Pemanfaatan Buluh Bambu Tali Sebagai Komponen Pada ... filepemanfaatan buluh bambu tali sebagai...
Transcript of Pemanfaatan Buluh Bambu Tali Sebagai Komponen Pada ... filepemanfaatan buluh bambu tali sebagai...
PEMANFAATAN BULUH BAMBU TALI
SEBAGAI KOMPONEN PADA
KONSTRUKSI RANGKA BATANG RUANG
GINA BACHTIAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Pemanfaatan Buluh Bambu Tali sebagai Komponen pada Konstruksi Rangka Batang Ruang” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi.
Bogor, Agustus 2008
Gina Bachtiar NIM E061020111
iii
ABSTRACT
GINA BACHTIAR. Utilization of Bamboo as Space Truss Elements. Under the supervision of SURJONO SURJOKUSUMO, YUSUF SUDO HADI and NARESWORO NUGROHO.
Using traditional technology, bamboo has been used as building material in rural area since many years ago. Research has notified that it has high strength in tensile but low in shear. The shape of bamboo that is like a pipe with an uninformed diameter gave many problems when use in construction, especially in design of connections. In construction, there are many kinds of structure can be conducted. One of them is truss structure. Truss is a frame, which consists of members that take only tensile and compression force without bending moment.
The main objective of this research was to give information how to use bamboo for space truss elements technically. To meet the objective, five phase of research were conducted, those were research on basic properties on bamboo, buckling properties, connection design, evaluation on the strength of elements and designing several simple space trusses for roof truss. All of the research used bamboo tali, which diameters of about 4 cm and 6 cm
Indonesian species of bamboo known as Bambu tali (Gigantochloa apus Kurz) grown in Depok, Bogor, was used in this experiment. It has usually been used as building material for many years. Research on basic properties of bamboo performed according to ISO 22157-2004. Space truss design was conducted according to SNI 03-1727-1989 with regards to load design method.
Research on mechanical properties showed that its tensile strength is 60 MPa, compression strength is 12,7 MPa, shear strength is 2,5 MPa and E = 8.300 MPa. Bamboo performance on buckling shown that relations between critical strength and slenderness ratio could be formulated as y = -7,9.Ln (x) + 60, where y = critical strength and x = slenderness ratio.
Connection designed using a taper rounded wooden plug attached to the inner part of bamboo and a tapered steel ring was used at the outside of the bamboo culm. The advantages is that it avoid crack on bamboo wall as no hole was made. Employing two steel rings on every joint showed that those rings could transfer tension as well as compression forces.
Analytical and empirical evaluation on elements shown that one meter bamboo elements using designed connections can resist force up to 924 kg in compression and 3.925 kg in tensile for 6 cm diameter bamboo. Whereas on samples made of 4 cm diameter bamboo, the experiment showed resistance force of 1.284 kg in tensile and 2.776 kg in compression.
Structural analysis using a program with finite element methods, showed that 4 cm bamboo could be used as elements for 4m x 4m space truss using one metre of length elements. As for elements of 1,25 m length a 3,75 m x 5 m space truss could be used. For special cantilever truss, the used of 4 cm diameter bamboo must be varied by using 6 cm diameter bamboo for elements that resist larger compression force.
iv
RINGKASAN
GINA BACHTIAR. Pemanfaatan Buluh Bambu Tali sebagai Komponen pada Konstruksi Rangka Batang Ruang. Di bawah bimbingan SURJONO SURJOKUSUMO, YUSUF SUDO HADI dan NARESWORO NUGROHO.
Salah satu bentuk konstruksi yang banyak digunakan sebagai konstruksi rangka atap adalah konstruksi rangka batang (truss) yang kemudian berkembang menjadi konstruksi rangka batang ruang (space truss). Dengan kelurusan bambu yang terbatas, buluh bambu sesuai untuk digunakan pada konstruksi rangka batang ruang, karena konstruksi ini tersusun dari komponen-komponen yang relatif pendek. Pada konstruksi ini, komponen-komponen batang dihubungkan secara sendi, sehingga beban yang bekerja pada batang hanya gaya aksial tekan dan tarik. Bambu diketahui mempunyai kuat tarik yang tinggi dengan kuat geser serta kuat belah yang rendah, sehingga dari sudut mekanika bahan cocok untuk dimanfaatkan pada konstruksi rangka batang. Bentuk bambu yang berupa tabung agak tirus (tappered) dengan diameter yang beragam, selama ini dianggap sebagai hambatan dalam pemanfaatannya di bidang konstruksi. Selain itu adanya buku dengan jarak yang tidak seragam menjadi kendala dalam membuat sambungan, khususnya sambungan yang dapat dianalisa secara mekanika.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari secara teknis pemanfaatan bambu tali sebagai komponen rangka batang ruang. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukan lima tahap penelitian, yaitu : (1) penelitian sifat dasar, (2) analisa perilaku tekuk bambu tali, (3) perancangan sambungan buluh bambu, (4) evaluasi kekuatan komponen dan (5) perancangan model-model rangka atap sederhana. Penelitian dibatasi pada penggunaan bambu tali (Gigantochloa apus Kurz) yang berdiameter sekitar 4 cm dan sekitar 6 cm. Bahan bambu yang digunakan dalam penelitian ini berumur 3 – 5 tahun yang tumbuh di daerah Depok, Bogor, dan banyak diperjualbelikan serta digunakan sebagai bahan bangunan. Pada penelitian hanya digunakan bambu bagian pangkal dan tengah mengingat bahwa bentuk bambu tali yang cenderung melengkung pada bagian ujungnya.
Penelitian sifat dasar bambu dilakukan dengan lima ulangan dan mengacu pada ISO 22157-2004, tentang tata cara pengujian sifat fisik dan mekanik bambu tali. Khusus untuk penelitian terhadap kuat geser bambu, pengujian dengan penyesuaian terhadap tata cara pengujian kayu. Pada penelitian sifat dasar didapatkan hasil kerapatan bambu (ρ) sebesar 0,71 g/cm3, kuat tarik 57,8 MPa, kuat tekan 12,7 MPa, kuat geser 2,5 MPa dan modulus elastis (E) sebesar 8.300 MPa. Nilai-nilai ini selanjutnya digunakan dalam perhitungan analisa struktur.
Pada batang tekan, perhitungan kekuatannya tidak hanya tergantung pada luas penampang dan kuat tekannya saja, tetapi juga tergantung pada bentuk penampang dan panjang batang yang biasa dinyatakan dalam angka kelangsingan. Angka kelangsingan (λ) adalah hasil bagi jari-jari inersia (r) dengan panjang tekuk. Penelitian terhadap perilaku tekuk bambu tali dilakukan dengan menggunakan sekitar 100 (seratus) sampel yang terdiri dari bambu tali berdiamter sekitar 4 cm dan sekitar 6 cm dengan panjang contoh uji 50 cm, 70 cm dan 90 cm. Pembuatan sampel dilakukan dengan memperhatikan keberadaan buku. Pada sebagian sampel dibuat dengan buku pada bagian tengah panjang batang dan sebagian lain dibuat dengan ruas pada bagian tengah sampel. Berdasarkan penelitian empiris terhadap tegangan kritis dan digabungkan dengan hasil pengujian tekan, maka diperoleh hubungan antara nilai tegangan kritis terhadap angka kelangsingan yang berupa fungsi: y = -7,9 . Ln (x) + 60, dimana y = tegangan kritis (MPa) dan x = angka kelangsingan.
v
Perancangan diarahkan untuk menghasilkan sambungan buluh bambu yang dapat menerima gaya tarik dan gaya tekan yang kekuatannya dapat dianalisa. Sambungan yang direncanakan dibuat dengan menggunakan pasak kayu dan baut yang direkatkan pada bagian dalam buluh bambu, sehingga dapat menghindari timbulnya perlemahan akibat pembuatan lubang pada dinding bambu. Penggunaan dua buah ring pada sambungan terbukti dapat meratakan beban, baik pada beban tarik, maupun tekan. Selain itu digunakan juga klem besi pada bagian luar bambu yang berfungsi untuk membuat agar bagian ujung sambungan mengerucut serta untuk menghindari terjadinya belah. Kekuatan sambungan yang dirancang dapat dianalisa secara mekanika sederhana. Selanjutnya, dimensi sambungan dapat dirancang sesuai dengan besarnya beban yang bekerja.
Evaluasi terhadap komponen dilakukan secara analitik dan empirik. Perhitungan kekuatan secara analitik dilakukan untuk komponen berdiameter sekitar 4 cm dan sekitar 6 cm untuk panjang komponen 100 cm dan 125 cm. Penelitian empirik dilakukan terhadap komponen berdiameter sekitar 4 cm dengan panjang bidang geser 5 cm. Hasil perhitungan analitis terhadap komponen rangka batang sepanjang 100 cm dengan sambungan yang dirancang dapat menerima beban tekan 922 kg dan tarik 3.925 kg untuk bambu berdiameter sekitar 6 cm. Pada bambu berdiameter sekitar 4 cm, beban yang dapat diterima 501 kg untuk tekan dan 2.355 kg untuk tarik. Perhitungan analitis terhadap sampel mendapatkan nilai kuat tekan 581 kg dan kuat tarik 1.177 kg, sementara hasil penelitian empiris untuk sampel memperoleh nilai rata-rata kuat tekan 2.776 kg dan kuat tarik 1.284 kg. Pada pengujian terhadap kuat tarik sampel kerusakan sampel terjadi pada dinding bambu sebelah dalam. Hal ini menunjukkan bahwa faktor terlemah dalam menerima beban tarik sesuai dengan analisa terletak pada kuat geser bambu yang kecil.
Perencanaan struktur rangka batang ruang untuk rangka atap sederhana mengacu pada SNI 03-1727-1989 tentang tata cara perencanaan pembebanan. Hasil analisa struktur dengan progam berdasarkan metode elemen hingga, menunjukkan bambu berdiameter 4 cm dapat dimanfaatkan sebagai komponen rangka batang ruang dengan 4 tumpuan berukuran 4 m x 4 m untuk panjang komponen 1 m, sedangkan komponen dengan panjang 1,25 m, bambu berdiameter 4 cm dapat dimanfaatkan untuk konstruksi rangka batang ruang berukuran 3,75 m x 5 m. Defleksi yang terjadi pada struktur juga cukup kecil dengan nilai terbesar 2,26.10-4 m pada arah sumbu x yang terjadi pada rangka atap berukuran 3,75 m x 5 m, dengan panjang komponen 1,25 m. Penggunaan bambu berdiamater 6 cm pada struktur tersebut akan mengakibatkan gaya yang timbul bertambah sekitar 2 %, tetapi menambah kekakuan struktur sehingga defleksi yang timbul menjadi bertambah kecil. Pada struktur rangka batang ruang berukuran 3 m x 4 m dengan tumpuan pada satu bidang, penggunaan bambu tali berdiameter 4 cm harus divariasikan dengan menggunakan bambu berdiameter 6 cm pada batang-batang yang menerima gaya batang tekan yang besar.
vi
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008
Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah,
penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
vii
PEMANFAATAN BULUH BAMBU TALI
SEBAGAI KOMPONEN PADA
KONSTRUKSI RANGKA BATANG RUANG
GINA BACHTIAR
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
viii
Judul Disertasi : Pemanfaatan Buluh Bambu Tali sebagai Komponen
pada Konstruksi Rangka Batang Ruang
Nama : Gina Bachtiar
NIM : E061020111
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Prof. Ir. H.M. Surjono Surjokusumo, MSF, PhD Ketua
Prof.Dr.Ir.Yusuf Sudo Hadi, M.Agr. Dr.Ir. Naresworo Nugroho, MS Anggota Anggota
Diketahui ;
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan Prof.Dr.Ir. Imam Wahyudi, M.S. Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 14 Agustus 2008 Tanggal Lulus : ......................
ix
PRAKATA
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan YME atas segala berkat, rahmat dan
keruniaNya, sehingga penulisan disertasi dengan judul ” Pemanfaatan Buluh Bambu Tali
sebagai Komponen pada Konstruksi Rangka Batang Ruang ” ini dapat terselesaikan.
Terima kasih yang mendalam dan penghargaan yang tinggi penulis haturkan
kepada komisi pembimbing Prof. Ir. H.M. Surjono Surjokusumo, MSF, PhD., Prof. Dr.
Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr, dan Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS yang banyak
memberikan pengarahan dan masukan serta dorongan selama proses studi hingga
selesainya penulisan disertasi ini.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir.
Muhar Husin, Dipl. SE., Ir. Billy Malianggara, Prof. Ir. Bambang Suryoatmono, PhD.,
Ir. Iswandi Imran, MASc, PhD. dan Dr. Titik Penta A, MT. yang bersedia meluangkan
waktu untuk memberikan masukan dan saran. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada para staf pengajar di program studi IPK dan kepada para laboran di
Laboratorium Keteknikan Kayu dan Laboratorium Kayu Solid Fakultas Kehutanan IPB
serta Laboratorium Bahan Bangunan Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman
Departemen Pekerjaan Umum
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pimpinan di lingkungan Univertas
Negeri Jakarta, khususnya Fakultas Teknik atas bantuan dan kesempatan studi yang
diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan di jurusan
Teknik Sipil UNJ atas diskusi-diskusinya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada
suami tercinta serta anak-anak tersayang atas segala dorongan, dukungan materil dan
spiritual serta pengertiannya hingga terselesaikannya disertasi ini. Ucapan terima kasih
juga disampaikan kepada keluarga besar L. Bachtiar dan keluarga besar W. Pakpahan
atas dukungan dan doanya.
Pada disertasi ini mungkin masih ditemukan beberapa kekurangan, oleh karena itu
kritik dan saran akan penulis terima. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu dan teknologi bambu, khususnya pemanfaatan buluh bambu sebagai
bahan bangunan.
Bogor, Agustus 2008
Gina Bachtiar
x
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 15 April 1960 sebagai anak ketiga dari
tiga bersaudara dari pasangan Lukman Bachtiar (Alm.) dan Rohani.
Pada tahun 1979, setelah menamatkan SMA di Bogor, penulis melanjutkan kuliah
pada jurusan Pendidikan Teknik Sipil di IKIP Jakarta dan tamat pada tahun 1983. Pada
tahun 1990, dengan beasiswa TMPD (Dikti), penulis mendapat kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan Magister pada Jurusan Teknik dan Manajemen Industri, Fakultas
Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung. Pada tahun 2002, penulis mendapat
kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor dengan bantuan beasiswa BPPS, pada
program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Pada periode 1984-1985, penulis bekerja sebagai staf teknik pada biro konsultan
bangunan PT. Inconeb di Jakarta. Selanjutnya sejak tahun 1985 hingga kini, penulis
menjadi staf pengajar di Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Negeri
Jakarta.
Selama mengikuti program S3 penulis menjadi anggota Masyarakat Peneliti
Kayu Indonesia (MAPEKI), Perhimpunan Pencinta Bambu Indonesia (Perbindo) dan
Masyarakat Standardisasi (MASTAN). Penulis juga telah mempresentasikan karya ilmiah
yang berkaitan dengan topik penelitian S3 di antaranya : Bamboo as Space Truss
Elements dalam 6th International Wood Science Symposium, 29-31 Agustus 2005 di Bali;
Pengujian Kuat Tarik Bambu dan Kendalanya dalam Seminar Nasional Perbambuan
Indonesia di Yogyakarta, 12 Juli 2006 serta Elastisitas Tekan Bambu Tali pada Seminar
Nasional MAPEKI X, 9 – 11 Agustus 2007 di Pontianak. Sebuah artikel yang berkaitan
dengan disertasi ini telah diterbitkan dengan judul Perancangan Sambungan Bambu untuk
Komponen Rangka Batang Ruang pada Jurnal Forum Pascasarjana vol 31, Januari 2008.
Penulis menikah dengan Aladin Pakpahan pada tahun 1984, dan dikaruniai tiga
orang putri, yaitu Maria Sondang (1985), Margaretta Xenia (1988) dan Marcelina Arta
Uli ( 1996).
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................. xiDAFTAR TABEL...................................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR................................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................. xviii
DAFTAR NOTASI.................................................................................................... xix
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.............................................................................................. 1
1.2. Identifikasi Masalah...................................................................................... 3
1.3. Perumusan Masalah...................................................................................... 4
1.4. Tujuan Penelitian.......................................................................................... 4
1.5. Manfaat Penelitian........................................................................................ 6
1.6. Novelty.......................................................................................................... 6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bambu............................................................................................................ 7
2.1.1. Sifat-Sifat Umum.................................................................................... 7
2.1.2. Sifat Fisik dan Mekanik.......................................................................... 8
2.1.3. Keawetan dan Pengawetan..................................................................... 11
2.2. Konstruksi Rangka Batang............................................................................ 13
2.2.1. Tinjauan Umum...................................................................................... 13
2.2.2. Analisa Gaya Batang pada Konstruksi Rangka Batang Ruang.............. 15
2.2.3. Perhitungan Kekuatan Komponen.......................................................... 15
2.3. Sambungan Bambu........................................................................................ 18
3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI
3.1. Pendahuluan................................................................................................... 25
3.2. Tujuan Penelitian........................................................................................... 25
3.3. Bahan dan Metode......................................................................................... 25
3.3.1. Alat dan Bahan....................................................................................... 25
3.3.2. Metoda.................................................................................................... 26
3.4. Analisa Data.................................................................................................. 28
3.4.1. Sifat Fisik Bambu Tali............................................................................ 28
3.4.2. Sifat Mekanik Bambu Tali..................................................................... 28
xii
3.5. Hasil dan Pembahasan................................................................................... 29
3.5.1. Sifat Fisik Bambu Tali............................................................................ 29
3.5.2. Sifat Mekanik Bambu Tali..................................................................... 32
3.6. Kesimpulan.................................................................................................... 42
4. PERILAKU TEKUK BAMBU TALI
4.1. Pendahuluan................................................................................................... 43
4.2. Tujuan Penelitian........................................................................................... 43
4.3. Bahan dan Metoda......................................................................................... 44
4.3.1. Alat dan Bahan....................................................................................... 44
4.3.2. Metodologi.............................................................................................. 44
4.4. Analisa Data.................................................................................................. 45
4.4.1. Panjang Tekuk........................................................................................ 45
4.4.2. Persamaan Euler dan Batasannya........................................................... 46
4.4.3. Tegangan Tekuk Ijin............................................................................... 49
4.4.4. Faktor Tekuk........................................................................................... 49
4.5. Hasil dan Pembahasan................................................................................... 50
4.5.1. Tegangan Kritis berdasarkan Hasil Penelitian........................................ 50
4.5.2. Tegangan Kritis berdasarkan Analisa..................................................... 51
4.5.3. Faktor Tekuk........................................................................................... 53
4.5.4 Gaya Tekan Kritis ................................................................................ 53
4.6. Kesimpulan.................................................................................................... 55
5. PERANCANGAN SAMBUNGAN BAMBU
5.1. Pendahuluan................................................................................................... 56
5.2. Tujuan Penelitian........................................................................................... 57
5.3. Ruang Lingkup Perancangan......................................................................... 57
5.4. Bahan dan Metoda......................................................................................... 57
5.4.1. Bahan...................................................................................................... 57
5.4.2. Metodologi............................................................................................. 57
5.5. Tahap-Tahap Perancangan............................................................................ 58
5.5.1. Identifikasi Kebutuhan........................................................................... 58
5.5.2. Analisa Masalah..................................................................................... 59
5.5.3. Perancangan Konsep............................................................................... 59
5.5.4. Evaluasi.................................................................................................. 61
xiii
5.6.Perancangan Detail......................................................................................... 64
5.6.1. Perhitungan Struktur............................................................................... 64
5.6.2. Perhitungan Dimensi Sambungan.......................................................... 66
5.7. Kesimpulan.................................................................................................... 67
6. EVALUASI KEKUATAN KOMPONEN
6.1. Pendahuluan................................................................................................... 68
6.2. Tujuan Penelitian........................................................................................... 68
6.3. Ruang Lingkup Penelitian............................................................................. 68
6.4. Bahan dan Metode......................................................................................... 68
6.4.1. Bahan dan Alat....................................................................................... 68
6.4.2. Metodologi.............................................................................................. 69
6.5. Analisis.......................................................................................................... 70
6.6. Hasil dan Pembahasan................................................................................... 71
6.7. Kesimpulan.................................................................................................... 73
7. PERANCANGAN MODEL-MODEL RANGKA BATANG RUANG
7.1. Pendahuluan................................................................................................... 74
7.2. Tujuan Penelitian........................................................................................... 74
7.3. Pengembangan Model-Model Rangka Batang Ruang................................... 74
7.4. Analisa Perhitungan Gaya-Gaya Batang....................................................... 76
7.4.1. Rangka Batang Ruang ST1 dan ST2..................................................... 76
7.4.2. Rangka Batang Ruang ST3................................................................... 79
7.4.3. Rangka Batang Ruang ST4.................................................................... 82
7.5. Kesimpulan.................................................................................................... 86
8. PEMBAHASAN UMUM DAN REKOMENDASI
8.1. Pembahasan Umum....................................................................................... 87
8.2. Rekomendasi…............................................................................................. 91
9. KESIMPULAN UMUM ……………………………………………………… 93
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 95
xiv
DAFTAR TABEL
2.1. Sifat fisik dan mekanik beberapa jenis bambu......................................... 9
2.2. Sifat mekanik bambu tali.......................................................................... 9
2.3. Sifat fisik dan mekanik bilah bambu tali.................................................. 10
2.4. Kuat tarik dan kuat tekan bambu tali........................................................ 10
2.5. Kuat tarik, kuat tekan, kuat lentur dan MOE bambo tali......................... 11
2.6. Nilai elastisitas bambu tali....................................................................... 11
3.1. Faktor keamanan untuk masing-masing besaran mekanik ...................... 29
3.2. Kerapatan bambu tali ............................................................................ 30
3.3. Kadar air kering udara pada bambu tali................................................... 30
3.4. Penyusutan bambu tali pada berbagai arah ........................................... 31
3.5. Tegangan tarik sampel pada berbagai posisi............................................ 32
3.6. Tegangan tekan buluh bambu.................................................................. 35
3.7. Tegangan geser rata-rata.......................................................................... 37
3.8. Nilai modulus elastisitas bambu tali......................................................... 41
4.1. Faktor tekuk pada berbagai angka kelangsingan...................................... 52
5.1. Besar gaya pada masing-masing komponen ........................................... 65
5.2. Dimensi sambungan................................................................................. 66
6.1. Kekuatan maksimum komponen berdasarkan perhitungan...................... 71
6.2. Data kekuatan maksimum sampel............................................................ 72
7.1. Besar gaya maksimum pada ST1 dan ST2............................................... 78
7.2. Deformasi maksimum pada ST 1 dan ST2.............................................. 79
7.3. Besar gaya maksimum pada ST3............................................................. 81
7.4 Deformasi maksimum pada ST 3 ............................................................ 81
7.5. Besar gaya maksimum pada ST4 ............................................................ 84
7.6 Deformasi maksimum pada ST 4 ............................................................ 85
xv
DAFTAR GAMBAR
1.1. Konstruksi rangka batang ruang.................................................................... 3
1.2. Diagram alir penelitian................................................................................. 5
2.1. Konstruksi rangka batang ruang untuk atap….............................................. 14
2.2. Alat sambung pada titik buhul ................................................................... 14
2.3. Tetrahedron…............................................................................................... 14
2.4. Semi oktahedron.......................................................................................... 14
2.5. Sambungan bambu dengan tali..................................................................... 19
2.6. Sambungan dengan lubang........................................................................... 19
2.7. Sambungan tarik........................................................................................... 20
2.8. Sambungan pipa........................................................................................... 20
2.9. Sambungan bambu dengan pengisi kayu..................................................... 21
2.10. Sambungan dengan penutup........................................................................ 22
2.11. Sambungan untuk kuda-kuda..................................................................... 22
2.12. Sambungan bambu untuk komponen rangka batang ruang......................... 23
2.13. Sambungan untuk menggabungkan buluh................................................... 24
3.1. Bumbu tali serta pengambilan sampel......................................................... 26
3.2. Sampel pengujian sifat dasar....................................................................... 27
3.3. Tegangan tarik maksimum rata-rata............................................................ 32
3.4. Sampel putus pada daerah kritis.................................................................. 33
3.5. Kerusakan daerah kritis............................................................................... 33
3.6. Kerusakan sampel pada daerah buku.......................................................... 34
3.7. Kerusakan sampel bukan pada daerah kritis................................................ 34
3.8. Tekuk pada silinder berdinding tipis........................................................... 35
3.9. Pengaruh buku terhadap tegangan tekan bambu......................................... 35
3.10. Pengujian geser bambu berdasarkan ISO.................................................... 36
3.11. Detail benda geser uji geser tekan............................................................... 37
3.12. Kerusakan sampel uji geser......................................................................... 38
3.13. Diagram tegangan-regangan........................................................................ 39
xvi
3.14. Diagram tegangan-regangan pada sampel bagian tengah tanpa buku......... 40
3.15. Diagram tegangan-regangan pada sampel bagian tengah dengan buku...... 40
3.16. Diagram tegangan-regangan pada sampel bagian pangkal dengan buku.... 40
3.17. Nilai rata-rata elastisitas tekanan (E) ........................................................... 41
4.1. Panjang tekuk (Lk) dengan tumpuan yang berbeda-beda.............................. 46
4.2. (a)diagram tegangan-regangan, (b)tegangan kritis terhadap kelangsingan.. 47
4.3. Nilai faktor keamanan tehadap kelangsingan (1/r=λ).................................... 49
4.4. Tegangan kritis pada berbagai kelangsingan................................................. 50
4.5. Hubungan tegangan kritis terhadap kelangsingan (analitis).......................... 52
4.6. Hubungan tegangan tekuk ijin terhadap kelangsingan ................................ 53
4.7. Berbagai pola tekuk yang terjadi.................................................................. 54
4.8. Proses terjadinya tekuk ................................................................................ 54
5.1. Proses perancangan....................................................................................... 56
5.2. Rangka atap yang direncanakan....................................................................... 57
5.3. Diagram alir tahapan perancangan................................................................ 58
5.4. Alternatif sambungan.................................................................................... 60
5.5. Sambungan yang direncanakan..................................................................... 62
5.6. Distribusi gaya tekan pada sambungan......................................................... 62
5.7. Distribusi gaya tarik pada sambungan.......................................................... 63
5.8. Bentuk rangka batang ruang yang direncanakan.......................................... 64
5.9. Dimensi sambungan...................................................................................... 66
6.1. Sampel yang diuji.(gambar tampak)............................................................ 69
6.2. Sampel yang diuji (gambar potongan) ........................................................... 71
6.2. Kerusakan pada sampel uji tarik .................................................................. 72
7.1. Model-model rangka batang ruang............................................................... 75
7.2. Pendefinisian profil yang digunakan............................................................. 76
7.3. Penomoran joint pada ST1 dan ST2 ............................................................ 77
7.4. Penomoran batang pada ST1 dan ST2 ......................................................... 77
7.5. Gaya aksial pada ST1 ................................................................................... 77
7.6. Deformasi pada rangka ST1 dan ST2 .......................................................... 78
7.7. Penomoran joint pada ST3............................................................................ 79
7.8. Penomoran batang pada ST3......................................................................... 80
7.9. Gaya aksial pada ST3.................................................................................... 80
xvii
7.10. Deformasi pada rangka ST3.......................................................................... 81
7.11. Penomoran joint pada ST4............................................................................ 82
7.12. Penomoran batang pada ST4 ....................................................................... 83
7.13. Gaya aksial pada ST4 ................................................................................... 83
7.14. Kombinasi penggunaan bambu ................................................................... 84
7.15. Deformasi pada rangka ST4......................................................................... 85
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Tabel 3 ASTM D2915-03........................................................................ 99
2. Data Perhitungan Kerapatan.................................................................... 100
3. Data Pengujian KA Bambu Tali.............................................................. 101
4. Data dan Perhitungan Penyusutan............................................................ 102
5. Data Pengujian Kuat Tekan..................................................................... 103
6. Data Pengujian Tarik (sampel bagian pangkal)....................................... 104
7. Data Pengujian Tarik (sampel bagian tengah)......................................... 105
8. Data Uji Geser.......................................................................................... 106
9. Data Pengujian Tekuk.............................................................................. 107
10. Analisa Perhitungan Dimensi Sambungan .............................................. 110
11. Data Untuk Perhitungan Analisa Struktur............................................... 111
12. Bentuk-Bentuk dan Koordinat Rangka Batang....................................... 112
13. Data Pengujian Kekuatan Sambungan..................................................... 115
xix
DAFTAR NOTASI
A = luas penampang
Ab = luas penampang bruto
BKT = berat kering tanur
BKU = berat kering udara
D = diameter luar bambu
d = diameter dalam bambu
E = modulus elastisitas
h = panjang bidang geser
I = momen inersia
KA = kadar air
L = panjang tekuk
L0 = dimensi awal
L1 = dimensi akhir
P = gaya pada batang
Pult = gaya maksimum
Pcr = gaya tekan maksimum
r = jari-jari inersia
t = tebal dinding bambu
VKU = volume kering udara
λ = angka kelangsingan
λ max = angka kelangsingan maksimum
ρ = kerapatan bambu
σ = tegangan
σy = tegangan leleh
σcr = tegangan kritis
σ tk = tegangan tekan
σ tr = tegangan tarik
ω = faktor tekuk
ξ = regangan (tanpa satuan) = 0
0
lll −
xx
Penguji Ujian Tertutup :
a. Prof. Ir. Bambang Suryoatmono, MT, PhD.
Ketua Program Pascasarjana Universitas Parahiyangan, Bandung
Pengujian Ujian terbuka :
a. Ir. Iswandi Imran, MASc, PhD.
Ketua Kelompok Keahlian Struktur, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan
Institut Teknologi Bandung
b. Dr. Titik Penta Artiningsih, MT
Dekan Fakultas Teknik Universitas Pakuan, Bogor
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bambu merupakan tanaman dari famili rerumputan (Graminae) yang banyak dijumpai
dalam kehidupan manusia, termasuk di Indonesia. Secara tradisional bambu dimanfaatkan
untuk berbagai keperluan seperti bahan bangunan, alat-alat rumah tangga dan kerajinan
tangan; sementara bambu yang muda (rebung) dimanfaatkan sebagai bahan makanan.
Bambu sebagai bahan bangunan, banyak dipakai di daerah pedesaan. Penggunaannya
antara lain sebagai kolom, kuda-kuda, balok dan rangka atap, juga rangka jembatan. Teknologi
yang digunakan adalah pengalaman turun temurun. Mereka mempelajari teknologi tersebut
dengan cara melihat, mengamati dan menerapkan pada bangunan yang dibuatnya. Karena
bambu pada umumnya digunakan untuk rumah-rumah sederhana di pedesaan, maka timbul
opini masyarakat yang menghubungkan bambu dengan kemiskinan, bahkan di India bambu
disebut sebagai ‘kayu untuk orang miskin’ (Frick, 2004). Oleh karena itu, orang enggan
tinggal di rumah bambu.
