Post on 21-Oct-2021
KEDUDUKAN NAFKAH DALAM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN PERKAWINAN DI INDONESIA DAN YAMAN
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
MUHAMMAD SULAIMAN
NIM. 1112044100055
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/ 2017 M
v
ABSTRAK
Muhammad Sulaiman, NIM 1112044100055, Kedudukan Nafkah dalam
Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia dan Yaman. Konsentrasi
Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/ 2017 M. Xii
+ 73 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan nafkah
menurut hukum perkawinan di Indonesia dan Yaman, apa yang mempengaruhi
pembentukan peraturan perundang-undangan hukum keluarga khususnya
kedudukan nafkah dalam hukum keluarga di Indonesia dan Yaman, bagaimana
persamaan dan perbedaan menurut peraturan perundang-undangan kedudukan
nafkah di Indonesia dan Yaman.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif yuridis, dengan meneliti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum
Islam, Undang-undang Qanun al-Usrah Tahun 1974. Dan bahan sekunder. yaitu
berbagai buku, majalah, surat kabar, dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang ada
hubungannya dengan judul yang dibahas dalam skripsi ini. Analisis data dalam
penelitian ini mengguakan analisis normatif, dengan membandingkan undang-
undang perkawinan Indonesia dan Yaman.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pembentukan perundang-undangan
perkawinan di Indonesia dan Yaman salah satunya karena latar belakang
sejarahnya. Pembentukan Pengaturan Perkawinan di Indoneisa tidak lepas dari
keterlibatan tiga kepentingan, yaitu kepentingan negara, perempuan dan agama.
Hasil penelitian menunjukan adanya perbedaan antara peraturan kedudukan
nafkah antara Indonesia dan Yaman diantaranya di Yaman bahwa kedudukan
nafkah bukan hanya kewajiban suami, tetapi merupakan kewajiban bersama,
sehingga kedua pasangan harus memberikan andil dalam mengupayakan
pembiayaan kehidupan rumah tangga mereka. Sedangkan di Indonesia bahwa
kedudukan suami adalah sebagai kepala keluarga, suami wajib melindungi
isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya. Faktor-faktor kenapa seperti itu diantaranya persamaan
hak antara laki-laki dan perempuan salah satu nya tertera pada Undang-undang
Qanun al-Usrah Tahun 1974 pasal 20 tentang kedudukan nafkah keluarga bahwa
yang berhak menafkahi keluarga bukan hanya kewajiban suami saja tetapi
keduanya baik isteri atau pun suami mempunyai kewajiban bersama untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Sedangkan Indonesia suami wajib
melindungi isterinya dan memberikan kebutuhan hidup keluarga sesuai dengan
kemampuannya yang tertera pada pasal 34 ayat 1 Undang-undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974 kebutuhan keluarga sepenuhnya dibebankan kepada suami.
Kata Kunci : Kedudukan Nafkah di Indonesia dan Yaman
Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, MA.
Daftar Pustaka : 1968-2015 Tahun
vi
KATA PENGANTAR
بسم الله ا لر حمن الر حيم
Puji syukur Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan
kenikmatan kesehatan jasmani kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Serta nikmatnya Iman dan Islam yang semoga kita selalu berada dalam
ridha-nya. Shalawat dan salam tak lupa kita curahkan kepada junjungan kita baginda
Nabi Muhamad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahilliyah menuju jaman
yang ilmiah seperti sekarang ini dan semoga kita mendapatkan pertolongannya di hari
kiamat kelak
Dengan ijin dan ridho Allah SWT, skripsi dengan judul “Kedudukan Nafkah
dalam Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia dan Yaman”
telah memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H)
dalam Program Studi Hukum Keluarga Konsentrasi Peradilan Agama Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selanjutnya penulis mengucapkan beribu banyak terima kasih dan
penghargaan yang setingi-tinginya kepada Ibu Dr Hj. Azizah, MA., selaku dosen
pembingbing Skripsi yang telah memberikan begitu banyak kontribusi berupa saran-
saran yang bersifat konstruktif, meluangkan banyak waktu dalam penyusunan serta
motivasinya dalam menyusun skripsi ini, serta tak lupa pula penulis mengucapkan
banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
vii
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Saefuddin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Abdul Halim, M.Ag dan Arip Purkon, MA, selaku Ketua dan Sekretaris
Prodi Hukum Keluarga Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Hj. Azizah, MA, selaku Dosen Pembimbing dan selaku dosen
Pembimbing Akademik. yang telah sabar membimbing penulis, memberikan
saran dan meluangkan waktunya hingga penulisan skripsi ini selesai.
5. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan ilmu dalam perkuliahan selama masa studi penulis.
6. Seluruh Staff dan Karyawan Perpustakan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas dalam studi
kepustakaan.
7. Untuk kedua orang tua tercinta, Ayahanda Yasir dan Ibunda Acih Sukarsih,
terima kasih atas segala kasih sayang dan perhatiannya. Doa-doa yang selau
dipanjatkan. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan kasih
sayang kepada mereka.
8. Kakak kandung Yusuf Husaini, Mila Karmila, serta kakak ipar Samsu, Triese
Imelda, serta keluarga besar (Alm) H. Umar (Alm) Hj. Tiyah (Alm) H.
Solihin (Alm) Hj. Aminah dan (Alm) Hj. Sadiah serta keluarga di Tnggerang
viii
dan Bogor, penulis mengucapkan terima kasih atas segala perhatian dan
dukungan baik materi maupun non materi.
9. Ust. Anton, Ust Hariri Hadromi yang selalu memberikan motivasi kepada
penulis dan memanjatkan do’a.
10. Keponakan mamang Ahmad Jakaria Husain dan Sultan Julkarnain terimakasih
sudah memberikan semangat dan selalu menghibur penulis dalam
menyelesaikan tugas ini. Dan semoga kelak penulis berharap kalian bisa
menjadi orang yang berprestasi, cerdas, memiliki pengetahuan luas dan
menjadi kebanggaan orang tua.
11. Sahabat hati insya Allah pendamping hidup di kemudian hari Indah
Widiyaningsih, A.Md.Kep., yang selalu memberikan motivasi semangat
kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan ini, serta bantuan baik
materiil dan non materiil.
12. Teman-teman seperjuangan Hukum Keluarga angkatan 2012, terima kasih
sudah saling menyemangati dan berdiskusi selama empat tahun masa studi di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
13. Jejen Sukrilah Sanusi S. Sy., M. H., dan MBOW S.Pd terimakasih atas
bantuan nya dalam memberikan motivasi terhadap penulis.
14. A. Gojali Sahlan, A. Zarkasih, Pandi Darmawan, Endang Jayadi, kawan
seperjuangan dari SMP sampai di UIN terimakasih atas semangatnya terhadap
penulis.
ix
15. Rekan kelas keluarga besar Peradilan Agama B semoga kelak apa yang kita
cita-citakan tercapai dan semoga kita bisa selalu menjaga tali persahabatan ini
serta Aditia, A. Aly Royan, A. Faiq, Boby Gustiawan, Luthfan Adli, M.
Martin S.H, Ziyad M, Ropik, Faisal Kamal, Syahrul Ramadhani terimakasih
atas dukungan nya dan doa nya.
16. Keluarga Besar 13 IKAPMI UIN JAKARTA dan rekan alumni UQI di UIN
(IKAPMI UIN JAKARTA) Ikatan Alumni Pondok Modern Ummul Quro Al-
Islami.
17. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) Perak 2015 serta warga Desa
Caringin Kampung Cikalang, Kab, Bogor.
18. Serta rekan-rekan semuanya yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan penulisan ini mohon maaf tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu namanya dan semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan
menyertai keberkahan kepada kita semua.
Jakarta, 2 Januari 2017 M
3 Rabi’ul-Akhir 1438 H
Muhammad Sulaiman
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………….….... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………….… ii
SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN …………………………….. iii
LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………….… iv
ABSTRAK …………………………………………………………............. v
KATA PENGANTAR ………………….…………………………............. vi
DAFTAR ISI ………………………………………………………............. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………... 1
B. Identifikasi Masalah ………………………………….… 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………... 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………........... 6
E. Kajian (Review Studi Terdahulu) ……………………… 7
F. Metodologi Penelitian …………………………………. 10
G. Sistematika Penulisan …………………………………. 12
BAB II SEJARAH PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA ISLAM
DI INDONESIA DAN YAMAN
A. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia ……................... 15
1. Biografi dan Sejarah Islam di Indonesia ………….. 15
xi
2. Pembentukan Hukum Keluarga Islam di Indonesia dalam
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ……... 16
3. Reformasi Hukum Keluarga Islam di Indonesia …... 20
B. Sejarah Hukum Keluarga di Yaman ……..…………...... 22
1. Biografi dan Sejarah Islam di Indonesia …………... 22
2. Pembentukan Hukum Keluarga Islam Yaman dalam
Peraturan Perundang-Undangan di Yaman ………. 26
3. Reformasi Hukum Keluarga Islam di Yaman ……. 28
BAB III PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEDUDUKAN
NAFKAH DALAM PERKAWINAN DI INDONESIA DAN
YAMAN
A. Nafkah Menurut Ulama Mazhab dan Permasalahannya 31
1. Pengertian Nafkah ……………………………….. 31
2. Dasar Hukum Nafkah ……………………………. 33
3. Kewajiban Suami Memberikan Nafkah Keluarga . 36
4. Prinsip Kesetaraan Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam
Islam ……………………………………………... 42
B. Kedudukan Nafkah Menurut Peraturan Perundang-Undangan
Hukum keluarga Islam di Indonesia …………………. 44
C. Kedudukan Nafkah Menurut Peraturan Perundang-Undangan
Hukum Keluarga Islam di Yaman …........................... 46
xii
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN KEDUDUKAN NAFKAH
DALAM PERKAWINAN DI INDONESIA DAN YAMAN
A. Segi-Segi Persamaan Kedudukan Nafkah di Indonesia dan
Yaman ……………………………………………….. 52
B. Segi-Segi Perbedaan Kedudukan Nafkah di Indonesia dan
Yaman ……………………………………………….. 55
C. Analisis Perbandingan Kedudukan Nafkah di Indonesia dan
Yaman ……………………………………………….. 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………….. 66
B. Saran ……………………………………………….... 70
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 71
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nafkah adalah pemberian dari suami yang diberikan kepada isteri setelah
adanya suatu akad pernikahan. Nafkah wajib karena adanya akad yang sah,
penyerahan diri isteri kepada suami, dan memungkinkan untuk terjadinya bersenang-
senang. Syari’at mewajibkan nafkah atas suami kepada isterinya. Nafkah hanya
diwajibkan atas suami karena tuntutan akad nikah dan karena keberlangsungan
bersenang-senang sebagaimana isteri wajib taat kepada suami, selalu menyertainya,
mengatur rumah tangga, mendidik anak-anaknya.1
Memberikan nafkah disini adalah semua macam belanja yang dikeluarkan
oleh seseorang untuk memenuhi keperluan hidup suami, isteri, dan anak-anaknya.2
Dasar hukum memberi nafkah terhadap keluarga wajib atas suami, berdasarkan nash-
nash Al Qur’an, Hadits Nabi dan Ijma Ulama. Hal tersebut dijelaskan didalam QS.
An-Nisa ayat 34:
ل الله بعضهم على بعض وبما أوفقىا مه أمىا لهم امىن على الىساء بما فض الر جال قى
( 43) الىساء :
1Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat (Jakarta : Amzah, 2009), h. 212-
213.
2Muhammad Tholib, Ketentuan Nafkah Isteri dan Anak,Cet 1, (Bandung, Irsyad
Baitus Salam 2000), h. 19.
2
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (Q.S An-Nisa :
34).
Kedudukan suami dalam keluarga adalah sebagai kepala keluarga. Suami
wajib memberikan nafkah baik berupa rumah, sandang, maupun pangan, dan isteri
berperan sebagai ibu rumah tangga yang mengatur keuangan dalam rumah tangga
yang diperoleh dari nafkah yang diberikan oleh suami kepada isteri. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 79 Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi : “(1) Suami adalah
kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga; (2) Hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dengan masyarakat.3
Sedangkan pengaturan nafkah dalam UU Perkawinan No 1 tahun 1974 kita
dapat melihatnya dalam pasal 34 ayat (1) yang berbunyi: Suami wajib melindungi
isterinya dan memberi segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.4 Kewajiban yang lain suami terhadap isteri yaitu memberikan
tempat tinggal yang layak bagi isteri, sesuai dengan kemampuan suami. kewajiban
seorang suami terhadap isteri diatur dalam Pasal 80 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam
adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangga, akan tetapi mengenai hal-hal
yang penting dalam urusan rumah tangga harus diputus oleh suami dan isteri. Pada
pasal 80 Kompilasi Hukum Islam ayat 4 ialah sesuai dengan penghasilannya suami
3Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung : CV. Nuansa Aulia,
2009), h. 25.
4Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di Indonesia
3
menanggung : a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; b. biaya rumah
tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; c. biaya
pendidikan bagi anak.5 Selain itu sebagaimana pada Pasal 81 Ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam : “Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-
anaknya atau bekas isteri masih dalam iddah.6 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
juga mengatur mengenai nafkah yaitu dalam Pasal 107 ayat (2) KUHper sebagai
berikut ; Setiap suami berwajib menerima diri isterinya dalam rumah yang ia diami.
Berwajiblah ia pula, melindunginya dan memberi padanya segala apa yang perlu,
sesuai dengan kedudukan dan kemampuannya.7
Ketentuan nash (kandungan makna dalam suatu lafazh atau teks dalil dari Al
Qur’an atau As Sunnah) menunjukan bahwa beban perekonomian keluarga
dibebankan kepada suami. Suami wajib memenuhi nafkah untuk isteri dan anak-
anaknya sesuai dengan kelayakan dan tingkat kemampuan yang di miliki. Suami
harus berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang dapat mencukupi
kebutuhan ekonomi keluarga. Di samping itu, perlunya peran seorang isteri untuk
memberikan dukungan terhadap suami dalam mencari rezeki, manusia harus bekerja
keras dan mengerahkan segala daya dan upaya.8 di sinilah letak seorang isteri untuk
5Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : CV. Nuansa Aulia,
2009), h. 80.
6 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, h. 26.
7Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
8Ridha Bak Najjad, Hak dan Kewajiban Isteri dalam Islam (Jakarta :Lentera
Basrimata, 2002), cet I, h. 106.
4
terus memberikan semangat agar suami bekerja secara maksimal dan memperoleh
hasil yang optimal.
Secara umum, baik fiqh klasik maupun hukum keluarga (Islam) modern
menetapkan bahwa nafkah adalah kewajiban suaminya dan merupakan hak isteri,
meskipun dalam batas tertentu isteri bisa membantu suaminya dalam mencari nafkah.
Menurut Undang-Undang Yaman Qanun al-Ushrah ( Family Law ) Tahun 1974
pasal 17 dan 20, nafkah bukan hanya kewajiban suami, tetapi juga kewajiban
bersama, sehingga kedua pasangan harus memberikan andil dalam mengupayakan
pembiayaan kehidupan rumah tangga mereka.9 Bahkan biaya pernikahan saja,
masing-masing harus ikut menanggung pembiayaan. Penyimpangan dari ketentuan
ini dapat ditolerir bila salah satu dari pasangan tersebut memang tidak mampu ikut
menyumbang pembiayaan kehidupan mereka.
