Post on 17-Mar-2019
KEPEMIMPINAN ADAT DALAM KEPATUHAN
MASYARAKATPADA NORMA ADAT (Studi Kasus di Kasepuhan Sinar Resmi Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok
Kabupaten Sukabumi Jawa Barat)
NURUL HAYAT
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : Kepemimpinan
AdatDalamKepatuhanMasyarakatPada Norma Adat(Studi Kasus Di
Kasepuhan Sinar Resmi Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten
Sukabumi Jawa Barat). Adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Nurul Hayat
I353080111
ABSTRACT
The study focus of this thesis was to explore issues of leadership in
indigenous communities in compliance with customary norms. With a case
studyincommunitydistrictsKasepuhanSinar Resmi atCisolokdistrict Sukabumi
regency. In this study,assessedthe historyandbackgroundon
thedynamicsleadership atKasepuhan,
divisionsandrestrukturasiinstitutionalcustomaryineveryeraof
AbahleadershipfollowingKasepuhaninvariousnationaland localeventsthat
influence thedynamics ofits lead. Changesleadershipdynamicsthat
occurinsocietyKasepuhanSinar Resmiwere also analyzedby looking ata variety
ofexternal and internal factorsthat influence it. This studyshowsthat
theinternalpolitical affairsin theinterests ofa Kasepuhan largefamily, the
introduction of educationalsoaffectedtheleadership ofAbah,a money
economyculture, lifestyle changes, the intensity ofinteractionwith the outside
world, becomeimportant factorsthat influence(directly or indirectly) toward the
changesandtransforms thetraditional valuesthat hadheldstronglyas theback of
theorderof sociallife. Alongwith thesocialtransformationthat occurred,a
leadershipstyleat KasepuhanSinar Resmi also changed. On the other hand,
variousfactors drivingsocialchangealso affectedthechanges incompliance
withthenorms andtraditionalvaluesand attitudesonleadershipstylesinthe
currentKasepuhanSinar Resmi.
Key Word: The leadership dynamics, Indigenous Peoples, adherence to
traditional norms, Kasepuhan Sinar Resmi, Sukabumi District,
West Java.
RINGKASAN
Nurul Hayat. Kepemimpinan Adat Dalam Kepatuhan Masyarakat Pada
Norma Adat (Studi Kasus Di Kasepuhan SRI Desa Sirnaresmi Kecamatan
Cisolok Kabupaten Sukabumi Jawa Barat). Dibimbing oleh Nurmala K.
Pandjaitan dan Winati Wigna.
Penelitian ini mencoba melihat tentang dinamika kepemimpinan
masyarakat di kasepuhan, sejak Kasepuhan itu berdiri hingga saat ini. Dimana
dalam dinamika setiap kepempinan kebanyakan adanya intrevensi-intervensi
pemerintah dalam tatanan kehidupan di masyarakat kasepuhan, serta saat ini
kepemimpinannya justru pemerintah dijadikan mitra kelangsungan kehidupan
sehingga membawa dampak terhadap masyarakatnya karena dinilai telah
melanggar norma adat. Untuk itu beberapa pertanyaan penelitian diharapkan dapat
terjawab, adapun pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah : (1) bagaimana
kepemimpinan yang ada di Kasepuhan SRI?, (2) bagaimana norma-norma adat
yang ada di Kasepuhan SRI?, (3) bagaimana kepatuhan masyarakat terhadap
norma adat di Kasepuhan SRI?, (4) bagaimana peran pemimpin adat terhadap
pemeliharaan norma adat?.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan strategi pendekatan
studi kasus karena fokus yang di teliti adalah Abah sebagai pucuk kepemimpinan
di Kasepuhan sejak berdirinya kasepuhan hingga saat ini, dengan segala
dinamikanya, kasus yang menyoroti perilaku individu Abah sebagai pemimpin di
kasepuhan, serta masyarakat kasepuhan yang mendapatkan dampak dari
kepemimpinannya dari berbagai tingkatan peristiwa baik nasional maupun lokal.
Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Februari sampai dengan bulan
Maret 2012, di Kasepuhan SRI, pemimpin dalam bahasa Kasepuhan di sebut
Abah, dan masyarakatnya di sebut incu-putu. Incu-putu kasepuhan tersebar di
Jawa Barat, Banten Hingga Lampung karena adat tidak mengenal batas wilayah
administrasi. Pusat pemerintahan kasepuhan Sinar Resmi secara adminstrasi
masuk kedalam Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi,
Provinsi Jawa Barat.
Secara umum penelitian ini mengasilkan bahwa gaya kepemimpinan
Kasepuhanditinjau dari sudut tinjauan historis sebelum terbitnya UU No. 5/1979
yang memaksa Kasepuhan untuk tidak lagi hidup berpindah-pindah dan mengakui
wilayah otoritas pemerintahan desa, masyarakat Kasepuhan SRI masih sangat
teguh didalam menjalankan aturan adat Kasepuhan. “Abah” sebagai patron dari
incu putunya, sangat teguh dan konsistennya “Abah” menjalankan norma-norma
adat. Kegiatan-kegiatan kemasyarakatan khususnya di dalam pengelolaan lahan
kolektif masyarakat kasepuhan beserta ritual yang menyertainya dilakukan oleh
masyarakat kasepuhan secara bersama-sama tanpa pembagian kerja yang ketat di
kalangan masyarakat Kasepuhan. Penananaman padi dengan jenis padi lokal yang
ditanam hanya sekali dalam setahun juga tetap dipertahankan. Sehingga
kelembagaan “leuit” berperan besar di dalam pemenuhan pangan seluruh
masyarakat Kasepuhan.
Dalam struktur kekuasaan dan pola kepemimpinan otokratik dari “Abah”
menuntut kesetiaan incu putunya terhadap Abah. Kesetiaan pengikut juga
terpelihara karena “Abah” menciptakan jarak sosial yang sangat dekat antara
“Abah” dan “Incu Putunya”. Meskipun pola kepemimpinan “Abah” yang
cenderung mengambil keputusan tanpa melibatkan “incu putunya” dan kemudian
menuntut mereka untuk mematuhi keputusan “Abah”, namun karena konsistensi
“Abah” dan kecilnya jarak sosial diantara “incu putunya” menyebabkan timbulnya
rasa kesetiaan pengikut terhadap sang “Abah”.
Dinamika kepemimpinan adat Kesepuhan, bahwa gejolak sosial di
masyarakat Kasepuhan sendiri sesungguhnya muncul dari luar sistem sosial
Kasepuhan kemudian merembes ke dalam sistem sosial masyarakat Kasepuhan.
Titik awal dari gejolak sosial yang dialami oleh Kepemimpinan Kasepuhan SRI
melalui terbitnya UU No. 5/1979 memaksa tunduknya masyarakat Kasepuhan
terhadap tata aturan pemerintah. Melalui perundang-undangan tersebut, artinya
bahwa saat itu masyarakat Kasepuhan SRI tidak lagi berfikir dan bertindak secara
lokal. Misalnya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya yakni tidak boleh lagi
hidup berpindah-pindah, dan harus mengakui legitimasi pemerintahan “desa”.
Dinamika kepemimpinan berubah pada tahun 1985, karena adanya
perpecahan kekuasaan kasepuhan hingga karena ketika salah satu anak dari abah
di jadikan kepala desa sehingga tumpang tindihnya (peran) kepentingan yang
diemban oleh “Abah” dan kepala desa. Tidak konsistennya Abah kemudian
membawa pada sifat keterbukaan “Abah” di dalam menerima program-program
pembangunan. Dan sekaligus akibat penerimaan terhadap pembangunan, juga
merubah sendi-sendi kehidupan masyarakat Kasepuhan antara lain di dalam
pengelolaan sumberdaya pertanian yang secara adat telah melanggar norma-
norma.
Perubahan kepemimpinan puncaknya adalah ketika kasepuhan mulai
hidup menetap, dan meningkatnya pendidikan, sehingga membawa pada
hubungan masyarakat kasepuahn dengan masyarakat luar begitu mudah, dan
merubahnya kehidupan di Imah-Gede, dan merubah gaya hidup serta
mendekatkan masyarakat Kasepuhan dengan ekonomi uang. Sehingga terjadi
perpecahan kasepuhan kembali di kasepuhan. Sehingga kini kasepuhan menjadi
tiga Kasepuhan SRI, CGR, dan CMA.
Dampak dari perubahan gaya kepemimpinan serta perpecahan kasepuhan
tersebut pada Incu-putu, adalah pada keyakinan yang membawa pada kepatuhan
terhadap Abah sehingga kasepuhan mana yang menurut keyakian dari incu-putu
mempunyai “pancar pangawinan” sebagai sumber kekuasaan yang dimiliki oleh
tiap Abah. Sehingga akhirnya kompetisi “legitimasi“ diantara tiga kasepuhan yang
terpecah dibawah payung “pancar pangawinan”,guna mendapatkan keyakinan
dari para incu-putu yang ada, karena ketiga kasepuhan tersebut merasa memiliki
akan pancar pangawinan.
Kata Kunci : Dinamika kepemimpinan adat, norma adat, Kasepuhan
SRI, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat
GLOSSARY
Abah : Pemimpin Adat kasepuhan
Ambu : Sebutan seorang istri Abah di kasepuhan
Amil Kasepuhan : Sekretaris Kasepuhan
Huma : Sawah lahan kering [ladang]
Huma Serang : Sawah lahan kering [ladang] milik kasepuhan dan
di kelola bersama
Imah Gede : Istana kasepuhan, serta sebagai pusat komunikasi
dan interaksi Abah dengan warganya [incu-putu]
Incu-putu: Warga masyarakat atau keturunan kasepuhan
Leuit : Lumbung padi
Kabendon: Hukuman [sanksi] yang ada di kasepuhan
Kabuyutan : Para leluhur [pendahulu] yang membuat peraturan
sebelum kasepuhan berdiri
Kokolot Lembur : Orang yang di beri tanggung jawab oleh Abah di
salah satu kampung yang ada di kasepuhan
Pancar Pangawinan : WasiatdanketurunandariPrabuSiliwangi
Panasehat kasepuhan : Mereka yang sudah ada garis keturunan secara
kuat dengan para Abah maka akan di angkat
menjadi penasehat Abah
Seren-taun : Ritual adat puncak kegiatan pertanian [huma]
Wangsit : Ilham atau amanat yang di berikan pada seseorang
yang akan menjadi pemimpin [Abah] di
kasepuhan, wangsit ini datangnya kebanyakan
melalui mimpi
© Hak Cipta milik IPB Tahun 2012
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan lapora, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar di IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
KEPEMIMPINAN ADAT DALAM KEPATUHAN
MASYARAKAT PADA NORMA ADAT (Studi Kasus di Kasepuhan Sinar Resmi Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok
Kabupaten Sukabumi Jawa Barat)
NURUL HAYAT
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Terima Kasih Kepada Ir. Nuraini W. Prasodjo, M.Si
Sebagai penguji Luar Komisi, atas segala masukan, keritikan yang membangun
dan inspirasinya.
PRAKATA
Klawan nybut Asmane Alloh SWT, Kang Murah Ing dalm Dun-ya Tur-kang Asih
Ing dalm Akhirat
Alhamdulillahirrabil’alamin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala
limpahan rahmat, nikmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam terhaturkan pada
junjungan Nabi Muhammad SAW, penulis bersyukur yang begitu dalam kepada
Allah SWT, karena mendapat kesempatan menimba Ilmu di Sekolah Pascasarjana
IPB, hingga akhirnya mampu menyelesaikan tanggung jawab akademik ini
dengan baik.
Dengan kerendahan hati penulis, dalam kesempatan yang mulia ini, penulis ingin
mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya khususnya kepada
dosen pembimbing, para dosen di Sosiologi Pedesaan IPB, teman-teman
seangkatan SPD 2008, para sahabat dan keluarga baik langsung maupun tidak
yang memberikan spirit bagi penyelesaian tesis ini, adapun mereka tersebut
adalah :
1. Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS., DEA., dan Dra. Winati Wigna, MDS.,
selaku pembimbing tesis. Terima kasih atas segala bimbingan dan
dedikasi, motivasi serta kesabaran yang teramat luar biasa kepada penulis
dalam proses panjang penulisan tesis ini. Kesempatan dalam memperoleh
bimbingan secara langsung dari beliau berdua adalah kesempatan belajar
yang teramat mulia dan luar biasa bagi penulis.
2. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, Msc. Agr., selaku Ketua Program Studi
sosiologi Pedesaan dan Dr. Ir. Rilus Kinseng, selaku wakil Program Studi
Sosiologi Pedesaan yang selalu memberikan motivasi dan memacu penulis
untuk menyelesaikan studi di Mayor Sosiologi Pedesaan.
3. Ir. Nuraini W. Prasodjo, M.Si. Selaku dosen penguji Luar Komisi. Terima
kasih telah begitu murah hati dalam meluangkan waktu, memberikan
masukan, keritikan yang membangun dan motivasi kepada penulis hingga
memacu bagi penulis untuk memperbaiki tesis ini lebih baik.
4. Dosen-dosen dilingkungan Sosiologi Pedesaan; Prof. Dr. Endriatmo
Soetarto, Dr. Arif Satria, SP., M.Si. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, Msc.
Agr. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA. Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS., DEA.
Dra. Winati Wigna, MDS. Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS. Dr. Ir. Soeryo
Adi Wibowo, MS. Ir. Said Rusli, MA. Dr. Ir. Ekawati S.Wahyuni, MS. Dr.
Ir. Saharudin, M.Si.Ir. Melani A. Sunito, M.Sc. Ir. Nuraini W. Prasodjo
M.Si. Dr. Ir. Titik Sumarti, MS. Terima kasih atas segala ilmu dan
pengetahuan yang diberikan pada penulis semoga bermanfaat bagi penulis
kedepan.
5. Sahabat-sahabat perjuangan Sosiologi Pedesaan angkatan 2008;Nendah
Kurniasari, Eko Cahyono, Dian Ekowati,Favor A. Bacin, Gentini Ika
Lestari,Aldi Basir dan Usep Setiawan. Semoga pertalian ini tidak lekang
oleh waktu.
6. Para sahabat Sosiologi Pedesaan; Sofyan Sjaf, Sultan, Djaya Hendra,Yanti
dan Donny.
7. Staff administrasi yang telah membantu memperlancar kegiatan akademik:
Ibu Anggra Irene Bondar, Ibu Hetty, Ibu Susi, beserta Staff Departemen
Sains dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekonomi Manusia.
8. Keluarga Besar Sajogyo Institute (SAINS), Prof. Sajogyo (Alm), Dr. Ir.
Gunawan Wiradi, Prof. M.P Tjondronegoro, terima kasih atas keteladanan
hidup dan inspirasinya.
9. Teman-teman Keluarga Mahasiswa Banten (KMB) Bogor;Kang Wawan,
Ahmad Hidayatullah, Suardi, Asep Badru Tamam, Rifqi, Mega
Natasya,Fazmi Nawafi serta saudara Ahmad Pudori (Untirta).
10. Persembahan khusus untuk Kasepuhan Sinar Resmi; Abah Asep Nugraha,
Uwa Ugis, Amil Bukhari, Kang Dede Mulyana, serta Incu-putu
Kasepuhan Sinar Resmi, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi.
11. Tesis ini didedikasikan sebesar-besarnya untuk kedua orang tuaku; Bapak
Mad Seni, Ibu Siti Hayati yang senantiasa memberikan do’a dan spirit
yang diberikan kepada penulis serta teteh-teteh dan adik-adikku; Mareni,
Tati Yulyana, Mulyati, Siti Fatonah dan Rafiuddin.
Semoga Allah SWT, selalu melimpahkan Hidayah, Inayah, Magfirah dan
keberkahan (Rizki, kesehatan umur, ilmu) kepada kita semua, sehingga kita
mampu menjadi hamba-Nya yang berkualitas. Amin
Bogor, Agustus 2012
Nurul Hayat
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di sebuah desa kecil bernama Nambo Kecamatan
Walantaka serta berjarak 10km dari Kabupaten Serang, Provinsi Banten pada
tanggal 05 Juni 1979dan merupakan anak ketiga dari enam bersaudara dari
Ayahanda Mad Seni dan Ibunda Siti Hayati. Penulis menempuh pendidikan di
sekolah dasar Negeri (SDN) di desa yang sama lulus pada tahun 1992, kemudian
melanjutkan di Pondok Pesantren “Daar El Qolam” Gintung, Balaraja, Tangerang
lulus pada tahun 1995. Penulis lulus dari Sekolah Teknik Menengah (STM)
Prisma. Kabupaten Serang pada tahun 1998.
Pada tahun 2000 penulis di terima di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten pada jenjang strata
I dimasa menjadi Mahasiswa penulis aktif di organisasi intra dan ekstra kampus
dan lulus pada tahun 2007. Kemudian bekerja sebagai konsultan padi hybrida di
HKTI di Subang dan Sumedang pada tahun 2007-2008.
Pada tahun 2008 penulis memutuskan melanjutkan studi jenjang strata II
di Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB, serta pada tahun
2010 penulis aktif di Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) sebagai
Kepala Departemen Advokasi Pertanian hingga sekarang, dan pada tahun 2011
menjadi Staf Ahli Komisi III DPRD Kota Serang Provinsi Banten.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................ i
DAFTAR MATRIK.................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................
1.2 Rumusan Masalah................................................................................
1.3 Tujuan Penelitian..................................................................................
1.4 Kegunaan Penelitian.............................................................................
1
4
5
6
BAB II TINJAUAN TEORITIS............................................................. 7
2.1. Kepemimpinan Adat ..........................................................................
2.1.1. Kepemimpinan Adat Dalam Pemeliharaan Norma Adat.........
2.1.2. Peranan Kepemimpinan Adat...................................................
2.2. KepatuhanAdatTerhadap Norma Adat .............................................
2.3. KekuasaanKepemimpinanAdat.........................................................
2.4. Kelembagaan Sosial di Masyarakat Adat............................................
2.5. Kerangka Pemikiran............................................................................
7
11
14
15
16
17
20
BAB III METODE PENELITIAN......................................................... 23
3.1. Batasan Penelitian............................................................................... 23
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................................. 23
3.3.PendekatansertaTahapanPenelitian................................................. 24
3.4.TeknikPengumpulan Data................................................................. 25
3.5.TeknikPengolhan Data...................................................................... 27
BAB IV GAMBARAN UMUM KESEPUHAN SINAR RESMI......... 29
4.1. Lokasi Kasepuhan Sinar Resmi.......................................................... 29
4.2. Demografi........................................................................................... 30
4.2.1. Penduduk.................................................................................. 30
4.2.2. Mata Pencaharian...................................................................... 30
4.2.2.1. Pertanian Peladang...................................................... 30
4.2.2.2. Perkebunan dan Peternakan......................................... 33
4.2.2.3. Pengelolahan Hutan...................................................... 34
4.3. Sistem Religi di Kasepuhan................................................................ 35
4.4. Sejarah Terbentuknya Kasepuhan....................................................... 36
4.4.1. Kabuyutan................................................................................. 36
4.4.2. Kasepuhan................................................................................. 38
4.5. Sumber kekuasaan kepemimpinan Kasepuhan Sinar Resmi.............. 41
4.5.1. Keturunan................................................................................. 41
4.5.2. Wangsit..................................................................................... 42
4.5.3. Mitos......................................................................................... 42
BAB V DINAMIKA KEPEMIMPINAN KESEPUHAN..................... 45
5.1. Periode Kepemimpinan di Kasepuhan................................................ 45
5.1.1. Kepemimpinan Abah JSN...................................................... 45
5.1.2. Kepemimpinan Abah RSD...................................................... 49
5.1.3. Kepemimpinan Abah AJ........................................................ 56
5.1.4. Kepemimpinan Abah UT......................................................... 60
5.1.5. Kepemimpinan Abah ASN......................................... 62
BAB VI KASEPUHAN SINAR RESMI DIBAWAH
KEPEMIMPINAN ABAH ASEP NUGRAHA....................................
63
6.1. KasepuhanSinarResmi................................................................. 63
6.2. StrukturKepemimpinan di Kasepuhan Sinar Resmi...................... 67
6.3. PerubahanKepemimpinan di Kasepuhan Sinar Resmi....................... 69
6.3.1. Leuit : SebagaiKekuatandalamKepemimpinanKasepuhan
SinarResmi.............................................................
69
6.3.2. ImahGede: PusatPolitikKepemimpinanKasepuhan Sinar
Resmi............................................................................
71
6.4. Faktor yang MempengaruhiPerubahanKepemimpinan di
KasepuhanSinarResmi………………………………………….
72
6.4.1. Pendidikan Formal…………………………………………. 72
6.4.2. InteraksiDenganMasyarakatLuarKasepuhan……………..... 73
BAB VII KELEMBAGAAN ADAT DIKASEPUHAN SINAR
RESMI.......................................................................................
75
7.1. TataliParantiKaruhunSebagaiSumber Norma……................... 75
7.2. Norma-normaSosialKasepuhanSinarResmi.................................... 76
7.2.1. IbuBumi, BapakLangit, Tanah Ratu…………………….. 76
7.2.2. TiluSapamilu, DuaSakarupa, Nu Hiji Eta-Eta Keneh…… 77
7.2.3. PerubahanKepemimpinandalamMenjaga Norma Adat…. 80
7.2.4. PergeseranSumberKekuasaan…………………………….. 81
7.3. Pergeseran Kelembagaan Kasepuhan…...................................... 82
BAB VIII KEPATUHAN MASYARAKAT ADAT TERHADAP
NORMA ADAT KASEPUHAN…………………………..
83
8.1. KepatuhanIncu-PutuTerhadap Norma AdatKasepuhan............... 83
8.2. DampakPerubahanKepemimpinanTerhadapKehidupanIncu-
Putu........................................................................................
84
8.2.1. Berubahnya Gaya Hidup………………………………….. 84
8.2.2. MemudarnyaFungsiLeuit, ImahGededanTumbuhnya
EkonomiUang……………………………………………..
85
BAB IX PERNANAN PEMIMPIN DALAM PEMELIHARAAN
KEPATUHAN MASYARAKAT TERHADAP NORMA
ADAT................................................................................
87
9.1. PerananPemimpindalamMasyarakatAdatKasepuhan…........... 97
9.2. PerananPemmpindalamPemeliharaanSumberDayaAlam....... 98
9.3. PengaruhPerubahanKepemimpinanAdatTerhadapKepatuhan
MasyarakatPada Norma Adat……………………………………..
91
BAB X PENUTUP……………………………………………………… 95
10.1. Kesimpulan……………………………………………………….. 95
10.2. Saran……………………………………………………………… 96
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 97
LAMPIRAN
DAFTAR MATRIKS
Matriks Judul Halaman
2.1. Perbandingan Rujukan Tentang Masyarakat Adat 10
3.1. Jenis Data dan Sumber Informasi dalam Penelitian 27
4.1. Rangkaian Ritual Kegiatan Huma di Kasepuhan Sinar Resmi 32
5.1. Peristiwa-peristiwa yang Terjadi pada Periode Abah Jasiun 48
5.2. Peristiwa-Peristiwa Nasional dan Lokal Kepemimpinan Abah
Rusdi
56
5.3. Peristiwa-Peristiwa Nasional dan Lokal Kepemimpinan Abah
Arjo
59
5.4. Peristiwa-Peristiwa Nasional dan Lokal Kepemimpinan Abah
Ujat
62
5.5. Struktur Kepemimpinan Kasepuhan Sinar Resmi 68
7.1. Pergeseran Norma Kasepuhan 80
7.2. Data pendidikan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi 83
7.3. Pergeseran Sumber Kekuasaan, Kelembagaan Kasepuahn dan
dampaknya pada incu-putu
88
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
2.1. Perubahan Gaya Kepemimpinan dan Dampaknya Pada
Kepatuhan Masyarakat Terhadap Norma Adat
23
4.1. Susunan Genealogi Kabuyutan 39
4.2. Susunan Genealogi Kasepuhan 42
5.1. Perubahan Masa Kabuhunan ke Masa Kasepuhan 47
5.2. Intervensi pemerintah pada kepemimpinan Abah Rusdi 54
5.3. Susunan Genealogi Kasepuhan 65
6.1. landasan filosofis kehidupan kasepuhan dalam tatali Paranti
karuhun
73
6.2. Perubahan Kelembagaan pada tiap Kepemimpinan Kasepuhan 78
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kepemimpinan masyarakat adat di Indonesia sangat berbeda
pelaksanaannya dengan praktik kepemimpinan modern pada saat sekarang ini,
serta model kepemimpinan masyarakat adat juga bervariasi dan disesuaikan
dengan tempat di mana mereka berada. Ada yang melegitimasi melalui dukungan
dari masyarakatnya ataupun juga dari kewibawaan dan kharisma seorang
pemimpin itu sendiri.
Dilihat dari ciri-ciri dan sifatnya, kepemimpinan masyarakat adat termasuk
ke dalam kepemimpinan tradisional. Menurut Kartono (2001), bahwa pimpinan
tradisional dapat berpengaruh pada masyarakat di dalam peranan sosialnya baik
yang sifatnya positif maupun negatif. Status sosial tersebut pada hakikatnya
kebanyakan didapat dari faktor keturunan, kekayaan, taraf hidup, pengalaman
hidup, kharisma ataupun jasanya terhadap masyarakat. Dengan demikian
pemimpin dan kepemimpinan tradisional tidak memiliki penunjukkan secara
formal legitimasi sebagai pemimpin, tetapi masyarakat menunjuk dan
mengakuinya sebagai pemimpinnya.
Dalam kepemimpinan tersebut terdapat sistem kepemimpinan adat dimana
di dalamnya terdapat komponen-komponen kepemimpinan (struktur) yang saling
terikat diantara satu dengan yang lainnya, dan aturan-aturan hukum yang berlaku
guna menjalankan kehidupan dalam masyarakat adat tersebut. Dalam sistem
kepemimpinan tradisional terdapat nilai individu yang sangat kuat (bathin/magis),
beserta norma-norma yang selalu dipegang dan dijaga untuk menjaga
kewibawaannya sebagai seorang pemimpin.
Pemimpin di dalam masyarakat adat adalah orang yang paling berpegang
teguh dalam memegang norma-norma, seperti terlihat di masyarakat Adat Baduy
Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten di mana seorang
Puun1 diharuskan menjaga kewibawaan adat serta masyarakatnya dan pikeukeuh
2
1 Puun bahasa Sunda (lokal) Baduy yang artinya pemimpin adat di masyarakat Baduy yang
meliputi Baduy Panamping (Luar) maupun Baduy Kajeroan (Dalam), dan Puun bertempat di
2
yang selalu menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat Baduy (Danasasmita
dan Djatisunda 1986), walaupun pada saat sekarang ini ada kecendrungan
pergeseran perilaku yang dilakukan oleh pengikut-pengikutnya seperti terlihat di
Baduy Luar yang mulai mengenal modernisasi terutama di Kampung Kadu Ketug.
Kepemimpinan adat di Indonesia mulai terusik/berubah pada waktu
penerapan Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang penyeragaman
pemerintahan desa yang bertujuan untuk penataan administratif serta
menjembatani perbedaan struktur administratif dan sistem pemerintahan desa di
Jawa dan di luar Jawa. Masuknya ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus
berkembang serta kebijakan dari pemerintah yang mengharuskan adanya
modernisasi terhadap pedesaan praktis akan membawa dampak yang signifikan
terhadap sistem kepemimpinan adat yang ada di Indonesia.3
Menurut Surianingrat (1981), sebelum adanya regulasi tentang
penyeragaman sistem pemerintahan secara nasional, desa-desa yang telah lama
ada berbentuk kesatuan-kesatuan hukum adat baik yang bersifat teritorial maupun
genelogis, serta beraneka ragam bentuk dan coraknya tergantung di mana
kesatuan adat tersebut berada, seperti di Aceh (gampong), Sumatera Barat
(Nagari), Jawa Barat (Kampung), Makassar (Gaukay) dan seterusnya.
Pada masa reformasi saat ini Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tersebut
diganti dengan Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 serta disempurnakan
dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang di
dalamnya mengatur tentang sistem pemerintahan desa, dan memberikan
keleluasaan terhadap masing-masing daerah untuk menggunakan kembali tatanan
budaya lokal dalam sistem pemerintahannya, termasuk di Kecamatan Cisolok
Kabupaten Sukabumi. Masyarakat adat yang kita kenal dengan sebutan “Kesatuan
Adat Banten Kidul”, di dalamnya terdapat beberapa Kasepuhan yang salah
satunya adalah Kasepuhan SRI di desa Sirnaresmi.
Baduy Dalam. Terdapat tiga kapuunan di Baduy yaitu Puun Cibeo, Puun Cikeusik dan Puun
Cikartawana (Suhada, 2003). 2 Pikeukeuh bahasa Sunda (lokal) Baduy artinya aturan yang berlaku di masyarakat adat Baduy
dan tidak tertulis (konvensi), tetapi sudah menjadi pedoman di dalam mengisi kehidupan bagi
masyarakat Baduy; baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam (Garna, 1993). 3 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Jurnal Mei 1999.
3
Hasil penelitian Asep (2000), di Kesatuan Adat Banten Kidul menjelaskan
bahwa struktur organisasi pemerintahan Kasepuhan yang menempatkan Sesepuh
Girang sebagai pemimpin, serta yang mengatur tatanan kehidupan di Kasepuhan,
selalu berbenturan dengan adanya sistem peraturan desa yang dipimpin oleh
Kepala Desa. Hal ini berdampak pada nilai-nilai yang berlaku di Kasepuhan
Banten Kidul, seperti terdesaknya peranan (kewibawaan) Sesepuh Girang di
dalam melaksanakan Tatali paranti karuhun4, dengan masyarakat di Kasepuhan
SRI.
Peranan dari seorang pemimpin adat Kasepuhan di dalam pelaksanaan
kepemimpinannya. Dominasi peran dan fungsi dari kepala Desa yang telah
mempunyai aturan secara formal dari pemerintah untuk masyarakatnya, telah
mendesak. Guna mempertahankan eksistensi kepemimpinan di Kasepuhan SRI
peranan seorang pemimpin adat memerlukan elastisitas di dalam pelaksanakan
kepemimpinannya.
Pola kepemimpinan adat harus memperhatikan hubungan antara
masyarakat dengan pemimpinnya serta lingkungan di mana kepemimpinan
berada, serta kewewenangannya di dalam melaksanakan kepemimpinan tersebut
agar senantiasa terjadi pola hubungan yang baik antara pemimpin dengan
masyarakatnya. Gaya dan perilaku kepemimpinan berkaitan erat dengan bentuk
pendekatan yang digunakan pemimpin dalam mengarahkan, menggerakkan,
menggairahkan serta menciptakan suasana yang baik bagi masyarakatnya.
Kasepuhan SRI sampai dengan saat ini dipimpin oleh seorang Abah5.
Abah sebagai pemimpin bersama-sama masyarakatnya menjaga norma yang ada
di Kasepuhan. Di Kasepuhan SRI Pola hubungan masyarakat Kasepuhan dan
pemimpinnnya pada saat sekarang ini mulai bergeser karena sebagian
masyarakatnya telah mengikuti pendidikan secara formal, dan pemimpin adat
4 Tatali paranti karuhun adalah aturan adat di kasepuhan-kasepuhan yang tergabung dalam
Kesatuan Adat Banten Kidul, yang mengatur tentang pola hidup masyarakat Kasepuhan yang
telah ada sejak dahulu, baik yang mengatur pernikahan, bertani dan lain sebagainya dan harus di
taati oleh setiap warganya. 5 Panggilan Pemimpin di Kasepuhan SRI
4
sendiri mengikuti pendidikan formal6 tersebut. Hal ini telah mempengaruhi gaya
kepemimpinan di Kasepuhan SRI.
Banyak situasi-situasi penting yang terjadi baik nasional maupun lokal
yang mendasari gaya kepemimpinan seseorang, sehingga menggambarkan suatu
dinamika kepemimpinan yang sejalan dengan peristiwa-peristiwa tersebut.
Dinamika gaya kepemimpinan inilah yang bisa menjadi fenomena cukup menarik
untuk dipelajari. Pemikiran modernisasi yang mulai masuk melalui pendidikan
dan adanya perubahan pada lingkungan masyarakat, telah membawa pengaruh
pada kepemimpinan di Kasepuhan SRI.
1.2. Rumusan Masalah
Salah satu ciri pemimpin adat adalah mempunyai kharisma yang sangat
kuat terhadap pengikutnya. Seorang pemimpin yang karismatik memiliki
kekuatan energi, daya tarik dan pembawaan yang luar biasa untuk mempengaruhi
orang lain, sehingga pengikutnya sangat besar. Kepemimpinan tradisional
mempunyai kekhasan/gaya di dalam melaksanakan kepemimpinannya, yaitu
adanya ikatan kekeluargaan yang dalam atau patron-klien.
Pemimpin adat berpegang teguh terhadap norma-norma yang ada di
masyarakatnya, hal tersebut agar kewibawaan sebagai pemimpin terus terjaga di
dalam masyarakat tradisionalnya, namun eksistensi kepemimpinan tradisional ini
telah mendapat tantangan saat sekarang ini, sehingga di perlukan elastisitas di
dalam melaksanakan kepemimpinan guna mempertahankan eksistensinya. Hal
tersebut yang dialami oleh Kasepuhan SRI di Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok
Kabupaten Sukabumi. Kasepuhan SRI sampai saat ini berada pada gaya
kepemimpinan dari seorang pemimpin, Abah jabatan pemimpin yang diberikan
pada seorang pemimpin yang mendapatkan wangsit serta adanya turunan yang
mempunyai kekhasan di dalam melaksanakan kepemimpinanya.
Setiap fase-fase kepemimpinan mempunyai corak (gaya)
kepemimpinannya masing-masing, dan tidak akan sama satu sama lainnya karena
perbedaan waktu dan masalah yang dihadapi berbeda pula. Peristiwa-peristiwa
6 Abah ASNpemimpin Kasepuhan SRI sekarang adalah lulusan SMA dan anak-anak beliaupun
juga mengenyam pendidikan sampai dengan SMA.
5
penting tersebut mendasari dinamika kepemimpinan di Kasepuhan SRI, baik
peristiwa nasional sebelum kemerdekaan, pada masa Orde Lama, sampai Orde
reformasi saat ini, serta tentunya peristiwa penting yang bersifat lokal yang ada di
Kasepuhan SRI sendiri.
Peristiwa-peristiwa besar yang terjadi baik nasional maupun lokal telah
berdampak pada gaya kepemimpinan yang di laksanakan oleh tiap Abah demi
eksitensi Kasepuhan SRI sebagai masyarakat adat, serta berdampak pada
kehidupan sosial serta norma-norma yang ada. Kepemimpinan di Kasepuhan juga
mengalami dinamika dengan norma-norma yang ada. Dengan batasan ruang
lingkup permasalah di atas, maka rumusan permasalahanan yang akan dikaji dari
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kepemimpinan yang ada di Kasepuhan SRI?
2. Bagaimana norma-norma adat yang ada di Kasepuhan SRI?
3. Bagaimana kepatuhan masyarakat terhadap norma adat di Kasepuhan SRI?
4. Bagaimana peran pemimpin adat terhadap pemeliharaan norma adat?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraikan pada latar belakang serta dalam rumusan masalah di
atas, maka tujuan penelitian adalah :
1. Mengetahui pola kepemimpinan adat di Kasepuhan SRI saat ini.
2. Mengetahui norma adat di Kasepuhan SRI.
3. Mengetahui kepatuhan masyarakat terhadap norma adat di Kasepuhan
SRI.
4. Mengetahui peran pemimpin adat terhadap pemeliharaan norma adat.
1.4. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
tentang dinamika kepemimpinan tradisional, pada masa sekarang yang dapat
memperkaya pengetahuan mengenai pola-pola kepemimpinan. Selain itu hasil
studi ini dapat dimanfaatkan juga oleh pengambil kebijakan dalam pemerintahan
6
dalam rangka menyusun program pengembangan masyarakat agar dapat memiliki
pendataan yang lebih tepat.
7
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Kepemimpinan Adat
Kepemimpinan merupakan bagaimana cara seseorang untuk
mempengaruhi orang lain, untuk melegalkan/tercapai segala hasrat tujuannya.
Beberapa ahli mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan yang di
miliki seseorang di dalam melaksanakan/mempengaruhi tindakan orang lain
dalam menentukan respons yang diinginkan, serta mereka di dalam
menjalankannya dengan senang hati (Dahama dan Bhatnager 1980).
Kepemimpinan sebagai pola hubungan yang kuat antara pemimpin dan yang di
pimpin, serta disesuaikan tempat dan situasi di mana mereka berada di dalam
melaksanakan kepemimpinannya (Nordholt. 1987).
Menurut Kartodirdjo (1984), akibat interaksi antara orang dengan
kepribadian yang kuat dengan faktor situasional akan menghasilkan pemimpin.
Secara terperinci lagi bahwa kepemimpinan adalah pertemuan antar berbagai
faktor yang diantaranya adalah : (1) Sifat golongannya, (2) Kepribadian dan (3)
Situasi atau kejadian. Ketiga faktor itu menunjukan sifat multidimensional gejala
kepemimpinan, yaitu aspek sosial-psikologis, sosiologis-antropologis, dan sosial-
historis. Pendekatan sosial-psikologis akan memusatkan perhatian kepada sistem
dan akan mengungkapkan banyak ciri-ciri kepemimpinan ataupun sifat
kepribadian yang menjadi indikator atau tolak-ukur kepemimpinan. Sebaliknya
dapat dikatakan bahwa kepemimpinan adalah fungsi dari sistem kepribadian. Pada
dimensi sosiologis-antropologis bisa dilihat dari pola interaksi pemimpin dengan
masyarakatnya, sedangkan dimensi sosial-historis dengan maksud agar konteks
sosial-historis lebih menekankan pada perbandingan tentang kepemimpinan,
waktu atau masa kepemimpinan.
Dewasa ini banyak pengertian tentang pemahaman masyarakat adat dari
berbagai pihak. Ada 3 (tiga) rujukan yang dapat digunakan untuk melakukan
pemahaman terhadap pengertian komunitas adat (diterjemahkan umumnya
sebagai traditional communities, atau juga disebut indigenous, yaitu menurut
8
Pemerintah, menurut LSM Kongres Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan
menurut Bank Dunia.
Menurut Pemerintah Republik Indonesia memberi batasan pengertian
Komunitas Adat Terpencil adalah sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (1)
Keppres No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas
Adat Terpencil sebagai berikut :
“Komunitas Adat Terpencil yang selama ini dikenal dengan
sebutan masyarakat terasing adalah kelompok sosial budaya
yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum
terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi
maupun politik.”
Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) hasil kongres pada
tahun 1999, menyatakan bahwa:
“Masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup
berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu
wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan
kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh
hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola
keberlangsungan kehidupan masyarakat.”
Sedangkan menurut Bank Dunia (Panduan Oprasional 2001), menyebut
Komunitas Adat Terpencil (KAT) dengan istilah Indigenous Vulnerable People
(IVP) mendefinisikan Masyarakat Adat sebagai berikut :
“Kelompok-kelompok yang memiliki identitas sosial dan
budaya yang berbeda dari kelompok dominan dalam
masyarakat dan menyebabkan mereka rentan dirugikan
dalam proses penanganan.”
Ada 2 (dua) point utama yang menunjukkan komunitas adat. Pertama
memiliki identitas sosial budaya berbeda (unique) dibanding kelompok dominan
masyarakat dan cenderung berada dalam posisi dirugikan. Karakteristik
masyarakat adat menurut Pemerintah berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Keppres No.
111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat
Terpencil adalah :
1. Berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen
2. Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan
3. Pada umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau
9
4. Pada umumnya hidup dengan ekonomi subsisten
5. Peralatan dan teknologinya sederhana
6. Ketergantungan kepada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat
relatif tinggi
7. Terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik.
Sementara itu AMAN memberikan batasan karakteristik masyarakat adat
sebagai berikut :
1. Ketergantungan manusia dengan alam
2. Hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (communal
property resources) atau kolektif yang dikenal sebagai wilayah adat
3. Sistem dan struktur pengaturan berdasarkan kelembagaan adat
memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang
mereka hadapi
4. Sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan
sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh
masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas
5. Mekanisme pemerataan distribusi hasil panen sumberdaya alam milik
bersama.
Menurut Bank Dunia dalam Panduan Operasional Bank Dunia (2001),
tentang Masyarakat Adat, karakteristik yang diberikan bahwa kelompok
masyarakat dikatakan komunitas adat (indigenous) adalah sebagai berikut :
1. Keterikatan yang kuat atas tanah leluhur dan pada sumber daya alam di
area tersebut.
2. Mengidentifikasi diri sendiri dan diidentifikasi oleh lainnya sebagai
kelompok yang berbeda budaya.
3. Memiliki bahasa asli yang berbeda dari bahasa nasional
4. Adanya lembaga adat sosial dan politik
5. Produksi terutama untuk kebutuhan sendiri (subsisten)
10
Matriks 2.1. Perbandingan Rujukan Tentang Pengertian Masyarakat Adat
Aspek Sumber Rujukan
Pemerintah AMAN World Bank
Ciri khas - Lokal
- Terpencar
- Turun temurun
- Wilayah adat
- Kepemilikan
kolektif
- Memelihara
lembaga Adat
- Berbeda
identitasnya
- Terikat akan
tanah leluhur
- Bahasa sendiri
(kelompok
minoritas)
Aksesibilitas - Terpencil,
kurang atau
belum
dilayani
- Terbatas
jaringan
pelayanan
sosial
ekonomi dan
politik
- -
Eksistensi - - Berdaulat
- Hukum dan
lembaga adat
- Hidup
subsisten
(rentan di
rugikan)
Weber (dalam Setiadi dan Kolip, 2011) membagi kepemimpinan tersebut
dari perspektif otoritas atas tiga bagian yaitu otoritas kharismatik, otoritas
tradisional dan otoritas rasional. Kepemimpinan tradisional didasarkan pada
otoritas berdasar pada pengakuan kultural. Biasanya, kepemimpinan yang
didasarkan kepada kepemimpinan tradisional (termasuk juga kepemimpinan
genealogic-hereditically atau keturunan dan kharismatik), sangat memudahkan
dalam mempengaruhi masyarakat.
Konsep kekuasaan atau otoritas karismatik di dalam masyarakat Indonesia
pada umumnya masyarakat Jawa khususnya, mempunyai denotasi pengertian
kesaktian. Menurut Anderson (dalam Kartodiredjo, 1984) bahwa konsep Jawa
mengenai kekuasaan berdimensi empat sesuai dengan konsep dalam pewayangan:
sakti-mandraguna, mukti-wibawa. Mandraguna menunjukan pada kecakapan,
kemampuan ataupun keterampilan dalam satu atau beberapa bidang, seperti olah-
senjata, kesenian, pengetahuan dan sebagainya. Mukti lebih berhubungan dengan
11
kedudukan yang penuh kesejahteraan. Wibawa berarti kedudukan terpandang
(prestige) yang membawa pengaruh besar (Kartodiredjo.1984).
Dengan adanya komponen kekuasaan, dan wewenang berarti terdapat
bentuk hubungan simetris dan asimetris. Menurut Soekanto (1987), Pada
kenyataannya terdapat lebih banyak hubungan asimetris dari pada hubungan
simetris. Salah satu bentuk hubungan asimetris didasarkan pada daya tarik
(misalnya karena mempunyai kualitas tertentu), sedangkan bentuk hubungan
asimetris yang lain terjadi melalui tekanan (coercive) dari atas dan kepatuhan dari
bawah.
2.1.1. Kepemimpinan Adat Dalam Pemeliharaan Norma Adat
Masyarakat Adat merupakan suatu bentuk masyarakat kecil yang timbul
berdasarkan hubungan kekerabatan misalnya di dalam suku, terdapat ikatan sosial
yang kokoh di antara sesama anggotanya. Ikatan sosial ini ditandai dengan
keanggotaan yang relatif kecil, solidaritas di antara sesama anggota suku, serta
adanya kepemimpinan yang kharismatik yang timbul dari dalam hubungan
kekerabatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan kekeluargaan
dalam suatu masyarakat tidak dapat dipisahkan dari tata susunan atau struktur
masyarakat adat yang bersangkutan, karena di antara keduanya ada hubungan
timbal balik dimana: (1) Tata susunan masyarakat memberikan corak pada sistem
kekeluargaan, (2) Hubungan kekeluargaan dapat memberikan corak pada tata
susunan masyarakat (Kartasapoetra, 1986).
Keeratan hubungan antara sesama anggota karena adanya solidaritas yang
kuat serta kepemimpinan yang sangat kharismatik yang tumbuh dalam masyarakat
adat sangat menentukan sifat elastisitas ikatan sosial pada masyarakat, yang pada
akhirnya sangat berpengaruh pada terbentuknya satuan sosial yang lebih besar
yang sangat tergantung pada elastisitas dalam masyarakat adat tersebut.
Menurut Garna (1992:96), yang terpenting dalam membahas masyarakat
adat adalah: pertama kelompok tersebut tidaklah statis seperti dianggap orang atau
memiliki alam pikiran bersahaja yang dipengaruhi oleh tradisi, ataupun tidak
memiliki kepercayaan. Kedua ialah tampak pada pengertian tentang masyarakat
terpencil sebagai konsep kerja atau oprasional para penyuluh masyarakat berubah
12
dari waktu kewaktu. Kontak masyarakat luar memungkinkan suatu kelompok
masyarakat mengalami perubahan sosial, dalam waktu cepat atau melalui kurun
waktu yang panjang, tergantung dari berbagai aspek dorongan baik dari dalam
maupun dari luar masyarakat tersebut.
Menurut Havelock (dalam Dama, 1987). pemimpin yang sukses adalah
pemimpin yang dapat memodifikasi (menyesuaikan kondisi) diri dengan norma
yang baru yang di inginkan oleh masyarakatnya, serta di dalam melaksanakan
tugas kepemimpinannya harus memahami fungsi kepemimpinan yang di
antaranya:
1. Memahami situasi dan kondisi kehidupan masyarakatnya.
2. Mempertahankan dan memodifikasi norma dan tujuan masyarakatnya
sesuai kebutuhannnya.
3. Menumbuhkan peranan akan kelembagaan yang dapat menunjang
pemenuhan kebutuhan masyarakat
4. Mengharmoniskan pola-pola hubungan kerja dalam masyarakat.
Pemahaman pemimpin terhadap situasi/kondisi wilayahnya harus
mempunyai kelenturan di dalam melaksanakan sebuah aturan untuk kepentingan
masyarakatnya di tengah gempuran teknologi yang semakin maju dewasa ini,
tanpa menghilangkan identitas dari masyarakat tradisional tersebut.
Selanjutnya masyarakat adat yang ada di Indonesia telah dilegitimasi oleh
perundang-undangan yang berlaku, berhak menjalankan segala tata-aturan
(norma-norma) yang dimiliki oleh masyarakat adat masing-masing. Hal tersebut
diperkuat dengan Undang-undang otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999
mengakui masyarakat hukum adat yang di dalam undang-undang tersebut disebut
dengan kata desa. Pasal 1 huruf O memberikan pengertian tentang desa sebagai
berikut: Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di
daerah kabupaten.
Masyarakat adat dari setiap wilayah yang ada di Indonesia mempunyai
karakteristik sendiri-sendiri dan mempunyai norma-norma masing-masing pula
13
dalam menjalankan segala kehidupannya, sehingga senantiasa menjaga
keseimbangan alam dan hubungan dengan pemimpinnya sampai dengan saat ini,
namun terdapat kelemahan dari masyarakat adat tersebut terutama terhadap tanah
(lahan) karena dalam masyarakat adat tanah dimiliki oleh adat atau kepemilikan
kolektif serta tidak memiliki surat maupun sertifikat perorangan, hal tersebut
banyak terjadi penyerobotan lahan adat oleh masyarakat luar7.
Masyarakat Adat mulai bergeser dari pola kehidupan tradisional menuju
ke pola kehidupan masyarakat modern, namun tidak seluruhnya meninggalkan
pola kehidupan tradisional. Hal ini menimbulkan perubahan-perubahan dalam
kehidupan masyarakat. Sebagai akibatnya timbul formalisme, yaitu adanya nilai-
nilai pengaturan yang diterbitkan secara teoritis yang dalam hal ini adalah
pemerintah yang dapat menerbitkan sebuah regulasi (aturan), tetapi pada
kenyataannya diabaikan dan masih cenderung menganut pola-pola lama (Louer,
1993). Proses ini yang disebut perubahan pola tradisional menuju modernisasi
telah melenyapkan atau setidaknya menghancurkan tradisi lama, seperti
perubahan pada norma-norma yang ada di masyarakat tradisional.
Dalam perspektif modernisasi masyarakat di pandang sebagai suatu entitas
yang dapat tumbuh dan berkembang. Mulai dari bentuk masyarakat yang sangat
sederhana, hingga masyarakat modern. Karena itu suatu masyarakat akan selalu
mengalami perubahan-perubahan, walaupun perubahan sosial tersebut berjalan
secara perlahan-lahan dan bertahap (Suwarsono 1991).
Menurut Talcott Parsons masyarakat selalu dilandasai dan diikat oleh
norma dan nilai yang telah disepakati sebagai landasan di dalam kehidupan.
Artinya masyarakat secara harmonis terikat dan berusaha mempertahankan nilai
dan norma tersebut dalam kestabilan bersama, maka dalam sudut pandang ini,
perubahan dan konflik berusaha diselesaikan sendiri di internal mereka agar tidak
merusak tatanan sosial yang sudah ada. Ini menunjukan unsur norma merupakan
hal yang penting di dalam masyarakat.
7 Salah satu kelemahan dari masyarakat adat adalah akan kepemilikan tanah (lahan) yang memang
tidak tertulis dan dimiliki secara kolektif. Contoh kelemahan tersebut adalah permasalahan lahan
di Baduy yang selalu diambil oleh masyarakat luar Baduy dengan alasan tapal batas dan surat
tanah (sertifikat) yang tidak dimiliki oleh masyarakat Baduy, serta perambahan hutan. Lihat di
http://feryfaturohman.blogspot.com/2009/08/keresahan-masyarakat-adat-baduy-dan.html
14
Dalam proses perkembangannya dinamika proses masyarakat tradisional
dihadapkan pada dua permasalahan pokok, yakni perubahan yang terjadi karena
dinamika internal secara sadar harus dihadapi sesuai dengan perubahan
lingkungan sosial dan alamnya, khususnya yang disebabkan oleh tekanan
penduduk. Masalah kedua adalah perubahan-perubahan yang dipaksakan kepada
mereka oleh pemerintah resmi (nasional) dalam bentuk program pembangunan
desa (Dove, dalam Garna 1993).
Menanggapi tekanan dari dalam maupun dari luar, menurut Dove, norma
masyarakat tradisional Indonesia tidak statis melainkan merupakan suatu
penyesuaian dan perubahan terus menerus dalam suatu proses adaptasi (Dove,
1985). Berbagai bentuk strategi adaptasi di tempuh oleh masyarakat dalam
menyeimbangkan integrasi sosialnya yang terguncang karena tekanan struktur
tersebut (Salman, 1995).
2.1.2. Peranan Kepemimpinan Adat
Kepemimpinan adat tidak bisa dilepaskan dari kepemimpinan berbasis
genealogic-hereditically (keturunan) dan kharismatik, namun diantara dua
tipologi basis kepemimpinan ini, kepemimpinan berbasis kharismatik merupakan
peletak dasar setiap kepemimpinan adat di berbagai entitas sosial.
Peranan pemimpin adat mengacu kepada wewenang adat seperti yang
dikemukakan oleh Weber, di mana kepatuhan tidak diterima sebagai peranan
menurut aturan formal, akan tetapi kepada individu yang menduduki posisi
wewenang yang didasarkan kepada tradisi (Parsons dalam Ismady, 1992).
Dalam menjalankan perannya, pemimpin harus mempunyai pengaruh yang
dijadikan sebagai dasar kepemimpinan yang dilihat dari segala aspek. Dasar
sumber pengaruh ini erat kaitanya dengan ukuran atau kriteria yang digunakan
untuk menggolongkan masyarakat ke dalam lapisan-lapisan. Menurut Soekanto
(1987), penggolongan masyarakat ke dalam lapisan-lapisan tersebut biasanya
menggunakan ukuran atau kriteria: kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu
pengetahuan. Hal itu juga dapat dijadikan landasan bagi seorang pemimpin.
Menurut Prasadja (1986), kepemimpinan seseorang didasarkan pada kekuasaan
formal, kepercayaan, dan kekayaan, akan tetapi untuk pemimpin informal seperti
15
halnya pemimpin adat, kepercayaan dan kekayaanlah yang paling utama
sedangkan kekuasaan legal tidak harus ada.
2.2. Kepatuhan Adat Terhadap Norma Adat
Kepatuhan merupakan adalah tingkat kesesuaian perilaku seseorang
terhadap norma atau kesepakatan dengan pihak lain. Dasar-dasar kepatuhan
menurut Bierstedt dalam Soekanto (1987), diantaranya adalah: a. Introduction, b.
Habituaion, c. Utulity, d. Group Identification. Adapun penjelasan mengenai
dasar-dasar kepatuhan, sebagai berikut:
a. Introduction
Alasan utama masyarakat mematuhi peraturan adalah karena dia telah
diindoktrinir untuk mematuhi peraturan dari sejak kecil.
b. Habitiation
Sejak kecil manusia mengalami sosialisasi maka lama kelamaan menjadi
suatu kebiasaan untuk memenuhi kaedah-kaedah yang berlaku. Memang
pada awalnya sukar untuk menerima peraturan itu tetapi karena setiap hari
ditemui, maka lama kelamaan menjadi sebuah kebiasaan.
c. Utility
Alasan utama masyarakat mematuhi peraturan di sini adalah karena satu
sama lain manusia itu berbeda. Apa yang pantas bagi dirinya, mungkin
bagi orang lain dianggap tidak pantas. Dengan demikian, maka salah satu
faktor masyarakat taat aturan karena kegunaan daripada peraturan tersebut,
maka perlu disadari bahwa hidup itu perlu ada yang menjamin
kehidupannya.
d. Group Identification
Seseorang mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku dalam kelompoknya
bukan karena dia menganggap kelompoknya lebih dominan dari
kelompok-kelompok lainnya, akan tetapi justru karena ingin mengadakan
identifikasi dengan kelompoknya.
16
Kepatuhan sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat adat, dengan
adanya kepatuhan maka peraturan-peraturan yang dibuat akan dijalankan sesuai
dengan ketentuan. Masyarakatpun akan hidup dengan tentram dan damai tanpa
adanya suatu permasalahan karena semua orang mematuhi peraturan.
Masyarakatnya telah menjadikan suatu aturan sebagai sebuah kebiasaan dan tidak
menjadikan aturan sebagai suatu beban karena masyarakat sadar akan manfaat
dari kepatuhan itu sendiri.
2.3. Kekuasaan Kepemimpinan Adat
Pola kepemimpinan dan struktur kekuasaan pada suatu masyarakat sangat
ditentukan oleh kondisi masyarakatnya. Struktur kekuasaan bukanlah hubungan
yang statis, akan tetapi berpotensi untuk mengalami perubahan. Pemahaman
terhadap perubahan sosial yang menjurus pada perubahan struktur kekuasaan pada
masyarakat Kasepuhan SRI akan dilakukan dengan pendekatan sejarah. Berawal
dari pemahaman bahwa sebuah struktur sosial dapat berubah karena terjadinya
perubahan pada komponen sosial lain dan sejarah menawarkan pendekatan untuk
memahami perubahan sosial.
Perubahan sosial secara umum sangat luas cakupannya dalam semua
institusi mulai dari agama, ekonomi, adat, politik, kekuasaan dan keluarga.
Pendekatan sejarah sangat dibutuhkan untuk mengkaji dinamika dalam
masyarakat Kasepuhan SRI. Realita yang dibutuhkan ialah gambaran dinamika
struktur kekuasaan dalam masyarakat Kasepuhan SRI.
Struktur kekuasaan pada setiap daerah berbeda-beda karena ada banyak
faktor yang mempengaruhinya, seperti kondisi sosial masyarakat, budaya dan
latar belakang sejarahnya. Menurut Almond dan Powell dalam Siregar (1999),
struktur kekuasaan mengacu pada tingkah laku para individu yang dapat diamati.
Konsep tersebut menjadi acuan dalam melihat struktur kekuasaan masyarakat
Kasepuhan SRI.
Menurut Weber dalam Wrong (2003), mengatakan bahwa kriteria utama
dari otoritas adalah kepatuhan sukarela. Secara destingtif, otoritas adalah system
keyakinan yang mendefinisikan pelaksanaan kontrol sosial sebagai sah, kemudian
17
Weber membedakan otoritas atas tiga tipe berdasarkan keyakinan legitimasi yang
memvalidasikan mereka, yakni:
1. Otoritas yang dilegitimasikan oleh kesucian tradisi. Tatanan sosial saat
ini dipandang sebagai suci, abadi dan tidak bisa dilanggar dalam
“otoritas tradisional”. Orang atau kelompok dominan biasanya
didefinisikan oleh warisan, dianggap telah ditetapkan sebelumnya
untuk memerintah yang lain.
2. Otoritas kharismatis, dimana seorang pemimpin dan misinya sebagai
diilhami oleh Tuhan atau kekuatan supranatural. Ketaatan kepada
pemimpin dan keyakinan bahwa keputusannya meliputi semangat dan
cita-cita gerakan adalah sumber ketaatan kelompok pada perintah-
perintahnya.
3. Otoritas legal, yaitu otoritas yang dilegitimasi oleh keyakinan
formalitas pada supermasi hukum apapun isi spesifiknya, dalam
system ini kepatuhan tidak disebabkan oleh orang, akan tetapi oleh
seperangkat prinsip hukum yang berlaku.
Weber dalam teorinya juga mengemukakan tentang hal-hal yang
mendasari legitimasi terhadap kekuasaan penguasa yaitu, kesucian tradisi dan
faktor ketergantungan kepada penguasa. Ketergantungan yang lebih mendasar dari
rakyat terhadap penguasanya adalah ketergantungan ekonomi. Russel memandang
bahwa kekuasaan terdapat dalam bentuk kekayaan, tentara, pemerintahan, jasa
dan pengaruh. Kekayaan yang diperoleh dapat merupakan hasil dari kekuasaan
dengan mempergunakan kekuatan tentara dan pengaruh. Kekuasaan ekonomi
yang sekarang menjadi sumber kekayaan adalah sumber asal semua jenis dari
hasil kekuasaan yang lain, sedangkan kekayaan sendiri diartikan sebagai hak
untuk memiliki sesuatu sebagai sumber kesejahteraan yang dapat diatur,
dinikmati, dipindah untuk kesenangan pemiliknya.
2.4. Kelembagaan Sosial di Masyarakat Adat
Koentjaraningrat (1984), menyatakan bahwa kelembagaan atau pranata
sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada
aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam
18
kehidupan masyarakat. Definisi tersebut menekankan pada sistem tata kelakuan
atau sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Polak dalam Kolopaking et al
(2003), Kelembagaan sosial atau social institution adalah “ suatu kompleks atau
sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai
yang penting”. Kelembagaan itu memiliki tujuan untuk mengatur antar hubungan
yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting.
Menurut Doorn dan Lammers dalam Kolopaking et al (2003),
Kelembagaan sosial pada dasarnya menyangkut seperangkat norma atau tata laku.
Konsisten dengan itu, maka fungsi kelembagaan sosial adalah:
1. Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat: bagaimana
mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi
masalah-malah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-
kebutuhan,
2. Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka
kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara,
3. Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial
(social control): artinya pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku
anggotanya, dan
4. Memenuhi kebutuhan pokok manusia/masyarakat.
Menurut Uphoff dalam Kolopaking et al (2003), sampai sejauh ini
memang belum ada yang membedakan secara eksplisit antara institusi dan
organisasi. Uphoff menegaskan, bahwa kelembagaan dapat sekaligus berwujud
organisasi dan sebaliknya. Tetapi, jelas bahwa kelembagaan adalah seperangkat
norma dan perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu dengan memenuhi
kebutuhan kolektif, sedangkan organisasi adalah struktur dari peran-peran yang
diakui dan diterima.
Pandangan lain melihat kelembagaan sosial sebagai kompleks peraturan-
peraturan dan peranan sosial yang mempengaruhi perilaku orang-orang di sekitar
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan penting. Terlepas dari perbedaan antara kedua
perspektif tersebut, kunci dalam memahami kelembagaan sosial terletak pada
tekanan akan kebutuhan pokok manusia. Ciri-ciri pokok yang membedakannya
19
dari konsepsi-konsepsi lain seperti grup, asosiasi, dan organisasi adalah sebagai
berikut (Soekanto, 1990):
1. Merupakan pengorganisasian pola pemikiran dan perilaku yang terwujud
melalui aktivitas masyarakat dan hasil-hasilnya,
2. Memiliki kekebalan tertentu, pelembagaan suatu norma memerlukan
waktu yang lama karena itu cenderung dipertahankan,
3. Mempunyai satu atau lebih tujuan tertentu,
4. Mempunyai lambang-lambang yang secara simbolik menggambarkan
tujuan,
5. Mempunyai alat untuk mencapai tujuan tertentu, dan
6. Mempunyai tradisi tertulis atau tidak tertulis.
Proses perkembangan kelembagaan sosial tersebut dinamakan
pelembagaan sosial atau “institutionalization”. Proses ini meliputi lahirnya
peraturan dan norma-norma baru yang mengatur antarhubungan dan antar aksi,
yaitu suatu proses strukturalisasi antarhubungan melalui ankulturasi konsep-
konsep kebudayaan baru, misalnya nilai-nilai dan norma-norma baru. Proses-
proses seperti ini akan terjadi dimana-mana dan terus menerus dalam masyarakat,
sepanjang mengenai kebutuhan pokok manusia dan melahirkan sistem yang stabil
dan universal. Dengan kata lain, kelembagaan sosial dalam masyarakat
berkembang melalui prose pelembagaan sosial, yaitu suatu proses pengaturan dan
pembinaan pola-pola prosedur (tata cara) disertai beragam sanksi dalam
masyarakat. Proses pelembagaan dimulai dari masyarakat mengenal, mengakui,
mengahrgai, mentaati, dan menerima norma-norma dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah norma-norma diterima berlanjut sampai ke tahap mendarah-daging
(internalisation) atau menghargai norma-norma tersebut.
Tingkat internalisasi norma-norma tersebut dapat dinilai dengan
menggunakan tingkatan norma yang melembaga berdasarkan kuat atau lemahnya
ikatan yang dimiliki oleh norma tersebut. Tingkatan norma tersebut diukur
berdasarkan sanksi moral dan sanksi masyarakat atas pelanggaran yang dilakukan.
Sanksi moral merujuk kepada tingkat perasaan bersalah dari perilaku (individu
atau kelompok) atas pelanggaran yang dilakukannya atas tingkatan norma
tertentu. Sanksi masyarakat merujuk kepada hukuman yang diberikan oleh
20
masyarakat yang mendukung suatu kelembagaan sosial tertentu terhadap pelaku
yang melakukan pelanggaran atas tingkatan norma tertentu.
2.5. Kerangka Pemikiran
Pada setiap periode kepemimpinan Abah mengalami peristiwa-peristiwa
penting baik nasional maupun lokal, dan peranan Abah di Kasepuhan SRI selaku
pemimpin Kasepuhan mengalami kegoyahan. Guna mempertahankan
kepemimpinannya membutuhkan keluwesan seorang pemimpin dalam memimpin
masyarakatnya.
Pada kepemimpinan Abah ASNdi Kasepuhan SRI Desa Sirnaresmi,
Kecamatan Cicolok, Kabupaten Sukabumi ini yang awalnya otokratis mulai
bergeser ke arah demokratis. Pergeseran ini mengakibatkan perubahan pada
norma-norma adat dalam masyarakat Kasepuhan SRI. Tatali paranti karuhun
sebagai aturan adat yang sangat kuat serta sudah menjadi pedoman hidup bagi
masyarakat Kasepuhan SRI sejak berabad yang silam telah mengalami perubahan
dalam kehidupan masyarakat seiring derasnya modernisasi yang masuk ke
Kasepuhan SRI. Hal tersebut di awali dengan masuknya pendidikan sebagai
gerbang pemikiran rasional, pendidikan tersebut membawa pada pola pikir Abah
sendiri yang semakin maju ditambah dengan keluarga serta incu-putunya
(masyarakat) yang menjadikan mereka mampu berfikir kritis sehingga merubah
cara pandang terhadap pemimpinya.
Kemudian dari dunia pendidikan tersebut mambawa pada interaksi dengan
masyarakat di luar Kasepuhan semakin intens, dan terbukanya akses ke
Kasepuhan semakin lebar yang tentunya bersamaan dengan masuknya jaringan
komunikasi dan infrastruktur ke Kasepuahan seperti akses transportasi, media
komunikasi sehingga merubah cara pandang masyarakat Kasepuhan terhadap
Tatali Paratni Karuhun yang diamanatkan, yang berpengaruh pada pola hidup
kepemimpinan dan incu-putunya di Kasepuhanan saat ini.
Salah satu perubahan di Kasepuhan adalah meningkatnya ekonomi uang
khususnya yang terjadi di kalangan Imah Gede yang nantinya akan mengubah
pada fungsi leuit sebagai pusat ketahanan pangan pada kehidupan di Kasepuhan
SRI. Selanjutnya adalah akan mengantarkan pada perubahan gaya hidup yang
21
diawali di lingkaran Imah Gede, mengakibatkan pada berubahnya gaya
kepemimpinan Abah sebagai pemimpin di Kasepuhan SRI. Perubahan gaya hidup
tersebut berdampak pada perubahan gaya kepemimpinan Abah terhadap incu-
putunya (masyarakat) yang membawa pada persepsi incu-putu terhadap peranan
Abah selama memimpin di Kasepuhan SRI.
Persepsi tersebut adalah berupa pandangan dari incu-putu terhadap Abah
yang telah memimpin di Kasepuhan mulai dari era kepemimpinan Abah JSN yang
tidak mengenyam pendidikan secara formal sampai dengan era kepemimpinan
Abah ASN dan keluarganya yang telah mendapatkan pendidikan secara formal.
Perubahan gaya kepemimpinan di Kesepuhan Sinar Resmi secara otomatis
akan menumbuhkan sebuah konsekuensi (dampak) baik bagi Abah selaku
pemimpin maupun incu-putu (masyarakat) Kasepuhan SRI, serta kehidupan
antara masyarakat Kasepuhan dengan masyarakat Non-Kasepuhan yang ada.
Dampak dari perubahan kepemimpinan tersebut menyebabkan berkurangnya
kepatuhan masyarakat kepada Abah sebagai pemimpin di dalam menjalankan
kehidupan di Kasepuhan. Dengan perkataan lain bahwa terjadi memudarnya
norma-norma Kasepuhan yang sebabkan oleh berubahnya kepemimpinan adat
sehingga berdampak pada nilai kepatuhan incu-putu kepada pemimpinnya, lihat
Gambar 2.1.
22
Gambar 2.1. Kepemimpinan Adat Dalam Kepatuhan Masyarakat Pada Norma
Adat
Peningkatan Pendidikan Kontak dengan dunia
luar kasepuhan
Meningkatnya Ekonomi
Uang Perubahan Gaya Hidup
elit Kasepuhan
Perubahan Gaya
Kepemimpinan
Persepsi Masyarakat
Kasepuhan pada Pemimpin
Kepatuhan Masyarakat
Kasepuhan pada Norma Adat
23
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Batasan Penelitian
Batasan dalam penelitian ini adalah mengkaji, tentang persoalan peran
kepemimpinan. Seorang Abah (Pemimpin) dalam menjalankan kepemimpinannya
di Kasepuhan, sejak kasepuhan itu ada sampai saat ini, berdasar peristiwa yang
terjadi baik secara nasional maupun berskala lokal dalam hubungannya terhadap
apa kepatuhan masyarakat terhadap norma adat. Tujuan penelitian ini adalah : (1)
Bagaimana dinamika gaya kepemimpinan adat di Kasepuhan SRI di tengah
perubahan situasi dan peristiwa penting nasional dan lokal?; (2) Bagaimana gaya
kepemimpinan Kasepuhan SRI saat ini?; (3) Bagaimana dampak perubahan gaya
kepemimpinan adat terhadap tingkat kepatuhan masyarakat akan norma-norma
adat di Kasepuhan SRI?.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kasepuhan SRI, salah satu bagian
dari Kesatuan Adat Banten Kidul. Kasepuhan SRI secara administrasi masuk
dalam Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa
Barat. Dipilihnya Kasepuhan SRI menjadi lokasi penelitian karena :
1. Memiliki historis tentang kepemimpinan Kasepuhan mulai dari
Kaepuhan berpindah-pindah tempat, sampai dengan Kasepuhan hidup
menetap, dan dinamika kepemimpinannya.
2. Kasepuhan SRI sebagai gerbang awal masuknya sarana dan prasarana
modern, serta bersinggungan langsung dengan masyarakat luar
Kasepuhan.
3. Meningkatnya pendidikan formal pada masyarakat Kasepuhan,
sehingga masyarakat Kasepuhan lebih kritis di dalam menyikapi
problematika kehidupan kepemimpinannya.
Masyarakat Kasepuhan SRI ini masih berpegang akan nilai-nilai
leluhurnya serta menerima akan masuknya arus modernisasi yang datang dari luar
24
Kasepuhan SRI. Penelitian ini di laksanakan pada bulan Februari sampai dengan
Maret 2012.
3.3. Pendekatan serta Tahapan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach),
di mana penekanan utamanya adalah agar melihat sedekat mungkin sasaran
penelitian. Pendekatan kualitatif bertujuan untuk lebih mendalam memahami
secara utuh realitas kondisi objek penelitian dalam keseharian, dengan informasi
yang bersifat subjektif dan historis (Moleong 1993).
Strategi pendekatan dalam penelitian ini adalah menggunakan studi kasus.
Studi kasus merupakan strategi penelitin kualitatif, dengan fokus kajian penelitian
yang mempelajari kasus tertentu, kasus (peristiwa) itu akan berlaku apabila suatu
pertanyaan penelitian “bagaimana” dan “mengapa” yang menyangkut dalam
sebuah peristiwa tertentu, Yin (1981) dalam Salim (2001). Studi kasus yang
menyoroti perilaku individu Abah sebagai pemimpin di Kasepuhan, serta
masyarakat Kasepuhan yang mendapatkan dampak dari kepemimpinannya dari
berbagai tingkatan peristiwa baik nasional maupun lokal.
Kegiatan penelitian ini menggunakan beberapa tahapan yang diantaranya
adalah :
1. Memahami kondisi Kasepuhan SRI itu terbentuk, hal ini penting guna
mengetahui gambaran secara utuh Kasepuhan itu terbentuk dan apa
yang melatarbelakanginya. Kondisi Kasepuhan dapat diperoleh
melalui kajian data primer maupun skunder. Data skunder diperoleh
dari studi literatur baik dari akademisi serta LSM yang terkait dengan
Kasepuhan, serta data primer dapat diperoleh dari wawancara
mendalam pada Abah Kasepuhan SRI, penasehat Kasepuhan, kokolot
lembur (tokoh kampung), maupun masyarakat Kasepuhan yang dinilai
mengetahui terhadap pembentukan Kasepuhan.
2. Memahami kepemimpinan Kasepuhan secara mendalam guna
mendapatkan informasi tentang; (1) Bagaimana dinamika
kepemimpinan di Kasepuhan SRI di tengah perubahan situasi dan
peristiwa penting nasional dan lokal?; (2) Bagaimana gaya
25
kepemimpinan Kasepuhan SRI saat ini?; (3) Bagaimana dampak
perubahan gaya kepemimpinan adat terhadap tingkat kepatuhan
masyarakat akan norma-norma adat di Kasepuhan SRI?.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Menurut Creswell (1998), mengungkapkan bahwa apabila kita akan
memilih studi untuk suatu kasus, dapat dipilih sumber informasi yang meliputi:
observasi partisipan, wawancara, dokumentasi dan laporan. Dalam melaksanakan
observasi partisipan ini peneliti mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh Abah dan
masyarakat Kasepuhan SRI. Kegunaan dari observasi partisipan adalah peneliti
dapat melihat secara langsung objek penelitian, serta memungkinkan
pembentukan pengetahuan bersama antara peneliti dan tineliti.
Wawancara yang dilakukan pada penelitian ini adalah wawancara
mendalam, yaitu salah satu bentuk wawancara tak terstruktur yang bertujuan
memperoleh data-data informasi dari semua responden yang dibutuhkan, serta
susunan kata dan urutan pertanyaannya disesuaikan dengan bidang dan
pengetahuan setiap responden. Wawancara mendalam juga dilakukan dengan
semua informan dengan cara dan suasana yang berbeda-beda. Peneliti
menyesuaikan gaya berdasarkan tingkat pemahaman informan, sehingga informan
mudah mengerti maksud dari pertanyaan yang diajukan. Wawancara mendalam
ini dengan menggunakan teknik bola salju dilakukan sampai pada titik jenuh
informasi pengetahuan tentang Kasepuhan SRI.
Sebuah kemudahan yang peneliti dapatkan dalam mendapatkan data primer
dari para informan ialah, karakter setiap informan yang cenderung berterus terang.
Hal ini peneliti rasakan dari ekspresi yang muncul ketika wawancara dilakukan.
Ketika informan menemukan suatu kebaikan dalam pemimpin yang ada di
Kasepuhan, maka mereka berbesar hati menyampaikannya, akan tetapi ketika
pemimpin yang ada di Kasepuhan itu ada cacatnya, dan itu dirasakan dalam
kehidupan sehari-hari, mereka tidak takut-takut membicarakannya.
Studi dokumentasi (literatur), dilakukan dengan melihat hasil dari peneliti
terdahulu yang terkait Kasepuhan SRI berupa skripsi, tesis, kepustakaan, LSM,
maupun tulisan yang diakses dari internet. Dengan menggunakan tiga teknik
26
dalam pengumpulan data tersebut diharapkan dapat mengurangi kelemahan dari
setiap teknik yang dipakai melalui tambal sulam, sehingga kebenaran interpretasi
dari hasil penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan.
Data yang telah diperoleh dari lokasi penelitian diinterpretasikan kedalam
laporan, dan apabila kekurangan data maka dilakukan komunikasi dengan pihak
Kasepuhan yang telah menyanggupi apabila adanya kekuarangan dalam bentuk
data-data dikemudian hari hingga dianggap lengkap dan memadai. Hal ini
dimungkinkan karena keterbatasan waktu dalam penelitian serta adanya catatan
harian penelitian. Berikut disajikan pada Matriks. 3.1. Jenis data dan sumber
informasi penelitian yang dilakukan pada saat turun lapang.
Matriks 3.1. Jenis Data dan Sumber Informasi dalam Penelitian
No. Data Informasi Sumber Informasi Pendekatan
01. Sejarah Kasepuhan dan
para pemimpin
kasepuhan
Abah Kasepuhan SRI,
tokoh masyarakat adat
Dokumentasi, dan
wawancara
mendalam
02. Aturan-aturan (norma)
dalam kasepuhan
Abah Kasepuhan SRI,
tokoh masyarakat adat
Literatur, dan
wawancara
mendalam
03. Gaya Kepemimpinan
Kasepuhan SRI
Penasehat Abah
Kaspuhan Sinar Resmi
dan dukun serta Amil
Kasepuhan
Wawancara
mendalam
04. Gaya hidup
Kepemimpinan
Kasepuhan SRI
Penasehat Abah, dan 2
incu-putu (masyarakat)
kasepuhan
Wawancara
mendalam
05. Faktor perubahan
Kepemimpinan
Kasepuhan SRI
Penasehat Abah,
kokolot lembur dan
incu-putu (masyarakat)
kasepuhan
Wawancara
mendalam
06. Kelembagaan Kasepuhan Penasehat Abah, Amil
Kasepuhan Dukun,
pamakayaan
kasepuhan
Dokumentasi,
Observasi Partisipan,
Wawancara
Mendalam
07. Pola Hubungan
kepemimpinan dengan
masyarakat kasepuhan
dan non kasepuhan
Abah Kasepuhan SRI,
Kepala Desa
Sirnaresmi, Penasehat
Abah, dan 1 incu-putu
(masyarakat)
kasepuhan
Dokumentasi, dan
wawancara
mendalam
08. Dampak kepemimpinan
Kasepuhan SRI terhadap
Kepala Desa
Sirnaresmi, Penasehat
Wawancara
mendalam
27
masyarakatnya Abah, dan 2 incu-putu
(masyarakat)
kasepuhan
3.5. Teknik Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul kemudian diolah melalui analisis interpretatif
suatu penafsiran terhadap hasil pengumpulan data. Pengolahan data tersebut agar
menjadi ringkas dan sistematis, sehingga memudahkan dalam analisis data.