Di lain pihak, karena keindahannya banyak dibangun vila dan rumah makan yang
mengekpose keindahan konstruksi bambu untuk menarik wisatawan terutama wisatawan
mancanegara. Hal ini bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara tropis lain,
seperti di Kepulauan Hawai di USA; Pulau Hainan di Cina dan di Vietnam (Bambu Living
Resort, 2005).
Penggunaan bambu sebagai bahan bangunan selama ini sangat kurang dukungan
penelitian ilmiah untuk diaplikasikan. Sementara pada saat ini terjadi krisis persediaan kayu,
sehingga diharapkan bambu dapat memasuki pasar bahan bangunan menggantikan kayu
sebagai bahan bangunan alternatif. Bambu dan produk berbahan bambu seharusnya dapat
ditingkatkan sehingga setara dengan bahan bangunan lain. Berbeda dengan kayu yang baru
siap ditebang dengan kualitas baik, setelah berumur lebih dari tiga puluh tahun, bambu sebagai
bahan bangunan dapat diperoleh pada umur 3 – 5 tahun (Morisco, 2005). Untuk itu,
diperlukan penelitian dan pengembangan agar pemanfaatannya menjadi optimal.
Di dunia diperkirakan ada sekitar 1200 jenis bambu. Menurut Widjaja (2001) di
Indonesia, jenis bambu yang sudah terdata ada 143 jenis, 60 jenis diantaranya tumbuh di Pulau
Jawa. Ada beberapa jenis bambu yang biasa digunakan untuk konstruksi diantaranya: bambu
2
tali (Gigantochloa apus Kurz), bambu petung (Dendrocalamus asper), bambu hitam
(Gigantochloa atroviolacea Widjaya), bambu gombong (Gigantochloa pseudoarundinacea
Widjaya) dan bambu duri (Bambusa blumeana Schultes). Dari jenis-jenis tersebut, bambu
yang mudah didapat adalah bambu tali. Selain di Pulau Jawa, bambu tali juga ditemukan di
Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Tengah. Bambu tali banyak digunakan
untuk bahan bangunan, seperti untuk dinding (anyaman), lantai, langit-langit dan rangka atap.
Menurut penelitian Sulthoni (1988) dalam Morisco (2006), bambu tali tidak mudah diserang
bubuk sekalipun tidak diawetkan, karena tidak banyak mengandung zat pati.
Bentuk bambu yang berupa tabung dengan sekat-sekat yang disebut buku, mempunyai
sifat mekanis yang khusus, dimana kekuatan pada daerah buku dan ruas berbeda. Kuat tarik
bambu setara dengan kuat tarik baja, sementara kuat geser sejajar seratnya rendah, sehingga
mudah pecah. Oleh karena itu, buluh bambu cocok jika digunakan untuk konstruksi rangka
batang (Dewi, 2005). Kendala dalam pemanfaatan buluh bambu adalah membuat model
sambungan bambu yang cukup kokoh terutama agar dapat menerima tarik; padahal
pemanfaatan bambu dalam bentuk buluh, mempunyai nilai tambah, yaitu faktor estetika.
Salah satu bentuk konstruksi adalah konstruksi rangka batang (truss). Pada konstruksi
ini, komponen-komponen batang dihubungkan secara sendi, sehingga beban yang bekerja
pada batang hanya gaya aksial tekan dan tarik. Saat ini konstruksi rangka batang, tidak hanya
dalam bentuk bidang, seperti kuda-kuda, tetapi telah berkembang rangka batang ruang (space
truss) seperti pada Gambar 1.1. Selama ini konstruksi rangka batang ruang dibuat dari bahan
logam dalam bentuk pipa, baik pipa baja, ataupun stainless. Berdasarkan bentuk dan
kekuatannya, diharapkan bambu dapat menjadi bahan pengganti pipa yang selama ini banyak
digunakan. Jika konstruksi rangka batang ruang dapat dibuat dari bambu, maka faktor estetika
menjadi nilai tambah, tanpa meninggalkan faktor kekuatan. Selain itu buluh bambu yang
kelurusannya terbatas dapat dioptimalkan pemakaiannya, karena pada konstruksi rangka
batang ruang, dipergunakan komponen-komponen yang relatif pendek, jika dibandingkan
dengan bentangnya.
Dalam konstruksi rangka batang ruang ada dua unsur utama, yaitu komponen batang
yang menahan beban tarik atau tekan, serta alat sambung yang berfungsi untuk
menggabungkan beberapa komponen sedemikian rupa hingga gaya-gaya batang yang timbul
dapat berpotongan pada satu titik yang biasa disebut titik buhul.
3
Gambar 1.1. Konstruksi rangka batang ruang
Selama ini rangka batang ruang pada umumnya dibuat dari bahan pipa logam, baik
besi, baja maupun aluminium dimana ada beberapa alternatif sambungan titik buhul mulai dari
sistim las, sambungan pelat dengan baut, serta sambungan bola (ball joint). Mengingat
sambungan pada ujung-ujung komponen batang merupakan sambungan sendi, pada umumnya
digunakan alat sambung berupa baut. Dengan sambungan ini, konstruksi rangka menjadi
konstruksi prefabrikasi yang dapat dibongkar pasang (knock-down).
1.2. Identifikasi Masalah
Dalam rangka pemanfaatan bambu tali sebagai komponen pada konstruksi rangka
batang ruang, maka perlu diketahui sifat fisik dan mekaniknya sebagai dasar dalam
perhitungan kekuatannya. Selama ini sudah banyak penelitian mengenai sifat fisik dan
mekanik bambu, termasuk bambu tali, tetapi penelitian tersebut dilakukan dengan mengacu
pada standar pengujian kayu yang dimodifikasi. Sementara saat ini sudah ada standar
pengujian khusus untuk bambu yaitu ISO 22157-2004, tentang petunjuk pengujian sifat fisik
dan mekanik bambu. Dalam pemanfaatan bambu sebagai komponen rangka batang ruang,
maka beban yang akan diterima adalah beban tarik dan beban tekan. Dalam menerima gaya
tekan, bambu sebagai batang yang langsing perlu diketahui perilakunya menghindari bahaya
tekuk.
4
Pemanfaatan bambu untuk konstruksi rangka batang ruang harus juga memperhatikan
beberapa kendala seperti kelurusan bambu yang terbatas, bentuk bambu yang mendekati
bentuk tabung tirus (taper) dengan diameter yang tidak seragam serta adanya buku yang
jaraknya bervariasi. Walaupun begitu bambu sebagai bahan bangunan mempunyai beberapa
kelebihan, seperti: nilai estika, kuat tariknya yang cukup tinggi, massa jenis yang kecil dan
momen inersianya cukup tinggi. Oleh karena itu, perlu dipelajari cara memanfaatkan bambu
untuk konstruksi rangka batang ruang termasuk merencanakan sambungan, sehingga setiap
komponen rangka batang ruang dapat menahan beban tarik maupun tekan yang timbul. Selain
itu panjang komponen, diameter komponen dan diameter alat sambung serta dimensi
sambungan yang akan digunakan harus direncanakan dengan memperhatikan kekuatannya
dalam menerima gaya-gaya batang yang timbul.
1.3. Perumusan Masalah
Dari beberapa masalah yang ada, penelitian ini dibatasi pada tata cara penggunaan
bambu sebagai komponen rangka batang ruang dengan menggunakan alat sambung baut yang
dapat menahan beban tarik dan tekan.
Untuk menganalisa kelayakan penggunaan buluh bambu sebagai komponen pada
konstruksi rangka batang ruang, maka dirancang beberapa model rangka batang ruang.
Dengan program analisa struktur, model-model tersebut dianalisa untuk mendapatkan
besarnya gaya-gaya batang yang timbul. Besar gaya-gaya batang tersebut kemudian
dibandingkan dengan kekuatan komponen. Adapun pembagian cakupan penelitian dan tahap-
tahap pelaksanaannya ditunjukkan dalam diagram alir (flow chart) pada Gambar 1.2.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini untuk mempelajari dan memberikan informasi teknis tentang
penggunaan bambu tali sebagai komponen rangka batang ruang sederhana untuk struktur
rangka atap. Ukuran rangka batang ruang dibatasi sampai ukuran 4 m x 4 m dengan 4
tumpuan serta 3 m x 4 m dengan tumpuan pada satu bidang.
1.5. Manfaat Penelitian
Secara umum, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah dalam
pemanfaatan buluh bambu tali sebagai bahan konstruksi pada umumnya dan konstruksi rangka
5
Gambar 1.2. Diagram Alir Penelitian
Studi Pustaka : -Sifat fisik dan mekanik bambu - model-model sambungan bambu - perhitungan rangka batang ruang
Bambu Tali > 3 tahun : - pemilahan berdasarkan diameter - pengeringan
• Perhitungan kekuatan komponen • Pembuatan komponen • Uji Kekuatan Sambungan
ANALISA KEKUATAN KOMPONEN
Pengukuran Sifat fisik dan Mekanik Bambu Tali (Kerapatan, σtr max , σtk max, dan τ )
INFORMASI TEKNIS PENGGUNAAN BAMBU UNTUK
RANGKA BATANG RUANG
Pemanfaatan Buluh bambu Tali sebagai komponen pada Konstruksi rangka Batang Ruang
PERUMUSAN MASALAH
PENELITIAN SIFAT DASAR
PERANCANGAN SAMBUNGAN
Analisa Perilaku Tekuk Bambu Tali
• Identifikasi kebutuhan • Analisa masalah • Perancangan konsep • Perancangan detail • Analisa kekuatan
ANALISA STRUKTUR
Perenc beberapa model rangka ruang
Analisa struktur dgn Program Analisa Struktur
Evaluasi gaya-gaya batang terhadap kekuatan komponen
Penelitian 1
Pene- litian
5
Penelitian 4
Penelitian 3
Penelitian 2
6
batang ruang pada khususnya, yang memenuhi syarat fungsi, kekuatan dan keamanan tanpa
meninggalkan faktor estetika.
Secara khusus, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
masyarakat untuk :
1. Memanfaatkan bambu sebagai bahan bangunan alternatif untuk konstruksi rangka batang
ruang sederhana yang estetis, seperti pergola, entrance, gazebo atau carport. Hal ini,
karena selain ringan, juga dapat dilaksanakan secara prefabrikasi, sehingga memudahkan
pemasangannya serta dapat dipindahkan jika perlu.
2. Pemanfaatan bambu sebagai komponen konstruksi rangka batang ruang, dengan kekuatan
yang optimal sesuai dengan beban yang direncanakan.
1.6. Novelty Penelitian
Selama ini pemanfaatan bambu belum dilengkapi dengan data mengenai perilaku tekuk
bambu. Penelitian terhadap perilaku tekuk bambu tali memberikan gambaran tentang
hubungan tegangan tekuk dengan kelangsingan batang dalam bentuk persamaan logaritma
serta memberikan informasi mengenai pola-pola tekuk yang mungkin terjadi, jika tegangan
kritisnya dilampaui.
Perancangan detail sambungan dilakukan dengan penggunaan dua buah ring sebagai
perantara untuk meratakan gaya yang bekerja, baik gaya tarik, maupun gaya tekan. Dimensi
sambungan dapat dianalisa secara mekanika sesuai dengan besarnya gaya batang yang
bekerja.
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian aplikatif dengan menggunakan bambu
tali (Gigantochloa apus Kurz) berdiameter sekitar 4 cm dan sekitar 6 cm untuk konstruksi
rangka batang ruang dalam bentuk-bentuk modul struktur rangka atap yang spesifik dengan
panjang komponen 1 m dan 1,25 m yang selama ini belum pernah dilakukan.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Bambu
2.1.1. Sifat-sifat Umum
Menurut Widjaja (2001), bambu adalah tanaman yang termasuk keluarga
Bambusoideae, salah satu anggota sub familia rumput-rumputan (Gramineae) yang tumbuh
di daerah tropis dan sub tropis mulai dari lembah sampai perbukitan. Bambu mudah sekali
dibedakan dari tumbuhan lain, karena batang bambu berbentuk tabung silinder dengan
diameter sampai 30 cm dan panjangnya dapat mencapai 35 meter. Batang bambu umumnya
berongga dan terbagi atas ruas (internode) yang dibatasi oleh buku (node). Percabangannya
unik, karena setiap ruasnya bercabang.
Pertumbuhan bambu sangat cepat. Pada masa pertumbuhan, bambu tertentu dapat
tumbuh vertikal 5 cm/jam, atau 120 cm/hari. Pemanfaatan bambu perlu memperhatikan
umurnya, karena makin tua umur bambu, makin besar berat jenisnya. Semakin besar berat
jenisnya, semakin besar pula kekuatan mekaniknya. Menurut Sattar et al. (1991), berat jenis
bambu maksimum dicapai pada umur 3 tahun, setelah itu berat jenisnya tidak bertambah lagi.
Oleh karena itu, untuk penggunaan konstruksi pada umumnya digunakan bambu berumur 3
sampai 6 tahun yang dipotong segera setelah tumbuhnya tunas-tunas baru. Sebagai familia
rumput-rumputan, penebangan batang bambu tidak akan mematikan rumpun. Rumpun
tersebut dapat terus menghasilkan buluh-buluh baru.
Dari sekitar 143 jenis bambu yang tumbuh di Indonesia diketahui sekitar 60 spesies
diantaranya tumbuh di Pulau Jawa. Banyaknya bambu di Pulau Jawa, membuat pemanfaatan
bambu sangat beragam. Bambu dimanfaatkan mulai dari akar hingga daun. Akar bambu pada
umumnya dimanfaatkan untuk ukiran, sementara buluhnya untuk bahan bangunan, alat
pertanian, kerajinan tangan, serta alat musik. Sementara daunnya digunakan untuk
pembungkus makanan.
Salah satu bambu yang tumbuh melimpah di Pulau Jawa adalah bambu tali
(Gigantochloa apus Kurz). Bambu yang juga ditemukan di Burma ini, sering digunakan
untuk konstruksi. Bambu tali tumbuh berumpun rapat. Buluhnya dapat mencapai 22 meter
dengan bagian pangkal sampai tengah batang lurus dengan ujung batang melengkung.
Percabangannya dimulai pada 1,5 m dari permukaan tanah, terdiri dari 5 – 11 cabang, satu
8
cabang lateralnya lebih besar dari yang lain. Buluh mudanya berbulu coklat, tetapi luruh
ketika sudah tua dan berwarna hijau. Panjang ruasnya 20 – 60 cm dengan diameter 4 -15 cm
dan tebal dinding sampai 15 mm. Daunnya berukuran 13-49 cm x 2 -9 cm (Widjaja, 2001).
2.1.2. Sifat Fisik dan Mekanik Bambu Tali
Pemanfaatan bambu sebagai bahan bangunan perlu didukung oleh data tentang sifat
fisik dan mekaniknya. Sifat fisik bahan bambu yang perlu diteliti meliputi berat jenis, kadar
air dan kembang susut. Hal ini erat kaitannya dengan keadaan/temperatur udara, yang akan
mempengaruhi kelembaban udara.
Seperti halnya kayu, sifat mekanik bambu sangat dipengaruhi oleh kadar air pada
waktu pengujian. Sifat-sifat mekanik bambu akan bertambah, seiring dengan turunnya kadar
air, tetapi berkorelasi positif terhadap berat jenis (Dransfield dan Wijaya, 1995).
Sifat mekanik menunjukkan kekuatan bahan dan merupakan ukuran kemampuan
bahan untuk menahan beban. Agar suatu bahan dapat dipakai secara optimum, maka sifat
mekanik bahan harus dipahami benar. Tanpa pemahaman sifat mekanik, pemakaian bahan
dapat berlebihan, sehingga dari segi ekonomi menjadi boros, sedangkan pemakaian yang
terlalu kecil akan membahayakan pemakainya.
Bambu sebagai bahan alam, menurut Frick (2004), sifat fisik dan mekaniknya
tergantung pada: jenis bambu, tempat tumbuh, umur bambu; waktu penebangan; kelembaban
udara (kadar air kesetimbangan), dan bagian bambu yang diteliti (pangkal, tengah atau ujung
serta bagian dalam atau bagian tepi/luar).
Pengujian sifat fisik dan mekanik bambu telah dilakukan oleh banyak peneliti di
dunia dan menjadi acuan penelitian selanjutnya. Salah satunya adalah hasil penelitian Janssen
(1981) yang menyusun hasil pengujian sifat fisik dan mekanik bambu berdasarkan
perbandingan antara tegangan terhadap massa jenisnya (G), dengan hasil sebagai berikut :
Kuat tekan : tkσ = 0,094 x G
Kuat lentur : lσ = 0,14 x G
Kuat geser : gτ = 0,021 x G
dimana : tkσ , lσ dan gτ dalam satuan N/mm2 dan G dalam kg/m3.
9
Di Indonesia, penelitian mengenai sifat fisis dan mekanis beberapa jenis bambu lokal
telah dilakukan, salah satunya adalah hasil penelitian Syafi’i (1984) dalam Surjokusumo dan
Nugroho (1994) yang meneliti 5 jenis bambu, yaitu bambu betung, bambu gombong, bambu
kuning, bambu tali dan bambu sembilang. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Sifat fisik dan mekanik beberapa jenis bambu
Sifat yang diuji Jenis Bambu Betung Gombong Kuning Tali Sembilang 1. Berat Jenis 0,61 0,55 0,52 0,65 0,71 2. Susut Volume (%) Bsh - KU 10,62 12,36 11,29 12,45 11,05 KU - KT 4,99 4,96 4,74 4,6 4,49 Susut tebal (%) Bsh - KU 6,02 7,94 4,31 5,83 3,04 KU - KT 4,3 5,75 5,47 5,32 7,03 Susut lebar (%) Bsh - KU 4,81 6,58 3,19 6,3 2,48 KU - KT 4,83 5,96 4,19 3,6 7,57 3. M O R (kg/cm2) 1.638 1.356 1.148 -*) 1.824 4. M O E (kg/cm2) 131.192 98.294 76.205 -*) 143.207
5. Kuat Tekan // (kg/cm2) 605 521 455 -*) 627 6. Kuat Tarik // (kg/cm2) 2.127 1.914 1.322 2.004 1.907
Sumber : Syafi’i (1984) dalam Surjokusumo dan Nugroho (1994) Keterangan : *) Tidak dapat dibuat spesimen percobaan karena dinding terlalu tipis.
Sementara sifat mekanik bambu tali yang dipanen pada umur 3 tahun menurut
Widjaja dalam Dransfield dan Widjaja (1995) dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Sifat mekanik bambu tali (Gigantochloa apus Kurz)
Sifat Mekanik Basah Kering Udara
dgn buku tanpa buku dgn buku tanpa buku MOR (N/mm2)* 102 71,5 87,5 74,5 Kuat Tekan (N/mm2) 24 23,5 37,5 33,9 Kuat Geser (N/mm2) 7,68 5,99 7,40 7,65 Kuat Tarik // (N/mm2) 294**) 299**)
Catatan : *) sampel berupa buluh bambu **) tidak ada keterangan sampel.
10
Kekuatan mekanis bambu sangat dipengaruhi oleh jumlah serat pada bambu.
Penyebaran serat bambu bervariasi baik secara horizontal, maupun secara vertikal. Persentasi
serat dibagian luar lebih banyak. Dalam arah vertikal jumlah serat makin ke atas makin
bertambah (Liese, 1980). Nuryatin (2000) yang meneliti beberapa sifat dasar bambu, juga
meneliti sampel bambu tali dengan variabel posisi vertikal sampel (pangkal, tengah dan atas)
Adapun bambu tali yang digunakan berasal dari daerah Dramaga, dan hasilnya dapat dilihat
pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Sifat fisik dan mekanik bilah bambu tali
Sifat Dasar Pangkal Ujung Rata-rata Berat Jenis 0,37 0,49 0,43 Susut Tebal (%) 19,85 12,48 16,16 Susut Lebar (%) 19,19 12,69 15,94 Kuat Tekan// (kg/cm2) 302,06 312,01 307,03 Kuat Tarik// (kg/cm2) 1.312,79 1.480,18 1396,48 MOE (kg/cm2)* 123.598 153.385 138.492
Sumber: Nuryatin (2000) Catatan : *) sampel berupa bilah bambu
Serat bambu pada bagian buku tidak semua lurus, sebagian berbelok menuju sumbu
batang, sebagian lagi menjauhi sumbu batang. Oleh karena itu, kuat tarik bambu pada bagian
buku adalah bagian terlemah. Penelitian Morisco (2005) terhadap kuat tarik bambu tali
memberikan nilai 151 MPa untuk kuat tarik sampel tanpa buku dan 55 MPa untuk sampel
dengan buku. Selanjutnya, penelitian tersebut juga dilakukan untuk mengamati kuat tarik
dan kuat tekan sampel yang dibedakan berdasarkan posisinya seperti dapat dilihat pada
Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Kuat tarik dan kuat tekan bambu tali
Bagian Kuat Tarik (MPa) Kuat Tekan (MPa) Pangkal 144 215 Tengah 137 288 Ujung 174 335
Sumber : Morisco (2005)
Pemakaian bambu sebagai bahan bangunan harus dirancang berdasarkan kekuatan
bambu. Berdasarkan hasil pengujian bambu memberikan nilai yang bervariasi, maka dengan
memperhitungkan faktor keamanan dapat diperoleh nilai tegangan ijin.
11
Penelitian yang dilakukan Purwito (1995) terhadap bambu tali yang berumur
lebih dari 3 tahun selain memberikan hasil berupa kuat tekan, kuat tarik, kuat lentur dan
MOE juga memberikan rekomendasi tegangan ijin, seperti dapat dilihat pada Tabel 2.5. Tabel 2.5. Kuat tarik, kuat tekan, kuat lentur dan MOE bambu tali
Sifat Mekanis
Hasil Penelitian (kg/cm2)
Tegangan Ijin (kg/cm2)
Tegangan Ijin (MPa)
σtarik 1.000 – 4.000 300 29,20 σtekan 250 – 1.000 80 7,84 σlentur 700 – 3.000 100 9,81 MOE 100.000 – 300.000 100.000 9.806
Sumber : Purwito (2005)
Penelitian sifat mekanik bambu juga pernah dilakukan untuk meneliti tegangan
lentur batas, regangan batas tarik dan modulus elastisitas lentur. Penelitian yang
dilakukan oleh DPMB (1984) dalam Morisco (2006) menggunakan sampel bambu
bebas cacat dengan sampel bambu kering udara dengan kadar air 10 -20%. Penelitian
dilakukan menggunakan tiga jenis bambu, yaitu bambu tali, bambu temen dan bambu
petung. Khusus nilai rata-rata hasil penelitian terhadap bambu tali dapat dilihat pada
Tabel 2.6.
Tabel 2.6. Nilai elastisitas bambu tali
Besaran Rata-rata dengan buku tanpa buku
Teg batas lentur (MPa) 80 124 Regangan batas tarik (x 10-6) 7.099 8.885 Modulus elastisitas lentur (MPa) 5.751 12.133 Modulus elastisitas tarik (MPa) 8.908 15.225
Sumber : Morisco (2006)
2.1.3. Keawetan dan Pengawetan Bambu
Bambu pada umumnya mudah diserang jamur dan serangga (kumbang dan rayap).
Keawetan bambu tergantung pada keadaan lingkungan, tetapi secara umum bambu yang
tidak diawetkan dan berhubungan langsung dengan tanah dan tidak terlindung hanya dapat
bertahan 1-3 tahun. Penggunaan bambu yang terlindung di bawah atap dapat bertahan 4 -
7 tahun atau bahkan lebih, tergantung pada penggunaan dan kondisinya. Bambu yang
12
digunakan dalam lingkungan ideal seperti untuk rangka atap dapat bertahan sampai lebih
dari 10 – 15 tahun (Liese , 1980b).
Keawetan alami bambu sangat tergantung pada beberapa faktor; di antaranya umur,
waktu penebangan dan kandungan pati, cara penyimpanan dan pemakaian serta pengaruh
iklim. Pada umumnya kerusakan bambu disebabkan oleh bubuk kayu kering. Menurut
Nandika et al. (1994), jenis bambu yang kandungan patinya tinggi cenderung lebih disukai
bubuk kayu kering.
Untuk mendapatkan bambu yang kadar patinya rendah, upaya dapat dilakukan
dengan mengatur waktu penebangan, yaitu pada saat kandungan patinya rendah. Menurut
Dransfield dan Widjaja (1995) pemanenan bambu harus dilakukan pada awal musim panas
untuk menghindari serangan bubuk. Selanjutnya dijelaskan pula, untuk bambu tali yang
tumbuh di Indonesia, waktu pemanenan yang terbaik adalah antara bulan Maret dan Oktober.
Sementara menurut Morisco (2005), berdasarkan tradisi di Jawa waktu yang baik adalah
antara akhir Maret sampai pertengahan Mei. Walaupun tidak diketahui alasannya, tetapi cara
tersebut memberikan hasil yang baik.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian, semakin tinggi kandungan pati pada bambu,
semakin tinggi pula kemungkinan bambu itu diserang kumbang bubuk. Berdasarkan
penelitian Sulthoni (1988) dalam (Morisco, 2005), bambu ampel mempunyai kandungan pati
yang sangat tinggi, sehingga cukup potensial diserang bubuk, sebaliknya bambu tali
mempunyai kandungan pati yang rendah, sehingga kurang disenangi bubuk.
Upaya pengawetan bambu dapat dilakukan baik dengan cara tradisional maupun
secara kimia. Secara tradisional, biasanya setelah ditebang bambu direndam dalam air
tergenang, air mengalir ataupun dalam lumpur selama beberapa minggu sampai beberapa
bulan. Menurut Nandika et al. (1994), metoda tersebut dapat menurunkan kandungan pati
dan cukup baik untuk mengurangi serangan bubuk tetapi tidak efektif terhadap serangan
jamur dan rayap. Metoda itu mempunyai kelemahan; antara lain : memerlukan waktu yang
lama, menyebabkan bambu berbau dan akan menurunkan kekuatan mekaniknya.
Keterawetan bambu secara umum rendah dan tergantung pada jenis, umur dan kadar
air buluh, metoda perlakuan dan jenis bahan pengawet. Faktor-faktor tersebut dipengaruhi
oleh anatomi struktur. Anatomi bambu berbeda dengan anatomi kayu yang berpengaruh
terhadap cara pengawetannya. Vessel pada bambu arahnya axial dan terisolasi satu dengan
13
yang lainnya dan hanya berhubungan pada ruas. Selain itu bambu tidak mempunyai sel jari-
jari (Suardika, 1994). Oleh karena itu, dapat dianggap larutan pengawet hanya bergerak
dalam arah vertikal.
Bahan pengawet yang digunakan adalah bahan kimia yang beracun terhadap
organisma perusak seperti: tembaga (Cu), chrom (Cr), flour (F) dan boron (Br). Bahan yang
digunakan, biasanya sudah dalam bentuk formulasi khusus seperti: asam borat, borax, CCB
ataupun CCF (Muslich, 2005). Ada beberapa metoda yang biasa dilakukan untuk
mengawetkan bambu, mulai dari metoda rendaman, cara Boucherie dan metode pengawetan
bambu Boucherie-Morisco (Morisco, 2005).
2.2. Rangka Batang Ruang
2.2.1. Tinjauan Umum
Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan konstruksi yang ringan dan
praktis, tetapi cukup kuat. Struktur ruang merupakan suatu bentuk yang berkembang dan
menarik. Dibandingkan dengan struktur tradisional, yang merupakan konstruksi bidang,
konstruksi ruang membutuhkan bahan yang lebih sedikit, sehingga lebih ringan dan
ekonomis. Jika pada struktur bidang, semua elemen dibatasi tempatnya oleh sebuah bidang
datar, maka pada konstruksi ruang, elemen tersebut dapat ditempatkan pada sembarang arah
dalam ruang (Makowski, 1988).
Struktur rangka batang ruang terdiri dari rangkaian batang sebagai komponen
(members) dan alat sambungan (joint). Rangka batang ruang (space truss) sebagai suatu
struktur ruang yang pada umumnya terbuat dari bahan pipa besi dengan konus, hexagon dan
baut baja yang digabungkan menjadi satu dengan lainnya pada satu titik yang merupakan
sambungan sendi (Gambar 2.1.).
Rangka batang ruang pada umumnya digunakan sebagai rangka atap yang merupakan
pengembangan dari struktur-struktur bidang, seperti kuda-kuda. Struktur ini terbuat dari
komponen-komponen lurus dan didesain untuk mencakup daerah-daerah luas tanpa
penumpu-penumpu antara. Rangka ini terdiri dari batang-batang yang digabungkan bersama
pada setiap ujung yang stabil sebagai struktur tiga dimensi. Alat sambung yang biasa
digunakan pada titik buhul; diantaranya: balljoint dan sambungan dengan pelat yang
dibentuk khusus (Gambar 2.2.)
14
Gambar 2.1. Konstruksi rangka batang ruang untuk atap.
(a) (b)
Gambar 2.2. Alat sambung pada titik buhul. (a) ball joint dan (b) pelat .
Bentuk dasar dari suatu rangka batang ruang adalah segitiga. Bentuk segitiga ini
dalam bentuk ruang tersusun dalam bentuk tetrahedron (Gambar 2.3.), yang dibentuk dari
penyambungan enam batang dengan empat titik simpul (joint) dimana tetrahedron ini
digunakan sebagai acuan untuk membuat suatu rangka batang ruang. Pada rangka batang
ruang berbentuk persegi bangun rangka batang ruang biasa disusun dari bangun tetrahedron
dan semi-oktahedron (Gambar 2.4.)
Dalam menganalisa konstruksi rangka diasumsikan : elemen batang lurus, sambungan
berupa sambungan sendi; beban dan reaksi hanya bekerja pada titik simpul dan merupakan
Gambar 2.3. Tetrahedron Gambar 2.4. Semi-Oktahedron
15
gaya tarik atau tekan, tanpa momen. Pada struktur rangka ruang, beban yang diterima
disalurkan ke tiga arah sumbu yaitu sumbu x, y dan z, sebagai gaya yang harus diterima
struktur rangka batang ruang. Gaya-gaya ini didistribusikan pada batang sedemikian rupa,
sehingga yang timbul pada batang merupakan gaya tarik atau tekan, tanpa momen.
2.2.2. Analisa Gaya Batang pada Konstruksi Rangka Batang Ruang
Dalam perencanaan struktur, kekuatan menjadi faktor yang penting, karena berkaitan
dengan keselamatan. Untuk mengetahui apakah suatu dimensi cukup kuat, maka perlu
diperhitungkan kekuatan bahan dan gaya-gaya yang bekerja pada masing-masing komponen
akibat beban yang bekerja pada struktur secara keseluruhan. Dalam menganalisa gaya-gaya
batang pada konstruksi rangka dikenal beberapa metode perhitungan seperti distribusi
momen. Untuk perhitungan rangka batang dimana sambungan merupakan sambungan sendi,
maka dapat digunakan cara free body. Metode-metode tersebut pada umumnya diterapkan
pada bentuk struktur yang secara geometris bentuknya sederhana; yaitu bentuk struktur dua
dimensi. Pada bentuk struktur ruang yang metoda tersebut sulit untuk diterapkan. Metoda
lain yang dikembangkan kemudian adalah metode elemen hingga (finite element method).
