Post on 06-Mar-2019
i
KAJIAN ORAGANOLOGI SARUNEI BULUH SIMALUNGUN BUATAN BAPAK RABES SARAGIH DI DESA NAGORI PURBA TONGAH KECAMATAN PURBA KABUPATEN SIMALUNGUN SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H NAMA : SITY AISYAH SARAGIH NIM : 110707009
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2015
ii
KAJIAN ORAGANOLOGI SARUNEI BULUH SIMALUNGUN BUATAN BAPAK RABES SARAGIH DI DESA NAGORI PURBA TONGAH KECAMATAN PURBA KABUPATEN SIMALUNGUN SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H NAMA: SITY AISYAH SARAGIH NIM : 110707009 Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196112211991031001 NIP 196512211991031001 Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni (S.Sn.) dalam bidang Etnomusikologi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2015
iii
PENGESAHAN DITERIMA OLEH: Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan Pada Tanggal : Hari : Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan, Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP 195110131976031001 Panitia Ujian: Tanda Tangan 1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D ( ) 2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. ( ) 3. Drs. Bebas Sembiring, M.Si. ( ) 4. Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si. . ( ) 5. Drs. Fadlin, M.A. ( )
iv
DISETUJUI OLEH DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
KETUA,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
NIP 196512211991031001
v
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan
Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Agustus 2015
SITY AISYAH SARAGIH
NIM: 110707009
vi
ABSTRAKSI
Skripsi sarjana ini berjudul “Kajian Organologi Sarunei Buluh Simalungun Buatan Bapak Rabes Saragih Di Desa Nagori Purba Tonggah, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun.” Permasalahan yang paling pokok dalam penelitian ini adalah tentang aspek organologi yang mencakup: (a) bagaimana proses dan teknik pembuatan sarunei buluh Simalungun yang dilakukan Bapak Rabes Saragih, (b) bagaimana teknik memainkan sarunei buluh Simalungun, (c) bagaimana eksistensi, guna, dan fungsi alat musik sarunei buluh di tengah-tengah masyarakat Simalungun? Untuk mengkaji tiga masalah organologis tersebut, penulis menggunakan dua teori utama yaitu untuk aspek alat musik itu sendiri digunakan teori struktural fungsional yang ditawarkan Susumu Kashima dan untuk mengkaji eksistensi, guna, dan fungsinya di dalam masyarakat digunakan teori uses and function yang dikemukakan oleh Merriam. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif disertai penelitian lapangan, dan penulis bertindak sebagai pengamat partisipan. Untuk melengkapi tulisan ini, penulis menentukan informan yang bersedia memberikan informasi tentang instrumen Sarunei Buluh Simalungun ini yaitu Bapak Rabes Saragih, seorang musisi tradisional Simalungun yang cukup dikenal dan dipandang memiliki kapasitas sebagai pembuat alat musik dan musisi di kalangan masyarakat Simalungun. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut Secara struktural alat musik Sarune Buluh Simalungun ini terbuat dari bambu rogon, dengan panjang 28,5 cm dan diameter bambu 0,5 cm. Alat musik ini masuk ke dalam klasifikassi aerofon berlidah tunggal (single reed), terdiri dari satu lubang hembusan dan sekali gus tempat lidah, satu lubang pembelah udara di sisi belakang, dan enam lubang nada yang keseluruhannya berbentuk lubang segi empat, serta bahagian ujungnya yang terbuka. Fungsinya adalah menghasilkan nada-nama untuk memainkan melodi lagu-lagu tradisi Simalungun, dimainkan secara tunggal. Fungsinya dalam masyarakat adalah sebagai: (i) hiburan, (ii) komunikasi, (iii) komunikasi, dan (iv) reaksi jasmani. Alat musik Sarune Buluh mengekspresikan kebudayaan Simalungun. Kata Kunci: Sarune buluh, struktural, fungsional, guna, organologi.
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapakan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan
penyusunan skripsi yang berjudul “Kajian Organologi Sarunei Buluh Simalungun
Buatan Bapak Rabes Saragih Di Desa Nagori Purba Tongah Kecamatan Purba
Kabupaten Simalungun.” Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh
gelar sarjana seni S-1 pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara.
Terima kasih diucapkan kepada Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku
dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan tak lupa kepada
segenap jajarannya, yang telah banyak membantu di kantor FIB USU.
Kemudian penulis mengucapkan terimakasih kepada Ketua Departemen
Etnomusikologi Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D. sebagai Ketua
Departemen Etnomusikologi dan sekaligus pembimbing dua, juga Ibu Dra.
Heristina Dewi, M.Pd selaku Sekretaris Departemen Etnomusikologi yang telah
memberikan dukungan dan bantuan administrasi serta registrasi dalam perkuliahan
terhadap mahasiswa/i di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara
(USU) dan dalam menyelesaikan tugas akhir penulis. Juga kepada pegawai
Departemen Etnomusikologi FIB USU yaitu Ibu Siti Nurhawani diucapkan terima
kasih.
Penulis secara khusus tidak lupa untuk mengucapkan terimakasih kepada
Dosen Pembimbing I, yaitu Bapak Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si yang telah
memberikan banyak bimbingan melalui arahan, masukan yang positif agar skripsi
viii
penulis dapat menjadi baik dan telah mengajar terhadap mahasiswa/i di Departemen
Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara (USU).
Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh dosen Departemen
Etnomusikologi, yaitu Bapak Prof. Drs. Mauly Purba, M.A., Ph.D., Ibu Dra.
Rithaony Hutajulu, M.A. , Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. , Ibu Dra. Frida
Deliana Harahap, M.Si., Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A. , Bapak Drs. Fadlin,
M.A. , Bapak Drs. Perikuten Tarigan, M.A. , Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si. ,
Ibu Arifni Netrirosa, SST., M.A., Bapak Drs. Irwansyah , M.A., terutama ilmu yang
penulis peroleh selama dalam proses mengajar di Departemen Etnomusikologi,
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (FIB USU), sampai ke dalam
penyelesaian tugas akhir penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua tercinta Bapak M.
Yamin Saragih dan mama Sawiyah Lubis yang telah membesarkan penulis dengan
kasih sayang dan berusaha payah membiayi, mendoakan, dan mendukung serta
memberikan semangat yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Juga kepada saudara/i penulis yang tersayang : Kakakku Halimah
Tuksadiah Saragih A.Md., Abangku M. Soleh Saragih, Kakakku Sity Anggur
Saragih. Keluarga yang selalu memberi dorongan, semangat dan doa, sebagai
inspirasi dalam tulisan ini.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua Informan , yaitu Bapak
Rabes Saragih, Bapak Riden Purba, dan Bapak Orsen Sumbayak beserta
keluarganya, dan seluruh keluarga Informan yang telah mau menerima penulis
selama melakukan penelitian dan memberikan banyak informasi mengenai
penelitian yang penulis teliti.
ix
Penulis mengucapkan terimakasih kepada teman-teman seperjuangan
stambuk 2011 (CCB.com) di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera
Utara (USU), yaitu Aprindo, Erwin, David, Jose, Gok, Debby, Lisken, Agnest,
Blessta, Agriva, Alfred, Appril, Ardi, Eyaki, Titi, Toyib, Benny, Andi, Adji, Roy,
Denny, Gopas, Jonathan, Kawan, Kharis, Leony, Mahyun, Mustika, Riri, Samuel,
Talenta, Tari, Zani, Zube, Egi, Riko, Elkando, Slamet, Linfia, Mona, Oktika, Rian,
Sopandu yang selalu setia dalam suka dan duka selama perkuliahan dan
penyelesaian skripsi penulis.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Verawati, Anita, Gohana, Nerly,
Blessta yang memberikan bantuan berupa doa, kasih sayang dan semangat kepada
penulis selama perkuliahan dan selama penyelesaian skripsi ini serta kepada seluruh
keluarga besar PSM USU.
Akhirnya, dengan segala kerendahan htai penulis menyadari masih banyak
terdapat kekurangan-kekurangan, sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan
kritikyang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Sehingga lebih
mengarah kepada kemajuan ilmu pengetahuan, yang khususnya di bidang ilmu
etnomusikologi. Penulis berharap tulisan ini dapat berguna dan menambah
pengetahuan serta informasi baru bagi seluruh pembaca.
Medan, Agustus 2015
Penulis
Sity Aisyah Saragih
NIM. 110707009
x
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... i ABSTRAK .................................................................................................. ii KATA PENGANTAR ............................................................................... vii DAFTAR ISI............................................................................................. viii DAFTAR GAMBAR .................................................................................. ix BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1 1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1 1.2 Pokok Permasalahan ............................................................................. 14 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. 15 1.3.1 Tujuan Penelitian .......................................................................... 15 1.3.2 Manfaat Penelitian ........................................................................ 15 1.4 Konsep dan Teori ................................................................................. 15 1.4.1 Konsep ......................................................................................... 15 1.4.2 Teori ............................................................................................. 17 1.5 Metode Penelitian ................................................................................. 19 1.5.1 Kerja Lapangan ............................................................................ 20 1.5.2 Wawanacara ................................................................................ 20 1.5.3 Lokasi Penelitian .......................................................................... 21 1.5.4 Studi Kepustakaan ........................................................................ 21 1.5.5 Kerja Laboratorium ....................................................................... 22 BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI BAPAK RABES SARAGIH ................................................ 23 2.1 Lokasai Penelitian ................................................................................ 23 2.2 Keadaan Penduduk ............................................................................... 24 2.3 Bahasa .................................................................................................. 24 2.4 Sistem Kesenian ................................................................................... 25 2.4.1 Seni Musik .................................................................................. 25 2.4.2 Seni Suara ................................................................................... 27 2.4.3 Seni Tari (Tor-tor) ...................................................................... 28 2.5 Sistem Kekerabatan .............................................................................. 32 2.6 Sistem Kepercayaan ............................................................................. 37 2.7 Biografi Singkat Bapak Rabes Saragih .................................................. 40 BAB III KAJIAN ORGANOLOGI SARUNEI BULUH SIMALUNGUN ........................................................................................ 42 3.1 Klasifikasi Sarunei Buluh ..................................................................... 42 3.2 Konstruksi Bagian-bagian Sarunei Buluh .............................................. 44 3.3 Teknik Pembuatan ................................................................................ 46 3.3.1 Bahan Baku yang Digunakan ....................................................... 51 3.3.1.1 Bambu Rogon ................................................................... 53 3.3.1.2 Kayu Sinardaruma ........................................................... 54 3.3.2 Peralatan yang Digunakan ........................................................... 56 3.3.2.1 Parang ............................................................................. 57 3.3.2.2 Pisau Cutter ....................................................................... 57 3.3.3 Proses Pembuatan ....................................................................... 59 3.3.3.1 Memilih dan Menebang Bambu ......................................... 59
xi
3.3.3.2 Memotong Bambu ............................................................. 60 3.3.3.3 Mengikis Ruas Pangkal Bambu ....................................... 60 3.3.3.4 Mengikis Batas Ruas Badan Bambu .................................. 61 3.3.3.5 Mengukur Jarak dan Menggarisi ...................................... 61 3.3.4 Tahap Penyempurnaan ................................................................. 62 3.3.4.1 Pelubangan Awal Bagian Sarunei Buluh............................ 62 3.3.4.2 Mengikis Bidang Lubang Nada ........................................ 63 3.3.4.3 Mengukur dan Memberi Garis ......................................... 63 3.3.3.4 Melubangi Lubang Nada ................................................... 64 3.3.3.5 Manghaluskan Permukaan Sarunei Buluh ........................ 64 3.4 Ukuran Bagian-bagian Sarunei Buluh ................................................... 65 3.5 Kajian Fungsional ................................................................................. 66 3.5.1 Proses Belajar .............................................................................. 67 3.5.2 Cara Memegang Sarunei Buluh ................................................... 67 3.5.3 Posisi Jari Tangan ........................................................................ 68 3.5.4 nada yang Dihasilkan .................................................................. 68 3.5.5 Teknik Memainkan ...................................................................... 68 BAB IV EKSISTENSI DAN FUNGSI SARUNEI BULUH SIMALUNGUN ........................................................................................ 69 4.1 Asal-Usul Sarunei Buluh Simalungun ................................................... 69 4.1.1 Cerita Sarunei Buluh Simalungun ............................................... 70 4.1.2 Sejarah Singkat Sarunei Buluh Simalungun ................................ 70 4.2 Fungsi dan Penggunaan Sarunei Buluh Simalungun ............................. 71 4.2.1 Fungsi .......................................................................................... 71 4.2.1.1 Fungsi Pengungkapan Emosional .................................... 71 4.2.1.2 Fungsi Hiburan ................................................................ 72 4.2.1.3 Fungsi Komunikasi .......................................................... 72 4.2.1.4 Fungsi Reaksi Jasmani..................................................... 73 4.2.2 Penggunaan.................................................................................. 73 4.2.2.1 Kebudayaan Material ....................................................... 74 4.2.2.2 Hubungan Manusia dan Alam.......................................... 75 4.2.2.3 Estetika ........................................................................... 77 4.3 Eksistensi Sarunei Buluh .................................................................... 78 BAB V RANGKUMAN DAN KESIMPULAN ........................................ 80 5.1 Rangkuman .......................................................................................... 80 5.2 Kesimpulan .......................................................................................... 82 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 98 DAFTAR INFORMAN ............................................................................... 98
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masyarakat Simalungun adalah salah satu kelompok etnis yang ada di
wilayah Provinsi Sumatera Utara. Etnis Simalungun merupakan salah satu dari
lima kelompok masyarakat Batak lainnya, yaitu: Toba, Karo, Pakpak,
Mandailing-Angkola (Bangun, 1993:94). Setiap etnis yang ada di Sumatera
Utara memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.
Demikian juga halnya dengan etnis Simalungun, memiliki budaya yang
diwariskan secara turun-temurun oleh leluhurnya, baik secara lisan maupun
tulisan. Salah satu bentuk kebudayaan tersebut adalah kesenian. Kesenian pada
masyarakat Simalungun terdiri dari berbagai bidang seperti: seni rupa, seni tari,
seni ukir, dan seni musik. Dalam tulisan ini penulis berfokus untuk mengkaji
seni musiknya, khususnya alat musik sarunei buluh.
Pada masyarakat Simalungun, seni musik terbagi atas dua bagian besar
yaitu musik vokal yang disebut inggou, dan musik instrumental yang disebut
gual. Musik instrumen yang dimainkan secara ensambel, dan musik instrumen
dimainkan secara tunggal (solo instrument). Alat-alat musik tersebut dapat
dipakai untuk mengiringi upacara yang bersifat ritual dan hiburan, sebagai
contoh yaitu alat yang dimainkan secara ensambel adalah gonrang sidua-dua
dan gonrang sipitu-pitu. Kedua ensambel musik ini dapat dimainkan dalam
2
upacara-upacara adat masyarakat Simalungun baik upacara sukacita (malas ni
uhur) maupun upacara dukacita (pusok ni uhur).