Selanjutnya pengolahan data dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menelaah seluruh data, yaitu dimulai dengan kegiatan mencatat,
membaca, mempelajari dan menelaah data yang tersedia dari berbagai
sumber, baik dari wawancara mendalam, observasi partisipan, studi
dokumentasi.
2. Meredukasi data, yaitu dilakukan dengan jalan membuat abstraksi.
Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan
pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga berada tetap di
dalamnya.
3. Mengadakan pemeriksaan keabsahan data, yaitu memeriksa kebenaran
dari data yang di peroleh melalui-teknik pengecekan data.
4. Menyajikan data, yaitu mendeskripsikan data yang di peroleh secara
verbal melalui analisis data yang ditetapkan.
28
BAB IV
GAMBARAN UMUM KESEPUHAN SINAR RESMI
4.1. Lokasi Kesepuhan Sinar Resmi
Secara administrasi lokasi Kasepuhan SRI berada di Kampung Sirnaresmi
Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat.
Kasepuhan SRI juga berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun Salak. Kasepuhan SRI berjarak 23 Km dari Kecamatan Cisolok
dan 33 km dari Kabupaten Sukabumi. Batasan wilayah Kampung Sirnaresmi
dibatasi oleh Sungai Cibareno di sebelah utara, Kampung Cibongbong di sebelah
selatan, kampung Cikaret di sebelah timur, dan Desa Cicadas di sebelah barat.
Menurut Pak Buhari kasepuhan Sirna Resmi tidak memandang pada
batasan wilayah yang telah ditetapkan oleh pemerintah secara administratif,
karena jumlah masyarakat (incu-putu) kasepuhan tersebar baik yang ada di desa
Sirnaresmi maupun yang ada di luar desa Sirnaresmi. Pegunungan Halimun yang
secara administrasi sudah dijadikan sebagai Taman Nasional Gunung Halimun
Salak oleh Kementrian Kehutanan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
kawasan Masyarakat Adat Banten Kidul dan Kasepuhan SRI bagian dari
Masyarakat Adat Banten Kidul.
Kasepuhan SRI berada pada ketinggian 600-1200 meter di atas permukaan
laut, tepatnya berada di lereng selatan Gunung Halimun. Tempat tinggal
masyarakat Kasepuhan umumnya mengambil wilayah yang relatif datar sementara
lahan pertanian masyarakat pada umumnya berada di lereng-lereng bukit. Kondisi
lingkungan di kampung ini relatif alami dikarenakan berada di daerah pinggiran
hutan. Terdapat banyak tanaman keras di sela-sela persawahan atau ladang.
Kondisi cuaca relatif berubah-ubah dan hujan sering terjadi sehingga udara
cenderung dingin dan lembab.
29
4.2. Demografi
4.2.1. Penduduk
Menurut Abah ASN bahwa karena lokasi Kasepuhan SRI memang berada
di desa Sirnaresmi akan tetapi untuk warga Kasepuhan tersebar mulai dari Desa
Sirnaresmi itu sendiri, Bogor, Banten hingga Lampung. Penulis dalam
mengidentifikasi penduduk dalam penelitian ini dibatasi hanya penduduk yang
berada di Kasepuhan saja bukan jumlah penduduk desa Sirnaresmi. Adapun
jumlah warga Kasepuhan SRI pada saat sekaranng ini berjumlah 8.320 jiwa.
4.2.2. Mata Pencaharian
4.2.2.1. Pertanian Berladang
Pada umumnya incu-putu (masyarakat) Kasepuhan SRI bertani ladang atau
dalam bahasa lokalnya huma yaitu bertani padi di kawasan hutan yang dilakukan
di kawasan pegunungan Halimun dengan sistim penanaman satu tahun sekali,
sesuai dengan norma-norma yang dianut di Kasepuhan. “Ibu Bumi, bapak langit”
adalah falsafah untuk Bumi di ibaratkan sebagai ibu yang melahirkan anak hanya
satu kali, maka perlakukanlah ibu dengan baik, dan langit yang memberikan
kehidupan kepada bumi berupa hujan guna menyuburkan tanaman terutama padi.
Adapun rangkain dalam sistim huma di Kasepuhan SRI berikut diuraikan dalam
matriks dibawah ini:
Matriks 4.1. Rangkaian Ritual Kegiatan Huma di Kasepuhan SRI
No. Kegiatan Uraian Pelaksanaan
01. Narawas Menandai ladang yang akan di
jadikan lahan humma
Juni
02. Nyacar Membersihkan lahan biasanya
selama seminggu
Juli
03. Ngahuru Membakar tanaman perdu yg
tdk brguna untuk dijadikan
pupuk organik
Agustus
04. Ngerukkan Membakar sisa-sisa perdu yang
belum di bakar
Agustus
05. Nyara Meremahkan (diolah agar tanah
gembur)
Agustus
06. Ngaseuk Merupakan kegiatan menanam
padi huma dengan memasukkan
September
30
benih ke dalam lubang
menggunakan aseuk (tongkat
kayu). Dilakukan oleh Abah
pertama kalinya dan diteruskan
dengan incu-putu Kasepuhan
07. Ngored Menyiangi padi Oktober
08. Beberes Mager Ritual selametan dilakukan di
ladang yang diikuti oleh sebagai
tokoh Kasepuhan gunanya
adalah untuk menjaga padi dari
serangan hama. Kegiatan ini
dilakukan di huma serang
(ladang milik Kasepuhan),
kegiatan ini dilaksanakan sekitar
bulan Muharam (perhitungan
dalam kalender Islam).
Oktober
09. Ngarawunan Ritual untuk meminta isi padi
agar tumbuh dengan subur,
sempurna dan tidak ada
gangguan. Kegiatan ini
dilakukan oleh semua incu putu
untuk meminta doa kepada
Abah melalui bagian
pamakayaan (bagian pertanian).
Ngarawunan dilakukan setelah
padi berumur tiga bulan sampai
empat bulan.
November
10. Mipit Memanen padi huma yang
dilaksanakan di huma serang
(ladang milik kasepuhan), alat
yang digunakan untuk memanen
padi ini disebut ani-ani, dan
sebelum pemotongan padi
pertama dilakukan “pengawinan
padi” sebagai simbol rasa sukur
hal ini dilakukan oleh Abah dan
didampingi dengan bagian
Pamakayaan.
April
11. Ngalantayan Padi yang sudah di potong
kemudian dijemur dengan
menggunakan bambu atau
pohon, dan berjajar dijemur
selama satu bulan
April
12. Mocong dan
ngunjal
Mengikat padi yang kering
(dipilah) kembali untuk
diangkut ke lumbung
Mei
31
13. Nutu dan
Nganyaran
Kegiatan menumbuk padi
pertama hasil panen, dilakukan
oleh para ibu-ibu Kasepuhan.
Sedangkan nganyaran memasak
nasi menggunakan padi hasil
panen pertama, dua bulan
setelah masa panen dan di
santap dengan cara bersama.
Juni
14. Seren taun Seren-taun merupakan puncak
dari ritual pertanian yang ada di
Kasepuhan yaitu memasukan
hasil panen ke lumbung (leuit si
jimat) dari hasil panen tersebut
tiap warga menyumbangkan
padi minimal 2-5 (dua sampai
lima) ikat (beungkeut) yang di
rata-ratakan dengan setandar
kilogram sebanyak 10-14,5 kg.
Juni
Sumber : data primer (diolah), 2012
Setiap rangkain kegiatan pelaksanaan huma di Kasepuhan SRI semuanya
diawali dengan ritual. Menurut Abah ASNmenta do’a ka Gusti Alloh lan
salametan ngirim-do’a ka para leluhur Kasepuhan menta kaberkahana, yang
artinya minta do‟a kepada Allah, serta mengirim do‟a kepada para leluhur
Kasepuhan minta keberkahannya dan pada ritual selametan tersebut diadakan di
Imah Gede yang dihadiri oleh para sesepuh serta incu-putu Kasepuhan SRI.
Dalam hal selamatan tersebut dijelaskan oleh Bapak Bahari selaku amil
Kasepuhan SRI sebagai berikut:
“Padi hasil panen dari incu-putu tersebut, akan di serahkan kepada
Abah sebanyak 2 sampai dengan 5 beungkeut (ikat) sebagai tatali.
Tatali dapat diartikan sebagai ikatan satu sama lain dalam incu-
putu Kasepuhan sebagai solidaritas sosial yang kuat. Padi yang
telah diserahkan kepada Abah tersebut akan di simpan di lumbung
kasepuhan disebut Leuit si Jimat, selain itu juga dikenakan zakat
sekitar 10 ikat/beungket padi. Zakat tersebut di gunakan untuk
keperluan (menggaji) para kelembagaan adat seperti Dukun, Paraji,
Pamaro, Kokolot Lembur dan lain sebagainya. Walaupun dalam
memberikan zakat tersebut tergantung hasil yang dicapai ketika
panen padi dari setiap incu-putu.”
Gabah yang telah di proses dengan cara di tumbuk menggunakan alat
penumbuknya disebut lesung kemudian menjadi beras. Dalam aturan Kasepuhan
SRI melarang setiap incu-putu (masyarakat Kasepuhan) untuk memperjualbelikan
32
beras, karena gabah yang telah diproses menjadi beras dapat diartikan seperti
seorang perempuan, apabila telah terkupas gabah dengan kulitnya dan menjadi
beras dapat diumpamakan seperti perempuan yang tidak berbusana. Jadi
memperjualbelikan beras maka sama saja dengan memperjualbelikan seorang
perempuan.
Peraturan Kasepuhan SRI melarang dalam memperjualbelikan beras, akan
tetapi diperbolehkan untuk menjual padi, ketika akan melaksanakan menjual padi
menurut Abah ASNada beberapa syarat yang harus dilaksanakan, yang diantaranya
adalah :
1. Keluarga incu-putu yang akan menjual padi harus memiliki leuit
(lumbung padi) lebih dari satu dan terisi dengan padi semua,
2. Kebutuhan pangan dalam keluarga tercukupi setahun kedepan,
3. Yang dijual adalah bukan berbentuk beras,
4. Tidak boleh dilakukan penjualan berkelanjutan.
Apabila melanggar aturan tersebut, akan mendapat teguran (sanksi) dari
Abah serta mendapatkan kebendon berupa petaka yang akan menimpa pada
keluarga yang melanggar tersebut berupa gagal panen di tahun berikutnya, sakit
dan lain sebagainya, karena sang leluhur marah.
4.2.2.2. Perkebunan dan Peternakan
Pada prinsipnya kegiatan berkebun dan berternak ini dikalangan incu-putu
Kasepuhan sebagai nganunggu panen (menunggu panen padi huma) yang
dilaksanakan pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret, sehingga ada
aktivitas selama menunggu padi huma panen tersebut, kegiatan berkebun dan
berternak seperti:
1. Talun (palawija) atau kebun warga ditanami oleh tanaman pisang,
jagung, kacang, sayur-sayuran dan tanaman buah-buahan,
2. Menanam pohon tahunan seperti mahoni dan albasia untuk
keperluan kayu bakar dan membuat rumah, leuit (lumbung padi),
dan sarana ibadah,
3. Ternak ayam kampung, ternak ikan.
33
Hasil kebun yang berupa buah-buahan dan sayuran dapat dijual untuk
memenuhi kebutuhan lainnya, seperti pakaian, namun untuk pohon kayu-kayuan
tidak boleh dijual, hanya untuk kebutuhan kayu bakar dan pembangunan sarana
dan prasarana seperti membangun rumah, leuit (lumbung padi), dan sarana
Ibadah.
4.2.2.3. Pengelolaan Hutan
Menurut Marina (2011), kearifan masyarakat adat Kasepuhan dalam
pengelolaan hutan diwujudkan dalam pembagian hutan menjadi tiga bagian,
Leuweung tutupan, Leuweung titipan, dan Leuweung bukaan. Leuweung tutupan
adalah kawasan hutan alam yang dititipkan oleh leluhur untuk generasi
mendatang, dan tidak boleh berubah keutuhannya, yang memiliki
keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang tinggi dan termasuk dalam kawasan
lindung karena fungsinya sebagai daerah resapan air (leuweung sirah cai) dan
pusat keseimbangan ekosistem. Kawasan ini tidak boleh dimasuki oleh manusia,
karena menurut adat manusia bukan termasuk makhluk hidup yang tinggal di
hutan. Leuweung titipan adalah kawasan hutan yang boleh dimasuki oleh manusia
atas seizin Abah, dan dengan tujuan untuk pengambilan hasil hutan kayu untuk
kayu bakar dan membuat bangunan dan hasil hutan non-kayu berupa tanaman
obat-obatan, madu hutan, rotan dan sebagainya.
Jika ingin mengambil hasil hutan kayu dari hutan tutupan, masyarakat
harus menanam kembali pohon sebagai pengganti pohon yang ditebangnya sesuai
dengan jumlah pohon yang ditebang. Leuweung bukaan adalah kawasan hutan
yang telah dibuka sejak lama secara turun temurun dan digunakan untuk lahan
garapan masyarakat, baik berupa ladang (huma), sawah, maupun talun (kebun).
Lahan garapan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan papan
(kayu) masyarakat adat. Selain itu, adapula leuweung awisan yang dipersiapkan
untuk lokasi perpindahan pusat Kasepuhan yang merupakan usaha untuk
mendekati lebak cawane (tujuan akhir perpidahan Kasepuhan) yang didasarkan
pada petunjuk yang berkaitan dengan perubahan penting (uga) yang diperkirakan
terletak di antara Gunung Bengbreng, Beser, Suren, Talaga, Herang, Halimun,
Pangkulahan, Putri, Kasur, Salimbar, Bancet, Panyugihan, dan Surandil.
34
4.3. Sistem Religi di Kasepuhan
Incu-putu (masyarakat) Kasepuhan SRI pada hakekatnya telah beragama
Islam sejak dahulu, tetapi dalam pelaksanaan ritual Kasepuhan masih
dicampurkan dengan sunda-wiwitan seperti adanya kemenyan, mengundang
leluhur guna keselamatan dalam kegiatan. Menurut Sulhi sebagai ustadz di
Kasepuhan yang di tugaskan oleh Kementrian Agama yang ada di Kabupaten
Sukabumi bahwa masyarakat Kasepuhan SRI dalam beragama mengaku
Slampangan dika Gusti Rasul. Slampangan dika Gusti Rasul diartikan sebagai
masyarakat Kasepuhan beragama Islam, mempercayai Nabi Muhammad sebagai
Rasul. Karena diharuskan masyarakat Kasepuhan SRI sampai saat ini beragama
Islam sebatas pengakuan dan keyakinan dalam hati, namun sangat sedikit dalam
pelaksanaan peribadatan.
Abah ASNsebagai pemimpin di Kasepuhan SRI ketika diskusi dengan
Bapak Ustadz Sulhi mengenai Incu-putu yang sangat jarang melaksanakan
peribadatan kecuali shalat Jum‟at, dan jawab Abah:
“Incu-putu mah tos pada gede, masa kudu disuruh-suruh ku
Abah, kan Abah geus nyontokeun ngiringan shalat Jum’at, cuman
incu-putu tacan ngarti mun solat Jum’at jeung solat lima waktu
teh wajib”.
Dalam tatanan kehidupan agama di Kasepuhan dikenal adanya Kiyai
Marhaba dan Kiyai Kamaitan. Kiyai Marhaba adalah berfungsi sebagai pemimpin
dalam pelaksanaan selamatan atau upacara adat yang ada di Kasepuhan SRI
dilaksanakan di dalam Imah Gede, Kiyai Marhaba adalah julukan bagi seseorang
yang biasa membacakan do‟a-do‟a dan orang tersebut adalah seorang Panghulu
atau juga Dukun Kasepuhan.
Kiyai Kamaitan juga sama fungsinya dengan Kiyai Marhaba namun
memimpin selametan dalam bidang pertanian (huma) dan hanya pelaksanaannya
juga di ladang tidak dilangsungkan dalam Imah Gede, serta langsung di pegang
oleh urusan Pamakayaan
35
4.4. Sejarah Terbentuknya Kasepuhan
4.4.1. Kabuyutan
Sejarah adanya masyarakat Kasepuhan ini menurut Bapak Buhari8 dimulai
dari Sajira Banten, yang dipimpin oleh Buyut Agung dengan masa kepemimpinan
100 tahun. Kemudian diteruskan oleh Aki Buyut Bao Rosa, dan istrinya bernama
Ambu Buyut Sampih dan bertempat di Cipatat Bogor. Dari Cipatat berpindah ke
Maja, setelah beliau wafat, Kabuyutan diteruskan oleh anaknya yang bernama Aki
Buyut Warning dan istrinya bernama Ambu Buyut Samsiah, serta berpindah
tempat ke Lebak Larang.
Ketika Aki Buyut Warning meninggal di Lebak Larang, Kabuyutan
diteruskan oleh Aki Buyut Kayon dan kemudian berpindah tempat ke Lebak
Binong Banten selama 27 tahun. Ketika Aki Buyut Kayon meninggal, anak
pertamanya yang bernama Aki Buyut Ceboy belum dewasa, sehingga
kepemimpinan Kabuyutan diwarnen9 oleh Aki Buyut Santayan dan bertempat di
Pasir Talaga Sukabumi selama 23 Tahun. Setelah Aki Buyut Ceboy dewasa maka
diangkat menjadi Aki Buyut bertempat di Tegal Lumbu Banten hingga ke Bojong
Cisono selama 32 Tahun. Kemudian diteruskan oleh Uyut Jasiun lalu pindah ke
Cicemet.
Kabuyutan, sangat terkait dengan kerajaan Pajajaran karena masih
keturunan Prabu Siliwangi. Pada masa itu, kerajaan Sunda Pajajaran berperang
dengan Kesultanan Banten yang di pimpin oleh Sultan Maulana Yusuf. Akibat
dari kekalahan dalam peperangan tersebut, banyak dari keluarga raja dan
rakyatnya yang senantiasa loyal terhadap rajanya melarikan diri ke arah selatan
(kidul) di kawasan pegunungan, dan satu kelompok dari keturunan inilah
kemudian membentuk masyarakat Kabuyutan. (Adimihardja, 1992).
Menurut Djajadiningrat (1983), bahwa pada Tahun 1579 Masehi ketika
pengambilalihan kekuasaan dari Kerajaan Pakuan-Pajajaran ke Kesultanan Banten
yang di Pimpin oleh Sultan Maulana Yusuf, selain pengambilalihan kekuasaan
juga terjadi penyebaran Agama Islam pada masyarakat Pakuan (Pajajaran) serta
8 Pak Buhori adalah menjabat sebagai Amil atau juru-basa (sekretaris) di Kasepuhan SRI dimasa
kepemimpinan Abah ASN saat ini juga merangkap sebagai carik atau sekretaris desa di desa
Sirnaresmi kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi. 9 Warnen adalah orang yang diserahi menjadi Pemangku adat karena penerusnya belum dewasa
36
penguasanya yang dipimpin Prabu Suryakencana atau yang di kenal dengan Prabu
Pucuk Umun
Sumber Banten yang ditulis oleh Tb. Roesjan (1954), mengemukakan
bahwa pada tahun 1579 Pakuan Pajajaran diambil kekuasaannya oleh Kesultanan
Banten yang dipimpin oleh Sultan maulana Yusuf, sebanyak 800 anggota kerajaan
Pakuan Pajajaran melarikan diri ke lereng gunung Cibodas dan lereng Gunung
Palasari dan ada yang menyingkir ke Jayanga (Jasinga) dan sekitar Bayah bahkan
ada yang melarikan diri ke daerah Sanghiyang Sirah dan Boros-hongora (Ujung
Kulon). Para Pandita melarikan diri ke daerah selatan tepatnya gunung Kendeng
di daerah selatan disebut dengan penghuni parahyangan yang memelihara sunda
wiwitan dan dikenal dengan masyarakat kanekes (baduy).
Menurut Uwa Ugis10
bahwa di masa kepemimpinan Aki Buyut Agung
sampai dengan Aki Buyut Ceboy adalah masa Kabuyutan dan kabuyutan
merupakan para leluhur dari masyarakat Kasepuhan yang saat ini ada, para buyut
juga yang membuat segala aturan-aturan (norma) tentang kehidupan masyarakat
Kasepuhan yang hingga kini terus dijaga. Penulis tidak membahas kepemimpinan
secara mendalam dari para Kabuyutan tersebut yang dikarenakan minimnya
informasi tenang Kabuyutan, namun penulis mengupas secara mendalam pada
masa Kasepuhan yang hingga kini masih ada.
10
Uwa Ugis adalah Penasehat Abah dari ketiga Kasepuhan yang ada di desa Sirnaresmi yaitu:
Kasepuhan SRI, Kasepuhan CGR dan Kasepuhan CMA. Serta bertempat tinggal (rumah) di
Kasepuhan SRI.
37
Keterangan :
: Awal Kabuyutan Terbentuk / Buyut pertama
: Buyut Pemimpin Kabuyutan
: Ambu Kabuyutan
: Turunan
Gambar 4.1. Susunan Genealogi Kabuyutan
4.4.2. Kasepuhan
Kasepuhan berasal dari suku kata sepuh dan berasal dari bahasa Sunda
yang artinya tua atau dituakan, kemudian muncul pengertian sesepuh, yaitu orang
yang dituakan dan biasanya memimpin suatu organisasi. Kata Kasepuhan dalam
konteks tulisan ini, mengacu pada pemahaman terhadap suatu kelompok sosial, di
mana semua aktivitas warganya masih berazaskan pada adat-istiadat lama sebagai
warisan nenek moyang (buyut) yang antara lain tampak berupa tata cara menanam
Aki Buyut Agung Sajira Banten
Ambu Buyut Samsiah
Ambu Buyut Sampih Aki Buyut Bau Rosa
(Ciparai Bogor)
Aki Buyut Warning (Lebak Binong Banten)
Aki Buyut Santaian (Pasir Talaga Sukabumi)
Aki Buyut Ceboy (Tegal Lumbu – Gejeng cisono
Banten)
Aki Buyut Jasiun (Era Kasepuhan)
38
dan memelihara padi di huma (ladang) dalam sistem pertanian tradisional
(Adimihardja, 1992).
Menurut Abah ASN bahwa nama Kasepuhan lahir ketika pada zaman
kepemimpinan Uyut/Buyut/Abah JSN pada tahun 1960 dan nama Kasepuhannya
adalah Cicemet yang disesuaikan dengan nama kampung dimana keberadaan
kasepuhan itu tinggal. Kasepuhan ini terbagi menjadi tiga wilayah adminstratif;
pertama yang terdapat di Kabupaten Lebak Provinsi Banten yaitu di kecamatan
Sajira, Bayah, Cikotok, Cibeber dan Sobang; kedua Kabupaten Bogor terdapat di
Kecamatan Jasinga dan Leuwi liang; ketiga di Kabupaten Sukabumi terdapat
Kecamatan Cisolok.
Pada Tahun 1977 Kasepuhan-Kasepuhan yang terdapat di wilayah Banten
dan Jawa Barat tersebut kemudian di persatukan dalam satu ikatan yang
diprakarsai oleh Gubernur Jawa Barat Solihin GP dan di setujui oleh semua Abah
atau Olot Kasepuhan. Peristiwa tersebut terjadi, di Kasepuhan Cikaret di bawah
kepemimpinan Abah RSD. Dengan nama ikatannya adalah KESATUAN ADAT
BANTEN KIDUL.
Memakai nama Banten Kidul karena berdasarkan historis keberadaan
Kabuyutan ini berada di Banten Kidul (Sajira) serta sehingga berubah menjadi
Kasepuhan. Kasepuhan-Kasepuhan juga terbanyak berada di wilayah Banten Kidul
(selatan) hal-hal itulah yang mendasari nama persatuan seluruh Kasepuhan. Setiap
pemimpin di Kasepuhan hakikatnya berdasarkan keturunan (lihat gambar 4.2.)
sehingga antara tiap Kasepuhan yang ada saat ini umumnya bersaudara satu
dengan yang lainnya.
39
Keterangan
: Abah Pemimpin Kasepuhan
: Ambu (Istri)
: Ambu (Istri) Dicerai
: Anak Perempuan
: Anak Laki-laki
: Turunan
Gambar 4.2. Susunan Genealogi Kasepuhan
Bela Berlin Saragoza Gia Pilka
Ambu Yuyun Abah Asep Ambu Nunung
Erni Astri Leni Elen Meli
Nyai Sukinten
Abah Uum Sukmawijaya
Abah Ugis
Abah Anom
Iis Lia
Abah AJ Mintarsih Ambu Yayat
Ema Anat
Abah Jiun
Masa Kebuhunan
Nini Ane
Abah RSD
Ema Anom Lesmana
Abah UT Sujati Ambu Purminah Arsih
40
4.5. Sumber Kekuasaan Kepemimpinan di Kasepuhan
4.5.1. Keturunan
Sumber-sumber kekuasaan didalam kepemimpinan Kasepuhan SRI dibagi
menjadi dua sumber kekuasaan; 1) Keturunan setiap anak laki-laki Abah
merupakan calon pemimpin kasepuhan untuk menggantikan Abah setelah wafat
dan terutama anak laki-laki pertama, 2) Pengikut (incu-putu), 3) Mitos; Pancar-
pangawinan merupakan amanat kepemimpinan yang datangnya dari Prabu
Siliwangi kerajaan Pajajaran, serta masyarakat kasepuhan selalu mengatakan
dirinya sebagai turunannya,
Faktor keturunan (ascribe status), merupakan kecenderungan yang terjadi
adalah jika sang ayah “abah” di Kasepuhan maka kecenderungan anaknya untuk
naik tahta menggantikan ayahnya yang telah mangkat akan lebih besar. Kemudian
incu-putu sebagai masyarakat yang tidak terpisahkan dari Kasepuhan serta
menjadi entitas kepatuhan terhadap Abah. Kemudian pancar pangawinan serta
wangsit sebagai sumber kekuasaan selanjutnya, dan tilu-sapamilu merupakan
sumber norma-norma kehidupan yang tertuang dalam Tatali Paranti Karuhun.
Keturunan anak pertama dari keluarga Abah secara otomatis dapat
menggantikan Abah. Bila telah wafat, namun apabila putra pertama tersebut
dinilai belum memumpuni dari segi usia, akan didahulukan dengan pemimpin
warnen (sela). Pemimpin sela adalah pemimpin pengganti sementara karena calon
pemimpin yang telah ada, belum memumpuni dilihat dari segi usia (baru usia 10-
16 tahun) dan di gantikan sementara kepada saudara Abah yang usianya telah
memenuhi syarat diatas 17 tahun berdasarkan musyawarah keluarga beserta
dukun. Akan tetapi setelah usia 17 tahun makan tampuk kepemimpinan tersebut
akan di serahkan kepada haknya kepada anak yang telah usia 17 tahun tersebut.
Yang kedua apabila seorang Abah tersebut memiliki anak laki-laki lebih dari satu
maka diantara anak-anak laki-laki tersebut memiliki tanda-tanda khusus. Hal ini
yang dapat melihat tanda-tanda pemimpin pengganti Abah berikutnya hanya
seorang Abah itu sendiri sejak anak-anaknya kecil juga Dukun dari Kasepuhan
SRI secara supernatural.
41
4.5.2. Wangsit
Wangsit merupakan petunjuk secara supranatural yang ada diri pemimpin
atau calon pemimpin (Abah) yang datangnya dari leluhur. Biasanya terdapat tanda
pada calon pemimpin seperti tingka laku maupun simbol yang terdapat di bagian
tubuh calon pemimpin. Menurut Abah ASNwangsit tersebut datangnya secara tiba-
tiba kepada siapa saja yang akan menjadi calon pemimpin dalam sebuah
Kasepuhan, dan wangsit juga bukan hanya untuk mencari figur kepemimpinan
secara magis akan tetapi kepindahan Kasepuhan juga mencari cadangan
kehidupan serta menikah lagi bagi seorang Abah guna memperbanyak keturunan.
Wangsit sebagai sumber kekuasaan dalam kepemimpinan di Kasepuhan,
sebagai legitimasi kepemimpinan maka wangsit tidak bisa dilihat oleh semua
incu-putu, tetapi hanya orang-orang tertentu seperti Abah, dan Dukun, serta
sifatnya yang supranatural maka wangsit ini kebanyakan datangnya lewat mimpi
oleh Abah sebelumnya dan yang mendapatkan wangsit selanjutnya (pengganti)
Abah mempunyai ciri-ciri tertentu yang sesuai dengan mimpi yang dialami oleh
Abah dan akan di kabarkan melalui Dukun kepada incu-putu.
Hampir semua kepemimpinan Abah yang ada di Kasepuhan memperoleh
wangsit guna menjadi seeorang Abah mulai dari Abah JSN, Abah RSD, Abah AJ,
dan Abah Asep. Namun Abah UT yang mengaku dirinya mendapatkan wangsit,
karena sebelum menjabat menjadi Abah bapak Ujat terlebih dahulu menjadi
kepala desa, sehingga menurut beberapa incu-putu bahwa Abah UT hanya
mengaku mendapatkan wangsit guna menduduki Kasepuhan karena di intervensi
oleh pemerintah.
4.5.3. Mitos
Pancar Pangawinan: Klaim Otoritas Adat di Kasepuhan
Terdapat suatu kesadaran yang mendalam bahwa masyarakat Kasepuhan
merupakan keturunan secara langsung dari Prabu Siliwangi dari Kerajaan
Pajajaran yang bersumber dari apa yang mereka sebut pancer pangawinan
(Guillot, 2008). Berdasarkan keterangan beberapa orang sesepuh Kasepuhan serta
dari kokolot lembur bahwa masyarakat Kasepuhan selalu menyatakan dirinya,
42
kami mah turunan pancer pangawinan_kami ini merupakan keturunan pancer
pangawinan.
Dalam bahasa Sunda, kata pancer berarti lulugu, yang dalam bahasa
Indonesia „asal usul‟ atau „sumber‟ kata pangawinan berasal dari kata ngawin
yang berarti membawa tombak pada saat upacara perkawinan. Kata pangawinan
dikalangan warga Kasepuhan, memiliki makna yang lebih luas. Dengan demikian
kata kawin tercermin makna mempersatukan dua batin yang berbeda, dua
pendapat yang berbeda, dua keinginan yang berbeda dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan menjadi satu tekad, satu jiwa, satu pendapat, satu keinginan,
satu rasa dan satu tujuan, yaitu membina kehidupan yang sejahtera, dan harmonis
lahir batin. Sikap dasar tersebut dinyatakan warga Kasepuhan dengan ungkapan
kata-kata ka cai jadi saleuwi kadarat jadi salebak atau membina suatu
kehidupan yang harmonis dalam satu kesatuan hidup rumah tangga (Adimihardja,
1992).
Pada hakikatnya bahwa dapat dipahami masyarakat Kasepuhan sebagai
keturunan pancer pangawinan. Mereka anggap sebagai suatu magis yang di
ungkapkan dengan kata-kata sing saha nu bisa ngawinkeun langit jeung bumi,
manusa jeung kamanusaanana, eta nu disebut pancer pangawinan. Barang siapa
yang bisa mengawinkan bumi dengan langit, manusia dengan kemanusiaannya,
itulah namanya pancer pangawinan. Abah adalah orang yang diamanatkan yang
harus memegang akan Pancar pangawinan serta dapat legitimasi akan
kepemimpinannya.
Menurut Safa‟at et al (2008), setiap kepemimpinan masyarakat adat
mempunyai pegangan secara mitos guna melanggengkan kekuasaanya dalam
masyarakat, serta bagaimana menjaga aturan-aturan adat yang berlaku sebagai
kekuatan sosial. Abah dinilai oleh kalangan masyarakat Kasepuhan yang menjadi
tuntunan karena memiliki (memegang) pancar pangawinan, sebagai sumber
otoritas kepemimpinan Kasepuhan juga diamanatkan untuk menjaga norma-
norma Kasepuhan. Pancar pangawinan merupakan prasyarat mutlak bagi setiap
pemimpin dan calon untuk memilikinya karena merupakan legitimasi
kepemimpinan terhadap incu-putunya.
43
Pancar pangawinan dikonstruksi oleh setiap pemimpin adat sebagai
simbolisme kepemimpinan yang sifatnya sangat abstrak dan bersifat individual.
Konstruksi masyarakat bahwa pancar pangawinan merupakan “tanda” atau
“simbol” personal dari setiap individu untuk terpilih sebagai pemimpin dalam
sebuah Kasepuhan, dan fungsi dari Abah yang dapat membaca siapa anaknya
yang memiliki pancar pangawinan serta dibantu dengan Dukun untuk
membacanya secara magis. Sehingga secara historis, kepemimpinan Kasepuhan
dikondisikan untuk tidak terbentuk demokrasi di level bawah.
Pada perinsifnya bahwa pancar pangawinan adalah semua incu-putu
Kasepuhan adalah turunan dari pancar pangawinan, karena pancar pangawinan
ini adalah amanat dari Prabu Siliwangi untuk di incu-putu kasepuhan. Namun
yang menjaga dan memiliki pancar pangawinan adalah pemimpin dari
Kasepuhan, serta menurut Uwa Ugis11
dan Dukun Kasepuhan bahwa tidak semua
Abah memiliki pancar pangawinan, hanya para Abah pendahulu saja yang
memilikinya serta salah satu dari ketiga Kasepuhan yang ada di Desa Sirnaresmi
yang kini memiliki (memegang) pancar pangawinan. Tetapi ketika
dikonfirmasikan kepada Abah ASNsebagai pemimpin di Kasepuhan SRI, Abah
Ugis pemimpin di Kasepuhan CGR, serta Abah Hendrik pemimpin di Kasepuhan
CMA mereka mengakui (klaim) akan memegang pancar pangawinan.
Menurut beberapa sumber yang ada di kasepuhan bahwa walaupun pancar
pangawinan ada yang mengatakan adalah berwujud benda pusaka, serta ada di
pihak lain mengatakan bahwa hanya sebuah kharisma yang datang dari leluhur
yang dapat berpengaruh pada incu-putu akan kepatuhan pada Abah serta aturan-
aturan adat yang telah di tetapkan.
4.6. Pergeseran Sumber Kekuasaan
Sumber kekuasaan yang dipakai Abah AJ adalah keturunan, wangsit serta
mitos (Pancar Pangawinan) guna melegitimasi segala kekuasaanya tersebut Abah
AJ cenderung otorioter kepada incu-putu, tetapi justru dengan penerapan otokratis
tersebut incu-putu merasa senang dan adanya pengakuan kembali semua aturan-
11
Uwa Ugis dan Dukun tidak memberikan keterangan secara terperinci tentang siapa saja para
Abah yang memegang pancar pangawinan secara turun temurun diberikan kepada Abah
tersebut, hanya berupa merujuk pada pendahulu yang mendapatkannya serta kini ada di salah
satu kasepuhan.
44
aturan adat yang ada. Sehingga kepatuhan incu-putu semakin kuat dan menaruh
kepercayaan yang maksimal kepada Abah AJ.
Legitimasi kekuasaan Abah UT selain faktor keturunan juga adanya pihak
luar Kasepuhan (pemerintah) sehingga di masa kepemimpinannya intrevensi dari
pemerintah terutama dalam pembangunan pertanian semakian kuat dan hal itu
mempunyai konsekuesi pada Incu-putu serta ekistensi kelembagaan leuit semakin
lemah dan itulah yang kemudian memporak-porandakan sistem Huma. Pada masa
kepemimpinannya politik praktis dengan pemerintah mulai menjamah di
kehidupan Kasepuhan. Aroma perpecahan Kasepuhan terjadi pada
kepemimpinannya.
Kepemimpinan Abah ASNini sumber kekuasaan yang mulanya adanya
keturunan, wangsit dan motos kini masuknya pendidikan yang membawa pada
nilai materialisme kebendaan yang pantang dimiliki oleh pemimpin adat, saat
kepemimpinan adat Abah ASNsudah tidak berlaku lagi. “Previlage” sang “Abah”
lebih kepada kehidupan modernisme, misalnya memiliki kendaraan beroda empat,
anak-anak Abah sendiri kurang mengikuti pola kehidupan Kasepuhan serta Abah
lebih mengedepankan relasi luar Kasepuhan kepentingan elit politik baik nasional
maupun lokal.
45
BAB V
KEPEMIMPINAN DI KESEPUHAN
5.1. Periode Kepemimpinan di Kasepuhan
5.1.1. Kepemimpinan Abah JSN
Kepemimpinan Abah JSN (1937-1960) adalah fase transisi sebagai peletak
pertama didalam pembentukan Kasepuhan dari Kabuyutan. Kasepuhan Abah JSN
terletak di daerah Cicemet, namun akhirnya dipindahkan ke daerah Cikaret.
Pemindahan Kasepuhan ke Cikaret karena selain wangsit alasan lainnya yaitu
kemanan, karena pada waktu itu terjadi penjajahan belanda. Abah JSN memiliki
karakter yang keras dalam kepemimpinannya dan sangat memegang teguh adat
dalam menjalankan aturan Kasepuhan pada incu-putunya.
Di masa pemerintahannya cenderung menunjukkan pola-pola
kepemimpinan yang otokratis, dalam hal pengelolaan sumberdaya pertanian yang
menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Kasepuhan. Misalnya saja, Abah JSN
dengan sangat konsisten menjaga aturan pengelolaan lahan adat (huma), dengan
kegiatan penanaman padi sekali dalam setahun dengan masih menggunakan
varietas lokal. Terlebih penyetoran hasil sawah dalam bentuk gabah kering bisa
masuk sepenuhnya ke dalam Leuit, serta mengatur agar pembagian hasil panen
berdasarkan aturan adat dengan mempertimbangkan lapisan sosial berdasarkan
pada jumlah kepemilikan lahan. Kecenderungan yang terjadi, Abah selalu tetap
mempertahankan pola hidup berpindah. Dan dalam permasalahan adat, ketegasan
Abah dan konsistensi Abah menjaga nilai-nilai luhur adat Kasepuhan menjaga
keluhuran nilai-nilai tatali paranti karuhun agar tetap mendarah daging pada
masyarakat Kasepuhan.
Abah JSN lemah ketika menghadapi kuatnya intervensi pemerintah
(Militer/TNI) terhadap masyarakat Kasepuhan. Sehingga pada tahun 1960 nama
Kabuyutan dirubah menjadi Kasepuhan, dan itu disetujui oleh incu-putunya, lihat
dalam gambar 5.1. Seperti yang telah dikemukankan oleh Abah ASNKasepuhan
SRI seperti berikut:
“Pergantian nama dari Kabuyutan menjadi kasepuhan, Abah JSN
mendapatkan wangsit dari leluhur guna menjaga keutuhan segala
aturan-aturan yang telah ditetapkan dari para buyut/leluhur. Hal
46
tersebut diikuti dan ditaati oleh Incu-putu karena dinilai sebagai
amanat dari para buyut/leluhur.”