Metoda ini dapat diterapkan pada berbagai bentuk struktur. Pada saat ini perhitungan
struktur dengan metode ini telah disusun menjadi program komputer yang akan sangat
membantu dalam perhitungan analisa struktur; salah satunya adalah program SAP (Structural
Analysis Program) Dalam program ini terdapat fasillitas untuk perencanaan bermacam
material struktur, baik baja, beton, kayu maupun bahan lainnya. Untuk menjalankan program
tersebut, selain perlu diketahui bentuk struktur yang direncanakan, diperlukan juga masukan
mengenai besar-besaran fisik dan mekanik dari material yang akan digunakan.
2.2.3. Perhitungan Kekuatan Komponen
1. Komponen Tarik
Perencanaan komponen tarik pada hakekatnya menentukan luas penampang lintang
yang cukup untuk menahan beban yang diberikan. Komponen tarik tanpa lubang akan
mencapai kekuataan maksimum bila semua serat penampang lintang batang meleleh,
dengan kata lain distribusi tegangan tarik sudah merata pada penampang. Kekuatan itu
bisa dinyatakan sebagai berikut :
16
Pu = σy. Ab
Keterangan : Pu = Kekuatan maksimum (kg)
σy = Tegangan leleh (kg/cm2)
Ab = Luas penampang bruto (cm2)
Untuk komponen tarik yang berlubang seperti akibat lubang paku keling atau baut,
luas penampang lintang yang diredusir (luas netto) digunakan dalam perencanaan.
Lubang pada batang akan menyebabkan penyebaran tegangan yang tidak merata.
Kekuatan batang tarik yang berlubang bisa dituliskan sebagai berikut :
Pu = σy. An
Dimana : An adalah luas penampang lintang netto. Beban kerja yang aman P bisa
dihitung dengan membagi kekuatan dengan faktor keamanan (safety factor, sf), maka :
sfA
P ny .σ= = ntr A.σ .................................................................................... (2.1.)
Dengan trσ sebagai tegangan ijin tarik untuk kondisi beban kerja.
2. Komponen Tekan
Komponen tekan jarang sekali mengalami tekanan aksial saja. Jika suatu
komponen mendapat gaya tekan, maka pada batas tertentu akan timbul kejadian tekuk
pada komponen tersebut, beban kritis ini disebut beban tekuk dan dinyatakan dengan Pk.
Namun bila pembebanan ditata sedemikian rupa hingga tekuk dapat diabaikan, maka
komponen tekan dapat direncanakan dengan aman sebagai komponen yang dibebani
secara sentris.
Tegangan yang timbul tegangan tekuk σk (kg/cm2), sehingga pada suatu
penampang dengan luas A (cm2) berlaku:
APk
k =σ ....................................................................................................... (2.2.)
Kekuatan tekuk juga tergantung pada panjang tekuk (Lk) dan momen kelembaman
batang minimal (Imin) dari penampang batang. Untuk perhitungan tekuk dimasukkan pula
besaran-besaran berikut.
17
a. Jari-jari kelembaman minimum ( i min) dari penampang A.
i min = A
I min ...................................................................................... (2.3.)
b. Kelangsingan (λ) dari batang yang ditentukan oleh rumus :
λ = maxmin
λ≤iLk
............................................................................................... (2.4.)
c. Menghitung tegangan tekan yang terjadi :
σtk = ω . AP < tegangan izin .............................................................. (2.5.)
Keterangan : σtk = Tegangan tekan yang terjadi (kg/cm2)
λ max = Angka kelangsingan maksimum (tanpa satuan)
ω = Harga faktor tekuk (tanpa satuan)
P = Gaya tekan pada batang (kg)
A = Luas Penampang (cm2)
3. Tekuk pada Komponen Tekan
Pengamatan dapat dilakukan pada dua buah tongkat (T1 dan T2) yang
mempunyai penampang `sebesar pensil. Jika tongkat T1 panjangnya 20 cm sementara
tongkat T2 panjangnya 100 cm, Besarnya beban maksimum yang dapat diterima tongkat
T1 akan lebih besar bila dibandingkan dengan beban maksimum T2. Tegangan pada
alas kedua tongkat besarnya sama dengan beban dibagi luas penampang. Walaupun
begitu keseimbangan tongkat sangat dipengaruhi oleh kelangsingannya. Besarnya
tegangan pada tongkat tepat pada saat akan tertekuk disebut tegangan kritis, sedangkan
besarnya gaya maksimum yang dapat diterima sebelum tongkat tertekuk disebut beban
kritis (Pcr).
Rumus Euler untuk komponen struktur yang mengalami tekan :
2
22
2
2 .....
kkcr L
iAEL
IEP ππ== ................................................................... (2.6.)
( ) AP
iLE
AP
K
crcr
ωπσ ./.
2
2
=== ..................................................................... (2.7.)
18
dengan : Pcr = Beban tekuk kritis
E = Modulus elastis
I = Momen inersia minimum
Lk = Panjang tekuk (besarnya tergantung keadaan ujung batang ).
A = Luas penampang
i = Jari-jari kelembaman
ω = Faktor tekuk
crσ = Tegangan kritis
Untuk konstruksi baja dan kayu, nilai-nilai ω sudah tersedia dalam bentuk tabel.
Untuk konstruksi bambu, nilai ini harus dicari terlebih dahulu dengan mempelajari
perilaku buluh bambu terhadap pengaruh tekan.
2.3. Sambungan Bambu
Agar pemanfaatan bambu dapat optimal, maka dibutuhkan sambungan yang mampu
memikul dan meneruskan gaya-gaya yang bekerja, setara dengan kemampuan buluh bambu.
Bentuk bambu yang berupa silinder agak mengerucut dengan lubang di dalamnya serta sekat-
sekat yang disebut buku, menjadi kendala dalam pembuatan sambungan, terutama
sambungan yang dapat menahan beban tarik. Sebenarnya sudah banyak penelitian yang
dilakukan untuk mengembangkan bentuk sambungan bambu, hanya saja pemakaiannya
masih kurang mendapat perhatian. Secara umum sambungan bambu dapat dibagai menjadi
dua kategori; yaitu: sambungan bambu tradisional dan sambungan bambu berdasarkan
penelitian.
1. Sambungan Bambu Tradisional
Sambungan tradisonal pada umumnya menggunakan paku, pasak dan tali untuk
membuat sambungan. Pemakaian paku akan mengakibatkan bambu mudah terbelah, kecuali
jika bambu dibor terlebih dahulu. Untuk menghindari belah digunakan tali pengikat yang
kadang juga berfungsi sebagai aksen sambungan. Tali yang digunakan pada umumnya
terbuat dari ijuk, rotan ataupun kulit bambu. Ada banyak sambungan bambu yang secara
tradisional sering digunakan; antara lain :
a. Sambungan bambu dengan tali, paku ataupun pasak (Gambar 2.5.).
19
Sambungan ini mengandalkan geser antara bambu dengan tali, sehingga kembang
susut bambu akan mempengaruhi kekuatan sambungan. Tali yang dipakai pada umumnya
rotan, ijuk ataupun tali yang terbuat dari kulit bambu.
(a) (b) (c)
Gambar 2.5. Sambungan bambu dengan tali. (Sumber : (a) & (b) http://www.bambus\new\eng; (c) koleksi pribadi)
b. Sambungan Bambu dengan Lubang
Untuk membuat sambungan ini, bambu dilubangi untuk memasukkan pen bambu
ataupun bambu yang berdiameter lebih kecil. Sambungan ini dapat menahan tekan, tetapi
lemah menahan tarik. Kerusakan sambungan ini akan terjadi karena geser (Gambar 2.6.).
Makin besar lubang yang dibuat, makin besar pula perlemahannya.
Gambar 2. 6. Sambungan dengan lubang.
(Sumber: (a) López, 1981; (b) http://www.bambus\new\eng)
(a)
(b) pasak
20
2. Sambungan Bambu yang Didukung Penelitian
Upaya untuk meningkatkan kekuatan sambungan bambu perlu didukung penelitian
eksperimen, mulai dari sifat fisik dan mekanik bahan agar kekuatan sambungan dapat
dianalisa. Penelitian eksperimen terhadap sambungan perlu dilakukan untuk mengamati
perilaku sambungan yang dirancang. Ada berbagai bentuk sambungan yang telah
dikembangkan, serta didukung oleh penelitian baik di Indonesia maupun mancanegara, di
antaranya :
a. Sambungan tarik
Sambungan yang dikembangkan oleh Duff pada tahun 1941 (Janssen, 1981) dengan
mengisi ujung bambu dengan kayu yang mengerucut dengan sebuah baut di dalamnya,
sedangkan bagian luar bambu diberi ring yang terbuat dari logam (Gambar 2.7.).
Dilaporkan, dengan menggunakan bambu berdiameter 64 mm, sambungan ini dapat
menahan beban tarik sebesar 27 kN.
b. Sambungan dengan pipa logam
Untuk membuat sambungan ini, setiap ujung buluh diisi dengan pipa logam, kemudian
diberi baut. Sambungan ini dikembangkan oleh Shoei Yoh pada tahun 1989 (Gambar
2.8.). Dengan adanya pipa di dalam bambu, buluh bambu tidak mudah pecah walaupun
baut dikencangkan. Walaupun begitu jika terjadi beban tarik, maka akan terjadi geser.
Ring logam
Baut
Gambar 2.7. Sambungan tarik. (Sumber: http://www.bambus\new\eng)
Kayu pengisi
21
Gambar 2.8. Sambungan dengan pipa. (Sumber: http://www.bambus\new\eng)
c. Sambungan dengan inti kayu
Pada sambungan ini setiap ujung bambu diisi dengan silinder kayu dengan perekat yang
bentuk ujungnya disesuaikan dengan kebutuhan (Gambar 2.9.) Selanjutnya untuk
merangkai sambungan dapat dikerjakan dengan seperti mengerjakan sambungan pada
konstruksi kayu. Jika diperlukan, pada bagian dalamnya dapat ditambahkan pelat besi
sebagai alat sambung.
Gambar 2.9 . Sambungan Bambu dengan pengisi kayu.
(Sumber : Villalobos, 1993) d. Sambungan dengan penutup
Sambungan ini dirancang agar gaya yang bekerja disalurkan melalui dinding luar bambu,
melalui penutup pada ujung buluh. Agar perekat antara penutup dengan bambu dapat
bekerja dengan baik, pada bambu bagian luar dibuat takikan melingkar. Ada dua
penelitian yang menggunakan penutup sebagai alat sambung; yaitu:
(1) Bruno Huber
22
Sambungan yang dikembangkan menggunakan penutup aluminium atau baja (Huber,
2005), sehingga penutup ini dapat dilubangi atau dilas ke bagian logam yang lain
(Gambar 2.10a)
(2) Albermani, et al. (2006)
Sebagai alat sambung penutup yang pergunakan terbuat dari PVC dengan bentuk
khusus (Gambar 2.10b), sedemikian rupa sehingga dapat disambungkan
menggunakan baut. Kegagalan sambungan ini terjadi pada PVC. Dengan
menggunakan bambu Phyllostachy pubescen berdiameter sekitar 6 cm, dilaporkan
beban tekan dan tarik maksimum yang dapat dicapai berturut-turut 2400 kg dan
900kg (Albermani et al., 2007).
(a) (b)
Gambar 2.10. Sambungan dengan penutup. (Sumber: (a)Huber,2005; (b) Albermani,2007)
e. Sambungan untuk kuda-kuda (rangka batang)
Rangka batang merupakan konstruksi yang secara tradisional sering menggunakan
bambu. Untuk itu ada beberapa model sambungan yang telah dikembangkan; di
antaranya :
(1) Sambungan dengan pelat baja dan pengisi.
Untuk membuat sambungan kaku digunakan pengisi dari mortar semen dan kayu
dengan pelat buhul terbuat dari pelat baja (Gambar 2.11a). Dengan menggunakan
bambu betung berdiameter 8 cm, kekuatan sambungan dapat mencapai 4 ton
(Morisco, 1999)
(2) Sambungan dengan pelat sambung dari papan kayu
23
Untuk kuda-kuda bambu prefabrikasi sambungan dibuat menggunakan pelat sambung
papan dengan ketebalan 2 cm dengan baut φ 12 mm (Gambar 2.11b), dapat dibuat
kuda-kuda dengan bentang 8 m (Purwito, 2007)
(a) (b) Gambar 2.11. Sambungan untuk kuda-kuda (sumber: (a) Morisco,1999; (b) koleksi pribadi)
f. Sambungan dengan pengisi untuk konstruksi rangka batang ruang (space truss)
Pengembangan sambungan ini pada umumnya mengacu pada penelitian yang dilakukan
Duff (Gambar 2.7.) dengan beberapa penyempurnaan, di antaranya : sambungan yang
dikembangkan oleh Tonges dengan menggunakan pengisi mortar semen dengan bagian
luar buluh dililit dengan tambang stainless atau pita fiber glass (Gambar 2.12.). Dengan
menggunakan bambu berdiameter 10,6 cm, dapat dibuat komponen rangka batang ruang
sepanjang 2 m (Tönges, 2005)
Gambar 2.12. Sambungan bambu untuk komponen rangka batang ruang (sumber : koleksi pribadi)
g. Sambungan untuk menggabungkan beberapa buluh
Pemakaian satu buluh bambu sebagai balok atau kolom kadang kala tidak memenuhi.
Untuk itu perlu dilakukan usaha agar buluh bambu dapat digabungkan. Berbeda dengan
KAYU PENGISI
BETON
Resin
Beton
Kayu
24
kayu yang dapat digabungkan dengan mudah, karena bentuknya berupa silinder
penggabungan buluh bambu agar dapat bekerja sama perlu teknik tersendiri. Beberapa
penelitian yang telah dilakukan :
(1) menggunakan pita baja dengan bagian ujung diisi silinder kayu dengan batang baja
ditengahnya (Gambar 2.13a). Jika perlu batang-batang baja ini dapat las.
(2) menggunakan pasak berbaji (Gambar 2.13b). Dengan pasak berukuran 3 cm x 1 cm
ini diperoleh gaya geser yang dapat diterima mencapai 3.000 kg, 3.300 kg dan 3.450
kg untuk pemasangan berturut-turut satu, dua dan tiga pasak (Gambar 2.13c).
Penggunaan pasak berbaji yang terbuat dari bambu, selain bahannya mudah didapat,
biaya ringan dan aplikasinya mudah (Bachtiar dan Surjono, 2005).
(a) (b) (c)
Gambar 2.13. Sambungan untuk menggabungkan beberapa buluh. (Sumber : (a) Villalobos,1993 ; (b) & (c) koleksi pribadi)
Selain itu, masih banyak model-model sambungan lain yang telah dikembangkan,
terutama di mancanegara seperti Jerman, Australia, Belanda dan Columbia.
3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI
3.1. Pendahuluan
Analisa teoritis dan hasil eksperimen mempunyai peranan yang sama
pentingnya dalam mekanika bahan (Gere dan Timoshenko, 1997). Teori digunakan
untuk menurunkan rumus dan persamaan untuk memprediksi perilaku bahan.
Walaupun begitu, teori hanya dapat digunakan dalam desain praktis jika besaran fisik
bahan diketahui. Besaran ini diperoleh dari hasil eksperimen di laboratorium. Bambu
sebagai bahan alami mempunyai sifat fisik dan mekanik bervariasi, baik karena
pengaruh jenis, tempat tumbuh maupun karena pengaruh umur. Selain itu, dalam satu
batang bambu pun terdapat variabilitas, baik secara vertikal (pangkal, tengah, ujung)
maupun secara horizontal (kulit/luar, dalam) serta pengaruh keberadaan buku.
Dalam perencanaan bambu sebagai komponen rangka batang ruang, perlu
dihitung gaya-gaya yang bekerja pada masing-masing batang bambu sebagai
komponen dalam struktur yang direncanakan. Agar gaya-gaya batang dapat dihitung
secara teliti, maka digunakan program analisa struktur. Untuk menjalankan program ini
diperlukan masukan berupa besaran sifat fisik dan mekanik material yang akan
digunakan; seperti : kerapatan, kuat tekan, kuat tarik dan modulus elastistitas.
3.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dan mekanik bambu tali
yang meliputi : kerapatan, kadar air, penyusutan kuat tekan, kuat tarik, kuat geser, dan
modulus elastisitas, sebagai dasar pada perhitungan analisa struktur dan perancangan
dimensi sambungan.
3.3. Bahan dan Metode
3.3.1. Bahan dan Alat
Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah bambu tali (Gigantochloa apus
Kurz) berumur lebih dari 3 tahun yang tumbuh di daerah Depok. Mengingat buluh
bambu tali cenderung lurus pada bagian pangkal sampai tengah dengan ujungnya
melengkung (Gambar 3.1.a.), maka bagian yang cocok dimanfaatkan sebagai bahan
26
bangunan adalah buluh bambu bagian pangkal sampai tengah yang cenderung lurus.
Berdasarkan hal tersebut penelitian yang dilakukan hanya meneliti bambu bagian
pangkal dan tengah saja dengan pengambilan sampel seperti pada Gambar 3.1.b.
Alat yang digunakan untuk pengujian sifat fisik diantaranya timbangan dengan
ketelitian 0,01 gram, jangka sorong dan oven. Untuk pengujian sifat mekanik dipakai
UTM (Universal Testing Machine) merk Instron dengan kapasitas 5000 kgf.
3.3.2. Metoda
Pengujian dilakukan dengan berpedoman pada Standar ISO, yaitu ISO 22157-
2004, tentang petunjuk pengujian sifat fisik dan mekanik bambu. Sampel dibuat
menggunakan bambu dalam keadaan kering udara dengan 5 (lima) ulangan untuk
masing-masing pengujian. Untuk mengukur kadar air dan penyusutan, sampel
dikeringkan dalam oven dengan suhu 103+20C selama 24 jam (sampai mencapai berat
tetap). Adapun bentuk dan ukuran sampel dapat dilihat pada Gambar 3.2.
2m
1 ruas tidak digunakan 1m ( pangkal)
1m ( tengah)
(a) Bentuk rumpun Gambar 3.1. Bambu tali serta pengambilan sampel.
(b) Posisi sampel pada batang
27
Untuk menghitung kerapatan, kadar air dan penyusutan, sesuai dengan ISO
22157-2004, digunakan persamaan di bawah ini :
ρ (g/cm3) =KU
KT
VB ............................................................................................(3.1.)
KA (%) = %100xB
BB
KT
KTKU − .....................................................................(3.2.)
Penyusutan (% )= %1000
10 xL
LL − ................................................................(3.3.)
dengan :
ρ = Kerapatan bambu (g/cm3)
BKT = Berat kering tanur (g)
BKU = Berat kering udara (g)
VKU = Volume kering udara (cm3)
KA = Kadar air (%)
L0 = Dimensi awal (mm)
L1 = Dimensi akhir (mm)
h=D
D
h=D
D
300 100 300
10 20
1:20
(a)
(e) (d) (c) (b)
Gambar 3.2. Sampel pengujian sifat dasar. (a) Sampel uji tarik (ukuran dalam mm); (b) sampel uji tekan tanpa buku (c) sampel uji tekan dengan buku; (d) sampel uji geser melalui tekan; (e) sampel uji geser melalui tarik
28
Untuk menghitung tegangan geser, tegangan tarik, tegangan tekan digunakan
persamaan 3.4. dan modulus elastisitas dihitung menggunakan persamaan 3.5. di
bawah ini :
σ AFult= ...............................................................................................(3.4.)
E = 2080
2080
εεσσ
−−
...................................................................................(3.5.)
dengan :
σ = Tegangan (MPa)
Fult = Gaya maksimum (N)
A = Luas penampang bambu (mm2)
E = Mmodulus elastisitas (MPa)
ξ = Regangan (tanpa satuan) = 0
0
lll −
σ80 = Tegangan yang merupakan 80% dari σult
σ20 = Tegangan yang merupakan 20% dari σult
ε80 = Regangan pada saat σ80
ε20 = Regangan pada saat σ20
3.4. Analisa data
3.4.1. Sifat Fisik Bambu Tali
Untuk hasil pengujian sifat fisik, data masing-masing sifat dianalisis dengan
statistik deskriptif sederhana yang meliputi nilai rataan, maksimum, minimum, standar
deviasi dan koefisien variasi. Hasil pengujian ini dan analisanya disajikan dalam bentuk
tabel.
3.4.2. Sifat Mekanik Bambu Tali
Hasil pengujian mekanika, pada tahap awal dianalisa secara statistik deskriptif
sederhana dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Selanjutnya data yang dianggap
dapat mewakili populasi, dianalisa berdasarkan AC 162 (Acceptance Criteria for
Structural Bamboo) yang dikeluarkan oleh ICBO (International Conference for
29
Building Official) pada tahun 2000 di California. Untuk mendapatkan nilai kekuatan
rencana (S), digunakan rumus :
aCBS =
B= (m-K.SD).DOL ......................................................................................(3.7.)
dengan : B = Tegangan karakteristik
m = Tegangan rata-rata
K = Faktor dari tabel 3 ASTM D2915
SD = Standar deviasi
DOL = Faktor akibat pembebanan (Duration of Loading)
1 untuk beban tetap
1,25 untuk beban sementara
1,5 untuk beban angin dan gempa
Ca = Faktor keamanan (Tabel 3.1)
Nilai K yang akan digunakan dalam perhitungan dipilih untuk tingkat kepercayaan 75%
dengan nilai persentil 5%, sedangkan faktor keamanan yang digunakan dapat dilihat
pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Faktor keamanan untuk masing-masing besaran mekanik
Besaran Faktor Keamanan Modulus Elastisitas 1,00
Kuat Tarik 2,25 Kuat tekan 2,25 Kuat lentur 2,25 Kuat geser 2,25
Sumber : International Conference of Building Official (2000)
3.5. Hasil dan Pembahasan
3.5.1. Sifat Fisik Bambu Tali
1. Kerapatan
Pengujian kerapatan bambu tali yang berumur 3 tahun yang berasal dari daerah
Depok dilakukan terhadap volume kering udara dan berat kering tanur. Hasil pengujian
kerapatan terhadap sampel bagian pangkal dan bagian tengah dapat dilihat pada Tabel
30
3.2. dan hasil tersebut memperlihatkan kerapatan bambu bagian tengah lebih besar
sekitar 15 % dari kerapatan bambu bagian pangkal.
Tabel 3.2. Kerapatan bambu tali
Sampel Ρrataan(g/cm3) ρmax(g/cm3) ρmin(g/cm3) SD CV (%) n Tengah 0,77 0,86 0,69 0,06 8,01 5 Pangkal 0,66 0,78 0,60 0,07 11,02 5 Gabungan 0,71 0,86 0,60 0,08 11,69 10 Catatan : SD =standar deviasi, CV=koefisien variasi, n= jumlah sampel
Nilai kerapatan yang diperoleh lebih besar dari nilai kerapatan hasil penelitian
Syafi’i (1984) dalam Surjokusumo dan Nugroho (1994) yang mendapatkan nilai
kerapatan sebesar 0,65 g/cm3. Demikian juga dibandingkan dengan hasil penelitian
Nuryatin (2000) yang memperoleh nilai kerapatan bagian pangkal dan bagian ujung
berturut-turut sebesar 0,365 g/cm3 dan 0,496 g/cm3. Baik penelitian Syafi’i maupun
Nuryatin menggunakan sampel bambu tali yang berasal dari Dramaga, Bogor.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terlihat bahwa kerapatan bagian pangkal
lebih kecil dari kerapatan bagian atas.
Untuk perhitungan struktur digunakan nilai kerapatan sampel gabungan yaitu
710 kg/m3 (setara dengan 0,71 g/cm3)
2. Kadar Air
Pengujian kadar air dilakukan untuk melihat banyaknya air yang terkandung
pada bambu dalam keadaan kering udara. Berdasarkan hasil pengujian terlihat bahwa
kadar air kering udara pada bambu bagian tengah sedikit lebih besar dari kadar air
kering udara pada bambu bagian pangkal, seperti ditampilkan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Kadar air kering udara pada bambu tali
Sampel KArataan(%) KAmax(%) KAmin(%) SD CV(%) n Tengah 12,15 13,52 10,90 0,87 7,13 6 Pangkal 12,20 12,69 11,42 0,61 5,00 6
Catatan : SD =standar deviasi, CV=koefisien variasi, n= jumlah sampel
Hasil ini tidak jauh berbeda dengan dugaan Janssen (1981) yang
memperkirakan bahwa pada kelembaban relatif (RH) 90 % kadar air kering udara
bambu sekitar 12,7%. Demikian juga jika dibandingkan dengan penelitian Nuryatin
31
(2000) yang mendapatkan kadar air bagian pangkal dan ujung berturut-turut 13,93 %
dan 12,02%. Sementara Dransfield dan Widjaja (1995) menyatakan kadar air kering
udara bambu tali 15,19 %.
3. Penyusutan
Bambu sebagai hasil alam merupakan bahan anisotropis, oleh karena itu
penelitian penyusutan bambu dilihat dari tiga arah, yaitu arah tebal, arah diameter dan
arah longitudinal. Seperti halnya kayu, penyusutan bambu arah longitudinal sangat
kecil (tidak mencapai 1 %), baik untuk bagian pangkal, maupun bagian tengah,
sementara penyusutan diameter baik untuk bagian pangkal, maupun bagian tengah
nilainya sekitar 3 %. Berdasarkan hasil pengamatan, penyusutan tebal pada bambu
bagian pangkal merupakan penyusutan terbesar yaitu sebesar 3,6 %, seperti terlihat
pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Penyusutan bambu tali pada berbagai arah. Sampel Arah rataan (%) Max (%) Min (%) SD CV(%) n Pangkal tebal 3,65 4,62 2,79 0,87 23,88 5 diameter 3,60 4,37 2,97 0,58 16,17 5 longitudinal 0,14 0,22 0,11 0,05 35,60 5 Tengah tebal 2,25 3,23 1,37 0,71 31,54 5 diameter 3,46 3,89 2,95 0,40 11,66 5 longitudinal 0,12 0,20 0,10 0,05 37,44 5
Catatan : SD =standar deviasi, CV=koefisien variasi, n= jumlah sampel
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa susut sampel bagian pangkal lebih besar
daripada susut pada bagian tengah, sedangkan susut tebal dinding bambu tali dari
kering udara ke kering tanur untuk bagian pangkal dan bagian tengah berturut-turut
3,65 % dan 2,25 %. Nilai ini lebih kecil jika dibandingkan dengan penelitian Nuryatin
(2000) yang mendapatkan susut tebal bagian pangkal dan ujung berturut-turut 19,85 %
dan 12,48%, tetapi tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Syafi’i (1984) yang
meneliti penyusutan bambu tali (tanpa membedakan bagian pangkal ataupun ujung)
mendapatkan susut tebal kering udara ke kering tanur sebesar 5,32 %.
Seperti halnya pada kayu, penyusutan longitudinal baik pada sampel bagian
pangkal maupun pada sampel bagian tengah sangat kecil.
32
3.5.2. Sifat Mekanik
1. Kuat Tarik
Berdasarkan hasil pengujian didapat nilai kuat tarik maksimum sebesar 421
MPa yaitu pada sampel pangkal sebelah luar tanpa buku. Sementara nilai kuat tarik
terkecil terdapat pada sampel tengah bagian dalam dengan buku yaitu sebesar 34 MPa.
Nilai kuat tarik masing-masing kelompok sampel dan variabilitasnya dapat dilihat pada
Tabel 3.5. Secara umum, variasi nilai kuat tarik pada berbagai kelompok sampel dapat
dilihat pada Gambar 3.3.
Tabel 3.5. Kuat Tarik sampel pada berbagai posisi
Sampel*) σrataan (MPa) σmax(MPa) σMin(MPa) SD (MPa) CV(%) n σrenc (MPa) PL0 404,41 540,16 356,39 77,28 19,11 5 95,10 PL1 163,25 186,46 150,20 13,43 8,23 7 57,85 PD0 144,30 178,66 116,93 30,87 21,39 5 30,33 PD1 41,99 62,63 33,11 11,81 28,14 5 5,72 TL0 359,32 380,75 327,15 22,89 6,37 5 134,63 TL1 148,61 154,67 140,60 6,75 4,54 5 58,66 TD0 176,91 213,01 149,76 24,38 13,78 5 51,92 TD1 32,99 39,60 27,92 5,89 17,86 5 8,21
Catatan : SD =standar deviasi, CV=koefisien variasi, n= jumlah sampel *) P= pangkal, T= tengah, L= luar, D= dalam, 0= tanpa buku, 1= dengan buku
Hasil penelitian yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian
Nuryatin (2000) yang memperoleh kuat tarik pangkal dan ujung berturut-turut 1.312
kg/cm2 dan 1.480 kg/cm2 yang setara dengan 129 MPa dan 145 MPa.
LuarPANGKAL
Dalam LuarTENGAH
Dalam
404
144
359
177
163
42
148
33050
100150200250300350400450
Kua
t tar
ik (M
Pa)
sampel dg bukusampel tanpa Buku
Gambar 3.3. Kuat tarik maksimum rataan pada berbagai kelompok sampel
33
Berdasarkan data yang diperoleh, maka selanjutnya untuk perhitungan struktur
dihitung nilai kuat rencana dengan menggunakan Persamaan 3.7.
Nilai kuat tarik maksimum bambu didapatkan pada sampel bagian pangkal luar
tanpa buku. tegangan maksimum yang didapat 540 MPa lebih besar dari tegangan leleh
baja. Nilai terendah tegangan tarik maksimum didapat pada bagian tengah dalam
dengan buku, yaitu 28,92 MPa. Nilai ini < 10% nilai tegangan tarik maksimum.
Mengingat bahwa dalam pemakaian, sebagian bambu bagian dalam dibuang, maka
untuk perhitungan digunakan nilai tegangan tarik rencana bagian luar yang terkecil.
Berdasarkan hasil perhitungan nilai ini terdapat pada sampel bagian pangkal tanpa
dengan buku yaitu 57,85 MPa. Selanjutnya untuk perhitungan analisa struktur
digunakan nilai tegangan tarik rencana sebesar 57,8 MPa.
Pada semua kelompok sampel nampak dengan jelas bahwa nilai tegangan tarik
bambu akan berkurang lebih dari 50 % jika terdapat buku, seperti dapat dilihat pada
Gambar 3.3. Hal ini mungkin disebabkan arah serat pada daerah buku tidak semua
lurus, karena sebagian serat berbelok ke dalam, dan sebagian kecil berbelok ke luar.
