Transcript of KAJIAN TEKNIS BUNKERING LNG UNTUK PEMENUHAN BAHAN …
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
I Made A, Adi Mas N, Ketut Buda A: Kajian Teknis Bunkering LNG
C2-1
KAJIAN TEKNIS BUNKERING LNG UNTUK PEMENUHAN BAHAN BAKAR GAS ARMADA
KAPAL PELNI
I Made Ariana, Adi Mas Nizar, Ketut Buda Artana
Jurusan Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
ariana@its.ac.id
Abstrak: Keuntungan pengunaan bahan bakar gas pada kapal selain
dapat menghemat biaya operasi dan mengurangi emisi gas buang,
adalah pemanfaatan
gas yang sejalan dengan PP No.55/2009 yaitu 25% alokasi dari
produksi gas dalam negeri. Pengisian bahan bakar (bunkering) LNG
sendiri dapat dilakukan dengan
tiga cara yaitu ship to ship, truck to ship, dan onshore to ship.
Untuk itu perlu
dilakukan kajian dalam menentukan lokasi bunkering dan skema
bunkering apa yang akan dipakai pada studi kasus yang diambil,
yaitu pada armada kapal
penumpang PT. Pelni. Analisis penentuan lokasi bunkering dilakukan
dengan memperhatikan frekuensi kedatangan kapal dan kebutuhan
bunkering LNG pada
setiap pelabuhan. Konversi kebutuhan bahan bakar minyak menjadi
bahan bakar
gas memakai asumsi bahwa motor diesel dimodifikasi menjadi duel
fuel engine menggunakan konverter yang dapat dioperasikan dengan
rasio bahan bakar HSD
dengan LNG sebesar 50:50. Dengan memperhatikan akumulasi pelabuhan
yang memiliki kebutuhan bunkering LNG terbesar dan paling banyak
dikunjungi dalam
periode tertentu dapat diurutkan pelabuhan bunkering dalam beberapa
skenario. Dari hasil didapatkan pada skenario I adalah Jakarta,
Surabaya, Balikpapan,
Makassar, Ambon dan Sorong. Skenario II dengan penambahan Bau-bau
dan
Skenario III dengan penambahan Jayapura. Penentuan skema bunkering
yang akan dipakai menggunakan pembobotan dengan Analytical
Hierarchy Process (AHP) dengan kriteria yang dipakai adalah teknis,
keselamatan dan biaya. Dari hasil pembobotan didapat skema truck to
ship yang akan dipakai pada delapan
pelabuhan bunkering yang terpilih. Analisa modifikasi pada kapal
juga dilakukan
untuk penempatan tangki LNG dengan mengacu pada IMO
MSC.285(86).
Kata kunci: bunkering, LNG, dual fuel
PENDAHULUAN
Tingginya konsumsi bahan bakar minyak menyebabkan menipisnya
cadangan minyak bumi. Kondisi ini diperkuat dengan pertumbuhan
kebutuhan industri yang terus meningkat akan minyak bumi. Begitu
juga dengan kondisi industri perkapalan di dalam negeri. PT.
Perusahaan Pelayaran Indonesia (Pelni) membutuhkan 33.4 juta liter
HSD per bulan untuk konsumsi bahan bakar kapal penumpangnya.
Bahan bakar lain seperti LNG mulai digunakan pada bidang
perkapalan. Pengunaan LNG dapat mengurangi biaya konsumsi bahan
bakar. Jika dibandingkan dalam satuan energi LHV, harga LNG berada
di sekitar 60% harga HFO. Tetapi jika dibandingkan dengan kebutuhan
tangki bahan bakar HSD, LNG memerlukan 2.5 kali tangki yang lebih
besar karena densitas yang lebih kecil dan memerlukan lapisan
tambahan untuk menjaga temperatur. (Herdzik, 2011)
Alasan lain penggunaan gas sebagai bahan bakar pada kapal adalah
dapat mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) sekitar 20%, nitgogen
oksida (NOx) sekitar
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-2 I Made A, Adi Mas N, Ketut Buda A: Kajian Teknis Bunkering
LNG
85-90% dan sulfur oksida (SOx) hampir 100%. Sejalan dengan
peraturan IMO dalam MARPOL Annex VI tentang tingkat emisi gas buang
yang diperbolehkan, bahan bakar LNG masih memenuhi syarat sampai
dengan Tier III (Herdzik, 2011). Pengunaan gas juga sesuai dengan
tujuan pemerintah untuk memanfaatkan gas dalam negeri yang tertera
pada PP. 55/2009, dimana alokasi gas bumi untuk penggunaan dalam
negeri adalah 25% dari total produksi (ESDM, 2014).
PT. Pelni sebagai salah satu perusahaan pelayaran di Indonesia
dengan 24 armada kapal penumpangnya menjadi objek pada studi kali
ini. Rute dari armada kapal penumpang Pelni sendiri ditunjukkan
pada Gambar 1. Ilustrasi rute pelayaran tersebut secara umum
menunjukkan banyaknya pelabuhan yang dikunjungi oleh kapal Pelni
dan banyaknya kapal yang bersandar pada suatu pelabuhan. Guna
mengimplementasikan pengunaan LNG sebagai bahan bakar pada objek
studi kali ini, armada kapal Pelni memerlukan proses pengisian
bahan bakar LNG di pelabuhan yang dikunjungi. Tentunya bunkering
LNG tidak akan dilakukan pada setiap pelabuhan, untuk itu perlu
ditentukan pelabuhan mana saja yang akan memiliki fasilitas
bunkering LNG.
Pada umumnya skema bunkering LNG yang telah banyak dipakai
diantaranya onshore to ship, truck to ship, dan ship to ship (DNV,
2014). Setiap skema bunkering LNG memiliki kekurangan dan kelebihan
masing-masing. Untuk itu diperlukan juga pemilihan skema bunkering
yang akan dipakai sesuai dengan kondisi studi kali ini.
Gambar 1. Rute pelayaran PT. Pelni dan Lokasi Pelabuhan (Pelni,
2015)
METODE PENELITIAN
Penentuan pelabuhan yang akan dipakai sebagai lokasi bunkering LNG
untuk kapal-kapal PT. Pelni mempertimbangkan kebutuhan LNG pada
setiap pelabuhan dan frekuensi bersandar kapal pada pelabuhan
tersebut pada periode satu bulan.
Frekuensi Kunjungan Kapal
Dalam perhitungan frekuensi kunjungan kapal pada setiap pelabuhan
digunakan jadwal pelayaran Pelni pada bulan Oktober 2015. Dari
jadwal tersebut, akan dihitung banyaknya kapal yang bersandar pada
satu pelabuhan pada periode satu bulan. Karena setiap kapal
memiliki rute yang berbeda, maka frekuensi kunjungan setiap kapal
pada satu pelabuhan akan berbeda-beda. Misal pada satu bulan, kapal
A akan bersadar pada pelabuhan A sebanyak 3 kali sedangkan kapal B
akan bersandar 4 kali.
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
I Made A, Adi Mas N, Ketut Buda A: Kajian Teknis Bunkering LNG
C2-3
Dari hasil perhitungan frekuensi tersebut akan didapat urutan
pelabuhan berdasarkan banyaknya kapal yang bersandar dalam periode
satu bulan. Kebutuhan Gas Pada Setiap Pelabuhan
Dengan data yang sama pada perhitungan frekuensi, yaitu jadwal
pelayaran Pelni pada bulan Oktober 2015, dapat diketahui jarak
tempuh dan durasi kapal berlayar dari satu pelabuhan ke pelabuhan
berikutnya. Dari jarak tempuh dan durasi tersebut dapat diketahui
kebutuhan bahan bakar yang dibutuhkan untuk melakukan pelayaran
dari satu pelabuhan ke pelabuhan berikutnya.
Selain menghitung kebutuhan bahan bakar untuk mesin pokok,
diperlukan juga perhitungan untuk kebutuhan mesin bantu. Karena
pada kapal penumpang seperti pada studi kali ini, kebutuhan listrik
cukup besar sehingga memerlukan kapasitas mesin bantu yang besar
(Rochyana, et al., 2014).
Banyaknya konsumsi bahan bakar yang dibutuhkan dapat dihitung
berdasarkan perkalian konsumsi bahan bakar spesifik mesin dengan
jarak pelayaran dan besarnya daya mesin seperti ditunjukkan pada
persamaan 1.
(1) Dimana FC : Konsumsi bahan bakar (gr) BHP : Power motor induk
(kW) SFOC : Konsumsi bahan bakar spesifik (gr/kWh) t : Waktu
(jam)
Dalam hal konversi motor diesel berbahan bakar gas, maka kebutuhan
gas dihitung dari kebutuhan energi bahan bakar. Satuan energi pada
bahan bakar dapat ditunjukkan dalam bentuk Lower Heating Value
(LHV). Untuk HSD mempunyai LHV sebesar 43.71 MJ/kg dan LNG dengan
LHV 50.81 MJ/kg (Syukran & Suryadi, 2007) (Fitra, 2015).
(2)
Perhitungan kebutuhan LNG dalam bentuk satuan energi LHV dapat
dirumuskan
sebagai
(3)
Dimana fuel ratio adalah perbandingan bahan bakar gas dan bahan
bakar minyak
yang dipakai, pada studi kali konverter yang dipakai dapat
beroperasi dengan perbandingan pengunaan bahan bakar HSD dan LNG
sebesar 50:50.
(4)
Dari Persamaan 4 di atas dapat diketahui berapa jumlah LNG yang
diperlukan
dalam besaran volume. Perhitungan konsumsi LNG kemudian diterapkan
pada setiap rute pada setiap kapal.
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-4 I Made A, Adi Mas N, Ketut Buda A: Kajian Teknis Bunkering
LNG
Analytical Hierarchy Process Pemilihan skema bunkering di setiap
pelabuhan yang terpilih menggunakan
Analytical Hierarchy Process (AHP). Metode AHP menguraikan masalah
multi kriteria yang kompleks menjadi salah satu hirarki, dimana
hirarki adalah representasi dari sebuah permasalahan dalam struktur
multi level. Level pertama berupa tujuan, diikuti oleh kriteria,
sub kriteria hingga alternatif (Saaty, 2008).
Tiga skema bunkering yang menjadi alternatif dalam pemilihan studi
kali ini adalah skema onshore to ship, truck to ship dan ship to
ship. Opsi bunkering onshore to ship sesuai jika permintaan akan
LNG bunkering besar dan rencana investasi jangka panjang. Proses
bunkering ini juga dapat dimanfaatkan jika pada daerah bunkering
juga terdapat konsumen lain yang memerlukan pasokan LNG. Kekurangan
dari opsi ini adalah ukuran terminal untuk bunkering yang terbatas
untuk ukuran kapal.
Proses bunkering dengan menggunakan metode truck to ship merupakan
opsi yang efektif untuk jangka pendek jika permintaan akan
bunkering LNG masih sedikit. Kekurangan dari opsi ini adalah
kapasitas yang kecil, sehingga bunkering melalui truck to ship
lebih cocok digunakan pada kapal-kapal membutuhkan LNG dalam
kapasitas kecil. Secara umum proses bunkering pada skema truck to
ship sangat sederhana. Bunkering dapat dilakukan di tempat bongkar
muat selama dermaga memadai. LNG dari truk dialirkan melalui
flexible hose.
Bunkering dengan opsi ship to ship dapat dilakukan di sepanjang
dermaga ketika kapal sedang bersandar, atau mungkin ketika kapal
kargo sedang lego jangkar. Opsi bunkering kapal ke kapal juga dapat
dilakukan ketika kapal sedang di tengah laut. Ditinjau dari
kapasitas dan lokasi bunkering yang digunakan, opsi kapal ke kapal
sangat fleksibel. Kendalanya adalah besarnya investasi awal yang
harus dikeluarkan untuk pengadaan bunker vessel. (Saputro,
2015)
Kriteria yang dipakai pada pembobotan kali ini adalah 1. Kriteria
Teknis
Kriteria teknis memberikan pertimbangan dari sudut teknis dengan
subkriteria 1) Durasi bunkering; memiliki pengertian lama waktu
yang dibutuhkan untuk
melakukan bunkering. Durasi bunkering akan berpengaruh pada lamanya
kapal bersandar. Sehingga sistem bunkering yang akan dipilih
sebaiknya mempertimbangkan lama kapal bersandar pada suatu
pelabuhan yang sudah dijadwalkan.