Dan pasal 29 ayat 1c menyatakan bahkan, bila kasus terakhir ini terjadi dan
pasangannya tidak dapat menerima keadaan ini, maka pengadilan dapat menceraikan
pasangan suami-isteri tersebut.10
Adanya perbedaan dalam kedudukan nafkah di
Negara Indonesia dan Yaman, menarik perhatian penulis untuk menelitinya, maka
studi ini menjadi penting dan menarik untuk dibahas. Oleh karena itu penelitian ini
akan di paparkan dalam bentuk skripsi yang berjudul : Kedudukan Nafkah dalam
Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia dan Yaman.
9 Undang-Undang Qanun al-Usrah Tahun 1974 pasal 17 dan 20.
10
Undang-Undang Qanun al- Usrah Tahun 1974 pasal 29 I.c.
5
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat diidentifikasikan
masalah-masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana konsep nafkah dalam Islam ?
b. Bagaimana kedudukan nafkah menurut al-Qur’an dan Hadits ?
c. Bagaimana kedudukan nafkah dalam perkawinan di Indonesia ?
d. Bagaiman kedudukan nafkah dalam perkawinan di Yaman ?
e. Bagaimana kedudukan nafkah menurut Ulama Mazhab ?
f. Apa yang melatar belakangi perbedaan mengenai nafkah dalam hukum
keluarga di Indonesia dan Yaman ?
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar dalam membahas skripsi ini lebih spesifik, maka penulis memberikan
batasan sesuai dengan judul yang diangkat pada penelitian ini yaitu menjelaskan
mengenai kedudukan nafkah dalam perkawinan yang berlaku di Indonesia dan
Yaman. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan diatas maka penulis ingin
menelusuri lebih jauh analisis perbandingan terhadap Peraturan Perundang-Undangan
hukum keluarga Indonesia dan Yaman.
6
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka
permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah tentang Studi Komparasi
Peraturan Perundanga-Undangan di Indonesia dan Yaman mengenai kedudukan
nafkah:
1. Bagaimana kedudukan Nafkah menurut peraturan perundang-undangan di
Indonesia dan Yaman?
2. Apa yang mempengaruhi terbentuknya Peraturan Perundang-Undangan
mengenai kedudukan nafkah dalam hukum keluarga di Indonesia dan Yaman?
3. Bagaimana persamaan dan perbedaan kedudukan Nafkah menurut peraturan
perundang-undangan di Indonesia dan Yaman?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui kedudukan nafkah menurut Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia dan Yaman.
b. Untuk mengetahui yang melatar belakangi terbentuknya Peraturan Perundang-
undangan mengenai kedudukan nafkah di Indonesia dan Yaman.
c. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan kedudukan nafkah menurut
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dan Yaman.
7
2. Manfaat Penelitian
a. Sebagai wujud kontribusi positif penulis terhadap perkembangan hukum
khususnya mengenai kedudukan nafkah dalam pernikahan di dunia Islam.
b. Penulisan skripsi ini diharapkan mampu mengembangkan pengetahuan,
menambah khazanah keilmuan di bidang hukum keluarga khususnya di
bidang kedudukan nafkah dalam pernikahan di dunia Islam.
c. Peneliti ini diharapkan menjadi pelengkap penelitian-penelitian sebelumnya.
d. Memberikan sumbangan kepada mahasiswa atau siapa saja yang konsen
dengan permasalahan ini.
e. Memberikan satu karya ilmiah yang bermanfaat bagi civitas akademika
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta secara khsusus, dan bagi masyarakat secara umum.
E. Review Studi Terdahulu
Dalam permasalahan kedudukan nafkah dalam hukum keluarga di dunia
Islam, ada beberapa hal yang menjadi rujukan penulis, yaitu telaah pustaka yakni
menelaah beberapa karya-karya ilmiah serta buku-buku yang ada kaitannya dengan
skripsi yang penulis bahas diantaranya :
1. KURANG TERPENUHINYA NAFKAH SEBAGAI ALASAN
PERCERAIAN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SELEMAN).
2006. Oleh Mohammad Husain dari UIN Sunan Kalijaga, dalam tesisnya
membahas mengenai perceraian karena kurang terpenuhinya nafkah. Hasil
8
dari tesis tersebut adalah bahwasanya kurang terpenuhinya nafkah bukan
merupakan alasan primer dalam perceraian. Adapun pertimbangan hakim
dalam memutus atau menyelesaikan perkara tersebut dikembalikan pada
akibat dari kurang terpenuhinya nafkah, yaitu berakibat tidak adanya
ketentraman, keharmonisan, dan kebahagiaan dalam membangun rumah
tangga, sering terjadinya perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus,
sehingga tujuan perkawinan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa tidak tercapai.
Adapun dasar hukum yang digunakan hakim dalam menyelesaikan gugatan
perceraian tersebut adalah Pasal 1 dan Pasal 39 ayat 2 Undang-undan No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 19 huruf f jo. Pasal 22 ayat 2
Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975
2. HAK NAFKAH BAGI ANAK HASIL HUBUNGAN DI LUAR
PERNIKAHAN ( STUDI TERHADAP FATWA MUI NOMOR : 11 TAHUN
2012). Oleh Fatchul Huda dari UIN Sunan Kalijaga. Dalam sekripsi nya
membahas mengenai hak nafkah bagi anak hasil hubungan di luar nikah. Hasil
dari skripsi tersebut adalah bahwasanya hak nafkah bagi anak hasil hubungan
di luar pernikahan tidak mempunyai hubungan nasab dengan laki-laki yang
menyebabkan kelahirannya yaitu bapaknya. Juga anak hasil hubungan di luar
pernikahan hanya mempunyai nasab, waris dan nafkah dengan ibunya dan
keluarga ibunya. Adapun kesimpulan Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan
fatwa tentang status anak zina serta perlakuan terhadapnya. Alasan yang
9
dipakai dalam mengeluarkan fatwa ini adalah pencegahan Sadd az-Zari’ah
(memotong jalan kerusakan). Dalam Islam sudah di jelaskan bahwa anak hasil
di luar pernikahan status keperdataannya hanya di jatuhkan pada ibu dan
keluarganya saja. Adapun dasar hukum yang di gunakan Majelis Ulama
Indonesia yaitu al-Qur’an dan Hadist.
3. TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMENUHAN NAFKAH
SUAMI KEPADA ISTERI DALAM PERKAWINAN USIA LANJUT DI
KELURAHAN AMPEL SURABAYA. 2015. Oleh M. Lukman dari UIN
Sunan Ampel Surabaya. Dalam skripsi ini di bahas tentang tinjauan hukum
Islam terhadap pemenuhan nafkah suami kepada isteri dalam perkawinan usia
lanjut di Kelurahan Ampel Surabaya. Hasil dari skripsi itu adalah bahwasanya
adanya dua pihak yang melakukan pernikahan, dengan alasan untuk
mencegah perbuatan zina. Pernikahan dilakukan dengan bawah tangan, yaitu
pernikahan dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sehingga beberapa
konsekuensi yang tidak sepenuhnya dapat dipenuhi oleh suami, seperti
tanggung jawab suami terhadap isteri (nafkah), yang mengakibatkan isteri
tidak dapat menuntut terhadap suami. Adapun kesimpulan menurut hukum
Islam bahwa suami wajib memberikan nafkah terhadap isteri, baik nafkah
lahir maupun batin. Pemenuhan nafkah dalam kasus pernikahan usia lanjut di
Kelurahan Ampel Surabaya ini dapat ditolerir dengan alasan bahwa ketentuan
dalam hukum Islam tidak mengatur tentang besar kecilnya pemenuhan
nafkah, hanya dikatakan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
10
Berdasarkan telaah pustaka terhadap karya-karya di atas maka sejauh
pengetahuan penulis belum ada yang meneliti topik yang penulis angkat yakni,
Kedudukan Nafkah dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam (Studi Komparatif
Peraturan Perundang-undang Perkawinan Indonesia dan Yaman).
F. Metodologi Penelitian
Metode adalah cara atau jalan, sehubungan dengan upaya ilmiah, maka
metode menyangkut masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk dapat memahami
obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Metode penelitian
mengemukakan secara teknis tentang metode-metode yang digunakan dalam suatu
kegiatan penelitian.11
Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa aspek metode penelitian yang akan
digunakan yaitu:
1. Jenis Penelitian
Penelitian skripsi ini sepenuhnya menggunakan metode penelitian
kepustakaan (library research) yaitu dengan meneliti peraturan Hukum Keluarga
yang berlaku di Indonesia dan Yaman dan juga meneliti berbagai buku, majalah, surat
kabar, dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang ada hubungannya dengan judul yang
dibahas dalam skripsi ini.
11Afifi Fauzi Abbas, Metode Penelitian, cet.I (Jakarta: 2010), h. 97.
11
2. Sumber dan Data Penelitian
a. Sumber Data
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Inpres Nomor 1
Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam. dan Qanun Ushrah (Family Law) Tahun 1974.
b. Jenis data
Ada dua jenis data yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini.
1) Data primer: yaitu data yang berasal dari Al-Qur’an, kitab hadits, Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Inpres Nomor 1 tahun 1991
Kompilasi Hukum Islam dan Qanun Ushrah (Family Law) Nomor 1 tahun
1974 dan buku fiqih mazhab yang membahas nafkah.
2) Data sekunder: yaitu data yang berupa dokumen-dokumen yang terdapat
dalam buku, majalah,surat kabar, jurnal ilmiah, internet, dan artikel yang
relevan dengan tema skripsi ini.
c. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah studi naskah dan
pustaka, yaitu dengan mengumpulkan data yang membahas tentang kedudukan
nafkah, undang-undang nafkah, syarat-syarat, serta kedudukan nafkah di negara
Indonesia dan Yaman.
Setelah data terkumpul dari berbagai sumber maka penulis akan memaparkan
data tersebut, kemudian penulis analisa. Secara teknis penulisan ini berpedoman pada
12
buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012”
d. Analisis Data
Adapun analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis
komparatif yaitu penelitian yang bersifat membandingkan. Penelitian ini dilakukan
untuk membandingkan persamaan dan perbedaan dua atau lebih fakta-fakta dan
sifat-sifat objek yang diteliti berdasarkan kerangka pemikiran tertentu.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
BAB per bab, dimana antara BAB yang satu dengan BAB yang lainnya memiliki
keterkaitan. Sistematika penulisan yang dimaksudkan, sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Dalam bab ini merupakan bab tentang pendahuluan yang merupakan suatu
pengantar umum pada penulisan skripsi ini berikutnya yang meliputi : latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review
studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II: SEJARAH PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI
INDONESIA DAN YAMAN
Pada bab kedua menjelaskan tentang sejarah pembentukan hukum keluarga
Islam di Indonesia dan Yaman. Bab ini penulis akan membahas pertama sejarah
hukum keluarga di Indonesia yang meliputi: biografi dan sejarah Islam di Indonesia,
13
pembentukan hukum keluarga Islam dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia, dan reformasi hukum keluarga di Indonesia. Dan yang kedua sejarah
hukum keluarga Islam di Yaman yang meliputi: biografi dan sejarah Islam di Yaman,
pembentukan hukum keluarga Islam dalam peraturan perundang-undangan di Yaman,
dan reformasi hukum keluarga di Yaman.
BAB III: PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEDUDUKAN
NAFKAH DALAM PERKAWINAN DI INDONESIA DAN YAMAN
Selanjutnya pada bab ketiga menjelaskan tentang peraturan perundang-
undangan kedudukan nafkah di Indonesia dan Yaman. Bab ini penulis akan
membahas pertama nafkah menurut para ulama mazhab dan permasalahannya yang
meliputi: dasar hukum nafkah, kewajiban suami memberikan nafkah keluarga, prinsip
kesetaraan hak dan kewajiban suami isteri dalam Islam. Dan yang kedua kedudukan
nafkah menurut peraturan perundang-undangan hukum keluarga di Indonesia, dan
yang ketiga kedudukan nafkah menurut peraturan perundang-undangan hukum
keluarga di Yaman.
BAB IV : ANALISIS PERBANDINGAN KEDUDUKAN NAFKAH DALAM
PERKAWINAN DI INDONESIA DAN YAMAN
Dalam bab keempat menjelaskan tentang analisis perbandingan kedudukan
nafkah di Indonesia dan Yaman. Bab ini penulis akan membahas pertama segi-segi
persamaan kedudukan nafkah di Indonesia dan Yaman. Yang kedua segi-segi
perbedaan kedudukan nafkah di Indonesia dan Yaman. Dan yang ketiga analisis
perbandingan kedudukan nafkah di Indonesia dan Yaman.
14
BAB V : PENUTUP
Pada bab ini akan disampaikan beberapa kesimpulan guna menjawab
beberapa pertanyaan yang mendasar dari permasalahan yang ada di dalam skripsi ini.
Tidak lupa penulis akan memberikan beberapa saran-saran yang di perlukan sebagai
catatan atas permasalahan dalam skripsi ini yang.
15
BAB II
SEJARAH PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA
DAN YAMAN
A. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia
1. Biografi dan Sejarah Islam di Indonesia
Negara Indonesia adalah merupakan negara kesatuan yang berbentuk
Republik dengan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar. Pancasila adalah dasar ideal negara yang menggambarkan
bahwa negara Indonesia adalah negara yang menghargai dan menghormati kehidupan
beragama.1
Indonesia terdiri dari kumpulan pulau yang jumlahnya terbanyak di dunia
(lebih dari 13.600 pulau) dihubungkan dengan dua samudera, yaitu Samudera Hindia
dan Samudera Pasifik. Juga dihubungkan oleh setengah bola dunia utara dan selatan.
Luas wilayah ini mencapai 1.919.440 km2, letaknya di Asia Tenggara. Pulau-pulau
terbesar adalah Sumatera, Jawa, Irian, dan Borneo (Kalimantan).2
Islam masuk ke Nusantara berasal dari benua India, daerah Gujarat dan
Malabar abad 12. Teori ini berlandasakan pada sejarah migrasinya orang-orang Arab
yang berMazhab Syafi‟i. Kedua daerah tersebut kemudian membawa ajaran Islam ke
1 Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan hukum Perkawinan di Dunia Islam
(Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009), h. 183.
2Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar Media, 2003), h. 508.
16
Nusantara oleh pedagang-pedagang perantara yaitu pedagang Nusantara dan para
pedagang di Timur Tengah. Karena jalur perdagangan laut yang menghubungkan
Siraf di Teluk Persia, India, dan Cina sudah ada sejak abad 4, dan berkembang
menjadi jalur transportasi yang lebih besar di abad ke-7.3
Dalam negara Indonesia yang berdasar Pancasila dan mayoritas penduduknya
beragama Islam, ada konsekuensi bahwa hukum yang berlaku di Indonesia harus
tetap konsisten dengan dan dilandasi oleh nilai-nilai Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
[sebagai sila pertama Pancasila yang menyinari sila-sila lainnya], dan tetap
mengindahkan nilai-nilai hukum agama Islam. Sebaiknya hukum di Indonesia,
khususnya yang berlaku bagi umat Islam Indonesia, tidak boleh mengandung
ketentuan yang bertentangan dengan hukum Islam. Dengan demikian “di dalam
negara hukum Pancasila yang penting adalah hukum nasional yang sumber utamanya
adalah hukum Islam selain Pancasila.”4
2. Pembentukan Hukum Keluarga Islam di Indonesia dalam Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara yang secara konstitusional tidak
menyatakan diri sebagai negara Islam tetapi mayoritas penduduknya menganut agama
Islam. Sebagian hukum Islam telah berlaku di Nusantara sejak zaman kerajaan-
3 Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional (Jakarta: RMBooks, 2012), h. 22
4 Suparman Usman, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam
dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 126.