Ada dua versi dari perubahan nama Kabuyutan menjadi Kasepuhan karena
bertepatan dengan intervensi dari Militer/TNI di satu sisi dan di sisi lain bahwa
pergantian Kabuyutan ke Kasepuhan merupakan hasil dari wangsit yang datang
dari leluhur yang harus dilaksanakan oleh Abah JSN.
Keterangan :
: Intervensi
: Koordinasi
: Hasil
: Turunan
Gambar 5.1 Perubahan Masa Kabuhunan ke Masa Kasepuhan
Abah JSN bukan tanpa alasan mengubah nama Kabuyutan menjadi
Kasepuhan karena situasi bangsa Indonesia yang baru merdeka serta pemerintahan
Belanda sudah menginjakan kakinya di Kabuyutan (Agresi Belanda II) yang
dikhawatirkan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan bersama terutama
menyangkut kepercayaan (religi) yang di nilai oleh incu-putu (masyarakat)
kabuyutan tanah Kabuyutan adalah suci yang sangat sehingga tidak boleh
diduduki oleh orang asing.
Milter/TNI
Kabuyutan
Abah
Kasepuhan
Incu-Putu
Kasepuhan
47
Disamping adanya Agresi Belanda perubahan nama Kabuyutan juga
adanya serangan dari DI/TII pada Tahun 1959 yang menghawatirkan
terganggunya keamanan incu-putu kabuyutan sehingga pemerintah (TNI) dinilai
sangat perlu menghawatirkan keselamatan incu-putu. Peragam peristiwa eksternal
itulah Kabuyutan dirubah menjadi Kasepuhan sangat dimungkinkan hingga
sekarang ini. Berikut ini disajikan dalam Matriks 5.1. beberapa peristiwa penting
yang terjadi saat kepemimpinan Abah JSN.
Matriks 5.1 Peristiwa-peristiwa yang Terjadi pada Periode Abah JSN
No Situasi/Kondisi Waktu Ruang
01. Agresi Militer Belanda Sebelum
kemerdekaan sampai
dengan Tahun 1955
pada masa Orde
Lama
Menyangkut
keyakinan terhadap
kepercayaan yang
dianut Kabuyutan
tabu (pantang)
terhadap orang luar
(diluar keyakinan
dan kepercayaan)
menduduki tanah
leluhur kabuyutan
02. Pemberontakan DI/TII Terjadi pada tahun
1959 masa orde lama
Keamanan incu-putu
yang terancam
karena ulah dari
kedatangan DI/TII ke
tanah Kabuyutan
yang sering membuat
konflik dengan incu-
putu
03. Intervensi pemerintah (TNI) Sejak terjadinya
agresi belanda dan
pemberontakan
DI/TII
Pemerintah
mengedepankan
aspek politik dan
keamanan terhadap
masyarakat lokal
Sumber : data primer (diolah) 2012
Terlepas dari segala peristiwa-peristiwa tersebut yang tersaji dalam
Matriks 5.1. itu bahwa pemerintahan Abah JSN menurut beberapa sumber yang
ada di Kasepuhan SRI, Abah JSN membuat Amanat buat Incu-putu yang harus
dijalankan dan ditaati. Adapun amanat tersebut adalah :
“Mipit kudu amit, ngala kudu menta, nganggo kudu
suci, mangan kedah nu halal, ngucap kudu kalawan
48
sabenerna, kedah miara ucap, miara lampah, miara
tekad”
(Panen harus izin, ambil harus minta, menggunakan
harus suci, makan harus yang halal, berkata harus apa
yang sebenarnya, harus menjaga perkataan, menjaga
kelakuan, menjaga tekad)
“Nyaur kedah diukur, nyabda kedah diunggang-
unggang bilih bekasna nyalahan”
(Berbicara harus diukur, berkata harus ditimbang-
timbang takut berbekas kesalahan)
“Kudu hade catur kasadulur, hade carek kasaderek,
kandeu nyaur tinggal ngangsurn”
(harus memelihara persaudaraan dengan baik, bersikap
baik kepada teman, berbicara dengan merendah)
“Ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang
tapiana”
(jangan bertinggi-tinggi berdiri, dan jangan saling
mendahului/berebut dalam kekuasaan)
Memaknai dari amanat Abah JSN tersebut menurut Uwa Ugis12
bahwa
dapat di bagi menjadi tiga hal yaitu:
1. Amanat yang berkaitan dengan sistem huma (pertaninan ladang)
“Mipit kudu amit, ngala kudu menta, nganggo kudu suci, mangan
kedah nu halal, ngucap kudu kalawan sabenerna, kedah miara ucap,
miara lampah, miara tekad” maksudnya adalah ketika panen padi
huma para incu-putu harus meminta izin untuk memetiknya kepada
bumi yang sering di injak-injak, dibuat bangunan , menanam tanaman
yang dibutuhkan oleh incu-putu sehingga untuk memetik hasilnya
para incu-putu harus minta izin kepada yang mempunyai dan
menciptakan bumi ini dan harus memberlakukannya seperti seorang
Ibu yang telah melahirkan manusia ke dunia ini maka di kenal dengan
“Ibu Bumi”, dan langit yang memberikan hujan (rejeki) buat
kelangsungan kehidupan serta memberi keberkahan buat hasil
pertanian “Bapak Langit” maka keduanya harus diberlakukan
12
Uwa Ugis adalah Penasehat Abah dari ketiga Kasepuhan yang ada di desa Sirnaresmi yaitu:
Kasepuhan SRI, Kasepuhan CGR dan Kasepuhan CMA. Serta bertempat tinggal (rumah) di
Kasepuhan SRI.
49
layaknya sepertu “Ratu”. Sehingga di incu-putu (masyarakat)
kasepuhan dikenal dengan falsafah IBU BUMI BAPAK LANGIT
TANAH RATU. Dan harus menjaga layaknya kita menjaga lisan
(lampah) dan mempertanggung-jawabkan (tekad)
2. Berkaitan dengan pola hubungan antar manusia “Nyaur kedah diukur,
nyabda kedah diunggang-unggang bilih bekasna nyalahan. Kudu
hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal
ngangsurn” setiap berhubungan dengan antar manusia dengan
manusia maka bagaimana incu-putu harus menjaga segala perkataan
dan perbuatan, karena dikhawatirkan salah ucap dan akan
menimbulkan ketidaksenangan yang akan mengakibatkan tali-
silaturahmi kurang harmonis.
3. “Ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang tapiana” yang
ketiga inilah sangat penting bagi kehidupan masyarakat Kasepuhan,
karena berkaitan dengan politik dan kekuasaan; incu-putu keutuhan
Kasepuhan, jangan memperebutkan kekuasaan, karena kekuasaan
harus diberikan pada yang berhak dan dinilai mampu.
Perinsipnya segala aturan-aturan Kasepuhan yang telah digariskan oleh
para leluhur maupun aturan Agama harus ditaati dan dijaga dan dipertanggung-
jawabkan apabila melanggarnya. Keselamatan dalam kehidupan incu-putu
(masyarakat) Kasepuhan adalah bagaimana menjaga hubungan baik dengan
saudara dan masyarakat luar Kasepuhan.
5.1.2. Kepemimpinan Abah RSD
Kepemimpinan kasepuhan yang kedua di pegang oleh anak pertama dari
Abah JSN yaitu Abah RSD (1960-1982), dan pusat pemerintahan pada masa
kepemimpinan Abah RSD ini selalu berpindah-pindah, yang pada mulanya
berlokasi di Cimaja. Pada masa kepemimpinan Abah RSD ini mengalami
pergantian rezim pemerintahan Negara Republik Indonesia dari masa Presiden
Sukarno (Orde Lama) ke masa pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru). Pada
masa orde lama nyaris tidak kentaran (tidak ditemukan) intervensi atau bentuk
penekanan dalam kehidupan di Kasepuhan. Namun dimasa Orde Baru intervensi
50
pemerintah penekanan kehidupan di Kasepuhan justru banyak di temukan bentuk-
bentuk intervensi (penekanan) terhadap kehidupan masyarakat (incu-putu)
Kasepuhan.
Bentuk dari intervensi pemerintah tersebut seperti diterbitkannya Undang-
undang pemerintahan desa nomor 5 Tahun 1979. Menurut Surianingrat (1981),
bahwa sebelum diterbitkannya regulasi tentang penyeragaman sistem
pemerintahan secara nasional yang telah di terapkan (secara paksa) oleh
pemerintahan Presiden Suharto, desa-desa yang telah lama ada berbentuk
kesatuan-kesatuan hukum adat baik yang bersifat teritorial maupun genelogis,
serta beraneka ragam bentuk dan coraknya tergantung di mana kesatuan adat
tersebut berada, seperti di Aceh (gampong), Sumatera Barat (Nagari), Jawa Barat
(Kampung), Makassar (Gaukay) dan seterusnya. Petikan dari isi Undang-undang
nomor 5 Tahun 1979 adalah :
“Bahwa karena jumlah adat-istiadat serta suku-suku yang ada
di nusantara ini beranekaragam ditambah dengan nama-nama
wilayah terkecil setingkat desa (jawa) beraneka ragam pula,
maka Pemerintah merasa dinilai sangat perlu mengeluarkan
regulasi tentang pemerintahan desa tersebut adalah untuk
penataan administratif serta menjembatani perbedaan struktur
administratif dan sistem pemerintahan desa di Jawa dan di luar
Jawa.”
Pada prinsipnya adalah penerbitan Undang-undang pemerintahan desa
tersebut oleh pemerintah Orde Baru semata-mata adalah untuk menyeragamkan
nama desa dan kampung sebagaimana yang ada di Jawa dipakai juga di daerah-
daerah lain yang ada di Indonesia serta mengkerdilkan terhadap kesatuan-kesatuan
adat yang ada di Indonsia yang pada intinya adalah pemerintah justru tidak
menghargai falsafah Bangsanya sendiri yaitu BHINEKA TUNGGAL IKA, tetapi
hanya menginginkan kepentingan penguasa secara sempit. Sehingga tidak sedikit
dari kesatuan-kesatuan adat yang ada di Indonesia hilang akan identitasnya. Hasil
kajian dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)13
bahwa akibat
penerapan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tersebut terjadi banyak benturan
antara pemerintahan desa dengan sistem yang di anut oleh suku-suku setempat.
13
Jurnal edisi Mei 1999. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
51
Berdasarkan Undang-Uudang Nomor. 5 Tahun 1979, desa adalah suatu
wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat
termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi
pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan
rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hak
menyelenggarakan rumah tangganya dalam pengertian ini bukanlah merupakan
hak otonomi, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan UU No. 5 tahun 1979
administrasi desa dipisahkan dari hak adat istiadat dan hak asal usul. Desa
diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam sedangkan hak otonominya
yaitu hak untuk mengatur diri sendiri, ditiadakan. Desa sekedar satuan
administratif dalam tatanan pemerintah.
Akibat tekanan dari pemerintah, kegiatan hidup berpindah-pindah
kemudian terancam, Legitimasi Abah RSD sebagai pemimpin Kasepuhan sebagai
entitas sosial juga ikut terancam. Ini karena dampak dari penerapan undang-
undang nomor 5 Tahun 1979, nantinya Abah harus mengakui kekuasaan lainnya,
misalnya mengakui legitimasi kepala desa yang diangkat oleh pemerintah sebagai
perpanjangan tangan mereka (pemerintah), artinya kekuasaan Abah tidak akan
otonom kembali.
Kemudian pada tahun 1980 terjadi konflik dengan kementrian Agama
yang mempertanyakan tentang status Agama yang dianut oleh Kasepuhan, karena
pengakuan oleh pemerintah terhadap Agama di Indonesia hanya 5 (lima) Agama
yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Budha dan Hindu. Sementara yang
dianut oleh masyarakat Kasepuhan adalah Agama Islam namun masih memakai
tradisi-tradisi leluhur di dalam menjalankan ritual keagamaan. Pihak Kasepuhan
selalu mengakui bahwa kamimah tos-ti baheulana ngilu Agama Islam ku Nabi
Muhamad, (kami masyarakat Kasepuhan sudah sejak dulu menganut Agama
Islam yang di ajarkan Nabi Muhamad). Tetapi masyarakat Kasepuhan didalam
menjalankan kehidupan selalu selaras dengan adat istiadat yang kami junjung
tinggi. Sebagaimana ungkapan dari Bapak Punta sebagai Dukun Kasepuhan SRI
sebagai berikut:
“Pas eta Kasepuhan SRI di handap kepemimpinan Abah RSD
pihak Dinas Agama Kabupaten Sukabumi sering dongkap ka
Kasepuhan jeung selalu naroskeun tentang kayakinan ni dianut
52
masyarakat Kasepuhan Agamana naon? Saha Pangerana
(tuhan)?. Urang masyarakat Kasepuhan sering nagajwab bahwa
urang teh Agamana Islam dan Gusti Alloh SWT eta Tuhan nu
urang bacakeun upami selametan. Teras saha nu ngabacakeun?,
teras dijawab, aya penghulu atawa dukun nu ngabacakeun
atawa pamakayaan lamun diladang, nu nyieun pihak Kasepuhan
tersinggung, tapi abah teu marah ka pemerintah. Malah
bertindak sareng memindahkeun Kasepuhan ka Cigana. Dan
sampe ayeuna, pihak Departemen Agama masih ngontrol
tentang peribadatan Kasepuhan, terbukti ngirikmkeun ustadz ti
Depag Kabupaten Sukabumi.” Artinya tuturan Dukun ketika
Kasepuhan SRI di bawah kepemimpinan Abah RSD pihak dinas
Agama Kabupaten Sukabumi sering datang ke kasepuhan dan
selalu menanyakan tentang keyakinan-kepercayaan yang dianut
masyarakat Kasepuhan Agamana naon? Saha pangerana (tuhan)
dan itu sering. Kami masyarakat Kasepuhan selalu menjawab
bahwa kami ini beragama Islam dan gusti Alloh SWT itu tuhan
Kami; tapi kemudian terus menekan hingga tentang kemenyan,
do‟a-do‟a yang kami bacakan setiap selametan. Terus siapa yang
membacakan lalu dijawab ada penghulu atau dukun yang
membacakan atau pamakayaan kalu di ladang, yang membuat
pihak Kasepuhan tersinggung, tapi Abah tidak marah kepada
pemerintah tersebut, melainkan bertindak dengan memindahkan
Kasepuhan ke Ciganas. Dan sampai dengan sekarang pihak
Agama masih mengontrol tentang peribadatan Kasepuhan
terbukti telah mengirim ustadz dari Depag Kabupaten Sukabumi.
Hasil dari kutipan wawancara dengan Bapak Punta sebagai Dukun
Kasepuhan SRI tersebut bahwa prinsipnya hanya perbedaan persepsi pada
pelaksanaan peribadatannya antara pihak kasepuhan dengan pemerintah, karena
tidak ada titik temu Abah RSD memindahkan pusat pemerintahan Kasepuhan ke
Ciganas/Cimaja, guna menghindari konflik (benturan) secara fisik dengan pihak
pemerintah.
Pemindahan pusat pemerintahan Kasepuhan tersebut selain faktor
eksternal juga adanya wangsit (ilham) dari leluhurnya agar memindahkan pusat
Kasepuhan tersebut, serta akan selalu dipatuhi oleh incu-putu. Incu-putu
Kasepuhan selalu memandang Abah sebagai panutan karena sebagai turunan dari
Abah JSN dan para leluhurnya serta orang yang selalu di beri ilham (wangsit)
setiap perjalanan kepemimpinan guna mempertahankan amanat yang telah di
gariskan untuk menjaga norma-norma Kasepuhan, keturunan dan wangsit itulah
53
sebagai sumber kepemimpinan dari Abah RSD serta ditambah dengan kharisma
yang dimiliki oleh Abah RSD.
Maka incu-putu menilai dari faktor keturunan serta mempercayai Abah
RSD orang yang selalu mendapatkan wangsit untuk menjaga incu-putu itulah
kepatuhan incu-putu timbul dan meyakini menjadi mengkristal pada diri dari tiap
incu-putu. Bukti kepatuhan itu adalah ketika mengindari konflik (benturan) secara
fisik dengan pihak pemerintah, maka Abah RSD memutuskan untuk memindahkan
pusat pemerintahan kasepuhan ke Ciganas/Cimaja, dan incu-putu selalu mentaati
keputusan Abah tersebut, serta bagaimana untuk menjaga adat istiadat (amanat)
incu-putu selalu mengikuti (Abah) yang dipandang sebagai orang yang secara
langsung mendapatkan wangsit tersebut (lihat Gambar 5.2.).
Keterangan :
: Intervensi
: Koordinasi
: Instruksi
: Turunan
: Mempengaruhi
Gambar 5.2. Intervensi Pemerintah pada Kepemimpinan Abah RSD
Kelemahan dari Kasepuhan adalah tidak adanya hukum tertulis didalam
memiliki tanah adat dan mungkin semua masyarakat adat yang ada di seluruh
Indonesia, karena bagi mereka adalah bahwa tanah adat merupakan amanat dan
suatu wasiat yang harus dijaga oleh adat. Begitupun dengan tanah yang ada di
ABAH
Kasepuhan
Agresi Belanda II
Perum Perhutani TNGH
DEPAG
INCU-PUTU
UU No. 05 Tahun 1979
ABAH
Kasepuhan
Agresi Belanda II
Perum Perhutani TNGH
DEPAG
INCU-PUTU
UU No. 05 Tahun 1979
54
Kasepuhan, terutama yang menyangkut tanah yang di atasnya ditumbuhi dengan
tanaman. Dalam hal kepemilikan tanah adat menurut Abah ASNKasepuhan SRI
sebagaimana hasil kutipan wawancara sebagai berikut:
“Pada Tahun 1981-1982 terjadi konflik dengan pihak perhutani
tentang tanah Adat dan sebagian tanah Kasepuhan dimiliki oleh
Ferum-perhutani sebagai bagian Taman Nasional Gunung
Halimun dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kehutanan, perbedaan dalam hal legalisasi
lahan Kasepuhan dengan pemahaman lahan versi pemerintah
(Perhutani). Pada saat itu masyarakat banyak yang ditangkap
karena dianggap mencuri kayu di lahan perhutani. Sehingga
Abah RSD kembali memindahkan Kasepuhan ke Cikaret.”
Bagi masyarakat Kasepuhan hutan merupakan sumber kehidupan yang
harus dijaga, maka fungsi hutan di bagi menjadi tiga zonasi yang diantaranya
adalah:
1. Leuweung Titipan (hutan titipan); merupakan hutan larangan atau
hutan warisan dari leluhur yang harus dijaga dan terlarang untuk
kegiatan apapun.
2. Leuweung Tutupan (hutan konservasi) adalah hutan yang boleh di
ambil kayunya untuk keperluan rumah tangga Kasepuhan
(membangun rumah) serta kegiatan Kasepuhan lainnya tetapi harus
di tanam kembali (tambal sulam).
3. Leuweung garapan (hutan garapan) hutan yang bisa dibuka untuk
lahan pertanian (huma).
Adapun peristiwa-peristiwa nasional dan lokal ketika kepemimpinan Abah
RSD seperti tertuang dalam Matriks 5.2. berikut ini.
55
Matriks 5.2 Peristiwa-Peristiwa Nasional dan Lokal Kepemimpinan
Abah RSD
No Situasi/Kondisi Ruang/waktu Dampak pada Kasepuhan
01 Agresi Militer Belanda
II
Tahun 1960-1963.
Pada masa Orde
Lama
Kasepuhan menjadi tempat
bagi militer (TNI) juga.
Leuit sebagai lumbung
pangan kasepuhan, menjadi
perbekalan TNI atas
kebijakan Abah RSD
02 Isu PKI Tahun 1965-1966 TNI menuduh pihak
kasepuhan beraliran PKI
karena kaspuhan menerima
setiap tamu yang datang
termasuk PKI sehingga
terjadi kesalahpahaman
antara pihak TNI dan
Kasepuhan yang
mengakibatkan kasepuhan
mendapat tekanan secara
mental dari TNI. Walau pada
kepemimpinan korem
Cisarua yang baru meminta
maaf karena tuduhan
tersebut tidak mendasar.
03 Penetapan dan
pemberlakuan Undang-
Undang Pemerintahan
Desa Nomor 5 tahun
1979
Peralihan masa
pemerintahan dari
Orde lama ke masa
pemerintahan Orde
Baru.
Adanya dualisme
kepemimpinan di kampung
tempat bermukimnya
kasepuhan
04 Tekanan tentang
keyakinan dan
kepercayaan terhadap
Agama.
Tahun 1980 pada
masa pemerintahan
Orde Baru
1. Pihak kasepuhan
mndapatkan tekanan
mental dan psikologis
drai pihak Departemen
Agama Kantor wilayah
Kabupaten Sukabumi
2. Pemindahan Kasepuhan
dari Cikaret ke
Cimaja/Ciganas untuk
menghindari konflik
dengan pihak
pemerintah.
05 Konflik dengan Ferum-
Perhutani
Tahun 1981-1982
(masa Orde baru)
Tanah Adat yang di
klaim oleh pihak
Ferum perhutani, dan
dijadikan sebagai
Taman Nasional
1. Incu-putu banyak yang
ditangkap oleh pihak
Ferum-Perhutani karena
dituduh mencuri kayu
ditanah leluhurnya yang
di klaim menjadi Taman
Nasional Gunung
56
Gunung Halimun
(TNGH)
Halimun (TNGH).
2. Kasepuhan dipindahkan
kembali dari Ciganas ke
Cikaret guna
menghindari konflik
terbuka dengan Ferum-
Perhutani.
Sumber data primer (diolah), 2012
5.1.3. Kepemimpinan Abah AJ
Dimasa pemerintahan Kasepuhan Abah AJ memimpin selama empat tahun
mulai dari tahun 1982 hingga 1985 dengan jumlah pengikut 28.000 jiwa lokasi
Kasepuhan yang awalnya di Cikelat, tetapi bergesekan dengan Kepala Desa
Cikelat Bapak Usep Nuryana, yang disebabkan berbenturannya peraturan desa
dengan sistem pemerintahan Kasepuhan sebagai imbas dari diberlakukannya
Undang-undang pemerintahan desa nomor 5 tahun 1979. Maka pusat
pemerintahan Kasepuhan dipindahkan ke Babakan Ciptarasa, sehingga Kasepuhan
bernama Ciptarasa.
Kepemimpinan Abah AJ dan setelah pindah ke Ciptarasa Di tempat baru
inilah Abah AJ memurnikan kembali nilai-nilai adat baik dalam hal pemerintahan
adat, pengelolaan sumberdaya, dan eksistensi hidup berpindah-pindah. Maka
bentuk otoritarianisme pemimpin Kasepuhan Abah AJ cenderung kurang pada
ranah konfrontasi melainkan lebih ke ranah pemurnian adat di dalam Kasepuhan
itu sendiri. Karena Abah AJ mempunyai dua orang istri dan diantaranya memiliki
keturunan laki-laki maka disinilah titik awal keretakan Kasepuhan terjadi.
Kepemimpinan Abah AJ ini berhasil mengembalikan kemurnian (norma)
Kasepuhan di bantu dengan peranan dari sistem kepemimpinannya baik itu
Dukun, Panasehat dan lainnya, masyarakat Kasepuhan selalu mentaati segala
ucapan yang telah tergariskan oleh Abah AJ. Sehingga kemurnian norma-norma
apa yang terkandung didalam Tatali Paranti Karuhun dapat ditanamkan kembali
di Kasepuhan, seperti dalam pemerintahan adat, pengelolaan sumberdaya, dan
eksistensi hidup berpindah-pindah. Maka bentuk otoritarianisme pemimpin
Kasepuhan Abah AJ cenderung kurang pada ranah konfrontasi melainkan lebih ke
ranah pemurnian adat di dalam Kasepuhan itu sendiri. Seperti yang telah
57
diungkapkan oleh Bapak Dede Mulyana selaku panasehat Abah ASNKasepuhan
SRI sebagai berikut:
“Pas Abah AJ memimpin Kasepuhan segala aturan adat dikuatkan
kembali, dan incu-putupun merasa senang dengan hal itu, Abah AJ
sangat tegas pas memimpin. Dan Abah AJ mempunyai 2 (dua)
orang Istri, kedua-duanya dari kalangan kasepuhan.”
Awal Perpecahan Kasepuhan
Abah AJ mempunyai dua orang Ambu (istri). Pada umumnya para Abah
Kasepuhan memiliki lebih dari satu Ambu. Prinsip menikahi lebih dari satu istri
disamping untuk memperbanyak keturunan, juga untuk mencari pemimpin (Abah)
kelak. Sehingga sudah menjadi hal yang biasa dan tidak dilarang dalam aturan
Kasepuhan. Melaksanakan pernikahan lebih dari satu (buat Abah) yang penting
mendapat izin oleh Ambu agar tidak terjadi perselisihan dikemudian hari dan
reaksi dari incu-putu menilai bahwa memiliki istri dari satu tidak menjadi masalah
yang penting bagaimana bisa berlaku adil.
Demikin juga yang dilakukan oleh seorang Abah AJ yang mempunyai dua
Ambu (istri). Dari Ambu pertama dikaruniai bapak Uum Sukma Wijaya (kelahiran
tahun 1939), Ibu Nyai Sukinten dan Bapak Ujat Sudjati (kelahiran tahun 1945).
Serta dari Ambu yang kedua dikaruniai anak laki-laki bernama Bapak
Encup/Anom (lahir tahun 1966).
Kasepuhan yang dipimpin oleh Abah AJ yang begitu kuatnya memegang
teguh akan aturan-aturan adat terutama dalam pengelolahan sumber daya
(pertanian) dan bertepatan dengan program pemerintah BIMAS akan tetapi tidak
begitu mudah diterima dalam masyarakat Kasepuhan karena dinilai dalam
penanaman padi hanya dapat dilakukan sekali setahun. Hal tersebut sesuai dengan
falsafah dalam pengelolahan sumber daya pertanian di Kasepuhan “IBU BUMI,
BAPAK LANGIT, TANAH RATU”.
Pemerintah melalui Dinas Pertanian di Kabupaten Sukabumi tidak
kehilangan akal untuk merealisasikan program pembangunan dibidang pertanian
tersebut, sehingga pemerintah menarik anaknya Abah AJ untuk menjadi Kepala
Desa di Desa Sirnaresmi dan Bapak Ujat Sudjati menjadi Kepala Desa guna
memuluskan program pemerintah nantinya.
58
Pada Tahun 1985 Abah AJ meninggal dunia. Pimpinan Kasepuhan
Ciptarasa digantikan oleh Bapak Encup. Pada tahun 1985 Abah Encup memimpin
Kasepuhan Ciptarasa karena memang mempunyai persyarakatan pemimpin di
Kasepuhan, serta mendapatkan wangsit, hal tersebut juga dapat disetujui (restui)
pula oleh Bapak Uum Sukmawijaya dan Bapak Ujat dari Istri pertama Abah AJ.
Ketika Kasepuhan dibawah pemerintahan Abah Encup Kasepuhan
berpindah tempat karena mendapatkan wangsit di kampung Cipta Gelar dan
Kasepuhan pun dinamakan Kasepuhan CGR. Selang beberapa bulan Bapak Encup
menjadi dinobatkan menjadi Abah, Bapak Ujat mendapatkan Wangsit (menurut
Bapak Ujat dan Saudaranya) mendeklarasikan untuk mendirikan Kasepuhan di
Sirnaresmi, maka beliau menjadi Abah di Kasepuhan Sirnaresmi. Lokasi
Sinaresmi sebagai pusat pemerintahan sebetulnya pernah di gunakan ketika
pemerintahan Abah RSD (Abah kedua). Dalam pandangan incu-putu Kasepuhan
bahwa tempat yang pernah dipakai seharusnya tidak boleh ditempati kembali
(karena akan mendapatkan musibah/kawalat/kabendon) dari para leluhurnya.
Menurut Kang Dede Mulyana sebagai Panasehat Abah ASNmanyatakan
bahwa Bapak Ujat menjadi Abah waktu itu karena adanya campur tangan
pemerintah untuk melanggengkan segala program-program dalam bidang
pembangunan pertanian yang ketika pada kepemimpinan Abah AJ kurang begitu
diterima. Sehingga mencari celah dari segi kekuasaan. Berikut disajikan dalam
Matriks 5.3. Peristiwa-peristiwa Nasional dan Lokal Kepemimpinan Abah AJ.
Matriks 5.3. Peristiwa-peristiwa Nasional dan Lokal Kepemimpinan Abah AJ
No Situasi/Kondisi Ruang/waktu Dampak pada Kasepuhan
01 Penerapan Undang-
undang Nomor 5 Tahun
1979 tentang
pemerintahan Desa
Tahun 1982 (masa
Orde baru) terjadi
konflik dengan
pemerintahan Desa
Cikelat dengan
kepala Desanya
bernama Usep
Nuryana
1. Adanya dualisme
kepemimpinan di
kampung tempat
bermukimnya Kasepuhan
2. Menghindari konflik
terbuka dengan pihak
Desa Cikelat, pusat
pemerintahan Kasepuhan
di pindahkan ke kampung
Babakan Ciptarasa
02 Penetapan Babakan
Ciptarasa menjadi
Sirnaresmi
Pada Tahun 1982,
terjadi di kampung
Sirnaresmi yang
disaksikan oleh pihak
-
59
pemerintah
03. Intervensi pemerintah
melalui Dinas pertanian
Pada tahun 1983
guna mengubah
sistem pertaninan
lokal (penanaman
padi 1 kali dalam
setahun, akan
dijadikan 2 kali dalm
setahun dan
menggunakan pupuk
kimia)
1. Abah AJ menolak
dengan tegas karena
tidak sesuai dengan
tatali paranti karuhun.
2. Anak Abah AJ yang
kedua yaitu Bapak Ujat
diangkat dan didukung
oleh pemerintah menjadi
Kepala Desa Sirnaresmi.
03. Setelah wafatnya Abah
AJ pemerintahan
Kasepuhan di pegang
oleh Abah Encup
(anom)
Pada tahun 1985, dan
Abah Encup ini
adalah anak pertama
dari Ambu (istri)
kedua
Kasepuhan berpindah tempat
ke kampung Cipta Gelar dan
kasepuhan bernama Cipta
Gelar karena mendapatkan
wangsit
04. Bapak Ujat mengkliem
mendapatkan wangsit
guna mendirikan
kasepuhan baru
Pada tahun 1985
Abah UT meresa
mendapatkan
wangsit dari leluhur
untuk mendirikan
Kasepuhan/
meneruskan di
Kasepuhan Sirnarasa
tempat Abah AJ
dahulu.
1. Selama tiga tahun
(1983-1985) sebelum
menajdi Abah, Bapak
Ujat menjadi kepala
desa Sirnaresmi dan
ketika menjadi
Abahpun masih
menjabat kepala desa
yang mengakibatkan
terjadi dua peran
dalam kepemimpinan
antara desa dan
kasepuhan
2. Perpecahan tidak
dihindarkan di
Kasepuhan sehingga
incu-putu terbelah
akan panutan dan
kepatuhan terhadap
Abah
Sumber: data primer (diolah) 2012
60
5.1.4. Kepemimpinan Abah UT
Pemerintahan Abah UT dimulai pada tahun 1985 sampai dengan 2000,
pusat pemerintahan Kasepuhan berlokasi di Kampung Sirnaresmi, dengan jumlah
pengikut sebanyak 14.200 jiwa. Abah UT sebelum menjadi Abah beliau adalah
seorang Kepala Desa Sinaresmi, yang nantinya sebagai kepanjangan tangan
pemerintah untuk mengintervensi Kasepuhan. Dan proses menjadi “Abah” di
Kasepuhan Bapak Ujat mendeklarasikan diri menjadi Abah karena merasa
mendapatkan wangsit.
Seperti yang telah di paparkan pada masa kepemimpinan Abah AJ tentang
Bapak Ujat sebelum menjadi Abah adalah seorang kepala desa di Sirnaresmi.
Layaknya seorang kepala desa yang berinteraksi langsung dengan pusat
kekuasaan baik lokal maupun nasional, baik berupa program-program pertanian,
maupun secara politik.
Kasepuhan di bawah kepemimpinan Abah UT norma-norma Kasepuhan
semakin mengendur yang disebabkan oleh :
1. Pemerintah berhasil memasuki sistem pertanian Kasepuhan untuk
mengintroduksi inovasi-inovasi pembangunan melalui program
“BIMAS” guna mengganti penanaman varietas padi lokal dengan bibit
unggul IR 63 dan 64, yang dipanen dua kali dalam satu tahun, serta
menggunakan pupuk kimia.
2. Kasepuhan membolehkan pemerintahan desa untuk membuat kartu
tanda penduduk (KTP) di wilayah Kasepuhan.
Serta adanya pelanggaran norma-norma Kasepuhan yang dilakukan oleh
Abah UT sendiri. Hasil kutipan wawancara dengan Uwa Ugis sebagai penasehat
Abah dari ketiga Kasepuhan yaitu: Kasepuhan SRI, Kasepuhan CGR dan
Kasepuhan CMA, serta di kuatkan dengan hasil wawancara dengan Bapak Martu
sebagai Kokolot Lembur Sinaresmi sebagai berikut:
“ bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Abah UT adalah:
1. Menikahkan anak keduanya (perempuan bernama irna) dengan
orang cina (waktu itu belum beragama Islam dari pihak laki-
lakinya)
2. Dapat hadiah anjing pekking dari menantu (chinanya) kemudian
di pelihara di dalam Imah Gede.
3. Kawin lagi tanpa persetujuan dari istri pertama.”
61
Abah UT mendapatkan sakit (struk) dan ketika sakit tersebut di rawat oleh
kakak pertamanya yang bernama Bapak Uum Sukmawidjaya, hingga akhir
usianya. Para incu-putu percaya bahwa Abah UT mendapatkan kabendon dari
leluhur Kasepuhan. Berikut peristiwa-peristiwa nasional dan lokal ketika
kepemimpinan Abah UT tersaji pada Matriks 5.4.
Matriks 5.4. Peristiwa-peristiwa Nasional dan Lokal Kepemimpinan Abah UT
No Situasi/Kondisi Ruang/waktu Dampak pada Kasepuhan
01. Terjadi perpecahan
kasepuhan
Antara Abah Encup
dan Abah UT pada
Tahun 1985
Incu-putu terbelah dan harus
memilih secara hati nurani
pada keyakinan dan
kepatuhan pada Abah
02. Intervensi Pemerintah
dalam bidang pertanian
Program BIMAS di
perbolehkan oleh
Abah UT tahun 1986
Penanaman padi selain padi
huma juga padi IR 63 dan 64
ditanam oleh incu-putu
Kasepuhan
03. Adanya peran ganda
antara kepala desa
dengan Kasepuhan
Abah UT memiliki
dua peran
kepemimpinan yaitu
kepala desa dan
Abah di kasepuhan
Sirnaresmi.
Kepemimpinan
berperan ganda
tersebut pada tahun
1985
Incu-putu menilai Abah UT
telah melanggar tatali paranti
karuhun karena memiliki
dua peran dalam
kepemimpinan dan
akibatnya Abah UT harus
melepaskan jabatan kepala
desanya oleh incu-putu
04. Dampak dari penerapan
Undang-undang desa
Tahun 1986 Abah
UT memperbolehkan
pihak desa untuk
membuat KTP pada
incu-putu kasepuhan
Incu-putu merasa dibatasi
akan wilayah oleh
pemerintah dengan
dilegalkannya KTP
05. Menikah lagi tanpa
persetujuan Ambu
pertama
Ambu kemudian
meminta cerai
Menyalahgunakan Imah
gede sebagai pusat sosial
Kasepuhan untuk
menikahkan anak perempuan
dari istri pertamanya dengan
orang Cina yang menurut
incu-putu tidak boleh karena
beda keyakinan
Sumber: data primer (diolah) 2012
62
5.1.5. Kepemimpinan Abah ASN
Perpecahan Kasepuhan Sirnaresmi
Abah UT pada Tahun 2000 meninggal dunia, karena anak pertama bapak
Asep Nugraha Bapak Asep Nugraha masih ada di Jakarta terikat kontrak
pekerjaan dan Usia masih muda, maka untuk sementara pimpinan Kasepuhan
Sirnaresmi di pegang oleh mamang (Paman) Bapak Asep Nugraha yaitu Bapak
Uum diangkat menjadi Abah-warnen di Kasepuhan Sirnaresmi. Abah-warnen ini
apabila Anak Pertama yang pada saat sepeninggalnya Abah UT adalah Bapak
Asep Nugraha telah memenuhi kesanggupannya (memenuhi syarat) sebagai Abah
di Kasepuhan maka kepemimpinan harus diserahkan kepada yang berhak yaitu
Bapak Asep Nugraha. Sebagaimana hasil kutipan wawancara dengan Aki Ompi
penasehat Abah ASNKasepuhan SRI sebagai berikut:
“Pas Usia Bapak Asep tos cekap sareng tos dianggap siap jadi abah
di Kasepuhan Sirnaresmi, harita eta taun 2002, abah uum alim
ngalepasken kapamimpinan abah-wamena ka bapak asep, tapi
saterasna kaluar ti Kasepuhan Sirnaresmi sareng ngabawa
paralatan pusaka Kasepuhan teras ngadambel Kasepuhan anyar
nudi pasihan ngaran Kasepuhan CMA. Dina tanggal 20 Februari
2002 Bapak Asep Nugraha dijadiken Abah Kasepuhan Sirnaresmi,
ayapun Abah Uum Sukmawijaya ngadambel Kasepuhan CMA sareng
ngabawa pusaka Kasepuhan Abah ASNngaikhlaskeun . Menurut
Abah ASNbilih aya perselisihan sareng aya goyahna Kasepuhan,
teras Abah Uum Sukmawijaya diperbolehkan nyien pusat
pemerintahan Kasepuhan anyar nu dipasihan namina Kasepuhan
CMA. Artinya : pada Tahun 2002 ketika Usia Bapak Asep telah
mencukupi dan dianggap siap menjadi Abah di Kasepuhan
Sirnaresmi. Abah Uum tidak melepaskan kepemimpinan Abah-
warnennya untuk diserahkan kepada Bapak Asep, tapi justru keluar
dari Kasepuhan Sirnaresmi dan membawa peralatan pusaka
Kasepuhan serta membuat Kasepuhan baru yang diberi nama
Kasepuhan CMA. Pada tanggal 02 Februari 2002 Bapak Asep
Nugraha di nobatkan sebagai Abah di Kasepuhan Sirnaresmi dan
adapun Abah Uum Sukmawijaya telah membuat Kasepuhan CMA
serta membawa segala benda pusaka Kasepuhan Abah
ASNmengikhlaskan saja, karena menurut Abah ASNdi takutkan
adanya perselisihan dan mengakibatkan goyahnya Kasepuhan, dan
Abah Uum Sukmawijaya di perbolehkan membuat pusat
pemerintahan Kasepuhan baru yang diberi nama Kasepuhan Cipya
Mulya.”