2) Kemudahan bunkering; mempertimbangkan tingkat kesulitan saat
proses bunkering.
3) Kepadatan lalu lintas; pada skema truck to ship menunjukkan
kepadatan jalan raya, pada skema ship to truck menunjukkan
kepadatan alur pelayaran.
4) Jarak terminal penerima LNG – pelabuhan; menunjukkan waktu yang
dibutuhkan bunker vessel dan truck untuk mencapai pelabuhan.
2. Keselamatan Kriteria keselamatan ditujukan untuk memberikan
pertimbangan dari sudut
pandang keselamatan dengan sub-kriteria berupa: 1) Keselamatan
Jiwa, memiliki arti bahwa sistem bunkering yang dipilih dapat
menjamin keselamatan publik atau orang yang ada di sekitar lokasi
proses bunkering dilakukan.
2) Keselamatan Aset. Selain keselamatan jiwa, sistem bunkering yang
dipilih dapat menjamin keselamatan aset baik dari penyedia gas
maupun pemilik kapal.
3. Biaya Kriteria biaya ditujukan untuk memberikan pertimbangan
dari sudut pandang
ekonomi dengan sub-kriteria berupa:
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
I Made A, Adi Mas N, Ketut Buda A: Kajian Teknis Bunkering LNG
C2-5
1) Investasi; menunjukkan besarnya investasi yang diperlukan dalam
menyiapkan sistem bunkering. Untuk skema bunkering ship to ship,
diperlukan biaya invetasi berupa bunker vessel, sedangkan skema
truck to ship memerlukan truck.
2) Operasional; besarnya biaya yang dikeluarkan untuk melakukan
bunkering, termasuk di dalamnya adalah biaya bahan bakar dan biaya
perawatan.
3) Waktu kontruksi; durasi waktu yang dibutuhkan untuk pembangunan
dan pengadaan sampai sistem bunkering siap untuk untuk melakukan
fungsinya.
Pemilihan Sistem Bunkering
Teknis Keselamatan Biaya
Kepadatan Lalu Lintas Kapal
Gambar 2. Hirarki Pemilihan Skema Bunkering
HASIL DAN PEMBAHASAN Frekuensi Kunjungan Kapal
Dari hasil pengolahan data jadwal pelayaran armada kapal penumpang
PT. Pelni yang berjumlah 24, maka didapat Tabel 1 yang menunjukkan
sepuluh pelabuhan teratas berdasarkan frekuensi kunjungan kapal PT.
Pelni.
Tabel 1. Frekuensi Kunjungan Kapal
Pelabuhan Frekuensi
Makassar 60
Surabaya 49
Sorong 33
Bau-bau 31
Ambon 28
Pelabuhan Frekuensi
Balikpapan 24
Manokwari 21
Semarang 20
Bitung 19
Perhitungan Kebutuhan Gas Misal pada KM. Ciremai, dengan mesin
pokok yang berjumlah dua dengan
masing-masing berdaya 5512.23 kW, konsumsi bahan bakar sebesar 187
g/kWh dan waktu tempuh dari pelabuhan Balikpapan menuju Makassar
selama 15 jam, maka dapat dihitung konsumsi bahan bakar jika
memakai bakar awal berupa HSD dengan memakai persamaan 1.
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-6 I Made A, Adi Mas N, Ketut Buda A: Kajian Teknis Bunkering
LNG
Sedangkan untuk konsumsi bahan bakar mesin bantu yang
mempunyai
spesifikasi daya sebesar 1020 HP, konsumsi bahan bakar sebesar 217
g/kWh dengan durasi pelayaran yang sama dan durasi bersandar selama
3 jam didapat hasil perhitungan
Sehingga total kebutuhan bahan bakar yang merupakan penjumlahan
dari
konsumsi bahan bakar mesin induk yang berjumlah dua, tiga mesin
bantu saat berlayar dan dua mesin bantu saat bersandar adalah
Dengan menggunakan persamaan 2, total kebutuhan bahan bakar HSD
dikonversi menjadi jumlah dalam bentuk gas dengan
perhitungan.
Dari perhitungan di atas dapat diketahui untuk contoh pelayaran KM.
Ciremai dari pelabuhan Surabaya menuju pelabuhan Makassar
dibutuhkan LNG yang harus disediakan di pelabuhan Surabaya sebesar
30.1 ton.
Perhitungan konsumsi LNG kemudian diterapkan pada setiap rute pada
kapal. Tahap pemilihan lokasi mengasumsikan semua pelabuhan yang
dilalui dapat melakukan bunkering LNG. Untuk KM. Ciremai sebagai
contoh, dari hasil perhitungan didapatkan konsumsi LNG seperti
berikut pada Tabel 2.
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
I Made A, Adi Mas N, Ketut Buda A: Kajian Teknis Bunkering LNG
C2-7
Tabel 2. Kebutuhan LNG KM. Ciremai
Pelabuhan LNG (ton) LNG (m3) Bunkering I (m3) Bunkering II
(m3)
Tanjung Priok 2.3 4.9 58.9 Surabaya 27.1 58.9 65.5 58.9 Makassar
30.1 65.5 34.1 65.5 Bau-bau 15.7 34.1 91.8 34.1 Sorong 42.2 91.8
31.4 91.8 Manokwari 14.4 31.4 24.5 31.4 Serui 11.3 24.5 44.6 24.5
Jayapura 20.5 44.6 44.6
Kebutuhan gas pada setiap kapal dijumlahkan berdasarkan pelabuhan
yang
dilalui. Selanjutnya seleksi dilakukan dengan menggunakan hanya
sepuluh pelabuhan teratas yang digunakan untuk bunkering sehingga
didapat hasil seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan Urutan Kebutuhan Gas dan Frekuensi Kunjungan
10 Pelabuhan
Paling Tinggi
Bau-bau 1722.7
Balikpapan 24
Jayapura 1409.2
Manokwari 21
Manokwari 1085.4
Semarang 20
Semarang 1068.6
Bitung 19
Pada studi kali ini akan direncanakan tiga skenario lokasi
bunkering. Untuk
menentukan pelabuhan mana yang akan masuk pada setiap skenario,
dilakukan variasi pada jumlah pelabuhan bunkering. Dari hasil
variasi maka didapat pada skenario I terdiri dari pelabuhan
Makassar, Surabaya, Tanjung Priok, Sorong, Balikpapan, Ambon.
Sedangkan pada skenario II adalah enam pelabuhan pada skenario I
ditambah dengan Bau-bau. Pada skenario III adalah tujuh pelabuhan
pada skenario II ditambah dengan Jayapura. Besar kebutuhan LNG pada
masing-masing skenario ditunjukkan pada tabel 4.
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-8 I Made A, Adi Mas N, Ketut Buda A: Kajian Teknis Bunkering
LNG
Tabel 4. Perbandingan Kebutuhan Antar Skenario
Skenario I Skenario II Skenario II
Pelabuhan Kebutuhan LNG (m3)
Pelabuhan Kebutuhan LNG (m3)
Pelabuhan Kebutuhan LNG (m3)
Tg. Priok 2899.7 Tg. Priok 2899.7 Tg. Priok 2899.7
Ambon 2739.9 Ambon 2429.8 Ambon 2429.8
Balikpapan 2164.3 Balikpapan 1853.3 Balikpapan 1853.3
Bau-bau 1779.1 Bau-bau 1779.1
Jayapura 1663.4
Seperti ditunjukkan pada tabel 4, penambahan pelabuhan pada
skenario II dan
skenario III mengakibatkan berkurangnya kebutuhan LNG pada beberapa
pelabuhan. Misal pada skenario II, kebutuhan LNG di pelabuhan
Makassar yang semula pada skenario I berjumlah 5885.6 m3 turun
menjadi 4567.4 m3 pada skenario II. Dari sisi penyedia LNG,
skenario yang menguntungkan adalah skenario dengan jumlah pelabuhan
yang lebih sedikit.
Tabel 5. Kebutuhan ISO Tank Type C 20ft
Kapal SI SII SIII
Awu 8 8 8
Binaiya 6 6 6
B. Siguntang
Kelimutu 10 10 10
Kelud 17 17 17
Labobar 17 17 9
Lambelu 8 4 4
Kapal SI SII SIII
Lawit 9 9 9
Leuser 9 9 9
Nggappulu 16 16 8
Pangrango 4 4 4
Sangiang 6 6 6
Sinabung 9 9 9
Sirimau 14 14 14
Tataimalu 7 7 7
Tidar 12 12 12
Tilongkabila 7 7 7
Umsini 10 10 10
Wilis 4 4 4
Dari sisi pemilik kapal, skenario yang menguntungkan adalah
skenario dengan
pelabuhan yang lebih banyak. Semakin banyak pelabuhan yang
digunakan untuk bunkering LNG, semakin sedikit kebutuhan tangki LNG
yang harus dipasang di kapal. Misal pada kapal KM. Ciremai, pada
skenario I dan skenario II memerlukan 10 tangki, sedangkan pada
skenario III berkurang menjadi 5 tangki. Jumlah tangki yang sedikit
jelas lebih menguntungkan dari sisi ekonomi pemilik kapal.
Pemasangan tangki pada kapal mengacu pada IMO MSC.285(86)
Guidelines on Safety for Natural Gas-Fuelled Enggine Installation
in Ships dan dapat ditarik beberapa poin bahwa tangki LNG akan
dipasang tidak pada ruang muat (kontainer) dan
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
I Made A, Adi Mas N, Ketut Buda A: Kajian Teknis Bunkering LNG
C2-9
akomodasi. Dan jarak maksimal tangki ke sisi samping kapal adalah
B/5. Pengaplikasikan pada KM. Dempo misalnya, dengan menggunakan
ISO Tank Type C 20ft dengan kapasitas penyimpanan LNG sebesar 20m3,
maka diperlukan sembilan tangki yang dipasang dengan rancangan
seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Rancangan Umum KM. Dempo dengan Penempatan Tangki
LNG
Pemilihan Skema Bunkering
Gambar 4. Perbandingan ship to ship dan truck to ship pada
pelabuhan Bau-bau
Pada studi PT.Pelni, kapal akan melakukan bunkering ketika
bersandar di pelabuhan penumpang. Bunkering LNG juga dapat
dilakukan bersamaan dengan embarkasi penumpang atau disebut
simultaneous operations (simops). Karena kepadatan pelabuhan
penumpang, maka opsi skema bunkering dengan menggunakan onshore to
ship tidak dipakai. Misal pada pelabuhan Bau-bau seperti pada
Gambar 4, terlihat baik kapal bunkering dan truk akan mengambil LNG
dari pembangkit listrik yang akan mengggunakan LNG juga.
Dari kriteria dan sub kriteria yang sudah ditentukan, pembobotan
didapat dari
hasil kuisioner yang diisi oleh responden. Pembobotan dilakukan
untuk komparasi
0.19
0.42
0.39
Teknis
Keselamatan
Biaya
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-10 I Made A, Adi Mas N, Ketut Buda A: Kajian Teknis Bunkering
LNG
antar kriteria, antar sub kriteria pada satu kriteria, dan opsi
kepada sub kriteria. Hasil dari pembobotan antar kriteria misalnya,
ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 6. Performance Sensitivity
Guna mempermudah mengolah pembobotan, digunakan perangkat lunak
Expert Choise 11. Dari hasil pengolahan, didapat hasil seperti pada
yang ditunjukkan grafik performance sensitivity seperti pada Gambar
6. Hasil dari pembobotan mendapatkan opsi skema truck to ship.
Ditunjukkan pada grafik, skema truk to ship memiliki nilai
pembobotan lebih tinggi pada kriteria teknis dan biaya. Grafik
sensitivitas juga menunjukkan jika nilai salah satu kriteria
dirubah pada kondisi 100%, 50% dan 0%, alternatif yang terpilih
tetap skema truck to ship.
KESIMPULAN
Hasil perhitungan kebutuhan gas setiap kapal pada setiap trip dari
satu pelabuhan ke pelabuhan lain, setelah dijumlah berdasarkan
pelabuhannya didapatkan delapan lokasi bunkering dengan pembagian
tiga skenario. Skenario I memakai pelabuhan Makassar, Surabaya,
Tanjung Priok, Sorong, Balikpapan, dan Ambon. Skenario II memakai
enam pelabuhan pada skenario I dan penambahan Bau-bau. Skenario III
memakai tujuh pelabuhan pada skenario II ditambah dengan Jayapura.