Alat musik tunggal yang terdapat pada masyarakat Simalungun di
antaranya adalah: garantung, sordam, tulila, husapi, arbab, dan saligung.
Ensambel musik gonrang sidua-dua maupun gonrang sipitu-pitu juga dapat
mengiringi tari-tarian (tortor) dalam konteks hiburan, misalnya Tortor Huda-
huda atau disebut juga Toping-toping. Tortor ini ditampilkan pada upacara
kematian, yaitu acara na matei sayur matua.1 Tortor ini berfungsi untuk
menghibur masyarakat pada umumnya dan keluarga secara khusus agar tidak
larut dalam kesedihan.
Salah satu alat musik tunggal yang akan penulis bahas adalah sarunei
buluh. Alat musik ini merupakan salah satu alat musik yang tergolong dalam
aerophone single reed (aerofon berlidah tunggal) sesuai dengan sistem
klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel. Menurut penjelasan Bapak Rabes
Saragih,2 sarunei buluh adalah alat musik tiup yang memiliki tujuh buah lubang
nada, dalam klasifikasi termasuk ke dalam (aerofon) yang getarannya berasal
dari udara dan dimainkan dengan cara meniup (end blown flute), sedangkan
lubang untuk meniup sarunei tidak memiliki diameter tetapi untuk lubang
hembusan memiliki diameter, pembuatan lubang diameter yang dilakukan oleh
Bapak Rabes Saragih itu hanya dengan menggunakan dua jari tangan saja.
1Yaitu orang yang telah meninggal lanjut usia yang memiliki cucu dan anaknya sudah
menikah semua. 2Yaitu informan pokok penulis yang juga pembuat alat musik sarunei buluh dan juga
salah satu tokoh adat setempat.
3
Sarunei buluh terbuat dari bambu buluh rogon dan kayu simardaruma.
Instrumen ini dimainkan dengan ditiup dengan menggunakan teknik pernafasan
(circular breathing). Bambu yang dipakai oleh Bapak Rabes Saragih ini
memiliki daya tahan, umumnya dalam waktu jangka panjang, dan apabila retak
sarunei buluh tersebut tidak dapat digunakan lagi.
Orang yang memainkan sarunei disebut parsarunei3, sementara orang
yang membuat sarunei disebut pambahen sarunei. Di Purba Tongah terdapat
banyak parsarunei, tetapi tidak semua parsarunei mengerti tentang cara-cara
pembuatan sarunei buluh. Salah satu orang yang dapat membuat sarunei buluh
Simalungun adalah bapak Rabes Saragih. Beliau adalah salah satu pembahen
sarunei dan parsarunei. Selain dikenal kepiawaiannya dalam memainkan dan
membuat sarunei buluh Simalungun beliau juga dikenal sebagai seorang tokoh
masyarakat yang mendukung kelestarian musik tradisional Simalungun seperti
memperkenalkan kebudayaan musik Simalungun kepada muda-mudi, serta
pertunjukan dalam berbagai peristiwa budaya seperti rondang bintang,
kegiatan pariwisata, hiburan dalam upacara perkawinan, dan lain-lainnya. Latar
belakang keluarga yang menjadi dorongan beliau untuk menjadi seorang
pemain musik.Ayahnya seorang pemain sarunei, dan alat-alat musik tradisional
Simalungun lainnya. Hal ini menjadi motivasi beliau untuk menjadi seorang
seniman musik Simalungun.
3Kata par menjadi awalan pada kata sarunei menunjukkan orang yang memainkan.
Dalam konteks budaya dan bahasa Simalungun istilah seperti itu berlaku juga pada alat musik lainnya contohnya, pargonrang (orang yang ahli memainkan gonrang), pararbab (orang yang ahli memainkan arbab), dan lain-lain.
4
Sebagai seorang seniman musik tradisi Simalungun, Rabes Saragih
memulai kinerjanya sebagai pemaian Sarunei Bolon. Kemudian sesuai dengan
pengalamannya berkesenian ia juga menjadi seorang pambahen sarunei.
Sesudah itu kemudian beliau sering dipanggil untuk ikut tampil sebagai
pemaian saruneidi berbagai upacara adat Simalungun.
Sejak tahun 1963 Bapak Rabes Saragih menjadi pemusik tradisi.
Kemudian sesuai perkembangan zaman pada tahun 1990-an ia masuk menjadi
anggota pemusik pada Martile Keyboard Julia Group. Di dalam kelompok ini
ia ditugaskan sebagai pemain sarunei buluh, sarunei bolon, dan gonrang.
Kapan ia memainkan alat-alat musik tersebut adalah sesuai dengan kehendak
pimpinan grup ini. Yang paling sering ia memainkan sarunei bolon. Bapak
Rabes Saragih mulai mempelajari cara memainkan alat musik sarunei buluh
secara ototidak pada saat berumur 18 tahun.
Cara belajar digunakan beliau untuk mempelajari sarunei buluh adalah
dengan menghapal melodi-melodi lagu yang sering dimainkan oleh parsarunei
didalam grup tersebut. Secara lambat laun beliau mulai bisa memainkan
sarunei buluh, dan mulai menggantikan parsarunei utama dengan memainkan
dua atau tiga repertoar lagu, sehingga Bapak Rabes Saragih dipercaya oleh
grup untuk menjadi salah satu parsarunei didalam grup itu. Meskipun belajar
secara otodidak dalam memainkan sarunei buluh beliau tetap menganggap
teman-temannya sebagai tempat belajar bermain dan membuat sarunei buluh.
Hal tersebut dikarenakan banyaknya waktu yang sudah dilalui beliau dengan
5
teman-temannya, sehingga sedikit banyaknya telah mempengaruhi teknik
permainan dan pembuatan sarunei buluh.
Bapak Rabes Saragih sering melihat dan bertanya tentang proses-proses
pembuatan sarunei buluh kepada ayahnya, yaitu Bapak Hormat Saragih, yang
juga seorang pemusik tradisi Simalungun. Kemudian secara perlahan-lahan
beliau mulai mencoba untuk membuat sarunei buluh hasil karya ciptanya
sendiri. Walaupun telah berkali-kali gagal, tetapi Bapak Rabes Saragih tidak
pernah berhenti untuk mencoba hingga beliau menghasilkan sarunei buluh
yang dianggap beliau memenuhi syarat sebagai alat musik tradisi
Simalungun.Untuk membuat satu buah sarunei buluh Bapak Rabes Saragih
membutuhkan waktu kurang lebih satu jam, dengan catatan bambu sudah harus
kering.
Dalam proses pembuatan, Bapak Rabes Saragih masih tetap
menggunakan alat-alat tradisional, yakni berupa: parang, pisau belati, pisau
cutter, dan bahan-bahan buluh rogon dan kayu simardaruma. Proses
pembuatannya tergolong tradisional, yaitu menggunakan tenaga manusia, dan
tidak menggunakan bantuan mesin.
Proses pertama yang dilakukan pambahen sarunei buluh adalah
mencaribambu rogon yang sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan di sekitar
desa, di pinggiran ladang para petani, yang biasanya tumbuh sendiri secara
alamiah. Bagian yang digunakan adalah ranting bambu. Ranting tersebut harus
lurus tidak bengkok, kemudian ranting tersebut dilubangi untuk lubang nada,
dengan menggunakan pisau cutter (kater) yang tajam ujungnya.
6
Setelah bagian kulit luarnya dihaluskan dengan pisau kater (cuter),
barulah pembuat sarunei buluh mengukur dan memberi tanda untuk lobang
nada sarunei buluh tersebut. Setelah itu ujung bambu dikikis secara perlahan
dengan menggunakan pisau kater pada bagian atas dan pangkal pada bambu.
Diukur sesuai garis tengah pada bambu dengan menggunakan dua jari tangan.
Kemudian diukur lagi sebanyak lima kali sebagai tanda hasil dari yang diukur
pada bambu. Setelah selesai mengukur dan menggarisi pada bambu, Bapak
Rabes Saragih membuat pengukuran dengan taksiran dengan berpedoman pada
lebar dua jari tangan, telunjuk dan tengah.
Pembuatan lubang nada sarunei buluh biasanya memakai pisau cutter.
Jarak untuk melubangi lubang nada menggunakan dua jari tangan. Lalu dibuat
dahulu lubangnya yang kecil dengan menggunakan pisau kater. Kemudian
secara pelan-pelan dan hati-hati mengikis lubang nada, maka terbentuklah
lubang tersebut.Pada bagian pangkal lubang hembusan, ditutup dengan kayu
simardaruma. Di bahagian ujung tiupan maka selanjutnya dibentuk lidah dari
bambu itu sendiri, dengan menggunakan pisau kater.
Menurut penjelasan Bapak Rabes Saragih yang banyak memesan
sarunei buluh kepada beliau adalah orang-orang yang hendak mempelajari
sarunei buluh Simalungun (diantaranya pemuda-pemudi), begitu juga halnya
dengan parsarunei yang sudah professional. Terdapat banyak upacara
maupun kegiatan adat masyarakat Simalungun di Purba Tongah yang selalu
melibatkan musik tradisional dalam pelaksaannya seperti upacara pernikahan
dan upacara sayur matua.Sehingga membuat keberadaan dan
7
dilestarikanbegitu juga dengan instrumensarunei buluh yang kerap digunakan
dalam setiap penyajian musik tradisional Simalungun di Purba Tongah.
Sampai saat ini sarunei buluh masih dipergunakan sebagai instrument
musik dalam kegiatan yang berhubungan dengan musik pada masyarakat
Simalungun.Tidak hanya dalam hal penggunaan, pembuatan sarunei buluh
oleh Rabes Saragih masih berlangsung sampai saat ini di Purba Tongah.
Dari uraian latar belakang atas, maka penulis tertarik unutuk meneliti
dan mengkaji, serta menuliskan dalam sebuah tulisan ilmiah dengan judul:
“Kajian Organologi Sarunei Buluh Simalungun Buatan Bapak Rabes Saragih
di Desa Nagori Purba Tongah, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun.”
Penelitian ini secara ilmiah menggunakan disiplin etnomusikologi, yang
salah satunya adalah mengkaji alat-alat musik. Apa itu etnomusikologi
dijelaskan oleh Alan P. Merriam (1964) sebagai sebuah disiplin ilmu yang
mengkaji musik dalam konteks kebudayaan manusia. Artinya jika seorang
ahli etnomusikologi mengkaji musik, maka ia akan selalu melihatnya dalam
perspektif kebudayaan di mana musik itu hidup, tumbuh, dan berkembang.
Musik tidak hanya fenomena bunyi yang dihasilkan manusia, tetapi musik
adalah bahagian dari fenomena manusia yang menghasilkan musik tersebut.
mengkaji musik dalam kebudayaan berarti juga mengkaji eksistensi manusia
yang menghasilkan musik tersebut. Tujuan akhir seorang etnomusikolog
bukan mengkaji musik sebagai bunyi dengan hukum-hukum internalnya
sendiri, tetapi adalah mengkaji manusia yang menghasilkan musik
sedemikian rupa itu memiliki jati diri atau identitas yang khas.
8
Sama halnya dengan ilmu-ilmu lain di dunia ilmu pengetahuan,
etnomusikologi memiliki wilayah atau jangkauan pengkajian. Seorang
etnomusikolog mestilah paham tentang wilayah penyelidikan etnomusikologi.
Apa pun yang dikerjakan oleh etnomusikolog di lapangan, pada hakekatnya
ditentukan oleh rumusan metodenya sendiri dalam arti yang luas. Maka sebuah
penelitian etnomusikologis dapat diarahkan seperti perekaman suara musik, atau
masalah peran sosial pemusik di dalam masyarakat. Jikalau suatu penelitian
diarahkan kepada kajian mendalam di suatu daerah penelitian, dan jika peneliti
menganggap studi etnomusikologi bukan hanya sebagai kajian musik dari aspek
lisan, tetapi juga terhadap aspek sosial, kultural, psikologi, dan estetika—paling
tidak ada enam wilayah penyelidikan yang menjadi perhatian etnomusikologi
(Merriam 1964).
Yang pertama adalah kebudayaan material musik. Ini pula yang menjadi
fokus kajian dalam penelitian penulis, yaitu kebudayaan material musik, berupa
sarunei buluh di dalam konteks kebudayaan Simalungun di Sumatera Utara.
Wilayah ini meliputi kajian terhadap alat musik yang disusun oleh peneliti
dengan klasifikasi yyang biasa digunakan, yaitu: idiofon, membranofon,
aerofon, dan kordofon. Selain itu pula, setiap alat musik harus diukur,
dideskripsikan, dan digambar dengan skala atau difoto; prinsip-prinsip
pembuatan, bahan yang digunakan, motif dekorasi, metode dan teknik
pertunjukan, menentukan nada-nada yang dihasilkan, dan masalah teoretis perlu
pula dicatat. Selain masalah deskripsi alat musik, masih ada sejumlah masalah
analisis lain yang dapat menjadi sasaran penelitian lapangan etnomusikologi. Di
9
antaranya adalah apakah terdapat konsep untuk memperlakukan secara khusus
alat-alat musik tertentu di dalam suatu masyarakat? Adakah alat musik yang
dikeramatkan? Adakah alat-alat musik yang melambangkan jenis-jenis aktivitas
budaya atau sosial alain selain musik? Apakah alat-alat musik tertentu
merupakan pertanda bagi pesan-pesan tertentu pada masyarakat luas? Apakah
suara-suara atau bentuk-bentuk alat musik tertentu berhubungan dengan emosi-
emosi khusus, keberadaan manusia, upacara-upacara, atau tanda-tanda tertentu?
Nilai ekonomi alat musik juga penting dikaji dalam etnomusikologi.
Mungkin ada beberapa spesialis yang mencari nafkahnya dari membuat alat
musik. Apakah ada atau tidak spesialis pada suatu masyarakat? Apakah proses
pembuatan alat musik melibatkan waktu pembuatnya? Alat musik dapat dijual
dan dibeli, dapat dipesan; dalam keadaan apa pun, produksi alat musik
merupakan bagian dari kegiatan ekonomi di dalam masyarakatnya secara luas.
Alat musik mungkin dianggap sebagai lambang kekayaan; mungkin dimiliki
perorangan; jika memilikinya mungkin diakui secara individual akkan tetapi
untuk kepentingan praktis diabaikan; atau mungkin alat-alat musik ini menjadi
lambang kekayaan suku bangsa atau desa tertentu. Penyebaran alat musik
mempunyai makna yang sangat penting di dalam kajian-kajian difusi dan di
dalam rekonstruksi sejarah kebudayaan, dan kadang-kadang dapat memberi
petunjuk atau menetukan perpindahan penduuduk melalui studi alatmusik.