Dalam pembuatan sampel uji tarik dibuat daerah kritis yang luas penampangnya
kecil (Gambar 3.2.a.). Diharapkan, kerusakan akibat beban tarik terjadi pada daerah
kritis, yaitu sampel putus pada daerah tersebut. Pada pengujian yang dilakukan,
putusnya sampel pada daerah kritis seperti pada Gambar 3.4. tidak terjadi pada semua
sampel.
Gambar 3.4. Sampel putus pada daerah kritis.
Kuat tarik bambu bagian dalam yang lebih kecil akan mengakibatkan rusaknya
sampel tidak seragam; seperti terlihat pada Gambar 3.5, dimana pada daerah kritis
sebelah dalam sudah putus, sementara bagian luar belum.
Gambar 3.5. kerusakan pada daerah kritis
34
Besarnya variasi mengakibatkan permasalahan dalam pengujian tarik.
Kerusakan yang terjadi tidak selalu pada daerah kritis, seperti yang diharapkan.
Kerusakan dapat terjadi pada berbagai tempat seperti pada Gambar 3.6, dimana
kerusakan terjadi pada daerah buku atau mengarah pada buku, seperti pada Gambar
3.7. Pada keadaan ini, kerusakan pada daerah kritis terjadi, bukan karena tarik, tetapi
karena geser.
Gambar 3.6. Kerusakan sampel pada daerah buku
Gambar 3.7. Kerusakan sampel bukan pada daerah kritis.
Karena tegangan geser bambu sangat kecil bila dibandingkan dengan kuat
tariknya, maka dalam pembuatan sampel, harus diusahakan agar sampel dibuat
sepanjang mungkin hingga bidang gesernya sebesar mungkin.
Selanjutnya untuk perhitungan struktur, nilai tegangan tarik rencana yang akan
digunakan : σ tarik = 57,8 MPa ( ≅ 589,8 kg/cm2).
2. Kuat Tekan
Bentuk bambu yang berupa tabung dengan sekat-sekat yang disebut buku,
mempunyai sifat mekanis yang khusus, terutama untuk pengujian tekan. Sebagai
silinder berdinding tipis, untuk pengujian tekan murni harus dihindari terjadinya tekuk,
seperti pada Gambar 3.8. Untuk itu tinggi sampel harus diperhatikan, sesuai dengan
standar ISO sampel yang diuji mempunyai tinggi sama dengan diameter luar.
35
Gambar 3.8. Tekuk pada silinder berdinding tipis.
Pada pengujian tekan yang dilakukan pada buluh bambu kering udara (KA=
12,3 %), diperoleh bahwa tegangan tekan maksimum terjadi pada sampel bagian
tengah tanpa buku yaitu 50,35 MPa. Kuat tekan sampel terkecil sebesar 35,01 MPa,
terjadi pada sampel bagian pangkal dengan buku, seperti dapat dilihat pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6. Kuat tekan buluh bambu
Kuat Tekan Bambu Tali
4147
3846
0
10
20
30
40
50
Pangkal Tengahsampel
Kua
t Tek
an (M
Pa)
tanpa buku dgn buku Gambar 3.9. Pengaruh buku terhadap kuat tekan buluh bambu.
Berdasarkan pada Gambar 3.9., terlihat bahwa keberadaan buku pada
sampel, baik pada buluh bagian tengah, maupun buluh bagian pangkal jelas terlihat
memperkecil kuat tekan sampel, walaupun tidak terlalu besar. Pada bagian pangkal,
keberadaan buku memperkecil kuat tekan sekitar 8 %. Pada bagian tengah, keberadaan
Sampel*) σrataan (MPa)
σmax (MPa)
σMin (MPa)
SD (MPa)
CV (%) n
σrenc (MPa)
P0 41,21 47,41 36,37 5,04 12,24 5 12,79 P1 37,96 42,92 35,01 3,71 9,76 5 12,81 T0 46,80 50,35 42,41 2,92 6,24 6 17,60 T1 45,84 52,17 42,61 3,33 7,27 6 16,72 *) P=pangkal, T = tengah, 0 = tanpa buku, 1= dengan buku
36
buluh memperkecil kekuatan tekan sekitar 2 %. Hal ini erat kaitannya dengan posisi
dan panjang serat. Pada bagian ruas bambu, serat lebih panjang dan arahnya lurus
(Suranto, 2006), sementara pada bagian buku seratnya lebih pendek dan arahnya
sebagian tegak lurus sumbu batang.
Dari hasil pengujian kuat tekan dengan membedakan sampel yang berasal dari
pangkal dan tengah terlihat bahwa sampel bagian tengah lebih kuat dari sampel bagian
pangkal. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan peneliti sebelumnya
dan erat kaitannya dengan panjang seratnya, terutama karena seratnya makin ke atas
makin panjang.
Selanjutnya untuk perhitungan struktur, nilai kuat tekan rencana yang
digunakan: σ tk = 12,7 MPa ( ≅ 129,6 kg/cm2).
3. Kuat Geser
Sesuai dengan tujuan awal penelitian sifat dasar, yaitu untuk mencari besaran
sebagai masukan dalam perhitungan, maka kuat geser yang diperlukan adalah kuat
geser longitudinal dalam bidang tangensial. Hal ini perlu dicermati, karena bambu
merupakan bahan yang bersifat anisotropis. Oleh karena itu, pengujian terhadap kuat
geser dengan standar ISO N22157.-2004, tidak sesuai untuk digunakan karena
pengujiannya dilaksanakan terhadap bidang radial, seperti pada Gambar 3.10.
Gambar 3.10. Pengujian geser bambu berdasarkan ISO.
Untuk itu pada pengujian geser, pembuatan sampel tidak dilakukan sesuai
standar ISO, tetapi mengacu pada cara pengujian geser kayu (Gambar 3.2.d.) dan
standar pengujian kayu lapis (Gambar 3.2.e.). Hasil pengujian kuat geser dari kedua
metoda tersebut mendapatkan hasil, seperti terlihat pada Tabel 3.7.
37
Tabel 3.7. Kuat geser rataan
Sampel τrataan(MPa) τ Max τ Min SD CV(%) n τ renc.(MPa) Tkn 8,46 9,69 7,92 0,66 7.90 6 3,02 Trk 8,43 9,46 7,10 1,07 12.70 6 2,53
Baik pengujian geser yang dilakukan melalui tekan (mengacu pada pengujian
geser kayu) maupun pengujian geser yang dilakukan melalui tarik (mengacu pada
pengujian kayu lapis) kuat geser yang dihasilkan tidak menunjukkan perbedaan. Jika
dibandingkan dengan hasil pengujian kuat menurut Dransfield dan Widjaja (1995) pada
Tabel 2.2., pada keadaan kering udara tanpa buku, kuat geser bambu tali rataan adalah
7,65 MPa. Hal ini menunjukkan bahwa kuat geser bambu tali memang sangat kecil.
Pada pengujian geser yang dilakukan melalui tekan, benda uji dibuat dengan
tambahan kayu yang direkatkan pada bagian sebelah luar (kulit) dan sebelah dalam,
seperti pada Gambar 3.11. Hal ini mengingat tebal bambu yang relatif tipis, sementara
yang akan diukur adalah kuat geser pada bidang tangensial pada posisi setengah tebal
dinding bambu.
Dalam pembuatan benda uji, harus diperhatikan agar bagian yang ditekan
(bagian pendek) harus merupakan bagian kulit. Jika bambu bagian dalam yang ditekan,
maka kerusakan yang terjadi bukan akibat geser, tetapi akibat tekan pada bagian dalam,
seperti pada Gambar 3.12a. Hal ini menunjukkan bahwa kuat tekan bambu bagian
dalam sangat kecil, sementara pengujian kuat tekan bambu pada umumnya dilakukan
terhadap buluh bambu, sehingga tidak terlihat kuat tekan bambu bagian luar dan kuat
tekan bambu bagian dalam.
P
Bambu
Bidang Geser
Kayu pelapis
Gambar 3.11. Detail benda geser uji geser tekan.
38
(a) (b)
Pengujian kuat geser longitudinal pada bidang tangensial lebih mudah dilakukan
dengan uji geser tarik, karena selain pembuatan sampel lebih mudah, umumnya kuat
tarik bambu jauh lebih besar dari kuat gesernya.
Untuk perhitungan struktur selanjutnya nilai kuat geser rencana (τ ) yang
digunakan nilai : τ rencana = 2,5 MPa ( ≅ 25,5 kg/cm2).
4. Modulus Elastisitas
Modulus elastisitas merupakan nilai yang menunjukkan perbandingan tegangan
dan regangan, dimana tegangan adalah gaya persatuan luas penampang dan regangan
adalah perbandingan perubahan dimensi dengan dimensi awal. Dengan mengetahui
nilai elastisitas, dapat diketahui perubahan panjang yang akan terjadi, karena pengaruh
beban yang bekerja. Sebagai contoh, kolom beton atau baja jika dibebani gaya tekan
akan mengalami deformasi. Dalam hal ini, timbul perpendekan. Hanya saja, karena
deformasi yang timbul kecil, maka tidak terlihat secara kasat mata. Jika gaya yang
bekerja tidak melebihi batas tertentu, maka deformasi akan hilang setelah gaya
dihilangkan (Timoshenko dan Goddier, 1994).
Dalam mengamati modulus elastisitas pada penelitian ini dilakukan dengan
pengujian modulus elastisitas tekan. Hal ini mengingat bahwa sebagai komponen
rangka batang ruang, maka bambu akan menerima gaya tekan atau tarik saja. Setelah
dilakukan pengujian tekan serta perhitungan tegangan dan regangan pada berbagai taraf
Gambar 3.12. Kerusakan sampel uji geser (a) akibat tekan bambu bagian dalam; (b) pada uji geser tarik
39
beban, diagram tegangan dan regangan dapat digambarkan. Pada umumnya sumbu X
menggambarkan regangan dan sumbu Y menunjukkan tegangan (Gambar 3.10.).
Diagram ini memberikan infomasi tentang besaran mekanis dan perilaku bahan.
Gambar 3.13. Diagram tegangan-regangan
Diagram tegangan dan regangan biasanya dimulai dengan garis lurus (garis O-
A). Hal ini menunjukkan hubungan tegangan dan regangan pada daerah ini linier dan
proporsional. Kemiringan garis ini menunjukkan modulus elastisitas. Tegangan pada
titik A disebut batas proporsional. Dengan meningkatnya tegangan hingga melewati
batas proposional, maka regangan meningkat secara lebih cepat (garis A-C), dan pada
daerah ini bahan tidak lagi elastis, tetapi plastis. Setelah melewati tegangan luluh (titik
D) bahan akan mengalami kerusakan. Tegangan maksimum terjadi pada daerah ini dan
biasa disebut tegangan ultimate (titik D).
Diagram Tegangan-Regangan
Dalam pengujian dengan UTM merk Instron terdata besar gaya yang bekerja
dan besarnya defleksi yang terjadi secara periodik. Dengan membagi besarnya gaya
yang bekerja dengan luas penampang akan diperoleh besarnya tegangan secara
periodik. Luas penampang sampel dihitung dengan mengasumsikan sampel berupa
silinder berlubang, termasuk pada sampel dengan buku. Diameter dan tebal dinding,
masing-masing diukur pada empat tempat dan dalam perhitungan digunakan rataan
hasil pengukuran.
ε
σ
B
AC
O Daerah plastis
Daerah elastis
Batas pro-porsional
σ Ult σ luluh
D
40
Berdasarkan pada data hasil pengujian (gaya, deformasi dan dimensi buluh) dan
perhitungan tegangan dan regangan, maka hubungannya dapat dilihat pada Gambar
3.14, 3.15 dan Gambar 3.16.
0
100
200
300
400
500
600
0 5 10 15 20reganganI (0.1%)
TEG
(kg/
cm2)
T1K01 T1K02 T1K03T1K04 T1K05 T1B06
Gambar 3.14. Diagram tegangan-regangan pada sampel bagian tengah tanpa buku.
0
100
200
300
400
500
600
0 5 10 15 20regangan (0.1%)
TEG
(kg/
cm2)
T1K12 T1K13 T1K14 Gambar 3.15. Diagram tegangan-regangan pada sampel bagian tengah dengan buku.
0
100
200
300
400
500
600
700
0 5 10 15 20regangan (0.1%)
TEG
AN
GA
N (k
g/cm
2)
P1K01P1K03P1K04P1K05P1B06
Gambar 3.16. Diagram tegangan-regangan pada sampel bagian pangkal tanpa buku.
h=D
h=D
h=D
D
D
D
41
Dari gambar diatas terlihat bahwa garis linier baru terbentuk setelah regangan mencapai
sekitar 0,5%., karena terjadinya penyesuaian kedudukan sampel (setting-up). Pada Gambar
3.14., terlihat bahwa walaupun penyesuaian tidak seragam, tetapi pada daerah linier
kemiringannya cenderung seragam. Pada Gambar 3.15, sampel yang digunakan merupakan
sampel yang mengandung buku, tetapi dalam perhitungannya luas penampang yang dihitung
adalah luas penampang silinder berlubang. Sementara pada Gambar 3.16, pengujian sampel
P1B06 dihentikan sebelum tegangan ultimate tercapai karena telah mendekati kapasitas
alat. Berdasarkan perhitungan dengan persamaan di atas, nilai E yang diperoleh dapat
dilihat pada Tabel 3.8. di bawah ini.
Tabel 3.8. Nilai modulus elastisitas bambu tali Kelompok sampel Erataan
(MPa) Emax
(MPa) Emin
(MPa) SD CV(%) n Etekan (MPa)
Tengah tanpa buku 12.418 13.845 10.519 1.596 12,85 5 8.485 Tengah dgn buku 12.234 13.261 10.784 1.291 10,56 3 9.051 Pangkal tanpa buku 10.283 11.433 9.446 1.005 9,77 5 7.806 Keseluruhan 11.616 13.845 9.446 1.617 13,92 13 8.368
12.41910.284
12.235
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
Tengah tanpa buku Tengah dgn buku Pangkal tanpabukuKelompok Sampel
E (M
Pa)
Gambar 3.17. Nilai rataan elastisitas tekan (E).
Nilai rataan keseluruhan sampel diperoleh E = 11.616 MPa. Dengan
memperhitungkan standar deviasi menggunakan persamaan 3.7., maka nilai E untuk
perhitungan struktur selanjutnya digunakan nilai 8.300 MPa.
Berdasarkan uji t terhadap kesamaan dua rataan elastisitas pada sampel bagian
tengah tanpa buku dan sampel bagian tengah dengan buku menunjukkan bahwa secara
statistik tidak ada perbedaan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh
keberadaan buku terhadap nilai elastisitas tekan bambu. Perbedaan nilai elastis secara
42
nyata terjadi antara sampel bagian tengah dengan sampel bagian pangkal (keduanya
tanpa buku). Berdasarkan nilai elastisitas rataan ada kecenderungan nilai elastisitas
bambu bagian tengah 20% lebih besar dari elastisitas bambu bagian pangkal.
3.6. Kesimpulan
Berdasarkan data hasil perngujian dan analisanya, untuk perhitungan struktur
selanjutnya akan digunakan nilai-nilai :
1. Nilai kerapatan digunakan kerapatan sampel gabungan yaitu 0,71 g/cm3
2. Kadar air kering udara bambu pada bambu bagian pangkal dan bagian tengah,
berturut-turut 12,69 % dan 13,52 %.
3. Penyusutan bambu tali dari keadaan kering udara ke kering oven, pada arah tebal
dinding dan diameter sekitar 3 %, sementara susut arah longitudinal di bawah 1 %.
Nilai ini berlaku baik pada pangkal maupun pada bagian tengah.
4. Nilai tegangan tarik yang akan digunakan dipilih σrencana terendah pada sampel
bagian luar, yaitu pada sampel pangkal bagian luar dengan buku yang nilainya :
σrenc = 57,8 MPa.
5. Tegangan tekan rencana yang akan digunakan adalah tegangan tekan sampel
terkecil yaitu sebesar 12,7 MPa, terjadi pada sampel bagian pangkal tanpa buku.
6. Tegangan geser rencana longitudial pada bidang tangensial : τrenc= 2,5 MPa.
7. Nilai rataan modulus elastis yang akan dipergunakan untuk keseluruhan sampel
diperoleh : E = 11.616 MPa. Dengan memperhitungkan standar deviasi serta
menggunakan faktor keamanan =1, maka digunakan nilai E = 8.300 MPa.
4. PERILAKU TEKUK BAMBU TALI
4.1. Pendahuluan
Dalam bidang konstruksi secara garis besar ada dua jenis konstruksi rangka, yaitu
konstruksi portal (frame) dan konstruksi rangka batang (truss). Pada konstruksi portal,
baik portal bidang, maupun portal ruang, komponen-komponennya dihubungkan secara
jepit, sehingga beban yang diterima batang berupa beban tarik, tekan dan momen. Pada
konstruksi rangka batang, komponen-komponennya dihubungkan melalui sambungan
sendi, sehingga komponen-komponennya hanya menerima beban tarik atau tekan tanpa
momen. Konstruksi rangka batang ruang sebagai pengembangan dari konstruksi rangka
batang bidang. Pada umumnya komponen yang menerima beban tekan disebut batang
tekan dan komponen yang menerima beban tarik disebut batang tarik.
Batang tekan merupakan bagian yang cukup penting dalam perhitungan
konstruksi, karena perhitungan batang tekan tidak hanya tergantung pada luas penampang
dan kuat tekannya saja. Kekuatan batang tekan harus memperhitungkan bentuk
penampang serta panjang batang. Pada batang pendek, dimana tidak ada kemungkinan
terjadi tekuk, kehancuran terjadi akibat dilampauinya tegangan tekan ijin bambu. Pada
batang tekan yang panjang, kekuatan batang tergantung bukan hanya pada tegangan
tekan, tetapi juga pada modulus elastisitas, panjang batang dan dimensi penampang. Pada
batang yang panjang, kegagalan dapat terjadi, walaupun tegangan ijin belum terlampaui.
Kerusakan ini terjadi karena tekuk.
Pada konstruksi baja dan konstruksi kayu, untuk menghitung besarnya gaya tekuk
yang dapat diterima suatu batang dilakukan dengan memasukkan faktor tekuk yang sudah
tersedia dalam bentuk tabel. Pada konstruksi bambu, tabel tersebut belum tersedia,
sehingga perlu dilakukan penelitian khusus mengenai perilaku tekuk bambu.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kelangsingan batang
bambu tali dengan gaya tekan maksimum yang dapat diterima. Dengan memperhitungkan
faktor keamanan akan dibuat grafik kecenderungan hubungan antara kelangsingan
batang dengan tegangan tekuk ijin. Selanjutnya, dibuat tabel yang memuat faktor tekuk
44
(ω) untuk masing-masing kelangsingan batang (λ) yang akan menjadi dasar perhitungan
tekuk pada batang tekan bambu, terutama bambu tali.
Bahan dan Metoda
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah bambu tali (Gigantochloa apus Kurz) berumur
lebih dari tiga tahun yang berasal dari daerah Depok, dengan diameter luar 40 + 5 mm
dan 60 + 5 mm dengan panjang masing-masing 50 cm, 70 cm dan 90 cm. Setiap
perlakuan menggunakan 8 ulangan.
Peralatan yang digunakan adalah gergaji, jangka sorong dan pita ukur serta
blangko dan alat tulis. Pengujian gaya kritis dilakukan dengan menggunakan alat
Universal Testing Machine merk Baldwin, di Laboratorium Keteknikan Kayu, Fakultas
Kehutanan IPB.
Metodologi
1. Pengukuran
Setelah sampel selesai disiapkan, dilakukan pengukuran dimensi bambu
sesuai dengan standar ISO: N22157.-2004 (Laboratory Manual on Testing Methods
for Determination of Physical and Mechanical Properties of Bamboo) yang meliputi :
- Pengukuran panjang (L), masing-masing sampel diukur panjangnya di empat
tempat, lalu dirata-ratakan
- Pengukuran diameter luar (D), empat kali pada masing-masing sampel; yaitu dua
kali pada masing-masing ujung, nilainya kemudian dirata-ratakan.
- Pengukuran diameter dalam (d) dilakukan empat kali pada masing-masing
sampel; yaitu dua kali pada masing-masing ujung, kemudian nilainya dirata-
ratakan
Berdasarkan data panjang batang, diameter luar dan diameter dalam dapat dihitung
luas penampang (A), momen inersia (I), jari-jari kelembaman (r) serta angka
kelangsingan (λ) dengan persamaan :
45
A = )(41 22 dD −π .............................................................................. (4.1.)
I = )(641 44 dD −π ............................................................................... (4.2.)
r = AI .............................................................................. (4.3.)
rL
=λ ............................................................................... (4.4.)
2. Pengujian Tekuk
Pengujian tekuk dilakukan dengan meletakkan buluh bambu dalam posisi
tegak kemudian sampel diberi beban tekan dengan kecepatan konstan sampai
mencapai beban maksimum. Beban maksimum yang terjadi, tepat sebelum batang
tersebut mengalami tekuk dicatat sebagai beban kritis (Pcr). Untuk melihat pola tekuk
yang terjadi, pembebanan dapat dilanjutkan.
3. Perhitungan Tegangan Kritis
Tegangan kritis didefinisikan sebagai tegangan tekan maksimal rata-rata
terhadap luas penampang. Tegangan kritis merupakan hasil bagi beban kritis
terhadap luas penampang. Selanjutnya tegangan kritis digambarkan dalam grafik
terhadap kelangsingan batang (λ).
Analisa Data
4.4.1. Panjang Tekuk (Lk)
Pola tekuk suatu batang sangat tentukan oleh jenis tumpuan pada ujung-ujung
batang tersebut. Untuk itu dalam perhitungan struktur, panjang tekuk harus dihitung
berdasarkan jenis tumpuan, karena panjang tekuk besarnya tidak selalu sama dengan
panjang batang, seperti dapat dilihat pada Gambar 4.1. Pada konstruksi rangka batang
ruang serta pada proses pengujian tekuk di laboratorium, tumpuan pada kedua ujung
batang merupakan tumpuan sendi, seperti pada Gambar 4.1.(a). Hal ini berarti panjang
tekuk (Lk) sama dengan panjang batang yang diuji.
46
(a) (b) (c) (d)
Gambar 4.1. Panjang Tekuk (Lk) dengan tumpuan yang berbeda-beda. (Sumber : Popov, 1984)
4.4.2. Persamaan Euler dan Pembatasannya
Pengujian perilaku tekuk bambu dilakukan untuk mengetahui beban tekan
maksimal yang dapat ditahan oleh batang langsing. Analisa dilakukan dengan rumus
Euler:
2
2 ..
kcr L
IEP π= ........................................................................................... (4.6.)
σcr = ALIE
AP
k
cr
...
2
2π=
dengan :
σcr = Tegangan kritis (kg/cm2)
Pcr = Gaya tekan maksimum (kg)
E = Modulus elastisitas (kg/cm2)
L = Panjang tekuk (cm)
r = Jari-jari inersia (cm)
I = Momen inersia (cm4)
A = luas penampang (cm2)
Lk = L Lk = L/2Lk =0,7 L
Lk =2 L
47
Dengan mensubstitusikan Persamaan (4.3.) ke dalam Persamaan 4.6, maka diperoleh
Persamaan :
σcr 22
2
.. rL
E
k
π= ......................................................................................... (4.7)
karena rL
=λ , maka Persamaan (4.7.) dapat dituliskan, sebagai berikut :
σcr 2
2 .λ
π E= .............................................................................................. (4.8.)
Dari persamaan di atas terlihat bahwa untuk menurunkan rumus-rumus Euler
untuk tekuk, dipergunakan nilai modulus elastisitas (E). Hal ini menunjukkan bahwa
dalam perhitungan tekuk, diasumsikan bahwa batang tekan tersebut berada dalam
keadaan elastis. Mengingat bahwa perhitungan nilai E diperoleh dengan melihat
perbandingan tegangan dan regangan (strain) dalam keadaan proposional, maka
Persamaan 4.8. hanya berlaku pada keadaan yang hubungan tegangan dan regangannya
linier. Dari Gambar 4.2.(b) terlihat bahwa nilai λminimal terjadi pada keadaan saat tegangan
mencapai tegangan maksimal proposional yaitu pada titik A dalam Gambar 4.2.(a).
λbatas
Gambar 4.2. (a) diagram tegangan-regangan, (b) tegangan kritis terhadap kelangsingan
48
Dalam mempelajari bahan pada keadaan elastis, maka perlu diperhatikan hukum Hooke
tentang hubungan tegangan dan regangan (ε). Dengan melihat Persamaan 4.8. bersama
dengan Hukum Hooke, maka :
Persamaan (4.8.) σcr 2
2 .λ
π E= 2
2 ..λ
πε EE =
Hukum Hooke Ep .εσ = 2
2
λπε =
Sehingga Hukum Hooke dapat dituliskan sebagai berikut :
Ep .2
2
λπσ = , sehingga diperoleh angka kelangsingan
p
batasEσ
πλ .= ................................................................................. (4.9.)
Daerah A-C pada Gambar 4.2.(a) juga merupakan daerah elastis yang tidak linier, oleh
karena itu pada daerah itu persamaan Euler tetap berlaku, tetapi nilai E berubah-ubah dan
dapat dinyatakan sebagai garis singgung pada grafik tegangan-regangan. Nilai ini biasa
dinyatakan sebagai Et yang nilainya berubah-ubah, sehingga persamaan Eulernya dapat
dinyatakan dalam persamaan :
σcr 2
2 .λ
π tE= ............................................................................ (4.10.)
Pada daerah tersebut nilai σcr dapat digambarkan sebagai garis lengkung R-S pada
gambar 4.2.(b). Selanjutnya pada tiang pendek tidak terjadi tekuk.
Rumitnya persamaan tegangan kritis untuk kolom menengah dan pendek,
menimbulkan banyak persamaan pendekatan, baik untuk baja, aluminium maupun kayu.
Pendekatan tersebut pada umumnya mengarah pada hubungan σcr terhadap λ berbentuk
linier. Salah satunya adalah persamaan Tetmayer yang digunakan untuk batang pendek
dan menengah.
Pada perhitungan konstruksi kayu di Indonesia Persamaan Tetmayer dan
Euler digunakan dalam mendesain batang tekan. Dengan menggunakan batasan angka
49
kelangsingan 100, maka persamaan untuk menghitung tegangan kritis yang biasa
digunakan :
λσσ 2−= tkcr untuk 0 < λ < 100 ....................................................... (4.11.)
2
2 .λ
πσ Ecr = untuk λ > 100 .......................................................... (4.12.)
4.4.3. Tegangan tekuk ijin
Tegangan tekuk ijin yang dijadikan dalam perhitungan diperoleh dengan
menggunakan persamaan yang biasa digunakan yaitu :
keamananfaktor
crijincr ..
σσ = ................................................................ (4.13.)
Berbeda dengan perhitungan tegangan ijin umumnya yang menggunakan angka konstan
untuk faktor keamanan, pada perhitungan tegangan tekuk ijin digunakan faktor keamanan
yang berbeda-beda yang besarnya tergantung pada angka kelangsingan (λ). Pada daerah
dimana λ ≤ λbatas, nilai faktor keamanannya konstan. Selanjutnya untuk daerah λ > λbatas,
digunakan nilai yang berubah-ubah.
Pada konstruksi kayu di Indonesia, dengan mengasumsikan λbatas = 100, nilai
faktor keamanan untuk λ ≤ 100 digunakan nilai faktor keamanan = 3,5. Selanjutnya,
untuk λ >100, digunakan nilai yang bertambah secara linier, sehingga nilai faktor
keamanan untuk λ = 250, faktor keamanan = 5. Secara grafis nilai faktor keamanan dapat
dilihat pada Gambar 4.3.
2
3
4
5
0 50 100 150 200 250L/r
Fakt
or K
eman
an
Gambar 4.3. Nilai Faktor keamanan terhadap kelangsingan (l/r = λ)
4.4.4. Faktor Tekuk
Dalam perhitungan konstruksi, untuk menghitung besarnya gaya tekuk yang
dapat dipikul, digunakan persamaan :
Faktor keamanan
50
tkcr AP σωσ ≤=
. dengan : P = Gaya tekan ........................................................ (4.14.)
ω = Faktor tekuk
Pada perhitungan kayu dan baja, dimana biasanya digunakan kolom yang
langsing (λ kecil), nilai ω dapat dicari dari tabel yang tersedia berdasarkan nilai λ. Untuk
mempermudah perhitungan batang tekan pada konstruksi bambu perlu dibuat tabel nilai
ω untuk masing-masing nilai λ. Nilai ω merupakan perbandingan antara tegangan tekuk
ijin terhadap besarnya tegangan tekan ijin.
Dalam perhitungan konstruksi kayu nilai ω dibatasi hanya sampai λ = 150,
oleh karena itu dalam perhitungan faktor tekuk analisa dibatasi sampai pada batas
tersebut.
4.5. Hasil dan Pembahasan
4.5.1. Tegangan Kritis berdasarkan Hasil Penelitian
Pengujian tekuk dilakukan menggunakan sekitar seratus sampel dengan
kelangsingan yang berbeda-beda. Angka kelangsingan diperoleh berdasarkan perhitungan
dengan Persamaan 4.4. dengan memasukan dimensi masing-masing sampel (data
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9).
Berdasarkan perhitungan data yang diperoleh besarnya beban kritis serta
dimensi batang, diperoleh hasil yang dapat dilihat pada Gambar 4.4.
y = -7,902Ln(x) + 60,003R2 = 0,633
0
10
20
30
40
50
60
70
0 20 40 60 80L/r
Teg
Kriti
s (M
Pa)
Gambar 4.4. Tegangan kritis pada berbagai kelangsingan (n = 121)
Pada Gambar 4.4. terlihat walaupun secara umum data menyebar, tetapi terlihat
kecenderungan bahwa dengan semakin langsing batang, tegangan kritisnya akan semakin
kecil. Berdasarkan data pengujian tekuk (Lampiran 9, halaman 107 dan 108) diketahui
51
tegangan kritis terbesar sebesar 44,4 MPa diperoleh pada sampel berdiameter 6 cm dan
panjang batang 50 cm dengan λ= 24,61. Tegangan kritis terkecil sebesar 13,3 MPa
diperoleh pada sampel berdiameter 4 cm dan panjang batang 90 cm dengan λ = 71,28.
Untuk melengkapi data dalam pembuatan garis kecenderungan (trend line)
tegangan kritis terhadap kelangsingan, dimasukkan juga data hasil pengujian tekan (Bab
3.); yaitu dua belas sampel uji tekan dipergunakan dengan enam sampel tingginya sama
dengan ukuran diameter luar dan enam sampel tingginya dua kali diameter luar. Sampel
uji tekan ini mempunyai angka kelangsingan yang berkisar 3,22 sampai 71, 2.