17
kerajaan Islam. Kemudian berlaku pada masa penjajahan kolonial Belanda hingga
zaman kemerdekaan. Secara yuridis, bagian hukum Islam telah dilaksanakan. Namun,
penerapan prinsip berangsur-angsur dalam pengundangan hukum Islam di Indonesia.5
langkah pemerintah ini dianggap progresif oleh kalangan umat Islam. Namun,
umat Islam juga melihat adanya kepentingan politik di balik pengundangan Undang-
Undang ini. Kepentingan tersebut tanpak jelas, misalnya, dari upaya pemerintah Orde
Baru mengurangi peran lembaga-lembaga Islam yang berada di luar kendali Negara.
Hal itu ditekankan oleh umat Islam karena pada saat yang sama, Orde Baru
memperkuat pemerintah sipil.6 Umat Islam pun tak bisa lagi membendung reaksi
mereka dan mereka melakukan demonstrasi secara besar-besaraan. Tidak kurang dari
700 perempuan dari berbagai kelompok, juga berates-ratus pemuda muslim,
menduduki lantai gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),7 ketika draf sedang
dibahas dan demonstrasi besar-besaran terjadi diluar gedung. untuk mengatasi
kekacauan ini, dilakukanlah lobi antara kelompok-kelompok muslim yang di wakili
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan pemerintah yang diwakili kelompok
militer.
Dalam lobi di capai sebuah kesepakatan penghapusan beberapa pasal tentang
aturan-aturan yang telah menjadi pemicu protes dan dipandang bertentangan dengan
5 Dedi Supriyadi & Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,
(Bandung: Pustaka Al Fikriis, 2009), h. 184.
6Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara (Yogyakarta : LKIS, 1999), h. 192.
7Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo,
2000) h. 118.
18
prinsip-prinsip Islam. Dengan dihapusnya beberapa pasal konterversial berikut,
Rancangan Undang-undang itu kemudian disahkan sebagai Undang-undang
Perkawinan di DPR pada 22 Desember 1973 dan ditetapkan sebagai Undang-undang
No1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.8
Kompilasi Hukum Islam , seterusnya disebut KHI, merupakan hukum materil
pengadilan dilingkungan peradilan agama di Indonesia, yang dikeluarkan melalui
instuksi Presiden pada 1991. KHI terdiri dari tiga bab : perkawinan, kewarisan dan
perwakafan, yang dikeluarkan 299 pasal. Bab tentang aturan perkawinan mencakup
19 masalah, termasuk dasar perkawinan, pertunangan, syarat dan ketentuan
perkawinan, mahar, larangan kawin, perjanjian perkawinan, perkawinan selama
hamil, poligami, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, hak dan kewajiban
perkawinan, harta kekayaan dalam perkawinan, pemeliharaan anak, perwalian,
terputusnya perkawinan, akibat putusnya perkawinan, rujuk dan idah. Bab tentang
kewarisan membahas lima masalah, termasuk ahli waris, bagian waris, masalah yang
dimunculkan „awl dan radd‟, wasiat dan hibah. Bab tentang perwakafan memuat
fungsi, syarat, prosedur dan pencatatan wakaf, tempat tinggal dan pengawasan hak
milik.
Perlibatan ulama juga dimaksud agar KHI lebih diterima oleh umat Islam.
Bustanul Arifin mengatakan bahwa dengan melibatkan ulama dari berbagai daerah,
umat Islam Indonesia akan merasa bahwa pendapat-pendapat ulama mereka didengar
dan dipertimbangkan. Keterlibatan mereka, menurut Bustanul Arifin, juga terkait
8Asep Saepudin Jahar.dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis, h. 16.
19
dengan kenyatan bahwa para ulama memiliki kecenderungan sendiri-sendiri dalam
merujuk kitab fiqih. Menyadari kenyataan ini, Bustanul Arifin dan anggota komite
lainnya bahkan memutuskan mengundang mereka ke seminar nasional untuk
membahas draf itu. Dia mengatakan bahwa keberhasilan dalam mengeluarkan KHI
bisa dikaitkan juga dengan adanya dukungan ulama terhadap peroyek pembuatan KHI
itu.9 Draf KHI itu pada dasarnya diselesaikan dan disetujui dalam seminar nasional
pada 1988. Kemudian, setelah Pengadilan Agama memperoleh hukum acara secara
formal pada 1988 dengan lolosnya Undang-Undang No.7/1989, pada 1991 KHI
ditandatangani presiden Soeharto, yang menandakan bahwa KHI harus diterapkan
sebagai hukum materil peradilan agama dan disahkan oleh instruksi presiden atau
Inpres No. 1/1991. Kekuatan hukum di balik KHI ini kemudian diikuti dengan
Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 154/1991, instruksi tentang penerapan KHI.
Inpres menginstuksikan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI
kedalam lembaga-lembaga pemerintah dan masyarakat, dan untuk melaksanakan
instuksi itu sebaik mungkin. Meskipun bukan Undang-Undang KHI memiliki dasar
hukum yang sangat kuat dalam Inpres. Menteri Agama mengeluarkan keputusannya
sebagai Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 154/1991 tentang pelaksanaan Inpres.
Instuksi presiden untuk menggunakan KHI itu sesungguhnya bukanlah sebuah
instuksi yang kuat, tetapi Keputusan Menteri Agama memperkuat Instuksi tersebut.10
9Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition, and Identity (Amsterdam : University Press,
2010), h. 86.
10
Asep Saepudin Jahar.dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis, , h. 22.
20
3. Reformasi Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Pembaharuan hukum keluarga di Indonesia bukan tanpa upaya awal dari
beberapa ahli hukum, baik ahli hukum Islam maupun adat, yang telah
memperkenalkan beberapa ide mereka. Terdapat beberapa ahli hukum yang dapat
dianggap sebagai peletak dasar atau ide pembaharuan yang sekarang kita lihat. Ahli
hukum yang sering disebut dalam hal ini adalah Hasbie Ash Shiddieqy dan Hazairin,
beberapa ahli hukum atau praktisi selain kedua ahli hukum tersebut yang dianggap
meneruskan dan bahkan mewujudkan ide-ide dasar tersebut adalah Munawir Syadzali
dan Bustanul Arifin.11
Ide-ide mereka kemudian mengantarkan pemerintah
melakukan upaya pembaharuan lewat apa yang menjadi trend sejak abad ke 19 di
berbagai Negara Muslim di dunia, yaitu Kodifikasi Hukum.12
Dua tujuan utama
pembaharuan hukum keluarga Islam adalah 1) meningkatkan status atau kedudukan
kaum wanita, 2) memperkuat hak-hak para anggota keluarga inti. Pembaharuan-
pembaharuan itu terjadi dalam tiga bidang: yaitu perkawinan, perceraian, dan
pewarisan.13
11 Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition, and Identity (The Amsterdam University
Press, 2010), h 76-79.
12
Asep Saepudin Jahar.dkk, Hukum Keluarga , Pidana & Bisnis, (Jakarta : Kencana
Prenadamedia Group, 2012), h. 11-12.
13
John J Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-
Masalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 364-365.
21
Jika ditelusri dengan seksama unsur-unsur yang tercipta dari upaya kodifikasi
hukum yang dilakukan oleh beberapa negara muslim di dunia ini. maka akan
ditemukan beberapa kesimpulan. Kesimpulan yang dikemukakan adalah :
a. Bahwa kodifikasi tersebut dipicu oleh tuntutan atau alasan yang krusial, yaitu
untuk memenuhi tantangan dan tututan legislasi modern
b. Bahwa dalam upaya ini, Negara-negara tersebut menggunakan metode-
metode yang beragam, yang semuanya bermuara pada tercapainya sebuah
kemaslahatan umat dan terealisasinya politik hukum
c. Bahwa kodifikasi menyebabkan tergantikannya aturan-aturan hukum terkait
beberapa masalah keluarga yang tertera dalam fikih klasik dengan aturan-
aturan baru yang sesuai dengan kondisi lokal masing-masing Negara.14
Undang-undang Perkawinan yang dirumuskan oleh Negara tersebut, jika
dilihat dari konteks sejarahnya, merupakan jawaban pemerintah terhadap kondisi
masyarakat yang menginginkan modernisasi dalam bidang hukum keluarga, selain
juga sangat erat kaitannya dengan politik pembangunan. Dari beberapa rumusan di
dalamnya dapat dilihat bagaimana undang-undang ini berusaha untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan mewujudkan proses modernisasi. 15
Hukum perkawinan
Indonesia merupakan penjabaran hukum perkawinan dalam Islam, terutama dalam
14 Asep Saepudin Jahar.dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis, (Jakarta : Kencana
Prenadamedia Group, 2012), h. 13-14.
15
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), h. 176.
22
kitab-kitab fikih konvensional. Maka, dapat disebutkan bahwa pembaharuan hukum
keluarga di Indonesia antara lain merupakan upaya memperbaiki status perempuan
dan kedudukan mereka di masyarakat, sehingga tidak jarang terjadi adanya
pembaruan hukum Islam yang ada di kitab-kitab fikih.16
B. Sejarah Hukum Keluarga di Yaman
1. Biografi dan Sejarah Islam di Yaman
Republik Yaman adalah sebuah negara di Jazirah Arab di Asia Barat Daya,
bagian dari Timur Tengah. Yaman berbatasan dengan Laut Arab di sebelah selatan,
Teluk Aden dan Laut Merah di sebelah barat, Oman di sebelah timur dan Arab Saudi
di sebelah utara. Orang-orang keturunan Arab di Indonesia sebagian besarnya berasal
dari Yaman.
Luas wilayahnya mencapai 536.600 . Jumlah penduduk pada tahun 2013
mencapai 24.400.000 jiwa. Pada tahun 2015 sekitar 25.956.200 jiwa. Islam
merupakan agama mayoritas di Yaman, terdapat sedikit orang yahudi. Hampir lebih
dari seperempatnya adalah pengikut Mazhab Syiah az-Zaidiyah. Pendapatan nasional
negara ini disandarkan pada pertanian yang mencapai 70% dari keseluruhan
pendapatannya. Biji kopi merupakan komoditas terbesar dari pertaniannya.
Yaman merupakan salah satu pusat peradaban tertua kawasan timur tengah.
Ibukota dan kota terbesarnya adalah Sana‟a. Wilayah Yaman mencakup lebih dari
200 pulau, pulau terbesarnya adalah Socotra, yang berada 354 km (220 mil) di
16 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, h. 180.
23
sebelah selatan pulau utama Yaman. Unifikasi Yaman terjadi pada tanggal 22 Mei
1990, yaitu ketika Yaman Utara bersatu dengan Yaman Selatan, membentuk
Republik Yaman.17
Pada abad ke-7 M, suku-suku Yaman memeluk Islam dan memainkan peran
utama dalam penaklukan Muslim di Timur Tengah, Afrika Utara dan Spanyol. Pada
akhir abad ke-12 M, Dinasti Ayyubiyah, yang berbasis di Mesir, mengambil alih
kekuasaan kedua Yaman dan daerah-daerah di sekitarnya. Setelah penaklukan
Ayyubiyah, Yaman dipegang oleh dinasti Ayyubiyah sampai wakil gubernur Yaman
memproklamasikan kemerdekaannya dari dinasti ini pada tahun 1229.
Memasuki awal abad ke-20, konstelasi politik dunia mengalami perubahan
yang cukup mencolok, terutama di negara-negara muslim Asia dan Afrika, yang
merupakan daerah koloni Barat. Peradaban dan pemikiran Barat modern, sedikit
banyak turut menentukan arah perkembangan negara-negara muslim pada masa
selanjutnya. Salah satu aspek yang tersentuh pembaharuan adalah pemikiran dan
pengembanan hukum keluarga Islam, yang semakin nyata setelah terbentuknya
negara-negara Islam baru yang meraih kemerdekaannya pasca Perang Dunia II.18
Pada masa sebelum kemerdekaan, pemerintah kolonial Ingggris telah
mengadakan peradilan yang antara lain menerapkan hukum Islam (syari‟ah) dalam
17 Artikel diakses pada 22 juli 2016 dari https://www.scribd.com/doc/211802430/BAB-II-
Tentang-Yaman.
18 M. Atho Muzhdar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern
(Studi Perbandingn dan Keberanjakan UU Modern dari kitab-kitab Fikih) (Jakarta: Ciputat Press,
2003), h. 65.
24
kasus-kasus yang melibatkan orang Islam dalam masalah keluarga, seperti
perkawinan, perceraian, kewarisan dan perwalian. Hanya saja, penerapan hukum
tersebut tidak meliputi seluruh wilayah Yaman secara utuh. Hanya di daerah
perkotaan saja hukum keluarga Islam dapat diterapkan sepenuhnya. Sedangkan di
daerah pedalaman (pegunungan) masih berlaku hukum adat dan suku masing-masing,
meskipun telah ada upaya untuk memberlakukan hukum sipil, hukum perburuhan,
hukum keluarga dan hukum pidana di seluruh wilayah negara.19
Hampir selama
seribu tahun, Jazirah Arab berada di belakang laju perkembangan Timur Tengah.
Ketika penaklukan bangsa Arab membuka era baru dalam peradaban Timur Tengah,
penaklukan tersebut melepaskan sebagian penduduknya, dan menempatkan Jazirah
Arab ini pada peranan marjinal dalam sejarah Timur Tengah. Dalam sistem imamah
di Yaman, Kesultanan Oman, dan Saudi Arabia, agama dan negara dikaitkan dengan
pola kaitan yang sangat kuat. Raja (penguasa) dipandang sebagai pimpinan agama
yang bertanggungjawab menerapkan nilai-nilai ajaran Islam. Di seluruh penjuru
wilayah Jazirah Arabia ulama memainkan peran penting sebagai penasihat politik
bagi para penguasa, sebagai pimpinan peradilan, sebagai pimpinan pendidikan Islam,
sebagai sumber nasihat moral dan otoritas politik baik ulama Ibadiyah, Zaidiyah
Syafi‟iyah, maupun Wahhabiyah.20
19 M. Atho Muzhdar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern
(Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari kitab-kitab Fikih), h. 69.
20 Ira Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian Ketiga, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1999), h. 183.
25
Orang-orang Utsmaniyah menguasai Yaman (untuk yang pertama kalinya)
pada masa antara tahun 945-1045 H/1538-1635 M. Mereka terus terlibat dalam
perang yang berlangsung terus-menerus melawan pemimpin Zaidiyyah sampai
mereka terusir. Inggris menguasai Aden pada tahun 1253 H/1837 M. Kemudian
orang-orang Utsmaniyah menguasai negeri itu kembali (untuk kedua kalinya).
Sebelum memeluk Islam, mereka adalah penganut agama Nasrani dan Yahudi. Pada
tahun 6 H/627 M, Rasulullah mengirimkan surat kepada penguasa mereka al-Harits
bin Abdu Kilal al-Himyari. Utusan raja Himyar kemudian menemui Rasulullah
kembali dan membawakan kabar keislaman mereka pada tahun 9 H.
Maka, Rasulullah mengutus Muadz bin Jabal untuk mengajarkan Islam
kepada mereka dan menjadi hakim di antara mereka. Kemudian Yaman tumbuh kuat
menopang agama ini dan menjadikannya sebagai salah satu sendi dari sendi-sendi
kehidupannya. Pada masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq tergabunglah ke dalam
pasukan Islam ribuan tentara dari mereka.