Kategori kedua adalah kajian tentang teks nyanyian. Kajian ini meliputi
kajian teks sebagai peristiwa linguistik, hubungan linguistik dengan suara musik,
dan berbagai masalah isi yang dikandung oleh teks tersebut. Masalah hubungan
10
antara teks dengan musik telah banyak diteliti di dalam etnomusikologi karena
memberi manfaat yang jelas. Namun hingga kini belum pernah dilakukan kajian
yang menggunakan linguistik modern dan teknik-teknik etnomusikologis.
Teks nyanyian mengekspresikan perilaku kebahasaan yang dapat dianalisis
dari sudut struktur dan isi. Bahasa teks nyanyian cenderung mempunyai
perbedaan sifat dengan ungkapan harian, dan kadangkala, seperti pada nama-
nama pujian, atau bunyi pertanda gendang, teks tersebut merupakan bahasa
“rahasia” yang hanya diketahui sekelompok tertentu saja dari masyarakatnya.
Dalam teks nyanyian, bahasa yang digunakan sering lebih elastis dibandingkan
dengan bahasa sehari-hari, dan bahasa tersebut tidak hanya mengungkapkan
proses kejiwaan seperti pengendoran tekanan, akan tetapi juga informasi tentang
sifat yang tidak mudah diungkapkan. Dengan alasan yang sama, teks nyanyian
sering mengungkapkan nilai-nilai yang dalam dan tujuan-tujuan yang hanya
boleh dinyatakan dalam keadaan terpaksa di dalam ungkapan sehari-hari. Hal ini
selanjutnya dapat mengarahkan kepada kepekaan terhadap simbol yang
mengandung etos dari suatu kebudayaan, atau terhadap suatu jenis generalisasi
karakter nasional. Pemahaman mengenai perilaku ideal dan nyata sering dapat
diungkap mellaluiteks nyanyian, dan akhirnya teks juga digunakan sebagai
catatan sejarah bagi kelompok tertentu, sebagai cara-cara untuk menanamkan
nilai-nilai, dan sebagai cara untuk membudayakan generasi muda.
Aspek ketiga adalah meliputi kategori-kategori musik yang dibuat oleh
peneliti yang sesuai dengan kategori yang berlaku dalam kelompok tersebut. Di
dalam hubungan ini tentunya peneliti menyusun acara rekamannya, yang
11
diklasifikasikan utuk menyertakan contoh-contoh akurat dari semua jenis musik
di dalam situasi-situasi pertunjukan yang direncanakan dan dipertunjukkan
sebenarnya.
Pemain musik atau musisi dapat menjadi sasaran keempat bagi
etnomusikolog. Dari sekian hal yang penting adalah latihan untuk menjadi
pemusik. Apakah seseorang dipaksa oleh masyarakatnya untuk menjadi
pemusik, atau ia memilih sendiri karirnya sebagai pemusik? Bagaimana
metode latihannya, apakah sebagai pemain musik potensial yang mengandalkan
kepada kemampuan sendiri; apakah ia mendapatkan pengetahuan dasar tentang
teknik memainkan alat musiknya atau teknik menyanyi dari orang lain, atau
apakah ia menjalani latihan yang ketat dalam waktu tertentu? Siapa saja
pengajarnya, dan bagaimanakan metode mengajarnya? Hal ini mengarahkan
kepada masalah profesionalisme dan penghasilan. Sebuah masyarakat mungkin
saja membedakan beberapa tingkatan kemampuan pemusik, membuat klasifikasi
dengan istilah-istilah khusus, dan memberikan penghargaan tertinggi kepada
sesuatu yang dianggap benar-benar profesional; atau pemusik dapat saja tidak
dianggap sebagai spesialis. Bentuk dan cara memberi penghargaan dapat sangat
berbeda untuk setiap masyarakat, dan dapat terjadi bahwa pemusik sama sekali
tidak mendapat bayaran.
Kajian ini dalam rangka penulisan skripsi digunakan dalam rangka
mendeskripsikan biografi musikal Bapak rabes Saragih di dalam kebudayaan
Simalungun. Deskripsi tersebut meliputi apakah ia dipaksa menjadi pemusik
atau karena minat dan kesenangannya akan musik, demikian pula apakah ia
12
memilih karirnya sebagai pemusik atau dalam bidang musik hanya sambilan
saja, bagaimana ia berlatih, bagaiman ia membuata alat-alat musik, dan berbagai
pertanyaan sejenis.
Wilayah studi kelima adalah mengenai penggunaan dan fungsi musik
dalam hubungannya dengan aspek budaya lain. Informasi yang kita dapatkan,
menunjukkan bahwa didalam hubungan dengan penggunaan, musik meliputi
semua aspek masyarakat; sebagai perilaku manusia, musik dihubungkan secara
sinkronik dengan perilaku lainnya, termasuk religi, drama tari, organisasi sosial,
ekonomi, struktur politik, dan berbagai aspek lainnya. Dalam mengadakan studi
tentangmusik, peneliti dipaksa untuk mengadakan pendekatan budaya secara
lengkap dalam mencari hubungan musik, dan di dalam maknanya yang dalam, ia
mengetahui bahwa musik mencerminkan kebudayaan, sedangkan musik menjadi
bagiannya.
Fungsi musik di dalam masyarakat merupakan objek penyelidikan lain
dari penyelidikan tentang penggunaan tersebut, karena penelitiannya diarahkan
kepada masalah-masalah yang jauh lebih dalam. Telah dinyatakan bahwa salah
satu fungsi utama musik adalah untuk membantu mengintegrasikan masyarakat,
suatu proses yang secara kontinu dilakukan di dalam kehidupan manusia.
Fungsi lain adalah untuk melepaskan tekanan-tekanan jiwa. Perbedaan antara
penggunaan dan fungsi musik belum banyak dibicarakan di dalam
etnomusikologi, dan studi-studi pada wilayah yang luas cenderung untuk
memusatkan kepada masalah pertama dan mengenyampingkan masalah yang
kedua. Studi-studi tentang fungsi jauh lebih menarik di antara keduanya, oleh
13
karena studi tersebuts eharusnya mengarahkan kepada pengertian yanglebih
dalam tentang mengapa musik merupakan suatu gejala universal dii dalam
masyarakat.
Wilayah studi kelima etnomusikologi ini, penulis ap-likasikan dalam
mendeskripsikan fungsi alat musik sarunei buluh di dalam kebudayaan
Simalungun. Menurut hemat penulis fungsi alat musik ini adalah: komunikasi,
hiburan, rekasi jasmani, dan penguingkapan emosional.
Akhirnya, keenam, peneliti lapangan dapat mempelajari musik sebagai
aktivitas kreatif di dalam kebudayaan. Yang penting di sini adalah tahap-tahap
dari studi musik yang memusatkan pada konsep-konsep musik yangdigunakan di
dalam masyarakat yang sedang diteliti. Yang mendasari semua pertanyaan
adalah berbagai masalah perbedaan yang dibuat oleh pemusik dan bukan
pemusik di antara apa yang dianggap musik dan bbukan musik, merupakan
sasaran yang baru mendapatkan sedikit perhatian di dalam etnomusikologi. Apa
sumber-sumber musik itu? Apakah musik disusun hanya melalui perantaraan
bantuan dan persetujuan manusia super, atau apakah musik merupakan gejala-
gejala manusia biasa? Bagaimana nyanyian-nyanyian baru muncul? Apabila
penyusun musik mempunyai status tinggidi dalam masyarakat, bagaimana ia
menyusun musik, dan bagaimana pendapatnya tentang proses penyusunan
musik? Ukuran-ukuran kemampuan di dalam pertunjukan adalah penting sekali
karena melalui pengertian ukuran ini peneliti dapat melihat musik yang baik dan
buruk serta dapat melihatnya dengan cara-cara yang digunakan di dalam
masyarakat. Masalah-masalah ini mengarahkan kepada evaluasi rakyatnya dan
14
evaluasi analitis dari suatu teori tentang musik di dalam masyarakat tersebut;
juga mengarahkan kepada berbagai masalah khusus di mana bentuk
divisualisasikan sebagai sesuatu yang dapat dimanipulasikan, dan terhadap
apakah aspek-aspek bentuk seperti interval musik atau pola-pola ritme inti
khusus digunakan di dalam pemikiran pemusik dan bukan pemusik.
Dengan demikian fenomena dan eksistensi sarunei buluh ini, sangat
menarik didekati dengan pendekatan ilmiah yaitu disiplin etnomusikologi.
Tujuan dari penelitian seperti ini adalah mengungkapkan fakta-fakta tersurat dan
tersirat di balik keberadaan sarunei buluh Simalungun. Selanjutnya masyarakat
yang memiliki kebudayaan material musik sedemikian rupa memiliki identitas
yang khas yang membedakannya dengan masyarakat-masyarakat lain. Di
dalamnya terkandung ide-ide kebudayaan yang dinamis dan memilii kearifannya
tersendiri.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan sebelumnya,
pokok permasalahan yang mnjadi topic bahasaan dalam tulisan ini yaitu :
1. Bagaimana proses dan teknik pembuatan sarunei buluh Simalungun
yang dilakukanbapak Rabes Saragih?
2. Bagaimana teknik memainkan sarunei buluh Simalungun?
3. Bagaimana eksistensi, fungsi, dan penggunaan alat musik sarunei buluh
di tengah-tengah masyarakat Simalungun ?
15
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian terhadap Sarunei Buluh Simalungun yaitu:
1. Untuk mengetahui proses dan teknik pembuatan sarunei buluh Simalungun
oleh bapak Rabes Saragih.
2. Untuk mengetahui teknik permainan sarunei buluh Simalungun.
3. Untuk mengetahui fungsi dan penggunaan alat musik sarunei buluh
Simalungun di tengah-tengah masyarakat Simalungun.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai untuk menambah informasi dan
pengetahuan tentang kebudayaan Simalungun.
1. Sebagai dokumentasi untuk menambah referensi mengenai musik
Simalungun di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara.
2. Sebagai suatu proses pengaplikasian ilmu yang diperoleh selama mengikuti
perkuliahan di Departemen Etnomusikologi.
3. Untuk melestrikan alat musiksarunei buluh yang sudah jarang dipakai.
1.4 Konsep dan Teori
1.4.1 Konsep
Konsep merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan
dari peristiwa kongkrit (Kamus Besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
16
1991:431). Konsep juga dapat diartika suatu kesatuan pengertian tentang
suatu hal atau persoalan yang perlu dirumuskan (Mardalis, 2003:46).
Berikut ini penulis akan membuat pengertian dari kata-kata yang
terdapat pada judul. Kajian adalah penyelidikkan atau pelajaran yang
mendalam atau menelah (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Dalam
etnomusikologi, bahwa kajian etnomusikologi tidak hanya berhubungan
dengan musikal, apsek social, konteks budaya, psikologis dan estetika,
melainkan juga paling sedikit ada enam aspek yang menjadi perhatiannya.
Salah satu diantarannya adalah materi kebudayaan musikal (musical
materials culture) (Merriam, 1964:45).
Sementara organologi merupakan bagian dari etnomusikologi yang
meliputi semua aspek, diantaranya adalah ukuran dan bentuk fisiknya
termasuk pada pola biasaanya, bahan dan prinsip pembuatannya, metode dan
teknik memainkan, bunyi dan wilayah nada yang dihasilkan, serta aspek
social budaya yang berkaitan dengan alat musik tersebut. Organologi juga
tidak hanya membahas masalah teknik memainkan, fungsi musikal, dekorasi
(pola hiasan) fisik, dan aspek sosial budaya, melain kan termasuk didalamnya
sejarah dan deskripsi alat musik tersebut secara konstruksional (Hood,
1982:124). Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian Kajian
Organologi adalah, suatu penyelidikan yang mendalam untuk mempelajari
tentang instrument musik baik mencakup aspek sejarahnya maupun deksripsi
alat musik itu sendiri tanpa mengenyampingkan aspek-aspek budaya dari alat
musik itu sendiri.
17
Sarunie buluh merupakan alat musik tiup yang sejenis dengan
recorder dan termasuk dalam klasifikasi alat musik aerofon yang berfungsi
membawakan melodi lagu dalam penggunaanya. Masyarakat Simalungun
mengelompokkan alat musik sarunei buluh ke dalam kelompok alat
musikyang dimainkan secara tunggal (solo instrument), namun pada
kesempatan-kesempatan tertentu sarunei buluh tersebut dimainkan secara
ansambel.
1.4.2 Teori
Teori merupakan pendapat yang dikemukakan mengenai suatu
peristiwa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005).Sebagai landasan berpikir
dalam melihat suatu permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis
menggunakan teori-teori yang revelan, yang sesuai untuk permasalahan
tersebut.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, eksitensi artinya
keberadaan. Sementara pengertian kebudayaan menurut E.B Talyor, dalam
bukunya yang berjudul Primitive Culture (1871) adalah: “keseluruhan yang
mencakup pengetahuan dan kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, serta
kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat.”
Sarunei buluh Simalungun adalah instrumen musik aerofon, berlidah
tunggal, yang memiliki tujuh lubang, yang suaranya berasal dari udara. Oleh
karena itu dalam pengklasifikasian alat musik tersebut, penulis menggunakan
18
teori yang dikemukakan oleh Curt Sach dan Hornbostel 1961, yaitu sistem
pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyi.
Sistem pengklasifikasian ini terbagi menjadi empat bagian yang terdiri dari:
idiofon, (penggetar utama bunyinya adalah badan alat musik itu sendiri),
aerofon (penggetar utama bunyinya adalah udara), membranofon (penggetar
utama bunyinya adalah kulit atau membrane), dan kordofon (penggetar utama
bunyinya adalah senar).
Maka penulis meyimpulkan bahwa eksistensi merupakan keberadaan
yang mencakup keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,
adat, serta kemampuan dan kebiasaan lainnyaa yang diperoleh manusia sebagai
menjadi landasan teori eksistensi kebudayaan untuk menyatakan keberadaan
instrumensarunei buluh dalam masyarakat Simalungun.
Dalam tulisan ini untuk membahas pendeskripsian alat musik, penulis
mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Susumu Kashima (1978:174)
terjemahan Rizaldi Siagan dalam laporan APTA, bahwa studi musik dapat
dibagi dalam dua kelompok sudut pandang yang mendasar, yaitu studi
strukural dan studi fungsional. Studi struktural berkaitan dengan observasi
(pengamatan), pengukuran, perekaman, atau bentuk pencatatan, ukuran besar
kecil, konstruksi serta bahan-bahan yang dipakai unutuk pembuatan alat musik
tersebut.