Garis kecenderungan yang diperoleh y = -7,9 . Ln(x) + 600 menunjukkan
adanya kecenderungan menurunnya tegangan kritis dengan makin besarnya angka
kelangsingan batang, dengan nilai R2= 0,633, yang berarti koefisien keragamannya 0,79.
4.5.2. Tegangan Kritis berdasarkan Analisa
Dalam menghitung tegangan kritis secara analitis, maka diperlukan data
mengenai tegangan tekan dan modulus elastisitas bambu tali yang diperoleh dari
penelitian sifat dasar. Adapun data yang dipergunakan meliputi :
a) Tegangan tekan proporsional. Nilai ini diperlukan untuk menghitung batas
kelangsingan antara penggunaan Persamaan Euler dengan Persamaan Tetmayer. Nilai
yang dipergunakan adalah tegangan maksimum ijin, yaitu 12,7 MPa. (Tabel 3.6.).
b) Tegangan tekan karakteristik. Nilai ini dipergunakan untuk menghitung tegangan
kritis berdasarkan Persamaan Tetmayer. Mengingat nilai tegangan kritis ini masih
belum memperhitungkan faktor keamanan, maka nilai tegangan tekan yang
digunakan bukan nilai tegangan tekan ijin, tetapi nilai tegangan tekan karakteristik
yang dihitung dengan Persamaan 3.7. Berdasarkan persamaan tersebut, maka
diperoleh nilai σtk karateristik = 37,97 – 2,464 x 3,71 = 28,7 MPa.
c) Modulus elastistitas (MOE). Nilai modulus elastis digunakan untuk menghitung batas
kelangsingan dan tegangan kritis. Nilai MOE yang dipakai adalah nilai keseluruhan
yaitu 8.368 Mpa. (Lihat Tabel 3.8)
Untuk menghitung tegangan kritis, langkah pertama adalah menghitung batas
kelangsingan dengan Persamaan 4.9.
52
p
batasEσ
πλ .= = π7,12
8368 = 80
Setelah diperoleh nilai batas kelangsingan, maka tegangan kritis dapat
dihitung dengan menggunakan Persamaan Euler pada λ ≥ λbatas, sedangkan pada daerah
λ < λbatas digunakan Persamaan Tetmayer. Pada titik potong yaitu pada λ = 80 dengan
kedua persamaan diperoleh nilai tegangan kritis = 12,7 MPa.
05
1015202530
0 50 100 150 200 250L/r
Teg
(MPa
)
P/A (MPa) Teg Tekuk Ijin (MPa)
Gambar 4.5. Hubungan tegangan kritis terhadap kelangsingan (analitis)
4.5.3. Faktor Tekuk (ω)
Penentuan faktor tekuk dapat dihitung dengan dua cara, yaitu:
(a) secara analitis mengacu pada perhitungan faktor tekuk pada konstruksi kayu yang
hasilnya dapat dilihat pada kolom 2 (ωanalitis) Tabel 4.1.
(b) dengan mengacu pada hasil penelitian empiris terhadap perilaku tekuk bambu (kolom
3 pada Tabel 4.1.)
Dengan menggunakan nilai kuat tekan ijin bambu 12,7 MPa, maka besarnya
tegangan tekuk ijin berdasarkan perhitungan analitis dan berdasarkan perhitungan empiris
dapat dilihat Gambar 4.6. Dari grafik tersebut terlihat bahwa hasil penelitian empiris
cukup aman untuk digunakan, karena pada semua daerah tegangan tekuk ijin lebih kecil
dari P/A.
53
Tabel 4.1. Faktor tekuk pada berbagai angka kelangsingan
L/r ωanalitis ωempiris L/r ωanalitis ωempiris L/r ωanalitis ωempiris 5 1,13 1,06 55 1,77 1,76 105 4,30 2,15
10 1,18 1,20 60 1,88 1,81 110 4,79 2,19 15 1,22 1,30 65 1,99 1,85 115 5,31 2,22 20 1,27 1,38 70 2,13 1,89 120 5,86 2,26 25 1,32 1,45 75 2,28 1,93 125 6,44 2,29 30 1,38 1,51 80 2,46 1,97 130 7,06 2,32 35 1,44 1,57 85 2,78 2,01 135 7,72 2,35 40 1,51 1,62 90 3,12 2,05 140 8,41 2,39 45 1,59 1,67 95 3,47 2,08 145 9,13 2,42 50 1,68 1,72 100 3,85 2,12 150 9,90 2,45
0
10
20
30
40
50
0 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150
L/r
Teg
teku
k (M
Pa)
Ptkn analitis (MPa) Ptkn empiris (MPa)
Gambar 4.6. Hubungan tegangan tekuk ijin terhadap kelangsingan.
Selanjutnya dalam perhitungan kekuatan, akan digunakan faktor tekuk
berdasarkan hasil penelitian empiris.
4.5.4. Gaya Tekan Kritis (Pcr)
Berdasarkan persamaan 4.12. setelah nilai faktor tekuk (ω) diketahui,
besarnya gaya tekan yang dapat diterima buluh bambu dapat dihitung dengan
persamaan : ω
σ AP tkncr
.= ..................................................................................(4.15.)
Dengan nilai ω yang tergantung dari angka kelangsingan dengan
melihat tabel 4.1.
54
4.5.5. Berbagai Bentuk Tekuk
Bentuk tekuk yang terjadi dapat diamati dengan terus melakukan penambahan
beban setelah beban maksimal (Pkritis) tercapai. Dari pengamatan visual yang
dilakukan tampak bahwa ada berbagai kemungkinan pola tekuk yang dapat terjadi,
seperti dapat dilihat pada Gambar 4.7.
(a) (b) (c) (d) (e)
Gambar 4.7. Berbagai pola tekuk yang terjadi Pada Gambar 4.7.(a) tekuk yang terjadi sesuai dengan teori tentang silinder
berdinding tipis, dimana pada sampel ini tidak terdapat buku di tengah. Sementara
pada Gambar 4.7.(b) dan (d) walaupun tidak terdapat buku di tengah sampel, tekuk
yang terjadi pada daerah sekitar 1/3 tinggi sampel bukan tekuk lokal (local buckling).
Sampel pada Gambar 4.7.(c) batang bambu melendut di sekitar buku. Pada sampel
Gambar 4.7.(e) buluh bambu belah pada bagian ujungnya. Pada Gambar 4.7. (a), (b)
dan (e) terlihat dengan jelas bahwa sampel belah.
Berdasarkan hasil pengamatan serta sesuai dengan teori, bahwa walaupun
pada awalnya buluh bambu lurus, jika beban kritis telah terlewati, maka buluh bambu
akan mengalami tekuk, dengan proses tekuk seperti yang ditunjukkan pada foto seri
(Gambar 4.8).
55
Gambar 4.8. Proses terjadinya tekuk (foto seri/periodik)
4.6. Kesimpulan
Berdasarkan analisa perhitungan dan hasil penelitian yang diperoleh, maka
dapat disimpulkan :
1. Berdasarkan hasil perhitungan teoritis dengan mengacu pada Fonrobert et al.
(1960) didapat batas kelangsingan batang λ =80 dimana λ < 80 dapat digunakan
persamaan Euler, sedangkan jika λ > 80 dapat digunakan persamaan Tetmayer.
2. Berdasarkan penelitian empiris terhadap sekitar 100 sampel diperoleh hubungan
antara nilai tegangan kritis terhadap angka kelangsingan yang merupakan fungsi:
y = -7,9.Ln (x) + 60, dimana y = tegangan kritis dan x = angka kelangsingan.
3. Dengan membandingkan antara hasil analisa perhitungan analitis (mengacu pada
Fonrobert et al.) dan hasil analisa terhadap hasil penelitian, terlihat bahwa data
hasil penelitian memberikan hasil yang lebih besar dari nilai analitis, maka hasil
analitis aman untuk digunakan dalam perhitungan struktur.
4. Untuk angka kelangsingan λ < 50, nilai ωanalitis < ωempiris dan untuk λ > 50, nilai
ωanalitis > ωempiris .
5. PERANCANGAN SAMBUNGAN BAMBU
5.1. Pendahuluan
Hasil penelitian tentang sifat fisik dan mekanik bambu yang telah dilakukan,
menunjukkan bahwa bambu, khususnya bambu tali, cukup baik untuk digunakan sebagai
bahan konstruksi. Agar pemanfaatan bambu dapat optimal, maka dibutuhkan sambungan
yang mampu menerima dan meneruskan gaya-gaya yang bekerja, setara dengan kekuatan
buluh bambu. Dalam pemanfaatan bambu sebagai komponen rangka batang ruang,
sambungan memegang peranan penting, mengingat konstruksi ini merupakan konstruksi
yang terdiri dari komponen-komponen yang relatif pendek, sehingga memerlukan banyak
sambungan. Selain itu bentuk sambungan harus dirancang secara khusus, karena satu titik
buhul merupakan pertemuan dari banyak batang.
Perancangan adalah suatu proses yang berawal dari timbulnya kebutuhan manusia.
Oleh karena itu, hasil perancangan harus diusahakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Untuk itu kebutuhan harus didefinisikan dalam suatu formulasi masalah. Berdasarkan
masalah tersebut, kemudian dicari solusi-solusi yang mungkin yang dapat memenuhi
kebutuhan tersebut. Pada dasarnya perancangan terdiri dari serangkaian kegiatan yang
berurutan, sehingga merupakan suatu proses.
Dalam pelaksanaannya proses perancangan memanfaatkan berbagai ilmu seperti:
ilmu teknik, pengetahuan empirik, hasil-hasil penelitian dan informasi serta teknologi yang
terus berkembang (Gambar 5.1.). Proses perancangan selalu diawali dari suatu kebutuhan
akan suatu fungsi. Dalam hal ini, perancangan diarahkan untuk menciptakan sambungan
bambu yang dapat dimanfaatkan sebagai sambungan pada konstruksi rangka batang
ruang.
• Mekanika • Pengetahuan bahan • Bentuk2 sambungan
Pengetahuan proses perancangan
Kebutuhan Sambungan yang dapat menahan tarik & tekan
Produk (bentuk sambungan)
Gambar 5.1. Proses perancangan
57
5.2. Tujuan Perancangan
Perancangan ini bertujuan untuk mencari dan menemukan bentuk serta cara
menghitung dimensi sambungan bambu untuk komponen rangka batang ruang yang dapat
menahan gaya tekan dan tarik pada konstruksi rangka atap.
5.3. Ruang Lingkup Perancangan
Pada perancangan ini dibatasi penggunaan pada bambu tali (Gigantochloa apus
Kurz) dengan diameter 4 cm dan diameter 6 cm untuk konstruksi rangka atap yang
berukuran 3 m x 5 m dengan empat tumpuan dan panjang komponen yang seragam, seperti
Gambar 5.2.
Gambar 5.2. Rangka atap yang direncanakan
5.4. Bahan dan Metode
5.4.1. Bahan
Bahan yang digunakan adalah bambu tali (Gigantocloa apus Kurz) berumur 3 - 5
tahun yang berasal dari daerah Sawangan dengan diameter 4,0 – 4,5 cm dan 6,0 – 6,5 cm.
5.4.2. Metodologi
Sambungan merupakan bagian paling kritis dalam suatu struktur, karena
sambungan harus dapat meneruskan beban. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil
perancangan sambungan yang optimal, perancangan perlu dilakukan dengan teliti secara
bertahap. Adapun tahap-tahap perancangan (Harsokoesoemo, 2000) yang biasa dilakukan
3 x 1 m
4 x
1m
Keterangan gambar : Batang atas Batang diagonal Batang bawah Tumpuan
Daerah titik buhul dengan 8 komponen
58
meliputi lima tahap yaitu :1)Identifikasi kebutuhan; 2) Analisa masalah; 3) Perancangan
konsep; 4) Evaluasi dan 5) Perancangan detail. Selain itu, proses perancangan juga tidak
dapat terlepas dari kegiatan penelitian lain, seperti dapat dilihat pada Gambar 5.3. di bawah
ini.
Gambar 5.3. : Bagan alir tahapan proses perancangan
5.5. Tahap-tahap Perancangan Sambungan
5.5.1. Identifikasi Kebutuhan
Sambungan yang direncanakan merupakan sambungan untuk struktur rangka
batang ruang, sehingga harus memenuhi :
1. Satu titik simpul dapat menggabungkan lebih dari empat komponen.
2. Sambungan harus dapat menerima gaya yang bekerja dan memindahkannya ke buluh
bambu, sebagai bagian utama komponen, baik beban tarik maupun tekan yang terjadi.
3. Masing-masing sambungan harus dilengkapi dengan sebuah baut lengkap dengan mur
yang dapat berputar bebas yang berfungsi sebagai alat sambung.
4. Kekuatan sambungan harus dapat dianalisa secara mekanika.
Perhitungan Struktur Rangka Batang Ruang 3 m x 4 m
Studi Literatur : • Sifat fisik & mekanik Bambu • Sambungan-sambungan Bambu • Rangka batang ruang
Penelitian Pendahuluan : • Sifat fisik & mekanik bambu tali • Perilaku tekuk bambu tali
Perancangan Sambungan
Gaya-gaya batang : gaya tekan dan tarik maksimal
- Identifikasi kebutuhan - Analisa masalah - Perancangan konsep - Evaluasi konsep
DIMENSI SAMBUNGAN
Analisa Mekanika Sambungan
Perancangan Detail
59
5.5.2. Analisa Masalah
Disamping mempunyai beberapa keunggulan, seperti beratnya yang relatif ringan
dan faktor estetika penggunaan bambu sebagai bahan bangunan, bambujuga mempunyai
beberapa kendala, diantaranya :
1. Bambu merupakan bahan bangunan yang bersifat anisotropis, dengan sifat mekanik
terbaik dalam arah longitudinal. Bambu mempunyai kuat tekan dan kuat tarik yang
cukup tinggi, tetapi kuat geser dan kuat belahnya sangat kecil.
2. Bentuk bambu yang mendekati bulat dengan lubang di dalamnya, mempunyai dimensi
yang tidak seragam, baik diameter, tebal dinding, maupun jarak antar buku.
3. Kelurusan bambu terbatas.
5.5.3. Perancangan Konsep
Untuk memenuhi kebutuhan dengan memperhatikan kendala-kendala yang ada,
maka perlu dilakukan langkah-langkah pemecahan masalah dalam rangka pemenuhan
kebutuhan :
1. Pada satu titik sambung dapat terjadi pertemuan lebih dari empat buah batang
(Gambar 5.2.), sehingga sambungan harus dibuat tirus.
2. Sambungan pada titik buhul pada umumnya digunakan ball joint atau pelat yang
dibentuk (Gambar 2.2.). Untuk itu alat sambung yang digunakan adalah baut,
sehingga sambungan yang dibuat dapat menghimpun gaya yang bekerja pada
batang untuk diteruskan pada baut. Untuk itu perlu dipasang pasak kayu pengisi
yang berfungsi untuk meneruskan gaya dari batang bambu ke baut.
3. Baut yang dipasang harus bebas berputar. Untuk itu baut harus diletakkan pada
bagian dalam pasak kayu, yang sudah diberi lubang dengan diameter sedikit lebih
besar daripada diameter baut.
4. Diameter serta tebal dinding bambu tidak seragam, sehingga menyulitkan dalam
pembuatan pasak kayu, terutama jika akan digunakan perekat. Untuk mengatasi hal
itu, diameter luar dipilih yang mendekati seragam. Sementara bagian dinding
sebelah dalam dibubut agar diameter seragam, sehingga pasak kayu dapat direkat
dengan baik ke permukaan bambu bagian dalam.
60
5. Jarak antar buku tidak seragam. Untuk itu, sambungan yang direncanakan harus
tidak terpengaruh oleh keberadaan buku.
6. Kuat belah bambu sangat kecil, sehingga dalam mengerjakan bagian ujung bambu
yang dibuat mengerucut (tirus) diusahakan sesedikit mungkin belah. Selain itu,
pada bagian luar perlu dipasang klem bulat yang dibuat dari pipa besi.
7. Kuat geser bambu kecil, sehingga dalam pembuatan sambungan sedapat mungkin
menggunakan paku atau baut yang dipasang dengan melubangi buluh bambu.
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka ada beberapa bentuk sambungan
yang dapat dikembangkan, diantaranya adalah sambungan bambu yang menggunakan
pengisi kayu yang dikembangkan oleh Duff (Janssen, 1981) yang menggunakan klem
dibagian luarnya (Gambar 2.6.) dan yang dikembangkan oleh Vilalobos (1993) dengan
merekatkan pengisi kayu di bagian dalam,selanjutnya disisipkan pelat dengan bentuk yang
sesuai kebutuhan (Gambar 2.8.).
Dengan memperhatikan sambungan yang telah dikembangkan, maka ada dua
alternatif bentuk sambungan yang mungkin dibuat seperti dapat dilihat pada Gambar 5.4.
di bawah ini.
Sambungan pertama (Gambar 5.4.a.) direncanakan dengan menggunakan kayu
pengisi yang dibubut sesuai dengan diameter dalam bambu. Kayu pengisi ini dibuat bulat
dengan bagian ujung mengerucut (tirus) sementara bagian dalamnya diberi lubang yang
Gambar 5.4. Alternatif sambungan (gambar potongan)
Baut
Mur
Pasak Kayu
Epoxy
Bambu(a) (b)
Klem
61
diameternya sedikit lebih besar dari diameter baut. Selanjutnya kayu pengisi direkatkan
pada bagian dalam bambu.
Sambungan kedua (Gambar 5.4.b.) dirancang dengan mengembangkan sambungan
yang dibuat Duff dengan penambahan perekat antara kayu pengisi dengan bambu serta
penggunaan kayu pengisi yang diberi lubang lebih besar dari diameter baut, sehingga baut
dapat berputar bebas. Selanjutnya, karena sambungan yang rancang harus dapat menahan
beban baik tarik maupun tekan, maka penggunaan baut harus dilengkapi dengan mur.
5.5.4. Evaluasi
Untuk mengevaluasi kedua alternatif sambungan yang direncanakan, maka hal utama
yang perlu diperhatikan adalah fungsi sambungan untuk meneruskan gaya-gaya yang
bekerja.
1. Gaya tekan
Baik pada sambungan pertama, maupun pada sambungan kedua, gaya tekan yang
diterima dari baut akan diteruskan ke mur, yang selanjutnya meneruskan gaya tersebut
ke pasak kayu pengisi. Pada pasak kayu, gaya tekan akan diteruskan ke dinding bagian
dalam batang bambu melalui perekat. Pada waktu gaya diteruskan dari mur ke pasak
pengisi, kemungkinan terjadi geser dalam pasak, mengingat kuat geser kayu dalam
arah sejajar serat rendah. Oleh karena itu, jika pada sambungan kedua diberikan ring,
yang terbuat dari pelat, antara mur dengan kayu pengisi yang diameternya sama dengan
diameter luar bambu yang ditirus, maka gaya tekan dari mur akan diteruskan oleh ring
langsung ke buluh bambu.
2. Gaya Tarik
Baik pada sambungan pertama, maupun pada sambungan kedua, gaya tarik yang
diterima baut, melalui kepala baut akan diteruskan ke pasak kayu pengisi. Pada pasak
kayu, gaya tarik akan diteruskan ke dinding bagian dalam batang bambu melalui
perekat. Seperti halnya pada gaya tekan, kemungkinan terjadi geser dalam pasak. Oleh
karena itu, jika antara kepala baut dengan pasak kayu diberikan ring yang terbuat dari
pelat dengan diameter sama dengan diameter kayu pengisi, maka gaya tarik dari baut
akan diteruskan seluruhnya ke dinding bagian dalam bambu. Jika dibandingkan antara
sambungan pertama dengan kedua, maka untuk menahan gaya tarik, sambungan kedua
62
lebih baik, karena dengan adanya bambu yang mengerucut disertai klem besi di bagian
luar akan lebih kuat dalam menerima gaya tarik.
Berdasarkan evaluasi, maka bentuk sambungan yang baik direncanakan
penyempurnaan sambungan kedua dengan penambahan dua buah ring pelat. Selain itu,
untuk menghindari pecahnya bambu di antara bagian yang lurus dengan bagian yang ditirus
pada saat gaya tekan diteruskan ke buluh bambu, maka penggunaan klem besi
diperpanjang, sehingga bentuk yang direncanakan menjadi seperti pada Gambar 5.5.
Distribusi gaya-gaya yang bekerja pada sambungan
1. Gaya Tekan
P dari titik sambung mula-mula bekerja pada baut, lalu ke mur. Dari mur gaya
dialihkan kepada ring A. Selanjutnya dari ring A gaya diteruskan menjadi gaya tekan
terbagi rata pada buluh bambu seperti terlihat pada Gambar 5.6.
Ring
Ring
Klem
Mur
Perekat
Baut
Bambu
Kayu Pengisi
Gambar 5.5. Sambungan yang direncanakan
Baut
Mur
Pasak Kayu
Ring A
Ring B
Epoxy
Klem besi
Bambu
Gambar 5.6. Distribusi gaya tekan pada sambungan.
Ptekan
63
Besarnya gaya tekan (Ptekan) yang dapat dipikul oleh sambungan dapat dihitung dengan
persamaan 5.1.
ujtekantekan AP .σ= ........................................................................................ (5.1.)
dengan =tekanσ Tegangan tekan ijin bambu
ujA = Luas penampang bambu bagian ujung
Dalam perhitungan besarnya gaya tekan yang dapat dipikul oleh komponen secara
keseluruhan persamaan 5.1. harus dibandingkan dengan besarnya gaya tekan yang
dapat diterima oleh buluh bambu dengan menggunakan persamaan 4.13. Selanjutnya
besarnya gaya yang dapat dipikul dalam perhitungan diambil P yang terkecil di antara P
dari persamaan 4.13 dengan P dari persamaan 5.1.
2. Gaya Tarik :
P dari titik sambung mula-mula bekerja pada baut, lalu oleh ring B gaya diteruskan ke
pasak kayu (menjadi gaya tekan). Selanjutnya melalui perekat epoxy gaya tersebut
dipindahkan ke buluh bambu menjadi gaya geser seperti pada Gambar 5.7.
Besarnya gaya tarik yang dapat diterima oleh sambungan ditentukan oleh besarnya
gaya tarik yang dapat diterima oleh baut, besar gaya geser yang dapat diterima oleh
bidang rekat (antara kayu pengisi dan dinding sebelah dalam bambu), serta besarnya
gaya yang dapat diterima oleh bambu bagian dalam. Penelitian yang dilakukan oleh
Suhartono (2002) dalam Morisco (2005) tentang kuat geser bidang rekat antara kayu
Ptarik
Baut
Mur
Pasak Kayu
Ring A
Ring B
Epoxy
Klem besi
Bambu
Gambar 5.7. Distribusi gaya tarik pada sambungan
64
pengisi dan dinding sebelah dalam bambu, menggunakan perekat epoksi, memperoleh
hasil kuat geser 3 MPa sementara kuat geser dinding bambu bagian dalam diperoleh
nilai 2,5 MPa.
P = π.d.h.τ dengan P = Kekuatan tarik sambungan (kg)
d = Diameter dalam buluh bambu (cm)
h = Panjang bidang geser (cm)
τ = Tegangan geser ijin buluh bambu (kg/cm2)
5.6. Perancangan Detail
5.6.1. Perhitungan Struktur
Perhitungan struktur dilakukan dengan SAP 2000 untuk rangka atap berukuran 3 m
x 4 m dengan empat tumpuan; seperti pada Gambar 5.8. Untuk struktur tersebut
dibutuhkan 98 batang yang terdiri dari 31 batang atas, 17 batang bawah dan 58 batang
diagonal, dengan 32 titik buhul.
Dalam perhitungan struktur tersebut beban yang diperhitungkan diambil sesuai dengan
SNI 03-1727-1989 tentang Tata Cara Perencanaan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung.
Beban yang diperhitungkan adalah :
1) Berat sendiri :
Penutup atap = 15 kg/m2
Gording = 3 kg/m
Gambar 5.8. Bentuk rangka batang ruang yang direncanakan.
65
2) Beban hidup = 100 kg/m2
3) Beban angin untuk atap miring sepihak (dengan 0≤α ≤ 100) = 1,2 x 25 kg/m2
Dengan menentukan panjang batang seragam yaitu satu meter, maka diperoleh hasil seperti
pada Tabel 5.1.
Batasan:
1. Baut yang digunakan berdiameter 6 mm, dengan panjang 20 cm, lengkap dengan mur
(hexanut).
2. Ring A dan ring B terbuat dari pelat baja dengan ketebalan 2 mm. Untuk bambu
berdiameter (D) 4- 4,5 cm digunakan ring berdiameter 2,9 cm dengan lubang 8 mm di
tengahnya. Untuk bambu berdiameter (D) 6-6,5 cm digunakan ring berdiameter 5,9 cm
dengan lubang berdiameter 8 mm di tengahnya.
Tabel 5.1. Besar gaya (kg) pada masing-masing komponen
No. Nomor posisi komponen
Keterangan komponen atas bawah diagonal1 1,4,5,9,23,27,28,31 + 30 - - 2 2,3,29,30 - 50 - - 3 6,7,8,10,13,19,22,25,25,26 + 30 - - 5 11,12,20,21 - 60 - - 5 15,15,17,18 - 10 - - 6 16 + 20 - - 7 101,103,115,117 - - 20 - 8 102,109,116 - + 50 - maximum tarik 9 105,105,1006,107,111,112, 113,115 - 0 -
10 108,110 - + 10 - 11 201,208,251,258 - - - 70 12 202,207,210,215,235,239, 252,257 - - - 120 maksimum tekan
13 203,206,253,256 - - + 50 maximum tarik 15 205,205,255,255 - - - 30 16 209,216,233,250 - - - 80 17 211,215,235,238 - - + 30 18 212,213,236,237 - - - 20 19 217,225,225,232 - - + 10 20 218,223,226,231 - - 0 21 219,222,227,230 - - + 20 22 220,221,228,229 - - - 10
Keterangan : + : Gaya tarik - : Gaya tekan
66
3. Bambu yang berdiameter (D) 4 – 4,5 cm, agar diameter dalamnya seragam dibubut pada
bagian ujung dalamnya sehingga diameter dalamnya (d) menjadi 3 cm.
4. Bambu yang berdiameter (D) 6 – 6,5 cm, agar diameter dalamnya seragam dibubut
pada bagian ujung dalamnya sehingga diameter dalamnya (d) menjadi 5 cm.
5. Pasak dibuat dari kayu meranti merah (Shorea sp.)yang termasuk kelas kuat II ( tkσ =
85 kg/cm2.
Perhitungan Dimensi Sambungan 1. Gaya tekan maksimum (P = 120 kg)
Kontrol terhadap tekuk :
σ tk = AP.ω < σ tk = 129 kg/cm2
2. Gaya Tarik Maksimum (P =50 kg)
a. Kontrol pasak kayu :
σtk = A
Pbek < tkσ = 85 kg/cm2
b. Tegangan geser yang bekerja = 2/25..
cmkghD
P=≤= τ
πτ
Berdasarkan hasil perhitungan (perhitungan lengkap dapat dilihat pada Lampiran 10,
halaman 103), dimensi yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Dimensi sambungan (hasil perhitungan)
Gaya yang bekerja bambu φ 4 cm bambu φ 6 cm Tekan maksimum (120kg) d = 3 cm d =5 cm Tarik maksimum (50 kg) h = 5 cm h = 3 cm
d
h
Keterangan : σtk = Tegangan tekan (kg/cm2) τ = Tegangan geser (kg/cm2) ω = Faktor tekuk Pbek = Gaya yang bekerja (kg) A = Luas penampang (cm2) D = Diameter luar (cm) d = Diameter dalam (cm) h = Panjang bidang geser (cm)
D Gambar 5.9. Dimensi sambungan
67
5.7. Kesimpulan
1. Bambu tali dapat dimanfaatkan untuk pembuatan rangka atap prefabrikasi dengan
konstruksi rangka batang ruang menggunakan alat sambung baut.
2. Untuk rangka atap sederhana berukuran 3 m x 4 m dengan empat tumpuan dan
panjang masing-masing komponen 100 cm dapat dipergunakan bambu tali
berdiameter 4 cm maupun 6 cm. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh panjang
bidang geser (h) untuk bambu berdiameter 4 cm dan 6 cm berturut-turut 5 cm dan 3
cm.
3. Kuat geser bambu bagian dalam sangat kecil. Oleh karena itu, dalam perhitungan
dimensi sambungan yang dirancang, nilai paling kritis adalah pada perhitungan
bidang geser.
4. Sambungan dengan pasak, baut dan ring termasuk kategori produk hasil inovasi.
Inovasi bukan hanya pada detail sambungan, tetapi juga pada cara kerja (distribusi
gaya) serta cara perancangan dimensi yang dapat dihitung berdasarkan besarnya
gaya yang bekerja serta sifak fisik dan mekanik bambu.
6. EVALUASI KEKUATAN KOMPONEN
6.1. Pendahuluan
Pada dasarnya kekuatan komponen merupakan bagian terpenting dalam
perencanaan konstruksi rangka batang ruang, karena jika komponen tidak dapat
menahan beban yang bekerja, maka hal ini berarti kegagalan pada seluruh struktur.
Kekuatan komponen meliputi kekuatan batang dan kekuatan sambungan. Oleh karena
itu, dalam perencanaan struktur rangka batang maka kekuatan yang harus
diperhitungkan meliputi dimensi batang serta dimensi sambungan.
Dalam pemanfaatan bambu sebagai komponen pada konstruksi rangka batang
ruang, maka perhitungan kekuatan harus memperhitungkan kekuatan buluh bambu
berdasarkan dimensinya. Selanjutnya sambungan yang berfungsi untuk meneruskan
beban juga harus direncanakan dimensinya sesuai dengan beban yang akan dipikulnya.
6.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menghitung kekuatan maksimum yang dapat
diterima oleh komponen dengan memperhitungkan kekuatan buluh bambu dan
kekuatan sambungan. Selanjutnya hasil perhitungan teoritis dibandingkan dengan hasil
penelitian empiris.
6.3. Ruang Lingkup Penelitian
Untuk perhitungan kekuatan komponen, perhitungan dibatasi pada pemanfaatan
bambu tali dengan diameter 4 cm dan 6 cm dengan panjang 100 cm dan 125 cm.
Selanjutnya dalam penelitian ekperimen yang dilakukan dibatas hanya pada pemakaian
bambu berdiameter 4 cm dengan panjang sampel 60 cm.
6.4. Bahan dan Metode
6.4.1. Bahan dan Alat
Pada perhitungan teoritis digunakan bambu tali dengan diameter 4 cm dan 6 cm
dengan panjang 100 cm dan 125 cm, sedangkan pada penelitian empiris digunakan
bambu tali berdiameter 4 cm dengan panjang 60 cm.
Untuk pengujian empiris terhadap kekuatan sambungan, dibuat sampel
menggunakan bambu tali berdiameter 4 cm yang berasal dari Depok, Bogor, dengan
baut berdiameter 6 mm, lengkap dengan mur, ring yang terbuat pelat baja dengan tebal
2 mm serta kayu kayu meranti merah (Shorea sp.) sebagai pasak (Gambar 6.1.).