Semakin banyak pelabuhan bunkering LNG, maka kebutuhan tangki LNG
yang dipasang pada kapal semakin sedikit. Untuk mengetahui skenario
mana yang lebih menguntungkan dari penyedia gas dan pemilik kapal,
perlu dilakukan studi lebih lanjut dari sisi ekonomi. Sedangkan
skema bunkering LNG yang akan dipakai pada setiap pelabuhan yang
terpilih adalah truck to ship. DAFTAR PUSTAKA DNV, 2014. Liquefied
Natural Gas (LNG) Bunker Study, s.l.: Maritime Administration.
ESDM, K., 2014. Kebijakan Alokasi Gas Bumi Untuk Dalam Negeri.
Jakarta: s.n. Fitra, M. R., 2015. Studi Kelayakan Konversi Diesel
Engine Berbahan Bakar Minyak
Menjadi Dual Fuel Diesel Engine Pada Kapal Container 368 TEU.
Surabaya: Teknik Sistem dan Pengendalian Kelautan.
Herdzik, J., 2011. LNG As A Marine Fuel – Possibilities And
Problems. KONES Powertrain and Transport, Volume 18.
Pelni, 2015. Annual Report 2014. Jakarta: s.n.
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
I Made A, Adi Mas N, Ketut Buda A: Kajian Teknis Bunkering LNG
C2-11
Rochyana, M. F., Jinca, M. Y. & Siahaya, J., 2014. MDO and LNG
as Fuels (Duel Fuel) to Support Sustainable Maritime Transport (A
Case Study in KM. Ciremai). International Refereed Journal of
Engineering and Science (IRJES), Volume 3, pp. 32-38.
Saaty, T. L., 2008. Decision Making With Analytic Hoerarchy
Process. Int. J. Services Sciences, Volume 1, pp. 83-98.
Saputro, G., 2015. Kajian Teknis dan Ekonomis Sistem Bunkering LNG
untuk Bahan Bakar Gas di Kapal. Surabaya: Teknik Sistem Perkapalan
ITS.
Syukran & Suryadi, D., 2007. Estimasi Penghematan Biaya Operasi
PLTU dengan Cara Penggantian Bahan Bakar. Jurnal Teknik Mesin,
Volume 9, pp. 59-66.
Seminar Nasional Kelautan XI
” Penguatan Riset dan Teknologi dalam Rangka Meningkatkan
Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-12 A.A.B. Dinariyana, I.B.N. Agastana, Dwi Priyanta: Studi
Penentuan Kebutuhan LNG
STUDI PENENTUAN KEBUTUHAN LNG BUNKERING SHUTTLE DI ALUR PELAYARAN
BARAT SURABAYA
DENGAN SIMULASI DISKRIT
1Jurusan Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknologi
Kelautan,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya 2Program Double
Dregree Jurusan Teknik Sistem Perkapalan,
Fakultas Teknologi Kelautan,
kojex@its.ac.id
Abstrak: Berdasarkan data yang diperoleh dari Pelindo terkait
kunjungan kapal di Alur Pelayraran Barat Surabaya (APBS) dari tahun
2009-2015 terdapat kenaikan
jumlah kunjungan kapal yang cukup signifikan. Tercatat pada tahun
2014 di pelabuhan Tanjung Perak terdapat kunjungan sekitar 14039
unit kapal.
Peningkatan kapal ini tentu akan berdampak dengan polusi yang
ditimbulkannya. Sesuai dengan Marpol Annex IV terkait dengan emisi
sulfur, batas emisi yang
dihasilkan oleh kapal tidak melebihi 0.50% m/m setelah 1 januari
2020. Dari
ketetapan regulasi tersebut banyak pihak pemilik kapal yang mulai
melirik penggunaan dual fuel engine, dengan salah satu bahan
bakarnya adalah LNG.
Dengan mulai dimanfaatkannya bahan bakar LNG, akan berdampak pada
meningkatnya permintaan akan LNG. Untuk mengakomodasi kebutuhan LNG
kapal
di Alur Pelayaran Barat Surabaya, studi ini membahas tentang
potensi penggunaan
LNG bunkering shuttle sebagai media transfer LNG. Sebagai media
transfer, LNG bunkering shuttle dapat meningkatkan fleksibilitas
pengisian bahan bakar untuk
kapal. Untuk menentukan jumlah dari bunkering shuttle yang
dibutuhkan di APBS adapun metode yang digunakan adalah simulasi
dikrit. Dalam proses pengerjaan
simulasi, input data yang digunakan diperoleh dengan mengelompokkan
kapal
berdasarkan parameter jenis kapal, ukuran kapal dan rute yang akan
ditempuh. Berdasarkan hasil simulasi, jumlah kebutuhan LNG di APBS
dalam kurun waktu
sehari sebesar 1445 m3. Berdasarkan kebutuhan LNG tersebut, jumlah
bunkering shuttle yang diperlukan sebanyak 6 buah yang mampu
melayani 21 kapal dalam
sehari.
PENDAHULUAN
APBS adalah salah satu jalur pelayaran padat yang ada di Indonesia,
jalur tersebut dilalui oleh berbagai jenis dan ukuran kapal serta
menjadi salah satu jalur paling strategis dalam proses
loading-unloading barang. Sebagai jalur padat yang dilalui oleh
kapal tentunya tingkat polusi yang dihasilkan pun tidak dapat
dikatakan sedikit. Berdasarkan revisi Perjanjian MARPOL oktober
2008 menyepakati NOx harus berkurang sampai 80% pada 2016 serta
batas emisi sulfur yang dihasilkan oleh kapal tidak melebihi 0.50%
m/m setelah 1 januari 2020 untuk mesin-mesin baru. Untuk menekan
tingkat polusi yang dihasilkan, banyak pemilik kapal yang mulai
melirik penggunaan dual fuel engine, dengan salah satu bahan
bakarnya adalah LNG. Berdasarkan data yang diperoleh dari Pelindo
terkait kunjungan kapal di APBS dari 2009-2015 terdapat kenaikan
jumlah kunjungan kapal yang sangat signifikan. Tercatat
Seminar Nasional Kelautan XI
” Penguatan Riset dan Teknologi dalam Rangka Meningkatkan
Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
A.A.B. Dinariyana, I.B.N. Agastana, Dwi Priyanta: Studi Penentuan
Kebutuhan LNG C2-13
pada tahun 2014 di Pelabuhan Tanjung Perak terdapat sekitar 14039
unit kapal, serta berdasarkan data yang diperoleh dari KSOP terkait
dengan pelayanan harian kapal di APBS selama 2013-2015, kapal yang
akan beralih menggunakan LNG dikelompokan menjadi 3 jenis kapal
yaitu kapal kontainer, kapal tanker dan kapal penumpang. Sesuai
dengan data dari kantor syahbandar dan otoritas pelabuhan. KSOP
tercatat ketiga jenis kapal tersebut memiliki rute terbanyak menuju
ke Makassar, Balikpapan, dan Tanjung Priok. Untuk menunjang dan
mengakomodasi kebutuhan LNG di wilayah APBS dipilih sebuah metode
transfer LNG dengan menggunakan LNG bunkering shuttle.
Penggunaan LNG bunkering shuttle sebagai media transfer LNG
memiliki keuntungan dari segi fleksibilitas dalam proses melayani
kapal-kapal di wilayah APBS. Bunkering shuttle tersebut mampu
melayani kapal-kapal di wilayah APBS tidak hanya pada saat
melakukan proses berthing, namun pada saat proses anchoring juga
dapat dilayani. Metode ini sangat membantu dalam proses pengisian
LNG diwilayah APBS mengingat kedepan jumlah kapal yang membutuhkan
dan menggunakan LNG sebagai bahan bakar akan terus meningkat.
Sebagai gambaran bagaimana proses kerja dari bunkering shuttle
tersebut terlihat seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema pelayanan LNG Bunkering shuttle di APBS
LNG bunkering shuttle dapat melayani lebih dari satu kapal yang
berada di
wilayah yang berdekatan seperti terlihat pada Gambar 1. Pada proses
pengisian LNG yang dilakukan oleh shuttle akan memprioritaskan
pengisian berdasarkan waktu pemesanan LNG bunkering shuttle
tersebut. Pada saat kapal sudah terisi penuh oleh LNG, shuttle
tersebut akan bergerak ke kapal lain yang sudah menunggu giliran
pengisian LNG. Tujuan dari penulisan studi ini yaitu memperoleh
jumlah dari bunkering
Seminar Nasional Kelautan XI
” Penguatan Riset dan Teknologi dalam Rangka Meningkatkan
Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-14 A.A.B. Dinariyana, I.B.N. Agastana, Dwi Priyanta: Studi
Penentuan Kebutuhan LNG
shuttle yang optimal untuk melayani kapal yang membutuhkan bahan
bakar LNG di kawasan APBS.
METODE PENELITIAN
Analisa terkait kebutuhan bahan bakar LNG diwilayah APBS
dipengaruhi oleh ukuran kapal dan rute yang akan dilalui oleh kapal
tersebut. Untuk menghitung kebutuhan bahan bakar LNG di kapal
dilakukan skenario melalui clustering kapal dengan mengidentifikasi
kapal berdasarkan ukuran, tipe dan rute yang akan dituju oleh kapal
tersebut. Selanjutnya sesudah melakukan perhitungan bahan bakar LNG
dilanjutkan dengan menentukan jumlah LNG bunkering shuttle untuk
memenuhi kebutuhan LNG setiap kapal yang berada di wilayah APBS
dengan menggunakan simulasi diskrit.
Proses Clustering
Pada proses ini dilaksanakan pengelompokan kapal berdasarkan ukuran
kapal dari 900 dwt sampai dengan 30000 dwt. Pengelompokan kapal
tersebut dilakukan untuk mempercepat dan mempermudah proses
perhitungan konsumsi bahan bakar. Dalam proses perhitungan,
pengelompokan kapal berdasarkan ukuran dibagi menjadi 5 yaitu
ukuran ≥ 900 ≤ 3000 dwt, ukuran ≥ 3000 ≤ 8000 dwt, ukuran ≥ 8000 ≤
13000 dwt), ukuran ≥ 13000 ≤ 18000 dwt, dan ukuran ≥ 18000 ≤ 30000
dwt). Selain clustering berdasarkan ukuran, clustering kapal juga
dilakukan berdasarkan jenis kapal yang akan beralih ke penggunaan
LNG sebagai bahan bakar. Berdasarkan jenisnya, kelompok kapal
tersebut dibagi menjadi 3 yaitu kapal jenis container, kapal
tanker, dan kapal penumpang. Perhitungan selanjutnya dilakukan
dengan mempertimbangkan rute dari pelayaran kapal tersebut. Mengacu
pada data yang diperoleh dari KSOP, berdasarkan ketiga jenis kapal
tersebut rute pelayaran yang paling sering dilalui diasumsikan
terbagi menjadi 30% Makassar, 20% Balikpapan, 50% Tanjung
Priok.
Dari pengelompokan kapal berdasarkan ukuran kapal, jenis kapal dan
rute kapal, konsumsi bahan bakar LNG masing–masing kapal di wilayah
APBS dapat ditentukan. Untuk menghitung konsumsi bahan bakar LNG
diwilayah APBS digunakan formula LNG fuel consumption. Dalam proses
perhitungan konsumsi LNG beberapa hal yang terkait dalam
perhitungan tersebut antara lain daya mesin, kebutuhan bahan bakar
kapal, dan waktu yang dibutuhkan untuk menempuh rute yang akan
dilalui. Berikut adalah formula yang digunakan untuk menghitung
kebutuhan bahan bakar kapal tersebut:
FCG = Bhp x FGC x t (1) Dimana,
Bhp = tenaga yang dihasilkan oleh mesin induk (kW) FCG = kebutuhan
bahan bakar gas untuk kapal (kJ/kWh) t = waktu yang dibutuhkan
dalam melakukan rute pelayaran (h)
Kebutuhan bahan bakar LNG nantinya harus dalam bentuk m3, dimana
dilakukan perubahan atau konversi energi menggunakan energy density
dengan nilai seperti pada Tabel 1
Seminar Nasional Kelautan XI
” Penguatan Riset dan Teknologi dalam Rangka Meningkatkan
Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
A.A.B. Dinariyana, I.B.N. Agastana, Dwi Priyanta: Studi Penentuan
Kebutuhan LNG C2-15
Tabel 1. Nilai Ketetapan Energi Density dari HSD dan LNG
Energy Density
Density Kg/m3
Penentuan Jumlah Bunkering shuttle dengan Simulasi Dikrit
Untuk mempermudah penentuan jumlah bunkering shuttle di APBS
digunakan simulasi diskrit. Simulasi diskrit adalah simulasi
permodelan yang digunakan untuk suatu sistem yang memiliki
kompleksibilitas yang tinggi yang mana tidak dapat diselesaikan
dengan menggunakan perhitungan sederhana. Pada simulasi diskrit
beberapa tahapan akan dilakukan seperti pengumpulan data, fitting
data, memodelkan sistem, menjalankan model, verifikasi dan
validasi. Data yang akan digunakan dalam pengerjaan model antara
lain: Jumlah harian kedatangan kapal, ukuran kapal yang datang,
rute kapal yang akan ditempuh, serta kebutuhan bahan bakar dari
masing- masing kapal tersebut. Pada studi ini penggunaan simulasi
diskrit akan digunakan di software ARENA versi 14.00 tahun 2012
untuk memodelkan jumlah bunkering shuttle yang dibutuhkan di APBS
secara harian.