63
BAB VI
KASEPUHAN SRI DI BAWAH KEPEMIMPINAN
ABAH ASN
6.1. Kasepuhan SRI
Setelah di nobatkan sebagai Abah pada Tahun 2002, di Kasepuhan
Sirnaresmi. Menurut Abah ASNsesuai dengan tradisi leluhur apabila
kepemimpinannya Kasepuhan berganti maka kasepuhan harus berpindah tempat
atau ganti nama. Kasepuhan Sirnaresmi tersebut di ganti menjadi KASEPUHAN
SRI. Pergantian nama Kasepuhan menjadi Sinar Resmi bukan tanpa alasan Sinar
berarti bercahaya dan Resmi selalu bersemi. Jadi arti secara luas adalah
Kasepuhan SRI akan terus bercahaya dan harum bersemi sepanjang masa. Lokasi
pemerintahan Kasepuhan berpusat di desa Sirnaresmi, dengan jumlah pengikut
sebanyak 8.320 Jiwa. Kepemimpinan Abah ASNkehidupan berpindah-pindah
kemudian berhenti digantikan dengan hidup menetap
Menurut Amil Buhari Perkataan atau petuah Abah ASN setelah mengganti
nama Kasepuhan dari Sirnaresmi menjadi Kasepuhan SRI, dan tertanam hingga
sekarang di incu-putu (masyarakat) Kasepuhan adalah:
“Mangga bae arek make teknologi dan ikut modernisasi, asalkan teu
ngaganggu jeung ngarusak kana tatanen/pertanian (ngahuma) anu
puguh disakralkeun baheula sampe ayeuna, para karuhun nu heula
mah Ninggalnya heunteu ninggalkeun raga” artinya silahkan saja
menggunakan teknologi dan mengikuti modernisasi, yang penting
tidak mengganggu dan merusak pada pertanian yang sudah
disakralkan dari dulu sampai sekarang, karena para pendahulu
meninggalnya bukan meninggalkan raga tapi wangsiat”
Masa kepemimpinan Abah ASN sekarang ini selalu mengajak incu-putunya
menjaga akan keutuhan segala aturan Kasepuhan yang berlaku, serta bila ada
permasalahan di selesaikan dengan jalan musyawarah untuk mufakat, dan pada
awal kepemimpinannya selalu menerima masukan dari incu-putu serta lembaga
Kasepuhan SRI.
64
Namun apabila menyangkut dengan aturan tentang pertanian Abah
ASNtidak kenal kompromi sesuai dengan aturan yang berlaku sejak zaman
leluhur/nenek moyang. Menurut Bapak Martu sebagai Kokolot Lembur Sinaresmi
dan Bapak Punta sebagai Dukun Kasepuhan SRI mengatakan bahwa:
“Abah ASNhanya tegas dalam urusan pertanian (huma) saja,
akan tetapi kurang transfaran apabila bersentuhan dengan
finansial seperti hasil kegiatan Mipit atau seren taun yang
biasanya dapat kucuran dana dari Pemerintah Kabupaten
Sukabumi dan sponsor. Serta dalam menegakan aturan adat
Kasepuhan di kalangan keluarga Abah justru yang sering
melanggar aturan yang ada, akan tetapi Abah ASNbelum
pernah menengurnya. Hal inilah yang membuat incu-putu
selalu bertanya pada Dukun atau Kokolot Lembur.”
Kemahiran berdiplomasi adalah salah satu bakat yang dimiliki oleh Abah
Asep, sehingga sangat berbeda dengan kepemimpinan yang dilakukan oleh para
Abah terdahulu. Kepemimpinan sebelum Abah ASNyang umumnya selalu
berbenturan dengan pemerintah, tapi pada kepemimpinan Abah ASNini justru
pemerintah dijadikannya sebagai mitra dalam bekerja (lihat Gambar 6.1.) Asep
dinilai oleh banyak kalangan termasuk incu-putunya sangat baik melakukan pola
hubungan dengan masyarakat luar kasepuhan di bandingkan dengan Kasepuhan
yang lain.
65
Keterangan :
: Koordinasi
: Konflik Internal
: Hasil
: Turunan
: Mempengaruhi `
: Komunikasi
Gambar 6.1. Perubahan Kepemimpinan Abah ASN
Dalam Gambar 6.1. menjelaskan bahwa awal kepemimpinan Abah JSN
sampai Abah AJ Kasepuhan selalu berbenturan dan diintervensi oleh pemerintah.
Tapi pada periode Abah ASN ini justru pemerintah dijadikan mitra dalam
menjalankan sistem pemerintahan Kasepuhan SRI, seperti berhubungan dengan
Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang mempunyai tujuan ekonomi untuk
pembuatan girik (sertifikat tanah) buat incu-putu Kasepuhan, meningkatkan
hubungan politik dengan para pemimpin nasional maupun lokal, guna
meningkatkan pengakuan kekuasaan serta motif ekonomi seperti pada tahun 2009
kedatangan Sutioso untuk meminta restu menjadi calon Presiden Republik
Pemerintah
ElitPolitik Nasional/lokal
Swasta
LSM
Akademisi
Kasepuhan
Abah
Penasehat Abah
Incu Putu
ImahGede
Pembangkangan
Matrealisme
Gaya Hidup
Pendidikan
66
Indonesia, dan moment tersebut juga sutioso dinobatkan sebagai kokolot lembur
di wilayah Jakarta. Serta bagaimana pemanfaatan pihak swasta untuk kegiatan
upacara mipit, dan Seren-taun sebagai pihak sponsor, serta dirangkulnya pihak
LSM dan Akademisi untuk meminta pendapat tentang segala yang berkaitan
dengan politik kebudayaan.
Pada periode kepemimpinan Abah JSN sampai dengan Abah AJ dikenal
dengan pola hidup yang berpindah-pindah (nomaden) sesuai dengan wangsit yang
didapat dari leluhurnya mereka (Abah). Hidup berpindah bukan hanya
diamanatkan oleh wangsit leluhur tapi lebih jauh dari itu adalah agar menambah
pengaruh dimana wilayah baru yang ditempati serta memang adanya tekanan
politik dari pihak luar Kasepuhan atau konflik.
Pada periode kepemimpinan Abah UT dan Abah ASNyang sudah menetap
di satu wilayah yaitu kampung Sirnaresmi sehingga nama Kasepuhan disesuaikan
dengan nama lokasi yang ditempati. Wilayah Sirnaresmi tersebut dahulunya
pernah dipakai pada kepemiminan Abah AJ, kalau melihat aturan leluhur pada
tatali paranti karuhun menurut Uwa Ugis hal tersebut tidak di bolehkan, berikut
dihasil kutipan wawancara dengan Uwa Ugis :
Kalau mengacu pada seluruh aturan para buyut tentang bagaimana
etika pemimpin dalam melaksanakan segala kepemimpinannya
harus sesuai dengan tatali paranti karuhun, karena didalamnya
mengatur bagaimana wangsit itu datang dan yang mengetahui
hanya Abah serta Dukun secara supranatural. Amanat Abah JSN
yang tentang jangan berebut dalam kekuasaan yang tertuang dalam
“Ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang tapiana”
(jangan bertinggi-tinggi berdiri, dan jangan saling
mendahului/berebut dalam kekuasaan) hal itulah yang muali
terkikis mulai kepemimpinan Abah UT bagaimana beliau menjadi
Abahnya, serta Abah ASNyang mulai memudarkan segala aturan-
aturan yang ada kalau Abah ASNmengamalkan Amanat Abah JSN
“Kudu hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur
tinggal ngangsurn” (harus memelihara persaudaraan dengan baik,
bersikap baik kepada teman, berbicara dengan merendah), mungkin
tidak mementingkan individu. Adapun tentang Kasepuhan
seharusnya tiap kepemimpinan ganti harusnya tempatpun harus
pindah beberapa tahun kemudian kembali lagi itu dibolehkan atau
mengganti nama Kasepuhan.
67
Pada periode kepemimpinan Abah UT dan Abah ASNyang sudah menetap
di satu wilayah yaitu kampung Sirnaresmi sehingga nama kasepuhan disesuaikan
dengan nama lokasi yang ditempati. Wilayah Sirnaresmi tersebut dahulunya
pernah dipakai pada kepemimpinan Abah AJ, kalau melihat aturan leluhur pada
tatali paranti karuhun hal tersebut tidak diperbolehkan.
Pada saat sekarang ini yang perubahan begitu cepatnya dari berbagai hal
mulai dari teknologi, ilmu pengetahuan serta arus transportasi yang sudah
memandai, dan pegunungan halimun yang kini menjadi Taman Nasional Gunung
Halimun, semakain sempit gerak Kasepuhan.
6.2. Struktur Kepemimpinan di Kesepuhan Sinar Resmi
Pemimpin tertinggi dalam Kasepuhan SRI adalah Abah kemudian peranan
(tugas) Abah tersebut dibantu oleh beberapa lembaga Kasepuhan yang telah ada
sejak lama hingga saat ini masih ada. (lihat Gambar 6.2.), tentang struktur
kepemimpinan di Kasepuhan SRI serta peranannya:
Gambar 6.2. Struktur Kepemimpinan Kasepuhan SRI dan Peranan
Sumber : Data Sekunder Amil Kasepuhan SRI 2012
PARAJI
PAMAKAYAAN
PAMORO
DUKUN
PENGHULU
BENGKOK
EMA PANGBERANG
KEBERSIHAN DUKUN HEWAN
KEMIT TUKANG
BANGUNAN NGURUS
LEUIT
TUKANG DAPUR
PANDAY KOKOLOT LEMBUR
CANOLI TUKANG
PARA
KESENIAN
TUTUNGGUL(ABAH)ABAH
GANDEK
KOKOLOT LEMBUR
KOKOLOT LEMBUR
KOKOLOT LEMBUR
KOKOLOT LEMBUR
KOKOLOT LEMBUR
KOKOLOT LEMBUR
KOKOLOT LEMBUR
KOKOLOT LEMBUR
INCU PUTU
68
Penjelasan masing-masing jabatan sebagai berikut :
1. Abah Sebagai pemimpin Kasepuhan SRI sejak dilantik pada tahun 2002
hingga sekarang Kasepuhan dipimpin oleh Abah ASN, dan berperan
menjaga eksistensi Kasepuhan serta menjaga akan keutuhan norma-
norma Kasepuhan dan incu-putunya.
2. Gandek adalah Staf Abah/ajudan dimanapun Abah bebergian Gandek
harus mendampingi kemanapun Abah melangkah. Saat ini Gandek di
pimpin oleh Bapak Omid.
3. Dukun selain Apabila ada warga yang mendapat musibah jika secara
medis tidak menunjukan sakit maka akan di obati secara tradisional oleh
seorang dukun. Dan yang paling penting adalah apabila Abah
berhalangan ada, maka tugas abah di gantikan oleh dukun, dan kini di
pimpin oleh Bapak Unta.
4. Panghulu yang saat ini di pimpin oleh Bapak Ijat berfungsi sebagai
pemimpin do‟a setiap kegiatan kasepuhan baik berupa salametan ataupun
yang ritual Kasepuhan lainnnya.
5. Bengkong bertugas melaksanakan sunatan terhadap anak-anak dari
masyarakat Kasepuhan. Di jabat oleh Aki Anuk
6. Paraji adalah Bidan kasepuhan yang bertugas sebagai bidan apabila
diantara warga ada yang akan melahirkan, saat ini Paraji di pimpin oleh
Mak Ancah.
7. Pamakayaan adalah seseorang yang mendapat tanggung jawab untuk
mengelola huma-serang serta mengatur pelaksanaan berhuma di
Kasepuhan, dan adapun Pamakayaan saat ini di pimpin oleh bapak Olis
Sunarja.
8. Pamaro yang kini di pimpin oleh Bapak saidi, mengatur keperluan padi
huma yang akan di bagi antara incu-putu dengan Abah untuk
kepentingan bersama dan akan disimpan di leuit.
9. Kemit di pimpin oleh bapak Sunarja penanggung jawab dalam keamanan
lingkungan Kasepuhan.
69
10. Tukang Bangunan bertugas membuat bangunan baik rumah atau yang
berkaitan dengan rancang bangun rumah gede di kasepuhan, dan kini di
pimpin oleh bapak Marthu.
11. Tukang leuit bertugas sebagai mengelola keluar dan masuknya padi dari
leuit (lumbung padi) kini di pimpin oleh bapak Suharman.
12. Ema Bangberang bertugas sebagai menjaga terhadap lingkungan secara
fisik Imah Gede (istana kasepuhan), kini di pimpin oleh bapak Martu.
13. Kabersihan bertugas menjaga kebersihan lingkungan Imah Gede,
dibawah pimpinan Bapak Junaedi.
14. Dukun Hewan bertugas sebagai memelihara hewan Kasepuhan atau
warga yang ingin memiliki hewan harus izin dan sepengetahuan dukun
hewan, dan saat ini dipimpin oleh Bapak Jaja.
15. Canoli bertugas sebagai mengatur ketersediaan beras yang ada di Imah
Gede di bawah pimpinan Ibu Rumsih.
16. Tukang Para bertugas sebagai mengatur segala makanan buat upacara
yang ada di Kasepuhan, dipimpin oleh Bapak Urna.
17. Tukang Dapur di pimpin oleh Mak Omah bertugas sebagai yang
mengatur dapur di Imah Gede mulai membuat makanan dan
menghidangkannya baik buat Abah dan keluarganya maupun buat tamu
dan atau masyarakat bila ada yang kekurangan.
18. Panday bertugas sebagai yang mengatur semua peralatan baik
pakarangan maupun peralatan pertanian di buat oleh panday (panday
besi) saat ini dipimpin oleh Bapak Asta.
19. Kokolot Lembur dipimpin oleh Bapak Martu bertugas apabila adanya
tamu maka diwajibkan melalui kokolot lembur, serta bertanggung jawab
terhadap incu-putu yang ada di tiap lembur Kasepuhan.
6.3. Perubahan Kepemimpinan di Kasepuhan SRI
Dalam pandangan kepemimpinan Kasepuhan bahwa leuit sangat berperan
dalam penjamin keberlangsungan pangan yang ada di Kasepuhan SRI. Maka dari
itu pada kepemimpinan terdahulu sistim huma yang diterapkan di Kasepuhan
masih begitu kuat dengan segala aturan-aturan leluhur, seperti penanaman padi
70
hanya sekali dalam setahun, serta tidak memakai pupuk kimia. Akan tetapi pada
saat sekarang ini telah terjadi pergeseran seperti setelah menanampadi huma
kemudian incu-putu dapat diperbolehkan menanam padi IR 63-64 padi
pemerintah dan dengan sistem penanamannya di sawah serta mulai mengenal
pupuk kimia.
Pergeseran tersebut dapat di mengerti mengingat Abah sudah begitu kuat
menjalin hubungan dengan pihak pemerintah (dinas Pertanian) yang sangat
bertanggung jawab terhadap pembangunan pertanian pada saat sekarang ini.
Pemerintah (Dinas Pertanian) selalu membantu dalam menyediaan benih padi
serta pupuk hal inilah yang menjadi magnet bagi kepemimpinan Kasepuhan,
sehingga menggeser dominasi padi lokal (huma) yang ada di Kasepuhan. Maka
fungsi leuit yang biasa menampung padi lokal sangat besar terutama leuit Si-Jimat
mulai berkurang karena lahan huma (ladang) sudah dijadikan sawah untuk
penanaman padi IR 63-63 yang pada gilirannya nanti akan mengalami perubahan.
6.4. Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Kepemimpinan di Kasepuhan
SRI
6.4.1 Pendidikan Formal
Masuknya pendidikan sebagai salah satu sumber kekuasaan justru
membawa perubahan kepemimpinan yang berimplikasi pada peningkatan
wawasan, pengetahuan, kemampuan dan jaringan sosial-ekonomi-politik.
Peningkatan jenjang pendidikan, khususnya yang mampu ditempuh oleh elit dan
pimpinan Kasepuhan SRI telah membawa semangat perubahan dan pemikiran
baru dalam pengembangan dan kemajuan masyarakat. Abah ASNketika
mengikuti pendidikan Perguruan tinggi (di Bogor) menurut Bapak Dede selaku
penasehat Abah menyatakan bahwa :
“Ketika melanjutkan pendidikan di Bogor (perguruan tinggi)
Bapak Asep (belum menjadi Abah) kemudian tidak sampai lulus
di perguruan tinggi tersebut, tetapi pemikiran bapak Asep sangat
baik (cerdas) dalam tingkat Kasepuhan dan desa Sirnaresmi.
Sehingga beliau banyak menjalin hubungan dengan para politisi
Kabupaten Sukabumi (lokal) dan hubungan dalam urusan
ekonomi.”
71
Kemudian pendidikan formal di Kasepuhan SRI ini, memberi ruang
terhadap masyarakat lebih berinteraksi dengan non-Kasepuhan mulai dari
pengalaman ilmu dan pengetahuanya masing-masing dan membawa pada pola
pemikiran masyarakat Kasepuhan SRI lebih kritis dan membawa perubahan akan
pandangannya terhadap Abah sebagai pemimpin.
Sekarang ini masyarakat Kasepuhan SRI menilai bahwa menjalankan
Pendidikan formal itu boleh dilakukan sebagaimana Abah dan keluarganya dan
saat ini masyarakat Kasepuhan yang sedang menjalankan pendidikan dari usia
dini hingga Perguruan Tinggi berjumlah 2445 orang dan jumlah yang sampai
lulus pendidikannya 1763 data ini di peroleh dari desa Sinaresmi sebagai pusat
pemerintahan Kasepuhan SRI seperti tersaji dalam Matriks 6.1.
Matriks 6.1. Data pendidikan Masyarakat Kasepuhan SRI
No. Tingkat Pendidikan Sedang Studi Jumlah lulusan
01. TK 350 199
02. SD 1.876 1.300
03. SMP 177 186
04. SMA 38 69
05. S1 4 9
Jumlah Total 2445 1763
Sumber: Data Skunder diolah, 2012
6.4.2. Interaksi Dengan Masyarakat Luar Kasepuhan
Hubungan sosial antara incu-putu (masyarakat) masyarakat luar Kasepuhan
sebagai bentuk dari sikap keterbukaan incu-putu Kasepuhan (positive-thanking)
terhadap masyarakat luar Kasepuhan yang didasari oleh aturan-aturan yang ada
leluhur yang tertuang dalam Tatali Paranti Karuhun dan tidak bisa dijabarkan
karena bersifatnya supranatural, atau amanat Abah JSN sebagai landasanya “Kudu
hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal ngangsurn”
(harus memelihara persaudaraan dengan baik, bersikap baik kepada teman,
berbicara dengan merendah) sehingga masyarakat luar Kasepuhan apabila
berkunjung (tamu) seperti bagian dari incu-putu Kasepuhan.
Setiap masyarakat luar Kasepuhan yang akan berkunjung ke Kasepuhan ini
harus bertemu secara resmi dengan Abah sebagai pemimpin Kasepuhan untuk
meminta izin maksud dan tujuannya berkunjung ke Kasepuhan. Pola interaksi
antara pemimpin (abah) dengan masyarakat luar Kasepuhan ternyata membawa
72
perubahan bagi individu Abah (pemimpin) maupun keluarga Abah. Perubahan-
perubahan tersebut seperti ketika kepemimpinan Abah RSD telah menjalin
interaksi dengan Gubernur Jawa Barat (Solihin Gautama Prawira) pada tahun
1972 yang membawa perubahan terhadap Kasepuhan-Kasepuhan yang ada di
Banten (masih bagian Jawa Barat) dan yang ada di Sukabumi untuk dipersatukan
menjadi KESATUAN ADAT BANTEN KIDUL. Perubahan hal tersebut
membawa interaksi-interaksi yang mengikat antara incu-putu dengan masyarakat
luar Kasepuhan.
Hubungan antara masyarkat luar Kasepuhan dengan incu-putu Kasepuhan
adalah diakibatkan semakin tingginya pendidikan di Kasepuhan seperti yang
dialami oleh Abah ASNsendiri serta anak-anaknya. Pendidikan formal dapat
meningkatkan pola fikir tiap individu manusia dan membawa pada hubungan
interaksi dengan masyarakat luar Kasepuhan. Anak-anak laki-laki Abah ASNyaitu
Saragoza Gia, dan Pilka setelah menamatkan pendidikan dari SMA justru bekerja
di sebuah perusahaan di Korea Selatan akibat dari hubungan baik antara Abah
ASNdengan Mahasiswa Korea yang melaksanakan penelitian di Kasepuhan SRI.
73
BAB VII
KELEMBAGAAN ADAT DI KASEPUHAN SRI
7.1. Norma Adat
7.1.1. Tatali Paranti Karuhun Sebagai Sumber Norma
Keyakinan incu-putu (masyarakat) terhadap kebendon (sanksi) dalam
norma-norma yang telah mengikat disetiap sendi-sendi kehidupan Kasepuhan SRI
begitu dijunjung tinggi secara turun temurun yang telah diwariskan oleh para
leluhur. Norma (aturan) kasepuhan tersebut tertuang dalam tatali paranti karuhun.
Menurut Asep (2000), secara harfiah makna dari Tatali Paranti Karuhun
adalah mengikut, mentaati, mematuhi tuntutan rahasia hidup seperti yang telah
dilakukan oleh leluhur (karuhun). Adapun kata Tatali Paranti berasal dari tali
yang dalam pemahaman masyarakat Sunda, seutas tali yang dapat dipergunakan
untuk mengikat dan untuk mengukur serta bimbingan dalam hidup. Rikin dalam
Asep (2000), makna mendalam dari tatali paranti merupakan berkaitan erat
dengan falsafah kehidupan orang Sunda, yang memaknai kehidupan sebagai
suatu lingkaran; akhir jalan kehidupan manusia itu adalah pulang ka asal. Tali
Paranti dalam hal ini adalah suatu bentuk lingkaran yang kedua ujungnya
bertemu kembali; dalam lingkaran tersebut penuh dengan simpul-simpul yang
merupakan upacara tuntutan hidup yang harus dilakukan tiap orang dari
permulaan sampai kembali keasal. Namun menurut Bapak Punta selaku Dukun
Kasepuhan SRI seperti dikutip dibawah ini :
“Tatali Paranti itu aturan adat nu aya di kasepuhan yang
harus ditaati oleh incu-putu yang telah digariskan oleh leluhur
serta incu-putu wajib mengetahui, tatali paranti itu
menyangkut beberapa aspek seperti tata-cara huma (pertanian
ladang kering), kehidupan beragama, serta bermasyarakat
semuanya telah tertuang dalam Tatali Paranti. Tatali Paranti
dapat dimaknai seperti tetali atau ikat yang selalu dipakai
pada kepala incu-putu Kasepuhan dan apabila telah dipakai di
kepala antara ujung ikat tersebut bertemu dan diikit kembali
melingkar di kepala dan tidak akan ketemu ujungnya lagi. Jadi
artinya segala aturan adat Kasepuhan itu harus dijunjung
tinggi seperti ikat yang ada di kepala, karena itu adalah
aturan yang telah ditetapkan oleh leluhur.”
74
Dengan demikian barang siapa yang tidak menjalankan dan mentaati
Tatali Paranti Karuhun akan dianggap oleh incu-putu sebagai perbuatan yang
tercela dan akan mendapatkan Kebendon. Kebendon merupakan sebuah sanksi
atau hukuman yang datang dari leluhur (dapat malapetaka) seperti sakit atau gagal
panen serta keluarganya kuarng baik (tidak harmonis) dan lain sebagainya.
Kabendon ini sifatnya magis atau supranatural, oleh karena itu incu-putu
yang mendapatkan kabendon (hukuman) ini biasanya dapat dilihat dari ciri-ciri
yang tidak pernah keluar rumah atau mendadak aneh dalam perilaku keseharian.
Dalam kehidupan kasepuhan kabendon yang sifatnya supranatural itu sebagai
hukuman, dan hukuman secara nyatanya itu berupa teguran saja, tidak adanya
hukuman secara nyata. Menurut Merina et al. (2008), seluruh masyarakat
kesatuan Adat Banten Kidul yang di dalamnya bernaung seluruh Kasepuhan-
Kasepuhan dalam penegakan hukumannya hanya berupa kabendon yang bersifat
magis, serta tidak adanya ketegasan secara nyata.
Aturan-aturan Kasepuhan SRI pada prinsipnya bersifat tidak tertulis akan
tetapi telah mengikat pada setiap individu-individu incu-putu (masyarakat)
Kasepuhan SRI di dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, yang tertuang dalam
Tatali paranti karuhun. Tatali paranti karuhun ini akan dijabarkan sesuai dengan
fungsinya masing-masing.
7.1.2. Ibu Bumi, Babak Langit, Tanah Ratu
IBU BUMI, BABAK LANGIT, TANAH RATU, artinya adalah IBU
BUMI: Bumi itu diibaratkan seperti seorang ibu, BAPAK LANGIT: langit dan
menurut tafsiran masyarakat Kasepuhan seperti Laki-laki yang memberikan
kesuburan terhadap Ibu, dan TANAH RATU: Tanah (Bumi) tersebut harus di
berlakukan seperti seorang Ratu.
Maksudnya adalah manusia harus tunduk terhadap alam semesta, karena
manusia sangat tergantung terhadap alam seperti anak yang tergantung pada
ibunya, dari alam manusia biasa hidup, membangun rumah, mencari makan dan
lain sebagainya. Aturan Ibu Bumi, Bapak Langit Tanah Ratu, dipakai dalam
pengelolahan sumber daya alam khususnya bidang pertanian (huma). Pertanian
sebagai urat nadi di dalam kehidupan Kasepuhan, sehingga incu-putu Kasepuhan
75
mengenal penanaman padi (huma) hanya melakukannya sekali dalam setahun
mengacu pada Ibu Bumi. Menurut kepercayaannya incu-putu Kasepuhan bahwa
seorang ibu hanya melahirkan satu kali dalam setahun, tidak akan melahirkan dua
kali atau lebih, karena apabila melahirkan lebih dari satu dalam setahun akan
merusak rahim dari Ibu tersebut, begitupun juga dalam penanaman padi huma.
Maka perlakukan alam (Ibu) tersebut seperti seorang ratu yang harus dijaga oleh
incu-putu Kasepuhan.
7.1.3. Tilu Sapamilu, Dua Sakarupa, Nu Hiji Eta-Eta Keneh
Gambar 7.1. landasan filosofis kehidupan kasepuhan dalam tatali
Paranti karuhun
Tilu-sapanulu
Tekad Ucap lampah (niat, ucapan, tindakan/perilaku).
Tilu Sapamilu
Dua Sakarupa
Nu Hiji eta-eta Keneh
Ruh Raga Pakean
Raga Pakean Ruh
Ruh Pakean Raga
Ruh Raga Pakean
Tekad Ucap Lampah
Syara Nagara Buhun
Pakean Raga Ruh
76
Buhun Nagara Syara (aturan adat, Pamarentahan, Agama)
Ruh Raga Papakean (nyawa, raga, pakean)
Dua Saka Rupa;
Buhun/mukaha, Nagara, Syara (aturan adat, pemerintah dan agama).
Nu Hiji Eta Keneh;
Nyawa/ruh, Raga, Pakean. Manusia harus memiliki ketiga-tiganya
sehingga memiliki kamanusiaan. Jika tidak akan disebut manusiawi
karena manusia tanpa nyawa berarti mayat, manusia tanpa raga
berarti makluk gaib (tidak terlihat) dan manusia tanpa pakaian
diibaratkan makluk hidup yang telanjang (hewan).
Tilu sapamulu, (tiga dalam satu artian yang sama atau satu wajah), dua
sakarupa (dua yang satu rupa), nu- hiji eta-eta keneh (dan satu akan kmbali ke
satunya juga/ pada tilu-sapamilu). Tata nilai ini mengandung pengertian bahwa
hidup hanya dapat berlangsung dengan baik dan tenteram bila dipenuhi tiga
syarat, yaitu :
1. Tekad, ucap dan lampah, (niat atau pemikiran, ucapan dan
tindakan) harus selaras dan dapat dipertanggung jawabkan
kepada incu-putu (keturunan warga Kasepuhan) dan sesepuh
(para orang tua dan nenek moyang)
2. Jiwa, raga dan perilaku, harus selaras dan berakhlak
3. Kepercayaan adat sara, nagara, dan mokaha harus selaras,
harmonis dan tidak bertentangan satu dengan lainnya.
Manusia yang mempunyai segala maksud dan tujuan di dalam
menjalankan hidup, maka harus mempunyai pedoman didalam hidupnya (hukum)
sebagai pedoman agar tidak salah langkah atau dalam bahasa incu-putu
(masyarakat) Kasepuhan “Patokan Nyangkulu ka hukum” yang lebih tinggi dari
kepala adalah hukum; hukum kedudukannya diatas segala-galanya sehingga
hukum harus asli baik hukum Agama maupun hukum Adat, dan ditaati oleh
masyarakat. Manusia jika ingin teratur maka harus mengikuti aturan yang dibuat
77
oleh pencipta manusia. Serta “Nunjang ka Nagara” norma yang harus dipatuhi
oleh anggota komunitas adalah ketundukan pada peraturan negara (Hukum
Indonesia), dan didalam masyarakat Kasepuhan dikenal dengan “Mupakat jeng
balarea” apabila didalam melaksanakan segala sesuatu di awali dengan
musyawarah untuk mufakat, termasuk terdapat masalah apabila terjadi di
kalangan masyarakat adat (incu-putu) diselesaikan dengan musyawarah.
Kandungan dalam tatali paranti karuhun ini selalu di laksanakan dengan
baik oleh incu-putu Kasepuhan SRI dalam berbagai bidang kehidupan keseharian
seperti ketika mencari nafkah (bertani-huma) sebagai urat nadi Kasepuhan,
pembuatan rumah sampai dengan hubungan dengan masyarakat luar Kasepuhan.
Karena pengertian yang menurut incu-putu Kasepuhan bahwa tatali paranti
karuhun sangat luas cakupannya, keyakinan tersebut seperti di ucapkan oleh Abah
ASN:
”Setiap incu-putu wajib mentaati segala aturan yang ada di
tatali paranti karuhun, karena merupakan aturan yang dibuat
oleh para leluhur (adat-syara-nagara serta mukoha). Patokan
hukum yang ada di tatali paranti karuhun tersebut agar selaras
dengan hukum Agama (syara) dan menghargai pada hukum
Negara (nagara) sehingga terjadi keselarasan dalam penegakan
hukum (tidak terjadi tumpang tindih). Serta jangan sampai
melanggarnya karena pasti akan mendapatkan kabendon.”
Kabendon inilah yang menjadi pagar bagi incu-putu agar jangan sampai
keluar jalur hukum seperti yang telah di gariskan oleh tatali paranti karuhun yang
telah di wariskan oleh para leluhur Kasepuhan SRI sampai dengan saat ini.
Kabendon merupakan sanksi yang tidak tertulis, namun incu-putu meyakini
bahwa kabendon tersebut ada dan datang secara tiba-tiba bagi mereka (incu-putu)
yang melanggar norma-norma Kasepuhan.
78
7.2. Kelembagaan Adat
7.2.1. Leuit ; Sebagai Ketahanan Pangan
Pada umumnya setiap incu-putu Kasepuhan memiliki leuit (lumbung)
sebagai tempat penyimpanan padi huma, juga sebagai penyediaan pangan
keluarga untuk persediaan pangan di masa yang akan datang. Selain leuit individu
juga terdapat lumbung umum milik semua warga Kasepuhan. Lumbung umum itu
biasa pula disebut leuit kasatuan atau leuit paceklik. Lumbung umum itu
merupakan cadangan pangan dikalangan warga Kasepuhan pada saat paceklik
(Adimihardja, 1992). Kasepuhan SRI mempunyai leuit (lumbung) komunal yang
berada di Kampung Gede (pusat kegiatan sosial dan keagamaan semua anggota
Kasepuhan). Menurut Abah ASNLeuit Si-Jimat tersebut bisa menampung gabah
yang telah dipanen sekitar 7.850 pocong/beungkeut (ikat), dan cerita turun
temurun nama Leuit komunal tersebut “leuit-paceklik“ namun ketika musim
paceklik kemudian tiba-tiba pada malam harinya terdapat gabah yang di
beungkeut yang cukup untuk keperluan incu-putu Kasepuhan dan bersifat magis
maka kemudian di ganti nama leuit-Paceklik menjadi Leuit Si Jimat.
Leuit Si-Jimat berfungsi sebagai pusat pangan (cadangan pangan)
Kasepuhan SRI apabila pada tahun-tahun mendatang adanya musim
paceklik dimana padi (huma) mengalami kegagalan dalam panen. Menurut
Uwa Ugis Leuit Si-Jimat tersebut selain menyedia pangan, juga dapat
dipergunakan sebagai peminjaman incu-putu Kasepuhan SRI apabila
dalam rumah tangganya kekurangan padi untuk keperluan makan, dan
harus dibayar berupa padu lagi setelah panen tiba.
Setiap peminjam dari Leuit Si-Jimat dicatat oleh Juru Amil
(sekretaris) Kasepuhan SRI, sebagai bahan laporan pada saat upacara
serah tarima ponggokan (upacara pengakuan kesalahan tiap incu-putu,
dan memohon tobat pada sang pencipta; pada acara tersebut di saksikan
oleh Abah, Dukun dan dilaksanakan di Imah Gede sebelum pelaksanaan
Seren-taun). Peminjaman padi itu tidak hanya terbuka bagi warga
Kasepuhan, tetapi juga terbuka bagi warga masyarakat desa Sirnaresmi
yang tinggal di sekitar Kampung Gede Kasepuhan SRI.
79
7.2.2. Imah Gede: Pusat Politik Kepemimpinan Kasepuhan SRI
Imah Gede sebagai pusat interaksi antara incu-putu dengan Abah serta
tamu yang datang dari luar Kasepuhan. Imah Gede ini adalah sebagai Istana
Kasepuhan yang dibuat berdasarkan gotong royong oleh incu-putu Kasepuhan.
Serta dalam kegiatan gotong-royong tersebut incu-putu memberikan bantuan
sesuai dengan kemampuanya seperti ada yang memberikan kayu, ijuk (untuk atap)
dan lain sebagainya. Imah Gede ini adalah milik Kasepuhan atau incu-putu untuk
kepentingan incu-putu.
Sebagai pusat interaksi ini adalah dimaksudkan untuk pusat kegiatan
keagamaan, upacara adat, selametan serta musyawarah Kasepuhan sehingga Imah
Gede ini sebagai pusat komunikasi Kasepuhan, dan boleh di tempati Abah dan
keluarganya serta mentaati segala aturan yang ada di Imah Gede, sebagaimana
yang tertuang dalam tatali paranti karuhun.
Sebagai pusat komunikasi dan interaksi Kasepuhan, maka keberadaan
Imah Gede juga untuk menerima tamu-tamu penting yang datang dari luar
Kasepuhan. Beberapa tamu tersebut diantaranya: akademisi, lembaga swadaya
masyarakat (LSM) serta tokoh politik yang sengaja datang untuk berbagai
keperluan.
Para tokoh politik (elit nasional maupun lokal) yang datang ke Abah dan
senantiasa ditempatkan di Imah Gede menurut beberapa sumber yang berhasil di
himpun kebanyakan untuk menarik simpati dari incu-putu Kasepuhan serta tidak
jarang dari para elit politik lokal tersebut meminta pada Abah untuk “keberkahan
secara magis” seperti dapat dimudahkan dalam memimpin suatu wilayah dan lain
sebagainya. Maka keberadaan Imah Gede mulai berubah fungsi yang pada
awalnya sebagai pusat segala aktivitas Kasepuhan secara komunal, pada
ssekarang ini berubah menjadi kepentingan individu Abah.
80
7.3. Perubahan Kepemimpinan dalam Menjaga Norma Adat
Dari pemetaan tiap kepemimpinan Abah tersebut maka dapat dilihat
pergeseran nilai kepatuhan terhadap norma-norma Kasepuhan berikut terlihat
dalam Matrik 7.1.
Matriks 7.1. Pergeseran Norma Kasepuhan
Abah Norma kasepuhan
1 2
Arjo Menjaga dan
mempertahankan aturan
yang telah di wariskan dari
leluhur
Mengembalikan memurnikan nilai-
nilai adat
Ujat Menjaga dan
mempertahankan aturan
yang telah di wariskan dari
leluhur
Telah mengaburkan akan niat, ucap
lampah
balas budi dengan pemerintah
1.
Asep Menjaga dan
mempertahankan aturan
yang telah di wariskan dari
leluhur
Telah mengaburkan akan niat, ucap
lampah
- tidak tegas dalam penerapan sanksi
Sumber : data Primer (diolah), 2012
Keterangan :
1. Norma Ibu Bumi bapak langit, tanah ratu
2. Tilu sapamilu dua sakarupa nu hiji eta-eta keneh
Dari analisis Matriks 7.1. tersebut bahwa kepemimpinan Abah AJ
memurnikan kembali norma-norma Kasepuhan yang terdapat di tilu sapamilu
pada masa kepemimpinan sebelumnya yang banyak penekanan dari pihak luar
Kasepuhan (masa kepemimpinan Abah RSD). Dimasa Abah UT, norma-norma
Kasepuhan adat kemudian mulai semakin mengendur. Ini tidaklah mengherankan
karena sebelum memperoleh gelar Abah di Kasepuhan, peran sebagai
perpanjangan tangan pemerintah sebagai kekuatan supra lokal yang ditolak oleh
masyarakat yakni sebagai Kepala Desa pernah Ia duduki selama dua tahun. Abah
UT memagang dua peran penting kepemimpinan, baik sebagai Abah di
Kasepuhan dan Kepala Desa. Akibat tumpang tindih fungsi tugas dan tanggung
jawab, maka banyak pelanggaran norma-norma adat Kasepuhan yang juga
dilanggar oleh Abah, antara lain melakukan poligami tanpa sepengetahuan istri
81
pertama, selain juga mulai memperluas pintu bagi inovasi pertanian yang di
amanatkan oleh pemerintah.
