝐴𝐵 dan 𝐴𝐶 adalah sisi-sisi dari sudut. Titik A

adalah titik sudut. Besarnya sudut tidak tergantung pada panjang sisi-sisi sudut.

Besarnya ∠𝐴 tidak akan berubah jika sisi-sisi 𝐵𝐴 dan 𝐴𝐶 diperpanjang atau

diperpendek.

B

A C

Gambar 2.7 Sudut A

Sudut dibagi menjadi lima jenis yaitu sudut siku-siku, sudut lancip, sudut

tumpul, sudut lurus, dan sudut refleks. Berikut ini penjelasan tentang kelima

sudut tersebut.

1. Sudut siku-siku adalah sudut yang besarnya 90° (Gambar 2.8.a)

90°

Gambar 2.8.a Sudut Siku-siku

2. Sudut lancip adalah sudut yang besarnya kurang dari 90° ( Gambar 2.8.b).

𝛼°

Gambar 2.8.b Sudut lancip

3. Sudut tumpul adalah sudut yang besarnya lebih dari 90° dan kurang dari 180°

(Gambar 2.8.c).

𝛽°

Gambar 2.8.c Sudut tumpul

4. Sudut lurus adalah sudut yang besarnya 180° (Gambar 2.8.d).

Gambar 2.8.d Sudut lurus

5. Sudut refleks adalah sudut yang besarnya lebih dari 180° dan kurang dari

360° (Gambar 2.8.e).

𝛿°

Gambar 2.8.e Sudut refleks

Jenis-jenis pasangan sudut dibagi menjadi tiga yaitu sudut-sudut

berdampingan, sudut-sudut komplementer, dan sudut-sudut supplementer

(berpelurus).

1. Sudut-sudut berdampingan adalah dua sudut yang mempunyai titik sudut

sama dan terdapat satu sisi yang dimiliki bersama diantara keduanya.

B

D

𝛿

𝛽

A 𝛼 C

Gambar 2.9 Sudut berdampingan 𝛼 dan 𝛽

Jadi sudut 𝛿 pada Gambar 2.9 dibagi menjadi dua sudut yang berdampingan

yaitu 𝛼 dan 𝛽. Kedua sudut yang berdampingan ini mempunyai titik sudut yang

sama yaitu A dan satu sisi yang dimiliki bersama diantara keduanya yaitu 𝐴𝐷 .

Disini 𝛼 + 𝛽 = 𝛿

2. Sudut-sudut komplementer adalah dua sudut yang jika dijumlahkan

berukuran 90°.

𝛼 𝛼

𝛽 𝛽

(a) (b)

Gambar 2.10 Sudut komplementer

Pada Gambar 2.10(a), sudut-sudut 𝛼 dan 𝛽 adalah sudut-sudut

komplementer yang berdampingan. Pada Gambar 2.10(b) sudut-sudut

komplementernya tidak berdampingan

3. Sudut-sudut supplementer adalah dua sudut yang jika dijumlahkan berukuran

180°.

𝛼 𝛽 𝛼 𝛽

(a) (b)

Gambar 2.11 Sudut-sudut supplementer

Pada Gambar 2.11 sudut dan 𝛽 adalah sudut-sudut supplementer. Masing-

masing sudut disebut supplement.

Selanjutnya akan dibahas definisi lingkaran dan unsur-unsur pada lingkaran

Definisi 2.1.5

Lingkaran adalah himpunan semua titik pada suatu bidang yang berjarak sama

dari titik pusat.

B

A O C

Gambar 2.12 Lingkaran

Keterangan Gambar 2.12

𝐴𝐶 : diameter lingkaran

𝐴𝐵 : busur

𝑂𝐵 : jari-jari

: tali busur AB

∠𝐵𝑂𝐶 : sudut pusat

: daerah setengah lingkaran

Dari Gambar 2.12 dapat didefinisikan unsur-unsur pada lingkaran yaitu

1. Keliling lingkaran adalah jarak (panjang) mengelilingi lingkaran. Keliling

ini mencakup 360°.

2. Jari-jari adalah ruas garis yang menghubungkan titik pusat dengan suatu

titik pada lingkaran.

3. Tali busur adalah ruas garis yang menghubungkan dua titik sembarang pada

lingkaran.

4. Diameter adalah tali busur yang melalui titik pusat lingkaran.

5. Busur adalah bagian kontinu dari suatu lingkaran. Busur yang

berukuran1°memiliki besar 1/360 bagian dari keliling lingkaran.

6. Setengah lingkaran adalah busur yang berukuran setengah keliling suatu

lingkaran sehingga mencakup 180°.

Diameter membagi lingkaran menjadi dua buah setengah lingkaran.

7. Sudut pusat adalah sudut yang terbentuk oleh dua jari-jari.

Selanjutnya teori yang akan dibahas adalah definisi poligon, definisi

segitiga, jenis-jenis segitiga berdasarkan kesamaan panjang sisi-sisinya dan

segitiga berdasarkan jenis sudut yang dimilikinya.

Definisi 2.1.6

Poligon adalah benda datar tertutup yang dibatasi oleh sisi-sisi yang berupa ruas

garis-ruas garis lurus.

Gambar 2.13 Poligon

Definisi 2.1.7

Segitiga adalah poligon yang mempunyai tiga sisi.Titik sudut segitiga adalah titik

dimana dua diantara sisi-sisi segitiga tersebut bertemu.