Kemudian studi fungsional memperhatikan fungsi dari alat-alat
komponen yang memproduksi (menghasilkan) suara, antara lain membuat
pengukuran dan pencatatan terhadap metode memainkan alat musik tersebut,
19
metode pelarasan dankeras lembutnya suara (loudness) bunyi nada, warna nada
dan kualitas suara yang dihasilkan oleh alat musik tersebut. Berdasarkan
penjelasan tersebut, penulis menggolongkan proses dan teknik pembuatan
sarunei buluh Simalungun yang dilakukan Rabes Saragih kedalam studi
structural.
Menurut Herskovits (1964:217-218) dalam Merriam, penggunaan
musik dapat dibagi menjadi lima kategori unsur-unsur budaya yaitu:
kebudayaan material, kelembagaan sosial, hubungan manusia dengan alam,
estetika, dan bahasa.
1.5 Metode Penelitian
Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dihendaki melalui cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
tujuan yang ditentukan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka 2005).
Sedangkan penelitian merupakan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis
dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk
memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk
mengembangkan prinsip-prinsip umum (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2005).
Metode yang dapat digunakan penulius adalah metode penelitian
kualitatif. Menurut Nawawidan Martini(1995:209) penelitian kualitatif adalah
rangkaian kegiatan suatu proses menjaring data (informasi) yang bersifat
20
sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek atau bidang
kehidupan tertentu pada objeknya. Untuk medukung metode penelitian
tersebut, penulis menggunakan metode ilmu etnomusikologi yang terdiri dari
dua kerja, yaitu: kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (laboratory
work). Hasil dari kedua metode ini kemudian digabungkan menjadi satu hasil
akhir (a final study), (Merriam, 1964:34).
Untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam tulisan
ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data, yaitu:(1) menggunakan
daftar pertanyaan, dan (2) wawancara.
1.5.1 Kerja Lapangan
Penulis melakukan kerja lapangan dengan observasi langsung melihat
proses pembuatan ke daerah penelitian yaitu ke rumah Bapak Rabes Saragih
dan mencari narasumber dari pemusik dan tokoh masyarakat Simalungun.
Penulis juga melakukan wawancara tidak berstruktur antara peneliti dan
informan yaitu mengajukan pertanyaan yang tidak terikat pada susunan
pertanyaan, akan tetapi tetap pada berfokus permasalahan utama.
1.5.2 Wawancara
Wawancara adalah salah satunya teknik yang digunakan untuk
memperoleh informasi tentang kejadian yang tidak dapat diamati secara
langsung. Teknik wawancara yang dilakukan penulis adalah wawancara
berfokus ( focused interview) dan wawancara bebas ( free interview).
21
Sebelum melakukan wawancara, penuluis terlebih dahulu menetapkan kepada
siapa wawancara itu dilakukan, lalu menyiapakan pokok-pokok masalah yang
terjadi bahan pembicaraan, kemudian melangsungkan wawancara, hasilnya
ditulis dalam catatan lapangan.Pada wawancara berfokus, pertanyaan
berpusat pada aspek pokok permasalahan.
Walaupun demikian, pertanyaan yang diajukan lebih bersifat bebas,
tidak hanya berpusat pada pokok permasalahan tetapi pertanyaan dapat
beralih pada permasalahan lain dengan tujuan untuk memperoleh data yang
beraneka ragam, namun tidak menyimpang dari objek permasalahan.
1.5.3 Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian dalam mengumpulkan data untuk tulisan ini
adalah di rumah Bapak Rabes Saragih yang berlokasi di desa Nagori Purba
Tongah, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun.Namun untuk mendukung
informasi mengenai sarunei buluh Simalungun tersebut, penulis juga
mengumpulkan data-data maupun informasi dari orang-orang yang mengetahui
tentang alat musik tersebut dan tokoh-tokoh masyarakat.
1.5.4 Studi Kepustakaan
Sebelum melakukan penelitian ke lokasi, penulis terlebih dahulu
mengadakan studi pustaka.Penulis membaca buku-buku dengan penelitian dan
juga tulisan ilmiah dan cacatan yang berhubungan dengan objek penelitian.
Karena teknologi semakin maju, dan banyak tulisan ilmiah dimasukkan ke
22
dalam website, penulis juga mencari informasi dari internet. Studi pustaka ini
diperlukan untuk melihat teori-teori dan konsep-konsep yang sesuai untuk
mendukung penelitian ini.
1.5.5 Kerja Laboratorium
Data-data yang sudah penulis, kemudian diolah dalam kerja
laboratorium.Kemudian penulis menyaring data-data yang diperlukan sesuai
dengan topik masalah penelitian. Data tersebut diklasifikasikan dan disusun
melalui proses teknik-teknik penulisan skripsi sarjana yang sesuai dengan
norma yang berlaku di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara.
Pada kerja ini penulis melakukan pengeditan terhadap foto-foto yang
telah dikumpulkan di lapangan. Kemudian foto tersebut diinsert ke dalam
skripsi, yang bertujuan mendukung studi organologis. Bila diperlukan foto
difokuskan pada titik tertentu untuk fokus. Foto diedit dalam format jpg.
Dalam kerja laboratorium ini, selain analisis aspek visual dalam studi
organologi, maka diperlukan pula analisis aspek musikal. Oleh karena itu,
penulis melakukan transkripsi lagu yang lazim dimainkan dalam sarunei buluh.
Selain itu penulis juga mentranskripsi tangga nada yang dihasilkan sarunei
buluhini dengan pendekatan-pendekatan etnomusikologi.
23
BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI
BAPAK RABES SARAGIH
Bab II ini merupakan penjelasan tentang gambaran umum wilayah
penelitian dan biografi singkat Bapak Rabes Saragih sebagai seniman alat musik
tradisional Simalungun.Wilyah yang dimaksud disini adalah bukan hanya lokasi
penelitian, tetapi lebih berfokus kepada gambaran masyarakat Simalungun
khususnya yang ada di Nagori Purba Tongah secara umum. Namun sebelum
membahas topiktersebut, akan diuraikan terlebih dahulu Desa Nagori Purna
Tongah Kecamatan Purba Kabupaten Simalungun.
2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang penulis teliti berada di Desa Nagori Purba Tongah
yang merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai tempat pembuatan Sarunei
Buluh bapak Rabes Saragih yang bertempat tinggal Jalan Purba Tongah,
Kecamatan Purba Kabupaten Simalungun. Menurut data yang didapat dari
Kantor Lurah Desa Nagori Purba Tongah, secara geografis Desa Nagori Purba
Tongah adalah terletak antara 02’50’18 LU- 99’11’20 BT. Dengan luas wilayah
adalah 172,71 Km² dengan letak geografis. Adapaun batas-batas wilayah Desa
Nagori Purba Tongah adalah sebagai berikut:
24
(1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Dolok,
(2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Haranggaol Horisan dan
Kecamatan Dolok Pardamean,
(3) Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Silimakuta,
(4) Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Dolok Pardamean dan
Kecamatan Raya.
2.2 Keadaan Penduduk
Pada awalnya penduduk asli Desa Nagori Purba Tongah didominasi oleh
suku Simalungun, namun setelah terjadi urbanisasi kependudukkan, Desa Nagori
Purba Tongah menjadi bersifat heterogen, karena terdiri dari berbagai ragam
suku dan etnis, yaitu Simalungun, Toba, Mandailing, Angkola, Jawa, Aceh,
Pakpak,, Minang Kabau, Melayu. Pada tahun 2013 penduduk Desa Nagori Purba
Tongah mencapai 22.773 jiwa.Dengan jumlah rumah tangga 5.852. Dengan
kepadatan penduduk 131,86 jiwa/km2. Penduduk perempuan di Desa Nagori
Purba Tongah lebih banyak dari penduduk laki-laki. Pada tahun 2013 penduduk
Desa Nagori Purba Tongah yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 11.298
jiwa dan penduduk laki-laki 101,57 jiwa.
Secara etimologi kata “Simalungun” dapat dibagi kedalam tiga suku kata
yaitu: Sibearti “orang”, masebagai kata sambung berarti “yang” dan lungun
berarti “sunyi,kesepian”. Dengan demikian, Simalungun berarti “ia yang
bersedih hati, sunyi dan kesepian.”
25
Secara umum masyarakat Simalungun yang tinggal di wilayah
Simalungun maupun perantauan merupakan suatu pribadi yang pendiam dan
tertutup. Menurut Hendrik Kraemer ketika berkunjung ke Tanah Batak pada
bulan Februari-April tahun 1930 melaporkan bahwa jika dibangdingkan dengan
orang Batak Toba, orang Simalungun jelas lebih berwatak halus, lebih suka
meyendiri di hutan dan secara alamaiah kurang bersemangat dibangdingkan
dengan orang Batak Toba. Hal yang senada juga dikatakan oleh Walter Lempp
tentang tabiat dariu pada masyarkat Simalungun yaitu orang Simalungun lebih
halus dan tingkah lakunya hormat sekali,tidak pernah keras atau meletus,
meskipun sakit hati.
Hal itu dimungkinkan karena suku Simalungun satu-satunya yang pernah
dijajah oleh suatu kerajaan di Jawa yang berkedudukkan di Tanah Jawa.
Masyarakat Simalungun yang bertempat tinggal di Kecamatan Purba mengenal
satu lembaga adat yang disebut Parhuta Maujana Simalungun.Lembaga adat ini
telah ada mulai dari tingkat Serikat Tolong Menolong (STM), Desa, Kecamatan,
Kabupaten dan Pusat (Tribudi, 2010).
Masyarkat yang tinggal di Kecamatan Purba, pada umumnya bekerja
sebagai petani, buruh, wiraswasta, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Menurut
wawancara penulis dengan bapak Rabes saragih, pekerjaan beliau adalah sebagai
pemaian musik sarunei buluh Simalungun, dan bertani adalah pekerjaan
sampingan beliau.Untuk membuat Sarunei Bulluh Simalungun dilakukan Bapak
Rabes Saragih apabila adanya pesanan untuk membuat alat musik Sarunei Buluh
Simalungun tersebut.
26
2.3 Sistem Bahasa
Asal-usul kependudukan masyarakat Simalungun banyak dipengaruhi
oleh berbagaiaspek dan juga berbagai pendapat atau teori yang berbeda-beda
untuk memberikan pembuktian terhadap kebenarannya.Sistem kemasyarakatan
dalam suatu daerah tentu didasari oleh bahasa sehari-hari yang digunakan oleh
masyarakat di dalamnya.Menurut informasi dari informan saya dengan
terkaitnya lokasi penelitian penulis bahwa keragaman suku yang berada di
daerah tersebut menggunakan bahasa simalungun untuk komunikasi bahasa
sehari-hari.
Sejak berabad-abad yang lampau suku-suku bangsa yang tinggal di
berbagai kepulauan di Nusantara memiliki bahasa masing-masing yang
dipergunakan dalam pergaulan dan komunikasi antar sesama suku
tersebut.Bahasa itu dinamakan sebagai “bahasa daerah” yang disebutkan sesuai
dengan suku bangsa yang memiliki bahasa tersebut.Misalnya bahasa Batak Toba
dipergunakan oleh Batak Toba.Demikian juga dengan bahasa
Simalungun.Disamping itu masyarakat Simalungun juga memiliki aksara yang
sudah sangat tua usianya. Menurut seorang peneliti bahasa Dr. P. Voorhoeve,
yang menjadi pejabat Taalambtenaar di Simalungun tahun 1937, mengatakan
bahwa bahasa Simalungun merupakan bahasa rumpun austronesia yang lebih
dekat dengan bahasa sansekerta yang banyak sekali mempengaruhi bahasa-
bahasa di Nusantara.
27
Voorhoeve mengatakan kedekatan bahasa Simalungun dengan bahasa
Sansekerta ditunjukkan dengan huruf pentup suku kata mati yaitu, uy dalam kata
apuy dan babuy, huruf g dalam kata dolog, huruf b dalam kata arbab, huruf
ddalam kata bagod, huruf ah dalam kata babah dan sabah, juga ei dalam kata
simbei dan ou dalam kata sopou dan lapou. Salah satu ciri masyarakat
simalungun adalah memiliki tingkatan bahasa yang disebut dengan ratting ni
hata. Adapun tingkatan tersebut adalah:
1. Lapung ni hata, merupakan bahasa sehari-hari yang dipakai oleh
masyarakat biasa atau bahasa yang dipakai sehari-hari.
2. Guru ni hata, merupakan bahasa yang dipakai untuk mengucapkan
sesuatu dan dianggap lebih halus. Guru ni hata merupakan bahasa
tertinggi yang digunakan oleh kalangan keturunan raja-raja. Dimana
bahasa tersebut adalah bahasa yang sopan hormat, dan berisi nasehat,
yang sering disampaikan melalui perumpamaan. Misalnya adalah
Simakidop artinya mata, Jambulan artinya rambut. Simakulsop artinya
mulut.
3. Sait ni hata, yaitu bahasa yang dipakai ketika seseorang marah atau
menghina seseorang, karena tersinggung atas sesuatu. Sait ni hata
merupakan bahasa yang kasar, karena berisi kata-kata yang pedas,
berisikan sindiran sehingga dapat menyakitkan hati orang lain. Misalnya
panjamah (tangan) bahasa kasarnya tiput.
28
2.4 Sistem Kesenian
Kesenian adalah merupakan ekspresi perasaan manusia terhadap
keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat
deskriptif (Koentjaraniningrat, 1980:395-397).Kesenian pada masyarakat
simalungun sangat banyak dan beragam. Taralamsyah Saragih dalam Seminar
Kebudayaan Simalungun 1964 mengatakan bahwa kesenian yang ada di
Simalungun dapat dibagi atas Seni Musik (Gual), Seni Suara (Doding), Seni Tari
(Tortor).
2.4.1 Seni Musik
Seni musik digunakan untuk upacar-upacara hiburan dan upacara-upacara
adat lainnya misalnya upacara dukacita (pusok ni uhur) dan sukacita (malas ni
uhur). Alat-alat musik pada masyarakat simalungun dapat dimainkan secara
ensambel dan dapat pula dimainkan secara tunggal. Alat musik yang dimainkan
secara ensambel adalah Gonrang Sidua-dua dan Gonrang Sipitu-pitu sangat
penting, diantaranya:
1. Manombah yaitu suatu upacara untuk mendekatkan diri kepada
sembahan.
2. Maranggir yaitu upacara untuk membersihkan badab dari perbuatan-
perbuatan yang tidak baik, dan juga membersihkan diri dari gangguan
roh-roh jahat.
3. Ondos Hosah yaitu upacara khusus yang dilakukan suatu desa atau
keluarga agar terhindar dari mara bahaya.
29
4. Rondang Bittang yaitu acara tahunan yang diadakansuatu desa karena
mendapatkan panen yang baik. Muda-mudi menggunakan kesempatan
tersebut untuk mencari jodoh.