Pemimpin terakhir mereka adalah Muhamad Badr yang menghadapi kudeta
militer. Kudeta tersebut menginginkan negeri itu berganti menjadi Republik dengan
kepemimpinn Abdullah as-Salal pada tahun 1962. Maka, terjadilah peperangan antara
orang-orang kerajaan yang didukung Saudi Arabia, melawan orang-orang yang
menghendaki sistem Republik yang didukung oleh kekuatan Mesir yang disusupi
oleh Jamal Abdul Nashir yang masuk ke Yaman. Perang ini berakhir dengan
ditariknya kekuatan Abdul Nashir dari medan tempur pada tahun 1387 H/1967 M.
Sedangkan, Yaman Demokratik Selatan telah diduduki oleh penjajah Inggris pada
26
tahun 1253 H/1837 M. Kemudian diikuti oleh daerah-daerah lain yang jatuh ke
tangan Inggris. Negeri ini berada dalam penjajahan Inggris pada tahun 1388 H/1967.
Kemudian Komunis menguasai negeri ini. Presiden pertama mereka adalah Qahthar
Sya‟bi.21
2. Pembentukan Hukum Keluarga Islam Yaman dalam Peraturan PerUndang-
Undangan di Yaman
Dalam lintas sejarahnya Republik Yaman Selatan (Demokrat) mengalami
pasang surut, secara urut bentuk Negara tersebut berbentuk Negara persemakmuran,
Negara kerajaan dan terakhir sebagai Negara Republik. Sejak abad ke-19 Yaman
Selatan merupakan Negara jajahan atau merupakan Negara kolonial Pemerintah
Inggris tepatnya hingga tahun 1967 Republik Yaman Selatan masih berada dibawah
penguasaan dan dominasi Pemerintah Inggris.22
Negara Yaman juga berMazhab
Syafi‟i, bercorak pemikiran hukum, antara tradisional dan rasional, dasar pemikiran
hukum: Alquran, Sunnah, Ijmak dan Kias.23
Setelah Yaman Selatan merdeka tahun 1967 bentuk Negara menjadi Republik
Yaman Selatan – Dimanaa dalam konstitusi Nasional yang diumumkan pada
November 1970, mengungkapkan bahwa:
21 Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta:
Akbar Media, 2003), h. 473.
22
Den Heijer, Johannes, Syamsul Anwar, Islam Negara dan Hukum, (Jakarta : INIS,1993), h.
134.
23 Sadari, “Hak Perempuan Pasca Perceraian: Analisis Perbandingan Hukum Keluarga di
Indonesia dan Dunia”, Jurnal Hukum Vol. 12, no. 2 (November 2015): h. 223.
27
1. Islam sebagai agama resmi yang diakui Negara secara utuh hukumnya dan
bebas memeluknya serta akan mendapatkan perlindungan.
2. Negara menjamin/melindungi persamaan hukum laki-laki dengan
perempuan dalam seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, dan
kehidupan social.
3. Negara secara bertahap memberlakukan Hukum Perdata dan Hukum
Pidana.
Khusus mengenai hukum yang mengatur masalah keluarga pasca-kemerekaan
Republik Yaman Selatan, aturan hukum keluarga yang secara umum merupakan
translasi dari berbagai ketentuan asli yang hidup dan berkembang di sana,
diundangkan menjadi sebuah Undang-Undang resmi pada tanggal 5 Januari 1974
dalam bentuk Undang-Undang Keluarga (Qanun Al-Usrah – Family Law) Tahun
1974.24
Pada masa sebelum kemerdekaan, pemerintah kolonial Inggris telah
mengadakan peradilan yang antara lain menetapkan hukum Islam (syari‟ah) dalam
kasus-kasus yang melibatkan orang Islam dalam masalah keluarga, seperti
perkawinan, perceraian, kewarisan dan perwalian. Hanya saja, penerapan hukum
tersebut tidak meliputi seluruh wilayah Yaman secara utuh. Hanya di daerah
perkotaan saja hukum keluarga Islam dapat diterapkan sepenuhnya. Sedangkan di
daerah pedalaman masih berlaku hukum adat dan suku masing-masing, meskipun
24Tahir Mahmood , Personal Law In Islamic Countries; Jordan : The Code Personal Staus
1976,(New Delhi : India Time Press, 1987), h. 15-28.
28
telah ada upaya untuk memberlakukannya hukum sipil, hukum perburuhan hukum
keluarga, dan hukum pidana di seluruh wilayah Negara.25
Meskipun dalam beberapa ketentuan Syariah di berlakukan, pemerintah
Inggris tidak menghargai adanya perbedaan antara hukum syariah dengan hukum
adat, bahkan sering terjadi pemaksaan penerapan hukum adat yang bertentangan
dengan hukum syariah.26
Khusus tentang persamaan hak dan kewajiban antara laki-
laki dan perempuan, dalam hubungannya dengan rumah tangga (keluarga),
amandemen Undang-Undang tahun 1978 lebih menegaskan lagi bahwa Undang-
Undang yang berkenaan dengan hubungan kekeluargaan akan disusun atas dasar
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Tampaknya, isu-isu tentang
kesetaraan gender tidak sebatas sebagai wacana pemikiran dalam tataran ide, tetapi
sudah merupakan agenda aksi yang mesti dilaksanakan melalui peraturan yang
mengikat, yakni lewat Undang-Undang.27
3. Reformasi Hukum Keluarga Islam di Yaman
Reformasi hukum keluarga di negara-negara muslim merupakan contoh yang
baik untuk melihat sisi-sisi pembaharuan dalam Islam, mengingat reformasi hukum
keluarga merupakan salah satu tema reformasi Islam. Hal ini terkait dengan
25M. Atho‟muzhdar, Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
(Jakarta, Ciputat Press, 2003), h. 69.
26
Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Contries (New Delhi: Academy of Law and
Religion, 1987), h. 177.
27
M. Atho‟muzhdar, Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
(Jakarta, Ciputat Press, 2003), h. 71.
29
keberadaan hukum keluarga sebagai “jantung” hukum Islam. Hukum keluarga Islam
selama berabadabad diakui sebagai landasan utama bagi pembentukan masyarakat
muslim. Kajian Hukum Keluarga Islam terus berkembang karena persoalan-persoalan
yang muncul dengan kekuatan progressif di dunia Islam.28
Salah satu fenomena yang
muncul di dunia Islam pada abad 20 adalah upaya pembaruan hukum keluarga yang
dilakukan oleh Negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Hal ini
dilakukan sebagai respon terhadap dinamika yang menjadi tujuan dilakukannya
pembaruan hukum keluarga di dunia Islam, yaitu sebagai upaya unifikasi hukum,
mengangkatstatus perempuan, dan merespon perkembangan dan tuntutan zaman
karena konsep fiqh tradisional dianggap kurang mampu memberikan solusi terhadap
permasalahan yang ada.
Hukum yang berlaku di Republik Yaman setidaknya di pengaruhi oleh tiga
sistem sesuai pasang surut dan sejarah di Yaman. Yaitu sistem Hukum Kolonial
(British-India), Hukum Islam dan Hukum Tradisi Masyarakat Setempat (Urf). Hal
tersebut tidak jauh berbeda dengan sistem hukum perkawinan di Indonesia,
perjalanan dan kiprahnya tidak terlepas dan pengaruh sistem hukum sebelumnya.
Bahwa di Indonesia di pengaruhi oleh tiga sistem hukum, yaitu: Hukum Islam,
Hukum Barat (warisan penjajahan Belanda) dan Hukum Adat.29
28M. Atho‟ Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, h.
66.
29
Sadari. “ Hak Perempuan Pasca Perceraian : Analisis Perbandingan Hukum Keluarga di
Indonesia dan Dunia”, Jurnal Hukum Vol. 12, diakses pada tanggal 22 oktober 2016 h. 229
30
Setelah Yaman Selatan dan Yaman Utara bersatu, disahkan UU No. 20 Tahun
1992 tentang Personal Status. Dan disahkan Konstitusi Yaman pada 29 September
1994. Dalam konstitusi tersebut berbunyi bahwa Yaman adalah sebuah Negara
berdaulat Arab, dengan Agama Islam yang tidak dapat dipisahkan. Penduduk Yaman
adalah bagian dari bangsa Arab dan Islam. Pasal 2, Islam adalah agama resmi Negara.
Pasal 3 akan menjadi menyatakan bahwa keluarga adalah sumber dari segala Undang-
Undang. Pasal 23 menyatakan bahwa warisan diatur oleh syariah. Pasal 26
menyatakan bahwa keluarga adalah bagian dari masyarakat, agama sebagai pilarnya,
adat dan cinta tanah air. Dan pasal 31 menyatakan bahwa perempuan memiliki hak
dan kewajiban yang dijamin dan diatur oleh hukum syariah. Yaman juga bermazhab
Syafi‟i, bercorak pemikiran hukum, antara tradisional dan rasional, dasar pemikiran
hukum: Alquran, Sunnah, Ijmak dan Kias.30
Pemerintahan revolusioner yang
memerintah negara ini sejak kemerdekaannya telah membawa perubahan-perubahan
yang sangat mendasar dalam hukum keluarga. Pengadilan tingkat pertama di setiap
kabupaten memiliki yurisdiksi yang perkaranya terdiri dari perkara keluarga, perdata
dan pidana. Mahkamah Agung adalah pengadilan tertinggi banding yang
berkedudukan di Sana‟a yang memiliki delapan bidang yaitu, Konstitusi, Banding
Pemeriksaan, Kriminal, Militer, Sipil, Keluarga, Niaga, dan Administrasi.31
30Republik Decree Law No. 22 of 1992 Concerning Personal Status, Act. 15.
31
Anna Wurth, “Stalled Reform: Family Law In Post-Unification Yemen”, Islamic Law and
Society 10, no. 1 (March 2001), h. 13. Lihat pula pada Abdullahi A. An-Na‟im, Islamic Family Law in
a Chnging World: A Global Resource Book (London: Zed Books Led, t.t.), h. 145.
31
BAB III
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEDUDUKAN NAFKAH
DALAM PERKAWINAN DI INDONESIA DAN YAMAN
A. Nafkah Menurut Ulama Mazhab dan Permasalahannya
1. Pengertian Nafkah
Pengertian nafkah secara bahasa menurut Abdurahman al-Jaziri,1 ialah
pengeluaran atau belanja. Dari pengertian ini maka dapat dipahami bahwa nafkah
secara bahasa ialah belanja atau kebutuhan pokok yang diperlukan oleh orang-orang
yang membutuhkan. Bila nafkah itu dikaitkan dengan perkawinan, maka kata nafkah
itu dapat diartikan dengan biaya hidup yang diberikan suami kepada isteri dan
anaknya guna kelangsungan hidup mereka. Nafkah berarti “belanja”. Maksudnya
ialah sesuatu yang diberikan seseorang kepada isteri, kerabat dan miliknya sebagai
keperluan pokok bagi mereka. Keperluan pokok, seperti makanan, pakaian dan
tempat tinggal.2
Dalam terminologi fikih, fuqaha memberikan definisi nafkah sebagai biaya
yang wajib dikeluarkan oleh seseorang terhadap sesuatu yang berada dalam
1Abdurahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh „ala Mazahib al-Arba‟ah, (Beirut: Darul Kutub
Al-Ilmiyah, 2003), h. 553
2Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh , Jilid II (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam,
1984/1985), h. 184
32
tanggungannya meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan
termasuk juga kebutuhan sekunder seperti perabot kerumahtanggaan.3 Ada pula yang
secara khusus membatasi pengertian nafkah hanya pada tiga aspek pokok saja,
pangan (mat‟am), sandang (malbas), dan papan (maskan),4 bahkan lebih sempit dari
itu adalah pada mat‟am saja.
Keberadaan hukum nafkah dengan demikian adalah sebagai akibat dari
adanya sebuah beban tanggung jawab. Karena telah terjadinya sebuah akad, oleh
karena itu sebagian fuqaha mengibaratkan karakteristik hukum nafkah seperti
karakteristik hukum kafarat (menutupi sesuatu) yang menjadi sebuah kewajiban
sebagai akibat dari adanya beban pertanggung jawaban atas sebuah perbuatan. Selain
kesamaan tersebut, hukum nafkah juga memiliki tingkatan-tingkatan besaran
kewajiban menyesuaikan kemampuan pihak yang berkewajiban nafkah, sebagaimana
kafarat (menutupi sesuatu) yang menentukan pula tingkatan besaran kewajiban
menyesuaikan perbuatan apa yang menjadi penyebabnya.5
Dari beberapa pengertian nafkah tersebut dengan beberapa karakteristiknya,
maka nafkah dapat dirumuskan dalam pengertian kewajiban seseorang yang timbul
sebagai akibat perbuatannya yang mengandung beban tanggung jawab, berupa
3Abdurahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh „ala Mazahib al-Arba‟ah, (Beirut: Darul Kutub
Al-Ilmiyah, 2003), h. 260.
4Al-Hasfakiy, al-Durr al-Mukhtar,Jilid III (Beirut: Dar al-Fikri, 1386 H), h. 572
5Zakariyya Al Anshari, fathl al-Wahhab, Jilid II (Beirut: Dar Al Kutub Al-
Imamiyyah, 1418), h. 200.
33
pembayaran sejumlah biaya guna memenuhi kebutuhan baik pokok ataupun sekunder
terhadap sesuatu yang berada dalam tanggungannya itu. Adapun jumlah nafkah yang
diterima isteri tidak ada ketetapan yang pasti. Jumlah sandang dan pangan yang wajib
ditunaikan suami disesuaikan dengan kemampuan suami.6
2. Dasar Hukum Nafkah
Kewajiban suami sebagai kepala keluarga memang tidak terlepas dari
persoalan nafkah karena suami yang sekaligus sebagai ayah dari anaknya
berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada seluruh anggota keluarganya yang
terdiri dari isteri dan anak. Dasar hukum memberi nafkah terhadap keluarga wajib
atas suami, berdasarkan nash-nash Al Qur’an, Hadits Nabi dan Ijma Ulama. Hal
tersebut dijelaskan di dalam QS. An-Nisa ayat 34:
م ا ن بما أوفقا مه أم م الله بعضم عه بعض امن عه انىساء بما فض ) انىساء انر جال ق
:43 )
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (Q.S An-Nisa :
34).
Karena kelebihan fisik ini maka suami diberi kewajiban memberi nafkah dan
menyediakan tempat tinggal untuk istri dan anak-anaknya. Dari ayat di atas maka
dapat disimpulkan bahwa nafkah itu merupakan sebuah kewajiban yang harus
6Zakariyya al Anshari, Fath al‟ Wahhab, (Beirut: Dar Al Kutub al-Imiyyah, 1418),
Jilid II, h. 200.
34
diberikan oleh seorang suami terhadap isterinya. dan nafkah itu adalah sebuah
kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat.7
Para ahli fikih berpendapat bahwa nafkah anak itu menjadi kewajiban ayah,
berdasarkan firman Allah di atas. Sebab kewajiban memberi nafkah bagi ayah kepada
ibu yang sedang menyusui anak itu adalah untuk anaknya. Karena itu, kewajiban hal
ini berlaku selama anak masih kecil. Hal ini juga berlaku dalam hal nafkah anak-anak
yang sudah dewasa yang senantiasa menderita sakit. kewajiban ini tidak dililmpahkan
kepada orang lain, karena ayat tersebut merujuk kepada ayah.8
Seorang laki-laki jika menikahi seorang wanita, maka wajib baginya
memberikan nafkah. Karena para isteri mempunyai hak diberi nafkah oleh suaminya
yang seimbang dengan hak suami yang diberikan oleh isterinya, maka hendaklah
masing-masing menjalankan kewajibannya dengan cara yang makruf.