B

A C

Gambar 2.14 Segitiga ABC

Segitiga ditulis dengan simbol ∆. Jadi segitiga pada Gambar 2.14 diberi

nama ∆𝐴𝐵𝐶; sisi-sisinya adalah 𝐴𝐵, 𝐴𝐶, 𝐵𝐶 ; titik-titik sudutnya adalah A, B, C;

sudut-sudutnya adalah ∠𝐴, ∠𝐵, ∠𝐶.

Segitiga diklasifikasikan berdasarkan kesamaan panjang sisi-sisinya dan

berdasarkan jenis sudut yang dimilikinya.

Segitiga berdasarkan kesamaan panjang sisi-sisinya dibagi menjadi tiga

yaitu segitiga tidak sama sisi, segitiga sama kaki, dan segitiga sama sisi. Berikut

ini penjelasan tentang segitiga tidak sama sisi, segitiga sama kaki dan segitiga

sama sisi.

1. Segitiga tidak sama sisi adalah segitiga yang tidak mempunyai sisi-sisi yang

kongruen.

B

c a

A b C

Gambar 2.15 Segitiga tidak sama sisi

2. Segitiga sama kaki adalah segitiga yang sedikitnya mempunyai dua sisi

yang kongruen.

B

c a

A b C

Gambar 2.16 Segitiga sama kaki

3. Segitiga sama sisi adalah segitiga yang mempunyai tiga sisi yang kongruen.

C

b a

A c B

Gambar 2.17 Segitiga sama sisi

Segitiga berdasarkan jenis sudutnya dibagi menjadi tiga yaitu segitiga siku-

siku, segitiga tumpul, segitiga lancip. Berikut ini penjelasan tentang segitiga siku-

siku, segitiga tumpul dan segitiga lancip.

1. Segitiga siku-siku adalah segitiga yang mempunyai sudut siku-siku.

B

A c

C b A

Gambar 2.18 Segitiga siku-siku

Pada Gambar 2.18 segitiga siku-siku ABC, ∠𝐶 adalah sudut siku-siku. Sisi c

yang berhadapan dengan sudut siku-siku disebut hipotenusa (sisi miring ).

Perhatikan sisi-sisi yang saling tegak lurus, a dan b disebut dengan kaki atau

lengan segitiga siku-siku.

2. Segitiga tumpul adalah segitiga yang mempunyai sudut tumpul.

E

D F

Gambar 2.19 Segitiga tumpul

3. Segitiga lancip adalah segitiga yang mempunyai tiga sudut lancip.

J

H K

Gambar 2.20 Segitiga lancip

Pada Gambar 2.20 segitiga lancip HJK ∠𝐻, ∠𝐽, ∠𝐾 adalah sudut-sudut

lancip.

Selanjutnya teori yang akan dibahas adalah definisi kekongruenan segitiga

dan teorema-teorema kekongruenan yaitu SAS (Side Angle Side), ASA (Angle

Side Angle) dan SSS (Side Side Side).

Definisi 2.1.8 Kekongruenan Segitiga (Berele dan Goldman, 2001)

Diberikan ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐷𝐸𝐹. Jika ∠𝐴 ≅ ∠𝐷, ∠𝐵 ≅ ∠𝐸, ∠𝐶 ≅ ∠𝐹 dan

𝐴𝐵 ≅ 𝐷𝐸, 𝐵𝐶 ≅ 𝐸𝐹, 𝐴𝐶 ≅ 𝐷𝐹 maka ∆ 𝐴𝐵𝐶 kongruen dengan ∆ 𝐷𝐸𝐹.

Ditulis ∆𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆𝐷𝐸𝐹.

C F

A B D E

Gambar 2.21 ∆𝐴𝐵𝐶 kongruen dengan ∆𝐷𝐸𝐹

Ekuivalen dengan Definisi 2.1.8, Rich Barnet (2002) mendefinisikan

kembali pengertian kekongruenan dua segitiga seperti pada Definisi 2.1.9.

Definisi 2.1.9 (Rich, 2002)

Dua buah segitiga ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐷𝐸𝐹 dikatakan kongruen jika sudut-sudut yang

bersesuaian sama besar dan panjang sisi-sisi yang bersesuaian sama.

Teorema 2.1.10 SAS ( Side Angle Side) (Berele dan Goldman, 2001)

Diberikan ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐷𝐸𝐹. Jika 𝐴𝐵 ≅ 𝐷𝐸, ∠𝐴 ≅ ∠𝐷 dan 𝐴𝐶 ≅ 𝐷𝐹

maka ∆𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆𝐷𝐸𝐹.

Bukti

Diketahui ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐷𝐸𝐹 dengan 𝐴𝐵 ≅ 𝐷𝐸, ∠𝐴 ≅ ∠𝐷 dan 𝐴𝐶 ≅ 𝐷𝐹.

C F

A B D E

Gambar 2.22 ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐷𝐸𝐹

Perhatikan ∆𝐷𝐸𝐹. Pada ∆𝐷𝐸𝐹, ∠𝐷 diletakkan pada ∠𝐴 dengan 𝐷𝐸 pada 𝐴𝐵 dan

𝐷𝐹 pada 𝐴𝐶.

Karena 𝐴𝐵 ≅ 𝐷𝐸 maka ∠𝐸 berada tepat di atas ∠𝐵.

Karena 𝐴𝐶 ≅ 𝐷𝐹 maka ∠𝐹 berada tepat di atas ∠𝐶.

Akibatnya 𝐸𝐹 ≅ 𝐵𝐶

Jadi menurut Definisi 2.1.8 ∆ 𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆ 𝐷𝐸𝐹.