Dalam proses penentuan jumlah LNG bunkering shuttle untuk melayani
kapal- kapal di APBS dengan software ARENA terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi diantaranya kecepatan transfer LNG dari shuttle
ke kapal dan waktu tempuh bunkering shuttle ke kapal. Untuk
menentukan kecepatan proses transfer LNG ke kapal digunakan
pendekatan:
T = ( (2)
Dimana, T = waktu yang dibutuhkan untuk mentrasfer LNG dari shuttle
ke kapal
(hour) Q1 = kebutuhan LNG kapal sesuai dengan rute yang akan
ditempuh
(m3/day) Q2 = kapasitas pompa di shuttle dalam mentrasfer LNG
(m3//h) t = waktu untuk melakukan proses instalasi (h) Selain
menggunakan variabel waktu transfer LNG dalam menentukan
jumlah
bunkering shuttle, variabel waktu tempuh bunkering shuttle ke kapal
juga mempengaruhi. Untuk menghitung waktu tempuh bunkering shuttle
ke kapal digunakan pendekatan :
To= v x s (3) Dimana, To = waktu tempuh shuttle ke kapal (hour) V =
kebutuhan LNG kapal sesuai dengan rute yang akan ditempuh (knot) s
= jarak dari bunkering shuttle ke kapal yang akan diisi (km)
Dengan menggunakan hasil perhitungan variabel waktu transfer LNG
dan waktu
tempuh bunkering shuttle, jumlah bunkering shuttle dengan
menggunakan simulasi
Seminar Nasional Kelautan XI
” Penguatan Riset dan Teknologi dalam Rangka Meningkatkan
Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-16 A.A.B. Dinariyana, I.B.N. Agastana, Dwi Priyanta: Studi
Penentuan Kebutuhan LNG
arena dapat ditentukan. Dalam simulasi arena kedatangan kapal
terjadi secara konstan dimana jumlah kapal harian sebanyak 21
kapal. Pada saat simulasi dijalankan hasil permodelan yang dibuat
akan menujukan proses pengisian yang dilakukan oleh bunkering
shuttle. Proses pengisian tersebut akan tercatat dan akan
divalidasi sehingga kebutuhan bunkering shuttle di APBS dapat
ditentukan secara optimal. HASIL DAN PEMBAHASAN Clustering
Berdasarkan Jenis Kapal, Ukuran dan Rute Kapal
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan mengenai clustering
ukuran kapal, jenis kapal dan rute pelayaran diperoleh kebutuhan
LNG masing – masing kapal. Berikut adalah hasil dari perhitungan
yang dilakukan menggunakan metode clustering seperti yang terlihat
pada Tabel 2.
Pada Tabel 2 menunjukan nilai dari perhitungan yang dilakukan
dengan mempertimbangkan ukuran, jenis kapal dan rute yang akan
ditempuh oleh kapal. Dari hasil clustering yang dilakukan diperoleh
kebutuhan total LNG harian dari kapal kontainer sebesar 1052 m3,
untuk kapal tanker memiliki kebutuhan total konsumsi LNG harian
sebesar 205 m3 dan kebutuhan total LNG harian untuk kapal penumpang
sebesar 188 m3. Pada Tabel 2 juga menunjukan jumlah total kebutuhan
LNG untuk semua kapal di Alur Pelayaran Barat Surabaya dengan total
kebutuhan LNG sebesar 1445 m3. Tabel 2. Total Kebutuhan Harian LNG
di APBS
No Time
Ship (size ≥ 900 ≤
Total Per day 1052
Total Per day 205
Total Per day 188
Total LNG Fuel Consumption in SWAC area for all type of ship 1445
m3
Simulasi Diskrit
Dengan menggunakan simulasi diskrit jumlah dari bunkering shuttle
yang dibutuhkan oleh kapal diwilayah APBS dalam memenuhi kebutuhan
bahan bakar dapat ditentukan. Dari simulasi yang dilakukan
diperoleh jumlah bunkering shuttle sebanyak 6 buah yang melayani
sebanyak 21 kapal dalam hitungan hari. Pada Gambar 2 menunjukan
hasil simulasi yang dilakukan untuk menentukan jumlah bunkering
shuttle yang dibutuhkan.
Seminar Nasional Kelautan XI
” Penguatan Riset dan Teknologi dalam Rangka Meningkatkan
Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
A.A.B. Dinariyana, I.B.N. Agastana, Dwi Priyanta: Studi Penentuan
Kebutuhan LNG C2-17
Gambar 2. Simulasi diskrit untuk penentuan jumlah bunkering
shuttle
KESIMPULAN Dari studi yang telah dilakukan, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut : 1. Menggunakan pengelompokan
berdasarkan jenis kapal, ukuran kapal dan rute yang
akan dilalui oleh kapal dalam menghitung kebutuhan bahan bakar
kapal mampu mempermudah dalam proses perhitungan. Berdasarkan
perhitungan diperoleh kebutuhan total LNG perhari untuk bahan bakar
kapal kontainer, tanker dan penumpang di APBS sebesar 1445
m3.
2. Menggunakan Simulasi diskrit dalam menentukan kebutuhan
Bunkering shuttle di APBS dapat menghasilkan jumlah yang optimal
sehingga kapal-kapal yang akan mengisi bahan bakar LNG dapat
terpenuhi. Dari hasil simulasi diperoleh jumlah Bunkering shuttle
yang melayani kapal perhari di APBS adalah sebanyak 6 shuttle dan
melayani 21 kapal.
DAFTAR PUSTAKA IMO. (2009). Regulations for the prevention of air
pollution from ships. Revised
MARPOL Annex VI Saputro, G. (2015). Kajian Teknis dan Ekonomis
Sistem Bunkering LNG untuk Bahan
Bakar di Kapal Penumpang. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh
Nopember (ITS).
Chang, S. Y. (2014). Conceptual design of an offshore LNG bunkering
terminal: a case Busan Port.
Laboratorium Multimedia. (2013). Modul Training with ARENA American
Bureau of Shipping. (2014). LNG Bunkering Technical and
Operational
Advisory. Houston Argonne. (August 26, 2010). GREET, The Greenhouse
Gases Regulated Emissons and
Energy use in Transportation Model
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-18 A.A.B. Dinariyana, Cakra D, Dhimas WH: Desain Sistem
Distribusi LNG
DESAIN SISTEM DISTRIBUSI LNG UNTUK PENGEMBANGAN PEMBANGKIT DI
PROVINSI MALUKU
DAN PROVINSI MALUKU UTARA
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
Email: kojex@its.ac.id
Abstrak: Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada pada rata rata
5,8% per
tahun tidak hanya berdampak pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat secara
umum tetapi juga peningkatan kebutuhan tenaga listrik. PT PLN
(Persero) telah mengantisipasi peningkatan permintaan tenaga
listrik dengan membuat rencana
pengembangan pembangkit listrik. Di Indonesia Timur, Provinsi
Maluku dan Provinsi Maluku Utara adalah wilayah dengan rencana
pengembangan pembangkit
terbesar. Di sisi lain, pemerintah melalui peraturan menteri ESDM
nomor 37 tahun
2015 berkomitmen memanfaatkan gas bumi untuk kebutuhan domestik.
Studi ini bertujuan untuk menentukan rute distribusi LNG, ukuran
kapal LNG dan kilang
pemasok LNG untuk melayani pembangkit di Provinsi Maluku dan
Provinsi Maluku Utara, dimana alternatif kilang pemasok LNG adalah
kilang Donggi Senoro LNG
yang terletak di Provinsi Sulawesi Tengah dan kilang Tangguh LNG
yang terletak di
Provinsi Papua Barat. Jumlah pembangkit yang dipasok terbagi
menjadi 15 terminal penerima. Dari lokasi alternatif kilang pemasok
LNG dan lokasi terminal
penerima dibentuk rute yang mungkin (feasible route) untuk
distribusi LNG. Pemilihan rute untuk melayani seluruh terminal
penerima menggunakan metode
SPP (Set Partitioning Problem). Dari proses optimasi terpilih empat
rute untuk melayani seluruh terminal penerima dan membutuhkan 4
kapal yang terdiri dari 3
kapal ukuran 7500 m3 dan 1 kapal ukuran 2500 m3. Pemasok LNG
untuk
pembangkit di Provinsi Maluku adalah kilang Donggi Senoro LNG
sedangkan pembangkit di Provinsi Maluku Utara dipasok dari kilang
Tangguh LNG. Biaya
transportasi total yang dibutuhkan untuk ke 4 kapal adalah USD
16,435,458 per tahun.
Kata kunci: Distribusi LNG, Linear Programming, Set Partitioning
Problem
PENDAHULUAN
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada pada rata rata 5,8% per
tahun tidak hanya berdampak pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat secara umum tetapi juga peningkatan kebutuhan tenaga
listrik. PT PLN (Persero) telah mengantisipasi peningkatan
permintaan tenaga listrik dengan membuat rencana pengembangan
pembangkit listrik melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
(RUPTL) PT.PLN (Persero) 2015-2024. Di wilayah Indonesia Timur,
Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara adalah provinsi dengan
rencana pengembangan pembangkit terbesar. Hingga tahun 2024, PT PLN
(persero) berencana menambah kapasitas pembangkit di Provinsi
Maluku sebesar 381 MW dan 180 MW untuk Provinsi Maluku Utara dimana
sebagian besar pembangkit berupa PLTMG. Namun pada studi ini tidak
hanya PLTMG yang dipasok dengan LNG tetapi juga jenis pembangkit
lain yang
A.A.B. Dinariyana, Cakra D, Dhimas WH: Desain Sistem Distribusi LNG
C2-19
berpotensi menggunakan gas alam sebagai bahan bakar. Sehingga dapat
diketahui jumlah gas alam yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
beberapa pembangkit di Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku
Utara.
Di sisi lain, pemerintah melalui peraturan menteri ESDM nomor 37
tahun 2015 berkomitmen memanfaatkan gas bumi untuk kebutuhan
domestik. Salah satu prioritas penggunaan gas bumi untuk domestik
adalah sektor penyediaan tenaga listrik dan industri. Gas bumi,
khususnya gas alam akan mudah ditransportasikan jika dicairkan
karena volumenya menjadi 1/600 dari kondisi semula sebagai gas
(Soegiono & Ketut Buda Artana, 2006). Saat ini terdapat tiga
kilang LNG yang masih beroperasi di Indonesia yaitu kilang Badak
LNG di Provinsi KalimantanTimur dengan kapasitas produksi 22,5
MTPA, kilang Donggi Senoro (DS) LNG di Provinsi Sulawesi Tengah
dengan kapasitas produksi 2 MTPA, dan kilang Tangguh LNG di Teluk
Bintuni Provinsi Papua Barat dengan kapasitas produksi 7 MTPA. Pada
studi ini pemasok LNG yang dikaji adalah kilang Donggi Senoro LNG
dan kilang Tanggguh LNG. Kedua kilang tersebut dikaji sebagai
pemasok karena lokasi kilang yang dekat dengan pembangkit dan
memiliki kapasitas produksi yang melebihi permintaan
pembangkit.