Dalam Hadis Rasullulah SAW di riwayatkan dari Aisyah RA :
ىد بىث عه س عطى عتبة عائشة أن ن ح . قانث ا رسل الله إن أبا سفان رجم شح
ندك بانمعر ل ل عهم . فقال خز ما كف ند إل ما أخزت مى ى ف.) راي ماكف
نبخر (9
7Syaikh Hasan Ayub, Fikih Keluarga, terjemah. M. Abdl Ghoffar E.M. ( Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2001), cet Ke-I, h. 383.
8 Muhammad Ali Manan, Mu’ammal Hamidy, Imron A. Terjemahan Tafsir Ayat
Ahkam Ash-Shabuni, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 2003), Cet ke-1, h. 295.
9
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram, (Bandung : PT al-Ma’arif, t.th ), h.
241.
35
Artinya : Dari Aisyah R. A berkata : Hindun binti Utbah istri Abu
Sufyan dating kepada Nabi Muhammad SAW, lalu mengatakan : “Hai
Rasulullah, bahwa Abu Sufyan itu orang kikir. Dia tidak memberikan kepada
saya yang mencukupi bagi saya dan anak saya, selain yang saya ambil dari
padanya secara sembunyi-sembunyi, dan ia tidak mengetahuinya. Maka,
adakah dosa bagi saya pada yang demikian itu” ? maka Nabi Muhammad
SAW bersabda : “Ambilah yang cukup untuk nafkahmu dan nafkah anak-
anakmu dengan baik”. (H. R. Bukhari).
Demikian syariat Islam telah menerangkan dengan cukup jelas dan bijaksana
tentang dasar hukum nafkah sebagai undang-undang yang telah ditentukan oleh Allah
SWT yang harus kita ikuti dan kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari agar dapat
membawa kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
3. Kewajiban Suami Memberikan Nafkah Keluarga
Al-Qur’an dan sunnah memerintahkan agar berbuat baik kepada wanita,
karena itu kewajiban suami untuk menempatkan isteri dalam kedudukan yang
sederajat serta bersikap baik kepadanya. Sebagai konsekuensi logis dari perintah
Allah itu, suami mempunyai tanggung jawab untuk memelihara isterinya. Hak isteri
untuk dipelihara tersebut dikuatkan dalam al-Qur’an dan Sunnah serta kesepakatan
para ulama dan pendapat masyarakat umum. Tak penting apakah isterinya itu
muslimah atau bukan, kaya atau miskin, kanak-kanak atau dewasa, sehat atau sakit. ia
memperoleh hak itu berdasarkan fakta bahwa dia telah menyerahkan dirinya untuk
berbakti kepada suaminya serta membatasi dirinya sendiri dalam peranannya sebagai
36
ibu rumah tangga, ataw bisa juga akibat adanya sebuah akad yang sah maka isteri
harus menjalankan kewajibannya sebagai isteri serta mentaati perintah suami.10
Tentang wajibnya nafkah, jumhur fuqaha sependapat atasnya. Hanya saja
mereka berselisih pendapat tentang empat perkara yaitu: tentang wajib nafkah, kadar
nafkah, orang yang berhak menerima nafkah, dan orang yang wajib mengeluarkan
nafkah.11
Agar seseorang isteri berhak menerima nafkah dari suaminya, di syariatkan
hal-hal sebagai berikut :
1. Telah terjadi akad yang sah antara suami dan isteri. Bila akad nikah mereka
masih diragukan kesahannya, maka isteri belum berhak menerima nafkah dari
suaminya.
2. Bila isteri telah siap melakukan hubungan suami isteri dengan suaminya.
Tanda telah siap ini bila isteri telah bersedia pindah rumah yang telah
disediakan suaminya dan hal itu telah dilaksanakannya. Atau karena sesuatu
hal suami belum sanggup menyediakan perumahan sehingga isteri masih
tinggal di rumah orang tuanya, isteri tersebut berhak menerima nafkah itu
selama kesediaan pindah rumah tetap ada. Dalam hal yang penting bagi
keduanya, ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan mereka.
3. Jika suami belum memenuhi hak-hak isteri, seperti belum membayar mahar,
atau suami belum menyediakan tempat tinggal sedangkan isteri telah bersedia
10Hammu’dah Abd al-A’ti, The Family Structure in Islam, Terjemah, Ans‟ari T;ayib,
“Keluarga Muslim”, (Surabaya: Bina Ilmu,1984), h.203.
11
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Beirut: dar al-Jiil, 1998), cet Ke-I, h. 518
37
tingal bersama atau isteri meninggalkan rumah suaminya karena merasa
dirinya tidak aman tinggal disana dan sebagainya, maka suami wajib memberi
nafkah isterinya, sekalipun isteri tidak memenuhi hak-hak terhadap suaminya.
Jika suami telah memenuhi hak-hak isterinya, sedangkan isteri tetap enggan
maka di saat itu isteri tidak lagi berhak menerima nafkah dari suaminya.
4. Karena keadaan suami belum sanggup menyempurnakan hak isteri, seperti
suami belum baligh, suami sakit gila dan sebagainya, sedang isteri telah
sanggup melaksanakan kewajiban-kewajiban, maka isteri tetap berhak
menerima nafkah dari suaminya itu. Sebaliknya jika isteri yang belum baligh
atau dalam keadaan gila yang telah terjadi sebelum perkawinan dan
sebagainya, maka dalam keadaan demikian isteri tidak berhak mendapat
nafkah dari suaminya.
Keterangan di atas sesuai dengan pendapat Sayyid Sabiq yang menyatakan
bahwa syarat bagi prempuan berhak menerima nafkah sebagai berikut:
1. Ikatan perkawinan sah;
2. Menyerahkan dirinya kepada suaminya;
3. Suaminya dapat menikmati dirinya;
4. Tidak menolak apabila diajak pindah ke tempat yang dikehendaki suaminya;
5. Kedua-duanya saling dapat menikmati.12
12 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 2, (Kairo: Dar al-Fath Li Al- A’lam Al-Araby,
1997), h. 228.
38
Keempat imam mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali sepakat
bahwa memberikan nafkah itu hukumnya wajib setelah adanya ikatan dalam sebuah
perkawinan. Akan tetapi keempat imam mazhab memiliki perbedaan mengenai
kondisi, waktu dan tempat, perbedaan tersebut terletak pada waktu, ukuran, siapa
yang wajib mengeluarkan nafkah dan kepada siapa saja nafkah itu wajib diberikan.
Keempat imam mazhab sepakat bahwa nafkah meliputi, pangan dan tempat tinggal.13
Adapun pendapat dari masing-masing fuqaha sebagai berikut:
1. Mazhab Hanafi
Menurut Mazhab Hanafi mencukupi nafkah isteri merupakan kewajiban
kedua dari suami setelah membayar mahar dalam sebuah pernikahan. Nafkah
diwajibkan bagi suami selama isteri sudah baligh. Mengenai jumlah nafkah yang
wajib dipenuhi oleh suami terhadap isteri disesuaikan dengan tempat kondisi dan
masa. Hal ini dikarenakan kemampuan antar satu orang dengan orang lain berbeda.
Pembedaan jumlah nafkah itu berdasarkan pada pekerjaan suami, jadi kadar atau
jumlah nafkah bisa berbeda-beda antara keluarga yang satu dengan lain. Pendapat
Mazhab Hanafi menyebutkan bahwa nafkah wajib diberikan kepada isteri yang tidak
nusyuz.14
Tetapi jika suami masih hidup dia tidak berada di tempat maka suami tidak
wajib memberikan nafkah kepada isteri.
13Abdur Rohman Al-jaziri, Fiqh ala Mazahib al-Arba‟ah, Juz 4, (Mesir: Al-
Maktabah Al-Tijariyyah Al Kubro, 1969), h.553.
14
Imam Qodzi Abu Walid Muhammad bin Ahmad, Bidayatul Mujtahid, juz 3,
(Beirut: Dar al fikr, t.t), h. 41.
39
2. Mazhab Maliki
Menurut Mazhab Maliki mencukupi nafkah keluarga merupakan kewajiban
ketiga dari seorang suami setelah membayar mahar dan berlaku adil kepada isteri.
Kalau terjadi perpisahan antara suami dan isteri, baik karena cerai atau meninggal
dunia maka harta asli isteri tetap menjadi milik isteri dan harta asli milik suami tetap
menjadi milik suami, menurut mazhab Maliki waktu berlakunya pemberian nafkah
wajib apabila suami sudah menggauli (berhubungan layaknya suami isteri) isterinya.
Jadi nafkah itu tidak wajib bagi suami sebelum ia menggauli isteri.15
Sedangkan mengenai ukuran atau banyaknya nafkah yang harus dikeluarkan
adalah disesuaikan dengan kemampuan suami. Nafkah ini wajib diberikan kepada
isteri yang tidak nusyuz. Jika suami ada atau masih hidup tetapi dia tidak ada di
tempat atau sedang berpergian suami tetap wajib mengeluarkan nafkah untuk
isterinya.16
3. Mazhab Syafi’i
Menurut Mazhab Syafi’I hak isteri sebagai kewajiban suami kepada isterinya
adalah membayar nafkah. Nafkah tersebut meliputi, pangan, sandang, dan tempat
tinggal. Nafkah wajib diberikan kepada isterinya yang sudah baligh. Sedangkan
mengenai ukuran nafkah yang wajib diberikan kepada isteri berdasarkan kemampuan
masing-masing. Adapun perinciannya yakni jika suami kurang mampu maka nafkah
15Imam Qodzi Abu Walid Muhammad bin Ahmad, Bidayatul Mujtahid, juz 3,
(Beirut: Dar al fikr, t.t), h. 41.
16
Imam Qodzi Abu Walid Muhammad bin Ahmad, Bidayatul Mujtahid, juz 3, h. 42.
40
yang wajib dikeluarkan setiap hari adalah 2 mud, menengah 1 ½ mud, dan jika suami
orang susah adalah 1 mud. Nafkah tersebut wajib diberikan kepada isteri yang tidak
nusyuz selama suami ada dan merdeka.17
4. Mazhab Hambali
Menurut Mazhab Hambali suami wajib membayar atau memnuhi nafkah
terhadap isterinya jika pertama isteri tersebut sudah dewasa dan sudah dikumpuli oleh
suami, kedua, isteri menyerahkan diri sepenuhnya kepada suaminya.18
5. Prinsip Kesetaraan Hak dan kewajiban Suami Isteri dalam Islam
Islam mewajibkan seorang suami memenuhi hak isteri dan juga kepada isteri
untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri. Hak suami, yang merupakan
kewajiban isteri, terletak dalam ketaatannya, menghormati keinginannya, dan
mewujudkan kehidupan yang tenang dan damai sebagaimana yang diinginkan. Hak
dan kewajiban tersebut penting untuk menjauhkan mereka berdua dari permusuhan
sehingga rumah tangga tidak menjadi tumbuh bagai di depan neraka jahim.19
Tampak Jelas bahwa secara prinsipil sebenarnya tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan prempuan didalam hak dan kewajiban. Tidaklah seorang prempuan
diletakan sebagai hamba bagi laki-laki karena sebenarnya keduanya baik laki-laki
17 Imam Qodzi Abu Walid Muhammad bin Ahmad, Bidayatul Mujtahid, juz 3,
(Beirut: Dar al fikr, t.t), h. 42.
18
Abdur Rohman Al Jaziri, Kitab al-fiqh „ala Mazahib al-Arba‟ah, Juz 4, (Mesir, Al
Maktabah Tijariyyah Al Kubro, 1969), H. 55.
19
Ali Yusuf As-Subki, Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika Ofseet, 2010), h. 144.
41
maupun prempuan dikuasai oleh Allah atau dibawah kekuasaan Allah sebagi pencipta
mereka. Kesimpulannya, Allah menetapkan hak dan kewajiban yang sama bagi kaum
laki-laki dan prempuan.20
Diferensiasi (persamaan) peran dalam rumah tangga berhubungan erat dengan
hak dan kewajiban suami maupun isteri dalam keluarga. Hak-hak yang dimiliki oleh
suami maupun isteri adalah seimbang dengan kewajiban yang dibebankan kepada
mereka. Menurut Wahbah al-Zuhaili, dasar dari pembagian hak dan kewajiban suami
maupun isteri ini adalah adat (urf) dan nature (fitrah) dan asasnya adalah setiap hak
melahirkan kewajiban.21
a. Hak isteri atas suami
Hak isteri yang harus di penuhi oleh suami terdiri dari hak kebendaan dan hak
rohaniah.22
1. Hak Kebendaan
a) Mahar
Dintara hak Material isteri adalah mahar (mas kawin). Pemberian
mahar dari suami kepada isteri adalah termasuk keadilan dan keagungan
20Muhammad Said Ramdhan al-Buthi, Prempuan Dalam Pandangan Hukum Barat
dan Islam, (Yogyakarta: Suluh Press, 2005), h. 11
21
Wahbah al-Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wa Adilatuhu, Juz 9, (Beirut: Dar Al-Fikr,
2006), h 20.
22
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid VII, terjemah Fiqh Sunah, (Bandung: Pt. Al
Ma’arif, t.t. ), h. 53.
42
Hukum Islam. Jika seorang isteri, maka di beri hak miliknya atas mahar
tersebut.
b) Belanja (nafkah)
Yang dimaksud dengan belanja (nafkah) di sini yaitu memenuhi
kebutuhan makan, tempat tinggal, pakaian, pengobatan isteri dan pembantu
rumah tangga jika ia seorang kaya. Hukum memberi belanja kepada isteri
adalah wajib.23
2. Hak Bukan Kebendaan (Rohaniah)
Diantara hak isteri sebagaimana yang telah disebutkan yang berupa
kebendaan itu ada dua macam yaitu mahar dan nafkah. Sedangkan hak isteri
yang lainnya adalah berwujud bukan kebendaan adapun hak tersebut yaitu:
a. Mendapat pergaulan secara baik dan patut;24
b. Mendapatkan perlindungan dari segala sesuatu yang mungkin
melihatkan nya pada suatu perbuatan dosa dan maksiat atau di limpa
oleh suatu kesulitan dan marabahaya. Mendapatkan rasa tenang, kasih
sayang, dan rasa cinta dari suami.25
c. Hak Suami Atas Isteri
23Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, JilidnVII, terjemah Fiqh sunah, (Bandung: Pt. Al
Ma’arif, t.t. ), h. 77.
24
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan di Indonesia antara fikih Munakahat dan
Undang-undang perkawinan, cet ke I, (Jakarta: kencana, 2006), h. 160.
25
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan di Indonesia antara fikih Munakahat dan
Undang-undang perkawinan, cet ke I, h. 161.
43
Adapun diantara hak suami atas isteri adalah sebagai berikut :
1. Isteri wajib mentaati suami selama dalam hal-hal yang tidak maksiat.
Isteri menjaga dirinya sendiri dan juga harta suaminya, menjauhi diri
dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suaminya, tidak
cemberut dihadapan dan tidak menunjukkan keadaan tidak disenangi
oleh suaminya.26
Yang dimaksud menjaga dirinya di belakang
suaminya adalah menjaga dirinya diwaktu suaminya tidak ada, tanpa
berbuat khianat kepadanya baik mengenai diri atau harta bendanya.
Seorang isteri harus mentaati serta berbakti dan mengikuti segala yang
diminta dan dikehendaki suaminya asalkan tidak merupakan suatu hal
yang berupa kemaksiatan.
2. Isteri tidak memasukkan orang yang dibenci oleh suaminya kedalam
rumahnya kecuali dengan izin suaminya, isteri wajib memelihara diri
dibelakang suaminya, terutama apabila suami berpergian, jangan
sekali-kali isteri melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan
kecurigaan suami, sehingga suami tidak merasa terbebani pikirannya
disaat diluar rumah.27
26Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 2, (Kairo: Dar al-Fath Li Al- A’lam Al-Araby,
1997), h. 5.