Teorema 2.1.11 ASA (Angle Side Angle)

Diberikan ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐷𝐸𝐹. Jika ∠𝐴 ≅ ∠𝐷, 𝐴𝐵 ≅ 𝐷𝐸 dan ∠𝐵 ≅ ∠𝐸

maka ∆𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆𝐷𝐸𝐹.

Bukti

Diketahui ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐷𝐸𝐹 dengan ∠𝐴 ≅ ∠𝐷, 𝐴𝐵 ≅ 𝐷𝐸 dan ∠𝐵 ≅ ∠𝐸

A D

B C E F

Gambar 2.23 ∆ 𝐴𝐵𝐶 dan ∆ 𝐷𝐸𝐹

Perhatikan 𝐴𝐶 dan 𝐷𝐹. Jika 𝐴𝐶 ≅ 𝐷𝐹 maka jelas ∆𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆𝐷𝐸𝐹.

Asumsikan 𝐴𝐶 ≅ 𝐷𝐹 dengan 𝐴𝐶 lebih panjang dari 𝐷𝐹.

Karena 𝐴𝐶 lebih panjang dari 𝐷𝐹 maka ada titik G pada 𝐴𝐶 sedemikian

sehingga 𝐴𝐺 ≅ 𝐷𝐹. Eksistensi titik G memberikan suatu ∆𝐴𝐵𝐺 (Gambar 2.24 )

A D

G

B C E F

Gambar 2.24 ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐷𝐸𝐹 dengan titik G pada 𝐴𝐶

Perhatikan ∆𝐴𝐵𝐺 dan ∆𝐷𝐸𝐹. Kedua segitiga tersebut memenuhi

𝐴𝐵 ≅ 𝐷𝐸, ∠𝐴 ≅ ∠𝐷 dan 𝐴𝐺 ≅ 𝐷𝐹.

Jadi, dari Teorema 2.1.10 diperoleh ∆𝐴𝐵𝐺 ≅ ∆𝐷𝐸𝐹.

Dengan demikian ∠𝐴𝐵𝐺 = ∠𝐸 (1)

Dilain pihak diketahui ∠𝐸 = ∠𝐵 = ∠𝐴𝐵𝐶 (2)

Dari (1) dan (2) diperoleh ∠𝐴𝐵𝐺 = ∠𝐴𝐵𝐶

Padahal ∠𝐴𝐵𝐺 lebih kecil dari ∠𝐴𝐵𝐶 karena G merupakan titik dalam dari

∠𝐴𝐵𝐶.

Jadi suatu kontradiksi.

Berarti asumsi 𝐴𝐶 ≅ 𝐷𝐹 salah, seharusnya 𝐴𝐶 = 𝐷𝐹.

Dengan demikian ∆𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆𝐷𝐸𝐹.

Teorema 2.1.12 dibuktikan untuk digunakan dalam pembuktian Teorema

2.1.13

Teorema 2.1.12

Misalkan ∆𝐴𝐵𝐶 sebarang segitiga.

(1).Jika ∠𝐵 ≅ ∠𝐶 maka 𝐴𝐵 ≅ 𝐴𝐶

(2). Jika 𝐴𝐵 ≅ 𝐴𝐶 maka ∠𝐵 ≅ ∠𝐶

Bukti

Perhatikan Gambar 2.25

A

B C

Gambar 2.25 ∆𝐴𝐵𝐶

(1). Pada ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐴𝐶𝐵, ∠𝐵 ≅ ∠𝐶, 𝐵𝐶 ≅ 𝐶𝐵 dan ∠𝐶 ≅ ∠𝐵

Menurut Teorema 2.1.11 ∆𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆𝐴𝐶𝐵

(2). Pada ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐴𝐶𝐵, 𝐴𝐵 ≅ 𝐴𝐶, ∠𝐴 ≅ ∠𝐴 dan 𝐴𝐶 ≅ 𝐴𝐵

Menurut Teorema 2.1.10 ∆𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆𝐴𝐶𝐵.

Teorema 2.1.13 SSS (Side Side Side) (Berele dan Goldman, 2001)

Diberikan ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐷𝐸𝐹. Jika 𝐴𝐵 ≅ 𝐷𝐸, 𝐵𝐶 ≅ 𝐸𝐹 dan 𝐴𝐶 ≅ 𝐷𝐹

maka ∆𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆𝐷𝐸𝐹.

Bukti

Diketahui ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐷𝐸𝐹 dengan 𝐴𝐵 ≅ 𝐷𝐸, 𝐵𝐶 ≅ 𝐸𝐹 dan 𝐴𝐶 ≅ 𝐷𝐹.

Pada Gambar 2.26 dikonstruksi suatu titik G

sehingga ∠𝐺𝐵𝐶 ≅ ∠𝐸 dan ∠𝐺𝐶𝐵 ≅ ∠𝐹.

Menurut Teorema 2.1.10 ∆𝐺𝐵𝐶 ≅ ∆𝐷𝐸𝐹.

Selanjutnya akan ditunjukkan ∆𝐺𝐵𝐶 ≅ ∆𝐴𝐵𝐶

Dikonstruksi 𝐺𝐴. Karena 𝐴𝐵 ≅ 𝐷𝐸 dan 𝐷𝐸 ≅ 𝐺𝐵 maka 𝐴𝐵 ≅ 𝐺𝐵,

sehingga ∆𝐵𝐴𝐺 merupakan segitiga sama kaki.

Jadi dari Teorema 2.1.11 disimpulkan ∠𝐵𝐴𝐺 ≅ ∠𝐵𝐺𝐴.