Gambar 1. Sebaran lokasi pembangkit dan lokasi kilang LNG
Adapun yang menjadi fokus pembahasan studi ini adalah distribusi
LNG dari kilang LNG ke pembangkit di wilayah Provinsi Maluku dan
Provinsi Maluku Utara. LNG berasal dari kilang Donggi Senoro dan
kilang Tangguh, dengan menggunakan kapal mini LNG didistribusikan
ke 23 pembangkit yang masing-masing memiliki kapasitas sesuai pada
Tabel 1. Dengan demikian diharapkan studi ini dapat memberikan
usulan rute, jumlah, dan ukuran kapal serta kilang pemasok
LNG.
Tabel 1. Kapasitas 23 pembangkit di Provinsi Maluku dan Provinsi
Maluku Utara
No Nama
Pembangkit Cap
1 Tobelo Peaker 10 Halmahera 13 Seram Peaker 20 Seram
2 Malifut Peaker 5 Halmahera 14 Ambon 1 30 Ambon
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-20 A.A.B. Dinariyana, Cakra D, Dhimas WH: Desain Sistem
Distribusi LNG
3 Kayu Merah 41 Ternate 15 Ambon 2 30 Ambon
4 Ternate Peaker 40 Ternate 16 Ambon 3 50 Ambon
5 Tidore 1 14 Tidore 17 Waai 30 Ambon
6 Tidore 2 20 Tidore 18 Ambon Peaker 70 Ambon
7 Tidore 3 30 Tidore 19 Hative Kecil 44.7 Ambon
8 Sofifi 6 Halmahera 20 Poka 34.9 Ambon
9 Soa Sio 4.9 Tidore 21 Langgur 20 KaiKetjil
10 Namlea 6.4 Buru 22 Dobo 10 Warmar
11 Mako 4.3 Buru 23 Saumlaki 10 Jamdena
12 Masohi 8.1 Seram
METODE PENELITAN
Desain sistem distribusi baik dari kilang Donggi Senoro maupun dari
kilang Tangguh ke 23 pembangkit listrik yang tersebar di wilayah
Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara dengan mempertimbangkan 5
ukuran kapal LNG dapat diselesaikan salah satunya dengan metode
Multiple Depots Vehicle Routing Problem (MDVRP). MDVRP dapat
digunakan untuk menentukan kombinasi rute kendaraan dengan
mempertimbangkan (i) setiap rute kendaraan dimulai dan berakhir di
depot yang sama (ii) setiap pelanggan dilayani sekali oleh satu
kendaraan (iii) total permintaan masing-masing rute tidak melebihi
kapasitas kendaraan (iv) rute terpilih berdasarkan total biaya
transportasi yang paling minimal (Renaud, 1996). Namun pada studi
ini tidak menggunakan metode MDVRP secara utuh karena dilakukan
secara manual dengan menggunakan aplikasi solver pada Microsoft
excel. Sehingga pemodelan secara matematis dilakukan secara
bertingkat sebagai berikut:
Menentukan rute yang mungkin (feasible route)
Pada permasalahan distribusi, rute sangat menentukan biaya
transportasi yang dikeluarkan. Banyaknya rute yang mungkin
(feasible route) dari satu kilang pemasok LNG merupakan kombinasi
dari seluruh pelanggan (terminal penerima) yang dilayani. Jumlah
kombinasi yang muncul untuk melayani seluruh terminal penerima
dapat ditulis
dengan persamaan (1). Dimana adalah jumlah seluruh terminal
penerima yang ada
dan adalah banyaknya terminal penerima yang dikunjungi pada suatu
rute.
(1)
Setiap rute kombinasi yang muncul untuk mengunjungi terminal
penerima
belum bisa dikatakan sebagai rute yang mungkin, karena rute
kombinasi mengabaikan urutan kunjungan ke tiap terminal penerima.
Rute yang mewakili satu rute kombinasi merupakan rute dengan jarak
terpendek untuk mengunjungi beberapa terminal penerima yang sama.
Metode yang dapat digunakan menentukan rute terpendek untuk
mengunjungi terminal penerima yang sama adalah metode Travelling
Salesman Problem (TSP). TSP adalah suatu permasalahan dimana
seorang sales harus mengunjungi semua kota yang menjadi tugasnya
dan setiap kota harus dikunjungi satu kali. Cara untuk
mengidentifikasi bahwa permasalahan tersebut merupakan TSP
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
A.A.B. Dinariyana, Cakra D, Dhimas WH: Desain Sistem Distribusi LNG
C2-21
antara lain perjalanan dimulai dan diakhiri di titik yang sama,
seluruh terminal penerima harus dikunjungi tanpa satupun yang
terlewatkan, salesman dalam permasalahan kali ini adalah kapal LNG
tidak boleh kembali ke titik asal sebelum seluruh terminal penerima
terkunjungi, dan tujuan penyelesaian permasalahan adalah mencari
nilai optimum yaitu jarak total yang minimum dengan mengatur urutan
terminal penerima.
Optimasi Pemilihan Kapal tiap Rute
Setiap rute memiliki permintaan LNG dan jarak yang berbeda. Oleh
karena itu perlu dilakukan proses optimasi untuk mendapatkan kapal
yang paling optimal dari 5 alternatif kapal yang ada. Kapal yang
paling optimal adalah kapal yang mampu memenuhi permintaan LNG pada
suatu rute tertentu dengan biaya transportasi paling minimum
diantara alternatif kapal yang lain. Optimasi dapat dengan mudah
dilakukan dengan metode Integer Linear Programming (ILP).
Fungsi objektif adalah mendapatkan biaya transportasi rute yang
paling
minimal dengan memilih satu kapal untuk beroperasi pada rute
tersebut. Secara
matematis dapat dituliskan pada persamaan (2). adalah biaya
transportasi rute
dengan menggunakan kapal , dan adalah variabel keputusan kapal
terpilih yang
bernilai 1 jika kapal terpilih, dan bernilai 0 jika
sebaliknya.
(2)
Pada studi ini, sistem sewa kapal menggunakan skema time charter.
Sehingga
biaya transportasi didapatkan dari penjumlahan antara biaya bahan
bakar kapal,
biaya pelabuhan, dan biaya sewa kapal yang diakumulasi selama satu
tahun, persamaan (3).
(3)
Biaya bahan bakar bergantung pada konsumsi bahan bakar kapal dan
waktu
operasional kapal untuk memenuhi permintaan LNG pada rute selama
satu tahun.
Biaya pelabuhan bergantung pada jumlah terminal penerima pada rute
dan
banyaknya trip kapal pada rute dalam satu tahun.
Batasan diperlukan untuk menjamin bahwa kapal yang terpilih
merupakan kapal yang paling optimal diantara alternatif kapal yang
lain. Batasan dari optimasi pemilihan kapal tiap rute, antara
lain:
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Persamaan (5) merupakan batasan waktu operasional kapal untuk
memenuhi
kebutuhan LNG pada rute selama satu tahun kurang dari waktu
maksimum kapal
beroperasi dalam satu tahun. Mengacu pada Stopford (2009), total
waktu kapal tidak
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-22 A.A.B. Dinariyana, Cakra D, Dhimas WH: Desain Sistem
Distribusi LNG
beroperasi dikarenakan dry dock dan out of sevice untuk kapal
dengan umur 0 sampai 10 tahun adalah 30 sampai 37 hari. Maksimal
waktu operasional kapal dalam satu tahun diasumsikan 330 hari.
Batasan (6) merupakan hukum supply demand dimana suplai LNG dalam
satu tahun lebih dari atau sama dengan permintaan LNG dalam satu
tahun. Batasan (7) menjamin bahwa stok LNG pada terminal penerima
masih tersedia hingga sekali round trip kapal (Armita, 2011).
Batasan (8) menjamin bahwa hanya ada 1 kapal yang terpilih untuk
melayani tiap rute. Batasan (9) merupakan variabel keputusan kapal
terpilih atau tidak untuk melayani rute . bernilai 1
menunjukkan
bahwa kapal terpilih dan 0 jika sebaliknya.
Optimasi Pemilihan Rute Distribusi menggunakan Set Partitioning
Problem (SPP)
Set Partitioning Problem (SPP) digunakan dalam permasalahan
distribusi ketika suatu kota atau node wajib dikunjungi hanya satu
kali. Pada studi ini membahas tentang distribusi LNG untuk
pembangkit, sehingga untuk menjamin ketersediaan listrik maka semua
terminal penerima harus mendapatkan pasokan LNG. Disamping itu
permintaan LNG dari tiap terminal penerima jauh lebih kecil dari
kapasitas kapal LNG yang tersedia maka tidak perlu satu terminal
penerima dilayani oleh 2 kapal atau lebih.
Fungsi objektif dari Set Partitioning Problem pada studi ini adalah
terpilihnya satu atau beberapa rute yang melayani seluruh terminal
penerima dengan total biaya transportasi minimum. Secara matematis
dapat dituliskan pada persamaan (10).
adalah biaya transportasi rute , dan adalah variabel keputusan rute
terpilih atau
tidak. bernilai 1 jika rute terpilih, dan bernilai 0 jika
sebaliknya. Selanjutnya,
menyatakan himpunan semua rute yang mungkin.
(10)
Batasan diperlukan untuk memastikan bahwa rute yang terpilih
merupakan rute
yang paling optimal diantara alternatif rute yang lain dan
masing-masing terminal penerima dilayani satu kali. Berikut ini
batasan dari optimasi pemilihan rute.
(11)
(12)
(13)
Batasan (12) menjamin bahwa setiap terminal penerima hanya akan
dikunjungi
satu rute. Batasan (13) merupakan batasan biner dari variabel
keputusan dan
adalah parameter yang bernilai 1 jika rute mengunjungi terminal
penerima dan
bernilai 0 jika sebaliknya (Lysgaard, 2014).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penentuan rute yang mungkin (feasible
route)
Berdasarkan sebaran lokasi pembangkit secara kualitatif pembangkit
dibagi menjadi tiga cluster. Cluster I terdiri dari pembangkit yang
terletak di Provinsi Maluku Utara. Cluster II terdiri dari
pembangkit yang terletak di Pulau Buru, Pulau Seram dan
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
A.A.B. Dinariyana, Cakra D, Dhimas WH: Desain Sistem Distribusi LNG
C2-23
Pulau Ambon, Provinsi Maluku. Cluster III terdiri pembangkit yang
terletak di Pulau Kai Ketjil, Pulau Warmar, dan Pulau Jamdena
Provinsi Maluku. Pembangkit dengan jarak yang berdekatan
diasumsikan terminal penerima digabung menjadi satu dan selanjutnya
tiap pembangkit yang berdekatan akan dilayani dengan menggunakan
pipa atau truk. Sehingga pada cluster I dan cluster II terdapat 6
terminal penerima, sedangkan cluster III terdapat 3 terminal
penerima. Permintaan LNG tiap terminal penerima dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Permintaan (Demand) tiap terminal penerima
Cluster Terminal Penerima Lokasi Demand (m3/d)
I
3 Ternate 399.13
4 Tidore 500.87
6 Soa Sio, P. Tidore 38.35
II
12 Teluk Ambon 759.91
14 Dobo, P. Warmar 78.26
15 Saumlaki, P. Jamdena 78.26
Jumlah terminal penerima pada tiap cluster mempengaruhi banyaknya
rute yang
mungkin. Dengan menggunakan kombinasi yang selanjutnya rute
kombinasi dipilih jarak yang terpendek dengan menggunakan metode
Travelling Salesman Problem (TSP) didapatkan masing-masing 126 rute
yang mungkin pada cluster I dan cluster II, 14 rute pada cluster
III. Rute yang mungkin pada cluster III dapat dilihat pada Tabel 3.
Hasil optimasi pemilihan kapal tiap rute
Kapal yang terpilih untuk melayani tiap rute adalah kapal yang
memiliki biaya transportasi paling minimum dan mampu memenuhi
permintaan (demand). Biaya transportasi dihitung berdasarkan
beberapa asumsi yang diberikan. Adapun asumsi yang diberikan
diantaranya adalah sebagai berikut:
Biaya sewa kapal LNG per hari untuk kapal ukuran 2500 m3, 7500 m3,
10000 m3, 19500 m3, dan 23000 m3 berturut-turut dalam USD adalah
6000, 9500, 13600, 21000, dan 25000.