27
Al-Alamah Almarhum Al-Syaikh Muhamad Jamaludin Al-Dimasyiqi, Mau‟idhah
Al-Muminin, (Indonesia: Dar Ihya’ Al-kutub Al-Araby), Jilid I, h. 117.
44
B. Kedudukan Nafkah Menurut Peraturan Perundang-Undangan Hukum
Keluarga di Indonesia
Kewajiban yang dibebankan oleh Undang-undang ini terhadap suami adalah
kewajiban memberikan nafkah. Mengenai hak dan kewajiban suami isteri yang terdiri
dari 5 pasal yaitu: 28
Pasal 30
Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
Pasal 31
1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat.
2) Masing- masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32
1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2) Rumah tempat tinggal yang di maksud pada ayat (1) pasal ini
ditentukan oleh suami-isteri bersama.
Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
1) Suami wajib, melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing
dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.29
Pada bagian ketiga diatur kewajiban suami yaitu dalam pasal 80, yang terdiri
dari 7 ayat. Ayat-ayat yang merupakan pengulangan yaitu pasal 80 ayat (2) Kompilasi
28R. Subekti dan R. Tjitrosudiblo, KItab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
dengan tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang perkawinan.
(Jakarta: pradnya Pramita, 2014), h. 547-548.
29
R. Subekti dan R. Tjitrosudiblo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
dengan tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, h. 548.
45
Hukum Islam adalah pengulangan dari ketentuan pasal 34 ayat (1) Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sedangkan ayat-ayat yang lain merupakan
ketentuan baru yang belum diatur sebelumnya adapun yang diatur dalam kedua ayat
tersebut adalah: “Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya,
akan tetapi mengenal hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan
oleh suami isteri secara bersama.” Dalam pasal 80 ayat (3) dijelaskan pula: Suami
wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberikan kesempatan
belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Pada
pasal 80 ayat (4) lebih di jelaskan secara umum yaitu susuai dengan penghasilannya
suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri
dan anak.
Mengenai kewajiban suami terhadap isteri diatas. Kompilasi Hukum Islam
mengatur bahwa kewajiban dalam pasal di atas mulai berlaku sejak adanya tamkin
sempurna. Ketentuan ayat ini menjelaskan bahwa secara yusridis formal suami
berkewajiban memenuhi (pasal 80 ayat 4 huruf a) dan apabila isteri itu terikat oleh
perkawinan yang sah, dan isteri mempunyai kapasitas serta telah berperan sebagai
isteri.30
Apabila ia tidak berperan sebagai isteri, baik karena ia kurang atau tidak
mempunyai kapasitas untuk itu, atau ia mempunyai kapasitas dimaksud tetapi enggan
30Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV Akademika
Pressindo, 2007), h. 133.
46
berperan sebagai isteri maka kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepadanya
menjadi gugur karena isteri di kategorikan nusyuz. Ketentuan ini diatur dalam pasal
80 ayat 5 yaitu : Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila
isteri nusyuz. Kalau dalam pasal ini sikap isteri yang menyebabkan gugur hak nafkah,
maka dalam pasal 80 ayat (6) diatur bahwa isteri dapat membebaskan suami dari
kewajiban terhadap dirinya.31
C. Kedudukan Nafkah Menurut Peraturan Perundang-Undangan Hukum
Keluarga di Yaman
Mengenai kedudukan nafkah menurut undang-undang Yaman di jelaskan
pada pasal 17dan 20 :
Pasal 17
“Both the parties to the marriage shall contribute to the expenses of marriage
nd the requirements of the matrimonial home in conformity with their
respective re sources”
(“Keduanya dalam menyelenggarakan pernikahan masing-masing harus ikut
menanggung pembiayaan pernikahan dan syarat yang berhubungan dengan
perkawinan di sesuaikan dengan masing-masing lingkungannya”).
Penyelenggaraan pembiayaan pernikahan kedua pasangan harus ikut
menyumbang, jadi baik laki-laki dan prempuan dalam hal ini mereka harus berusaha
bersama dalam membiayai kebutuhan pesta dalam pernikahan.
Pasal 20
“The husband and the wife both shall bear the costs of their common life after
marriage. But if either party is unable to do do, the other party shall pay and
bear the expensesof married life”
31Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 132.
47
(“Nafkah bukan hanya kewajiban suami, tetapi merupakan kewajiban
bersama, sehingga kedua pasangan harus memberikan andil dalam
mengupayakan pembiayaan kehidupan rumah tangga mereka”)32
Hal ini berdasarkan persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan
prempuan secara ekstrim di terapkan dalam penyusunan undang-undang hukum
keluarga di Yaman. Ketentuan hukum ini lebih mengutamakan persamaan hak laki-
laki dan perempuan. Kedudukan nafkah keluarga baik suami maupun isteri harus
berlaku adil dalam memenuhi kebutuhan keluarga, masing-masing harus bertanggung
jawab dalam pembiayaan rumah tangga mereka. Begitu pula dengan penyelenggaraan
pernikahan masing-masing harus ikut menanggung. Penyimpangan dari ketentuan ini
dapat di tolerir bila salah satu dari pasangan tersebut memang tidak mampu ikut
menyumbang pembiayaan kehidupan mereka. Bahkan di pasal 29 ayat 1 menegaskan
bahwa:
Pasal 29 ayat 1
“Where the other party has since marriage been suffering - not known
to the aggrieved party – from adiscase medically certified to be incurable and
making it im possible to lead marital life”
(“Bila kasus terakhir ini terjadi dan pasangan tidak dapat menerima
keadaan ini, maka pengadilan dapat menceraikan pasangan suami isteri
tersebut”)33
Apabila dalam hubungan keluarga baik isteri dan suami melakukan tindakan
yang melawan hukum yang berlaku, maka pengadilan akan memberikan sanksi bagi
mereka yang telah melanggarnya. Mencermati keberagaman masyarakat Yaman,
32 Undang-Undang Qanun al-Usrah Tahun 1974 Pasal 17 dan 20.
33
Undang-Undang Qanun al-Usrah Tahun 1974 Pasal 29 ayat 1
48
kesan yang muncul pertama adalah “koservatisme”, mengingat bahwa mazhab yang
dianut oleh mayoritas penduduknya adalah Sunniy-Syafi’iy sedikit Syi’iy-Zaidiy.
Namun, bila membaca aturan yang terdapat dalam hukum keluarga yang diundangkan
tahun 1974, nuansa progresif-revolusioner terasa kental mewarnai reformasi hukum
keluarga. Bisa jadi hal tersebut terkait dengan pemerintahan militer yang juga
revolusioner. NLF (National Liberation Front), yang kemudian berubah nama
menjadi Yemen Socialist Party, sebagai partai tunggal-penguasa yang dominan dan
berdasarkan paham sosialis, menuntut aksi-aksi yang revolusioner dan mendasar
dalam merombak struktur masyarakat.34
Ketentuan ini benar-benar baru dalam hukum Islam, yang secara ekstrim
menerapkan persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan prempuan dalam pola
hubungan rumah tangga. Dalam ketidak mampuan suami memberikan nafkah
(minimal untuk kebutuhan pokok), para fuqaha kebanyakan berpendapat bahwa isteri
berhak melakukan perceraian ke pengadilan, termasuk menurut fuqaha Syafiiyah.
Tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku sebaliknya, karena memang tidak ada
kewajiban bagi isteri untuk ikut menanggung biaya rumah tangga. Menurut Imam
Syafi’iy, nafkah keluarga baik untuk isteri maupun anak-anak adalah kewajiban
suami semata. Masing-masing mempunyai tanggung jawab yang sama (untuk
34M. Atho Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, (Jakarta, Ciputat Press, 2003), h. 79
49
mencari nafkah) dan mempuyai hak yang sama (untuk menuntut nafkah atau
perceraian) dari pasangannya.35
Ketetapan hukum yang lebih menekankan persamaan hak dan kewajiban
antara laki-laki dan prempuan, sulit ditemukan rujukannya dalam pemikiran fiqh
klasik yang kebanyakan misoginis (diskriminasi terhadap perempuan) dan
mengandung bias patriarkhat (pemimpin laki-laki). Bahkan, pemikiran tersebut juga
sulit dijelaskan dalam kerangka usul al-fiqh, baik yang kelasik maupun yang modern,
kecuali bahwa pemikiran hukum akan selalu pararel dengan lokalisasi waktu, tempat
dan keadaan. Perubahan yang terjadi dan direkayasa untuk terjadi dalam masyarakat
menuntut perubahan hukum yang lebih sesuai dengan konteks perubahan sosial.
Dalam hal ini, di samping mengikuti kecenderungan umum yang terjadi, pemerintah
Yaman telah memaksakan perinsip persamaan laki-laki dan prempuan dalam hukum
keluarga, mengingat kondisi masyarakat muslim Timur Tengah yang kebanyakan
masih cukup konservatif. Meskipun diakui bahwa kedatangan Islam telah
mengangkat kedudukan prempuan lebih tinggi dari sebelumnya, sehingga kondisi
prempuan abad modern di banyak Negara Timur Tengah masih cukup
“memperihatinkan”.36
35M. Atho Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, (Jakarta, Ciputat Press, 2003), h. 76.
36
M. Atho Muzhdar, Hukum Keluarga dunia Islam Modern, (Jakarta, Ciputat Press,
2003), h. 78.
50
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN KEDUDUKAN NAFKAH DALAM
PERKAWINAN DI INDONESIA DAN YAMAN
Ditinjau dari segi bahasa kata “nafkah” memiliki banyak pengertian. Secara
etimologis, nafkah berasal dari bahasa Arab yang berasal dari suku kata anfaqa-
yunfiqu-infaqan (انفاقا - ينفق - انفق ), yang diartikan dengan pembelanjaan.1 Al-Hafizh
Ibnul Hajar Al-Asqalani, menguraikan bahwa, memberi nafkah kepada keluarga
merupakan perkara yang wajib atas suami. Syariat menyebutnya sebagai sedekah,
untuk menghindari anggapan bahwa para suami yang telah menunaikan kewajiban
mereka (memberi nafkah) tidak akan mendapatkan balasan apa-apa. Mereka
mengetahui balasan apa yang akan diberikan bagi orang yang bersedekah. Oleh
karena itu, syariat memperkenalkan kepada mereka, bahwa nafkah kepada keluarga
juga termasuk sedekah. Dengan demikian tidak boleh memberikan sedekah kepada
selain keluarga mereka, sebelum tercukupi nafkah bagi keluarga yang wajib
dinafkahi, sebagai pendorong untuk lebih mengutamakan sedekah yang wajib mereka
keluarkan dari sedekah yang sunnah.
Terkait dengan jumlah dan kadar nafkah, ulama Hanafiyah menjelaskan
bahwa kadar atau ukuran nafkah tidak ditetapkan oleh syara tetapi suami wajib
memenuhi keperluan-keperluan istrinya seperti makanan, lauk-pauk, daging, sayur,
1 Ahmad Warson Munawir, Kamus al Munawwir, (Yogyakarta: Pondok Pesantren al
Munawir, 1984), h. 1548.
51
buah-buahan dan keperluannya yang lazim, sesuai dengan tempat dan keadaan serta
selera orangnya.
Mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah,
berpendapat bahwa kewajiban suami menafkahi isterinya dikarenakan adanya
hubungan timbal balik antara suami dan isteri. Hubungan suami isteri yang diikat
dengan tali perkawinan yang sah, selain membawa konsekuensi isteri wajib bersedia
menyerahkan diri kepada suami untuk diperlakukan sebagai isteri, juga mempunyai
konsekuensi di mana pihak suami berkewajiban memberikan nafkah kepada isterinya.
Oleh sebab itu, apabila isteri berkewajiban mengurus rumah tangga, mengandung,
melahirkan dan mengasuh anak-anaknya, maka suami berkewajiban mencari nafkah.
Bentuk hubungan inilah yang disebut oleh mayoritas ulama Malikiyah, Syafi‟iyah
dan Hanabilah sebagai hubungan kerja sama timbal balik.
Namun Ulama Syafi‟iyah berbeda pendapat mengenai kadar nafkah.
Syafi‟iyah menetapkan kadar nafkah tersebut dengan dasar ijtihad dan ukuran yang
terdekat. Mereka beralasan dengan ayat al-Qur‟an surat at-Thalaq ayat 7. Allah
mewajibkan pemberian nafkah, namun tidak menetapkan jumlah kadarnya secara
jelas. Bagi orang yang kaya (al musir) adalah 2 mud, bagi orang yang sedang atau
menengah (al ausath) adalah 1.5 mud, dan bagi orang kurang mampu (al mu’sir)
adalah 1 mud.
M. Quraish Shihab berpendapat dalam tafsir al Mishbah mengatakan bahwa
suami memberikan nafkah sesuai dengan kadar kemampuanya, istri tidak
diperkenankan menuntut nafkah melebihi kemampuan suami atau melebihi apa yang
52
dimiliki oleh suami. Karena dapat berakibat suami akan memaksakan diri untuk
nafkah itu dengan mencari rizki yang tidak diridhai oleh Allah SWT. Tidak ada
jumlah tertentu mengenai kadar nafkah, semuanya dikembalikan pada kondisi dan
adat istiadat yang berlaku pada satu masyarakat („urf) yang tentu saja berbeda antara
satu masyarakat dengan masyarakat yang lain serta waktu yang berbeda.2
A. Segi-Segi Persamaan Kedudukan Nafkah di Indonesia dan Yaman
Undang-Undang Perkawinan yang mulai berlaku secara efektif sejak 1
Oktober 1975 mempunyai ciri khas kalau dibandingkan dengan undang-undang atau
hokum perkawinan sebelumya, sekurang-kurangnya dalam tiga hal. Pertama dalam
hal asasnya, kedua pada tujuannya, ketiga dalam sifatnya yang mengangkat harkat
dan derajat (kedudukan) kaum wanita, para isteri di tanah air kita. Dan yang
diwariskan oleh pemerintah kolonial Belanda dahulu yang menganggap perkawinan
seorang pria dengan wanita hanyalah hubungan sekuler, hubungan sipil atau
hubungan perdata saja. Lepas sama sekali dari agama atau hukum agama, serta
Undang-Undang Perkawinan yang termaktub dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan
peraturan pelaksanaannya, karena isi dari UU No. 1 Tahun 1974 sangat erat
hubunganya dengan agama. Dan juga peraturan perundang-undangan mengenai
perkawinan yang berlaku di Indonesia termasuk didalamnya Kompilasi Hukum Islam
yang berlaku khusus untuk umat Islam di Indonesia. Yang erat hubungannya dengan
2 M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al Qur’an,
Volume 14, ( Jakarta : Lentera Hati, 2005), h. 303
53
peranan yang memberikan hak dan kewajiban pada seseorang atau lembaga dalam
kehidupan kelompok dan masyarakat. 3
Secara umum, baik fiqh klasik maupun hukum keluarga (Islam) modern
menetapkan bahwa nafkah adalah kewajiban suami dan merupakan hak istri. Sama
halnya dengan di Indonesia bahwasanya kewajiban untuk memenuhi nafkah keluarga
adalah suami dan hak untuk mendapatkan nafkah tersebut adalah istri, sesuai dengan
ketetapan pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Tentang
Hak dan kewajiban Suami Istri yang menjelaskan bahwasannya, “Suami wajib,
melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya”. Dan di jelaskan pula dalam Kompilasi
Hukum Islam yaitu pasal 80 ayat (2) adalah pengulangan dari ketentuan pasal 34 ayat
(1) Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974. Kemudian pada pasal 80 ayat (4)
di jelaskan bahwa yang menanggung kebutuhan hidup dalam rumah tangga adalah
suami susuai dengan penghasilannya seperti :
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan
anak.