A D

G

B C E F

Gambar 2.26

Karena ∠𝐴 ≅ ∠𝐺 maka 𝐴𝐶 ≅ 𝐶𝐺

sehingga ∆𝐶𝐴𝐺 merupakan segitiga sama kaki dan ∠𝐶𝐴𝐺 ≅ ∠𝐶𝐺𝐴.

Perhatikan bahwa

∠𝐵𝐴𝐺 > ∠𝐶𝐴𝐺,

∠𝐶𝐴𝐺 ≅ ∠𝐶𝐺𝐴,

∠𝐶𝐺𝐴 > ∠𝐵𝐺𝐴

∠𝐵𝐺𝐴 ≅ ∠𝐵𝐴𝐺

sehingga ∠𝐵𝐴𝐺 > ∠BAG., hal ini tidak mungkin terjadi karena ∠𝐵𝐴𝐺 ≅ ∠𝐵𝐴𝐺

Jadi, G harus berimpit dengan A sehingga ∠𝐺𝐵𝐶 = ∠𝐵 ≅ ∠𝐸.

Akibatnya ∆𝐺𝐵𝐶 ≅ ∆𝐴𝐵𝐶.

Dengan demikian menurut Teorema 2.1.10

∆𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆𝐷𝐸𝐹

Pada geometri Euclid sifat AAA (Angle Angle Angle) tidak berlaku. Hal ini

dapat dijelaskan pada counter example berikut.

Diberikan dua segitiga yaitu ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐷𝐸𝐹 pada geometri Euclid

(Gambar 2.27) dengan ∠𝐴 = ∠𝐷, ∠𝐵 = ∠𝐸 dan ∠𝐶 = ∠𝐹.

F

C

A B D E

Gambar 2.27 ∆𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆𝐷𝐸𝐹

Kedua segitiga tersebut mempunyai sudut-sudut yang bersesuaian sama

besar. Perhatikan bahwa 𝐴𝐵 ≠ 𝐷𝐸, 𝐴𝐵 ≠ 𝐷𝐸 dan 𝐵𝐶 ≠ 𝐸𝐹. Dari Definisi 2.1.9,

dua segitiga dikatakan kongruen jika sudut-sudut yang bersesuaian sama besar

dan sisi-sisi yang bersesuaian panjangnya sama, berarti ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐷𝐸𝐹 tidak

kongruen meskipun sudut-sudut yang bersesuain besarnya sama. Jadi dengan

demikian sifat AAA (Angle Angle Angle) tidak berlaku pada geometri Euclid.

2.2 Geometri Riemann

Pada subbab ini akan dibahas tentang geometri Riemann yang keseluruhan

teorinya diambil dari Basic Concepts of Geometry, Walter P, Meyer. 1965.

Bernhard Riemann (1826-1866) dari Jerman dalam tahun 1854 membacakan

disertasinya tentang penemuannya yang baru di fakultas Filsafat Gottingen.

Postulat dari kesejajaran Riemann adalah tidak ada garis-garis yang sejajar dengan

garis lain. Pernyataan ini bertentangan dengan pernyataan Euclid tentang

kesejajaran. Pernyataan Euclid dapat dilihat dalam Teorema 2.2.1.

Teorema 2.2.1

Dua garis yang tegak lurus pada suatu garis adalah sejajar.

Bukti

Diketahui dua garis ℓ dan m tegak lurus pada n. Titik potong ℓ dan m terhadap n

berturut-turut A dan B.

Andaikan ℓ dan m tidak sejajar maka garis-garis itu akan berpotongan di P.

P

ℓ m

n A B

P’

Gambar 2.28 Garis ℓ dan m

Langkah Alasan

1). PA diperpanjang dengan AP’= PA 1).Suatu ruas garis boleh diperpanjang

2). ditulis P’P 2).Dua titik menentukan 1 garis

3). ∆𝐴𝐵𝑃 ≅ ∆𝐴𝐵𝑃′ 3).Teorema SAS

4). ∠𝐴𝐵𝑃 = ∠𝐴𝐵𝑃′ 4).Unsur yang berkorespondensi

5).∠𝐴𝐵𝑃′ = 90° = 𝐴𝐵𝑃 hingga BP

dan BP’ berimpit

5).Melalui 1 titik pada suatu garis

hanya ada 1 garis yang tegak lurus

garis itu

6). l dan m berimpit 6).Dua titik menentukan 1 garis

Terdapat kontradiksi dengan ketentuan bahwa l dan m berlainan. Jadi pengandaian

salah, berarti l dan m sejajar.

Pada pembuktian Teorema 2.2.1, Euclid mengasumsikan bahwa setiap garis

memisahkan bidang menjadi dua sisi yang berhadapan. Jadi pada langkah pertama

telah dianggap bahwa P dan P’ berlainan. Menurut Riemann, jika setiap garis

memisahkan bidang maka P dan P’ harus merupakan titik yang berbeda. Jika dua

garis berpotongan pada dua titik maka ada dua teori yang mengasumsikan postulat

kesejajaran Riemann yaitu geometri Riemann tunggal dan geometri Riemann

ganda. Model dari geometri Riemann ganda dapat direpresentasikan pada model

bola dan model dari geometri Riemann tunggal ialah setengah bola.

Pada geometri Riemann ganda, titik A dan A’ dianggap berbeda sehingga

garis pada bola membagi bola menjadi dua bagian.

A’

A

Gambar 2.29 Model geometri Riemann ganda

Pada geometri Riemann tunggal, titik A dan A’ dianggap sama sehingga

tidak ada garis yang memisahkan bidang menjadi dua bagian.