Adapun alat-alat musik yang dimainkan secara tunggal diantaranya
Jatjaulul/Tengtung, Husapi, Hodong-hodong, Tulila,Ole-ole, Saligung, Sordam
dsb. Alat-alat musik tersebut dimainkan untuk hiburan pribadi ketika lelah
bekerja di ladang, maupunsetelah pulang dari pekerjaan.
2.4.2 Seni Suara (Doding)
Musik vokal simalungun dikenal dengan istilah doding dan ilah.Doding
dipakai unutk nyanyian solo sedangkan ilah dipakai sebagai nyanyian
kelompok.(Sihotang 1993:31).Nyanyian dalam masyarakat Simalungun sangat
banyak dan memiliki fungsi masing-masing.Sselain itu masyarakat Simalungun
memiliki teknik bernyanyi yang disebut inggou. Adapun nyanyian tersebut
dianataranya adalah :
1. Taur-taur yaitu nyanyian yang dilagukan oleh sepasang muda-muda
secara bergantian untuk mengungkapkan perasaan satu sama lainnya.
2. Ilah yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda
dan pemudi sambil menepuk tangan sambil membentuk lingkaran,
3. Doding-doding yaitu nyanyian yang dinyanyiakan oleh sekelompok
pemuda dan pemudi atau orang tua untuk meyampaikan pujian atau
sindiran. Nyanyian ini juga dapat dilagukan untuk mengungkapkan
kesedihan dan kesepian.
30
4. Urdo-urdo atau Tihtah yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh
seorang ibu kepada anaknya atau seorang anak perempuan kepada
adiknya. Urdo-urdo untuk menidurkan sementara Tihtah untuk bermain.
5. Tangis-tangis yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan seorang gadis
karena putus asa ataupun karena berpisah dengan keluarga karena akan
menikah.
6. Manalunda/Mangmang adalah mantera yang dinyanyikan oleh seorang
datu untuk menyembuhkan suatu penyakit ataupun menobatkan seorang
raja pada waktu dulu (Setia Dermawan Purba, 2009).
2.4.3 Seni Tari (Tor-Tor)
Seni tari dalam masyarakat Simalungun banyak mengalami penurunan dari
segi pertunjukkan dimana pada saat ini sudah jarang dijumpai tor-tor yang sering
dilakukan pada zaman dahulu.Tor-tor yang dapat bertahan sampai saat ini adalah
Tor-tor Sombah. Adapun tor-tor yang sering dipertunjukkan pada zaman dahulu
antaralain:
1. Tor-tor Huda-Huda atau Toping-Toping yaitu tarian yang dilakukan
untuk menghibur orang yang meninggal sayur matua yaitu orang yang
telah berusia lanjut. Tarian ini merupakan tarian yang meniru gerakan
kuda dan sebagian permainannya memakai topeng. Pada waktu dulu
tarian ini digunakan untuk menghibur keluarga raja yang bersedih karena
anaknya meninggal. Tarian ini bertujuan untuk menyambut berbagai
kelompok adat ( tondong,boru, dan sanina) dan menghibur para tamu
31
undangan, namun mereka juga bertugas mengumpulkan oleh-oleh dari
tamu undangan. Zaman dulu kegiatan tersebut biasa dilakukan dalam
pemakaman seorang raja.
2. Tor-tor Turahan yaitu Tor-tor yang dilakukan untuk menarik kayu untuk
membangun istana atau rumah besar. Seorang mandor bergerak
melompati barang kayu yang ditarik sambil mengibaskan daun-daun
yang dipegan ke batang kayu dan ke badan orang yang menarik untuk
memberi semangat.
Pada masyarakat Simalungun juga terdapt kesenian lain yang pada saat
sekarang ini sudah sangat jarang dijumpai diantarnya adalah Seni Gorga yaitu
sni ukiryang terdapt pada dinding-dinding rumah, Seni Pahat, yaitu seni
membuat patung-patung dari batu ataupun dari kayu, Seni Tenun yaitu seni
membuat kayu dengan menggunakan benang-benang yang dibentuk dengan
suatu keahlian, dan seni Arsitektur yaitu seni untuk membangun rumah dengan
arsitektur tradisional.
Bentuk-bentuk kesenian tersebut telah banyak yang ditinggalkan oleh
masyarakat karena kurang sesuai dengan perkembangan zaman.Namun
meskipun begitu masih ada sebagian orang yang tetap mempertahankan
pengetahuan tersebut seperti Seni Tenun karena kain yang dihasilkan dari butan
tangan jauh lebih bagus dari pada buatan pabrik.
32
2.5 Sistem Kekerabatan
Menurut M.D. Purba dalam bukunya yang berjudul Adat Perkawinan
Simalungun (1985), ada dua cara yang umum yang dipakai untuk menarik garis
keturunan, yaitu:
1. Menarik garis keturunan hanya dari satu pihak, yaitu mungkin dari pihak
laki-laki dan mungkin pula dari pihak permpuan. Masyarakat demikian
dinamakanmasyarakat unilateral. Jika masyarakat tersebut menarik garis
keturunan dari pihaklaki-laki atau ayah saja, maka keturunan tersebut disebut
masyarakat patrilineal.Danjika menarik dari garis keturunan perempuan (ibu)
maka disebut matrilineal.
2. Menarik garis keturunan dari kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu, masyarakat
demikian disebut masyarakat bilateral atau masyarakat parental.
Dari kedua cara tersebut diatas,masyarakat Simalungun termasuk
masyarakat yang menarik garis keturunan dari salah satu pihak saja, yaitu dari
pihak laki-laki atau ayah. Dengan demikian masyarakat Simalungun adalah
masyarakat unilateralpatrilineal, yang artinya bahwa setiap anak-anak yang lahir
baik laki-laki maupun perempuan dengan sendirinya akan mengikuti klan atau
marga dari ayahnya (1985:108).
Bukti bahwa garis keturunan diambil dari pihak laki-laki adalah dengan
adanya marga dalam masyarakat Simalungun. Setiap anak yang lahir dalam satu
keluarga di etnis Simalungun, secara otomatis akan memiliki marga yang sama
dengan marga si ayah.Susunan masyarakat Simalungun didukung oleh berbagai
marga yang mempunyai hubungan tertentu, yang disebabkan oleh hubungan
33
perkawinan. Hubungan perkawinan antar marga-marga mengakibatkan adanya
penggolongan antar tiap-tiap marga. Marga yang satu akan mempunyai
kedudukan tertentu terhadap marga lain. Perkerabatan dalam masyarakat
Simalungun disebut sebagai Partuturan. Partuturan ini menetukan dekat atau
jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa
kategori sebagai berikut:
1. Tutur Manorus / Langsug
Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri. Misalnya: Botou
artinya saudara perempuan baik lebih tua atau lebih muda. Mangkela
(baca:Makkela) artinya suami dari saudara perempuan dari ayah. Sima-sima
artinya anakdari Nono/Nini,
2. Tutur Holmouan / Kelompok
Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat
Simalungun. Misalnya: Bapa Tongah artinya saudara lelaki ayah yang lahir
dipertengahan (bukan paling muda, bukan paling tua). Tondong Bolon artinya
pambuatan (orang tua atau saudara laki dari istri/suami).Panogolan artinya
kemenakan, anak laki/perempuan dari saudara perempuan.
3. Tutur Natipak / Kehormatan
Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak
berbicara sebagai tanda hormat. Misalnya: Kaha digunakan pada istri dari
saudara laki-laki yang lebih tua. Bagi wanita, kaha digunakan untuk memanggil
34
suami boru dari kakak ibu.Ambia Panggilan seorang laki terhadap laki lain yang
seumuran atau bawahan.
Ikatan kekerabatan diklasifikasikan dalam suatu sistem yang dalam
bahasa Simalungun dikenal Tolu Sahundulan,yaitu :
1. Tondong (Pemberi istri)
2. Anak Boru/Boru (Penerima Istri)
3.Sanina/Sapanganonkon (Sanak saudara, individu semarga atau
pembawa garis keturunan)
Dalam masyarakat Simalungun seorang pria belum dianggap sebagai
orangdewasa dan belum dapat berperan serta dalam fungsi-fungsi adat bila yang
bersangkutan belum menikah atau sudah menikah tapi belum mempunyai
keturunan.
2.5.1 Marga-marga Simalungun
Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan
akronim Sisadapur, yaitu:
1. Sinaga,
2. Saragih,
3. Damanik, dan
4. Purba.
Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon”
(Permusyawaratan besar) antara empat raja besar berjanji untuk tidak saling
35
menyerang dan tidak saling bermusuhan, Marsiurupan bani hasunsuhan na
legan, rup mangimbang munsuh,keempat raja tersebut adalah:
1. Raja Nagur bermarga Damanik
Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa
Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan
(bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).Raja ini berasal dari
kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Pada abad ke-12,
keturunan raja Nagur ini mendapat serangan dari Raja Rajendra Chola dari India,
yang mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah Pulau
Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya: Marah
Silau yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja
Siantar, tuan raja siantar dan tuan raja damanik Soro Tilu (yang menurunkan
marga rajaNagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan,
Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola) Timo Raya
(yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok).
Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja,
Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan
mengaku Damanik di Simalungun.
2. Raja Banua Sobou bermarga Saragih
Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana
Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau
pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang. Keturunannya adalah :
36
Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali
ke Raya. Saragih Garingging kemudian pecah menjadi dua, yaitu: Dasalak,
menjadi raja di Padang Badagei, Dajawak merantau ke Rakutbesi dan Tanah
Karo dan menjadi marga Ginting Jawak.
Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni
Gonrang.Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada dua keturunan Raja Banua
Sobou, pada zaman Tuan Rondahaim terdapat beberapa marga yang mengaku
dirinya sebagai bagian dari Saragih (berafiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk,
Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk.
Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu Pardalan
Tapian, marga ini berasal dari daerah Samosir. Rumah Bolon Raja Purba di
Pematang Purba, Simalungun.
3. Raja Banua Purba bermarga Purba
Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang
berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang,
tenungan pengetahuan, cendekiawan atau sarjana. Keturunannya adalah:
Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada
lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya.Pada abad
ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk
kemudian menetap di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba.Purba keturunan
Simamora ini kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan
Purbasaribu.
37
4. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga
Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal
sebagai penebab Gempa dan Tanah Longsor.Keturunannya adalah marga Sinaga
di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan.Saat kerajaan Majapahit
melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke-14, pasukan dari Jambi yang
dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku
bahwa dirinya adalah Sinaga.
Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian
menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia
mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou
dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon). (Tideman, 1922).
2.6 Sistem Kepercayaan
Sepanjang yang dapat diketahui melalui catatan (analisis) Tiongkok
sewaktu Dinasty SWI (570-620) Kerajaan Nagur sebagai Simalungun Tua, telah
banyak disebut-sebut dalam hasil penelitian Sutan Martua Raja Siregar yang
dimuat dalam Buku Sejarah Batak oleh Batara Sangti Simanjuntak, dimana
dinyatakan bahwa pada abad ke V sudah ada Kerajaan “Nagur” sebagai satu
“Simalungun Batak Friest Kingdom” yang sudah mempunyai hubungan dagang
dengan bangsa-bangsa lain terutama dengan Tiongkok (China).
Menurut Hikayat “Parpandanan Na Bolag” (Pustaha Laklak lama
Simalungun) bahwa wilayah Kerajaan Parpandanan Na Bolag (Nagur) hampir
meliputi seluruh Perca (Sumatera) bagian Utara yang terbentang luas dari pantai
38
Barat berbatas dengan Lautan Hindia, sampai ke Sebelah Timur dengan Selat
Malaka, dari Sebelah Utara berbatas dengan yang disebut Jayu (Aceh sekarang)
sampai berbatas dengan Toba di sebelah Selatan.
Agama yang dianut kerajaan Nagur adalah Animisme yang disebut
dengan supajuh begu-begu/sipele begu. Sebagai jabatan pendeta disebut Datu,
mereka percaya akan adanya sang pencipta alam yang bersemayam di langit
tertinggi, dan mengenal adanya tiga Dewa, yaitu :
1. Naibata na i babou/i nagori atas (di Benua Atas)
2. Naibata na i tongah/i nagori tongah (di Benua Tengah)
3. Naibata na i toruh/i nagori toruh (di Benua Bawah)
Pemanggilan arwah nenek moyang disebut “Pahutahon” yaitu melalui
upacara ritual, dimana dalam acara itu roh tersebut hadir melalui “Paninggiran”
(kesurupan) salah seorang keturunannya atau seseorang yang mempunyai
kemampuan sebagai perantara (paniaran).
Menurut penelitian G.L Tichelman dan P. Voorhoeve seperti dimuat
dalam bukunya “Steenplastiek Simaloengoen” terbitan Kohler & Co Medan
tahun 1936 bahwa di Simalungun (kerajaan Nagur) terdapat 156
Panghulubalang (Berhala) yaitu patung-patung batu yang ditempatkan pada
tempat yang dikeramatkan (Sinumbah) dan ditempat inilah dilakukan upacara
pemujaan.
Pelaksanaan urusan kepercayaan diserahkan kepada “Datu” yang disebut
juga “Guru”.Pimpinan “datu-datu” ini ialah “GURU BOLON”.Setiap Datu/Guru
mempunyai “Tongkat Sihir” atau “Tungkot Tunggal Panaluan” (yang diperbuat
39
dari kayu tanggulan yang diukir dengan gana-gana bersambung-sambung untuk
mengusir penyakit).Acara kepercayaan itu dipegang penuh oleh Datu, baik di
istana maupun di tengah-tengah masyarakat umum.Raja-raja dan kaum
bangsawan mereka sebut juga “tuhan” bukan saja disegani tetapi ditakuti
masyarakat, tetapi akhirnya sesudah masuknya agama Islam dan Kristen sebutan
tersebut berubah menjadi Tuan.
Masuknya Agama Islam ke Simalungun adalah pada abad ke-15 melalui
daerah Asahan dan Bedagai yang dibawa oleh orang-orang dari kerajaan Aceh.
Awalnya perkembangan Agama Islam berada di daerah sekitar Perdagangan dan
Bandar (Sihotang, 1993:23).
Kemudian sekitar tahun 1903, Gereja Batak Toba (HKBP) yang berada
dalam fase perkembangan kemudian berkembang hingga menjangkau
masyarakat di luar lingkungan mereka sendiri.Pada suatu konferensi yang
dilakukan pada tahun tersebut diambil suatu keputusan untuk memulai karya
misi pada masyarakat Simalungun.Kelompok Kristen Simalungun yang masuk
dari upaya ini pada awalnya hanya sekadar bagian dari Gereja Batak Toba
(dinamakan HKBP-S).Namun pada tahun 1964terjadi pemisahan dan lahirlah
organisasi baru yang menamakan diri sebagai Gereja Kristen Protestan
Simalungun (GKPS). Salah satu bagian integral dari proses Kristenisasi adalah
berupa pendirian gereja-gereja dan sekolah-sekolah. Di sana anak-anak dan
orang-orang dewasa dapat belajar membaca dan menulis dalam bahasa mereka
sendiri dan kemudian dalam bahasa Indonesia.