Biaya jasa pelabuhan mengacu pada tarif jasa pelabuhan PT. Pelindo
IV (Persero) Harga bahan bakar mengacu pada harga bahan bakar
pertamina patra niaga per 1
April 2016.
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-24 A.A.B. Dinariyana, Cakra D, Dhimas WH: Desain Sistem
Distribusi LNG
Sebagai contoh hasil optimasi pemilihan kapal tiap rute pada
cluster III dapat dilihat pada Tabel 3. Tiap rute yang ada pada
cluster III dapat dilayani oleh kapal dengan ukuran 2500 m3. Namun
apabila tiap terminal penerima dilayani oleh satu kapal, biaya
operasional akan jauh lebih besar daripada satu kapal melayani tiga
terminal penerima sekaligus. Begitu pula dengan cluster I dan
cluster II. Oleh karena itu perlu dilakukan proses optimasi lebih
lanjut untuk menentukan rute yang terpilih.
Tabel 3. Hasil optimasi pemilihan kapal tiap rute pada cluster
III
No Route
LNGC size (m3)
Hasil optimasi pemilihan rute distribusi menggunakan Set
Partitioning Problem (SPP)
Dalam melakukan optimasi dengan menggunakan aplikasi solver,
terlebih dahulu membuat model yang merupakan interpretasi
permasalahan, fungsi tujuan, serta batasan di Microsoft excel.
Metode Set Partitioning Problem mengharuskan tiap terinal penerima
hanya dilkunjungi oleh satu rute dan tiap terminal penerima harus
satu kali dikunjungi. Contoh hasil optimasi pemilihan rute dapat
dilihat pada Tabel 4. Rute yang terpilih pada cluster III adalah
rute T-13-15-14-T yang berarti LNG pada cluster III dipasok dari
kilang Tangguh dengan menggunakan kapal berukuran 2500 m3.
Distribusi LNG pada cluster III berawal dari kilang Tangguh yang
kemudian berturut- turut mengunjungi teriminal penerima 13 (Pulau
Kai Ketjil), terminal penerima 15 (Pulau. Jamdena), dan 14 (Pulau
Warmar) sebalum kembali ke kilang Tangguh).
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
A.A.B. Dinariyana, Cakra D, Dhimas WH: Desain Sistem Distribusi LNG
C2-25
Tabel 4. Hasil optimasi pemilihan rute pada cluster III
No Route
LNGC size (m3)
3 T-15-T 0 0 1 2500.00 2,622,733.45 0
0.00
5 T-13-15- T
6 T-14-15- T
7 T-13-15- 14-T
8 D-13-D 1 0 0 2500.00 2,685,802.06 0 0.00
9 D-14-D 0 1 0 2500.00 2,468,806.06 0 0.00
10 D-15-D 0 0 1 2500.00 2,447,253.03 0 0.00
11 D-13-14- D
12 D-13-15- D
13 D-14-15- D
14 D-13-14- 15-D
2,962,198.77
Berdasarkan optimasi dari ke 3 cluster, untuk melayani ke 23
pembangkit yang
ada di Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara dihasilkan 4 rute
yang diberikan pada Gambar 2. Rute-rute tersebut dilayani oleh 4
kapal mini LNG yang terdiri dari 3 kapal berukuran 7500 m3 dan 1
kapal berukuran 2500 m3. Biaya transportasi total yang dibutuhkan
untuk ke 4 kapal adalah USD 16,435,458 per tahun
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-26 A.A.B. Dinariyana, Cakra D, Dhimas WH: Desain Sistem
Distribusi LNG
Gambar 2. Hasil Optimasi
KESIMPULAN
Dengan menggunakan pendekatan Linear Programming sistem distribusi
LNG ke 23 pembangkit di Provinsi Maluku dan Maluku Utara
menggunakan 4 kapal mini LNG yang terdiri 3 kapal berukuran 7500 m3
dan 1 kapal berukuran 2500 m3. Pemasok LNG untuk pembangkit di
Provinsi Maluku adalah kilang Donggi Senoro LNG sedangkan
pembangkit di Provinsi Maluku Utara dipasok dari kilang Tangguh
LNG. Biaya transportasi total yang dibutuhkan untuk ke 4 kapal
adalah USD 16,435,458 per tahun
DAFTAR PUSTAKA Armita, I Putu Yusna. 2011. Optimasi Rantai Pasok
LNG: Studi Kasus Kebutuhan LNG di
Bali. Surabaya: ITS. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
2015. Peraturan Menteri ESDM no. 37
tahun 2015 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan
Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi. Jakarta: Kementerian ESDM
Lysgaard, Jens, Sanne Wohlk.2014. A Branch and Cut Price Algorithm
for the Cumulative Capacicated Vehicle Routing Problem. European
Journal of Operational research 236, 800-810.
Perusahaan Listrik Negara. 2014. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik PT PLN (Persero) Tahun 2015-2024.
Renaud, J., Laporte, G., & Boctor, F. F. 1996. A Tabu Search
Heuristic for the Multi Depot Vehicle Routing Problem. In Torres
Jairo R.Montoya, et al. 2015. A literature Review on The Vehicle
Routing Problem with Multiple Depots. Computer & Industrial
Engineering 79, 115-129.
Soegiono, Ketut Buda Artana. 2006. Transportasi LNG Indonesia.
Surabaya: Airlangga University Press.
Stopford, Martin. 2009. Maritime Economics Third edition. New York:
Routledge.
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
Emmy P, Ketut Buda A, AAB Dinariyana, Putri Dyah S: Aplikasi
Automatic Identification C2-27
APLIKASI AUTOMATIC IDENTIFICATION SYSTEM (AIS) UNTUK MENENTUKAN
RISK COLLISION KAPAL
BERDASARKAN FUZZY INFERENCE SYSTEM
Emmy Pratiwi1, Ketut Buda Artana2, AAB Dinariyana2 Putri Dyah
Setyorini2
1Program Pascasarjana Teknologi Kelautan
emmy15@mhs.na.its.ac.id
Abstrak: Alur pelayaran barat Surabaya (APBS) yang berlokasi di
Selat Madura merupakan salah satu alur pelayaran terpadat di
Indonesia. Jumlah kapal di APBS
yang semakin meningkat berbanding lurus dengan meningkatnya
kecelakaan kapal seperti tubrukan kapal. Studi ini bertujuan untuk
menilai risiko tubrukan kapal di
jalur APBS dengan memanfaatkan data dari Automatic Identification
System (AIS).
AIS merupakan sistem tracking secara otomatis di kapal dan vessel
traffic services (VTS) yang digunakan untuk mengidentifikasi dan
mengetahui lokasi kapal melalui
pertukaran data secara elektronik dengan kapal lain maupun dengan
AIS base station di darat. Informasi yang diberikan oleh AIS dapat
berupa data statis seperti
tipe kapal, ukuran kapal data dinamis seperti posisi kapal,
kecepatan dan status navigasi. Risiko tubrukan kapal dinilai
berdasarkan dua parameter yaitu Closest Point of Approach (DCPA)
dan Time to Closest Point of Approach (TCPA). Nilai
DCPA dan TCPA dihitung dengan menggunakan data yang diperoleh dari
AIS. Dua parameter ini selanjutnya diproses dalam fuzzy inference
system untuk
mendapatkan risiko tubrukan kapal. Dari hasil analisis risk
collision pada tanggal 8 April 2015 pukul 13.00 WIB dan 03.00 WIB
di buoy 10 menunjukkan bahwa
terdapat pertemuan kapal yang memiliki risiko tubrukan yang cukup
tinggi yakni
0,84 dimana menurut rule yang disampaikan oleh Chen (2014), nilai
ini dapat dikategorikan dalam level High (H).
Kata kunci: AIS, risk collision, DCPA, TCPA, fuzzy inference
system
PENDAHULUAN
Alur pelayaran barat Surabaya (APBS) yang berlokasi di Selat Madura
merupakan satu-satunya jalur untuk kapal-kapal yang akan masuk ke
beberapa palabuhan besar seperti Pelabuhan Tanjuk Perak Surabaya
dan Pelabuhan Teluk Lamong Gresik. Hal ini menyebabkan APBS menjadi
salah satu alur pelayaran terpadat di Indonesia. Gambar 1
menunjukkan data statistik jumlah kunjungan kapal ke Surabaya dan
Gresik melalui APBS berdasarkan informasi dari PT. Pelindo
III.
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-28 Emmy P, Ketut Buda A, AAB Dinariyana, Putri Dyah S: Aplikasi
Automatic Identification
Gambar 1. Jumlah Kapal di APBS
Data pada Gambar 1 tersebut menunjukkan bahwa setiap tahun hampir
selalu terjadi kenaikan jumlah kunjungan kapal. Meningkatnya jumlah
kunjungan kapal ternyata juga sebanding dengan meningkatnya jumlah
kecelakaan kapal. Selama tahun 2005-2009, jumlah kecelakaan kapal
di Indonesia cukup tinggi. Berdasarkan laporan dari Mahkamah
Pelayaran, sekitar tidak kurang 293 khasus terjadi kecelakaan kapal
(Mahkamah Pelayaran Indonesia, 2009). Kecelakaan tersebut
dikategorikan menjadi beberapa yakni kapal tenggelam (31%), kapal
kandas (25%), kapal tabrakan (18,27%), kapal terbakar (9,67%) dan
lainnya sebesar 16,06%. Penyebab dari kecelakaan tersebut juga
beragam namun penyebab terbesarnya adalah akibat human error
78,45%, penyebab lain seperti kesalahan teknis (9,67%), karena
kondisi cuaca (1,07%,) dan 10,75% karena kombinasi cuaca dan
kesalahan teknis (Artana, et al., 2012). Penyebab kecelakaan ini
seperti yang tercantum pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2. Data Jenis Kecelakaan Kapal
Berdasarkan tingginya angka kecelakaan kapal akibat kesalahan
manusia serta
banyaknya korban yang meninggal dunia, maka studi tentang risiko
adanya kecelakaan khusunya di alur pelayaran yang padat menjadi
sangat penting sebagai upaya untuk meningkatkan keselamatan.
Pada studi ini, perhitungan risiko tubrukan kapal pada Selat Madura
akan disajikan dengan mengembangkan dan memanfaatkan data Automatic
Identiication System (AIS). Risk collision yang menunjukkan peluang
kapal tersebut akan menubruk kapal lain dihitung dengan parameter
Closest Point of Approach (DCPA) dan Time to Closest Point of
Approach (TCPA) sebagai input untuk logika fuzzy. a. Automatic
Identification System (AIS) Mulai pada tahun 2000, International
Maritime Organization (IMO) merekomendasikan peraturan baru untuk
kapal yang memiliki gross tonnage 300 dan lebih wajib memasang
Automatic Identiication System (AIS). AIS merupakan sistem tracking
secara otomatis di kapal dan vessel traffic services (VTS) yang
digunakan untuk mengidentifikasi dan mengetahui lokasi kapal. AIS
menggunakan transceiver radio VHF yang mampu mengirimkan informasi
kapal tersebut kepada kapal lain dan
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
Emmy P, Ketut Buda A, AAB Dinariyana, Putri Dyah S: Aplikasi
Automatic Identification C2-29
juga pada otoritas di daratan secara otomatis. Informasi yang
diberikan oleh AIS dapat berupa data statis seperti nama kapal,
tipe kapal, ukuran kapal, nomor registrasi IMO sedangkan data
dinamis seperti posisi kapal, heading kapal, course over the ground
(COG) dan status navigasi. Data AIS ini telah banyak digunakan dan
dikembangkan oleh para peneliti seperti untuk estimasi gas buang
kapal, peta navigasi, evakuasi kapal dan menentukan dangerous score
pada setiap kapal (Pitana, et al., 2010; Kobayashi, et al., 2010;
Pitana, et al., 2008). Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
juga telah mengembangkan AIS menjadi suatu tampilan web aisits.cf
untuk memonitoring kapal-kapal yang beroperasi di Selat Madura
melalui reciever yang terpasang di Laboratorium Keselamatan dan
Keandalan, ITS. Dari web tersebut informasi kapal seperti nama,
tipe dan ukuran kapal, status navigasi serta inspection score dapat
diketahui. Tampilan web tersebut seperti pada Gambar 3
berikut.