A’

A

Gambar 2.30. Model geometri Riemann tunggal

Tabel 2.2 Penyajian geometri Riemann ganda pada bola Euclid

Geometri Riemann Ganda Representasi pada Euclid

Titik Titik pada bola

Garis Lingkaran besar

Bidang Bola

Ruas Garis Busur dari suatu lingkaran

Jarak antara dua titik Panjang busur terpendek dari

Lingkaran besar yang melalui

kedua titik itu

Sudut yang dibentuk oleh dua garis Sudut pada bola yang dibentuk

oleh dua lingkaran besar

Keterangan pada Tabel 2.2 dapat dilihat pada Gambar 2.31 sampai Gambar 2.36

P

Gambar 2.31 Titik P

L

M

Gambar. 2.32 Garis L dan garis M

B

Gambar 2.33 Bidang B

O

P

Gambar 2.34 Ruas garis OP

C

D

Gambar 2.35 Jarak antara titik C dan titik D

𝛼

Gambar 2.36 Sudut 𝛼

Pada geometri Riemann, segitiga terbentuk dari tiga buah ruas garis yang

berpotongan. Seperti diperlihatkan pada Gambar 2.37

A B

C

Gambar. 2.37 Segitiga ABC

III HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembahasan pada bab III diawali dengan membahas definisi-definisi dan

teorema-teorema yang dipakai dalam pembuktian teorema kekongruenan segitiga

SSS (Side Side Side) dan AAA (Angle Angle Angle) pada geometri Riemann

Ganda.

3.1 Kekongruenan Dua Segitiga pada Geometri Riemann Ganda

Definisi 3.1.1 Definisi Kekongruenan Segitiga

Diberikan ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐴′𝐵′𝐶′ . Jika ∠𝐴 = ∠𝐴′ , ∠𝐵 = ∠𝐵′ ,∠𝐶 = ∠𝐶′ dan

𝐴𝐵 = 𝐴′𝐵′, 𝐴𝐶 = 𝐴′𝐶′ , 𝐵𝐶 = 𝐵′𝐶′ maka ∆𝐴𝐵𝐶 kongruen dengan ∆𝐴′𝐵′𝐶′ .

Ditulis ∆𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆𝐴′𝐵′𝐶′.

A A’

B C B’ C’

Gambar. 3.1 ∆𝐴𝐵𝐶 kongruen dengan ∆𝐴′𝐵′𝐶′

Definisi 3.1.2 Segitiga Simetris pada Geometri Riemann Ganda

Diberikan ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐴′𝐵′𝐶′ dikatakan simetris jika sisi yang bersesuaian

pada ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐴′𝐵′𝐶′ sama panjang dan juga sudut yang bersesuaian sama

besar namun urutannya terbalik.

A’

C’ B’

B C

A

Gambar 3.2 ∆𝐴𝐵𝐶 simetris dengan ∆𝐴′𝐵′𝐶′

Definisi 3.1.3 Sudut Dihedral (Berele dan Goldman, 2001)

Sudut dihedral merupakan sebuah sudut didalam ruang yang terbentuk oleh

bidang (𝑃, ℓ) dan bidang (𝑄, ℓ) yang memotong garis ℓ. Bidang (𝑃, ℓ) dan

bidang 𝑄, ℓ disebut permukaan sudut dan ℓ sebag’ai rusuk sudut dihedral.

(𝑄, ℓ)

C

A

B

(𝑃, ℓ)

Gambar. 3.3 Sudut dihedral

Perhatikan Gambar 3.3 . Misalkan A merupakan suatu titik pada ℓ pada

suatu sudut dihedral. Buat B pada suatu permukaan sehingga 𝐴𝐵 ⊥ ℓ dan buat C

pada permukaan lain sehingga 𝐴𝐶 ⊥ ℓ. Jadi (𝐴, 𝐵, 𝐶) tegak lurus terhadap ℓ dan

∠𝐵𝐴𝐶 disebut suatu sudut bidang pada sudut dihedral.

Definisi 3.1.4 Sudut Dihedral Kongruen (Berele dan Goldman, 2001)

Dua sudut dihedral disebut kongruen jika keduanya mempunyai ukuran yang

sama.

Definisi 3.1.5 Sudut Trihedral (Berele dan Goldman, 2001)

Sudut trihedral adalah sudut yang terbentuk jika sisi dari tiga bagian bidang

bersekutu disatu titik persekutuan yang disebut vertex A.

Gambar 3.4 merupakan sudut trihedral ∠𝐴𝐵1𝐵2𝐵3 yang meliputi vertex A,

rusuk 𝐴𝐵1 , 𝐴𝐵2, 𝐴𝐵3

. Ketiga sudut ∠𝐵1𝐴 𝐵2, ∠𝐵2𝐴 𝐵3 dan ∠𝐵3𝐴 𝐵1 disebut

sudut permukaan.

A

𝐵3

𝐵1 𝐵2

Gambar 3.4 Sudut trihedral

Teorema 3.1.6 (Berele dan Goldman, 2001)

Diberikan dua sudut trihedral ∠𝐴𝐵1𝐵2𝐵3 dan ∠𝐴′𝐵1′ 𝐵2′𝐵3′, sudut dihedral

𝐴𝐵1 kongruen dengan sudut dihedral 𝐴′𝐵1′ . Jika ∠𝐵1𝐴 𝐵2 ≅ ∠𝐵1′𝐴′ 𝐵2′ dan

∠𝐵1𝐴 𝐵3 ≅ ∠𝐵1′𝐴′ 𝐵′3′ maka dua sudut trihedral kongruen atau simetris.