40
2.7 Biografi Singkat Bapak Rabes Saragih
Bapak Rabes Saragih adalah seorang Seniman Simalungun yang ahli
dalam memainkan alat musik Sarunei Simalungun.Bapak Rabes Saragih lahir di
Kampung Baru, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun, pada 01-Agustus-
1953. Ayahnya bernama Hormat (Alm.) seorang seniman Sarunei Simalungun.
Ibunya bernama Rosmentina Purba.Bapak Rabes Saragih memiliki dua
bersaudara perempuan dan satu laki-laki, beliau merupakan anak paling
besar.Selain bekerja petani, ayah beliau juga memiliki pekerjaan sampingan
yaitu sebagai pemaian Sarunei, jiwa seni yang dimiliki beliau diwariskan oleh
orang tuanya.Beliau menikah dengan Ibu br. Purba pada tanggal 02-februari-
1972 dan memiliki empat orang anak laki-laki dan perempuan.
Beliau mengenal alat musik Sarunei dari Ayahnya dan mulai belajar alat
musik tersebut dengan cara melihat orng bermain Saruei pada acara pesta-pesta.
Dengan keinginan yang besar beliau belajar sendiri memainkan Sarunei Buluh,
lambat laun beliau sudah bias memainkan Sarunei Buluh dan pada saat beliau
berumur 18 tahun, beliau sudah bias memainkan Sarunei Buluh.
Banyak acara yang sudah diikuti oleh Bapak Rabes Saragih di Kabupaten
Simalungun khususnya bahkan di Sumatera Utara.Pada tahun 1986 bapak Rabes
Saragih mengikuti Festival pertandinagn Gondrang Simalungun.Beliau
merupakan seniman yang sangat diseganin dan terpandang di masyarakat
Simalungun.Beliau selalu dipangil kalau ada acara resmi seperti Rondang
Bittang sebagai Pemain Sarunei.Dikarenakan kondisi kesehatan beliau saat
41
sekarang sudah sangat menurun, beliau mendapatkan penghargaan/piagam dari
pemerintah, pada tahun 1986.
Dari hasil wawancara saya dengan masyarakat setempat bahwa bunyi
suara Sarunei Buluh yang dimainkan bapak Rabes Saragih memilki ciri khas
yang sangat indah.Pemusik adalah pekerjaaan utama bapak Rabes
Saragih.Beliau mencukupi kebutuhan keluarga dan menghidupi anak serta istri
dalam keseharian dari hasil bekerja sebagai pemusik. Bapak Rabes Saragih
mengetahui alat musik Sarunei Buluh melalui bapak Orsen Sinaga pada tahun
90-an di Museum Simalungun yanag bertempat di Tigarunggu. Beliau
mengetahui Sarunei Buluh dengan cara melihat dan memperhatikan bagaimana
bentuk sarunei buluh tersebut, kemudian beliau membuat Sarunei itu sendiri di
rumahnya.
42
BAB III
KAJIAN ORGANOLOGIS SARUNEI BULUH SIMALUNGUN
3.1 Kasifikasi Sarunei Buluh Siamlungun
Dalam mengklasifikasikan Sarunei Buluh, penulis mengacu kepada teori
yang dikemukakan oleh Curth Sachs dan Hornbostel (1914) yaitu: “sistem
pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyi.
Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yang terdiri dari : Idiofon,
(penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu sendiri), Aerofon,
(penggetar utama bunyinya adalah udara), Membranofon, (penggetar utama
bunyinya adalah kulit atau membran), Kordofon, (penggetar utamaa bunyinya
adalah senar atau dawai)”.
Sesuai dengan tinjauan penelitian mengenai organologis alat musik
Sarunei Buluh, penelitian mengklasifikasikan alat musik ini ke dalam kelompok
aerofone. Aerofone ada beberapa jenis yaitu, Blown Flute, End Blown Flute,
Side Blown Flute, Rim Blown Flute, Wistle Flute, Nose Flute. Dengan mengacu
pada teori diatas, maka alat musik Sarunei Buluh jika dilihat dari sumber
bunyinya yaitu alat musik yang memiliki prinsip kerja hembusan udara, alat
musik Sarunei Buluh ini golongan ke pada klasifikasi aerofone yaitu sumber
utama bunyi yang digahsilkan oleh getaran udara. Sedangkan dalam pembagaian
jenis klasifikasi aerofone, musik Sarunei Buluh tergolong kedalam “end blown
flute” karena alat musik Sarunei Buluh ditiup sebagai penghembusan udara.
43
3.2 Kontruksi Bagian-Bagian Sarunei Buluh Simalungun
Kepala
Penahan Bibir / nalih
Badan Sarunei Buluh
Lubang
Nada
Gambar 1: Bagian-bagian Sarunei Buluh Simalungun
44
◦ Ukuran Kepala Sarunei 0,5
Cm
Ukuran Badan 6,5 Cm
Ukuran Panjang Sarune 28,5 Cm
Ukuran Tuhak 12,5
Ukuran Badan bawah 6,5 cm G Gaambar 2 : Ukuran Sarunei Buluh
47
Gambar 5: Kayu Simardaruma
3.3 Teknik Pembuatan
Pembuatan Sarunei Buluh Simalungun masih sangat sederhana. Semua proses
pengerjaan Sarunei Buluh tersebut mulai dari tahap pengadaan bahan sampai
proses pembuatan dikerjakan tanpa adanya campur tangan mesin. Berikut ini
akan dijelaskan bahan, alat-alat serta fungsi masing-masing yang digunakan
dalam pembuatan Sarunei Buluh.
3.3.1 Bahan Baku yang Digunakan
Bahan baku yang digunakan dalam pembutan Sarunei Buluh simalungun
sangat sederhana. Pembuatan Sarunei Buluh tidaklah sesulit pembuatan alat
48
musik Siamlungun yang lain Gonrang dan Arbab yang membutuhkan bahan
baku yang kompleks dengan proses yang sulit dan butuh waktu yang sangat
lama. Sarunei Buluh adalah salah satu alat musik Simalungun yang sederhana
dalam proses pembuatannya. Sebab bahan utama yang digunakan dalam
pembuatan Sarunei Buluh hanya seruas bambu.
3.3.1.1 Bambu
Bambu adalah tanaman jenis rumput-rumputan dengan rongga dan ruas di
batangnya. Bambu memiliki banyak tipe. Nama lain dari bambu adalah buluh
dalam bahasa Simalungun. Bambu merupakan yang tidak asing lagi bagi
masyarkat Indonesia.Tanaman ini dapat di daerah iklim basah sampai iklim
kering Menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999, hal 78).Untuk
pembuatan alat musik Sarunei Buluh bahan yang digunakan hanya
bambu.Dimana bambu yang digunakan adalah bambu Rogon ataupun bambu
Talang, hal tersebut disebabkan bahwa bambu Rogon memiliki ruas yang
tidak terlau panjang dan tipis serta berdiameter tidak terlalu besar.Namun karena
sulitnya memperoleh bambu Rogon maka dapat diganti dengan bambu Talang
yang memiliki ciri-ciri yang hampir menyerupai bambu Rogon.Mengapa harus
bambu yang memiliki ruas pendek?Hal tersebut disebabkan karena tekanan
udara yang dikeluarkan dari mulut.Sehingga ruang bambu yang pendek lebih
memudahkan pemunculan suara yang dihasilkan dari tekanan udara dari mulut.
50
Untuk membuat bagian diameter pada Sarunei Buluh Simalungun, dipergunakan
kayu Simardaruma.Kayu simardaruma didapatkan oleh bapak Rabes Saragih di
hutan, kayu simardaruma ini bersifat rapuh.Kayu simardaruma yang digunakan
sebagai penutup bagian dari Sarunei Buluh. Kayu simardaruma ini akan
dimasukkan kedalam lubang pada bagian bambu.
3.3.2 Peralatan Yang Digunakan
3.3.2.1 Parang
Gambar 8 : Parang
Parang yang digunakan adalah parang yang berukuran besar dan panjang, parang
tersebut digunakan untuk menebang dan membersihkan dahan bambu.Dan juga
memotong ruas-ruas pangkal dan ujung pada Sarunei Buluh.
51
3.3.2.2 Pisau Cuter
Gambar 9 : Pisau Cuter
Pisau Cutter yang digunakan untuk mengikis pangkal ruas bambu Rogon
dan juga membuat lubang nada Sarunei Buluh tersebut.
3.4.3 Proses Pembuatan
Proses pembuatan merupakan tahap awal dalam membuat Sarunei Buluh,
dimana tahap ini semua cara dalam membentuk badan sarunei buluh dan
pengukuran dalam proses ini. Dalam proses pembuatan sarunei buluh ini yang
pertama dilakukan dengan mempersiapkan bahan baku yaitu bambu rogon atau
bambu talang sebagai bahan yang di gunakan dalam membuat sarunei buluh.
52
3.4.3.1 Memilih dan Menebang Bambu
Pemilihan bambu yang berkualitas akan sangat berpengaruh terhadap
daya tahap atau kekuatan bambu tersebut. Jenis bambu yang baik untuk
dijadikan alat musik Sarunei Buluh adalah bambu tersebut tidak mengalami
perubahan fisik dan tidak mudah kisut/susut sewaktu dikeringkan.
Kemudian memilih ruas bambu sesuai dengan ukuran untuk membuat
Sarunei Buluh yaitu memiliki panjang ruas kurang lebih 28,5 cm dan diameter
lebih kurang 0,4 cm. Pada umumnya bambu yang memiliki rusa pendek tumbuh
di tanah yang tandus. Denga demikian, tidak semua jenis bambu dapat
dipergunakan untuk membuat Sarunei Buluh.Hal ini disebabkan karena
pertimbangan kualitas jenis bambu sebagai bahan untuk mencapai
kesempurnaan bunyi yang dihasilkan dari alat musik Sarunei Buluh.
Menurut hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Bapak Rabes
Saragih, untuk menebnag bambu biasanya dilakukan pada sore hari.Hal tersebut
dikarenakan erat dengan kebiasaan masyarakat setempat yang melakukan
pekerjaan tambahan setelah selesai melakukan pekerjaan pokok contohnya
mengambil bambu dilakukan ketika hendak pulang dari ladang yang biasanya
pada sore hari.
3.4.3.2 Memotong Bambu
Bambu yang sudah ditebang dibersihkan dari dahan-dahan dan dipotong
sesuai dengan ukuran dan bagian Sarunei Buluh. Proses pembuatan dapat
digunakan dengan parang, biar supaya untuk mendapatkan hasil yang rapi.
53
Setelah pemotongan selesai maka bambu dikikis secara pelan dengan
menggunakan pisau cuter, dan setelah dikikis secara perlahan maka terciptlah
badan bambu yang dihasilkan. Dalam pengkisan tersebut ujung pangkal
hembusan harus tipis, tujuannya adalah untuk mempermudah dalam memainkan
Sarunei Buluh dimana posisi lubang mulut yang membuat pemaian Sarunei
Buluh merasa nyaman dalam memainkan Sarunei Buluh.
Gambar 10 : Cara memotong bambu
54
Gambar 11: Cara mengikis badan Sarunei Buluh
3.4.3.3 Mengukur dan Memberi Garis
Adapun bagian-bagian Sarunei Buluh yang berbahan baku dari bambu
dibentuk terlebih dahulu, seperti pembuatan diameter lubang hembus pada
Sarunei Buluh, mengukur garis bagian pangkal sesuai dengan garis tengah, lalu
diberi garis sebagai dan pembuatan lubang nada-nada pada Sarunei Buluh.
Dalam proses ini bapak Rabes Saragih mengerjakannya sendiri.
Gambar 12 : Pengukuran Awal
56
Gambar 15 : Pengukuran lubang Nada Ketiga
Gambar 16 : Pengukuran lubang nada Terakhir
3.4.3.4 Membuat Badan Sarunei Buluh
Dalam pembuatan awal pertama Sarunei Buluh memotong bambu dengan
menggunakan parang dan dibersihkan dahan-dahan yang ada pada bambu dan
terbentuklah badan Sarunei Buluh memotong ruas-ruas yang ada di pangkal dan
ujung. Lalu mengikis yang terdapat bagian ujung dan pangkal pada sarunei
buluh, dengan mengukur bapak Rabes Saragih menggunakan garis
tengah.setelah selesai membuat garis tengah, bapak rabes saragih menggarisi
sebagai nada setelah itu digarisi lagi sampai keenam kali.
57
Gambar 17 : badan Sarunei Buluh
3.4.3.5 Mengikis Kulit Bambu
Alat yang digunakan dalam mengikis kulit bambu yaitu pisau cuter yang
tajam, agar lebih mempermudah dalam pengikisan batas ruas bambu yang akan
menjadi lubang nada.
58
Gambar 18: cara mengikis kulit bambu
3.4.4 Tahap Penyempurnaan
Tahap penyempurnaan dilakukan agar Sarunei Buluh simalungun dapat
dilakukan dan dimainkan dengan baik.Tahap penyempurnaan ini dilakukan
dengan melubangi lubang hembus, pada lubang-lubang nada pada Sarunei Buluh
ynag dikerjaan satu per satu berdasarkan bagian-bagiannya.
3.4.4.1 Pelubangan Awal Bagian Sarunei Buluh
Pelubangan awal dimulai dari lubang hembusan yang berada pada pangkal ruas
bambu, kemudian diikuti dengan melubangi lubang keluaran udara yang berada
pada ujung ruas bambu.Setelah lubang hembusan dan lubang keluaran udara
selesai, yang terakhir melubangi lubang nada.
Gambar19 : pelubangan awal bagian sarunei buluh
62
3.4.4.2 Proses Pemasukan Kayu Simardaruma Ke Bagian Pangkal
Setelah pelubangan selesai, maka kayu simardaruma lebih awal sudah
dibuat, dan akan dimasukkan ke dalam lubang pangkal (gambar …), lalu setelah
dimasukkan ke dalam lubang pangkal kayu simardaaruma harus pas dimasukkan
jangan sampai kelonggaran dan kesempitan. Dan setelah selesai dilakukan
pemasukan pada kayu simardaruma, maka sisa kayu simardaruma tersebut akan
dikikis lagi untuk merapikan dan meratakan pada bagian pangkal Sarunei Buluh.
Apabila terjadi belum padat untuk menutupi lubang pangkal Sarunei Buluh,
maka masukkan sisa kulit bambu.
Gambar 25 : Proses Pemotong Kayu Simardaruma
63
Gambar 26 : Proses Pemasukan Ke lubang Pangkal
3.4.4.3 Selesainya Sarunei Buluh dan Penghalusan Badan
Dan setelah dilakukan pelurusan terhadap kayu simardaruma, maka ditiup secara
berulang-ulang untuk menandakan sarunei buluh sudah bagus dan sempurna.