Kepemimpinan Abah ASN norma-norma yang terdapat di tilu-sapamilu
semakin mengendur seperti kehidupan berpindah-pindah kemudian berhenti
digantikan dengan hidup menetap. Kepemimpinan Abah ASNkemurnian nilai-nilai
Kasepuhan kemudian semakin melemah yang berdampak pada kelembagaan
Kasepuhan.
7.3. Pergeseran Kelembagaan di Kasepuhan
Kelembagaan Kasepuhan yang di buat oleh para leluhur untuk ditaati baik
oleh Abah maupun oleh incu-putunya, namun Abah juga dapat mempengaruhi
dan menggeser kelembagaan seiring berkembangnya waktu terutama fungsi dan
nilai dari sebuah lembaga adat yang ada di Kasepuhan. Abah memiliki sumber
kekuasaan dalam memimpin Kasepuhan, sehingga masyarakat (incu-putu) patuh
pada Abah, tetapi apabila salah satu sumber kekuasaan tersebut hilang maka incu-
putu akan meninggalkannya kepatuhan pada Abah, karena Abah dinilai sudah
melanggar tatali paranti karuhun sebagai falsafah kehidupan Kasepuhan, lihat
Gambar 7.2.
Kelembagaan Kasepuhan
Kep
atuhan
Mas
yar
akat
Kep
emim
pin
an
Sumber kekuasaan Keterangan : Mempengaruhi
Situasi
Gambar 7.2. Perubahan Kelembagaan pada tiap Kepemimpinan Kasepuhan
Tatali Paranti Karuhun sebagai falsafah hidup masyarakat Kasepuhan tidak
mempunyai sanksi yang tegas secara langsung apabila ada incu-putu yang
82
melanggar hanya berupa teguran. Menurut Marlina (2007) bahwa dalam
masyarakat Kasepuhan melanggar norma hanya mendapatkan sanksi berupa
teguran oleh pemimpin (abah) hal tersebut berlaku di seluruh Kasepuhan yang
tergabung dalam Kasepuhan Adat Banten Kidul. Kasepuhan SRI adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari Kesatuan adat Banten Kidul sehingga segala norma-
norma yang ada tidaklah berbeda.
83
BAB VIII
KEPATUHAN MASYARAKAT ADAT TERHADAP NORMA ADAT
KASEPUHAN
8.1. Kepatuhan Incu-putu Terhadap Norma Adat Kasepuhan
Menyangkut kesetiaan dapat dilihat dari perilaku dan sikap incu-putu
terhadap norma maupun pada pemimpin, sebagaimana tertuang pada: IBU BUMI,
BABAK LANGIT, TANAH RATU, yang selalu dijalankan pada setiap kehidupan
baik yang menyangkut pertanian maupun dalam kehidupan keseharian, bagaimana
incu-putu kasepuhan menjaga akan segala aturan-aturan tersebut serta tilu-
sapamilu, dua sakarupa, nu hiji eta-eta keneh yang selalu di junjung tinggi.
Begitupun juga sebaliknya seorang Abah untuk mendapat kesetiaan atau
ketaatan dari incu-putu (masyarakat), maka pemimpin harus menjaga segala
norma-norma adat :
1. Ibu Bumi, Bapak Langit, Tanah Ratu
2. Tilu-sapamilu Dua-sakarupa, Nu hiji eta-eta keneh
3. Menjaga Pancar pangawinan
4. Amanat Abah JSN Ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang
tapiana” (jangan bertinggi-tinggi berdiri, dan jangan saling
mendahului/berebut dalam kekuasaan)
5. Menjaga Imah-gede
Nilai kesetiaan incu-putu terhadap pemimpinnya ini dapat digambarkan
bagaimana kesetiaan Abah terhadap tatali paranti karuhun yang selalu diamalkan
oleh setiap Abah; karena menjadi seorang Abah selain dari faktor keturunan, juga
bagaimana mengerti mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam tatali paranti
karuhun. Nilai kesetiaan tentu tidak dipaksakan, tapi berasal dari hati yang paling
dalam (keyakinan) tiap individu incu-putu terhadap pemimpinnya. Untuk
mendapat kesetiaan seperti ini maka orang yang disetiakan harus memiliki sifat-
sifat mulia sebagaimana tertuang dalam Tatali Paranti Karuhun, juga harus bersih
dari perbuatan ternoda, mampu menghilangkan hal-hal yang kotor, mampu
mengayomi incu-putu, berprilaku baik, lemah-lembut dalam perkataannya dan
berwibawa.
84
Bentuk kesetiaan masyarakat terhadap pemimpinnya dapat dilihat dari
ketaatan masyarakat dalam menjalankan aturan-aturan Kasepuhan (Tatali Paranti
Karuhun) dan keputusan-keputusan yang dibuat oleh Abah, dan ada perasaan
malu dari setiap incu-putu apabila melanggar segala aturan adat Kasepuhan yang
menyimpang dan takut terkena kabendon.
Kepatuhan atau kesetiaan incu-putu (masyarakat) terhadap norma-norma
adat Kasepuhan serta pemimpinnya akan terus terjaga selama pemimpin tidak
menyimpang dari Tatali Paranti Karuhun. Hal ini terbukti masih kuatnya dengan
menjalankan keputusan Abah sebagai pemimpin di Kasepuhan. Serta tercermin
dalam membangun rumah, harus meminta izin kepada Abah terlebih dahulu,
serta masih berbentuk rumah panggung. Pembangunan rumah panggung tersebut
dipercaya oleh incu-putu bahwa mereka sudah melaksanakan prinsip tilu
sapanulu, yang mana siku penyangga rumah berbentuk segitiga.
8.2. Dampak Perubahan Kepemimpinan Terhadap Kehidupan Incu-Putu
8.2.1. Berubahnya Gaya Hidup
Dampak dari masuknya pendidikan dalam legitimasi kekuasaan Abah
ASNadalah arus modernisasi telah masuk dalam lingkungan Kasepuhan melalui
teknologi yang mempengaruhi gaya hidup yang dilakukan oleh para elit
Kasepuhan datang dari kalangan keluarga Abah yang sudah tidak memakai
pakaian adat Kasepuhan kecuali ketika upacara adat seren-taun dan lebih memilih
berpakaian modern, anak-anak Abah sangat minim mendapatkan pengetahuan
tentang pertanian urat nadinya masyarakat Kasepuhan, dan sampai sekarang ini
tidak melaksanakan pola hidup bertani (huma) sebagaimana yang telah di
amanatkan oleh para leluhurnya, serta lebih memilih keluar dari Kasepuhan
setelah menamatkan pendidikan di tingkat SMA dan kuliah guna mendapatkan
pengalaman hidup.
Perubahan gaya hidup dari aras teknologi adalah kepemilikan 1 (satu)
buah mobil, motor serta yang paling mencolok adalah kepemilikan Hand Phone
(HP) yang diawali dikalangan keluarganya, kemudian di tirukan oleh incu-putu
sebagai tumbuhnya nilai-nilai materialisme kebendaan yang pantang dimiliki oleh
pemimpin adat, saat kepemimpinan adat Abah ASNsudah tidak berlaku lagi.
85
“Previlage” sang “Abah” lebih kepada kehidupan modernisme. Menurut Bapak
Punta selaku Dukun Kasepuhan di Sinar Resmi bahwa :
“Dalam Tatali paranti karuhun semua yang dilakukan oleh Abah
dengan keluarganya tersebut jelas melanggar norma-norma yang
ada yang akan membawa hal buruk bagi eksistensi Kasepuhan itu
sendiri. Abah juga mulai berpolitik di luar pemerintahan
Kasepuhan, dan berelasi dengan tokoh-tokoh elit politik di pusat.
Kepemimpinan Abah juga dipertanyakan ketika terjadi pengalihan
bantuan pupuk sebanyak 40 ton kepada “incu putunya”, kemudian
dijual kembali untuk alasan kepemilikan kendaraan roda empat
milik Abah dan keluarganya.”
Konflik internal kepemimpinan juga tidak dapat dihindari. Kebebasan cara
berfikir Abah ASNmisalnya terlihat saat dukun berdiskusi dengan Abah mengenai
permasalahan masyarakat yang ada yang melanggar adat dan meminta ketegasan
Abah, namun jawaban abah “engke oge karaseun kumanehna” (nanti juga akan
mendapatkan musibah oleh yang melanggar). Pernyataan tersebut dinilai sangat
wajar karena yang melanggar norma-norma Kasepuhan diawali dari kalangan
keluarganya sendiri, Selain itu juga Abah yang cenderung hibridisasi antara
leizzer feire dan demokratis ini kemudian tidak lagi memaksakan pengelolaan
lahan pertanian digarap hanya sekali dalam setahun. Karena sang Abah lebih
sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk memudahkan introduksi pertanian.
8.2.2. Memudarnya Fungsi Leuit, Imah Gede dan Tumbuhnya Ekonomi Uang
Fungsi Leuit yang senantiasa menjadi pusat ketahanan pangan
Kasepuhan mengalami pergeseran sejalan dengan dapat diperjual belikannya padi
huma secara berkelanjutan sehingga masuknya ekonomi pasar yang nantinya
incu-putu ketergantungan terhadap ekonomi modern. Lunturnya nilai leuit sebagai
pusat ketahanan pangan dan lambang kemakmuran dalam individu incu-putu
Kasepuhan.
Masuknya budaya ekonomi uang dalam kehidupan masyarakat Kasepuhan
SRI, menggeser nilai-nilai ikatan sosial yang di dasarkan pada bentuk pertukaran
sosial maupun akibat kontak dan komunikasi langsung dengan masyarakat umum
(non Kasepuhan) dengan beragam pengaruh akulturasi budaya yang terus terjadi
hingga kini. (termasuk didalamnya adalah para elit dan pimpinan di Kasepuhan
86
Sinar `Resmi di Kasepuhan) yang lebih kompleks dan telah mulai mengenal
budaya modernitas.
Imah Gede yang seharusnya menjadi simbol Kasepuhan kini dijadikan
sebagai ajang komersialisasi untuk menghasilkan ekonomi uang yang
dikendalikan oleh Ambu (gelar Istri Abah), seperti adanya masyarakat luar
Kasepuhan yang mengunjungi bila menempati Imah Gede maka terjadi transaksi
guna menempati Imah Gede tersebut. Serta padi sebagai hasil panen (dalam
bentuk gabah kering) apabila masyarakat luar Kasepuhan yang menginginkannya
diperbolehkan dengan catatan transaksi yang baik, seperti yang diungkapkan oleh
Ambu “teu nanaon nu penting mah sami-sami ikhlas keneh bae” (tidak apa-apa
yang penting sama-sama ikhlas saja).
Perubahan Imah Gede sebagai pusat interaksi sosial Kasepuhan dan
keagamaan serta padi sebagai lambang dari IBU BUMI yang harus di jaga tapi
kini telah di komersialisasi oleh Ambu sebagai individu. Perubahan nilai tersebut
menurut Parson (1986) dalam Nasikun (1992), sebagai pergeseran nilai-nilai
sosial budaya, individu dimana orang perorangan memiliki sistem kepribadian,
persepsi dan sikap.
87
BAB IX
PERANAN PEMIMPIN DALAM PEMELIHARAAN KEPATUHAN
MASYARAKAT TERHADAP NORMA ADAT
9.1. Peranan Pemimpin Dalam Masyarakat Adat Kasepuhan
Pemimpin (Abah) didalam masyarakat Kasepuhan merupakan orang yang
sangat dihormati, disegani serta berpengaruh yang luar biasa terhadap masyarakat
(incu-putu) karena menurut kepercayaan incu-putu Kasepuhan bahwa segala
ucapan, perbuatannya adalah nasehat atau perintah yang harus dilaksanakan dan
ditaati oleh incu-putu hal tersebut tercipta karena Abah merupakan representasi
dari para leluhur yang telah membuat segala aturan Kasepuhan. Serta
diturunkannya kepada Abah hingga saat ini.
Maka terdapat faktor keturunan abah tersebut dapat berkuasa dan
memerintah di Kasepuhan hingga akhir hayatnya, disamping itu Abah juga
memiliki wangsit yang dipercaya adalah sebagai ilham yang datang dari para
leluhur. Wangsit tersebut seperti bagaimana pemindahan Kasepuhan dari satu
tempat ketempat yang berikutnya yang dinilai sesuai untuk ditempati, atau juga
dalam pengelolahan/pemanfaatan sumberdaya alam.
Abah atau pemimpin harus berpedoman atau taat menjalankan syariat
agama, bertanggung jawab (mengurus dan mengayomi incu-putunya), bersifat
sosial (suka memberikan bantuan), tidak ingkar janji, mencegah terjadinya
malapetaka, adil karena Abah dinilai mempunyai pengetahuan yang lebih oleh
incu-putunya. tekad-ucap-lampah yang terkandung dalam tilu-sapamilu
merupakan kewajiban mutlak bagi seorang pemimpin (Abah) untuk selalu di
junjung dalam setiap kehidupannya.
Seorang Abah (pemimpin) Kasepuhan harus menjadi suri tauladan bagi
masyarakat yang dipimpinnya (incu-putu), baik dalam menjalankan agama,
bertindak maupun berperilaku. Abah dalam mengadakan hubungan dengan incu-
putu atau masyarakat luar Kasepuhan juga harus memakai pedoman-pedoman
yang terkandung dalam tatali paranti karuhun serta amanat Abah JSN Kudu hade
catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal ngangsurn,
amanat tersebut bagaimana Abah (pemimpin) serta incu-putu harus menjaga
88
hubungan dengan masyarakat luar Kasepuhan, dan bagaimana menjaga ucapan
(omongan) sehingga pada hubungan sosial tersebut tidak ada yang sakit hati,
apalagi hubungan dengan incu-putunya.
Kepemimpinan Kasepuhan yang telah sesuai dengan Tatali Paranti
Karuhun yang sejalan dengan konsep kepemimpinan Jawa Menurut Anderson
(dalam Kartodiredjo, 1984) bahwa konsep Jawa mengenai kekuasaan berdimensi
empat sesuai dengan konsep dalam pewayangan: sakti-mandraguna, mukti-
wibawa. Mandraguna menunjukan pada kecakapan, kemampuan ataupun
keterampilan dalam satu atau beberapa bidang, seperti olah- senjata, kesenian,
pengetahuan dan sebagainya. Mukti lebih berhubungan dengan kedudukan yang
penuh kesejahteraan. Wibawa berarti kedudukan terpandang (prestige) yang
membawa pengaruh besar (Kartodiredjo,1984). Maka seorang pemimpin juga
harus mempunyai sifat ing ngarso sung tulada, seorang pemimpin harus mampu
bersikap sehingga perilakunya dapat menjadikan dirinya sebagai panutan bagi
orang-orang yang dipimpinnya, juga mempunyai sifat ing madya mangun karsa.
Seorang pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan
berkreasi pada orang-orang yang dipimpinnya, serta “tut wuri handayani”,
seorang pemimpin harus mampu mendorong orang-orang yang diasuhnya agar
berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab atau dalam bahasa tatali
paranti karuhun yang tertuang dalam tilu-sapamilu adalah tekad-ucap lampah.
9.2. Peranan Pemimpin dalam Pemeliharaan Sumber Daya Alam
Sumberdaya alam bagi masyarakat kasepuhan merupakan hal yang sangat
vital karena itu menjaga guna masa depan anak-anak mereka (generasi penerus)
merupakan hal yang sangat berharga. Dalam masyarakat Kasepuhan sumberdaya
yang sangat penting tersebut adalam hutan atau dalam masyarakat Kasepuhan
disebut dengan leuweung. Menurut Adimihardja (1992), bahwa masyarakat
Kasepuhan dikenal dengan aturan-aturan didalam pengelolahan hutan yang sudah
di wariskan dari leluhur dan harus dijaga kelestariannya.
Demikian sangat vitalnya fungsi Leuweung terhadap kehidupan
masyarakat kasepuhan maka didalam pemenfaatan hutan (leuweung) tersebut
incu-putu membagai fungsi hutan menjadi tiga zonasi hutan yaitu Leuweung
tutupan, Leuweung titipan, dan Leuweung Bukaan. (1) Leuweung-titipan atau
89
dapat disebut dengan leuweung karamat atau leuweung kolot harus dijaga tidak
boleh dirusak (ditebang) pohonnya karena terdapat sumber mata air sebagai
kelangsungan hidup incu-putu Kasepuhan atau Leuweung sirah cai dan pusat
keseimbangan ekosistem, (2) Leuweung titipan adalah kawasan hutan yang boleh
dimasuki oleh manusia (incu-putu) atas seizin Abah, dan dengan tujuan untuk
pengambilan hasil hutan kayu untuk kayu bakar dan membuat bangunan atau hasil
hutan non-kayu berupa tanaman obat-obatan, madu hutan, rotan dan sebagainya.
Serta yang terakhir adalah Leuweung Sampalan (garapan) adalah jenis hutan yang
dapat dipergunakan (dieksploitasi) oleh incu-putu Kasepuhan. Leuweung
Sampalan tersebut dapat dijadikan (dimanfaatkan) sebagai tempat berladang
(huma), berkebun, talun, untuk menggembala hewan peliharaan serta
pengambilan kayunya untuk membuat rumah. Namun kesemuanya itu ada aturan
yang mengikat seperti didalam pembukaan hutan garapan (leuwueng sampalan)
untuk keperluan apapun harus mengadakan ritual selametan untuk meminta izin
agar diberkahi oleh para leluhur.
Incu-putu Kasepuhan memiliki indigenous knowledge, sehingga untuk
menjaga keseimbangan alam mereka melakukannya dengan upaya pengawasan
dan pelestarian agar hutan agar tidak rusak. Sesuai dengan keyakinan yang telah
ada dalam Tatali Paranti Karuhun, seperti yang telah dikemukakan oleh Abah
ASN“gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak, ulah ngaruksak
bangsa jeung nagara”. Hal tersebut dapat membuktikan bahwa adanya aturan
adat yang menguatkan agar leuweung (hutan) jangan sampai disalahgunakan
apalagi di ekspoitasi besar-besaran untuk kepentingan individu sangat dilarang,
dan apabila membutuhkan kayu atau lahan dalam hutan untuk kepentingan incu-
putu ada aturannya, karena aturan itu dibuat untuk dipatuhi bukan untuk
dilanggar.
Berdasarkan hal tersebut maka Abah mempunyai peranan penting guna
menjaga serta melestaraikan leweung (hutan) untuk kepentingan incu-putu dimasa
yang akan datang, yang sesuai dengan wangsit dari leluhur. Amanat tersebut harus
dijalankan dan mengarahkan pada incu-putu untuk memanfaatkan hutan
sebagaimana mestinya.
90
Kawasan hutan (hutan garapan) tersebut dapat dimanfaatkan oleh incu-
putu kapan saja dan berapa luasan lahan tergantung kemampuan tenaga yang
dimilikinya, terutama untuk berladang (huma). Adapun dalam penggarapan huma
tersebut terdapat huma-serang yaitu huma bersama untuk kepentingan
Kasepuhan.
Pada saat ini Abah dalam menjaga hutan untuk kepentingan Kasepuhan
adalah hanya sebatas dengan aturan adat Tatali Paranti Karuhun, dan dari ketiga
Kasepuhan juga telah mendatangi pihak pemerintah Kabupaten Sukabumi agar
mengeluarkan peraturan daerah tentang perlindungan tanah ulayat tersebut yang
sampai dengan saat ini belum ada titik temu.
Berbeda dengan masyarakat Adat Baduy yang ada di Banten, oleh
pemerintah Kabupaten Lebak yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Daerah
Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 (Bab 1 Pasal 1) seperti berikut
penjelasannya:
“Bahwa Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy,
Desa Kanekes ditetapkan sebagai tanah hak ulayat yang berarti
kewenangan yang menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat
hukum adat. Peraturan tersebut cukup menguatkan kepemilikan
tanah ulayat Baduy dan merupakan salah satu solusi dalam
penyelesaian konflik, di samping pemagaran dan pematokan
batas tanah ulayat Baduy yang tidak permanen oleh Pemerintah
Kabupaten Lebak. Upaya masyarakat adat Baduy dalam
penyelesaian konflik adalah membuat perjanjian dengan warga
luar Baduy untuk tidak mengulangi penyerobotan lagi.
Perjanjian ini ditandatangani oleh pihak yang terlibat konflik,
serta pelaporan kepada pihak kepolisian.”
Kasepuhan dinilai sangat penting untuk membuat pengakuan atas hak
tanah ulayat seperti masyarakat adat Baduy, agar tidak terjadi kembali konflik-
konflik tentang tanah adat dengan pemerintah seperti dahulu serta penyerobotan
oleh masyarakat luar Kasepuhan yang lebih mengetahui tentang sertifikasi yang
nantinya mengklaim kepemilikan beberapa lahan garapan yang dimiliki oleh adat
Kasepuhan.
Sebagai pembanding adalah hasil penelitian dari Sardi (2010), yang terjadi di
orang rimba (Suku Anak Dalam) menunjukan bahwa pola pemanfaatan
sumberdaya hutan di tingkat orang rimba dan warga desa sudah mengalami
91
pergeseran, dari pemanfaatan hutan yang berbasis akses pemanfaatan hutan yang
berbasis akses penguasaan. Dalam hal ini, pergeseran pola pemanfaatan dan akses
penguasaan dipandang sebagai produk situasi yang diciptakan oleh kelompok
yang mempersempit akses kelompok sub ordinat terhadap sumberdaya hutan.
Uraian diatas tentang peranan Abah didalam pemeliharaan sumberdaya
alamnya menurut Peneliti berpendapat bahwa Abah harus melindungi akses
pemanfaatan sumberdaya alam sebagai komponen penting di dalam kehidupan di
Kasepuhan SRI, serta pada dasarnya incu-putu membutuhkan legitimasi (berupa
perda atau regulasi yang menyangkut hak-hak tanah ulayat) dari Pemerintah.
Karena legitimasi tersebut nantinya agar dapat menjamin pemanfaatan
sumberdaya alam bagi kepentingan incu-putu Kasepuhan serta manfaatnya akan
dirasakan oleh masyarakat yang ada di luar Kasepuhan.
9.3. Pengaruh Perubahan Kepemimpinan Adat Terhadap Kepatuhan
Masyarakat Pada Norma Adat
Keretakan hubungan antara Abah dan Incu Putunya semakin dalam ketika
masa kepemimpinan Abah Asep. Keretakan hubungan terbukti dengan
terpecahnya kembali Kasepuhan SRI menjadi dua bagian antara lain : (1)
Kasepuhan SRI; (2) Kasepuhan CMA. Abah Asep, dengan mudah ditunggangi
oleh urusan-urusan politik pemerintah. Karena besarnya pengaruh Abah terhadap
Incu Putunya maka Abah untuk meningkatkan populeritas elit-elit politik. Seperti
yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Abah ASNjuga menggunakan saluran
ekonomi di dalam menjalankan kepemimpinannya. Abah kemudian memonopoli
pembagian dan perdagangan saprodi kepada Incu Putunya. Kepemilikan barang-
barang yang datang dari luar Kasepuhan (modern) juga dimiliki oleh “Abah
Asep”, sehingga jarak sosial antara “Abah” dan “Incu putunya” semakin lebar.
Akibat nilai-nilai materialime yang telah merembes ke sistem sosial
Kasepuhan mengakibatkan runtuhnya rasa kebersamaan yang dibangun oleh
pemerintahan Kasepuhan sebelumnya. Serta kemudian digantikan oleh sifat yang
individual yang mulai tumbuh di Kasepuhan.
Lemahnya solidaritas antara Abah dengan Incu Putunya nampak pada saat
Incu-Putu di Kasepuhan SRI sering mengadakan rariungan (diskusi) ketika
92
bertani maupun pada waktu berada di rumah salah seorang panasehat Abah,
mereka selalu menanyakan tentang segala kehidupan yang dilakukan oleh Abah
serta keluarganya, yang dinilai sudah banyak keluar dari norma-norma Kasepuhan
yang ada. Abah ASNjuga sudah jarang mendatangi para incu-putunya tiap rumah
berbeda dengan Abah sebelumnya guna mengetahui keberadaan Incu-Putunya,
tapi justru lebih intens berhubungan dengan para elit politik lokal/nasional.
Kasepuhan tidak adanya hukuman/sanksi secara langsung apabila ada yang
melanggar cuma teguran dari Abah apabila yang melakukan adalah incu-putu.
Tapi justru saat ini adalah bukan incu-putu yang hanya membuat pelanggaran
akan tetapi Abah dan keluarganya yang melakukan pelanggaran tersebut. Sekali
lagi, dampak dari bergesernya kepentingan Abah dan gaya kepemimpinannya
berdampak pada renggangnya solidaritas sosial dan kepatuhan incu-putu
kasepuhan kepada Abah. Kepatuhan menjadi indikator penting di dalam melihat
dampak perubahan dari gaya kepemimpinan Abah. Melemahnya kepatuhan incu
putu kepada Abah ditunjukkan dengan penurunan jumlah pengikut Kasepuhan.
Dampak lainnya dari perubahan gaya kepemimpinan Abah selanjutnya
adalah banyak incu-putu menyeberang ke Kasepuhan lain seperti Kasepuhan
CGR maupun Kasepuhan CMA. Walaupun keyakinan terhadap Abah berpindah,
akan tetapi tempat tinggal dibolehkan berada di kawasan Kasepuhan SRI,
sehingga akhirnya kompetisi legitimasi diantara tiga Kasepuhan terpecah dibawah
payung pancar pangawinan, guna mendapatkan keyakinan dari Incu-putu yang
ada, karena ketiga Kasepuhan tersebut merasa memiliki akan pancar
pangawinan.
Ikatan yang sangat kuat yang sudah terbangun sejak leluhur (Kasepuhan)
maka hubungan Incu-putu antar ketiga Kasepuhan yang ada di desa Sirnaresmi
ini, yakni Kasepuhan SRI, Kasepuhan CGR maupun Kasepuhan CMA adalah
saling menghargai karena bagi incu-putu tidak ada perbedaan yang mendasar
terhadap Kasepuhan tersebut kecuali keyakinan dan kepatuhannya terhadap Abah
sebagai pemimpin itu yang menjadi legitimasi di masyarakat (incu-putu)
Kasepuhan (lihat Gambar 9.1.).
93
keterangan : : Klaim memiliki sumber kekuasaan : Instruksi : Turunan : Kepatuhan/keyakinan : Klaim kyakinan Incu-putu thp Abah
memiliki sumber kekuasaan : Koordinasi
Gambar 9.1. Keyakinan Incu-putu Terhadap Abah (pemimpin) di
Kasepuhan
Pada gambar 9.1. tersebut bahwa ketika Abah telah berubah didalam
melaksanakan kepemimpinannya (ketidaksesuaian) dengan norma adat
Kasepuhan yang disebabkan oleh peningkatan pendidikan dari seorang pemimpin
yang akan membawa pada perubahan gaya hidup seperti yang telah di jabarkan
pada sub-bab sebelumnya maka incu-putu berhak menilai Abah dan membawa
pada keyakinan dan kepatuhan terhadap pemimpinnya apakah masih memiliki
sumber-sumber kekuasaan terutama wangsit dan pancar-pangawinan dan incu-
putu kemudian mencari Abah di Kasepuhan CGR dan Kasepuhan CMA demikian
juga sebaliknya, yang dinilai memiliki kedua sumber kekuasan tersebut.
Abah
Incu Putuh Incu Putuh Incu Putuh
Kasepuhan Cipta Mulya
Kasepuhan Cipta Gelar
Kasepuhan Sinar Resmi
SUMBER KEKUASAAN
*Keturunan
*Wangsit
*Pancerpangawinan
Abah Abah
94
Jika berpijak pada pemikiran Weber dalam Martin (1990), mengenai
sumber legitimasi seorang pemimpin antara lain kharisma, tradisional, dan
rasional, maka kekuasaan Kasepuhan pada masa hidup Abah AJ dan Ujat
cenderung didominasi oleh legitimasi yang sifatnya kharismatik dan tradisional,
namun pada masa kepemimpinan pada Abah ASN (Kasepuhan mulai menetap),
serta masuknya pendidikan dalam kekuasaan, maka tipe legitimasinya cenderung
legal rasional. Pada akhirnya, dinamika tersebut membawa pada perubahan sosial
kemasyarakatannya. Solidaritas sosial kemudian semakin memudar karena Abah
sebagai pemimpin Kasepuhan berubah orientasinya bukan lagi kecenderungan
penuh di dalam perlindungan Incu Putunya tetapi lebih pada kepentingan dirinya
sendiri, lihat Matriks 7.3.
Matrik 9.1. Pergeseran Sumber Kekuasaan, Kelembagaan Kasepuahn dan
Dampaknya pada incu-putu
Abah Sumber
kekuasaan Kelembagaan Adat Dampak
Imah Gede Leuit Individu Incu-putu Arjo
Dari dalam
Kasepuhan
berdasarkan
“turunan”
wangsit dan
“pancar
pangawinan”
Sebagai
pusat,
keagamaan,
interaksi
sosial antara
Abah
dengan incu
putu
Sebagai
tempat
ketahanan
pangan
kasepuhan
Karena merasa
berkewajiban
dari leluhur
untuk
dijalankan
diakui sampai
meninggal dunia
Ujat Keturunan, Keyakinan
individu, luar
Kasepuhan
dan “pancar
pangawinan”
Pusat
keagamaan
dan
Terbukanya
untuk
kepentingan
luar
kasepuahan
Memudarnya
keutuhan
fungsi leuit
Karena merasa
berkewajiban
dari leluhur
untuk
dijalankan
Kepatuhan
mulai terkikis
Asep Dari dalam
Kasepuhan
berdasarkan
“keturunan,
dan wangsit”
Masuknya
pendidikan
Pusat
keagamaan
pusat politik
Masuknya
kepentingan
ekonomi
uang
Karena merasa
berkewajiban
dari leluhur
untuk
dijalankan
Kepatuhan
mulai terkikis
Terjadi
pembangkangan
Sumber: Data Primer (diolah), 2012
95
BAB X
PENUTUP
10.1. Kesimpulan
Kepemimpinan adat Kasepuhan sesungguhnya berpijak pada nilai-nilai
dan norma yang terkandung di dalam Tatali Paranti Karuhun Dinamika
kepemimpinan yang terjadi bertitik tolak pada perubahan di dalam pelaksanaan
norma tersebut oleh setiap “Abah” sebagai pemimpin Kasepuhan, maka
kesimpulan yang dapat diambil adalah :
1. Kepemimpinan Kasepuhan SRI tidak lagi berpijak pada aturan/norma-
norma lokal. Hanya Abah AJ dan para Abah sebelumya yang konservatif,
sementara Abah UT, mulai mengendur akan ikatan norma. Serta
kepemimpinan Abah ASNyang cenderung lebih memudarkan nilai-nilai
tatai paranti karuhun,
2. Kepemimpinan yang terjadi bertitik tolak pada perubahan di dalam
pelaksanaan norma tersebut oleh setiap Abah sebagai pemimpin
Kasepuhan, serta adanya intervensi dari pemerintah terhadap sistem
kepemimpinan Kasepuhan.
3. Perubahan kepemimpinan yang Akibat dari masuknya pendidikan dalam
legitimasi kekuasaan sehingga menciptakan gejolak perubahan
kepemimpinan sekaligus perpecahan di dalam solidaritas sosial
masyarakat Kasepuhan SRI, pelunturan nilai-nilai Tatali Paranti Karuhun
baik di dalam peran pengelolaan sumberdaya pertanian, sistem
pemerintahan adat, hingga masalah adat Kasepuhan.
96
10.2. Saran
Walaupun modernisasi masuk kedalam kehidupan Kasepuhan SRI namun
masih perlu mempertahankan adat istiadat yang sudah sekian lama di wariskan
oleh leluhur. Meskipun pemimpin adat tidak hanya kehilangan pendukungnya
dalam hal ini masyarakat Sinar. Pergeseran kepemimpinan Abah membawa
dampak besar terhadap pola interaksi dalam masyarakat Kasepuhan. Selain
perubahan gaya kepemimpinan, masyarakat di Kasepuhan juga dihadapkan pada
masuknya nilai-nilai luar yang mendorong perubahan dalam Kasepuhan
sendiri.
97
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adimihardja, K. (1999). Mendayagunakan Kearifan Tradisi dalam Pertanian yang
Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan dalam Petani: Merajut
Tradisi Era Globalisasi Bandung: Humaniora.
Suryaningrat, Bayu. (1981). Pemerintahan dan Administrasi Desa. Penerbit
Aksara Baru, Jakarta.
Burke, Peter. (2001), Sejarah dan Teori Sosial. Yayasan Obor Indonesia
Dahama dan Bhatnager. OP. (1980). Education and Communication for
Devalopment. Oxford of IBH Publishing. Co. New Delhi.
Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda. (1986). Kehidupan Masyarakat
Kanekes, Bandung : Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan
Sunda (Sundanologi), Direktorat Jendral Kebudayaan Depdikbud.
Evres, Hans, Dieters. 1980 Sociology Of South East Asia. Reading on Social
Chang and Development. Oxford University Press
Garna. Yudistira. (1992). Teori – teori Perubahan Sosial. Bandung. Penerbit
Program Pascasarjana. Universitas Padjadjaran.
Garna, Judistira, “Orang Baduy di Jawa: Sebuah Studi Kasus Mengenai Adaptasi
Suku Asli Terhadap Pembangunan“ dalam Lim Teek Ghee dan Alberto G.
Gomes (peny.), Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 1993
Gidden, Anthony (1986). Kapitalisme dan Teori sosial Modern, Suatu Analisis
Karya-tulis Marx, Durkheim, Max Weber. UI Pers, Jakarta
Hayami, Y. Dan M. Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
Kartodirjo, Sartono. (1984), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, LP3ES,
Jakarta.
Kartasapoetra, et al. (1986) Desa dan Daerah dengan Tata Pemerintahannnya.
Bina Aksara Jakarta
Kartono. K. (2001). Pemimpin dan Kepemimpinan. Apakah Kepemimpinan
Abnormal itu? Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Kolopaking, Lala et al (2003). Sosiologi Umum “Tim Editor Sosiologi Umum
IPB”. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor
98
Louer H. Robert (1993). Perspektif Tentang Prubahan Sosial. PT. Rineka Cipta.
Jakarta.
Moleong. J. Lexy. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif; Remaja Rosdakarya.
Bandung
Nordholt Schulte. Nico (1987). Ojo Dumeh Kepemimpinan Lokal Dalam
Pembangunan Pedesaan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
Salim, Agus. (2001). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. PT Tiara Wacana,
Yogyakarta.
Setiadi, M Elly dan Kolip, Usman (2011). Pengantar Sosiologi “Pemahaman
Fakta dan Gejala Sosial Teori, Aplikasi dan Pemecahannya”. Prenada
Media group. Jakarta
Simandjuntak A. Bungaran, (2002). Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak
Toba. Jendela,YogyakartaSoemardjan. Selo. (1981). Perubahan Sosial Di
Yogjakarta. UGM Press. Yogyakarta
Soekanto, Soerjono (1987). Sosiologi Suatu pengantar. Raja Grafindo prsada.
Jakarta
Suwarsono, dan Alvin, So. Alvin Y. (1991). Perubahan Sosial dan Pembangunan.
LP3ES, Jakarta.
Siregar E. Amir, (1999). Arus Pemikiran Ekonomi Politik. Tiara Wacana,
Yogyakarta
Suhada, (2003). Masyarakat Baduy Dalam Rentang Sejarah. Dinas Pendidikan
Propinsi Banten.
Parson, Talcott and Henderson A.M (1947) . Max Weber The Teory of Social
and Economic Organization. The Free Pess, New York.
Ritzer, George dan Goodman, Dounglas J, (1994). Teori Sosiologi Modern, Edisi
Keenam, Jakarta: Kencana.
Wrong, Dennis (2003), Max Weber Sebuah Khasanah. Ikon Teralitera,
Yogyakarta
99
Skripsi dan Tesis
Asep. (2000). Kesatuan Adat Banten Kidul “Dinamika Masyarakat dan Budaya
Sunda Kasepuhan di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat”. Tesis.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Dama, Nurdin. (1987). Peranan Kepemimpinan Desa dalam Perubahan Struktural
Masyarakat Pedesaan. Tesis Fakultas Pascasarjana IPB.
Dosineang. Herman Hawang. (1991). Kepemimpinan suku Dalam Pemerintahan
desa: Studi Kasus Dalam Masyarakat Suku Ekagi di Desa Mauwa,
Kecamatan Kamu, Kabupaten Daerah Tingkat II Paniai Propinsi daerah
Tingkat I Irian Jaya. Tesis Fakultas Pascasaraja IPB
Ismady, Idal Bahri. (1992). Peranan Pemimpin tradisional Dalam LKMD dan
Peranan kecamatan Dalam pembinaan LKMD. “Studi Kasus di
Kecamatan Darussalam Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar D.I.
Aceh” Tesis Program Pascasarjana IPB.
Jabar, Aryuni Salpiana (2007). Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan
Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 “kasus: kubu NUSA dalam
Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara 2007” tesis sekolah Pascasarjana
IPB.
Mardiyaningsih, I. Dyah (2010). Perubahan Sosial di Desa Pertanian Jawa:
Analisis Terhadap Sistem Penghidupan Masyarakat Tani. Tesis, Sekolah
Pascarasjana IPB.
Marina, Ina (2011). Analisis Konflik Sumberdaya Hutan di Kawasan Konservasi
(Studi kasus Kampung Sinar Resrni), Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok
Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Skripsi FEMA IPB
Sandjaja, Palar Paradi (1990) Karakteristik dan Gaya kepemimpinan Ketua KUD
Dalam Aktivitas Komunikasi Organisasi “kasus jawa Barat”. Tesis
Fakultas Pascasarjana IPB
Sardi, Idris (2010). Konflik Sosial dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan: Studi
Kasus di Taman Nasional Bukit Duabelas Propinsi Jambi.
100
Jurnal
Anonimus. (1999). Aaliansi Masyarakat Adat Nusantara: Suara Baru Masyarakat
Adat di Indonesia. Down to earth no. 41, mei 1999
Marina, Nina et al. (2007). Kepercayaan Masyarakat Kasepuhan Cicarucup dalam
Aktivitas Pertanian. Bandung: BPSNT
Rahmawati, Rita. et al. (2008). Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan:
Adaptasi, Konflik dan Sosio-ekologis. Solodarity; Jurnal Transdisiplin,
Komunikasi dan Ekologi Manusia. FEMA IPB.