Bukti

Untuk menunjukkan bahwa dua sudut trihedral kongruen atau simetris cukup

menunjukkan bahwa ∠𝐵2𝐴 𝐵3 ≅ ∠𝐵2′ 𝐴′𝐵3′.

A

𝐵3

𝐵1

𝐵2

(a)

𝐴′

𝐵3′

𝐵1′

𝐵2′

(b)

𝐴′

𝐵3′

𝐵2′ 𝐵1′

(c)

Gambar 3.5 Sudut trihedral kongruen (a), (b) dan simetris (a), (c).

Perhatikan Gambar 3.5. Pilih 𝐵1,, 𝐵1′ sehingga 𝐴𝐵1 ≅ 𝐴′𝐵1′

dan dipilih 𝐵2,𝐵3, 𝐵2′ ,𝐵3′sehingga 𝐵2

𝐵1 dan 𝐵3

𝐵1 tegak lurus terhadap 𝐴𝐵1

dan

𝐵2′ 𝐵1′ , 𝐵3′ 𝐵1′ tegak lurus terhadap 𝐴′𝐵1′

sehingga ∆𝐴 𝐵1𝐵2 ≅ ∆𝐴 ′𝐵1′𝐵2′ dan ∆𝐴 𝐵1𝐵3 ≅ ∆𝐴 ′𝐵1′𝐵3′

Oleh karena itu 𝐵1𝐵2 ≅ 𝐵1′𝐵2′ dan 𝐵1𝐵3

≅ 𝐵1′𝐵3′ .

Menurut Definisi 3.1.4 ∠𝐵2𝐵1 𝐵3 ≅ ∠𝐵2′𝐵1 ′𝐵3 ′

Oleh karena itu ∆𝐵2𝐵1𝐵3 ≅ ∆𝐵2′𝐵1′𝐵3′

karena ∆𝐵1𝐵2𝐵3 ≅ ∆ 𝐵1′𝐵2′𝐵3′ maka 𝐵2𝐵3 ≅ 𝐵2′𝐵3

′ ,

dan karena ∆𝐴 𝐵1𝐵3 ≅ ∆𝐴 ′𝐵1′𝐵3′ maka 𝐴𝐵2 ≅ 𝐴′𝐵2′

Jadi ∆𝐴 𝐵2𝐵3 ≅ ∆𝐴 ′𝐵2′𝐵3′ sehingga ∠𝐵2𝐴 𝐵3 ≅ ∠𝐵2′ 𝐴′𝐵3′

karena sudut permukaan ∠𝐵1𝐴 𝐵2 ≅ ∠𝐵1′ 𝐴′𝐵2′ ∠𝐵1𝐴 𝐵3 ≅ ∠𝐵1′𝐴′ 𝐵3′ dan

∠𝐵2𝐴 𝐵3 ≅ ∠𝐵2′ 𝐴′𝐵3′ maka sudut trihedral ∠𝐴𝐵1𝐵2𝐵3 kongruen

dengan ∠𝐴′𝐵1′ 𝐵2′𝐵3′ (Gambar 3.5 (a), (b)) atau ∠𝐴𝐵1𝐵2𝐵3 simetris dengan

∠𝐴′𝐵1′ 𝐵2′𝐵3′ (Gambar 3.5(a), (c)).

Definisi 3.1.7 Kutub (Moeharti, 1986)

Diberikan suatu titik K dan sebuah garis ℓ pada bola. K disebut kutub dari ℓ jika

jarak antara K pada setiap titik di ℓ sama dan setiap ruas garis yang

menghubungkan K dengan suatu titik pada ℓ tegak lurus pada ℓ. Jarak K sampai

garis ℓ disebut jarak polar.

K

Gambar 3.6 Kutub K

Teorema 3.1.8 (Berele dan Goldman, 2001)

Misalkan ∠𝐴𝑃𝐵 adalah sudut bola dan C merupakan lingkaran besar yang

mempunyai kutub P. Busur 𝑃𝐴 dan 𝑃𝐵 diperpanjang sehingga memotong C di 𝐴′

dan 𝐵′ maka ∠𝐴𝑃𝐵 = 𝐴′𝐵′.

Bukti

Diketahui P merupakan kutub dari C dan Q merupakan antipodal dari P dan O

adalah pusat bola.Andaikan lingkaran besar tegak terhadap P dan A memotong C

di 𝐴′ dan lingkaran besar tegak terhadap P dan B memotong C di B’.𝐴′dan 𝐵′

dihubungkan dengan pusat bola O (Gambar 3.7).

P

C A B

O

B’

A’

Q

Gambar 3.7 ∠𝐴𝑃𝐵 = 𝐴′𝐵′

Oleh karena itu 𝑂𝑃 tegak lurus terhadap C di O. 𝑂𝑃 ⊥ 𝑂𝐴′ dan 𝑂𝑃 ⊥ 𝑂𝐵′.

Akibatnya membentuk ∠𝐴′𝑂𝐵′ yang merupakan sudut bidang dari sudut dihedral

yang tegak terhadap sudut bola ∠𝐴𝑃𝐵.

Karena suatu sudut dihedral diukur dari sembarang sudut bidang dan ∠𝐴𝑂𝐵′

adalah sudut pusat dari 𝐴′𝐵′ maka ∠𝐴𝑃𝐵 = 𝐴′𝐵′ .