69
Gambar 6.1. Sampel yang diuji (gambar tampak)
Alat yang digunakan untuk pengujian kekuatan sambungan adalah Universal
Testing Machine (UTM) Senstar pada Laboratorium Pengujian Bahan Bangunan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Departemen Pekerjaan Umum, Cileunyi,
Bandung.
6.4.2. Metodologi
Kekuatan komponen ditentukan dengan menghitung beban yang dapat ditahan
oleh buluh bambu serta kekuatan sambungan yang direncanakan. Beban yang dihitung
adalah beban yang dapat dipikul oleh komponen rangka batang ruang, baik gaya tekan
maupun gaya tarik. Kekuatan sambungan dihitung dengan analisa mekanika.
(1) Kekuatan Tarik Komponen dihitung dengan menggunakan tiga persamaan; yaitu :
(a) Kekuatan tarik buluh bambu
P1 = A . tarikσ ……………………………………………………… (6.1.)
dengan : P1 = Kekuatan tarik buluh bambu (kg)
A = Luas penampang (cm2)
tarikσ = Tegangan tarik ijin bambu (kg/cm2)
(b) Kekuatan tarik sambungan
P2 = π.d.h.τ ………………………………………………………… (6.2.)
dengan P2 = Kekuatan tarik sambungan (kg)
d = Diameter dalam buluh bambu (cm)
h = Panjang bidang geser (cm)
τ = tegangan geser ijin buluh bambu (kg/cm2)
(c) Kekuatan tekan pasak kayu
P3 = π.(d12-d2
2). σ tk ............................................................................. (6.3.)
dengan P3 = Kekuatan tekan pasak kayu
σ tk = Tegangan tekan ijin kayu (kg/cm2)
d1 = Diameter luar pasak (cm)
d2 = Diameter lubang pasak (cm)
Selanjutnya kuat tarik komponen yang dipergunakan adalah nilai terkecil
di antara P1, P2 dan P3 berdasarkan hasil perhitungan.
70
Berdasarkan hasil pengujian sifat dasar bambu, diketahui bahwa kuat tarik
sebesar 57 MPa, jauh lebih besar dari kuat geser yang hanya sebesar 2,5 MPa, maka
dalam perhitungan kuat tarik komponen Persamaan 6.1. tidak diperhitungkan. Hal
ini mengingat nilai dipilih adalah nilai yang terkecil. Oleh karena itu, dalam
perhitungan kuat tarik komponen, Persamaan 6.1. dapat diabaikan.
(2) Kuat Tekan Komponen
Perhitungan kekuatan tekan komponen didasarkan pada peri laku tekuk buluh
bambu, sehingga yang menjadi acuan adalah persamaan 4.12.
tkcr AP σωσ ≤=
. , sehingga P = ωσ tekanA. ...................................................... (6.4.)
6.5. Analisis
Analisis data dikelompokkan menjadi dua; yaitu (1) perhitungan analisa teoritis
terhadap kekuatan tarik dan kekuatan tekan maksimum yang dapat dibebankan pada
komponen dan (2) perhitungan analisa kekuatan sampel berdasarkan teori yang
kemudian dibandingkan dengan kekuatan komponen berdasarkan ekperimen yang
dilakukan.
Untuk analisa teoritis, bambu berdiameter 4 cm dan 6 cm digunakan baut
berdiameter 6 mm dengan panjang baut maksimum diasumsikan 20 cm. Berdasarkan
hal tersebut dalam perhitungan kekuatan maksimum komponen akan dibatasi dengan h
(tinggi bidang geser) maksimum sebesar 10 cm.
Untuk perhitungan kekuatan sampel digunakan h = 5 cm (Gambar 6.2.),
sehingga dalam analisa perhitungan selain dihitung h maksimum, dihitung juga
besarnya beban yang dapat diterima komponen jika h = 5 cm dengan panjang
komponen 100 cm dan diameter bambu 4 cm.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian eksperimen dianalisa dengan statistik
deskriptif sederhana yang meliputi nilai rata-rata, maksimum, minimum, standar
deviasi dan koefisien variasi. Selanjutnya data kuat tekan dan kuat tarik komponen hasil
penelitian dibandingkan dengan kekuatan komponen hasil perhitungan.
71
6.6. Hasil dan Pembahasan
Perhitungan kekuatan kekuatan komponen secara analisis dengan
memperhatikan sifat fisik dan mekanik bambu (Bab 3) serta dimensi sambungan
maksimum yang dapat dibuat, maka kekuatan maksimal komponen dapat dihitung.
Dalam perhitungan kekuatan maksimal sampel, diasumsikan bahwa panjang baut yang
tersedia 20 cm, sehingga panjang bidang geser maksimal yang dapat dibuat adalah 10
cm. Dengan memasukkan data sambungan pada Persamaan 6.2. sampai 6.4, maka
diperoleh kekuatan maksimal komponen seperti terlihat pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Kekuatan maksimal komponen berdasarkan perhitungan
Dimensi D = 6 cm, L = 100 cm
D = 6 cm, L = 125 cm
D = 4 cm, L = 100 cm
D = 4 cm, L = 125 cm Sampel*) Satuan
D = 6,00 6,00 4,00 4,00 4,00 cm t = 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 cm L = 100,00 125,00 100,00 125,00 60,00 cm A = 8,64 8,64 5,50 5,50 5,50 cm2 I = 32,92 32,92 8,59 8,59 8,59 cm4 r = 1,95 1,95 1,25 1,25 1,25 cm E 8300,00 8300,00 8300,00 8300,00 8300,00 kg/cm2 σtkn 127,00 127,00 127,00 127,00 127,00 kg/cm2 λ 51,21 64,02 80,00 100,00 48,00 ω 1,73 1,84 1,97 2,12 1,70
Ptekan hit= 922,38 867,24 501,43 465,95 581,07 kg σtrk 600 600 600 600 600 kg/cm2
Ptarik buluh 5181,00 5181,00 3297,00 3297,00 3297,00 kg τ 25,00 25,00 25,00 25,00 25,00 kg/cm2 h 10 10 10 10 5 cm
Ptarik geser 3925,00 3925,00 2355,00 2355,00 1177,50 kg
t =0,5cm
5cm
D =4 cm
d=3cm
baut φ 6mm
Gambar 6.2. Sampel yang diuji (ambar potongan)
h=5cm
*) dimensi sampel : D = 4 cm, L = 100 cm dan h = 5 cm
72
Berdasarkan hasil pengujian tarik dan tekan terhadap sampel yang berupa
Berdasarkan hasil pengujian tarik dan tekan terhadap sampel yang berupa komponen,
diperoleh hasil yang dapat dilihat pada Tabel 6.2., sementara data lengkap hasil
pengujian dapat dilihat pada Lampiran 12.
Tabel 6.2. Data pengujian kekuatan komponen
max min rata-rata n SD CV(%) P tarik (kg) 1515 1041 1284 8 157,6 12,3 P tekan (kg) 3349 2356 2776 8 413,3 14,9
Dalam perhitungan kuat tarik komponen sampel didapat 1.177,5 kg,
sementara dari hasil pengujian terhadap sampel didapat tiga buah sampel yang nilai
kuat tariknya di bawah hasil perhitungan. Hal ini diduga karena kurang sempurnanya
pembuatan sampel, yaitu tidak terpasangnya ring pada bagian bawah pasak kayu. Hal
ini terlihat dari bentuk kerusakan seperti terlihat pada Gambar 6.3.(a). Pada kasus ini
terlihat bahwa kerusakan sambungan terjadi pada hancurnya pasak kayu.
Secara umum, berdasarkan nilai rata-rata kekuatan tarik sampel sebesar 1284
kg yang berarti lebih besar dari hasil pehitungan sebesar 1.177,5 kg. Pada kelompok
sampel dengan kuat tarik yang besar kerusakan sampel terjadi pada dinding bambu
sebelah dalam seperti terlihat pada Gambar 6.3.(b).
Dalam perhitungan kuat tekan komponen, pada sampel diperoleh nilai kuat
tekan sebesar 395 kg, sementara dari hasil pengujian diperoleh nilai rata-rata 2.776 kg
dengan nilai kuat tekan minimum sebesar 2.356 kg. Hal ini berarti faktor keamanannya
cukup besar.
(a) (b)
Gambar 6.3. Kerusakan pada sampel uji tarik.
73
6.7. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kekuatan hasil perhitungan secara
teoritis serta kekuatan hasil pengujian, maka dapat disimpulkan :
1. Nilai kuat tarik hasil perhitungan dalam penggunaan perlu diperhitungkan faktor
keamanan, karena nilai yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian sampel ada
beberapa nilai yang di bawah nilai kuat tarik hasil perhitungan.
2. Nilai kuat tekan komponen hasil perhitungan teoritis cukup aman digunakan,
karena jika dibandingkan dengan nilai rata-rata hasil pengujian, diperoleh faktor
keamanan lebih dari 4.
3. Dalam pembuatan komponen harus dilakukan dengan teliti, mengingat kekuatan
sambungan, terutama kuat tarik sangat ditentukan oleh kelengkapan detail
sambungan.
7. PERANCANGAN MODEL-MODEL RANGKA BATANG RUANG
7.1. Pendahuluan
Dalam konstruksi rangka batang ruang yang pada umumnya digunakan untuk
rangka atap, ada banyak bentuk dan bentang yang dapat dibuat. Bentuk-bentuk itu dapat
dikembangkan baik berdasarkan kebutuhan, maupun berdasarkan pada segi estetika.
Bentuk rangka batang yang berbeda, maupun bentang yang berbeda akan menghasilkan
besarnya gaya-gaya batang yang berbeda.
Dalam penelitian ini akan dikembangkan beberapa bentuk rangka batang ruang
untuk struktur atap sederhana. Selanjutnya dengan menggunakan program analisa struktur
akan dianalisa besarnya gaya-gaya aksial pada batang yang timbul. Untuk mengetahui
layak tidaknya rangka batang tersebut akan diamati besarnya gaya aksial maksimum dan
gaya aksial minimum. Gaya aksial maksimum pada batang merupakan gaya tarik terbesar
yang bekerja pada komponen batang, sedangkan gaya aksial minimum gaya tekan
maksimum.
7.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjajagi kemungkinan penggunaan bambu
tali dengan bentuk dan ukuran sambungan yang direncanakan untuk dimanfaatkan dalam
model-model rangka ruang yang direncanakan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perlu dilakukan beberapa tahap
penelitian yang bertujuan untuk:
1. Mengembangkan model-model rangka batang ruang dan menggambarkannya secara
detail untuk keperluan analisa.
2. Dengan menggunakan program analisa struktur model-model tersebut dihitung
besarnya gaya-gaya batang yang timbul.
3. Berdasarkan besarnya gaya tarik dan gaya tekan maksimum yang timbul pada
masing-masing model, dibandingkan terhadap gaya tarik dan gaya tekan maksimum
yang dapat dipikul oleh komponen.
7.3. Pengembangan Model-model Rangka Batang Ruang
Dalam penelitian ini dikembangkan empat macam model rangka batang ruang.
Masing-masing model akan dianalisa untuk penggunakan dua ukuran diameter bambu yang
75
akan digunakan yaitu bambu berdiameter luar 4 cm dan bambu dengan diameter luar 6 cm.
Hal ini berarti untuk masing-masing model dilakukan dua kali analisa.
Adapun bentuk-bentuk model rangka batang ruang yang dikembangkan:
1) ST.1 : strukur atap 3 m x 4 m dengan 4 tumpuan dan panjang komponen 1 m (Gambar
7.1.a)
2) ST.2 : struktur atap berukuran 3,75 m x 5 m dengan empat tumpuan,panjang
komponen 1,25 m (Gambar 7.1.b)
3) ST.3 : struktur atap berukuran 4 m x 4 m, panjang komponen 1 m (Gambar 7.1.c.)
4) ST.4 : struktur atap 3 m x 4 m overstek dengan 9 tumpuan pada dinding tanpa kolom
dengan panjang komponen 1 m (Gambar 7.1.d.)
Gambar 7.1. Model-model rangka batang ruang
4 x 1 m
4 x
1 m
A B C D E
F G H
K L M O
P T
SR Q
a b c d
e f g h
i j k
c. ST 3
l
m n o p
I J
N
U V W X Y
d. ST 4 3 x1m
4 x
1m
3 x 1,25 m 4
x 1
m
A B D
E F G H
I J K L
M N O P
T SR Q
a b
c
d e f
g h i
j k l
b. ST2 4
x 1,
25m
3 x 1 m
4 x
1 m
A B C D
E F G H
I J K L
M N O P
T SR Q
a b
c
d e f
g h i
j k l
a. ST 1
76
7.4. Analisa Perhitungan Gaya-gaya Batang
Analisa perhitungan dilakukan dengan memasukkan sifat dasar bambu dengan
menggunakan dua macam profil pipa dengan material bambu yaitu BAMBU1 untuk bambu
berediameter 4 cm dan BAMBU2 untuk bambu berdiameter 6 cm dengan tebal dinding 0,5
cm (Gambar 7.2.).
Gambar 7.2. Pendefinisian profil yang digunakan
Dalam perhitungan analisa struktur diperhitungkan beban mati (berat sendiri),
beban hujan dan beban pekerja serta alat. Mengingat beban hujan dan beban pekerja
(termasuk alat) kemungkinan terjadi bersamaan sangat kecil, maka untuk analisa dibuat dua
macam kombinasi pembebanan yaitu :
- Kombinasi 1 : beban mati dan beban hidup
- Kombinasi 2 : beban mati, beban hidup , beban angin depan
- Kombinasi 3 : beban mati, beban hidup , beban angin belakang
Keempat bentuk struktur rangka batang ruang dianalisa dua kali; yaitu untuk penggunaan
bambu berdiameter 4- 4,5 cm dan bambu berdiameter 6 – 6,5 cm.
7.4.1 Rangka Batang ST1 dan ST2
Rangka batang ST1 dan ST2 pada dasarnya adalah sebangun, sehingga penomor
joint dan penomoran batang dapat disamakan. Dengan beban yang arah dan titik kerjanya
sama maka pembahasan akan digabungkan. Dalam menganalisa rangka batang ruang ST1
dan ST2 dengan program analisa struktur, digunakan penomoran joint dan penomoran
batang seperti pada Gambar 7.3. dan 7.4.
Hasil analisa struktur ST1 dengan profil BAMBU1 diperoleh hasil gaya aksial yang
bekerja pada masing-masing komponen seperti terlihat pada Gambar 7.5. Warna merah
menunjukkan gaya tekan (negatif) dan warna biru menunjukkan gaya tarik (positif).
77
Gambar 7.3. Penomoran Joint pada ST1 dan ST2 (tampak atas)
Gambar 7.4. Penomoran batang pada ST1 dan ST2 (tampak atas)
Gambar 7.5. Gaya-gaya aksial pada ST1 (isometri)
78
Besarnya gaya batang maksimum tekan dan maksimum tarik yang bekerja pada
masing-masing komponen pada struktur rangka ST1 dan ST2 sebagai hasil perhitungan
dengan program analisa struktur dapat dilihat pada Tabel 7.1. Pada tabel tersebut juga
ditunjukkan nomor batang dimana gaya tekan maksimum dan gaya tarik maksimum
bekerja. Secara umum gaya batang maksimum terjadi pada kasus kombinasi 2 (COMB2)
yaitu pada struktur dibebani berat sendiri, beban hidup dan beban angin depan.
Tabel 7.1. Besarnya gaya maksimum pada ST1 dan ST2
Bentuk Rangka
Profil Tarik Max Tekan Max (kg) No. Batang (kg) No. Batang
ST1 BAMBU 1 64,61 89 & 95 -178,57 8, 11, 38 & 41
BAMBU 2 65,59 89 & 95 -181,47 8, 11, 38 & 41
ST2 BAMBU 1 90,99 89 & 95 -251,68 8, 11, 38 & 41 BAMBU 2 92,22 89 & 95 -255,13 8, 11, 38 & 41
Jika dibandingkan dengan nilai maksimum tarik dan maksimum tekan yang dapat
dipikul komponen (Tabel 6.1.), maka struktur ST1 dan ST2 dapat dibangun dengan
bambu berdiameter 4 cm. Hal ini berarti bahwa struktur ini juga dapat dibuat dengan
bambu berdiamter 6 cm.
Suatu struktur yang dibebani akan mengalami deformasi, hasil analisa struktur
terhadap rangka batang ruang ST1 dan ST2 dapat menunjukkan deformasi yang terjadi
pada struktur, seperti dapat dilihat pada Gambar 7.6. dan nilai deformasi terbesar yang
terjadi pada sumbu x (U1), sumbu y (U2) dan sumbu Z (U3) dapat dilihat pada Tabel 7.2.
Tabel ini juga menunjukkan letak joint yang mengalami deformasi terbesar.
Gambar 7.6. Pola deformasi rangka ST1 dan ST2
79
Tabel 7.2. Deformasi maksimal pada ST1 dan ST2
Bentuk Rangka
U1 max U2 max U3 max (m) No Joint (m) No Joint (m) No Joint
ST1B1 1,8 . 10-5 12 1,4 .10-5 6 0 -1,8 . 10-5 9 -1,4 .10-5 15 -1,28.10-4 9 &12
ST1B2 1,1 . 10-5 12 9,2 .10-6 6 0 -1,1 . 10-5 9 -9,2 .10-6 15 -8,3.10-5 9 &12
ST2B1 3,1 . 10-5 12 2,5 .10-5 6 0 -3,1 . 10-5 9 -2,5 .10-5 15 -2,26.10-4 9 &12
ST2B2 2 . 10-5 12 1,6 .10-5 6 0 -2 . 10-5 9 -1,6 .10-5 15 -1,45.10-4 9 &12
Merujuk pada Tabel 7.2., terlihat bahwa deformasi maksimal pada seluruh arah
terjadi pada ST2B1, yaitu rangka batang ruang dengan panjang komponen 1,25 m yang
menggunakan bambu berdiameter 4 cm; yaitu pada z dengan besar deformasi -2,26.10-
4m atau sama dengan 0,226 mm. Hal ini berarti bahwa penurunan yang terjadi kecil.
7.4.2. Rangka Batang ST3
Rangka batang ST3 adalah rangka berbentuk bujur sangkar berukuran 4m x 4m
yang disusun dari komponen bambu sepanjang 1m. Dalam menganalisa rangka batang
ruang ST3 dengan program analisa struktur, digunakan penomoran joint dan penomoran
batang seperti pada Gambar 7.7. dan Gambar 7.8.
Gambar 7.7. Penomoran Joint ST3 (tampak atas)
80
Gambar 7.8. Penomoran batang ST3 (tampak atas)
Hasil analisa struktur ST3 dengan profil BAMBU1 diperoleh hasil gaya aksial yang
bekerja pada masing-masing komponen seperti terlihat pada Gambar 7.9. Warna merah
menunjukkan gaya tekan (negatif) dan warna biru menunjukkan gaya tarik (positif).
Gambar 7.9. Output gaya-gaya aksial batang pada ST3 (isometri)
Besarnya gaya batang maksimum tekan dan maksimum tarik yang bekerja pada
masing-masing komponen pada struktur rangka ST3 sebagai hasil perhitungan dengan
program analisa struktur dapat dilihat pada Tabel 7.3. Pada tabel tersebut juga
ditunjukkan nomor batang dimana gaya tekan maksimum dan gaya tarik maksimum
81
bekerja. Secara umum gaya batang maksimum terjadi pada kasus kombinasi 2 (COMB2)
yaitu pada struktur dibebani berat sendiri, beban hidup dan beban angin depan.
Tabel 7.3. Besarnya gaya maksimum pada ST3
Bentuk Rangka
Profil Tarik Max Tekan Max (kg) No. Batang (kg) No. Batang
ST3 BAMBU 1 76,24 106, 115, 118 & 127 -238,44 50 & 55
BAMBU 2 77,47 106, 115, 118 & 127 -242,37 50 &55
Jika dibandingkan dengan nilai maksimum tarik dan maksimum tekan yang dapat
dipikul komponen (Tabel 6.1.), maka struktur ST3 dapat dibangun dengan bambu
berdiameter 4 cm. Hal ini berarti bahwa struktur ini juga dapat dibuat dengan bambu
berdiamter 6 cm.
Hasil analisa struktur terhadap rangka batang ruang ST3 dapat menunjukkan
deformasi yang terjadi pada struktur, seperti dapat dilihat pada Gambar 7.10. dan nilai
deformasi terbesar yang terjadi pada sumbu x (U1), sumbu y (U2) dan sumbu Z (U3)
dapat dilihat pada Tabel 7.4. Tabel ini juga menunjukkan letak joint yang mengalami
deformasi terbesar.
Tabel 7.4. Deformasi maksimum pada ST3
Bentuk Rangka
U1 max U2 max U3 max (m) No Joint (m) No Joint (m) No Joint
ST3B1 1,2 . 10-5 7 & 17 1,2 .10-5 7 & 9 0 -1,2 . 10-5 9 & 19 -1,2 .10-5 17 & 19 -1,1.10-4 13
ST3B2 7,9 . 10-6 7 & 17 7,9 .10-6 7 & 9 0 -7,9 . 10-6 9 & 19 -7,9.10-6 17 & 19 -7,1.10-5 13
Gambar 7.10. Pola deformasi rangka ST3
82
Merujuk pada Tabel 7.4., terlihat bahwa deformasi yang terjadi pada ST3 , yaitu
dalam arah sumbu x dan sumbu y simetris, sedangkan pada sumbu z deformasi maksimal
terjadi pada bagian tengah struktur yaitu joint nomor 13. Deformasi maksimal secara
keseluruhan terjadi pada arah sumbu y; yaitu pada struktur rangka batang ruang yang
menggunakan bambu berdiameter 4 cm dengan besar deformasi -1,1.10-4m atau sama
dengan 0,109 mm. Hal ini berarti bahwa penurunan yang terjadi kecil.
7.4.3. Rangka Batang ST4
Rangka batang ST4 pada dasarnya adalah sebangun dengan ST1. Perbedaan terletak
pada tumpuannya. Pada ST1 terdapat empat tumpuan ke bawah, sementara pada ST4
terdapat 9 tumpuan pada satu bidang. Dalam menganalisa rangka batang ruang ST4 dengan
program analisa struktur, digunakan penomoran joint dan penomoran batang seperti pada
Gambar 7.11. dan 7.12.
Hasil analisa struktur ST4 dengan profil BAMBU1 diperoleh hasil gaya aksial yang
bekerja pada masing-masing komponen seperti terlihat pada Gambar 7.13. Warna merah
menunjukkan gaya tekan (negatif) dan warna biru menunjukkan gaya tarik (positif).
Gambar 7.11. Penomoran Joint ST4(tampak atas)
83
Gambar 7.12. Penomoran batang ST4 (tampak atas)
Gambar 7.13. Output gaya-gaya aksial batang pada ST4 (isometri)
Besarnya gaya batang maksimum tekan dan maksimum tarik yang bekerja pada
masing-masing komponen pada struktur rangka ST4 sebagai hasil perhitungan dengan
program analisa struktur dapat dilihat pada Tabel 7.5. Pada tabel tersebut juga
ditunjukkan nomor batang dimana gaya tekan maksimum dan gaya tarik maksimum
bekerja. Secara umum gaya batang maksimum terjadi pada kasus kombinasi 2 (COMB2)
yaitu pada struktur dibebani berat sendiri, beban hidup dan beban angin depan.
84
Tabel 7.5. Besarnya gaya maksimum pada ST4
Bentuk
Rangka Profil Tarik Max Tekan Max
(kg) No. Batang (kg) No. Batang
ST4 BAMBU 1 546,28 55 -867,23 80 & 89
BAMBU 2 553,58 55 -878,76 80 &89
Jika dibandingkan dengan nilai maksimum tarik dan maksimum tekan yang dapat
dipikul komponen (Tabel 6.1.), maka struktur ST4 tidak dapat dibangun dengan bambu
berdiameter 4 cm, karena pada beberapa batang selain pada beban maksimum besarnya
tekan yang terjadi melebihi beban maksimum tekan yang dapat dipikul. Walaupun begitu
struktur ini dapat dibuat dengan bambu berdiamter 6 cm.
Untuk mengatasi masalah dalam penggunaan bambu berdiameter 4 cm, maka
untuk rangka ruang ST4 dirancang menggunakan campuran bambu berdiameter 6 cm dan
bambu berdiameter 4 cm. Secara umum komponen dibuat dari bambu berdiameter 4 cm,
bambu berdiameter 6 cm digunakan hanya pada batang yang berdasarkan hasil analisa
struktur menerima beban tekan yang cukup besar. Untuk itu, bambu berdiameter 6 cm
digunakan pada batang-batang nomor 80, 81, 83, 84, 85, 86, 87, 89 dan 90. Struktur
gabungan (Gambar 7.14.) yang menggambarkan kombinasi penggunaan profil batang;
yaitu berdiameter 4 cm dan bambu berdiameter 6 cm.
Gambar 7.14. Kombinasi penggunaan bambu berdiameter 4 cm (warna hijau) dan 6 cm (warna biru) pada ST4 Hasil analisa struktur ST4 terhadap penggunaan variasi profil, menunjukkan
struktur cukup kuat untuk dapat memikul gaya-gaya batang yang timbul. Penggunaan
85
variasi bambu berdiameter 6 cm untuk batang yang menerima gaya tekan besar selain
untuk memperkuat struktur juga dapat memberikan nilai estika lebih.
Hasil analisa struktur terhadap rangka batang ruang ST4 dapat menunjukkan
deformasi yang terjadi pada struktur, seperti dapat dilihat pada Gambar 7.15. dan nilai
deformasi terbesar yang terjadi pada sumbu x (U1), sumbu y (U2) dan sumbu Z (U3)
dapat dilihat pada Tabel 7.6. Tabel ini juga menunjukkan letak joint yang mengalami
deformasi terbesar.
Tabel 7.6. Deformasi maksimum pada ST4
Rangka Profil U1 max U2 max U3 max
(m) No Joint (m) No
Joint (m) No Joint
ST4 Bambu 2 1,2 .10-4
-1,4 .10-4 12 32
1,8 .10-5
-1,8 .10-5 20 4
0 -1,4.10-3
4 &20
Gabungan 1,8 .10-4
-1,5 .10-4 12 32
2,8 .10-5
-2,8 .10-5 20 4
0 -1,2.10-3
4 &20
Merujuk pada Tabel 7.6., terlihat bahwa deformasi maksimal pada 3 arah yang
terjadi pada arah z sebesar 1,4 mm pada ST4 yang dibuat dengan profil bambu seragam
berdiameter 6 cm. Pada arah x dan y terlihat bahwa deformasi yang terjadi pada struktur
gabungan lebih besar dari struktur dengan profil seragam bambu berdiameter 6 cm.
Walaupun begitu pada struktur gabungan deformasi arah z lebih kecil yaitu 1,2 mm.
Gambar 7.15. Pola deformasi rangka ST4
86
7.5. Kesimpulan
Dengan memperhatikan beban maksimum yang timbul dengan besar beban yang
dapat dipikul berdasarkan hasil perhitungan teoritis, maka dapat disimpulkan :
1. Bambu tali dengan diameter 4 cm dengan bentuk sambungan yang direncanakan
dapat dipergunakan untuk struktur atap sederhana berukuran 3 m x 4 m, 4 m x 4 m
dan 3,75 m x 5 m dengan 4 tumpuan.
2. Untuk bentuk struktur atap dengan tumpuan overstek akan menimbulkan gaya tekan
dan tarik maksimum yang lebih besar, sehingga jika akan menggunakan bambu
berdiameter 4 cm harus digabungkan dengan bambu berdiameter 6 cm pada batang-
batang yang menerima tekan besar.
8. PEMBAHASAN UMUM DAN REKOMENDASI
8.1. Pembahasan Umum
Penggunaan bambu sebagai bahan bangunan bukan merupakan hal yang baru,
tetapi pemanfaatannya pada umumnya hanya dilakukan berdasarkan pengalaman
turun temurun. Pemanfaatan suatu material sebagai bahan bangunan pada dasarnya
harus dapat memberikan rasa aman dan nyaman selama masa pemakaiannya. Oleh
karena itu, suatu bahan bangunan harus cukup kuat, awet dan kaku. Nilai kekuatan,
keawetan dan kekakuan yang harus dipenuhi sangat tergantung pada bangunan yang
akan dibuat. Kebutuhan bahan untuk jembatan akan berbeda dengan kebutuhan bahan
untuk pembuatan bendungan, kebutuhan bahan untuk lantai berbeda dengan
kebutuhan bahan untuk dinding. Pemanfaatan suatu bahan untuk konstruksi sangat
tergantung pada sifat fisik dan mekanik bahan itu sendiri. Selain itu, cara pengerjaan
juga menjadi salah satu faktor pemilihan bahan. Sebagai contoh, beton walaupun
massa jenisnya besar dan kuat tariknya kecil, banyak digunakan pada berbagai bagian
dan bentuk bangunan, karena beton dapat dengan mudah disesuaikan bentuk serta
kekuatannya melalui proses pembuatannya.
Di tengah isu go green, pemanfaatan semen sebagai salah satu bahan
penyusun beton disarankan untuk dikurangi, karena proses produksi yang kurang
ramah lingkungan. Pemanfaatan bahan bangunan ramah lingkungan harus mulai
digalakkan. Bambu merupakan salah satu bahan yang ramah lingkungan. Jika kayu
cepat tumbuh untuk konstruksi dihasilkan setelah ditanam lebih dari sepuluh tahun,
bambu dapat diperoleh dalam waktu 3 – 5 tahun setelah penanaman. Selain itu, kayu
setelah ditebang harus ditanam benih baru untuk dapat menghasil kayu berikutnya.
Pada tanaman bambu, dengan pemanenan yang terencana, rumpun bambu dapat terus
menerus menghasilkan buluh, walaupun buluh-buluh yang cukup tua sudah dipanen.
Walaupun begitu, tidak semua jenis bambu dapat dimanfaatkan sebagai bahan
bangunan. Dari sekitar 1200 jenis bambu yang ada, menurut Widjaja (2001), di
Indonesia diketahui dan sudah terdata sekitar 143 jenis. Sebagai bahan alami, sifat
fisik dan mekanik bambu tidak seragam, baik karena pengaruh jenis, tempat tumbuh
maupun umur. Dari jenis-jenis tersebut ada beberapa jenis bambu yang biasa
digunakan untuk konstruksi dan sudah diteliti diantaranya: bambu tali (Gigantochloa
apus Kurz), bambu petung (Dendrocalamus asper), bambu hitam (Gigantochloa
88
atroviolacea Widjaya), bambu gombong (Gigantochloa pseudoarundinacea Widjaya)
dan bambu duri (Bambusa blumeana Schultes).