Undang-undang/Peraturan
Undang-undang Pokok Pemerintahan di Daerah dan Pemerintahan Desa Nomor 5
Tahun 1979. Pustaka Tinta Mas. Surabaya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kehutanan
Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah
Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001
tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy
Lampiran 1. CATATAN HARIAN PENELITIAN
Di Kasepuhan Sinar Resmi Februari s/d Maret 2012
Sketsa Kasepuhan berdiri
Pada Tahun 611 sampai dengan tahun 1937 masih mengikat dengan menggunakan nama kabuyutan kabuyutan berarti leluhur atau yang membuat segala aturan (norma) yang ada buat incu putu (pengikut) di kabuyutan tersebut dan kabuyutan itu di pimpin oleh seorang buyut. Menurut Uwa Ugis bahwa di masa kepemimpinan Aki Buyut Agung sampai dengan Aki Buyut Ceboy adalah masa “Kabuyutan” dan kabuyutan merupakan para leluhur dari masyarakat kasepuhan yang saat ini ada, para Buyut juga yang membuat segala aturan-aturan (norma) tentang kehidupan masyarakat kasepuhan yang hingga kini terus dijaga.
Menurut Abah Asep Nugraha bahwa nama Kasepuhan lahir ketika pada zaman kepemimpinan Uyut/Buyut/Abah Jasiun pada tahun 1960 dan nama Kasepuhannya adalah Cicemet yang disesuaikan dengan nama kampung dimana keberadaan kasepuhan itu tinggal. Kasepuhan ini terbagi menjadi tiga wilayah adminstratif; pertama yang terdapat di Kabupaten Lebak Provinsi Banten yaitu di kecamatan Sajira, Bayah, Cikotok, Cibeber dan Sobang; kedua Kabupaten Bogor terdapat di Kecamatan Jasinga dan Leuwi liang; ketiga di Kabupaten Sukabumi terdapat Kecamatan Cisolok.
Sedangkan Asal usul Kesatuan Adat Banten Kidul yang merupakan cikal bakal dari kasepuhan Sinar Resmi menurut Buchori Muhaemin (amil kasepuhan) yang dicatat sejak tahun 1978 adalah sebagai berikut:
No. Tahun Kabuyutan Wilayah 01. 611-807 Sadjra Lebak Banten 02. 807-1001 Seni/Kembang Kuning Lebak –Banten 03. 1001-
1181 Djasinga Bogor
04. 1181-1381
Lebak Binong Bogor
05. 1381-1558
Cipatat Urug Bogor
06. 1558-1720
Lebak Larang Banten
07. 1720-1797
Lebak Binong Banten
08. 1797-1834
Pasir Talaga Sukabumi
09. 1834-1900
Tegal Umbu Banten
10. 1900-1937
Bodjong Tjisono Banten
Kasepuhan (1960) 11. 1937- Tjitjemat Priangan Sukabumi
1960 (Abah Jasiun) 12. 1960-
1982 Tjikaret (lokasi Sinar Resmi/Abah Rusdi)
Sukabumi
13. 1982-1985
Cipta Rasa (Abah Arjo) Sukabumi
14. 1985-2000
Cipta Rasa (Abah Ujat) Cipta Gelar (Abah Anom) Sukabumi
15. 2002-2010
Sinar Resmi (Abah Asep Nugraha)
Cipta Gelar (Abah Ugis)
Cipta Mulya (Abah Uum-Abah Hendrik)
Sukabumi
Pada awalnya sebelum terbentuknya kasepuhan itu ada, bermula
kabuyutan dan hal tersebut karena buyut berarti leluhur atau para orang tua yang telah membuat segala aturan akan kasepuhan ini kelak. Dan menurut Abah Asep Nugraha kabuyutan tersebut selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan berawal dari sadjira yang ada di Lebak Banten kemudian ke Bogor hingga Sukabumi sekarang ini.
Pada masa kabuyutan para Abahnya (pemimpin) Abah Asep tidak bersedia menyebutkan pada masyarakat luar kasepuhan, karena menurut beliau hal itu tabu serta akan mendapat musibah atau dalam bahasa Kasepuhan Kebendon bagi Abah Asep sendiri maupun bagi incu-putu (pengikutnya).
Dan menurut Bapak Dede (penasehat Abah Asep) bahwa silsilah dari Kasepuhan sinar resmi itu ditunjukan pada gambar dibawah ini atau lebih tepatnya asal-usulnya:
Susunan ngaran-ngaran luluhur Banten Kidul
Sampai saat ini kasepuhan selalu berpindah-pindah tempat namun
lokasinya masih di kawasan pegunungan halimun, alasan lokasi kasepuhan selalu pindah-pindah karena disamping dengan adanya wangsit juga untuk memperluas daerah/cadangan kehidupan/memperbanyak keturunan.
Lahirnya kasepuhan pada tahun 1960 ketika dipimpin oleh abah Djasioen dan nama kasepuhannya Tjitjemet yang disesuaikan dengan nama tempat atau kampung itu berada. Serta situasi politik di negara Indonesia pada waktu itu atau adanya intervensi dari Negara. Hingga Abah Djasiun pun memakai peci karena disesuaikan dengan pemimpin bangsa (bung Karno) tidak memakai Ikat Kepala
Kibuyut Rembang Kuning Sukma Sakti Kuda Alas Kandang Dewa
Kibuyut Rosa Sukma Sakti Kuda Alas Kandang Dewa
Kibuyut Warni Sukma Sakti Kuda Alas Kandang
Kibuyut Santayan Kibuyut Kayon
Kibuyut Ceboy Ki Eoh
Ki Sanam
Kibuyut Manik Nyai Saleha Kibuyut Inay Uyut Jasiun Kibuyut Anca
Tilem-timbul
Wilayah Lebak Binong Larang
Lembur Cipatat Urug
Lembur Lebak Larang
khas kasepuhan jadi ketika Abah Djasioen norma tentang berpakaianpun mulai berubah walau hanya pemimpinnya saja.
kepindahan lokasi juga dipengaruhi karena adanya konflik atau diserang oleh DII/TII pada tahun 1959 dan pindah ke cikaret yang sekarang Namanya Menjadi sinar resmi, pada tahun 1980, terjadi konflik dengan pihak kementrian keagamaan dan pindah ke ciganas/cimaja, dan terjadi konflik kembali dengan pihak perhutani sehingga pindah kembali ke cikaret. Dan pada tahun 1965-1966 dengan isu PKI. Sistem dan Kelembagaan Sosial Kasepuhan Sinar Resmi
Masyarakat kasepuhan Sinar Resmi pada prinsifnya dalam menjalankan kehidupan keseharian sesali bergotong royong karena telah di sesuaikan dengan falsafah hidup yang telah tertuang dalm “tatali paranti karuhun” namun seiring berjalannya waktu serta pergantian kepemimpinan yang ada otomatis pola hidup masyarakatnya berubah di tambah dengan masuknya ilmu dan pengetahuan yang datang dari luar kasepuhan.
Menurut Pak Buhari kasepuhan Sirna Resmi tidak memandang pada batasan wilayah yang telah ditetapkan oleh pemerintah secara administratif, karena jumlah masyarakat (incu-putu) kasepuhan tersebar baik yang ada di desa Sirnaresmi maupun yang ada diluar desa Sirnaresmi. Abah Asep Nugraha juga menambahkan bahwa karena lokasi Kasepuhan Sinar Resmi memang berada di desa Sirnaresmi akan tetapi untuk warga kasepuhan tersebar mulai dari desa Sirnaresmi itu sendiri, Bogor, Banten hingga lampung. Adapun jumlah warga kasepuhan Sinar Resmi pada saat sekarang ini berjumlah 8.320 jiwa.
Jumlah warga kasepuhan tersebut, menurut Abah Asep Nugraha adalah pengikut kasepuhan Sinar Resmi yang didalamnya terdapat laki-laki dan perempuan. Dan didalam pencatatannya adalah laporan berupa data kelahiran yang didapat dari paraji serta kematian dari kokolot lembur kepada Amil kasepuhan Sinar Resmi yang dijabat oleh Bapak Buhori kemudian dilaporkan kepada Abah Asep Nugraha.
Falsafah yang tertuang dalam “tatali partanti karuhun” tersebuta adalah “IBU BUMI BAPAK LANGIT DAN TANAH RATU”. Falsafah tersebut dalam artian harfiahnya adalah ibu bumi: bumi itu diibaratkan seperti seorang ibu, bapak langit : langit diibartakan orang tua laki-lai yang memberikan kesuburan terhadap ibu, dan tanah ratu: tanah bhumi tersebut harus di berlalkukan seperti seorang ratu.
Maksudnya adalah manusia harus tunduk terhadap alam berarti bahwa manusia tergantung dengan alam seperti anak yang tergantung pada ibunya, karena alam kita biasa untuk berjalan, membuang sesuatu yang sifatnya jasad manusia, tempat untuk mendirikan bangunan dan lain sebagainya; namun yang paling penting adalah alam atau bumi itu untuk menanam padi karena masyarakat kasepuhan pertanian adalah sebagai pangkuan dalam hidupnya (sistim humma) maka alam/bumi tersebut sebagai tempat untuk bercocok tanam padi (humma) oleh masyarakat kasepuhan, dan langit yang memberikan akan kesuburan berupa hujan maka berlakukanlah bumi seperti seorang ratu yang harus dijaga oleh segenap warga kasepuhan dan bagi masyarakat kasepuhan dimanapun tempat tinggalnya harus selalu menghormati alam dimanapun berada.
Sehingga didalam bercocok tanam padi (huma) masyarakat kasepuhan hanya melakukannya sekali dalam setahun karena diibaratkan seorang ibu tidak akan melahirkan anaknya setahun dua kali atau lebih yang akan merusak dari perempuan itu sendiri (ibu). Setiap rangkaian kegiatan pelaksanaan huma di kasepuhan Sinar Resmi semuanya diawali dengan ritual. Menurut Abah Asep menta do’a ku Gusti Alloh lan salametan ngirim-do’a ku para laluhur kasepuhan menta kaberkahana, yang artinya minta do’a kepada Allah, serta mengirim do’a kepada para leluhur kasepuhan minta keberkahannya” dan pada ritual selametan tersebut diadakan di Imah Gede yang dihadiri oleh para sesepuh serta incu-putu kasepuhan Sinar Resmi.
Menurut Bapak Buhari bahwa padi hasil panen dari incu-putu tersebut, akan di serahkan kepada Abah sebanyak 2 sampai dengan 5 beungkeut (ikat) sebagai tatali. Tatali dapat diartikan sebagai ikatan satu sama lain dalam incu-putu kasepuhan sebagai solidaritas sosial yang kuat. Padi yang telah diserahkan kepada Abah tersebut akan di simpan di lumbung kasepuhan disebut Leuit si Jimat, selain itu juga dikenakan zakat sekitar 10 ikat/beungket padi. Zakat tersebut di gunakan untuk keperluan (menggaji) para kelembagaan adat seperti Dukun, Paraji, Pamaro, Kokolot Lembur dan lain sebagainya. Walaupun dalam memberikan zakat tersebut tergantung hasil yang dicapai ketika panen padi dari setiap incu-putu.
Pada umumnya setiap incu-putu kasepuhan memiliki leuit (lumbung)
sebagai tempat penyimpanan padi huma, juga sebagai penyedia pangan keluarga untuk persediaan dikemudian hari. Selain leuit individu juga terdapat lumbung umum milik semua warga kasepuhan. Lumbung umum itu biasa pula disebut leuit kasatuan atau leuit paceklik. Menurut Abah Asep Leuit Si-Jimat tersebut bisa menampung gabah yang telah dipanen sekitar 7.850 pocong/beungkeut (ikat), dan cerita turun temurun nama Leuit komunal tersebut “leuit-paceklik“ namun ketika musim paceklik kemudian tiba-tiba pada malam harinya terdapat gabah yang di beungkeut yang cukup untuk keperluan incu-putu kasepuhan dan bersifat magis.
Leuit Si-Jimat berfungsi sebagai pusat pangan (cadangan pangan) kasepuhann Sinar Resmi apabila pada tahun-tahun mendatang adanya musim paceklik dimana padi (huma) mengalami kegagalan dalam panen. Menurut Uwa Ugis Leuit Si-Jimat tersebut selain menyedia pangan, juga dapat dipergunakan sebagai peminjaman incu-putu kasepuhan Sinar Resmi apabila dalam rumah tangganya kekuarangan padi untuk keperluan makan, dan harus dibayar berupa padu lagi setelah panen tiba.
Konsep pilosofis masyarakat Kasepuhan dalam tatali paranti karuhun: 1. Tilu sapamilu
Tilu sapamilu Tekad Ucap Lampah Buhun Nagara Syara Ruh Raga Papakean
2. Dua sakarupa Ruh + Raga-papakean = mahluk hidup yang tidak berpakean adalah binatang Raga +Papakean-Ruh = mahluk yang sudah tidak bernyawa atau mayat Ruh + Papakean-raga = mahluk gaib
3. Nu hiji eta-eta keneh= ruh+raga+papakean = Mahluk hidup yang harus berpakean = manusia
Keterangan: 1. Tilu-sapanulu
Tekad ucap lampah (niat, ucapan, tindakan/perilaku). Buhun Nagara Syara (aturan adat, Pamarentahan, Agama) Ruh Raga Papakean (nyawa, raga, pakean)
2. Dua saka rupa; buhun/mukaha, nagara, syara (aturan adat, pemerintah dan agama).
3. Nu hiji eta keneh; nyawa/ruh, raga, pakain. Manusia harus memiliki ketiga-tiganya sehingga memiliki kamanusiaan. Jika tidak akan disebut manusiawi karena manusia tanpa nyawa berarti mayat, manusia tanpa raga berarti makluk gaib (tidak terlihat) dan manusia tanpa pakaian diibaratkan makluk hidup yang telanjang (hewan).
Kasepuhan Sinar Resmi. Sebagaimana tertuang dalam gambar 1. Bahwa pondasi dari tatali paranti karuhun sebagai falsafah adalah Tilu-sapanulu: Tekad ucap, Lampah (niat, ucapan, tindakan/perilaku).
Buhun Nagara Syara (aturan adat, Pamarentahan, Agama)
Tilu Sapamilu
Dua Sakarupa
Nu Hiji eta-eta Keneh
Tekad Ucap Lampah
Syara Nagara Buhun
Pakean Raga Ruh
Ruh Raga Pakean
Raga Pakean Ruh
Ruh Pakean Raga
Ruh Raga Pakean
Ruh Raga Papakean (nyawa, raga, pakean); Dua saka rupa buhun/mukaha, nagara, syara (aturan adat, pemerintah dan agama);
Nu hiji eta keneh, nyawa/ruh, raga, pakain. artinya Manusia yang mempunyai segala maksud dan tujuan harus mempunyai pedoman di dalam hidupnya (norma)
Incu-putu (Masyarakat) kasepuhan Sinar Resmi pada hakekatnya telah beragama Islam sejak dahulu, tetapi dalam pelaksanaan ritual kasepuhan masih dicampurkan dengan sunda-wiwitan seperti adanya kemenyan, mengundang leluhur guna keselamatan dalam kegiatan. Menurut Sulhi sebagai ustadz di kasepuhan yang di tugaskan oleh Kementrian Agama yang ada di Kabupaten Sukabumi bahwa masyarakat kasepuhan Sinar Resmi dalam beragama mengaku Slampangan dika Gusti Rasul. “Slampangan dika Gusti Rasul adalah kami beragama Islam, mempercayai Nabi Muhammad sebagai Rasul”.
Manusia yang mempunyai segala maksud dan tujuan di dalam menjalankan hidup, maka harus mempunyai pedoman didalam hidupnya (hukum) sebagai sandara agar tidak salah langkah atau dalam bahasa masyarakat kasepuhan “Patokan Nyangkulu ka hukum” yang lebih tinggi dari kepala adalah hukum; hukum kedudukannya diatas segala-galanya sehingga hukum harus asli baik hukum Agama maupun hukum Adat, dan ditaati oleh masyarakat. Manusia jika ingin teratur maka harus mengikuti aturan yang dibuat oleh pencipta manusia (Gusti Alloh). Serta “Nunjang ka nagara” norma yang harus dipatuhi oleh anggota komunitas adalah ketundukan pada peraturan negara (Hukum Indonesia), dan didalam masyarakat kasepuhan di kenal dengan “Mupakat jeng balarea” apabila didalam melaksanakan segala sesuatu di awali dengan musyawarah untuk mufakat, termasuk terdapat masalah apabila terjadi di kalangan masyarakat adat (incu-putu) diselesaikan dengan musyawarah.
Dari hal tersebut kemudian di refresentasikan pada kelembagaan kasepuhan yang telah ada sejak lama hingga saat ini masih ada.. berikut kelembagaan kasepuhan serta peranannya:
No. Lembaga Kasepuhan
Pemimpin Peran
01. Abah Asep Nugraha (sekarang)
Sebagai pemimpin kasepuhan Sinar Resmi sejal dilantik pada tahun 2002 hingga sekarang, dan berperan menjaga eksistensi kasepuhan serta menjaga akan keutuhan norma-norma kasepuhan dan incu-putunya.
02. Gandek 0mid Staf Abah dimanapun abah bebergian gandek harus mendampingi jikalau terdapat masalah atau hal yang sanagt penting di jalan.
03. Dukun Pa unta Apabila ada warga yang mendapat musibah jika secara medis tidak menunjukan sakit maka akan di obati secara tradisional oleh seorang dukun.
Dan yang paling penting adalah apabila aabah berhalangan ada, maka tugas abah di gantikan oleh dukun.
04. Panghulu Pa Ijat Setiap kegiatan kasepuhan baik berupa salametan ataupun yang lainnya dilaksanakan secara adat, dan ritualnya untuk doanya dipimpin oleh panghulu.
05. Bengkong Aki Anuk Melaksanakan perayaan sunatan terhadap anak-anak dari masyarakat Kasepuhan.
06. Paraji Ma Ancah Bidan buat para istri dari warga yang mau melahirkan atau yang berkaitannya.
07. Pamakaan 08. Pamoro Pa Saidi 09. Kemit Sunarja Penanggung jawab dari keamanan
Kasepuhan serta warga harus ikut menjaga keamanan lingkungan kasepuhan dengan mengikuti ronda setiap malam secara bergiliran dengan dipimpin oleh petugas kelembagaan kasepuhan
10. Tukang Bangunan
Pa Marhu Membuat bangunan baik rumah atau yang berkaitan dengan rancang bangun rumah gede di kasepuhan.
11. Ngurus Leuit Pa Suarman segala persiapan dan perawatan yang berkaitan dengan pemeliharaaan leuit
12. Ema Pangberang
Pa Marhu Menjaga dan pemeliharaan keadaan fisik lingkungan Imah Gede
13. Kabersihan Pa Junaedi lingkunan sekitar Imah Gede harus terjaga dan dikontrol kebesihan kasepuhan.
14. Dukun Hewan Pa Jaja Apabila warga kasepuhan yang akan memelihara hewan maka di wajibkan meminta izin padanya serta jika hewan terkena penyakit maka akan diurusi oleh dukun hewan
15. Canoli 16. Tukang Para Pa Urna 17. Kasenian 18. Tukang Dapur Mak Omah Mak Omah ini hanya sebagai
koordinator bagaian dapur di Imah Gede mulai membuat makanan dan menghidangkannya baik buat Abah dan keluarganya maupun buat tamu dan atau masyarakat bila ada yang
kekurangan. 19. Panday Pak Asta Pande, semua peralatan yang baik
pakarangan maupun peralatan pertanian di buat oleh panday.
20. Kokolot Lembur
Pa Martu Apabila ada tamu maka harus melalui kokolot lembur, serta bertanggung jawab akan warga yang ada di lembur yang di dalam otoritasnya.
Kepemimpinan di Kasepuhan Sinar Resmi
Para Abah yang ada di kasepuhan ini mempunyai karakteristik masing-masing, karena beda lingkungan dan situasi yang memungkinkan menerapkan gaya kepemimpinannya berikut ini para Abah dimasa kepemimpinannya masing-masing :
1. Kepemimpinan Abah Djasioen (1937-1960) Abah Djasioen sebagai pemimpin memiliki karakter yang keras dan sangat
memegang teguh adat karena semasa kepemimpinan beliau bertepatan dengan penjajahan Belanda yang masuk ke daerah kasepuhan. Dalam menjalankan kepemimpinan fase transisi dari kabuhunan ke kasepuhan Abah Djasioen memiliki sangat watak keras (otoriter) didalam menjalankan segala aturan kabuhunan pada incu-putunya.
Selain peristiwa penjajahan Belanda, terjadi peristiwa yang membuat masyarakat kasepuhan geger yaitu diserang oleh DII/TII pada tahun 1959 yang memang belung diketahui maksudnya, hingga Abah Djasioen memindahkan lokasi kasepuhan dari cicemet ke cikaret karena selain wangsit dan sifat nomaden juga untuk mempertahankan kasepuhan dari penjajah Belanda. Kasepuhan ke cikaret karena alasan politik dan keamanan, dan di jaman Abah Djasioen pula adanya nama Kasepuhan yang awalnya kabuyutan.
Dan pada tahun 1960 “kabuyutan tersebut berubah nama menjadi Kasepuhan” adapun nama kasepuhannya tergantung dari nama kampung yang ada (ditempati sebagai pusat pamarentahan kasepuhan) dan tidak banyak yang
mengetahui apakah ada intervensi pemerintah Soekarno didalam perubahan nama tersebut. Seperti yang telah dikemukankan oleh Abah Asep kasepuhan Sinar Sesmi seperti berikut:
Pergantian nama dari “kabuyutan” menjadi “kasepuhan”, Abah Jasiun mendapatkan wangsit dari leluhur guna menjaga keutuhan segala aturan-aturan yang telah ditetapkan dari para buyut/leluhur. Hal tersebut diikuti dan ditaati oleh Incu-putu karena dinilai sebagai amanat dari para buyut/leluhur.
Amanat yang di tetapkan abah jasiun dan mungkin juga semua pemimpin
kasepuhan sebelum beliau diantaranya sebagai berikut:
“Mipit kudu amit, ngala kudu menta, nganggo kudu suci, mangan kedah nu halal, ngucap kudu kalawan sabenerna, kedah miara ucap, miara lampah, miara tekad” (Panen harus izin, ambil harus minta, menggunakan harus suci, makan harus yang halal, berkata harus apa yang sebenarnya, harus menjaga perkataan, menjaga kelakuan, menjaga tekad) “nyaur kedah diukur, nyabda kedah diunggang-unggang bilih bekasna nyalahan” (berbicara harus diukur, berkata harus ditimbang-timbang takut berbekas kesalahan) “kudu hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal ngangsurna” (Harus memelihara persaudaraan dengan baik, bersikap baik kepada teman, berbicara dengan merendah) “ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang tapiana” (jangan bertinggi-tinggi berdiri, dan jangan saling mendahului/berebut dalam kekuasaan)
Memaknai dari amanat tersebut menurut Wa Ugis di bagi menjadi beberapa hal yaitu:
1. Amanat yang berkaitan dengan sistem huma (pertaninan ladang) “Mipit kudu amit, ngala kudu menta, nganggo kudu suci, mangan kedah nu halal, ngucap kudu kalawan sabenerna, kedah miara ucap, miara lampah, miara tekad” maksudnya adalah ketika panen padi huma para incu-putu harus meminta izin untuk memetiknya kepada bumi yang sering di injak-injak, dibuat bangunan , menanam tanaman yang dibutuhkan oleh incu-putu sehingga untuk memetik hasilnya para incu-putu harus minta izin kepada yang mempunyai dan menciptakan bumi ini dan harus memberlakukannya seperti seorang Ibu yang telah melahirkan manusia ke dunia ini maka di kenal dengan
“Ibu Bumi” , dan langit yang memberikan hujan (rejeki) buat kelangsungan kehidupan serta memberi keberkahan buat hasil pertanian “Bapak Langit” maka keduanya harus diberlakukan layaknya sepertu “Ratu”. Sehingga di incu-putu (masyarakat) kasepuhan dikenal dengan falsafah IBU BUMI BAPAK LANGIT TANAH RATU. Dan harus menjaga layaknya kita menjaga lisan (lampah) dan mempertanggung-jawabkan (tekad)
2. Berkaitan dengan pola hubungan antar manusia “Nyaur kedah diukur, nyabda kedah diunggang-unggang bilih bekasna nyalahan. Kudu hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal ngangsurn” setiap berhubungan dengan antar manusia dengan manusia maka bagaimana incu-putu harus menjaga segala perkataan dan perbuatan, karena dikhawatirkan salah ucap dan akan menimbulkan ketidaksenangan yang akan mengakibatkan tali-silaturhaim kurang harmonis.
3. “Ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang tapiana” yang ketiga inilah sangat penting bagi kehidupan masyarakat kasepuhan, karena berkaitan dengan politik dan kekuasaan; incu-putu keutuhan kasepuhan, jangan memperebutkan kekuasaan, karena kekuasaan harus diberikan pada yang berhak dan dinilai mampu.
2. Abah Roesdi (1960-1982)
Setelah meninggalnya abah Jasiun berdasarkan wangsit bahwa pimpinan kasepuhan harus di pegang oleh Abah Rusdi (1960-1982), Abah Rusdi merupakan sosok yang berbicara seperlunya dan aturan adat agak melemah dari segi perpakaian dan prilaku masyarakatnya. Karena di masa Abah Roesdi bertepatan dengan masa revolusi dan agresi militer ke 2 (serangan Belanda).
Ketika agresi militer II Belanda pada tahun 1960-1963, peranan Abah Roesdi serta masyarakat kasepuhan dalam hal ini adalah memberikan perbekalan (logistik) untuk TNI yang berjuang melawan belanda. Akan tetapi masyarakat Kasepuhan belum diperkenankan ikut berperang melawan Agresi belanda tahap II tersebut, Pasokan logistik dari Kasepuhan tersebut dibawa oleh Bapak Ompi dengan warga Kasepuhan yang lain berjalan kaki dari kasepuhan Tjitjemet sampai ke arah bogor tepatnya di Batalion Cisarua yang dipimpin oleh Jend. Isak Korem Bogor, dengan melakukan penyamaran sebagai pengembala kerbau dimana setiap menggembala kerbau mereka membawa perbekalan beras dan lainnya untuk TNI.
Peranan masyarakat kasepuhan pada masa agresi Belanda tersebut tidak bisa dilepaskan oleh peran Abah Roesdi karena telah tertuang dalam aturan Adat di Kasepuhan itu sendiri agar membela terhadap Nagara. Pada tahun 1965-1966 dengan merebaknya isu PKI di tanah air, justru masyarakat kasepuhan yang telah bersahabat dengan militer (TNI) di tuduh beraliran PKI oleh TNI nya Soeharto sehingga kasepuhan sangat terpukul akan isu PKI. Walau pada akhirnya TNI merasa bersalah telah menuduh akan hal tersebut, dan bila Negara yang bersalah akhirnya tanpa adanya permohonan maaf pada Kasepuhan, dan peranan Abah yang selalu mendinamiskan akan keresahan dari masyarakat Kasepuhan akan tuduhan tersebut.
Di masa Abah Roesdi pula mengalami masa Orde Baru atau masa dimana pergantian kepemimpinan Negara Republik Indonesia dan mengalami tekanan
dari pemerintahannya Soeharto tentang pengakuan Agama di Indonesa hanya 5 (lima) Agama yaitu Islam, Kristen Katolik, Kisten Protestan, Budha dan Hindu; yang pada masa itu pemerintah mempertanyakan akan status Agama yang dianut oleh masyarakat Kasepuhan hingga puncaknya terjadi pada tahun 1980, terjadi konflik dengan pemerintah melalui Kementrian Agama, walau pihak Kasepuhan selalu mengakui bahwa kamimah geus ti baheulana ngilu Agama Islam ku Nabi Muhamad, (kami masyarakat Kasepuhan sudah sejak dulu menganut Agama Islam yang di ajarkan Nabi Muhamad). Akan tetapi masyarakat kasepuhan didalam menjalankan kehidupan selalu selaras dengan adat istiadat yang kami junjung tinggi. Dan karena tidak ada titik temu dengan pemerintah, Abah Roesdi memindahkan pusat pemerintahan Kasepuhan ke Ciganas/Cimaja, guna menghindari konflik (benturan) secara fisik dengan pihak pemerintah.
Di tahun 1981-1982 terjadi konflik dengan pihak perhutani tentang tanah Adat dan sebagaian tanah Adat di klaim b oleh Ferum-perhutani sebagai bagian Taman Nasional Gunung Halimun dengan berjibaku pada regulasi kehutanan, sehingga Abah Roesdi kembali memindahkan Kasepuhan ke Cikaret. Walau Abah Roesdi memimpin Kasepuhan dengan tangan dingin sehingga beberapa aturan Adat mulai mengendur terutama tentang pola prilaku kehidupan, karena situasi politik dan bebrapa peristiwa yang etrjadi hingga hal tersebut ada, akan tetapi didalam aturan pertanian selalu kuat, serta hal yang lainnya selalu bersikap keras (otoriter).
Menurut Abah Asep Pada Tahun 1981-1982 terjadi konflik dengan pihak perhutani tentang tanah Adat dan sebagian tanah kasepuhan dimiliki oleh Ferum-perhutani sebagai bagian Taman Nasional Gunung Halimun dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, perbedaan dalam hal legalisasi lahan kasepuhan dengan pemahaman lahan versi pemerintah (Perhutani). Pada saat itu masyarakat banyak yang ditangkap karena dianggap mencuri kayu di lahan perhutani. Sehingga Abah Rusdi kembali memindahkan Kasepuhan ke Cikaret.
3. Kepemimpinan Abah Arjo (1982-1985) Setelah meninggalnya Abah Roesdi berdasarkan wangsit dari Kasepuhan
kepemimpinan harus dipegang kemudian diserahkan kepada Abah Arjo (1982-1985), walau pada masa kepemimpinan Abah Arjo ini relatif singkat hanya 4 (empat) tahun namun di masa kepemimpinan Abah Arjo ini gaya kepemimpinan yang dianut sangat otoriter yang menginginkan akan kemurnian norma (tatali paranti karuhun) itu dimurnikan dari pengaruh pemerintah ketika di zaman Abah Roesdi memimpin.
Kepemimpinan Abah Arjo ini berhasil mengembalikan kemurnian (norma) tersebut dibantu dengan peranan dari sistem kepemimpinannya baik itu Dukun dan lain sebagainya sehingga masyarakat Kasepuhanpun mengamini akan kemurnian segala norma-norma apa yang terkandung didalam Tatali Paranti Karuhun di Kasepuhan pemimpin yang sangat berpegang teguh pada kemurnian adat kasepuhan. Maka bentuk otoritarianisme pemimpin kasepuhan Abah Arjo cenderung kurang pada ranah konfrontasi melainkan lebih ke ranah pemurnian
adat di dalam Kasepuhan itu sendiri. Seperti yang telah diungkapkan oleh Bapak Dede selaku panasehat Abah Asep kasepuhan Sinar Resmi
Pas Abah Arjo mimpin segala aturan adat dikuatkan kembali dan para incu-putupun merasa senang dengan hal itu, Abah arjo sangat tegas pas memimpin. Dan abah arjo mempunyai 2 (dua) orang Istri, kedua-duanya dari kalangan kasepuhan (wawancara tanggal 26 Februari 2012)
Dalam kepemimpinan Abah Arjo terjadi konflik dengan Kelurahan Cikelat yang pada waktu itu kepala Desanya Bapak Usep Nuryana, tentang sistim pemerintahan Desa dengan sistem pemerintahan Kasepuhan sehingga selalu berbenturan, maka pusat pamarentahan Kasepuhan pindah ke Babakan Ciptarasa dan Kasepuhan dinamai Kasepuhan Ciptarasa.
Terjadinya konflik dengan Desa tersebut karena pada masa pemerintahan Presiden Suharto menerapkan Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan Desa dan terjadi pemaksaan dari regulasi pemerintah tersebut penyetaraan semua wilayah di Indonesia agar mengikuti segala keinginan pemerintah, sehingga terjadi pengkikisan norma di Kasepuhan.
Pada tahun 1982 nama Ciptarasa diganti menjadi Sinaresmi (nama desanya saja) oleh Abah Arjo dan di saksikan oleh Korem 01 Bogor dan tempat IMAH GEDE. Sampe pemerintahan Abah Ujat berikutnya nama Kasepuhan Cipta Rasa bertempat di Desa Sinaresmi.
4. Kepemimpinan Abah Ujat (1985-2000) Sebelum meninggal Abah Arjo mendapat wangsit yang waktu itu
diantarkan oleh Karuhun Kutamane di Sukabumi dan itu harus diambil langsung dengan berjalan kaki. Dan wangsit itu jatuh kepada Abah Ujat. Namun ketika pulang Abah Arjo suasana di kasepuhan sedang gempar dengan perebutan kekuasaan oleh Abah Uum yang ingin menjadi Kesepuhan.
Pada waktu pemerintahan Abah Arjo, dan Abah Ujat sebelum menjadi Abah, beliau menjadi kepala Desa Sinaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi, sehingga Abah Ujat memimpin dua pemerintahan disatu sisi memegang pemerintahan formal sebagai Kepala Desa disisi lain harus memegang amanat wangsit sebagai Abah di Kasepuhan Sirnaresmi. Menurut Kang Dede sebagai Panasehat Abah Asep menyatakan bahwa Bapak Ujat menjadi Abah waktu itu karena adanya campur tangan pemerintah untuk melanggengkan segala program-program dalam bidang pembangunan pertanian yang ketika pada kepemimpinan Abah Arjo kurang begitu diterima.
Karena dalam tatali paranti karuhun tidak mengenal akan dualisme kepemimpinan maka diantara anak almarhum Abah Arjo ini mempermasalahkan akan pengangkatan bapak Ujat sebagai Abah di Kasepuhan sehingga kekisruhan di Kasepuhan terjadi; maka guna meredam kekisruhan tersebut ditetapkanlah Abah Ujat sebagai pemegang kasepuhan Cipta Rasa dan Abah Encup yang menjabat sementara Kasepuhan Ciptarasa keluar dari Ciptarasa dan membuat Kasepuhan lagi dengan nama Cipta Mulya.
Abah Ujat kemudian melepaskan jabatan sebagai Kepala Desa di Desa Sinaresmi dan lebih memilih sebagai Abah di Kasepuhan Cipta Rasa dan
kemudian mengubah nama pusat pamarentahannya menjadi Kasepuhan Cipta Gelar. Namun Abah Arjo yang pada Waktu itu membiarkan perpecah itu terjadi karena biarlah karena kedua-duanya toh anak abah Arjo.
Sepeninggal Abah Ujat Sujati terjadi kekosongan pimpinan kasepuhan karena Abah Asep Nugraha yang berhak memimpin Kasepuhan berdasarkan wangsit/ mimpi dari penasehat kasepuhan yaitu aki Armad. Sementara waktu itu Usia abah Asep masih muda dan menempuh pendidikan sekaligus kerja di jakarta. Maka untuk sementara pimpinan kasepuhan diserahkan (diwarnen) kepada abah Uum (2000-2002) kakak dari Abah Asep.
Pancar Pangawinan; Klaim Otoritas Adat di Kasepuhan
Terdapat suatu kesadaran yang mendalam bahwa masyarakat Kasepuhan merupakan keturunan secara langsung dari Prabu Silih-wangi dari Kerajaan Padjadjaran yang bersumber dari apa yang mereka sebut pancer pangawinan (Guillot, 2008). Bahwa masyarakat Kasepuhan selalu menyatakan dirinya, kami mah turunan pancer pangawinan_kami ini merupakan keturunan pancer pangawinan.
Dalam bahasa Sunda, kata pancer berarti lulugu, yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘asal usul’ atau ‘sumber.’ Kata pangawinan berasal dari kata ngawin yang berarti ‘membawa tombak pada saat upacara perkawinan.’ Kata pangawinan dikalangan warga kasepuhan, memiliki makna yang lebih luas.
Dengan demikian kata ’kawin’ tercermin makna mempersatukan dua batin yang berbeda, dua pendapat yang berbeda, dua keinginan yang berbeda dari seorang laki-laki dan seorang perempuan menjadi satu tekad, satu jiwa, satu pendapat, satu keinginan, satu rasa dan satu tujuan, yaitu membina kehidupan yang sejahtera, dan harmonis lahir batin. Sikap dasar tersebut dinyatakan warga kasepuhan dengan ungkapan kata-kata ka cai jadi saleuwi kadarat jadi salebak atau ‘membina suatu kehidupan yang harmonis dalam satu kesatuan hidup rumah tangga
Pada hakikatnya bahwa dapat dipahami masyarakat Kasepuhan sebagai keturunan pancer pangawinan. Mereka anggap sebagai suatu ‘wangsit’ yang di ungkapkan dengan kata-kata sing saha nu bisa ngawinkeun langit jeung bumi, manusa jeung kamanusaanana, eta nu disebut pancer pangawinan.’ Barang siapa yang bisa mengawinkan bumi denga langit, manusia dengan kemanusiaannya, itulah namanya pancer pangawinan. Dan yang diamanatkan adalah Abah yang harus memegang akan Pancar pangawinan serta dapat legitimasi akan kepemimpinannya.
Abah dinilai oleh kalangan masyarakat Kasepuhan yang menjadi tuntunan karena memiliki (memegang) pancar pangawinan, tonggak kepemimpinan di kalangan masyarakat kasepuhan adalah bagaimana menjaga akan segala aturan (norma-norma). Yang menjadi kekuatan dalam masyarakat Adat adalah bagaimana menjaga akan aturan-aturan Adat yang berlaku sebagai kekuatan sosial
Pancar pangawinan pada saat sekarang ini menjadi klaim setiap kasepuhan yang ada, karena dari ketiga kasepuhan semuanya memerasa memiliki pancar pangawinan sehingga sangat mempengaruhi situasi lokal karena terjadi persaingan dalam kepemimpinan untuk mempengaruhi setiap masyarakatnya dan sangat mempengaruhi gaya kepemimpinan.