Dalam Pasal 79 Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi : “(1) Suami adalah
kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga; (2) Hak dan kedudukan istri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
3 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2002), Cetakan Kedua, h. 40.
54
pergaulan hidup bersama dengan masyarakat.”4 Kewajiban suami yang lain terhadap
isteri yaitu memberikan tempat tinggal yang layak bagi isteri, sesuai dengan
kemampuan suami.
Dalam Undang-undang Qanun al-Usrah Tahun 1974 pasal 20 di Yaman
mengenai kedudukan nafkah pada hukum keluarga diatur sebagai berikut :
“Nafkah bukan hanya kewajiban suami, tetapi merupakan kewajiban bersama,
sehingga kedua pasangan harus memberikan andil dalam mengupayakan pembiayaan
kehidupan rumah tangga mereka”
Begitu pula dengan Undang-undang Qanun al-Usrah Tahun 1974 pasal 17
tentang penyelenggaraan pernikahan di Yaman, menyebutkan bahwa :
“Keduanya dalam menyelenggarakan pernikahan masing-masing harus ikut
menanggung pembiayaan pernikahan dan syarat yang berhubungan dengan
perkawinan di sesuaikan dengan masing-masing lingkungannya”.
Berdasarkan pemaparan dari hukum positif yang berlaku di Yaman dan
Indonesia khusus tentang nafkah keluarga dalam segi persamaannya yaitu:
1. Secara umum kedua materi hukum tersebut kecenderungan bercorak
mazhab Syafi‟i lebih dominan.
2. Isi pembahasan dalam Undang-undang Indonesia dan Yaman bahasa
hukumnya keduanya sama-sama memaparkan dengan jelas materi
hukumnya.
3. Dalam hal beracara di pengadilan Indonesia dan Yaman keduanya
menegaskan bahwa kedudukan para pihak di depan hukum memiliki
4 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : CV. Nuansa
Aulia, 2009), h. 25.
55
kewenangan yang sama, artinya bahwa Negara menjamin atau melindungi
persamaan hukum anatara laki-laki dengan perempuan dalam seluruh
aspek kehidupan, baik politik, ekonomi dan kehidupan sosial.
4. Dalam hal peraturan kedudukan nafkah di Undang-undang Indonesia lebih
mendasari pada ayat al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 233 serta hadis nabi
Muhammad SAW dan pendapat para ulama. Begitupun dalam Undang-
undang di Yaman untuk kedudukan nafkah keluarga suami wajib dalam
memenuhi kebutuhan keluarga dan isteri juga bertanggung jawab dalam
kebutuhan rumah tangga. Secara umum dalam hubungan keluarga
keduanya baik peraturan Undang-undang yang ada di Indonesia ataupun di
Yaman memiliki kesamaan yaitu baik isteri maupun suami mempunyai
tanggung jawab yang sama dalam menghidupi keluarga dan keduanya
ingin mencapai kebahagiaan duniawi dan ukhrawi dengan membentuk
keluarga sakinah. Akan tetapi di Undang-undang Yaman itu sendiri lebih
kedalam persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
B. Segi-Segi Perbedaan Kedudukan Nafkah di Indonesia dan Yaman
Peraturan perundang-undangan yang mengatur nafkah suami atas isterinya,
adalah Undang-Undang Perkawinan (UU Perkawinan) Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 30
sampai dengan pasal 34 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengaturnya
melalui pasal 77 sampai dengan pasal 84. Menurut Pasal 30 Undang-Undang
Perkawinan disebutkan bahwa “Suami dan isteri memikul kewajiban yang luhur
56
untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.
Selanjutnya Pasal 34 Undang-Undang Perkawinan merumuskan sebagai berikut :
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;
(3) Jika suami isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan.
Undang-Undang Perkawinan menyebutkan dengan tegas wujud kewajiban
suami yang berupa nafkah kepada isteri dan anak. Pasal 34 ayat (1) dapat dimaknai
suami wajib memberikan dan memenuhi semua kebutuhan hidup berumah tangga
bagi isteri dan anak-anaknya. Sebagai timbal baliknya maka isteri juga wajib untuk
mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskan bahwa :
(1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar
dan susunan masyarakat.
(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia
dan memberi bantuan lahir bathin yang satui kepada yang lain;
(3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara
anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani
maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;
(4) suami isteri wajib memelihara kehormatannya;
(5) jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Namun lebih lanjut, UU Perkawinan maupun KHI tidak mengatur secara
tegas tentang sanksi materiil yang dapat dijatuhkan kepada suami yang tidak
memenuhi kewajiban memberikan nafkah kepada isterinya. UU Perkawinan dan KHI
hanya menyebutkan bahwa tidak dipenuhinya kewajiban oleh suami (juga isteri), baik
karena kelalaian, kegagalan maupun karena keengganannya, dapat dijadikan alasan
57
bagi isteri untuk menggugat cerai suaminya. Jadi sanksi bagi suami yang tidak
memenuhi kewajiban kepada isteri dapat diputuskan perkawinannya. Selanjutnya di
beberapa negara muslim atauran-aturan fiqh secara bertahap diubah dan disesuaikan
dengan perkembangan umat Islam, di samping pembaharuan atau pengembangan
yang terus dilakukan, juga terdapat usaha untuk memulihkan dan melindungi
lembaga hukum Islam tradisional. Semua ini telah mengubah wajah hukum keluarga
dalam masyarakat muslim kontemporer. Seperti yang terjadi di Yaman, perundang-
undangan hukum keluarga cukup singkat tetapi revolusioner.5
Sebagaimana hukum keluarga di negara-negara yang lain, Yaman juga
ditetapkan adanya kedudukan nafkah yaitu terdapat dalam Undang-undang Qanun al-
Usrah Tahun 1974. Yang mengatur bahwa di dalam kehidupan berkeluarga baik
suami atau pun istri harus berlaku andil dalam menghidupi kehidupan keluarga.
Beberapa pasal yang mengatur tentang hukum keluarga di Yaman sebagai
berikut :
Pasal 17
“Keduanya dalam menyelenggarakan pernikahan masing-masing harus ikut
menanggung pembiayaan pernikahan dan syarat yang berhubungan dengan
perkawinan di sesuaikan dengan masing-masing lingkungannya”.
Dalam penyelenggaraan pembiayaan pernikahan kedua pasangan harus ikut
menyumbang, jadi baik laki-laki dan prempuan dalam hal ini mereka harus berusaha
bersama dalam membiayai kebutuhan pesta dalam pernikahan. Ketetapan hukum ini
benar-benar lebih menekankan persamaan hak laki-laki dan perempuan, namun di
5 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002, Cet. Kedua), h. 95.
58
Indonesia dalam hal ini tidak mengatur tentang pembiayaan pernikahan hanya
kesepakatan bersama dan sesuai dengan lingkungan sekitar.
Menurut peraturan Perundang-undangan Qanun al-Usrah Tahun 1974 tentang
kedudukan nafkah suami dan isteri di atur pada Pasal 20 Undang-undang Qanun al-
Usrah Tahun 1974 disebutkan bahwa “Nafkah bukan hanya kewajiban suami, tetapi
merupakan kewajiban bersama, sehingga kedua pasangan harus memberikan andil
dalam mengupayakan pembiayaan kehidupan rumah tangga mereka”. Ketentuan ini
benar-benar baru dalam hukum Islam, yang secara ekstrim menerapkan persamaan
hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam pola hubungan rumah
tangga. Dalam masalah ketidakmampuan suami memberikan nafkah (minimal untuk
kebuutuhan pokok), para fuqaha kebanyakan berpendapat bahwa isteri berhak
mengajukan perceraian ke pengadilan, termasuk menurut fuqaha Syafi‟iyah.
Lemahnya dalam Undang-undang Perkawinan di Indonesia maupun KHI
tidak mengatur secara tegas tentang sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada
aturan yang melanggar undang-undang tersebut atau merusak hubungan baik
keluarga. Di Indonesia belum berani menegaskan adanya sanksi dalam pelanggaran
hukum perkawinan. Perlu adanya perubahan pada Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dan sudah seharusnya di revisi karena berdasarkan beberapa ahli dan
pandangan ahli banyak aturan hukum yang seharus nya sudah di perbaharui. Untuk
saat ini di Indonesia kasus hukum yang terjadi sepenuhnya di putus dengan hakim.
Akan lebih bagus lagi untuk mempertegas aturan yang ada di buat sanksi pidana.
59
Melihat dari aturan hukum yang ada di Indonesia dan Yaman, Sejauh
pengamatan penulis, Undang-Undang Perkawinan yang berlaku bagi umat Islam di
Indonesia telah memberikan kedudukan yang baik kepada wanita dalam kehidupan
keluarga. Undang-Undang Perkawinnan dan peraturan pelaksanaannya mengandung
asas-asas yang selain selaras dengan ajaran agama pada umumnya, ajaran Islam pada
khususnya, juga sesuai dengan hasrat untuk meningkatkan kedudukan, harkat dan
martabat wanita, dan apabila ada perbedaan mungkin di karnakan faktor lingkungan
dan adat setempat mungkin yang menjadi penyebabnya. Hanya saja di Indonesia
belum membuat aturan sanksi pidana bagi pelanggar peraturan hukum yang berlaku.
Selanjutnya penulis akan mengambil kesimpulan dari perbedaan yang terjadi
dalam aturan hukum positif yang ada di Indonesia dan Yaman sebagai berikut :
1) Secara umum, baik fiqh klasik maupun pendapat para ulama sepakat
bahwa kewajiban nafkah keluarga itu sepenuhnya di limpahkan
kepada suami. Sama hal nya dengan aturan yang berlaku di Indonesia
penanggung jawaban keluarga di limpahkan kepada suami. Akan
tetapi peraturan hukum keluarga di Yaman berbeda dengan aturan
hukum yang ada di Indonesia, bahwa kewajiban nafkah dan tanggung
jawab kebutuhan keluarga itu tanggung jawab bersama, sehingga
kedua pasangan harus adil dalam mengupayakan kehidupan rumah
tangga mereka. Karena konsep yang ada dalam pembentukan Undang-
undang Yaman lebih kepada persamaan hak dan tanggung jawab baik
laki-laki ataupun perempuan.
60
2) Dalam penggunaan bahasa hukum peraturan undang-undang hukum
keluarga di Yaman sangat singkat di bandingkan dengan bahasa
hukum yang termuat pada Kompilasi Hukum Islam dan Undang-
Undang Perkawinan Indonesia.
3) Hak dan kewajiban suami isteri dalam undang-undang Yaman belum
di atur, berbeda dengan yang ada pada peraturan yang ada di Indonesia
tentang kewajiban suami isteri.
4) Penyelenggaraan pernikahan atau yang di sebut walimat al-Urs di
Undang-undang Indonesia tidak mengatur. Tidak ada ketentuan
khusus dalam peaturan perundang-undangan di Indonesia dalam hal
ini, siapa yang bertanggung jawab dalam pembiayaan nya, semua
tergantung keadaan, faktor keuangan, kesepakatan kedua calon
mempelai dan keluarga mereka. Dalam peraturan perundang-
perundang di Yaman mengatur tentang pembiayaan pesta pernikahan
bahwa kedua mempelai laki-laki dan perempuan masing-masing harus
ikut menanggung pembiayaannya. Ketetapan hukum yang mengatur
lebih menekankan persamaan hak dan kewajiban anatara laki-laki dan
perempuan.
5) Dalam hal kedudukan para pihak didepan hukum (Principle equality before
the law) baik di Indonesia dan di Yaman, sama-sama menganut dan
menjunjung tinggi, terlebih di Yaman telah dikuatkan pula dalam Konsitusi
Nasionalnya bahwa “Negara menjamin atau melindungi persamaan hukum
61
antara laki-laki dengan perempuan dalam seluruh aspek kehidupan, baik
politik, ekonomi, dan kehidupan sosial”. Akan tetapi dalam aturan sanksi
pidana di Indonesia tidak adanya aturan tentang sanksi pelanggaran hukum
tersebut berbeda dengan Yaman yang sudah ada aturan bagi pelanggaran
aturan undang-undang.
C. Analisis Perbandingan Kedudukan Nafkah di Indonesia dan Yaman
Dalam konteks Indonesia, sebelum pembentukan Undang-undang Perkawinan
Tahun 1974 beserta peraturan pelaksanaanya dan sebelum pemberlakuan Kompilasi
Hukum Islam (1991) secara resmi, hukum keluarga yang berlaku bagi ummat Islam
Indonesia dan dipergunakan oleh hakim agama dalam menyelesaikan sengketa
(keluarga) yang diajukan kepadanya adalah kitab fikih yang pada umumnya dari
mazhab Syafi‟i.
Mencermati uraian diatas bahwa keberagaman masyarakat Indonesia dan
Yaman sangat berbeda terkait ketentuan hukum keluarga. Hukum keluarga Islam
menetapkan bahwa kewajiban nafkah keluarga adalah merupakan kewajiban suami.
Akan tetapi dalam kedudukan nafkah di Yaman berbeda dalam memenuhi kebutuhan
keluarga, bahwa kewajiban bersama suami isteri dalam memenuhi kebutuhan
keluarga dan dijelaskan secara jelas dan rinci didalam undang-undang tersebut.
Perbedaan yang sangat mencolok apabila kita bandingkan dengan peraturan hukum
perkawinan di Indonesia.
62
Terlepas dari munculnya ide persamaan hak antara laki-laki dan perempuan
yang sangat mendominasi seluruh pasal-pasalnya serta motif sosialis di balik
legalisasinya, hukum keluarga Yaman dalam banyak hal membela dan menjunjung
tinggi posisi perempuan. Aturan-aturan yang ditetapkan berkaitan dengan pola
hubungan antara suami-isteri, cenderung mengurangi tekanan-tekanan yang selama
ini sangat membatasi ruang gerak dan kebebasan perempuan. Hak-hak suami yang
berlebihan pun dipangkas, meskipun di sisi lain juga ada tuntutan terhadap tangung
jawab yang lebih besar dari perempuan (istri) sebagai partner dari laki-laki (suami).