Sebagai bahan alami, sifat fisik dan mekanik bambu tidak seragam, baik
karena pengaruh jenis, tempat tumbuh, umur maupun posisi dalam batang.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan (Dransfield dan Wijaya, 1995;
Nuryatin, 2000; Morisco, 2005) terhadap beberapa jenis bambu di Indonesia
diketahui bahwa kekuatan tarik bambu cukup tinggi, sementara kuat gesernya sangat
rendah. Kuat geser bambu yang sangat kecil, hanya 5 %, jika dibandingkan terhadap
kuat tariknya menimbulkan masalah dalam pengujian sampel tarik. Sampel uji tarik
harus dibuat sepanjang mungkin, sementara daerah kritis harus dibuat sekecil
mungkin agar kerusakan sampel terjadi pada daerah kritis akibat tegangan tarik. Jika
sampel yang dibuat kurang panjang atau daerah kritis terlalu besar, maka kerusakan
yang terjadi bukan akibat tegangan tarik, tetapi akibat tegangan geser. Standar
pengujian sifat dasar bambu selama ini belum ada, sehingga pengujian bambu pada
umumnya dilakukan dengan mengacu pada standar pengujian kayu yang dimodifikasi.
Pada tahun 2004, ISO menetapkan standar pengujian sifat fisik dan mekanik bambu,
yaitu ISO 22157-2004, yang kemudian digunakan dalam penelitian sifat dasar bambu
tali pada penelitian ini. Pada penelitian yang dilakukan dengan mengambil contoh uji
bambu tali yang berasal dari daerah Depok, Bogor, didapatkan kuat tarik 57 MPa,
kuat tekan 12,7 MPa, kuat geser 2,5 MPa dan modulus elastisitas 8.300 MPa.
Dalam pemanfaatan buluh bambu sebagai bahan bangunan, nilai kuat tarik,
kuat tekan dan modulus elastis saja masih belum mencukupi, karena dalam
pemanfaatan bambu dalam konstruksi akan terjadi batang tekan. Jika suatu batang
langsing menerima beban tekan, maka harus diperhitungkan kemungkinan terjadinya
tekuk. Perilaku tekuk suatu batang tekan sangat tergantung pada kuat tekan dan
bentuk penampang batang tersebut. Bambu mempunyai bentuk yang sangat spesifik
yaitu menyerupai silinder berdinding tipis yang agak tirus dengan buku-buku yang
jaraknya tidak seragam. Untuk mengetahui perilaku tekuk bambu tali, maka dilakukan
penelitian secara empiris yang memberikan hasil berupa hubungan antara nilai
tegangan kritis (y) terhadap kelangsingan (x) berupa fungsi: y = -7,9 . Ln (x) + 60.
Hubungan ini menunjukkan bahwa makin langsing suatu batang tekan, maka besarnya
tegangan tekan yang dapat diterima akan makin kecil.
Bentuk bambu yang berupa tabung dengan kuat tarik, kuat tekan dan
elastisitas yang cukup baik dengan massa jenis yang kecil serta kelurusan yang
89
terbatas cocok digunakan sebagai bahan dalam pembuatan konstruksi rangka batang
ruang. Konstruksi ini pada umumnya dimanfaatkan untuk rangka atap. Sebagai
konstruksi rangka batang, konstruksi ini disusun dari komponen-komponen yang
relatif pendek yang menerima beban tarik atau tekan, tanpa momen. Komponen-
komponen ini dihubungkan secara sendi, hingga menjadi konstruksi rangka batang.
Masalah yang timbul kemudian adalah bahwa selama ini belum ada sambungan yang
dapat menerima tarik dan tekan dengan baik serta dapat dianalisa kekuatannya.
Mengingat kecilnya tegangan geser, maka harus diingat agar sedapat mungkin
menghindari terjadinya pelemahan pada buluh bambu sebagai akibat adanya lubang
pada dinding bambu. Selain itu bambu dengan kuat tarik yang besar dengan kerapatan
yang rendah membuat bambu sebagai bahan bangunan yang cukup baik dalam
menahan beban gempa.
Bambu sebagai bahan bangunan, terutama jika digunakan dalam bentuk buluh
akan memberikan nilai estetika tersendiri. Ini dapat dilihat dari banyaknya
pemanfaatan konstruksi bambu yang dikembangkan, bukan hanya di Indonesia, tetapi
juga di Eropa, seperti Jerman yang harus mendatangkan bambu dari negara lain.
Pemanfaatan bambu dalam bentuk buluh selain memberikan keindahan, juga
menimbulkan masalah terutama dalam pembuatan sambungan. Selama ini sambungan
bambu yang dibuat kekuatannya tidak dapat dianalisa secara mekanika. Dalam suatu
struktur, sambungan memegang peran yang penting, karena jika salah satu sambungan
saja tidak dapat menerima dan/atau meneruskan beban yanag timbul, maka akan
mengakibatkan kegagalan pada seluruh struktur. Bentuk bambu yang berupa silinder
berlubang dengan jarak buku yang tidak seragam, menimbulkan masalah tersendiri
dalam pembuatan sambungan.
Sambungan dirancang dengan menggunakan baut dan pasak kayu yang
direkatkan ke dinding sebelah dalam buluh yang kemudian diberi klem besi pada
bagian luar buluh. Untuk menghantarkan gaya tekan dan gaya tarik digunakan dua
buah ring besi. Sambungan ini terbukti dapat menerima gaya tarik dan tekan dengan
baik. Pengujian terhadap sampel yang menggunakan buluh bambu berdiameter sekitar
4 cm memperoleh nilai rata-rata kuat tekan 2.776 kg dan kuat tarik 1.284 kg. Nilai ini
lebih besar jika dibandingkan dengan perhitungan analitis yang memperoleh nilai kuat
tekan 581 kg dan kuat tarik 1.177 kg. Hal ini berarti bahwa perhitungan analisa yang
dilakukan dapat memberikan informasi dan prediksi kekuatan komponen.
90
Berdasarkan analisa terhadap beberapa model struktur rangka batang ruang
untuk rangka atap sederhana diperoleh hasil bahwa komponen yang dirancang dengan
bambu berdiameter 4- 4,5 cm dapat diterapkan pada rangka atap berukuran 4 m x 4 m
untuk komponen yang panjangnya 1 m dan rangka atap 3,75 m x 5 m untuk
komponen 1,25 m dengan empat tumpuan. Untuk rangka atap 3 m x 4 m dengan
tumpuan pada satu bidang, penggunaan bambu tali berdiameter 4 – 4,5 cm saja tidak
cukup. Untuk batang-batang yang menerima gaya tekan besar harus memanfaatkan
komponen yang berdiameter 6 cm. Analisa struktur dapat dilakukan dengan
mengembangkan rangka atap yang berukuran lebih besar untuk mencari ukuran
maksimum rangka atap yang dapat dibangun dengan bambu berdiameter 4 cm serta
bambu berdiameter 6 cm. Selain itu perlu juga dilakukan perhitungan analitis untuk
pemanfaatan rangka batang ruang sebagai modul yang dapat diperluas, misalnya
dengan membangun model struktur rangka atap berukuran 6 m x 6 m dengan 9
tumpuan atau bahkan 12 m x 12 m dengan 25 tumpuan. Hal ini mengingat struktur
yang dibuat dapat dijadikan sebagai rangka batang ruang yang dapat dibongkar-
pasang (knocked down).
Penelitian lanjut dapat dilakukan terhadap sifat fisik dan mekanik jenis- jenis
bambu lain yang berdiameter lebih besar dan biasa digunakan untuk konstruksi,
seperti bambu betung (Dendrocalamus asper Schult.) dan bambu andong
(Gigantochloa verticillata Wild) untuk dimanfaatkan sebagai komponen rangka
batang ruang. Dengan diameter bambu yang relatif lebih besar diharapkan dapat
dibuat struktur rangka batang ruang dengan bentang yang lebih besar.
Dengan mengangap bahwa komponen rangka batang ruang hanya menerima
gaya aksial tekan dan tarik saja, maka dalam perhitungan diasumsikan bahwa bambu
merupakan bahan isotropis, walaupun pada dasarnya bambu merupakan bahan
anisotropis. Untuk mengembangkan penelitian yang lebih detail dapat dilakukan
penelitian lebih lanjut, baik tentang sifat dasar maupun aplikasinya dalam struktur.
Dalam pemanfaatan SNI terjadi kendala mengingat bahwa gaya yang bekerja
dinyatakan dalam satuan kg, sementara dalam kekuatan bahan pada umumnya sudah
mengacu pada ketetapan internasional tentang satuan internasional (SI) yang
menyatakan kuatan suatu bahan dinyatakan dalam MPa yang sama dengan Newton
per m2. Satuan gaya yang sesuai untuk itu harus dinyatakan dalan Newton (N) dan
bukan dalam kg. Satuan kg yang dipergunakan dalam SNI sebagai satuan beban
(gaya) dalam SI merupakan satuan massa.
91
Bambu sebagai bahan bangunan anisotropis yang sangat kompleks. Jika
kayu dapat didekati secara orthotropis, bambu mempunyai sifat sangat tidak seragam
dan sulit didekati secara orthotropis. Dalam arah radial bambu, bambu secara umum
lebih kuat di daerah kulit dan terus menurus ke arah dalam. Tebal dinding bambu
yang relatif tipis mempersulit pembuatan sampel. Dalam arah longitudinal, sifat fisik
bambu tidak hanya dipengaruhi oleh posisi: pangkal, tengah dan ujung, tetapi lebih
dipengaruhi oleh keberadaan buku.
8.2. Rekomendasi
Bentuk bambu yang berupa tabung dengan diameter yang beragam, selama
ini dianggap sebagai hambatan dalam pemanfaatannya terutama dalam bidang
konstruksi. Bentuk bambu yang spesifik hendaknya dapat dijadikan tantangan untuk
pengembangan konstruksi yang ramah lingkungan. Masyarakat Indonesia, khususnya
peneliti bidang konstruksi harus mulai memanfaatkan peluang tersedianya bambu
yang melimpah untuk memberikan nilai tambah pada bambu bukan hanya sebagai
bahan bangunan sementara seperti steger saja.
Di Indonesia diketahui tumbuh berbagai jenis bambu, baik yang sudah
diidentifikasi maupun belum. Untuk mengoptimalkan penggunaan bambu, maka perlu
dilakukan penelitian terhadap sifat fisik dan mekanik jenis-jenis bambu lain, termasuk
perilaku tekuk buluhnya. Dengan banyaknya data tentang berbagai jenis bambu, maka
akan terlihat jenis-jenis bambu yang potensial untuk berbagai kebutuhan dalam
konstruksi. Selain itu perlu dikembangkan bentuk-bentuk sambungan yang dapat
menahan gaya, terutama gaya tarik dengan lebih baik dan kekuatannya dapat
diperhitungkan secara mekanika.
Dalam pemanfaatan bambu untuk konstruksi, sekalipun menggunakan
bambu tali yang relatif lebih awet dibandingkan dengan bambu jenis lain, disarankan
untuk menggunakan bambu yang telah diawetkan terlebih dahulu. Dengan
penggunaan bambu yang telah diawetkan, konstruksi yang dibuat menjadi lebih aman
dengan masa penggunaan yang relatif lebih lama. Selain itu, perlu dilakukan finishing
agar bambu dapat tampil lebih indah serta lebih tahan terhadap perubahan
kelembaban udara.
Langkah pertama dalam pemanfaatan bambu sebagai bahan konstruksi
adalah pemilahan. Bambu akan mempunyai sifat fisik dan mekanik yang baik jika
92
sudah berumur 3 tahun atau lebih. Dalam pemilahan bambu, khususnya untuk
pemakaiannya sebagai komponen pada struktur rangka batang ruang yang menerima
gaya tarik dan tekan, maka diperlukan bambu yang relatif lurus. Bambu yang tidak
lurus akan lebih cepat gagal dalam menerima gaya tekan.
Mengingat bambu merupakan bahan bangunan anisotropis yang sangat
kompleks, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang lebih mendetail
mengenai sifat fisik dan mekanik bambu. Salah satunya adalah MOE bambu.
Mengingat perbedaan kuat tarik dan kuat tekan bambu yang cukup besar diperkirakan
nilai MOE tarik akan berbeda dengan MOE tekan. Selain itu penelitian terhadap
bilangan poisson (υ) perlu dilakukan agar dapat diketahui nilai yang sebenarnya untuk
bambu tali
9. KESIMPULAN UMUM
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan :
1. Bambu sebagai bahan bangunan yang berasal dari alam yang dapat diperbaharui
serta cepat tumbuh merupakan bahan yang potensial untuk dikembangkan.
Mengingat selain bentuknya yang mempunyai nilai estetik, bambu juga
mempunyai kekuatan yang cukup baik.
2. Penelitian sifat fisik dan mekanik bambu tali, secara umum memberikan hasil:
kerapatan bambu (ρ) sebesar 0,71 g/cm3, kuat tarik 57,8 MPa, kuat tekan 12,7
MPa, kuat geser 2,5 MPa dan modulus elastis (E) 8.300 MPa.
3. Penelitian terhadap perilaku tekuk bambu tali menunjukkan bahwa tekuk yang
mungkin terjadi bukan hanya tekuk murni, tetapi juga local buckling yang
merupakan fenomena umum pada struktur silinder berdinding tipis. Pada
pengujian tekuk terlihat bahwa buku pada bambu berfungsi sebagai pengaku,
sehingga tidak timbul local buckling pada daerah tersebut.
4. Pada pengujian perilaku tekuk diperoleh hubungan antara tegangan kritis dengan
kelangsingan batang berupa fungsi: y = -7,9 . Ln (x) + 60, dimana y = tegangan
kritis (MPa) dan x = angka kelangsingan.
5. Penelitian ini pada dasarnya lebih diarahkan untuk pembuatan rangka batang
ruang yang merupakan bangunan prefabrikasi, sehingga lebih mengutamakan
pada bentuk dan ukuran komponen yang seragam. Sementara jika kita perhatikan
hasil analisa struktur secara teliti, besarnya gaya batang sangat beragam, bahkan
ada beberapa batang yang gaya batangnya nol. Hal ini berarti bahwa batang
tersebut tidak menahan beban, tetapi hanya berfungsi sebagai pengaku saja. Pada
batang-batang ini, sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai tempat penggantung
lampu penerangan, dengan memotong sebagian dinding bambu. Selain itu untuk
efisiensi penggunaan bambu untuk model rangka batang ruang ST4, dapat
dimanfaatkan bambu dengan diameter 4 cm pada batang-batang dimana gaya
batang yang timbul kecil, sedangkan bambu berdiameter 6 cm digunakan pada
batang yang memikul gaya batang besar.
6. Dalam pengujian kekuatan sampel (Bab 6) terlihat bahwa kekuatan tariknya ada
sebagian yang tidak memenuhi pendugaan kekuatan tarik berdasarkan hasil
perhitungan teori. Walaupun begitu jika dilihat pada hasil analisa struktur model-
model rangka ruang nilai terkecil kuat tarik sampel (=1.091 kg) masih cukup
94
aman untuk menahan beban tarik maksimum dari keseluruhan model rangka
batang yang dianalisa (= 546 kg). Hal ini berarti bahwa pemanfaatan bambu tali
berdiameter 4 cm dam 6 cm dengan bentuk sambungan yang direncanakan masih
cukup dapat diandalkan.
7. Berdasarkan analisa terhadap beberapa model rangka atap terbukti bambu
berdiameter 4 cm dapat dimanfaatkan untuk pembuatan rangka batang ruang
sampai dengan rangka berukuran 4 m x 4 m dan 3,75 m x 5 m dengan 4 (empat)
tumpuan. Penggunaan bambu berdiamater 6 cm pada struktur tersebut akan
menambah kekakuan struktur sehingga defleksi yang timbul menjadi sangat kecil.
8. Untuk strukur atap berukuran 3 m x 4 m yang ditumpu pada satu bidang,
penggunaan bambu berdiamater 4 cm penggunaannya harus memanfaatkan bambu
berdiameter 6 cm pada komponen-komponen yang menahan beban tekan besar;
yaitu pada batang-batang di daerah tumpuan bagian bawah.
DAFTAR PUSTAKA
[Aachen] RWTH Aachen Univesity. 2005. Bamboo at The Institute of Structural Design. http://bambus.rwth-aachen.de/eng/3-structural-design.pdf[23 Desember2005]
Albermani F, GY Goh, SL Chan. 2007 Lightweight Bamboo Double Layer Grid System,
Engineering Structures J. Volume 29, Issue 7, July 2007, hlm 1499-1506 Bachtiar G, S Surjokusumo. 2005. Sambungan Pasak Berbaji sebagai Alat Sambung
pada Konstruksi Bambu. Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Perbambuan di Indonesia, Yogyakarta, 17 Januari 2005. Yogyakarta : Pusat Studi Ilmu Teknik UGM, hlm 113-124.
Bachtiar G, S Surjokusumo, YS Hadi, N Nugroho. 2005. Bamboo as Space Truss
Elements. Dwianto W, editor. Proceedings of 6th International Wood Science Symposium, 28-30 August 2005. Bali Indonesia, hlm 9-11
Bachtiar G, S Surjokusumo, YS Hadi, N Nugroho. 2008. Perancangan Sambungan
Bambu untuk Konstruksi Rangka Batang Ruang, J. Forum Pascasarjana 31:69-78 [Bamboo Living Resort]. 2005. Bamboo living.com. [8 Juni 2005] [BSN] Badan Standardisasi Nasional, 2004. SNI03-1727-1989: Tata Cara Perencanaan
Pembebanan unutk Rumah dan Gedung. BSN, Jakarta. Dewi SM, S Priyo, TWulan. 2005. Memberdayakan Bambu dengan Struktur Komposit.
Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Perbambuan di Indonesia, Yogyakarta, 17 Januari 2005. Yogyakarta : Pusat Studi Ilmu Teknik UGM, hlm 153-166
Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan. 1983. Peraturan Pembebanan Indonesia
untuk Gedung 1983. Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan, Bandung Dransfield S, EA Wijaya. 1995. PROSEA , Plant Resource of South East Asia 7.
Bamboos, Backhuys Publisher, Leiden Faherty KF, T.G. Williamson. 1999. Wood Engineering and Construction Handbook.
McGraw-Hill, United States of America. Frick, H. 2004. Ilmu Konstruksi Bangunan Bambu, Seri Konstruksi Arsitektur 7.
Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Fonrobert F, EWStoy, G Droge. 1960. Grundzuge des Holzbaues im Hochbau. Berlin :
Verlag von Wilhelm Ernst & Sohn
96
[Geasindo]. Sekilas tentang Geas Space Frame. http : \\www.geasindo.co.id\spaceframe [28- 2-2003]
Gere JM, SP Timoshenko. 1997. Mekanika Bahan jilid 1. B. Suryoatmono, penerjemah.
Jakarta : Erlangga. Judul asli : Mechanics of Material. GloriaOD. 1996. Studi Kuat Tekan dan Lentur pada Bambu Tali sebagai Konstruksi
Kolom dan Balok dengan Sambungan Pasak. (Skripsi). Jakarta: Universitas Kristen Indonesia, Fakultas Teknik
Hadipranoto, Winarni dan P.P Raharjo. 1985. Pengenalan Metoda Komponen Hingga
pada Teknik Sipil. Penerbit Nova, Bandung. Hariandja, B. 1996. Mekanika Teknik : Statika Dalam Analisis Struktur Berbentuk
Rangka. Jakarta : Erlangga. Harper, C.A. 1996. Handbook of Plastics, Elastomers, and Composites. McGraw-Hill,
NewYork. Harsokoesoemo, H.D. 2000. Pengantar Perancangan Teknik (Perancangan Produk).
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Hidalgo O. 1995. Problems and Solutions. Proceedings of the Vth International Bamboo
Workshop and the IV International Bamboo Congress, Ubud : 19-22 June 1995. Bali : International Bamboo Congress, hlm.54-59
Huber, B. 2005. Bambu-Tec Constructionelements .http://www.koolbambu/
interconnection. [11-01-2005] [ICBO] International Conference of Building Officials. 2000. Acceptance Criteria for
Structural Bamboo. AC162. California, USA [ISO] International Standard Organisation. 2004. N22157.-2004 Laboratory Manual on
Testing Methods for Determination of Physical and Mechanical Properties of Bamboo.
Janssen, J.J.A. 1981. Bamboo in Building Structures, Doctor of Technical Science
Thesis, Eindhoven University of Technilogy, Eindhoven, Netherlands. Janssen, J.J.A. 1991. Mechanical Properties of Bamboo. Kluwer Academic Publishers,
Dordrecht, Neherlands Katili, I. 2000. Aplikasi Metoda Elemen Hingga pada Rangka –Balok-Grid-Portal.
Penerbit Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok.
97
Kusuma, B.W. 2006. Mengangkat Gengsi Bambu dalam Arsitektur Modern. Kompas, 23 April 2006. hlm 20 (kolom 1-70)
Leet KM, Chia M.U. 2002. Fundamental of Structural Analysis. Mc Graw Hill, Boston. Liese W. 1980a. Anatomy of Bamboo. Bamboo Research in Asia, Proceedings of a
Workshop. Singapore: 28-30 May 1980. Singapore : International Development Research Center and the International Union of Forestry Research Organizations. hlm 161 – 164.
Liese W. 1980b. Preservation of Bamboo. Bamboo Research in Asia, Proceedings of a
Workshop. Singapore: 28-30 May 1980. Singapore : International Development Research Center and the International Union of Forestry Research Organizations. hlm 165 – 172
López OH. 1981. Manual de Construcción Con Bambó. Estudios Tecnicos Columbianos,
Colombia. Lessard G, A Chouinard. 1980. Bamboo Research in Asia, Proceedings of a workshop
held in Singapore, 28-30 May 1980. International Development Research Center and The International Union Forestry Research Organizations.
Makowski, Z.S. 1988. Konstruksi Ruang Baja. Huthudi, penerjemah. Bandung: Penerbit
ITB. Terjemahan dari : Construction Spatiales en Acier. Mardjono F. 2005. Keterkaitan siklus bambu dalam Konstruksi Bangunan di Indonesia.
Makalah Seminar Nasinal Perkembangan Perbambuan di Indonesia, Yogyakarta, 17 Januari 2005. Yogyakarta : Pusat Studi Ilmu Teknik UGM, hlm 23-32
Morisco. 1981. Rekayasa Bambu. Nafiri Offset, Yogyakarta. Morisco. 2005. Rangkuman Penelitian Bambu di Pusat Studi Ilmu Teknik (PSIT) UGM,
Makalah Seminar Nasinal Perkembangan Perbambuan di Indonesia, Yogyakarta, 17 Januari 2005. Yogyakarta : Pusat Studi Ilmu Teknik UGM, hlm 11-22
Morisco. 2006. Bahan Kuliah Teknologi Bambu, Program Magister Teknologi Bahan
Bangunan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Muslich M. 2005. Pengawetan Bambu dalam Rangka Meningkatkan Umur Pakai dan
Mutu Barang Jadi. Prosiding Seminar Nasinal Perkembangan Perbambuan di Indonesia, Yogyakarta, 17 Januari 2005. Yogyakarta : Pusat Studi Ilmu Teknik UGM, hlm II-27 – II-38
Nandika D, JR Matangaran IGK T Dharma. 1994. Keawetan dan Pengawetan Bambu,
Prosiding Sarasehan Penelitian Bambu Indonesia, Puspitek Serpong, 21-22 Juni 1994. Bogor : Yayasan Bambu Lestari, hlm 112 - 117
98
Nuryatin N. 2000. Studi Analisa Sifat-sifat Dasar Bambu pada beberapa tujuan Penggunaan, (Tesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pasca Sarjana.
Popov EP. 1984. Mekanika Teknik. Zainul Astamar Tanisan, penerjemah. Jakarta
Erlangga. Judul asli : Mechanics of Materials Purwito. 1995. The Application of Bamboo for Earthquake-resistant Houses. Proceedings
of the Vth International Bamboo Workshop and the IV International Bamboo Congress, Ubud : 19-22 June 1995. Bali : International Bamboo Congress, hlm. 51-53
Sattar MA, MF Kabir, DK Bhattacharjee. 1991. Bamboo on Their Physical and
Mechanical Properties. Proceedings 4th International Bamboo Workshop on Bamboo in Asia and The pacific. Chiangmai : 27-30 November 1991. Thailand : Forsa Publicaton, hlm 271 -275
Suardika K. 1994. Pengawetan Bambu dengan Metode Boucherie yang Dimodifikasi.
Prosiding Sarasehan Penelitian Bambu Indonesia, Puspitek Serpong, 21-22 Juni 1994. Bogor : Yayasan Bambu Lestari, hlm 118-122
Surjokusumo S, N Nugroho. 1994. Pemanfaatan Bambu sebagai Bahan Bangunan.
Prosiding Sarasehan Penelitian Bambu Indonesia, Puspitek Serpong, 21-22 Juni 1994. Bogor : Yayasan Bambu Lestari, hlm 82 – 87
Tanaka M, Dniwa, Nyamamoto, S Funo. 1995. Bamboo as a Building Material in Japan:
Transition and Contemporary Use. Proceedings of the Vth International Bamboo Workshop and the IV International Bamboo Congress, Ubud : 19-22 June 1995. Bali : International Bamboo Congress, hlm.16-21
Timoshenko SP, JNGoodier. 1994. Teori Elastisitas . Darwin Sebayang, penerjemah.
Jakarta: Erlangga. Judul asli : Engineering Mechanics. Villalobos OAA. 1993. Fundamentals of The Design of Bamboo Structures. (Thesis),
Eindhoven, Netherlands : Eindhoven University of Technology. Wang CK. 1970. Matrix Methods of Structural Analysis. American Publishing,
Wisconsin. Weaver W, JM Gere. 1996. Analisa Matrik untuk Struktur Rangka, Ed. Ke-2. Jakarta :
Erlangga. Wira (penterjemah), judul asli: Matrix Analysis of Framed Sructures. Widjaya EA. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor. Zikrulah A. 2002. Perhitungan Proyek Hanggar Airport Padang, PT. Binatama Akrindo,
Engineering report (tidak dipublikasikan).