5. Abah Asep Nugraha (2002-sekarang) Ketika Abah asep sudah siap dan matang pada tahun 2002 karena
memang beliaulah yang berhak memimpin kasepuhan berdasarkan wangsit. Menurut Aki Ompi sebagai penasehat kasepuhan bahwa : Pas Usia Bapak Asep tos cekap sareng tos dianggap siap jadi abah di kasepuhan sirnaresmi, harita eta taun 2002, abah uum alim ngalepasken kapamimpinan abah-wamena ka bapak asep, tapi saterasna kaluar ti kasepuhan sirnaresmi sareng ngabawa paralatan pusaka kasepuhan teras ngadambel kasepuhan anyar nudi pasihan ngaran kasepuhan Cipta Mulya. Dina tanggal 20 Februari 2002 bapak asep nugraha dijadiken abah kasepuhan sirnaresmi, ayapun abah uum sukmawijaya ngadambel kasepuhan cipta mulya sareng ngabawa pusaka kasepuhan abah asep ngaikhlaskeun . Menurut abah asep bilih aya perselisihan sareng aya goyahna kasepuhan, teras abah uum sukmawijaya diperbolehkan nyien pusat pemerintahan kasepuhan anyar nu dipasihan namina kasepuhan cipta mulya. Artinya : pada Tahun 2002 ketika Usia Bapak Asep telah mencukupi dan dianggap siap menjadi Abah di Kasepuhan Sirnaresmi. Abah Uum tidak melepaskan kepemimpinan Abah-warnennya untuk diserahkan kepada Bapak Asep, tapi justru keluar dari kasepuhan Sirnaresmi dan membawa peralatan pusaka kasepuhan serta membuat kasepuhan baru yang diberi nama kasepuhan Cipta Mulya. Pada tanggal 02 Februari 2002 Bapak Asep Nugraha di nobatkan sebagai Abah di kasepuhan Sirnaresmi dan adapun Abah Uum Sukmawijaya telah membuat kasepuhan Cipta Mulya serta membawa segala benda pusaka kasepuhan Abah Asep mengikhlaskan saja, karena menurut Abah Asep di takutkan adanya perselisihan dan mengakibatkan goyahnya kasepuhan, dan Abah Uum Sukmawijaya di perbolehkan membuat pusat pemerintahan kasepuhan baru yang diberi nama kasepuhan Cipya Mulya.
Namun abah Uum belum mau menyerahkan kepada abah asep. Abah Uum pindah ke atas atau cipta mulya dengan membawa semua peninggalan/pakayaan abah Ujat. Namun abah Asep legowo itu diterimanya.
Abah Asep Nugraha dilantik secara adat untuk menjadi pemimpin kasepuhan pada tanggal 02 Februari 2002. Dimasa kepemimpinan Abah Asep Nugraha sejak tahun 2002 beliau dilantik dan karena telah mewariskan akan perpecahan (pada kepemimpinan abah Ujat); namun di zaman Abah Asep tersebut Kasepuhan terpecah menjadi 3 (tiga) kasepuhan yang di antaranya Kasepuhan Sinar Resmi, Kasepuhan Cipta kelar, dan Kasepuhan Cipta Mulya. Untuk adat yang telah terpengaruhi oleh teknologi dan arus modernisasi atu menerima perubahan itu dimulai sejak abah Ujat memimpin kasepuhan sedangkan untuk para pemimpin kasepuhan sebelum Abah Ujat, para abah masih menjaga kemurnian adat kasepuhan.
Proses terjadinya perpecaan ini ketika zaman Abah Ujat sudah ada dua kasepuhan dan di masa Abah Asep ini menjadi tiga karena pas waktu muda Abah Asep berada di bogor melaksanakan kuliah (tidak menamatkan) lalu bekerja di Jakarta serta tergolong masih muda walau menapatkan wangsit guna menggantikan Abah Ujat (setlah Abah Ujat Wafat) namun ketika itu Abah Asep masih tergolong muda (belum memenuhi usia guna menjadi Abah). Sehingga terjadi kepemimpinan sela, akan tetapi ketika Usia Abah Asep sudah memenuhi syarat tapi Abah Uum tidak melepaskan jabatan Abahnya tapi kemudian keluar dari kasepuahan Sirnaresmi dan kemudian membuat kasepuahan Cipta Mulya.
Pada periode kepemimpinan Abah Ujat dan Abah Asep yang sudah menetap di satu wilayah yaitu kampung Sirnaresmi sehingga nama kasepuhannya disesuaikan dengan nama lokasi yang ditempati. Wilayah Sirnaresmi tersebut dahulunya pernah dipakai pada kepemiminan Abah Arjo, kalau melihat aturan leluhur pada tatali paranti karuhun menurut Uwa Ugis hal tersebut tidak di bolehkan, berikut dihasil kutipan wawancara dengan Uwa Ugis :
Kalau mengacu pada seluruh aturan para buyut tentang bagaimana etika pemimpin dalam melaksanakan segala kepemimpinannya harus sesuai dengan tatali paranti karuhun, karena didalamnya mengatur bagaimana wangsit itu datang dan yang mengetahui hanya Abah serta Dukun secara supranatural. Amanat Abah Jasiun yang tentang jangan berebut dalam kekuasaan yang tertuang dalam “Ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang tapiana”
(jangan bertinggi-tinggi berdiri, dan jangan saling mendahului/berebut dalam kekuasaan) hal itulah yang muali terkikis mulai kepemimpinan Abah Ujat bagaimana beliau menjadi Abahnya, serta Abah Asep yang mulai memudarkan segala aturan-aturan yang ada kalau Abah Asep mengamalkan Amanat Abah Jasiun “Kudu hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal ngangsurn” (harus memelihara persaudaraan dengan baik, bersikap baik kepada teman, berbicara dengan merendah), mungkin tidak mementingkan individu. Adapun tentang kaepuhan seharusnya tiap kepemimpinan ganti harusnya tempatpun harus pindah beberapa tahun kemudian kembali lagi itu dibolehkan atau mengganti nama kasepuhannya.
Walau Abah asep mengikhlaskan adanya kasepuhan baru karena ditakutkan adanya perselisihan yang akan mengakibatkan goyahnya eksistensi Kasepuhan maka Abah Uum diperbolehkan mendirikan Kasepuhan tersebut. Dan Kasepuhan Sirnaresmi di rubah namanya menjadi Sinar Resmi oleh Abah Asep Nugraha. Perkataan (petuah Abah Asep) yang tertanam di masyarakat adalah:
“Mangga bae arek make teknologi dan ikut modernisasi, asalkan teu ngaganggu jeung ngarusak kana tatanen/pertanian (ngahuma) anu puguh disakralkeun baheula sampe ayeuna” kata aki Amil.
“ silahkan saja menggunakan teknologi dan mengikuti modernisasi, yang penting tidak mengganggu dan merusak pada pertanian yang sudah disakralkan dari dulu sampai sekarang”
Berdasarkan kesaksian aki Ompi semasa beliau mengalami dipimpin oleh
pemimpin kasepuhan berdasarkan wangsit yaitu Abah Jasiun-Abah Rusdi-Abah Ujat-Abah Asep. Untuk pemimpin kasepuhan sebelum abah Jasiun belum
didapatkan informasi yang akurat, dimungkinkan sebelum dan sampai dengan tahun 1937 belum ada teknologi yang memadai kalaupun ada sangat berbenturan dengan adat yang masih sangat kental sehingga sulit mendapatkan gambar ataupun raganya. Selain itu untuk saksi sejarah diwaktu itu sekarang telah tiada untuk menceritakan kepada turunannya. Dan menurut abah Asep N bahwa “para karuhun nu heula mah Ninggalnya heunteu ninggalkeun raga”
Masa kepemimpinan Abah Asep Nugraha saat ini selalu mengajak incu-putuhnya menjaga akan keutuhan segala aturan yang berlaku, serta bila ada permasalahan selalu di selesaikan dengan jalan musyawarah untuk mufakat, karena selalu menerima masukan dari masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi.
Namun apabila menyangkut dengan aturan tentang pertanian Abah Asep tidak kenal kompromi harus seperti yang telah ada (sejak zaman nenek moyang) serta meurut masyarakatnya Abah Asep cenderung kurang transfaran didalam yang bersentuhan dengan finansial (hasil kegiatan) dan pada aturan prilaku masyarakat di kalangan keluarga Abah justru yang sering melanggar aturan yang ada, akan tetapi Abah Asep belum pernah menengurnya.
Pada masa kepemimpinan Abah Asep Nugraha selalu berkaitan dengan adat adapun persitiwa-peristiwa penting tersebut :
Peristiwa Reformasi Otda Pemilu Lokal
Terjadi pergulatan dengan perum perhutani tentang hak tanah hulayat.
BPN memberikan sertifikat tanah pada masyarakat Desa Sirnaresmi dan yang di utamakan untuk incu-putuh kasepuhan, sebanyak 40 sertifikat tanah.
Banyak para tokoh politik mendatangi abah untuk meminta dukungan masyarakat kasepuhan agar menjadi pemimpin baik daerah maupun pusat.
Kasepuhan Sinar Resmi pecah menjadi 3 (tiga) kasepuhan, jadi kasepuhan Sinar Resmi, Cipta Mulya dan Cipta Gelar
Pertobatan incu-putuh Kasepuhan ketika seren
taun.
Tantangan dan Harapan Kepemimpinan “Abah” di Kasepuhan Sinar Resmi Masyarakat Kasepuahan Sinar Resmi menilai setiap kepemimpinan para
Abah selalu bervariasi semenjak kepemimpinan Abah Djasiun sampai pada masa kepemimpinan Abah Ardjo segala norma-norma Kasepuhan masih sangat kuat hal tersebut karena arus moderenisasi yang masih minim serta kondisi Bnagsa Indonesia yang baru merdeka.
Namun ketika kepemipminan Abah Udjat Aturan Adat sudah mulai kendur. Karena sebelum jadi Abah di Kasepuhan, bapak Udjat pernah menjadi Kepala Desa Sirnaresmi selama 2 (dua) tahun. Dan di masa tersebut politik mulai menjamah di kehidupan Kasepuhan, dan pada masa kepemimpinan Abah Asep Nugraha nuansa politik itu kian mengental. Sebenarnya incu putuh harus mengetahui sedikitnya tentang saikat sabeungkeutkan yang artinya atau mengikat segala aturan dan tuturan yang ada di kasepuhan. Dukun sering berdiskusi dengan abah mengenai permasalahan masyarakat yang ada yang melanggar adat dan meminta ketegasan abah, namun jawaban abah “engke oge karasaan kumanehna” dan dimana adanya 40 usulan/ laporan dari orang yang berbeda akan disetujui sebagi aturan yang akan diterapkan dikasepuhan.
Tantangan kasepuhan pada saat sekarang ini adalah bagaimana menjaga eksistensi kasepuhan, dan peran pemerintah yang terkait kebudayaan, untuk memotivasi masyarakat adat khususnya kasepuhan sebagai pemimbing karena melihat potensi yang ada dari kasepuhan serta memfungsikan dengan benar undang-undang tentang adat.
Terhadap Abah yang harus dipertegas dalam hal budaya seperti kekhasan adat lebih ditekankan misalnya setiap orang yang berkunjung ke kasepuhan harus minimal menggunakan ikat kepala. Dan kedisiplinan pihak keluarga abah mencontohkan menggunakan menggunkaan pakaian adat yang diharuskan adat.
SEJARAH PERPECAHAN KASEPUHAN
(ciptarasa/ciptagelar-sinaresmi-cipta mulya) Diawali ketika kepemimpinan Abah Ardjo (1982-1985), dan Abah Ardjo tersebut mempunyai 2 (dua) orang istri serta dari kedua orang istri ini masing-masing mempunyai keturunan anak laki-laki lalu ketika Abah Ardjo (meninggal) mangkat/pupus Ardjo telah mengangkat Abah Entjup (lahir tahun 1966) anak pertama dari istri yang kedua menjadi pengganti Abah Ardjo karena memang mempunyai persyarakatan pemimpin di kasepuhan. Dan serta dapat disetujui (restui) pula oleh bapak Uum (kelahiran tahun 1939) dan Bapak Ujat (kelahiran tahun 1945) dari istri pertama Abah Ardjo. Pada tahun 1985 Abah Encup (anom) menjadi Abah di Ciptarasa menggantikan Abah Ardjo. Ketika kasepuhan di bahwa pemerintahan Abah Encup maka mencari tempat kasepuhan kembali (berpindah) ke daerah yang di anggap pas sesuai dengan wangsit. Dan di namai dengan Kasepuhan Cipta Gelar. Dan selang
beberapa bulan Bapak Ujat yang ketika Abah Ardjo masih hidup menjadi kepala Desa di Sinaresmi mendapatkan wangsit (menurut bapak Ujat dan sodaranya) untuk mendirikan kasepuhan di Sinaresmi, maka beliau menjadi Abah di Kasepuhan Sinaresmi1
1. Menikahkan anak keduanya (perempuan bernama irna) dengan orang china (waktu itu belum islam lalki-laki cinanya)
. Selama memimpin di Kasepuhan Sirnaresmi Abah Ujat banyak melanggar norma-norma Kasepuhan yang telah ada, adapun pelanggarannya adalah:
2. Dapat hadiah Anjing pekking dari menantu (chinanya) kemudian di pelihara di dalam imah Gede.
3. Kawin lagi tanpa persetujuan dari istri pertama. Sehingga beliau mendapatkan sakit (struk) dan ketika sakit tersebut di rawat oleh kakak pertamanya yang bernama Bapak Uum2
Sistem pertanian pada perinsifnya tidak ada perubahan yang signipikan, akan tetapi ketika perum perhutani memberlakukan gunung halimun sebagai taman nasional maka, ruang gerak Adat mulai terusik terutama di bidang pertanian (pemerintahan ini terjadi ketika abah Rusdi) dan pihak perum perhutani membuat keputusan sepihak dengan cara pihak Adat boleh saja menggarap tanah di kawasan gunung halimun tapi ketika panen harus membayar cukai sebesar 15% (keputusan KRPH kecamatan cisolok) 15% tersebut dari 100%. Contoh apabila hasil panennya 100 bengkeut maka 15 bengket harus disetorkan ke pihak KRPH
hingga akhir usianya. Karena anak pertama Abah Ujat masih kecil (Asep Nugraha) yang pada waktu itu belum mengerti akan arti Kasepuhan secara utuh. Sepeninggal Abah Ujat 2000 di gantikan Kasepuhan Sirnaresmi tersebut oleh Abah Uum, karena anak pertama Abah Ujat bapak Asep Nugraha masih ada di jakarta dan usia masih muda. Abah Uum sebagai pemimpin sela akan tetapi bila Abah Asep di anggap cukup usia maka kepemimpinan tersebut di serahkan ke pada anak pertama dari Abah Ujat yaitu Bapak asep Nugraha. Namun ketika tahun 2002 Abah Uum tidak bisa menyerahkan jabatan (jabatan sela) ke abah Asep maka Abah uum membuat kasepuhan sendiri yang di namai kasepuhan Cipta Mulya. Dan bapak Asep pada tahun 2002 tersebut dinobatkan sebagai Abah di Kasepuhan Sirnaresmi. Lalu sesuai dengan tradisi apabila kepemimpinannya berganti maka kasepuhan harus berpindah tempat atau ganti nama. Dan kasepuhan Sirnaresmi tersebut di ganti menjadi KASEPUHAN SINAR RESMI. Hingga sekarang. Wawancara dengan wa ugis (21 mei 2012)
SISTEM PERTANIAN DI KASEPUHAN
1 Nama sinaresmi sebetulnya pernah di pakai dlokasi tersebut ketika pemerintahan Abah Roesdi
(Abah kedua) di tanah Kasepuahan tersebut di desa sinaresmi. Dalam prspektif masyarakat Kasepuhan bahwa tempat yang pernah dipakai seharusnya tidak boleh ditempati kembali (karena akan mendapatkan musibah/kawalat/kabendon) dari para leluhurnya.
2 Kelak akan mempunyai kasepuahan
perum perhutani Cisolok. Dan masyarakat Kasepuhan hanya bisa pasrah. Hal ini tidak berlangsung lama ketika di awal pemerintahan Abah Arjo di setop karena katahuan oleh pihak pusat (perum perhutani). Namun di saat pemerintahan Abah Arjo ada intervensi lagi dari pemerintah pusat melalui dinas pertanian yang pada waktu itu ada program BIMAS dan INMAS. Pemerintah dengan segala cara memaksakan masyarakat adat agar memakai padi IR 63-64 karena di anggap lebih baik dari PADI lokal (padi kasepuhan) dan pola penanamannya pun dua kali serta menggunakan PUPUK KIMIA. Pada mulanya program pembangunan pertanian ini mendapatkan tantangan karena dinilai melanggar NORMA-NORMA ADAT tapi pemerintah tidak kehilangan akal dan membentuk KELOMPOK-KELOMPOK TANI di kasepuhan (kelompencapir) dan program pemerintah tersebut berhasil sehingga masyarakat tani kasepuhan ketergantungan terhadap pupuk kimia dan telah banyak membuat sawah (pola tanam di sawah bukan di humma/lahan darat) di jaman Abah arjo hanya 5% padi sawah dan di zaman Abah Asep sudah 30%. Sistem huma Huma merupakan bahasa lokal (bahasa sunda) artinya bertani padi di kawasan hutan (padi darat) yang hanya dilakukan penanamannya satu tahun sekali, karena sesuai dengan norma-norma yang ada di Kasepuhan agar menanam hanya satu kali yang didalam falsafahnya IBU BUMI, BAPAK LANGIT atau bumi di ibaratkan sebagai ibu yang hanya melahirkan anak hanya satu kali, maka berlakukanlah ibu dengan baik, dan langit yang bebberikan kehidupan kepada bumi berupa hujan guna menyuburkan tanaman terutama padi. Adapun di dalam sistem humma tersebut adalah sebagai berikut: No. Deskripsi Uraian dan pelaksanaan 01. Ngaseuk merupakan kegiatan menanam padi dengan
memasukkan benih ke dalam lubang dengan menggunakan aseuk (tongkat).
02. Beberes Mager ritual untuk menjaga padi dari serangan hama. Kegiatan ini dilakukan oleh pemburu di ladang Abah (ladang milik Kasepuhan) dengan membaca doa. Kegiatan ini dilaksanakan sekitar bulan Muharam
03. Ngarawunan ritual untuk meminta isi padi agar tumbuh dengan subur, sempurna dan tidak ada gangguan. Kegiatan ini dilakukan oleh semua incu putu untuk meminta doa kepada abah melalui bagian pamakayaan. Ngasrawunan dilakukan setelah padi berumur tiga bulan sampai empat bulan.
04. Mipit kegiatan memanen padi yang dilakukan lebih dulu oleh Abah sebagai pertBapak/Ibu masuknya musim panen
05. Nutu kegiatan menumbuk padi pertama hasil panen 06. Nganyaran: memasak nasi menggunakan padi hasil panen
pertama, dua bulan setelah masa panen.
07. Seren taun Seren-tahun merupakan puncak dari ritual pertanian
yang ada di kasepuhan yaitu memasukan hasil panen ke lumbung. (leuit si jimat) dari hasil panen tersebut tiap warga menyumbangkan padi minimal 2-5 (dua sampai lima) ikat (beungkeut) yang di rata-ratakan dengan setandar kilogram sebanyak 10-14,5 kg.3
Padi hasil panen dari masyarakat Adat tersebut selain buat di simpan di LEUIT SI JIMAT tersebut, juga ada yang namanya zakat 10%. (sekitar 10 ikat/beungket padi) Zakat tersebut di gunakan (seperti menggaji) para kelembagaan adat seperti dukun, paraji, maro, amil kampung dan lain sebagainya. Peraturan adat melarang masyarakat untuk memperjualbelikan beras sebagai makanan pokok, dan hasil olahan lainnya. Peraturan adat menganalogikan padi sebagai seorang wanita, yang apabila telah dikupas kulit padinya maka akan terlihat seperti seorang wanita yang tidak berpakaian. Jika beras diperjualbelikan, maka akan sama dengan memperjualbelikan harga diri seorang perempuan. Walaupun masyarakat dilarang untuk memperjualbelikan beras dan hasil olahannya, masyarakat masih diperbolehkan untuk menjual padi. Namun ada ritual khusus yang harus dijalankan, dan dengan syarat kebutuhan keluarga sudahm terpenuhi sampai panen padi Menurut abah :
“Beras tabu untuk diperjualbelikan, dan ini sudah ada di dalam peraturan adat. Kecuali, ada keluarga yang memiliki lumbung padi lebih dari satu, dan kebutuhan keluarganya telah tercukupi hingga panen berikutnya, maka keluarga tersebut dapat menjual padi, bukan beras. Keluarga tersebut harus melakukan ritual khusus jika ingin menjual padi, dan tidak dapat dilakukan secara terus menerus.”
Mata pencaharian selain peladang (huma) Masyarakat adat Kasepuhan, selain hidup dari pertanian padi, mereka juga hidup dari berkebun dan berternak. Talun atau kebun warga ditanami oleh tanaman pisang, jagung, kacang, sayur-sayuran dan tanaman buah-buahan. Selain itu, warga juga menanan pohon kayu-kayuan seperti mahoni dan albasia untuk keperluan kayu bakar dan membuat rumah, leuit (lumbung padi), dan sarana ibadah. Hasil kebun yang berupa buah-buahan dan sayuran dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti pakaian. Namun, untuk pohon kayu-kayuan tidak boleh dijual, hanya untuk kebutuhan kayu bakar dan pembangunan sarana
3 Sebelum diadakan seren-taun masyarakat kasepuhan mendatangi IMAH GEDE untuk
mengadakan ritual serah-ponggokan adalah melakukan tobat yang mempunyai salah ketika satu tahun hidup yang disesuaikan dengan mulai nanam sampai panen. Apa yang telah dilakukan masyarakat kasepuhan dan ritual ini dipimpin oleh Abah serta Dukun.
dan prasarana seperti membangun rumah, leuit (lumbung padi), dan sarana ibadah. Selain berkebun, masyarakat juga beternak ayam. Hampir semua warga memiliki kBapak/Ibung ayam di depan rumahnya.
Pengelolahan hutan. Kearifan masyarakat adat Kasepuhan dalam pengelolaan hutan diwujudkan dalam pembagian hutan menjadi tiga bagian, Leuweung tutupan, Leuweung titipan, dan Leuweung Bukaan. Leuweung tutupan adalah kawasan hutan alam yang dititipkan oleh leluhur untuk generasi mendatang, dan tidak boleh berubah keutuhannya, yang memiliki keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang tinggi dan termasuk dalam kawasan lindung karena fungsinya sebagai daerah resapan air (Leuweung sirah cai) dan pusat keseimbangan ekosistem. Kawasan ini tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena menurut adat manusia bukan termasuk makhluk hidup yang tinggal di hutan. Leuweung titipan adalah kawasan hutan yang boleh dimasuki oleh manusia atas seizin Abah, dan dengan tujuan untuk pengambilan hasil hutan kayu untuk kayu bakar dan membuat bangunan dan hasil hutan non-kayu berupa tanaman obat-obatan, madu hutan, rotan dan sebagainya. Jika ingin mengambil hasil hutan kayu dari hutan tutupan, masyarakat harus menanam kembali pohon sebagai pengganti pohon yang ditebangnya sesuai dengan jumlah pohon yang ditebang. Leuweung Bukaan adalah kawasan hutan yang telah dibuka sejak lama secara turun temurun dan digunakan untuk lahan garapan masyarakat, baik berupa ladang (huma), sawah, maupun talun (kebun). Lahan garapan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan papan (kayu) masyarakat adat. Selain itu, adapula leuweung awisan yang dipersiapkan untuk lokasi perpindahan pusat Kasepuhan yang merupakan usaha untuk mendekati lebak cawane (tujuan akhir perpidahan Kasepuhan) yang didasarkan pada petunjuk yang berkaitan dengan perubahan penting (uga) yang diperkirakan terletak di antara Gunung Bengbreng, Beser, Suren, Talaga, Herang, Halimun, Pangkulahan, Putri, Kasur, Salimbar, Bancet, Panyugihan, dan Surandil.
Hasil Wawancara di Kasepuhan Snar Resmi
1. “Padi hasil panen dari incu-putu tersebut, akan di serahkan kepada Abah sebanyak 2 sampai dengan 5 beungkeut (ikat) sebagai tatali. Tatali dapat diartikan sebagai ikatan satu sama lain dalam incu-putu Kasepuhan sebagai solidaritas sosial yang kuat. Padi yang telah diserahkan kepada Abah tersebut akan di simpan di lumbung kasepuhan disebut Leuit si Jimat, selain itu juga dikenakan zakat sekitar 10 ikat/beungket padi. Zakat tersebut di gunakan untuk keperluan (menggaji) para kelembagaan adat seperti Dukun, Paraji, Pamaro, Kokolot Lembur dan lain sebagainya. Walaupun dalam memberikan zakat tersebut tergantung hasil yang dicapai ketika panen padi dari setiap incu-putu.” (wawancara tentang hasil panen, sumber Bapak Bahari selaku amil Kaepuhan Sinar Resmi).
2. “Incu-putu mah tos pada gede, masa kudu disuruh-suruh ku Abah, kan Abah geus nyontokeun ngiringan shalat Jum’at, cuman incu-putu tacan ngarti mun solat Jum’at jeung solat lima waktu teh wajib”. (wawancara tentang Incu-putu yang sangat jarang melaksanakan peribadatan, sumber Bapak Ustadz Sulhi).
3. “Pergantian nama dari Kabuyutan menjadi kasepuhan, Abah Jasiun mendapatkan wangsit dari leluhur guna menjaga keutuhan segala aturan-aturan yang telah ditetapkan dari para buyut/leluhur. Hal tersebut diikuti dan ditaati oleh Incu-putu karena dinilai sebagai amanat dari para buyut/leluhur.” (wawancara tentang pergantian Kabuyutan menjadi Kaepuhan, sumber Abah Asep Nugraha).
4. “Mipit kudu amit, ngala kudu menta, nganggo kudu suci, mangan kedah nu halal, ngucap kudu kalawan sabenerna, kedah miara ucap, miara lampah, miara tekad” (Panen harus izin, ambil harus minta, menggunakan harus suci, makan harus yang halal, berkata harus apa yang sebenarnya, harus menjaga perkataan, menjaga kelakuan, menjaga tekad) “Nyaur kedah diukur, nyabda kedah diunggang-unggang bilih bekasna nyalahan” (Berbicara harus diukur, berkata harus ditimbang-timbang takut berbekas kesalahan) “Kudu hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal ngangsurn” (harus memelihara persaudaraan dengan baik, bersikap baik kepada teman, berbicara dengan merendah) “Ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang tapiana” (jangan bertinggi-tinggi berdiri, dan jangan saling mendahului/berebut dalam kekuasaan) (wawancara tentang amanat Abah Jasiun kepada Incu-Putu, sumber Uwa Ugis).
5. “Pas eta kasepuhan Sinar Resmi di handap kepemimpinan Abah Rusdi pihak Dinas Agama Kabupaten Sukabumi sering dongkap ka Kasepuhan jeung selalu naroskeun tentang kayakinan ni dianut masyarakat Kasepuhan Agamana naon? Saha Pangerana (tuhan)?. Urang masyarakat Kasepuhan sering nagajwab bahwa urang teh Agamana Islam dan Gusti Alloh SWT eta Tuhan nu urang bacakeun upami selametan. Teras saha nu ngabacakeun?, teras dijawab, aya penghulu atawa dukun nu ngabacakeun atawa pamakayaan lamun diladang, nu nyieun pihak Kasepuhan tersinggung, tapi abah teu marah ka pemerintah. Malah bertindak sareng memindahkeun Kasepuhan ka Cigana. Dan sampe ayeuna, pihak Departemen Agama masih ngontrol tentang peribadatan Kasepuhan, terbukti ngirikmkeun ustadz ti Depag Kabupaten Sukabumi.” Artinya tuturan Dukun ketika Kasepuhan Sinar Resmi di bawah kepemimpinan Abah Rusdi pihak dinas Agama Kabupaten Sukabumi sering datang ke kasepuhan dan selalu menanyakan tentang keyakinan-kepercayaan yang dianut masyarakat Kasepuhan Agamana naon? Saha pangerana (tuhan) dan itu sering. Kami masyarakat Kasepuhan selalu menjawab bahwa kami ini beragama Islam dan gusti Alloh SWT itu tuhan Kami; tapi kemudian terus menekan hingga tentang kemenyan, do’a-do’a yang kami bacakan setiap selametan. Terus siapa yang membacakan lalu dijawab ada penghulu atau dukun yang membacakan atau pamakayaan kalu di ladang, yang membuat pihak Kasepuhan tersinggung, tapi Abah tidak marah kepada pemerintah tersebut, melainkan bertindak dengan memindahkan Kasepuhan ke Ciganas. Dan sampai dengan sekarang pihak Agama masih mengontrol tentang peribadatan Kasepuhan terbukti telah mengirim ustadz dari Depag Kabupaten Sukabumi. (Wawancara tentang keyakinan/kepercayaan yang dianut oleh Kasepuhan, sumber Bapak Punta sebagai Dukun Kasepuhan Sinar Resmi).
6. “Pada Tahun 1981-1982 terjadi konflik dengan pihak perhutani tentang tanah Adat dan sebagian tanah Kasepuhan dimiliki oleh Ferum-perhutani sebagai bagian Taman Nasional Gunung Halimun dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, perbedaan dalam hal legalisasi lahan Kasepuhan dengan pemahaman lahan versi pemerintah (Perhutani). Pada saat itu masyarakat banyak yang ditangkap karena dianggap mencuri kayu di lahan perhutani. Sehingga Abah Rusdi kembali memindahkan Kasepuhan ke Cikaret.” (wawancara tentang kepemilikan tanah adat, sumber Abah Asep Nugraha).
7. “Pas Abah Arjo memimpin Kasepuhan segala aturan adat dikuatkan kembali, dan incu-putupun merasa senang dengan hal itu, Abah arjo sangat tegas pas memimpin. Dan abah arjo mempunyai 2 (dua) orang Istri, kedua-duanya dari kalangan kasepuhan.”
(wanwancara tentang bentuk otoritarianisme pemimpin Kasepuhan Abah Arjo, sumber Bapak Dede Mulyana selaku panasehat Abah Asep Kasepuhan Sinar Resmi).
8. “ bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Abah Ujat adalah: a. Menikahkan anak keduanya (perempuan bernama irna)
dengan orang cina (waktu itu belum beragama Islam dari pihak laki-lakinya)
b. Dapat hadiah anjing pekking dari menantu (chinanya) kemudian di pelihara di dalam Imah Gede.
c. Kawin lagi tanpa persetujuan dari istri pertama.” (wawancara tentang pelanggaran norma-norma Kasepuhan yang dilakukan oleh Abah Ujat, sumber Bapak Martu sebagai Kokolot Lembur Sinaresmi).
9. Pas Usia Bapak Asep tos cekap sareng tos dianggap siap jadi abah di Kasepuhan Sirnaresmi, harita eta taun 2002, abah uum alim ngalepasken kapamimpinan abah-wamena ka bapak asep, tapi saterasna kaluar ti Kasepuhan Sirnaresmi sareng ngabawa paralatan pusaka Kasepuhan teras ngadambel Kasepuhan anyar nudi pasihan ngaran Kasepuhan Cipta Mulya. Dina tanggal 20 Februari 2002 Bapak Asep Nugraha dijadiken Abah Kasepuhan Sirnaresmi, ayapun Abah Uum Sukmawijaya ngadambel Kasepuhan Cipta Mulya sareng ngabawa pusaka Kasepuhan Abah Asep ngaikhlaskeun . Menurut Abah Asep bilih aya perselisihan sareng aya goyahna Kasepuhan, teras Abah Uum Sukmawijaya diperbolehkan nyien pusat pemerintahan Kasepuhan anyar nu dipasihan namina Kasepuhan Cipta Mulya. Artinya : pada Tahun 2002 ketika Usia Bapak Asep telah mencukupi dan dianggap siap menjadi Abah di Kasepuhan Sirnaresmi. Abah Uum tidak melepaskan kepemimpinan Abah-warnennya untuk diserahkan kepada Bapak Asep, tapi justru keluar dari Kasepuhan Sirnaresmi dan membawa peralatan pusaka Kasepuhan serta membuat Kasepuhan baru yang diberi nama Kasepuhan Cipta Mulya. Pada tanggal 02 Februari 2002 Bapak Asep Nugraha di nobatkan sebagai Abah di Kasepuhan Sirnaresmi dan adapun Abah Uum Sukmawijaya telah membuat Kasepuhan Cipta Mulya serta membawa segala benda pusaka Kasepuhan Abah Asep mengikhlaskan saja, karena menurut Abah Asep di takutkan adanya perselisihan dan mengakibatkan goyahnya Kasepuhan, dan Abah Uum Sukmawijaya di perbolehkan membuat pusat pemerintahan Kasepuhan baru yang diberi nama Kasepuhan Cipya Mulya.” (wawancara tentang kesanggupan Bapak Asep Nugraha sebagai Abah di Kasepuhan, sumber Aki Ompi penasehat Abah Asep Kasepuhan Sinar Resmi).
10. “Mangga bae arek make teknologi dan ikut modernisasi, asalkan teu ngaganggu jeung ngarusak kana tatanen/pertanian (ngahuma) anu puguh disakralkeun baheula sampe ayeuna, para karuhun nu heula mah Ninggalnya heunteu ninggalkeun raga” artinya silahkan saja menggunakan teknologi dan mengikuti modernisasi, yang penting tidak mengganggu dan merusak pada pertanian yang sudah disakralkan dari
dulu sampai sekarang, karena para pendahulu meninggalnya bukan meninggalkan raga tapi wangsiat” (wawancara tentang Perkataan atau petuah Abah Asep Nugraha setelah mengganti nama Kasepuhan dari Sirnaresmi menjadi Kasepuhan Sinar Resmi, sumber Amil Buhari).
11. “Abah Asep hanya tegas dalam urusan pertanian (huma) saja, akan tetapi kurang transfaran apabila bersentuhan dengan finansial seperti hasil kegiatan Mipit atau seren taun yang biasanya dapat kucuran dana dari Pemerintah Kabupaten Sukabumi dan sponsor. Serta dalam menegakan aturan adat Kasepuhan di kalangan keluarga Abah justru yang sering melanggar aturan yang ada, akan tetapi Abah Asep belum pernah menengurnya. Hal inilah yang membuat incu-putu selalu bertanya pada Dukun atau Kokolot Lembur.” (wawancara tentang pertanian Abah Asep, sumber Bapak Martu sebagai Kokolot Lembur Sinaresmi dan Bapak Punta sebagai Dukun Kasepuhan Sinar Resmi).
12. Kalau mengacu pada seluruh aturan para buyut tentang bagaimana etika pemimpin dalam melaksanakan segala kepemimpinannya harus sesuai dengan tatali paranti karuhun, karena didalamnya mengatur bagaimana wangsit itu datang dan yang mengetahui hanya Abah serta Dukun secara supranatural. Amanat Abah Jasiun yang tentang jangan berebut dalam kekuasaan yang tertuang dalam “Ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang tapiana” (jangan bertinggi-tinggi berdiri, dan jangan saling mendahului/berebut dalam kekuasaan) hal itulah yang muali terkikis mulai kepemimpinan Abah Ujat bagaimana beliau menjadi Abahnya, serta Abah Asep yang mulai memudarkan segala aturan-aturan yang ada kalau Abah Asep mengamalkan Amanat Abah Jasiun “Kudu hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal ngangsurn” (harus memelihara persaudaraan dengan baik, bersikap baik kepada teman, berbicara dengan merendah), mungkin tidak mementingkan individu. Adapun tentang Kasepuhan seharusnya tiap kepemimpinan ganti harusnya tempatpun harus pindah beberapa tahun kemudian kembali lagi itu dibolehkan atau mengganti nama Kasepuhan. (wawancara tentang kepemimpinan Abah Ujat dan Abah Asep yang sudah menetap di satu wilayah menurut aturan leluhur pada tatali paranti karuhun tidak di bolehkan, sumber Uwa Ugis).
13. “Ketika melanjutkan pendidikan di Bogor (perguruan tinggi) Bapak Asep
(belum menjadi Abah) kemudian tidak sampai lulus di perguruan tinggi tersebut, tetapi pemikiran bapak Asep sangat baik (cerdas) dalam tingkat Kasepuhan dan desa Sirnaresmi. Sehingga beliau banyak menjalin hubungan dengan para politisi Kabupaten Sukabumi (lokal) dan hubungan dalam urusan ekonomi.” (wawancara tentang Abah Asep ketika mengikuti pendidikan Perguruan tinggi, sumber Bapak Dede selaku penasehat Abah).
14. “Tatali Paranti itu aturan adat nu aya di kasepuhan yang harus ditaati oleh incu-putu yang telah digariskan oleh leluhur serta incu-putu wajib mengetahui, tatali paranti itu menyangkut beberapa aspek seperti tata-cara huma (pertanian ladang kering), kehidupan beragama, serta bermasyarakat semuanya telah tertuang dalam Tatali Paranti. Tatali Paranti dapat dimaknai seperti tetali atau ikat yang selalu dipakai pada kepala incu-putu Kasepuhan dan apabila telah dipakai di kepala antara ujung ikat tersebut bertemu dan diikit kembali melingkar di kepala dan tidak akan ketemu ujungnya lagi. Jadi artinya segala aturan adat Kasepuhan itu harus dijunjung tinggi seperti ikat yang ada di kepala, karena itu adalah aturan yang telah ditetapkan oleh leluhur.” (wawancara tentang Tali Paranti,sumber Bapak Punta selaku Dukun Kasepuhan Sinar Resmi).
15. ”Setiap incu-putu wajib mentaati segala aturan yang ada di tatali paranti karuhun, karena merupakan aturan yang dibuat oleh para leluhur (adat-syara-nagara serta mukoha). Patokan hukum yang ada di tatali paranti karuhun tersebut agar selaras dengan hukum Agama (syara) dan menghargai pada hukum Negara (nagara) sehingga terjadi keselarasan dalam penegakan hukum (tidak terjadi tumpang tindih). Serta jangan sampai melanggarnya karena pasti akan mendapatkan kabendon.” (wawancara tentang Kandungan dalam tatali paranti karuhun, Abah Asep Nugraha).
16. Dalam Tatali paranti karuhun semua yang dilakukan oleh Abah dengan keluarganya tersebut jelas melanggar norma-norma yang ada yang akan membawa hal buruk bagi eksistensi Kasepuhan itu sendiri. Abah juga mulai berpolitik di luar pemerintahan Kasepuhan, dan berelasi dengan tokoh-tokoh elit politik di pusat. Kepemimpinan Abah juga dipertanyakan ketika terjadi pengalihan bantuan pupuk sebanyak 40 ton kepada “incu putunya”, kemudian dijual kembali untuk alasan kepemilikan kendaraan roda empat milik Abah dan keluarganya.” (wawancara tentang Perubahan gaya hidup, sumber Bapak Punta selaku Dukun Kasepuhan di Sinar Resmi).