Dengan bersatunya dua Yaman bersatu dalam satu Republik Yaman, tidak
berarti terhapus dua kelompok tersebut. Yaman (selatan) adalah Sunni yang progresif
dan revolusioner, dan mayoritas penduduk Yaman (utara) adalah Syi‟iy – Zaidiy,
yang konservatif. Pemerintah Republik Yaman (yang baru) didominasi kelompok
utara (Syi‟ah-Zaidiyyah), yang cenderung eksklusif di bidang hukum, sedangkan
kelompok selatan yang Sunni-Syafi‟i merupakan kekuatan oposan. Kenyataan ini
bisa menjadi preseden buruk bagi perkembangan hukum keluarga di Yaman untuk
masa selanjutnya, meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa gerakan revolusioner
selatan-lah yang akan banyak mewarnai kebijakan pemerintah melalui efektifitasnya
sebagai pressure (tekanan) group yang eksis dalam masyarakat.6
Hal yang mempengaruhi keberagaman masyarakat Yaman dalam aturan
hukum keluarga Undang-undang Tahun 1974 adalah nuansa progresif-revolusioner
6 M. Atho‟ Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 80.
63
terasa kental mewarnai reformasi hukum keluarga. Bisa jadi hal tersebut terkait
dengan pemerintahan militer yang juga revolusioner. NLF (National Liberation
Front), yang kemudian berubah nama menjadi Yemen Socialist Party, sebagai partai
tunggal-penguasa yang dominan dan berdasarkan paham sosialis, menuntut aksi-aksi
yang revolusioner dan mendasar dalam merombak struktur masyarakat. Persamaan
hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan secara ekstrim diterapkan dalam
menyusun undang-undang, sehingga hukum keluarga Islam yang terbentuk dalam
sejarah ruang sistem patriarkhis harus dibongkar secara mendasar.7
Dalam hal persamaan hak dan kewajiban suami isteri, di samping mengikuti
kecendrungan umum yang terjadi, pemerintah Yaman yang Marxist-Leninist telah
“memaksakan” perinsip persamaan laki-laki dan perempuan dalam hukum keluarga,
mengingat kondisi masyarakat muslim Timur Tengah yang kebanyakan masih cukup
konservatif. Meskipun diakui bahwa kedatangan Islam telah mengangkat kedudukan
perempuan lebih tinggi dari sebelumnya, sehingga kondisi perempuan abad modern
di banyak negara Timur Tengah masih cukup “memperihatinkan”, terkungkung
(terperangkap) dalam ruang-ruang domestic yang terbatas dengan kerja yang tak
bernilai ekonomis. “pemaksaan” tersebut terjadi karena kepentingan politik
pemerintah menurut kebijakan yang radikal revolusioner untuk mengikis habis
kekuatan konservatisme kelompok-kelompok oposan yang didukung oleh Saudi
7 M. Atho‟ Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, h. 79.
64
Arabia, Omman, dan negara yang tergabung dalam blok barat vis a vis blok Timur-
Sosialis.8
Faktor utama yang menyebabkan hukum (undang-undang) keluarga Islam
memiliki banyak persamaan di dunia Islam adalah Alquran dan Hadis. Adapun
penyebab perbedaannya disamping karena perbedaan mazhab fiqih yang dianut
masing-masing masyarakat muslim ialah terutama juga terletak pada ketidaksamaan
sistem hukum yang dianut masing-masing negara yang ada di dunia Islam.9
Berdasarkan analisis penulis, dalam peraturan hukum Indonesia dan Yaman
tentang peraturan hukum keluarga yang ada di dalam undang-undang Yaman dan
Indonesia memiliki persamaan dari segi mazhab yang mereka pegang yaitu mazhab
Syafi‟i, karena diantara Indonesia dan Yaman lebih mengutamakan mazhab Syafi‟i
yang paling di utamakan selain mazhab yang lain.
Dalam peraturan tentang siapa yang berhak memberikan nafkah, di Yaman
aturan tersebut sangat berbeda dengan aturan yang ada di Indonesia. Faktor penyebab
berbedanya aturan tersebut di karenakan dalam hal ini pemerintah Yaman lebih
mengedepankan persamaan hak dan kewajiban dalam tanggung jawab memenuhi
kebutuhan keluarga, dalam peraturan ndang-undang Yaman Pasal 20 menyebutkan
bahwasanya “nafkah bukan hanya kewajiban suami, tetapi merupakan kewajiban
bersama, sehingga kedua pasangan harus berlaku andil dalam mengupayakan
8 M. Atho‟ Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, h. 78.
9 Sadari, “Hak Perempuan Pasca Perceraian: Analisis Perbandingan Hukum
Keluarga di Indonesia dan Dunia”, Jurnal Hukum Vol. 12, no. 2 (November 2015): h. 245.
65
kehidupan rumah tangga mereka”. Hal ini sangatlah jelas bahwa peraturan tersebut
berbeda dengan peraturan undang-undang di Indonesia Pasal 34 menyebutkan bahwa
“suami wajib, melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”, kandungan peraturan yang ada di
Indonesia sama hal nya dengan dasar hukum al-Qur‟an dan Hadist yang menjelaskan
tentang kedudukan nafkah keluarga, di dalam al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 34 yang
artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. Dari ayat tersebut
dapat disimpulkan bahwa nafkah itu merupakan sebuah kewajiban yang harus
diberikan oleh seorang suami terhadap isterinya. Sejauh pengamatan penulis,
Undang-undang Perkawinan yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia telah
memberikan kedudukan yang baik kepada wanita dalam kehidupan keluarga.
Undang-Undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya mengandung asas-asas
yang selain selaras dengan ajaran agama pada umumnya, ajaran Islam pada
khususnya, juga sesuai dengan hasrat untuk meningkatkan kedudukan, harkat dan
martabat wanita, selaras pula dengan perkembangan masa.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya maka
sebagai akhir dari bagian penelitian ini penulis akan menarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Peraturan kedudukan nafkah keluarga di Indonesia menyebutkan yaitu tentang
hak dan kewajiban suami istri yang menjelaskan bahwasanya kedudukan
suami dalam keluarga adalah sebagai kepala keluarga. Suami wajib,
melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Kemudian di jelaskan bahwa,
yang menanggung kebutuhan hidup dalam rumah tangga adalah suami susuai
dengan penghasilannya seperti, nafkah, kiswah, tempat kediaman bagi isteri,
biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan
anak. Sedangkan kedudukan nafkah keluarga di Yaman adalah bahwasanya
nafkah bukan hanya kewajiban suami, tetapi merupakan kewajiban bersama,
sehingga kedua pasangan harus memeberikan andil dalam mengupayakan
pembiayaan kehidupan rumah tangga mereka. Bahkan dalam biaya
pernikahan di atur dalam undang-undang Yaman bahwasanya keduanya
67
dalam menyelenggarakan pernikahan masing-masing harus ikut menanggung
pembiayaan pernikahan dan syarat yang berhubungan dengan perkawinan di
sesuaikan dengan masing-masing sumber daya.
2. Dalam hal peraturan kedudukan nafkah di Undang-undang Indonesia lebih
mendasari pada al-Qur’an surat an-Nisa ayat 34 serta hadis nabi Muhammad
SAW dan pendapat para ulama. Dari segi imam Mazhab Indonesia berpegang
kepada Mazhab Syafi’i, karena Indonesia lebih mengutamakan Mazhab
Syafi’i yang paling di utamakan selain Mazhab yang lain. Yaman juga
berMazhab Syafi’i, bercorak pemikiran hukum, antara tradisional dan
rasional, dasar pemikiran hukum: Alquran, Sunnah, Ijmak dan Kias. Undang-
undang Perkawinan yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia telah
memberikan kedudukan yang baik kepada wanita dalam kehidupan keluarga.
Undang-Undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya mengandung
asas-asas yang selain selaras dengan ajaran agama pada umumnya, ajaran
Islam pada khususnya, juga sesuai dengan hasrat untuk meningkatkan
kedudukan, harkat dan martabat wanita, selaras pula dengan perkembangan
masa. Hal yang mempengaruhi keberagaman masyarakat Yaman dalam aturan
hukum keluarga Undang-undang Tahun 1974 adalah nuansa progresif-
revolusioner terasa kental mewarnai reformasi hukum keluarga. Bisa jadi hal
tersebut terkait dengan pemerintahan militer yang juga revolusioner.
Pemerintah Yaman yang Marxist-Leninist telah “memaksakan” perinsip
persamaan laki-laki dan perempuan dalam hukum keluarga, mengingat
68
kondisi masyarakat muslim Timur Tengah yang kebanyakan masih cukup
konservatif. Pemaksaan tersebut terjadi karena kepentingan politik pemerintah
menurut kebijakan yang radikal revolusioner untuk mengikis habis kekuatan
konservatisme kelompok-kelompok oposan yang didukung oleh Saudi Arabia,
Omman, dan negara yang tergabung dalam blok barat vis a vis blok Timur-
Sosialis. Faktor yang mempengaruhi pembentukan perundang-undangan
perkawinan di Indonesia salah satunya karena latar belakang sejarah. Karena
Indonesia adalah jajahan dari Belanda, maka sistem Indonesia banyak
menganut warisan dari hukum Belanda. Maka dari itu, dibentuklah Undang-
Undang Perkawinan, Peraturan Pemerintah terkait Pelaksanaan UU
Perkawinan yang mengatur perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI)
untuk orang-orang yang beragama Islam. Sedangkan di Yaman, yang negara
jajahannya oleh British- India, maka hukum positif di Yaman diambil dari
hukum Inggris dan India. Yaman termasuk negara muslim karena 95%
penduduk beragama Islam. Dan ideologi negara tersebut meggunakan hukum
Syariah.
3. Faktor utama dan pertama yang menyebabkan hukum (undang-undang)
keluarga Islam memiliki banyak persamaan di dunia Islam adalah Alquran
dan Hadis. Adapun penyebab perbedaannya disamping karena perbedaan
Mazhab fiqih yang dianut masing-masing masyarakat muslim ialah terutama
juga terletak pada ketidaksamaan sistem hukum yang dianut masing-masing
negara yang ada di dunia Islam. Persamaan kedudukan nafkah di Indonesia
69
dan Yaman adalah memiliki persamaan dari segi Imam Mazhab yang sama-
sama berpegang pada Mazhab Syafi’i. Isi pembahasan dalam Undang-undang
Indonesia dan Yaman bahasa hukumnya keduanya sama-sama memaparkan
dengan jelas materi hukumnya. Begitupun dalam Undang-undang di Yaman
untuk kedudukan nafkah keluarga suami wajib dalam memenuhi kebutuhan
keluarga dan isteri juga bertanggung jawab dalam kebutuhan rumah tangga.
Secara umum dalam hubungan keluarga keduanya baik peraturan Undang-
undang yang ada di Indonesia ataupun di Yaman memiliki kesamaan yaitu
baik isteri maupun suami mempunyai tanggung jawab yang sama dalam
menghidupi keluarga dan keduanya ingin mencapai kebahagiaan duniawi dan
ukhrawi dengan membentuk keluarga sakinah. Akan tetapi di Undang-undang
Yaman itu sendiri lebih kedalam persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan. Perbedaan yang mencolok antara kedudukan nafkah keluarga di
Indonesia dan Yaman yaitu : pertama, di Yaman kewajiban nafkah keluarga
bukan hanya kewajiban suami tetapi kewajiban bersama. Namun di Indonesia
kewajiban nafkah keluarga wajib atas suami. Kedua, resepsi pernikahan atau
biaya pernikahan di Yaman Kedua mempelai laki-laki dan prempuan masing-
masing harus ikut menanggung pembiayaannya. Namun di Indonesia tidak di
atur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, umumnya masyarakat
sekitar kita yang berpegangan pada adat istiadat mereka masing-masing
menganggap bahwasanya walimah adalah tanggung jawab wali atau pihak
keluarga mempelai wanita. Akan tetapi tidak ada ketentuan khusus dalam
70
peraturan perundang-undangan di Indonesia tentang siapa yang bertanggung
jawab dalam penyelenggaraan pesta pernikahan. Semua tergantung keadaan,
faktor keuangan, kesepakatan kedua calon mempelai dan keluarga mereka.
B. Saran-saran
Berdasarkan penelitian, pembahasan dan kesimpulan dalam penelitian ini
maka penulis memberikan saran-saran untuk di jadikan bahan pertimbangan di
kemudian hari, yakni sebagai berikut :
1. Kepada pemerintah Indonesia dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk
mempertahankan kajian tentang kedudukan nafkah dalam hukum keluarga di
dunia Islam, karena undang-undang tentang kedudukan nafkah sudah sesuai
dengan ajaran agama.
2. Kepada pemerintah Yaman di harapkan untuk memperbaiki sitem perundang-
undangan terutama dalam hal kedudukan nafkah dalam hukum keluarga,
karena peroses pembuatannya masih ada sangkut paut dengan politik
pemerintahandan perlu adanya perbandingan atau kajian dengan undang-
undang lain untuk merancang undang-undang agar lebih sempurna.
3. Diharapkan penelitian ini bisa menjadi bahan refrensi lebih lanjut untuk kedua
Negara baik Indonesia dan Yaman bagi peneliti berikutnya
71
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Abdurahman, H. Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Presindo, 2007.
Amin Suma, Muhammad. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja
Grafindo, 2005.
Atho Muzhdar, Muhammad & Nasution Khairuddin. Hukum Keluarga di Dunia
Islam Modern. Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Al-Anshari, Zakariyya. Fathul al-Wahhab, Jilid II (Beirut: Dar Al Kutub Al-
Imamiyyah, 1418.
Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam, Jakarta: Akbar Media, 2003.
Azzam, Muhammad & Abdul Aziz . Fiqh Munakahat, Jakarta : Amzah, 2009.
Bak Najjad, Ridha. Hak dan Kewajiban Istri dalam Islam, Jakarta :Lentera
Basrimata, 2002.
Daud Ali, Mohammad. Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002.
Djalil, Basiq. Peradilan Islam, Ciputat : AMZAH, 2012.
Halim, Abdul. Peradilan Agama dalam Politik Hukum Indonesia, Jakarta: PT
Raja Grafindo, 2000.
Mahmood, Tahir. Personal Law In Islamic Countries; Jordan : The Code Personal
Staus 1976, New Delhi : India Time Press, 1987.
72
Nasution, Khoiruddin. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap PerUndang-
Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia,
Jakarta : INIS, 2002.
Nuansa Aulia, Tim Redaksi. Kompilasi Hukum Islam, Bandung : CV. Nuansa Aulia,
2009.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, terjemah Fiqh sunah, Jilid VII, Bandung: Pt. Al
Ma’arif, t.t.
Saepudin Jahar, Asep. dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis, Jakarta: Kencana
Prenadamedia Grop, 2012.
Sopyan, Yayan, Islam - Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, Jakarta : UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, 2011.
Tholabi Kharlie, Ahmad. Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2013.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesataraan Gender Perspektif al-Quran, Jakarta:
Paramadina, 2001.
Warson Munawir, Ahmad. Kamus al Munawwir, Yogyakarta: Pondok Peantren al
Munawir, 1984.
Jurnal
Mukhtar Zamzami, “Pembaharuan Hukum Keluarga dalam Perspektif Politik Hukum
Islam di Indonesia”, dalam Mimbar Hukum dan Peradilan No. 68 Februari
2009.
73
An-Na’im, A Abdulahi. Islamic Family Law in a Chnging World: A Global Resource
Book. London: Zed Books Led, t.t.
Sadari. “ Hak Perempuan Pasca Perceraian : Analisis Perbandingan Hukum Keluarga
di Indonesia dan Dunia”, Jurnal Hukum Vol. 12, No. 2 (November 2015).
Wurth, Anna. Stalled Reform: Family Law In Post-Unification Yemen. Islamic Law
and Society 10, no. 1 (March 2001).
Perundang-undangan
Instruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-undang Qanun al-Usrah Tahun 1974
Internet dan Media
John Noble Wilford, Ruin in Yemeni Desrt Mark Route of Frankincense Trade.
Nytimes.com, diakses pada 2016-8-11 dari
http://www.criticalthreats.org/yemen/gordon-abyani-tribes-and-al-qaeda-
arabian-peninsula-july-25-2012.
Mc Dermott, Roger. Tribal Reistance and al-Qaeda: Suspected U.S. Aistrike Ignites
Tribes in Yemen’s Ma’rib Governorate, Jamestown.org. diakses pada 2016-
10-17 dari https://www.cristicalthreats.org/yemen/Gordon-abyani-tribes-and-
al-qaeda-arabian-peninsula-july-25-2012.
Yaman-Fakta dan Sejarah: Pemerintahan Yaman. About.com diakses pada 2016-9-1
dari https://www.scribd.com/doc/211802430/BAB-II-Tentang-Yaman.