Lalu setelah sempurna dan sudah bagus pada sarunei buluh maka untuk
mrapikan dan menghaluskan bagian pangkal dan ujung dengan menggunakan
pisau cuter dan setelah selesai merapikan keseluruhan maka selesailah
pembuatan sarunei buluh yang dilakukan oleh bapak Rabes Saragih.
64
3.5 Kajian Fungsional
Pada kajian fungsional berikut ini, beberapa hal yang akan dibahas adalah
prose belajar, cara memegang Sarunei Buluh, posisi jari tangan, nada yang
dihasilkan, teknik memainkan Sarunei Buluh.
3.5.1 Proses Belajar
Menurut wawancara dengan bapak Rabes Saragih, proses pertama yang
harus dilakukan sebelum memainkan Sarunei Buluh simalungun adalah dengan
cara melihat permainan, mendengarkan permainan Sarunei Buluh, menghafalkan
bunyi Sarunei Buluh. Yang kemudian menirukan apa yang dilihat, didengarkan,
dan dihafalkan.
Perlu diketahui juga untuk menjadi seorang pemain Sarunei Buluh tersebut
adalah harus mempunyai sebuah keinginan yang kuat, yang harus bisa
beradaptasi dan bersabar. Akan tetapi menurut beliau sebelum memainkan
Sarunei Buluh orang ingin belajar dan mendapatkan hasil yang maksimal proses
pertama yang harus dipelajari adalah belajar teknik meniup Sarunei Buluh.
Untuk lagu yang pertama kali oleh bapak Rabes Saragih saat memainkan
Sarunei Buluh ialah sitalasari, yaitu lagu yang lambat. Di dalam masyarakat
Simalungun untuk mempelajari musik dilakukan secara lisan yaitu sang guru
bercerita dan muridnya mendengarkan apa-apa yang dikatakan guru tersebut.
65
3.5.2 Cara Memegang Sarunei Buluh
Cara memgang Sarunei Buluh yang baik dan benar adalah dengan Sarunei
Buluh pada bagian depan, pemain tegak lurus.
Gambar 27 : Cara memegang Sarunei Buluh
3.5.3 Posisi Jari Tangan
Pada Sarunei Buluh simalungun, posisi jari tangan yang terjadi fleksibel
Gambar 28 : Posisi Jari Tangan
66
3.5.4 Nada Yang Dihasilkan
Untuk nada yang dihasilkan sarunei buluh dulunya tidak ada memakai kunci,
baru sekarang inilah bapak Rabes Saragih mempermodern nada yang dihasilkan
sarunei buluh memakai kunci C, D, G dan kunci lainnya.
tablatura
3.5.5 Teknik Memainkan
Teknik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai cara membuat
sesuatu, cara yang terkait dalam sebuah karya seni. Menurut Banoe (2003 : 409)
teknik permainan merupakan cara atau teknik sentuhan pada alat musik atas
nada tertentu sesuai petunjuk atau notasinya. Dapat disimpulkan, teknik dalam
musik berarti dalam musik berarti cara melakukan atau memainkan suatu karya
seni dengan baik dan benar. Permainan dalam Kamus Besar Indonesia (2002 :
67
41) mengandung arti suatu pertunjukan dan tontonan. Dalam hal ini, permainan
dapat diartikan sebagai perwujudan suatu pertunjukan karya seni yang disajikan
secara utuh dari mulai pertunjukan sampai akhir pertunjukan. Setianingsih (2007
– 19) menjelaskan bahwa teknik permainan merupakan gambaran mengenai pola
yang dipakai dalam suatu karya seni musik berdasarkan cara memainkan
instrument beserta pengulangan dan perubahannya, sehingga menghasilkan
suatu kompisisi musik yang bermakna sesuai dengan nada-nad sehingga
menghasilkan suatu komposisi musik yang indah.
Dalam memainkan Sarunei Buluh ada beberapa teknik yang harus di pelajari,
yaitu untuk menghasilkan suara tonal pada Sarunei Buluh bernafaslah
sebagaimana bernafas biasa dan hembuskan secara perlahan, jangan
menghembuskan terlalu keras. Dalam setiap potongan hembusan, pemain
sarunei buluh akan mengambil nafas melalui hidung. Dan untuk mendapatkan
cirikhas nada inggou ( cirikhas irama simalungun) pada alat musik sarunei
buluh. Teknik yang dilakukan adalah teknik penjarian dan pernafasan, penjarian
terhadap lubang nada harus cepat, lubang nada di buka dan di tutup denngan
cepat oleh jari secara berkala, jangan mengangkat jari terlalu tinggi dari lubang
nada dan di butuhkan hembusan udara dari mulut yang lebih kuat sehingga
menghasilkan nada hias yang mencirikan dengan nada Simalungun.
68
BAB IV
EKSISTENSI DAN FUNGSI SARUNEI BULUH SIMALUNGUN
4.1 Asal-Usul Sarunei Buluh Simalungun
Asal-usul alat musik Sarunei Buluh Simalungun, hingga saat ini masih belum
diketahui secara pasti, sebab tulisan-tulisan maupun penelitian-penelitian yang
berhubungan dengan alat musik tersebut sangat jarang. Meskipun demikian,
penulis berusaha untuk mencari tahu tentang sejarah keberadaan alat musik
Sarunei Buluh secara lisan maupun tulisan
4.1.1 Perspektif Sejarah Buluh
Sejak berakhirnya riwayat kerajaan-kerajaan di Simalungun pada tahun
1946 yang diakibatkan oleh sekelompok orang yang tersulut kemarahannya,
karena kolusi yang dilakukan oleh para raja dan keluarga dengan pemerintah
Belanda yang menguntungkan mereka. Demi kekayaan pribadi dari hasil
pungutan sewa tanah, mereka mengorbankan kepentingan masyarakat
Simalungun dengan melakukan pengadilan jalanan secara paksa terhadap raja-
raja dan keluarganya (kecuali yang melarikan diri) dibunuh dan istana mereka
dibakar habis. Peristiwa tersebut kini dikenal dengan Revolusi Sosisal 1946
(Jansen 2003 : 25).
Revolusi social 1946 mengakibatkan sebagian besar peninggalan budaya dan
kesenian musik musnah dan tidak dapat diperoleh kembali.Kesenian dan musik
tradisional hampir mengalami kepunahan, hal tersebut disebabkan istana-istana
yang dulunya berfungsi sebagai tempat pusat kegiatan kebudayaan habis
terbakar.
69
Kemudian pada lima hingga sepuluh tahun Revolusi Sosial tersebut terjadi,
kesenian dan musik tradisional Simalungun meningkat secara bertahap dan
bertahan hingga saat ini. Pada umumnya Masyarakat Simalungun yang
bermukim di Kecamatan Purba memandang diri mereka sebagai satu kelompok
etnis yang kuat dipersatukan oleh bahasa, musik tradisonal, serta adat istiadat
dan tetap berpegang teguh pada falsafah hidup mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini tetap
menjadi landasan kehidupan social dan bermasyarakat di lingkungan
Simalungun, khususnya yang bermukim di Kecamatan Purba.Dan juga dalam
melakukan kegiatan yang memiliki unsur-unsur tradisi atau adat istiadat dalam
setiap fase-fase kehidupan mereka, masyarakat simalungun masih
mempergunakan adat istiadatnya dalam mempertahankan identitasnya, salah
satu di antaranya adalah mereka tetap menggunakan hiou (kain adat) setiap
menghadiri ataupun mengadakan suatu upacara adat.
Sebagian besar upacara masyarkat Simalungun tersebut, saat ini tidak lepas dari
peranan agama Kristen sebagai agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat
Simalungun, dimana sebelum melaksanakan upacara adatnya, kedua mempelai
terlebih dahulu memperoleh pemberkatan di gereja sesuai dengan peraturan
gereja yang bersangkutan. Begitu juga dengan anak yang diberi nama setelah
lahir, terlebih dahulu mendapatkan baptisan kudus di gereja yang bersangkutan,
lalu kemudian dilaksnakan upacara adatnya.
70
4.2 Fungsi dan Penggunaan Sarunei Buluh
Musik dan manusia seperti halnya bagian dari dua sisi mata uang yang sulit
untuk dipisahkan.Keduanya saling mengisi dan melengkapi.Manusia yang
memiliki kebutuhan rohani selain kebutuhan fisik, mereka perlu mengisinya
dengan hiburan, seperti mendengarkan alunan musik atau mengungkapkan
perasaan melalui musik. Sementara itu musik tidak akan pernah ada jika tanpa
kehadiran manusia sebagai penciptanya.
Musik berkembang keberadaannya selain sebagai hiburan, juga sebagai ekspresi
dari cipta rasa dan karya, dan karsa manusia.Musik sebagai ekspresi cipta, rasa,
karya, dan karsa manusia disebut juga dengan musik tradisional.
Musik merupakan sarana manusia untuk mencurahkan perasaan hati melalui
suara.Musik melukiskan getaran jiwa dan khayalan yang timbul dari alam
pikiran yang tidak dapat diungkapkan melalui perkataan, perbuatan, atau dengan
salah satu kesenian lain, seperti sastra lukis, pahat, dekorasi, kriya, dan
grafika.Oleh karena musik adalah suatu jenis kesenian dengan mempergunakan
suara sebagai media ekspresinya, baik suara manusia maupun instrument.Di
dalam suara itu terkandung melodi, birama, harmoni, dan warna suara.
Dalam kehidupan masyarakat Simalungun musik memiliki peran yang sangat
penting, demikian jugan dengan Sarunei Buluh Simalungun. Adapun penggunan
dan fungsi seperti dikemukakan oleh Merriam (1964 : 210) yaitu :
“ Use then,refers to the situation on in which music employed in human action;
“Function concerns the reson for it employment and particularly the broader
purpose which it serves”.
71
Terjemahan bebas sebagai berikut :
Penggunaan, berkenan terhadap suatu keadaan bagaimana musik tersebut
dipakai dalam kegiatan manusia; fungsi, meliputi alas an pemakaian dan
terutama dalam lingkup yang luas, sejauh mana musik itu dapat memenuhi
kebutuhan manusia tersebut.
Penggunaan dan fungsi didalam musik merupakan suatu pembahasan yang
sangat penting.Hal tersebut dikarenakan musik mempengaruhi aspek-aspek
didalam kehidupan manusia dan efeknya suatu masyarakat. Dengan kata lain,
penggunaan menyangkut konteks pemakaian musik, sementara fungsi
menyangkut kepada bagaimana dan untuk apa musik tersebut disajikan.
4.2.1 Fungsi
Menurut Alan P. Merriam (1964 : 219-226) fungsi dapat dibagi dalam 10
kategori yaitu :
1. Fungsi pengungkapan emosional
2. Fungsi penghayatan estetis
3. Fungsi hiburan
4. Fungsi komunikasi
5. Fungsi perlambangan
6. Fungsi reaksi jasmani
7. Fungsi yang berkaitan dengan norma social
8. Fungsi pengesahan lembaga social dan upacara keagamaan
9. Fungsi kesinambungan budaya
72
10. Fungsi pengintergrasian masyarkat
Dalam penyajian Sarunei Buluh Simalungung dapat dikategorikan kedalam
beberapa fungsi di atas yaitu, fingsi pengungkapan emosional, fungsi hiburan,
fungsi komunikasi, fungsi komunikasi, fungsi reaksi dan jasmani.
4.2.1.1 Fungsi pengungkapan Emosional
Pada berbagai kebuadayaan, musik memiliki fungsi sebagai kendaraan dalam
mengekspresikan ide-ide dan emosi. Dalam menentukan reaksi suasana hati
terhadap musik di kalangan masyarakat Simalungun adalah tempo musik yang
dibawakan. Untuk menunjukan suasana gembira, maka dipakai tempo sedang
hingga tempo cepat.Sedangkan tempo lambat umumnya dipakai untuk yang
berhubungan dengan hal-hal musibah, kekecewaan, kesedihaan dan kerinduan
hati. Banyaknya lagu-lagu sedih di daerah Simalungun dan diguakan istilah
inggou menggambarkan makna suasana hati dari lagu-lagu tersebut serta
persepsi masyarakat Simalungun terhadap musik tersebut. Pengungkapan
perasaan mungkin paling mudah dan sederhana untuk dipahami dari alunan
melodi yang dikandungnya.
Alat musik Sarunei Buluh dapat membantu manusia untuk mengungkapkan rasa
emosi yang ada pada dirinya. Jika seseorang sedang mengalami duka, maka dari
itu seseorang akan menggunakan Sarunei Buluh sebagai alat atau media untuk
membantu mengungkapkan perasaan yang sedang dialaminya, contohnya
apabila seseorang sedang mengalami rasa sedih maka Sarunei Buluh yang
dimainkannya akan mengahsilkan bunyi yang mendayu dayu, produksi suara
73
yang dihasilkan sangat sedih, seperti orang yang sedang menangis, sebagaimana
gambaran perasaan si pemian.
4.2.1.2 Fungsi Hiburan
Hiburan adalah suatu kegiatan yang menyenangkan hati bagi seseorang atau
publik. Musik sebagai salah satu media yang memiliki fungsi yang
menyenangkan hati, membuat rasa puas akan irama, bahasa melodi, atau
keteraturan dari harmoninya. Seseorang bisa saja tidak memahami teks musik,
tetapi ia cukup
terpuaskan atau terhibur hatinya dengan pola-pola melodi, atau pola-pola ritme
dalam irama musik tertentu.
Pada umumnya alat musik simalungun berfungsi sebagai hiburan untuk diri
sendiri maupun pendengarnya.Seperti Sarunei Buluh yang di gunakan untuk
menghibur diri sendiri, pada zaman dahulu, bapak Rabes Saragih mengatakan
bahwa alat musik Sarunei Buluh ini juga dapat berfungsikan untuk menghibur
diri sendiri. Seseorang akan pergi ke juma4 dan bermain Sarunei Buluh di bawah
pohon yang rindang untuk menghibur dirinya akan nasib sedih yang sedang
dialaminya. Tetapi pada saat sekarang ini Sarunei Buluh sudah berfungsi untuk
menghibur orang banyak.
4 Juma adalah suatu tempat atau lahan yang di gunakan untuk bertani
74
4.2.1.3 Fungsi Komunikasi
Musik sudah sejak dahulu digunakan untuk alat komunikasi baik dalam keadaan
damai maupun perang. Komunikasi bunyi yang menggunakan saangkala (sejenis
trumpet), trumpet kerang juga digunakan dalam suku-suku bangsa pesisir pantai,
kentongan juga digunakan sebagai alat komunikasi keamanan di Jawa, dan
teriakan-teriakan pun dikenal dalam suku-suku asli yang hidup baik di
pegunungan maupun di hutan-hutan. Bunyi-bunyi teratur, berpola-pola ritmik,
dan menggunakan alur-alur melodi itu menandakanadanya fungsi komunikasi
dalam musik.