Gambar 3. Tampilan Web aisits.cf
b. Penentukan Risiko Tubrukan Kapal (Collision Risk) Risiko
tubrukan kapal atau collision risk ditentukan berdasarkan dua
kriteria penting yaitu Closest Point of Approach (DCPA) dan Time to
Closest Point of Approach (TCPA). DCPA adalah jarak terdekat antar
dua kapal yang saling mendekati satu sama lain. TCPA merupakan
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik DCPA. DCPA dan TCPA
dihitung berdasarkan posisi kapal dan sudut navigasinya.
Gambar 4. Bearing Own Ship dan Target Ship
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-30 Emmy P, Ketut Buda A, AAB Dinariyana, Putri Dyah S: Aplikasi
Automatic Identification
Pada Gambar 4 menunjukkan hubungan antara bearing own ship dan
target ship yang mempengaruhi perhitungan DCPA dan TCPA. Persamaan
untuk mendapatkan nilai DCPA dan TCPA antar kapal O dan T dapat
dihitung menggunakan persamaan 1 dan 2 berikut (Shen, et al.,
2013):
(1) (2)
merupakan velocity own ship, adalah velocity target ship. Jarak
antar kapal (D) juga harus dihitung terlebih dahulu. Pertemuan
antar kapal ditunjukkan dengan
relative bearing dari own ship () dan relative bearing dari target
ship (). c. Fuzzy Inference System
Fuzzy inference system (FIS) adalah proses pemetaan dari input yang
diberikan untuk mengetahui output menggunakan fuzzy logic. Proses
tersebut melibatkan membership functions, fuzzy logic operators,
dan if-then rules. Pada studi ini, fuzzy inference system digunakan
untuk pendekatan perhitungan risiko tubrukan. Tabel 1 memberikan
lima nilai linguistik untuk variabel TCPA, DCPA, dan Collision Risk
(C).
Tabel 1. Lima nilai linguistik untuk variabel TCPA, DCPA, dan Risk
Collision
(Chen , et al., 2014)
1-3 Medium Small 2-6 Medium Small 0.2-0.6 Medium Low
2-4 Medium 4-8 Medium 0.4-0.8 Medium
3-5 Medium Big 6-10 Medium Big 0.6-1 Medium High
4-6 Big 8-10 Big 0.8-1 High Tabel 2 menunjukan rules yang digunakan
untuk menentukan level risiko tubrukan kapal. Contohnya apabila
nilai DCPA berada pada level small (S) dan TCPA juga berada pada
level small (S), maka collision risk (CR) berada kategori High
(H).
Tabel 2. Rules untuk Nilai CR (Chen , et al., 2014)
CR DCPA
TCPA
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
Emmy P, Ketut Buda A, AAB Dinariyana, Putri Dyah S: Aplikasi
Automatic Identification C2-31
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan suatu aplikasi dari peralatan Automatic
Identification System (AIS) sebagai suatu sistem monitoring untuk
meningkatkan keselamatan pelayaran pada kapal-kapal yang melewati
jalur padat yakni Alur Pelayaran Barat Surabaya. AIS yang terpasang
di kapal berfungsi untuk menyediakan informasi kapal- kapal di APBS
kepada kapal lain dan juga pada otoritas di daratan secara
otomatis. Receiver atau penerima data AIS yang digunakan pada
penelitian telah terpasang di Laboratorium Keandalan dan
Keselamatan, Jurusan Teknik Sistem Perkapalan, ITS.
Untuk mendapatkan hasil akhir berupa nilai collision risk
kapal-kapal di APBS, terdapat beberapa tahapan mulai dari proses
pengambilan data dari AIS, mengolah atau mengubah data-data
tersebut sehingga siap untuk digunakan, merumuskan data- data
kedalam suatu persamaan untuk memperoleh risk collision. Data yang
dibutuhkan antara lain nama kapal, longitude, latitude, Speed Over
Ground, Course Over Ground dan UTC (Universal Time Coordinated).
Kemudian data tersebut akan diproses untuk memperoleh nilai DCPA
dan TCPA. Kedua paramater merupakan input dari fuzzy inference
system untuk memperoleh risk collision. Untuk menyelesaikan logika
fuzzy, pada studi ini menggunakan bantuan MATLAB. HASIL DAN
PEMBAHASAN
Berdasarkan data yang didapatkan dari AIS selama satu tahun yakni
2015 menunjukkan bahwa kepadatan kapal di alur yang tertinggi
terjadi pada bulan April. Namun pada penelitian ini, analisis
risiko tubrukan kapal hanya dilakukan pada tanggal 8 April 2015
pukul 03.00 WIB dan 13.00 WIB. Pada jam tersebut merupakan waktu
terpadat kapal berada di alur. Kapal-kapal yang sedang beroperasi
pada waktu tersebut terlihat pada Gambar 5 berikut.
Gambar 5. Kapal-kapal di Buoy 10 APBS pada 8 April 2015 pukul 03.00
WIB dan
13.00 WIB
Gambar 6 menunjukkan contoh dari salah satu encounter yang telah
dilakukan fuzzy inference system dengan MATLAB. Dimana dengan
bantuan MATLAB didapatkan hasil probabilitas tubrukan dengan input
dua parameter yaitu DCPA dan TCPA.
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-32 Emmy P, Ketut Buda A, AAB Dinariyana, Putri Dyah S: Aplikasi
Automatic Identification
Gambar 6. Fuzzy Inference System dengan MATLAB
Masing-masing encounter akan dilakukan perhitungan seperti pada
Gambar 6
Sehingga pada Tabel 3 didapatkan hasil perhitungan seluruh
encounter dengan fuzzy untuk mendapatkan nilai collision risk pada
pertemuan antar kapal berdasarkan parameter DCPA dan TCPA. Tabel 3.
Risk Collision Tiap Pertemuan Kapal
No Encounter D (m) α β Vo
(m/s) Vt Vr DCPA TCPA
Risk Collision
1 Encounter
1 23,24 59,07 117,28 3,70 3,09 4,72 2,50 -4,79 0,84 H
2 Encounter
2 158,35 28,44 151,79 5,04 5,35 5,98 96,31 -9,10 0,84 H
3 Encounter
3 152,31 19,42 156,32 5,35 3,70 6,86 7,19 23,26 0,50 ML
4 Encounter
4 91,01 48,43 120,06 3,45 5,56 5,22 2,60 11,46 0,50 ML
5 Encounter
5 93,44 15,22 162,68 5,35 4,94 5,20 10,50 -3,03 0,63 MH
6 Encounter
6 79,60 40,72 134,57 5,50 5,61 9,50 28,75 -9,12 0,84 H
7 Encounter
7 25,70 26,20 154,34 3,70 3,70 4,07 11,22 -2,49 0,84 H
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada studi ini, data yang
diterima dari Automatic Identification System (AIS) dapat
dimanfaatkan untuk menilai risiko tubrukan dari kapal. Dengan
menggunakan parameter DCPA dan TCPA, risk collision dihitung dengan
fuzzy inference system. Dari hasil analisis nilai risk collision
pada tanggal 8 April 2015 pukul 03.00 WIB dan 13.00 WIB di buoy 10
menunjukkan bahwa
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
Emmy P, Ketut Buda A, AAB Dinariyana, Putri Dyah S: Aplikasi
Automatic Identification C2-33
terdapat beberapa encounter atau pertemuan kapal yang memiliki
risiko tubrukan kapal tinggi yakni 0,84. Dimana berdasarkan rules
yang digunakan, nilai 0,84 termasuk dalam kategori High (H). Nilai
collision risk yang tinggi ini bisa disebabkan karena posisi kedua
kapal sehingga jarak antar kedua kapal tersebut berdekatan dan juga
sudut heading kapal yang mengarah ke titik yang dapat terjadi
collision. DAFTAR PUSTAKA Artana, K. B., Dinariyana, D. P. &
Pitana, T., 2012. Pengembangan Perangkat Simulasi
Marine Traffic Melalui Integrasi Automatic Identification System
dan Geographical Information System. s.l., InSINas.
Chen , S., Rashid, . A., Lee, B. G. & Kim, D. H., 2014.
Composition ship collision risk based on fuzzy theory. Central
South University Press and Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Kobayashi, E. et al., 2010. Installation of an Asian AIS data
receiving system network. Pitana, T. et al., 2008. A large
passenger ship evacuation assessment due to Tsunami
Attack. Journal of the Japan Society of Naval Architects and Ocean
Engineers (JASNAOE), Volume 8, pp. 195-207.
Pitana, T., Kobayashi, E. & Wakabayashi, N., 2010. Estimation
Of Exhaust Emission Of Marine Traffic Using Automatic
Identification System Data (Case Study : Madura Strait Area,
Indonesia ). OCEANS 2010 LEEE Sydney 24-27 May 2010, CFP100CF – CDR
978-1-4244-5222 Library Of Congress : 2009934926.
Shen, Guangwei, M., Koji , H. & Yuji, 2013. A Study on Alarm
System for Small Ship Safety Navigation in Ningbo-Zhoushan Port.
Kobe University Repository : Kernel.
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-34 Muh Syahrul F, Iradiratu DPK: Direct Torque Cntrol
DIRECT TORQUE CONTROL BERBASIS ADAPTIVE FUZZY LOGIC
CONTROLLER
SEBAGAI PENGENDALI KECEPATAN MOTOR INDUKSI TIGA FASA
Muhammad Syahrul Fitrah1, Iradatu DPK2
Jurusan Teknik Elektro
Jl. Arif Rahman Hakim No.150, Surabaya 60111 e-mail
:Syahrulfitrah09@gmail.com
Abstrak: Motor induksi merupakan motor yang banyak digunakan pada
dunia
industri, disamping harga yang relatif murah, perawatan yang
mudah.motor ini memiliki kemapuan yang baik pada kecepatan putar.
Kelemahan motor ini adalah
pada saat terjadinya perubahan torsi beban, kecepatan motor akan
berubah. Pada penelitian ini dibahas tentang sistem pengaturan
kecepatan motor induksi dengan
metode DTC (Direct Torque Control) yang dapat memberikan respon
yang cepat pada saat terjadinya perubahan torsi beban sehingga
motor tetap pada kedudukan
steady steate dan akan kembali kekedudukan setpoint dengan
cepat.Untuk
memperoleh performansi pengaturan kecepatan motor induksi tiga fasa
dengan metode DTC (Direct Torque Control) memerlukan sistem kontrol
yang baik, artinya
sistem kontrol yang dapat mengikuti perubahan kecepatan (setpoint)
dengan cepat. Maka dari itu pengaturan kecepatan motor induksi tiga
fasa dengan
menggunakan metode DTC (Direct Torque Control) dikembangkan
dengan
menggunakan kontrol kecerdasan Adaptive Fuzzy Controller. Hasil
simulasi dengan simulink menunjukkan bahwa dengan kontroler
Adaptive Fuzzy pengaturan
kecepatan motor induksi saat start terjadi overshoot 0.10%, rise
time 1 detik dan setling time 1.1 detik untuk kecepatan motor
referensi 1800 rpm. Dengan
menggunakan Direct Torque Control ( DTC ) berbasis Adaptive Fuzzy
Controller mampu untuk mengikuti kecepatan referensi yang dinamis
dengan baik serta dapat menekan ripple sampai ke derajat yang
sangat rendah.
Kata Kunci: Motor Induksi, DTC (Direct Torque Control), Kontrol
Logika,
Adaptive Fuzzy, Pengaturan Kecepatan PENDAHULUAN Motor DC adalah
motor yang paling ideal untuk dipakai dalam pengemudian elektrik,
karena motor tersebut adalah motor yang linier dan pengaturan
kecepatannya mudah. Kelemahan dari motor dc adalah harganya cukup
mahal, ukurannya relative besar, dan adanya komutator dan
sikat-sikat dalam motor, memerlukan suatu pemeliharaan yang rutin
dan selama pemeliharaan operasi system terhenti. Sedangkan motor
induksi harganya murah, kokoh dan bebas dari pemeliharaan.