Teorema 3.1.9 (Berele dan Goldman, 2001)

Jarak antara kutub pada setiap titik dari lingkaran besar adalah 90°.

Bukti

Misalkan O merupakan titik pusat bola. Dibuat titik A dan B pada lingkaran besar

dengan P dan Q merupakan kutub dari lingkaran besar. Dari Definisi 3.1.5,𝑃𝑄

tegak lurus terhadap lingkaran besar melalui pusat O seperti pada Gambar 3.8

P

O

A B

Q

Gambar 3.8 P dan Q kutub dari A dan B

Karena 𝑂𝐴 dan 𝑂𝐵 merupakan jari-jari maka ∠𝑃𝑂𝐴 = ∠𝑃𝑂𝐵 = 90°.

Jadi ditulis 𝑃𝐴 = 𝑃𝐵 = 90° .

Jadi jarak P kesetiap titik pada lingkaran besar adalah 90°.

Definisi 3.1.10 Segitiga Polar (Berele dan Goldman, 2001)

Diberikan ∆𝐴𝐵𝐶 pada bola, segitiga polar dari ∆𝐴𝐵𝐶 adalah ∆𝐴′𝐵′𝐶′ jika A

merupakan kutub dari 𝐵′𝐶′, B merupakan kutub dari 𝐴′𝐶′ dan C merupakan kutub

dari 𝐴′𝐵′.

A’ C’

A C

B

B’

Gambar 3.9 Segitiga Polar

Teorema 3.1.11 (Berele dan Goldman, 2001)

Jika ∆𝐴′𝐵′𝐶′ merupakan segitiga polar dari ∆𝐴𝐵𝐶 maka ∆𝐴𝐵𝐶 merupakan

segitiga polar dari ∆𝐴′𝐵′𝐶′.

Bukti

Akan ditunjukkan bahwa 𝐴′ merupakan kutub dari 𝐵𝐶, 𝐵′ merupakan kutub dari

𝐴𝐶 dan 𝐶′ merupakan kutub dari 𝐴𝐵.

Menurut Definisi 3.1.10, 𝐵 merupakan kutub dari 𝐴′𝐶′ dan menurut Teorema

3.1.9 jarak polar 𝐴′ ke 𝐵 adalah 90°, 𝐶 merupakan kutub dari 𝐴′𝐵′ sehingga jarak

polar 𝐶 ke 𝐴′ adalah 90° (Gambar 3.10)

𝐴′ 𝐶′

𝐴′ 𝐶′

𝐵′

𝐵′

Gambar 3.10 ∆𝐴′𝐵′𝐶′ segitiga polar dari ∆𝐴𝐵𝐶

𝐴′

𝑂

𝐵 𝐶

𝑄

Gambar 3.11 𝐴′ kutub dari 𝐵𝐶

Pada Gambar 3.11 dikonstruksi 𝐴′𝑂, 𝑂𝐵, 𝑂𝐶 dan sudut ∠𝐴′𝑂𝐵 = ∠𝐴′𝑂𝐶 =

90°. Jadi 𝐴′𝑂 tegak lurus terhadap lingkaran besar yang memuat 𝐵𝐶 di 𝑂

sehingga 𝐴′ berada di bola dengan 𝐴′ merupakan titik sumbu. Oleh karena itu 𝐴′

merupakan kutub dari 𝐵𝐶. Dengan cara yang sama, diperoleh 𝐵′ merupakan

kutub dari 𝐴𝐶 dan 𝐶′ merupakan kutub dari 𝐴𝐵.

Teorema 3.1.12 Sisi Sisi Sisi (Berele dan Goldman, 2001)

Diberikan∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐴′𝐵′𝐶′. Jika 𝐴𝐵 = 𝐴′𝐵′, 𝐵𝐶 = 𝐵′𝐶′ dan 𝐴𝐶 = 𝐴′𝐶′

maka ∆𝐴𝐵𝐶 kongruen atau simetris dengan ∆𝐴′𝐵′𝐶′. Dua segitiga disebut

kongruen jika sisi-sisi yang bersesuaian urutannya sama dan disebut simetris jika

sisi-sisi yang bersesuaian urutannya terbalik

Bukti

Diketahui ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐴′𝐵′𝐶′ dengan 𝐴𝐵 = 𝐴′𝐵, 𝐵𝐶 = 𝐵′𝐶′ dan 𝐴𝐶 = 𝐴′𝐶′ .

Misalkan titik O adalah titik pusat bola yang memuat ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐴′𝐵′𝐶

(Gambar 3.12a dan 3.12b ) maka dapat dibuat garis 𝑂𝐴, 𝑂𝐵, 𝑂𝐶, 𝑂𝐴′ , 𝑂𝐵′ , 𝑂𝐶′.

A O A’ O

B B’

C C’

Gambar 3.12a ∠𝑂𝐴𝐵𝐶 kongruen dengan ∠𝑂𝐴′𝐵′𝐶′

A’ O O 𝐴′

B’ B’

C’ 𝐶′

Gambar 3.12b ∠𝑂𝐴𝐵𝐶 simetris dengan ∠𝑂𝐴′𝐵′𝐶′

karena 𝐴𝐵 = 𝐴′𝐵, 𝐵𝐶 = 𝐵′𝐶′ dan 𝐴𝐶 = 𝐴′𝐶′

maka sudut permukaan ∠𝐴𝑂𝐵 = ∠𝐴′𝑂𝐵′ , ∠𝐵𝑂𝐶 = ∠𝐵′𝑂𝐶′

dan ∠𝐴𝑂𝐶 = ∠𝐴′𝑂𝐶′

karena sudut permukaan sama maka dari Teorema 3.1.6

sudut trihedral ∠𝑂𝐴𝐵𝐶 kongruen dengan ∠𝑂𝐴′𝐵′𝐶′ atau ∠𝑂𝐴𝐵𝐶 simetris

dengan ∠𝑂𝐴′𝐵′𝐶.