Tetapi pada masyarakat simalungun Sarunei Buluh tidak digunakan untuk
pemberitahuan adanya perang atau sebagai alat komunikasi keamanan.Pada
zaman dahulu Sarunei Buluh ini berfungsi sebagai komunikasi antara garama
dengan anak boru. Fungsi komunikasi Sarunei Buluh ini adalah penyampaian
perasaan hati seorang garama yang mencintai anak boru. Jadi seluruh perasaan
yang dirasakan oleh si garama terhadap anak boru di sampaikan melalui alunan
suara dari Sarunei Buluh.
4.2.1.4 Fungsi Reaksi dan Jasmani
Pesta budaya adalah yang dilakukan setiap tahunya, di dalam acara ini banyak
bentuk-bentuk kesenian Simalungun yang ditampilakan, seperti Tor-tor sombah
yang disebut dengan tarian agung atau tarian klasik yang biasa dipersembahkan
untuk menyambut orang-orang yang dihormati jumlah penarinya 6 orang, Huda-
huda atau Toping-toping tarian Simalungun yang memakai topeng dan paruh
75
burung enggang diiringi Gual Huda-duda jumlah penarinya ada 3 orang, Taur-
taur (Duaet tradisioal Simalungun) menggambarkan cinta yang berkomunikasi
memalui lagu.
4.2.2 Penggunaan
Menurut Herkovits (1964 : 217-218) dalam Merriam, penggunaan musik
dapat dibagi menjadi lima kategori unsur-unsur budaya yaitu : Kebudayaan
Material, Hubungan Maanusia dengan Alam, Estetika dan bahasa. Berdasarkan
kelima kategori tersebut, penggunaan Sarunei Buluh dalam konteks unsur-unsur
budaya dapat diuraikan kedalam kategori estetika.
4.2.2.1 Kebuadayaan Material
Dalam unsur kebudayaan material, penggunaan musik dibagi menjadi dua
bagian yaitu unsur teknologi dan ekonomi.Dalam hal unsur teknologi, musik
digunakan untuk mengiringi pekerjaan yang dilakukan misalnya pekerjaan pada
waktu panen, ataupun pekerjaan yang ada di rumah.Sementar sebagai unsur
ekonomi, musik digunakan untuk mendapatkan keuntungan dari permainan
musik tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka sarunei buluh dapat
dikategorikan kedua-duanya, karena dari unsur teknologi sarunei buluh sering
dipakai untuk melakukan pekerjaan di sawah dan di rumha, karena memang
dulunya sarunei buluh adalah permainan pribadi (self amusement), dan daru
unsur ekonomi, sebab pemain musik sarunei buluh yang dipanggil untuk
76
mengiringi suatu pertunjukan budaya simalungun mendapatkan provit atau
keuntungan dari bermain musik tersebut.
4.2.2.2 Hubungan Manusia dengan Alam
Hubungan manusia dengan alam tempat tinggal sangat erat kaitanya.Dalam hal
ini penggunaan musik sangat penting sebagai sarana komunikasi terhadap
alam.Penggunaan sarunei buluh dapat dilihat dalam memikat dan permanenan
hasil di ladang yaitu untuk panen padi di sawah dan memikat seorang wanita
yang sedang berada di ladang dengan memainkan sarunei buluh.
4.2.2.3 Estetika
Estetika mengacu pada nilai kehidupan yang berasal dari ekspresi hasrat
manusia akan keindahaan yng dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai
makhluk yang mempuyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak
kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang
kompleks.Musik merupakan cerahan kekuatan tenaga penggambaran yang
berasal dari rasa dalam suatu rentetan suara (melodi) yang berirama. Atau
dengan kata lain, musik merupakan suatu karya seni yang menjadi media untuk
menggungkapkan perasaan seorang dengan cara menuangkannya melalui alunan
nada ataupun melodi, baik dalam bentuk vokal maupun instrumental. Musik
sebagai media utuk menggambarkan atau mengungkapkan perasaan
seseorang.Terkadang seseorang memiliki pikiran, gagasan, harapan, keinginan
yang membutuhkan perwujudan.
77
Musik merupakan wahana yang tepat digunakan dari upaya pemunculan atau
perwujudan hal tersebut. Seseorang suatu ketika ingin menyampaikan gagasan
atau ide tanpa mengharapkan respon secara langsung, melalui musik hal itu
dapat terlaksana dengan baik, pesan-pesan yang ingin dikomunikasikan
dituangkan kedalam sebuah lagu ataupun untaian alunan musik yang indah, yang
kemudian dapat dinikmati sendiri maupun orang lain. Berdasrakan hal tersebut
maka alat musik Sarunei Buluh termasuk kdalam penggunaan estetika di
karenakan Sarunei Buluh di gunakan untuk sebagai pelipur lara yang sedih
maupun senang, dan sebagai media untuk menyampaikan perasaan yang sedang
dialami oleh pemainnya.
4.3 Eksistensi Sarunei Buluh Simalungun
Keberadaan Sarunei Buluh pada zaman dahuluberbeda jauh dengan sekarang,
karena hanya sedikit dari masyarakat Simalungun atau muda-mudi yang
mengenal alat musik ini.Pada sekarang ini alat musik Sarunei Buluh sudah
hampir hilang dari budaya Simalungun.
Kenyataannya sekarang ini Sarunei Buluh sudah hampir tidak dimainkan lagi
oleh kaum muda-mudi.Faktor zaman yang sudah maju dan mereka cenderung
mengenyampingkan hal-hal yang berbau tradisi.Kebanyakan muda-mudi
cenderung terpesona pada zaman serbaa canggih sehingga hampir melupakan
tradisi yang ada di tanah mereka sendiri, da nada juga faktor lain membuat
Sarunei Buluh ini jarang dimainkan oleh kaum muda-mudi.Mungkin bisa saja
teknik permainan dari Sarunei Buluh itu sendiri yang dianggap sulit dalam
78
memainkanya berbeda dengan permaianan zaman modern sekarang seperti
keyboard, gitar, dan lain-lain. Oleh karena itu muda mudi pada zaman ini lebih
akrab dengan permaian keyboard, gitar,dan aplikasi komputer lain yang
berhubungan dengan musik misalnya aplikasi bermain gitar yang bisa di install
di gadget yang mana teknik memainkannya lebih mudah dibandingkan bermain
gitar secara manual.
Berbeda dengan Sarunei Buluh yang cara bermainnya tidak kita temukan
di aplikasi komputer. Tanpa disadari pola piker yang seperti itu akan
mempengaruhi eksistensi budaya di Negara ini khususnya di masyarakat
Simalungun yang mana efek dari modrenisasi banyak masyarakat Simalungun
yang lupa bahkan tidak tahu tentang kebudayaan sendiri. Untung saja masih ada
orang-orang yang peduli dengan keberadaan alat musik ini, seperti Bapak Rabes
Saragih misalnya, beliau adalah seniman Simalungun yang sampai sekarang
masih mengetahui cara membuat alat musik Sarunei Buluh. Walaupun pada
sekarang ini kondisikesehtaan bapak Rabes Saragih sudah sangat menurun,
beliau selalu terbuka untuk mengajari orang-orang ataupun pemuda yang ingin
belajar tentang alat musik Simalungun, seperti alat musik Saruei Buluh.
Selain beliau ada seorang seniman yang mengetahui cara pembuatan alat
musik ini yakni Bapak Riden Purba yang mana beliau adalah seorang seniman
Simalungun yang merupakan teman bapak Rabes Saragih . Bapak Riden Purba
masih membuat Sarunei Buluh Simalungun walaupun membuat Sarunei tersebut
dikarenakan Sarunei Buluh yang berada di museum sudah mulai rusak, jadi
beliau membuat yang baru, agar pengunjung museum atau masyarakat
79
Simalungun tetap dapat melihat Sarunei Buluh. Selian bapak Rabes aragih dan
bapak Riden Purba, seniman Simalungun yang masih menyajikan Sarunei buluh
ini adalah bapak Setia Dermawan Purba, beliau adalah dosen di Universitas
Sumatera Utara, dan alumni Etnomusikologi pertama Universitas Sumatera
Utara, dan bapak Setia Dermawan Purba adalah seniman budaya dari
Simalungun.
80
BAB V
PENUTUP
5.1 Rangkuman
Dalam proses pembuatannya, sarunei buluh simalungun dapat dilakukan
seorang diri seperti menebang bambu, memotong bambu dari dahan-dahan yang
terdapat pada bambu, mengikig ujung dan pangkal pada bambu, melubangi
lubang diameter lubang dan lubang nada, dan terakhir mengukur jarak-jarak
yang terdapat pada bagian sarunei buluh. Dan setelah mengukur, akan
menggaris-garasi hasil dari ukuran yang dibuat oleh bapak Rabes Saragih.
Proses pengerjaannya masih sangat sederhana tanpa dibantu oleh mesin yaitu
dengan menggunakan alat-alat seperti parang, pisau cuter. Dalam pembuatan
sarunei buluh juga memerlukan bahan-bahan untuk membentuk menjadi alat
musik yang baik antara lain, bambu rogon, kayu simardaruma.
Zaman dahulu dalam permainan sarunei buluh dilakukan untuk permainan
pribadi (self amusement), yang dimainkan di sawah, untuk memikat hati seorang
wanita, dan sekarang sarunei buluh dilakukan untuk pertunjukan budaya
simalungun, seperti acara-acara pesta budaya Simalungun.
5.2 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada pembahasan, peneliti
dapat menarik kesimpulan. Adapun kesimpulan yaitu pembuatan Sarunei Buluh
sangat sederhana hanya membutuhkan seruas bambu yang mengikutkan antara
batas ruasnya dan untuk mendapatkan bambu sangatlah mudah, alat-alat yang di
81
gunakan dalam pembuatannya pun sangat sederhana dan mudah, cara membuat
alat musik Sarunei Buluh tersebut tidak terlalu sulit, hanya memotong ujung dari
kedua bambu, membentuk lubang hembusan dan lubang keluaran udara,
mengukur jarak lubang nada, dan memberi lubang nada pada bambu seperti
lubang hembusa, lubang keluaran udara, dan lubang nada. Sarunei Buluh di
mainkan dengan menghembuskan udara melalui mulut, Sarunei Buluh termasuk
kedalam klasifikasi Aerofon (nose flute).Alat musik Sarunei Buluh memiliki
tujuh nada (pentatonik).
Sarunei Buluh di gunakan sebagai penghibur lara atau sebagai media yang
digunakan untuk mengungkapkan perasaan kepada seorang gadis yang
dicintainya. Alat musik Sarunei Buluh menjadi alat musik yang
individual.Karena alat musik Sarunei Buluh hanyadapat dimainkan secara
tunggal.Oleh karena itu alat musik Sarunei Buluh ini tidak bisa digabungkan
dengan ansambel musik dan tidak dapat gi gunakan untuk upacara.
Alat musik Sarunei Buluh merupakan alat musik yang hampir punah dan
sudah jarang di temui pada masyarakat Simalungun, keberadaannya sudah
sangat memprihatinkan, untuk pembuatannya hanya tinggal bapak Rabes
Saragih dan bapak Riden Purbayang mengetahuinya, dan untuk pelestariaanya
hanya bapak Setia Dermawan Purba yang selalu memperkenalkan dan
menyajikan alat musik Sarunei Buluh mejadi masyarakat Simalungun maupun di
luar etnis Simalungun, walaupun fungsi dari alat musik Sarunei Buluh itu sendiri
sudah berubah menjadi pertunjukan, hal tersebut di lakukan bapak Setia
Dermawaan Purba untuk melestarikan budaya Simalungun.
82
Akibat kemajuan teknologi yang berkembang, alat musik Sarunei Buluh sudah
jarang dipakai generasi muda sekarang ini di kabupaten Simalungun.Generasi
muda sekarang lebih tertarik pada alat musik modern dan melupakan tradisional
budaya sendiri.
83
DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud, 2005.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta. Girsang, Dori Alam, 2011. “Musik Tradisional Simalungun.”(Artikel Budaya). Hood, Mantle, 1981. The Ethnomusikologist. Ohio: The Kent State,University
Press. Hornbostel, Erich M. Von dan Curt Sach, 1961.Clasification of Musikal
Instrument. Translate from original by Anthoni Baines and KlausP. Wachmann.
Khasima, Susumu. Asia Performing Art.(Terjemahan Rizaldi Siagian, 1986). Koentjaraningrat, 1986.Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Merriam, Alan P, 1964. The Antropology of Music. North Western: University
Press. Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusikology. New York: The Free
Press of Glenco. Purba, Maruli, 2013. Teknik Permainan dan Struktur Musik Husapi Simalungun
Pada Lagu Parenjak-enjak Ni Huda Sitajur yang Disajikan Oleh Arisden Purba di Huta Manik Saribu Sait Buttu, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Skripsi Sarjana S-1, Departemen Entomusikologi,Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Purba, Setia Dermawan. “Musik Tradisional Simalungun.” Jurnal Seni Musik
Vol.5, No.1. Purba, Setia Dermawan.2008. Nyanyian Anak dalam Kebudayaan Simalungun.
Jurnal Etnomusikologi No.8 Saragih, Rianti. 1994. Toping-toping Simalungun: studi deskriptif dan
musikologis dalam upacara sayur matua. Skripsi Sarjana S-1,Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
84
Sinaga, Saridin Tua, 2009. Kajian Organologis Arbab Simalungun Buatan Bapak
Arisden Purba di Huta Maniksaribu Nagori Sait Buttu, Kec. Pematang Sidamanik, Kab. Simalungun. Skripsi Sarjana S-1, DepartemenEtnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Situmeang, Henry. 2011. Kajian Organologis Sarunei Simalungun Buatan Bapak
Martuah Saragih di Kecamatan Siantar Utara, Kota Pematang Siantar. Skripsi Sarjana S-1, Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara
Saragih, Fitri Suci. Kajian Organologis Tulila Buatan Bapak J Badu Purba Siboro Di Desa Lestari Indah Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun. Skripsi Sarjana S-1, Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara
85
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Rabes Saragih
Alamat : Desa Nagori Purba Tongah
Umur : 62 tahun
Pekerjaan : Pembuat Sarunei Bolon, Pembuat Sarunei Buluh
2. Nama : Riden Purba
Alamat : Desa Nagori Purba Tonggah
Umur : 58 tahun
Pekerjaan : Pemain Musik Tradisional, Pembuat Alat musik
3. Nama : Bosen Sipayung
Alamat : Dusun Pagar Dolok, Saran Padang
Umur : 70 tahun
Pekerjaan : Pembuat Sarunei