Kelemahan motor induksi adalah bahwa motor induksi adalah motor
yang tidak linier, dan metoda untuk mengatur kecepatan adalah
rumit, disamping itu diperlukan suatu konverter yang akan
menimbulkan harmonisa. Ada banyak metode untuk pengaturan kecepatan
motor induksi. Diantara kontrol tersebut adalah kontrol tegangan /
frekuensi (v/f) kontrol ini paling sederhana, karena banyak
digunakan di industri. Dan juga dikenal sebagai kontrol skalar
yang
Muh Syahrul F, Iradiratu DPK: Direct Torque Cntrol C2-35
menggunakan metode antara tegangan / frekuensi konstan Kontrol ini
digunakan tanpa umpan balik kecepatan.Menurut pendapat Casadei,
2006 kelemahan dari kontrol ini belum mencapai nilai yang akurat
pada respon kecepatan, dimana kontrol fluks stator dan torka masih
menggunakan kontrol tidak langsung. Vektor Kontrol, untuk jenis ini
ada loops kontrol untuk mengontrol torka dan fluks. Yang umum
digunakan adalah transformasi vektor. Dalam aplikasinya motor
induksi pengaturan kecepatanya sulit dilakukan, tetapi setelah
adanya Field Oriented Control (FOC) masalah tersebut dapat diatasi.
Sehingga dengan adanya metode FOC, motor induksi banyak digunakan
diindustri. Field Oriented Control (FOC) adalah suatu metode
pengaturan medan pada motor ac, dimana dari sistem coupled dirubah
menjadi sistem decoupled. Dengan sistem ini arus penguatan dan arus
beban motor dapat dikontrol secara terpisah, dengan demikian torsi
dan fluksi juga dapat diatur secara terpisah, seperti halnya motor
dc.
Dengan menggunakan Metode Direct Torque Control untuk mengontrol
secara langsung fluks stator dan torsi. Hasil simulasi dengan
simulink menunjukkan bahwa dengan kontroler Adaptive Fuzzy
pengaturan kecepatan motor induksi tidak berbeban saat start
terjadi overshoot 0.8%, rise time 1 detik dan setling time 1.3
detik untuk kecepatan referensi 1800 rpm, dan saat di beri beban
100Nm terjadi overshoot 0.27% pada kecepatan referensi 1500Rpm.
Dengan menggunakan Direct Torque Control ( DTC ) berbasis Adaptive
Fuzzy mampu untuk mengikuti kecepatan referensi yang dinamis dengan
baik serta dapat menekan ripple sampai ke derajat yang sangat
rendah. DASAR TEORI Motor Induksi Tiga Fasa Motor induksi merupakan
motor arus bolak balik (AC) yang paling luas digunakan, terutama
pada industri-industri. Prinsip kerja motor ini berdasarkan proses
induksi yang terjadi pada bagian rotor, dimana arus yang mengalir
pada kumparan rotor merupakan arus yang terinduksi sebagai akibat
adanya perbedaan antara putaran rotor dengan medan putar stator,
yang dihasilkan oleh kumparan stator. Motor induksi pada umumnya
berputar dengan kecepatan konstan, mendekati kecepatan sinkronnya.
Meskipun demikian pada penggunaan tertentu dikehendaki juga adanya
pengaturan putaran. Pengaturan putaran motor induksi memerlukan
biaya yang agak tinggi, sedangkan daerah pengaturan yang diperoleh
tidak begitu lebar. Biasanya pengaturan ini dapat dilakukan dengan
beberapa cara yaitu dengan mengubah jumlah kutub motor, mengubah
frekwensi jala-jala, mengatur tegangan jala-jala, dan mengatur
tahanan luar (belly YD, 2014). Field Oriented Control
Field Oriented Control (FOC) adalah suatu metode pengaturan medan
pada motor ac, dimana dari sistem coupled dirubah menjadi sistem
decoupled. Dengan sistem ini arus penguatan dan arus beban motor
dapat dikontrol secara terpisah, dengan demikian torsi dan fluksi
juga dapat diatur secara terpisah, seperti halnya motor dc. Diagram
blok yang menggambarkan prinsip dasar sistem decoupled field
oriented control (FOC Decoupled) motor induksi ditunjukkan pada
gambar 1.
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-36 Muh Syahrul F, Iradiratu DPK: Direct Torque Cntrol
Gambar 1. Diagram Blok FOCDecoupled Motor Induksi ( Ari, 2002)
Transformasi Clarke dan Part FOC
Transformasi Clarke didalam field oriented control motor induksi
digunakan untuk mentransformasikan arus stator tiga fasa (ia, ib,
dan ic) pada bidang stasioner
(stationary reference frame) ke arus stator ortogonal dua fasa (i
dan i) pada bidang ortogonal (orthogonal reference frame).
Sedangkan Transformasi Part digunakan untuk
mentransformasikan arus stator (i dan i) ke arus stator dua fasa
(ids dan iqs) pada bidang putar (rotating reference frame).
Direct Torque Control (DTC)
Direct Torque Control (DTC) merupakan suatu teknik kontrol yang
lebih mengarah pada pengaturan dengan torsi yang berubah – ubah
sesuai kebutuhan beban pada motor khususnya motor induksi. Secara
umum prinsip dari metode DTC adalah memilih satu dari enam vektor
egangan inverter dan dua diantaranya adalah vektor nol( Endro dkk,
2009 ). Metode DTC adalah suatu metode yang digunakan dalam
variable frequency driveuntuk mengontrol torsi dan kecepatan pada
motor induksi tiga fasa. Metode ini meliputi perhitungan estimasi
fluks dan torsi motor berdasarkan tegangan dan arus pada motor.
Fluks stator diestimasi berdasarkan tegangan stator. Torsi
diestimasi dari estimator vektor fluks stator dan arus motor.
Magnitude fluks dan torsi yang diestimasi kemudian dibandingkan
dengan nilai referensinya.
Gambar 2. Direct Torque Control (DTC) pada Motor Induksi
)tsin(
)tcos(
e
e
r
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
Muh Syahrul F, Iradiratu DPK: Direct Torque Cntrol C2-37
DTC ini terdiri dari empat bagian utama, yaitu VoltageSource
Inverter (VSI), fluks stator dan torsi estimator, table switching
serta hysterisis fluks dan torque estimator.Hysterisis band
controllerakan menentukan switchingvector untuk mengurangi
errorfluk stator dan torsi menuju nol (Endro dkk, 2009). Adaptive
fuzzy
Adaptif fuzzy Sistem kendali logika adaptif fuzzy akan mengubah dan
menyesuaikan parameter kendali secara otomatis sesuai dengan
kelakuan sistem yang dikehendaki ( Wang Xin-Li, 1997). Sistem
adaptif fuzzy dapat dipandang sebagai sistem logika fuzzy yang
memiliki kemampuan membangkitkan aturan-aturan (rule) secara
otomatis melalui pembelajaran.Salah satu algoritma pembelajaran
yang dapat digunakan yaitu pembelajaran dengan gradient descent
yang disebut juga dengan error backpropagation (Wang XiLin, 1997).
Sistem logika fuzzy yang akan digunakan yaitu fuzzyfikasi
singleton, defuzzyfikasi rata-rata tengah (center average
defuzzifier),dan fungsi keanggotaan gaussian, sehingga
keluaranadaptif fuzzy dapat dinyatakan dalambentuk pers. (1)
Parameter yang dapat diubah dari sistem logika fuzzy di atas yaitu
:
Dimana V adalah semesta pembicaraan pada keluaran sedangkan
Ui
adalahsemesta pembicaraan pada masing-masing masukannya.M adalah
banyaknya fungsi keanggotaan fuzzy dan N adalah banyaknya masukan
sedangkan F(x) adalah sinyal keluaran jaringan fuzzy. Variabel l i
x dan σi l masing-masing adalah parameter titik tengah dan lebar
fungsi keanggotaan masukan Gaussian, sedangkan titik titik tengah
fungsi keanggotaan keluarannya adalah yl . Diasumsikan l i a = 1
karena harga dari fungsi keanggotaan maksimum berharga 1.
METODE PENELITIAN
Diagram Blok Sistem Gambar dibawah ini merupakan blok diagram
secara keseluruhan sistem yang dibuat pada penelitian ini.
Gambar 3. Blok Diagram Pengaturan Kecepatan Motor Menggunakan
Metode Direct
Torque Control
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-38 Muh Syahrul F, Iradiratu DPK: Direct Torque Cntrol
Perancangan Simulasi Sistem Perancangan simulasi ini terdiri dari
beberapa bagian yaitu perancangan pemodelan motor induksi tiga
fasa, direct field orientation methods dan kontroller Adaptive
Fuzzy .
Gambar 4. Pemodelan Motor Induksi Tiga Fasa Dengan Direct Torque
Control.
Perancangan Kontroler Logika AdaptiveFuzzy Pada penelitian ini
menggunakan fuzzy logic controller untuk mengatur kecepatan motor
induksi dan mengatasi perubahan torsi beban. Telah banyak
dikembangkan algoritma untuk inverter ini diantaranya adalah
switching inverter dimana keluaran dari inverter ini adalah
tegangan maksimal, min atau nol saja sehingga respon kecepatan
terhadap setpoint terdapat ripple. Dalam penelitian ini akan
dikembangkan inverter jenis sumber tegangan (voltage source
inverter) dengan menggunakan kontroler logika fuzzy sebagai
algoritma switching dari inverter. Penggunaan kontroler logika
fuzzy dapat memperbaiki respon dari motor induksi. Diagram Simulink
kontroler fuzzy yang digunakan untuk penelitian ini ditunjukkan
pada gambar 5.
Gambar 5. Diagram simulink kontroler logika fuzzy
HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut di bawah ini hasil simulasi
menggunakan kontroler Adaptive Fuzzy dan konvensional sebagai
pembanding, dengan melakukan percobaan pada beberapa keadaan yang
berbeda-beda mengubah nilai beban, speed referensi dari
system.
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
Muh Syahrul F, Iradiratu DPK: Direct Torque Cntrol C2-39
Simulasi Respon Kecepatan A. Speed referensi 1200 Rpm
Gambar 6. Perbandingan Respon Kecepatan Kontroller PI dan Adaptive
Fuzzy Pada
Kecepatan 1200 Rpm. Pada gambar 6 menunjukkan bahwa hasil dari
Kontroller Adaptive Fuzzy lebih
baik di banding PI.Pada saat starting awal speed referensi yg di
inputkan ialah 1200 dan terbukti kontroller Adaptive bisa
mendahului di waktu 0.7 detik, kemudian untuk kontroller PI hanya
mampu di kecepatan 1190 pada waktu 1.3 detik.
B. Speed referensi 1000 Rpm
Gambar 7. Perbandingan Respon Kecepatan Kontroller PI dan Adaptive
Fuzzy Pada
Kecepatan 1000 Rpm.
Pada gambar 7 menunjukkan bahwa hasil dari Kontroller Adaptive
Fuzzy lebih baik di banding PI.Pada saat starting awal speed
referensi yg di inputkan ialah 1000 dan terbukti kontroller
Adaptive bisa mendahului di waktu 0.6 detik, kemudian untuk
kontroller PI hanya mampu di kecepatan 965 pada waktu 1.2
detik.
Seminar Nasional Kelautan XI ” Penguatan Riset dan Teknologi dalam
Rangka Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 2
Juni 2016
C2-40 Muh Syahrul F, Iradiratu DPK: Direct Torque Cntrol
C. Speed referensi 300, 500, 1200 Rpm Tanpa Beban.
Gambar 8. Perbandingan Respon Kecepatan Kontroller PI dan Adaptive
Fuzzy Pada
Kecepatan 300, 500, 1200 Rpm Tanpa Beban.
Pada gambar 8 menunjukkan bahwa hasil dari Kontroller Adaptive
Fuzzy lebih baik di banding PI.Pada saat starting awal speed
referensi yg di inputkan ialah 300, 500, dan 1200.Terbukti
kontroller Adaptive bisa mendahului di waktu 0.3 detik untuk
kecepatan 500, lanjut kecepatan meningkat menjadi 1000 pada waktu
1,3 detik, setelah itu kecepatan meningkat lagi menjadi 1190 pada
waktu 2,2 detik dan pada akhirnya menunjukan steady state di
kecepatan 1180. Kemudian untuk kontroller PI hanya mampu di
kecepatan 460 pada waktu 0.6 detik.Lalu kecepatan meningkat menjadi
980 pada waktu 1,6 detik, setelah itu kecepatan meningkat lagi
menjadi 1185 pada waktu 2,4 detik dan pada akhirnya menunjukan
steady state di kecepatan 1200. Pengujian Simulasi Respon Kecepatan
dengan Torsi Beban Tetap Pengujian berikutnya adalah pengujian
dengan memberikan torsi beban (TL) tetap pada pengujian ini akan
diberikan tetap sebesar 20Nm dan sistem harus bisa mempertaha