99
Lampiran 1 : Tabel 3 ASTM D2915-03
100
Lampiran 2 :
DATA DAN PERHITUNGAN KERAPATAN
sampel Rata-rata V BKT BJ T1 p(mm) L(mm) t(mm) (mm3) (gr) (gr/cm3) (kg/m3) ρRata2(kg/m3) SD CV (%) ρmax ρmin n T2 40,73 19,83 8,40 6786,17 4,81 0,71 708,06 764,8 61,2 8,0 862,0 695,0 5 T3 40,07 20,07 7,53 6056,83 5,22 0,86 862,00 T4 40,90 19,90 8,58 6986,06 4,86 0,69 694,96 T5 40,57 19,27 8,39 6558,67 4,92 0,75 750,00 P1 40,43 20,43 7,98 6595,73 5,21 0,79 789,45 P2 40,60 20,37 9,37 7745,17 6,08 0,78 784,36 665,5 73,3 11,0 784,4 604,7 5 P3 41,17 20,17 9,43 7831,50 4,77 0,61 608,82 P4 40,47 19,47 9,27 7299,83 4,41 0,60 604,67 P5 40,43 20,43 8,82 7284,22 4,73 0,65 649,76
42,47 20,07 10,23 8720,48 5,93 0,68 680,12 Gabungan 713,22 83,3 11,69 862,00 604,67 10
Dimensi Kering Udara Rata-rata V BKT BJ
sampel panjang(mm) lebar(mm) tebal(mm) p(mm) L(mm) t(mm) (mm3) (gr) (gr/cm3) (kg/m3) ρRata2(kg/m3) T1 40,80 40,60 40,80 19,90 20,00 19,60 8,50 8,00 8,70 40,73 19,83 8,40 6786,17 4,81 0,71 708,06 764,8T2 40,10 40,10 40,00 20,10 20,10 20,00 7,50 7,40 7,70 40,07 20,07 7,53 6056,83 5,22 0,86 862,00 T3 40,80 40,80 41,10 20,00 19,80 19,90 8,30 8,50 8,95 40,90 19,90 8,58 6986,06 4,86 0,69 694,96 T4 40,80 40,30 40,60 19,20 19,30 19,30 8,25 8,47 8,45 40,57 19,27 8,39 6558,67 4,92 0,75 750,00 T5 40,20 40,80 40,30 20,80 20,30 20,20 7,90 8,40 7,65 40,43 20,43 7,98 6595,73 5,21 0,79 789,45 P1 40,70 40,60 40,50 20,50 20,30 20,30 8,90 9,20 10,00 40,60 20,37 9,37 7745,17 6,08 0,78 784,36 665,5P2 41,40 41,00 41,10 20,30 20,20 20,00 9,30 8,60 10,40 41,17 20,17 9,43 7831,50 4,77 0,61 608,82 P3 40,50 40,70 40,20 19,60 19,40 19,40 9,00 9,00 9,80 40,47 19,47 9,27 7299,83 4,41 0,60 604,67 P4 40,20 40,80 40,30 20,80 20,30 20,20 9,05 8,30 9,10 40,43 20,43 8,82 7284,22 4,73 0,65 649,76 P5 42,30 42,60 42,50 20,50 19,80 19,90 10,70 10,25 9,75 42,47 20,07 10,23 8720,48 5,93 0,68 680,12 Gabungan 713,22
101
LAMPIRAN 3:
Data Pengujian Kadar Air bambu Tali No Sampel
BKU (gr)
BKT (gr)
KA (%) RATA-RATA SD max min rata2 CV(%)
T1 5,38 4,805 11,93 12,15% 0,87 13,52 10,90 12,15 7,13T2 5,84 5,221 11,94 T3 5,38 4,855 10,90 T4 5,58 4,919 13,52 T5 5,83 5,207 12,00 T6 4,10 3,643 12,58 P1 6,77 6,075 11,43 12,20% 0,61 12,7 11,42 12,2 5P2 5,37 4,768 12,67 P3 4,96 4,414 12,40 P4 5,33 4,733 12,61 P5 6,61 5,931 11,42 P6 5,03 4,468 12,69
102
Lampiran 4 :
DATA DAN PERHITUNGAN PENYUSUTAN
(1) Bambu Bagian Pangkal
Awal Akhir sst(%) Rata2
Susut (%) Max Min SD CV N t1 10,20 9,75 4,62 ST= 3,65 4,62 2,79 0,87 23,9 5t2 9,20 8,95 2,79 t3 8,80 8,50 3,53 t7 9,10 8,85 2,82 t8 9,35 8,95 4,47 D12 42,95 41,15 4,37 SD= 3,60 4,37 2,97 0,58 16,2 5D34 41,65 40,45 2,97 D56 43,25 41,85 3,35 D78 40,10 38,55 4,02 D90 42,50 41,10 3,27 L1 43,70 43,65 0,11 SL= 0,14 0,22 0,11 0,05 35,6 5L2 44,00 43,95 0,11 L3 45,00 44,90 0,22 L4 42,95 42,90 0,12 L5 44,35 44,30 0,11
(2) Bambu Bagian Tengah
Awal Akhir sst(%) Rata2
Susut (%) MAX MIN SD CV N t2 8,60 8,40 2,38 ST= 2,25 3,23 1,37 0,71 31,5 5t3 8,30 8,10 2,47 t5 8,00 7,75 3,23 t6 7,40 7,30 1,37 t7 8,55 8,40 1,79 D12 47,15 45,80 2,95 SD= 3,46 3,89 2,95 0,4 11,7 5D34 46,60 44,90 3,79 D56 45,80 44,40 3,15 D63 45,65 44,10 3,51 D78 46,75 45,00 3,89 L1 49,10 49,05 0,10 SL= 0,12 0,2 0,1 0,05 37,4 5L2 50,50 50,45 0,10 L3 49,40 49,30 0,20 L4 47,95 47,90 0,10 L5 50,35 50,30 0,10
103
Lampiran 5 DATA PENGUJIAN TEKAN
No. A r Pmax σmax σRata2 σmax σMin SD CV n SAMPEL (cm2) (cm) (kg) (kg/cm2) (Mpa) (Mpa) (Mpa) (Mpa) (Mpa) (%)
TANPA BUKU T1K01 6,73 1,28 3349,03 497,26 48,73 46,80 50,35 42,41 2,92 6,24 6 T1K02 4,31 1,15 1866,29 432,78 42,41 T1K03 5,77 1,31 2966,10 513,73 50,35 T1K04 3,26 1,12 1563,34 478,96 46,94 T1K05 5,72 1,37 2593,19 453,23 44,42 T1B08 10,36 2,04 5070,00 489,53 47,97 BUKU TENGAH T1K11 7,79 1,16 3387,13 434,79 42,61 45,84 52,17 42,61 3,33 7,27 6 T1K12 5,36 1,27 2852,43 532,36 52,17 T1K13 7,70 1,27 3650,99 473,93 46,44 T1K14 7,46 1,39 3399,31 455,83 44,67 T1K16 8,90 1,28 4063,27 456,56 44,74 T1K18 9,38 1,24 4249,76 452,97 44,39 TANPA BUKU P1K01 8,40 1,35 4065,33 483,78 47,41 41,21 47,41 36,37 5,04 12,24 5 P1K02 6,50 1,21 2566,14 394,84 38,69 P1K03 11,43 1,47 4403,37 385,15 37,74 P1K04 8,82 1,33 4124,77 467,83 45,85 P1K05 8,87 1,38 3291,43 371,13 36,37 BUKU TENGAH P1K11 7,78 1,21 2779,48 357,21 35,01 37,96 42,92 35,01 3,71 9,76 5 P1K12 11,00 1,25 4598,00 418,12 40,98 P1K13 9,45 1,37 4140,49 437,93 42,92 P1B18 16,57 1,95 5982,00 360,98 35,38 P1B19 14,96 1,95 5425,35 362,65 35,54
104
Lampiran 6: DATA PENGUJIAN TARIK SAMPEL BAMBU BAGIAN PANGKAL SAMPEL LEBAR TEBAL LUAS Pmax P/A P/A (mm) (mm) (mm2) (kgf) (kgf/mm2) Mpa SD max Min AVG CV(%) n
PL01 2,25 2,45 5,51 221,00 40,09 392,89 77,28 540,16 356,39 404,41 19,11 5 PL02 3,25 2,75 8,94 326,90 36,58 358,45 PL03 2,90 1,90 5,51 303,70 55,12 540,16 PL04 2,10 2,30 4,83 175,65 36,37 356,39 PL05 2,20 1,90 4,18 159,60 38,18 374,18
PL11 3,75 3,80 14,25 218,40 15,33 150,20 13,43 186,46 150,20 163,25 8,23 7 PL12 3,90 3,25 12,68 195,90 15,46 151,47 PL13 3,65 2,90 10,59 201,40 19,03 186,46 PL14 3,05 2,95 9,00 154,92 17,22 168,74 PL15 3,10 2,70 8,37 129,92 15,52 152,12 PL16 3,00 1,90 5,70 100,10 17,56 172,10 PL17 2,95 2,55 7,52 124,12 16,50 161,70
PD01 2,65 2,90 7,69 140,10 18,23 178,66 30,87 178,66 116,93 144,30 21,39 5 PD02 2,25 2,75 6,19 94,00 15,19 148,88 PD03 2,40 2,50 6,00 71,59 11,93 116,93 PD04 3,10 2,70 8,37 106,70 12,75 124,93 PD05 3,10 2,70 8,37 129,92 15,52 152,12
PD11 2,90 3,55 10,30 39,60 3,85 37,70 11,81 62,63 33,11 41,99 28,14 5 PD12 3,00 3,25 9,75 36,20 3,71 36,39 PD13 2,20 3,40 7,48 25,27 3,38 33,11 PD14 2,8 3,2 8,96 36,67 4,09 40,11 PD15 2,95 3,4 10,03 64,1 6,39 62,63
105
Lampiran 7: DATA PENGUJIAN TARIK SAMPEL BAMBU BAGIAN TENGAH SAMPEL LEBAR TEBAL LUAS Pmax P/A P/A (mm) (mm) (mm2) (kgf) (kgf/mm2) MPa SD max Min AVG CV(%) n
TL01 3,00 2,30 6,90 259,00 37,54 367,86 22,89 380,75 327,15 359,32 6,37 5 TL02 3,40 2,00 6,80 227,00 33,38 327,15 TL03 2,75 1,90 5,23 203,00 38,85 380,75 TL04 2,00 1,90 3,80 140,18 36,89 361,52 TL05 1,95 1,80 3,51 91,59 26,09 255,72
TL11 3,55 3,65 12,96 185,90 14,35 140,60 6,75 154,67 140,60 148,61 4,54 5 TL12 3,25 2,85 9,26 143,30 15,47 151,62 TL13 3,15 3,15 9,92 156,60 15,78 154,67 TL14 3,90 3,25 12,68 183,80 14,50 142,11 TL15 2,30 3,10 7,13 112,10 15,72 154,08
TD01 3,50 2,80 9,80 160,10 16,34 160,10 24,38 213,01 149,76 176,91 13,78 5 TD02 3,30 3,00 9,90 186,20 18,81 184,32 TD03 2,00 1,76 3,52 63,70 18,10 177,35 TD04 2,10 1,10 2,31 35,30 15,28 149,76 TD05 2,30 1,30 2,99 64,99 21,74 213,01
TD11 5,00 4,10 20,50 58,40 2,85 27,92 5,89 39,60 27,92 32,99 17,86 5 TD12 2,80 3,50 9,80 36,30 3,70 36,30 TD13 3,80 3,80 14,44 58,35 4,04 39,60 TD14 2,95 3,20 9,44 27,09 2,87 28,12 TD15 1,90 3,70 7,03 22,80 3,24 31,78
106
Lampiran 8. DATA UJI GESER
No.Sampel dimensi bid geser (mm) Pgeser tegangan geser Rata-
rata SD
CV(%)
Max
Min
τk = xr-
2.464*SD τ ijin
(kg/cm2) l1 l2 h1 h2 (kg) (kg/mm2) (kg/cm2) B1 20,80 20,80 20,75 20,75 346,20 0,802 80,21 84,61 6,68 7,90 96,91 79,25 68,14 30,28B2 21,40 21,20 20,00 20,00 366,90 0,861 86,13 B4 20,65 20,50 19,85 19,40 320,00 0,793 79,25 B5 20,75 20,30 22,10 22,25 441,10 0,969 96,91 B6 19,40 19,35 20,00 20,45 333,60 0,851 85,13 B7 20,95 20,90 19,20 19,50 323,90 0,800 80,00 G1 21,45 21,60 14,85 15,00 304,00 0,946 94,63 84,32 10,71 12,70 94,63 71,01 57,93 25,74G2 22,80 23,80 23,15 22,60 382,90 0,718 71,84 G3 24,75 24,75 20,60 21,40 369,10 0,710 71,01 G4 21,60 21,80 18,25 19,60 343,40 0,836 83,62 G5 21,20 21,35 23,00 21,00 438,9 0,938 93,77 G6 19,40 19,60 22,90 24,00 416,20 0,910 91,02
Sampel B Uji geser melalui tekan
Sampel G Uji geser melalui tarik
107
Lampiran 9 : DATA PENGUJIAN TEKUK
sampel
d D I A t r L Pmax P/A
L/r (cm) (cm) (cm4) (cm2) (cm2) (cm) (cm) kg MPa
TAN
PA
BU
KU
D01 4,76 5,85 32,18 9,07 1,09 1,88 50,4 4020 43,45 26,76 D02 4,09 5,75 39,9 12,82 1,66 1,76 50,2 3598 27,52 28,46
D03 3,67 4,99 21,45 8,96 1,32 1,55 49,2 3820 41,80 31,81
D04 4,34 5,95 43,88 12,96 1,61 1,84 49,5 4200 31,77 26,9
D05 4 5,89 46,35 14,66 1,89 1,78 51 4812 32,18 28,68
D06 4,76 6,57 66,19 16,11 1,81 2,03 50,6 4726 28,76 24,96
D07 4,25 6,09 51,41 14,93 1,84 1,86 50 3496 22,96 26,94
D08 4,47 5,65 30,45 9,39 1,18 1,8 49,5 3722 38,86 27,49
D09 5,04 6,35 48,18 11,73 1,31 2,03 53 5092 42,56 26,16
BU
KU
TE
NG
AH
D11 5,24 6,28 39,2 9,38 1,04 2,04 50,3 4250 44,42 24,61
D12 4,59 5,88 36,77 10,58 1,29 1,86 49,6 4008 37,14 26,6
D14 4,35 5,89 41,36 12,37 1,54 1,83 50,2 5142 40,75 27,45
D15 5,36 6,26 34,88 8,23 0,9 2,06 50,4 2290 27,28 24,45
D16 5,08 6,41 49,96 11,95 1,33 2,04 49,7 4576 37,54 24,28
D17 3,96 5,44 30,79 10,88 1,48 1,68 50,2 2970 26,76 29,82
D18 4,67 5,67 27,29 8,11 1 1,83 50 2596 31,38 27,25
D19 5,01 6,53 58,15 13,76 1,52 2,06 50,6 4882 34,78 24,61
Bam
bu D
= +
6 c
m
TAN
PA
BU
KU
E02 4,71 5,83 32,44 9,24 1,12 1,87 69,7 3358 35,63 37,21 E03 5,07 6,3 44,81 10,96 1,23 2,02 70,5 3670 32,83 34,87 E04 4,81 6,11 41,89 11,1 1,3 1,94 70,3 4864 42,96 36,18 E05 4,69 6,09 43,48 11,78 1,39 1,92 67,8 3062 25,48 35,29 E06 4,53 6,13 48,48 13,38 1,6 1,9 66,5 4834 35,42 34,93 E07 4,43 5,61 29,83 9,34 1,19 1,79 70 4222 44,32 39,17 E08 5 6,26 44,62 11,13 1,26 2 69,8 4862 42,83 34,86 E09 4,39 5,38 22,88 7,59 0,99 1,74 70,3 3272 42,26 40,5
BU
KU
TE
NG
AH
E11 5,23 6,26 38,76 9,31 1,03 2,04 65,8 3582 37,72 32,26 E12 5 6,11 37,55 9,65 1,11 1,97 69,7 3380 34,34 35,34 E13 5,05 6,43 51,96 12,44 1,38 2,04 69,9 3900 30,74 34,2 E15 5,21 6,38 45,34 10,69 1,18 2,06 70,1 4198 38,50 34,04 E16 5,05 6,3 45,38 11,15 1,25 2,02 70,2 4264 37,49 34,8 E17 4,39 5,89 40,89 12,11 1,5 1,84 70,3 3318 26,86 38,26
TAN
PA
BU
KU
F01 4,12 6,12 54,76 16,11 2,01 1,84 90,3 6945 42,26 48,98
F02 4,48 6,04 45,51 12,89 1,56 1,88 90,3 3290 25,02 48,06
F03 4,91 6,62 65,51 15,43 1,71 2,06 90,8 4246 26,98 44,07
F05 4,88 6,26 47,58 12,09 1,38 1,98 90,5 5340 43,30 45,59
F06 5,27 6,51 50,14 11,44 1,24 2,09 91 4492 38,50 43,47
F08 4,38 6,19 53,93 15 1,81 1,9 90,3 6410 41,90 47,62
F09 4,67 6,18 48,21 12,87 1,51 1,94 90,4 5280 40,22 46,69
BU
KU
TE
NG
AH
F12 4,32 6,28 59,35 16,33 1,96 1,91 92 3240 19,45 48,27 F14 4,53 5,68 30,5 9,24 1,15 1,82 90,4 3160 33,53 49,76 F15 4,31 5,74 36,14 11,24 1,43 1,79 90,3 3514 30,65 50,35 F16 4,75 6,3 52,14 13,4 1,55 1,97 89,7 3462 25,33 45,48 F17 4,39 5,4 23,61 7,8 1,02 1,74 90,5 3092 38,86 52,01 F18 4,93 6,16 41,83 10,75 1,24 1,97 90,5 4719 43,04 45,88
108
DATA PENGUJIAN TEKUK (Lanjutan)
sampel d D I A t r L Pmax P/A L/r
(cm) (cm) (cm4) (cm2) (cm2) (cm) (cm) kg MPa
TAN
PA
BU
KU
M01 3,11 5,03 26,77 12,26 1,92 1,48 50,0 2006 16,04 33,84 M02 2,93 4,01 9,04 5,87 1,08 1,24 52,1 1284 21,45 41,98 M03 2,31 3,96 10,65 8,12 1,65 1,14 49,9 1026 12,39 43,58 M04 3,26 4,78 19,96 9,56 1,52 1,45 50,5 2398 24,59 34,94 M05 2,52 4,37 15,87 9,99 1,85 1,26 50,0 1452 14,25 39,66 M06 3,3 4,81 20,32 9,56 1,5 1,46 49,9 2754 28,24 34,23 M08 3,11 4,67 18,76 9,54 1,56 1,4 50,5 2210 22,71 36,01 M09 3,53 4,71 16,55 7,65 1,18 1,47 51,0 2390 30,63 34,67
BU
KU
TE
NG
AH
M11 3,06 4,94 24,83 11,79 1,88 1,45 50,4 2464 20,49 34,73 M12 3,3 4,94 23,26 10,56 1,63 1,48 50,2 2040 18,94 33,82 M13 2,97 4,15 10,76 6,60 1,18 1,28 50,0 1090 16,19 39,16 M14 3,15 3,95 7,1 4,45 0,8 1,26 49,9 1530 33,71 39,5 M15 3,15 3,99 7,53 4,66 0,83 1,27 50,5 944 19,86 39,75 M16 3,39 4,03 6,44 3,72 0,64 1,31 50,6 1564 41,22 38,49
Bam
bu D
= +
4 c
m
M17 2,77 4,64 19,8 10,86 1,87 1,35 50,7 2482 22,41 37,54 M18 3,12 4,81 21,6 10,51 1,69 1,43 49,8 2932 27,35 34,74
TAN
PA
BU
KU
N01 3,26 4,4 12,76 6,82 1,14 1,37 69,6 2484 35,71 50,88 N02 3,26 4,04 7,5 4,46 0,78 1,3 70,1 986 21,67 54,09 N03 3 4,23 11,73 6,98 1,23 1,3 71,4 1090 15,31 55,07 N04 3,55 4,46 11,56 5,70 0,91 1,42 70,2 1548 26,63 49,27 N05 3,38 4,54 14,47 7,22 1,16 1,42 69,9 2244 30,47 49,37 N06 3,55 4,55 13,26 6,36 1 1,44 70,4 1840 28,36 48,77 N07 3,54 4,72 16,52 7,60 1,17 1,47 70,2 2520 32,51 47,61
BU
KU
TE
NG
AH
N11 3,45 4,58 14,58 7,11 1,13 1,43 70,2 1992 27,47 49,03 N12 3,27 4,4 12,8 6,82 1,13 1,37 69,5 1840 26,45 50,72 N13 2,93 3,79 6,56 4,57 0,87 1,2 70,5 1230 26,39 58,88 N14 3,1 4,69 19,24 9,73 1,59 1,41 69,8 3012 30,35 49,63 N15 2,5 4,2 13,32 8,93 1,7 1,22 70,4 1230 13,50 57,65 N16 3,16 4,16 9,87 5,79 1,01 1,31 70,1 1432 24,25 53,68 N17 3,31 4,85 21,18 9,85 1,54 1,47 71,8 2001 19,92 48,97
TAN
PA
BU
KU
O01 2,78 3,87 8,12 5,73 1,1 1,19 90,1 1428 24,43 75,65 O02 3,48 5,08 25,5 10,77 1,6 1,54 89,8 2178 19,83 58,35 O03 3,08 3,99 8,08 5,09 0,92 1,26 89,8 691 13,31 71,28 O04 2,71 3,9 8,69 6,16 1,19 1,19 89,8 1050 16,71 75,61 O05 3,03 3,79 5,95 4,05 0,76 1,21 89,8 714 17,28 74,11 O06 3,34 4,18 8,91 4,98 0,84 1,34 90,8 1294 25,47 67,86
BU
KU
TE
NG
AH
O11 3,19 4,11 8,94 5,28 0,92 1,3 90,5 1960 36,39 69,53 O12 3,18 4,21 10,41 5,99 1,03 1,32 90,8 1506 24,65 68,86 O13 3,46 4,46 12,31 6,20 1 1,41 89,9 2042 32,29 63,77 O14 3,58 4,63 14,39 6,73 1,05 1,46 90,2 2226 32,43 61,69 O15 3,31 4,57 15,45 7,76 1,26 1,41 92,6 2034 25,70 65,65 O16 3,63 4,97 21,4 9,06 1,34 1,54 90,3 1802 19,50 58,74 O17 2,86 4,23 12,35 7,59 1,37 1,28 90,0 1142 14,75 70,56
109
Lampiran 10 Analisa Perhitungan Dimensi Sambungan Batasan:
1. Baut yang digunakan berdiameter 6 mm, dengan panjang 20 cm, lengkap dengan mur (hexanut)
2. Ring A dan ring B terbuat dari pelat baja dengan ketebalan 2mm. Untuk bambu brdiameter (D) 4- 4,5 cm digunakan ring berdiameter 2.9 cm dengan lubang 8 mm di tengahnya. Untuk bambu berdiameter (D) 6-6,5 cm digunakan ring berdiameter 4,9 cm dengan lubang berdiameter 8 mm di tengahnya.
3. Bambu yang berdiameter (D) 4 – 4,5 cm dibubut pada bagian ujung dalamnya sehingga diameter dalamnya (d) menjadi 3 cm.
4. Bambu yang berdiameter (D) 6 – 6,5 cm dibubut pada bagian ujung dalamnya sehingga diameter dalamnya (d) menjadi 5 cm.
5. Pasak dibuat dari kayu meranti merah (Shorea sp.)yang termasuk kelas kuat II ( tkσ = 85 kg/cm2).
Perhitungan : 1. Gaya tekan (P = 120 kg)
Pada saat gaya tekan bekerja, diasumsikan pelat besi ring A aman. Kontrol perlu dilakukan terhadap buluh bambu. Pada bambu dengan D= 4 cm dan d = 3 cm: P = σ tk . A = 124 kg/cm2 . π . (42 - 32) = 2726,9 kg > Pbekerja= 120 kg (aman) Kontrol terhadap tekuk : Dengan L (panjang buluh) = 90 cm, D= 4 cm dan d = 3 cm Didapat : r (jari-jari inersia)= 1,25 λ = L/r = 90/1,25 = 72 Dari tabel tekuk didapat : ω = 1,9
σ = =AP.ω
5,51209,1 x = 41,46 kg/cm2 < σ tk = 124 kg/cm2 (aman)
Untuk bambu berdiameter 6 cm, tidak perlu dihitung karena A lebih besar dan λ lebih kecil, sehingga aman
Gambar Dimensi sambungan
D d
h
110
Lampiran 10 (lanjutan)
2. Gaya Tarik (P =50 kg) a. Untuk bambu berdiameter 4 cm
Kontrol pasak kayu : D = 4 cm, d = 3 cm, A = 5,5 cm2
σ = 5,5
50=
APbek = 9,09 kg/cm2 < tkσ = 85 kg/cm2
Tegangan geser yang bekerja = 2/3.1..
cmkghD
Ptg =≤ τ
π
h = 3,1.3.
50.. πτπ=
dP = 4,08 cm≅ 5 cm
b. Untuk bambu berdiameter 6 cm Pasak : aman
Tegangan geser yang bekerja = 2/3.1..
cmkgLD
Ptg =≤ τ
π
h = 3,1.5.
50.. πτπ=
dP = 2,5 cm≅ 3 cm
111
Lampiran 11. : Data untuk perhitungan analisa struktur
Profil buluh bambu yang digunakan
Profil B1 : D= 4 cm, d = 3 cm Profil B2 : D = 6 cm, d = 5 cm
Sifat Fisik dan Mekanik Bahan berdasarkan penelitian σtekan = 12,7 MPa , σtk max = 37 MPa σtarik = 60 MPa , σtrk max = 154 MPa E = 8.300 Mpa ρ = 0,7 gr/cm3 = 700 kg/m3
Berat/volume = 6800 N/m3
Sifat Fisik dan Mekanik berdasarkan data sekunder (Janssen, J.J.A., 1991). Bilangan Poisson : υ = 0,49
Modulus Geser : G = =+
=+ )49,01.(2
8300)1.(2 υ
E 2.780 MPa
Konduktivitas Panas : K = 2,07 per mil/0C
Beban yang diperhitungkan : 1) Berat sendiri : Penutup atap = 15 kg/m2
Gording = 2 kg/m2
2) Beban hidup: Beban hidup atap = 100 kg/m2
(beban untuk atap rangka atap yang dapat dicapai orang) 3) Beban Angin Beban depan = -1,2 x`25 kg/cm2 = -30 kg/cm2 Beban belakang = 1,2 x`25 kg/cm2 = 30 kg/cm2
(untuk atap miring sepihak dengan 00 100 ≤≤ α )
(Bentuk-bentuk rangka batang ruang yang dianalisa :
1) ST.1 : rangka atap 3m x 4 m dengan 4 tumpuan, panjang komponen 1 m( Gambar 1)
2) ST.2 : rangka atap berukuran 3,75m x 5m dengan empat tumpuan,panjang komponen
1,25 m (Gambar 2)
3) ST.3 : rangka atap berukuran 4 x 4 m, panjang komponen 1 m (gambar 3)
4) ST.4 : rangka atap 3m x 4 m overstek dengan7 tumpuan pada dinding dan panjang
komponen 1 m(gambar 4)
Semua analisa struktur rangka atap dilakukan dengan program SAP dan dilakukan sebanyak
dua kali;yaitu dengan menggunakan buluh bambu berdiameter 4 cm dan 6 cm.
112
Lampiran 12.
Bentuk-bentuk dan Koordinat Rangka Batang
4 x 1 m
4 x
1 m
A B C D E
F G H
K L M O
P T
SR Q
a b c
d
e f g h
i j k
Gambar 3. ST 3
l
m n o p
I J
N
U V W X Y
3 x1m
4 x
1m
Gambar 4. ST 4
3 x 1,25 m
4 x
1 m
A B D
E F G H
I J K L
M N O P
T SR Q
a b
c
d e f
g h i
j k l
Gambar 2. ST2
4 x
1,25
m
3 x 1 m
4 x
1 m
A B C D
E F G H
I J K L
M N O P
T SR Q
a b
c
d e f
g h i
j k l
Gambar 1. ST 1
Keterangan gambar 1, 2, 3 dan 4 Batang atas Batang diagonal Batang bawah
113
Lampiran 12 (lanjutan)
Koordinat joint
Gambar 1 (ST1) Gambar 2 (ST2) Gambar 3 (ST3) Gambar 4 (ST4)
Titik x
(m) Y
(m) z
(m) Ttk x
(m) Y
(m) z
(m) Titikx
(m) Y
(m)z
(m) Titik x
(m)Y
(m)z
(m) A 0 0 0,7071 A 0 0 0,8839 A 0 0 0,7071 A 0 0 0 B 1 0 0,7071 B 1,25 0 0,8839 B 1 0 0,7071 B 1 0 0 C 2 0 0,7071 C 2,5 0 0,8839 C 2 0 0,7071 C 2 0 0 D 3 0 0,7071 D 3,75 0 0,8839 D 3 0 0,7071 D 3 0 0 E 0 1 0,7071 E 0 1,25 0,8839 E 4 0 0,7071 E 0 1 0 F 1 1 0,7071 F 1,25 1,25 0,8839 F 0 1 0,7071 F 1 1 0 G 2 1 0,7071 G 2,5 1,25 0,8839 G 1 1 0,7071 G 2 1 0 H 3 1 0,7071 H 3,75 1,25 0,8839 H 2 1 0,7071 H 3 1 0 I 0 2 0,7071 I 0 2,5 0,8839 I 3 1 0,7071 I 0 2 0 J 1 2 0,7071 J 1,25 2,5 0,8839 J 4 1 0,7071 J 1 2 0 K 2 2 0,7071 K 2,5 2,5 0,8839 K 0 2 0,7071 K 2 2 0 L 3 2 0,7071 L 3,75 2,5 0,8839 L 1 2 0,7071 L 3 2 0 M 0 3 0,7071 M 0 3,75 0,8839 M 2 2 0,7071 M 0 3 0 N 1 3 0,7071 N 1,25 3,75 0,8839 N 3 2 0,7071 N 1 3 0 O 2 3 0,7071 O 2,5 3,75 0,8839 O 4 2 0,7071 O 2 3 0 P 3 3 0,7071 P 3,75 3,75 0,8839 P 0 3 0,7071 P 3 3 0 Q 0 4 0,7071 Q 0 5 0,8839 Q 1 3 0,7071 Q 0 4 0 R 1 4 0,7071 R 1,25 5 0,8839 R 2 3 0,7071 R 1 4 0 S 2 4 0,7071 S 2,5 5 0,8839 S 3 3 0,7071 S 2 4 0 T 3 4 0,7071 T 3,75 5 0,8839 T 4 3 0,7071 T 3 4 0 a 0,5 0,5 0 a 0,625 0,625 0 U 0 4 0,7071 a 0,5 0,5 0,7071 b 1,5 0,5 0 b 1,875 0,625 0 V 1 4 0,7071 b 1,5 0,5 0,7071 c 2,5 0,5 0 c 3,125 0,625 0 W 2 4 0,7071 c 2,5 0,5 0,7071 d 0,5 1,5 0 d 0,625 1,875 0 X 3 4 0,7071 d 0,5 1,5 0,7071 e 1,5 1,5 0 e 1,875 1,875 0 Y 4 4 0,7071 e 1,5 1,5 0,7071 f 2,5 1,5 0 f 3,125 1,875 0 a 0,5 0,5 0 f 2,5 1,5 0,7071 g 0,5 2,5 0 g 0,625 3,125 0 b 1,5 0,5 0 g 0,5 2,5 0,7071 h 1,5 2,5 0 h 1,875 3,125 0 c 2,5 0,5 0 h 1,5 2,5 0,7071 i 2,5 2,5 0 i 3,125 3,125 0 d 3,5 0,5 0 i 2,5 2,5 0,7071 j 0,5 3,5 0 j 0,625 4,375 0 e 0,5 1,5 0 j 0,5 3,5 0,7071 k 1,5 3,5 0 k 1,875 4,375 0 f 1,5 1,5 0 k 1,5 3,5 0,7071 l 2,5 3,5 0 l 3,125 4,375 0 g 2,5 1,5 0 l 2,5 3,5 0,7071
h 3,5 1,5 0 i 0,5 2,5 0 j 1,5 2,5 0 k 2,5 2,5 0 l 3,5 2,5 0 m 0,5 3,5 0 n 1,5 3,5 0 o 2,5 3,5 0 p 3,5 3,5 0
114
Lampiran 12 (lanjutan)
Jumlah Batang
Pembebanan
Model Rangka batang Ruang ST1 ST2 ST3 ST4 Beban mati (kg/m2) 20 20 20 20 Beban hujan (kg/m2) 32 32 32 32 Beban pekerja+alat (kg/m2) 100 100 100 100 Beban angin (kg/m2) 30 30 30 30 Luas atap (m2) 12 18,75 16 12 Jumlah joint 20 20 25 20 Beban sendiri (kg/joint) 12 18,75 12,8 12 Beban hujan (kg/joint) 19,2 30 20,48 19,2 Beban pekerja+alat (kg/Joint) 60 93,75 64 60 Beban angin (kg/joint) 18 28,125 19,2 18
Model Rangka Batang ST1 ST2 ST3 ST4
atas 31 31 40 31 bawah 17 17 24 21 Diagonal 48 48 64 48 jml 96 96 128 100
115
Lampiran 13 : Data Pengujian Kekuatan Sambungan Tarik Tekan No Sampel Pmax (kg) No.Sampel Pmax (kg) P1 1353 P2 2430 P9 1341 P5 2459 P10 1369 P6 3349 P13 1379 P8 2356 P14 1515 P11 2443 P15 1091 P12 2772 P17 1128 P16 3223 P21 1098 P20 3176 Rata-rata 1284,25 Rata-rata 2776,00 SD 157,57 SD 413,29 CV 0,123 CV 0,149 max 1515 max 3349 min 1091 min 2356
Tabel data buluh bambu
No. Sampel D1(mm) D2(mm) d1 (mm) d2 (mm) keterangan P1 42,00 44,50 29,60 31,00 tarik P2 41,30 41,75 30,70 31,90 tekan P5 42,95 43,55 27,30 28,60 tekan P6 43,60 42,85 28,00 28,00 tekan P8 42,40 41,15 27,55 28,10 tekan P9 42,00 42,20 30,00 31,00 tarik
P10 44,30 44,70 25,85 26,50 tarik P11 46,10 41,25 26,25 24,30 tekan P12 42,20 41,20 30,50 31,00 tekan P13 42,90 44,60 24,60 24,10 tarik P14 44,45 43,15 23,85 22,25 tarik P15 43,95 43,60 31,45 32,40 tarik P16 42,40 40,95 27,50 29,25 tekan P17 41,70 41,25 30,60 30,75 tarik P20 41,80 40,50 30,50 30,85 tekan P21 44,25 44,75 29,00 31,35 tekan P9 42,00 42,20 30,00 31,00 tarik
P10 44,30 44,70 25,85 26,50 tarik P11 46,10 41,25 26,25 24,30 tekan P12 42,20 41,20 30,50 31,00 tekan P13 42,90 44,60 24,60 24,10 tarik P14 44,45 43,15 23,85 22,25 tarik P15 43,95 43,60 31,45 32,40 tarik P16 42,40 40,95 27,50 29,25 tekan P17 41,70 41,25 30,60 30,75 tarik
Keterangan : D1, D2 = diameter luar bambu (diukur dua kali) d1, d2 = diameter dalam bambu (diukur dua kali)