Hal ini berarti hubungan antara segitiga adalah kongruen seperti pada Gambar

3.12a atau simetris seperti pada Gambar 3.12b

Teorema 3.1.13 Sudut Sudut Sudut (Berele dan Goldman, 2001)

Diberikan ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐷𝐸𝐹 dengan ∠𝐴 = ∠𝐷, ∠𝐵 = ∠𝐸 dan ∠𝐶 = ∠𝐹 maka

∆𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆𝐷𝐸𝐹. Dua segitiga disebut kongruen jika sudut-sudut yang

bersesuaian urutannya sama dan disebut simetris jika sudut-sudut yang

bersesuaian urutannya terbalik.

Bukti

Diberikan ∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐷𝐸𝐹. Misalkan ∆𝐴′𝐵′𝐶′ adalah segitiga polar dari

∆𝐴𝐵𝐶 dan ∆𝐷′𝐸′𝐹′ adalah segitiga polar dari ∆𝐷𝐸𝐹.

Akan ditunjukkan ∆𝐴′𝐵′𝐶′ ≅ ∆𝐷′𝐸′𝐹′ dan ∆𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆𝐷𝐸𝐹

C F

C’ F’

A’ B’ D’ E’

A B D E

Gambar 3.13a ∆𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆𝐷𝐸𝐹

C F

C’ F’

A’ B’ E’ D’

A B E D

Gambar 3.13b ∆𝐴𝐵𝐶 simetris dengan ∆𝐷𝐸𝐹

Pada Gambar 3.13a dan Gambar 3.13b, ∠𝐴 merupakan supplement dari 𝐵′𝐶′ dan

∠𝐷 merupakan supplement dari 𝐸′𝐹′ . Karena diketahui ∠𝐴 = ∠𝐷

maka 𝐵′𝐶′ = 𝐸′𝐹′ .

Supplement dari 𝐴′𝐶′ adalah ∠𝐵 dan supplement dari 𝐷′𝐹′ adalah ∠𝐸 . Karena

∠𝐵 = ∠𝐸 maka 𝐴′𝐶′ = 𝐷′𝐹′ .

Supplement dari 𝐴′𝐵′ adalah ∠𝐶 dan supplement dari 𝐷′𝐸′ adalah ∠𝐹 . Karena

diketahui ∠𝐶 = ∠𝐹 maka 𝐴′𝐵′ = 𝐷′𝐸′ .

Jadi menurut Teorema 3.1.12, ∆𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆𝐷𝐸𝐹

Selanjutnya, ∠𝐴 ′ merupakan supplement dari 𝐵𝐶 dan ∠𝐷′ merupakan

supplement dari 𝐸𝐹 . Karena ∠𝐴′ = ∠𝐷′ maka 𝐵𝐶 = 𝐸𝐹.

Supplement dari 𝐴𝐶 adalah ∠𝐵′ dan supplement dari 𝐷𝐹 adalah ∠𝐸′ . Karena

∠𝐵′ = ∠𝐸′ maka 𝐴𝐶 = 𝐷𝐹.

Supplement dari 𝐴𝐵 adalah ∠𝐶′ dan supplement dari 𝐷𝐸 adalah ∠𝐹′ . Karena

∠𝐶′ = ∠𝐹′ maka 𝐴𝐵 = 𝐷𝐸.

Sehingga dari Teorema 3.1.12, terbukti bahwa ∆𝐴𝐵𝐶 ≅ ∆𝐷𝐸𝐹

Pada geometri Riemann ganda, teorema kekongruenan segitiga SSS (Side

Side Side ) dan AAA (Angle Angle Angle) telah dibuktikan berturut-turut pada

Teorema 3.1.12 dan Teorema 3.1.13 sehingga untuk membuktikan kekongruenan

dua segitiga dapat menggunakan kedua teorema tersebut.

IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa kekongruenan dua segitiga

pada geometri Riemann dapat dibuktikan dengan Teorema AAA (Angle Angle

Angle) dan Teorema SSS (Side Side Side).

4.2 Saran

Hal yang belum dilakukan dalam penelitian ini sekaligus yang menjadi

saran untuk penelitian lanjutan adalah

1. Menyelidiki eksistensi teorema kekongruenan SSA ( Side Side Angle)

pada geometri Euclid.

2. Membuktikan dua teorema kekongruenan dua segitiga pada geometri

Riemann yaitu Teorema ASA (Angle Side Angle) dan Teorema SAS

( Side Angle Side).

DAFTAR PUSTAKA

Berele A dan Goldman. J. 2001. Geometry Theorems and Constructions.

Prentice Inc. New Jersey.

Gareth Lilian. Elemen dan Garis. http://www Pdfgemi. Com/Elemen + Garis-

Blokbinadarma.ac.id (20 Maret 2012).

Moeharti. 1986. Sistem-sistem Geometri. Universitas Terbuka. Jogjakarta.

Rich Barnet 2002. Geometri. Erlangga. Jakarta.

Walter P, Meyer. 1965. Basic Concepts of Geometry. Xerox College Publishing.

Lexington Massachusetts, Toronto.